Theology of Work Bible Commentary: New Testament

Pengantar Kepada Kitab Matius
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKerja adalah komponen penting dari kerajaan Allah. Matius, pemungut cukai yang kemudian menjadi rasul, menceritakan tindakan dan ajaran Yesus untuk menunjukkan kepada kita bagaimana Allah menginginkan kita untuk hidup dan bekerja di kerajaan baru-Nya. Sebagai pengikut Yesus Kristus, kita hidup di dua dunia. Kita berdiri dengan satu kaki di dunia manusia, di mana pekerjaan kita mungkin harus mengikuti ekspektasi tak terucapkan yang bisa sesuai ataupun tidak sesuai dengan jalan Allah. Pada saat yang sama, sebagai orang Kristen kita adalah warga kerajaan Allah, berkomitmen pada nilai-nilai dan harapan-harapan-Nya. Dalam menceritakan kisah Yesus, Matius menunjukkan kepada kita cara menjelajahi dunia manusia dengan menggunakan kompas Allah. Dengan melakukannya, ia terus-menerus mengarahkan kita kepada identitas sejati dunia sebagai "kerajaan surga". (Matius menggunakan “kerajaan surga” dan “kerajaan Allah” secara bergantian; lihat Matius 19:23-24). Kerajaan ini “telah datang” ke dunia, meskipun belum terwujud sepenuhnya di sini. Sampai kerajaan ini tergenapi sepenuhnya, para pengikut Yesus harus hidup dan bekerja sesuai dengan panggilan Allah sebagai “orang asing”[1] di dunia sekarang ini.
Untuk memandu kita dalam cara hidup dan bekerja ini, Yesus membahas urusan-urusan di tempat kerja seperti kepemimpinan dan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, praktik bisnis yang adil dan tidak adil, kebenaran dan penipuan, perlakuan terhadap pekerja, penyelesaian konflik, kekayaan dan kebutuhan hidup, relasi-relasi di tempat kerja, investasi dan tabungan, istirahat, dan bekerja dalam organisasi-organisasi yang memiliki kebijakan dan praktik bertentangan dengan norma-norma alkitabiah.
Kerajaan Surga Sudah Dekat (Matius)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada awal pelayanan-Nya di bumi, Yesus menyatakan bahwa “Kerajaan Surga sudah dekat” (Matius 4:17). Ketika kita membaca “kerajaan surga,” kita mungkin berpikir tentang kecapi, awan, dan paduan suara malaikat, tetapi Yesus jelas mengatakan bahwa kerajaan surga mengacu pada berkuasanya Allah di bumi. Kerajaan surga ”sudah dekat.” Kerajaan surga telah datang ke dunia ini.
Konsekuensi di tempat kerja dari hidup dalam kerajaan Allah sangat mendalam. Kerajaan-kerajaan berkaitan dengan pemerintahan, ekonomi, pertanian, produksi, keadilan, pertahanan—isu-isu yang kita lihat di sebagian besar tempat kerja. Ajaran Yesus, seperti yang dicatat oleh Matius, berbicara secara langsung kepada kehidupan kita di tempat kerja. Dalam Khotbah di Bukit, Dia memperkenalkan para pengikut-Nya kepada nilai, etika, dan praktik kerajaan baru ini. Dalam Doa Bapa Kami, Dia mengajarkan mereka untuk berdoa, “Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Matius 6:10). Injil Matius diakhiri dengan Yesus menugaskan para pengikut-Nya untuk pergi dan bekerja di seluruh dunia karena Dia telah menerima "segala kuasa di surga dan di bumi" dan akan ada bersama mereka dalam pekerjaan mereka di bumi (Matius 28:19-20). Matius jelas berkata bahwa kerajaan ini tidak akan sepenuhnya terwujud di bumi seperti yang kita kenal, tetapi akan mencapai penggenapannya ketika kita melihat “Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Matius 24:30). Sementara itu, kita berpaling dari cara kerja lama, sehingga cara baru kerajaan surga terlihat dalam diri kita saat kita hidup. Bahkan sekarang, kita bekerja menurut nilai-nilai dan praktiknya.
Bekerja Sebagai Warganegara Kerajaan Allah (Matius 1-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita hidup dalam masa yang oleh para teolog disebut “sudah, tetapi belum.” Kerajaan surga telah ditahbiskan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi, tetapi belum terwujud sepenuhnya—sampai Kristus datang kembali sebagai pribadi Raja. Sementara itu, hidup kita—termasuk kerja kita, waktu senggang kita, ibadah kita, sukacita kita, dan dukacita kita—dibingkai oleh kenyataan hidup di dunia yang sebagian dikendalikan oleh cara-cara lama dan korup akibat Kejatuhan (Kejadian 3), namun sebagian lagi dikendalikan oleh Tuhannya yang sejati, Kristus. Sebagai orang Kristen, kita menempatkan diri kita sepenuhnya di bawah Yesus sebagai Tuhan. Kebiasaan kita di bumi sekarang mencerminkan kerajaan surga yang akan datang. Ini bukan menyombongkan diri bahwa kita lebih saleh daripada yang lain, tetapi menerima tantangan untuk bertumbuh di jalan Allah. Allah memanggil umat-Nya kepada berbagai peran dan pekerjaan di bumi. Dalam semua peran dan pekerjaan ini, kita harus menjalani realitas sejati: pemerintahan Allah yang datang dari surga ke bumi.
Pada saat yang sama, kita tidak dapat menghindari kebobrokan dunia yang disebabkan oleh Kejatuhan, termasuk kematian (1 Korintus 15:15-26), dosa (Yohanes 1:29), dan Iblis (Wahyu 12:9). Yesus sendiri mengalami penderitaan yang mengerikan, meskipun sementara, di tangan orang-orang berdosa. Mungkin kita pun demikian. Dalam kerja kita, kita mungkin sangat menderita melalui kerja paksa, pengangguran permanen, bahkan kematian terkait pekerjaan. Atau kita mungkin mengalami penderitaan-penderitaan yang lebih kecil ketika kita berurusan dengan rekan kerja yang menantang, kondisi kerja yang tidak menyenangkan, promosi yang layak tetapi tidak diterima, atau ribuan halangan lainnya. Terkadang kita mengalami konsekuensi-konsekuensi dosa kita sendiri di tempat kerja. Orang lain mungkin lebih menderita daripada kita, tetapi kita semua dapat belajar dari Injil Matius tentang cara hidup sebagai pengikut Kristus di dunia yang telah jatuh dalam dosa.
Yesus Sang Mesias (Matius 1-2)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPasal-pasal pembukaan Injil Matius menceritakan berbagai kisah yang berurutan dengan cepat yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang kedatangan-Nya mentahbiskan terjadinya kerajaan surga di bumi. Kisah-kisah itu menjelaskan siapa Yesus dalam hal penggenapan Kitab Suci (Mesias) dan menunjukkan bahwa kedatangan-Nya ke dunia adalah titik pusat dari semua urusan Allah dengan umat manusia. Injil Matius dimulai dengan suatu penjelasan tentang garis keturunan dan kelahiran Yesus: bayi di palungan Betlehem yang ada dalam garis keturunan raja besar Israel, Daud, dan adalah seorang Ibrani sejati, yang leluhurnya bisa dilacak sampai ke Abraham (Matius 1:1-2 :23). Dengan setiap cerita, acuan Matius kepada Kitab Suci Perjanjian Lama menunjukkan bagaimana kedatangan Yesus mencerminkan teks kuno tertentu. [1] Kita mendengarkan Yesus karena Dia adalah Yang diurapi Tuhan, Mesias yang dijanjikan, Allah yang datang ke dunia dalam diri manusia (Yohanes 1: 14).
Kisah orang majus (NRSV menerjemahkannya, "orang bijak") terutama sangat relevan dengan kerja. Menurut Daniel 1:20, 2:27, dan 5:15 dan Kis 8:9, dan 13:6-8, orang majus adalah astrolog yang mengamati bintang-bintang untuk menafsirkan mimpi dan mempraktekkan keajaiban-keajaiban lainnya. Baik Daniel maupun Lukas (dalam kitab Kisah Para Rasul) memandang rendah profesi mereka, memandang mereka sebagai penipu atau nabi palsu. Namun demikian, dalam pekerjaan mengamati bintang-bintang, mereka melihat sekilas realitas kuasa Tuhan di dunia. Pekerjaan mereka, meskipun bercacat, membimbing mereka untuk mengakui Yesus sebagai anak Allah. Tanggapan mereka adalah beribadah dengan sebaik-baiknya. Perhatikan kemurahan hati mereka, suatu kebajikan yang sangat dihargai Allah dalam keseluruhan Alkitab. Bandingkan mereka dengan Herodes, yang meskipun berasal dari komunitas beriman, bereaksi terhadap penemuan orang-orang bijak ini dengan permusuhan. Sulit membayangkan tanggapan yang lebih tidak murah hati daripada tanggapannya. Kontras ini menunjukkan bagaimana kasih karunia Tuhan menjangkau semua orang dan seluruh kosmos, bukan hanya untuk orang percaya. Sebaliknya, umat Allah terus terjerumus ke dalam dosa, sedangkan moralitas orang yang tidak beriman bisa menjadi teladan.
Mungkinkah Allah masih menarik orang-orang yang tidak beriman kepada-Nya melalui pekerjaan mereka, termasuk para pekerja di bidang sains, alam, atau dunia materi? Seperti yang dikatakan Paulus, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1:20). Ini ada aplikasinya ketika kita berbicara tentang Kristus di tempat kerja. Meskipun kita mungkin berpikir bahwa kita berbicara tentang Kristus kepada orang-orang yang tidak mengenal-Nya, mungkin sebenarnya Allah sudah membuat diri-Nya dikenal melalui pekerjaan mereka, seperti yang Dia lakukan dengan orang-orang majus. Kita mungkin lebih efektif jika kita menyadari bahwa apa yang sebenarnya kita lakukan adalah membantu rekan kerja menyebutkan dan menghargai hadirat Allah yang telah diungkapkan oleh pekerjaan mereka kepada mereka. Dan kita sendiri mungkin melakukannya dengan baik untuk mengakui kehadiran Allah dalam pekerjaan kita. Orang Kristen sering memperlakukan pekerjaan sekuler dengan kecurigaan, seolah-olah pengetahuan dan keterampilan yang digunakan di sana merusak iman. Sebaliknya, bagaimana jika kita dapat mengenali bagaimana semua jenis pekerjaan mengungkapkan karya tangan dan kehadiran Allah. Apakah mengenali kehadiran Allah dalam pekerjaan sehari-hari sebenarnya memperkuat iman kita?
Untuk memperoleh gagasan-gagasan tentang bagaimana gereja dapat menggabungkan sains dalam ibadah, lihat “Science and Faith in Harmony: Positive ways to include science in worship” (Sains dan Iman dalam Harmoni: Cara-cara positif untuk memasukkan sains dalam ibadah) dari Calvin Institute of Christian Worship.
Yesus Memanggil Para Murid (Matius 3-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHampir tiga puluh tahun telah berlalu antara pasal dua dan tiga. Yohanes Pembaptis mengungkapkan identitas Yesus yang sebenarnya sebagai Anak Allah kepada orang banyak di Sungai Yordan (Mat. 3:17). Kemudian Yesus, setelah dibaptis oleh Yohanes, berhasil mengatasi pencobaan Iblis di padang gurun (Matius 4:1-11) berbeda dengan Adam atau bangsa Israel yang gagal. (Untuk informasi lebih lanjut tentang pencobaan Yesus, lihat "Lukas 4:1-13" dalam Luke and Work di www.theologyofwork.org.) Dalam bagian ini, kita meninjau akar kuno dari kerajaan yang akan datang: yaitu "Israel" sebagaimana yang dimaksudkan Allah pada awalnya. Dan kita melihat aspek revolusionernya; hal itu membawa kemenangan atas penguasa dunia yang telah jatuh.
Kerja adalah elemen penting dari maksud Allah bagi dunia. Ketika Allah menciptakan Adam, Dia segera memberinya sesuatu untuk dikerjakan (Kejadian 2:15); di sepanjang Perjanjian Lama, umat Allah juga diberikan pekerjaan untuk dilakukan (Keluaran 20:9). Seharusnya tidak mengejutkan bahwa Yesus juga adalah seorang pekerja (Mat. 13:55). Baptisan Yesus, pencobaan-pencobaan kepada-Nya di padang belantara, dan pengalaman kerja-Nya sebagai seorang tukang kayu mempersiapkan-Nya untuk pekerjaan umum yang akan Dia mulai sekarang (Matius 4:12).
Di sini kita menemukan perikop pertama yang berbicara langsung tentang panggilan. Segera setelah Yesus mulai mengkhotbahkan datangnya kerajaan surga, Dia memanggil empat murid pertama untuk mengikuti Dia (Matius 4:18-21). Yang lain kemudian menanggapi panggilan-Nya, membentuk keduabelas murid—kelompok orang-orang yang dipanggil oleh Yesus untuk melayani sebagai murid-murid terdekat-Nya dan pemimpin-pelayan pertama bagi umat Allah yang diperbaharui (berdasarkan. Matius 10:1-4; 19: 28; Efesus 2:19-21). Masing-masing dari keduabelas murid diharuskan meninggalkan pekerjaan, pendapatan, dan relasi-relasi sebelumnya untuk melakukan perjalanan bersama Yesus ke seluruh Galilea. (Pengorbanan pribadi, keluarga, dan sosial yang diperlukan ini dibahas dalam bagian "Markus 1:16-20" dalam Mark and Work di www.theologyofwork.org.) Kepada para pengikut ini dan pengikut lainnya, Yesus tidak memberikan harapan tentang keamanan atau ikatan keluarga. Ketika Yesus kemudian memanggil pemungut cukai Matius, implikasinya adalah Matius akan menghentikan pekerjaannya memungut pajak (Matius 9:9).[1]
Apakah panggilan dari Yesus berarti kita harus berhenti bekerja dari pekerjaan kita saat ini dan menjadi pengkhotbah, pendeta, atau misionaris? Apakah perikop ini mengajarkan kepada kita bahwa pemuridan berarti meninggalkan jaring dan perahu, gergaji dan pahat, gaji dan keuntungan?
Jawabannya adalah tidak. Bagian ini menggambarkan apa yang terjadi pada empat orang di tepi Laut Galilea hari itu. Tetapi tidak menetapkan hal yang sama untuk setiap pengikut Yesus Kristus. Bagi keduabelas murid, mengikuti Yesus memang berarti meninggalkan profesi mereka dan keluarga mereka untuk melakukan perjalanan bersama guru mereka untuk berkeliling. Baik dulu maupun sekarang, ada profesi yang membutuhkan pengorbanan serupa, diantaranya dinas militer, kelautan, atau diplomasi. Pada saat yang sama, kita tahu bahwa bahkan selama pelayanan Yesus di bumi tidak semua orang yang benar-benar percaya kepada-Nya berhenti dari pekerjaan mereka sehari-hari untuk mengikut Dia. Dia memiliki banyak pengikut yang tetap tinggal di rumah dan dalam pekerjaan mereka. Seringkali Dia memanfaatkan kemampuan mereka untuk menyediakan makanan, tempat tinggal, dan dukungan keuangan bagi-Nya dan rekan-rekan-Nya (misalnya Simon si Kusta dalam Markus 14:3, atau Maria, Marta, dan Lazarus dalam Lukas 10:38, Yohanes 12:1 -2). Seringkali, mereka memberi-Nya akses kepada komunitas lokal mereka, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh teman-teman seperjalanan-Nya. Menariknya, Zakheus juga seorang pemungut cukai (Lukas 19:1-10), dan meskipun kehidupannya sebagai pemungut cukai diubah oleh Yesus, kita tidak melihat bukti bahwa ia dipanggil untuk meninggalkan profesinya.
Tetapi perikop ini juga menuntun kita kepada kebenaran yang lebih dalam tentang pekerjaan kita dan mengikuti Kristus. Kita mungkin tidak harus melepaskan pekerjaan kita, tetapi kita harus melepaskan kesetiaan kepada diri kita sendiri atau kepada siapa pun atau sistem apa pun yang bertentangan dengan tujuan Allah. Dalam pengertian tertentu, kita menjadi agen ganda bagi kerajaan Allah. Kita mungkin tetap berada di tempat kerja kita. Kita mungkin melakukan tugas yang sama. Tapi sekarang kita menggunakan pekerjaan kita untuk melayani kerajaan baru dan tuan kita yang baru. Kita masih bekerja untuk membawa pulang gaji, tetapi pada tingkat yang lebih dalam kita juga bekerja untuk melayani orang, seperti yang dilakukan Tuhan kita. Ketika Anda melayani orang karena kesetiaan Anda kepada Kristus, “Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya,” seperti yang dikatakan Paulus (Kolose 3:24).
Ini lebih radikal daripada kesan yang pertama muncul. Kita ditantang dalam pekerjaan yang kita lakukan. Sedapat mungkin, kita harus berusaha melakukan hal-hal yang membuat manusia berkembang maju, baik melalui bagian kita dalam melaksanakan mandat penciptaan, atau bagian kita dalam menjalankan mandat penebusan. Singkatnya, kita melakukan hal-hal yang mendukung impian orang dan membawa pemulihan bagi kehancuran di sekitar kita.
Jadi kita melihat bahwa meskipun panggilan dari Yesus mungkin tidak mengubah apa yang kita lakukan untuk mencari nafkah, panggilan itu selalu mengubah alasan kita bekerja. Sebagai pengikut Yesus, kita bekerja terutama untuk melayani Dia. Pada gilirannya, ini membawa perubahan dalam cara kita bekerja, dan terutama cara kita memperlakukan orang lain. Cara-cara Raja yang baru meliputi belas kasihan, keadilan, kebenaran, dan kemurahan; cara-cara penguasa tua dunia ini adalah penghancuran, sikap apatis, penindasan, penipuan, dan balas dendam. Yang terakhir tidak dapat lagi berperan dalam pekerjaan kita. Ini lebih menantang daripada yang terlihat, dan kita tidak pernah bisa berharap untuk bisa melakukannya sendirian. Praktik yang diperlukan untuk hidup dan bekerja dengan cara-cara baru ini hanya dapat muncul dari kuasa atau berkat Allah dalam pekerjaan kita, seperti yang akan muncul di pasal 5 sampai 7.
Kerajaan Surga Bekerja di Dalam Kita (Matius 5-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPasal 5 sampai 7 dalam Injil Matius memberi kita versi paling lengkap dari Khotbah Yesus di Bukit. Walaupun perikop yang sangat panjang ini (111 ayat) sering diperlakukan sebagai rangkaian segmen-segmen yang berlainan (oleh beberapa orang dianggap telah disusun dari berbagai kesempatan mengajar), ada suatu kohesi dan alur pemikiran dalam khotbah itu yang memperdalam pemahaman kita tentang bagaimana kerajaan surga sedang bekerja di dalam kita, dalam pekerjaan kita, dan dalam kehidupan keluarga dan komunitas kita.
Khotbah di Bukit (Matius 5:1-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKhotbah di Bukit dibuka dengan ucapan-ucapan bahagia—delapan pernyataan yang diawali dengan kata diberkati.[1] Kata ini menegaskan keadaan berkat yang sudah ada. Setiap ucapan bahagia menyatakan bahwa sekelompok orang yang biasanya dianggap menderita sebenarnya diberkati. Mereka yang diberkati tidak perlu melakukan apa pun untuk memperoleh berkat ini. Yesus hanya menyatakan bahwa mereka telah diberkati. Jadi ucapan-ucapan bahagia pertama-tama adalah pernyataan tentang kasih karunia Allah. Mereka bukanlah syarat bagi keselamatan atau peta untuk mendapatkan jalan masuk ke kerajaan Allah.
Mereka yang menjadi bagian dari setiap kelompok yang diberkati mengalami kasih karunia Allah karena kerajaan surga sudah dekat. Perhatikan ucapan bahagia kedua, “Berbahagialah orang yang berdukacita” (Matius 5:4). Orang biasanya tidak menganggap berkabung sebagai berkah. Itu adalah dukacita. Namun dengan datangnya kerajaan surga, berkabung menjadi berkat karena yang berkabung “akan dihibur.” Implikasinya adalah Allah sendiri yang akan menghibur. Penderitaan karena berkabung menjadi berkat karena membawa hubungan yang mendalam dengan Allah. Sungguh suatu berkat!
Meskipun tujuan utama ucapan-ucapan bahagia adalah untuk menyatakan berkat-berkat yang diberikan oleh kerajaan Allah, sebagian besar cendekiawan juga menganggapnya sebagai gambaran karakter kerajaan itu.[2] Saat kita melangkah memasuki kerajaan Allah, kita berharap bisa menjadi lebih seperti mereka yang disebut diberkati—lebih lemah lembut, lebih berbelas kasihan, lebih lapar akan kebenaran, lebih cepat berdamai, dan seterusnya. Ini memberikan ucapan-ucapan bahagia suatu keharusan moral. Belakangan, ketika Yesus berkata, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19), ucapan-ucapan bahagia menggambarkan karakter yang perlu dimiliki oleh para murid ini.
Ucapan-ucapan bahagia menggambarkan karakter kerajaan Allah, tetapi mereka bukanlah syarat keselamatan. Yesus tidak mengatakan, misalnya, “Hanya orang yang suci hatinya yang boleh masuk kerajaan surga.” Ini adalah kabar baik karena ucapan-ucapan bahagia sangat sulit untuk dipenuhi. Mengingat Yesus berkata, “Setiap orang yang memandang perempuan dengan nafsu, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28), siapakah yang benar-benar “murni hatinya” (Mat. 5:8)? Jika bukan karena kasih karunia Tuhan, tidak ada seorang pun yang benar-benar akan diberkati. Ucapan-ucapan bahagia bukanlah penghakiman terhadap semua orang yang gagal memenuhinya. Sebaliknya, itu adalah berkat bagi siapa pun yang setuju untuk bergabung dengan kerajaan Allah yang "sudah dekat".
Anugerah selanjutnya dari ucapan-ucapan bahagia adalah bahwa ucapan-ucapan bahagia memberkati komunitas Allah, bukan hanya individu-individu milik Allah. Dengan mengikuti Yesus, kita menjadi anggota komunitas kerajaan yang diberkati, meskipun karakter kita belum terbentuk serupa dengan Allah. Secara individu, kita gagal memenuhi karakteristik dari beberapa atau semua berkat itu. Namun kita tetap diberkati oleh karakter keseluruhan komunitas di sekitar kita. Kewarganegaraan dalam kerajaan Allah dimulai sekarang. Karakter komunitas kerajaan disempurnakan ketika Yesus datang kembali, “datang di atas awan di langit dengan kuasa dan kemuliaan yang besar” (Mat. 24:30).
Dengan pemahaman ini, kita siap mengeksplorasi karakter spesifik dari masing-masing ucapan bahagia dan mengeksplorasi penerapannya dalam pekerjaan. Kita tidak dapat membahas setiap ucapan bahagia secara mendalam, tetapi kita berharap dapat meletakkan dasar untuk menerima berkat dan menghidupi ucapan bahagia dalam pekerjaan kita sehari-hari.[3]
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Matius 5:3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiOrang yang “miskin” adalah mereka yang menyerahkan diri mereka pada kasih karunia Allah.[1] Kami secara pribadi mengakui kebangkrutan rohani kami di hadapan Tuhan. Ini bagaikan pemungut cukai di bait suci, memukul dadanya dan berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini” (Lukas 18:9-14). Ini adalah pengakuan jujur bahwa kita berdosa dan sama sekali tidak memiliki kebajikan moral yang diperlukan untuk menyenangkan Allah. Ini adalah kebalikan dari kesombongan. Dalam bentuknya yang terdalam, miskin berarti mengakui kebutuhan kita yang sangat mendesak akan Allah. Yesus sedang menyatakan bahwa adalah suatu berkat untuk mengenali kebutuhan kita untuk dipenuhi oleh kasih karunia Allah.
Jadi, di awal Khotbah di Bukit, kita belajar bahwa kita tidak memiliki sumber daya rohani dalam diri kita sendiri untuk mempraktikkan ajaran Yesus. Kita tidak dapat memenuhi panggilan Allah oleh upaya kita sendiri. Berbahagialah mereka yang menyadari bahwa mereka bangkrut secara spiritual, karena kesadaran ini mengarahkan mereka kepada Allah. Tanpa-Nya mereka tidak dapat memenuhi tujuan penciptaan dan keberadaan mereka. Sebagian besar sisa khotbah di bukit merobek kita dari khayalan diri bahwa kita mampu memperoleh keadaan terberkati dengan kemampuan kita sendiri. Tujuannya adalah untuk menghasilkan dalam diri kita kemiskinan roh yang sejati.
Apa hasil praktis dari berkat ini? Jika kita miskin dalam roh, kita dapat memberikan penilaian yang jujur tentang diri kita sendiri tentang pekerjaan kita. Kita tidak membesar-besarkan resume kita atau menyombongkan posisi kita. Kita tahu betapa sulitnya bekerja dengan orang-orang yang tidak dapat belajar, bertumbuh, atau menerima koreksi karena mereka berusaha mempertahankan citra diri mereka yang dibesar-besarkan. Jadi kita berkomitmen pada kejujuran tentang diri kita sendiri. Kita ingat bahwa bahkan Yesus, ketika Dia mulai bekerja dengan kayu, pasti membutuhkan bimbingan dan instruksi. Pada saat yang sama, kita mengakui bahwa hanya karena Allah bekerja di dalam diri kita, kita dapat menerapkan ajaran Yesus di tempat kerja. Kita mencari hadirat dan kekuatan Allah dalam hidup kita setiap hari saat kita hidup sebagai orang Kristen di tempat kerja.
Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, miskin dalam roh mungkin tampak sebagai penghalang untuk sukses dan kemajuan. Seringkali ini hanyalah ilusi. Siapa yang kemungkinan besar akan lebih sukses dalam jangka panjang? Seorang pemimpin yang berkata, "Jangan takut, saya bisa menangani apa pun, lakukan saja apa yang saya katakan," atau seorang pemimpin yang berkata, "Bersama, kita bisa melakukannya, tetapi setiap orang harus tampil lebih baik dari sebelumnya." Jika pernah ada masa ketika seorang pemimpin yang sombong dan menonjolkan diri dianggap lebih hebat daripada pemimpin yang rendah hati dan memberdayakan, masa itu sedang berlalu, setidaknya dalam organisasi terbaik. Misalnya, seorang pemimpin yang rendah hati adalah karakteristik pertama dari perusahaan yang mencapai sukses yang berkelanjutan, menurut penelitian Jim Collins yang terkenal.[2] Tentu saja, banyak tempat kerja tetap terjebak dalam kerajaan lama berupa promosi diri dan penilaian diri yang berlebihan. Dalam beberapa situasi, saran praktis terbaik adalah mencari tempat kerja lain jika memungkinkan. Dalam kasus lain, meninggalkan pekerjaan mungkin mustahil, atau mungkin tidak diinginkan, karena dengan tetap tinggal di sana seorang Kristen bisa menjadi kekuatan penting bagi kebaikan. Dalam situasi ini, miskin dalam roh menjadi berkat yang lebih besar lagi bagi orang-orang di sekitar mereka.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Matius 5:4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiUcapan bahagia kedua mengembangkan kesadaran mental kita akan kemiskinan kita dalam roh dengan menambahkan suatu tanggapan emosional dukacita. Ketika kita menghadapi kejahatan dalam hidup kita sendiri, itu membuat kita sedih; ketika kita menghadapi kejahatan di dunia—yang mencakup kemungkinan kejahatan di tempat kerja kita—itu juga menyentuh emosi kita dengan dukacita. Kejahatan itu bisa datang dari diri kita sendiri, dari orang lain, atau dari sumber yang tidak diketahui. Apa pun itu, ketika kita dengan jujur berkabung atas kata-kata jahat, perbuatan jahat, kebijakan jahat di tempat kerja, Allah melihat kesedihan kita dan menghibur kita dengan pengetahuan bahwa tidak akan selalu seperti ini.
Mereka yang diberkati dengan berkabung atas kegagalan mereka sendiri dapat memperoleh penghiburan dengan mengakui kesalahan mereka. Jika kita melakukan kesalahan terhadap kolega, siswa, pelanggan, karyawan, atau orang lain, kita mengakuinya dan meminta maaf kepada mereka. Ini membutuhkan keberanian! Tanpa berkat emosional dari berkabung atas tindakan kita, kita mungkin tidak akan pernah berani mengakui kesalahan kita. Namun jika kita melakukannya, kita mungkin dikejutkan oleh betapa seringnya orang siap memaafkan kita. Dan jika, kadang-kadang, orang lain mengambil keuntungan dari pengakuan kesalahan kita, kita dapat kembali pada berkat ketidaksombongan yang mengalir dari ucapan bahagia pertama.
Beberapa bisnis telah menemukan bahwa mengungkapkan dukacita sebagai suatu cara yang efektif untuk beroperasi. Toro, produsen traktor dan peralatan memotong rumput, mengadopsi praktik untuk menunjukkan kepedulian terhadap orang yang terluka saat menggunakan produk mereka. Segera setelah perusahaan mengetahui terjadinya suatu cedera, perusahaan menghubungi orang yang cedera untuk mengungkapkan kesedihan dan menawarkan bantuan. Perusahaan itu juga meminta saran untuk meningkatkan produk. Walaupun kedengarannya mengejutkan, pendekatan ini telah mengurangi jumlah tuntutan hukum dari pelanggan selama bertahun-tahun.[1] Rumah Sakit Virginia Mason menemukan hasil serupa dengan mengakui peran mereka dalam kematian pasien.[2]
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Matius 5:5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiUcapan bahagia ketiga memuat banyak orang di tempat kerja bingung, sebagian karena mereka tidak mengerti apa artinya menjadi lemah lembut. Banyak yang menganggap istilah itu berarti lemah, jinak, atau kurang keberanian. Tetapi pemahaman alkitabiah tentang kelemahlembutan adalah kekuatan yang terkendali. Dalam Perjanjian Lama, Musa digambarkan sebagai orang yang paling lemah lembut di bumi (Bilangan 12:3). Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai “lemah lembut dan rendah hati” (Mat. 11:28-29), yang konsisten dengan tindakan-Nya yang keras dalam membersihkan bait suci (Mat. 21:12-13).
Kuasa di bawah kendali Allah memiliki dua makna: (1) menolak membesar-besarkan penilaian diri kita sendiri; dan (2) keengganan untuk menegaskan diri untuk kepentingan diri kita sendiri. Paulus menangkap aspek pertama dengan sempurna dalam Roma 12:3. “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”
Orang yang lemah lembut melihat diri mereka sebagai hamba Allah, tidak menganggap diri mereka lebih tinggi daripada yang seharusnya mereka pikirkan. Lemah lembut berarti menerima kekuatan dan keterbatasan kita apa adanya, ketimbang terus-menerus mencoba menggambarkan diri kita sebaik mungkin. Namun bukan berarti kita harus mengingkari kelebihan dan kemampuan kita. Ketika ditanya apakah Dia adalah Mesias, Yesus menjawab, “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (Mat. 11:4-6). Dia tidak memiliki citra diri yang berlebihan atau rasa rendah diri, tetapi memiliki hati seorang hamba yang didasarkan pada apa yang kemudian disebut Paulus sebagai “berpikir begitu rupa*” (Roma 12:3).
Hati seorang hamba adalah inti dari aspek kedua kelemahlembutan: keengganan untuk menegaskan diri bagi kepentingan kita sendiri. Kita menjalankan kekuasaan, tetapi untuk kepentingan semua orang, bukan hanya bagi diri kita sendiri. Aspek kedua ditangkap oleh Mazmur 37:1-11a, yang dimulai dengan, “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat,” dan diakhiri dengan “orang yang rendah hati akan mewarisi negeri.” Itu berarti kita mengekang keinginan kita untuk membalas kesalahan yang dilakukan terhadap kita, dan sebaliknya menggunakan kekuatan apa pun yang kita miliki untuk melayani orang lain. Sikap ini mengalir dari dukacita atas kelemahan kita sendiri yang terkandung dalam ucapan bahagia kedua. Jika kita berdukacita atas dosa kita sendiri, dapatkah kita benar-benar merasa dendam atas dosa orang lain?
Bisa sangat menantang untuk meletakkan kekuatan yang ada pada diri kita di bawah kendali Allah. Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, tampaknya orang yang agresif dan mementingkan diri sendirilah yang maju. “Anda tidak mendapatkan apa yang pantas Anda dapatkan, Anda mendapatkan apa yang Anda negosiasikan.”[1]
Di tempat kerja, mereka yang sombong dan berkuasa tampaknya menang, tetapi pada akhirnya mereka kalah. Mereka tidak menang dalam hubungan pribadi. Tidak ada yang menginginkan teman yang sombong dan mementingkan diri sendiri. Lelaki dan perempuan yang haus akan kekuasaan seringkali adalah orang-orang yang kesepian. Mereka juga tidak menang dalam keamanan finansial. Mereka pikir mereka menguasai dunia, tetapi dunia menguasai mereka. Semakin banyak uang yang mereka miliki, semakin mereka merasa kurang aman secara finansial.
Sebaliknya, Yesus mengatakan bahwa orang yang lemah lembut ”akan mewarisi bumi”. Seperti yang telah kita lihat, bumi telah menjadi lokasi kerajaan surga. Kita cenderung menganggap kerajaan surga sebagai surga, tempat yang sama sekali berbeda (jalan-jalan emas, gerbang mutiara, rumah besar di atas puncak bukit) dari apa pun yang kita kenal di dunia ini. Tetapi janji Allah tentang kerajaan adalah langit baru dan bumi baru (Wahyu 21:1). Mereka yang menyerahkan kekuasaannya kepada Allah akan mewarisi kerajaan sempurna yang datang ke bumi. Di kerajaan ini, dengan anugerah Allah, kita menerima hal-hal baik yang diperjuangkan oleh orang sombong dengan sia-sia di bumi ini, dan lebih banyak lagi. Dan ini bukan hanya realitas masa depan. Bahkan di dunia yang rusak, mereka yang mengenali kekuatan dan kelemahan mereka yang sebenarnya dapat menemukan kedamaian dengan hidup secara realistis. Mereka yang menjalankan kekuasaan untuk kepentingan orang lain sering kali dikagumi. Orang yang lemah lembut melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan dan mengalami hasil yang lebih baik serta hubungan yang lebih dalam.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (Matius 5:6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMemahami ucapan bahagia yang keempat ternyata memahami apa yang Yesus maksudkan dengan kebajikan moral. Dalam Yudaisme kuno, kebajikan moral berarti “membebaskan, membenarkan, memulihkan hubungan yang benar.”[1] Orang-orang yang memiliki kebajikan moral adalah mereka yang mempertahankan hubungan yang benar—dengan Allah dan dengan orang-orang di sekitar mereka. Atas dasar hubungan yang benar, mereka yang melakukan pelanggaran dibebaskan dari kesalahan.
Sudahkah Anda menerima berkat diisi dengan hubungan yang benar? Berkat ini mengalir dari kelemahlembutan (ucapan bahagia ketiga) karena kita hanya dapat membentuk hubungan yang benar dengan orang lain ketika kita berhenti membuat semua tindakan kita berputar di sekitar diri kita sendiri. Apakah Anda lapar dan haus akan hubungan yang benar—dengan Allah, dengan rekan kerja Anda, dengan keluarga Anda, dan komunitas Anda? Rasa lapar adalah tanda kehidupan. Kita benar-benar haus akan hubungan yang baik jika kita mendambakan orang lain untuk kepentingan mereka sendiri, bukan hanya sebagai makanan ringan untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Jika kita melihat bahwa kita memiliki anugerah Allah untuk ini, kita akan lapar dan haus akan hubungan yang benar, bukan hanya dengan Allah, tetapi juga dengan orang-orang yang bekerja atau hidup dengan kita.
Yesus berkata bahwa mereka yang memiliki rasa lapar ini akan dipuaskan. Sangat mudah untuk melihat kesalahan di tempat kerja kita dan ingin berjuang untuk memperbaikinya. Jika kita melakukan ini, kita lapar dan haus akan kebenaran, ingin melihat kesalahan diluruskan. Iman Kristen telah menjadi sumber dari banyak reformasi terbesar di dunia kerja, mungkin terutama penghapusan perbudakan di Inggris Raya dan Amerika Serikat, dan merupakan asal-usul gerakan Hak Sipil. Tetapi sekali lagi, aliran ucapan bahagia itu penting. Kita tidak melakukan pertempuran ini dengan kekuatan kita sendiri, tetapi hanya dengan mengakui kekosongan kita sendiri, berkabung atas ketidakbenaran kita sendiri, menyerahkan kekuatan kita kepada Allah.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Matius 5:7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJika Anda diberkati dengan kesedihan atas kegagalan Anda sendiri (ucapan bahagia kedua) dan dengan hubungan yang benar (ucapan bahagia keempat), Anda tidak akan sulit menunjukkan kemurahan kepada orang lain di tempat kerja atau di mana pun. Kemurahan terdiri dari memperlakukan orang lebih baik daripada yang pantas mereka terima dari kita. Pengampunan adalah suatu jenis kemurahan. Begitu juga membantu seseorang yang tidak wajib kita bantu, atau menahan diri untuk mengeksploitasi kerentanan seseorang. Kemurahan, dalam semua pengertian ini, adalah kekuatan pendorong dari inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Melalui Dia, dosa-dosa kita diampuni dan kita sendiri mendapat pertolongan melalui anugerah Roh Allah (1 Korintus 12). Alasan Roh untuk menunjukkan kepada kita kemurahan ini hanyalah karena Allah mengasihi kita (Yohanes 3:16).
Di tempat kerja, kemurahan memiliki efek yang sangat praktis. Kita harus membantu orang lain untuk mencapai hasil terbaik mereka, terlepas dari bagaimana perasaan kita tentang mereka. Saat Anda membantu rekan kerja, yang mungkin tidak Anda sukai dan yang mungkin pernah melakukan kesalahan terhadap Anda di masa lalu, Anda menunjukkan kemurahan. Ketika Anda adalah kontestan pertama dalam audisi dan Anda memperingatkan kontestan selanjutnya bahwa suasana hati juri sedang buruk, Anda menunjukkan kemurahan, meskipun itu mungkin memberi mereka keuntungan lebih dari Anda. Ketika anak pesaing sakit, dan Anda setuju untuk menjadwal ulang presentasi Anda ke klien sehingga pesaing Anda tidak harus memilih antara merawat anak dan bersaing untuk bisnis, Anda menunjukkan kemurahan.
Kemurahan semacam ini mungkin membuat Anda kehilangan keuntungan yang sebenarnya bisa Anda peroleh. Namun mereka bermanfaat bagi hasil kerja, serta orang lain. Membantu seseorang yang tidak Anda sukai menolong unit kerja Anda mencapai tujuannya, meskipun itu tidak bermanfaat bagi Anda secara pribadi. Atau—seperti dalam kasus pesaing dengan anak yang sakit—walaupun tidak menguntungkan organisasi Anda, tetapi bermanfaat bagi klien yang ingin Anda layani. Realitas yang mendasari kemurahan adalah bahwa kemurahan bermanfaat bagi seseorang di luar diri Anda sendiri.
Lingkungan yang pemaaf dalam organisasi memberikan hasil mengejutkan lainnya. Ini meningkatkan kinerja organisasi. Jika seseorang membuat kesalahan dalam organisasi di mana kemurahan tidak ditunjukkan, mereka cenderung tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu, berharap hal itu tidak diperhatikan dan mereka tidak disalahkan.
Ini mengurangi kinerja dalam dua cara. Yang pertama adalah bahwa kesalahan yang ditutup-tutupi mungkin akan jauh lebih sulit untuk ditangani nanti. Bayangkan pekerjaan konstruksi di mana seorang pekerja membuat kesalahan saat pemasangan pondasi. Mudah diperbaiki jika diungkapkan dan segera diperbaiki. Tetapi akan sangat mahal untuk memperbaikinya setelah struktur dibangun dan pondasinya dikubur. Yang kedua adalah bahwa pengalaman belajar terbaik muncul dari belajar dari kesalahan. Seperti yang dikatakan Soichiro Honda, “Sukses hanya dapat dicapai melalui kegagalan berulang dan introspeksi. Faktanya, kesuksesan mewakili 1 persen dari pekerjaan Anda yang hanya berasal dari 99 persen yang disebut kegagalan.”[1] Organisasi tidak memiliki kesempatan untuk belajar jika kesalahan tidak dibawa ke depan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiUcapan bahagia keenam menggemakan Mazmur 24:3-5:
"Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia.
“Tangan yang bersih dan hati yang murni” menunjukkan integritas, pengabdian yang tunggal, kesetiaan yang tidak terbagi. Integritas jauh melampaui sekedar menghindari penipuan dan perilaku buruk. Akar dari integritas adalah keutuhan, yang berarti bahwa tindakan kita bukanlah pilihan-pilihan yang kita bongkar pasang seenaknya, tetapi berasal dari keutuhan diri kita. Perhatikan bahwa Yesus mengucapkan berkat tentang hati yang suci bukan tepat setelah berkat lapar akan kebajikan moral, tetapi setelah berkat menunjukkan kemurahan. Kesucian hati muncul bukan dari kesempurnaan kehendak kita, tetapi dari penerimaan akan anugerah Allah.
Kita dapat menentukan berapa banyak dari berkat ini yang telah kita terima dengan bertanya kepada diri kita sendiri: Seberapa besar komitmen yang saya miliki tentang integritas, kapan saya bisa lolos dengan tipuan yang terampil? Apakah saya menolak untuk membiarkan pendapat saya tentang seseorang dibentuk oleh gosip dan sindiran, tidak peduli seberapa pun menariknya? Sejauh mana tindakan dan kata-kata saya mencerminkan secara akurat apa yang ada dalam hati saya?
Sulit untuk berdebat melawan integritas pribadi di tempat kerja, namun di dunia yang telah jatuh dalam dosa hal ini sering menjadi sasaran lelucon. Seperti kemurahan dan kelemahlembutan, integritas bisa dilihat sebagai kelemahan. Namun orang yang berintegritaslah yang akan “melihat Allah.” Meskipun Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allah yang tak nampak dan “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri” (1 Timotius 1:17, 6:16), orang yang suci hatinya dapat melihat dan merasakan realitas Allah dalam kehidupan ini. Pada kenyataannya, jika tidak memiliki integritas, kebohongan yang kita sebarkan terhadap orang lain pada akhirnya membuat kita tidak mampu memahami kebenaran. Kita mau tidak mau mulai mempercayai kebohongan yang kita buat sendiri. Dan ini menyebabkan kehancuran di tempat kerja, karena pekerjaan yang didasarkan pada hal-hal yang tidak nyata akan segera menjadi tidak efektif. Orang yang najis tidak memiliki keinginan untuk melihat Allah, tetapi mereka yang menjadi bagian dari kerajaan Kristus diberkati karena mereka melihat realitas sebagaimana adanya, termasuk realitas Allah.
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiUcapan bahagia ketujuh membawa setiap pekerja Kristiani ke dalam tugas resolusi konflik. Konflik muncul setiap kali orang memiliki perbedaan pendapat. Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, kecenderungannya adalah mengabaikan konflik atau menekannya dengan menggunakan kekerasan, ancaman, atau intimidasi. Namun keduanya merupakan pelanggaran integritas (ucapan bahagia keenam) dari orang-orang yang berkonflik. Dalam kerajaan Allah, menyatukan orang-orang yang sedang berkonflik adalah suatu berkat. Hanya dengan begitu konflik dapat diselesaikan dan hubungan dipulihkan. (Nanti dalam artikel ini, kita akan menelusuri metode Yesus untuk penyelesaian konflik dalam Mat. 18:17-19.)
Hasil penyelesaian konflik adalah perdamaian, dan pembawa damai akan disebut “anak-anak Allah.” Mereka akan mencerminkan karakter ilahi dalam tindakan-tindakan mereka. Allah adalah Allah damai sejahtera (1 Tesalonika 5:16) dan kita menunjukkan diri kita sebagai anak-anak-Nya ketika kita berusaha membawa perdamaian di tempat kerja, di komunitas, di rumah kita, dan di seluruh dunia.
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Matius 5:10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiUcapan bahagia kedelapan dan terakhir mungkin menurut kita negatif. Sampai saat ini, ucapan bahagia telah berfokus pada kerendahan hati, kelemahlembutan, hubungan yang benar, kemurahan, kesucian hati, dan pembawa damai—semua kualitas positif. Tetapi Yesus menyertakan kemungkinan “dianiaya oleh sebab kebenaran”. Ini muncul dari tujuh yang sebelumnya, karena kekuatan yang menentang jalan Allah masih memiliki kekuatan besar di dunia.
Perhatikan bahwa penganiayaan yang timbul dari perilaku tidak benar tidak diberkati. Jika kita gagal karena kesalahan kita sendiri, kita sudah harus memperkirakan mengalami konsekuensi negatif. Yesus berbicara tentang berkat dianiaya karena melakukan yang benar. Tetapi mengapa kita dianiaya karena kebenaran? Realitas di dunia yang telah jatuh adalah jika kita menunjukkan kesalehan sejati, banyak yang akan menolak kita. Yesus menguraikan dengan menunjukkan bahwa para nabi, yang seperti Dia mengumumkan kerajaan Allah, dianiaya. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (Mat. 5:11-12). Orang-orang saleh di tempat kerja mungkin mengalami penganiayaan yang aktif, bahkan kejam oleh orang-orang yang memperoleh manfaat—atau percaya bahwa mereka memperoleh manfaat—dari ketidakadilan di sana. Sebagai contoh, jika Anda membela—atau sekadar berteman dengan—orang-orang yang menjadi korban gosip atau diskriminasi di tempat kerja Anda, sudah bisa diperkirakan Anda akan mengalami penganiayaan. Jika Anda adalah presiden asosiasi perdagangan, dan Anda menentang subsidi yang tidak adil yang diterima anggota Anda, jangan harap mereka akan memilih Anda lagi. Berkatnya adalah penganiayaan aktif untuk alasan yang benar menunjukkan bahwa kuasa kegelapan percaya bahwa Anda berhasil memajukan kerajaan Allah.
Bahkan organisasi terbaik dan orang-orang yang paling mengagumkan pun masih dinodai oleh Kejatuhan. Tidak ada yang sempurna. Ucapan bahagia kedelapan berfungsi sebagai pengingat bagi kita bahwa bekerja di dunia yang telah jatuh membutuhkan keberanian.
Garam dan Terang di Dunia Kerja (Matius 5:13-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah ucapan-ucapan bahagia dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberi tahu para pengikut-Nya bahwa orang yang menerima berkat-berkat ini penting:
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga."
Jika Anda adalah pengikut Yesus yang hidup dalam ucapan-ucapan bahagia, Anda penting. Anda memiliki peran penting karena Anda adalah garam dunia. Garam mengawetkan dan orang Kristen membantu melestarikan apa yang baik dalam budaya. Di dunia kuno, garam sangat berharga: orang-orang Yunani menganggapnya mengandung sesuatu yang hampir ilahi, dan orang Romawi terkadang membayar tentara mereka dengan garam. Seorang prajurit yang tidak menjalankan tugasnya "tidak layak mendapat garam". Anda adalah pemberi rasa. Dalam arti, Anda bisa membawa citarasa khas nilai-nilai Tuhan ke dalam semua jenis kehidupan. Anda bisa membuat hidup terasa enak.
Perhatikan bahwa garam, agar efektif, harus bersentuhan dengan daging atau ikan yang akan diawetkan. Agar efektif, kita harus terlibat dengan tempat kita bekerja dan tinggal. Ini menempatkan kita dalam ketegangan karena budaya dominan belum tentu menyukai kita. Pada sebagian besar waktu, hidup sesuai dengan ucapan bahagia dapat membuat kita lebih berhasil dalam pekerjaan. Tapi kita perlu siap untuk saat-saat itu tidak terjadi. Apa yang akan kita lakukan jika menunjukkan kemurahan, berdamai, atau memperjuangkan keadilan membahayakan posisi kita di tempat kerja? Menarik diri dari dunia bukanlah jawaban bagi orang Kristen. Tetapi sulit untuk hidup di dunia, siap menantang jalannya kapan saja. Dalam Matius 5:10-12, Yesus mengakui realitas penganiayaan. Namun dalam kontak kita dengan budaya, kita harus mempertahankan “rasa asin” kita, kekhasan kita. Ini adalah tindakan penyeimbangan yang harus kita pertahankan.
“Kamu adalah terang dunia.” Uraian tugas seorang Kristen bukan hanya menjaga kekudusan pribadi, tetapi juga menyentuh kehidupan setiap orang di sekitar kita. Di tempat kerja, kita menjamah banyak orang yang tidak bertemu Kristus di gereja. Itu mungkin tempat kita yang paling efektif untuk bersaksi tentang Kristus. Tetapi kita harus berhati-hati tentang cara kita bersaksi bagi Kristus di tempat kerja. Kita dibayar untuk melakukan pekerjaan kita, dan tidak jujur untuk membebani pemberi kerja kita dengan menggunakan waktu kerja untuk penginjilan. Selain itu, tidak terhormat untuk menciptakan perpecahan di tempat kerja atau lingkungan yang tidak bersahabat bagi orang yang tidak beriman. Kita harus menghindari kemungkinan yang merusak dengan cara mengupayakan promosi diri melalui penginjilan. Dan kita selalu menghadapi risiko bahwa kegagalan kita dalam pekerjaan dapat mempermalukan nama Kristus, terutama jika kita tampak bersemangat dalam penginjilan tetapi buruk dalam pekerjaan yang sebenarnya.
Dengan semua bahaya ini, bagaimana kita bisa menjadi garam dan terang di tempat kerja? Yesus berkata bahwa terang kita tidak selalu dengan bersaksi melalui kata-kata kita, tetapi bersaksi melalui perbuatan kita--“perbuatan baik” kita. "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." Ucapan-ucapan bahagia telah menguraikan beberapa perbuatan baik itu. Dalam kerendahan hati dan penyerahan diri kepada Allah, kita bekerja untuk hubungan yang benar, untuk tindakan kemurahan, dan untuk perdamaian. Ketika kita hidup sebagai orang yang diberkati, kita menjadi garam dan terang—di tempat kerja, di rumah kita, dan di negara kita.
Apa itu Hidup Keagamaan yang Benar? (Matius 5:17-48)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus membuat pernyataan yang mengejutkan dalam Matius 5:20. “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga." Orang-orang biasa pada zaman-Nya menghormati hidup keagamaan yang tampak dari para pemimpin agama dan tidak dapat membayangkan akan pernah bisa menyamai mereka dalam kesalehan. Yesus mengejutkan mereka dengan menyatakan bahwa jalan masuk ke dalam kerajaan Allah hanya tersedia bagi mereka yang hidup keagamaannya melebihi para ahli Taurat dan orang Farisi. Lalu, siapa yang bisa diselamatkan? Masalahnya terletak pada menyamakan hidup keagamaan dengan kesalehan lahiriah, pemahaman umum tentang kata itu sejak dulu dan juga sekarang. Tetapi kata hidup keagaman di seluruh Alkitab (sebagaimana disebutkan di atas dalam ucapan bahagia keempat) selalu menunjukkan hubungan yang benar—dengan Allah dan dengan orang-orang di sekitar kita. Termasuk mereka yang berada di tempat kerja.
Ini menjadi jelas dalam ilustrasi berikut. Dalam Matius 5:21-26, tidak cukup untuk tidak membunuh seseorang; kita harus waspada agar tidak memendam amarah yang mengarah pada hinaan dan rusaknya hubungan. Kita mungkin merasa marah, tetapi cara yang tepat untuk menangani amarah adalah berusaha menyelesaikan konflik (Mat. 18:15-19), bukan mendorong orang tersebut menjauh dengan hinaan atau fitnah. Yesus jelas mengatakan bahwa hubungan yang benar antara Anda dan saudara-saudari Anda sangat penting sehingga Anda harus meninggalkan praktik keagamaan sampai Anda menyelesaikan masalah di antara Anda berdua.
Di tempat kerja, amarah dapat digunakan untuk memanipulasi orang lain. Atau amarah mungkin membuat Anda kewalahan karena merasa diperlakukan tidak adil. Atasi masalahnya: ambil langkah pertama menuju rekonsiliasi, meskipun itu mungkin menempatkan Anda pada posisi harus merendahkan hati. Terlibat dalam penyelesaian konflik yang adil dan terbuka adalah cara kerajaan baru. Sekali lagi, berbahagialah orang yang membawa damai.
Kekayaan dan Pemeliharaan (Matius 6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus sering berbicara tentang kekayaan. Kekayaan dan pemeliharaan bukanlah pekerjaan, tetapi seringkali merupakan hasil kerja, pekerjaan kita sendiri atau pekerjaan orang lain. Prinsip utama ekonomi adalah bahwa tujuan kerja adalah untuk meningkatkan kekayaan, menjadikannya topik yang berhubungan dengan kerja. Inilah ajaran Yesus tentang kekayaan dan pemeliharaan sehari-hari seperti yang muncul dalam Khotbah di Bukit.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Matius 6:11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTepat sebelum permohonan akan makanan setiap hari ini dalam Doa Bapa Kami, kita membaca, "Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga" (Mat. 6:10). Dalam kerajaan Allah, menerima makanan kita setiap hari adalah suatu kepastian, tetapi dalam dunia kita yang rusak oleh dosa, ketahanan hidup sehari-hari layak dipertanyakan. Meskipun Allah telah memberikan kepada umat manusia segala yang kita butuhkan untuk menghasilkan makanan yang cukup untuk memberi makan semua orang di bumi, kelaparan di dunia ini belum kita akhiri. Maka kata pertama Yesus tentang kekayaan atau pemeliharaan hidup sehari-hari adalah permohonan ini, "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." Kita berpaling kepada Allah untuk mendapatkan makanan yang kita butuhkan.
Tetapi perhatikan bahwa permohonan itu jamak: Berikanlah KAMI pada hari ini makanan KAMI yang secukupnya. Kita tidak hanya berdoa untuk makanan kita sendiri, tetapi juga makanan bagi mereka yang tidak memilikinya. Saat orang yang ingin mempertahankan hubungan yang benar dengan orang lain, kita mempertimbangkan kebutuhan makanan orang lain: kita membagikan apa yang kita miliki dengan mereka yang membutuhkan. Jika setiap orang, bisnis, lembaga, dan pemerintah bekerja sesuai dengan tujuan dan prinsip kerajaan Allah, tidak seorang pun akan kelaparan.
Simpanlah Hartamu di Surga, Bukan di Bumi (Matius 6:19-34)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita bukan hanya meminta kepada Allah untuk kebutuhan kita sehari-hari, tetapi kita juga diperingatkan untuk tidak menimbun kekayaan materi dan harta lainnya di bumi:
Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya; tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga, di surga ngengat atau karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. (Mat. 6:19-21)
"Harta di surga" bukanlah referensi yang tidak jelas tentang gagasan-gagasan baik di hati Allah atau kata-kata hampa semacam itu. Kerajaan Allah pada akhirnya akan memerintah di bumi. “Harta di surga” adalah hal-hal yang berharga dalam kerajaan Allah yang akan datang, seperti keadilan, kesempatan bagi setiap orang untuk menjadi produktif, penyediaan kebutuhan setiap orang, dan penghormatan terhadap martabat setiap orang. Implikasinya adalah lebih baik kita menginvestasikan uang kita dalam aktivitas-aktivitas yang mengubahkan dunia, daripada dalam sekuritas yang melindungi akumulasi surplus kita.
Lalu, apakah salah memiliki portofolio pensiun atau bahkan peduli terhadap hal-hal materi dunia ini untuk diri kita sendiri atau orang lain? Jawabannya sekali lagi tidak dan ya. Kata tidak datang dari fakta bahwa perikop ini bukanlah satu-satunya perikop di dalam Alkitab yang berbicara tentang pertanyaan tentang kekayaan dan pemeliharaan bagi mereka yang bergantung pada kita. Bagian lain memberi nasihat tentang kehati-hatian dan pemikiran ke depan, seperti, "siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya" (Amsal 13:11b), dan, "Orang baik meninggalkan warisan kepada anak cucunya" (Amsal 13:22). Allah membimbing Yusuf untuk menimbun makanan selama tujuh tahun sebelum kelaparan (Kejadian 41:25-36), dan Yesus berbicara dengan baik dalam Perumpamaan tentang Talenta (Mat. 25:14-30, yang akan dibahas nanti) tentang menginvestasikan uang. Dengan mengingat bagian-bagian Kitab Suci lainnya, Matius 6:19-34 tidak bisa menjadi larangan menyeluruh.
Tetapi bagian jawaban ya adalah peringatan, yang diringkas dengan indah pada ayat 21, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Kita mungkin berharap kalimat ini berbunyi sebaliknya, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada.” Tetapi kata-kata Yesus yang sebenarnya lebih dalam. Uang mengubah hati lebih dari hati memutuskan bagaimana menangani uang. Maksud Yesus bukanlah “Anda cenderung menggunakan uang Anda untuk hal-hal yang penting bagi Anda,” tetapi, “harta yang Anda miliki akan mengubah Anda sehingga Anda lebih memedulikannya daripada hal-hal lain.” Pilih dengan hati-hati apa yang Anda miliki, karena Anda pasti akan mulai menghargai dan melindunginya, hingga berpotensi merusak segalanya.
Kita dapat menyebutnya “Prinsip Harta Karun,” yaitu, bahwa harta itu mengubahkan. Mereka yang menginvestasikan harta terdalam mereka pada hal-hal dunia ini akan mendapati bahwa mereka tidak lagi melayani Allah tetapi uang (Mat. 6:24). Hal itu dapat menimbulkan kecemasan karena ketidakpastian akan uang (Mat. 6:25-34). Apakah nilai uang akan tergerus oleh inflasi? Akankah pasar saham ambruk? Apakah obligasi akan gagal bayar? Apakah bank akan gagal bayar? Bisakah saya yakin bahwa apa yang telah saya simpan akan cukup untuk mengatasi apa pun yang mungkin terjadi?
Penawarnya adalah berinvestasi dengan cara yang memenuhi kebutuhan sejati orang. Sebuah perusahaan yang menyediakan air bersih atau pakaian yang dibuat dengan baik mungkin berinvestasi dalam kerajaan Allah, sedangkan investasi yang bergantung pada subsidi bermotivasi politik, pasar perumahan yang terlalu panas, atau kelangkaan barang mungkin tidak. Perikop dalam Matius 6 ini bukanlah aturan untuk manajemen portofolio, tetapi perikop ini memberi tahu kita bahwa komitmen kita terhadap cara-cara dan sarana kerajaan Allah mencakup cara kita mengelola kekayaan yang kita miliki.
Maka, pertanyaannya adalah perhatian seperti apa yang harus Anda berikan kepada kebutuhan materi dan akumulasi sumber daya. Jika Anda memperhatikan dengan cemas, Anda bodoh. Jika Anda membiarkan mereka menggantikan rasa percaya Anda kepada Allah, Anda menjadi tidak setia. Jika Anda memberi perhatian berlebihan kepada mereka, Anda akan menjadi serakah. Jika Anda memperolehnya dengan mengorbankan orang lain, Anda menjadi semacam penindas yang bertentangan dengan kerajaan Allah.
Bagaimana kita bisa membedakan batas antara perhatian yang pantas dan tidak pantas akan kekayaan? Yesus menjawab, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33). Yang utama terlebih dahulu. Terlepas dari kemampuan kita yang besar untuk menipu diri sendiri, pertanyaan ini dapat membantu kita mengamati dengan cermat di mana harta kita telah menempatkan kita. Itu akan memberi tahu kita sesuatu tentang hati kita.
"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matius 7:1-5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus memanggil kita kepada realisme tentang diri kita sendiri yang akan mencegah kita untuk mengkritik atau menilai orang lain:
"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu" (Matius 7:1-5)
Hal ini tampaknya menimbulkan masalah di tempat kerja. Kesuksesan pekerjaan seringkali bergantung pada penilaian terhadap karakter dan pekerjaan orang lain. Atasan harus menilai bawahannya, dan di beberapa organisasi, timbal balik. Kita harus sering memutuskan siapa yang harus dipercaya, siapa yang akan dipilih sebagai mitra, siapa yang akan dipekerjakan, organisasi mana yang akan diikuti. Tapi Mat. 7:5, dengan kata munafik dan nasihat, “Keluarkanlah dahulu balok dari matamu,” menunjukkan bahwa Yesus menentang penilaian yang salah atau tidak perlu, bukan menentang penilaian yang jujur. Masalahnya adalah kita terus-menerus membuat penilaian tanpa disadari. Gambaran mental yang kita buat tentang orang lain di tempat kerja kita lebih banyak terdiri dari persepsi kita yang bernuansa daripada dari kenyataan. Sebagian, ini karena kita melihat pada orang lain apapun yang membuat kita merasa lebih baik tentang diri kita sendiri. Sebagian, untuk membenarkan tindakan kita sendiri ketika kita tidak bertindak sebagai pelayan bagi orang lain. Sebagian karena kita kekurangan waktu atau keinginan untuk mengumpulkan informasi yang benar, yang jauh lebih sulit dilakukan daripada menyimpan kesan acak.
Mungkin mustahil untuk mengatasi kebiasaan akan penilaian yg keliru ini sendiri. Inilah sebabnya sistem penilaian berbasis fakta yang konsisten sangat penting di tempat kerja. Sistem penilaian kinerja yang baik mengharuskan manajer untuk mengumpulkan bukti kinerja yang nyata, mendiskusikan persepsi yang berbeda dengan karyawan, dan mengenali nuansa-nuansa pemikiran yang umum terjadi. Pada tingkat pribadi, di antara mereka yang bukan bos satu sama lain, kita dapat mencapai ketidakberpihakan yang sama dengan bertanya pada diri sendiri "Peran apa yang saya miliki dalam hal itu" ketika kita melihat diri kita membuat penilaian terhadap orang lain. “Bukti apa yang membawa saya ke kesimpulan itu? Bagaimana penilaian ini menguntungkan saya? Apa yang akan dikatakan orang itu sebagai tanggapan atas penilaian ini? Mungkin cara paling pasti untuk mengeluarkan balok dari mata kita sendiri adalah dengan membawa penilaian kita langsung ke orang itu dan meminta mereka untuk menanggapi persepsi kita. (Lihat bagian resolusi konflik dalam Matius 18:15-17 di bawah.)
Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka: Aturan Emas (Matius 7:12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12). Ini membawa kita kembali ke kesalehan sejati, perbaikan dan pemeliharaan hubungan yang benar di tempat kerja maupun di tempat lain. Jika kita hanya memiliki waktu untuk satu pertanyaan sebelum membuat keputusan mengambil tindakan, pertanyaan yang terbaik mungkin adalah, "Apakah ini yang saya inginkan dilakukan pada saya?"
Yesus Menyembuhkan Banyak Orang (Matius 8-9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam pasal 5 sampai 7, kita mendengar Yesus mengajar tentang kerajaan surga yang datang ke bumi. Dalam pasal 8 sampai 9, kita melihat Dia memberlakukan kerajaan itu melalui perbuatan belas kasihan dan kemurahan. Dia menyembuhkan penderita kusta yang diasingkan (Mat. 8:1-4), Dia berbelas kasih kepada seorang perwira pasukan pendudukan Romawi (Mat. 8:5-20), dan Dia membebaskan orang yang dirasuki roh jahat di tengah badai kesengsaraan yang sempurna (Mat. 8:28-9:1). Dalam semua kasus ini, belas kasihan Yesus menuntun-Nya untuk mengambil kembali ciptaan Allah. Belas kasihan para pengikut-Nya dapat diungkapkan dengan cara yang sama praktisnya.
Saat Yesus mendemonstrasikan kedatangan kerajaan, Dia menyebut mereka yang mengikuti-Nya "pekerja" (Mat. 9:37-38). Beberapa dari kita dituntun untuk bekerja dalam penyembuhan fisik dan emosional, serupa dengan pekerjaan Yesus dalam pasal-pasal ini. Yang lain dituntun untuk bekerja dalam pekerjaan yang menyediakan makanan, air, tempat berlindung, transportasi, pendidikan, perawatan kesehatan, keadilan, keamanan, atau pemerintahan yang baik, serupa dengan pekerjaan Yesus menyediakan barang-barang kayu sampai usia-Nya sekitar tiga puluh tahun. Mengingat waktu yang dihabiskan Yesus untuk menyembuhkan orang, mengherankan bahwa kebanyakan orang menganggap Dia sebagai seorang pengkhotbah daripada sebagai seorang dokter. Yang lain lagi dituntun untuk mengekspresikan kreativitas mereka dalam seni, kewirausahaan, desain, fashion, penelitian dan pengembangan, dibuat karena kita ada menurut gambar dan rupa Allah yang kreatif (Kejadian 1). Poinnya adalah bagi Yesus tidak ada pemisahan antara yang sekuler dan yang sakral, antara aspek rohani dan jasmani untuk mewartakan Kerajaan Allah.
Pekerja Patut Mendapatkan Upahnya (Matius 10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam pasal 10, Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mewartakan kerajaan yang akan datang dan mendemonstrasikannya melalui tindakan kemurahan dan belas kasihan yang penuh kuasa. Dia memerintahkan mereka untuk tidak mengupayakan kebutuhan mereka (Mat. 10:9-10), melainkan bergantung pada kemurahan hati orang lain. Dia menyatakan dengan jelas bahwa Injil tidak boleh menjadi masalah perdagangan, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat. 10:8).
Pelajaran di sini bagi kita adalah bahwa menghasilkan uang dan memikirkan tentang keuangan tidaklah buruk; sungguh, melalui jerih payah kitalah Allah memeliharakan kita, karena “seorang pekerja patut mendapat upahnya” (Mat. 10:10). Tetapi peringatannya adalah agar penghasilan kita tidak menjadi fokus utama kita di tempat kerja. Sebagai pekerja di bawah Tuhan dari kerajaan baru, fokus utama kita adalah pada nilai pekerjaan, bukan pada gaji. Instruksi Yesus di sini dimaksudkan untuk menempatkan Allah di tempat terdepan hati kita (berdasarkan. Yakobus 4:13-16). Apa pun tanda tangan di bagian bawah gaji kita, Allah lah yang terutama ada di balik semuanya.
Kuk yang Kupasang Itu Enak (Matius 11:28-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaat kita menelusuri Injil Matius, kita melihat bahwa penentangan terhadap Yesus—pesan dan tindakan-Nya—semakin meningkat. Puncaknya ada dalam Matius 12:14 dengan keputusan para pemimpin agama untuk menghentikan-Nya, bahkan jika itu berarti membunuh-Nya. Ini memberi pertanda dan menggerakkan akhir yang ditunjukkan oleh seluruh narasi: penyaliban Yesus di Yerusalem. Mengetahui apa yang ada di depan-Nya, Yesus tetap memberi tahu para pengikut-Nya,
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan. (Matius 11:28-30)
Jika kita melakukan pekerjaan kita dalam kuk bersama-Nya, kita akan menemukan kepuasan dan mengalami hubungan yang baik dengan Allah dan manusia.[1] Ketika Allah memberikan pekerjaan kepada Adam di Taman Eden, pekerjaan itu mudah dan bebannya ringan di bawah kekuasaan Tuhan. Ketika pasangan manusia memberontak melawan Pencipta mereka, sifat kerja berubah menjadi kerja keras melawan onak dan duri (Kejadian 3). Yesus mengundang kita untuk bekerja dalam kuk yang diberikan-Nya dengan menjanjikan istirahat bagi jiwa kita. (Untuk informasi lebih lanjut tentang bekerja dalam kuk dengan Kristus, lihat "2 Corinthians 6:14-18" in 2 Korintus dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.)
Bekerja Pada Hari Sabat (Matius 12:1-8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu bidang konflik utama antara Yesus dan lawan-lawan-Nya adalah dalam pelaksanaan Sabat. Dalam perikop ini, Yesus dikritik oleh para pemimpin agama karena membiarkan para pengikut-Nya memetik dan memakan biji-bijian pada hari Sabat. Orang Farisi menganggap ini sebagai pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Yesus mengabaikan interpretasi dan motivasi mereka. Dia berpendapat bahwa memetik biji-bijian yang cukup untuk memuaskan rasa lapar tidak melanggar Sabat, karena baik Raja Daud maupun para imam di bait suci melakukannya tanpa menimbulkan teguran Allah (Mat. 12:3-5). Selain itu, kepatuhan yang benar terhadap Hukum Musa harus dimotivasi oleh belas kasihan dan kemurahan (Mat. 12:6). Kasih kemurahan Allah (mengizinkan orang yang lapar memetik biji-bijian untuk dimakan) lebih tinggi daripada keinginan Allah akan korban (mengikuti peraturan Sabat), seperti yang telah diungkapkan dalam Mikha 6:6-8. Karunia satu hari istirahat setiap minggunya merupakan suatu janji dari Allah bahwa kita tidak perlu bekerja tanpa henti hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu bukanlah pertimbangan yang bertentangan dengan menghilangkan rasa lapar atau kebutuhan seseorang pada hari Sabat.
Hubungan antara Sabat Yahudi dan ibadah Kristen pada hari Minggu, dan penerapan hukum Sabat Yahudi dalam kehidupan Kristen dibahas secara lebih mendalam di bagian-bagian tentang "Mark 1:21-45" dan "Mark 2:23-3:6" dalam Markus dan Kerja, dalam bagian-bagian tentang "Luke 6:1-11; 3:10-17" dalam Lukas dan Kerja, dan dalam artikel Istirahat dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.
Perumpamaan-perumpamaan Tentang Kerajaan (Matius 13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMulai dari pasal 13, saat menghadapi oposisi, gaya mengajar Yesus berubah. Ketimbang mewartakan kerajaan secara jelas, Dia mulai berbicara dengan perumpamaan-perumpamaan yang bermakna bagi orang percaya tetapi tidak dapat dipahami oleh orang yang tidak percaya. Sebagian besar cerita-cerita singkat ini adalah tentang para pekerja: seorang penabur menanami ladang (Mat. 13:3-9); seorang wanita menguleni ragi menjadi roti (Mat. 13:33); seorang pemburu harta karun (Mat. 13:44); seorang pedagang mutiara (Mat. 13:45-46); beberapa nelayan (Mat. 13:47-50); dan seorang perumah tangga (Mat. 13:52). Pada sebagian besarnya, perumpamaan-perumpamaan ini bukanlah cerita tentang karya yang mereka gambarkan. Yesus tidak memberi tahu kita cara menabur ladang dengan benar, cara memanggang roti, atau cara berinvestasi dalam komoditas. Sebaliknya, Yesus menggunakan benda-benda materi dan tenaga manusia sebagai elemen cerita yang memberi kita wawasan tentang kerajaan Allah. Kerja kita mampu memberi makna, bahkan dalam mengilustrasikan realitas kekal. Ini mengingatkan kita bahwa kita dan dunia di sekitar kita berasal dari ciptaan Allah dan tetap menjadi bagian dari kerajaan Allah.
Membayar Pajak (Matius 17:24-27 dan 22:15-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada zaman Yesus, orang Yahudi membayar pajak baik secara lokal ke bait Yahudi maupun kepada pemerintah kafir di Roma. Matius mencatat dua kejadian terpisah yang menggambarkan pandangan Yesus tentang pembayaran pajak ini. Kejadian pertama dicatat dalam Matius 17:24-27, di mana para pemungut pajak bait suci bertanya kepada Petrus apakah Yesus membayar pajak itu. Yesus, mengetahui percakapan ini, bertanya kepada Petrus, “Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” Peter menjawab, "Dari orang asing" Yesus menjawab, “Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga”
Insiden kedua, mengenai pajak Romawi, terdapat dalam Matius 22:15-22. Di sini orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak” Yesus mengetahui kebencian di dalam hati mereka dan menjawab dengan pertanyaan tajam, “"Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu” Ketika mereka memberinya satu dinar, Dia bertanya, " Gambar dan tulisan siapakah ini?" Mereka menjawab, "Kaisar." Yesus mengakhiri percakapan dengan kata-kata, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Kewarganegaraan sejati kita ada di kerajaan Allah, dan kita mengabdikan sumber daya kita untuk tujuan dan maksud Allah. Tapi kita memberikan kepada kuasa-kuasa duniawi apa yang menjadi hak mereka. Membayar pajak adalah salah satu kewajiban mendasar yang kita lakukan sebagai warga negara atau penduduk atas layanan yang kita nikmati dalam masyarakat beradab mana pun. Layanan tersebut meliputi pekerjaan responden pertama (polisi, pemadam kebakaran, tenaga medis, dan sebagainya), serta jaringan sosial yang ada untuk menjamin keadilan atau bantuan bagi orang miskin, lanjut usia, dan orang lain yang membutuhkan. Kekaisaran Romawi tidak dijalankan terutama untuk kepentingan rakyat biasa, namun demikian kekaisaran ini menyediakan jalanan, air, kebijakan, dan terkadang bantuan bagi orang miskin. Kita mungkin tidak selalu menyetujui jenis atau tingkat layanan yang harus disediakan oleh pemerintah kita, tetapi kita tahu bahwa pajak kita sangat penting dalam menyediakan perlindungan pribadi kita dan untuk membantu mereka yang tidak dapat menolong diri mereka sendiri.
Meskipun tidak semua aktivitas pemerintah sesuai dengan tujuan Allah, Yesus tidak memanggil kita untuk mencemooh kewajiban pajak negara tempat kita tinggal (Roma 13:1-10; 1 Tesalonika 4:11-12). Pada intinya, Yesus mengatakan bahwa kita tidak harus menolak membayar pajak sebagai masalah prinsip. Jika memungkinkan, kita harus “hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18; Ibrani 12:14; bdsk. 1 Petrus 2:12), sambil juga hidup sebagai terang yang bersinar dalam kegelapan (Matius 5:13-16; Filipi 2 :15). Melakukan pekerjaan kita dan menolak membayar pajak dengan cara yang mencemarkan kerajaan Allah tidak akan membawa damai atau menyenangkan.
Ini memiliki aplikasi langsung untuk kerja. Tempat kerja tunduk pada undang-undang dan kekuasaan pemerintah, selain pajak. Beberapa pemerintahan memiliki hukum dan praktik yang mungkin melanggar tujuan dan etika Kristen, seperti yang terjadi di Roma pada abad pertama. Pemerintah atau pegawainya dapat meminta suap, memberlakukan aturan dan peraturan yang tidak etis, membuat orang menderita dan tidak adil, dan menggunakan pajak untuk tujuan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Seperti halnya dengan pajak, Yesus tidak menuntut agar kita menolak setiap pelanggaran ini. Kita bagaikan mata-mata atau gerilyawan di wilayah musuh. Kita tidak boleh terjebak memerangi musuh kerajaan di setiap kubu. Sebaliknya, kita harus bertindak secara strategis, selalu menanyakan apa yang bisa paling berguna dalam memajukan berdirinya kerajaan Allah di bumi. Tentu saja, kita tidak boleh terlibat dalam praktik yang salah demi keuntungan kita sendiri. (Topik ini juga dibahas dalam "Luke 19:1-10; 20:20-26" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.)
Hidup di Kerajaan Baru (Matius 18-25)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam Injil Matius pasal 18 sampai 25, Yesus memberikan gambaran konkret tentang seperti apa kehidupan dalam kerajaan Allah. Dalam banyak kasus, gambaran-gambaran ini berlaku khususnya untuk pekerjaan.
Resolusi Konflik (Matius 18:15-35)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSemua tempat kerja mengalami konflik. Dalam perikop ini, Yesus memberi kita pola untuk berurusan dengan seseorang yang telah berbuat salah kepada kita. Dia tidak mengatakan, “Balas dendam!” atau "Serang balik!" Sebaliknya, Dia menjabarkan proses yang dimulai dengan mencari rekonsiliasi satu lawan satu. Ucapan bahagia tentang kelemahlembutan (Mat 5:5) berarti mengesampingkan pembenaran diri Anda cukup lama untuk mengekspresikan diri Anda dengan penuh hormat dan faktual kepada orang yang telah menyakiti Anda, dan membuka diri Anda terhadap perspektif mereka (Mat. 18:15). Ini tidak berarti menyerah pada pelecehan lebih lanjut, tetapi membuka diri terhadap kemungkinan bahwa persepsi Anda tidak universal. Tapi bagaimana jika itu tidak menyelesaikan konflik? Langkah mundur kedua adalah meminta orang yang mengenal kalian berdua untuk menemani Anda saat Anda membahas masalah itu lagi dengan orang yang menyebabkan rasa sakit atau cedera. Jika konflik masih belum terselesaikan, bawa masalah ini ke pimpinan (gereja, dalam Matius 18:16, yang menangani konflik gereja secara khusus) untuk mendapatkan penilaian yang tidak memihak. Jika penghakiman itu tidak menyelesaikan masalah, pelanggar yang gagal mematuhi penghakiman itu dikeluarkan dari komunitas (Mat. 18:17).
Meskipun Yesus sedang berbicara tentang konflik dengan “anggota gereja yang lain” (Mat. 18:15), metode-Nya merupakan pendahulu yang luar biasa untuk apa yang sekarang diakui sebagai praktik terbaik di tempat kerja. Bahkan di tempat kerja terbaik, konflik muncul. Ketika hal itu terjadi, satu-satunya resolusi efektif bagi mereka yang berkonflik adalah berkomunikasi satu sama lain secara langsung, bukan mengeluh kepada orang lain. Daripada mempertontonkan konflik pribadi di depan suatu audiensi, berbicaralah dengan orang tersebut secara pribadi. Di era komunikasi elektronik, pendekatan Yesus menjadi lebih penting dari sebelumnya. Yang diperlukan hanyalah satu atau dua nama di baris "cc:" atau menekan tombol "balas semua" untuk mengubah ketidaksepakatan sederhana menjadi perseteruan se-kantor. Meskipun dua orang dapat menyimpan rangkaian email untuk diri mereka sendiri, kemungkinan kesalahpahaman berlipat ganda ketika media impersonal seperti email digunakan. Mungkin paling baik menjalankan nasihat Yesus secara harafiah, “Tegorlah dia di bawah empat mata.” (Mat. 18:15).
Menunjukkan kesalahan adalah jalan dua arah. Kita harus terbuka untuk mendengar kesalahan yang ditunjukkan kepada kita juga. Mendengarkan—Yesus menyebutkan mendengarkan tiga kali dalam tiga ayat ini—adalah elemen yang sangat penting. Model penyelesaian konflik kontemporer biasanya berfokus untuk membuat semua pihak saling mendengarkan satu sama lain, bahkan sambil mempertahankan pilihan untuk tidak setuju. Seringkali, mendengarkan dengan penuh perhatian menyebabkan ditemukannya penemuan resolusi yang dapat diterima bersama. Jika tidak, maka orang lain dengan keterampilan dan otoritas yang sesuai diminta untuk terlibat.
Orang Muda yang Kaya (Matius 19:16-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMasalah uang, yang sebelumnya dibahas dalam Matius 6, muncul kembali dengan kisah orang muda kaya yang tertarik kepada Yesus. Orang muda itu bertanya kepada Yesus, “Perbuatan baik apa yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus memberi tahunya untuk mematuhi sepuluh perintah Allah, dan ia menjawab bahwa ia telah melakukannya sejak masa mudanya. Unsur yang khas dalam narasi Matius adalah bahwa pemuda itu kemudian bertanya kepada Yesus, “Apa lagi yang masih kurang?” Dia menunjukkan wawasan yang luar biasa dalam mengajukan pertanyaan ini. Kita dapat melakukan segala sesuatu yang tampak benar tetapi tetap mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam. Yesus menjawab, “Juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat. 19:21).
Kita tahu dari keempat Injil bahwa Yesus tidak memanggil semua pendengar-Nya untuk memberikan semua harta mereka. Tidak semua orang terbebani oleh harta benda mereka seperti orang muda ini. Dalam kasusnya, tantangannya sangat radikal karena keterikatannya yang kuat pada kekayaan (Mat. 19:22). Allah mengetahui dengan tepat apa yang ada dalam hati kita dan apa yang dibutuhkan sewaktu kita melayani Dia.
Apakah harta kita dalam pekerjaan kita, pekerjaan kita, kinerja dan keterampilan kita, dana pensiun kita? Ini adalah hal-hal yang baik (pemberian dari Allah) sebagai gantinya. Tetapi semua itu sekunder sifatnya dibandingkan mencari terlebih dahulu Kerajaan Allah (Mat. 6:33) dan hubungan yang benar (benar) Bersama Allah dan sesama. Kita memegang kekayaan kita dan pekerjaan kita di telapak tangan yang terbuka, agar tidak seperti orang muda kaya itu, kita akhirnya berpaling dari Allah dengan sedih. (Kisah ini dibahas secara lebih mendalam dalam entri untuk Markus 10:17-31 dan Lukas 18:18-30 di https://www.teologikerja.org/.)
Pekerja-pekerja di Kebun Anggur (Matius 20:1-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan ini unik, hanya ada di Injil Matius. Pemilik kebun anggur mempekerjakan pekerja harian di berbagai waktu sepanjang hari. Mereka yang dipekerjakan pada pukul enam pagi bekerja seharian penuh. Mereka yang dipekerjakan pada pukul lima hanya bekerja satu jam. Tetapi pemilik membayar setiap orang upah sehari penuh (satu dinar). Dia berusaha keras memastikan agar semua orang tahu bahwa semua dibayar sama terlepas dari jumlah jam kerja yang berbeda. Tidak mengherankan, mereka yang dipekerjakan pertama mengeluh bahwa mereka bekerja lebih lama tetapi tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada mereka yang mulai bekerja di siang hari. “Tetapi pemiliknya menjawab salah satu dari mereka, Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?... Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?’ Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir” (Mat. 20:13, 15-16).
Tidak seperti perumpamaan tentang penabur (Mat. 13:3-9; 18-23), Yesus tidak memberikan penafsiran yang eksplisit. Akibatnya, para cendekiawan menawarkan banyak interpretasi. Karena orang-orang dalam cerita tersebut adalah buruh dan manajer, beberapa menganggap ini tentang pekerjaan. Dalam hal ini, sepertinya dikatakan, "Jangan bandingkan gaji Anda dengan orang lain" atau "Jangan kecewa jika orang lain dibayar lebih tinggi atau bekerja lebih sedikit daripada yang Anda lakukan dalam pekerjaan serupa." Dapat dikatakan bahwa ini adalah praktik yang baik untuk pekerja. Jika Anda mendapat upah yang layak, mengapa menyengsarakan diri karena orang lain gajinya lebih baik? Tetapi interpretasi perumpamaan ini juga dapat digunakan untuk membenarkan praktik perburuhan yang tidak adil atau merugikan. Beberapa pekerja mungkin menerima upah lebih rendah karena alasan yang tidak adil, seperti ras atau jenis kelamin atau status imigran. Apakah maksud Yesus kita harus puas ketika kita atau pekerja lain diperlakukan tidak adil?
Selain itu, membayar orang dengan jumlah yang sama terlepas dari berapa banyak pekerjaan yang mereka lakukan adalah praktik bisnis yang patut dipertanyakan. Bukankah itu akan memberikan insentif yang kuat kepada semua pekerja untuk datang jam lima sore keesokan harinya? Dan bagaimana dengan membuat penggajian semua orang diketahui secara publik? Itu memang mengurangi ruang lingkup intrik. Tetapi apakah merupakan ide yang baik untuk memaksa mereka yang bekerja lebih lama untuk menonton sementara mereka yang bekerja hanya satu jam dibayar dengan upah yang sama? Tampaknya disengaja untuk menyebabkan perselisihan perburuhan. Pembayaran untuk kinerja yang buruk, jika mengartikan perumpamaannya secara harfiah, tampaknya bukan resep untuk kesuksesan bisnis. Benarkah Yesus mendukung praktik pembayaran ini?
Mungkin perumpamaan itu sebenarnya bukan tentang kerja. Konteksnya adalah bahwa Yesus memberikan contoh yang mengejutkan tentang mereka yang termasuk dalam kerajaan Allah: misalnya, anak-anak (Mat. 19:14) yang secara hukum bahkan tidak memiliki diri mereka sendiri. Dia menyatakan dengan jelas bahwa kerajaan itu bukan milik orang kaya, atau setidaknya bukan milik banyak dari mereka (Mat. 19:23-26). Kerajaan itu milik mereka yang mengikuti-Nya, khususnya jika mereka menderita kerugian. “Banyak yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Mat. 19:30). Perumpamaan ini segera diikuti oleh kalimat penutup lainnya dengan kata-kata yang sama, “Yang pertama akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang pertama” (Mat. 20:16). Ini menunjukkan bahwa cerita tersebut merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang mereka yang memiliki kerajaan. Masuk ke dalam kerajaan Allah tidak diperoleh dengan pekerjaan atau tindakan kita, tetapi dengan kemurahan hati Allah.
Begitu kita memahami perumpamaan tentang kemurahan hati Tuhan dalam kerajaan surga, kita mungkin masih bertanya bagaimana penerapannya dalam pekerjaan. Jika Anda dibayar dengan adil, nasihat tentang berpuas diri dengan gaji Anda mungkin berlaku. Jika pekerja lain menerima keuntungan yang tidak terduga, bukankah lebih baik bersukacita, daripada menggerutu?
Tetapi ada juga aplikasi yang lebih luas. Pemilik dalam perumpamaan membayar semua pekerja cukup untuk menghidupi keluarga mereka.[1] Situasi sosial pada zaman Yesus adalah bahwa banyak petani kecil dipaksa keluar dari tanah mereka karena hutang yang mereka terpaksa lakukan untuk membayar pajak Romawi. Hal ini melanggar perintah Allah Israel bahwa tanah tidak dapat diambil dari orang yang mengerjakannya (Imamat 25:8-13), tetapi tentu saja hal ini tidak menjadi perhatian orang Romawi. Akibatnya, sejumlah besar pria pengangguran berkumpul setiap pagi, berharap untuk dipekerjakan pada hari itu. Mereka adalah para pekerja yang terlantar, menganggur, dan setengah menganggur pada zaman mereka. Mereka yang masih menunggu pada pukul lima memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan cukup uang untuk membeli makanan bagi keluarga mereka hari itu. Namun pemilik kebun anggur bahkan membayar mereka upah satu hari penuh.
Jika pemilik kebun anggur mewakili Tuhan, ini adalah pesan yang kuat bahwa di kerajaan Allah, para pekerja yang terlantar dan menganggur menemukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan mereka dan kebutuhan orang-orang yang bergantung padanya. Kita telah melihat Yesus mengatakan bahwa, “pekerja layak mendapatkan makanannya” (Mat. 10:10). Ini tidak berarti bahwa majikan duniawi memiliki tanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan karyawannya. Majikan duniawi bukanlah Allah. Sebaliknya, perumpamaan itu adalah sebuah pesan pengharapan bagi setiap orang yang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Di kerajaan Allah, kita semua akan menemukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan kita. Perumpamaan itu juga menjadi tantangan bagi mereka yang memiliki andil dalam membentuk struktur kerja di masyarakat saat ini. Bisakah orang Kristen melakukan sesuatu untuk memajukan aspek kerajaan Allah ini sekarang?
Kepemimpinan yang Melayani (Matius 20:20-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTerlepas dari perumpamaan tentang kasih karunia dan kemurahan hati Allah ini, meskipun mendengar Yesus mengatakan dua kali bahwa yang pertama akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang pertama, murid-murid Yesus masih belum memahaminya. Ibu dari Yakobus dan Yohanes meminta Yesus untuk memberikan kedua putranya tempat yang paling menonjol dalam kerajaan-Nya yang akan datang. Kedua pria itu berdiri di sana dan Yesus berpaling kepada mereka dan bertanya, "Dapatkah kamu meminum cawan yang akan Kuminum?" Mereka menjawab, “Kami mampu.” Ketika sepuluh murid lainnya mendengar hal ini, mereka marah. Yesus mengambil kesempatan ini untuk menantang gagasan mereka tentang keunggulan.
Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:25-28)
Kepemimpinan sejati ditemukan dalam melayani orang lain. Tampilannya akan bervariasi sesuai dengan tempat kerja dan situasi. Ini tidak berarti bahwa seorang CEO harus mengambil giliran bulanan untuk menyapu lantai atau membersihkan toilet, atau bahwa setiap pekerja dapat menggunakan alasan membantu orang lain sebagai alasan untuk tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Hal ini berarti kita melakukan semua pekerjaan kita dengan tujuan melayani pelanggan, rekan kerja, pemegang saham, dan orang lain yang terpengaruh oleh pekerjaan kita. Max De Pree adalah CEO Herman Miller yang sudah lama menjabat dan anggota Fortune Hall of Fame. Dia menulis dalam bukunya Leadership Is an Art, “Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Di antara keduanya, pemimpin harus menjadi hamba dan debitur. Itu merangkum kemajuan seorang pemimpin yang berseni.”[1]
Hamba adalah orang yang mengetahui kemiskinan rohaninya (Mat. 5:3) dan menjalankan kuasa di bawah kendali Allah (Mat. 5:5) untuk mempertahankan hubungan yang benar. Pemimpin yang melayani meminta maaf atas kesalahan (Mat. 5:4), menunjukkan kemurahan ketika orang lain gagal (Mat. 5:7), berdamai jika memungkinkan (Mat. 5:9), dan menanggung kritik yang tidak pantas ketika mencoba untuk melayani Tuhan (Mat. 5:10) dengan integritas (Mat. 5:8). Yesus menetapkan pola dalam tindakan-Nya sendiri demi kita (Mat. 20:28). Kita menunjukkan diri kita sebagai pengikut Kristus dengan mengikuti teladan-Nya.
Perumpamaan Dua Anak Laki-laki (Matius 21: 28-32)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan tentang dua anak laki-laki (Mat. 21:28-32) adalah tentang dua bersaudara yang disuruh ayahnya untuk bekerja di kebun anggurnya. Yang satu memberi tahu ayahnya bahwa ia mau tetapi tidak melakukannya. Yang lainnya memberi tahu ayahnya bahwa ia tidak akan pergi tetapi akhirnya bekerja sepanjang hari di antara tanaman anggur. Yesus kemudian mengajukan pertanyaan, “Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawabannya jelas: yang benar-benar bekerja, meski awalnya menolak. Perumpamaan ini melanjutkan cerita sebelumnya dalam Matius tentang orang-orang yang sebenarnya adalah bagian dari kerajaan Allah. Yesus memberi tahu para pemimpin agama di antara para pemirsa-Nya bahwa “pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mat. 21:31).[1]
Orang-orang yang kelihatannya paling tidak relijius akan memasuki kerajaan Allah terlebih dahulu dari para pemimpin agama, karena pada akhirnya mereka melakukan kehendak Allah.
Dalam kerja, hal ini mengingatkan kita bahwa tindakan lebih berarti daripada kata-kata. Banyak organisasi memiliki pernyataan misi yang menyatakan bahwa tujuan utama mereka adalah layanan pelanggan, kualitas produk, integritas sipil, mengutamakan orang-orang mereka, dan sejenisnya. Namun banyak organisasi semacam itu memiliki layanan, kualitas, integritas, dan hubungan karyawan yang buruk. Banyak individu mungkin melakukan hal yang sama, meninggikan rencana mereka, namun gagal menerapkannya. Organisasi-organisasi dan individu-individu yang jatuh ke dalam perangkap ini mungkin memiliki niat baik, namun mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka gagal memenuhi retorika mereka. Tempat kerja membutuhkan sistem yang efektif untuk mengimplementasikan misi dan tujuan mereka, dan sistem pemantauan yang tidak memihak untuk memberikan umpan balik yang apa adanya.
Perumpamaan Penyewa Kebun Anggur (Matius 21:33-41)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan ini disampaikan tepat setelah perumpamaan tentang penyewa yang jahat (Mat. 21:33-41) terjadi di suatu tempat kerja, yaitu kebun anggur. Namun, Yesus menyatakan dengan jelas bahwa Dia tidak berbicara tentang pengelolaan kebun anggur, tetapi tentang penolakan terhadap-Nya sendiri dan pembunuhan yang akan terjadi atas hasutan otoritas agama Yahudi pada zaman-Nya (Mat. 21:45). Kunci untuk menerapkannya di tempat kerja saat ini adalah ayat 43, “Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.” Kita semua telah diberi tanggung jawab dalam pekerjaan kita. Jika kita menolak untuk melakukannya dalam ketaatan kepada Allah, kita bekerja bertentangan dengan kerajaan Allah. Dalam setiap pekerjaan, penilaian kinerja tertinggi kita berasal dari Allah.
Hukum Kasih Allah Adalah Suatu Kerangka yang Agung (Matius 22:34-40)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPara pemimpin Yahudi pada zaman Yesus sering memperdebatkan kepentingan relatif dari perintah Allah. Beberapa memegang pandangan bahwa memelihara hari Sabat adalah yang paling penting dari semua perintah. Yang lain menghargai sunat di atas segalanya. Yang lain lagi akan percaya, seperti yang dilakukan oleh banyak orang Yahudi modern saat ini, bahwa perintah yang paling penting ditemukan dalam Ulangan 6:5 “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
Jadi ketika seorang ahli hukum meminta Yesus untuk ikut menjawab pertanyaan, “Hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat” (Matius 22:36), ia mungkin meminta Yesus untuk memihak dalam perdebatan yang kontroversial.
Namun Yesus terjun ke wilayah wawasan baru dengan menjawab tidak hanya hukum mana yang terbesar, tetapi bagaimana orang bisa memenuhinya. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu,” kata Yesus, dan kemudian Dia menambahkan perintah kedua, dari Imamat 19:18 “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” yang digabungkan-Nya dengan perintah pertama dengan mengatakan “seperti itu.” (Lihat TOW Bible Commentary on Leviticus 19:17-18.) Melalui logika Yesus, mengasihi Allah terkait erat dengan mengasihi orang lain. Yohanes menggemakan pernyataan ini ketika ia berkata, "Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta." (1 Yohanes 4:20)
Bekerja adalah cara utama kita mencintai orang lain. Tempat kerja kita seringkali merupakan tempat di mana kita bertemu dengan orang-orang yang paling beragam, dan kedekatan mereka dengan kita hari demi hari memberi kita tantangan unik untuk mengasihi orang yang berbeda dari diri kita sendiri. Kita juga mengasihi orang lain melalui pekerjaan kita ketika pekerjaan kita memenuhi kebutuhan penting pelanggan atau pemangku kepentingan lainnya. Untuk contoh lebih lanjut, lihat “Pekerjaan Kita Memenuhi Perintah Agung” (Markus 12:28-34) dan “Orang Samaria yang Baik Hati dalam Bekerja--Mengasihi Sesama Seperti Diri Sendiri (Lukas 10:25-37).”
Tetapi Yesus tidak hanya memerintahkan kita untuk mengasihi orang lain tetapi mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Seperti apa ini terlihat di tempat kerja? Seperti seorang juru masak memeriksa ulang suhu internal hamburger setelah seseorang mengatakan "Apakah kelihatannya itu baik-baik saja untuk Anda?" karena itulah yang akan ia lakukan jika memasak hamburger untuk dirinya sendiri. Seperti petugas penjualan memanggil kolega yang lebih berpengalaman ketika pelanggan mengajukan pertanyaan yang ia tidak yakin ia tahu jawabannya—daripada memberikan jawaban yang menurutnya benar—karena ia menginginkan informasi itu sendiri sebelum membeli. Seperti seorang mekanik membongkar ulang reparasi rem yang baru saja ia selesaikan karena mendengar suara aneh dan itulah yang akan ia lakukan sebelum mengendarai mobilnya sendiri. Seperti seorang pengusaha bertanya kepada rekan-rekannya, "Mungkinkah kita tidak menganggapnya cukup serius karena ia seorang wanita?" karena mengetahui bahwa ia ingin seorang kolega membelanya ketika ia disalahpahami.
Ini adalah contoh-contoh kecil, namun masing-masing dari mereka mungkin memiliki resikonya — komisi yang hilang, satu jam waktu yang tidak dapat diuangkan, tidur malam yang singkat, akses ke lingkaran dalam kekuasaan. Semua kerja keras kita memiliki potensi untuk melayani, dan karenanya itu berarti mengasihi, sesama kita. Tetapi untuk mengasihi sesama, seperti diri sendiri, mungkin perlu mengambil risiko yang pasti akan kita ambil untuk mencapai tujuan kita sendiri, tetapi akan tampak besar jika dilakukan hanya untuk kepentingan orang lain. Ini benar-benar standar yang tinggi, dan mungkin itulah sebabnya Yesus menggabungkan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” dengan “kasihilah Tuhan” dalam Hukum Kasih.
Perumpamaan Hamba yang Setia (Matius 24:45-51)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan ini tentang seorang hamba yang ditugaskan untuk mengurus seluruh rumah tangga. Ini mencakup tanggung jawab untuk memberi hamba-hamba lain jatah makanan mereka pada waktu yang tepat. Yesus berkata, “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang” (Mat. 24:46). Hamba itu akan dipromosikan ke tanggung jawab tambahan. Di sisi lain, Yesus mengamati,
Tetapi jika hamba yang jahat itu berkata pada dirinya sendiri, " Tuanku tidak datang-datang," dan ia mulai memukuli sesama hamba, dan makan minum bersama para pemabuk, tuan dari hamba itu akan datang pada hari yang tidak terduga dan pada jam yang tidak diketahuinya. Ia akan memotong-motongnya dan menempatkannya bersama orang-orang munafik, di mana akan ada tangisan dan kertakan gigi. (Mat. 24:48-51)
Dalam konteks tempat kerja modern, hamba itu setara dengan seorang manajer yang memiliki kewajiban kepada pemilik sambil mengelola pekerja lain. Kepentingan pemilik terpenuhi hanya ketika kebutuhan pekerja terpenuhi. Manajer memiliki tanggung jawab kepada mereka yang berada di atas dan di bawah otoritasnya. Yesus berkata bahwa adalah tugas pemimpin yang melayani untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang berada di bawahnya maupun yang di atasnya. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena menganiaya orang-orang yang berada di bawah otoritasnya dengan mengklaim bahwa itu adalah untuk kepentingan atasannya. Ia menggambarkan kenyataan ini secara dramatis dalam hukuman yang dijatuhkan kepada pekerja yang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri (Mat. 24:48-51).
Perumpamaan Tentang Talenta (Matius 25:14-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu perumpamaan Yesus yang paling penting tentang kerja diatur dalam konteks investasi (Mat. 25:14-30). Seorang kaya mendelegasikan pengelolaan kekayaannya kepada hamba-hambanya, seperti yang dilakukan investor di pasar saat ini. Ia memberikan lima talenta (satuan uang yang besar)[1] kepada hamba pertama, dua talenta kepada hamba kedua, dan satu talenta kepada hamba ketiga. Dua dari pelayan mendapatkan pengembalian 100 persen dengan memperdagangkan dana tersebut, tetapi pelayan ketiga menyembunyikan uangnya di tanah dan tidak menghasilkan apa-apa. Orang kaya itu kembali, memberi penghargaan kepada dua orang yang menghasilkan uang, tetapi menghukum berat hamba yang tidak melakukan apa-apa.
Arti perumpamaan itu jauh melampaui investasi finansial. Allah telah memberi setiap orang beragam karunia, dan Dia mengharapkan kita menggunakan karunia itu untuk melayani-Nya. Tidak cukup hanya dengan meletakkan hadiah itu di rak lemari dan mengabaikannya. Seperti ketiga hamba itu, kita tidak memiliki karunia dengan derajat yang sama. Pengembalian yang Allah harapkan dari kita sepadan dengan karunia yang telah kita berikan. Hamba yang menerima satu talenta tidak dihukum karena gagal mencapai target lima talenta; ia dikutuk karena ia tidak melakukan apapun dengan apa yang diberikan kepadanya. Karunia yang kita terima dari Tuhan meliputi keterampilan, kemampuan, koneksi keluarga, posisi sosial, pendidikan, pengalaman, dan banyak lagi. Inti dari perumpamaan ini adalah bahwa kita harus menggunakan apa pun yang telah diberikan kepada kita untuk tujuan Allah. Konsekuensi parah bagi hamba yang tidak produktif, jauh melampaui apa pun yang dipicu oleh bisnis biasa-biasa saja, memberi tahu kita bahwa kita harus menginvestasikan hidup kita, bukan menyia-nyiakannya.
Namun bakat khusus yang diinvestasikan dalam perumpamaan itu adalah uang, sekitar satu juta dolar AS di dunia sekarang ini. Dalam bahasa Inggris modern, fakta ini dikaburkan karena kata bakat merujuk terutama pada keterampilan atau kemampuan. Tetapi perumpamaan ini menyangkut uang. Itu menggambarkan investasi, bukan penimbunan, sebagai hal yang saleh untuk dilakukan jika itu mencapai tujuan yang saleh dengan cara yang saleh. Pada akhirnya, sang majikan memuji kedua hamba yang dapat dipercaya itu dengan kata-kata, “Bagus sekali, hamba yang baik dan dapat dipercaya” (Matius 25:23). Dengan kata-kata ini, kita melihat bahwa sang master peduli pada hasil ("kerja bagus"), metode ("baik"), dan motivasi ("dapat dipercaya").
Lebih jelas lagi untuk tempat kerja, si majikan memuji penempatan modal berisiko untuk mendapatkan keuntungan. Kadang-kadang orang Kristen berbicara seolah-olah pertumbuhan, produktivitas, dan laba atas investasi tidak kudus bagi Allah. Tapi perumpamaan ini menjungkirbalikkan gagasan itu. Kita harus menginvestasikan keterampilan dan kemampuan kita, tetapi juga kekayaan kita dan sumber daya yang tersedia bagi kita di tempat kerja, semuanya untuk urusan kerajaan Allah. Ini mencakup produksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Relawan yang mengajar sekolah minggu memenuhi perumpamaan ini. Begitu pula wiraswastawan yang memulai bisnis baru dan memberikan pekerjaan kepada orang lain, administrator layanan kesehatan yang memulai kampanye kesadaran AIDS, dan operator mesin yang mengembangkan inovasi proses.
Allah tidak menganugerahi manusia dengan karunia yang identik atau harus sama. Dan Allah tidak mengharapkan hasil yang sama atau pasti sama dari pekerjaan setiap orang. Dalam perumpamaan itu, seorang hamba mengembalikan lima talenta, sementara yang lain menghasilkan dua talenta. Sang majikan memuji keduanya secara setara (Matius 25:23). Penting untuk diperhatikan bahwa kedua pelayan berinvestasi untuk keuntungan tuannya, dan mereka mengembalikan kepadanya bukan hanya investasi awal, tetapi juga apa yang mereka hasilkan atas namanya. Ketika kita mengatakan bahwa semua yang kita miliki adalah "anugerah" dari Allah, kita tidak bermaksud bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah milik kita, bukan milik Allah. Maksud kita adalah hak istimewa untuk dipercayakan dengan talenta, sumber daya, dan kesempatan untuk bekerja menuju tujuan Allah di dunia. Implikasi dari perumpamaan ini adalah bahwa jika kita melakukannya, kita mengambil tempat kita di antara semua hamba Allah yang setia dan dapat dipercaya, tidak peduli seberapa besar atau kecil pencapaian kita.
Untuk diskusi tentang perumpamaan yang sangat mirip tentang sepuluh mina, lihat "Lukas 19:11-27" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.
Untuk membaca lebih lanjut tentang hadiah dan panggilan, lihat Calling and Vocation Overview kami. Untuk membaca lebih lanjut tentang menggunakan karunia kita dalam komunitas, lihat "Gifted Community (1 Korintus 12:1-14:40)."
Domba dan Kambing (Matius 25:31-46)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPengajaran terakhir Yesus di bagian ini membahas bagaimana kita memperlakukan mereka yang membutuhkan. Dalam kisah ini, ketika Yesus kembali dalam kemuliaan-Nya, Dia akan duduk di atas takhta-Nya dan memisahkan orang-orang “seperti gembala memisahkan domba dari kambing” (Mat. 25:32). Pemisahannya tergantung pada bagaimana kita memperlakukan orang yang membutuhkan. Kepada domba Dia berkata,
Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Mat. 25:34-36)
Ini semua adalah orang-orang yang membutuhkan, yang dilayani oleh para domba, karena Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25:40). Kepada kambing, Dia berkata,
Enyahlah dari hadapan-Ku, … Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku … Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (Matius 25: 41-43, 45)
Secara individu dan kelompok, kita dipanggil untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kita "terbungkus dalam bungkusan tempat orang-orang hidup pada TUHAN, Allahmu," (1 Samuel 25:29), dan kita tidak dapat mengabaikan penderitaan manusia yang menderita kelaparan, kehausan, ketelanjangan, tunawisma, penyakit, atau dipenjarakan. Kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri dan kebutuhan mereka yang bergantung pada kita; tetapi kita juga bekerja agar memiliki sesuatu untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan (Ibrani 13:1-3). Kita bergandeng tangan dengan orang lain untuk menemukan cara-cara mendampingi mereka yang kekurangan kebutuhan dasar hidup yang mungkin kita anggap biasa. Jika kata-kata Yesus dalam perikop ini ditanggapi dengan serius, mungkin lebih banyak yang bergantung pada amal kita daripada yang kita sadari.
Yesus tidak mengatakan dengan tepat bagaimana domba melayani orang yang membutuhkan. Bisa jadi melalui persembahan dan pekerjaan amal. Tetapi mungkin beberapa di antaranya melalui pekerjaan biasa yaitu menanam dan menyiapkan makanan dan minuman; membantu rekan kerja baru melakukan pekerjaan dengan cepat; merancang, memproduksi, dan menjual pakaian. Semua pekerjaan yang sah melayani orang-orang yang membutuhkan produk dan jasa dari pekerjaan itu, dan dengan demikian, melayani Yesus.
Perjamuan Terakhir (Matius 26:17-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPlot untuk membunuh Yesus bergerak maju ketika Yudas (salah satu dari Dua Belas murid) pergi ke para pemimpin agama dengan tawaran untuk menyerahkan-Nya kepada para prajurit bait suci. Dengan peristiwa-peristiwa yang bergerak cepat menuju penyaliban, Yesus berbagi santapan terakhir bersama murid-murid-Nya. Dalam perjamuan itu, Yesus memilih barang-barang buatan manusia berupa roti dan anggur untuk melambangkan diri-Nya dan pengorbanan-Nya yang akan datang. Sambil memegang sepotong roti, Dia berkata, “Inilah tubuh-Ku” (Mat. 26:26); kemudian sambil mengangkat kantung anggur itu, Dia berkata, “Inilah darah-Ku” (Mat. 26:28). Anak Allah bukanlah hasil karya siapa pun, bahkan karya Bapa sekalipun. Dalam kata-kata Pengakuan Iman Nicea, Dia “diperanakkan, bukan diciptakan.” Tetapi Dia memilih hal-hal yang umum dan nyata seperti roti dan anggur, yang dibuat oleh orang-orang untuk mengilustrasikan pengorbanan-Nya. Seperti yang dikatakan Alan Richardson:
Tanpa kerja keras dan keterampilan petani, tanpa kerja tukang roti, pekerja transportasi, bank dan kantor, toko dan distributor — sebenarnya tanpa kerja keras tambang dan galangan kapal dan pabrik baja dan sebagainya — roti ini tidak akan ada di sini untuk diletakkan di atas altar pagi ini. Sebenarnya, seluruh dunia kerja manusia terlibat dalam pembuatan roti dan anggur yang kami berikan ... Inilah hubungan aneh yang tak terpatahkan yang ada antara roti yang dimenangkan dengan keringat di wajah manusia dan roti dari hidup yang dibeli tanpa uang atau tanpa harga.[1]
Seluruh masyarakat berpartisipasi.
Kita tidak dapat berpura-pura mengetahui mengapa Yesus memilih produk nyata dari kerja manusia untuk mewakili diri-Nya ketimbang benda-benda alami atau ide-ide abstrak atau gambar-gambar rancangan-Nya sendiri. Tetapi faktanya adalah bahwa Dia menghargai produk-produk kerja ini sebagai representasi dari martabat-Nya yang tak terbatas. Ketika kita mengingat bahwa dalam kebangkitan-Nya Dia juga memiliki tubuh jasmani (Mat. 28:9, 13), tidak ada ruang untuk membayangkan kerajaan Allah sebagai alam rohani yang terpisah dari realitas fisik ciptaan Allah. Setelah menciptakan kita (Kejadian 2:7; Yohanes 1), Dia memilih barang-barang buatan tangan kita untuk mewakili diri-Nya sendiri. Ini adalah anugerah yang hampir di luar pemahaman kita.
Kematian dan Kebangkitan Yesus (Matius 27-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiLebih dari penulis Injil lainnya, Matius menekankan implikasi yang menggoncangkan dunia dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan membawa kita kembali ke motif utama kerajaan surga dan bumi. Langit menjadi gelap, bumi bergetar, dan bangkitnya orang-orang mati (Mat. 27:45-54) akan menjadi tanda yang jelas bagi orang Yahudi bahwa zaman sekarang telah berakhir dan zaman yang akan datang telah dimulai. Namun kehidupan dan pekerjaan tampaknya berjalan seperti biasa; itu bisnis seperti biasa. Apakah ada yang benar-benar berubah pada salib di bukit Golgota itu?
Injil menurut Matius menjawab ya dengan tegas. Penyaliban Yesus adalah pukulan maut bagi sistem dunia yang didasarkan pada kepura-puraan kekuatan dan hikmat manusia. Kebangkitan-Nya menandai intrusi definitif jalan Allah ke dunia. Pemerintahan kerajaan Allah belum terjadi di seluruh bumi, tetapi Kristus memerintah semua orang yang akan mengikuti dia.
Pergilah dan Jadikanlah Semua Bangsa Murid-Ku (Matius 28:16-20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPelayanan Yesus di bumi telah berakhir. Matius 28:16-20 menceritakan bagaimana Dia mengutus orang-orang yang mengikuti-Nya:
Sekarang kesebelas murid pergi ke Galilea, ke gunung yang telah Yesus arahkan kepada mereka. Ketika mereka melihat-Nya, mereka menyembah-Nya; tapi ada yang meragukan. Dan Yesus datang dan berkata kepada mereka, “"Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Perikop ini sering disebut sebagai Amanat Agung, dan orang-orang Kristen cenderung berfokus pada aspek penginjilannya. Tetapi amanat itu sebenarnya adalah untuk “memuridkan,” bukan hanya untuk “memenangkan orang baru.” Seperti yang telah kita lihat di sepanjang artikel ini, bekerja adalah elemen penting untuk menjadi seorang murid. Memahami pekerjaan kita dalam konteks Ketuhanan Kristus adalah bagian dari pemenuhan Amanat Agung.
Kita sudah diberikan perintah untuk bergerak. Kita harus membawa kabar baik ke semua bangsa, membaptis mereka yang percaya kabar baik, dan mengajar mereka “melakukan segala yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Saat kita melihat kembali dua puluh delapan pasal dari Matius ini, kita melihat banyak perintah yang menyentuh kita di tempat kerja. Ajaran-ajaran ini adalah untuk kita dan untuk mereka yang datang setelah kita.
Kesimpulan Matius
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAllah peduli dengan pekerjaan kita, dan Kitab Suci berbicara banyak tentang hal ini. Seperti disebutkan di awal, Injil menurut Matius membahas teologi dan praktik kerja di banyak bidang: kepemimpinan dan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, praktik bisnis, kebenaran dan penipuan, perlakuan terhadap pekerja, penyelesaian konflik, kekayaan dan kebutuhan hidup, hubungan di tempat kerja, berinvestasi dan menabung, beristirahat, dan hidup dalam kerajaan Allah sambil bekerja di tempat sekuler.
Umat Kristiani sering beranggapan bahwa hidup kita harus dibagi menjadi dua alam, yang sekuler dan yang sakral. Pekerjaan kita bisa menjadi sekadar cara mencari nafkah, aktivitas sekuler tanpa makna ilahi. Pergi ke gereja dan pengabdian pribadi dianggap sebagai satu-satunya elemen kehidupan yang sakral. Salah membaca Matius dapat mendukung pembagian ini. Kerajaan dunia dapat mewakili materi, bagian kehidupan sekuler; dan kerajaan surga, bagian yang sakral dan halus. Tetapi membaca Matius dengan benar memperjelas bahwa kedua kerajaan mencakup seluruh kehidupan. Kerajaan Allah memiliki aspek material dan spiritual, demikian pula kerajaan bumi yang telah jatuh dalam dosa. Cara Kristiani adalah menempatkan seluruh hidup kita, termasuk kehidupan kerja kita, untuk melayani kerajaan Allah, yang Kristus hadirkan ke bumi bahkan sekarang.
Yesus memanggil para pengikut-Nya untuk hidup dan bekerja di tengah dunia yang telah jatuh, sambil berpegang teguh pada tujuan, kebajikan, dan prinsip-prinsip Allah. Bagi individu Kristen, yang sakral dan sekuler tidak dapat dipisahkan. “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan” (Mat. 6:24). Di alam semesta yang diciptakan dan dipelihara oleh Allah ini, tidak ada ruang “sekuler”, yang kebal terhadap pengaruh-Nya, di luar kendali-Nya, atau di mana Dia tidak mengklaim kedaulatan-Nya.
Tetapi walaupun kerajaan kegelapan tetap ada, kerajaan Allah juga sudah dekat. Orang-orang dan sistem dunia seringkali tidak mencerminkan jalan Tuhan. Mereka yang dipanggil oleh Kristus harus belajar bagaimana melayani kerajaan Allah dengan setia sambil belajar hidup di tengah kekuatan-kekuatan nyata yang menentang jalan Allah. Pandangan dunia Kristen tidak bisa melarikan diri atau mengabaikan dunia ini. Di atas semua orang, orang Kristen seharusnya terlibat dalam menciptakan struktur yang mencerminkan kerajaan Allah di semua bidang kehidupan, termasuk di tempat kerja. Kita harus mencontohkan praktik kerajaan Allah di tempat kerja kita, terutama praktik-praktik di mana kita menyerahkan kekuasaan dan kekayaan kita kepada Allah dan bergantung pada kuasa dan pemeliharaan-Nya. Inilah artinya menghayati (tidak hanya berbicara) doa Tuhan yang berparadigma, “Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga.”
Ayat-ayat dan Tema-tema Kunci
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
Matius 4: 18-22 Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. 19Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." 20Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 21Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka 22dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia. | Panggilan Yesus bagi kita sifatnya radikal dan mengubahkan hidup, tetapi tidak sellau berarti suatu panggilan untuk meninggalkan pekerjaan dan tempat kerja. |
Matius 5:1-16 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: 3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. 4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. 5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. 6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. 7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. 8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. 9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. 10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. 11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." 13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." | Ucapan-ucapan Bahagia ini adalah gambaran karakter berorientasi kerajaan yang harus menjadi ciri setiap orang percaya, termasuk di tempat kerja. Kadang-kadang hasilnya adalah penganiayaan, namun akan menjadi saksi terang yang setia dalam kegelapan. |
Matius 5:33-37 Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. 34 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, 35 maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; 36 janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun. 37 Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. | Orang Kristen harus menjadi orang yang perbuatannya sesuai dengan perkataannya. Ini adalah kebajikan yang berlaku baik dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. |
Matius 6:19-34 “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. 21 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. 22 Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 23 jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. 24 Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." 25 "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? 26 Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? 27 Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? 28 Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, 29 namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. 30 Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? 31 Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? 32 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. 33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. 34 Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." | Orang Kristen adalah orang yang menghargai kedatangan kerajaan Allah atas uang dan harta benda dunia ini. Dalam semua pekerjaan kita, kita harus menjadikan kedatangan kerajaan Tuhan dan jalan-Nya sebagai motivasi utama kita. |
Matius 8:18-22 Ketika Yesus melihat orang banyak mengelilingi-Nya, Ia menyuruh bertolak ke seberang. 19 Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." 20 Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." 21 Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." 22 Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka." Matius 9:9 Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. Matius 9:37-38 Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. 38 Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu." | Panggilan Yesus untuk menjadi murid terkadang memerlukan perubahan pekerjaan dan perubahan radikal dalam kehidupan. |
Matius 10:5-15 Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: "Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, 6 melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. 7 Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat. 8 Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma. 9 Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. 10 Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. 11 Apabila kamu masuk kota atau desa, carilah di situ seorang yang layak dan tinggallah padanya sampai kamu berangkat. 12 Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka. 13 Jika mereka layak menerimanya, salammu itu turun ke atasnya, jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. 14 Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu. 15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya pada hari penghakiman tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu. | Hubungan orang Kristen dengan uang adalah suatu hubungan yang berbahaya dan ia harus berhati-hati untuk mengingat bahwa dalam bekerja, semua yang diperoleh adalah anugerah dari Tuhan. |
Matius 17:24-27 Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" 25 Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" 26 Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. 27 Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga." | Orang Kristen menjalani kehidupan dengan kewarganegaraan ganda. Kesetiaan hanya kepada Tuhan, namun kita juga harus bersinar sebagai terang di dunia yang gelap ini dengan hidup sesuai aturannya (jika memungkinkan) dalam pekerjaan, uang, dan pajak, agar tidak menimbulkan pelanggaran. |
Matius 19:16-30 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 17 Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah." 18 Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus: "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, 19 hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 20 Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" 21 Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." 22 Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya. 23 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. 24 Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." 25 Ketika murid-murid mendengar itu, sangat gemparlah mereka dan berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" 26 Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin." 27 Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" 28 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. 29 Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal. 30 Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu." | Kekayaan di dunia ini memang bisa membuat kita sulit masuk ke dalam kerajaan Allah. Persoalannya adalah apa yang paling kita hargai di dalam hati, apakah itu pekerjaan dan harta benda kita atau kerajaan Allah dan raja kita. |
Matius 20:1-16 1 "Adapun hal Kerajaan Surga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. 2 Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. 3 Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. 4 Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan mereka pun pergi. 5 Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. 6 Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? 7 Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. 8 Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. 9 Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. 10 Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi mereka pun menerima masing-masing satu dinar juga. 11 Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, 12 katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. 13 Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? 14 Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. 15 Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? 16 Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir." | Perumpamaan ini mencontohkan kebajikan Kristiani yaitu iman yang rendah hati dalam karunia Allah—tidak menggerutu terhadap karunia Allah terhadap orang lain atau memuji diri sendiri. |
Matius 21:33-41 "Dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain. Adalah seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan menanam pagar sekelilingnya. Ia menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga di dalam kebun itu. Kemudian ia menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri lain. 34 Ketika hampir tiba musim petik, ia menyuruh hamba-hambanya kepada penggarap-penggarap itu untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. 35 Tetapi penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu. 36 Kemudian tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi mereka pun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka. 37 Akhirnya ia menyuruh anaknya kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani. 38 Tetapi ketika penggarap-penggarap itu melihat anaknya itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita. 39 Mereka menangkapnya dan melemparkannya ke luar kebun anggur itu, lalu membunuhnya. 40 Maka apabila tuan kebun anggur itu datang, apakah yang akan dilakukannya dengan penggarap-penggarap itu?" 41 Kata mereka kepada-Nya: "Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya." | Dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk pekerjaan kita, karakter kita harus ditandai dengan kesetiaan dan dapat dipercaya. Ini berarti hidup dan bekerja sedemikian rupa sehingga kehidupan kita mencerminkan harapan akan kedatangan kerajaan Allah. |
Matius 24:45-51 "Siapakah hamba yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? 46 Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. 47 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya. 48 Akan tetapi apabila hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: 49 Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-pemabuk, 50 maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidak disangkakannya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, 51 dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi." | |
Matius 25:1-13 "Pada waktu itu hal Kerajaan Surga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. 2 Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. 3 Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, 4 sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. 5 Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. 6 Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! 7 Gadis-gadis itu pun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. 8 Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. 9 Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. 10 Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. 11 Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! 12 Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. 13 Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya." | |
Matius 25:14-30 "Sebab hal Kerajaan Surga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. 15 Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat. 16 Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta. 17 Hamba yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan berlaba dua talenta. 18 Tetapi hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali lobang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya. 19 Lama sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan mereka. 20 Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima talenta, katanya: Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba lima talenta. 21 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. 22 Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta. 23 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. 24 Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. 25 Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan! 26 Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? 27 Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. 28 Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. 29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. 30 Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” |
Pengantar Kepada Kitab Markus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Markus, seperti Injil lainnya, adalah tentang karya Yesus. Pekerjaan-Nya adalah mengajar, menyembuhkan, melakukan tanda-tanda kuasa Tuhan, dan terutama mati dan dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia. Karya Kristus benar-benar unik. Namun itu juga merupakan bagian yang menyatu dengan pekerjaan semua umat Allah, yaitu bekerja sama dengan Allah dalam memulihkan dunia seperti yang Allah maksudkan sejak semula. Pekerjaan kita bukanlah pekerjaan Kristus, tetapi pekerjaan kita memiliki tujuan yang sama seperti pekerjaan-Nya. Oleh karena itu Injil Markus bukanlah tentang pekerjaan kita, tetapi membentuk pekerjaan kita dan mendefinisikan tujuan akhir dari pekerjaan kita.
Dengan mempelajari kitab Markus, kita menemukan panggilan Allah untuk bekerja dalam pelayanan kerajaan-Nya. Kita mengenali ritme kerja, istirahat, dan ibadah yang Allah maksudkan bagi hidup kita. Kita melihat peluang dan bahaya yang melekat dalam mencari nafkah, mengumpulkan kekayaan, memperoleh status, membayar pajak, dan bekerja dalam masyarakat yang tidak selalu mengarah pada tujuan Allah. Kita bertemu dengan nelayan, buruh, ibu dan ayah (mengasuh anak adalah salah satu jenis pekerjaan!), pemungut pajak, penyandang disabilitas yang memengaruhi pekerjaan mereka, pemimpin, petani, pengacara, pendeta, tukang bangunan, dermawan (kebanyakan wanita), pria yang sangat kaya, pedagang, bankir, tentara, dan gubernur. Kita mengenali berbagai kepribadian membingungkan yang sama yang kita temui dalam kehidupan dan pekerjaan saat ini. Kita bertemu orang bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi sebagai anggota keluarga, komunitas, dan bangsa. Kerja dan pekerja ada di mana-mana dalam Injil Markus.
Markus adalah Injil tersingkat. Injil ini berisi lebih sedikit bahan pengajaran Yesus daripada Matius dan Lukas. Maka, tugas kita pasti untuk memperhatikan detail-detail dalam Injil Markus untuk melihat bagaimana Injil-Nya berlaku untuk pekerjaan non-gereja. Perikop-perikop utama yang berhubungan dengan pekerjaan dalam Markus terbagi dalam tiga kategori: 1) narasi tentang panggilan, sebagaimana Yesus memanggil para murid untuk bekerja atas nama kerajaan Allah; 2) kontroversi-kontroversi tentang Sabat mengenai irama kerja dan istirahat; dan 3) masalah ekonomi tentang kekayaan dan akumulasinya, serta perpajakan. Kita akan membahas narasi panggilan di bawah judul Kerajaan dan Pemuridan, kontroversi Sabat di bawah judul Ritme Kerja, Istirahat dan Ibadah, dan episode-episode yang berkaitan dengan perpajakan dan kekayaan di bawah Masalah Ekonomi. Dalam setiap kategori ini, Markus terutama memperhatikan bagaimana mereka yang akan mengikut Yesus harus ditransformasikan pada tingkat yang dalam.
Seperti Injil lainnya, Markus berlatar belakang masa ekonomi yang bergejolak. Selama era Romawi, Galilea sedang mengalami pergolakan sosial yang besar, dengan tanah yang semakin dikuasai oleh segelintir orang kaya—sering kali orang asing—dan dengan perpindahan umum dari pertanian skala kecil ke pertanian skala besar berbasis perkebunan. Mereka yang pernah menjadi petani penyewa atau bahkan pemilik tanah terpaksa menjadi buruh harian, seringkali karena kehilangan harta benda mereka sendiri melalui penyitaan pinjaman yang diambil untuk membayar pajak Romawi.[1] Dengan latar belakang seperti itu, tidak mengherankan jika tema ekonomi dan fiskal muncul dalam narasi Markus dan dalam pengajaran Yesus, dan kesadaran akan konteks sosial ini memungkinkan kita untuk menghargai arus bawah yang mungkin telah kita abaikan.
Awal Injil (Markus 1:1-13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiCatatan tentang khotbah Yohanes serta tentang baptisan dan pencobaan Yesus tidak berbicara secara langsung tentang pekerjaan. Namun demikian, sebagai pintu gerbang naratif ke Injil, mereka memberikan konteks tematik dasar untuk semua bagian berikutnya dan tidak dapat dilewati saat kita beralih ke bagian yang lebih jelas dapat diterapkan pada hal yang kita perhatikan. Yang menarik, judul Markus (Markus 1:1) menggambarkan kitab itu sebagai “permulaan Injil tentang Yesus Kristus.” Dari sudut pandang naratif, menarik perhatian ke permulaan sangatlah mencolok, karena Injil ini tampaknya tidak memiliki akhir. Manuskrip paling awal menunjukkan bahwa Injil ini tiba-tiba diakhiri dengan Markus 16: 8, “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.” Teksnya berakhir begitu tiba-tiba sehingga para juru tulis menambahkan bahan yang sekarang ditemukan dalam Markus 16:9-20, yang disusun dari bagian-bagian yang ditemukan di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Tetapi mungkin Markus memang tidak memaksudkan agar Injilnya berakhir. Injil itu hanyalah “permulaan Injil tentang Yesus Kristus,” dan kita yang membacanya adalah peserta dalam Injil yang berkelanjutan itu. Jika memang demikian, maka hidup kita adalah kelanjutan langsung dari peristiwa-peristiwa dalam Markus, dan kita memiliki banyak alasan untuk mengharapkan penerapan nyata pada pekerjaan kita.[1]
Kita akan melihat secara lebih terperinci bahwa Markus selalu menggambarkan manusia pengikut Yesus sebagai pemula yang jauh dari kesempurnaan. Ini berlaku bahkan untuk kedua belas rasul. Markus, lebih dari Injil lainnya, menampilkan para rasul sebagai orang yang tidak mengerti, bodoh, dan berulang kali mengecewakan Yesus. Hal ini sangat membesarkan hati, karena banyak orang Kristen yang mencoba mengikuti Kristus dalam pekerjaan mereka merasa tidak mampu melakukannya. Berbesar hatilah, Mark menasihati, karena dalam hal ini kita seperti para rasul itu sendiri!
Yohanes Pembaptis (Markus 1:2-11) ditampilkan sebagai utusan Maleakhi 3:1 dan Yesaya 40:3. Dia mengumumkan kedatangan “Tuhan.” Dikombinasikan dengan penunjukan Yesus sebagai “Kristus, Anak Allah” (Markus 1:1), bahasa ini memperjelas bagi pembaca bahwa tema sentral Markus adalah “kerajaan Allah,” meskipun ia menunggu sampai Markus 1:15 untuk menggunakan frasa itu dan menghubungkannya dengan Injil (“kabar baik”). "Kerajaan Allah" bukanlah konsep geografis dalam Markus. Itu adalah pemerintahan Tuhan yang terlihat ketika orang-orang dan bangsa-bangsa berada di bawah pemerintahan Tuhan, melalui pekerjaan Roh yang mengubahkan. Pekerjaan itu ditonjolkan oleh uraian singkat Markus tentang baptisan dan pencobaan Yesus (Markus 1:9-13), yang karena singkatnya menekankan turunnya Roh ke atas Yesus dan peran-Nya dalam mendorong Dia ke dalam (dan mungkin melalui) pencobaan oleh Iblis.
Bagian ini menembus dua konsepsi yang berlawanan, namun populer, tentang kerajaan Allah. Di satu sisi ada gagasan bahwa kerajaan Allah belum ada, dan tidak akan ada sampai Kristus datang kembali untuk memerintah dunia secara langsung. Di bawah pandangan ini, tempat kerja, seperti bagian dunia lainnya, adalah wilayah musuh. Tugas orang Kristen adalah bertahan di wilayah musuh dunia ini cukup lama untuk menginjili, dan menghasilkan laba yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan menyumbang uang bagi gereja. Gagasan lainnya adalah bahwa kerajaan Allah adalah wilayah spiritual batin, tidak ada hubungannya dengan dunia di sekitar kita. Menurut pandangan ini, apa yang dilakukan orang Kristen di tempat kerja, atau di mana pun selain dari gereja dan waktu doa pribadi, bukanlah urusan Allah sama sekali.
Bertentangan dengan kedua gagasan ini, Markus memperjelas bahwa kedatangan Yesus meresmikan kerajaan Allah sebagai realitas saat ini di bumi. Yesus berkata dengan jelas, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Markus 1:15). Kerajaan itu belum digenapi saat ini, tentu saja. Kerajaan ini belum memerintah bumi, dan tidak akan melakukannya sampai Kristus datang kembali. Tapi kerajaan ini ada di sini sekarang, dan itu nyata.
Oleh karena itu, tunduk pada kedaulatan Allah dan mewartakan kerajaan-Nya memiliki konsekuensi yang sangat nyata di dunia sekitar kita. Itu mungkin membawa kita ke dalam kehinaan sosial, konflik, dan, ya, penderitaan. Markus 1:14, seperti Matius 4:12, menarik perhatian kepada pemenjaraan Yohanes dan mengaitkannya dengan permulaan pewartaan Yesus sendiri bahwa “kerajaan Allah sudah dekat” (Markus 1:15). Dengan demikian kerajaan Allah ditetapkan melawan kekuatan dunia, dan sebagai pembaca kita dengan tegas diperlihatkan bahwa melayani Injil dan menghormati Allah belum tentu membawa keberhasilan dalam kehidupan ini. Namun pada saat yang sama, oleh kuasa Roh, umat Kristiani dipanggil untuk melayani Allah demi kepentingan orang-orang di sekitar mereka, seperti yang ditunjukkan oleh penyembuhan yang Yesus lakukan (Markus 1:23-34, 40-45).
Signifikansi radikal dari kedatangan Roh Kudus ke dunia menjadi lebih jelas di kemudian hari dalam Injil melalui kontroversi Beelzebul (Markus 3:20-30). Ini adalah bagian yang sulit, dan kita harus sangat berhati-hati dalam menghadapinya, tetapi hal ini tentu saja bukan tidak penting bagi teologi kerajaan yang mendasari teologi kerja kita. Logika dari bagian ini tampaknya adalah bahwa dengan mengusir setan, Yesus secara efektif membebaskan dunia dari Iblis, yang digambarkan sebagai orang kuat yang sekarang terikat. Seperti Tuhan mereka, orang Kristen dimaksudkan untuk menggunakan kuasa Roh untuk mengubah dunia, bukan untuk melarikan diri dari dunia atau menyesuaikan diri dengannya.
Dipanggilnya Murid-murid yang Pertama (Markus 1:16-20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagian ini perlu diperlakukan dengan hati-hati: walaupun para murid adalah paradigma kehidupan Kristen, mereka juga menempati posisi unik dalam kisah keselamatan. Dipanggilnya mereka untuk suatu jenis pelayanan yang khas, dan meninggalkan pekerjaan mereka saat ini, tidak membentuk suatu pola universal bagi kehidupan dan panggilan Kristiani. Banyak, bahkan sebagian besar, dari mereka yang mengikut Yesus tidak berhenti dari pekerjaannya untuk melakukannya (lihat Vocation Overview di https://www.teologikerja.org/). Namun demikian, cara-cara agar tuntutan kerajaan Allah bisa menembus dan mengesampingkan prinsip-prinsip umum masyarakat dapat dialihkan kepada dan mencerahkan pekerjaan kita.
Ayat pembukaan Markus 1:16 menampilkan Yesus sebagai pengembara ("ketika Yesus sedang berjalan"), dan Dia memanggil para nelayan ini untuk mengikuti-Nya di jalan. Ini lebih dari sekadar tantangan untuk meninggalkan pendapatan dan stabilitas atau, seperti yang bisa kita katakan, untuk keluar dari "zona nyaman" kita. Penceritaan Markus tentang kejadian ini mencatat suatu detail yang tidak ada dalam Injil lainnya, yaitu, bahwa Yakobus dan Yohanes meninggalkan Zebedeus, ayah mereka, " bersama orang-orang upahannya" (Markus 1:20). Mereka sendiri bukanlah orang upahan atau pekerja harian, melainkan bagian dari bisnis keluarga yang mungkin relatif sukses. Seperti yang dicatat oleh Suzanne Watts Henderson sehubungan dengan tanggapan para murid, “penumpukan keterangan menggarisbawahi bobot penuh dari kata kerja [untuk pergi]: bukan hanya jaring yang tertinggal, tetapi seorang ayah yang memiliki nama, sebuah perahu dan bahkan seluruh perusahaan.”[1] Dalam mengikuti Yesus, para murid ini harus menunjukkan kesediaan untuk membiarkan identitas, status, dan nilai mereka ditentukan terutama dalam hubungannya dengan Dia.
Perikanan adalah industri besar di Galilea, dengan sub-industri pengasinan ikan yang terhubung.[2] Pada saat pergolakan sosial di Galilea, kedua industri yang saling terkait ini saling mendukung dan tetap stabil. Kesediaan para murid untuk meninggalkan stabilitas semacam itu sungguh luar biasa. Stabilitas ekonomi bukan lagi tujuan utama mereka untuk bekerja. Namun di sini pun kita harus berhati-hati. Yesus tidak menolak panggilan duniawi dari orang-orang ini tetapi mengarahkannya ulang. Yesus memanggil Simon dan Andreas untuk menjadi "penjala manusia" (Markus 1:17), dengan demikian menegaskan pekerjaan mereka sebelumnya sebagai gambaran dari peran baru ke mana Dia memanggil mereka. Meskipun kebanyakan orang Kristen tidak dipanggil untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan menjadi pengkhotbah keliling, kita dipanggil untuk membumikan identitas kita di dalam Kristus. Apakah kita meninggalkan pekerjaan kita atau tidak, identitas seorang murid bukan lagi “nelayan”, “pemungut cukai”, atau apa pun kecuali “pengikut Yesus”. Ini menantang kita untuk menahan godaan untuk menjadikan pekerjaan kita sebagai elemen penentu dari perasaan kita tentang siapa diri kita.
Orang yang Lumpuh (Markus 2:1-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Yesus menyembuhkan orang lumpuh menimbulkan pertanyaan tentang apa arti teologi kerja bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. Orang lumpuh itu, sebelum penyembuhan ini, tidak mampu melakukan pekerjaan yang menghasilkan nafkah bagi dirinya sendiri. Karena itu, dia bergantung pada rahmat dan belas kasihan orang-orang di sekitarnya untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari. Yesus terkesan dengan iman teman-teman pria itu. Keyakinan mereka aktif, menunjukkan kepedulian, belas kasihan, dan persahabatan kepada seseorang yang tidak memiliki baik imbalan finansial maupun hubungan kerja. Dalam keyakinan mereka, tidak ada pemisahan antara menjadi dan melakukan.
Yesus melihat upaya mereka sebagai tindakan iman kolektif. “Ketika Yesus melihat iman mereka, Ia berkata kepada orang lumpuh itu, "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (Markus 2:5). Sayangnya, komunitas iman memainkan peran yang makin kecil dalam kehidupan kerja kebanyakan orang Kristen di dunia Barat modern. Bahkan jika kita menerima bantuan dan dorongan bagi tempat kerja dari gereja kita, itu hampir pasti bantuan dan dorongan individu. Di masa lalu, kebanyakan orang Kristen bekerja bersama orang yang sama yang pergi ke gereja Bersama mereka, sehingga gereja dapat dengan mudah menerapkan ayat-ayat Kitab Suci kepada pekerjaan bersama sebagai buruh, petani, dan pemilik rumah. Sebaliknya, orang-orang Kristen Barat saat ini jarang bekerja di lokasi yang sama dengan orang lain di gereja yang sama. Meskipun demikian, orang Kristen saat ini sering bekerja dalam jenis pekerjaan yang sama dengan orang lain dalam komunitas iman mereka. Jadi mungkin ada kesempatan untuk berbagi tantangan dan peluang pekerjaan mereka dengan orang percaya lain dalam pekerjaan serupa. Namun hal ini jarang terjadi. Kecuali kita menemukan cara bagi kelompok pekerja Kristen untuk saling mendukung, tumbuh bersama, dan mengembangkan semacam komunitas Kristen yang berhubungan dengan pekerjaan, kita kehilangan sifat komunal iman yang sangat penting dalam Markus 2:3-12.
Maka, dalam episode singkat ini, kita mengamati tiga hal: (1) kerja dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi mereka yang tidak dapat menghidupi diri sendiri melalui kerja, maupun mereka yang bisa; (2) iman dan kerja tidak dipisahkan sebagai ada dan berbuat, tetapi menyatu dalam tindakan yang diberdayakan oleh Allah; dan 3) pekerjaan yang dilakukan dengan iman menyerukan komunitas iman untuk mendukungnya.
Dipanggilnya Lewi (Markus 2:13-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPemanggilan Lewi adalah kejadian lain yang terjadi saat Yesus mulai bergerak (Markus 2:13-14). Bagian ini menekankan sifat publik dari pemanggilan ini. Yesus memanggil Lewi saat mengajar orang banyak (Markus 2:14), dan Lewi awalnya terlihat "duduk di rumah cukai". Pekerjaannya akan membuatnya menjadi sosok yang dibenci oleh banyak orang se-zamannya di Galilea. Ada banyak perdebatan tentang seberapa berat perpajakan Romawi dan Herodes dirasakan di Galilea, tetapi sebagian besar berpendapat bahwa masalah itu cukup menyakitkan. Pengumpulan pajak secara nyata dikontrakkan kepada pemungut pajak swasta. Seorang pemungut pajak membayar pajak untuk seluruh wilayahnya di muka, dan kemudian mengumpulkan pajak individu dari rakyat. Untuk membuat hal ini menguntungkan, dia harus membebankan biaya kepada penduduk lebih dari tarif pajak yang sebenarnya dan pemungut pajak mengantongi keuntungannya. Oleh karena itu, otoritas Romawi mendelegasikan pekerjaan pengumpulan pajak yang sensitif secara politik kepada anggota komunitas lokal, tetapi hal itu menyebabkan tingkat pajak efektif yang tinggi, dan membuka pintu bagi segala jenis korupsi.[1] Sepertinya ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya tanah di Galilea, karena pemilik tanah mengambil pinjaman untuk membayar pajak moneter dan kemudian, jika panen mereka buruk, kehilangan properti mereka sebagai jaminan. Fakta bahwa pada awalnya kita bertemu dengan Lewi di rumah cukainya berarti bahwa dia, pada dasarnya, adalah simbol hidup pendudukan Romawi dan pengingat akan fakta bahwa beberapa orang Yahudi rela berkolaborasi dengan bangsa Romawi. Tautan yang dibuat dalam Markus 2:16 antara pemungut cukai dan "orang berdosa" memperkuat asosiasi negatif.[2]
Saat Lukas menekankan bahwa Lewi meninggalkan segalanya untuk menjawab panggilan Yesus (Lukas 5:28), Markus hanya menceritakan bahwa Lewi mengikuti-Nya. Pemungut cukai itu kemudian mengadakan perjamuan, membuka rumahnya untuk Yesus, murid-murid-Nya, dan kelompok campuran yang mencakup pemungut cukai lainnya dan "orang-orang berdosa". Walaupun gambaran tersebut mengisyaratkan tentang seorang pria yang berusaha untuk membagikan Injil kepada rekan-rekan bisnisnya, kenyataannya mungkin sedikit lebih halus. "Komunitas" Levi terdiri dari rekan-rekannya dan orang lain yang, sebagai "pendosa", dijauhi oleh tokoh-tokoh terkemuka di komunitas. Dengan kata lain, pekerjaan mereka menjadikan mereka bagian dari sub-komunitas yang memiliki hubungan sosial berkualitas tinggi secara internal, tetapi hubungan berkualitas rendah dengan komunitas di sekitar mereka. Hal ini berlaku untuk banyak jenis pekerjaan saat ini. Rekan kerja kita mungkin jauh lebih terbuka kepada kita daripada tetangga kita. Menjadi anggota komunitas kerja dapat membantu kita memfasilitasi perjumpaan dengan realitas Injil bagi rekan kerja kita. Menariknya, keramahtamahan makan bersama adalah bagian utama dari pelayanan Yesus dan memberi gagasan cara konkret untuk mengadakan perjumpaan semacam itu. Keramahtamahan makan siang bersama rekan kerja, joging bersama atau berolahraga di gym, atau minum bersama setelah bekerja dapat membangun hubungan yang lebih dalam dengan rekan kerja kita. Persahabatan ini memiliki nilai abadi, dan melalui mereka Roh Kudus dapat membuka pintu bagi semacam penginjilan persahabatan.
Ini menimbulkan pertanyaan. Jika orang Kristen hari ini mengadakan jamuan makan dengan rekan-rekan kerja, teman-teman dari lingkungan mereka, dan teman-teman gereja mereka, apa yang akan mereka bicarakan? Iman Kristen berbicara banyak tentang bagaimana menjadi pekerja yang baik dan bagaimana menjadi tetangga yang baik. Tetapi apakah orang Kristen tahu bagaimana berbicara tentang mereka dalam bahasa yang sama yang dapat dimengerti oleh rekan dan tetangga mereka? Jika percakapan beralih ke tempat kerja atau topik kemasyarakatan seperti pencarian kerja, layanan pelanggan, pajak properti atau zonasi, apakah kita dapat berbicara secara bermakna kepada orang yang tidak percaya tentang bagaimana konsep Kristen berlaku untuk masalah seperti itu? Apakah gereja kita memperlengkapi kita untuk percakapan ini? Tampaknya Lewi — atau Yesus — mampu berbicara secara bermakna tentang bagaimana pesan Yesus diterapkan pada kehidupan orang-orang yang berkumpul di sana.
Pertanyaan perpajakan akan muncul nanti dalam Injil ini dan beberapa pertanyaan kita tentang sikap Yesus terhadapnya kita tunda sampai saat itu.
Keduabelas Murid (Markus 3:13-19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSelain kisah tentang pemanggilan murid-murid tertentu, ada juga kisah tentang ditunjuknya para rasul. Ada hal penting yang perlu diperhatikan dalam Markus 3:13-14, yaitu bahwa keduabelas murid ini merupakan kelompok khusus dalam komunitas murid yang lebih luas. Keunikan jabatan kerasulan mereka penting. Mereka dipanggil untuk suatu bentuk pelayanan yang khas, yang mungkin berbeda secara signifikan dari pengalaman kebanyakan kita. Jika kita ingin menarik pelajaran dari pengalaman dan peran para murid, maka itu harus melalui pengakuan tentang bagaimana tindakan dan keyakinan mereka berhubungan dengan kerajaan, bukan hanya fakta bahwa mereka meninggalkan pekerjaan mereka untuk mengikuti Yesus.
Kualifikasi yang tercantum untuk Simon, Yakobus, Yohanes, dan Yudas dalam Markus 3:16-19 relevan di sini. Nama Simon, tentu saja, dilengkapi dengan nama baru yang diberikan kepadanya oleh Yesus, "Petrus", yang sangat mirip dengan kata Yunani untuk "batu karang" (petros). Orang pasti bertanya-tanya apakah ada ironi tertentu dan janji tertentu dalam nama itu. Simon, yang berubah-ubah dan tidak stabil seperti yang terbukti kemudian, dinamai Batu Karang, dan suatu hari dia akan hidup sesuai dengan nama itu. Seperti dia, pelayanan kita kepada Allah di tempat kerja kita, sama halnya di tempat lain dalam hidup kita, tidak akan menjadi sempurna seketika, melainkan akan mengalami kegagalan dan pertumbuhan. Ini adalah pemikiran yang membantu pada saat kita merasa telah gagal dan membawa kerajaan ke dalam hal-hal buruk dalam prosesnya.
Sama seperti Simon diberi nama baru, begitu pula anak-anak Zebedeus, yang disebut sebagai “Anak-anak Guruh” (Markus 3:17). Itu adalah nama panggilan yang unik, dan terdengar lucu, tetapi juga sangat mungkin mengambil karakter atau kepribadian kedua pria ini.[7] Menarik bahwa kepribadian dan tipe kepribadian tidak dihilangkan dengan penyertaan dalam kerajaan. Ini menembus ke dua arah. Di satu sisi, kepribadian kita terus menjadi bagian dari identitas kita di dalam kerajaan, dan perwujudan kerajaan kita di tempat kerja kita terus dimediasi melalui kepribadian itu. Godaan untuk menemukan identitas kita dalam beberapa stereotip, bahkan stereotip Kristen, ditantang oleh hal ini. Namun, pada saat yang sama, kepribadian kita mungkin ditandai oleh unsur-unsur yang seharusnya ditantang oleh Injil. Ada petunjuk tentang hal ini dalam gelar yang diberikan kepada putra-putra Zebedeus, karena itu menunjukkan sifat pemarah atau kecenderungan konflik dan, meskipun nama itu diberikan dengan rasa sayang, itu mungkin bukan nama panggilan yang bisa dibanggakan.
Masalah kepribadian memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang penerapan iman Kristen dalam pekerjaan kita. Sebagian besar dari kita mungkin akan mengatakan bahwa pengalaman kerja kita, baik maupun buruk, sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang-orang di sekitar kita. Seringkali kualitas karakter yang membuat seseorang menjadi rekan kerja yang menginspirasi dan memberi energi dapat membuat orang tersebut menjadi orang yang sulit. Seorang pekerja yang termotivasi dan bersemangat mungkin mudah teralihkan oleh proyek-proyek baru, atau mungkin cenderung membentuk opini dengan cepat (dan mengungkapkannya dengan cepat). Kepribadian kita sendiri memainkan peran besar juga. Kita mungkin menganggap orang lain mudah diajak bekerja sama atau sulit, berdasarkan kepribadian kita dan juga kepribadian mereka. Demikian pula, orang lain mungkin menganggap kita mudah atau sulit diajak bekerja sama.
Tapi itu lebih dari masalah bergaul dengan orang lain dengan mudah. Kepribadian kita yang khas membentuk kemampuan kita untuk berkontribusi pada pekerjaan organisasi kita — dan melaluinya kepada pekerjaan kerajaan Allah — baik atau buruk. Kepribadian memberi kita kekuatan dan kelemahan. Sampai taraf tertentu, mengikuti Kristus berarti membiarkan Dia mengekang ekses-ekses kepribadian kita, seperti ketika Dia menegur Anak-anak Guruh karena ambisi mereka yang salah arah untuk duduk di tangan kanan dan kiri-Nya (Markus 10:35-45). Pada saat yang sama, orang Kristen sering keliru dengan menetapkan ciri-ciri kepribadian tertentu sebagai model universal. Beberapa komunitas Kristen memiliki sifat-sifat istimewa seperti ekstroversi, kelembutan, keengganan untuk menggunakan kekuasaan, atau – yang lebih gelap - kasar, tidak toleran, dan mudah tertipu. Beberapa orang Kristen menemukan bahwa ciri-ciri yang membuat mereka bagus dalam pekerjaan mereka — ketegasan, skeptisisme tentang dogma, atau ambisi, misalnya — membuat mereka merasa bersalah atau terpinggirkan di gereja. Mencoba untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita, dalam arti mencoba menyesuaikan stereotip tentang seperti apa seharusnya seorang Kristen di tempat kerja, bisa sangat bermasalah dan dapat membuat orang lain merasa bahwa kita tidak tulus apa adanya. Kita mungkin dipanggil untuk meniru Kristus (Filipi 2:5) dan para pemimpin kita (Ibrani 13:7), tetapi ini adalah masalah meniru kebajikan, bukan kepribadian. Bagaimanapun, Yesus memilih orang-orang dengan berbagai kepribadian sebagai teman dan pekerja-Nya. Banyak alat yang tersedia untuk membantu individu dan organisasi memanfaatkan berbagai karakteristik kepribadian dengan lebih baik sehubungan dengan pengambilan keputusan, pilihan karir, kinerja kelompok, resolusi konflik, kepemimpinan, hubungan di tempat kerja, dan faktor-faktor lainnya.
Walaupun di satu tingkat hal ini perlu dikaitkan dengan teologi kekayaan atau properti, di tingkat lain hal ini perlu dikaitkan dengan titik di mana teologi gereja dan pekerjaan bertemu. Selalu menggoda, dan bahkan tampak seperti kewajiban, untuk mempertahankan jaringan orang Kristen di lingkungan kerja dan berusaha untuk saling mendukung. Meskipun patut dipuji, perlu ada realitas tertentu yang disuntikkan ke dalam hal ini. Beberapa dari mereka yang menampilkan diri sebagai pengikut Yesus mungkin, pada kenyataannya, hatinya kurang benar, dan ini dapat mempengaruhi pendapat yang mereka anjurkan. Pada saat-saat seperti itu, tanggung jawab kita sebagai orang Kristen adalah siap untuk saling menantang satu sama lain dalam kasih, untuk meminta pertanggungjawaban satu sama lain, apakah kita benar-benar beroperasi sesuai dengan standar kerajaan.
Pemuridan dalam Proses (Markus 4:35-41; 6: 45-52; 8:14-21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Markus, lebih dari Injil lainnya, menyoroti ketidaktahuan, kelemahan, dan keegoisan para murid. Ini terjadi terlepas dari banyak hal baik yang dikatakan Markus tentang mereka, termasuk tanggapan mereka terhadap panggilan pertama Yesus (Markus 1:16-20) dan pengutusan-Nya atas mereka (Markus 6:7-13).[1]
Insiden-insiden dan perangkat narasi tertentu mengembangkan potret ini. Salah satunya adalah pengulangan adegan perahu (Markus 4:35-41; 6:45-52; 8:14-21), yang sejajar satu sama lain dalam menekankan ketidakmampuan para murid untuk benar-benar memahami kuasa dan otoritas Yesus. Adegan kapal terakhir diikuti oleh penyembuhan dua tahap yang tidak biasa dari seorang buta (Markus 8:22-26), yang mungkin berfungsi sebagai semacam metafora naratif untuk satu-satunya penglihatan parsial para murid mengenai Yesus.[2] Kemudian diikuti pengakuan Petrus akan Kristus (Markus 8:27-33), dengan momen wawasannya yang dramatis diikuti segera oleh kebutaan rohani bagaikan Iblis di pihak sang rasul. Pemahaman terbatas para murid tentang identitas Yesus cocok dengan pemahaman mereka yang terbatas tentang pesannya. Mereka terus menginginkan kekuasaan dan status (Markus 9:33-37; 10:13-16; dan 10:35-45). Yesus menantang mereka beberapa kali karena kegagalan mereka untuk menyadari bahwa mengikuti Dia membutuhkan sikap dasar pengorbanan diri. Yang paling jelas, tentu saja, para murid meninggalkan Yesus pada saat penangkapan dan pengadilan-Nya (Markus 14:50-51). Disandingkannya penyangkalan Petrus yang terjadi tiga kali (Markus 14:66-72) dengan kematian Yesus membuat kontras kepengecutan dan keberanian kedua pria itu, masing-masing, menjadi lebih tajam.
Namun Petrus dan yang lainnya kemudian terus memimpin gereja secara efektif. Malaikat yang berbicara kepada para wanita setelah kebangkitan (Markus 16:6-7) memberi mereka pesan kepada para murid (dan Petrus dipilih!), menjanjikan pertemuan lebih lanjut dengan Yesus yang telah bangkit. Para murid akan menjadi sangat berbeda setelah perjumpaan ini, sebuah fakta yang tidak dieksplorasi oleh Markus tetapi dikembangkan dengan baik dalam Kisah Para Rasul, sehingga kebangkitan adalah peristiwa kunci yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Apa relevansi hal ini terhadap kerja? Secara sederhana dan jelas, bahwa sebagai murid-murid Yesus yang harus melakukan pekerjaan kita sendiri, kita tidak sempurna dan dalam proses. Akan ada banyak hal yang mengharuskan kita untuk bertobat, sikap-sikap yang salah dan perlu diubah. Secara signifikan, kita harus menyadari bahwa, seperti para murid, kita mungkin salah dalam banyak hal yang kita yakini dan pikirkan, bahkan tentang masalah Injil. Oleh karena itu, setiap hari, kita harus dengan penuh doa merenungkan bagaimana kita mewujudkan kedaulatan Allah dan siap menunjukkan pertobatan atas kekurangan kita dalam hal ini. Kita mungkin merasa tergoda untuk menggambarkan diri kita sebagai orang benar, bijaksana, dan terampil di tempat kerja kita, sebagai saksi kebenaran, hikmat, dan keunggulan Yesus. Tetapi akan menjadi kesaksian yang lebih jujur dan lebih kuat untuk menggambarkan diri kita apa adanya — sebagai seseorang yang sedang berproses, bisa salah, dan agak berpusat pada diri sendiri, sebagai bukti kemurahan Yesus ketimbang menunjukkan karakter-Nya. Maka kesaksian kita adalah mengundang rekan kerja kita untuk bertumbuh bersama kita di jalan Allah, ketimbang menjadi seperti kita. Tentu saja, kita perlu melatih diri kita dengan keras untuk bertumbuh di dalam Kristus. Kemurahan Allah bukanlah alasan untuk berpuas diri dalam dosa kita.
Hari-hari Pertama Kegerakan (Markus 1:21-45)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagian utama perikop ini (Markus 1:21-34) terjadi pada hari Sabat, hari istirahat. Di dalam bagian ini, beberapa tindakan berlokasi di sinagoga (Markus 1:21-28). Penting bahwa rutinitas mingguan untuk bekerja, istirahat, dan beribadah diintegrasikan ke dalam kehidupan Yesus sendiri dan tidak diabaikan atau dibuang. Di zaman kita sendiri, di mana praktik semacam itu telah sangat berkurang, penting untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa ritme mingguan ini didukung oleh Yesus. Tentu saja, penting juga bahwa Yesus melakukan pekerjaan kebenaran dan penyembuhan-Nya pada hari ini. Ini nantinya akan membawa-Nya ke dalam konflik dengan orang-orang Farisi. Ini juga menyoroti bahwa Sabat bukan hanya hari istirahat dari pekerjaan, tetapi juga hari kasih dan kemurahan yang aktif.[1] Selain ritme mingguan, ada juga ritme harian. Setelah hari Sabat, Yesus bangun ketika hari masih “gelap” untuk berdoa (Markus 1:35). Prioritas pertama-Nya pada hari itu adalah berhubungan dengan Tuhan. Penekanan pada kesendirian Yesus dalam waktu doa ini penting, menekankan bahwa doa ini bukanlah pertunjukan publik, tetapi masalah persekutuan pribadi.
Doa harian tampaknya merupakan praktik yang sangat sulit bagi banyak orang Kristen di tempat kerja. Antara tanggung jawab keluarga di pagi hari, perjalanan panjang ke tempat kerja, jam kerja yang mulai pagi-pagi, keinginan untuk menyelesaikan tanggung jawab hari itu lebih cepat, dan tidur larut malam yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan (atau entertain) hari itu, tampaknya hampir tidak mungkin untuk membangun rutinitas doa pagi yang konsisten. Dan jam-jam berikutnya pun lebih sulit lagi. Markus tidak pernah menggambarkan penghakiman terhadap mereka yang tidak atau tidak dapat berdoa setiap hari tentang pekerjaan yang ada di depan mereka. Namun ia memang menggambarkan Yesus — yang lebih sibuk dari siapa pun di sekitar-Nya — berdoa tentang pekerjaan dan orang-orang yang Tuhan tempatkan di hadapan-Nya setiap hari. Di tengah tekanan kehidupan kerja, doa harian tampaknya menjadi kemewahan pribadi yang tidak dapat kita nikmati. Namun, Yesus tidak dapat membayangkan pergi bekerja tanpa doa, seperti kebanyakan dari kita tidak dapat membayangkan pergi bekerja tanpa sepatu.
Waktu teratur yang dikhususkan untuk berdoa adalah hal yang baik, tetapi itu bukanlah satu-satunya cara untuk berdoa. Kita juga bisa berdoa di tengah-tengah pekerjaan kita. Satu praktik yang menurut banyak orang bermanfaat adalah berdoa dengan sangat singkat beberapa kali sepanjang hari. “Devosi Harian untuk Individu dan Keluarga,” terdapat dalam Buku Doa Umum (halaman 136-143), menyediakan struktur singkat untuk doa di pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari, dengan mempertimbangkan ritme kehidupan dan pekerjaan di siang hari. Bahkan contoh yang lebih singkat termasuk doa satu atau dua kalimat saat berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya, berdoa dengan mata terbuka, mengucapkan terima kasih dalam hati atau dengan lantang sebelum makan, menyimpan benda atau ayat Kitab Suci di saku sebagai pengingat untuk berdoa dan banyak lainnya. Di antara banyak buku yang membantu membentuk ritme doa harian adalah Finding God in the Fast Lane oleh Joyce Huggett[2] dan The Spirit of the Disciplines oleh Dallas Willard.[3]
Tuhan dari Hari Sabat (Markus 2:23-3-6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita telah memperhatikan, dalam pembahasan kita tentang Markus 1:21-34, bahwa Sabat diintegrasikan ke dalam ritme mingguan Yesus. Bentrokan yang terjadi antara Yesus dan orang Farisi bukanlah tentang memelihara Sabat tetapi tentang cara memeliharanya. Bagi orang Farisi, Sabat terutama didefinisikan dalam istilah negatif. Mereka akan bertanya, apakah yang dilarang oleh perintah untuk tidak melakukan pekerjaan (Keluaran 20:8-11; Ulangan 5:12-15)?[1] Bagi mereka, bahkan tindakan santai para murid dalam memetik bulir gandum merupakan semacam pekerjaan dan dengan demikian mengabaikan larangan itu. Sangat menarik bahwa mereka menggambarkan tindakan ini sebagai "sesuatu yang tidak diperbolehkan" (Markus 2:24), meskipun penerapan khusus dari perintah keempat tidak ada dalam Taurat. Mereka menganggap interpretasi mereka sendiri tentang hukum Taurat sebagai otoritatif dan mengikat, dan tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa mereka salah. Yang lebih tidak menyenangkan bagi mereka adalah tindakan penyembuhan oleh Yesus (Markus 3:1-6), yang digambarkan sebagai peristiwa penting yang membuat orang Farisi berkomplot melawan Yesus.
Berbeda dengan orang Farisi, Yesus memandang Sabat secara positif. Hari kebebasan dari pekerjaan adalah hadiah untuk kebaikan umat manusia. “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27). Selain itu, hari Sabat memberikan kesempatan untuk menunjukkan belas kasihan dan kasih. Pandangan tentang Sabat seperti itu memiliki pendahuluan kenabian yang baik. Yesaya 58 menghubungkan Sabat dengan belas kasihan dan keadilan sosial dalam pelayanan Allah, yang berpuncak pada deskripsi berkat Allah atas mereka yang menyebut hari Sabat “hari kenikmatan” (Yesaya 58:13-14). Penyandingan belas kasihan, keadilan, dan Sabat menunjukkan bahwa Sabat paling banyak digunakan sebagai hari ibadah dengan menunjukkan belas kasihan dan keadilan. Bagaimanapun, Sabat itu sendiri adalah peringatan akan keadilan dan belas kasihan Allah dalam membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir (Ulangan 5:15).
Kisah Sabat pertama (Markus 2:23-28) dipicu oleh tindakan para murid memetik bulir gandum.[2] Walaupun Matius menambahkan bahwa murid-murid itu lapar, dan Lukas menjelaskan tindakan mereka menggosok bulir gandum di antara tangan mereka sebelum memakannya, Markus hanya menggambarkan mereka memetik biji-bijian, yang menunjukkan sifat kasual dari tindakan tersebut. Murid-murid mungkin tanpa sadar memetik biji-biji itu dan menggigitnya. Pembelaan yang Yesus berikan ketika ditentang oleh orang Farisi tampak sedikit aneh pada awalnya, karena ini adalah cerita tentang rumah Tuhan, bukan hari Sabat.
Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu -- yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam -- dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya. (Markus 2:25-26)
Pendapat para cendekiawan terbagi tentang bagaimana - atau bahkan apakah - argumen Yesus sesuai dengan prinsip-prinsip penafsiran dan argumentasi Yahudi.[3] Kuncinya adalah mengenali konsep “kekudusan.” Baik hari Sabat maupun rumah Allah (bersama segala isinya) digambarkan sebagai "suci" dalam Kitab Suci.[4] Sabat adalah waktu yang sakral, rumah Allah adalah tempat yang sakral, tetapi pelajaran yang mungkin diperoleh dari kekudusan yang satu dapat dipindahkan ke yang lain.
Maksud Yesus adalah bahwa kekudusan rumah Allah tidak menghalangi keikutsertaannya dalam tindakan belas kasihan dan keadilan. Ruang-ruang suci bumi bukanlah tempat perlindungan kesucian terhadap dunia, tetapi tempat kehadiran Tuhan bagi dunia, untuk memeliharakan dan memulihkan dunia. Tempat yang dikhususkan untuk Tuhan pada dasarnya adalah tempat keadilan dan belas kasihan. “Hari Sabat [dan implikasinya, rumah Allah] diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27). Versi Matius dari kisah ini mencakup detail berikut ini, “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan,” dari Hosea 6:6 (Matius 12:7). Ini memperjelas poin yang kita lihat dengan lebih banyak menahan diri di Markus.
Hal yang sama muncul dalam kontroversi Sabat kedua, ketika Yesus menyembuhkan seorang pria di sinagoga pada hari Sabat (Markus 3:1-6). Pertanyaan kunci yang Yesus tanyakan adalah, “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” Keheningan orang Farisi dalam menghadapi pertanyaan ini berfungsi sebagai penegasan bahwa Sabat dihormati dengan berbuat baik, dengan menyelamatkan hidup.
Bagaimana ini berlaku untuk pekerjaan kita hari ini? Prinsip Sabat adalah bahwa kita harus menguduskan sebagian dari waktu kita dan membebaskannya dari tuntutan pekerjaan, membiarkannya mengambil karakter ibadah yang khas. Ini bukan mengatakan bahwa Sabat adalah satu-satunya waktu untuk beribadah, atau bahwa bekerja tidak bisa menjadi bentuk ibadah itu sendiri. Tetapi prinsip Sabat memberi kita waktu untuk berfokus pada Tuhan dengan cara yang berbeda dari yang dimungkinkan oleh minggu kerja, dan untuk menikmati berkat-Nya dengan cara yang khas. Yang terpenting, juga, itu memberi kita ruang untuk membiarkan penyembahan kita kepada Tuhan memanifestasikan dirinya dalam belas kasihan, perhatian, dan kasih sosial. Ibadah kita pada hari Sabat membumbui pekerjaan kita selama seminggu.
Topik Sabat dibahas secara mendalam dalam artikel, Istirahat dan Bekerja di https://www.teologikerja.org/. Menyadari bahwa tidak ada perspektif Kristen tunggal tentang Sabat, Theology of Work Project mengeksplorasi sudut pandang yang agak berbeda di bagian "Sabat dan Bekerja" dalam artikel Lukas dan Kerja.
Yesus Sang Tukang Bangunan (Markus 6:1-6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebuah insiden di kampung halaman Yesus memberikan wawasan yang langka tentang pekerjaan-Nya sebelum menjadi seorang pengkhotbah keliling. Konteksnya adalah bahwa teman-teman dan kenalan Yesus di kampung halaman tidak percaya bahwa anak laki-laki lokal yang mereka kenal dengan baik ini telah menjadi seorang guru dan nabi yang hebat. Ketika mengeluh, mereka berkata, “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita” (Markus 6:2–3). Ini adalah satu-satunya bagian dalam Alkitab yang secara langsung menyatakan pekerjaan Yesus. (Dalam Matius 13:55, Yesus disebut “anak tukang kayu,” dan Lukas dan Yohanes tidak menyebutkan profesi-Nya.) Bahasa Yunani yang mendasarinya (tekton) mengacu pada tukang bangunan atau pengrajin dalam segala jenis bahan,[1]
yang dalam Palestina umumnya berupa batu atau bata. Terjemahan bahasa Inggris "tukang kayu" mungkin mencerminkan fakta bahwa di London kayu adalah bahan bangunan yang lebih umum pada saat terjemahan bahasa Inggris pertama dibuat.
Apapun itu, sejumlah perumpamaan Yesus terjadi di lokasi konstruksi. Berapa banyak dari pengalaman pribadi Yesus yang mungkin tercermin dalam perumpamaan ini? Apakah Dia membantu membangun pagar, menggali tempat pemerasan anggur, atau membangun menara di kebun anggur, dan mengamati hubungan yang tegang antara pemilik tanah dan penggarap (Markus 12:1-12)? Apakah salah satu pelanggan-Nya kehabisan uang di tengah jalan saat membangun menara dan meninggalkan hutang yang belum dibayar kepada Yesus (Lukas 14:28-30)? Apakah Dia ingat Yusuf mengajari-Nya cara menggali fondasi sampai ke batu yang kokoh, sehingga bangunan itu dapat menahan angin dan banjir (Matius 7:24-27)? Apakah Dia pernah mempekerjakan asisten dan harus menghadapi keluhan tentang gaji (Matius 20:1-16) dan urutan kekuasaan (Markus 9:33-37)? Apakah Dia pernah diawasi oleh seorang manajer yang meminta-Nya untuk bergabung dalam suatu skema untuk menipu pemilik kebun (Lukas 16:1-16)? Singkatnya, seberapa banyak hikmat dalam perumpamaan Yesus dikembangkan melalui pengalaman-Nya sebagai seorang pekerja dalam ekonomi abad pertama? Jika tidak ada yang lain, mengingat pengalaman Yesus sebagai seorang tukang bangunan dapat membantu kita melihat perumpamaan dalam terang yang lebih nyata.
Perumpamaan Tentang Kerja (Markus 4:26-29 dan 13:32-37)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMarkus hanya memuat dua perumpamaan yang tidak ditemukan dalam Injil lainnya. Keduanya menyangkut pekerjaan, dan keduanya sangat singkat.
Perumpamaan pertama, dalam Markus 4:26-29, membandingkan Kerajaan Allah dengan menumbuhkan biji-bijian dari benih. Ini memiliki kemiripan dengan perumpamaan yang lebih dikenal tentang biji sesawi, yang segera menyusul setelahnya, dan dengan perumpamaan tentang penabur (Markus 4:1-8). Meski perumpamaan itu berlatar tempat kerja pertanian, peran petani sengaja diminimalkan. “Bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu” (Markus 4:27). Sebaliknya, penekanannya adalah pada bagaimana pertumbuhan kerajaan dihasilkan oleh kuasa Allah yang tidak dapat dijelaskan. Meskipun demikian, petani itu “pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun” untuk mengurus tanaman (Markus 4:26) dan pergi dengan sabitnya (Markus 4:28) untuk menuai panen. Mukjizat Allah diberikan di antara mereka yang melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.
Perumpamaan unik Markus yang kedua, dalam Markus 13:32-37, mengilustrasikan perlunya para murid Yesus menantikan kedatangan Yesus yang kedua kali. Menariknya, Yesus berkata, “Dan halnya sama seperti seorang yang bepergian, yang meninggalkan rumahnya dan menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hambanya, masing-masing dengan tugasnya, dan memerintahkan penunggu pintu supaya berjaga-jaga” (Markus 13:34). Selama dia pergi, setiap hamba dituntut untuk tetap melakukan pekerjaannya. Kerajaan itu tidak seperti seorang tuan yang pergi ke negeri yang jauh dan berjanji pada akhirnya akan memanggil para pelayannya untuk bergabung dengannya di sana. Tidak, tuannya akan kembali, dan dia memberi hamba-hambanya pekerjaan untuk menumbuhkan dan memelihara rumah tangganya untuk kepulangannya nanti.
Kedua perumpamaan itu menganggap bahwa murid-murid Yesus adalah pekerja yang rajin, apa pun pekerjaan mereka. Kita tidak akan membahas perumpamaan lain di sini, tetapi merujuk pada eksplorasi ekstensif dalam Matius dan Kerja dan Lukas dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.
Orang Muda yang Kaya dan Sikap Terhadap Kekayaan dan Status (Markus 10:17-31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKekayaan (Markus 10:17-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerjumpaan Yesus dengan seorang kaya yang bertanya “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” merupakan salah satu dari sedikit bagian dalam Markus yang berbicara langsung tentang aktivitas ekonomi. Pertanyaan pria itu menuntun Yesus untuk menyebutkan (Markus 10:18) enam perintah yang paling berorientasi sosial dalam Sepuluh Perintah. Menariknya, "Jangan mengingini" (Keluaran 20:17; Ulangan 5:21) disajikan dengan sentuhan komersial yang jelas sebagai "Jangan mengurangi hak orang." Orang kaya itu berkata bahwa semua itu telah “kuturuti sejak masa mudaku” (Markus 10:20). Tetapi Yesus menyatakan bahwa satu hal yang kurang darinya adalah harta di surga, yang diperoleh dengan mengorbankan kekayaan duniawinya dan mengikuti pengembara dari Galilea ini. Ini menghadirkan rintangan yang tidak bisa dilewati orang kaya. Tampaknya dia terlalu menyukai kenyamanan dan keamanan yang diberikan oleh harta miliknya. Markus 10:22 menekankan dimensi afektif dari situasi— “Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih.” Orang muda itu secara emosional terganggu oleh ajaran Yesus, menunjukkan keterbukaan terhadap kebenarannya, tetapi dia tidak dapat mengikutinya. Keterikatan emosionalnya dengan kekayaan dan statusnya menganulir kesediaannya untuk mengindahkan kata-kata Yesus.
Menerapkan ini untuk bekerja hari ini membutuhkan kepekaan dan kejujuran yang nyata sehubungan dengan naluri dan nilai-nilai kita sendiri. Kekayaan terkadang merupakan hasil dari pekerjaan—pekerjaan kita atau orang lain—tetapi pekerjaan itu sendiri juga dapat menjadi hambatan emosional untuk mengikuti Yesus. Jika kita memiliki posisi istimewa—seperti orang mudah yang kaya itu—mengelola karier kita mungkin menjadi lebih penting daripada melayani orang lain, melakukan pekerjaan yang baik, atau bahkan meluangkan waktu untuk keluarga, kehidupan sosial, dan kehidupan rohani. Itu mungkin menghalangi kita untuk membuka diri terhadap panggilan tak terduga dari Allah. Kekayaan dan hak istimewa kita mungkin membuat kita sombong atau tidak peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Kesulitan-kesulitan ini tentu saja tidak unik bagi orang-orang kaya dan istimewa. Ya, perjumpaan Yesus dengan orang kaya ini menyoroti bahwa sulit untuk memotivasi diri sendiri untuk mengubah dunia jika Anda sudah berada di puncak tumpukan. Sebelum kita yang tidak kaya dan berstatus sederhana di dunia Barat membiarkan diri kita lolos, mari kita bertanya apakah, menurut standar dunia, kita juga menjadi berpuas diri karena kekayaan dan status (relatif) kita.
Sebelum meninggalkan episode ini, satu aspek penting tetap ada. “Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya” (Markus 10:21). Tujuan Yesus bukanlah untuk mempermalukan atau menggertak orang muda itu, tetapi mengasihinya. Dia memanggilnya untuk meninggalkan harta miliknya pertama-tama demi keuntungannya sendiri, dengan mengatakan, “engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Kitalah yang menderita ketika kita membiarkan kekayaan atau pekerjaan memisahkan kita dari orang lain dan menjauhkan kita dari hubungan dengan Allah. Solusinya bukanlah berusaha lebih keras untuk menjadi baik, tetapi menerima kasih Allah; yaitu, mengikuti Kristus. Jika kita melakukan ini, kita belajar bahwa kita dapat memercayai Allah untuk hal-hal yang benar-benar kita butuhkan dalam hidup, dan kita tidak perlu berpegang pada harta dan posisi kita demi keamanan.
Perumpamaan ini dibahas lebih lanjut di dalam "Lukas 18:18-30" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.
Status (Markus 10:31-16, 22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebuah aspek yang khas dari penyampaian cerita Markus adalah diurutkannya dengan cerita tentang anak-anak kecil yang dibawa kepada Yesus, dan pernyataan selanjutnya bahwa kerajaan itu akan diterima seperti anak-anak itu (Markus 10:13-16). Yang menghubungkan kedua perikop ini mungkin bukanlah masalah keamanan, atau mengandalkan sumber daya keuangan daripada mengandalkan Allah. Sebaliknya, titik kontaknya adalah masalah status. Dalam masyarakat Mediterania kuno, anak-anak tidak berstatus, atau setidaknya berstatus rendah.[1] Mereka tidak memiliki properti yang digunakan untuk menilai status. Intinya, mereka tidak memiliki apa-apa. Orang muda kaya, sebaliknya, memiliki banyak simbol status (Markus 10:22) dan ia memiliki banyak harta. (Dalam catatan Lukas, ia secara eksplisit disebut sebagai “penguasa”, Lukas 18:18.) Orang muda yang kaya itu mungkin tidak dapat memasuki kerajaan Allah karena diperbudak statusnya maupun karena diperbudak kekayaannya sendiri.
Di tempat kerja saat ini, status dan kekayaan belum tentu berjalan seiring. Bagi mereka yang tumbuh baik dalam kekayaan maupun status melalui pekerjaan mereka, ini adalah peringatan ganda. Bahkan jika kita berhasil menggunakan kekayaan dengan cara yang saleh, mungkin jauh lebih sulit untuk melepaskan diri dari perangkap perbudakan status. Baru-baru ini sekelompok miliarder menerima banyak publisitas karena berjanji untuk memberikan setidaknya setengah dari kekayaan mereka.[2]
Kemurahan hati mereka sangat mencengangkan, dan kami sama sekali tidak ingin mengkritik pemberi janji yang mana pun. Namun kita mungkin bertanya-tanya, dengan nilai memberi yang begitu besar, mengapa tidak memberi lebih dari setengahnya? Setengah miliar dolar masih jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk kehidupan yang sangat nyaman. Mungkinkah status tetap menjadi miliarder (atau setidaknya setengah miliarder) merupakan penghalang untuk mencurahkan seluruh kekayaan untuk tujuan yang jelas-jelas penting bagi seorang donor? Apakah ada bedanya bagi pekerja yang keuangannya lebih sederhana? Apakah menghargai status membuat kita tidak mencurahkan lebih banyak waktu, bakat, dan harta kita untuk hal-hal yang kita anggap benar-benar penting?
Pertanyaan yang sama dapat ditanyakan kepada orang-orang yang statusnya tidak berkorelasi dengan kekayaan. Akademisi, politisi, pendeta, seniman, dan banyak lainnya dapat memperoleh status tinggi melalui pekerjaan mereka tanpa harus menghasilkan banyak uang. Status mungkin muncul dari bekerja, katakanlah, di universitas tertentu atau menjadi bagian dari lingkaran tertentu. Bisakah status itu menjadi bentuk perbudakan yang membuat kita tidak mau mengorbankan posisi kita dengan mengambil sikap tidak populer atau beralih ke pekerjaan yang lebih bermanfaat di tempat lain?
Anugerah Allah (Markus 10:23-31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerkataan Yesus selanjutnya (Markus 10:23-25) menjelaskan arti penting perjumpaan itu, karena Yesus menekankan kesulitan yang dihadapi oleh orang kaya untuk memasuki kerajaan. Reaksi orang muda itu menggambarkan keterikatan orang kaya terhadap kekayaan mereka dan status yang menyertainya; secara signifikan, para murid sendiri “bingung” dengan pernyataan Yesus tentang orang kaya. Mungkin patut diperhatikan bahwa ketika Dia mengulangi pernyataan-Nya dalam Markus 10:24, Dia menyebut para murid sebagai “anak-anak”, menyatakan mereka tidak terbebani oleh status. Mereka sudah tidak terbebani oleh kekayaan karena mengikuti-Nya.
Analogi Yesus tentang unta dan lubang jarum (Markus 10:25) mungkin tidak ada hubungannya dengan sebuah gerbang kecil di Yerusalem,[1] tetapi bisa menjadi plesetan dari kesamaan kata Yunani untuk unta (kamelos) dan untuk tali yang berat (kamilos). Gambaran absurd yang sengaja diberikan hanya menekankan ketidakmungkinan orang kaya diselamatkan tanpa bantuan ilahi. Ini juga berlaku untuk orang miskin, karena jika tidak, “siapa yang dapat diselamatkan?” (Markus 10:26). Janji pertolongan ilahi seperti itu dijabarkan dalam Markus 10:27, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” Ini mencegah perikop ini (dan mudah-mudahan kita, sebagai pembaca) masuk ke sinisme sederhana terhadap orang kaya.
Hal ini membuat Petrus membela sikap dan sejarah penyangkalan diri para murid. Mereka telah “meninggalkan segalanya” untuk mengikuti Yesus. Jawaban Yesus meneguhkan upah surgawi yang menanti semua orang yang berkorban seperti itu. Sekali lagi, barang-barang yang ditinggalkan oleh orang-orang semacam itu (“rumah atau saudara laki-laki atau saudara perempuan atau ibu atau ayah atau anak atau ladang”) berpotensi memiliki konotasi status dan bukan sekadar kelimpahan materi. Bahkan, Markus 10:31 menyatukan seluruh kisah dengan penekanan kuat pada status— “Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.” Sampai saat ini, kisah tersebut dapat mencerminkan kecintaan terhadap hal-hal di dalam dan tentang diri mereka sendiri, atau status yang diberikan oleh hal-hal tersebut. Pernyataan terakhir ini, bagaimanapun, menempatkan penekanan tegas pada masalah status. Segera setelah itu, Yesus menyatakan ini secara eksplisit dengan istilah-istilah di tempat kerja. “Dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Markus 10:44). Seorang budak, bagaimanapun, hanyalah seorang pekerja tanpa status, bahkan status bahwa mereka memiliki kemampuan sendiri untuk bekerja. Status yang tepat dari para pengikut Yesus adalah seorang anak atau budak - tidak ada status sama sekali. Bahkan jika kita memegang posisi tinggi atau memiliki otoritas, kita harus menganggap posisi dan otoritas itu milik Allah, bukan diri kita sendiri. Kita hanyalah hamba Allah, mewakili Dia tetapi tidak mengambil status yang menjadi milik-Nya saja.
Insiden Bait Allah (Markus 11:15-18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPeristiwa di mana Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari Bait Allah memiliki nuansa perdagangan. Ada perdebatan tentang arti sebenarnya dari tindakan ini, baik dari segi catatan Injil individual maupun dari segi tradisi Yesus Historis.[1] Tentu saja, Yesus dengan agresif mengusir mereka yang berdagang di pelataran Bait Allah, entah itu menjual hewan dan burung yang tidak haram untuk dikorbankan atau menukar mata uang yang sesuai dengan persembahan Bait Allah. Telah dikemukakan bahwa ini adalah protes atas tarif terlalu tinggi yang dikenakan oleh mereka yang terlibat dalam perdagangan, dan dengan demikian menyiksa orang miskin ketika mereka datang untuk memberikan persembahan.[2] Alternatifnya, hal itu dipandang sebagai penolakan atas pajak kuil setengah syikal tahunan.[3] Akhirnya, hal itu telah ditafsirkan sebagai tindakan kenabian, yang mengacaukan proses Bait Allah sebagai pertanda kehancuran yang akan datang.[4]
Dengan asumsi kita menyamakan Bait Allah dengan gereja di lingkungan saat ini, kejadian tersebut sebagian besar berada di luar jangkauan kita, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang tidak berhubungan dengan gereja. Namun, kita dapat mencatat bahwa insiden tersebut menyorotkan cahaya redup pada mereka yang akan mencoba menggunakan gereja untuk mendapatkan keuntungan di tempat kerja bagi diri mereka sendiri. Bergabung atau menggunakan gereja untuk mendapatkan posisi bisnis yang disukai secara komersial merusak bagi komunitas dan merusak secara spiritual bagi individu. Tidak berarti bahwa gereja dan anggotanya harus menghindari saling membantu menjadi pekerja yang lebih baik. Namun jika gereja menjadi alat komersial, integritasnya rusak dan kesaksiannya kabur.
Pajak dan Kaisar (Markus 12:13-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMasalah perpajakan telah muncul secara tidak langsung, dalam hal narasi pemanggilan Lewi (Markus 2:13-17, lihat di atas). Bagian ini membahas masalah ini secara lebih langsung, meskipun makna dari bagian ini masih dapat diperdebatkan dalam hal logikanya. Sangat menarik bahwa seluruh kejadian yang dijelaskan di sini pada dasarnya merupakan jebakan. Jika Yesus menegaskan perpajakan Romawi, Dia akan menyinggung para pengikut-Nya. Jika Dia menolaknya, Dia akan menghadapi tuduhan makar. Karena peristiwa tersebut berkait dengan keadaan khusus seperti itu, kita harus berhati-hati dalam menerapkan bagian ini pada situasi kontemporer yang berbeda.
Tanggapan Yesus terhadap jebakan berkisar pada konsep citra dan kepemilikan. Meneliti koin dinar biasa (pada dasarnya, upah sehari), Yesus bertanya "gambar" (atau bahkan "ikon") siapa yang ada di koin itu. Maksud pertanyaannya mungkin untuk menyinggung secara sengaja Kejadian 1:26-27 (manusia diciptakan menurut gambar Allah) untuk menciptakan kontras. Koin memiliki gambar kaisar, tetapi manusia menyandang gambar Allah. Berikan kepada kaisar apa yang menjadi miliknya (uang), tetapi berikan kepada Allah apa yang menjadi milik-Nya (hidup kita). Elemen inti, bahwa manusia menyandang imago Dei, tidak dinyatakan, tetapi hal itu tersirat dari paralelisme yang dibangun dalam logika argument itu.
Dalam menggunakan argumentasi seperti itu, Yesus menundukkan masalah perpajakan pada tuntutan yang lebih besar dari Allah atas hidup kita, namun Dia tidak menyangkal keabsahan perpajakan, bahkan sistem Romawi yang berpotensi disalahgunakan. Dia juga tidak menyangkal bahwa uang adalah milik Allah. Jika uang adalah milik Kaisar, terlebih lagi milik Allah karena Kaisar sendiri berada di bawah kekuasaan Allah (Roma 13:1-17; 1 Petrus 2:13-14). Bagian ini bukanlah jaminan untuk kekeliruan yang sering diungkapkan bahwa bisnis adalah bisnis dan agama adalah agama. Namun, seperti yang telah kita lihat, Allah tidak mengenal pemisahan sekuler-sakral. Anda tidak dapat berpura-pura mengikuti Kristus dengan bertindak seolah-olah Dia tidak peduli terhadap pekerjaan Anda. Yesus tidak memberikan izin untuk melakukan apa saja yang Anda suka di tempat kerja, tetapi damai sejahtera tentang hal-hal yang tidak dapat Anda kendalikan. Anda dapat mengontrol apakah Anda menipu orang lain dalam pekerjaan Anda (Markus 10:18), jadi jangan lakukan itu. Anda tidak dapat mengontrol apakah Anda harus membayar pajak (Markus 12:17), jadi bayarlah. Dalam bagian ini, Yesus tidak mengatakan apa kewajiban Anda jika Anda dapat mengontrol (atau mempengaruhi) pajak Anda, misalnya, jika Anda seorang senator Romawi atau pemilih dalam demokrasi abad kedua puluh satu.
Kejadian ini dibahas secara lebih mendalam dalam "Lukas 20:20-26" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.
Salib dan Kebangkitan (Markus 14:32-16:8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTopik tentang status dan kasih karunia kembali mengemuka saat Yesus menghadapi pencobaan dan penyaliban. “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45). Bahkan bagi-Nya jalan pelayanan mengharuskan dilepaskannya semua status:
Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit." (Markus 10:33–34)
Orang-orang – dengan benar – memberitakan Yesus sebagai Mesias dan Raja (Markus 11:8-11). Namun Dia mengesampingkan status ini dan menerima tuduhan palsu dari dewan Yahudi (Markus 14:53-65), pengadilan yang tidak layak oleh pemerintah Romawi (Markus 15:1-15), dan kematian di tangan umat manusia yang bagi mereka Dia datang untuk menyelamatkan (Markus 15:21-41). Murid-murid-Nya sendiri berkhianat (Markus 14:43-49), menyangkal (Markus 14:66-72), dan meninggalkan Dia (Markus 14:50-51), kecuali sejumlah perempuan yang telah mendukung pekerjaan-Nya selama ini. Dia mengambil tempat yang paling rendah, ditinggalkan oleh Allah dan manusia, untuk memberi kita kehidupan kekal. Pada akhir yang pahit dari hidup-Nya, Dia merasa ditinggalkan oleh Allah sendiri (Markus 15:34). Markus, sendirian di antara kitab-kitab Injil lainnya, mencatat Dia meneriakkan kata-kata Mazmur 22:1, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34). Di kayu salib, karya terakhir Yesus adalah menyerap semua pengabaian dunia. Mungkin disalahpahami, diejek, dan ditinggalkan sama beratnya dengan hukuman mati. Ia sadar bahwa kematian-Nya akan teratasi dalam beberapa hari, namun kesalahpahaman, ejekan, dan desersi terus berlanjut hingga hari ini.
Banyak orang saat ini yang merasa ditinggalkan oleh teman, keluarga, masyarakat, bahkan Allah. Perasaan ditinggalkan di tempat kerja bisa terasa sangat kuat. Kita bisa saja dipinggirkan oleh rekan kerja, tertindas oleh pekerjaan dan bahaya, cemas akan kinerja kita, takut dengan kemungkinan PHK, dan menjadi putus asa karena gaji yang tidak memadai dan tunjangan yang kecil, seperti yang digambarkan dalam buku Studs Terkel, Working. Perkataan Sharon Atkins, seorang resepsionis dalam buku Terkel, mewakili banyak orang. “Saya menangis di pagi hari. Saya tidak ingin bangun. Saya takut pada hari Jumat karena hari Senin selalu membayang-bayngi saya. Lima hari lagi di depan saya. Tampaknya tidak pernah ada akhir dari hal itu. Mengapa saya melakukan ini?”[1]
Namun kasih karunia Allah mengatasi bahkan pukulan terberat dalam pekerjaan dan kehidupan bagi mereka yang mau menerimanya. Kasih karunia Allah menyentuh manusia sejak Yesus tunduk, ketika perwira itu menyadari, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Markus 15:39). Kasih karunia menang atas kematian itu sendiri ketika Yesus Kembali hidup. Para wanita menerima firman dari Tuhan bahwa “Ia telah bangkit” (Markus 16:6). Pada bagian Markus 1:1-13, kita melihat bagian akhirnya sangat mendadak. Ini bukanlah kisah yang indah untuk kontes keagamaan, namun tentang campur tangan Tuhan yang sangat memilukan dalam kehidupan dan pekerjaan kita yang kotor. Terbukanya makam penjahat yang disalib merupakan bukti yang lebih dari apa yang kita dapat yakini bahwa “banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Markus 10:31). Namun kasih karunia yang luar biasa ini adalah satu-satunya cara agar pekerjaan kita dapat menghasilkan hasil “pada masa ini … seratus kali lipat” dan kehidupan kita menuntun kita menuju “zaman yang akan datang … hidup yang kekal” (Markus 10:30). Tidak mengherankan bahwa “gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut” (Markus 16:8).
Kesimpulan: Menyatukan Beberapa Utasan (Markus)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Markus tidak disusun sebagai buku petunjuk pekerjaan manusia, tetapi pekerjaan terlihat di setiap halaman. Kita telah menarik beberapa benang merah yang paling penting dalam permadani hidup dan kerja ini, dan menerapkannya pada isu-isu pekerjaan abad kedua puluh satu. Ada banyak jenis pekerjaan, dan banyak konteks di mana orang bekerja. Tema pemersatunya adalah bahwa kita semua dipanggil untuk bekerja mengembangkan, memulihkan, dan mengatur ciptaan Allah, bahkan ketika kita menunggu pencapaian akhir dari maksud Allah bagi dunia ketika Kristus datang kembali.
Dalam paparan yang megah ini, sangat mengejutkan bahwa sebagian besar narasi Markus berkisar pada tema identitas. Markus menunjukkan bahwa memasuki kerajaan Allah memerlukan transformasi identitas pribadi dan hubungan komunal kita. Persoalan status dan identitas dikaitkan dengan kekayaan dan pekerjaan di dunia kuno dengan cara yang jauh lebih formal dibandingkan saat ini. Namun dinamika yang mendasarinya tidak berubah secara radikal. Masalah status masih mempengaruhi pilihan, keputusan, dan tujuan kita sebagai pekerja. Peran, label, afiliasi, dan hubungan semuanya menjadi faktor dalam pekerjaan kita dan dapat menyebabkan kita mengambil keputusan yang baik maupun yang buruk. Kita semua rentan terhadap keinginan untuk menegaskan tempat kita dalam masyarakat melalui harta benda, kekayaan, atau pengaruh potensial kita, dan hal ini, pada gilirannya, dapat mempengaruhi keputusan pekerjaan kita. Semua elemen ini menjadi faktor dalam rasa identitas kita, tentang siapa diri kita. Oleh karena itu, tantangan Yesus untuk siap melepaskan klaim status duniawi merupakan hal yang sangat penting. Relatif sedikit orang yang terpanggil untuk mengikuti pilihan khusus yang dibuat oleh kedua belas murid, untuk meninggalkan pekerjaan mereka sepenuhnya, namun tantangan untuk menundukkan identitas duniawi pada tuntutan kerajaan bersifat universal. Penyangkalan diri adalah inti dari mengikuti Yesus. Sikap seperti ini mencakup penolakan untuk membiarkan identitas kita ditentukan oleh status kita di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa.
Penyangkalan diri yang radikal seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa kasih karunia. Anugerah Allah adalah mukjizat yang mengubah kehidupan dan pekerjaan, sehingga kita mampu hidup dan melayani dalam kerajaan Tuhan sambal tetap berada di dunia yang berdosa. Namun kasih karunia Allah jarang datang melalui transformasi seketika. Narasi para murid adalah tentang kegagalan dan pemulihan, tentang perubahan yang terjadi pada akhirnya, bukan perubahan yang terjadi secara instan. Seperti mereka, pelayanan kita dalam kerajaan Allah tetap dinodai oleh dosa dan kegagalan. Seperti mereka, kita merasa perlu untuk banyak bertobat. Namun, mungkin kita juga akan menjadi seperti mereka dalam meninggalkan warisan abadi di dunia, sebuah kerajaan yang perbatasannya diperluas karena aktivitas kita, dan yang kehidupannya diperkaya oleh kewarganegaraan kita. Meskipun sulit untuk melepaskan hal-hal yang menghalangi kita untuk mengikuti Kristus sepenuhnya dalam pekerjaan kita, kita mendapati bahwa melayani Dia dalam pekerjaan kita jauh lebih bermanfaat (Markus 10:29-32) daripada melayani diri sendiri dan kebodohan kita.
Ayat-ayat Kunci dan Tema-tema Dalam Markus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat-ayat |
Tema-tema |
Markus 1:16-20 Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Dan setelah Yesus meneruskan perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus segera memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia. |
Murid-murid pertama dipanggil saat mereka sedang di tempat kerja. Relasi mereka dengan pekerjaan mrk diorientaiskan ulang oleh relasi baru mereka Bersama Yesus. |
Markus 1:35 Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana. |
Yesus membingkai waktu siang hari (waktu kerja) dengan komitmen untuk berdoa dan bersekutu dengan Allah. |
Markus 2:3, 5 Ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. … Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!" |
Seseorang yang tidak mampu bekerja dibawa kepada Yesus. Ceritanya bukan hanya tentang pesembuhannya saja, tapi tentang di mana tempat keimanan bersama dan gotong royong. |
Markus 2:14-15 Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!" Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia. Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia. |
Lewi dipanggil untuk menjadi murid; dia menanggapinya dengan menawarkan rumah dan kekayaannya untuk menghormati Yesus, dan untuk memberikan kesempatan bagi orang lain untuk bertemu dengan-Nya. |
Markus 2:27 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. (Lihat konteks dalam 2:23-3:6) |
Irama Sabat disajikan sebagai sesuatu yang berharga oleh Yesus, namun sebagai sesuatu yang dapat kita manfaatkan, bukan sebagai obsesi. |
Markus 3:16-19 Kedua belas orang yang ditetapkan-Nya itu ialah: Simon, yang diberi-Nya nama Petrus, Yakobus anak Zebedeus, dan Yohanes saudara Yakobus, yang keduanya diberi-Nya nama Boanerges, yang berarti anak-anak guruh, selanjutnya Andreas, Filipus, Bartolomeus, Matius, Tomas, Yakobus anak Alfeus, Tadeus, Simon orang Zelot, dan Yudas Iskariot, yang mengkhianati Dia. |
Kedua belas murid ditunjuk. Adanya nama panggilan dalam daftar mengisyaratkan pentingnya kepribadian dalam kelompok. Pemberian nama Yudas merupakan sebuah pengingat bahwa banyak orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, namun tidak sejalan dengan Kerajaan Allah. Saat kita mempertimbangkan hubungan kita dengan rekan-rekan Kristen, kedua poin ini relevan. |
Markus 4:35-41 (Yesus meredakan badai di Danau Galilea, setelah murid-murid-Nya membangunkan-Nya dari tidur di atas bantal di buritan.) Markus 6:45-52 (Yesus berjalan di atas air) Markus 8:13-21 (Yesus membawa sebuah kapal menyeberangi danau, tetapi para murid lupa membawa roti.) |
Tiga adegan perahu paralel yang menekankan kurangnya pemahaman para murid. Ini adalah bagian dari maksud Markus untuk menggambarkan para murid sedang dalam proses, dari kegagalan menuju kekuatan. |
Markus 10:21-22 Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya. |
Orang muda kaya itu tidak dapat memaksa dirinya untuk berpisah dengan harta miliknya dan status yang diwakilinya. Status sama pentingnya dengan kemewahan dalam cerita ini. |
Markus 11:15-17 Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerusalem. Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah. Lalu Ia mengajar mereka, kata-Nya: "Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!" |
Yesus mengganggu kegiatan ekonomi di bait Allah, mungkin karena praktik-praktik tertentu yang dilihat-Nya di sana tidak adil atau korup. |
Markus 12:15-17 Tetapi Yesus mengetahui kemunafikan mereka, lalu berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mencobai Aku? Bawalah ke mari suatu dinar supaya Kulihat!" Lalu mereka bawa. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" Mereka sangat heran mendengar Dia. |
Yesus menjawab pertanyaan sulit mengenai perpajakan dengan menekankan otoritas tertinggi Allah, namun tanpa menyangkal keabsahan perpajakan. |
Pengantar Kepada Kitab Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Lukas memberitakan Yesus sebagai raja yang akan datang ke dunia. Diutus oleh Allah, pemerintahan-Nya akan memperbaiki segala sesuatu yang rusak setelah pemberontakan dan kejatuhan umat manusia yang dimulai oleh Adam dan Hawa. Saat ini, sebagian besar dunia dikuasai oleh para pemberontak yang menentang otoritas Allah. Namun bagaimana pun dunia ini adalah kerajaan Allah, dan urusan kehidupan sehari-hari — termasuk pekerjaan — adalah urusan kerajaan Allah. Allah sangat peduli terhadap pemerintahan, produktivitas, keadilan, dan budaya dari dunia milik-Nya.
Yesus adalah raja sekaligus teladan bagi semua orang yang memiliki otoritas lebih rendah. Walaupun umat Kristiani terbiasa menyebut Yesus sebagai “raja”, entah bagaimana, bagi sebagian besar dari kita, gelar ini lebih terkesan bersifat relijius, ketimbang mengacu pada kerajaan yang sebenarnya. Kita mengatakan bahwa Yesus adalah raja, namun sering kali kita mengartikan bahwa Dia adalah raja para imam. Kita menganggap-Nya sebagai pendiri suatu agama, namun Lukas menunjukkan bahwa Dia mendirikan ulang sebuah dunia — kerajaan Allah di bumi. Ketika Yesus hadir secara pribadi, bahkan Iblis dan antek-anteknya mengakui kekuasaan-Nya (misalnya Lukas 8:32) dan kuasa-Nya tidak tertandingi. Setelah Dia kembali, untuk sementara, ke surga, teladan-Nya menunjukkan kepada warga kerajaan-Nya bagaimana menjalankan otoritas dan kekuasaan sebagai wakil-Nya.
Kepemimpinan Yesus menjangkau setiap aspek kehidupan, termasuk pekerjaan. Maka tidak mengherankan jika Injil Lukas memiliki penerapan yang luas dalam dunia kerja. Lukas memberikan perhatian mendalam pada topik-topik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti kekayaan dan kekuasaan, ekonomi, pemerintahan, konflik, kepemimpinan, produktivitas, dan pemeliharaan kebutuhan, serta investasi, seperti yang akan kita bahas. Kita akan melanjutkan secara garis besar sesuai urutan teks Lukas, meskipun kadang-kadang mengambil bagian-bagian secara tidak berurutan sehingga kita dapat menganggapnya sebagai satu unit dengan bagian-bagian lain yang memiliki tema yang sama. Kita tidak akan mencoba membahas bagian-bagian yang hanya sedikit kontribusinya terhadap pemahaman tentang pekerjaan, pekerja, dan tempat kerja. Mungkin mengejutkan betapa banyaknya bagian Injil Lukas yang ternyata berkaitan dengan pekerjaan.
Allah Bekerja (Lukas 1, 2, dan 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHari yang Mengejutkan di Tempat Kerja Zakharia (Lukas 1:8-25)
Injil Lukas dimulai di tempat kerja. Hal ini melanjutkan sejarah panjang kemunculan Yahweh di tempat kerja (misalnya, Kejadian 2:19-20; Keluaran 3:1-5). Zakharia dikunjungi oleh malaikat Gabriel pada hari kerja terpenting dalam hidupnya — hari dimana ia dipilih untuk melayani di tempat suci Bait Suci Yerusalem (Lukas 1:8). Meskipun kita mungkin tidak terbiasa menganggap bait suci sebagai tempat kerja, para imam dan orang Lewi di sana melakukan pekerjaan penjagalan (hewan kurban tidak membunuh dirinya sendiri), memasak, menjaga kebersihan, akuntansi, dan berbagai macam kegiatan lainnya. Bait Suci bukan sekedar pusat keagamaan, namun juga pusat kehidupan ekonomi dan sosial bangsa Yahudi. Zakharia sangat terpengaruh oleh perjumpaannya dengan Allah—ia tidak mampu berbicara sampai ia memberikan kesaksian tentang kebenaran firman Allah.
Gembala yang Baik Muncul di Tengah-tengah Para Gembala (Lukas 2:8-20)
Perjumpaan di tempat kerja berikutnya terjadi beberapa mil jauhnya dari bait suci. Sekelompok gembala yang mengawasi kawanan ternaknya di malam hari dikunjungi oleh malaikat yang mengumumkan kelahiran Yesus (Lukas 2:9). Para penggembala pada umumnya dianggap hina, dan orang lain memandang rendah mereka. Tapi Allah berkenan atas mereka. Seperti Imam Zakharia, hari kerja para gembala diinterupsi oleh Allah dengan cara yang mengejutkan. Lukas menggambarkan suatu kenyataan di mana perjumpaan dengan Allah tidak hanya dilakukan pada hari Minggu, retret, atau perjalanan misi. Sebaliknya, setiap momen muncul sebagai momen potensial di mana Allah dapat mengungkapkan diri-Nya. Pekerjaan sehari-hari bisa menumpulkan indera rohani kita, seperti orang-orang se-generasi Lot yang rutinitas “makan dan minum, jual beli, menanam dan membangun”-nya membutakan mereka terhadap penghakiman yang akan datang atas kota mereka (Lukas 17:28-30).[1] Namun Allah sanggup mendobrak kehidupan sehari-hari dengan kebaikan dan kemuliaan-Nya.Deskripsi Pekerjaan Yesus: Raja (Lukas 1:26-56, 4:14-22)
Jika terasa aneh bagi Allah untuk mengumumkan rencana-Nya untuk menyelamatkan dunia di tengah-tengah dua tempat kerja itu, mungkin kelihatan lebih aneh lagi bahwa Dia memperkenalkan Yesus dengan sebuah deskripsi pekerjaan. Tapi Dia melakukannya, ketika malaikat Gabriel memberitahu Maria bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki. “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Allah Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan" (Lukas 1:32-33).
Meskipun kita mungkin tidak terbiasa menganggap “raja Israel” sebagai pekerjaan Yesus, namun yang pasti ini adalah pekerjaan-Nya menurut Injil Lukas. Rincian pekerjaan-Nya sebagai raja yang diberikan: Dia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Allah Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Dia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan, serta menunjukkan belas kasihan kepada keturunan Abraham (Lukas 1:51-55). Ayat-ayat terkenal ini, yang sering disebut Magnificat, menggambarkan Yesus sebagai seorang raja yang menjalankan kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan mungkin militer. Berbeda dengan raja-raja korup di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, Dia menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi manfaat bagi rakyat-Nya yang paling rentan. Dia tidak menjilat orang-orang yang berkuasa dan mempunyai koneksi baik demi menopang dinasti-Nya. Dia tidak menindas rakyat-Nya atau mengenakan pajak kepada mereka untuk mendukung kebiasaan-kebiasaan mewah. Dia mendirikan sebuah wilayah yang dikelola dengan baik dimana tanah tersebut menghasilkan hal-hal baik bagi semua orang, keamanan bagi umat Allah, dan belas kasihan bagi mereka yang bertobat dari kejahatan. Dialah raja yang tidak pernah dimiliki Israel.
Di kemudian hari, Yesus meneguhkan uraian tugas ini ketika Dia menggunakan Yesaya 61:1-2 untuk menggambarkan diri-Nya sendiri. “Roh Allah ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Allah telah datang." (Lukas 4:18-19). Ini adalah tugas politik dan pemerintahan. Oleh karena itu, setidaknya dalam Lukas, pekerjaan Yesus lebih berkaitan erat dengan pekerjaan politik masa kini dibandingkan dengan profesi pastoral atau keagamaan di masa kini.[2] Yesus sangat menghormati para imam dan peran khusus mereka dalam tatanan Allah, namun Dia pada dasarnya tidak mengidentifikasi diri-Nya sebagai salah satu dari mereka (Lukas 5:14; 17:14).
Tugas yang Yesus nyatakan bagi diri-Nya bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan. Berbeda dengan para penguasa di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, Dia memerintah atas nama orang-orang miskin, orang-orang yang dipenjarakan, orang-orang buta, orang-orang yang tertindas, dan orang-orang yang berhutang (yang tanahnya dikembalikan kepada mereka pada tahun perkenanan Allah; lihat Imamat 25 :8-13). Kepedulian-Nya bukan hanya pada masyarakat yang sangat membutuhkan saja. Dia peduli terhadap orang-orang di setiap posisi dan kondisi, seperti yang akan kita lihat. Namun kepedulian-Nya terhadap masyarakat miskin, mereka yang menderita, dan mereka yang tidak berdaya membedakan-Nya secara jelas dengan para penguasa yang akan Dia gantikan.
Yohanes Pembaptis Mengajarkan Etika di Tempat Kerja (Lukas 3:8-14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebagian besar isi Injil Lukas berisi pengajaran Yesus. Kebetulan, pengajaran pertama dalam Lukas secara langsung berkaitan dengan kerja, meskipun pengajaran tersebut berasal dari Yohanes Pembaptis dan bukan dari Yesus. Yohanes menasihati para pendengarnya “hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (Lukas 3:8) agar mereka tidak dihakimi. Ketika mereka bertanya secara spesifik, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” (Lukas 3:10, 12, 14), Yohanes memberikan tanggapan ekonomi, bukan agama. Pertama, ia menyuruh mereka yang mempunyai harta berlimpah (dua helai baju atau makanan yang cukup) untuk berbagi dengan mereka yang tidak memiliki apa pun (Lukas 3:10). Ia kemudian memberikan instruksi kepada pemungut pajak dan tentara, berkaitan langsung dengan pekerjaan mereka. Pemungut pajak harus memungut pajak sesuai dengan kewajibannya saja, bukan menambah tagihan pajak dan mengantongi selisihnya. Tentara tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk memeras uang dan menuduh orang secara tidak benar. Mereka harus puas dengan gajinya (Lukas 3:13-14).
Ketika Yohanes mengatakan kepada para pemungut pajak, "Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu" (Lukas 3:13), ia sedang melontarkan kata-kata radikal kepada suatu profesi yang ditandai dengan ketidakadilan yang sudah mengakar dan sistemik. Pajak di seluruh Palestina dikumpulkan melalui suatu sistem “tax farming” di mana gubernur dan pejabat tingkat tinggi lainnya melakukan outsourcing hak untuk memungut pajak di yurisdiksi mereka.[1] Untuk memenangkan kontrak, seorang calon pemungut pajak harus setuju untuk memberi pejabat tersebut jumlah tertentu di atas pajak Romawi yang sebenarnya. Demikian pula, keuntungan yang diperoleh para pemungut pajak adalah jumlah yang mereka bebankan melebihi jumlah yang mereka berikan kepada pejabat pemerintah. Karena masyarakat tidak bisa mengetahui berapa sebenarnya pajak Romawi, mereka harus membayar berapa pun yang dinilai oleh pemungut pajak. Sulit untuk menahan godaan untuk memperkaya diri sendiri, dan hampir mustahil memenangkan tender tanpa menawarkan keuntungan besar kepada pejabat pemerintah.
Perhatikan bahwa Yohanes tidak menawarkan kepada mereka pilihan untuk berhenti menjadi pemungut pajak. Situasi serupa terjadi pada orang-orang yang disebut Lukas sebagai “prajurit”. Mereka mungkin bukan tentara Romawi yang disiplin, melainkan tentara Herodes, yang pada waktu itu memerintah Galilea sebagai raja klien Roma. Para tentara Herodes dapat (dan memang) menggunakan otoritas mereka untuk mengintimidasi, memeras, dan mendapatkan keuntungan pribadi. Instruksi Yohanes kepada para pekerja ini adalah untuk membawa keadilan kepada sistem yang ditandai dengan ketidakadilan yang sangat mendalam. Kita tidak boleh meremehkan betapa sulitnya hal itu. Memegang kewarganegaraan dalam kerajaan Allah sambil hidup di bawah kekuasaan raja-raja dunia yang sudah jatuh dalam dosa bisa menjadi hal yang berbahaya dan sulit.
Perhatikan juga bahwa para pemungut pajak dan tentara menanggapi pengumuman Yohanes tentang penghakiman Allah dengan bertanya, “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” Mereka menanyakan pertanyaan ini sebagai kelompok (“kami”) yang memiliki pekerjaan yang sama. Bisakah kelompok pekerja saat ini melakukan hal yang sama?
guru sekolah bertanya, “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?”
eksekutif bisnis bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
pegawai toko kelontong bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
pekerja kantoran bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
Teks ini mengajak kita untuk memahami maksud Allah dalam pekerjaan kita yang spesifik, bukan hanya untuk kerja secara umum. Bagaimana kita, dalam pekerjaan kita saat ini, menanggapi panggilan Injil?
Dalam perikop tersebut, seorang pemimpin agama—nabi Yohanes Pembaptis—memiliki kredibilitas yang cukup di mata kelompok pekerja—pemungut pajak dan tentara—sehingga mereka bersedia menerima masukannya mengenai etika mereka di tempat kerja. Dapatkah kelompok pekerja saat ini mendapatkan bantuan dari para pemimpin agama – atau dari orang-orang yang mempunyai kemampuan alkitabiah/teologis di antara mereka sendiri – untuk saling memahami apa yang Allah maksudkan dalam pekerjaan mereka? Yesus sendiri berjanji untuk membimbing mereka yang berkumpul untuk mendapatkan bimbingan, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20).
Artikel “The Equipping Church” mengeksplorasi bagaimana gereja-gereja dapat membantu para pekerja dalam pekerjaan umum mengenali dan bertindak berdasarkan maksud Allah dalam pekerjaan mereka.
Yesus Dicobai Agar Batal Melayani Allah (Lukas 4:1-13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTepat sebelum Yesus memulai pekerjaan-Nya sebagai raja, Iblis mencobai Dia untuk meninggalkan kesetiaan-Nya kepada Allah. Yesus pergi ke padang gurun, di mana Dia berpuasa selama empat puluh hari (Lukas 4:2). Kemudian Dia menghadapi pencobaan yang sama yang dihadapi bangsa Israel di padang gurun Sinai. (Jawaban yang Yesus berikan kepada Iblis semuanya merupakan kutipan dari Ulangan 6-8, yang menceritakan kisah Israel di padang gurun.) Pertama, Dia dicobai untuk percaya pada kekuatan-Nya sendiri untuk memenuhi kebutuhan-Nya, ketimbang bergantung pada pemeliharaan Allah (Lukas 4:1-3; Ulangan 8:3, 17-20). “Karena Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti.” (Lukas 4:3). Kedua, Dia dicobai untuk mengalihkan kesetiaan-Nya kepada seseorang (Iblis) yang menggoda-Nya dengan jalan pintas menuju kekuasaan dan kemuliaan (Lukas 4:5-8; Ulangan 6:13; 7:1-26). “Jikalau Engkau menyembah aku, seluruhnya itu akan menjadi milik-Mu.” Ketiga, Dia dicobai untuk mempertanyakan apakah Allah benar-benar menyertai-Nya, dan karena itu mencoba memaksa Allah turun tangan dalam keputusasaan (Lukas 4:9-12; Ulangan 6:16-25). “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah,” (dari Bait Allah). Berbeda dengan Israel, Yesus menolak godaan ini dengan mengandalkan firman Allah. Umat Israel seharusnya menjadi manusia seperti Dia –seperti Adam dan Hawa sebelumnya, namun hal itu tidak pernah terjadi.
Seperti halnya pencobaan yang dialami Israel dalam Ulangan 6-8, pencobaan ini tidak hanya terjadi pada Yesus saja. Dia mengalaminya sama seperti kita semua. “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya saja Ia tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15). Seperti Israel, dan seperti Yesus, kita bisa memperkirakan akan mengalami godaan, baik dalam pekerjaan maupun dalam seluruh kehidupan.
Godaan untuk bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sendiri sangat tinggi di tempat kerja. Bekerja dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kita (2 Tesalonika 3:10), namun bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita. Kerja kita dimaksudkan untuk melayani orang lain juga. Berbeda dengan Yesus, kita tidak mempunyai pilihan untuk melayani diri sendiri menggunakan mukjizat. Namun kita bisa tergoda untuk bekerja secukupnya demi mendapatkan gaji, berhenti ketika keadaan menjadi sulit, mengabaikan bagian beban kerja yang kita emban, atau mengabaikan beban yang dipaksakan oleh kebiasaan kerja kita yang buruk kepada orang lain. Godaan untuk mengambil jalan pintas juga tinggi di tempat kerja.
Godaan untuk mempertanyakan kehadiran dan kuasa Allah dalam pekerjaan kita mungkin merupakan godaan terbesar. Yesus dicobai untuk menguji Allah dengan memaksakan tangannya. Kita dicobai dengan hal yang sama ketika kita menjadi malas atau melakukan hal-hal yang bodoh dan berharap Allah menjaga kita. Kadang-kadang hal ini terjadi ketika seseorang memutuskan bahwa Allah telah memanggilnya kepada suatu profesi atau posisi, dan kemudian duduk menunggu Allah mewujudkannya. Namun kita mungkin lebih dicobai untuk tidak lagi mengharapkan kehadiran dan kuasa Allah dalam pekerjaan kita. Kita mungkin berpikir pekerjaan kita tidak ada artinya bagi Allah, atau Allah hanya peduli pada kehidupan bergereja kita, atau kita tidak bisa berdoa memohon pertolongan Allah dalam aktivitas kerja sehari-hari. Yesus mengharapkan Allah untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-Nya setiap hari, namun Dia tidak menuntut Allah melakukan pekerjaan itu untuk-Nya.
Keseluruhan episode dimulai dengan Roh Allah memimpin Yesus ke padang gurun untuk berpuasa selama empat puluh hari. Dulu, seperti sekarang, berpuasa dan retret merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sebelum memulai perubahan besar dalam hidup. Yesus akan memulai pekerjaan-Nya sebagai raja, dan Dia ingin menerima kuasa, hikmat, dan hadirat Allah sebelum memulainya. Ini berhasil. Ketika Iblis mencobai Yesus, Dia telah menghabiskan empat puluh hari dalam roh Allah. Dia sepenuhnya siap untuk melawan. Namun, berpuasa juga membuat godaan tersebut semakin mendalam. “Ia lapar” (Lukas 4:2). Pencobaan sering kali datang kepada kita jauh lebih cepat dari yang kita perkirakan, bahkan pada awal kehidupan kerja kita. Kita mungkin dicobai untuk mengikuti skema cepat kaya, ketimbang memulai dari bawah dalam profesi yang benar-benar produktif. Kita mungkin berhadapan langsung dengan kelemahan kita sendiri untuk pertama kalinya, dan tergoda untuk mengimbanginya dengan berbuat curang, menindas, atau menipu. Kita mungkin berpikir kita tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan dengan keterampilan yang kita miliki, sehingga kita tergoda untuk memberikan gambaran yang salah atau mengarang kualifikasi. Kita mungkin mengambil posisi yang menguntungkan namun tidak memuaskan “hanya untuk beberapa tahun, sampai saya mapan,” dalam khayalan bahwa kita nantinya akan melakukan sesuatu yang lebih sesuai dengan panggilan kita.
Persiapan adalah kunci kemenangan atas pencobaan. Pencobaan biasanya datang tanpa peringatan. Anda mungkin diperintahkan untuk mengirimkan laporan palsu. Anda mungkin ditawari informasi rahasia hari ini yang akan diketahui publik besok. Pintu yang tidak terkunci mungkin menawarkan kesempatan mendadak untuk mengambil sesuatu yang bukan milik Anda. Tekanan untuk ikut bergosip tentang rekan kerja mungkin muncul secara tiba-tiba saat istirahat makan siang. Persiapan terbaik adalah dengan membayangkan skenario yang mungkin terjadi sebelumnya dan, dalam doa, rencanakan bagaimana menanggapinya, bahkan mungkin menuliskannya bersama dengan tanggapan yang Anda serahkan kepada Allah. Perlindungan lainnya adalah memiliki sekelompok orang yang mengenal Anda secara dekat, yang dapat Anda hubungi dalam waktu singkat untuk mendiskusikan godaan Anda. Jika Anda dapat memberi tahu mereka sebelum Anda bertindak, mereka mungkin membantu Anda melewati godaan tersebut. Yesus, yang berada dalam persekutuan dengan Bapa-Nya dalam kuasa Roh Kudus, menghadapi pencobaan-pencobaan tersebut dengan dukungan dari komunitas sejawat-Nya – jika kita boleh menggambarkan Allah Tritunggal seperti itu.
Pencobaan-pencobaan yang kita alami tidak identik dengan yang dialami Yesus, walaupun pencobaan-pencobaan tersebut memiliki kesamaan yang luas. Kita semua mempunyai pencobaan masing-masing, besar atau kecil, bergantung pada siapa kita, keadaan kita, dan sifat pekerjaan kita. Tidak seorang pun di antara kita yang merupakan Anak Allah, namun cara kita menanggapi pencobaan mempunyai konsekuensi yang mengubahkan hidup. Bayangkan konsekuensinya jika Yesus menyimpang dari panggilan-Nya sebagai raja Allah dan menghabiskan hidup-Nya dengan menciptakan kemewahan bagi diri-Nya sendiri, atau melakukan perintah penguasa kejahatan, atau bermalas-malasan menunggu Bapa melakukan pekerjaan-Nya bagi-Nya.
Yesus Memanggil Orang-Orang di Tempat Kerja (Lukas 5:1-11; 27-32)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus dua kali pergi ke tempat kerja orang untuk memanggil mereka agar mengikut Dia. Yang pertama adalah ketika Yesus meminta beberapa nelayan untuk menghentikan pekerjaan mereka dan membiarkan Dia menggunakan perahu mereka sebagai podium. Kemudian Dia memberi mereka beberapa tips menjala ikan yang bagus dan tiba-tiba memanggil mereka untuk menjadi murid pertama-Nya (Lukas 5:1-11). Yang kedua ketika Dia memanggil Lewi yang sedang bekerja memungut pajak (Lukas 5:27-32). Orang-orang ini dipanggil untuk mengikut Yesus dengan meninggalkan profesinya. Kita cenderung menganggap mereka sebagai pekerja gereja penuh waktu, namun “duta” penuh waktu (2 Korintus 5:20) adalah gambaran yang lebih akurat. Meskipun individu-individu ini dipanggil untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam kerajaan Yesus, Lukas tidak mengatakan bahwa beberapa panggilan (misalnya, berkhotbah) lebih tinggi daripada panggilan lainnya (misalnya, menjadi nelayan). Beberapa pengikut Yesus—seperti Petrus, Yohanes, dan Lewi—mengikuti Yesus dengan meninggalkan pekerjaan mereka saat itu (Lukas 5:11). Kita akan segera bertemu dengan orang lain—seperti Maria dan Marta (Lukas 10:38-41), seorang pemungut cukai lainnya bernama Zakheus (Lukas 19:1-10) dan seorang perwira militer Romawi (Lukas 1-10)—yang mengikuti Yesus dengan menjalani hidup yang berubah dalam pekerjaan mereka saat ini. Dalam satu kasus (Lukas 8:26-39), Yesus memerintahkan seseorang untuk tidak meninggalkan rumahnya dan bepergian bersama-Nya.
Mereka yang bepergian bersama Yesus tampaknya berhenti bekerja mencari upah dan bergantung pada sumbangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Lukas 9:1-6; 10:1-24). Namun ini bukanlah tanda bahwa bentuk tertinggi dari pemuridan adalah meninggalkan pekerjaan kita. Ini adalah panggilan khusus bagi orang-orang ini dan sebagai pengingat bahwa semua pemeliharaan kita berasal dari Allah, meskipun Dia biasanya menyediakan kebutuhan kita melalui pekerjaan konvensional. Ada banyak model untuk mengikuti Kristus dalam berbagai pekerjaan kita.
Selain menampakkan diri di tempat kerja, Yesus juga banyak menyampaikan perumpamaan-Nya di tempat kerja, antara lain perumpamaan tentang kantong anggur yang baru (Lukas 5:36-39), para pembangun yang bijaksana dan yang bodoh (Lukas 6:46-49), para penabur ( Lukas 8:4-15), hamba-hamba yang berjaga-jaga (Lukas 12:35-41), hamba yang jahat (Lukas 12:42-47), biji sesawi (Lukas 13:18-19), ragi (Lukas 13: 20-21), domba yang hilang (Lukas 15:1-7), dirham yang hilang (Lukas 15:8-10), anak yang hilang (Lukas 15:11-32), dan penggarap yang jahat (Lukas 20:9 -19). Tempat kerja adalah tempat yang digunakan Yesus sebagai contoh ketika Dia ingin mengatakan, “Kerajaan Allah itu seperti …” Ayat-ayat ini umumnya tidak dimaksudkan untuk mengajarkan tentang tempat kerja dalam ayat-ayat tersebut, meskipun terkadang ayat-ayat ini memberikan sedikit panduan di tempat kerja. Sebaliknya, Yesus menggunakan aspek-aspek familiar di tempat kerja terutama untuk menyampaikan poin-poin tentang kerajaan Allah yang melampaui situasi khusus dalam perumpamaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan biasa mempunyai arti dan nilai yang besar di mata Yesus. Kalau tidak, maka tidak masuk akal untuk menggambarkan kerajaan Allah dengan istilah tempat kerja.
Untuk informasi lebih lanjut tentang panggilan Yesus terhadap para murid, lihat "Markus 1:16-20" dalam Markus dan Kerja dan "Matius 3-4" dalam Matius dan Kerja di https://www.teologikerja.org/. Untuk informasi lebih lanjut mengenai panggilan secara umum, lihat artikel Vocation Overview di https://www.teologikerja.org/.
Penyembuhan dalam Kitab Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada zaman Yesus, seperti sekarang, pekerjaan penyembuhan dan kesehatan sangatlah penting. Yesus menyembuhkan orang dalam tiga belas episode dalam Injil Lukas: 4:31-37; 4:38-44; 5:12-16; 5:17-26; 7:1-10; 7:11-17; 7:21; 8:26-39; 8:40-56; 9:37-45; 13:10-17; 17:11-19; Dan; 18:35-43. Dengan melakukan hal ini, Dia membawa kesejahteraan kepada orang-orang yang menderita, seperti yang dikatakan-Nya akan Dia lakukan ketika Dia menyandang jubah sebagai raja. Selain itu, kesembuhan juga merupakan realisasi kedatangan Kerajaan Allah, yang di dalamnya tidak ada sakit penyakit (Wahyu 21:4). Allah tidak hanya memerintahkan manusia untuk bekerja demi kepentingan orang lain, Dia juga memberdayakan manusia untuk melakukannya. Kuasa Allah tidak terbatas pada Yesus sendiri, karena dalam dua ayat, Yesus memberdayakan para pengikut-Nya untuk menyembuhkan orang (Lukas 9:1-6, 10:9). Namun semua kesembuhan bergantung pada kuasa Allah. Teolog Jürgen Moltmann merangkum hal ini dengan indah. “Penyembuhan Yesus bukanlah mukjizat supernatural di dunia yang alamiah. Penyembuhan tersebut adalah satu-satunya hal yang benar-benar ‘alami’ di dunia yang tidak alami, dikuasai Iblis, dan terluka.”[1] Hal-hal tersebut adalah tanda nyata bahwa Allah sedang memulihkan keadaan dunia.
Penyembuhan yang diceritakan dalam Injil pada umumnya ajaib. Namun upaya luar biasa umat Kristiani untuk memulihkan tubuh manusia juga dapat dilihat sebagai perpanjangan dari pelayanan Yesus yang memberi kehidupan. Adalah suatu kesalahan jika kita tidak memperhatikan betapa pentingnya penyembuhan bagi pekerjaan penebusan kerajaan Allah. Pekerjaan ini dilakukan setiap hari oleh dokter, perawat, ahli teknologi, pemroses klaim, petugas parkir rumah sakit, dan banyak lagi lainnya yang pekerjaannya memungkinkan penyembuhan terjadi. Lukas sendiri adalah seorang dokter (Kolose 4:14), dan kita dapat membayangkan ketertarikannya yang khusus terhadap penyembuhan. Namun, keliru jika menyimpulkan bahwa profesi penyembuhan pada dasarnya memiliki panggilan yang lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya.
Sabat dan Kerja (Lukas 6:1-11; 13:10-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHari Sabat adalah bagian penting dari pemahaman alkitabiah tentang kerja, dan Yesus mengajarkan tentang hari Sabat dalam Injil Lukas. Kerja dan istirahat bukanlah kekuatan yang berlawanan, melainkan elemen-elemen dari suatu ritme yang memungkinkan terjadinya kerja yang baik dan rekreasi yang sesungguhnya. Idealnya, ritme tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat akan pemeliharaan dan kesehatan, namun di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, ada kalanya hal tersebut tidak terpenuhi.
Tuhannya Hari Sabat (Lukas 6:1-11)
Dalam Lukas 6:1-5, saat itu adalah hari Sabat, dan Yesus serta murid-muridnya lapar. Mereka memetik bulir gandum di ladang, menggosok-gosoknya di tangan, dan memakan bijinya. Beberapa orang Farisi mengeluh bahwa ini termasuk mengirik dan karena itu bekerja pada hari Sabat. Yesus menjawab bahwa Daud dan rekan-rekannya juga melanggar aturan suci ketika mereka lapar, memasuki rumah Allah dan makan roti yang dikuduskan yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Kita mungkin membayangkan bahwa hubungan antara kedua episode ini adalah rasa lapar. Bila merasa lapar, kita diperbolehkan bekerja untuk memberi makan diri sendiri, meskipun itu berarti bekerja pada hari Sabat. Namun Yesus menarik kesimpulan yang agak berbeda. “Anak Manusia adalah Allah atas hari Sabat” (Lukas 6:5). Hal ini menunjukkan bahwa memelihara hari Sabat didasarkan pada pemahaman akan isi hati Allah, bukannya mengembangkan aturan-aturan dan pengecualian yang semakin rinci.
Dilepaskan Pada Hari Sabat (Lukas 13:10-17)
Penyembuhan lain yang dilakukan Yesus pada hari Sabat dijelaskan dalam Lukas 6:9 dan 14:5. Meskipun demikian, akan sulit untuk menyusun teologi Sabat hanya berdasarkan peristiwa-peristiwa dalam Lukas. Namun kita dapat mengamati bahwa Yesus mendasarkan pemahaman-Nya tentang hari Sabat pada kebutuhan manusia. Kebutuhan lebih utama daripada memelihara hari Sabat, meskipun memelihara hari Sabat adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah. Namun dengan memenuhi kebutuhan manusia pada hari Sabat, perintah itu terpenuhi, bukan dihapuskan. Penyembuhan perempuan lumpuh pada hari Sabat memberikan contoh yang sangat kaya mengenai hal ini.” Ada enam hari untuk bekerja,” kata pemimpin sinagoga yang marah kepada orang banyak. “Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat” (Lukas 13:14). Jawaban Yesus dimulai dengan hukum. Jika orang memberi minum hewan mereka pada hari Sabat, sebagaimana yang sah menurut hukum, “Perempuan ini keturunan Abraham dan sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis; bukankah ia harus dilepaskan dari ikatannya itu?” (Lukas 13:16).
Pembahasan tambahan tentang Sabat – dalam beberapa kasus dengan sudut pandang yang berbeda – dapat ditemukan dalam "Markus 1:21-45" dan "Markus 2:23-3:6" dalam Markus dan Kerja, dan dalam artikel Rest and Work di https://www.teologikerja.org/.
Etika Konflik (Lukas 6:27-36; 17:3-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBerbuat Baiklah kepada Mereka yang Membencimu (Lukas 6:27-36)
Semua tempat kerja mengalami konflik. Dalam Lukas 6:27-36, Yesus membahas situasi konflik. “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, berkatilah orang yang mengutuk kamu, berdoalah orang yang berbuat jahat terhadap kamu” (Lukas 6:27-28). Lukas tidak memastikan bahwa ini adalah ajaran bagi dunia ekonomi, karena ia secara khusus menghubungkannya dengan peminjaman uang. “pinjamkan [kepada musuhmu] tanpa mengharapkan balasan” (Lukas 6:35). Tampaknya ini bukan strategi peminjaman komersial yang dilakukan secara aktif, namun mungkin kita dapat memahaminya secara lebih abstrak. Orang-orang Kristen tidak boleh menggunakan kekuasaan mereka untuk menghancurkan orang-orang yang berkonflik dengan mereka. Sebaliknya, mereka harus secara aktif bekerja demi kebaikan mereka. Hal ini dapat berlaku di tempat kerja pada dua tingkat.
Pada tingkat individu, ini berarti kita harus bekerja demi kebaikan orang-orang yang berkonflik dengan kita. Hal ini tidak berarti menghindari konflik atau menarik diri dari persaingan. Namun hal ini berarti, misalnya, jika Anda bersaing dengan rekan kerja untuk mendapatkan promosi, Anda harus membantu rekan kerja/lawan Anda melakukan pekerjaannya sebaik yang mereka bisa, sambil berusaha melakukan pekerjaan Anda dengan lebih baik lagi.
Di tingkat korporat, hal ini berarti tidak menghancurkan pesaing, pemasok, atau pelanggan Anda, terutama dengan tindakan yang tidak adil atau tidak produktif seperti tuntutan hukum yang tidak berdasar, monopoli, rumor palsu, manipulasi saham, dan sejenisnya. Setiap pekerjaan memiliki kondisinya masing-masing, dan sangatlah bodoh jika kita menerapkan satu hal yang sama untuk semua hal dari bagian dalam Lukas ini. Bersaing keras dalam bisnis melalui penipuan yang disengaja mungkin berbeda dengan bersaing keras dalam bola basket melalui pelanggaran yang disengaja. Oleh karena itu, elemen penting dalam partisipasi orang-orang percaya dalam suatu pekerjaan adalah mencoba mencari cara-cara konflik dan persaingan yang tepat sesuai dengan ajaran Yesus.
Tegur - Bertobat - Maafkan (Lukas 17:3-4)
Belakangan, Yesus kembali membahas konflik antarpribadi. “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia” (Lukas 17:3, NIV). Kita tidak boleh menganggap hal ini sebagai terapi keluarga saja, karena Yesus menerapkan istilah “saudara” kepada semua pengikut-Nya (Markus 3:35). Menghadapi orang secara langsung dan memulihkan hubungan baik ketika konflik telah diselesaikan merupakan perilaku organisasi yang baik. Namun ayat berikutnya mematahkan batasan akal sehat. “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia" (Lukas 17:4). Faktanya, Yesus tidak hanya memerintahkan pengampunan, namun juga tidak adanya penghakiman. “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Janganlah kamu suka mempersalahkan, maka kamu pun tidak akan dipersalahkan” (Lukas 6:37). “Mengapa engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?” (Lukas 6:41).
Apakah bijaksana untuk bersikap tidak menghakimi di tempat kerja? Bukankah penilaian yang baik merupakan persyaratan bagi tata kelola dan kinerja organisasi yang baik? Mungkin Yesus bukan sedang berbicara tentang meninggalkan penilaian yang baik, tetapi sikap menghakimi dan mengutuk—sikap munafik yang menganggap masalah di sekitar kita sepenuhnya kesalahan orang lain. Mungkin yang Yesus maksudkan bukanlah “Abaikan kesalahan moral atau ketidakmampuan yang berulang-ulang,” melainkan, “Tanyakan pada diri Anda sendiri bagaimana tindakan Anda berkontribusi terhadap masalah tersebut.” Mungkin maksud-Nya bukan, “Jangan menilai kinerja orang lain,” namun, “Cari tahu apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu orang-orang di sekitar Anda sukses.” Barangkali maksud Yesus bukanlah meringankan hukuman, melainkan belas kasihan. “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6:31).
Pemeliharaan Allah (Lukas 9:10-17; 12:4-7; 12:22-31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi sepanjang kitab Lukas, Yesus mengajarkan bahwa hidup dalam kerajaan Allah berarti memandang Allah, bukan usaha manusia, sebagai sumber utama segala hal yang kita perlukan dalam hidup. Kerja kita bukanlah suatu pilihan, namun juga bukan suatu hal yang mutlak. Kerja kita selalu merupakan partisipasi dalam anugerah pemeliharaan Allah.
Yesus Memberi Makan Lima Ribu Orang (Lukas 9:10-17)
Yesus mendemonstrasikan hal ini dalam tindakan sebelum Dia mengajarkannya dengan perkataan. Dalam memberi makan lima ribu orang (Lukas 9:10-17), Allah, dalam pribadi Yesus, mengambil tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan makanan orang banyak. Dia melakukannya karena mereka lapar. Bagaimana tepatnya Yesus melakukan mujizat ini tidak disebutkan. Dia memanfaatkan makanan biasa – lima potong roti dan dua ikan – dan dengan kuasa Allah, makanan yang sedikit itu menjadi cukup untuk memberi makan begitu banyak orang. Beberapa murid Yesus (para nelayan) berada dalam profesi penyediaan makanan dan yang lain (misalnya, Lewi sang pemungut pajak) bekerja sebagai pegawai negeri. Dia menggunakan kebiasaan mereka bekerja, saat mereka mengatur kerumunan dan menyajikan roti dan ikan. Yesus menggabungkan, bukan menggantikan, cara manusia biasa dalam menyediakan makanan, dan hasilnya secara ajaib berhasil. Pekerjaan manusia mampu mendatangkan kebaikan atau kejahatan. Jika kita melakukan apa yang Yesus perintahkan, maka pekerjaan kita baik. Seperti yang sering kita lihat dalam Injil Lukas, Allah membawa hasil yang ajaib melalui pekerjaan biasa—dalam hal ini, pekerjaan menyediakan kebutuhan hidup.
Yesus Mengajarkan Tentang Pemeliharaan Allah (Lukas 12:4-7; 12:22-31)
Di kemudian hari, Yesus mengajarkan tentang pemeliharaan Allah. “Aku berkata kepadamu: Janganlah khawatir tentang hidupmu, mengenai apa yang hendak kamu makan, dan janganlah khawatir pula tentang tubuhmu, mengenai apa yang hendak kamu pakai … Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambah sehasta pada jalan hidupnya? Jadi, jikalau kamu tidak sanggup melakukan hal yang sekecil itu, mengapa kamu khawatir tentang hal-hal lain?” (Lukas 12:22-31). Yesus menawarkan hal ini sebagai hal yang masuk akal. Karena rasa khawatir tidak dapat menambah satu jam pun dalam hidup Anda, mengapa khawatir? Yesus tidak mengatakan untuk tidak bekerja, hanya saja jangan khawatir apakah pekerjaan Anda akan cukup memenuhi kebutuhan Anda.
Dalam keadaan ekonomi berkelimpahan, ini adalah nasihat yang cemerlang. Banyak di antara kita yang didorong oleh rasa khawatir untuk bekerja dalam pekerjaan yang tidak kita sukai, bekerja dengan jam kerja yang mengurangi kenikmatan hidup, mengabaikan kebutuhan orang lain di sekitar kita. Bagi kita, tujuannya bukan “lebih banyak” uang, melainkan “cukup” uang, cukup untuk merasa aman. Namun jarang sekali kita benar-benar merasa aman, tidak peduli berapa banyak uang yang kita hasilkan. Faktanya, sering kali benar bahwa makin sukses kita menghasilkan uang lebih banyak, makin kita merasa kurang aman karena kini kita bisa lebih banyak kehilangan. Seolah-olah keadaan kita akan lebih baik jika kita memiliki sesuatu yang benar-benar perlu dikhawatirkan, seperti halnya orang miskin (“Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan,” Lukas 6:21). Untuk keluar dari kebiasaan ini, Yesus bersabda “carilah kerajaan [Allah], semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu” (Lukas 12:31). Mengapa? Karena jika tujuan akhir Anda adalah kerajaan Allah, maka Anda mempunyai jaminan bahwa tujuan akhir Anda akan tercapai. Dan dengan merasakan kepastian itu, Anda dapat menyadari bahwa uang yang Anda hasilkan sebenarnya cukup, bahwa Allah menyediakan kebutuhan Anda. Menghasilkan satu juta dolar dan takut kehilangannya sama seperti berhutang satu juta dolar. Mendapatkan seribu dolar dan tahu bahwa pada akhirnya Anda akan baik-baik saja rasanya bagaikan mendapatkan hadiah seribu dolar.
Tapi bagaimana jika Anda tidak punya seribu dolar? Sekitar sepertiga penduduk dunia hidup dengan pendapatan kurang dari seribu dolar per tahun.[1] Orang-orang ini mungkin mempunyai cukup uang untuk hidup saat ini, namun mereka menghadapi ancaman kelaparan atau lebih buruk lagi kapan saja, entah mereka beriman atau tidak. Sulit untuk menyelaraskan fakta kemiskinan dan kelaparan dengan janji pemeliharaan Allah. Yesus tidak mengabaikan situasi ini. “Jual harta milikmu dan berilah sedekah!” katanya (Lukas 12:33, NIV), karena Dia tahu bahwa sejumlah orang sangat miskin. Itu sebabnya kita harus memberi kepada mereka. Mungkin jika semua pengikut Yesus menggunakan kerja dan kekayaan kita untuk mengentaskan dan mencegah kemiskinan, kita akan menjadi sarana pemeliharaan Allah bagi mereka yang sangat miskin. Namun karena umat Kristiani belum melakukan hal tersebut, kami tidak akan berpura-pura berbicara di sini atas nama orang-orang yang sangat miskin sehingga pemeliharaan kehidupan mereka diragukan. Sebaliknya, marilah kita bertanya apakah pemeliharaan akan hidup kita saat ini diragukan. Apakah kekhawatiran kita sebanding dengan bahaya kekurangan yang sebenarnya kita butuhkan? Apakah hal-hal yang kita khawatirkan itu benar-benar merupakan kebutuhan? Apakah hal-hal yang kita khawatirkan untuk diri kita sendiri sebanding dengan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang-orang yang sangat miskin sehingga kita tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan mereka? Jika tidak, apa pun selain nasihat Yesus untuk tidak mengkhawatirkan kebutuhan hidup adalah kebodohan.
Orang Samaria yang Baik Hati di Tempat Kerja—Kasihilah Sesama Seperti Diri Sendiri (Lukas 10:25-37)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTema pemeliharaan Allah melalui kerja manusia berlanjut dalam Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Dalam perumpamaan ini, pemeliharaan Allah bagi korban kejahatan datang melalui belas kasihan seorang musafir asing, yang jelas memiliki cukup kekayaan untuk membayar perawatan medis orang asing tersebut. Ini mungkin perumpamaan Yesus yang paling terkenal, meski hanya muncul dalam Injil Lukas. Perumpamaan ini langsung mengikuti catatan Lukas tentang Sepuluh Perintah Allah. Dalam Injil Matius dan Markus, Yesus mengatakan bahwa perintah terbesar dalam seluruh kitab suci adalah “mengasihi Allah” dan “mengasihi sesamamu.” Dalam Lukas 10:25-37 pembahasan tentang perintah terbesar ini langsung dilanjutkan dengan Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Untuk implikasi Perintah Utama di tempat kerja, lihat "Hukum Kasih Allah Adalah Suatu Kerangka yang Agung (Matius 22:34-40)” dan “Pekerjaan Kita Memenuhi Hukum Kasih” (Markus 12:28-34).”
Dalam cerita yang dikisahkan Lukas, si ahli Taurat memulai dengan bertanya kepada Yesus apa yang harus ia lakukan untuk mewarisi kehidupan kekal. Yesus meminta ahli Taurat untuk merangkum sendiri apa yang tertulis dalam hukum Taurat, dan si ahli Taurat menjawabnya dengan Perintah Utama “Kasihilah Allah, Allahmu… dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Yesus menjawab bahwa inilah sesungguhnya kunci kehidupan.
Ahli Taurat itu kemudian melanjutkan pertanyaannya kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Yesus menanggapinya dengan menceritakan sebuah kisah yang disebut “Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati.” Kisah ini begitu menarik hingga telah meresap ke dalam pengetahuan populer jauh melampaui kalangan Kristen. Orang yang belum pernah membaca Alkitab akan tetap mengenali arti istilah “Orang Samaria yang Baik Hati” sebagai seseorang yang mengurus orang asing yang membutuhkan bantuan.
Mengingat gagasan budaya tentang “Orang Samaria yang Baik Hati” sebagai seseorang yang memiliki belas kasih yang luar biasa, kita mungkin tergoda untuk mengabaikan orang Samaria yang sebenarnya dalam kisah Yesus. Namun penting bagi pemahaman kita atas pekerjaan kita sendiri untuk memeriksa mengapa orang Samaria yang Yesus gambarkan adalah seorang pengusaha sukses.
Orang Samaria dalam cerita Yesus menjumpai orang Yahudi yang dilukai oleh perampok di sepanjang jalur perdagangan terkenal. Orang Samaria itu kemungkinan besar sering menempuh jalur perdagangan tersebut, terbukti dari fakta bahwa ia dikenal di penginapan terdekat dan dianggap cukup dapat dipercaya oleh pemilik penginapan sehingga bisa meminta pelayanan tambahan. Apa pun jenis usahanya, orang Samaria itu cukup sukses sehingga mampu membeli minyak dan anggur untuk keperluan pengobatan dan menyewa kamar di penginapan untuk seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia bersedia menghabiskan uangnya untuk orang asing itu, demikian pula waktunya. Orang Samaria itu menunda urusannya yang lain untuk memenuhi kebutuhan orang asing yang terluka itu.
Maka perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati dapat diartikan sebagai sebuah cerita tentang menggunakan kesuksesan materi kita untuk memberi manfaat bagi orang lain. Pahlawan dalam perumpamaan ini menggunakan uangnya untuk orang asing tanpa kewajiban langsung untuk melakukannya. Mereka tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau bahkan hubungan iman. Memang benar, orang Samaria dan Yahudi sering kali bermusuhan satu sama lain. Namun dalam pikiran Yesus, mengasihi Allah berarti menjadikan siapa pun yang membutuhkan bantuan kita menjadi “sesama” kita. Yesus menekankan hal ini dengan membalikkan maksud pertanyaan awal ahli Taurat tersebut. Ahli Taurat itu bertanya, “Dan siapakah sesamaku?” Suatu pertanyaan yang berawal dari diri sendiri kemudian menanyakan siapa yang wajib dibantunya. Yesus membalikkan pertanyaan itu, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” sebuah pertanyaan yang berpusat pada orang yang membutuhkan, dan bertanya siapa yang wajib menolongnya. Jika kita mulai dengan memikirkan orang yang membutuhkan pertolongan, ketimbang diri kita sendiri, apakah hal ini memberi kita sudut pandang berbeda mengenai apakah Allah memanggil kita untuk membantu?
Ini tidak berarti kita dipanggil untuk selalu siap sedia secara mutlak dan tidak terbatas. Tidak seorang pun yang dipanggil untuk memenuhi semua kebutuhan dunia. Itu di luar kemampuan kita. Orang Samaria itu tidak berhenti dari pekerjaannya untuk mencari setiap pelancong yang terluka di Kekaisaran Romawi. Namun jika ia menemukan—secara harafiah—seseorang yang membutuhkan bantuan yang bisa ia berikan, ia mengambil tindakan. “Sesama kita,” kata pengkhotbah Haddon Robinson, “adalah seseorang yang kebutuhannya dapat Anda penuhi.”
Orang Samaria tidak hanya membantu orang yang terluka dengan melemparkan beberapa koin ke arahnya. Sebaliknya, ia memastikan semua kebutuhan orang itu terpenuhi, baik kebutuhan medis yang mendesak maupun kebutuhannya akan tempat untuk memulihkan diri. Jadi, orang Samaria itu mengurus orang itu seperti ia mengurus dirinya sendiri. Hal ini menggenapi Imamat 19:18, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Orang Samaria itu mengambil risiko yang sangat besar untuk membantu orang asing ini. Ia berisiko disergap oleh bandit yang sama ketika ia membungkuk untuk melihat apa yang terjadi pada orang itu. Ia berisiko ditipu oleh pemilik penginapan. Ia berisiko terbebani oleh biaya dan beban emosional karena mengurus seseorang yang menjadi sakit kronis. Namun ia mengambil risiko ini karena ia bertindak seolah-olah nyawanya sendirilah yang terancam. Ini adalah contoh terbaik Yesus tentang apa artinya menjadi sesama manusia dengan “mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Ciri lain dari kisah ini yang mungkin mengejutkan para pendengar Yesus adalah etnisitas sang pahlawan, seorang Samaria. Umat Yesus, orang-orang Yahudi, menganggap orang Samaria lebih rendah secara etnis dan relijius. Namun perilaku orang Samaria itu lebih selaras dengan Hukum Musa dibandingkan para pemimpin agama Yahudi yang lewat di seberang jalan. Kehadirannya di wilayah Yahudi bukanlah suatu bahaya yang harus ditakuti, namun merupakan suatu anugerah penyelamatan yang patut disambut.
Di tempat kerja, kita mempunyai banyak kesempatan untuk menjadi sesame manusia dengan rekan kerja, pelanggan, dan orang lain yang berbeda etnis atau budaya. Menjadi Orang Samaria yang Baik Hati di tempat kerja berarti menumbuhkan kesadaran khusus akan kebutuhan orang lain. Apakah ada orang di tempat kerja Anda yang dirampok dengan cara tertentu? Seringkali kelompok etnis tertentu tidak mendapat pengakuan atau promosi. Seorang Kristen yang bertanggungjawab seharusnya menjadi orang yang berkata, “Apakah kita akan memberikan bagian yang adil kepada orang ini?”
Demikian pula, ketika permusuhan tumbuh antara orang Yahudi dan orang Samaria, manajemen dan karyawan sering kali menganggap diri mereka sebagai dua suku yang berbeda. Namun hal tersebut tidak perlu terjadi. Ada satu perusahaan yang tidak melihatnya sama sekali. Arthur Demoulas, CEO jaringan toko kelontong Market Basket, berkomitmen untuk memperlakukan pekerjanya dengan sangat baik. Ia membayar mereka jauh di atas upah minimum dan menolak membatalkan rencana bagi hasil perusahaan bahkan ketika perusahaan tersebut merugi selama krisis ekonomi. Ia menjalin hubungan langsung dengan para pekerjanya, mengenal nama-nama sebanyak mungkin dari mereka. Ini bukanlah prestasi kecil dalam sebuah perusahaan dengan 25.000 karyawan. Ketika dewan direksi Market Basket memecat Arthur Demoulas pada tahun 2014, sebagian besar karena praktik kemurahan hatinya, karyawan jaringan supermarket tersebut melakukan pemogokan. Para pekerja menolak untuk meletakkan stok barang di rak penjualan sampai Arthur Demoulas mendapatkan kembali kendali atas perusahaan. Ini mungkin pertama kalinya para pekerja di sebuah perusahaan besar berorganisasi di tingkat akar rumput untuk memilih CEO mereka sendiri, dan hal ini dipicu oleh kemurahan hati Arthur Demoulas yang rela berkorban.
Dalam hal ini, menjadi orang Samaria yang Baik hati justru mendongkrak kesuksesan Arthur Demoulas. Mungkin ini bukan hanya nasihat rohani yang baik tetapi juga nasihat bisnis yang baik ketika Yesus berkata, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Bendahara yang Tidak Jujur dan Anak yang Hilang (Lukas 16:1-13; 15:11-32)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan Bendahara yang Tidak Jujur (Lukas 16:1-13)
Kunci dari rasa aman tentang hal-hal yang kita butuhkan bukanlah pendapatan dan menabung yang dilakukan dengan penuh kecemasan, namun melalui pelayanan dan pembelanjaan yang dapat dipercaya. Jika Allah dapat mempercayai kita untuk membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan orang lain, maka uang yang kita sendiri perlukan pun akan tercukupi. Inilah inti dari perumpamaan bendahara yang tidak jujur. Dalam perumpamaan itu, seorang bendahara menghambur-hamburkan harta majikannya, dan sebagai akibatnya, diberitahu bahwa ia akan dipecat. Ia menggunakan hari-hari terakhirnya dalam pekerjaannya untuk menipu tuannya lebih lanjut, tetapi ada pelintiran aneh dalam cara melakukannya. Ia tidak mencoba mencuri dari tuannya. Mungkin ia tahu bahwa tidak mungkin membawa apa pun saat ia meninggalkan perkebunan. Sebaliknya, ia dengan curang mengurangi hutang para debitur majikannya, dengan harapan bahwa mereka akan membalas budi dan menafkahinya ketika ia menganggur.
Seperti bendahara yang tidak jujur ini, kita tidak bisa membawa apa pun ketika kita meninggalkan kehidupan ini. Bahkan dalam hidup kita, tabungan kita bisa hancur karena inflasi yang terlalu tinggi, jatuhnya pasar saham, pencurian, penyitaan, tuntutan hukum, perang, dan bencana alam. Karenanya, menabung dalam jumlah besar tidak memberikan rasa aman yang nyata. Sebaliknya, kita harus membelanjakan kekayaan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan bergantung pada mereka untuk melakukan hal yang sama ketika kita membutuhkannya. “Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.” (Lukas 16:9, catatan kaki NRSV b). Dengan menolong debitur majikannya, bendahara yang tidak jujur menciptakan persahabatan. Saling menipu mungkin bukan cara terbaik untuk membangun hubungan. Namun ternyata itu lebih baik daripada tidak membangun hubungan sama sekali. Membangun hubungan jauh lebih efektif untuk mendapatkan rasa aman dibandingkan membangun kekayaan. Kata kekal menandakan bahwa hubungan yang baik membantu kita di saat-saat sulit dalam hidup ini, dan juga akan bertahan hingga kehidupan kekal.
Contoh ekstrim dari prinsip ini terjadi ketika perang, teror, atau bencana menghancurkan tatanan perekonomian masyarakat. Di kamp pengungsi, di penjara, atau dalam perekonomian yang mengalami hiperinflasi, kekayaan yang mungkin Anda miliki sebelumnya tidak dapat menghasilkan bahkan kulit roti sekalipun. Namun jika Anda pernah menolong orang lain, Anda mungkin mendapati mereka menolong Anda di saat-saat tersulit Anda. Perhatikan bahwa orang yang dibantu oleh bendahara yang tidak jujur itu bukanlah orang-orang kaya. Mereka adalah debitur. Bendahara yang tidak jujur itu tidak bergantung pada kekayaan mereka tetapi pada hubungan saling ketergantungan yang telah dibangun di antara mereka.
Namun Yesus tidak mengatakan agar kita bergantung pada perasaan dari orang-orang yang mungkin telah Anda bantu selama bertahun-tahun, yang bisa berubah-ubah. Kisah ini dengan cepat beralih dari orang yang berhutang ke sang majikan (Lukas 16:8), dan Yesus mendukung perkataan sang majikan, “Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar” (Lukas 16:10). Hal ini menunjuk kepada Allah sebagai penjamin bahwa menggunakan uang untuk hubungan akan menghasilkan rasa aman yang langgeng. Ketika Anda membangun hubungan yang baik dengan orang lain, Anda akan memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Yesus tidak mengatakan mana yang lebih penting bagi Allah, kemurahan hati terhadap orang miskin atau hubungan baik dengan manusia. Mungkin keduanya. “Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Lukas 16:11). Kekayaan sejati adalah hubungan baik dengan orang-orang yang didasarkan bahwa kita sama-sama diadopsi sebagai anak-anak Allah, dan hubungan baik dengan Allah diwujudkan dalam kemurahan hati terhadap orang miskin. Hubungan yang baik menghasilkan buah yang baik, yang memberi kita kemampuan lebih besar untuk membangun hubungan baik dan bermurah hati kepada orang lain. Jika Allah dapat mempercayai Anda untuk bermurah hati dengan sedikit uang dan menggunakannya untuk membangun hubungan yang baik, Dia akan dapat mempercayai Anda dengan sumber daya yang lebih besar.
Ini menunjukkan bahwa jika Anda tidak memiliki tabungan yang cukup untuk merasa aman, jawabannya bukanlah mencoba untuk menabung lebih banyak. Sebaliknya, gunakan sedikit uang yang Anda miliki untuk kemurahan hati atau keramahtamahan. Tanggapan orang lain terhadap kemurahan hati dan keramahtamahan Anda mungkin memberi Anda lebih banyak rasa aman daripada menghemat lebih banyak uang. Tentu saja, hal ini harus dilakukan dengan bijaksana, dengan cara yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain, dan bukan sekadar untuk menenangkan hati nurani Anda atau menyanjung orang-orang yang menjadi sasaran sebagai dermawan di masa depan. Bagaimanapun, rasa aman utama Anda ada pada kemurahan hati dan keramahtamahan Allah.
Gema Anak yang Hilang (Lukas 15:11-32)
Ini mungkin nasihat finansial yang mengejutkan: Jangan menabung, tapi gunakan apa yang Anda miliki untuk mendekatkan diri dengan orang lain. Namun, perhatikan bahwa kisah ini muncul segera setelah kisah anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Dalam cerita tersebut, si anak bungsu menghambur-hamburkan seluruh hartanya, sedangkan anak sulung menyimpan uangnya dengan sangat hemat sehingga ia bahkan tidak bisa bersenang-senang dengan teman-teman terdekatnya (Lukas 16:29). Pemborosan anak bungsu membawa kehancuran. Namun penghamburan kekayaannya membuatnya bergantung sepenuhnya pada ayahnya. Kegembiraan sang ayah karena ia kembali menghapus semua perasaan negatif yang dimilikinya tentang putranya yang membuatnya kehilangan setengah kekayaan. Sebaliknya, si anak sulung mencengkeram erat-erat sisa kekayaan keluarga, membuatnya menjauhi hubungan dekat dengan ayahnya.
Baik dalam kisah bendahara yang tidak jujur dan kisah anak yang hilang, Yesus tidak mengatakan bahwa kekayaan itu pada dasarnya buruk. Sebaliknya, Dia mengatakan bahwa penggunaan kekayaan yang tepat adalah dengan menggunakannya, terutama untuk tujuan-tujuan Allah—tetapi jika bukan itu, maka untuk hal-hal yang akan meningkatkan ketergantungan kita kepada Allah.
Yesus dan Kekayaan dalam Kitab Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDua perikop terakhir beralih dari topik pemeliharaan kebutuhan ke topik kekayaan. Meskipun Yesus tidak menentang kekayaan, Dia memandang kekayaan dengan curiga. Perekonomian pasar didasarkan pada penciptaannya, pertukaran, dan akumulasi kekayaan milik pribadi. Kenyataan ini begitu tertanam dalam banyak masyarakat sehingga mengejar dan akumulasi kekayaan pribadi, bagi banyak orang, telah menjadi tujuan akhir. Namun, seperti yang telah kita lihat, Yesus tidak memandang akumulasi kekayaan sebagai tujuan akhir yang tepat. Sama seperti pekerjaan seseorang (yang meneladani kehidupan Yesus) harus menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap orang lain dan keengganan untuk menggunakan kekuasaan atau otoritas yang berhubungan dengan pekerjaan hanya untuk keuntungan diri sendiri, demikian pula kekayaan harus digunakan dengan kepedulian yang mendalam terhadap sesama. Meskipun karya kedua Lukas, kitab Kisah Para Rasul (lihat Kisah Para Rasul dan Kerja di https://www.teologikerja.org/), memuat lebih banyak materi yang berhubungan dengan kekayaan, Injilnya juga memberikan tantangan yang signifikan terhadap asumsi dominan tentang kekayaan.
Keprihatinan Tentang Orang Kaya (Lukas 6:25; 12:13-21; 18:18-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMasalah pertama Yesus dengan kekayaan adalah bahwa kekayaan cenderung menggantikan Allah dalam kehidupan orang-orang kaya. “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Lukas 12:34). Yesus ingin manusia menyadari bahwa hidup mereka bukan ditentukan oleh apa yang mereka miliki, namun oleh kasih Allah bagi mereka dan panggilan-Nya dalam hidup mereka. Lukas mengharapkan kita – dan pekerjaan yang kita lakukan – diubah secara mendasar melalui perjumpaan kita dengan Yesus.
Namun memiliki kekayaan sepertinya membuat kita keras kepala menolak segala perubahan dalam hidup. Kekayaan memberi kita sarana untuk mempertahankan status quo, menjadi mandiri, dan melakukan segala sesuatu dengan cara kita sendiri. Kehidupan yang benar atau kekal adalah kehidupan yang berhubungan dengan Allah (dan orang lain), dan kekayaan yang menggantikan Allah pada akhirnya mengarah pada kematian kekal. Seperti yang Yesus katakan, “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Lukas 9:25). Orang-orang kaya mungkin terpikat untuk menjauh dari kehidupan bersama Allah oleh kekayaan mereka sendiri, sebuah nasib yang tidak dialami orang-orang miskin. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah,” kata Yesus (Lukas 6:20). Ini bukanlah janji imbalan di masa depan, namun pernyataan realitas saat ini. Orang miskin tidak mempunyai kekayaan yang menghalangi mereka untuk mengasihi Allah. Namun “Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar” (Lukas 6:25). “Lapar” tampaknya merupakan sebuah pernyataan yang tidak sepenuhnya merangkum pengertian “kehilangan kehidupan kekal karena menempatkan Allah di luar kepentingan Anda,” namun jelas itulah implikasinya. Tetapi mungkin masih ada harapan bahkan bagi mereka yang sangat kaya sekalipun.
Perumpamaan Orang Kaya yang Bodoh (Lukas 12:13-21)
Perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13-21) mengangkat tema ini secara dramatis. “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya,” terlalu banyak untuk disimpan di lumbung orang itu. " Apakah yang harus aku perbuat?" ia khawatir, dan memutuskan untuk merobohkan lumbungnya dan membangun yang lebih besar. Ia termasuk orang yang percaya bahwa semakin banyak kekayaan akan mengurangi kekhawatiran terhadap uang. Namun sebelum ia menyadari betapa hampanya kekayaannya yang membuatnya khawatir, ia menemui takdir yang lebih kejam: kematian. Saat ia bersiap untuk mati, pertanyaan Allah yang mengejek terdengar bagaikan pedang bermata dua, “Apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (Lukas 12:20). Jawaban pertama adalah, “Bukan milikmu,” karena kekayaan yang ia andalkan untuk memuaskannya selama bertahun-tahun akan langsung berpindah ke orang lain. Sisi lainnya memotong lebih dalam lagi, dan itulah jawabannya, “Milikmu.” Engkau—orang kaya yang bodoh—akan mendapatkan apa yang telah engkau persiapkan untuk dirimu sendiri, kehidupan setelah kematian tanpa Allah, kematian yang sesungguhnya. Kekayaannya telah menghalanginya dari kebutuhan untuk mengembangkan hubungan dengan Allah, yang ditunjukkan oleh kegagalannya untuk berpikir bahkan menggunakan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan. “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah” (Lukas 12:21).
Persahabatan dengan Allah terlihat di sini dari segi ekonomi. Sahabat Allah yang kaya menolong sahabat Allah yang miskin. Masalah orang kaya yang bodoh adalah ia menimbun harta untuk dirinya sendiri, bukan menghasilkan lapangan kerja atau kemakmuran bagi orang lain. Hal ini berarti bahwa ia lebih mencintai harta dibandingkan Allah, dan bahwa ia tidak murah hati terhadap orang miskin. Kita bisa membayangkan orang kaya yang benar-benar mengasihi Allah dan tidak menganggap kekayaan terlalu serius, orang yang memberi secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan, atau lebih baik lagi, menginvestasikan uangnya untuk memproduksi barang dan jasa yang baik, mempekerjakan angkatan kerja yang terus bertambah, dan memperlakukan orang dengan adil dan adil dalam bekerja. Bahkan, kita dapat menemukan banyak orang seperti itu di dalam Alkitab (misalnya Yusuf dari Arimatea, Lukas 23:50) dan di dunia sekitar kita. Orang-orang seperti itu diberkati baik dalam kehidupan maupun setelahnya. Namun kami tidak ingin menghilangkan sengatan dari perumpamaan ini: jika dimungkinkan untuk bertumbuh (secara ekonomi dan sebaliknya) dengan anugerah, maka dimungkinkan juga untuk bertumbuh hanya dengan keserakahan; pertanggungjawaban terakhir ada pada Allah.
Seorang yang Kaya (Lukas 18:18-30)
Perjumpaan Yesus dengan seseorang yang kaya (Lukas 18:18-30) menunjuk kepada kemungkinan penebusan dari cengkeraman kekayaan. Orang ini tidak membiarkan kekayaannya sepenuhnya menggantikan keinginannya akan Allah. Ia mulai dengan bertanya kepada Yesus, “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Sebagai jawabannya, Yesus merangkum Sepuluh Perintah Allah. “Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku,” jawab orang itu (Lukas 18:21), dan Yesus mempercayai perkataannya. Meski begitu, Yesus melihat pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekayaan terhadap orang itu. Jadi Dia menawarkan kepadanya suatu cara untuk mengakhiri pengaruh buruk kekayaan. “Juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Lukas 18:22). Siapa pun yang kerinduannya yang terdalam adalah Allah pasti akan melompat menerima undangan keintiman pribadi setiap hari dengan Anak Allah. Namun sudah terlambat bagi si orang kaya – kecintaannya pada kekayaan sudah melebihi kecintaannya pada Allah. “Ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya” (Lukas 18:23). Yesus mengenali gejalanya dan berkata, “Alangkah sukarnya orang yang banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Lukas 18:24-25).
Sebaliknya, orang-orang miskin seringkali menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Janda miskin mampu memberikan segala miliknya demi kasihnya kepada Allah (Lukas 21:1-4). Ini bukanlah ringkasan penghakiman Allah terhadap orang-orang kaya, namun sebuah pengamatan terhadap kuatnya cengkeraman daya tarik kekayaan. Orang-orang yang berdiri di dekat Yesus dan si orang kaya juga menyadari masalah tersebut dan merasa putus asa tentang apakah seseorang dapat menolak daya tarik kekayaan, meskipun mereka sendiri telah memberikan segalanya untuk mengikuti Yesus (Lukas 18:28). Namun Yesus tidak putus asa, karena “apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah” (Lukas 18:27). Allah sendirilah yang menjadi sumber kekuatan bagi keinginan untuk lebih mencintai Allah dibandingkan kekayaan.
Mungkin dampak paling berbahaya dari kekayaan adalah bahwa kekayaan dapat menghalangi kita untuk menginginkan masa depan yang lebih baik. Jika Anda kaya, segalanya akan baik-baik saja seperti sekarang. Perubahan menjadi ancaman, bukan peluang. Dalam kasus si orang kaya, hal ini membutakannya terhadap kemungkinan bahwa hidup bersama Yesus bisa menakjubkan tanpa bandingan. Yesus menawarkan kepada orang kaya itu pemahaman akan identitas dan rasa aman yang baru. Seandainya ia bisa membayangkan bahwa hal itu bisa menggantikan hilangnya kekayaannya, mungkin ia bisa menerima undangan Yesus. Yang paling lucu, ketika para murid berbicara tentang segala sesuatu yang telah mereka tinggalkan dan Yesus menjanjikan kepada mereka kekayaan yang melimpah karena menjadi bagian dari kerajaan Allah. Bahkan di zaman ini, kata Yesus, mereka akan menerima “berlipat ganda” baik dalam sumber daya maupun hubungan, dan di zaman mendatang, kehidupan kekal (Lukas 18:29-30). Hal inilah yang secara tragis dilewatkan oleh orang kaya tersebut. Ia hanya bisa melihat apa yang akan hilang darinya, bukan apa yang akan didapatnya.
Kisah si orang kaya dibahas lebih lanjut dalam "Markus 10:17-31" dalam Markus dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.
Kepedulian terhadap Orang Miskin (Lukas 6:17-26; 16:19-31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKesejahteraan orang kaya bukan satu-satunya keprihatinan Yesus sehubungan dengan kekayaan. Dia juga peduli terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. “Juallah segala milikmu,” katanya “dan berilah sedekah! [kepada orang miskin]. Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di surga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusak ngengat” (Lukas 12:33). Jika penimbunan kekayaan merugikan orang kaya, apalagi bagi orang miskin?
Kepedulian Allah yang terus-menerus terhadap orang-orang miskin dan tak berdaya melekat dalam Magnificat (Lukas 1:46-56) dan Khotbah di Dataran (Lukas 6:17-26), dan bahkan di seluruh Injil Lukas. Namun Yesus menekankan hal ini dalam perumpamaan Lazarus dan orang kaya (Lukas 16:19-31). Orang kaya ini berpakaian mewah dan hidup mewah, sementara ia tidak melakukan apa pun untuk membantu Lazarus, yang sedang sekarat karena kelaparan dan penyakit. Lazarus meninggal, tetapi tentu saja, demikian pula orang kaya itu, mengingatkan kita bahwa kekayaan tidak memiliki kekuatan yang besar. Para malaikat membawa Lazarus ke surga, tampaknya tanpa alasan apa pun selain kemiskinannya (Lukas 16:22), kecuali mungkin juga karena kasih kepada Allah yang tidak pernah digantikan oleh kekayaan. Orang kaya pergi ke Hades (atau “neraka” sebagaimana NIV menerjemahkannya), tampaknya tanpa alasan apa pun selain kekayaannya (Lukas 16:23), kecuali mungkin karena kecintaannya pada kekayaan sehingga tidak ada ruang bagi Allah atau orang lain. Implikasinya kuat bahwa tugas orang kaya adalah memenuhi kebutuhan Lazarus sesuai kemampuannya (Lukas 16:25). Mungkin dengan berbuat demikian, ia dapat menemukan kembali ruang dalam dirinya untuk memiliki hubungan yang baik dengan Allah dan menghindari akhir hidupnya yang menyedihkan. Lebih jauh lagi, seperti kebanyakan orang kaya, ia peduli terhadap keluarganya, ingin memperingatkan mereka tentang penghakiman yang akan datang, namun kepeduliannya terhadap keluarga Allah yang lebih luas seperti yang diungkapkan dalam hukum Taurat dan kitab-kitab para nabi sangat kurang, dan tidak ada seorang pun yang kembali dari kematian bisa memperbaikinya.
Berinvestasi dalam Pekerjaan Yesus (Lukas 8:3; 10:7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-13) mengajarkan pentingnya menggunakan uang dengan bijak. Lukas memberikan contoh mengenai orang-orang yang menginvestasikan uang mereka dalam pekerjaan Yesus: Maria Magdalena, Yohana, dan Susana disebutkan bersama dengan kedua belas murid karena dukungan finansial mereka terhadap pekerjaan Yesus. Sungguh mengejutkan betapa menonjolnya perempuan dalam daftar ini, karena hanya sedikit perempuan di dunia kuno yang memiliki kekayaan. Namun “Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan harta milik mereka” (Lukas 8:3, NIV). Kemudian, ketika Yesus mengutus para penginjil, Dia meminta mereka untuk bergantung pada kemurahan hati orang-orang yang mereka layani, “sebab pekerja patut mendapat upahnya” (Lukas 10:7).
Apa yang tampak mengejutkan adalah hanya kedua komentar yang agak sembarangan ini yang Lukas katakan tentang memberi kepada apa yang sekarang kita kenal sebagai gereja. Dibandingkan dengan kepedulian Yesus yang tak henti-hentinya terhadap pemberian kepada orang miskin, Dia tidak banyak bicara tentang memberi persembahan kepada gereja. Misalnya saja, Dia sama sekali tidak menafsirkan persepuluhan dalam Perjanjian Lama sebagai milik gereja. Hal ini tidak berarti mengatakan bahwa Yesus mempertentangkan kemurahan hati kepada orang miskin dengan kemurahan hati kepada gereja. Sebaliknya, ini adalah masalah penekanan. Kita harus ingat bahwa memberi uang bukanlah satu-satunya cara bermurah hati. Manusia juga berpartisipasi dalam pekerjaan penebusan Allah dengan menggunakan keterampilan, gairah, hubungan, dan doa mereka secara kreatif.
Kedermawanan: Rahasia Mematahkan Genggaman Kekayaan (Lukas 10:38-42; 14:12-14; 24:13-15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHal ini menyatakan bahwa senjata rahasia Allah adalah kemurahan hati. Jika dengan kuasa Allah Anda bisa bermurah hati, kekayaan mulai kehilangan kendali atas Anda. Kita telah melihat betapa besarnya kemurahan hati bekerja di hati seorang janda miskin. Jauh lebih sulit bagi orang kaya untuk bermurah hati, namun Yesus mengajarkan bagaimana kemurahan hati juga bisa dilakukan oleh mereka. Salah satu jalan penting menuju kemurahan hati adalah dengan memberi kepada orang-orang yang terlalu miskin untuk membalas Anda kembali.
Yesus bersabda juga kepada orang yang mengundang-Nya, “Lalu Yesus berkata juga kepada orang yang mengundang Dia, "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau lagi dan dengan demikian engkau mendapat balasannya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasannya pada hari kebangkitan orang-orang benar." (Lukas 14:12-14)
Kedermawanan yang berpamrih bukanlah kemurahan hati, melainkan membeli pamrih. Kemurahan hati yang sejati adalah memberi ketika tidak ada imbalan yang mungkin didapat, dan inilah yang diberi imbalan dalam kekekalan. Tentu saja, pahala di surga bisa dianggap sebagai semacam gratifikasi yang tertunda, ketimbang kemurahan hati yang sejati: Anda memberi karena Anda mengharapkan imbalan pada saat kebangkitan, bukan pada saat hidup di dunia. Tampaknya ini adalah jenis pamrih yang lebih bijaksana, namun tetap saja merupakan pamrih. Perkataan Yesus tidak mengesampingkan penafsiran kemurahan hati sebagai pamrih yang kekal, namun ada penafsiran yang lebih mendalam dan memuaskan. Kemurahan hati yang sejati –yang tidak mengharapkan imbalan dalam kehidupan ini atau kehidupan berikutnya – mematahkan cengkeraman kekayaan yang menggusur Allah. Ketika Anda memberikan uang, uang melepaskan cengkeramannya atas Anda, tetapi hanya jika Anda menaruh uang itu secara permanen di luar jangkauan Anda. Ini adalah realitas psikologis, sekaligus realitas material dan spiritual. Kemurahan hati memberikan ruang bagi Allah untuk menjadi Allah Anda lagi, dan ini membawa pada imbalan kebangkitan yang sejati— kehidupan kekal bersama Allah.
Maria dan Marta (Lukas 10:38-42)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Marta dan Maria (Lukas 10:38-42) juga menempatkan kemurahan hati dalam konteks kasih kepada Allah. Marta bekerja menyiapkan makan malam, sementara Maria duduk dan mendengarkan Yesus. Marta meminta Yesus untuk menegur saudarinya karena tidak membantu, namun Yesus malah memuji Maria. Sayangnya, cerita ini sering kali mendapat penafsiran yang meragukan, dengan Marta menjadi contoh dari semua hal yang salah dalam kehidupan yang penuh kesibukan dan gangguan, atau apa yang disebut oleh Gereja Abad Pertengahan sebagai kehidupan Marta yang aktif atau penuh pekerjaan, yang diperbolehkan tetapi lebih rendah daripada kehidupan kontemplasi atau dalam biara yang sempurna. Namun kisah ini harus dibaca dengan latar belakang Injil Lukas secara keseluruhan, di mana tindakan keramahtamahan (suatu bentuk kemurahan hati yang penting di Timur Dekat kuno) merupakan salah satu tanda utama mendobraknya kerajaan Allah.[1]
Maria dan Marta bukanlah musuh melainkan saudara. Dua saudara perempuan yang bertengkar tentang tugas-tugas rumah tangga secara masuk akal tidak dapat ditafsirkan sebagai pertarungan cara hidup yang tidak sejalan. Pelayanan Marta yang murah hati tidak diremehkan oleh Yesus, namun kekhawatirannya menunjukkan bahwa pelayanannya perlu didasarkan pada kasih Maria terhadap Yesus. Bersama-sama, kakak beradik ini mewujudkan kebenaran bahwa kemurahan hati dan kasih Allah adalah realitas yang saling terkait. Marta menunjukkan kemurahan hati yang Yesus puji dalam Lukas 14:12-14, karena Dia adalah seseorang yang tidak dapat membalas dengan hal yang sama. Dengan duduk di kaki Yesus, Maria menunjukkan bahwa semua pelayanan kita harus didasarkan pada hubungan pribadi yang hidup dengan-Nya. Mengikuti Kristus berarti menjadi seperti Marta dan Maria. Jadilah murah hati dan kasihilah Allah. Hal ini saling memperkuat, begitu pula hubungan kedua kakak beradik ini satu sama lain.
Kekuasaan dan Kepemimpinan dalam Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebagai raja, Yesus adalah pemimpin kerajaan Allah. Dia menggunakan kekuatan-Nya dalam banyak cara yang dicatat dalam Injil Lukas. Namun umat Kristiani sering kali enggan menjalankan kepemimpinan atau kekuasaan, seolah-olah keduanya pada dasarnya jahat. Yesus mengajarkan sebaliknya. Umat Kristen dipanggil untuk memimpin dan menjalankan kekuasaan, namun tidak seperti kekuasaan di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, mereka harus menggunakannya untuk tujuan Allah dan bukan untuk kepentingan mereka sendiri.
Pelayanan yang Rendah Hati (Lukas 9:46-50, 14:7-11, 22:24-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus menyatakan bahwa kepemimpinan membutuhkan pelayanan yang rendah hati kepada orang lain, seperti yang kita lihat dalam tiga ayat tambahan. Pada bagian pertama (Lukas 9:46-50), murid-murid Yesus mulai berdebat siapa yang akan menjadi yang terbesar. Yesus menjawab bahwa yang terbesar adalah orang yang menyambut seorang anak dalam namanya. “Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.” Perhatikan bahwa modelnya bukanlah sang anak, namun orang yang menyambut seorang anak. Melayani orang-orang yang orang lain anggap tidak sepadan dengan waktu mereka adalah hal yang menjadikan seorang pemimpin hebat.
Perikop kedua (Lukas 14:7-11) adalah tanggapan Yesus terhadap sikap sosial yang dilihat-Nya di sebuah perjamuan. Yesus mengatakan, hal ini tidak hanya membuang-buang waktu, tetapi juga kontraproduktif. “Sebab siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Jika diterapkan pada kepemimpinan, hal ini berarti bahwa jika Anda berusaha memonopoli semua penghargaan, orang-orang akan berhenti mengikuti Anda, atau perhatian mereka teralihkan dengan mencoba membuat Anda terlihat buruk. Namun jika Anda menghargai orang lain, orang lain akan ingin mengikuti Anda dan itu akan menghasilkan pengakuan sejati.
Perikop ketiga (Lukas 22:24-30) kembali pada pertanyaan siapakah yang terbesar di antara para murid. Kali ini Yesus menjadikan diri-Nya teladan kepemimpinan melalui pelayanan. “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” Dalam ketiga cerita tersebut, konsep pelayanan dan kerendahan hati saling terkait. Kepemimpinan yang efektif membutuhkan pelayanan — atau memang — pelayanan. Pelayanan membutuhkan tindakan seolah-olah Anda tidak sepenting yang Anda kira.
Lihat *Kepemimpinan (ISI BELUM TERSEDIA) di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut mengenai subjek ini.
Kegigihan: Perumpamaan Janda yang Gigih (Lukas 18:1-8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam perumpamaan tentang janda yang gigih (Lukas 18:1-8), seseorang yang miskin dan tidak berdaya (janda) terus-menerus memohon orang yang korup dan berkuasa (hakim) agar melakukan keadilan baginya. Perumpamaan ini mengasumsikan ajaran Yohanes Pembaptis bahwa memegang posisi berkuasa dan kepemimpinan mewajibkan Anda untuk bekerja secara adil, terutama demi kepentingan orang miskin dan lemah. Namun Yesus memfokuskan perumpamaan ini pada hal yang berbeda, yaitu kita harus “selalu berdoa tanpa jemu-jemu” (Lukas 18:1). Dia menyamakan para pendengar-Nya – kita – dengan perempuan tersebut, dan orang kepada siapa kita berdoa – Allah – dengan hakim yang korup, suatu kombinasi yang aneh. Dengan asumsi bahwa Yesus tidak memaksudkan Allah itu jahat, maka poin-Nya pasti bahwa jika kegigihan membuahkan hasil pada manusia yang korup dan memiliki kuasa terbatas, maka terlebih lagi kegigihan akan membuahkan hasil jika Allah adil dan memiliki kuasa tak terbatas.
Tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk mendorong umat Kristiani agar bertekun dalam iman mereka melawan segala rintangan. Namun hal ini juga memiliki dua penerapan bagi mereka yang bekerja di posisi kepemimpinan. Pertama, dibandingkannya hakim yang korup dengan Allah yang adil menyiratkan bahwa kehendak Allah tetap bekerja bahkan di dunia yang rusak. Tugas hakim itu adalah menegakkan keadilan, dan demi Allah, ia akan menegakkan keadilan ketika janda itu sudah selesai berurusan dengannya. Di tempat lain, Alkitab mengajarkan bahwa otoritas sipil melayani berdasarkan wewenang dari Allah, baik mereka menyadarinya atau tidak (Yohanes 19:11; Roma 13:1; 1 Petrus 2:13). Jadi ada harapan bahwa bahkan di tengah ketidakadilan yang sistemik, keadilan dapat ditegakkan. Tugas seorang pemimpin Kristen adalah mengupayakan harapan tersebut setiap saat. Kita tidak bisa memperbaiki setiap kesalahan di dunia dalam hidup kita. Namun kita tidak boleh putus asa, dan tidak pernah berhenti bekerja demi kebaikan yang lebih besar [1] di tengah-tengah sistem yang tidak sempurna di mana pekerjaan kita dilakukan. Badan legislator, misalnya, jarang mempunyai pilihan untuk memilih rancangan undang-undang yang baik atau rancangan undang-undang yang buruk. Biasanya hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah memilih rancangan undang-undang yang lebih besar manfaatnya daripada keburukannya. Namun mereka harus terus mencari peluang untuk mengajukan rancangan undang-undang yang tidak terlalu merugikan dan bahkan lebih bermanfaat.
Poin kedua adalah bahwa hanya Allah yang dapat menegakkan keadilan di dunia yang rusak ini. Itu sebabnya kita harus berdoa dan tidak menyerah dalam pekerjaan kita. Allah dapat memberikan keadilan yang ajaib di dunia yang rusak, sama seperti Allah dapat memberikan kesembuhan yang ajaib di dunia yang sakit. Tiba-tiba, tembok Berlin terbuka, rezim apartheid runtuh, dan perdamaian pun tercipta. Dalam perumpamaan tentang janda yang gigih, Allah tidak campur tangan. Kegigihan sang janda saja sudah membuat hakim bertindak adil. Namun Yesus mengindikasikan bahwa Allah adalah aktor yang tidak terlihat. “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya?” (Lukas 18:7).
Resiko: Perumpamaan Sepuluh Mina (Lukas 19:11-27)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan sepuluh mina (“pound” dalam terjemahan NRSV) berlatar belakang tempat kerja dengan keuangan tingkat tinggi. Seorang bangsawan kaya — dan akan segera berkuasa — melakukan perjalanan panjang untuk dinobatkan sebagai raja. Sebagian besar rakyatnya membencinya dan mengirimkan pesan terlebih dahulu bahwa mereka menentang penobatan ini (Lukas 19:14). Saat ia pergi, ia menugaskan tiga orang pelayannya untuk menginvestasikan uangnya. Dua di antara mereka mengambil risiko dengan menginvestasikan uang majikannya. Mereka mendapatkan keuntungan yang besar. Hamba ketiga takut mengambil resiko, sehingga ia menyimpan uangnya di tempat yang aman. Itu tidak menghasilkan keuntungan apa pun. Ketika tuannya kembali, ia telah menjadi raja seluruh wilayah. Ia memberi penghargaan kepada dua pelayan yang menghasilkan uang untuknya, mempromosikan mereka ke posisi tinggi. Ia menghukum hamba yang menyimpan uang itu dengan aman tetapi tidak produktif. Kemudian ia memerintahkan agar semua orang yang menentangnya dibunuh di hadapannya.
Yesus menceritakan perumpamaan ini sesaat sebelum berangkat ke Yerusalem, di mana Dia akan dimahkotai sebagai raja (“Terpujilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan,” Lukas 19:38) namun segera ditolak oleh umat-Nya. Hal ini mengidentifikasikan Yesus dengan bangsawan dalam perumpamaan tersebut, dan orang banyak yang berteriak “Salibkan Dia!” (Lukas 23:21) dengan orang-orang dalam perumpamaan yang menentang penobatan sang bangsawan. Dengan ini kita tahu bahwa rakyat telah salah menilai calon raja mereka, kecuali dua pelayan yang bekerja dengan rajin saat ia pergi. Perumpamaan ini, dalam konteks ini, memperingatkan kita bahwa kita harus memutuskan apakah Yesus benar-benar raja yang ditunjuk oleh Allah dan bersiap untuk menanggung konsekuensi dari keputusan kita, apakah kita akan mengabdi atau menentang Dia.[1]
Perumpamaan ini memperjelas bahwa warga kerajaan Allah bertanggung jawab untuk bekerja mencapai tujuan dan maksud Allah. Dalam perumpamaan ini, raja memberitahukan secara langsung kepada hamba-hambanya apa yang ia harapkan dari mereka, yaitu menginvestasikan uangnya. Panggilan atau perintah khusus ini memperjelas bahwa berkhotbah, penyembuhan, dan penginjilan (panggilan para rasul) bukanlah satu-satunya panggilan Allah yang harus dilakukan manusia. Tentu saja, tidak semua orang di kerajaan Allah dipanggil untuk menjadi investor. Dalam perumpamaan ini, hanya tiga warga negara yang terpanggil menjadi investor. Intinya adalah bahwa mengakui Yesus sebagai raja memerlukan upaya untuk mencapai tujuan-Nya dalam bidang pekerjaan apa pun yang Anda lakukan.
Dilihat dari sudut pandang ini, perumpamaan ini menunjukkan bahwa jika kita memilih untuk menerima Yesus sebagai raja, kita harus siap menjalani kehidupan yang penuh risiko. Para pelayan yang menginvestasikan uang majikannya menghadapi risiko diserang oleh orang-orang di sekitar mereka yang menolak wewenang sang majikan. Dan mereka menghadapi risiko mengecewakan tuan mereka dengan melakukan investasi yang mungkin akan merugi. Bahkan kesuksesan mereka membuat mereka menghadapi risiko. Kini setelah mereka merasakan kesuksesan dan dipromosikan, mereka berisiko menjadi serakah atau gila kekuasaan. Mereka menghadapi risiko bahwa investasi berikutnya – yang akan melibatkan jumlah yang jauh lebih besar – bisa gagal dan membuat mereka menghadapi konsekuensi yang lebih parah. Dalam praktik bisnis (dan olahraga) Anglo-Amerika, CEO (dan pelatih kepala) secara rutin dipecat jika hasil kerja mereka biasa-biasa saja, sedangkan mereka yang menduduki posisi lebih rendah dipecat hanya karena kinerja yang sangat buruk. Baik kegagalan maupun kesuksesan tidak aman dalam perumpamaan ini, atau di tempat kerja saat ini. Kita tergoda untuk mencari perlindungan dan mencari cara aman untuk mengakomodasi sistem sambil menunggu keadaan menjadi lebih baik. Namun menghindar untuk berlindung adalah satu-satunya tindakan yang Yesus kutuk dalam perumpamaan tersebut. Hamba yang berusaha menghindari risiko dianggap tidak setia. Kita tidak diberitahu apa yang akan terjadi jika dua hamba lainnya kehilangan uang atas investasi mereka, namun implikasinya adalah bahwa semua investasi yang dilakukan dalam pelayanan yang setia kepada Allah menyenangkan Dia, terlepas dari apakah investasi tersebut mencapai hasil yang diinginkan atau tidak.
Untuk pembahasan mengenai perumpamaan yang sangat mirip tentang talenta, lihat "Matius 25:14-30" dalam Matius and Kerja dalam www.theologyofwork.org.
Masalah Perpajakan (Lukas 19:1-10; 20:20-26)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSelama ini, Lukas telah mengidentifikasi Yesus sebagai pribadi yang membawa pemerintahan Allah ke bumi. Pada pasal 19, penduduk Yerusalem akhirnya mengakui Dia sebagai raja. Saat Dia berkendara ke kota menaiki seekor keledai muda, orang banyak berbaris di jalan dan menyanyikan pujian bagi-Nya. “Terpujilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” (Lukas 19:38). Seperti yang kita ketahui, kerajaan Allah mencakup seluruh kehidupan, dan isu-isu yang Yesus pilih untuk dibicarakan sebelum dan sesudah kedatangan-Nya ke Yerusalem adalah mengenai pajak dan investasi.
Zakheus, Pemungut Pajak (Lukas 19:1-10)
Saat melewati Yerikho dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus bertemu dengan seorang pemungut cukai bernama Zakheus, yang duduk di pohon untuk dapat melihat Yesus dengan lebih jelas. “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu,” kata Yesus (Lukas 19:5). Perjumpaan dengan Yesus sangat mengubah cara kerja Zakheus. Seperti semua pemungut pajak di negara-negara klien Romawi, Zakheus menghasilkan uang dengan membebankan pajak yang berlebihan kepada masyarakat. Meskipun hal ini mungkin sekarang kita sebut sebagai “praktik standar industri”, hal ini bergantung pada penipuan, intimidasi, dan korupsi. Begitu Zakheus masuk ke dalam kerajaan Allah, ia tidak dapat lagi bekerja seperti ini. “Zakheus berdiri di sana dan berkata kepada Allah, ‘Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan, "Tuhan, lihatlah, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Lukas 19:8). Bagaimana tepatnya – atau apakah – ia akan terus bisa menghasilkan nafkah, ia tidak mengatakannya, karena itu tidak penting. Sebagai warga kerajaan Allah, ia tidak boleh melakukan praktik bisnis yang bertentangan dengan cara Allah.
Berikan Kepada Allah Apa yang Menjadi Milik Allah (Lukas 20:20-26)
Setelah Yesus disambut sebagai raja di Yerusalem, ada satu perikop dalam Lukas yang sering digunakan secara keliru untuk memisahkan dunia kerja dari kerajaan Allah: perkataan Yesus tentang pajak. Para ahli Taurat dan imam-imam kepala berusaha “menjerat-Nya dengan suatu pertanyaan dan menyerahkan-Nya kepada wewenang dan kuasa gubernur” (Lukas 20:20). Mereka bertanya kepada-Nya apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar. Sebagai tanggapan, Dia meminta mereka untuk menunjukkan kepada-Nya sebuah koin, dan segera mereka menunjukkan satu dinar. Dia bertanya potret siapa yang ada di sana dan mereka menjawab, “Gambar dan tulisan Kaisar.” Yesus berkata, “Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Lukas 20:25, NIV).
Jawaban ini kadang-kadang ditafsirkan sebagai memisahkan hal-hal yang bersifat materi dari yang rohani, yang politis dari yang religius, dan dari yang duniawi dengan yang bersifat surgawi. Di gereja (wilayah Allah), kita harus jujur dan murah hati, serta menjaga kebaikan saudara-saudari kita. Di tempat kerja (wilayah Kaisar), kita harus menutupi kebenaran, didorong oleh kekhawatiran tentang uang, dan mengutamakan diri sendiri. Namun hal ini salah memahami ironi tajam dalam jawaban Yesus. Ketika Dia berkata, “berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar,” Dia tidak menyetujui pemisahan antara hal materi dan spiritual. Premis bahwa wilayah Kaisar dan wilayah Allah tidak tumpang tindih tidak masuk akal mengingat apa yang Yesus katakan di seluruh Injil Lukas. Apa milik Tuhan? Semuanya! Kedatangan Yesus ke dunia sebagai raja merupakan pernyataan Allah bahwa seluruh dunia adalah milik Allah. Apa pun yang menjadi milik Kaisar, juga milik Allah. Dunia pajak, pemerintahan, produksi, distribusi, dan segala jenis pekerjaan lainnya adalah dunia yang sedang dibobol oleh kerajaan Allah. Umat Kristiani dipanggil untuk terlibat dalam dunia ini, bukan untuk keluar darinya. Perikop ini merupakan kebalikan dari pembenaran untuk memisahkan dunia kerja dari dunia Kristen. Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar (pajak) dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah (semuanya, termasuk pajak). Untuk diskusi yang lebih menyeluruh mengenai kejadian ini, lihat bagian "Matius 17:24-27 dan 22:15-22" dalam Matius dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.
Kesengsaraan Yesus (Lukas 22:47-24:53)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPuncak karya Yesus adalah kerelaan-Nya untuk berkorban di kayu salib, dan pada hembusan napas terakhir-Nya, Dia menghembuskan nafas kepercayaan kepada Allah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46). Melalui pengorbanan diri Yesus dan tindakan kebangkitan Bapa yang perkasa, Yesus sepenuhnya masuk ke dalam kedudukan raja kekal yang dinubuatkan pada saat kelahiran-Nya. “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Lukas 1:32-33). Ini benar-benar Anak Allah yang terkasih, yang setia sampai mati saat Dia bekerja demi semua orang yang telah jatuh ke dalam kemiskinan dosa dan kematian, yang membutuhkan penebusan yang tidak dapat kita sediakan sendiri. Berdasarkan hal ini, kita melihat bahwa kepedulian Yesus terhadap orang-orang miskin dan tak berdaya merupakan tujuan akhir sekaligus tanda kasih-Nya bagi semua orang yang mengikuti Dia. Kita semua miskin dan tidak berdaya menghadapi dosa kita dan kehancuran dunia. Dalam kebangkitan-Nya, kita mendapati diri kita diubahkan dalam setiap aspek kehidupan, ketika kita terperangkap dalam kasih Allah yang luar biasa ini.
Kesimpulan dari Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Lukas adalah kisah munculnya kerajaan Allah di bumi dalam pribadi Yesus Kristus. Sebagai raja dunia yang sejati, Kristus adalah penguasa yang kepada-Nya kita harus setia dan Dialah teladan dalam menjalankan otoritas apa pun yang diberikan kepada kita dalam hidup.
Sebagai penguasa kita, Dia memberi kita satu perintah besar yang terbagi dalam dua bagian. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. … perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” (Lukas 10:27-28). Di satu sisi, perintah ini bukanlah hal baru. Ini hanyalah ringkasan dari Hukum Musa. Yang baru adalah bahwa kerajaan yang didasarkan pada hukum ini telah diresmikan melalui inkarnasi Allah dalam pribadi Yesus. Sudah menjadi maksud Allah sejak awal bahwa umat manusia harus hidup di kerajaan ini. Namun sejak Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, manusia malah hidup dalam kerajaan kegelapan dan kejahatan. Yesus datang untuk mengklaim kembali bumi sebagai kerajaan Allah dan untuk menciptakan komunitas umat Allah yang hidup di bawah pemerintahan-Nya, bahkan ketika kerajaan kegelapan masih tetap memegang kekuasaan. Tanggapan penting dari mereka yang menjadi warga negara kerajaan Kristus adalah bahwa mereka menjalani seluruh kehidupan mereka – termasuk bekerja – dalam mengejar tujuan dan sesuai dengan cara kerajaan-Nya.
Sebagai teladan kita, Yesus mengajarkan kita tujuan dan cara ini. Dia memanggil kita untuk mengerjakan tugas-tugas seperti penyembuhan, proklamasi Injil, keadilan, kekuasaan, kepemimpinan, produktivitas dan pemeliharaan, investasi, pemerintahan, kemurahan hati, dan keramahtamahan. Dia mengirimkan roh Allah untuk memberi kita semua yang kita butuhkan untuk memenuhi panggilan spesifik kita. Dia berjanji untuk memelihara hidup kita. Dia memerintahkan kita untuk menyediakan kebutuhan orang lain, dan dengan demikian menyatakan bahwa pemeliharaan-Nya bagi kita umumnya datang dalam bentuk orang lain yang bekerja atas nama kita. Dia memperingatkan kita akan jebakan dalam berusaha mencukupkan diri sendiri melalui kekayaan, dan Dia mengajarkan kita bahwa cara terbaik untuk menghindari jebakan tersebut adalah dengan menggunakan kekayaan kita untuk memajukan hubungan dengan Allah dan dengan orang lain. Ketika konflik muncul dalam hubungan kita, Dia mengajari kita cara menyelesaikannya sehingga mengarah pada keadilan dan rekonsiliasi. Di atas semua itu, Dia mengajarkan bahwa kewarganegaraan dalam kerajaan Allah berarti bekerja sebagai hamba Allah dan manusia. Pengorbanan diri-Nya di kayu salib menjadi teladan utama dalam kepemimpinan yang melayani. Kebangkitan-Nya ke takhta kerajaan Allah meneguhkan dan meneguhkan selamanya kasih aktif terhadap sesama kita sebagai jalan menuju kehidupan kekal.
Pengantar Kepada Injil Yohanes
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKerja hadir di sepanjang Injil Yohanes. Hal ini dimulai dengan pekerjaan Mesias, yang merupakan agen Allah dalam penciptaan dunia. Karya penciptaan Kristus terjadi sebelum Kejatuhan, sebelum inkarnasi-Nya dalam wujud Yesus dari Nazaret, dan sebelum karya penebusan-Nya. Dia diutus oleh Allah untuk menjadi penebus dunia justru karena Dia sudah menjadi salah satu pencipta dunia. Karya penebusan-Nya bukanlah suatu tindakan baru, melainkan pemulihan dunia ke jalan yang seharusnya diambil. Ini adalah penggenapan janji penciptaan.
Kerja manusia merupakan bagian integral dari penggenapan ciptaan (Kejadian 2:5). Namun pekerjaan yang dilakukan manusia telah rusak, sehingga penebusan kerja merupakan bagian integral dari penebusan dunia oleh Mesias. Selama pelayanan-Nya di bumi, kita akan melihat bahwa pekerjaan yang Yesus lakukan bagi Bapa merupakan aspek integral dari kasih Bapa dan Anak terhadap satu sama lain. “Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (Yohanes 14:10). Hal ini memberikan teladan bagi kerja manusia yang telah ditebus, yang juga dimaksudkan untuk memupuk kasih kita terhadap satu sama lain saat kita bekerja bersama dalam dunia Allah yang baik. Selain meneladankan pekerjaan yang baik, Yesus mengajarkan topik-topik di tempat kerja seperti panggilan, hubungan, kreativitas dan produktivitas, etika, kebenaran dan penipuan, kepemimpinan, pelayanan, pengorbanan dan penderitaan, serta martabat kerja.
Salah satu tujuan utama Yohanes adalah mengingatkan orang-orang bahwa memandang Yesus secara sepintas tidak akan ada gunanya. Mereka yang tetap berada bersama-Nya menemukan perumpamaan-perumpamaan-Nya yang sederhana membukakan cara baru dalam memandang dunia. Ini berlaku dalam pekerjaan dan hal-hal lainnya. Kata Yunani untuk “bekerja” (ergon) muncul lebih dari dua puluh lima kali dalam Injil, sedangkan istilah yang lebih umum untuk “melakukan” (poieō) muncul lebih dari seratus kali. Dalam kebanyakan kasus, kata-kata tersebut merujuk kepada pekerjaan Yesus untuk Bapa; namun bahkan ini pun ternyata mengandung janji bagi kerja manusia biasa. Kunci untuk memahami materi ini adalah bahwa diperlukan upaya untuk memahami apa yang dimaksud Injil Yohanes. Maknanya sering kali terletak lebih dalam daripada yang bisa diungkap oleh membaca sambil lalu. Oleh karena itu, kita akan mempelajari sejumlah bagian yang memiliki arti khusus bagi kerja, pekerja, dan tempat kerja. Kita akan melewatkan perikop-perikop yang tidak memberikan kontribusi penting terhadap topik kita.
erja hadir di sepanjang Injil Yohanes. Hal ini dimulai dengan pekerjaan Mesias, yang merupakan agen Allah dalam penciptaan dunia. Karya penciptaan Kristus terjadi sebelum Kejatuhan, sebelum inkarnasi-Nya dalam wujud Yesus dari Nazaret, dan sebelum karya penebusan-Nya. Dia diutus oleh Allah untuk menjadi penebus dunia justru karena Dia sudah menjadi salah satu pencipta dunia. Karya penebusan-Nya bukanlah suatu tindakan baru, melainkan pemulihan dunia ke jalan yang seharusnya diambil. Ini adalah penggenapan janji penciptaan.
Kerja manusia merupakan bagian integral dari penggenapan ciptaan (Kejadian 2:5). Namun pekerjaan yang dilakukan manusia telah rusak, sehingga penebusan kerja merupakan bagian integral dari penebusan dunia oleh Mesias. Selama pelayanan-Nya di bumi, kita akan melihat bahwa pekerjaan yang Yesus lakukan bagi Bapa merupakan aspek integral dari kasih Bapa dan Anak terhadap satu sama lain. “Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (Yohanes 14:10). Hal ini memberikan teladan bagi kerja manusia yang telah ditebus, yang juga dimaksudkan untuk memupuk kasih kita terhadap satu sama lain saat kita bekerja bersama dalam dunia Allah yang baik. Selain meneladankan pekerjaan yang baik, Yesus mengajarkan topik-topik di tempat kerja seperti panggilan, hubungan, kreativitas dan produktivitas, etika, kebenaran dan penipuan, kepemimpinan, pelayanan, pengorbanan dan penderitaan, serta martabat kerja.
Salah satu tujuan utama Yohanes adalah mengingatkan orang-orang bahwa memandang Yesus secara sepintas tidak akan ada gunanya. Mereka yang tetap berada bersama-Nya menemukan perumpamaan-perumpamaan-Nya yang sederhana membukakan cara baru dalam memandang dunia. Ini berlaku dalam pekerjaan dan hal-hal lainnya. Kata Yunani untuk “bekerja” (ergon) muncul lebih dari dua puluh lima kali dalam Injil, sedangkan istilah yang lebih umum untuk “melakukan” (poieō) muncul lebih dari seratus kali. Dalam kebanyakan kasus, kata-kata tersebut merujuk kepada pekerjaan Yesus untuk Bapa; namun bahkan ini pun ternyata mengandung janji bagi kerja manusia biasa. Kunci untuk memahami materi ini adalah bahwa diperlukan upaya untuk memahami apa yang dimaksud Injil Yohanes. Maknanya sering kali terletak lebih dalam daripada yang bisa diungkap oleh membaca sambil lalu. Oleh karena itu, kita akan mempelajari sejumlah bagian yang memiliki arti khusus bagi kerja, pekerja, dan tempat kerja. Kita akan melewatkan perikop-perikop yang tidak memberikan kontribusi penting terhadap topik kita.
Pada mulanya adalah Firman (Yohanes 1:1-18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yohanes 1:1-3). Pembukaan Injil Yohanes yang megah menunjukkan kepada kita cakupan pekerjaan Firman yang tidak terbatas. Dialah ekspresi diri Allah yang definitif, yang melalui-Nya Allah menciptakan segala sesuatu pada mulanya. Dia membentangkan kosmos sebagai kanvas untuk mengekspresikan kemuliaan Allah.
Firman bekerja; dan karena pekerjaan-Nya dimulai sejak pada mulanya, maka semua kerja manusia selanjutnya berasal dari pekerjaan awal-Nya. Berasal bukanlah kata yang terlalu kuat, karena semua yang dikerjakan orang diciptakan oleh-Nya. Pekerjaan yang Allah lakukan dalam Kejadian 1 dan 2 dilakukan oleh Firman. Hal ini mungkin tampak terlalu bagus untuk ditekankan, namun banyak orang Kristen yang terus bekerja keras di bawah delusi bahwa Mesias baru mulai bekerja setelah segala sesuatunya menjadi tidak beres, dan bahwa pekerjaan-Nya terbatas pada penyelamatan jiwa-jiwa (yang tidak terlihat) untuk membawa mereka ke surga (yang tidak bersifat material). Begitu kita menyadari bahwa Mesias bekerja secara materi bersama Allah sejak mulanya, kita dapat menolak setiap teologi yang menyangkal penciptaan (dan dengan demikian merendahkan kerja).
Oleh karena itu kita perlu memperbaiki kesalahpahaman umum. Injil Yohanes tidak didasarkan pada suatu dikotomi spiritual versus material, atau sakral versus spiritual, atau dualisme lainnya. Injil ini tidak menggambarkan keselamatan sebagai pembebasan jiwa manusia dari belenggu tubuh materi. Sayangnya, filosofi dualistik seperti ini sangat umum di kalangan umat Kristiani. Para pendukungnya sering kali menggunakan bahasa Injil Yohanes untuk mendukung pandangan mereka. Benar bahwa Yohanes sering mencatat Yesus menggunakan kontras seperti terang/gelap (Yohanes 1:5; 3:19; 8:12; 11:9-10; 12:35-36), percaya/tidak percaya (Yohanes 3 :12-18; 4:46-54; 5:46-47; 10:25-30; 12:37-43; 14:10-11; 20:24-39) dan roh/daging (Yohanes 3:6 -7). Kontras-kontras ini menyoroti konflik antara jalan Allah dan jalan kejahatan. Namun mereka tidak membagi alam semesta menjadi dua sub-semesta. Tentu saja mereka tidak mengajak para pengikut Yesus untuk meninggalkan dunia “sekuler” demi memasuki dunia “spiritual”. Sebaliknya, Yesus menggunakan kontras ini untuk memanggil para pengikut-Nya agar menerima dan menggunakan kuasa roh Allah di dunia saat ini. Yesus menyatakan hal ini secara langsung dalam Yohanes 3:17, “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia.” Yesus datang untuk memulihkan dunia seperti yang Allah kehendaki, bukan untuk memimpin eksodus keluar dari dunia.
Jika diperlukan bukti lebih lanjut mengenai komitmen berkelanjutan Allah terhadap ciptaan, kita dapat membaca Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita.” Inkarnasi bukanlah kemenangan roh atas daging, melainkan penggenapan dari tujuan daging diciptakan pada mulanya. Dan daging bukanlah basis tindakan yang bersifat sementara, namun tempat tinggal Firman yang permanen. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus mengundang Tomas dan yang lainnya untuk menyentuh daging-Nya (Yohanes 20:24-31) dan kemudian makan ikan sebagai sarapan bersama mereka (Yohanes 21:1-15). Di akhir Injil, Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk menunggu “sampai Aku datang” (Yohanes 21:22-23, NIV), bukan “sampai Aku mengeluarkan kita semua dari sini.” Allah yang memusuhi, atau tidak tertarik pada dunia materi, kecil kecenderungannya untuk tinggal permanen di dalamnya. Jika dunia secara umum sangat dipedulikan Allah, maka masuk akal jika pekerjaan yang dilakukan dalam dunia tersebut juga berarti bagi-Nya.
Aku menyebut kamu sahabat (Yoh 1:35-51; Yoh 15:15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita akan kembali ke istilah konvensional “murid-murid” sebentar lagi, namun istilah “sahabat” menangkap esensi dari gambaran Yohanes tentang para murid. “Aku menyebut kamu sahabat,” kata Yesus (Yohanes 15:15). Elemen relasional sangat penting: mereka adalah sahabat-sahabat Yesus yang pertama-tama dan terutama tetap berada di hadapan Yesus (Yohanes 1:35-39; 11:54; 15:4-11) Yohanes tampak berusaha keras untuk menjejalkan sebanyak mungkin orang di panggung bersama Yesus di pasal 1. Yohanes Pembaptis menunjukkan Yesus kepada Andreas dan seorang murid lainnya. Andreas mengajak saudaranya Simon. Filipus, yang berasal dari kota yang sama dengan Andreas dan Simon, mengajak Natanael. Ini bukan sekedar Yesus memajukan misi-Nya melalui jaringan hubungan antarpribadi. Menjalin jaringan hubungan adalah inti dari keseluruhan upaya-Nya.
Namun para murid bukan sekadar kumpulan teman yang menikmati pancaran persahabatan Yesus. Mereka juga pekerja-Nya. Mereka belum bekerja dengan cara yang jelas di pasal 1 (walaupun mengajak saudara dan tetangga adalah salah satu bentuk pekerjaan penginjilan), namun mereka akan bekerja. Memang benar, seperti yang akan kita lihat, justru hubungan antara persahabatan dan kerja inilah yang memegang kunci teologi kerja Yohanes. Pekerjaan membuahkan hasil sekaligus membangun hubungan, dan ini merupakan gaung lain dari Kejadian 2:18-22.
Air Menjadi Anggur pada Pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Yang pertama dari tanda-tanda” Yesus (Yohanes 2:11), yaitu mengubah air menjadi anggur pada pesta pernikahan di Kana, meletakkan landasan untuk memahami tanda-tanda berikutnya. Ini bukan trik yang dilakukan di ruangan khusus untuk menarik perhatian kepada diri-Nya sendiri. Dia melakukannya dengan enggan, dan keajaiban itu bahkan tersembunyi dari pemimpin perjamuan. Yesus melakukan hal itu hanya karena kebutuhan manusia yang mendesak dan untuk memenuhi permintaan ibu-Nya. (Kehabisan anggur di pesta pernikahan akan menimbulkan rasa malu yang besar bagi pengantin wanita, pengantin lelaki, dan keluarga mereka, dan rasa malu itu akan bertahan lama dalam budaya desa di Kana.) Jauh berbeda dari penggerak yang tidak tersentuh (sebagaimana anggapan sebagian orang Yunani akan Allah), Yesus memperlihatkan diri-Nya sebagai Putra yang penuh kasih dan tanggap dari Bapa yang kekal dan ibu manusia yang terkasih.
Fakta bahwa Dia mengubah air menjadi anggur menunjukkan bahwa Dia serupa dengan Bapa, bukan saja dalam hal kasih, namun juga dalam kuasa-Nya atas ciptaan. Para pembaca Yohanes yang penuh perhatian tidak perlu heran bahwa Firman yang menjadikan segala sesuatu, yang kini menjadi manusia, mampu mendatangkan berkat materi bagi umat-Nya. Menyangkal bahwa Yesus dapat melakukan mukjizat berarti menyangkal bahwa Kristus ada bersama Allah pada mulanya. Mungkin yang paling mengejutkan adalah bahwa mukjizat yang tampaknya tidak direncanakan ini akhirnya menunjukkan tujuan akhir Yesus. Dia datang untuk menarik orang-orang ke pesta pernikahan Allah yang sempurna, di mana mereka akan bersantap bersama dengan sukacita bersama-Nya. Karya-karya Yesus yang luar biasa, yang dilakukan dengan hal-hal yang ada di tatanan dunia saat ini, merupakan berkat yang luar biasa di sini dan saat ini; dan hal-hal tersebut juga menunjukkan berkat-berkat yang lebih besar lagi di dunia yang akan datang.
Yesus Mengajar Nikodemus (Yohanes 3:1-21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDiskusi Yesus dengan Nikodemus dan murid-murid-Nya menyimpan banyak sekali harta karun. Kita akan mulai dengan sebuah ayat yang memiliki implikasi mendalam terhadap pekerjaan manusia. “Bapa mengasihi Anak dan telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya” (Yohanes 3:35). Meskipun konteks langsungnya menekankan fakta bahwa Sang Anak menyampaikan perkataan Bapa, bagian selanjutnya dari Injil memperjelas bahwa “segala sesuatu” benar-benar berarti “segala sesuatu”. Allah telah memberi wewenang kepada Mesias-Nya untuk menciptakan segala sesuatu, Allah memelihara segala sesuatu melalui Dia, dan Allah akan membawa segala sesuatu ke tujuan yang telah ditetapkan melalui Dia.
Bagian ini menegaskan kembali apa yang kita pelajari dalam bagian pendahuluan: Bapa melibatkan Anak dalam pendirian dan pemeliharaan dunia. Yang baru adalah pengungkapan mengapa Bapa memilih untuk menyertakan Anak, dibandingkan menciptakan sendiri. Itu adalah Tindakan kasih. Bapa menunjukkan kasih-Nya kepada Anak dengan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, dimulai dengan tindakan penciptaan. Dunia adalah “hasil kerja penuh kasih” dalam arti yang sebenar-benarnya. Pekerjaan pasti menjadi sesuatu yang lebih indah dari yang biasa kita nilai, jika menambahkan beban kerja seseorang merupakan suatu Tindakan kasih. Kita akan mengembangkan gagasan penting ini lebih lanjut ketika kita melihat Yesus beraksi di sepanjang sisa Injil.
Namun pasal tiga tidak hanya menegaskan kembali bagaimana Firman itu menjadi manusia. Pasal ini juga menggambarkan proses sebaliknya, bagaimana daging manusia dapat dipenuhi dengan roh Allah. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yohanes 3:5). Kita menerima Roh Allah (“masuk ke dalam kerajaan-Nya”) melalui suatu bentuk kelahiran. Kelahiran adalah sebuah proses yang terjadi di dalam daging. Ketika kita menjadi benar-benar rohani, kita tidak melepaskan kedagingan kita dan memasuki keadaan non-materi. Sebaliknya, kita dilahirkan dengan lebih sempurna – dilahirkan “dari atas” (Yohanes 3:3) – ke dalam kesatuan Roh dan daging, seperti Yesus sendiri.
Dalam diskusinya dengan Nikodemus, Yesus mengatakan bahwa mereka yang dilahirkan dari atas akan “datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah” (Yohanes 3:21). Kemudian Dia menggunakan metafora berjalan dalam terang untuk menggambarkan gagasan yang sama (Yohanes 8:12; 11:9-10; 12:35-36). Hal ini mempunyai implikasi etis yang penting terhadap pekerjaan. Jika kita melakukan semua pekerjaan kita secara terbuka, kita memiliki alat yang ampuh untuk tetap setia pada etika kerajaan Allah. Namun jika kita mendapati diri kita menyembunyikan atau menyamarkan pekerjaan kita, ini sering kali merupakan indikasi kuat bahwa kita mengikuti jalur yang tidak etis. Ini bukanlah peraturan yang tidak dapat diubah, karena Yesus sendiri terkadang bertindak secara rahasia (Yohanes 7:10), begitu pula para pengikut-Nya, seperti Yusuf dari Arimatea (Yohanes 19:38). Tapi setidaknya kita bisa bertanya, “Siapa sebenarnya yang dilindungi oleh kerahasiaan saya?”
Misalnya, pertimbangkan seorang lelaki yang memimpin bisnis misi di Afrika yang membuat perahu untuk digunakan di Danau Victoria. Ia berkata bahwa ia sering didekati oleh pejabat setempat yang ingin ia membayar suap. Permintaan itu selalu dibuat secara rahasia. Ini bukan pembayaran terbuka dan terdokumentasi, seperti halnya tip atau biaya percepatan layanan. Tidak ada kuitansi dan transaksinya tidak dicatat dimanapun. Ia menggunakan Yohanes 3:20-21 sebagai inspirasi untuk mengungkap permohonan ini. Ia akan berkata kepada pejabat yang meminta suap, “Saya tidak tahu banyak tentang pembayaran semacam ini. Saya ingin bertemu dengan duta besar, atau manajemen, untuk mendokumentasikan hal ini.” Ia mendapati ini sebagai strategi yang berguna dalam menangani suap.
Penting untuk dipahami bahwa metafora berjalan dalam terang bukanlah aturan yang berlaku umum. Konfidensialitas dan kerahasiaan dapat memiliki tempat yang layak dalam pekerjaan, seperti dalam masalah personalia, privasi online, atau rahasia dagang. Namun meskipun kita menghadapi informasi yang tidak boleh dipublikasikan, kita jarang perlu bertindak tanpa mengetahui apa-apa sama sekali. Jika kita menyembunyikan tindakan kita dari orang lain di departemen kita atau dari orang yang memiliki kepentingan sah, atau jika kita malu melihatnya ditampilkan di berita, maka kita mungkin mempunyai indikasi yang kuat bahwa kita bertindak tidak etis.
Yesus dan Perempuan Samaria di Sumur (Yohanes 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah perempuan di sumur (Yohanes 4:1-40) memiliki banyak pembahasan langsung mengenai kerja manusia seperti kisah mana pun dalam Injil Yohanes; tapi kita harus menggalinya dalam-dalam untuk merasakan semuanya. Banyak orang Kristen yang tahu dengan baik tentang ketidakmampuan wanita itu untuk beralih dari pekerjaan menimba air sehari-hari saat mendengar pernyataan Yesus tentang kuasa firman-Nya untuk memberi kehidupan. Motif ini meresap dalam Injil: orang banyak berulang kali menunjukkan ketidakmampuan untuk keluar dari permasalahan sehari-hari dan mengatasi aspek spiritual kehidupan. Mereka tidak bisa melihat bagaimana Yesus dapat menawarkan tubuh-Nya sebagai roti (Yohanes 6:51-61). Mereka pikir mereka tahu dari mana Dia berasal (Nazareth, Yohanes 1:45), namun mereka gagal untuk melihat dari mana Dia sebenarnya berasal (surga); dan mereka sama tidak tahunya ke mana Dia pergi (Yohanes 14:1-6).
Semua ini tentu relevan untuk berpikir tentang kerja. Apa pun yang kita pikirkan tentang kebaikan hakiki dari persediaan air yang stabil (dan setiap minuman yang kita minum menegaskan bahwa ini memang merupakan hal yang baik!), kisah ini jelas memberi tahu kita bahwa air fisik saja tidak dapat memberi kita kehidupan kekal. Selain itu, sangat mudah bagi orang-orang Barat modern untuk melupakan betapa membosankannya pekerjaan sehari-hari perempuan itu, dan menganggap keengganan perempuan tersebut mengambil air hanya karena kemalasan. Namun kutukan terhadap kerja (Kejadian 3:14-19) sangat berdampak, dan dapat dimaafkan jika ia menginginkan sistem kerja yang lebih efisien.
Namun, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa Yesus datang untuk membebaskan kita dari pekerjaan di dunia material yang kotor sehingga kita dapat mandi dalam air tenang rohani yang agung. Pertama-tama kita harus, seperti biasa, mengingat sifat komprehensif pekerjaan Kristus seperti yang digambarkan dalam Yohanes 1: Mesias menciptakan air di dalam sumur itu, dan Dia menjadikannya baik. Jika Dia kemudian menggunakan air tersebut untuk menggambarkan dinamika pekerjaan Roh Kudus di dalam hati para calon orang percaya, maka hal ini dapat dilihat sebagai suatu hal yang memuliakan air tersebut dan bukan merendahkannya. Fakta bahwa kita pertama-tama memperhitungkan Sang Pencipta, kemudian ciptaan, bukanlah meremehkan ciptaan, terutama karena salah satu fungsi ciptaan adalah untuk mengarahkan kita kepada Sang Pencipta.
Kita melihat hal serupa setelah kisah ini, ketika Yesus menggunakan menuai sebagai metafora untuk membantu para murid memahami misi mereka di dunia:
“Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita” (Yohanes 4:35-36).
Selain memberikan berkat nyata dalam bentuk makanan sehari-hari yang diperintahkan untuk kita doakan, pekerjaan pertanian juga dapat berfungsi sebagai cara untuk memahami kemajuan kerajaan Allah.
Lebih dari itu, Yesus secara langsung mengagungkan kerja dalam perikop ini. Pertama-tama kita mempunyai pernyataan, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. [Yun., ergon]” (Yohanes 4:34). Perlu dicatat bahwa kemunculan pertama kata Yunani ergon dalam Alkitab [1] terjadi dalam Kejadian 2:2. “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu [Yun., “pekerjaan yang dibuat-Nya,” erga] yang telah Dia lakukan, dan Dia beristirahat pada hari ketujuh dari semua pekerjaan yang telah Dia lakukan [sekali lagi, “pekerjaan yang dibuat-Nya,” erga dalam bahasa Yun.].” Meskipun kita tidak dapat memastikan bahwa Yesus sedang menyinggung ayat dalam Kejadian ini, hal ini masuk akal jika kita mengingat seluruh bagian Injil ini mengartikan “pekerjaan Allah” dalam Yohanes 4:34 sebagai pemulihan menyeluruh atau penyelesaian pekerjaan yang telah Allah lakukan pada awalnya.
Ada sesuatu yang lebih halus yang terjadi di sini juga. Dalam Yohanes 4:38, Yesus membuat pernyataan yang agak samar, “Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.” Dia merujuk pada fakta bahwa para murid mempunyai ladang berupa banyak orang Samaria yang siap dipanen bagi kerajaan Allah, asalkan mereka mau membuka mata mereka terhadap peluang tersebut. Namun siapakah “orang-orang lain” yang telah melakukan “usaha” tersebut? Yang mengejutkan, sebagian dari jawabannya tampaknya adalah wanita di tepi sumur, yang lebih dikenang karena kelambanan rohaninya dibandingkan dengan kesaksiannya yang efektif tentang Yesus setelah itu. “Banyak orang Samaria dari kota percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat” (Yohanes 4:39). Para murid hanya akan menuai apa yang telah perempuan itu tabur. Namun masih ada pekerja lain di sini: Kristus sendiri. Kembali ke awal cerita, kita membaca bahwa Yesus “sangat letih” dalam perjalanan-Nya. Terjemahan yang lebih harafiahnya adalah bahwa Yesus “bekerja keras” dalam perjalanan-Nya. Kata yang diterjemahkan “sangat letih” adalah kekopiakōs, yang secara harafiah berarti “bekerja keras”. Ini memiliki akar kata yang sama yang muncul dalam Yohanes 4:38 (dan tidak ada dalam Injil Yohanes lainnya), “… tidak kamu usahakan [kekopiakate] … orang-orang lain berusaha [kekopiakasin] … kamu datang memetik hasil usaha mereka [kopon]…” Sebenarnya, Yesus bekerja keras dalam perjalanan-Nya di Samaria. Ladang Samaria sudah siap untuk dipanen, sebagian karena Kristus telah bekerja di sana. Apapun pekerjaan yang kita lakukan sebagai pengikut Kristus dipenuhi dengan kemuliaan Allah, karena Kristus telah mengerjakan ladang yang sama untuk mempersiapkannya bagi kita.
Seperti yang telah kita lihat, karya penebusan Kristus setelah Kejatuhan serupa dengan karya kreatif/produktif-Nya sejak awal zaman. Demikian pula karya penebusan para pengikut-Nya berada dalam lingkup yang sama dengan karya kreatif/produktif mereka yang dilambangkan dengan ibu rumah tangga menimba air dan petani menuai hasil.
Penginjilan adalah salah satu dari banyak bentuk pekerjaan manusia, tidak lebih tinggi atau lebih rendah daripada pekerjaan rumah tangga atau bertani. Ini adalah bentuk pekerjaan yang khas, dan tidak ada hal lain yang bisa menggantikannya. Hal yang sama juga berlaku untuk mengambil air dan memanen biji-bijian. Penginjilan tidak menggantikan pekerjaan kreatif/produktif sebagai satu-satunya aktivitas manusia yang benar-benar bernilai, terutama karena pekerjaan apa pun yang dilakukan dengan baik oleh umat Kristiani merupakan kesaksian akan kuasa pembaharuan dari Sang Pencipta.
Yesus Menyembuhkan pada Hari Sabat (Yohanes 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPenyembuhan oramhdi kolam Betsaida memunculkan kontroversi yang akrab dengan Injil Matius, Markus, dan Lukas: kegemaran Yesus untuk menyembuhkan pada hari Sabat. Walaupun kontroversi ini bukan sesuatu yang asing, pembelaan diri Yesus memiliki sudut yang agak berbeda. Argumen-Nya yang panjang dirangkum dengan jelas dalam Yohanes 5:17, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” Prinsipnya jelas. Allah tetap melakukan penciptaan bahkan pada hari Sabat, dan karenanya Yesus, yang juga memiliki identitas ilahi, diizinkan untuk melakukan hal yang sama. Yesus hampir pasti bukan satu-satunya yang berargumen bahwa Allah bekerja pada hari Sabat, namun deduksi-Nya tentang membenarkan pekerjaan-Nya sangatlah unik.
Sebagai akibatnya, kita tidak dapat menggunakan cerita ini untuk menyimpulkan pantas atau tidak pantasnya kita bekerja pada hari Sabat. Kita mungkin melakukan pekerjaan Allah, namun kita tidak memiliki identitas ilahi seperti Kristus. Pekerjaan manusia yang mempunyai konsekuensi hidup atau mati—pertahanan diri secara militer (1 Makabe 2:41) atau menarik seekor binatang dari selokan—telah diterima sebagai hal yang sah pada hari Sabat. Penyembuhan itu sendiri tidak dipertanyakan dalam episode ini, meskipun orang tersebut tidak rugi seandainya Yesus menunggu hingga hari Minggu untuk menyembuhkannya. Sebaliknya, Yesus dikritik karena mengizinkannya mengangkat tikar—suatu bentuk pekerjaan, menurut Hukum Yahudi—pada hari Sabat. Apakah ini berarti Yesus mengizinkan kita berkendara untuk berlibur pada hari Sabat? Terbang pada hari Minggu ke pertemuan bisnis yang dimulai pada Senin pagi? Mengoperasikan pabrik pengecoran secara kontinyu 24/7/365? Tidak ada petunjuk di sini bahwa Yesus hanya memperluas daftar kegiatan yang diperbolehkan pada hari Sabat. Sebaliknya, marilah kita menerapkan tema yang ada dalam Injil Yohanes—kerja yang memelihara dan menebus ciptaan (materi atau rohani) dan berkontribusi pada hubungan yang lebih dekat dengan Allah dan manusia adalah hal yang pantas dilakukan pada hari Sabat. Apakah suatu pekerjaan tertentu memenuhi deskripsi ini harus dipikirkan baik-baik oleh orang yang terlibat. Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini, lihat "Matius 12:1-8" dalam Matius dan Kerja, "Markus 1:21-45" dan "Markus 2:23-3:6" dalam Markus dan Kerja, dan "Lukas 6:1-11; 13:10-17" dalam Lukas dan Kerja dan artikel Istirahat dan Bekerja di www.theologyofwork.org.
Pelajaran yang lebih jelas dan penting bagi kita dari narasi ini adalah bahwa Allah masih bekerja untuk memeliharakan ciptaan yang ada saat ini, dan Yesus melanjutkan pekerjaan itu dalam pelayanan penyembuhan-Nya. Tanda-tanda yang Yesus berikan pada satu tingkat merupakan terobosan dalam dunia baru. Mereka mendemonstrasikan “kuasa-kuasa dunia yang akan datang” (Ibrani 6:5). Pada saat yang sama, mereka juga merupakan pemeliharaan dunia yang terjadi saat ini. Tampaknya sangat tepat untuk melihat ini sebagai paradigma untuk berbagai pekerjaan kita. Saat kita bertindak dengan iman untuk memulihkan apa yang telah rusak (sebagai dokter, perawat, montir mobil, dan lain sebagainya), kita mengajak masyarakat mengingat kebaikan Allah Sang Pencipta. Saat kita bertindak dengan iman untuk mengembangkan kapasitas ciptaan (sebagai programer, guru, seniman, dan sebagainya), kita mengajak masyarakat merenungkan kebaikan dari kuasa Allah berikan kepada umat manusia atas dunia. Pekerjaan penebusan dan pekerjaan penciptaan/produksi, yang dilakukan dengan iman, keduanya menunjukkan rasa percaya kita kepada Allah dari sekarang, dulu, dan yang akan datang. Allah menciptakan segala sesuatu melalui Kristus, memulihkan semuanya ke maksud semula melalui Kristus, dan akan membawanya ke tujuan yang telah ditetapkan melalui Kristus.
Yesus Roti Hidup (Yohanes 6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Yohanes tentang memberi makan lima ribu orang (Yohanes 6:1-15) menggemakan banyak tema yang kita lihat dalam pesta pernikahan di Kana dan penyembuhan orang lumpuh. Sekali lagi, Yesus bekerja untuk menopang kehidupan di dunia saat ini, bahkan ketika tandanya menunjuk pada kehidupan tertinggi yang hanya dapat ditawarkan oleh Dia. Namun Yohanes 6:27-29 memberikan tantangan tersendiri bagi teologi kerja:
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang telah dimeteraikan Allah Bapa." Lalu kata mereka kepada-Nya, "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki Allah?" Jawab Yesus kepada mereka, "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah."
Jika kita membaca sekilas, setidaknya ada dua persoalan utama yang terungkap: pertama, Yesus tampaknya mengeluarkan perintah langsung untuk tidak bekerja; dan kedua, Dia tampaknya mereduksi bahkan bekerja bagi Allah kepada mempercayai-Nya saja.
Masalah pertama adalah masalah konteks. Seluruh ayat Kitab Suci, seperti halnya semua komunikasi, harus dilihat dalam konteksnya. Persoalan dalam Yohanes 6 adalah bahwa orang-orang ingin tetap mempertahankan Yesus untuk melayani sebagai Tukang Roti Ajaib, yang akan memastikan agar roti selalu ada. Jadi ketika Yesus berkata, “Kamu mencari Aku bukan karena kamu melihat tanda-tanda, tetapi karena kamu telah makan roti itu dan kenyang” (Yohanes 6:26), Dia menegur kepicikan rohani mereka. Mereka makan roti, tetapi mereka tidak dapat melihat apa arti dari tanda itu.
Salah satu cara untuk memahami apa yang Yesus katakan selanjutnya adalah dengan mengenalinya sebagai pelajaran yang sama yang kita pelajari di pasal 4. Kehidupan kekal bukan berasal dari persediaan makanan yang tidak ada habisnya, tetapi dari Firman hidup yang keluar dari mulut Allah. Yesus menghentikan pekerjaan pendahuluan (menyajikan roti) ketika pekerjaan tersebut tidak lagi menghasilkan produk akhir yang diinginkan (hubungan dengan Allah). Pekerja yang kompeten mana pun akan melakukan hal yang sama. Jika menambahkan lebih banyak garam tidak lagi membuat sup terasa lebih enak, juru masak yang baik akan berhenti menambahkan garam. Yesus tidak memaksudkan “berhenti bekerja,” namun berhenti bekerja untuk mendapatkan lebih banyak barang (makanan) jika itu bukan yang Anda butuhkan. Hal ini mungkin terdengar terlalu jelas sehingga tidak diperlukan Firman Allah untuk menyampaikannya kepada kita, namun siapa di antara kita yang tidak perlu mendengar kebenaran itu lagi saat ini? Larangan nyata terhadap bekerja demi keuntungan yang sementara merupakan ekspresi hiperbolik yang dirancang untuk berfokus pada perbaikan hubungan orang banyak dengan Allah.
Selain itu kita bisa bertanya, “Apa perbedaan antara makanan yang dapat binasa dan makanan yang bertahan untuk hidup yang kekal?” Menurut Yesus, makanan yang binasa adalah makanan yang hanya mengenyangkan. Memenuhi kebutuhan mendesak, tapi tidak lebih dari itu. Jika diterapkan di tempat kerja, hal ini bisa berarti bekerja hanya demi mendapatkan gaji, tanpa mempedulikan nilai pekerjaan itu sendiri. Sebaliknya, bekerja untuk mendapatkan makanan yang bertahan untuk kehidupan kekal, dianalogikan dengan bekerja untuk mencapai tujuan Allah.
Mengenai isu tentang tujuan Allah dalam bekerja yang direduksi menjadi sekedar percaya, hal ini harus dilihat dengan latar belakang keseluruhan Injil dan teologi surat-surat Yohanes. John senang mendorong segala sesuatunya secara ekstrem. Di satu sisi, pandangannya yang tinggi terhadap kedaulatan Allah dan kuasa kreatif-Nya menuntunnya untuk menjunjung tinggi ketergantungan yang rendah hati kepada Allah, seperti yang kita lihat dalam bab ini. Pekerjaan Allah demi kita tidak terbatas—kita hanya perlu percaya kepada-Nya dan menerima pekerjaan Allah di dalam Kristus. Di sisi lain, Yesus juga mampu menekankan ketaatan aktif kita. “Siapa yang mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yohanes 2:6), dan lagi, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya” (1 Yohanes 5:3 ). Kita mungkin menggabungkan kedua ekstrem ini dengan ungkapan Paulus, “percaya dan taat” (Roma 1:5), atau Yakobus 2:18, “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” Dengan kata lain, menurut Alkitab, iman percaya bukanlah sekadar kesepakatan intelektual, namun mencakup tindakan yang setia. Beriman kepada yang diutus Allah bukan semata-mata berarti menyetujui bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi juga mengikut Yesus dengan melakukan pekerjaan baik yang Allah kehendaki bagi kita.
Yesus Menyembuhkan Seorang yang Buta Sejak Lahir (Yohanes 9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus dan murid-murid-Nya melihat seorang lelaki yang terlahir buta (seluruh pasal 9). Para murid memandangnya sebagai pelajaran atau studi kasus tentang sumber-sumber dosa. Yesus memandangnya dengan penuh belas kasihan dan berupaya memperbaiki kondisinya. Metode penyembuhan Kristus yang tidak biasa dan tindakan selanjutnya dari orang yang tidak lagi buta itu, sekali lagi menunjukkan bahwa dunia yang terdiri dari daging dan tulang – dan lumpur – adalah tempat kerajaan Allah. Metode yang Yesus lakukan – mencampurkan ludah dengan tanah dan meletakkannya di mata orang itu– bukanlah suatu kegilaan, namun merupakan gema penuh perhitungan dari penciptaan umat manusia (Kejadian 2:7). Dalam tradisi Alkitab dan Yunani, lumpur (pēlos) digunakan untuk menggambarkan manusia terbuat dari apa. Perhatikan, misalnya, Ayub 10:9, “Ingatlah bahwa Engkau yang membuat aku dari tanah liat; tetapi Engkau hendak menjadikan aku debu kembal?"[1]
Pengorbanan Yesus (Yohanes 10-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaat Yesus mendekat ke Yerusalem untuk terakhir kalinya, Dia melakukan tanda terbesar-Nya—dibangkitkannya Lazarus di Betania (Yohanes 11:1-44). Penentang-penentang Yesus, yang telah mencoba merajam-Nya (Yohanes 8:59; 10:31), memutuskan bahwa Yesus dan Lazarus harus pergi. Dengan kematian-Nya yang menjelang, Yesus berbicara tentang salib dengan cara yang paradoks. Dia menggunakan bahasa yang kelihatannya merupakan bahasa yang mengagungkan, dengan mengatakan bahwa Dia akan ”diangkat” dan menarik semua orang kepada diri-Nya sendiri. Namun Yohanes menjelaskan dalam catatan selanjutnya bahwa ini merujuk pada “ditinggikan” di salib. Apakah ini hanya permainan kata-kata? Sama sekali tidak. Seperti yang ditunjukkan oleh Richard Bauckham, melalui karya pengorbanan diri yang tertinggi di kayu salib itulah Yesus mengungkapkan sepenuhnya bahwa Dia memang Anak Allah yang dimuliakan. “Karena Allah adalah Allah dalam pemberian diri-Nya yang penuh kemurahan, maka dapat kita katakana bahwa identitas Allah bukan hanya disingkapkan tetapi diberlakukan dalam peristiwa keselamatan bagi dunia yang dicapai melalui pelayanan dan penghinaan diri terhadap Anak-Nya.”[1]
Pengorbanan diri Yesus yang akan tiba akan menimbulkan banyak kerugian. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan kematian-Nya, namun juga rasa sakit dan kehausan yang menyiksa (Yohanes 19:28). Dia akan sangat sedih melihat murid-murid-Nya (kecuali Yohanes) meninggalkan Dia dan ibu-Nya kehilangan-Nya (Yohanes 19:26-27). Dia akan dipermalukan karena disalahpahami dan disalahkan (Yohanes 18:19-24). Kerugian-kerugian ini tidak dapat dihindari jika Dia ingin melakukan pekerjaan yang Allah tetapkan bagi-Nya. Dunia tidak mungkin ada tanpa karya Kristus pada mulanya. Dunia tidak dapat dipulihkan kepada maksud Allah tanpa karya Kristus di kayu salib.
Pekerjaan kita mungkin juga menuntut kerugian-kerugian yang tidak wajar bagi kita, namun tidak dapat dihindari jika kita ingin menyelesaikannya. Yesus bekerja untuk memberikan kehidupan sejati kepada orang lain. Sejauh kita menggunakan pekerjaan kita sebagai forum untuk mengagungkan diri sendiri, kita menyimpang dari pola yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus bagi kita. Apakah Yesus mengakui bahwa pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain mempunyai konsekuensi yang tidak dapat dihindari? Mungkin begitu. Para dokter mendapatkan gaji yang besar dengan menyembuhkan orang (setidaknya di dunia Barat modern) namun menanggung beban rasa sakit yang tidak dapat dihindari karena menyaksikan penderitaan pasiennya. Tukang pipa mendapatkan tarif per jam yang patut dicemburui, tetapi mereka juga belepotan kotoran dari waktu ke waktu. Pejabat terpilih bekerja demi keadilan dan kemakmuran bagi warganya, namun seperti Yesus, mereka menanggung kesedihan karena mengetahui, “orang-orang miskin selalu ada bersama kamu” (Yohanes 12:8). Di masing-masing profesi ini, mungkin ada cara untuk menghindari penderitaan bersama orang lain—meminimalkan interaksi dengan pasien yang tidak diberi obat penenang; memperbaiki pipa hanya di rumah-rumah baru yang tidak kotor; atau mengeraskan hati kita terhadap orang-orang yang paling rentan dalam masyarakat. Apakah melakukan hal itu berarti mengikuti pola Yesus? Meskipun kita sering berbicara tentang kerja sebagai cara mencari nafkah, setiap pekerja yang penuh kasih juga mengalami pekerjaan sebagaimana Anda mengalami patah hati. Dengan cara ini, kita bekerja seperti Yesus.
Kepemimpinan yang Melayani (Yohanes 13:1-20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSampai di sini dalam Yohanes, kita telah melihat Yesus melakukan pekerjaan yang belum pernah dilakukan siapa pun sebelumnya – membuat air menjadi anggur, memulihkan penglihatan orang buta, membangkitkan orang mati. Sekarang Dia melakukan apa yang hampir semua orang bisa lakukan, tapi hanya sedikit orang yang mau melakukannya. Dia mencuci kaki. Sang Raja melakukan pekerjaan seorang budak.
Dengan melakukan hal ini, Yesus memunculkan pertanyaan yang telah mengikuti kita sepanjang Injil Yohanes—sejauh mana pekerjaan Yesus menjadi teladan bagi pekerjaan kita sendiri? Akan mudah untuk menjawab, “Tidak sama sekali.” Tak satu pun dari kita adalah Tuhan. Tidak seorang pun di antara kita yang mati demi dosa dunia. Namun ketika Dia membasuh kaki para murid, Yesus secara eksplisit memberi tahu mereka – dan juga kita – bahwa kita harus mengikuti teladan-Nya. “Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu” (Yohanes 13:14-15). Yesus adalah teladan yang harus kita ikuti, sejauh yang kita mampu lakukan.
Sikap pelayanan yang rendah hati ini hendaknya menyertai semua yang kita lakukan. Jika CEO masuk ke bagian produksi, maka seharusnya ia seolah-olah datang untuk mencuci kaki pekerja perakitan. Demikian pula, petugas SPBU seharusnya membersihkan lantai kamar mandi seolah-olah sedang mencuci kaki para pengendara. Ini bukan soal tindakan melainkan sikap. Baik CEO maupun petugas pompa bensin mungkin dapat melayani masyarakat dengan lebih baik melalui aktivitas lain selain mencuci kaki, meskipun karyawan atau pelanggannya bersedia. Namun mereka harus melihat diri mereka sendiri melakukan pelayanan dengan rendah hati. Yesus, guru yang dipenuhi Roh yang memerintah seluruh kosmos, dengan sengaja melakukan tindakan nyata pelayanan rendahan untuk menunjukkan apa yang seharusnya menjadi sikap kebiasaan umat-Nya. Dengan melakukan hal ini, Dia meninggikan martabat tindakan pelayanan yang rendah hati dan menuntut hal yang sama dari para pengikut-Nya. Mengapa? Karena dengan melakukan hal ini kita secara nyata berhadapan dengan kenyataan bahwa pekerjaan yang saleh dilakukan demi kepentingan orang lain, bukan hanya untuk kepuasan diri kita sendiri.
Konsep kepemimpinan yang melayani telah mendapat perhatian luas dalam dunia bisnis dan pemerintahan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini muncul tidak hanya dalam Injil Yohanes tetapi juga di banyak bagian Alkitab.[1]
Kata-kata Perpisahan: Percakapan di Ruang Atas (Yohanes 14-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBab 13 sampai 17, sering disebut Percakapan di Ruang Atas, berisi begitu banyak teologi yang mendalam sehingga kita hanya dapat menyentuh beberapa poin penting saja. Untuk tujuan ini, kami secara khusus tertarik untuk mempelajari pasal 14 sampai 17. Penting untuk menyadari bahwa kata-kata Yesus bukanlah ceramah yang tanpa emosi. Dia berduka memikirkan murid-murid yang Dia kasihi, dan yang harus segera Dia tinggalkan, dan kata-kata-Nya dirancang terutama untuk menghibur mereka dalam kesusahan mereka.
Pentingnya Hubungan di Tempat Kerja (Yohanes 14-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPenekanan pada hubungan pribadi mewarnai teologi bab-bab ini. Yesus menyebut murid-murid-Nya “tidak [menyebut kamu] lagi hamba … tetapi Aku menyebut kamu sahabat” (Yohanes 15:15, NASB). Mereka bekerja bagi-Nya, namun dalam semangat persahabatan dan kolegialitas. Istilah ini jika digunakan dalam pengertian yang sepenuhnya, merupakan suatu bisnis keluarga. Kerja dan hubungan yang terjadi di dalamnya saling terkait, karena Yesus tidak bekerja sendiri. “Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (Yohanes 14:10-11). Para murid juga tidak akan ditinggalkan bagai anak yatim piatu yang harus mengurus dunia sebaik mungkin (Yohanes 14:18). Melalui Roh, Yesus akan menyertai mereka, dan mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang telah Dia lakukan (Yohanes 14:12).
Ini lebih dalam dari yang terlihat. Bukan hanya sekedar setelah Yesus wafat, para murid/sahabat-Nya masih bisa merasakan kehadiran-Nya dalam doa. Ini artinya, mereka adalah peserta aktif dalam penciptaan/pemulihan dunia yang mengobarkan hubungan kasih antara Bapa dan Anak. Mereka melakukan pekerjaan Anak dan Bapa, dan mereka bergabung dalam keintiman Anak dan Bapa (dan Roh Kudus, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi). Bapa menunjukkan kasih-Nya kepada Anak dengan mengijinkan-Nya mengambil bagian dalam kemuliaan pembentukan dan penciptaan kembali dunia.[1]
Sang Anak menunjukkan kasih-Nya kepada Bapa dengan selalu dan hanya melakukan kehendak-Nya, menjadikan dan membentuk kembali dunia demi kemuliaan Bapa sesuai dengan keinginan Bapa dalam kuasa Roh. Para murid/sahabat masuk ke dalam kasih yang terus mengalir dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus ini, tidak hanya melalui refleksi mistik tetapi juga dengan merengkuh misi Sang Anak dan bekerja seperti yang dilakukan-Nya. Panggilan untuk mengalami kasih yang sama ini tidak dapat dipisahkan dari panggilan untuk berbagi dalam pekerjaan. Doa, “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku, supaya mereka menjadi satu dengan sempurna” (Yohanes 17:23), dipadankan dengan, “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yohanes 17 :18), dan ini muncul lagi dalam “Apakah engkau mengasihi Aku? ... Peliharalah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:17).
Aspek penting dari kerja manusia adalah kesempatan yang diberikannya untuk bersekutu melalui proyek-proyek bersama. Bagi banyak orang, tempat kerja memberikan konteks paling signifikan untuk hubungan pribadi di luar keluarga. Bahkan mereka yang bekerja sendiri – di dalam atau di luar rumah mereka sendiri – biasanya mau tidak mau berada dalam jaringan hubungan yang melibatkan pemasok, pelanggan, dan sebagainya.[2] Kita telah melihat bahwa Yesus memanggil murid-murid-Nya bukan hanya sebagai rekan sekerja tetapi juga sebagai komunitas sahabat. Aspek relasional dari pekerjaan bukanlah produk sampingan yang tidak disengaja dari kerja yang pada dasarnya bersifat utilitarian. Sebaliknya, ini merupakan komponen yang sangat penting dalam kerja itu sendiri, sejak Adam dan Hawa bekerja bersama di taman. “TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia'” (Kejadian 2:18). Ciptaan menjadi sarana hubungan interpersonal ketika manusia bekerja berdampingan satu sama lain, dan dengan demikian masuk ke dalam kerja Allah untuk mewujudkan ciptaan tersebut.
Hal ini dapat menjadi dorongan semangat yang luar biasa bagi orang-orang yang berorientasi proyek, yang kadang-kadang dibuat merasa tidak rohani karena keengganan mereka untuk menghabiskan banyak waktu membicarakan perasaan mereka. Berbicara dengan orang lain merupakan kegiatan yang diperlukan untuk mengembangkan hubungan, namun kita tidak boleh mengabaikan pentingnya melakukan pekerjaan sebagai sarana untuk membina hubungan. Bekerja sama dapat membangun hubungan itu sendiri. Bukan suatu kebetulan bahwa kita menghabiskan banyak waktu bekerja dengan dan untuk orang lain. Dengan meneladani pekerjaan Allah sendiri dalam Tritunggal, kita dapat menemukan hubungan dalam pekerjaan. Bekerja untuk mencapai tujuan bersama adalah salah satu cara utama Allah menyatukan kita dan menjadikan kita manusia sejati.
Akulah Pokok Anggur dan Kamulah Rantingnya (Yohanes 15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan pokok anggur dan ranting-ranting dimulai dengan berkat hubungan dengan Yesus dan melalui Dia dengan Bapa (Yohanes 15:1). “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yohanes 15:9). Namun hasil dari kasih ini bukanlah kebahagiaan pasif melainkan kerja produktif, yang dalam perumpamaan ini dinyatakan sebagai menghasilkan buah. “Siapa saja yang tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak” (Yohanes 15:5). Allah yang menciptakan alam semesta ingin umat-Nya juga produktif. “Dalam hal inilah Bapa-Ku dimuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak” (Yohanes 15:8). Kemampuan kita untuk melakukan pekerjaan yang membuat perbedaan abadi di dunia adalah anugerah besar dari Allah. “Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu” (Yohanes 15:16). Janji tentang efektivitas ini menggemakan janji Yesus sebelumnya, bahwa “Siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa” (Yohanes 14:12).
Buah yang dihasilkan oleh para pengikut Yesus terkadang diartikan sebagai orang-orang yang berpindah agama menjadi Kristen. “Pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu” berarti “lebih banyak orang yang bertobat daripada yang Ku-hasilkan sendiri.” Bagi mereka yang terpanggil untuk melakukan penginjilan, hal ini tentu saja berlaku. Jika Yesus dalam ayat ini berbicara hanya kepada para rasul—yang ditunjuk untuk memberitakan kabar baik—dalam ayat ini, maka mungkin buah hanya mengacu pada orang yang bertobat. Namun jika Dia berbicara kepada orang-orang percaya secara umum, maka buah harus mengacu pada seluruh jenis pekerjaan yang menjadi panggilan orang-orang percaya. Karena seluruh dunia diciptakan melalui Dia, “pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan” mencakup semua jenis pekerjaan baik yang bisa dibayangkan. Bagi kita, melakukan “pekerjaan yang lebih besar” yang terlihat sampai saat ini dapat berarti merancang perangkat lunak yang lebih baik, memberi makan lebih banyak orang, mendidik siswa yang lebih bijaksana, meningkatkan efektivitas organisasi, meningkatkan kepuasan pelanggan, menggunakan modal secara lebih produktif, dan memerintah negara dengan lebih adil. Nilai dari menghasilkan buah tidak terletak pada apakah kita bekerja di bidang bisnis, pemerintahan, layanan kesehatan, pendidikan, agama, atau bidang lainnya. Nilainya terletak pada apakah pekerjaan kita melayani kebutuhan masyarakat. “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang terhadap yang lain” (Yohanes 15:17). Pelayanan adalah bentuk kasih yang aktif.
Kerajaan-Ku Bukan Berasal dari Dunia Ini (Yohanes 18:36)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDaripada mengambil risiko mereduksi narasi Yohanes tentang penderitaan dan kematian Yesus menjadi sebuah teks untuk membuktikan masalah kerja, kami akan membahas satu ayat yang penting karena apa yang tidak tersurat dibandingkan apa yang tersurat di dalamnya. “Jawab Yesus, ‘Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini’” (Yohanes 18:36). Sisi positifnya, di sini kita menemukan ringkasan yang luar biasa tentang Penderitaan Yesus. Yesus memproklamirkan bahwa Dia memang seorang raja, namun bukan raja yang mudah dikenali oleh politisi culas seperti Pilatus. Jika Yesus harus mengorbankan diri-Nya demi kehidupan dunia, Dia akan melakukannya. Dan Dia memang harus mengorbankan diri-Nya sendiri, karena kedudukan-Nya sebagai raja, yang bersifat mutlak dan sepenuhnya memberi diri, pasti akan mengakibatkan hukuman mati dari penguasa yang ada.
Namun sama pentingnya untuk mengenali apa yang tidak diberitakan Yesus. Dia tidak mengatakan bahwa kerajaan-Nya adalah sebuah pengalaman keagamaan internal yang bersifat sementara dan tidak berdampak pada isu-isu ekonomi, politik, atau sosial di dunia nyata. Sebagaimana ditunjukkan dalam Alkitab versi NRSV, NIV, dan terjemahan lainnya, kerajaan-Nya berasal dari alam lain (Yohanes 18:36). Pemerintahan-Nya—seperti diri-Nya sendiri—berasal dari surga. Namun Dia telah datang ke bumi, dan kerajaan-Nya adalah kerajaan yang nyata di bumi ini, lebih nyata daripada yang pernah ada di Roma. Kerajaan-Nya yang datang ke bumi mempunyai serangkaian prinsip pengoperasian yang berbeda. Kerajaan-Nya bekerja dengan penuh kuasa di dalam dunia ini, namun tidak menerima perintah dari para penguasa dunia saat ini. Yesus tidak menjelaskan pada saat itu apa artinya kerajaan-Nya berasal dari dunia lain namun berada di dunia yang Dia bangun sendiri. Namun Dia kemudian mengungkapkannya dengan jelas, dalam penglihatan yang dilaporkan dalam Wahyu 21 dan 22, ketika Yerusalem Baru turun dari surga. Kerajaan Yesus turun untuk mengambil tempat yang selayaknya sebagai ibu kota dunia ini, tempat semua murid-Nya menemukan rumah abadi mereka. Setiap kali Yesus berbicara tentang kehidupan kekal atau kerajaan Allah, yang dimaksudkan-Nya adalah bumi yang kita tinggali sekarang, yang diubah dan disempurnakan oleh Firman dan kuasa Allah.
Murid yang Dikasihi Yesus (Yohanes 21:20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPasal terakhir dari Injil Yohanes memberikan kesempatan untuk tidak terlalu merenungkan tentang kerja itu sendiri, melainkan tentang identitas pekerjanya. Para murid sedang memancing ketika mereka bertemu Yesus. Kadang-kadang hal ini dipandang sebagai hal yang buruk, seolah-olah mengapa mereka mencari ikan padahal seharusnya mereka memberitakan Kerajaan Allah. Namun tidak ada satu hal pun dalam teks itu yang menunjukkan kritikan terhadap hal itu. Sebaliknya, Yesus memberkati kerja keras mereka dengan hasil tangkapan yang ajaib. Setelah itu, mereka kembali kepada pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka sebagai pengkhotbah, namun bahkan hal ini hanya mencerminkan panggilan khusus mereka dan tidak meremehkan kerja mencari ikan itu.
Bagaimana pun kita memandang latar belakang itu, dorongan dari pasal ini adalah pemulihan Petrus dan kontras antara masa depan Petrus dengan masa depan “murid yang dikasihi Yesus” (Yohanes 21:20). Tiga kali penegasan Petrus akan kasihnya kepada Yesus memulihkan hubungannya dengan Yesus setelah tiga kali penyangkalan sebelumnya. Di masa depan, Petrus akan menanggung kemartiran, sementara secara samar-samar diisyaratkan bahwa Murid Terkasih akan menikmati hidup yang lebih panjang. Kita akan memfokuskan perhatian kita pada sosok yang terakhir, karena penunjukan dirinya berkaitan langsung dengan pertanyaan tentang identitas manusia.
Menarik bahwa identitas Murid Terkasih tidak pernah diungkapkan dalam Injil Keempat. Kebanyakan ahli menyimpulkan bahwa ia adalah Rasul Yohanes (walaupun ada beberapa yang tidak setuju[1]), namun pertanyaan sebenarnya adalah mengapa ia menyembunyikan namanya dalam kerahasiaan seperti itu. Salah satu jawabannya adalah ia ingin membedakan dirinya dari murid-murid lainnya. Ia secara khusus dikasihi oleh Yesus. Namun ini merupakan motif yang aneh dalam Injil yang diwarnai dengan teladan kerendahan hati dan pengorbanan diri Kristus.
Penjelasan yang jauh lebih baik adalah bahwa ia menyebut dirinya sebagai “murid yang dikasihi Yesus” sebagai cara untuk mewakili apa yang berlaku bagi semua murid. Kita semua pertama-tama dan terutama harus menemukan identitas kita dalam kenyataan bahwa Yesus mengasihi kita. Ketika Anda bertanya kepada Yohanes siapa dirinya, ia tidak menjawab dengan menyebutkan namanya, hubungan keluarganya, atau pekerjaannya. Ia menjawab, “Saya adalah seseorang yang Yesus kasihi.” Dengan menggunakan kata-kata Yohanes, Murid Terkasih menemukan dirinya “bersandar di dekat-Nya, di sebelah kanan-Nya.” (Yohanes 13:23, KJV), dan demikian pula, Mesias menemukan identitasnya “di pangkuan Bapa” (Yohanes 1:18, KJV). [2] Dengan cara yang sama, kita harus mengetahui siapa diri kita, bukan melalui apa yang telah kita lakukan, atau melalui siapa yang kita kenal, atau melalui apa yang kita miliki, namun melalui kasih Yesus kepada kita.
Namun jika kasih Yesus kepada kita—atau, bisa kita katakan, kasih Bapa kepada kita melalui Yesus—adalah sumber identitas dan motivasi hidup kita, kita mewujudkan kasih ini dalam aktivitas kita dalam ciptaan Allah. Salah satu aspek penting dari aktivitas itu adalah pekerjaan kita sehari-hari. Melalui rahmat Allah, kerja dapat menjadi suatu arena di mana kita menjalani hubungan dengan Allah dan sesama melalui pelayanan penuh kasih. Pekerjaan kita sehari-hari, betapa pun rendah atau mulianya penilaian orang lain, menjadi tempat di mana kemuliaan Allah diperlihatkan. Oleh kasih karunia Allah, saat kita bekerja, kita menjadi perumpamaan hidup tentang kasih dan kemuliaan Allah.
Pengantar Kepada Kisah Para Rasul
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Para Rasul menggambarkan gereja mula-mula yang bekerja keras untuk mengembangkan dirinya dan melayani sesama dalam menghadapi oposisi, kekurangan orang dan uang, birokrasi pemerintah (birokrasi gereja baru akan terjadi di kemudian hari), perselisihan internal, dan bahkan kekuatan alam. Pekerjaan mereka menunjukkan kesamaan dengan apa yang dihadapi orang-orang Kristen di tempat kerja yang tidak berhubungan dengan gereja saat ini. Sekelompok kecil orang mencurahkan seluruh hati mereka dalam pekerjaan yang membawa kasih Kristus kepada orang-orang di setiap bidang kehidupan, dan mereka menemukan kuasa Roh Kudus yang luar biasa bekerja dalam diri mereka ketika mereka melakukannya. Jika hal ini tidak kita alami dalam pekerjaan kita sehari-hari, mungkin Allah ingin membimbing, menganugerahkan, dan memberdayakan pekerjaan kita sama seperti yang Dia lakukan bagi pekerjaan mereka.
Kerja menjadi pusat perhatian, seperti yang mungkin Anda harapkan dalam sebuah buku tentang “tindakan” para pemimpin gereja mula-mula. Narasinya penuh dengan orang-orang yang berjalan, berbicara, menyembuhkan, memberi dengan murah hati, membuat keputusan, memerintah, menyajikan makanan, mengelola uang, berkelahi, membuat pakaian, tenda, dan barang-barang lainnya, membaptis (atau membasuh), berdebat, berargumentasi, membuat penilaian, membaca dan menulis, menyanyi, membela diri di pengadilan, mengumpulkan kayu, menyalakan api, melarikan diri dari kerumunan orang banyak yang memusuhi, berpelukan dan berciuman, mengadakan rapat, meminta maaf, berlayar, meninggalkan kapal, berenang, menyelamatkan orang, dan melalui semua itu, memuji Allah. Lelaki dan perempuan dalam kitab Kisah Para Rasul siap melakukan apa pun untuk menyelesaikan misi mereka. Tidak ada pekerjaan yang terlalu remeh bagi mereka yang berkedudukan tertinggi, dan tidak ada pekerjaan yang terlalu berat bagi mereka yang paling rendahan.
Namun kedalaman Kitab Kisah Para Rasul tidak banyak berasal dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dalam gereja mula-mula, melainkan mengapa dan bagaimana mereka terlibat dalam ledakan aktivitas yang luar biasa ini. Penyebabnya adalah pelayanan. Melayani Allah, melayani rekan kerja, melayani masyarakat, melayani orang asing—pelayanan adalah motivasi di balik pekerjaan yang dilakukan umat Kristiani di sepanjang buku ini. Hal ini seharusnya tidak mengejutkan karena Kisah Para Rasul sebenarnya adalah jilid kedua dari kisah yang dimulai dalam Injil Lukas, dan pelayanan juga merupakan motivasi pendorong Yesus dan para pengikut-Nya dalam Injil Lukas. (Lihat Lukas dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/ untuk informasi latar belakang penting mengenai Lukas dan pembacanya.)
Jika penyebabnya adalah pelayanan, lalu caranya adalah terus-menerus menantang struktur masyarakat Romawi, yang tidak didasarkan pada pelayanan melainkan eksploitasi. Lukas terus-menerus mengontraskan cara kerja kerajaan Allah dengan cara kerja Kekaisaran Romawi. Ia memperhatikan interaksi Yesus dan para pengikut-Nya yang banyak terjadi dengan para pejabat kekaisaran. Ia sangat mengenal sistem kekuasaan—dan faktor sosial ekonomi yang mendukungnya—yang berlaku di Kekaisaran Romawi. Dari kaisar hingga bangsawan, pejabat, pemilik tanah, orang merdeka, pelayan, dan budak, setiap lapisan masyarakat ada dengan memegang kekuasaan atas lapisan di bawahnya. Cara Allah, seperti terlihat dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, justru sebaliknya. Komunitas milik Allah ada untuk melayani, dan khususnya untuk melayani mereka yang berada dalam posisi-posisi yang lebih lemah, miskin atau rentan.
Jadi, pada akhirnya, Kisah Para Rasul bukanlah suatu teladan kegiatan yang harus kita lakukan sebagai pengikut Kristus, namun sebagai teladan komitmen pelayanan yang harus membentuk landasan kegiatan kita. Aktivitas-aktivitas kita berbeda dengan para rasul, namun komitmen pelayanan kita sama.
Komunitas Misi (Kisah Para Rasul 1:6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam kitab Kisah Para Rasul, misi Yesus untuk memulihkan dunia seperti yang Allah kehendaki diubah menjadi misi komunitas pengikut Yesus. Kisah Para Rasul menelusuri kehidupan komunitas para pengikut Yesus ketika Roh membentuk mereka menjadi sekelompok orang yang bekerja dan menggunakan kekuasaan dan kekayaan yang berhubungan dengan kerja dengan cara yang berbeda dari dunia di sekitar mereka. Pekerjaan ini dimulai dengan penciptaan komunitas unik yang disebut gereja. Lukas memulai dengan komunitas “ketika berkumpul,” dan melanjutkan dengan misi untuk “memulihkan kerajaan bagi Israel” (Kisah Para Rasul 1:6). Untuk melaksanakan pekerjaan ini, komunitas itu pertama-tama harus berorientasi pada panggilannya bagi kerajaan Allah, dan kemudian pada identitasnya sebagai saksi kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Panggilan yang Berorientasi pada Kerajaan Allah (Kisah Para Rasul 1:8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Kisah Para Rasul dimulai dengan interaksi paska kebangkitan antara Yesus dan murid-murid-Nya. Yesus mengajar murid-muridnya tentang “kerajaan Allah” (Kisah Para Rasul 1:3). Mereka menjawab dengan pertanyaan tentang didirikannya kerajaan sosio-politik, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kisah 1:6).[1] Tanggapan Yesus berhubungan erat dengan kehidupan kita sebagai pekerja.
Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. (Kisah 1:7-8)
Pertama, Yesus menghentikan keingintahuan para murid tentang jadwal rencana Allah. “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya” (Kisah Para Rasul 1:7). Kita harus hidup dalam penantian akan kepenuhan kerajaan Allah, namun tidak dengan cara yang mempertanyakan kapan tepatnya waktu kedatangan Allah kembali di dalam Kristus. Kedua, Yesus tidak menyangkal bahwa Allah akan mendirikan kerajaan sosio-politik, yaitu “memulihkan kerajaan bagi Israel,” seperti yang diungkapkan dalam pertanyaan para murid.
Murid-murid Yesus semuanya menguasai Kitab Suci Israel. Mereka tahu bahwa kerajaan yang dilukiskan oleh para nabi bukanlah realita yang ada di dunia lain, melainkan kerajaan nyata yang penuh perdamaian dan keadilan di dunia yang diperbarui oleh kuasa Allah. Yesus tidak menyangkal realitas kerajaan yang akan datang ini, namun Dia memperluas batasan harapan para murid dengan memasukkan seluruh ciptaan ke dalam kerajaan yang diharapkan. Ini bukan sekedar kerajaan baru bagi wilayah Israel, tetapi “di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1:8).
Penggenapan kerajaan ini belum terjadi (“pada saat ini”) tetapi kerajaan itu sudah ada di sini, di dunia ini.
Aku juga melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah ... Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata, ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia’” (Wahyu 21:2-3).
Kerajaan surga datang ke bumi, dan Allah berdiam di sini, di dunia yang telah ditebus. Kenapa kerajaan itu belum ada di sini? Pengajaran Yesus menunjukkan bahwa sebagian dari jawabannya adalah karena murid-murid-Nya mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan manusia diperlukan untuk menyelesaikan ciptaan Allah bahkan di Taman Eden (Kejadian 2:5), namun pekerjaan kita menjadi cacat oleh Kejatuhan. Dalam Kisah Para Rasul 1 dan 2, Allah mengirimkan roh-Nya untuk memberdayakan pekerjaan manusia. “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku” (Kisah Para Rasul 1:8a). Yesus memberikan sebuah panggilan kepada para pengikut-Nya—bersaksi, dalam arti memberikan kesaksian tentang kuasa Roh Kudus dalam setiap bidang aktivitas manusia—yang penting bagi datangnya kerajaan. Karunia Roh Kudus dari Allah mengisi kesenjangan antara peran penting yang diberikan Allah pada pekerjaan manusia dan kemampuan kita untuk memenuhi peran tersebut. Untuk pertama kalinya sejak Kejatuhan, kerja kita memiliki kekuatan untuk berkontribusi dalam menggenapi kerajaan Allah pada saat Kristus datang kembali. Para ahli pada umumnya memandang Kisah Para Rasul 1:8 sebagai pernyataan terprogram bagi jilid kedua dari dua jilid tulisan Lukas ini.
Memang benar, keseluruhan kitab Kisah Para Rasul dapat dianggap sebagai suatu ekspresi panggilan Kristiani (yang terkadang terbata-bata) untuk memberikan kesaksian tentang Yesus yang bangkit. Namun memberikan kesaksian lebih dari sekedar menginjili. Kita tidak boleh salah mengira bahwa Yesus hanya berbicara tentang pekerjaan individual mengabarkan Injil kepada orang yang tidak percaya melalui perkataan. Sebaliknya, memberikan kesaksian tentang kerajaan yang akan datang terutama berarti hidup sekarang sesuai dengan prinsip-prinsip dan praktik kerajaan Allah. Kita akan melihat bahwa bentuk kesaksian Kristiani yang paling efektif seringkali—bahkan terutama—kehidupan bersama dalam komunitas ketika mereka menjalankan tugasnya.
Panggilan bersama Kristiani untuk bersaksi hanya mungkin terjadi melalui kuasa Roh Kudus. Roh mentransformasikan individu dan komunitas dengan cara-cara yang menyebabkan dinikmatinya hasil kerja manusia bersama-sama—terutama kekuasaan, sumber daya, dan pengaruh—dengan komunitas dan budaya sekitarnya. Komunitas bersaksi ketika yang kuat membantu yang lemah. Komunitas bersaksi ketika anggotanya menggunakan sumber daya mereka untuk memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Komunitas bersaksi ketika masyarakat sekitar melihat bahwa bekerja dalam jalan keadilan, kebaikan, dan keindahan akan membawa pada kehidupan yang lebih utuh.
Lokasi-lokasi yang disebutkan Yesus mengungkapkan bahwa kesaksian para murid menempatkan mereka dalam bahaya sosial. Kelompok murid Yahudi Yesus diperintahkan untuk berbicara mewakili seseorang yang baru saja disalib karena dianggap musuh Kekaisaran Romawi dan penghujat Allah Israel. Mereka dipanggil untuk menjalankan panggilan ini di kota di mana guru mereka dibunuh, di antara orang Samaria—musuh etnis Yahudi berdasarkan sejarah—dan di wilayah jangkauan Kekaisaran Romawi.[2]
Pendeknya, Kisah Para Rasul dimulai dengan suatu panggilan pengarah yang memanggil para pengikut Yesus pada tugas utama bersaksi. Bersaksi berarti, di atas segalanya, hidup sesuai dengan cara kerajaan Allah yang akan datang. Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, elemen terpenting dalam hidup ini adalah kita bekerja terutama demi kebaikan orang lain. Panggilan ini dimungkinkan oleh kuasa Roh Kudus dan dilaksanakan tanpa mempedulikan hambatan sosial. Panggilan pengarah ini tidak merendahkan nilai kerja manusia atau kehidupan kerja para murid Yesus demi mewartakan Yesus hanya dengan perkataan. Sebaliknya, Kisah Para Rasul akan berargumen dengan tegas bahwa semua pekerjaan manusia dapat menjadi ekspresi mendasar dari kerajaan Allah.
Identitas Kristen Sebagai Saksi Kerajaan Allah dalam Kehidupan Sehari-hari (Kisah Para Rasul 2:1-41)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak diragukan lagi bahwa kisah Pentakosta merupakan inti kehidupan komunitas Kristen mula-mula. Peristiwa inilah yang mengawali panggilan kesaksian yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul 1:8. Bagian kitab Kisah Para Rasul ini mengajukan klaim terhadap semua pekerja dalam dua cara. Pertama, kisah Pentakosta mengidentifikasi para pendengar Kristen dalam sebuah komunitas baru yang menghidupkan kembali penciptaan dunia—yaitu kerajaan Allah—yang dijanjikan oleh Allah melalui para nabi. Petrus menjelaskan fenomena pada hari Pentakosta dengan merujuk kepada nabi Yoel.
Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka, karena hari baru pukul sembilan, tetapi itulah yang difirmankan Allah dengan perantaraan Nabi Yoël: Akan terjadi pada hari-hari terakhir — demikianlah firman Allah — bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan pemuda-pemudimu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi. Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat. Aku akan mengadakan mukjizat-mukjizat di atas, di langit dan tanda-tanda ajaib di bawah, di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap. Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari Tuhan, hari yang besar dan mulia itu. Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan (Kisah 2:15-21).
Petrus mengacu pada bagian kitab Yoel yang menggambarkan pemulihan umat Allah yang diasingkan. Petrus menggunakan bagian ini untuk mengklaim bahwa Allah telah memulai penyelamatan umat-Nya untuk selamanya.[1] Kembalinya umat Allah ke bumi menggenapi janji-janji perjanjian Allah dan mengawali diciptakannya kembali dunia. Yoel menggambarkan penciptaan kembali ini dengan gambaran yang menakjubkan. Saat umat Allah kembali ke tanah perjanjian, gurun pasir menjadi hidup seperti Taman Eden yang baru. Tanah, hewan, dan manusia semuanya bersukacita atas kemenangan Allah dan pembebasan umat Allah (lihat Yoel 2). Di antara kayanya gambaran di bagian kitab Yoel ini, kita mendengar bahwa pemulihan umat Allah akan membawa dampak ekonomi langsung. “TUHAN menjawab, kata-Nya kepada umat-Nya: ‘Sesungguhnya, Aku akan mengirim kepadamu gandum, anggur dan minyak, dan kamu akan kenyang memakannya; Aku tidak akan menyerahkan kamu lagi menjadi cela di antara bangsa-bangsa.’” (Yoel 2:19). Klimaks dari tindakan pembebasan ini bagi Yoel adalah pencurahan Roh ke atas umat Allah. Petrus memahami kedatangan Roh Kudus berarti bahwa para pengikut Yesus mula-mula—dalam beberapa hal yang nyata, meskipun sangat misterius—adalah peserta dalam dunia baru Allah.
Poin kedua yang penting dan berkaitan erat adalah bahwa Petrus menggambarkan keselamatan sebagai penyelamatan dari “orang-orang yang jahat” (Kisah Para Rasul 2:40). Ada dua hal yang perlu diklarifikasi. Pertama, Lukas tidak menggambarkan keselamatan sebagai pelarian dari dunia ini kepada kehidupan surgawi. Sebaliknya, keselamatan dimulai tepat di tengah-tengah dunia saat ini. Kedua, Lukas berharap bahwa keselamatan mempunyai komponen yang berlangsung sekarang. Keselamatan ini dimulai dengan cara hidup yang berbeda, bertentangan dengan pola “orang-orang yang jahat” ini. Karena kerja dan konsekuensi ekonomi serta sosialnya sangat penting dalam identitas manusia, maka tidak mengherankan jika salah satu pola kehidupan manusia yang pertama kali harus disusun kembali adalah cara umat Kristen mengelola kekuasaan dan harta mereka. Jadi, alur bagian awal kitab Kisah Para Rasul ini adalah sebagai berikut: (1) Yesus menyarankan agar seluruh kehidupan manusia harus menjadi kesaksian tentang Kristus; (2) kedatangan Roh menandai dimulainya “hari Tuhan” yang telah lama dijanjikan dan menginisiasi manusia masuk ke dalam dunia baru Allah; dan (3) harapan akan “hari Tuhan” mencakup transformasi ekonomi yang besar. Langkah Lukas selanjutnya adalah menunjuk pada suatu bangsa baru, yang diberdayakan oleh Roh, hidup menurut suatu ekonomi kerajaan.
Komunitas Pengarah yang Mempraktikkan Cara-cara Kerajaan Allah: Kisah Para Rasul 2:42-4:32
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Petrus mengumumkan penciptaan komunitas jenis baru oleh Roh, Kisah Para Rasul menelusuri pertumbuhan pesat komunitas semacam itu di berbagai tempat. Komunitas yang dirangkumkan dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 dan 4:32-38 adalah deskripsi yang paling padat. Memang benar, teks-teks itu sendiri sangat luar biasa dalam menggambarkan ruang lingkup komitmen dan kehidupan bersama orang-orang beriman mula-mula.[5] Karena rangkumannya banyak persamaannya, maka kita akan membahasnya secara berbarengan.
Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Lalu ketakutan melanda semua orang, sebab rasul-rasul itu mengadakan banyak mukjizat dan tanda ajaib. Semua orang yang percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah dan mereka disukai semua orang. Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan. (Kisah 2:42-47)
Kini seluruh kelompok orang-orang yang beriman itu sehati dan sejiwa, dan tidak ada seorang pun yang menyatakan kepemilikan pribadi atas suatu harta benda, tetapi semua yang mereka miliki adalah milik bersama. Dengan kuasa yang besar rasul-rasul terus memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus, dan kasih karunia melimpah atas mereka semua. Tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka, karena banyak orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjualnya dan membawa hasil penjualannya. Mereka meletakkannya di depan kaki rasul-rasul, dan dibagikan kepada masing-masing orang sesuai kebutuhan. Ada seorang Lewi, penduduk asli Siprus, Yusuf, yang oleh para rasul diberi nama Barnabas (yang berarti “anak penghiburan”). Ia menjual sebidang tanah miliknya, lalu membawa uangnya dan menaruhnya di kaki para rasul (Kisah 4:32-37).
Meskipun teks-teks ini tidak menggambarkan kerja secara langsung, teks-teks ini sangat memperhatikan penyebaran kekuasaan dan kepemilikan, dua realitas yang seringkali merupakan hasil dari kerja manusia. Hal pertama yang perlu diperhatikan, dibandingkan dengan masyarakat sekitar, adalah bahwa komunitas Kristen mempunyai praktik yang sangat berbeda dalam penggunaan kekuasaan dan harta benda. Jelaslah bahwa umat Kristen mula-mula memahami bahwa kekuasaan dan harta benda individu tidak boleh disimpan demi kenyamanan individu, namun harus dibelanjakan atau diinvestasikan secara bijaksana demi kebaikan komunitas Kristen. Singkatnya, harta benda ada untuk kebaikan sesama. Lebih dari segalanya, hidup dalam kerajaan Allah berarti bekerja demi kebaikan sesama.
Ada dua hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, teks-teks ini meminta kita untuk memahami identitas kita terutama sebagai anggota komunitas Kristen. Kebaikan masyarakat adalah kebaikan setiap individu anggotanya. Kedua, hal ini merupakan perubahan radikal dari ekonomi patronase yang menjadi ciri Kekaisaran Romawi. Dalam sistem patronase, pemberian dari pihak kaya kepada pihak miskin menciptakan suatu struktur kewajiban yang sistematis. Setiap hadiah dari seorang dermawan menyiratkan hutang sosial yang kini diderita si penerima. Sistem ini menciptakan semacam kemurahan hati semu di mana pemberi yang murah hati sering kali memberi demi kepentingan pribadi, berupaya mendapatkan kehormatan yang terkait dengan patronase.[6] Intinya, perekonomian Romawi memandang “kemurahan hati” sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan dan status sosial. Gagasan tentang kewajiban timbal balik yang sistematis ini sama sekali tidak ada dalam uraian di Kisah 2 dan 4. Dalam komunitas Kristen, memberi harus dimotivasi oleh kepedulian yang tulus terhadap kesejahteraan si penerima, bukan demi kehormatan si dermawan. Memberi tidak ada hubungannya dengan si pemberi dan semuanya demi si penerima.
Ini adalah sistem sosio-ekonomi yang sangat berbeda. Seperti Injil Lukas, Kisah Para Rasul secara teratur menunjukkan bahwa pertobatan Kristen menghasilkan perubahan pendekatan terhadap kepemilikan dan kekuasaan. Selain itu, desakan bahwa harta harus digunakan demi kepentingan sesama secara eksplisit berpola dari kehidupan, misi, dan—terutama—kematian Yesus yang mengorbankan diri-Nya. (Lihat Lukas dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.)
Ekonomi Kemurahan Hati yang Radikal (Kisah Para Rasul 2:45; 4:34-35)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTerdapat perdebatan yang terus berlanjut mengenai apakah rangkuman komunitas ini menganjurkan sistem ekonomi tertentu atau tidak, dengan beberapa penafsir menggambarkan praktik komunitas tersebut sebagai “proto-komunisme” dan yang lain melihat adanya kewajiban divestasi barang. Namun dalam teks tersebut tidak ada upaya untuk mengubah struktur di luar komunitas Kristen. Memang sulit membayangkan kelompok kecil, terpinggirkan, dan tidak berdaya secara sosial mempunyai rencana untuk mengubah sistem ekonomi kekaisaran. Jelas bahwa komunitas itu tidak sepenuhnya memilih keluar dari sistem ekonomi di kekaisaran. Kemungkinan besar, para nelayan tetap menjadi anggota kartel penangkapan ikan dan pengrajin terus berbisnis di pasar.[7]
Bagaimanapun, Paulus terus membuat tenda untuk mendukung perjalanan misionarisnya (Kisah 18:3).
Sebaliknya, dalam teks tersebut ada sesuatu yang jauh lebih menuntut. Dalam gereja mula-mula, orang-orang kaya dan berkuasa melikuidasi harta benda mereka demi kepentingan pihak yang kurang berkuasa “dari waktu ke waktu” (Kisah 4:34) “kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kisah 2:45; 4:35). Hal ini menggambarkan semacam ketersediaan radikal sebagai status normal dari harta milik setiap orang. Artinya, sumber daya—baik materi, politik, sosial, atau praktis—dari setiap anggota komunitas selalu berada dalam kendali komunitas Kristen, meskipun masing-masing anggota tetap mengawasi sumber daya mereka sendiri. Ketimbang secara sistematis mengatur distribusi kekayaan sedemikian rupa untuk memastikan kesetaraan yang merata, gereja mula-mula menerima kenyataan adanya ketidakseimbangan ekonomi, namun mempraktikkan kemurahan hati yang radikal dimana harta benda ada untuk kepentingan keseluruhan, bukan untuk individu. Bentuk kemurahan hati ini, dalam banyak hal, lebih menantang dibandingkan sistem peraturan yang kaku. Hal ini memerlukan sikap tanggap yang berkelanjutan, keterlibatan timbal balik dalam kehidupan anggota komunitas, dan kesediaan terus-menerus untuk memegang harta benda secara longgar, menghargai hubungan dalam komunitas lebih dari rasa aman (yang palsu) atas kepemilikan harta benda.[8]
Sangat mungkin bahwa sistem dalam sistem ini diilhami oleh idealisme ekonomi yang diungkapkan dalam hukum Israel, yang mencapai puncaknya dalam praktik Yobel—redistribusi tanah dan kekayaan di Israel yang dilakukan sekali dalam lima puluh tahun (Imamat 25:1-55). Yobel dirancang oleh Allah untuk memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap sarana mencari nafkah, sebuah idealisme yang tampaknya belum pernah dilakukan secara luas oleh umat Allah. Namun Yesus, memulai pelayanan-Nya dengan serangkaian teks dari Yesaya 61 dan 58 yang menghasilkan banyak sekali tema Yobel:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18–19)
Etika Yobel lebih lanjut disinggung dalam Kisah Para Rasul 4:34, di mana Lukas mengatakan kepada kita “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka.” Hal ini nampaknya merupakan gaung langsung dari Ulangan 15:4, di mana praktik tahun Sabat (Yobel mini yang diadakan setiap tujuh tahun sekali) dirancang untuk memastikan bahwa “tidak akan ada orang miskin di antaramu.”
Sudah sepatutnya komunitas Kristen melihat hal ini sebagai model kehidupan ekonomi mereka. Namun jika di Israel kuno, tahun Sabat dan tahun Yobel hanya dilaksanakan setiap tujuh dan lima puluh tahun, ketersediaan yang radikal menandai sumber daya komunitas Kristen mula-mula. Kita dapat membayangkannya dengan cara yang serupa dengan Khotbah di Bukit. “Engkau telah mendengar pepatah lama, 'Berikan kembali tanahmu kepada mereka yang tidak memiliki tanah setiap lima puluh tahun sekali,' namun aku mengatakan kepadamu, 'Sediakan kekuatan dan sumber dayamu kapan pun engkau melihat ada yang membutuhkannya.” Kemurahan hati yang radikal didasarkan pada kebutuhan orang lain menjadi dasar praktik ekonomi dalam komunitas Kristen. Kita akan mengeksplorasi hal ini secara mendalam melalui peristiwa-peristiwa dalam kitab Kisah Para Rasul.
Praktik gereja mula-mula menantang umat Kristiani kontemporer untuk berpikir secara imajinatif tentang model kemurahan hati yang radikal saat ini. Bagaimana ketersediaan radikal dapat menjadi saksi kerajaan Allah dan membentuk suatu cara alternatif yang masuk akal dalam menata kehidupan manusia dalam budaya yang ditandai dengan upaya gigih untuk mengejar kekayaan dan rasa aman pribadi?
Roh Kudus Memberdayakan Kemurahan Hati Radikal Dengan Segala Jenis Sumber Daya (Kisah Para Rasul 2:42-47; 4:32-38)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDua poin terakhir penting untuk diperhatikan sehubungan dengan penggunaan sumber daya dalam komunitas Kristen mula-mula. Pertama adalah perlunya ada Roh Kudus dalam mempraktekkan kemurahan hati yang radikal. Gambaran komunitas dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 dan 4:32-38 langsung mengikuti dua manifestasi utama Roh Kudus yang pertama. Lukas sangat jelas dalam menempatkan hubungan antara kehadiran dan kuasa Roh Kudus dan kemampuan komunitas untuk hidup dengan kemurahan hati seperti Kristus. Kita perlu paham bahwa salah satu karya mendasar Roh Kudus dalam kehidupan umat Kristiani mula-mula adalah dikembangkannya komunitas yang memiliki sikap yang sangat berbeda terhadap penggunaan sumber daya. Jadi, meskipun kita sering kali terjebak dalam mencari manifestasi Roh yang lebih spektakuler (penglihatan, bahasa roh, dan sebagainya), kita perlu mempertimbangkan fakta bahwa tindakan sederhana yaitu berbagi atau keramahtamahan yang konsisten mungkin merupakan salah satu karunia Roh Kudus yang luar biasa.
Kedua, agar kita tidak berpikir bahwa kata ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki sumber daya keuangan, kita melihat Petrus dan Yohanes menunjukkan bahwa semua sumber daya harus digunakan demi kepentingan orang lain. Dalam Kisah Para Rasul 3:1-10, Petrus dan Yohanes bertemu dengan seorang pengemis di gerbang Bait Suci. Pengemis itu mencari uang, padahal Petrus dan Yohanes tidak memilikinya. Namun mereka mempunyai kesaksian tentang kedatangan kerajaan itu melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Oleh karena itu, Petrus menjawab, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, bangkit dan berjalanlah!” (Kisah Para Rasul 3:6). Ini adalah contoh pembagian sumber daya yang tidak berhubungan dengan kekayaan moneter. Penggunaan kuasa dan kedudukan untuk membangun komunitas akan terjadi pada beberapa kesempatan selanjutnya dalam Kisah Para Rasul.
Mungkin ekspresi yang paling mengharukan terjadi ketika Barnabas—yang, dalam Kisah Para Rasul 4:32-38, merupakan contoh kemurahan hati yang radikal dalam hal sumber daya keuangan—juga memberikan sumber daya sosialnya kepada Paulus, membantu menyambutnya ke dalam persekutuan para rasul di Yerusalem yang enggan terhadapnya. (lihat Kisah Para Rasul 9:1-31). Contoh lainnya adalah Lidia, yang memanfaatkan status sosialnya yang tinggi di industri tekstil di Tiatira sebagai sarana masuknya Paulus ke kota Tiatira (Kisah 16:11-15). Modal sosial perlu dikerahkan, seperti modal lainnya, demi kebaikan kerajaan sebagaimana dipahami oleh komunitas Kristen.
Komunitas yang Adil adalah Kesaksian bagi Dunia (Kisah Para Rasul 2:47; 6:7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika sumber daya dikerahkan dengan tepat dalam kehidupan komunitas Kristen—seperti yang terjadi setelah pemilihan pelayan di Kisah Para Rasul 6—komunitas itu menjadi magnet. Kehidupan komunitas yang berkeadilan—yang terutama ditandai dengan penggunaan kekuasaan dan harta benda yang berpusat pada orang lain—menarik orang-orang kepada komunitas tersebut dan kepada kepala komunitas tersebut, yaitu Yesus. Ketika komunitas itu menggunakan kepemilikan dan hak istimewanya untuk memberikan kehidupan kepada mereka yang membutuhkan, ketika sumber daya individu sepenuhnya diserahkan untuk memberi manfaat bagi orang lain dalam komunitas, maka orang-orang berbondong-bondong bergabung. Kita telah melihat bahwa “tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 2:47). Hal ini juga terlihat jelas setelah pelayanan yang diberdayakan oleh Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul pasal 6. Pekerjaan tujuh diaken yang membentuk komunitas dan memajukan keadilan menghasilkan kehidupan bagi banyak orang. “Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya” (Kisah Para Rasul 6:7).
Bentrokan Antar Kerajaan: Komunitas dan Kekuasaan (Kisah Para Rasul 5-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Para Rasul terjadi dalam realitas nyata sebuah komunitas sejati, dan kitab ini tidak menutupi ancaman dampak dosa terhadap komunitas. Dua ancaman besar pertama terhadap komunitas Kristen yang disajikan Lukas adalah permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya. Seperti yang akan kita lihat, Ananias dan Safira, serta komunitas berbahasa Ibrani/Aram, jatuh ke dalam dosa sehubungan dengan pengelolaan sumber daya dan kekuasaan. Bagi Lukas, cacat ini mengancam kehidupan masyarakat.
Ananias dan Safira: Suatu Kasus Identitas yang Berbahaya (Kisah Para Rasul 5:1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKematian Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-11) menakutkan dan membingungkan. Keduanya, sepasang suami istri, menjual sebidang tanah dan secara terbuka memberikan hasilnya kepada masyarakat. Namun, mereka diam-diam menahan sebagian uang itu untuk diri mereka sendiri. Peter mendeteksi penipuan tersebut dan menghadapi keduanya secara terpisah. Mendengar tuduhan Peter saja sudah membuat mereka mati seketika. Di telinga kita, nasib mereka tampaknya tidak sebanding dengan pelanggaran yang mereka lakukan. Peter mengakui bahwa mereka tidak berkewajiban untuk menyumbangkan uang tersebut: “Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu? katanya. Dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu?” (Kisah Para Rasul 5:4). Kepemilikan pribadi belum dihapuskan, dan bahkan mereka yang berada dalam komunitas kasih terhadap sesama dapat secara sah memilih untuk memegang sumber daya yang telah dipercayakan Allah kepada mereka. Jadi mengapa berbohong tentang uang bisa menyebabkan kematian seketika?
Banyak upaya telah dilakukan untuk menjelaskan alasan kematian mereka dan bahkan sekadar menyebutkan dosa yang mereka lakukan.[1] Tampaknya secara mendasar pelanggaran Ananias dan Safira adalah mereka adalah anggota komunitas palsu. Seperti yang dikatakan oleh pakar Scott Bartchy, “Dengan berbohong demi mendapatkan kehormatan yang tidak layak mereka peroleh, Ananias dan Safira tidak hanya tidak menghormati dan mempermalukan diri mereka sendiri sebagai pengunjung tetapi juga menyatakan diri mereka sebagai orang luar, bukan saudara.”[2] Mereka bukan hanya kikir, tetapi juga penipu.[3]
Kebohongan mereka menunjukkan bahwa mereka masih berfungsi sebagai anggota sistem patronase Romawi, sementara mereka berpura-pura menjadi anggota sistem kasih-sesama Kristen. Mereka berusaha untuk terlihat seperti Barnabas dalam pendekatannya yang berpusat pada orang lain dalam mengelola sumber daya (Kisah Para Rasul 4:36-37). Namun motivasi mereka sebenarnya adalah untuk mendapatkan kehormatan bagi diri mereka sendiri dengan harga murah. Dengan demikian, mereka sebenarnya berfungsi sebagai bagian dari ekonomi patronase Romawi. Mereka terlihat murah hati, namun mereka memberi demi status, bukan kasih. Terlebih lagi, kebohongan mereka mengenai pengelolaan sumber daya ditafsirkan oleh Petrus sebagai kebohongan terhadap Roh Kudus dan Allah (Kisah 5:3-4). Betapa mengejutkannya bahwa kebohongan terhadap komunitas disamakan dengan kebohongan terhadap Roh Allah! Dan kebohongan mengenai sumber daya sama seriusnya dengan kebohongan mengenai masalah “agama”. Kita telah melihat bahwa salah satu peran utama Roh Kudus adalah membentuk umat Allah menjadi komunitas yang menggunakan sumber daya sesuai dengan kepedulian yang mendalam terhadap sesama. Maka tidak mengherankan jika tindakan kemurahan hati Ananias dan Safira yang dipalsukan digambarkan sebagai pemalsuan pekerjaan Roh Kudus. Kemurahan hati palsu mereka dan upaya mereka untuk menipu Roh Kudus merupakan ancaman terhadap identitas komunitas Kristen. Ini adalah sebuah pengingat akan bahaya serius yang terkait dengan komunitas Kristen dan partisipasi kita di dalamnya.
Penipuan Ananias dan Safira terjadi dalam bidang uang. Bagaimana jika hal itu terjadi di dunia kerja itu sendiri? Bagaimana jika mereka berpura-pura melayani majikannya seolah-olah melayani Allah (Kolose 3:22-24), atau memperlakukan bawahan dengan adil (Kolose 3:25), atau terlibat dalam konflik dengan jujur (Matius 18:15-17)? Apakah menipu komunitas Kristen tentang hal-hal seperti itu akan menimbulkan ancaman serupa yang tidak dapat diterima oleh komunitas tersebut? Lukas tidak melaporkan kasus-kasus seperti itu dalam Kisah Para Rasul, namun prinsip yang sama berlaku. Menjadi bagian dari komunitas Kristen membawa serta perubahan mendasar dalam orientasi kita. Kita sekarang bertindak dengan segala cara—termasuk dalam pekerjaan—untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri, bukan untuk meningkatkan status sosial, kekayaan, dan kekuasaan.
Roh dan Pekerja (Kisah Para Rasul 6:1-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTema dari kisah Ananias dan Safira terdapat dalam Kisah Para Rasul 6:1-7, yang menandai perselisihan antar kelompok yang pertama dalam komunitas Kristen. Kaum Helenis mungkin adalah orang Yahudi berbahasa Yunani yang kembali ke Yerusalem dari salah satu komunitas Diaspora di Kekaisaran Romawi. Orang Ibrani mungkin adalah orang Yahudi yang berasal dari tanah bersejarah Israel (Palestina) dan terutama berbicara bahasa Aram dan/atau Ibrani. Hanya dibutuhkan sedikit imajinasi sosial untuk melihat apa yang terjadi dalam situasi ini. Dalam komunitas yang memandang dirinya sebagai pemenuhan perjanjian Israel dengan Allah, anggota yang lebih mirip prototipe orang Israel menerima lebih banyak sumber daya kelompok dibandingkan yang lain. Situasi seperti ini sering terjadi di dunia kita. Mereka yang paling mirip dengan para pemimpin suatu gerakan berdasarkan latar belakang, budaya, status, dan sebagainya, sering kali mendapatkan manfaat dari identitas mereka dengan cara yang tidak dapat diperoleh oleh mereka yang memiliki perbedaan dalam beberapa hal.
Melayani Firman dan Melayani Meja Sama-sama Berharga (Kisah Para Rasul 6:2-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu kontribusi terbesar Kisah Para Rasul terhadap teologi kerja muncul dari tanggapan para rasul terhadap ketidakadilan dalam komunitas dalam Kisah Para Rasul 6:1-7. Pekerjaan untuk menegakkan keadilan—dalam hal ini, dengan mengawasi distribusi makanan—sama pentingnya dengan pekerjaan memberitakan Injil. Hal ini mungkin tidak jelas pada awalnya karena adanya terjemahan yang menyesatkan dalam NRSV dan NIV:
Kedua belas murid itu mengumpulkan seluruh komunitas murid-murid dan berkata, “Tidaklah benar kalau kita mengabaikan firman Allah demi melayani meja.” (Kisah 6:2, NRSV)
Tidaklah benar jika kita mengabaikan pelayanan firman Allah demi melayani meja. (Kisah 6:2, NIV)
Istilah “melayani meja” (Kisah 6:2) mungkin terdengar sedikit merendahkan dibandingkan dengan “melayani firman Allah” (Kisah 6:4). Apakah Dua Belas rasul mengatakan bahwa memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan tidak sepenting memberitakan firman? Salah satu cara menafsirkan bagian ini mengatakan bahwa melayani di meja adalah “hal sepele,”[1] sebuah “tugas sederhana”[2] atau salah satu “tugas rendahan”[3] dalam komunitas. Penafsiran ini melihat khotbah Stefanus selanjutnya sebagai tujuan “sebenarnya” di balik pengaruh Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul 6:3.[4] Menurut pandangan ini, Roh Kudus tidak perlu terlibat dalam tugas sederhana mengelola alokasi sumber daya.
Namun hal ini mencerminkan adanya bias dalam terjemahan yang tidak ditemukan dalam bahasa Yunani aslinya. Ketika terjemahan bahasa Inggris secara harafiah mengatakan “menunggui meja” (Kisah 6:2) dikontraskan dengan “melayani firman” (Kisah 6:4) mereka menggunakan kata yang berbeda—”tunggu” dan “melayani”—untuk menerjemahkan kata Yunani yang sama, diakaneo, yang merupakan kata asli dalam Kisah Para Rasul 6:2 dan 6:4. Kata ini artinya “melayani.” Oleh karena itu, terjemahan yang lebih literal adalah “melayani meja” dan “melayani firman”. Keduanya diakaneo, pelayanan. Tidak ada alasan untuk menggunakan kata yang lebih merendahkan untuk melayani meja. Tidak semua terjemahan bahasa Inggris menampilkan bias ini—contohnya King James Version dan New American Standard Bible menerjemahkan Kisah 6:2 sebagai “melayani meja” dan bukannya “menunggu meja.”
Bukanlah alasan [yaitu, benar] bahwa kita harus meninggalkan firman Allah, dan melayani meja. (Kisah Para Rasul 6:2, KJV)
Tidaklah diinginkan bagi kita untuk mengabaikan firman Allah demi melayani meja. (Kisah Para Rasul 6:2, NASB)
Terlebih lagi, hanya beberapa kata kemudian, dalam Kisah Para Rasul 6:3-4, bahkan NRSV dan NIV masing-masing menerjemahkan kata yang sama menjadi “melayani” dan “pelayanan”.
Kami, pada bagian kami, akan mengabdikan diri kami untuk berdoa dan mengabdi pada firman. (Kisah Para Rasul 6:3–4, NRSV)
[Kami] akan memusatkan perhatian pada doa dan pelayanan firman. (Kisah 6:4, NIV)
Oleh karena itu, terjemahan asli dalam bahasa Yunani, dan beberapa terjemahan bahasa Inggris, memberikan pengertian penting bahwa pekerjaan melayani mereka yang membutuhkan setara dengan pekerjaan kerasulan yaitu berdoa dan berkhotbah. Para rasul melayani firman, dan para diakon (demikian mereka kemudian disebut) melayani mereka yang membutuhkan. Pelayanan mereka secara kualitatif sama, meskipun tugas dan keterampilan spesifiknya berbeda. Keduanya penting dalam pembentukan umat Allah dan untuk kesaksian umat Allah di dunia. Kehidupan komunitas bergantung pada bentuk-bentuk pelayanan ini, dan Lukas tidak memberi kita kesan bahwa yang satu lebih berkuasa atau lebih rohani dibandingkan yang lain.
Terlepas dari semua ini, dapatkah dikatakan bahwa sikap merendahkan terhadap pelayanan meja bukan hanya sekedar terjemahan tetapi benar-benar ada dalam kata-kata para murid sendiri? Mungkinkah para rasul sendiri membayangkan bahwa mereka dipilih untuk melayani firman karena mereka lebih berkarunia dibandingkan mereka yang dipilih untuk melayani meja? Itukah yang mereka maksudkan ketika mereka mengatakan bahwa tidak benar jika kita mengabaikan pelayanan firman demi melayani meja? Jika demikian, mereka akan kembali terjerumus ke dalam sistem patronase Romawi, menempatkan diri mereka pada status yang terlalu tinggi untuk dinodai dengan melayani meja. Mereka akan mengganti sumber status Romawi yang lama (patronase) dengan sumber status baru (karunia Roh Kudus). Injil Kristus lebih dalam dari ini! Dalam komunitas Kristen tidak ada sumber status. Pemahaman yang lebih konsisten adalah jika Anda dipanggil untuk melayani firman Allah, Anda tidak boleh mengabaikan melayani firman untuk melakukan hal lain. Demikian pula, jika Anda dipanggil untuk melayani meja, Anda tidak boleh mengabaikan melayani meja untuk melakukan hal lain. Orang mungkin dipanggil untuk tugas yang berbeda-beda, namun tidak ada alasan alkitabiah untuk menganggap panggilan tertentu lebih tinggi dari panggilan lainnya.
Ironisnya, salah satu pelayan meja, Stefanus, ternyata lebih berbakat sebagai pengkhotbah dibandingkan kebanyakan rasul (Kisah 6:8-7:60). Namun meskipun memiliki talenta untuk berkhotbah, ia disisihkan untuk pelayanan distribusi sumber daya. Setidaknya pada saat itu, lebih penting bagi tujuan Allah baginya untuk melayani sebagai pelayan meja daripada sebagai pelayan firman. Baginya, tidak ada rasa haus akan status yang menghalangi menerima panggilan untuk melayani meja ini.
Hal ini memiliki resonansi yang kuat di dunia saat ini. Seringkali, para pekerja di bidang jasa makanan—yang pada zaman modern setara dengan " melayani meja "—mendapati diri mereka dalam pekerjaan berstatus rendah dengan gaji yang tidak memadai, tunjangan yang buruk, pergantian pekerja yang tinggi, dan kondisi kerja yang sulit atau bahkan penuh kekerasan. Bagian dari kitab Kisah Para Rasul ini berbicara langsung mengenai situasi ini. Di mata Allah, bekerja di bidang jasa makanan—atau pekerjaan lainnya—bukanlah pekerjaan yang sepele atau merendahkan martabat, melainkan suatu bentuk pelayanan yang setara dengan pekerjaan para Rasul. Apa yang dapat dilakukan umat Kristiani untuk mewujudkan visi ini di dunia kerja saat ini?
Pekerjaan Kepemimpinan Komunitas Adalah Pekerjaan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 6:3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPara pekerja yang paling cocok untuk menyembuhkan kesenjangan etnis dalam komunitas Kisah Para Rasul 6 memenuhi syarat karena mereka “terkenal baik dan penuh Roh dan hikmat.” Seperti halnya mereka yang memenuhi syarat untuk berdoa dan berkhotbah, kemampuan pelayan meja adalah hasil dari kekuatan spiritual. Tidak kurang dari kuasa Roh Kudus yang memungkinkan terjadinya pekerjaan yang bermakna, membangun komunitas, dan menciptakan perdamaian di antara umat Kristiani. Ayat ini membantu kita untuk melihat bahwa semua pekerjaan yang membangun komunitas atau, lebih luas lagi, yang memajukan keadilan, kebaikan, dan keindahan—dalam arti yang mendalam—adalah pelayanan (atau pelayanan) kepada dunia.
Di gereja kita, apakah kita mengakui pelayanan yang setara dari pendeta yang memberitakan firman, ibu dan ayah yang menyediakan rumah penuh kasih bagi anak-anak mereka, dan akuntan yang memberikan pernyataan yang adil dan jujur mengenai pengeluaran pelanggannya? Apakah kita paham bahwa mereka semua bergantung pada Roh untuk melakukan pekerjaan mereka demi kebaikan komunitas? Setiap bentuk pekerjaan baik mempunyai kapasitas—melalui kuasa Roh—untuk menjadi sarana partisipasi dalam pembaruan Allah atas dunia.
Pekerjaan dan Identitas Kristen (Kisah Para Rasul 8-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagian berikutnya dari Kisah Para Rasul menggerakkan komunitas Kristen, melalui kuasa Roh Kudus, melintasi hambatan budaya seiring dengan diperluasnya jangkauan Injil Yesus Kristus kepada orang asing (orang Samaria), orang yang diasingkan secara sosial (sida-sida Etiopia), musuh (Saulus), dan semua etnis (orang non-Yahudi). Bagian ini cenderung memperkenalkan tokoh-tokoh dengan memberikan identitas pekerjaannya (secara kasar). Di bagian ini kita bertemu:
- Simon, seorang penyihir (Kisah 8:9-24)
- Seorang sida-sida Etiopia, yang merupakan pejabat ekonomi penting bagi ratu Etiopia (Kisah 8:27)
- Saulus, orang Farisi dan penganiaya orang Kristen (Kisah Para Rasul 9:1)
- Tabitha, seorang pembuat pakaian (Kisah Para Rasul 9:36-43)
- Kornelius, seorang perwira Romawi (Kisah 10:1)
- Simon, seorang penyamak kulit (Kisah Para Rasul 10:5)
- Herodes, seorang raja (Kisah Para Rasul 12)
Masalah pekerjaan bukanlah perhatian utama Lukas dalam bagian ini, jadi kita harus berhati-hati agar tidak terlalu banyak perhatian terhadap penyebutan pekerjaan. Maksud Lukas adalah bahwa cara mereka melaksanakan panggilan mereka menandai mereka menuju kerajaan atau menjauh dari kerajaan itu.
Mereka yang menuju ke kerajaan menggunakan hasil kerja mereka untuk melayani orang lain sebagai saksi kerajaan Allah. Mereka yang meninggalkan kerajaan menggunakan hasil kerja mereka semata-mata untuk keuntungan pribadi. Hal ini terbukti dari rangkuman singkat beberapa karakter tersebut. Beberapa dari mereka hanya mencari keuntungan pribadi dari pekerjaan mereka serta kekuasaan dan sumber daya yang menyertainya:
Simon menawarkan uang kepada para rasul agar ia mempunyai kuasa untuk melimpahkan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 8:18-19)—sebuah upaya nyata untuk mempertahankan status sosialnya sebagai “Orang ini adalah kuasa Allah yang disebut Kuasa Besar” (Kisah Para Rasul 8:10).
Saulus menggunakan jaringan hubungannya untuk menganiaya para pengikut Yesus (Kisah 9:1-2) demi melindungi status sosial yang ia nikmati sebagai seorang Yahudi yang fanatik (Kisah 22:3) dan orang Farisi (Kisah 26:5).
Herodes menggunakan kuasanya sebagai raja boneka Roma untuk meningkatkan popularitasnya dengan membunuh rasul Yakobus (Kisah 12:1-3). Herodes kemudian membiarkan dirinya diakui sebagai dewa, status pelindung tertinggi yang diklaim oleh kaisar Romawi (Kisah 12:20-23).
Konsekuensi dari tindakan ini sangat buruk. Simon ditegur keras oleh Petrus (Kisah Para Rasul 8:20-23). Saulus dikonfrontir oleh Yesus yang telah bangkit, yang mengidentifikasi diri-Nya dengan komunitas yang dianiaya oleh Paulus (Kisah Para Rasul 9:3-9). Herodes dibunuh oleh malaikat Allah dan dimakan cacing (Kisah Para Rasul 12:23). Yang berlawanan dengan mereka adalah beberapa orang yang menggunakan posisi, kekuasaan, atau sumber daya mereka untuk memberkati dan membawa kehidupan:
- Tabitha, seorang pembuat pakaian, membuat pakaian untuk dibagikan kepada para janda di komunitasnya (Kisah Para Rasul 9:39).
- Simon, seorang perajin kulit, membuka rumahnya untuk Petrus (Kisah 10:5).
- Kornelius, seorang perwira Romawi yang terkenal murah hati (Kisah 10:4), menggunakan koneksinya untuk mengundang banyak teman dan keluarga untuk mendengarkan khotbah Petrus (Kisah 10:24).
Meskipun ia telah diperkenalkan sebelum bagian ini, Barnabas—yang kita kenal dari Kisah Para Rasul 4:37 adalah seorang Lewi—menggunakan posisinya dalam komunitas untuk mencangkokkan Saulus ke dalam persekutuan kerasulan, bahkan ketika para rasul menolak (Kisah Para Rasul 9:26-27), dan untuk mengesahkan pertobatan orang-orang bukan Yahudi di Antiokhia (Kisah Para Rasul 11:22-24). Kita perlu memperhatikan bahwa Kisah Para Rasul 11:24 membagikan rahasia kemampuan Barnabas dalam menggunakan sumber daya dan kedudukannya sedemikian rupa untuk membangun komunitas umat Kristiani. Di sana kita belajar secara eksplisit bahwa Barnabas “penuh dengan Roh Kudus.”
Pesan dalam semua contoh ini konsisten. Kekuasaan, prestise, kedudukan, dan sumber daya yang dihasilkan dari kerja dimaksudkan untuk digunakan demi kepentingan orang lain—dan bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sekali lagi, hal ini diteladankan oleh sosok Yesus, yang—dalam Injil Lukas—menggunakan otoritas-Nya demi kepentingan dunia dan bukan hanya demi diri-Nya sendiri.
Kisah Para Rasul 11:27-30 memberikan contoh tentang penggunaan sumber daya dalam komunitas demi kebaikan orang lain yang membutuhkan. Sebagai tanggapan terhadap nubuat yang diilhami Roh mengenai bencana kelaparan di seluruh dunia, “Lalu murid-murid memutuskan untuk mengumpulkan sumbangan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan mengirimkannya kepada saudara-saudara seiman yang tinggal di Yudea” (Kisah Para Rasul 11:29). Di sini kita melihat pemanfaatan hasil kerja manusia untuk kepentingan orang lain. Dan di sini kita melihat bahwa kemurahan hati semacam ini tidak hanya terjadi secara spontan dan episodik, melainkan terencana, terorganisir, dan sangat disengaja. Pengumpulan sumbangan untuk gereja di Yerusalem dibahas lebih lanjut di bagian "1 Korintus 16:1-3" dalam 1 Korintus dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.
Kisah Para Rasul 11:1-26 memulai kisah tentang bagaimana komunitas Kristen menyelesaikan suatu perselisihan mendalam mengenai apakah orang bukan Yahudi harus berpindah agama ke Yudaisme sebelum menjadi pengikut Yesus. Perselisihan ini dibahas dalam suatu artikel pada pasal 15.
Bentrok Antar Kerajaan: Komunitas dan Pialang Kekuasaan (Kisah Para Rasul 13-19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita akan menelusuri bagian ini berdasarkan empat tema utama yang relevan dengan teologi kerja yang muncul dalam Kisah Para Rasul. Pertama, kita akan memeriksa satu bagian lebih lanjut yang berkaitan dengan panggilan sebagai saksi. Kedua, kita akan membahas bagaimana komunitas Kristen menjalankan kuasa kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Ketiga, kita akan melihat bagaimana komunitas yang dipimpin oleh Roh Kudus berurusan dengan kekuatan-kekuatan yang ada dalam budaya yang lebih luas. Keempat, kita akan memeriksa apakah mengikut Kristus mengesampingkan bentuk-bentuk panggilan dan keterlibatan sipil tertentu. Terakhir, kita akan menelusuri praktik Paulus sendiri yang terus bekerja sebagai pembuat tenda dalam perjalanan misinya.
Panggilan dalam Konteks Komunitas (Kisah Para Rasul 13:1-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Para Rasul 13:1-3 memperkenalkan kita pada serangkaian praktik di gereja di Antiokhia. Komunitas ini luar biasa, baik karena keragaman etnisnya maupun komitmennya terhadap kesaksian praktis kerajaan Allah.[1] Kita telah melihat bagaimana Lukas menunjukkan bahwa kerja—khususnya penggunaan kekuasaan dan sumber daya—berfungsi sebagai suatu bentuk kesaksian.[2] Kita telah melihat dalam Kisah Para Rasul 6:1-7 bahwa hal ini berlaku juga pada pekerjaan yang secara lebih alami kita kaitkan dengan pelayanan (seperti misionaris) dan pekerjaan yang lebih cenderung kita sebut “pekerjaan” (seperti hospitalitas). Semua pekerjaan memiliki potensi untuk melayani dan bersaksi tentang kerajaan Allah, terutama ketika digunakan dalam mengupayakan keadilan dan kebenaran.
Kisah Para Rasul 13:1-3 menunjukkan komunitas Kristen mencoba memahami bagaimana Roh memimpin mereka untuk bersaksi. Paulus dan Barnabas dipilih untuk berkelana sebagai penginjil dan penyembuh. Yang luar biasa, penegasan ini dicapai secara komunal. Komunitas Kristen, dibandingkan individu, adalah yang lebih mampu membedakan panggilan masing-masing anggotanya. Hal ini dapat berarti komunitas Kristen saat ini seharusnya berpartisipasi mendampingi keluarga dan generasi muda ketika mereka mencari jawaban atas pertanyaan seperti, “Apa yang ingin kamu lakukan ketika kamu besar nanti?” “Apa yang akan kamu lakukan setelah lulus?” atau “Allah memanggilmu untuk melakukan apa?” Hal ini menuntut komunitas-komunitas Kristen mengembangkan keahlian yang jauh lebih baik dalam membedakan panggilan daripada yang umum dilakukan saat ini. Hal ini juga mengharuskan mereka untuk menaruh minat yang lebih serius pada pekerjaan yang melayani dunia di luar struktur gereja. Sekadar menegaskan otoritas atas kehidupan kerja kaum muda tidaklah cukup. Kaum muda hanya akan memberikan perhatian jika komunitas Kristen dapat membantu mereka melakukan penegasan lebih mendalam dibandingkan dengan cara lain.
Melakukan hal ini dengan baik akan menjadi bentuk kesaksian ganda. Pertama, kaum muda dari semua tradisi agama—dan tanpa agama—berjuang keras dengan beban untuk memilih atau mencari pekerjaan. Bayangkan jika komunitas Kristen dapat dengan tulus membantu mengurangi beban dan meningkatkan hasilnya. Kedua, sebagian besar umat Kristen bekerja di luar struktur gereja. Bayangkan jika kita semua terlibat dalam pekerjaan kita sebagai sarana pelayanan Kristen kepada dunia, meningkatkan kehidupan miliaran orang yang bekerja bersama dan atas nama kita. Betapa besarnya dampak hal itu bagi Kristus dalam dunia?
Penegasan komunitas terhadap panggilan berlanjut sepanjang Kisah Para Rasul, dengan Paulus mengajak banyak rekan misi dari komunitas—Barnabas, Timotius, Silas, dan Priskila, dan masih banyak lagi. Kedua, dengan menyaksikan kembali realisme Lukas, kita melihat bahwa panggilan bersama untuk bersaksi ini tidak menghilangkan ketegangan relasional yang diakibatkan oleh keberdosaan manusia. Paulus dan Barnabas mengalami perselisihan yang begitu serius mengenai masuknya Yohanes Markus (yang telah meninggalkan tim pada pertemuan sebelumnya), sehingga mereka berpisah (Kisah 15:36-40).
Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan dalam Komunitas Kristen (Kisah Para Rasul 15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebuah contoh dari reorientasi radikal interaksi sosial dalam komunitas Kristen muncul ketika terjadi perselisihan mendalam mengenai apakah umat Kristen non-Yahudi harus mengadopsi hukum dan adat istiadat Yahudi. Dalam masyarakat Romawi yang hierarkis, pelindung suatu organisasi sosial akan mendiktekan keputusan kepada para pengikutnya, mungkin setelah mendengarkan berbagai pendapat. Namun dalam komunitas Kristen, keputusan-keputusan penting dibuat oleh kelompok secara keseluruhan, dengan mengandalkan akses yang setara terhadap pimpinan Roh Kudus.
Perselisihan ini sebenarnya dimulai di pasal 11. Petrus mendapat wahyu yang mengejutkan bahwa Allah menawarkan “pertobatan yang memimpin kepada hidup” (Kisah Para Rasul 11:18) kepada orang non-Yahudi tanpa mengharuskan mereka menjadi Yahudi terlebih dahulu. Namun ketika ia melakukan perjalanan ke Yerusalem bersama beberapa lelaki (non-Yahudi) yang tidak disunat, beberapa orang Kristen di sana mengeluh bahwa ia melanggar hukum Yahudi (Kisah Para Rasul 11:1-2). Ketika ditantang dengan cara ini, Petrus tidak menjadi marah, tidak berusaha untuk menggunakan kuasanya atas orang-orang tersebut dengan mengingatkan mereka akan posisinya sebagai pemimpin murid-murid Yesus, tidak merendahkan pendapat mereka, dan tidak meragukan motif mereka. Sebaliknya, ia menceritakan apa yang terjadi yang membawanya pada kesimpulan ini dan bagaimana ia melihat tangan Allah di dalamnya, “Jadi, jika Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada kita pada waktu kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah Dia?” (Kisah Para Rasul 11:17). Perhatikan bahwa ia menggambarkan dirinya bukan sebagai orang yang berhikmat, atau lebih unggul secara moral, namun sebagai orang yang hampir membuat kesalahan serius hingga dikoreksi oleh Allah.
Kemudian ia menyerahkan keputusan kepada para penantangnya untuk merespons. Setelah mendengar pengalaman Petrus, mereka tidak bereaksi secara defensif, tidak menentang otoritas Petrus atas nama Yakobus (saudara Allah dan pemimpin gereja Yerusalem), dan tidak menuduh Petrus melampaui otoritasnya. Sebaliknya, mereka juga mencari campur tangan Allah dan mencapai kesimpulan yang sama seperti Petrus. Apa yang awalnyna terlihat sebagai konfrontasi berakhir dengan persekutuan dan pujian. “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah” (Kisah Para Rasul 11:18). Kita tidak bisa berharap setiap perselisihan diselesaikan dengan sedemikian damainya, namun kita dapat melihat bahwa ketika orang-orang mengakui dan mengeksplorasi kasih karunia Allah dalam kehidupan satu sama lain, maka ada banyak alasan untuk mengharapkan hasil yang saling menguntungkan.
Petrus meninggalkan Yerusalem dalam keadaan sepakat dengan orang-orang yang sebelumnya menentangnya, namun masih ada orang lain di Yudea yang mengajarkan bahwa orang non-Yahudi harus terlebih dahulu masuk ke Yudaisme. “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa,’ ujar mereka, “kamu tidak dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 15:1). Paulus dan Barnabas berada di Antiokhia pada saat itu, dan mereka, seperti Petrus, telah mengalami kasih karunia Allah kepada orang-orang non-Yahudi tanpa perlu berpindah agama ke Yudaisme. Ayat-ayat tersebut memberitahu kita bahwa perpecahan ini serius, namun keputusan bersama dibuat untuk mencari kebijaksanaan komunitas Kristen secara keseluruhan. “Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan persoalan itu” (Kisah Para Rasul 15:2).
Mereka tiba di Yerusalem dan disambut dengan hangat oleh para rasul dan tua-tua (Kisah 15:4). Mereka yang berpendapat berlawanan—bahwa orang non-Yahudi harus masuk agama Yahudi terlebih dahulu—juga hadir (Kisah Para Rasul 15:5). Mereka semua memutuskan untuk bertemu untuk mempertimbangkan masalah ini dan terlibat dalam perdebatan yang seru (Kisah 15:6). Kemudian Petrus, yang tentu saja merupakan salah satu rasul di Yerusalem, mengulangi kisah tentang bagaimana Allah menyatakan kepadanya kasih karunia-Nya bagi bangsa-bangsa non-Yahudi tanpa perlu berpindah agama ke Yudaisme (Kisah Para Rasul 15:7). Paulus dan Barnabas melaporkan pengalaman serupa, juga berfokus pada apa yang sedang dilakukan Allah ketimbang mengklaim hikmat atau otoritas yang lebih tinggi (Kisah 15:12). Semua pembicara didengarkan dengan penuh hormat. Kemudian kelompok tersebut mempertimbangkan apa yang telah mereka katakan dalam terang Kitab Suci (Kisah Para Rasul 15:15-17). Yakobus, yang menjabat sebagai kepala gereja di Yerusalem, mengusulkan sebuah resolusi. “Sebab itu aku berpendapat bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah, tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari hal-hal yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah” (Kisah Para Rasul 15: 19–20).
Jika Yakobus menjalankan wewenangnya seperti seorang pemimpin Romawi, maka persoalannya akan berakhir. Statusnya akan memutuskan masalah ini. Namun tidak seperti ini keputusan diambil dalam komunitas Kristen. Komunitas memang menerima keputusannya, namun sebagai kesepakatan, bukan perintah. Bukan hanya Yakobus, tapi semua pemimpin—bahkan seluruh gereja—memiliki suara dalam pengambilan keputusan. “Kemudian rasul-rasul dan penatua-penatua beserta seluruh jemaat itu mengambil keputusan …” (Kisah Para Rasul 15:22). Dan ketika mereka mengirimkan pesan kepada gereja-gereja non-Yahudi mengenai keputusan mereka “supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban daripada yang perlu ini” (Kisah Para Rasul 15:28b), mereka melakukannya atas nama seluruh jemaat, bukan atas nama Yakobus sebagai pemimpinnya. “Kami telah memutuskan dengan suara bulat untuk memilih wakil-wakil dan mengirimkan mereka kepadamu” (Kisah Para Rasul 15:25). Terlebih lagi, mereka tidak mengklaim otoritas pribadi, namun mereka hanya berusaha untuk taat kepada Roh Kudus. “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami …” (Kisah Para Rasul 15:28a). Kata adalah menunjukkan kerendahan hati dalam keputusan mereka, menggarisbawahi bahwa mereka telah meninggalkan sistem patronase Romawi dengan klaim kekuasaan, prestise, dan statusnya.
Sebelum kita meninggalkan episode ini, mari kita perhatikan satu elemen lagi. Para pemimpin di Yerusalem menunjukkan rasa hormat yang luar biasa terhadap pengalaman para pekerja di lapangan—Petrus, Paulus, dan Barnabas—yang bekerja sendiri-sendiri jauh dari kantor pusat, masing-masing menghadapi situasi tertentu yang membutuhkan keputusan praktis. Para pemimpin di Yerusalem sangat menghormati pengalaman dan penilaian mereka. Mereka mengomunikasikan prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi pedoman pengambilan keputusan secara hati-hati (Kisah Para Rasul 15:19-21), namun mereka mendelegasikan pengambilan keputusan kepada orang-orang yang paling dekat dengan tindakan, dan mereka menegaskan keputusan yang dibuat oleh Petrus, Paulus, dan Barnabas di lapangan. Sekali lagi, ini merupakan penyimpangan radikal dari sistem patronase Romawi, yang memusatkan kekuasaan dan otoritas di tangan pemimpin.
Efek menguntungkan dari praktik pendidikan yang seragam tentang misi, prinsip, dan nilai-nilai yang dipadukan dengan delegasi pengambilan keputusan dan tindakan secara lokal sudah banyak dikenal karena diadopsi secara luas oleh lembaga-lembaga bisnis, militer, pendidikan, nirlaba, dan pemerintah pada paruh kedua abad ke duapuluh. Manajemen dari hampir semua jenis organisasi telah diubah secara radikal olehnya. Dibebaskannya kreativitas, produktivitas, dan pelayanan manusia bukanlah hal yang mengejutkan bagi para pemimpin gereja mula-mula, yang juga mengalami ledakan yang sama dalam perkembangan pesat gereja di zaman para rasul.
Namun, tidak jelas apakah gereja-gereja saat ini telah sepenuhnya mengadopsi pelajaran ini mengenai kegiatan ekonomi. Misalnya, umat Kristen yang bekerja di negara-negara berkembang sering mengeluh bahwa mereka terhambat oleh sikap kaku gereja-gereja yang berada jauh di negara maju. Boikot yang bermaksud baik, peraturan perdagangan yang adil, dan taktik tekanan lainnya mungkin mempunyai konsekuensi yang berlawanan dengan apa yang diharapkan. Misalnya, seorang misionaris pembangunan ekonomi di Bangladesh melaporkan dampak negatif dari penerapan pembatasan pekerja anak oleh organisasi sponsornya di Amerika Serikat. Perusahaan yang ia bantu kembangkan diharuskan berhenti membeli bahan-bahan yang diproduksi menggunakan pekerja di bawah enam belas tahun. Salah satu pemasok mereka adalah sebuah perusahaan yang dipimpin oleh dua remaja bersaudara. Karena pembatasan baru ini, perusahaan harus berhenti membeli suku cadang dari saudara-saudaranya, yang meninggalkan keluarga mereka tanpa sumber pendapatan apa pun. Jadi ibu mereka harus kembali ke dunia prostitusi, yang memperburuk keadaan ibu, kedua bersaudara itu, dan seluruh keluarga. “Yang kami butuhkan dari gereja di AS adalah persekutuan yang tidak menindas,” kata misionaris tersebut kemudian. “Harus mematuhi perintah Kristen Barat yang bermaksud baik berarti kita harus menyakiti orang-orang di negara kita.”[18]
Komunitas Dalam Roh Menghadapi Para Perantara Kekuasaan (Kisah Para Rasul 16 dan 19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada paruh kedua Kisah Para Rasul, Paulus, rekan-rekannya, dan berbagai komunitas Kristen berkonflik dengan mereka yang memegang kekuasaan ekonomi dan sipil setempat. Insiden pertama terjadi di Antiokhia Pisidia, di mana “perempuan-perempuan terkemuka yang takut akan Allah dan pembesar-pembesar di kota itu” (Kisah 13:50) dihasut untuk melawan Paulus dan Barnabas dan mengusir mereka dari kota. Kemudian, di Ikonium, Paulus dan Barnabas dianiaya oleh “orang-orang bukan Yahudi dan orang-orang Yahudi bersama-sama dengan pemimpin-pemimpin mereka” (Kisah Para Rasul 14:5). Di Filipi, Paulus dan Silas dipenjarakan karena “mengacau” kota (Kisah 16:19-24). Paulus berselisih dengan para pejabat kota Tesalonika (Kisah 17:6-9) dan gubernur Akhaya (Kisah 18:12). Belakangan, ia berkonflik dengan serikat perajin perak di Efesus (Kisah 19:23-41). Konflik tersebut mencapai puncaknya dengan pengadilan Paulus karena mengganggu perdamaian di Yerusalem, yang memenuhi delapan pasal terakhir Kisah Para Rasul.
Konfrontasi dengan kekuatan-kekuatan lokal ini seharusnya tidak mengejutkan mengingat kedatangan Roh Allah yang diumumkan oleh Petrus dalam Kisah Para Rasul 2. Di sana kita melihat bahwa kedatangan Roh itu—dalam beberapa hal yang misterius—adalah permulaan dunia baru Allah. Hal ini pasti akan mengancam kekuatan dunia lama. Kita telah melihat bahwa Spirit bekerja dalam komunitas untuk membentuk perekonomian berbasis anugerah yang sangat berbeda dengan perekonomian berbasis patronase Romawi. Komunitas-komunitas Kristen membentuk sebuah sistem di dalam sebuah sistem, di mana orang-orang percaya masih berpartisipasi dalam perekonomian Romawi namun memiliki cara yang berbeda dalam menggunakan sumber daya. Konflik dengan para pemimpin lokal justru disebabkan oleh fakta bahwa para pemimpin tersebut mempunyai kepentingan besar untuk mempertahankan ekonomi patronase Roma.
Kedua konfrontasi dalam Kisah Para Rasul 16:16-24 dan Kisah Para Rasul 19:23-41 patut didiskusikan lebih dalam. Di dalamnya, bentuk kerajaan Allah sangat berbenturan dengan praktik ekonomi di dunia Romawi.
Konfrontasi Mengenai Pembebasan Seorang Budak Perempuan di Filipi (Kisah Para Rasul 16:16-24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKonfrontasi pertama terjadi di Filipi, saat Paulus dan Silas bertemu dengan seorang gadis yang memiliki roh tenung.[19] Dalam konteks Yunani-Romawi, jenis roh ini diasosiasikan dengan ramalan—suatu hubungan yang menyebabkan “tuan-tuannya memperoleh penghasilan besar” (Kisah 16:16). Hal ini nampaknya merupakan contoh bentuk eksploitasi ekonomi yang paling kotor. Sungguh membingungkan bahwa Paulus dan Silas tidak bertindak lebih cepat (Kisah Para Rasul 16:18). Mungkin alasannya adalah Paul ingin menjalin hubungan dengan pemiliknya sebelum mengoreksi mereka. Namun, ketika Paul bertindak, hasilnya adalah kebebasan rohani bagi gadis itu dan kerugian finansial bagi pemiliknya. Pemiliknya menanggapi dengan menyeret Paul dan Silas ke hadapan pihak berwenang, dengan tuduhan mengganggu ketenangan.
Kejadian ini menunjukkan dengan jelas bahwa pelayanan pembebasan yang Yesus nyatakan dalam Lukas 4 dapat bertentangan dengan setidaknya satu praktik bisnis yang umum, yaitu eksploitasi budak. Bisnis yang menghasilkan keuntungan ekonomi dengan mengorbankan eksploitasi manusia bertentangan dengan Injil Kristen. (Pemerintah yang mengeksploitasi manusia juga sama buruknya. Kita telah membahas sebelumnya bagaimana kekerasan Herodes terhadap rakyatnya dan bahkan tentaranya sendiri menyebabkan kematiannya di tangan Malaikat Allah). Paulus dan Silas tidak mempunyai misi untuk mereformasi praktik ekonomi dan politik yang korup di dunia Romawi, namun kuasa Yesus untuk membebaskan manusia dari dosa dan kematian tidak bisa tidak akan mematahkan ikatan eksploitasi. Tidak ada pembebasan spiritual tanpa konsekuensi ekonomi. Paul dan Silas rela mengekspos diri mereka pada ejekan, pemukulan, dan penjara demi memberikan kebebasan ekonomi kepada seseorang yang jenis kelamin, status ekonomi, dan usianya membuatnya rentan terhadap pelecehan.
Jika kita melihat dua ribu tahun ke depan, mungkinkah umat Kristen telah mengakomodasi, atau bahkan mengambil keuntungan dari, produk, perusahaan, industri, dan pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip etika dan sosial Kristen? Sangat mudah untuk mencela industri ilegal seperti narkotika dan prostitusi, namun bagaimana dengan banyaknya industri legal yang merugikan pekerja, konsumen, atau masyarakat luas? Bagaimana dengan celah hukum, subsidi, dan peraturan pemerintah yang tidak adil yang hanya menguntungkan sebagian warga negara dan merugikan sebagian lainnya? Apakah kita menyadari manfaat yang bisa kita peroleh dari eksploitasi orang lain? Dalam perekonomian global, sulit untuk melacak kondisi dan konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Diperlukan kearifan yang mendalam, dan komunitas Kristen tidak selalu kritis dalam mengkritiknya. Faktanya, kitab Kisah Para Rasul tidak memberikan prinsip-prinsip untuk mengukur aktivitas ekonomi. Namun hal ini menunjukkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah Injil. Dalam diri Paulus dan Silas, dua misionaris dan pahlawan iman terbesar, kita melihat semua contoh yang kita butuhkan bahwa umat Kristen terpanggil untuk menghadapi penyalahgunaan ekonomi yang terjadi di dunia.
Bab 17 dan 18 berisi banyak hal yang berkaitan dengan pekerjaan, namun demi melanjutkan diskusi tentang konfrontasi yang timbul dari tantangan Injil terhadap sistem dunia, artikel ini melanjutkan dengan kisah konfrontasi dalam bab 19:21 -41, lalu kembali ke bab 17, 18, dan bagian lain dari bab 19.
Konfrontasi Atas Gangguan Perdagangan di Efesus (Kisah Para Rasul 19:21-41)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPembahasan berikut ini agak menyimpang (untuk saat ini melewatkan Kisah Para Rasul 19:17-20) sehingga kita dapat membahas insiden konfrontasi yang kedua. Konfrontasinya terjadi di Efesus, di mana Kuil Artemis (juga dikenal dengan nama Romawi Diana) berada. Kultus Artemis di Efesus merupakan kekuatan ekonomi yang kuat di Asia Kecil. Peziarah berduyun-duyun ke kuil (sebuah bangunan yang begitu megah sehingga dianggap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno) dengan harapan menerima peningkatan kesuburan dari Artemis dalam perburuan, di ladang, atau dalam keluarga. Dalam konteks ini, seperti halnya pusat pariwisata lainnya, banyak industri lokal yang terikat pada relevansi atraksi tersebut.[20]
Penyebabnya adalah seorang laki-laki bernama Demetrius, seorang tukang perak, yang membuat kuil-kuilan dewi Artemis dari perak. Usahanya itu mendatangkan penghasilan yang tidak sedikit bagi tukang-tukangnya. Ia mengumpulkan mereka bersama-sama dengan pekerja-pekerja lain dalam usaha yang sejenis dan berkata, "Saudara-saudara, kamu tahu bahwa kemakmuran kita adalah hasil usaha ini! Sekarang kamu sendiri melihat dan mendengar, bagaimana Paulus, bukan saja di Efesus, tetapi juga hampir di seluruh Asia telah membujuk dan menyesatkan banyak orang dengan mengatakan bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa. Dengan demikian bukan saja usaha kita akan dihina orang, tetapi juga kuil Artemis, dewi besar itu, akan kehilangan artinya. Lagi pula, Artemis sendiri, yang disembah oleh seluruh Asia dan seluruh dunia yang beradab, akan kehilangan kebesarannya." Mendengar itu meluaplah kemarahan mereka, lalu mereka berteriak-teriak, "Besarlah Artemis dewi orang Efesus!" Seluruh kota menjadi kacau dan mereka ramai-ramai membanjiri gedung kesenian serta menyeret Gayus dan Aristarkhus, keduanya orang Makedonia dan teman seperjalanan Paulus. (Kisah 19:24-29)
Seperti yang diakui Demetrius, ketika seseorang menjadi pengikut Yesus, mereka diharapkan mengubah cara mereka menggunakan uang. Berhenti membeli barang-barang yang berhubungan dengan penyembahan berhala hanyalah salah satu perubahan yang paling nyata. Orang-orang Kristen mungkin juga diharapkan untuk mengurangi belanja barang-barang mewah untuk diri mereka sendiri dan lebih banyak berbelanja barang-barang kebutuhan dasar untuk kepentingan orang lain. Mungkin mereka akan menggurangi konsumsi dan berdonasi atau berinvestasi lebih banyak secara umum. Tidak ada yang melarang umat Kristen untuk membeli barang-barang perak pada umumnya. Namun Demetrius benar, pola konsumsi akan berubah jika banyak orang mulai percaya kepada Yesus. Hal ini akan selalu menjadi ancaman bagi mereka yang memperoleh keuntungan terbesar dari situasi sebelumnya.
Hal ini mendorong kita untuk bertanya-tanya aspek kehidupan ekonomi mana dalam konteks kita yang mungkin tidak sejalan dengan Injil Kristen. Misalnya, apakah mungkin, bertentangan dengan ketakutan Demetrius, orang-orang Kristen terus membeli barang dan jasa yang tidak sesuai dengan mengikut Yesus? Apakah kita sudah menjadi Kristen, namun terus membeli benda-benda yang setara dengan kuil perak Artemis? Barang-barang bermerek “aspirasional” tertentu terlintas dalam pikiran, yang menarik keinginan pembeli untuk mengasosiasikan diri mereka dengan status sosial, kekayaan, kekuasaan, kecerdasan, kecantikan atau atribut lain yang tersirat dalam “janji merek” barang tersebut. Jika umat Kristen mengklaim bahwa kedudukan mereka semata-mata berasal dari kasih Allah yang tak bersyarat di dalam Kristus, apakah mengasosiasikan diri dengan merek berfungsi sebagai semacam penyembahan berhala? Apakah membeli benda-benda bermerek dan bergengsi pada dasarnya mirip dengan membeli kuil perak untuk Artemis? Insiden di Efesus ini memperingatkan kita bahwa mengikut Yesus mempunyai konsekuensi ekonomi yang terkadang, setidaknya, membuat kita merasa tidak nyaman.
Melibatkan Kebudayaan dengan Hormat (Kisah Para Rasul 17:16-34)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun ada kebutuhan untuk menghadapi para pialang kekuasaan dalam budaya yang lebih luas, konfrontasi tidak selalu merupakan cara terbaik bagi komunitas Kristen untuk berurusan dengan dunia. Seringkali, budaya tersebut salah arah, penuh kesulitan, atau tidak mengenal kasih karunia Allah, namun tidak benar-benar bersifat menindas. Dalam kasus ini, cara terbaik untuk mewartakan Injil adalah dengan bekerja sama dengan budaya setempat dan berurusan dengan mereka penuh rasa hormat.
Dalam Kisah Para Rasul pasal 17, Paulus memberikan teladan bagi kita mengenai cara berinteraksi dengan budaya secara penuh rasa hormat. Ini dimulai dengan observasi. Paul berjalan-jalan di Athena dan mengamati kuil berbagai dewa yang ia temukan di sana. Ia melaporkan bahwa ia “melihat-lihat” “mezbah” yang ia jumpai di sana (Kisah 17:22), yang menurutnya “ciptaan kesenian dan keahlian manusia.” (Kisah 17:29). Ia membaca literatur mereka, mengetahuinya dengan cukup baik sehingga mampu mengutipnya, dan memperlakukannya dengan cukup hormat untuk memasukkannya ke dalam khotbahnya tentang Kristus. Bahkan, bacaan mereka mengandung sebagian kebenaran Allah, kata Paulus, karena ia mengutip pernyataan tersebut, “seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini keturunan-Nya juga.” (Kisah Para Rasul 17:28). Komitmen terhadap transformasi masyarakat yang radikal tidak berarti bahwa umat Kristen harus menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat tidaklah sepenuhnya tidak bertuhan—“karena di dalam Dia kita hidup, bergerak dan kita ada”—namun tidak sadar akan Allah.
Demikian pula di tempat kerja, kita perlu jeli. Kita dapat menemukan banyak praktik baik di sekolah, bisnis, pemerintahan, atau tempat kerja lainnya, meskipun hal-hal itu bukan muncul dalam komunitas Kristen. Jika kita benar-benar jeli, kita akan melihat bahwa bahkan mereka yang tidak sadar atau mencemooh Kristus tetap saja diciptakan menurut gambar Allah. Seperti Paulus, kita seharusnya bekerja sama dengan mereka, bukan mencoba mendiskreditkan mereka. Kita dapat bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman untuk meningkatkan hubungan ketenagakerjaan/manajemen, layanan pelanggan, penelitian dan pengembangan, tata kelola perusahaan dan masyarakat, pendidikan publik, dan bidang lainnya. Kita harus memanfaatkan keterampilan dan wawasan yang dikembangkan di universitas, perusahaan, organisasi nirlaba, dan tempat lainnya. Peran kita bukanlah mengutuk pekerjaan mereka, namun untuk memperdalamnya dan menunjukkan bahwa hal tersebut membuktikan bahwa “Ia tidak jauh dari kita masing-masing” (Kisah Para Rasul 17:27). Bayangkan perbedaan antara mengatakan, “Karena kamu tidak mengenal Kristus, semua pekerjaanmu salah,” dan “Karena aku mengenal Kristus, aku rasa aku bisa lebih menghargai pekerjaanmu daripada kamu sendiri menghargainya.”
Namun pada saat yang sama, kita perlu waspada terhadap kebobrokan dan dosa yang terlihat di tempat kerja kita. Tujuan kita bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyembuhkan, atau setidaknya membatasi kerusakan. Paulus terutama memperhatikan dosa dan distorsi penyembahan berhala. “Sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.” (Kisah Para Rasul 17:16). Berhala-berhala tempat kerja modern, seperti berhala di Athena kuno, banyak dan beragam. Seorang pemimpin Kristen di New York City berkata,
Ketika saya bekerja dengan para pendidik, yang berhalanya adalah semua masalah dunia akan diselesaikan melalui pendidikan, hati saya terhubung dengan hati mereka dalam hal keinginan untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia, namun saya akan menunjukkan kepada mereka bahwa mereka hanya mencapai sekian dengan pendidikan, namun solusi sebenarnya datang dari Kristus. Hal yang sama juga berlaku untuk banyak profesi lainnya.[1]
Pengamatan kita yang cermat, seperti pengamatan Paulus, membuat kita menjadi saksi yang lebih cerdik akan kuasa unik Kristus dalam menegakkan hak-hak dunia.
Meskipun Allah telah mengabaikan masa-masa kebodohan manusia, kini Dia memerintahkan semua orang di mana pun untuk bertobat, karena Dia telah menetapkan suatu hari di mana Dia akan mengadili dunia dengan adil oleh orang yang telah Ia tunjuk, dan mengenai hal ini Ia telah memberikan kepastian. kepada semua orang dengan membangkitkan Dia dari kematian. (Kisah 17:30–31)
Membuat Tenda dan Kehidupan Kristen (Kisah Para Rasul 18:1-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerikop yang paling sering dikaitkan dengan kerja dalam kitab Kisah Para Rasul adalah pekerjaan Paulus untuk membuat tenda dalam Kisah Para Rasul 18:1-4. Meskipun bagian ini tidak asing, namun sering kali dipahami terlalu sempit. Dalam bacaan yang tidak asing ini, Paulus mencari uang dengan membuat tenda, untuk menghidupi dirinya sendiri dalam pelayanannya untuk bersaksi tentang Kristus. Pandangan ini terlalu sempit, karena tidak melihat bahwa pembuatan tenda sendiri merupakan pelayanan bersaksi tentang Kristus yang sesungguhnya. Paulus menjadi saksi ketika ia berkhotbah dan ketika ia membuat tenda serta menggunakan penghasilannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Hal ini sangat cocok dengan pandangan Lukas bahwa Roh Kudus memberdayakan umat Kristen untuk menggunakan sumber daya mereka demi kepentingan seluruh komunitas, yang pada gilirannya menjadi kesaksian Injil. Ingatlah bahwa gagasan Lukas yang mengorientasikan bagi kehidupan Kristen adalah bersaksi, dan keseluruhan kehidupan seseorang mempunyai potensi untuk bersaksi. Maka sangat menonjol bahwa Paulus adalah contoh dari praktik yang dibentuk oleh Roh ini.
Memang benar bahwa Paulus ingin menghidupi dirinya sendiri. Namun dorongannya bukan hanya untuk menghidupi dirinya sendiri dalam pelayanan khotbahnya, tetapi juga untuk memberikan dukungan finansial kepada seluruh masyarakat. Ketika Paulus menggambarkan dampak ekonominya di kalangan jemaat Efesus, dia berkata:
Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga. Kamu sendiri tahu bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku. Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Lebih berbahagia memberi daripada menerima. (Kisah Para Rasul 20:33-35, penekanan ditambahkan, RSV)
Pekerjaan Paul yang menghasilkan uang adalah upaya untuk membangun komunitas secara ekonomi.[1] Paul menggunakan keterampilan dan harta miliknya demi kepentingan komunitas, dan secara eksplisit ia mengatakan bahwa ini adalah contoh yang harus diikuti oleh orang lain. Ia tidak mengatakan bahwa setiap orang harus mengikuti teladannya dalam berkhotbah. Namun ia mengatakan setiap orang harus mengikuti teladannya dalam bekerja keras membantu yang lemah dan murah hati dalam memberi, seperti yang Yesus sendiri ajarkan. Ben Witherington berargumen secara meyakinkan bahwa Paulus tidak mengklaim status yang lebih tinggi yang muncul dari posisi kerasulannya, melainkan “turun dari tangga sosial demi Kristus.”[2]
Dengan kata lain, Paulus tidak menjadikan pembuatan tenda sebagai suatu keharusan agar ia dapat melakukan “pekerjaan sebenarnya” yaitu berkhotbah. Sebaliknya, berbagai macam pekerjaan Paulus yang dilakukan di toko penjahit, pasar, sinagoga, ruang kuliah, dan penjara semuanya merupakan suatu bentuk kesaksian. Dalam konteks ini, Paulus berpartisipasi dalam proyek pemulihan Allah. Dalam masing-masing konteks ini, Paulus menjalani identitas barunya di dalam Kristus demi kemuliaan Allah dan karena kasih terhadap sesamanya—bahkan mantan musuh-musuhnya. Bahkan saat ia diangkut melintasi lautan sebagai seorang tawanan, ia menggunakan bakat kepemimpinan dan dorongannya untuk membimbing para prajurit dan pelaut yang menahannya agar aman saat badai hebat (Kisah 27:27-38). Seandainya ia tidak mempunyai karunia menjadi pengkhotbah dan rasul, ia akan tetap menjadi saksi Kristus hanya dengan cara membuat tenda, bekerja keras demi komunitas, dan bekerja demi kebaikan orang lain dalam segala hal. situasi.
Membuat tenda telah menjadi metafora umum bagi umat Kristiani yang terlibat dalam profesi yang menghasilkan uang sebagai sarana untuk mendukung apa yang sering disebut “pelayanan profesional.” Istilah “pekerjaan ganda” sering digunakan untuk menunjukkan bahwa ada dua profesi berbeda yang terlibat, yaitu profesi yang menghasilkan uang dan profesi pelayanan. Namun teladan Paulus menunjukkan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia harus menjadi saksi yang tanpa batas. Hampir tidak ada ruang untuk membedakan antara “pelayanan profesional” dan bentuk kesaksian lainnya. Menurut Kisah Para Rasul, umat Kristen sebenarnya hanya mempunyai satu panggilan, menurut Kisah Para Rasul – memberi kesaksian tentang Injil. Kita mempunyai banyak bentuk pelayanan, termasuk berkhotbah dan pelayanan pastoral, membuat tenda, membuat perabotan, memberi uang dan merawat orang-orang yang lemah. Seorang Kristen yang terlibat dalam profesi yang menghasilkan uang seperti membuat tenda, untuk mendukung profesi yang tidak menghasilkan uang seperti mengajar tentang Yesus, akan lebih tepat digambarkan sebagai “pelayanan ganda” daripada “pekerjaan ganda”— satu panggilan, dua bentuk pelayanan. Hal yang sama juga berlaku bagi orang Kristen mana pun yang melayani di lebih dari satu bidang pekerjaan.
Injil dan Batasan Panggilan dan Keterlibatan (Kisah Para Rasul 19:17-20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Para Rasul 19:13-16 menyajikan kisah aneh yang menuntun pada pertobatan “banyak juga di antara mereka, yang pernah melakukan sihir,” (Kisah Para Rasul 19:19). Mereka mengumpulkan buku-buku sihir mereka dan membakarnya di depan umum, dan Lukas memberitahu kita bahwa nilai gulungan kitab yang dibakar oleh orang-orang yang bertobat ini adalah 50.000 drahma. Jumlah ini diperkirakan setara dengan 137 tahun upah berkelanjutan bagi seorang pekerja harian atau roti yang cukup untuk memberi makan 100 keluarga selama 500 hari.[24] Penggabungan ke dalam komunitas kerajaan Allah mempunyai dampak ekonomi dan pekerjaan yang sangat besar.
Meskipun kita tidak dapat memastikan apakah mereka yang bertobat dari keterlibatan mereka dengan sihir juga bertobat dari cara mereka mencari nafkah, koleksi buku yang mahal seperti itu tidak mungkin hanya sekadar hobi. Di sini kita melihat bahwa perubahan dalam hidup yang dipicu oleh iman kepada Yesus segera tercermin dalam keputusan tentang pekerjaan—suatu hasil yang lazim dalam Injil Lukas. Dalam hal ini, orang-orang beriman merasa perlu untuk sepenuhnya meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya.
Dalam banyak kasus lain, adalah mungkin untuk tetap berada dalam suatu pekerjaan tetapi perlu mempraktikkannya dengan cara yang berbeda. Misalnya, bayangkan seorang tenaga penjualan membangun bisnis yang menjual asuransi yang tidak diperlukan kepada warga lanjut usia. Ia harus menghentikan praktik tersebut, namun dapat melanjutkan profesi penjualan asuransi dengan beralih ke lini produk yang bermanfaat bagi mereka yang membelinya. Komisinya mungkin lebih sedikit (atau tidak), namun profesi ini memiliki banyak ruang untuk kesuksesan yang sah dan banyak peserta yang beretika.
Situasi yang jauh lebih sulit terjadi pada profesi-profesi yang dapat dilakukan secara sah, namun praktik-praktik terlarang sudah begitu mengakar sehingga sulit bersaing tanpa melanggar prinsip-prinsip Alkitab. Banyak pegawai negeri di negara dengan tingkat korupsi tinggi menghadapi dilema ini. Menjadi inspektur bangunan yang jujur mungkin saja dilakukan, namun sangat sulit dilakukan jika gaji resmi Anda adalah $10 per minggu dan supervisor Anda meminta bayaran $100 per bulan agar Anda dapat mempertahankan pekerjaan. Seorang Kristen yang berada dalam situasi seperti itu menghadapi pilihan yang sulit. Jika semua orang jujur meninggalkan profesinya, hal ini akan berdampak lebih buruk bagi masyarakat. Namun jika sulit atau tidak mungkin untuk mencari nafkah dengan jujur dalam profesi ini, bagaimana seorang Kristen bisa tetap bertahan di sana? Hal ini dibahas oleh Lukas dalam Lukas 3:9, ketika Yohanes Pembaptis menasihati para prajurit dan pemungut pajak untuk tetap menjalankan pekerjaan mereka namun menghentikan pemerasan dan penipuan yang dilakukan oleh sebagian besar profesi mereka. (Lihat “Lukas 3:1-14" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut mengenai bagian ini.)
Empat Sifat Kepemimpinan Paulus sebagai Saksi (Kisah Para Rasul 20-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSembilan pasal terakhir dari Kisah Para Rasul menyajikan kisah penuh aksi tentang upaya pembunuhan terhadap Paulus, diikuti dengan pemenjaraannya di tangan dua gubernur Romawi dan perjalanan kapal yang mengerikan menuju pengadilan di Roma. Dalam banyak hal, pengalaman Paulus merangkum puncak pelayanan Yesus, dan Kisah Para Rasul 20-28 dapat dianggap sebagai semacam Kesengsaraan Paulus. Aspek dari pasal-pasal ini yang paling relevan untuk kerja adalah gambaran kepemimpinan Paulus. Kita akan fokus pada apa yang kita lihat dari keberaniannya, penderitaannya, rasa hormatnya terhadap orang lain, dan kepeduliannya terhadap kesejahteraan orang lain.
Keberanian Paulus (Kisah Para Rasul 20-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah konflik di Filipi dan Efesus, Paulus menerima ancaman pemenjaraan (Kisah 20:23, 21:11) dan kematian (Kisah 20:3, 23:12-14). Ancaman-ancaman ini bukannya sia-sia, karena memang ada dua upaya pembunuhan terhadapnya (Kisah Para Rasul 21:3; 23:21). Paulus ditahan oleh pemerintah Romawi (Kisah 23:10) dan tuntutan diajukan terhadapnya (Kisah 24:1-9), yang meskipun palsu, pada akhirnya berujung pada eksekusinya. Mengingat episode-episode konflik yang telah kita jelajahi, tidak mengherankan jika mengikuti cara-cara kerajaan Allah menyebabkan konflik dengan cara-cara dunia yang menindas.
Namun melalui semua itu, Paul tetap memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya (berkhotbah) meski diancam, bahkan berani berkhotbah kepada para penahannya, baik orang Yahudi (Kisah 23:1-10) maupun Romawi (Kisah 24:21-26; 26:32; 28:30-31). Pada akhirnya, keberaniannya terbukti menentukan, bukan hanya bagi pekerjaannya berkhotbah, namun juga menyelamatkan nyawa ratusan orang di tengah kapal karam (Kisah 27:22-23). Kata-katanya sendiri merangkum sikap keberaniannya ketika orang-orang di sekitarnya mundur karena ketakutan. “Mengapa kamu menangis, sehingga membuat hatiku hancur? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem demi nama Tuhan Yesus” (Kisah Para Rasul 21:13).
Namun, intinya bukanlah bahwa Paulus adalah orang yang memiliki keberanian luar biasa, namun bahwa Roh Kudus memberi kita keberanian yang kita perlukan untuk melakukan pekerjaan kita. Paulus memuji Roh Kudus yang membuatnya tetap bertahan dalam menghadapi kesulitan seperti itu (Kisah 20:22; 21:4; 23:11). Ini merupakan suatu dorongan semangat bagi kita saat ini, karena kita juga dapat bergantung pada Roh Kudus untuk memberi kita keberanian yang mungkin tidak kita miliki. Bahayanya bukan terletak pada keberanian kita yang hilang pada saat teror terbesar, namun kekhawatiran secara umum akan menghalangi kita bahkan untuk mengambil langkah pertama dalam mengikuti jalan kerajaan Allah dalam pekerjaan kita. Seberapa sering kita gagal membela rekan kerja, melayani pelanggan, menantang atasan, atau angkat bicara mengenai suatu permasalahan, bukan karena kita benar-benar berada di bawah tekanan, namun karena kita takut jika kita melakukannya, kita akan menyinggung pihak yang berotoritas? Bagaimana jika kita mengambil posisi bahwa sebelum kita bertindak bertentangan dengan cara kerja Allah, setidaknya kita harus menerima perintah nyata untuk melakukannya? Bisakah kita mulai dengan mengandalkan Roh Kudus untuk menopang kita setidaknya sampai sejauh itu?
Penderitaan Paulus (Kisah Para Rasul 20-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus membutuhkan setiap tetes keberanian karena penderitaan berat yang ia tahu akan diakibatkan oleh pekerjaannya. “Selain yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku bahwa penjara dan sengsara menunggu aku,” (Kisah Para Rasul 20:23) katanya. Ia diculik (Kisah 21:27), dipukuli (Kisah 21:30-31; 23:3), diancam (Kisah 22:22; 27:42), ditangkap berkali-kali (Kisah 21:33; 22:24, 31; 23:35; 28:16), dituduh dalam tuntutan hukum (Kisah 21:34; 22:30; 24:1-2; 25:2, 7; 28:4), diinterogasi (Kisah 25:24-27), diejek (Kisah 26:24), diabaikan (Kisah 27:11), karam kapal (Kisah 27:41) dan digigit ular beludak (Kisah 28:3). Tradisi mengatakan bahwa Paulus akhirnya dihukum mati karena pekerjaannya, meskipun hal ini tidak diceritakan di bagian manapun dalam Alkitab.
Kepemimpinan di dunia yang rusak menyebabkan penderitaan. Siapa pun yang tidak menerima penderitaan sebagai elemen penting dalam kepemimpinan tidak bisa menjadi seorang pemimpin, setidaknya tidak menjadi pemimpin sesuai dengan kehendak Allah. Dalam hal ini, kita melihat penolakan radikal lainnya terhadap sistem patronase Romawi. Sistem Romawi disusun untuk melindungi pemimpinnya dari penderitaan. Pemimpin saja, misalnya, yang mempunyai hak untuk menghindari kekerasan fisik, seperti yang kita lihat ketika status Paulus sebagai warga negara (pemimpin, meskipun hanya satu rumah tangga) adalah satu-satunya hal yang melindunginya dari hukuman cambuk yang sewenang-wenang (Kisah Para Rasul 22:29). Meski begitu, Paulus menganggap penderitaan tubuh, dan juga banyak bentuk penderitaan lainnya, sebagai sesuatu yang diperlukan oleh seorang pemimpin seperti Yesus. Saat ini, kita mungkin berusaha menjadi pemimpin dengan alasan yang sama seperti orang-orang Romawi kuno yang berupaya menerapkan patronase—untuk menghindari penderitaan. Kita mungkin berhasil memperoleh kekuasaan dan bahkan mungkin mengisolasi diri kita dari penderitaan dunia. Namun kepemimpinan kita tidak bisa memberikan manfaat bagi orang lain jika kita tidak menerima kerugian yang lebih besar atau lebih kecil pada diri kita sendiri. Dan jika kepemimpinan kita tidak bermanfaat bagi orang lain, maka itu bukanlah kepemimpinan Allah.
Rasa Hormat Paulus (Kisah Para Rasul 20-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeski Paulus sangat yakin bahwa keyakinan dan perilakunya benar, ia menunjukkan sikap hormat kepada siapa pun yang ditemuinya. Hal ini sangat melemahkan, terutama bagi mereka yang menjadi musuh dan penculiknya, sehingga memberinya kesempatan yang tidak dapat disangkal sebagai saksi kerajaan Allah. Ketika ia tiba di Yerusalem, ia menghormati para pemimpin Kristen Yahudi di sana dan memenuhi permintaan aneh mereka untuk menunjukkan kesetiaannya pada Hukum Yahudi (Kisah 21:17-26). Ia berbicara dengan hormat kepada orang banyak yang baru saja memukulinya (Kisah 21:30-22:21), kepada seorang prajurit yang akan mencambuknya (Kisah 22:25-29), kepada dewan Yahudi yang menuduhnya di pengadilan Romawi—bahkan sampai meminta maaf karena secara tidak sengaja telah menghina Imam Besar—(Kisah 23:1-10), kepada Gubernur Romawi Feliks dan istrinya Drusila (Kisah 24:10-26), kepada penerus Feliks, Festus (Kisah Para Rasul 25:8-11; 26:24-26), dan kepada Raja Agripa dan istrinya Bernike (Kisah 26:2-29) yang memenjarakannya. Dalam perjalanannya ke sana, ia memperlakukan perwira Julius (Kisah 27:3), gubernur Malta (Kisah 28:7-10), dan para pemimpin komunitas Yahudi di Roma dengan hormat (Kisah 28:17-28).
Kita tidak boleh rancu antara rasa hormat yang Paulus tunjukkan dengan rasa malu terhadap beritanya. Paulus tidak pernah segan-segan memberitakan kebenaran dengan berani, terlepas dari kesulitannya setelah itu. Setelah dipukuli oleh sekelompok orang Yahudi di Yerusalem yang mencurigai ia membawa orang bukan Yahudi ke Bait Suci, ia menyampaikan khotbah kepada mereka yang diakhiri dengan perkataaan bahwa Tuhan Yesuslah yang menugaskannya untuk memberitakan keselamatan kepada orang bukan Yahudi (Kisah Para Rasul 22:17-21). Ia mengatakan kepada dewan Yahudi dalam Kisah Para Rasul 23:1-8, “Aku dihadapkan ke Mahkamah ini, karena aku mengharapkan kebangkitan orang mati” (Kisah Para Rasul 23:6). Ia memberitakan Injil kepada Feliks (Kisah Para Rasul 24:14-16) dan menyatakan kepada Festus, Agripa dan Bernike, “Sekarang aku harus menghadap pengadilan oleh karena aku mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada nenek moyang kita” (Kisah Para Rasul 26:6) . Ia memperingatkan para prajurit dan pelaut di kapal menuju Roma bahwa “pelayaran kita akan mendatangkan kesukaran-kesukaran dan kerugian besar, bukan saja bagi muatan dan kapal, tetapi juga bagi nyawa kita” (Kisah Para Rasul 27:10). Kitab Kisah Para Rasul diakhiri dengan Paulus “dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus” (Kisah 28:30–31).
Rasa hormat Paulus terhadap orang lain sering kali membuat ia didengar dan bahkan mengubah musuh menjadi teman, meskipun kata-katanya sangat berani. Perwira yang hendak mencambuknya turun tangan ke pengadilan Romawi, yang memerintahkannya untuk dibebaskan (Kisah 22:26-29). Orang-orang Farisi menyimpulkan, “Kami sama sekali tidak menemukan sesuatu yang salah pada orang ini! Barangkali ada roh atau malaikat yang telah berbicara kepadanya” (Kisah Para Rasul 23:9). Feliks memutuskan bahwa Paulus “tidak ada tuduhan yang membuat dia patut dihukum mati atau dipenjarakan” (Kisah Para Rasul 23:29) dan menjadi seorang pendengar setia yang “sering memanggilnya untuk bercakap-cakap dengan dia” (Kisah Para Rasul 24:26). Agripa, Bernice, dan Festus menyadari bahwa Paulus tidak bersalah, dan Agripa mulai diyakinkan oleh khotbah Paulus. “Hampir-hampir saja kauyakinkan aku menjadi orang Kristen!” ujarnya (Kisah 26:28). Pada akhir perjalanan ke Roma, Paulus secara de fakto telah menjadi pemimpin kapal, mengeluarkan perintah yang dengan senang hati dipatuhi oleh kapten dan perwira (Kisah 27:42-44). Di Malta, gubernur menyambut dan menjamu Paulus dan rekan-rekannya, dan kemudian menyiapkan kapal mereka dan menyuruh mereka pergi dengan hormat (Kisah 28:10).
Tentu saja, tidak semua orang membalas rasa hormat Paul dengan hormat. Ada pula yang menjelek-jelekkan, menolak, mengancam, dan melecehkannya. Namun, secara umum, ia menerima jauh lebih banyak rasa hormat dari orang banyak dibandingkan para penguasa sistem patronase Romawi di mana ia beroperasi. Penggunaan kekuasaan mungkin akan menimbulkan kesan rasa hormat, namun penggunaan rasa hormat yang sejati akan lebih mungkin menghasilkan respons rasa hormat yang sejati.
Kepedulian Paulus terhadap Orang Lain (Kisah Para Rasul 20-28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYang paling menonjol, kepemimpinan Paulus ditandai dengan kepeduliannya terhadap orang lain. Ia menerima beban kepemimpinan bukan untuk membuat hidupnya lebih baik, tapi untuk membuat hidup orang lain lebih baik. Kesediaannya untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang tidak bersahabat untuk memberitakan cara hidup yang lebih baik sudah cukup menjadi bukti akan hal ini. Namun kita juga melihat kepeduliannya terhadap orang lain dengan cara yang konkret dan pribadi. Ia menyembuhkan seorang anak laki-laki yang terluka parah karena terjatuh dari jendela lantai atas (Kisah 20:9-12). Ia mempersiapkan gereja-gereja yang telah ia dirikan agar bisa terus berjalan setelah kematiannya, dan menyemangati mereka ketika mereka “menangis … tersedu-sedu” (Kisah Para Rasul 20:37). Ia berusaha untuk memberitakan kabar baik bahkan kepada mereka yang mencoba membunuhnya (Kisah Para Rasul 22:1-21). Ia menyembuhkan semua orang sakit di pulau Malta (Kisah Para Rasul 28:8-10).
Contoh mencolok dari kepeduliannya terhadap orang lain terjadi pada saat kapal karam. Meskipun peringatannya untuk tidak melakukan pelayaran telah diabaikan, Paulus turun tangan membantu dan memberi semangat kepada awak kapal dan penumpang ketika badai melanda.
Karena mereka sudah lama tidak makan, Paulus kemudian berdiri di antara mereka dan berkata, “Saudara-saudara, sekiranya nasihatku dituruti supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terhindar dari kesukaran dan kerugian ini! Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bersemangat, sebab tidak seorang pun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini. Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku, dan ia berkata: Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar. Sesungguhnya karena rahmat Allah kepadamu, maka semua orang yang berada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat. Sebab itu tetaplah bersemangat, Saudara-saudara! Karena aku percaya kepada Allah bahwa semuanya pasti terjadi sama seperti yang dikatakan kepadaku” (Kisah 27:21–25).
Keprihatinannya tidak hanya berakhir dengan kata-kata penyemangat tetapi dilanjutkan dengan tindakan praktis. Ia memastikan semua orang makan untuk menjaga kekuatannya (Kisah 27:34-36). Ia merancang rencana yang akan menyelamatkan nyawa semua orang, termasuk mereka yang tidak bisa berenang (Kisah 27:26, 38, 41, 44). Ia mengarahkan persiapan untuk membuat kapal bisa mendarat (Kisah 27:43b), dan mencegah para pelaut meninggalkan prajurit dan penumpangnya (Kisah 27:30-32). Akibat keprihatinan dan tindakannya, tidak ada satu nyawa pun yang hilang dalam kecelakaan itu (Kisah Para Rasul 27:44).
Kepemimpinan Paulus mencakup lebih dari keempat faktor yaitu keberanian, penderitaan, rasa hormat, dan kepedulian terhadap orang lain ini, dan hal ini terlihat jauh melampaui Kisah Para Rasul 20-28. Namun faktor-faktor yang disajikan dalam pasal-pasal ini merupakan salah satu demonstrasi kepemimpinan yang paling menggugah dalam Alkitab dan tetap menjadi contoh yang sama pada zaman sekarang seperti halnya pada zaman Lukas.
Kesimpulan dari Kisah Para Rasul
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMenyelidiki pekerjaan dan isu-isu terkait pekerjaan dalam Kisah Para Rasul menyajikan pembahasan yang koheren mengenai panggilan di dunia Allah. Dalam Kisah Para Rasul, pandangan Kristen mengenai kerja tidak hanya dibatasi pada bidang etika. Sebaliknya, bekerja adalah suatu bentuk kesaksian aktif dalam penebusan Allah atas dunia. Logika Kisah Para Rasul bergerak ke arah ini:
1. Datangnya Roh Kudus mengawali kerajaan Kristus—dunia baru Allah—dengan cara yang baru. Sistem patronase Romawi yang mengupayakan status bagi diri sendiri digantikan dengan semangat cinta kasih yang mengupayakan kebaikan bagi orang lain. Ini mengikuti contoh Yesus yang mengorbankan diri-Nya demi kepentingan orang lain—yang terutama terlihat pada salib.
2. Panggilan Kristiani dikonseptualisasikan sebagai kesaksian yang diberdayakan Roh bagi kerajaan Kristus, tidak hanya melalui pewartaan tetapi juga dengan bertindak selaras dengan semangat kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Panggilan Kristiani diberikan kepada seluruh komunitas orang percaya, bukan hanya kepada individu saja. Praktik yang dilakukan orang-orang percaya tidaklah sempurna—terkadang sangat jauh dari sempurna—namun tetap saja ini merupakan partisipasi nyata dalam dunia baru.
4. Komunitas memberikan kesaksian tentang kerajaan Kristus dengan bekerja dan menggunakan sumber daya yang berhubungan dengan kerja—kekuasaan, kekayaan, dan status—demi orang lain dan komunitas secara keseluruhan. Keanggotaan dalam komunitas berjalan seiring dengan perubahan cara hidup, yang membawa kepada cinta dan pelayanan. Salah satu contohnya adalah praktik kemurahan hati yang radikal dalam segala jenis sumber daya.
5. Ketika pekerjaan dilakukan dengan cara ini, setiap profesi dapat menjadi tindakan kesaksian dengan mempraktikkan struktur keadilan, kebenaran, dan keindahan yang dibawa oleh kerajaan Allah.
6. Komunitas Kristen menghasilkan cara kerja yang menantang struktur dunia yang sudah jatuh dalam dosa, dan terkadang membawa mereka ke dalam konflik dengan para pemegang kekuasaan di dunia. Meskipun demikian, tujuan komunitas ini bukanlah untuk berbenturan dengan dunia, melainkan untuk mengubahnya.
7. Kepemimpinan adalah arena menonjol di mana semangat baru kasih dan pelayanan terhadap orang lain diwujudkan. Otoritas dimiliki bersama dan kepemimpinan didorong muncul di setiap tingkat masyarakat. Para pemimpin menerima beban bertindak demi kebaikan orang lain, dan mereka menghormati kebijaksanaan dan otoritas orang-orang yang dipimpinnya. Atribut kepemimpinan—termasuk keberanian, penderitaan, rasa hormat, dan kepedulian terhadap orang lain—muncul ke permukaan dalam teladan Rasul Paulus.
Kisah Para Rasul membantu kita untuk melihat bahwa seluruh kehidupan manusia—termasuk pekerjaan kita dan buah yang dihasilkan dari pekerjaan kita—dapat menjadi suatu sarana untuk berpartisipasi melalui kuasa Roh yang telah muncul dalam kerajaan Allah yang datang ke bumi. Dengan cara ini bekerja tidak hanya bermartabat tetapi juga penting bagi panggilan kemanusiaan sebagai kesaksian. Sejak awal, bekerja sangat penting bagi apa artinya menjadi manusia seutuhnya. Para pekerja saat ini dipanggil untuk menjadi penggarap dan pengubah bumi, budaya, keluarga, bisnis, pendidikan, keadilan dan segala bidang lainnya—semuanya demi kerajaan Allah.
Ayat-ayat Kunci dan Tema dalam Kisah Para Rasul
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
Kisah Para Rasul 1:6 Lalu ketika berkumpul, mereka bertanya kepada-Nya, "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" | Kehidupan Kristen terjadi dalam suatu orientasi komunitas dengan suatu vokasi bagi kerajaan Allah |
Kisah Para Rasul 1:8 Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." | Komunitas Kristen berorientasi untuk bersaksi tentang kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-hari |
Kisah Para Rasul 2:17-21 Akan terjadi pada hari-hari terakhir — demikianlah firman Allah — bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan pemuda-pemudimu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi. Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat. … sebelum datangnya hari Tuhan, hari yang besar dan mulia itu. Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan. | Kehidupan Kristen berpartisipasi dalam dunia Allah yang baru |
Kisah Para Rasul 2:40 Dengan banyak perkataan lain lagi ia bersaksi dan mendesak mereka, katanya, "Berilah dirimu diselamatkan dari orang-orang yang jahat ini." | Kehidupan Kristen berpartisipasi dalam dunia Allah yang baru |
Kisah Para Rasul 2:42-27 Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. … Semua orang yang percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. … Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 3:6 Tetapi Petrus berkata, "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, bangkit dan berjalanlah!" | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 4:18-21 Setelah keduanya disuruh masuk, mereka diperintahkan, supaya sama sekali jangan berbicara atau mengajar lagi dalam nama Yesus. Tetapi Petrus dan Yohanes menjawab mereka, "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan dengar." … orang banyak memuliakan nama Allah berhubung dengan apa yang telah terjadi. | Allah berdaulat atas berbagai sistem kekuasaan |
Kisah Para Rasul 4:25-26 Oleh Roh Kudus dengan perantaraan hamba-Mu Daud, bapak kami, Engkau telah berfirman: Mengapa gusar bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka hal yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar berkumpul untuk melawan Tuhan dan Yang Diurapi-Nya. | Allah berdaulat atas berbagai sistem kekuasaan |
Kisah Para Rasul 4:32-38 Kumpulan orang yang telah percaya itu sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. … Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan, seorang Lewi kelahiran Siprus. Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 5:1-11 Ada seorang laki-laki bernama Ananias. Ia bersama istrinya Safira menjual sebidang tanah miliknya. Dengan setahu istrinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul. Tetapi Petrus berkata, "Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? … Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan meninggal dunia. … Seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu menjadi sangat ketakutan. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 5:27-32 Mereka membawa rasul-rasul itu dan menghadapkan mereka kepada Mahkamah Agama. Lalu Imam Besar mulai menanyai mereka, katanya, "Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu. Ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami." Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, "Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. … Kamilah saksi dari peristiwa-peristiwa itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang menaati Dia." | Allah berdaulat atas berbagai sistem kekuasaan |
Kisah Para Rasul 6:1-7 Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian keperluan sehari-hari kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. Kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata, "Tidak baik jika kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. Karena itu, Saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik dan penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman." … | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 8:18-24 Ketika Simon melihat bahwa Roh itu diberikan melalui penumpangan tangan rasul-rasul itu, ia menawarkan uang kepada mereka, serta berkata, "Berikanlah juga kepadaku kuasa itu, supaya jika aku menumpangkan tanganku di atas seseorang, ia boleh menerima Roh Kudus." Tetapi Petrus berkata kepadanya, "Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang. … Jawab Simon, "Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu katakan itu." | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 8:26-40 Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, "Bangkitlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza." … Adalah seorang Etiopia, … yang pergi ke Yerusalem untuk beribadah. Orang itu sedang dalam perjalanan pulang dan duduk dalam keretanya sambil membaca kitab Nabi Yesaya. Lalu kata Roh kepada Filipus, "Pergilah ke situ dan dekatilah kereta itu!" … Filipus pun mulai berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil tentang Yesus kepadanya. Mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan tiba di suatu tempat yang ada air. Lalu kata pejabat istana itu, "Lihat, di situ ada air; apakah ada halangan bagiku untuk dibaptis?" Orang Etiopia itu menyuruh menghentikan kereta itu, dan keduanya turun ke dalam air, baik Filipus maupun pejabat istana itu, lalu Filipus membaptis dia. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 9:36-43 Di Yope ada seorang murid perempuan bernama Tabita — dalam bahasa Yunani Dorkas. Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah. Tetapi pada waktu itu ia sakit lalu meninggal. Setelah dimandikan, mayatnya dibaringkan di ruang atas. … Petrus menyuruh mereka semua keluar, lalu ia berlutut dan berdoa. Kemudian ia berpaling ke mayat itu dan berkata, "Tabita, bangkitlah!" Lalu Tabita membuka matanya dan ketika melihat Petrus, ia bangun lalu duduk. Petrus memegang tangannya dan membantu dia berdiri. Kemudian ia memanggil orang-orang kudus beserta janda-janda, lalu menunjukkan kepada mereka bahwa perempuan itu hidup. Peristiwa itu tersebar di seluruh Yope dan banyak orang menjadi percaya kepada Tuhan. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 9:43 Kemudian Petrus tinggal cukup lama di Yope, di rumah seorang yang bernama Simon, seorang penyamak kulit. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 10:24 Pada hari berikutnya sampailah mereka di Kaisarea. Kornelius sedang menantikan mereka dan ia telah memanggil sanak saudaranya dan sahabat-sahabatnya berkumpul. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 11:27-30 Pada waktu itu datanglah beberapa nabi dari Yerusalem ke Antiokhia. Salah seorang dari mereka yang bernama Agabus bangkit dan oleh kuasa Roh ia mengatakan bahwa seluruh dunia akan ditimpa kelaparan besar. Hal itu terjadi pada zaman Klaudius. Lalu murid-murid memutuskan untuk mengumpulkan sumbangan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan mengirimkannya kepada saudara-saudara seiman yang tinggal di Yudea. Hal itu mereka lakukan juga dan mereka mengirimkannya kepada penatua-penatua dengan perantaraan Barnabas dan Saulus. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 12:20-23 Herodes sangat marah terhadap orang Tirus dan Sidon. Atas persetujuan bersama mereka pergi menghadap dia. Mereka berhasil membujuk Blastus, pengurus rumah tangga raja, ke pihak mereka, lalu mereka memohon perdamaian, karena negeri mereka memperoleh bahan makanan dari wilayah raja. Pada suatu hari yang ditentukan, Herodes mengenakan pakaian kerajaan, lalu duduk di atas takhta dan berpidato kepada mereka. Lalu rakyatnya bersorak membalasnya, "Ini suara dewa dan bukan suara manusia!" Seketika itu juga ia ditampar malaikat Tuhan karena ia tidak memberi hormat kepada Allah; ia mati dimakan cacing-cacing. | Semua otoritas berasal dari Allah |
Kisah Para Rasul 13:1-3 Pada waktu itu dalam jemaat di Antiokhia ada beberapa nabi dan pengajar, yaitu: Barnabas dan Simeon yang disebut Niger, dan Lukius orang Kirene, dan Menahem yang diasuh bersama dengan raja wilayah Herodes, dan Saulus. Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus, "Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka." Lalu mereka berpuasa dan berdoa dan setelah meletakkan tangan ke atas kedua orang itu, mereka membiarkan keduanya pergi. | Memahami vokasi khusus dilakukan di dalam komunitas Kristen |
Kisah Para Rasul 13:50 Namun orang-orang Yahudi menghasut perempuan-perempuan terkemuka yang takut akan Allah dan pembesar-pembesar di kota itu. Mereka menimbulkan penganiayaan atas Paulus dan Barnabas dan mengusir mereka dari daerah itu. | Kehidupan Kristen membawa konfrontasi dengan mereka yang berkuasa |
Kisah Para Rasul 16:11-15 Lalu kami bertolak dari Troas dan langsung berlayar ke Samotrake, dan keesokan harinya tibalah kami di Neapolis; dari situ kami ke Filipi, kota pertama di bagian Makedonia ini, suatu kota perantauan orang Roma. … Tuhan membuka hatinya [Lidia], sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya, "Jika kamu berpendapat bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku." Ia mendesak sampai kami menerimanya. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 16:16-24 Suatu kali ketika kami pergi ke tempat sembahyang itu, kami bertemu dengan seorang budak perempuan yang mempunyai roh tenung; dengan tenungan-tenungannya tuan-tuannya memperoleh penghasilan besar. Ia mengikuti Paulus dan kami dari belakang sambil berseru, "Orang-orang ini hamba Allah Yang Mahatinggi. Mereka memberitakan kepadamu jalan keselamatan." Hal itu dilakukannya selama beberapa hari. Tetapi ketika Paulus tidak tahan lagi akan gangguan itu, ia berpaling dan berkata kepada roh itu, "Dalam nama Yesus Kristus aku menyuruh engkau keluar dari perempuan ini." Seketika itu juga keluarlah roh itu. Ketika tuan-tuan perempuan itu melihat bahwa harapan mereka untuk mendapat penghasilan telah lenyap, mereka menangkap Paulus dan Silas, lalu menyeret mereka ke pasar untuk menghadap para penguasa. … | Injil membebaskan dari kejahatan yang dimanifestasikan dalam praktik-praktik penindasan ekonomi |
Kisah Para Rasul 17:12 Karena itu, banyak di antara mereka yang menjadi percaya; juga tidak sedikit di antaranya adalah orang Yunani yang terkemuka, baik perempuan maupun laki-laki. | Gereja memiliki keanekaragaman ekonomi |
Kisah Para Rasul 18:3-4 Karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah. 4Setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 19:19 Banyak juga di antara mereka, yang pernah melakukan sihir, mengumpulkan kitab-kitabnya lalu membakarnya di hadapan semua orang. Nilai kitab-kitab itu ditaksir lima puluh ribu uang perak. | Beberapa vokasi tertentu berbahaya bagi Injil |
Kisah Para Rasul 19:23-41 Kira-kira pada waktu itu timbul huru-hara besar mengenai Jalan Tuhan. Penyebabnya adalah seorang laki-laki bernama Demetrius, seorang tukang perak, yang membuat kuil-kuilan dewi Artemis dari perak. Usahanya itu mendatangkan penghasilan yang tidak sedikit bagi tukang-tukangnya. Ia mengumpulkan mereka bersama-sama dengan pekerja-pekerja lain dalam usaha yang sejenis dan berkata, “… Paulus, bukan saja di Efesus, tetapi juga hampir di seluruh Asia telah membujuk dan menyesatkan banyak orang dengan mengatakan bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa ...” Mendengar itu meluaplah kemarahan mereka, lalu mereka berteriak-teriak, "Besarlah Artemis dewi orang Efesus!" Seluruh kota menjadi kacau dan mereka ramai-ramai membanjiri gedung kesenian serta menyeret Gayus dan Aristarkhus, keduanya orang Makedonia dan teman seperjalanan Paulus. … Akan tetapi, panitera kota menenangkan orang banyak itu dan berkata, “…kita berada dalam bahaya akan dituduh bahwa kita menimbulkan huru-hara pada hari ini, karena tidak ada alasan yang dapat kita kemukakan untuk membenarkan kumpulan yang kacau-balau ini." Dengan kata-kata itu ia membubarkan kumpulan rakyat itu. | Kehidupan Kristen membawa konfrontasi dengan mereka yang berkuasa |
Kisah Para Rasul 20:33-35 Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga. Kamu sendiri tahu bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku. Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Lebih berbahagia memberi daripada menerima." | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 21:8 Keesokan harinya kami berangkat dari situ dan tiba di Kaisarea. Kami masuk ke rumah Filipus, pemberita Injil itu, yaitu salah satu dari ketujuh orang yang dipilih di Yerusalem, dan kami tinggal di rumahnya. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Kisah Para Rasul 27:11 Tetapi perwira itu lebih percaya kepada juru mudi dan nakhoda daripada kepada perkataan Paulus. | Kekuasaan, status, dan sumber daya harus digunakan bagi kepentingan komunitas |
Pengantar Kepada Kitab Roma
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat Paulus kepada jemaat di Roma terkenal karena visinya akan tindakan Allah yang penuh kemurahan terhadap umat manusia melalui salib dan kebangkitan Kristus. “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya” (Rm. 1:16). Ada sesuatu yang sangat keliru tentang diri kita secara individu, dan tentang dunia secara keseluruhan, yang darinya kita perlu diselamatkan, dan kitab Roma mengajarkan kepada kita bagaimana Allah menyelamatkan kita darinya.
Surat Roma sangat teologis, namun tidak abstrak. Keselamatan dari Allah bukanlah sebuah konsep yang diperbincangkan secara analitis dalam surat Roma, namun sebuah panggilan untuk bertindak (Rm. 6:22). Paulus menceritakan bagaimana keselamatan Allah mempengaruhi hikmat kita, kejujuran kita, hubungan kita, penilaian kita, kemampuan kita untuk menanggung kemunduran, karakter kita, dan pemikiran etis kita, yang semuanya penting bagi kerja kita. Di sinilah, dalam seluk beluk hubungan antarmanusia dan keinginan untuk melakukan pekerjaan baik, keselamatan Allah terjadi dalam dunia kita.
Ditulis di sekitar masa pemerintahan Kaisar Romawi Nero (54–68 M), surat kepada jemaat di Roma ini memuat tanda-tanda kegelapan dan bahaya yang menyelimuti gereja-gereja rumah di Roma, yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang bertobat kepada Kristus. Beberapa anggota jemaat Yahudi telah diasingkan berdasarkan dekrit Kaisar Claudius pada tahun 49 dan baru saja kembali, mungkin telah kehilangan harta benda dan stabilitas keuangan mereka sementara itu (Kisah 18:2). Sentimen anti-Yahudi dalam budaya Romawi yang lebih luas tentunya memberikan tekanan terhadap gereja-gereja Kristen. Refleksi panjang Paulus mengenai kesetiaan Allah kepada orang Yahudi dan non-Yahudi dalam surat ini bukanlah suatu refleksi abstrak tentang jalan-jalan Allah, namun suatu refleksi teologis yang terampil mengenai peristiwa-peristiwa sejarah dan konsekuensi-konsekuensinya. Hasilnya adalah seperangkat alat praktis untuk membuat keputusan moral yang membawa pada kualitas hidup baru di setiap tempat dimana orang tinggal dan bekerja.
Surat kepada jemaat di Roma mempunyai arti yang luar biasa penting dalam perkembangan teologi Kristen. Sekedar contoh saja, Martin Luther memutuskan hubungan dengan Paus Leo X terutama karena ketidaksetujuannya atas apa yang ia anggap sebagai pemahaman Katolik Roma tentang surat Roma. Dan tulisan Karl Barth Epistle to the Romans bisa dibilang merupakan karya teologis paling berpengaruh di abad ke-20.[1] Dalam dua puluh lima atau tiga puluh tahun terakhir, perdebatan teologis besar mengenai hubungan antara keselamatan dan perbuatan baik telah muncul mengenai surat Roma dan surat-surat Paulus lainnya, yang sering disebut Perspektif Baru tentang Paulus. Tafsiran-tafsiran umum mengenai kitab Roma mengeksplorasi isu-isu ini secara panjang lebar. Kita akan fokus secara khusus pada kontribusi surat ini terhadap teologi kerja. Tentu saja, kita perlu memiliki pemahaman dasar mengenai poin-poin umum Paulus sebelum menerapkannya dalam kerja, sehingga kita akan melakukan sejumlah eksplorasi teologis umum jika diperlukan.
Injil Keselamatan—Panggilan Paulus (Roma 1:1–17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat pembuka kitab Roma mengumumkan panggilan Paulus sendiri, pekerjaan yang Allah panggil untuk ia lakukan: mewartakan Injil Allah dalam perkataan dan perbuatan. Jadi apakah Injil Allah itu? Paulus mengatakan bahwa Injil Allah adalah “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman." (Rom. 1:17 TB). Bagi Paulus, Injil lebih dari sekedar kata-kata—injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan. Ia menekankan bahwa keselamatan ini bukan hanya untuk satu kelompok orang tetapi dimaksudkan untuk menolong siapa pun di bumi untuk menjadi umat Allah, melalui iman. Maka, kitab Roma terutama membahas tentang keselamatan dari Allah.
Apakah keselamatan itu? Keselamatan adalah karya Allah yang menempatkan manusia dalam hubungan yang benar dengan Allah dan dengan satu sama lain. Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, kita diselamatkan dari hubungan yang rusak—dengan Allah dan dengan sesama—yang melepaskan kekuatan jahat berupa dosa dan kematian ke dunia. Karenanya, keselamatan pertama-tama adalah disembuhkannya hubungan yang rusak, dimulai dengan penyembuhan yang mendamaikan Sang Pencipta dan ciptaan, Allah dan kita. Rekonsiliasi kita dengan Allah mengakibatkan kita terbebas dari dosa dan hidup baru yang tidak dibatasi oleh kematian.
Orang-orang Kristen terkadang mereduksi Injil keselamatan Paulus menjadi sesuatu seperti, “Percayalah kepada Yesus sehingga Anda secara pribadi bisa masuk surga ketika Anda meninggal.” Ini memang benar, namun sangat tidak memadai. Pertama-tama, pernyataan seperti itu tidak mengatakan apa pun tentang relasi selain antara individu dan Allah, namun Paulus tidak pernah berhenti berbicara tentang hubungan antar manusia dan antara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Dan Paulus mengatakan lebih banyak lagi tentang iman, tentang kehidupan di dalam Yesus, tentang kerajaan Allah, dan tentang kualitas hidup sebelum dan sesudah kematian ketimbang yang dapat diringkas dalam satu slogan.
Demikian pula keselamatan tidak dapat direduksi menjadi satu momen saja. Paulus mengatakan bahwa kita “diselamatkan” (Rm. 8:24) dan bahwa kita “akan diselamatkan” (misalnya, Rm. 5:9). Keselamatan adalah suatu proses yang terus-menerus dan bukan suatu peristiwa yang terjadi sekali saja. Allah berinteraksi dengan setiap orang dalam tarian rahmat ilahi dan kesetiaan manusia sepanjang waktu. Tentu saja ada saat-saat yang menentukan dalam proses diselamatkan. Momen sentralnya adalah kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitan dari antara orang mati. Kita “diperdamaikan dengan Allah melalui kematian Anak-Nya,” kata Paulus kepada kita (Rm. 5:10), dan “Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana” (Rm. 8:11).
Masing-masing dari kita mungkin juga menganggap saat pertama kali kita mengatakan kita percaya kepada Kristus sebagai momen yang menentukan dalam keselamatan kita. Namun surat Roma tidak pernah berbicara tentang momen keselamatan pribadi, seolah-olah keselamatan terjadi pada kita di masa lalu dan sekarang berada dalam penyimpanan sampai Kristus datang kembali. Paulus menggunakan bentuk lampau keselamatan hanya untuk berbicara tentang kematian dan kebangkitan Kristus, yaitu momen ketika Kristus membawa keselamatan kepada dunia. Ketika membahas setiap orang percaya, Paulus berbicara tentang proses keselamatan yang berkelanjutan, selalu dalam bentuk waktu sekarang atau masa depan. “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku sehingga diselamatkan” (Rm. 10:10). Bukan “percaya” dan “mengaku,” dalam bentuk lampau, tapi “percaya” dan “mengaku,” dalam bentuk sekarang. Hal ini mengarah langsung kepada, “siapa saja yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan,” dalam bentuk kalimat masa depan (Rm. 10:13). Keselamatan bukanlah sesuatu yang diberikan kepada kita. Keselamatan terus menerus diberikan kepada kita.
Kita bersusah payah menekankan tindakan keselamatan yang berkelanjutan karena kerja adalah salah satu tempat utama di mana kita bertindak dalam kehidupan. Jika keselamatan adalah sesuatu yang hanya terjadi pada kita di masa lalu, maka apa yang kita lakukan di tempat kerja (atau di mana pun dalam hidup) tidak akan relevan. Namun jika keselamatan adalah sesuatu yang terus terjadi dalam hidup kita, maka itu akan membuahkan hasil dalam pekerjaan kita. Lebih tepatnya, karena keselamatan adalah rekonsiliasi dari hubungan-hubungan yang rusak, maka hubungan kita dengan Allah, dengan sesama, dan dengan dunia ciptaan (seperti di mana pun dalam hidup) akan menjadi lebih baik seiring dengan berjalannya proses keselamatan. Sebagai contoh saja, keselamatan kita terlihat ketika kita berani mengungkapkan kebenaran yang tidak populer, mendengarkan pandangan orang lain dengan penuh belas kasihan, membantu rekan kerja mencapai tujuan mereka, dan menghasilkan produk kerja yang membantu orang lain berkembang.
Apakah ini berarti kita harus bekerja—dan terus bekerja—untuk diselamatkan? Sama sekali tidak! Keselamatan datang hanya melalui “anugerah Allah dan karunia-Nya yang dilimpahkan-Nya atas banyak orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Rm. 5:15). Hal itu “berdasarkan iman” (Rm. 4:16) dan bukan pada yang lain. Seperti yang dikatakan N. T. Wright, “Bahasa atau terminologi apa pun yang kita gunakan untuk berbicara tentang anugerah besar yang telah diberikan oleh satu-satunya Allah yang benar kepada umat-Nya di dalam dan melalui Yesus Kristus, itu tetaplah sebuah anugerah. Itu bukanlah sesuatu yang bisa kita upayakan. Kita tidak akan pernah bisa membuat Allah berhutang kepada kita; kita selalu berhutang kepada-Nya.”[1] Kita tidak bekerja untuk diselamatkan. Namun karena kita diselamatkan, kita melakukan pekerjaan yang menghasilkan buah bagi Allah (Rm. 7:4). Kita akan kembali ke pertanyaan tentang bagaimana keselamatan diberikan kepada kita dalam bagian “Penghakiman, Keadilan, dan Iman” di bawah dalam Roma 3.
Singkatnya, keselamatan adalah karya utama Kristus di dunia, tujuan yang selalu “dikejar” oleh orang-orang percaya, seperti yang Paulus katakan (Filipi 3:12). Keselamatan mendasari segala sesuatu yang Paulus dan semua orang percaya lakukan dalam pekerjaan dan kehidupan.
Kebutuhan Kita Akan Keselamatan Dalam Hidup dan Pekerjaan (Roma 1:18–1:32)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita melihat dalam Roma 1:1–17 bahwa keselamatan dimulai dengan rekonsiliasi kepada Allah. Manusia menjadi terasing dari Allah karena “kefasikan dan kelaliman” mereka (Rm. 1:18). “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya`” (Rm. 1:21). Kita diciptakan untuk berjalan dalam keintiman dengan Allah di antara makhluk-makhluk di Taman Eden (Kejadian 1-2), namun hubungan kita dengan Allah menjadi begitu rusak sehingga kita tidak lagi mengenali Allah. Paulus menyebut keadaan ini sebagai “pikiran-pikiran yang terkutuk” (Rm. 1:28).
Karena tidak mempunyai pikiran untuk tetap berada di hadirat Allah yang sebenarnya, kita mencoba membuat ilah-ilah kita sendiri. Kita telah “menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang melata” (Rm. 1:23). Hubungan kita dengan Allah sangat rusak sehingga kita tidak bisa membedakan antara berjalan bersama Allah dan mengukir berhala. Ketika hubungan kita yang sebenarnya dengan Allah yang benar terputus, kita menciptakan hubungan palsu dengan ilah-ilah palsu. Jadi, penyembahan berhala bukan sekedar salah satu dosa di antara dosa-dosa lainnya, namun merupakan inti dari suatu hubungan yang rusak dengan Allah. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai penyembahan berhala, lihat “Jangan membuat bagimu berhala,” Keluaran 20:4, di https://www.teologikerja.org/.)
Ketika hubungan kita dengan Allah rusak, maka hubungan kita dengan sesama pun ikut rusak. Paulus menyebutkan beberapa aspek rusaknya hubungan manusia yang terjadi kemudian.
Penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak berakal budi, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan. (Rm. 1:29–31)
Kita mengalami hampir semua bentuk hubungan yang rusak di tempat kerja. Ketamakan, perselisihan, dan iri hati terhadap posisi atau gaji orang lain, kedengkian dan pemberontakan terhadap mereka yang berotoritas, gosip dan fitnah terhadap rekan kerja dan pesaing, kebohongan dan ketidaksetiaan dalam komunikasi dan komitmen, sikap kurang ajar, keangkuhan, dan kesombongan dari orang-orang yang mengalami kesuksesan, kebodohan dalam mengambil keputusan, tidak berperasaan dan kejamnya mereka yang berkuasa. Tentu saja tidak setiap saat. Beberapa tempat kerja lebih baik dan beberapa lebih buruk. Namun setiap tempat kerja mengetahui konsekuensi dari rusaknya hubungan. Kita semua menderita karenanya. Kita semua berkontribusi dalam menyebabkan hal tersebut.
Kita bahkan mungkin memperparah masalah dengan menjadikan pekerjaan itu sebagai idola, mengabdikan diri kita untuk bekerja dengan harapan sia-sia bahwa pekerjaan itu sendiri akan memberi kita makna, tujuan, keamanan, atau kebahagiaan. Mungkin hal ini tampaknya berhasil untuk sementara waktu, sampai kita tidak lagi dipromosikan atau dipecat, diberhentikan, atau pensiun. Kemudian kita menyadari bahwa pekerjaan akan segera berakhir, dan sementara itu kita telah menjadi orang asing bagi keluarga dan teman-teman kita. Seperti “manusia fana, burung, binatang berkaki empat, dan binatang melata,” pekerjaan diciptakan oleh Allah (Kej. 2:15) dan pada dasarnya baik, namun menjadi jahat ketika ditinggikan derajatnya ke tempat Allah.
Semua Orang Telah Berdosa (Roma 2–3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYang menyedihkan, kehancuran ini bahkan meluas hingga ke tempat kerja Paulus sendiri, gereja Kristen, dan khususnya umat Kristen di Roma. Meskipun mereka adalah umat Allah sendiri (Rm. 9:25), “dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus” (Rm. 1:7), umat Kristen di Roma mengalami perpecahan dalam hubungan mereka satu sama lain. Secara khusus, orang Kristen Yahudi menghakimi orang Kristen non-Yahudi karena tidak memenuhi harapan mereka sendiri, dan sebaliknya. “Tetapi kita tahu bahwa hukuman Allah berlangsung secara adil atas mereka yang berbuat demikian,’” Paulus mencatat (Rm. 2:2). Masing-masing pihak mengklaim bahwa mereka mengetahui penghakiman Allah dan berbicara atas nama Allah. Mengklaim berbicara atas nama Allah membuat perkataan mereka sendiri menjadi berhala, menggambarkan secara mini bagaimana penyembahan berhala (putusnya hubungan dengan Allah) berujung pada penghakiman (putusnya hubungan dengan orang lain).
Kedua belah pihak salah. Kenyataannya adalah baik orang-orang non-Yahudi maupun Yahudi telah menyimpang dari Allah. Orang-orang non-Yahudi, yang seharusnya mengakui kedaulatan Allah atas ciptaan itu sendiri, malah menyerahkan diri mereka kepada penyembahan berhala dan semua perilaku merusak yang diakibatkan oleh kesalahan mendasar ini (Rm. 1:18-32). Sebaliknya, orang-orang Yahudi menjadi kaum yang suka menghakimi, munafik, dan sombong karena mereka adalah penganut Taurat. Paulus merangkum kedua situasi tersebut dengan mengatakan, “Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi berdasarkan hukum Taurat” (Rm. 2:12).
Namun inti masalahnya bukanlah bahwa masing-masing pihak salah memahami harapan Allah. Masalahnya adalah masing-masing pihak saling menghakimi, menghancurkan hubungan yang telah diciptakan Allah. Penting untuk mengenali peran penghakiman dalam argumen Paulus. Penghakiman menyebabkan rusaknya hubungan. Dosa-dosa spesifik yang disebutkan dalam Roma 1:29-31 bukanlah penyebab rusaknya hubungan kita, namun akibat yang ditimbulkannya. Penyebab rusaknya hubungan kita adalah penyembahan berhala (terhadap Allah) dan penghakiman (terhadap manusia). Bahkan, penyembahan berhala dapat dipahami sebagai suatu bentuk penghakiman, penghakiman bahwa Allah tidak memadai dan bahwa kita sendiri dapat menciptakan ilah yang lebih baik. Oleh karena itu, perhatian utama Paulus dalam pasal 2 dan 3 adalah penghakiman kita terhadap orang lain.
Karena itu, hai manusia, siapa pun engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak mempunyai dasar untuk membela diri. Sebab, dengan menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu bahwa hukuman Allah berlangsung secara adil atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, apakah engkau sangka bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah? (Rm. 2:1–3)
Jika kita bertanya-tanya apa yang telah kita lakukan yang membuat kita membutuhkan keselamatan, jawabannya terutama adalah penghakiman dan penyembahan berhala, menurut Paulus. Kita menghakimi orang lain, meskipun kita tidak punya hak untuk melakukannya, dan dengan demikian kita menjatuhkan penghakiman Allah kepada diri kita sendiri saat Dia berupaya memulihkan keadilan sejati. Jika menggunakan metafora modern, hal ini seperti Mahkamah Agung yang menjatuhkan hakim korup di pengadilan yang lebih rendah yang bahkan tidak mempunyai yurisdiksi.
Apakah ini berarti bahwa orang Kristen tidak boleh menilai tindakan seseorang atau menentang orang lain di tempat kerja? Tidak. Karena kita bekerja sebagai agen Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menilai apakah hal-hal yang terjadi di tempat kerja kita mendukung atau menghalangi tujuan Allah dan bertindak sesuai dengan itu (lihat Roma 12:9–13:7 untuk beberapa contoh dari Paulus). Seorang supervisor mungkin perlu mendisiplinkan atau memecat karyawan yang tidak melakukan pekerjaannya dengan memuaskan. Seorang pekerja mungkin perlu melangkahi atasannya untuk melaporkan pelanggaran etika atau kebijakan. Seorang guru mungkin perlu memberi nilai rendah. Seorang pemilih atau politisi mungkin perlu menentang seorang kandidat. Seorang aktivis mungkin perlu memprotes ketidakadilan yang dilakukan perusahaan atau pemerintah. Seorang siswa mungkin perlu melaporkan kecurangan yang dilakukan siswa lain. Korban pelecehan atau diskriminasi mungkin perlu memutuskan kontak dengan pelaku.
Karena kita bertanggung jawab kepada Allah atas hasil pekerjaan kita dan integritas tempat kerja kita, kita perlu menilai tindakan dan niat orang-orang serta mengambil tindakan untuk mencegah ketidakadilan dan melakukan pekerjaan baik. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita menilai kelayakan orang lain sebagai manusia atau menganggap diri kita lebih unggul secara moral. Bahkan ketika kita menentang tindakan orang lain, kita tidak menghakimi mereka.
Terkadang sulit untuk membedakannya, namun Paulus memberi kita beberapa panduan yang ternyata praktis. Hormati hati nurani orang lain. Allah telah menciptakan semua orang sedemikian rupa sehingga “isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi” (Rm. 2:15). Jika orang lain benar-benar mengikuti hati nuraninya, maka bukan tugas Anda untuk menghakimi mereka. Namun jika Anda menempatkan diri Anda sebagai orang yang lebih unggul secara moral, menyalahkan orang lain karena mengikuti pedoman moral mereka sendiri, Anda mungkin sedang menghakimi dengan cara yang “engkau sendiri tidak mempunyai dasar” (Rm. 2:1).
Penghakiman, Sumber Rusaknya Hubungan (Roma 3:1–20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApa yang dapat dilakukan terhadap dunia yang terdiri dari orang-orang yang terpisah dari Allah karena penyembahan berhala dan satu sama lain karena penghakiman? Keadilan Allah yang sejati adalah jawabannya. Dalam Roma 3, ketika Paulus menggambarkan apa yang terjadi dalam keselamatan, ia menempatkannya dalam konteks keadilan Allah. “Ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah” (Rm. 3:5).
Sebelum melanjutkan, kita perlu menjelaskan sedikit tentang terminologi keadilan dan kebenaran. Paulus menggunakan kata Yunani dikaiosynē untuk keadilan, dan berbagai bentuknya, sebanyak tiga puluh enam kali dalam kitab Roma. Kata ini paling sering diterjemahkan sebagai “kebenaran” dan lebih jarang diterjemahkan sebagai “keadilan” (atau “pembenaran”). Namun keduanya sama dalam bahasa Paulus. Penggunaan utama dikaiosynē adalah di pengadilan, di mana orang mencari keadilan untuk memulihkan situasi yang tidak benar. Oleh karena itu, keselamatan berarti dibenarkan di hadapan Allah (kebenaran) dan di hadapan sesama serta seluruh ciptaan (keadilan). Eksplorasi sepenuhnya mengenai hubungan antara kata keselamatan, pembenaran, kebenaran, dan keselamatan berada di luar cakupan pasal ini tetapi akan dibahas dalam tafsiran umum mana pun mengenai Roma.[1]
Jika hal ini tampak abstrak, bertanyalah kepada diri Anda apakah Anda dapat melihat implikasi nyata dalam praktiknya. Apakah memang penilaian (yang salah) yang dibuat orang terhadap satu sama lain merupakan akar dari rusaknya hubungan dan ketidakadilan di tempat Anda bekerja? Misalnya, jika seorang manajer dan karyawan tidak sepakat mengenai penilaian kinerja karyawan, manakah yang menyebabkan kerugian lebih besar—kesenjangan kinerja itu sendiri atau permusuhan yang timbul dari penilaian mereka? Atau jika seseorang bergosip tentang orang lain di tempat kerja, mana yang menyebabkan kerugian lebih besar—rasa malu terhadap hal yang digosipkan atau rasa tidak suka terhadap penilaian yang diungkapkan oleh nada bicara si penggosip dan cibiran para pendengar?
Jika penilaian kita yang salah adalah akar dari rusaknya hubungan kita dengan Allah, sesama, dan ciptaan, bagaimana kita bisa mendapatkan keselamatan? Hal yang kita perlukan—keadilan/kebenaran—adalah satu hal yang paling tidak mampu kita lakukan. Sekalipun kita ingin dikembalikan ke hubungan yang benar, ketidakmampuan kita untuk menilai dengan benar berarti semakin keras kita berusaha, semakin buruk masalah yang kita buat. “Siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Paulus menangis (Rm. 7:24).
Kita tidak bisa berharap untuk diselamatkan oleh orang lain, karena mereka juga berada dalam situasi yang sama dengan kita. “Semua manusia pembohong,” kata Paulus kepada kita (Rm. 3:4). “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak; tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak” (Rm. 3:10–12). “Semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23).
Namun masih ada harapan—bukan pada kemanusiaan, namun pada kesetiaan Allah. “Jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?” Paulus bertanya. " Sekali-kali tidak!" jawabnya (Rm 3:3–4). Sebaliknya, “ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah”. Ini berarti tempat kerja kita adalah tempat bagi anugerah, sama seperti gereja atau keluarga kita. Jika kita merasa tempat kerja kita terlalu sekuler, terlalu tidak etis, terlalu bermusuhan terhadap iman, terlalu penuh dengan orang-orang yang serakah dan tidak punya hati, maka tepat di sinilah salib Kristus efektif! Anugerah Allah dapat mewujudkan rekonsiliasi dan keadilan di pabrik, perkantoran, atau pompa bensin, sama penuhnya dengan di katedral, biara, atau gereja. Injil Paulus bukan hanya untuk gereja, tetapi untuk seluruh dunia.
Keadilan Allah Melalui Yesus, Solusi Bagi Penghakiman Kita yang Keliru (Roma 3:21–26)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMengingat penilaian kita palsu dan munafik, bagaimana kita bisa menemukan kebenaran dan keadilan? Ini adalah pertanyaan yang mengarah ke inti dramatis Roma 3. Respons Allah adalah salib Kristus. Allah memberikan keadilan/kebenaran-Nya kepada kita karena kita sendiri tidak mampu menghadirkan keadilan/kebenaran. Allah melaksanakan hal ini melalui salib Yesus, yang padanya Ia menunjukkan bahwa “Ia adil dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus” (Rm. 3:26).
Alat Allah mencapai hal ini adalah melalui kematian dan kebangkitan Yesus. “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm. 5:8). Allah sendiri memilih untuk menerima salib Kristus seolah-olah itu adalah korban suci penebusan di bait suci Yahudi (Rm. 3:25). Seperti pada Hari Raya Pendamaian, Allah memilih untuk mengabaikan kesalahan manusia untuk membangun semacam permulaan baru bagi semua orang yang beriman. Dan meskipun Yesus adalah seorang Yahudi, Allah menganggap salib sebagai tawaran keselamatan bagi semua orang. Melalui salib, setiap orang dapat dikembalikan ke hubungan yang benar dengan Allah.
Meskipun kita tidak memiliki kebenaran/keadilan, Allah memiliki keduanya dalam jumlah yang tidak terbatas. Melalui salib Yesus, Allah memberi kita kebenaran/keadilan yang memulihkan hubungan kita yang rusak dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan. Ketika Allah memberi kita keselamatan, Dia memberi kita kebenaran/keadilan.
Kebenaran Allah telah dinyatakan, dan dibuktikan melalui hukum Taurat dan kitab para nabi, kebenaran Allah melalui iman kepada Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan, karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah; mereka sekarang dibenarkan karena kasih karunia-Nya sebagai suatu anugerah, melalui penebusan dalam Kristus Yesus, yang oleh darah-Nya telah diajukan oleh Allah sebagai korban penebusan, yang efektif melalui iman. Dia melakukan ini untuk menunjukkan kebenaran-Nya, karena dalam kesabaran ilahi Dia telah melupakan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya; hal itu untuk membuktikan pada saat ini bahwa Dia sendiri adalah orang benar dan bahwa Dia membenarkan orang yang beriman kepada Yesus. (Rm. 3:21–26; penekanan ditambahkan)
Salib adalah keadilan Allah yang mengejutkan—mengejutkan karena walaupun Allah bukan pendosa, Allah yang melakukan pengorbanan. Apakah ada maknanya di tempat kerja sekuler saat ini? Ini bisa menjadi catatan yang penuh harapan. Dalam situasi-situasi di mana masalah-masalah di tempat kerja disebabkan oleh kesalahan atau ketidakadilan kita sendiri, kita dapat mengandalkan kebenaran/keadilan Allah untuk mengatasi kegagalan kita. Sekalipun kita tidak dapat memperbaiki diri kita sendiri, Allah dapat melakukan kebenaran/keadilan-Nya di dalam kita dan melalui kita. Dalam situasi di mana kesalahan dan ketidakadilan orang lain menyebabkan masalah, kita mungkin dapat memperbaiki keadaan dengan mengorbankan sesuatu dari diri kita sendiri—meniru Juruselamat kita—meskipun bukan kita yang menyebabkan masalah tersebut.
Misalnya, pertimbangkan suatu kelompok kerja yang beroperasi dalam budaya saling menyalahkan. Ketimbang bekerja sama untuk memperbaiki masalah, orang-orang menghabiskan seluruh waktunya untuk menyalahkan orang lain setiap kali masalah muncul. Jika tempat kerja Anda merupakan budaya menyalahkan, itu mungkin bukan kesalahan Anda. Mungkin atasan Andalah pelaku utama sikap menyalahkan. Meski begitu, bisakah pengorbanan Anda membawa rekonsiliasi dan keadilan? Lain kali saat atasan mulai menyalahkan seseorang, bayangkan jika Anda berdiri dan berkata, "Saya ingat saya mendukung gagasan ini terakhir kali kita membicarakannya, jadi sebaiknya Anda menyalahkan saya juga." Bagaimana jika setelah itu, dua atau tiga orang lainnya melakukan hal yang sama bersama Anda? Apakah hal ini akan membuat permainan saling menyalahkan menjadi berantakan? Anda mungkin akan mengorbankan reputasi Anda, persahabatan Anda dengan atasan, bahkan prospek pekerjaan Anda di masa depan. Namun mungkinkah hal ini juga dapat menghilangkan cengkeraman sikap menyalahkan dan menghakimi dalam kelompok kerja Anda? Bisakah Anda mengharapkan kasih karunia Allah mengambil peran aktif melalui pengorbanan Anda?
Iman yang Patut Diteladani: Abraham Percaya pada Janji Allah (Roma 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti yang telah kita lihat dalam Roma 1-3, salib Kristus membawa keselamatan bagi semua orang—baik orang Yahudi maupun non-Yahudi. Di dalam Kristus, Allah mengembalikan semua manusia ke dalam hubungan yang benar dengan Allah dan satu sama lain tanpa memperhatikan ketentuan hukum Yahudi. Oleh karena itu, fokus utama Paulus di seluruh surat Roma adalah menolong orang-orang Kristen yang terpecah belah dan berselisih di Roma untuk mendamaikan hubungan mereka yang rusak agar dapat hidup dengan setia sesuai dengan apa yang telah dicapai Allah di dalam Kristus.
Namun, penafsiran mengenai kematian Kristus ini menimbulkan masalah bagi Paulus, karena ia menulis surat ini bukan hanya kepada orang-orang non-Yahudi yang tidak disunat tetapi juga kepada orang-orang Yahudi yang disunat, yang menganggap hukum masih penting. Lebih jauh lagi, penafsiran Paulus tampaknya mengabaikan kisah Abraham, yang dianggap sebagai “bapak” orang Yahudi, yang pada kenyataannya disunat sebagai tanda perjanjiannya dengan Allah (Kej. 17:11). Bukankah kisah Abraham menunjukkan bahwa untuk memasuki perjanjian Allah diperlukan sunat pada laki-laki bagi semua orang, baik Yahudi maupun non-Yahudi?
“Tidak,” bantah Paulus dalam Roma 4. Menafsirkan kisah Abraham dari Kejadian 12:1–3, 15:6, dan 17:1–14, Paulus menyimpulkan bahwa Abraham mrmiliki iman bahwa Allah akan menepati firman-Nya dan menjadikan Abraham yang tidak mempunyai anak sebagai bapak banyak bangsa melalui istrinya yang mandul, Sarah. Akibatnya, Allah memperhitungkan iman Abraham sebagai kebenaran (Rm. 4:3, 9, 22). Paulus mengingatkan para pembacanya bahwa pengakuan Allah atas kebenaran Abraham terjadi jauh sebelum Abraham disunat, yang terjadi di kemudian hari sebagai tanda imannya yang sudah ada kepada Allah (Rm. 4:10-11).
Dengan kata lain, pada saat itu Allah menganggap iman Abraham sebagai pemulihan hubungannya dengan Allah, Abraham mempunyai status yang sama dengan orang non-Yahudi yang tidak disunat dalam dunia Paulus. Jadi, Paulus menyimpulkan, Abraham menjadi bapa orang Yahudi dan non-Yahudi melalui kebenaran iman, bukan kebenaran berdasarkan hukum Yahudi (Rm. 4:11-15).
Teladan Abraham dalam Roma 4 memberikan harapan besar bagi umat Kristen terhadap kerja dan tempat kerja kita. Teladan Abraham dalam mempercayai janji-janji Allah—walaupun keadaan sulit dan rintangan yang tampaknya mustahil—meneguhkan agar kepercayaan kita tidak goyah ketika kita menghadapi tantangan di tempat kerja atau ketika Allah tampaknya tidak hadir (lihat Rm. 4:19). Allah tidak serta merta menggenapi janji kepada Abraham, yang semakin mendorong kita untuk bersabar menantikan Allah memperbaharui atau menebus keadaan hidup kita.
Kasih Karunia Berdaulat untuk Kehidupan Kekal Melalui Yesus Kristus (Roma 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam Roma 5 Paulus mengaitkan karunia kebenaran ilahi ini dengan ketaatan Kristus dan anugerah yang kini mengalir ke dunia melalui Dia. Beberapa fitur penting dalam bab ini menjelaskan pengalaman kerja kita.
Kasih Karunia Mengubah Penderitaan dalam Kehidupan Kita di Dalam Kristus (Roma 5:1–11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam Roma 5:1-11, Paulus memberikan lebih banyak dorongan semangat dengan mengingatkan jemaat Roma bahwa melalui Kristus kita telah “beroleh jalan masuk” kepada anugerah, dan “di dalam anugerah ini kita berdiri” (Rm. 5:2). Anugerah melambangkan kuasa Allah yang memberi kehidupan yang membangkitkan Yesus dari kematian. Anugerah terus membawa kehidupan yang baru dan lebih berkelimpahan ke dalam dunia kepada dan melalui para pengikut Kristus. Dengan menjalani kehidupan Kristus yang taat dalam iman dan kesetiaan dalam keadaan kita sendiri, kita mengalami anugerah Allah yang memberi kehidupan yang dapat memberi kita sukacita dan damai sejahtera di tempat kerja, di rumah, dan dalam setiap konteks kehidupan.
Meski demikian, mempercayai anugerah Allah sering kali menuntut kesabaran yang teguh dalam menghadapi banyak tantangan. Sama seperti Kristus menderita dalam ketaatan-Nya kepada Allah, kita pun mungkin mengalami penderitaan ketika kita mewujudkan kehidupan iman dan kesetiaan Kristus. Paulus bahkan mengatakan bahwa ia “bermegah” atas penderitaannya (Rm. 5:3), mengetahui bahwa penderitaannya adalah bagian dari penderitaan yang Yesus alami dalam misi-Nya untuk mendamaikan dunia dengan Allah (Rm. 8:17–18). Terlebih lagi, penderitaan seringkali membawa pertumbuhan.
Bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketabahan, dan ketabahan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. (Rm. 5:3–5)
Oleh karena itu Allah tidak menjanjikan bahwa hidup dan kerja akan selalu membahagiakan bagi orang beriman. Banyak orang menderita dalam kerja. Kerja bisa jadi membosankan, merendahkan, memalukan, melelahkan, dan tidak berperasaan. Kita bisa saja dibayar rendah, terancam, dan didiskriminasi. Kita bisa ditekan untuk melanggar hati nurani kita dan prinsip-prinsip Allah. Kita bisa dipecat, diberhentikan, tidak diberi tugas, mengalami perampingan, diberhentikan, menganggur atau setengah menganggur untuk jangka waktu lama. Kita dapat mendatangkan penderitaan pada diri kita sendiri karena kesombongan, kecerobohan, ketidakmampuan, keserakahan, atau kejahatan kita terhadap orang lain. Kita bisa menderita bahkan dalam pekerjaan yang bagus. Kita tidak boleh puas dengan pelecehan atau penganiayaan di tempat kerja, namun ketika kita harus menanggung penderitaan di tempat kerja, tidak semuanya sia-sia. Anugerah Allah dicurahkan kepada kita saat kita menderita, dan itu membuat kita lebih kuat jika kita tetap setia.
Sebagai contoh, menyiapkan lahan dan merawat tanaman tidak dapat menjamin bahwa biji-bijian akan tumbuh tinggi atau sayur-sayuran akan siap panen. Cuaca buruk, kekeringan, serangga, dan penyakit busuk daun dapat merusak hasil panen. Namun, melalui anugerah, para petani dapat menerima semua aspek alam ini, sambil memercayai pemeliharaan Allah. Hal ini pada gilirannya membentuk karakter petani yang sabar dan setia, serta sangat peduli terhadap seluruh ciptaan Allah. Menghargai alam secara mendalam, pada gilirannya, dapat menjadi aset besar bagi pekerjaan bertani.
Demikian pula, anugerah memberdayakan kita untuk tetap setia dan penuh harapan bahkan ketika majikan bagi siapa kita bekerja menutup pintunya selama masa ekonomi sulit. Demikian pula, kuasa Allah yang memberi kehidupan menyokong banyak orang muda berpendidikan tinggi yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Anugerah juga menginspirasi tim untuk tekun dalam mengembangkan produk baru, bahkan setelah kegagalan berulang kali, karena mengetahui bahwa apa yang mereka pelajari dari kegagalan itulah yang membuat produk menjadi lebih baik.
Kasih Allah menopang kita melalui segala macam penderitaan dalam hidup dan pekerjaan. “Pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita.” Bahkan ketika penderitaan mengancam untuk mengeraskan hati kita, kasih Allah menjadikan kita agen rekonsiliasi-Nya, yang telah kita terima di dalam Kristus (Rm. 10-11).
Berjalan dalam Hidup yang Baru (Roma 6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun kasih karunia Allah telah datang ke dalam dunia untuk membawa rekonsiliasi dan keadilan, masih ada kekuatan roh jahat yang bekerja melawan kuasa kasih karunia Allah yang memberi kehidupan (Rm. 6:14). Paulus sering mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan rohani yang jahat ini, dengan menyebut mereka dengan nama “dosa” (Rm. 6:2), “daging” (Rm. 7:5), “maut” (Rm. 6:9), atau “dunia ini” (Rm. 12:2). Manusia harus memilih apakah, melalui tindakannya dalam kehidupan sehari-hari, akan bermitra dengan Allah melalui Kristus atau dengan kekuatan-kekuatan jahat ini. Paulus menyebut memilih untuk bermitra dengan Allah sebagai “hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4). Ia membandingkan berjalan dalam hidup yang baru dengan hidup baru Kristus setelah dibangkitkan dari kematian. “Sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita dimungkinkan hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4). Dalam kehidupan kita di sini dan saat ini, kita dapat mulai hidup—atau “berjalan”—dalam rekonsiliasi dan keadilan seperti halnya Kristus hidup saat ini.
Menjalani kehidupan yang baru menuntut kita untuk meninggalkan sikap menghakimi dan melakukan keadilan Allah ketimbang terus melakukan kebiasaan mementingkan diri sendiri (Rm. 6:12-13). Sebagai instrument-instrumen keadilan Allah, orang-orang percaya bertindak dengan cara-cara yang melaluinya kuasa kasih karunia Allah yang memberi kehidupan membangun manusia dan komunitas di dalam Kristus. Ini jauh lebih aktif daripada sekedar menahan diri dari perilaku buruk. Panggilan kita adalah menjadi instrumen keadilan dan rekonsiliasi, berupaya menghilangkan dampak dosa di dunia yang bermasalah.
Misalnya, para pekerja mungkin mempunyai kebiasaan menilai manajemen sebagai jahat atau tidak adil, dan sebaliknya. Hal ini mungkin menjadi dalih yang tepat bagi pekerja untuk menipu perusahaan, menggunakan waktu berbayarnya untuk aktivitas pribadi, atau gagal melakukan pekerjaan dengan baik. Sebaliknya, hal ini bisa menjadi alasan yang tepat bagi para manajer untuk melakukan diskriminasi terhadap pekerja yang tidak mereka sukai secara pribadi, atau untuk menghindari peraturan keselamatan atau keadilan di tempat kerja, atau untuk menyembunyikan informasi dari pekerja. Sekadar mengikuti peraturan atau tidak berbuat curang bukanlah berjalan dalam kehidupan yang baru. Sebaliknya, berjalan dalam kehidupan yang baru pertama-tama akan menuntut kita untuk melepaskan penilaian kita terhadap pihak lain. Ketika kita tidak lagi menganggap mereka tidak layak kita hormati, maka kita dapat mulai mencari cara-cara spesifik untuk memulihkan hubungan baik, membangun kembali hubungan yang adil dan adil satu sama lain, dan saling membangun satu sama lain dan organisasi kita.
Membuat perubahan seperti ini dalam kehidupan dan pekerjaan kita sangatlah sulit. Paulus berkata bahwa dosa terus-menerus berusaha untuk “berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu … menuruti keinginannya.” Seberapa pun baiknya niat kita, kita akan segera kembali ke jalan yang rusak. Hanya kasih karunia Allah, yang diwujudkan dalam kematian Kristus, yang mempunyai kuasa untuk membebaskan kita dari kebiasaan menghakimi (Rm. 6:6).
Oleh karena itu, kasih karunia Allah tidak membuat kita “bebas” untuk mengembara tanpa tujuan dan kembali ke penyakit lama kita. Sebaliknya ia menawarkan untuk mengikat kita ke dalam kehidupan baru di dalam Kristus. Ikatan yang mengikat kita akan lecet setiap kali kita mulai menyimpang dari jalur, dan Paulus mengakui bahwa berjalan dalam hidup yang baru akan terasa seperti perbudakan pada awalnya. Maka, pilihan kita adalah perbudakan jenis apa yang harus kita terima—perbudakan terhadap kehidupan yang baru atau perbudakan terhadap dosa-dosa lama kita. “Apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk menaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, entah itu dosa yang memimpin kamu kepada kematian, entah itu ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran [keadilan]” (Rm. 6:16). “Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal” (Rm. 6:22). Keuntungan berjalan dalam hidup yang baru bukanlah bahwa hal itu terasa lebih bebas daripada perbudakan dosa, namun hal itu menghasilkan keadilan dan kehidupan, bukannya rasa malu dan kematian.
Berjalan dalam Kehidupan Baru di Tempat Kerja (Roma 6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApa artinya menjadi “hamba” kasih karunia Allah di tempat kerja kita? Artinya, kita tidak mengambil keputusan di tempat kerja berdasarkan pada bagaimana berbagai hal berpengaruh terhadap kita, namun berdasarkan pengaruhnya terhadap tuan kita, Allah. Kita membuat keputusan sebagai penatalayan atau agen Allah. Ini sebenarnya adalah konsep yang lazim baik dalam iman Kristen maupun di tempat kerja sekuler. Dalam iman Kristen, Kristus sendiri adalah teladan penatalayan, yang menyerahkan nyawa-Nya demi menggenapi tujuan Allah. Demikian pula, banyak orang di tempat kerja mempunyai kewajiban untuk melayani kepentingan sesama, bukan kepentingan mereka sendiri. Di antaranya adalah pengacara, pejabat perusahaan, agen, wali dan dewan direksi, hakim, dan banyak lainnya. Tidak banyak penatalayan atau agen di tempat kerja yang memiliki komitmen seperti Yesus—bersedia memberikan nyawa mereka untuk memenuhi tugas mereka—tetapi konsep melakukan pelayanan adalah kenyataan sehari-hari di tempat kerja.
Bedanya bagi umat Kristen, tanggungjawab kita pada akhirnya adalah kepada Allah, bukan kepada negara, pemegang saham, atau siapa pun. Misi utama kita haruslah keadilan dan rekonsiliasi Allah, bukan sekedar menaati hukum, mencari keuntungan, atau memuaskan harapan manusia. Berbeda dengan pernyataan Albert Carr yang menyatakan bahwa bisnis hanyalah sebuah permainan di mana aturan etika yang normal tidak berlaku,[1] berjalan dalam kehidupan yang baru berarti mengintegrasikan keadilan dan rekonsiliasi ke dalam kehidupan kita di tempat kerja.
Misalnya, menjalani hidup yang baru bagi seorang guru sekolah menengah atas mungkin berarti berulang kali memaafkan seorang siswa yang pemberontak dan menyusahkan, sekaligus mencari cara baru untuk menjangkau siswa tersebut di kelas. Bagi seorang politisi, menjalani kehidupan yang baru mungkin berarti merancang undang-undang baru yang mencakup masukan dari aneka perspektif ideologis yang berbeda. Bagi seorang manajer, ini mungkin berarti meminta maaf kepada karyawannya di depan semua orang yang mengetahui pelanggarannya terhadap karyawan tersebut.
Berjalan dalam kehidupan yang baru menuntut kita untuk melihat secara mendalam pola kerja kita. Pembuat roti atau koki mungkin dengan mudah melihat bagaimana pekerjaan mereka membantu memberi makan orang-orang yang kelaparan, dan hal ini merupakan bentuk keadilan. Pembuat roti dan koki yang sama mungkin juga perlu melihat lebih dalam interaksi pribadi mereka di dapur. Apakah mereka memperlakukan orang lain dengan bermartabat, membantu orang lain sukses, dan memuliakan Allah? Berjalan dalam kehidupan yang baru mempengaruhi tujuan yang ingin kita capai dan cara yang kita gunakan untuk mencapainya.
Kuasa “Dosa” yang Menyebar Luas (Roma 7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam pasal 7, Paulus terus menekankan bahwa kehidupan baru di dalam Kristus memerdekakan kita dari “kurungan” dari “keadaan lama menurut huruf” yaitu hukum Taurat (Rm. 7:6). Meskipun demikian, hukum itu sendiri bukanlah masalah bagi keberadaan manusia, karena “hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar, dan baik” (Rm. 7:12). Sebaliknya, Paulus menyimpulkan, masalahnya adalah kuasa melawan Allah yang disebutnya sebagai “dosa” yang berdiam dalam diri manusia (Rm. 7:13). Dosa telah memanfaatkan perintah-perintah hukum dengan menggunakannya sebagai alat untuk menipu manusia (Rm. 7:11), sehingga menghalangi setiap orang untuk dapat menaati hukum sebagaimana yang Allah kehendaki (Rm. 7:14, 17, 23).
Kuasa dosa bukan sekedar membuat pilihan yang buruk atau melakukan hal-hal yang kita tahu tidak seharusnya kita lakukan. Kuasa dosa bagaikan suatu kekuatan jahat telah menyerbu wilayah rohani setiap orang dan mengambil kendali, “terjual di bawah kuasa dosa,” demikian Paulus menyebutnya (Rm. 7:14). Di bawah perbudakan dosa ini, kita tidak mampu melakukan kebaikan yang diperintahkan dalam sepuluh perintah Allah dan kita ketahui dalam hati kita (Rm. 7:15-20). Hal ini terjadi meskipun kita mempunyai niat baik untuk melakukan apa yang Allah kehendaki (Rm. 7:15–16, 22).
Dengan kata lain, pengetahuan tentang apa yang baik tidak cukup untuk mengalahkan kuasa dosa yang menyerang kita! “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku lakukan, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku lakukan” (Rm. 7:19). Kita dapat diselamatkan dari penderitaan ini hanya melalui campur tangan kekuatan rohani lain yang lebih kuat—Roh Kudus yang menjadi fokus dalam Roma 8.
Kita sangat menyadari bahwa mengetahui apa yang Allah inginkan tidaklah cukup untuk membuat kita tetap berada di jalur yang benar dalam situasi kerja. Misalnya saja, meskipun kita sadar bahwa Allah ingin kita memperlakukan semua orang dengan hormat, kita terkadang terjerumus ke dalam persepsi yang salah bahwa kita bisa maju jika mengatakan hal-hal yang buruk tentang rekan kerja. Demikian pula dalam tugas membesarkan anak, para ibu dan ayah tahu bahwa membentak anak kecil dalam keadaan marah adalah hal yang tidak baik. Namun terkadang kuasa dosa menguasai mereka dan mereka tetap melakukannya. Seorang pengacara yang membebankan biaya kepada kliennya atas jasanya per jam tahu bahwa ia harus menyimpan catatan waktu dengan cermat, namun tetap saja ia dikuasai oleh dosa untuk menambah jam kerjanya guna meningkatkan penghasilannya.
Sendirian, kita sangat rentan terhadap kuasa dosa di dalam diri kita. Di mana pun kita bekerja, sebaiknya kita mencari sesama (Rm. 12:5) dan saling menolong satu sama lain melawan kekuatan yang mencoba menguasai keinginan kita untuk melakukan apa yang benar dan baik. Misalnya, sejumlah kecil orang Kristen yang terus bertambah jumlahnya, bergabung dengan kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang bekerja dalam situasi serupa. Kelompok sejawat bertemu mulai dari satu jam sekali seminggu, seringkali di lokasi kerja, hingga setengah hari sekali dalam sebulan. Para anggota berkomitmen untuk saling menceritakan rincian situasi yang mereka hadapi di tempat kerja dan mendiskusikannya dari sudut pandang iman, mengembangkan opsi-opsi dan berkomitmen pada rencana tindakan. Seorang anggota mungkin menggambarkan konflik dengan rekan kerja, penyimpangan etika, perasaan tidak berarti, kebijakan perusahaan yang terkesan tidak adil. Setelah mendapatkan wawasan dari anggota lain, anggota tersebut akan berkomitmen pada serangkaian tindakan sebagai tanggapan dan melaporkan kepada kelompok tentang hasil pada pertemuan mendatang. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai hal ini, lihat “Equipping Churches Connect Daily Work to Worship” di https://www.teologikerja.org/.)
Menderita Bersama Kristus Agar Dimuliakan Bersama Kristus (Roma 8:15–17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus membandingkan kehidupan dalam Roh dengan kehidupan di bawah hukum Yahudi. Paulus berkata bahwa orang-orang percaya telah menerima “Roh yang menjadikan kamu anak Allah”, bukan “roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi” (Rm. 8:15). Setiap orang yang “milik” Kristus (Rm. 8:9-10) kini menjadi anak adopsi Allah. Sebaliknya, mereka yang berada di bawah hukum hidup dalam perbudakan kuasa dosa dan juga dalam ketakutan—mungkin takut akan ancaman hukuman bagi ketidaktaatan. Orang-orang percaya terbebas dari rasa takut ini, karena “sekarang sama sekali tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm. 8:1). Ketika kita hidup dengan setia di dalam Kristus, kita tidak menghadapi ancaman hukuman dari hukum Taurat, bahkan ketika kita melakukan kesalahan dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari. Kesulitan dan kegagalan mungkin masih menodai pekerjaan kita, namun tanggapan Allah bukanlah penghukuman melainkan penebusan. Allah akan menghasilkan sesuatu yang berharga dari pekerjaan setia kita, tidak peduli betapa buruknya hal itu saat ini.
Setidaknya ada dua aspek dari ayat-ayat ini yang mempengaruhi pendekatan kita terhadap pekerjaan atau kehidupan di tempat kerja kita. Pertama, sebagai anak angkat Allah, kita tidak pernah sendirian dalam kerja kita. Tidak peduli seberapa besar ketidakpuasan atau frustrasi kita terhadap orang-orang di tempat kita bekerja, atau terhadap pekerjaan, atau bahkan kurangnya dukungan terhadap pekerjaan dari keluarga kita, Roh Allah di dalam Kristus tetap tinggal bersama kita. Allah selalu mencari kesempatan untuk menebus penderitaan kita dan mengubahnya menjadi sesuatu yang baik dan memuaskan dalam hidup kita. Seperti yang telah kita amati sebelumnya sehubungan dengan Roma 5, setia menanggung kesulitan dan penderitaan dalam pekerjaan kita dapat menuntun pada pembentukan karakter kita dan mendasari harapan kita untuk masa depan. (Lihat bagian “Kasih Karunia Mengubah Penderitaan dalam Kehidupan Kita di Dalam Kristus,” di atas dalam Roma 5:1–11.)
Kedua, pada suatu waktu, kebanyakan orang mengalami kegagalan, frustrasi, dan kesulitan dalam kerja mereka. Pekerjaan kita meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak kita miliki, bahkan kewajiban yang sederhana seperti datang tepat waktu setiap hari. Dengan setia menghadapi tantangan-tantangan ini sebenarnya dapat membuat pekerjaan lebih bermanfaat dan memuaskan. Seiring berjalannya waktu, pengalaman-pengalaman ini memberi kita keyakinan yang lebih besar akan kehadiran Allah yang menebus dan pengalaman yang lebih besar akan Roh-Nya yang memotivasi dan memberi energi.
Dalam beberapa situasi, Anda mungkin disambut dan dipromosikan karena membawa rekonsiliasi dan keadilan di tempat kerja Anda. Dalam situasi lain Anda mungkin ditolak, diancam, dihukum, atau dipecat. Misalnya saja, hubungan yang buruk merupakan suatu hal yang disayangkan di banyak tempat kerja. Satu departemen mungkin biasa menyabotase pencapaian departemen lain. Perselisihan antara manajer dan pekerja mungkin sudah melembaga. Orang mungkin diteror oleh pengganggu di kantor, kelompok akademis, geng di toko, garis pemisah ras, atau atasan yang kejam. Jika Anda membawa rekonsiliasi dalam situasi seperti ini, produktivitas dapat meningkat, pergantian pekerja dapat berkurang, semangat kerja dapat meningkat, layanan pelanggan dapat pulih kembali, dan Anda mungkin dipuji atau dipromosikan. Di sisi lain, para penindas, kelompok, geng, perpecahan ras, dan atasan yang kejam hampir pasti akan menentang Anda.
Menantikan Penebusan Tubuh bagi Diri Kita Sendiri dan Ciptaan Allah (Roma 8:18–30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Dipermuliakan” bersama Kristus (Rm. 8:17) adalah harapan kita di masa depan. Namun menurut Paulus harapan itu adalah bagian dari suatu proses yang sudah berjalan. Kita harus menjalaninya dengan sabar, dengan harapan bahwa pada suatu saat hal itu akan tergenapi (Rm. 8:18-25). Karunia Roh Kudus yang telah diterima sebagai “buah sulung” dari proses ini (Rm. 8:23) menandakan pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah (Rm. 8:14-17, 23). Hal ini merupakan bukti bahwa proses sedang berlangsung.
Proses ini mencapai puncaknya pada “pembebasan tubuh kita” (Rm. 8:23). Ini bukanlah penyelamatan jiwa kita dari tubuh fisik kita, melainkan transformasi tubuh kita bersama seluruh ciptaan (Rm. 8:21). Proses ini telah dimulai, dan kita merasakan “buah sulungnya” (Rm. 8:24) dalam kehidupan dan pekerjaan kita saat ini. Namun masih banyak hal yang lebih baik yang akan terjadi, dan saat ini “segala mahluk” mengerang dalam “sakit bersalin” karena mereka sangat menantikan untuk dibebaskan dari “perbudakan kebinasaan” mereka sendiri (Rm. 8:19-23). Paulus dengan jelas mengambil gambaran dari Kejadian 2–3, di mana tidak hanya Adam tetapi juga ciptaan itu sendiri yang mengalami kebinasaan dan kematian, tidak dapat lagi hidup sesuai dengan apa yang telah Allah ciptakan. Hal ini mengingatkan kita untuk mempertimbangkan dampak pekerjaan kita terhadap seluruh ciptaan Allah, bukan hanya pada manusia. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini, lihat “Kekuasaan” dalam Kejadian 1:26 dan 2:5 di https://www.teologikerja.org/)
Prosesnya lambat dan terkadang menyakitkan. Kita “mengeluh” sambil menunggu hal itu terlaksana, kata Paulus, dan bukan hanya kita secara individu tetapi “segala mahluk … sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm. 8:22–23). Hal ini menggemakan keluh kesah Israel ketika diperbudak di Mesir (Kel. 6:5) dan mengingatkan kita bahwa hampir 30 juta orang masih diperbudak di dunia saat ini.[1] Kita tidak pernah bisa puas hanya dengan dilepaskannya diri kita dari kekuatan jahat di dunia, namun kita harus melayani Allah dengan setia sampai Dia menyelesaikan keselamatan-Nya di setiap belahan dunia.
Meskipun demikian, keselamatan dunia adalah sesuatu yang pasti, karena “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28). Allah sedang bekerja di dalam kita sekarang, dan waktunya akan tiba ketika keselamatan Allah akan sempurna di dunia. Keputusan awal Allah, “sungguh amat baik” (Kej. 1:31) dibuktikan dengan transformasi yang terjadi di dalam diri kita saat ini, yang akan digenapi pada waktu Allah.
Karena transformasi belum selesai, kita harus bersiap menghadapi kesulitan yang ada di sepanjang perjalanan. Terkadang kita melakukan pekerjaan baik, hanya untuk melihatnya disia-siakan atau dihancurkan oleh kejahatan yang ada saat ini di dunia. Sekalipun kita melakukan pekerjaan dengan baik, pekerjaan kita mungkin saja dirusak. Rekomendasi kita mungkin dikurangi tingkat kedalamannya. Kita mungkin kehabisan modal, kalah dari kandidat yang brengsek dalam pemilu, tenggelam dalam birokrasi, gagal memenuhi kepentingan mahasiswa. Atau kita mungkin berhasil untuk sementara waktu, dan kemudian mendapati hasil kita tenggelam oleh karena kejadian di kemudian hari. Petugas kesehatan, misalnya, telah beberapa kali berada di ambang pemberantasan polio, namun justru menghadapi wabah baru akibat oposisi politik, kebodohan, penularan terkait vaksin, dan pesatnya perjalanan modern.[2]
Tidak Ada Yang Dapat Memisahkan Kita dari Kasih Allah (Roma 8:31-39)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAllah ada di pihak kita, kata Paulus, setelah memberikan Putra-Nya sendiri untuk “kita semua” (Rm. 8:31–32). Tidak ada yang dapat memisahkan kita dan kasih Allah dalam Kristus Yesus, Allah kita (Rm. 8:35–39). “Baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:38–39). Banyak dari hal-hal tersebut tampaknya menjadi ancaman bagi kita dalam dunia kerja. Kita menghadapi atasan (penguasa) yang mengancam atau tidak kompeten. Kita terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang tanpa hasil (hal-hal yang ada). Saat ini kita berkorban—bekerja dengan jam kerja yang panjang, mengambil kelas sepulang kerja, menjalani magang dengan upah rendah, pindah ke negara lain untuk mencari pekerjaan—yang kita harap akan membuahkan hasil di kemudian hari, namun mungkin tidak akan pernah berjalan dengan baik (hal-hal yang akan datang). Kita kehilangan pekerjaan karena siklus ekonomi atau peraturan atau tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa yang bahkan tidak pernah kita lihat (kekuasaan). Kita dipaksa oleh keadaan, kebodohan, atau kejahatan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang merendahkan martabat atau berbahaya. Semua hal ini bisa sangat merugikan kita. Tapi mereka tidak bisa menang atas kita.
Kesetiaan Kristus—dan kesetiaan kita, melalui kasih karunia Allah—mengatasi dampak terburuk yang dapat ditimbulkan oleh kehidupan dan kerja terhadap kita. Jika kemajuan karier, pendapatan, atau prestise adalah tujuan tertinggi kita di tempat kerja, kita mungkin akan kecewa. Namun jika keselamatan—yaitu rekonsiliasi dengan Allah dan manusia, kesetiaan dan keadilan—adalah harapan utama kita, maka kita akan menemukannya di tengah-tengah pekerjaan yang baik dan buruk. Penegasan Paulus berarti bahwa apa pun kesulitan yang kita hadapi dalam pekerjaan kita, atau kerumitan dan tantangan yang kita hadapi dengan rekan kerja atau atasan di tempat kerja kita, kasih Allah di dalam Kristus selalu tinggal bersama kita. Kasih Allah di dalam Kristus adalah kekuatan yang memantapkan di tengah kesengsaraan saat ini, sekaligus pengharapan kita akan penebusan tubuh di masa depan.
Karakter Allah adalah Memberi Kemurahan kepada Semua Orang (Roma 9–11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam Roma 9–11, Paulus kembali membahas masalah utama yang ingin dibahas dalam surat ini—konflik antara orang Kristen Yahudi dan non-Yahudi. Karena hal ini bukan perhatian utama kita dalam teologi kerja, kita akan merangkumnya secara singkat.
Paulus membahas sejarah Allah dengan Israel, dengan perhatian khusus pada belas kasihan Allah (Rm. 9:14-18). Ia menjelaskan bagaimana keselamatan dari Allah juga datang kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Orang Yahudilah yang pertama kali mengalami keselamatan dari Allah, dimulai dari Abraham (Rm. 9:4-7). Namun banyak yang jatuh, dan saat ini tampaknya bangsa non-Yahudi lebih setia (Rm. 9:30-33). Namun orang-orang non-Yahudi tidak boleh menghakimi, karena keselamatan mereka terjalin bersama orang Yahudi (Rm. 11:11-16). Allah telah memelihara “sisa” umat-Nya (Rm. 9:27, 11:5) yang kesetiaannya—oleh kasih karunia Allah—membawa kepada rekonsiliasi dunia.
Jadi, bagi orang Yahudi dan non-Yahudi, keselamatan adalah tindakan belas kasihan Allah, bukan imbalan atas ketaatan manusia (Rm. 9:6-13). Dengan mengingat hal ini, Paulus menanggapi sejumlah argumen dari kedua belah pihak, selalu menyimpulkan bahwa “Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Rm. 9:18). Baik orang Yahudi maupun orang non-Yahudi bukan diselamatkan karena tindakan mereka sendiri, melainkan karena kemurahan Allah.
Keselamatan dari Allah, kata Paulus, diperoleh dengan mengakui Yesus sebagai Allah dan percaya bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari kematian (Rm. 10:9-10). Dengan kata lain, keselamatan datang kepada setiap orang yang percaya pada kuasa Allah yang memberi kehidupan yang memperkaya kehidupan baik orang Yahudi maupun orang non-Yahudi yang mengikuti Yesus sebagai Allah (lihat Roma 10:12–13). Ketidaktaatan—baik yang dilakukan oleh orang-orang non-Yahudi maupun orang Yahudi—memberikan kesempatan kepada Allah untuk menunjukkan kepada dunia kemurahan Allah terhadap semua orang (Rm. 11:33). Perhatian Paulus dalam surat ini adalah untuk merekonsiliasikan hubungan yang rusak antara pengikut Yesus yang Yahudi dan non-Yahudi.
Roma 9–11 menawarkan pengharapan bagi kita semua dalam kerja dan tempat kerja kita. Pertama, Paulus menekankan keinginan Allah untuk mengasihani orang yang tidak taat. Kita semua, pada suatu saat dalam kehidupan kerja kita, telah gagal mewujudkan iman dan kesetiaan Kristus dalam beberapa aspek pekerjaan kita. Jika Allah mengasihani kita (Rm. 11:30), kita dipanggil untuk mengasihani orang lain dalam pekerjaan kita. Hal ini tidak berarti mengabaikan kinerja buruk atau berdiam diri saat menghadapi pelecehan atau diskriminasi. Kemurahan hati bukanlah pemberdayaan penindasan. Sebaliknya, ini berarti tidak membiarkan kegagalan seseorang membuat kita menyalahkan orang tersebut secara keseluruhan. Ketika seseorang yang bekerja bersama kita melakukan kesalahan, kita tidak boleh menghakimi mereka sebagai orang yang tidak kompeten, namun kita harus membantu mereka untuk pulih dari kesalahan tersebut dan belajar bagaimana agar tidak mengulanginya. Ketika seseorang melanggar kepercayaan kita, kita harus meminta pertanggungjawaban orang tersebut, dan pada saat yang sama menawarkan pengampunan yang, jika ditanggapi dengan pertobatan, akan menciptakan jalan untuk membangun kembali kepercayaan.
Kedua, bagian surat ini mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk bertekun sebagai orang Kristen yang setia agar kita bisa menjadi “sisa” yang setia (Rm. 11:5) mewakili mereka yang untuk sementara waktu tersandung dalam ketaatan iman mereka. Ketika kita melihat orang-orang di sekitar kita gagal, tugas kita bukanlah menghakimi mereka, namun menggantikan mereka. Barangkali kesetiaan kita bisa meringankan kerugian yang menimpa sesama dan bahkan membebaskan mereka yang menyebabkannya dari hukuman berat. Jika kita melihat seorang kolega memperlakukan pelanggan atau bawahan secara keliru, misalnya, mungkin kita bisa melakukan intervensi untuk memperbaiki situasi sebelum hal tersebut menjadi pelanggaran pemecatan. Ketika kita mengingat betapa dekatnya kita tersandung atau berapa kali kita gagal, respons kita terhadap kegagalan orang lain adalah kemurahan, seperti yang dilakukan Kristus. Ini tidak berarti kita membiarkan orang menganiaya sesama. Hal ini berarti kita mengambil risiko, seperti yang dilakukan Kristus, demi penebusan orang-orang yang telah melakukan kesalahan di bawah kuasa dosa.
Ketiga, pasal-pasal ini mengingatkan kita untuk menunjukkan kepada kolega-kolega kita yang lain seperti apa ketaatan iman dalam hidup dan kerja sehari-hari. Jika kita benar-benar berjalan dalam hidup yang baru (lihat “Berjalan dalam Hidup yang Baru” di Roma 6) dan memantapkan pikiran kita tentang bagaimana tindakan kita dapat membawa kualitas hidup yang baru kepada orang-orang di sekitar kita (lihat “Hidup Menurut Roh Menuntun pada Kualitas Hidup yang Baru” dalam Roma 8), bukankah orang lain akan tertarik untuk melakukan hal yang sama? Tindakan kita di tempat kerja mungkin merupakan pujian paling lantang yang pernah kita berikan kepada Allah dan kesaksian paling menarik yang pernah dilihat rekan kerja kita. Keinginan Allah adalah agar semua orang di dunia dapat berdamai dengan Allah dan satu sama lain. Jadi setiap aspek kerja dan hidup kita menjadi kesempatan untuk bersaksi bagi Kristus—menjadi salah satu agen rekonsiliasi Allah di dunia.
Keempat, kita harus tetap rendah hati. Ketika kita, seperti faksi-faksi yang menerima surat Paulus, menilai posisi kita lebih unggul dibandingkan orang-orang di sekitar kita, kita membayangkan bahwa kita mempunyai jalur orang dalam menuju Allah. Paulus secara langsung menentang arogansi ini. Kita tidak tahu segalanya tentang cara Allah bekerja dalam diri orang lain. Seperti yang dikatakan Jenderal Peter Pace, pensiunan ketua kepala staf gabungan Angkatan Bersenjata A.S., “Anda harus selalu mengatakan kebenaran sebagaimana yang Anda ketahui, dan Anda harus memahami bahwa ada banyak hal yang tidak Anda ketahui.”[1]
Cara spesifik kita mewujudkan pelayanan rekonsiliasi di dunia ini sama beragamnya dengan pekerjaan dan tempat kerja kita. Oleh karena itu, kita membuka Roma 12 untuk mendapatkan arahan lebih lanjut dari Paulus tentang bagaimana menemukan cara untuk melaksanakan kasih Allah yang mendamaikan dalam pekerjaan kita.
Komunitas Kasih Karunia Sedang Bekerja (Roma 12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiRoma 12 menyoroti aspek sosial dan komunitas dari keselamatan. Paulus tidak menulis kepada individu tetapi kepada komunitas Kristen di Roma, dan perhatiannya selalu tertuju pada kehidupan mereka bersama—dengan penekanan khusus pada pekerjaan mereka. Seperti yang kita lihat dalam Roma 1–3, keselamatan di dalam Kristus mencakup rekonsiliasi, kebenaran dan keadilan, serta iman dan kesetiaan. Masing-masing hal ini mempunyai aspek komunal—rekonsiliasi dengan sesama, keadilan di tengah bangsa-bangsa, kesetiaan kepada sesama.
Berubahlah Oleh Pembaruan Pikiran Anda (Roma 12:1–3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMenghidupkan aspek keselamatan komunal berarti suatu reorientasi pikiran dan kemauan kita dari mementingkan diri sendiri menjadi melayani komunitas.
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna. Berdasarkan anugerah yang diberikan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir sedemikian rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Rm. 12:2–3)
Mari kita mulai dengan bagian kedua dari perikop ini, di mana Paulus memperjelas aspek komunal secara eksplisit. “Aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan.” Dengan kata lain, kurangi memikirkan diri sendiri dan lebih memikirkan orang lain, lebih banyak memikirkan komunitas. Kemudian di pasal 12 Paulus memperkuat hal ini dengan menambahkan, “saling mengasihi sebagai saudara” (Rm. 12:10), “Turutlah menanggung kekurangan orang-orang kudus,” “usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan” (Rm. 12:13), “lakukanlah apa yang baik bagi semua orang” (Rm. 12:17), dan “hiduplah dalam damai dengan semua orang” (Rm. 12:18).
Bagian pertama dari ayat ini mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat mendahulukan orang lain tanpa kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Seperti yang Paulus tunjukkan dalam Roma 1, manusia diperbudak oleh “pikiran-pikiran yang terkutuk” (Rm. 1:28), “pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Rm. 1:21), yang mengakibatkan mereka melakukan segala jenis kejahatan terhadap satu sama lain (Rm. 1:22–32). Keselamatan adalah pembebasan dari perbudakan pikiran ini, “sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.” Hanya jika pikiran kita diubah dari sikap mementingkan diri sendiri menjadi sikap mementingkan sesama—meniru Kristus, yang mengorbankan diri-Nya demi orang lain—kita dapat menempatkan rekonsiliasi, keadilan, dan kesetiaan di atas tujuan yang mementingkan diri sendiri.
Dengan pikiran yang diubahkan, tujuan kita beralih dari membenarkan tindakan kita yang egois menjadi memberikan kehidupan baru kepada orang lain. Misalnya, bayangkan Anda adalah supervisor shift di sebuah restoran dan Anda menjadi kandidat untuk dipromosikan menjadi manajer. Jika pikiran Anda tidak diubahkan, tujuan utama Anda adalah mengalahkan kandidat lainnya. Tidak akan tampak sulit untuk membenarkan tindakan-tindakan (bagi diri Anda sendiri) seperti menyembunyikan informasi dari kandidat lain tentang masalah pemasok, mengabaikan masalah sanitasi yang hanya akan terlihat pada giliran jam kerja pekerja lain, menyebarkan perbedaan pendapat di antara para pekerja, atau menghindari kolaborasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan. Hal ini tidak hanya akan merugikan kandidat lain tetapi juga pekerja shift mereka, restoran secara keseluruhan, dan para pelanggannya. Di sisi lain, jika pikiran Anda diubahkan untuk pertama-tama lebih peduli pada orang lain, maka Anda akan membantu kandidat lain untuk bekerja dengan baik, bukan hanya demi kepentingan mereka tetapi juga demi kepentingan restoran, para pekerja, dan para pelanggan.
Pengorbanan Hidup Demi Komunitas (Roma 12:1–3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTentu saja, mendahulukan orang lain daripada diri kita sendiri memerlukan pengorbanan. “Mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup,” nasihat Paulus (Rm. 12:1). Kata tubuh dan hidup menekankan bahwa yang dimaksud Paulus adalah tindakan praktis dalam dunia hidup dan pekerjaan sehari-hari. Semua orang percaya menjadi persembahan yang hidup dengan mempersembahkan waktu, bakat, dan tenaganya dalam pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain dan/atau seluruh ciptaan Allah.
Kita dapat memberikan persembahan yang hidup kepada Allah setiap saat dalam hidup kita. Kita melakukannya ketika kita memaafkan seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap kita di tempat kerja atau ketika kita mengambil risiko untuk membantu menyembuhkan suatu perselisihan di antara orang lain. Kita memberikan persembahan yang hidup ketika kita tidak menggunakan sumber daya bumi yang tidak berkelanjutan demi mengejar kenyamanan kita sendiri. Kita memberikan persembahan yang hidup ketika kita melakukan pekerjaan yang kurang memuaskan karena menghidupi keluarga lebih penting bagi kita daripada mencari pekerjaan yang sempurna. Kita menjadi persembahan yang hidup ketika kita meninggalkan posisi yang memuaskan agar pasangan kita bisa menerima pekerjaan impian di kota lain. Kita menjadi persembahan yang hidup ketika, sebagai atasan, kita menerima disalahkan atas kesalahan bawahan dalam pekerjaannya.
Melibatkan Komunitas dalam Keputusan Anda (Roma 12:1–3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTransformasi pikiran “sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah” (Rm. 12:2) terjadi seiring dengan melibatkan komunitas iman dalam keputusan-keputusan kita. Seperti halnya mereka yang sedang dalam proses diselamatkan, kita membawa orang lain ke dalam proses pengambilan keputusan kita. Kata yang Paulus gunakan untuk “membedakan” secara harafiah berarti “menguji” atau “menyetujui” dalam bahasa Yunani (dokimazein). Keputusan kita harus diuji dan disetujui oleh orang percaya lainnya sebelum kita bisa yakin bahwa kita telah memahami kehendak Allah. Peringatan Paulus “janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan” (Rm. 12:3) berlaku bagi kemampuan kita dalam mengambil keputusan. Jangan berpikir bahwa Anda mempunyai hikmat, moral yang tinggi, pengetahuan yang luas, atau apa pun yang diperlukan untuk memahami kehendak Allah sendiri. “Janganlah menganggap dirimu pandai” (Rm. 12:16). Hanya dengan melibatkan anggota komunitas yang setia beriman lainnya, dengan keragaman karunia dan hikmatnya (Rm. 12:4-8) hidup selaras satu sama lain (Rm. 12:16), kita dapat mengembangkan, menguji, dan menyetujui keputusan-keputusan yang dapat diandalkan.
Ini lebih menantang daripada yang ingin kita akui. Kita mungkin berkumpul untuk menerima ajaran moral sebagai sebuah komunitas, namun seberapa sering kita benar-benar berbicara satu sama lain ketika membuat keputusan moral? Seringkali keputusan diambil oleh penanggung jawab melalui pertimbangan secara individual, mungkin setelah menerima masukan dari beberapa penasihat. Kita cenderung bertindak seperti ini karena diskusi moral tidak nyaman, atau “panas” seperti yang dikatakan Ronald Heifetz. Masyarakat tidak suka melakukan perbincangan yang memanas karena “kebanyakan masyarakat ingin mempertahankan status quo dan menghindari permasalahan yang sulit.”[1] Selain itu, kita sering merasa bahwa pengambilan keputusan dalam komunitas merupakan ancaman terhadap kekuasaan apa pun yang kita miliki. Namun mengambil keputusan sendiri biasanya berarti mengikuti bias yang sudah ada sebelumnya, dengan kata lain, “menjadi serupa dengan dunia ini” (Rm. 12:2). Hal ini menimbulkan kesulitan dalam lingkup kerja. Bagaimana jika kita tidak bekerja dalam komunitas iman, namun di perusahaan sekuler, pemerintahan, lembaga akademis, atau lingkungan lainnya? Kita bisa menilai tindakan kita secara komunal dengan rekan kerja kita, tapi mereka mungkin tidak selaras dengan kehendak Allah. Kita dapat menilai tindakan kita secara komunal dengan kelompok kecil kita atau orang lain di gereja kita, namun mereka mungkin tidak akan memahami pekerjaan kita dengan baik. Salah satu—atau keduanya—dari praktik-praktik ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun yang lebih baik adalah mengumpulkan sekelompok orang percaya dari tempat kerja kita—atau setidaknya orang-orang percaya yang bekerja dalam situasi serupa—dan merenungkan tindakan kita bersama mereka. Jika kita ingin menilai seberapa baik tindakan kita sebagai programmer, pemadam kebakaran, pegawai negeri, atau guru sekolah (misalnya) menerapkan rekonsiliasi, keadilan, dan kesetiaan, siapa yang lebih baik untuk melakukan refleksi daripada programmer Kristen, pemadam kebakaran, pegawai negeri, atau guru sekolah lainnya? (Lihat “Equipping Churches Encourage Everyone to Take Responsibility” dalam The Equipping Church di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini.)
Bekerja Sebagai Sesama Anggota (Roma 12:4–8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu penerapan praktis yang penting dalam menjalani hidup yang baru adalah dengan menyadari bahwa kita semua saling bergantung pada pekerjaan satu sama lain. “Sebab sama seperti pada satu tubuh, kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.” (Rm. 12:4 –5). Saling ketergantungan ini bukanlah suatu kelemahan, melainkan anugerah dari Allah. Saat kita diselamatkan oleh Allah, kita menjadi lebih terintegrasi satu sama lain.
Paulus menerapkan hal ini pada pekerjaan yang kita masing-masing lakukan dalam peran kita masing-masing. “Kita mempunyai karunia yang berlain-lainan” (Rm. 12:6a) ia mencatat, dan ketika ia menyebutkan beberapa di antaranya, kita melihat bahwa karunia-karunia tersebut merupakan bentuk pekerjaan: bernubuat, pelayanan, pengajaran, menasihati, kemurahan hati, kepemimpinan, dan belas kasihan. Masing-masing dari mereka adalah “anugerah yang diberikan kepada kita” (Rm. 12:6b) yang memungkinkan kita bekerja demi kebaikan komunitas.
Paulus mengembangkan proses ini dalam konteks komunitas tertentu—gereja. Ini cocok karena keseluruhan surat ini berkisar pada suatu masalah dalam gereja—konflik antara orang percaya Yahudi dan non-Yahudi. Namun daftar tersebut tidak terlalu bersifat “gerejawi”. Semuanya sama-sama dapat diterapkan untuk pekerjaan di luar gereja. Nubuat—”mewartakan suatu pesan yang disampaikan secara ilahi” atau “mengungkap sesuatu yang tersembunyi”[1] —adalah kemampuan untuk menerapkan firman Allah dalam situasi yang gelap, sesuatu yang sangat dibutuhkan di setiap tempat kerja. Pelayanan—dalam kaitan dengan kata “administrasi”—adalah kemampuan untuk mengatur pekerjaan sehingga benar-benar melayani orang-orang yang seharusnya dilayani, misalnya pelanggan, warga negara, atau pelajar. Istilah lain untuk itu adalah “manajemen.” Pengajaran, nasihat (atau “dorongan semangat”), dan kepemimpinan jelas dapat diterapkan di lingkungan sekuler maupun di gereja. Begitu juga dengan kemurahan hati, ketika kita ingat bahwa memberikan waktu, keterampilan, kesabaran, atau keahlian kita untuk membantu orang lain di tempat kerja adalah bentuk kemurahan hati.
Belas kasihan adalah elemen kerja yang sangat diremehkan. Meskipun kita mungkin tergoda untuk menganggap belas kasihan sebagai penghalang dalam dunia kerja yang kompetitif, hal ini sebenarnya penting agar bisa melakukan pekerjaan kita dengan baik. Nilai pekerjaan kita bukan hanya datang dari mencurahkan waktu, namun dari kepedulian terhadap bagaimana barang atau jasa kita bermanfaat bagi orang lain—dengan kata lain, berdasarkan belas kasihan. Montir yang tidak peduli apakah suku cadangnya dipasang dengan benar tidak akan berguna bagi perusahaan, pelanggan, atau rekan kerja, dan cepat atau lambat akan menjadi kandidat untuk dipecat. Atau jika perusahaan otomotif itu tidak peduli apakah pekerjanya peduli terhadap pelanggannya, pelanggan akan segera beralih ke merek lain. Pengecualian untuk hal ini adalah produk dan layanan yang dengan sengaja mengambil keuntungan dari kelemahan pelanggan—zat adiktif, pornografi, produk yang mempermainkan ketakutan terhadap citra tubuh dan sejenisnya. Untuk menghasilkan uang dalam kasus seperti ini, mungkin perlu untuk tidak memiliki rasa kasihan terhadap pelanggan. Fakta bahwa kita bisa menghasilkan uang dengan merugikan pelanggan dalam bidang-bidang ini menunjukkan bahwa orang Kristen harus berusaha menghindari tempat kerja di mana belas kasihan tidak penting untuk kesuksesan. Pekerjaan yang sah menghasilkan uang dari memenuhi kebutuhan sejati orang, bukan dari mengeksploitasi kelemahan mereka.
Dengan semua karunia ini, kuasa Allah yang memberi kehidupan dialami dalam tindakan dan cara tertentu dalam melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kuasa Allah yang memperkaya kehidupan manusia muncul melalui tindakan nyata yang dilakukan para pengikut Yesus. Kasih karunia Allah menghasilkan tindakan dalam diri umat Allah demi kebaikan orang lain.
Prinsip-prinsip Perilaku Spesifik untuk Memandu Ketajaman Moral (Roma 12:9–21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus mengidentifikasi prinsip-prinsip pemandu spesifik untuk membantu kita menjadi saluran bagi perhatian menyeluruh agar kasih menjadi tulus—atau, secara harafiah, “jangan pura-pura” (Rm. 12:9). Ayat-ayat selebihnya dari Roma 12:9-13 menguraikan tentang kasih yang sejati, termasuk kehormatan, kesabaran dalam penderitaan, ketekunan dalam doa, kemurahan hati kepada mereka yang membutuhkan, dan keramahtamahan kepada semua orang.
Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Roma 12:16–18, di mana Paulus mendorong jemaat di Roma untuk “hiduplah dalam damai dengan semua orang.” Secara khusus, katanya, hal ini berarti bergaul dengan pihak yang paling tidak memiliki kuasa dalam komunitas, menolak keinginan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, dan, jika memungkinkan, hidup damai dengan semua orang.
Jika kita memiliki kasih yang tulus, maka kita peduli terhadap orang-orang yang baginya kita bekerja, demikian pula bagi yang bekerja di antara kita. Menurut definisinya, ketika kita bekerja, kita melakukannya setidaknya sebagian sebagai alat untuk mencapai tujuan. Namun kita tidak pernah bisa memperlakukan orang-orang yang bekerja bersama kita sebagai alat untuk mencapai tujuan. Masing-masing pada dasarnya berharga dalam dirinya sendiri, sedemikian rupa sehingga Kristus mati bagi masing-masing orang. Ini adalah kasih yang tulus, memperlakukan setiap orang sebagai orang yang bagi mereka Kristus telah mati dan bangkit kembali untuk membawa kehidupan baru.
Kita menunjukkan kasih yang tulus ketika kita menghormati orang-orang yang bekerja bersama kita, memanggil setiap orang dengan namanya tanpa memandang status mereka, dan menghormati keluarga, budaya, bahasa, aspirasi, dan pekerjaan yang mereka lakukan. Kita menunjukkan kasih yang tulus ketika kita bersabar terhadap bawahan yang melakukan kesalahan, pelajar yang lambat belajarnya, rekan kerja yang kecacatannya membuat kita tidak nyaman. Kita menunjukkan kasih yang tulus melalui keramahtamahan kepada karyawan baru, orang yang datang larut malam, pasien yang mengalami disorientasi, penumpang yang terlantar, bos yang baru saja dipromosikan. Setiap hari kita menghadapi kemungkinan seseorang akan melakukan kejahatan kepada kita, kecil ataupun besar. Namun perlindungan kita bukanlah melakukan kejahatan terhadap orang lain demi membela diri, atau menjadi putus asa, melainkan “kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rm. 12:21). Kita tidak dapat melakukan hal ini dengan kekuatan kita sendiri, tetapi hanya dengan hidup dalam Roh Kristus.
Hidup di Bawah Kuasa Allah (Roma 13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi”Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya,” kata Paulus. “Pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1). Tahu bahwa sistem pemerintahan Roma tidak sejalan dengan keadilan Allah, nasihat ini pasti sulit diterima oleh sebagian orang dalam jemaat Roma. Bagaimana mungkin menaati kaisar Romawi yang kejam dan penyembah berhala bisa menjadi cara hidup dalam Roh? Jawaban Paulus adalah bahwa Allah berdaulat atas setiap otoritas di dunia dan bahwa Allah akan mengurus otoritas tersebut pada saat yang tepat. Bahkan Roma, meskipun kuat dulunya, pada akhirnya tunduk pada kuasa Allah.
Di tempat kerja, sering kali benar bahwa “Sebab jika seseorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat.” (Rm. 13:3). Atasan sering kali mengatur pekerjaan secara efektif dan menciptakan lingkungan yang adil untuk menyelesaikan perselisihan. Pengadilan secara teratur menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan hak paten, hak atas tanah, hubungan kerja, dan kontrak secara adil. Pembuat aturan sering kali berfungsi untuk melindungi lingkungan, mencegah penipuan, menegakkan keselamatan di tempat kerja, dan memastikan akses yang setara terhadap peluang mendapatkan rumah. Polisi umumnya menangkap penjahat dan membantu orang yang tidak bersalah. Kenyataan bahwa bahkan pihak berwenang yang tidak beriman sering kali melakukan sesuatu dengan benar merupakan tanda anugerah Allah di dunia ini.
Namun otoritas di dunia bisnis, pemerintahan, dan tempat kerja bisa membuat berbagai hal sangat keliru dan terkadang menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan egois. Ketika hal ini terjadi, akan menolong untuk membedakan antara kekuatan yang dihasilkan oleh manusia (bahkan jika kekuatan tersebut signifikan) dan kekuatan Allah yang ada di atas, di balik, dan di seluruh ciptaan. Sering kali kekuatan manusia begitu dekat dengan kita sehingga mereka cenderung menghalangi kesadaran kita akan gerakan Allah dalam hidup kita. Perikop ini berfungsi sebagai dorongan semangat untuk membedakan di mana Allah aktif dan menggabungkan hidup kita dengan aktivitas Allah yang akan menumbuhkan kepenuhan hidup yang sejati bagi kita dan semua orang.
Orang-orang yang bekerja di Tyco International ketika Dennis Kozlowski menjadi CEO pasti bertanya-tanya mengapa ia dibiarkan lolos menggerebek pundi-pundi perusahaan untuk membiayai gaya hidup pribadinya yang berlebihan. Kita dapat membayangkan bahwa mereka yang berusaha bekerja dengan integritas mungkin merasa takut dengan pekerjaannya. Beberapa orang yang etis mungkin menyerah pada tekanan untuk berpartisipasi dalam skema Kozlowski. Namun akhirnya Kozlowski dipergoki, didakwa, dan dihukum karena pencurian besar-besaran, konspirasi, dan penipuan.[1] Mereka yang percaya bahwa keadilan pada akhirnya akan dipulihkan berada di pihak yang benar.
Paulus memberikan nasihat praktis kepada orang-orang Kristen di Roma, yang hidup di tengah-tengah otoritas manusia paling berkuasa yang pernah ada di dunia Barat. Patuhi hukum, bayar pajak dan biaya komersial, hormati dan hargai mereka yang memegang kekuasaan (Rm. 12:7). Mungkin ada yang berpikir bahwa, sebagai orang Kristen, mereka harus memberontak melawan ketidakadilan Romawi. Namun Paulus tampaknya melihat sikap mereka yang mementingkan diri sendiri, dan bukannya mementingkan Allah. Pemberontakan yang mementingkan diri sendiri tidak akan mempersiapkan mereka menghadapi “hari” Allah (Rm. 13:12) yang akan datang.
Misalnya, di beberapa negara, penghindaran pajak merupakan hal yang lumrah sehingga layanan yang dibutuhkan tidak dapat diberikan, suap (untuk memungkinkan penghindaran pajak) merusak pejabat di semua tingkatan, dan beban pajak didistribusikan secara tidak adil. Pemerintah kehilangan legitimasinya baik di mata wajib pajak maupun penghindar pajak. Ketidakstabilan sipil memperlambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Tidak diragukan lagi, sebagian besar uang yang dikumpulkan digunakan untuk tujuan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristen, dan banyak umat Kristen mungkin menanggapinya dengan menghindari pajak bersama dengan orang lain. Namun apa yang akan terjadi jika umat Kristen berkomitmen, secara terorganisir, untuk membayar pajak dan memantau penggunaan dana pemerintah? Diperlukan waktu puluhan tahun untuk mereformasi pemerintahan dengan cara seperti ini, namun apakah hal ini akan berhasil pada akhirnya? Argumen Paulus dalam Roma 12 menunjukkan bahwa hal tersebut bisa terjadi.
Banyak orang Kristen yang hidup di negara-negara demokrasi saat ini, yang memberikan tanggung jawab tambahan untuk memilih undang-undang bijaksana yang mengekspresikan keadilan Allah sebaik mungkin. Setelah suara dihitung, kita mempunyai tanggung jawab untuk mematuhi undang-undang dan pihak berwenang, meskipun kita tidak setuju dengan mereka. Kata-kata Paulus menyiratkan bahwa kita harus menaati otoritas yang sah, bahkan saat kita berupaya mengubah pihak yang tidak adil melalui cara-cara demokratis.
Di setiap bidang kehidupan, kita mempunyai tanggung jawab yang berkelanjutan untuk melawan dan mengubah semua sistem yang tidak adil, dengan selalu menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi. Meski begitu, kita harus menunjukkan rasa hormat kepada pihak berwenang, baik di tempat kerja, sekolah, gereja, pemerintahan, atau kehidupan bermasyarakat. Kami percaya bahwa perubahan akan terjadi bukan karena kami mengungkapkan kemarahan, namun karena Allah berdaulat atas segalanya.
Paulus menyelesaikan pasal 13 dengan mencatat bahwa dengan mengasihi orang lain, kita memenuhi sepuluh perintah Allah. Hidup dalam Roh secara inheren menggenapi hukum Yahudi, bahkan oleh mereka yang tidak mengetahuinya. Ia menegaskan kembali bahwa hal ini tidak terjadi melalui usaha manusia, namun melalui kuasa Kristus di dalam diri kita. “Kenakan Tuhan Yesus Kristus,” tutupnya (Rm. 13:14).
Penerimaan—Hidup Damai dengan Nilai dan Pendapat yang Berbeda (Roma 14–15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada bagian surat ini, Paulus telah selesai mengembangkan metode penalaran moralnya. Kini ia berhenti sejenak untuk memberikan beberapa implikasi yang timbul dari hal ini dalam konteks unik gereja-gereja Roma, yaitu perselisihan di antara orang-orang percaya.
Implikasi utamanya bagi gereja-gereja Roma adalah penerimaan dengan tangan terbuka. Umat Kristen Roma harus saling menerima. Tidak sulit untuk melihat bagaimana Paulus memperoleh implikasi ini. Tujuan dari penalaran moral, menurut Roma 6, adalah untuk “hidup dalam hidup yang baru,” artinya membawa kualitas hidup yang baru kepada orang-orang di sekitar kita. Jika Anda berada dalam hubungan yang rusak dengan seseorang, menerima dengan tangan terbuka pada dasarnya adalah kualitas hidup yang baru. Mennerima dengan tangan terbuka adalah rekonsiliasi dalam praktiknya. Pertengkaran bertujuan untuk mengecualikan orang lain, namun penerimaan berupaya untuk melibatkan mereka, bahkan ketika hal itu berarti menghormati hal-hal yang tidak disepakati.
Penerimaan Mengatasi Pertengkaran Karena Perbedaan Pendapat (Roma 14:1–23)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya,” Paulus memulai (Rm. 14:1). Mereka yang “lemah imannya” mungkin adalah mereka yang kurang percaya pada keyakinan mereka sendiri mengenai isu-isu yang diperdebatkan (lihat Roma 14:23) dan bergantung pada peraturan yang ketat untuk mengatur tindakan mereka. Secara khusus, beberapa orang Kristen Yahudi mematuhi ketatnya hukum makanan Yahudi dan tersinggung karena orang Kristen lainnya mengonsumsi daging dan minuman tidak halal. Tampaknya mereka bahkan menolak makan bersama orang-orang yang tidak menjaga halal.[1] Meskipun mereka menganggap ketatnya memegang aturan sebagai sebuah kekuatan, Paulus berkata bahwa hal itu menjadi sebuah kelemahan jika menyebabkan mereka menghakimi orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama. Paulus mengatakan bahwa mereka yang menjaga halal “janganlah menghakimi orang yang makan [daging non-halal].”
Meskipun demikian, tanggapan Paulus terhadap kelemahan mereka bukanlah dengan berdebat, atau mengabaikan keyakinan mereka, namun melakukan apa pun yang membuat mereka merasa diterima. Ia mengatakan kepada mereka yang tidak menjaga halal agar tidak memamerkan kebebasan mereka untuk makan apa pun, karena hal ini akan mengharuskan pemelihara halal untuk memutuskan persekutuan dengan mereka atau melanggar hati nurani mereka. Jika tidak ditemukan daging halal, maka orang yang tidak halal harus bergabung dengan orang halal dan hanya makan sayuran, daripada menuntut penjaga halal melanggar hati nuraninya. “Seseorang akan bersalah, jika oleh makanannya orang lain tersandung!” kata Paulus (Rm. 14:20).
Kedua kelompok sangat yakin bahwa pandangan mereka penting secara moral. Kelompok yang kuat percaya bahwa menjaga halal bagi orang non-Yahudi merupakan penolakan terhadap kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus. Kaum lemah percaya bahwa tidak menjaga halal—dan sekedar makan bersama orang yang tidak menjaga halal—adalah penghinaan terhadap Allah dan pelanggaran terhadap hukum Yahudi. Argumen ini memanas karena kebebasan dalam Kristus dan ketaatan pada perjanjian Allah merupakan persoalan moral dan agama yang sangat penting. Namun hubungan dalam komunitas jauh lebih penting. Hidup di dalam Kristus bukan berarti benar atau salah dalam suatu permasalahan tertentu. Ini tentang menjalin hubungan yang benar dengan Allah dan satu sama lain, tentang “damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus” (Rm. 14:18).
Ketidaksepakatan moral bisa menjadi lebih sulit di tempat kerja, dimana titik temunya lebih sedikit. Aspek yang menarik dalam hal ini adalah perhatian khusus Paulus terhadap mereka yang lemah. Meskipun ia meminta kedua kelompok untuk tidak menghakimi satu sama lain, ia memberikan beban praktis yang lebih besar kepada pihak yang kuat. “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan diri sendiri” (Rm. 15:1). Teladan kita dalam hal ini adalah Yesus, “yang tidak mencari kesenangan-Nya sendiri” (Rm. 15:3). Ini berarti bahwa mereka yang berada di pihak sayap kanan, atau mayoritas, atau yang mempunyai kekuasaan paling besar dipanggil untuk secara sukarela menahan diri dari menyinggung hati nurani orang lain. Di sebagian besar tempat kerja, yang terjadi justru sebaliknya. Pihak yang lemah harus menyesuaikan diri dengan perintah pihak yang kuat, meskipun tindakan tersebut melanggar hati nuraninya.
Bayangkan, misalnya, seseorang di tempat kerja Anda mempunyai keyakinan agama atau moral yang menuntut kesopanan tertentu dalam berpakaian, misalnya menutupi rambut, bahu, atau kaki. Keyakinan ini bisa menjadi sebuah bentuk kelemahan, menggunakan terminologi Paulus, jika hal itu membuat orang tersebut merasa tidak nyaman berada di dekat orang lain yang tidak mengikuti gagasan mereka tentang berpakaian sopan. Mungkin Anda tidak akan keberatan dengan orang yang mengenakan pakaian sopan seperti itu. Namun argumen Paulus menyiratkan bahwa Anda dan semua rekan kerja Anda juga harus berpakaian sopan sesuai dengan standar orang lain, setidaknya jika Anda ingin menjadikan tempat kerja Anda sebagai tempat yang penuh penerimaan dan rekonsiliasi. Pihak yang kuat (yang tidak terhambat oleh legalisme aturan berpakaian) harus menyambut pihak yang lemah (yang tersinggung dengan cara berpakaian orang lain) dengan mengakomodasi kelemahannya.
Ingatlah bahwa Paulus tidak ingin kita menuntut orang lain untuk mengakomodasi rasa bersalah kita. Itu akan menjadikan kita lemah iman, padahal Paulus ingin kita menjadi kuat dalam iman. Kita tidak boleh menjadi orang yang suka mengomel tentang pakaian, bahasa, atau selera musik orang lain di tempat kerja. Bayangkan jika orang Kristen mempunyai reputasi membuat semua orang merasa diterima, bukan menghakimi selera dan kebiasaan orang lain. Apakah hal itu akan membantu atau menghalangi misi Kristus di dunia kerja?
Penerimaan Membangun Komunitas (Roma 14:19–15:33)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAspek lain dari penerimaan adalah memperkuat komunitas. “Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya” (Rm. 15:2) sama seperti tuan rumah yang menyambut tamu memastikan bahwa kunjungan itu menguatkan tamunya. “Sesama” di sini adalah anggota komunitas lainnya. “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun,” kata Paulus (Rm. 14:19). Saling membangun berarti bekerja sama dalam komunitas.
Dari bab 14 dan 15, kita melihat bahwa penerimaan adalah praktik yang ampuh. Paulus tidak berbicara tentang sekedar menyapa dengan senyuman di wajah kita. Ia berbicara tentang terlibat dalam kearifan moral yang mendalam sebagai sebuah komunitas, namun tetap menjalin hubungan yang hangat dengan mereka yang mempunyai kesimpulan moral yang berbeda, bahkan dalam hal-hal penting. Bagi Paulus, kesinambungan hubungan dalam komunitas lebih penting daripada kesimpulan moral tertentu. Hubungan memberikan kualitas hidup kepada masyarakat yang jauh melampaui kepuasan yang mungkin didapat karena merasa benar mengenai suatu isu atau menilai orang lain salah. Ini juga merupakan kesaksian yang lebih menarik bagi dunia di sekitar kita. “Sebab itu terimalah satu sama lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rm. 15:7). Ketika kita saling menerima, hasil akhirnya dengan kemurahan Allah (Rm. 15:9) adalah “segala suku bangsa memuji Dia” (Rm. 15:11).
Komunitas Pemimpin (Roma 16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat Roma pasal 16 meruntuhkan asumsi umum banyak orang mengenai sifat pekerjaan Paulus—yakni, bahwa ia adalah sosok yang penyendiri, heroik, menanggung kesulitan untuk melaksanakan panggilannya yang tersendiri dan agung untuk menyebarkan Injil di antara orang-orang non-Yahudi. Namun, dalam Roma 16, Paulus memperjelas bahwa pekerjaannya merupakan upaya komunitas. Paulus menyebutkan nama dua puluh sembilan rekan sekerjanya, ditambah lebih banyak lagi dengan istilah seperti “jemaat di rumah mereka” dan “saudara-saudara seiman yang Bersama-sama dengan mereka.” Daftar yang dibuat oleh Paulus menetapkan nilai yang setara terhadap pekerjaan baik perempuan maupun laki-laki, tanpa membedakan peran keduanya, dan tampaknya mencakup orang-orang dari berbagai lapisan sosial. Beberapa dari mereka jelas-jelas kaya, dan beberapa dari mereka mungkin adalah para budak yang telah dimerdekakan. Yang lain mungkin saja para budak. Paulus memuji pekerjaan khusus yang dilakukan banyak orang, misalnya mereka yang “mempertaruhkan nyawanya” (Rm. 16:4), “bekerja keras” (Rm. 16:6), “dipenjarakan bersama-sama dengan Aku” (Rm. 16: 7), “bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan” (Rm. 16:12), atau bertindak “bagiku adalah juga ibu” (Rm. 16:13). Ia menyebutkan karya Tertius “yang menulis surat ini” (Rm. 16:22) dan Erastus “bendahara negeri” (Rm. 16:23).
Mengamati Paulus dalam lingkaran rekan kerja yang begitu luas melemahkan penekanan Barat modern terhadap individualitas, khususnya di tempat kerja. Seperti semua orang yang ia sebutkan namanya, Paulus bekerja dalam komunitas demi kebaikan komunitas. Bagian terakhir dari surat ini memberi tahu kita bahwa Injil adalah pekerjaan semua orang. Tidak semua orang adalah rasul. Tidak semua dari kita dipanggil untuk meninggalkan pekerjaan kita dan berkeliling untuk berkhotbah. Daftar yang dibuat Paulus tentang beragam karunia pelayanan dalam Roma 12:6-8 memperjelas hal itu. Apapun jenis pekerjaan yang menyita waktu kita, kita dipanggil untuk bertindak sebagai pelayan kabar baik keselamatan Allah bagi semua orang. (Lihat “Bekerja Sebagai Sesama Anggota,” dalam Roma 12:4–8.)
Salam ini juga mengingatkan kita bahwa pemimpin gereja adalah pekerja. Terkadang kita tergoda untuk melihat pekerjaan Paulus berbeda dari pekerjaan lainnya. Namun referensi Paulus yang berulang kali mengenai pekerjaan orang-orang yang disebutkannya mengingatkan kita bahwa apa yang berlaku dalam pelayanan Paulus juga berlaku di semua tempat kerja. Di sini, dimana kita menghabiskan sebagian besar waktu kita setiap minggunya, kita akan belajar berjalan dalam hidup yang baru (Rm. 6:4)—atau tetap terperosok dalam kuasa kematian. Dalam hubungan di tempat kerja, kita diajak untuk mengupayakan kebaikan bagi orang lain, sesuai dengan teladan Kristus. Dalam pekerjaan biasa yang menggunakan pikiran, hati, dan tangan kita, di situlah kita ditawari kesempatan untuk menjadi saluran kasih karunia Allah bagi orang lain.
Dalam ayat-ayat terakhir kitab Roma, tampak jelas bahwa tidak ada pekerjaan seorang pun yang berdiri sendiri-sendiri; semuanya terjalin dengan pekerjaan orang lain. Paulus mengakui mereka yang telah mendahuluinya, yang mewariskan iman mereka kepadanya, mereka yang telah bekerja bersamanya, dan mereka yang telah mempertaruhkan nyawanya deminya dan demi pekerjaan mereka bersama. Sudut pandang ini memanggil kita masing-masing untuk melihat keseluruhan struktur komunitas yang membentuk tempat kerja kita, untuk mempertimbangkan semua kehidupan yang saling berkaitan dengan kehidupan kita, mendukung dan meningkatkan apa yang mampu kita lakukan, semua orang yang mengorbankan sesuatu yang mungkin mereka inginkan untuk diri mereka sendiri agar bermanfaat bagi kita dan bermanfaat bagi pekerjaan yang melampaui keberadaan kita menuju dunia Allah.
Ringkasan dan Kesimpulan Roma
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerhatian utama Paulus dalam surat Roma adalah keselamatan—rekonsiliasi Allah atas dunia melalui salib Yesus Kristus. Di dalam Kristus, Allah bekerja untuk mendamaikan semua orang dengan diri-Nya, mendamaikan orang satu sama lain, dan menebus tatanan ciptaan dari kekuatan jahat dosa, maut, dan pembusukan. Kepedulian Paulus bukan abstrak namun praktis. Tujuannya adalah menyembuhkan perpecahan di antara umat Kristen di Roma dan memampukan mereka untuk bekerja sama mewujudkan kehendak Allah dalam hidup dan pekerjaan mereka.
Dalam konteks ini, Paulus menunjukkan bagaimana keselamatan datang kepada kita sebagai anugerah cuma-cuma yang dibeli melalui kesetiaan Allah dalam salib Kristus dan oleh kasih karunia Allah yang membawa kita kepada iman kepada Kristus. Pemberian cuma-cuma ini sama sekali tidak berarti bahwa Allah tidak peduli dengan pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita bekerja. Sebaliknya, Paulus menunjukkan bagaimana menerima kasih karunia Allah mengubah pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita melakukannya. Meskipun kita tidak bekerja untuk mendapatkan keselamatan, karena Allah menyelamatkan kita, Dia memberi kita beragam karunia luar biasa yang dibutuhkan untuk saling melayani dan membangun komunitas kita. Hasilnya, kita menjalani cara hidup yang baru, membawa kehidupan di dalam Kristus kepada orang-orang di sekitar kita dan, dalam waktu Allah, kepada kepenuhan ciptaan.
Daftar Pustaka Terpilih (Roma)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiFowl, Stephen E. Philippians. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans. The Two Horizons New Testament Commentary, 2005.
Grieb, A. Katherine. The Story of Romans: A Narrative Defense of God’s Righteousness. Louisville: Westminster John Knox, 2002.
Jewett, Robert. Romans: A Commentary. Minneapolis: Fortress Press. Hermeneia, 2007.
Johnson, Luke Timothy. Reading Romans: A Literary and Theological Commentary. Macon, GA: Smyth & Helwys, 2001.
Keck, Leander. Romans. Nashville: Abingdon Press. Abingdon New Testament Commentary, 2005.
Moo, Douglas. The Epistle to the Romans in the New International Commentary on the New Testament. Grand Rapids: MI, Eerdmans, 1996.
Stowers, Stanley K. A Rereading of Romans: Justice, Jews & Gentiles. New Haven: Yale University Press, 1994.
Wright, N. T. The Climax of the Covenant. Edinburgh: T&T Clark, 1991.
N.T. Wright. The Letter to the Romans, in The New Interpreter’s Bible. Vol. 10. Nashville: Abingdon Press, 1994.
Pengantar kepada 1 Korintus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak ada surat lain dalam Perjanjian Baru yang memberi kita gambaran yang lebih praktis tentang penerapan iman Kristen dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari selain 1 Korintus. Topik-topik seperti karier dan panggilan, nilai abadi dari pekerjaan, mengatasi keterbatasan individu, kepemimpinan dan pelayanan, pengembangan keterampilan dan kemampuan (atau “karunia”), upah yang adil, kepedulian terhadap lingkungan, dan penggunaan uang dan harta benda merupakan topik yang menonjol dalam surat ini. Perspektif yang menyatukan semua topik ini adalah kasih. Kasih adalah tujuan, sarana, motivasi, karunia, dan kemuliaan di balik semua pekerjaan yang dilakukan di dalam Kristus.
Kota Korintus (1 Korintus)
Surat pertama Rasul Paulus kepada gereja di Korintus, yang ia dirikan pada perjalanan misinya yang kedua (48–51 M), merupakan peti harta karun berisi teologi praktis bagi umat Kristiani yang menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Surat ini memberikan instruksi Paulus kepada umat Kristiani yang bergulat dengan permasalahan kehidupan nyata, termasuk konflik kesetiaan, perbedaan kelas, konflik antara kebebasan pribadi dan kebaikan bersama, dan kesulitan memimpin kelompok orang yang beragam untuk mencapai misi bersama.
Pada zaman Paulus, Korintus adalah kota terpenting di Yunani. Terletak di tanah genting yang menghubungkan Semenanjung Peloponesia dengan daratan utama Yunani, Korintus menguasai Teluk Saronik di timur dan Teluk Korintus di utara. Para pedagang ingin menghindari perjalanan laut yang sulit dan berbahaya di sekitar wilayah Peloponesia, sehingga banyak barang yang mengalir antara Roma dan kekaisaran barat serta pelabuhan-pelabuhan kaya di Mediterania timur diangkut melintasi tanah genting ini. Hampir seluruh wilayahnya melewati Korintus, menjadikannya salah satu pusat komersial terbesar kekaisaran. Strabo, seseorang sezaman dengan Paulus namun lebih tua, mencatat bahwa “Korintus disebut 'kaya' karena perdagangannya, karena terletak di Tanah Genting dan mempunyai dua pelabuhan, yang satu mengarah langsung ke Asia, dan yang lainnya ke Italia; dan memudahkan pertukaran barang dagangan dari kedua negara yang letaknya berjauhan.”[1]
Kota ini memiliki suasana kota yang berkembang pesat selama pertengahan abad pertama ketika para budak yang dimerdekakan, veteran, dan para pedagang berdatangan ke kota. Meskipun apa yang sekarang kita sebut “mobilitas ke atas” sulit ditemukan di dunia kuno, Korintus adalah salah satu tempat yang memungkinkan itu terjadi, dengan sedikit istirahat dan banyak kerja keras, untuk membangun diri dan menikmati kehidupan yang cukup baik.[2] Hal ini berkontribusi pada etos unik Korintus, yang memandang dirinya sebagai kota yang makmur dan mandiri, sebuah kota yang nilai intinya adalah “pragmatisme kewirausahaan dalam mengejar kesuksesan.”[3] Banyak kota di dunia saat ini yang mendambakan etos ini.
Gereja di Korintus dan Surat Paulus (1 Korintus)
Paulus tiba di Korintus pada musim dingin tahun 49/50 M [4] dan tinggal di sana selama satu setengah tahun. Selama berada di sana, ia menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja membuat tenda—atau mungkin penyamakan kulit [5] (Kis. 18:2), keahlian yang dipelajarinya semasa kecil—di bengkel milik Akwila dan Priskila (lihat 1Kor. 4:12). Ia mengutarakan alasannya menjalani hal ini dalam 1 Korintus 9 (lihat di bawah), meskipun ia sebenarnya dapat memanfaatkan dukungan penuh waktu sebagai misionaris sejak awal, seperti yang ia lakukan kemudian (Kis. 18:4 dan 2Kor. 11:9).
Bagaimanapun juga, khotbahnya pada hari Sabat di sinagoga langsung membuahkan hasil, dan gereja di Korintus pun lahir. Gereja itu tampaknya terdiri dari tidak lebih dari seratus orang ketika Paulus menulis 1 Korintus. Beberapa di antaranya orang Yahudi, sementara sebagian besar adalah orang non-Yahudi. Mereka bertemu di rumah dua atau tiga anggota yang lebih kaya, namun sebagian besar berasal dari kelas bawah yang besar yang menghuni semua pusat kota.[6]
Paulus tetap menaruh minat yang besar terhadap perkembangan jemaat itu bahkan setelah ia meninggalkan Korintus. Paulus telah menulis kepada jemaat itu setidaknya satu surat sebelum 1 Korintus (1Kor. 5:9) untuk mengatasi masalah yang muncul setelah kepergiannya. Anggota keluarga Kloë, yang mungkin mempunyai urusan bisnis di Efesus, mengunjungi Paulus di sana dan melaporkan bahwa jemaat di Korintus berada dalam bahaya perpecahan karena berbagai perbedaan pendapat (1Kor. 1:11). Dengan gaya wirausaha Korintus, kelompok-kelompok yang bersaing menciptakan kelompok-kelompok di sekitar rasul favorit mereka untuk mendapatkan status bagi diri mereka sendiri (pasal 1-4). Banyak yang angkat senjata karena perbedaan pendapat yang serius mengenai perilaku seksual dan etika bisnis beberapa anggotanya (bab 5-6). Kemudian sekelompok perwakilan jemaat lainnya datang dengan membawa surat (1Kor. 7:1, 16:17), menanyakan kepada Paulus sejumlah isu penting, seperti seks dan pernikahan (pasal 7), kepantasan makan. daging yang sebelumnya dipersembahkan kepada berhala (pasal 8-10) dan ibadah (pasal 11-14). Yang terakhir, Paulus juga mengetahui dari salah satu sumber ini, atau mungkin Apolos (lihat 1Kor. 16:12), bahwa beberapa orang di gereja Korintus menyangkal kebangkitan orang percaya di masa depan (pasal 15).
Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul dari diskusi akademis. Jemaat Korintus ingin mengetahui bagaimana sebagai pengikut Kristus mereka harus bertindak dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Paulus memberikan jawabannya di seluruh 1 Korintus, menjadikannya salah satu kitab Perjanjian Baru yang paling praktis.
Semua Dipanggil (1 Korintus 1:1–3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam paragraf pembuka 1 Korintus, Paulus menjabarkan tema-tema yang akan ia bahas secara lebih rinci dalam isi suratnya. Bukan suatu kebetulan bahwa konsep panggilan berada di bagian depan dan tengah dalam pendahuluan ini. Paulus menyatakan di ayat pertama bahwa ia “yang atas kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus” (1:1). Keyakinan yang kuat bahwa ia dipanggil secara langsung oleh Allah meliputi surat-surat Paulus (lihat misalnya Gal. 1:1) dan merupakan hal mendasar dalam misinya (lihat Kisah Para Rasul 9:14–15). Hal ini memberinya ketabahan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan yang sangat besar. Demikian pula, umat beriman di Korintus “dipanggil” bersama dengan “semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Allah kita Yesus Kristus” (1Kor. 1:2). Kita akan segera melihat bahwa dasar dari panggilan kita bukanlah kepuasan individu tetapi pengembangan masyarakat. Meskipun Paulus baru membahas hal ini di akhir suratnya (lihat 7:17-24), bahkan pada saat ini jelas bahwa ia berpendapat semua orang percaya dimaksudkan untuk mengejar panggilan yang dirancang oleh Allah bagi mereka.
Sumber Daya Rohani Tersedia (1 Korintus 1:4–9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMenurut kebiasaan penulisan surat kuno, suatu salam diikuti dengan bagian di mana penulis memuji penerimanya.[1] Dalam sebagian besar suratnya, Paulus memodifikasi bentuk sastra ini dengan memberikan ucapan syukur ketimbang pujian dan menggunakan ungkapan standar seperti yang kita miliki di sini: “Aku selalu mengucap syukur kepada Allahku karena kamu . . .” (lihat 1Kor. 1:4, serta Rom. 1:8; Flp. 1:3; Kol. 1:3; 1 Tes. 1:2; dan 2 Tes. 1:3). Dalam hal ini Paulus mengungkapkan rasa syukurnya karena jemaat di Korintus telah mengalami anugerah Allah di dalam Kristus. Ini lebih dari sekedar kesalehan yang samar-samar. Sebaliknya, Paulus memikirkan sesuatu yang cukup spesifik. Orang-orang percaya di Korintus telah “di dalam Dia [Kristus] … menjadi kaya” (1Kor. 1:5) sehingga mereka “tidak kekurangan dalam karunia apa pun sementara kamu menantikan penyataan Allah kita Yesus Kristus” (1Kor. 1: 7). Paulus secara khusus menyebutkan dua karunia, perkataan dan pengetahuan, yang dinikmati secara berlimpah oleh gereja Korintus.
Untuk tujuan kita, penting untuk dicatat bahwa Paulus yakin bahwa orang-orang percaya di Korintus telah menerima sumber daya rohani yang mereka perlukan untuk memenuhi panggilan mereka. Allah telah memanggil mereka, dan Dia telah memberi mereka karunia-karunia yang akan memampukan mereka untuk “tidak bercacat pada hari Allah kita Yesus Kristus” (1Kor. 1:8). Meskipun hari kesempurnaan belum tiba, baik di tempat kerja atau di mana pun, umat Kristiani sudah memiliki akses terhadap karunia-karunia yang akan digenapkan sepenuhnya pada hari itu.
Sulit untuk membayangkan bahwa semua orang Kristen di Korintus merasa seolah-olah pekerjaan mereka adalah pekerjaan khusus yang dirancang oleh Allah bagi mereka secara individu. Kebanyakan dari mereka adalah budak atau buruh biasa, seperti yang akan kita lihat. Yang Paulus maksudkan adalah, terlepas dari apakah pekerjaan setiap orang tampak istimewa atau tidak, Allah memberikan karunia yang dibutuhkan agar pekerjaan setiap orang berkontribusi pada rencana Allah bagi dunia. Betapa pun remehnya pekerjaan kita, betapapun besarnya kerinduan kita untuk mempunyai pekerjaan lain, pekerjaan yang kita lakukan sekarang penting bagi Allah.
Perlunya Visi Bersama (1 Korintus 1:10–17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus menyatakan dengan gaya seperti tesis apa yang ingin ia capai dengan menulis 1 Korintus.[1] “Tetapi aku menasihatkan kamu, Saudara-saudara, demi nama Allah kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” ( 1Kor 1:10). Kata kerja yang dia gunakan dalam frasa terakhir ini adalah metafora yang berkonotasi perbaikan hubungan antar manusia. Oleh karena itu Paulus mendesak jemaat Korintus untuk mengatasi terbentuknya faksi-faksi yang telah merusak kesatuan gereja.
Budaya Barat modern sangat menghargai keberagaman, sehingga kita berisiko menafsirkan perintah Paulus secara negatif. Ia tidak memperdebatkan kesesuaian pemikiran (seperti yang dijelaskan dalam bagian lain), tetapi ia memahami dengan jelas bahwa tujuan dan visi bersama adalah hal yang penting. Jika terus-menerus terjadi perselisihan dan ketidaksepakatan mengenai nilai-nilai dan keyakinan dasar serta tidak ada kesatuan di antara para anggotanya, maka organisasi mana pun pasti akan berantakan. Meskipun Paulus menulis surat kepada sebuah jemaat, kita tahu bahwa ia juga berpikir bahwa orang Kristen harus berkontribusi terhadap berjalanannya masyarakat luas. “Tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik” (Titus 3:1; penekanan ditambahkan). Oleh karena itu, kita harus mencari tujuan bersama bukan hanya di gereja tetapi juga di tempat kita bekerja. Peran kita sebagai orang Kristen adalah melakukan pekerjaan baik dalam kesatuan dan keselarasan baik dengan orang percaya maupun yang tidak percaya. Ini tidak berarti kita menyetujui perbuatan amoral atau ketidakadilan. Hal ini berarti kita mengembangkan hubungan yang baik, mendukung rekan kerja, dan peduli untuk melakukan pekerjaan kita dengan sangat baik. Jika hati nurani kita tidak bisa melakukan pekerjaan kita dengan sepenuh hati, kita perlu mencari tempat lain untuk bekerja, daripada bersungut-sungut atau lalai.
Status di Gereja dan di Tempat Kerja: Teman-teman di Posisi Rendahan (1 Korintus 1:18–31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa sebagian besar dari mereka bukan berasal dari kalangan kelas atas. “Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang” (1Kor. 1:26). Namun efektifitas gereja tidak bergantung pada memiliki orang-orang yang mempunyai koneksi, pendidikan, atau kekayaan. Allah mencapai tujuan-Nya dengan orang-orang biasa. Kita telah melihat bahwa nilai pekerjaan kita didasarkan pada anugerah Allah, bukan pada kemampuan kita. Namun Paulus menekankan hal yang lebih jauh lagi. Karena pada dasarnya kita bukanlah orang yang istimewa, kita tidak boleh menganggap orang lain tidak penting.
Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah. (1Kor. 1:27–29; penekanan ditambahkan)
Sejak zaman Paulus, banyak orang Kristen telah memperoleh posisi kekuasaan, kekayaan, dan status. Kata-katanya mengingatkan kita bahwa kita menghina Allah jika kita membiarkan hal-hal ini menjadikan kita sombong, tidak hormat, atau kasar terhadap orang-orang yang statusnya lebih rendah. Banyak tempat kerja yang masih memberikan hak istimewa kepada pekerja dengan jabatan lebih tinggi, yang tidak ada relevansinya dengan pekerjaan sebenarnya. Selain perbedaan gaji, pekerja berstatus tinggi dapat menikmati kantor yang lebih mewah, perjalanan kelas satu, ruang makan eksekutif, tempat parkir yang khusus, paket tunjangan yang lebih baik, keanggotaan klub yang dibayar perusahaan, tempat tinggal, supir, layanan pribadi, dan fasilitas lainnya. Mereka mungkin menerima penghormatan khusus—misalnya, dipanggil “Tuan” atau “Nyonya” atau “Profesor”— sedangkan orang lain dalam organisasi hanya dipanggil dengan nama depannya saja. Dalam beberapa kasus, perlakuan khusus mungkin diperlukan, berdasarkan sifat pekerjaan yang dilakukan dan tanggung jawab organisasi. Namun dalam kasus lain, hak istimewa tersebut dapat menciptakan tingkatan-tingkatan nilai dan martabat manusia yang tidak beralasan. Maksud Paulus adalah bahwa perbedaan seperti itu tidak mempunyai tempat di antara umat Allah. Jika kita menikmati—atau menderita—perbedaan tersebut di tempat kerja, kita mungkin harus bertanya pada diri sendiri apakah hal tersebut bertentangan dengan kesetaraan martabat manusia di hadapan Allah dan, jika ya, apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaikinya.
Dibutuhkan Keanekaragaman (1 Korintus 3:1–9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita telah memperhatikan di atas bahwa masalah utama dalam gereja Korintus adalah adanya faksi-faksi. Kelompok-kelompok kecil terbentuk di bawah bendera nama Paulus versus nama Apolos, misionaris lain di gereja Korintus. Paulus tidak mau menerima semua ini. Ia dan Apolos hanyalah pelayan. Walaupun mereka mempunyai peran yang berbeda-beda, namun tidak satu pun yang lebih berharga dari yang lain. Penanam (Paulus) dan penyiram (Apollos)—menggunakan metafora pertanian—sama pentingnya bagi keberhasilan panen, dan keduanya tidak bertanggung jawab atas pertumbuhan tanaman. Itu sepenuhnya perbuatan Allah. Berbagai pekerja tersebut mempunyai tujuan yang sama (panen yang melimpah), namun mereka mempunyai tugas yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan panggilan mereka. Semuanya diperlukan dan tidak seorang pun dapat melakukan setiap tugas yang diperlukan.
Paulus, dengan kata lain, menyadari pentingnya diversifikasi dan spesialisasi. Dalam esainya yang terkenal pada tahun 1958, “I, Pencil,” ekonom Leonard Read mengikuti proses pembuatan pensil biasa, dengan menegaskan bahwa tidak ada satu orang pun yang tahu cara membuat pensil sepenuhnya. Pensil sebenarnya merupakan hasil dari beberapa proses yang canggih, hanya satu proses yang dapat dikuasai oleh individu tertentu. Berkat anugerah Allah, setiap orang dapat memainkan peran yang berbeda-beda di dunia kerja. Namun spesialisasi terkadang mengarah pada faksionalisme antarpribadi atau antardepartemen, jalur komunikasi yang buruk, dan bahkan fitnah pribadi. Jika umat Kristiani mempercayai apa yang Paulus katakan tentang hakikat peran berbeda yang diberikan Allah, mungkin kita bisa memimpin dalam menjembatani kesenjangan yang disfungsional dalam organisasi kita. Jika kita mampu memperlakukan orang lain dengan hormat dan menghargai pekerjaan orang yang berbeda dari diri kita sendiri, maka kita bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tempat kerja kita.
Penerapan penting dari hal ini adalah nilai dari berinvestasi dalam pengembangan pekerja, baik diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Dalam surat-surat Paulus, termasuk 1 Korintus, kadang-kadang tampak bahwa Paulus tidak pernah melakukan apa pun sendiri (lihat, misalnya, 14-15) namun mengajar orang lain cara melakukannya. Ini bukan kesombongan atau kemalasan, tapi mentoring. Ia lebih memilih berinvestasi dalam melatih pekerja dan pemimpin yang efektif dibandingkan melakukan semuanya sendiri. Ketika kita semakin dewasa dalam melayani Kristus di tempat kerja kita, mungkin kita akan mendapati diri kita berbuat lebih banyak untuk memperlengkapi orang lain dan mengurangi upaya untuk membuat diri kita terlihat baik.
Lakukan Pekerjaan yang Baik (1 Korintus 3:10–17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus memperkenalkan metafora sebuah bangunan yang sedang dibangun untuk menyampaikan maksud baru—melakukan pekerjaan baik. Poin ini sangat penting untuk memahami nilai kerja sehingga layak untuk memasukkan bagian ini secara keseluruhan di sini.
Sesuai dengan anugerah Allah, yang diberikan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang terampil telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan tampak, karena hari Tuhan akan menyatakannya. Sebab hari itu akan tampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang, akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian; ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api (1Kor. 3:10–15).
Ini mungkin merupakan pernyataan paling langsung mengenai nilai kekal pekerjaan duniawi dalam seluruh Kitab Suci. Kerja yang kita lakukan di bumi—selama kita melakukannya sesuai dengan cara-cara Kristus—bertahan hingga kekekalan. Paulus berbicara secara khusus mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh komunitas gereja, yang diibaratkannya seperti sebuah bait suci. Paulus membandingkan dirinya dengan “seorang ahli bangunan yang ahli” yang telah meletakkan fondasi, yang tentu saja adalah Kristus sendiri. Yang lain membangun di atas fondasi ini, dan masing-masing bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri. Paulus mengibaratkan pekerjaan baik dengan emas, perak, dan batu berharga, dan pekerjaan buruk dengan kayu, rumput kering, dan jerami. Meskipun beberapa orang telah mencoba untuk memberikan arti spesifik pada masing-masing bahan tersebut, kemungkinan besar perbedaannya terletak pada beberapa bahan yang mempunyai kemampuan untuk tahan terhadap pengujian dengan api sedangkan bahan lainnya tidak.
Paulus tidak sedang menghakimi keselamatan seseorang, karena meskipun pekerjaan seseorang gagal dalam ujian, “[si pembangun] akan diselamatkan.” Ayat ini bukan berbicara tentang hubungan antara “perbuatan baik” orang percaya dan pahala surgawinya, meskipun sering kali dibaca seperti itu. Sebaliknya, Paulus prihatin dengan gereja secara keseluruhan dan bagaimana para pemimpinnya bekerja di dalam gereja. Jika mereka berkontribusi pada kesatuan gereja, mereka akan dipuji. Namun, jika pelayanan mereka berujung pada perselisihan dan perpecahan, mereka justru memicu murka Allah, karena Dia dengan penuh semangat melindungi Bait Suci-Nya yang hidup dari orang-orang yang ingin menghancurkannya (ay. 16-17).
Meskipun Paulus menulis tentang pekerjaan membangun komunitas Kristen, kata-katanya berlaku untuk semua jenis pekerjaan. Seperti yang telah kita lihat, Paulus menganggap pekerjaan Kristen mencakup pekerjaan yang dilakukan orang-orang percaya di bawah otoritas sekuler dan juga di dalam gereja. Apapun pekerjaan kita, akan dinilai oleh Allah secara tidak memihak. Penilaian akhir akan lebih baik daripada tinjauan kinerja apa pun, karena Allah menghakimi dengan keadilan yang sempurna—tidak seperti bos manusia, betapapun adil atau tidak adilnya mereka—dan Dia mampu mempertimbangkan niat kita, keterbatasan kita, motif kita, belas kasihan kita, dan kemurahan-Nya. Allah telah memanggil semua orang percaya untuk bekerja dalam keadaan apa pun yang mereka hadapi, dan Dia telah memberi kita karunia khusus untuk memenuhi panggilan itu. Dia mengharapkan kita menggunakannya secara bertanggung jawab untuk tujuan-Nya, dan Dia akan memeriksa pekerjaan kita. Dan sejauh pekerjaan kita dilakukan dengan keunggulan, melalui karunia dan kasih karunia-Nya, maka pekerjaan itu akan menjadi bagian dari kerajaan Allah yang kekal. Hal ini seharusnya memotivasi kita—bahkan lebih dari perkenanan majikan atau gaji kita—untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin.
Kepemimpinan Kristen sebagai Pelayanan (1 Korintus 4:1–4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam ayat ini, Paulus memberikan pernyataan definitif tentang apa artinya menjadi seorang pemimpin: “Demikianlah hendaknya orang memandang kami: Sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah” (1Kor. 4:1). “Kami” mengacu pada para pemimpin kerasulan yang yang melaluinya jemaat Korintus datang kepada iman dan yang kepadanya berbagai faksi dalam gereja menyatakan kesetiaan mereka (1Kor. 4:6). Paulus menggunakan dua kata dalam ayat ini untuk menjelaskan maksudnya. Kata yang pertama, hypēretēs (“pelayan”), menandakan seorang asisten, seorang pelayan yang melayani atau membantu seseorang. Dalam pengertian ini, pemimpin memperhatikan secara pribadi kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin tidak ditinggikan, namun direndahkan, dengan menerima kepemimpinan. Pekerjaan tersebut membutuhkan kesabaran, keterlibatan pribadi, dan perhatian individu terhadap kebutuhan para pengikutnya. Kata kedua adalah oikonomos (“pengurus”), yang menggambarkan seorang pelayan atau budak yang mengelola urusan rumah tangga atau perkebunan. Perbedaan utama dalam posisi ini adalah kepercayaan. Pengurus dipercaya mengurus urusan rumah tangga untuk kepentingan pemiliknya. Begitu pula dengan pemimpin yang dipercaya mengelola kelompok demi kepentingan seluruh anggotanya, bukan kepentingan pribadi pemimpin. Sifat ini secara eksplisit dianggap menjadi milik Timotius (2Kor. 4:17), Tikhikus (Ef. 6:21; Kol. 4:7), Paulus (1 Tim. 1:12), Antipas (Wahyu 2:13), dan yang terpenting, Kristus (2 Tim. 2:13; Ibr. 2:17). Orang-orang seperti inilah yang diandalkan oleh Allah untuk melaksanakan rencana-Nya bagi kerajaan-Nya.
Tempat kerja modern seringkali menerapkan sistem untuk memberi penghargaan kepada para pemimpin karena menggunakan tim mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Ini mungkin merupakan praktik yang bijaksana, kecuali jika hal ini mendorong para pemimpin untuk mendapatkan imbalan tersebut dengan mengorbankan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin memang bertanggung jawab untuk menyelesaikan—atau lebih baik lagi, melampaui—pekerjaan yang ditugaskan kepada timnya. Namun tidak sah jika mengorbankan kebutuhan kelompok demi mendapatkan imbalan pribadi dari pemimpin. Sebaliknya, para pemimpin dipanggil untuk mencapai tujuan kelompok dengan memenuhi kebutuhan kelompok.
Bekerja dengan Orang Tidak Percaya (1 Korintus 5:9–10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam pasal 5, Paulus memperkenalkan pertanyaan tentang bekerja bersama orang-orang yang tidak percaya, sebuah pertanyaan yang akan ia bahas lebih mendalam dalam pasal 10 dan terutama dalam 2 Korintus pasal 6 (lihat “Bekerja Bersama Orang-orang yang Tidak Percaya” dalam 2 Korintus). Pada titik ini, ia mengatakan secara sederhana bahwa umat Kristiani tidak dipanggil untuk menarik diri dari dunia karena takut terhadap etika. “Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang tamak dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini” (1Kor. 5:9–10). Dengan menyebutkan orang-orang yang tamak, penipu, dan penyembah berhala, ia secara eksplisit menunjukkan bahwa ia memasukkan dunia kerja ke dalam instruksinya. Meskipun kita sendiri harus menghindari perbuatan amoral, dan kita tidak boleh bergaul dengan orang-orang Kristen yang tidak bermoral, Paulus mengharapkan kita untuk bekerja Bersama orang-orang yang tidak beriman, bahkan mereka yang tidak menaati prinsip-prinsip etika Allah. Tentu saja, ini adalah proposisi yang sulit, meskipun ia menunda pembahasan spesifiknya sampai bab 10. Poin yang ia sampaikan di sini adalah bahwa orang-orang Kristen dilarang mencoba menciptakan perekonomian khusus Kristen dan membiarkan dunia mengurus dirinya sendiri. Sebaliknya, kita dipanggil untuk mengambil tempat dalam pekerjaan dunia bersama dengan masyarakat dunia.
Berkembang di Tempat Anda Ditanam (1 Korintus 7:20–24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi tengah-tengah bab yang terutama membahas isu-isu yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan melajang, Paulus membuat pernyataan penting tentang panggilan dan pekerjaan. Hal-hal lain dianggap sama, orang-orang percaya harus tetap berada dalam situasi kehidupan yang mereka alami ketika mereka bertobat (1Kor. 7:20). Pertanyaan spesifik yang Paulus sedang hadapi tidak secara langsung menimpa sebagian besar orang di dunia Barat, meskipun pertanyaan ini sangat penting di banyak belahan dunia saat ini. Apa yang harus dilakukan oleh orang percaya yang menjadi budak jika mereka memiliki kesempatan untuk memperoleh kebebasan?
Perbudakan di dunia kuno merupakan sebuah fenomena kompleks yang sama sekali tidak identik dengan manifestasi modernnya, baik pada masa pra-Perang Saudara di Amerika Selatan, atau dalam jeratan utang di Asia Selatan saat ini, atau dalam perdagangan seks di hampir setiap negara di dunia. Tentu saja, hal ini sama kejinya dalam banyak kasus, namun beberapa budak, khususnya budak rumah tangga yang mungkin dimaksud Paulus di sini, memiliki kondisi yang lebih baik, setidaknya secara ekonomi, dibandingkan banyak orang bebas. Banyak orang terpelajar, termasuk dokter dan akuntan, memilih perbudakan justru karena alasan tersebut. Oleh karena itu, bagi Paulus, merupakan pertanyaan terbuka apakah perbudakan atau kebebasan akan menjadi pilihan yang lebih baik dalam situasi tertentu. Sebaliknya, bentuk perbudakan modern selalu sangat mengurangi kualitas kehidupan mereka yang diperbudak.
Pertanyaan Paulus bukanlah apakah perbudakan harus dihapuskan, namun apakah para budak harus berusaha untuk menjadi bebas. Sulit untuk menentukan sifat dari instruksi Paulus di sini secara tepat karena bahasa Yunani dari 1 Korintus 7:21 bersifat ambigu, sedemikian rupa sehingga terbuka terhadap dua penafsiran yang berbeda. Sebagaimana yang dipahami oleh NRSV dan sejumlah komentator, terjemahannya seharusnya sebagai berikut: “Apakah Anda seorang budak ketika dipanggil? Jangan khawatir tentang hal itu. Bahkan jika kamu bisa mendapatkan kebebasanmu, manfaatkanlah kondisimu saat ini lebih dari sebelumnya.” Namun, terjemahan yang sama mungkinnya (dan lebih tepat, menurut pendapat kami), adalah pengertian yang diberikan dalam NIV, NASB, dan KJV, yaitu, “Apakah kamu seorang budak ketika kamu dipanggil? Jangan biarkan hal itu menyusahkanmu—walaupun jika kamu bisa memperoleh kebebasan, lakukanlah” (NIV). Apa pun nasihat Paulus, keyakinan mendasarnya adalah, dibandingkan dengan perbedaan antara berada di dalam Kristus dan tidak di dalam Kristus, perbedaan antara menjadi budak dan orang merdeka relatif kecil. “Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang merdeka, milik Tuhan. Demikian pula orang merdeka yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya” (7:22). Jadi, jika tidak ada alasan kuat untuk mengubah status Anda, mungkin yang terbaik adalah tetap berada pada situasi di mana Anda dipanggil.
Ajaran Paulus di sini mempunyai penerapan penting di tempat kerja. Meskipun kita mungkin merasa bahwa mendapatkan pekerjaan yang tepat adalah faktor terpenting dalam melayani Allah atau menjalani kehidupan yang Dia kehendaki bagi kita, Allah jauh lebih peduli bahwa kita memanfaatkan setiap pekerjaan yang kita miliki semaksimal mungkin sepanjang hidup kita. Dalam situasi tertentu, mungkin ada alasan bagus untuk berganti pekerjaan atau bahkan profesi. Baiklah, silakan lakukan itu. Namun pekerjaan apa pun yang sah secara moral dapat memenuhi panggilan Tuhan, jadi jangan menjadikan mencari pekerjaan yang tepat dalam hidup Anda sebagai pekerjaan dalam hidup Anda. Tidak ada hierarki profesi yang lebih saleh dan kurang saleh. Tentu saja hal ini memperingatkan kita agar tidak percaya bahwa Allah memanggil orang-orang Kristen yang paling serius untuk bekerja di gereja.
Untuk diskusi mendalam tentang topik ini, lihat artikel Ikhtisar Panggilan di www.teologikerja.org.
Mempertahankan Perspektif yang Benar (1 Korintus 7:29–31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus membahas pertanyaan apakah janji kedatangan kembali Allah menyiratkan bahwa orang Kristen harus meninggalkan kehidupan sehari-hari, termasuk bekerja.
Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: Waktunya telah singkat! Karena itu, dalam waktu yang masih sisa ini . . . orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli, pendeknya, orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu (1Kor. 7:29–31).
Tampaknya beberapa orang percaya mengabaikan tugas-tugas keluarga dan berhenti bekerja, seperti halnya Anda lalai menyapu lantai sebelum pindah ke rumah baru. Paulus sebelumnya telah menangani situasi ini di gereja Tesalonika dan memberikan instruksi yang jelas.
Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Kami katakan ini karena kami dengar bahwa ada orang di antara kamu yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Orang-orang yang demikian kami peringatkan dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri (2 Tes. 3:10–12)
Logika Paulus akan lebih mudah dipahami jika kita menyadari bahwa 1Kor. 7:29 tidak hanya menunjukkan bahwa “waktunya telah singkat” dalam arti bahwa kedatangan Yesus yang kedua kali sudah hampir tiba. Di sini Paulus menggunakan kata kerja yang menggambarkan bagaimana suatu benda didorong menjadi satu (synestalmenos), sehingga menjadi lebih pendek atau lebih kecil secara keseluruhan. “Waktu telah dipadatkan” mungkin merupakan terjemahan yang lebih baik, seperti yang disarankan oleh terjemahan NASB, atau “Waktu telah dipersingkat.” Apa yang Paulus maksudkan adalah bahwa karena Kristus telah datang, akhir dari bentangan waktu yang luas akhirnya menjadi nyata. “Masa depan dunia ini sudah menjadi sangat jelas,” tulis pakar David E. Garland.[1] 1Kor. 7:31 menjelaskan bahwa “bentuk dunia yang sekarang sedang berlalu.” “Bentuk masa kini” memiliki arti “sebagaimana adanya” di dunia kita yang telah rusak akibat hubungan sosial dan ekonomi yang rusak. Paulus ingin para pembacanya memahami bahwa kedatangan Kristus telah membawa perubahan dalam tatanan kehidupan. Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi yang dianggap biasa dalam cara bertindak saat ini tidak lagi berlaku bagi orang-orang yang beriman.
Respons yang tepat terhadap dipadatkannya waktu bukanlah dengan berhenti bekerja tetapi bekerja dengan cara yang berbeda. Sikap lama terhadap kehidupan sehari-hari dan urusannya harus diganti. Hal ini membawa kita kembali pada pernyataan paradoks dalam 1 Korintus 7:29-31. Kita harus membeli, namun bersikap seolah-olah kita tidak mempunyai harta benda. Kita harus menghadapi dunia seolah-olah kita tidak berurusan dengan dunia yang kita kenal. Maksudnya, kita boleh memanfaatkan hal-hal yang ditawarkan dunia ini, namun kita tidak boleh menerima nilai-nilai dan prinsip-prinsip dunia ketika hal-hal tersebut menghalangi kerajaan Allah. Barang-barang yang kita beli, hendaknya kita manfaatkan demi kebaikan orang lain, bukannya memegang teguh barang-barang tersebut. Ketika kita melakukan tawar-menawar di pasar, kita harus mencari kebaikan orang yang darinya kita beli, bukan hanya kepentingan kita sendiri. Dengan kata lain, Paulus memanggil orang-orang percaya kepada “pemahaman hubungan mereka dengan dunia secara radikal dan baru.[2]
Sikap lama kita adalah kita berupaya membuat hidup lebih nyaman dan memuaskan bagi diri kita sendiri dan orang-orang terdekat kita. Kita berusaha mengumpulkan barang-barang yang kita pikir akan memberi kita status, keamanan, dan keuntungan dibandingkan orang lain. Kita memilah-milah ibadah kepada ilah-ilah kita terlebih dahulu, lalu perhatian pada pernikahan kita yang kedua, lalu pekerjaan yang ketiga, dan yang keempat adalah keterlibatan sipil, jika kita memiliki waktu dan tenaga yang tersisa. Sikap barunya adalah kita bekerja untuk memberi manfaat bagi diri kita sendiri, orang-orang terdekat kita, dan semua orang yang untuknya Yesus bekerja dan mati. Kita berusaha untuk melepaskan barang-barang yang kita miliki untuk digunakan agar dapat membuat dunia menjadi lebih sesuai dengan kehendak Allah. Kita mengintegrasikan kehidupan kita dalam ibadah, keluarga, pekerjaan, dan masyarakat dan berusaha untuk berinvestasi pada—daripada memutar-mutar—modal fisik, intelektual, budaya, moral, dan spiritual. Dalam hal ini kita meneladani nenek moyang umat Allah, Abraham, yang kepadanya Allah bersabda, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2).
Setiap Orang Mendapat Bagian yang Adil (1 Korintus 9:7–10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam pasal 9, Paulus menjelaskan mengapa pada awalnya ia memilih untuk tidak menerima dukungan keuangan langsung dari gereja Korintus meskipun ia berhak untuk itu. Ia memulai dengan menegaskan hak para pekerja, termasuk para rasul, untuk menerima upah atas pekerjaan mereka. Kita melayani Tuhan dalam pekerjaan kita, dan Tuhan menghendaki agar kita mendapat rezeki sebagai balasannya. Paulus memberikan tiga contoh dari kehidupan sehari-hari yang menggambarkan hal ini. Tentara, pekebun anggur, dan penggembala semuanya memperoleh keuntungan ekonomi dari pekerjaan mereka. Namun, Paulus jarang menggunakan pendapat umum untuk menyampaikan argumennya, sehingga ia mengutip Ulangan 25:4 (“Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik”) untuk mendukung argumennya. Bahkan jika hewan pun berhak mendapat bagian dari hasil kerja mereka, maka tentunya siapa pun yang ikut serta dalam mendatangkan manfaat harus ikut mendapat manfaat tersebut.
Teks ini memiliki implikasi yang jelas terhadap tempat kerja, khususnya bagi pemberi kerja. Pekerja berhak mendapatkan upah yang adil. Faktanya, Alkitab mengancam majikan dengan konsekuensi yang mengerikan jika mereka tidak memberikan kompensasi yang adil kepada karyawannya (Imamat 19:13; Ulangan 24:14; Yakobus 5:7). Paulus tahu bahwa berbagai faktor mempengaruhi penentuan upah yang adil, dan ia tidak mencoba menentukan angka atau rumusnya. Demikian pula, kompleksitas penawaran dan permintaan, regulasi dan serikat pekerja, upah dan tunjangan, serta kekuasaan dan fleksibilitas di pasar tenaga kerja saat ini berada di luar cakupan bab ini. Tapi prinsipnya tidak. Mereka yang mempekerjakan tenaga manusia tidak dapat mengabaikan kebutuhan orang-orang yang pekerjaannya mereka pekerjakan.
Meskipun demikian, Paulus memilih untuk tidak menggunakan haknya untuk menerima upah atas pekerjaannya sebagai rasul. Mengapa? Karena dalam kasusnya, mengingat sensitifnya gereja di Korintus, melakukan hal tersebut mungkin “menimbulkan hambatan dalam pemberitaan Injil Kristus.” Ternyata, Allah telah memungkinkan ia mencari nafkah di sana dengan memperkenalkannya kepada sesama pembuat tenda (atau pengrajin kulit), Priskila dan Akwila, yang tinggal di Korintus (Kis. 18:1–3; Rm. 16:3). Paulus tidak berharap bahwa Allah akan mengatur segala sesuatunya sehingga semua pekerja gereja mampu bekerja secara gratis. Namun dalam kasus ini, Allah melakukannya, dan Paulus menerima penyediaan Allah dengan rasa syukur. Intinya hanya pekerja yang berhak menawarkan pekerjaan tanpa imbalan yang adil. Majikan tidak berhak menuntutnya.
Kemuliaan Allah adalah Tujuan Utama (1 Korintus 10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam argumen panjang lebar yang dimulai di pasal 8 mengenai isu yang sangat penting bagi orang-orang percaya di Korintus—soal kepantasan makan daging yang sebelumnya dipersembahkan kepada berhala—Paulus mengartikulasikan sebuah prinsip luas mengenai penggunaan sumber daya bumi. Ia berkata, mengutip Mazmur 24:1, “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (1Kor. 10:26). Artinya, karena segala sesuatu berasal dari Allah, makanan apa pun boleh dimakan terlepas dari penggunaan sebelumnya untuk tujuan pemujaan berhala. (Di kota Romawi, sebagian besar daging yang dijual di pasar pasti sudah dipersembahkan kepada berhala dalam proses persiapannya.[1]) Ada dua aspek dari prinsip ini yang berlaku dalam pekerjaan.
Pertama, kita dapat memperluas logika Paulus dengan menyimpulkan bahwa orang percaya boleh menggunakan semua yang dihasilkan bumi, termasuk makanan, pakaian, barang-barang manufaktur, dan energi. Namun, Paulus menetapkan batasan yang tegas terhadap penggunaan ini. Jika penggunaan kita merugikan orang lain, maka sebaiknya kita menahan diri. Jika dalam konteks pesta makan malam daging yang dipersembahkan kepada berhala merupakan masalah, maka hati nurani orang lain mungkin menjadi alasan kita harus menahan diri untuk tidak memakannya. Jika konteksnya adalah keselamatan pekerja, kelangkaan sumber daya, atau degradasi lingkungan, maka kesejahteraan pekerja saat ini, akses terhadap sumber daya oleh masyarakat miskin saat ini, dan kondisi kehidupan masyarakat di masa depan mungkin menjadi alasan kita tidak mengonsumsi barang-barang tertentu. Karena Allah adalah pemilik bumi dan seluruh isinya, maka penggunaan bumi harus selaras dengan maksud-tujuan-Nya.
Kedua, kita diharapkan untuk terlibat dalam perdagangan dengan orang-orang yang tidak beriman, seperti yang telah kita lihat dari 1 Korintus 5:9-10. Jika umat Kristen membeli daging hanya dari tukang daging Kristen, atau bahkan dari orang Yahudi, maka tentu saja tidak ada alasan untuk khawatir apakah daging tersebut dipersembahkan kepada berhala. Namun Paulus menegaskan bahwa orang percaya harus terlibat dalam perdagangan dengan masyarakat luas. (Keprihatinan dalam bab 8 juga berasumsi bahwa umat Kristiani akan terlibat dalam hubungan sosial dengan orang-orang yang tidak beriman, meskipun itu bukan topik kita di sini.) Umat Kristen tidak dipanggil untuk menarik diri dari masyarakat namun untuk terlibat dengan masyarakat, termasuk tempat-tempat kerja dalam masyarakat. Seperti disebutkan sebelumnya, Paulus membahas batasan keterlibatan ini dalam 2 Korintus 6:14–18 (lihat “Bekerja Bersama Orang-Orang yang Tidak Percaya” dalam 2 Korintus).
“Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah,” kata Paulus (1Kor. 10:31). Ayat ini sama sekali tidak mengesahkan setiap aktivitas yang bisa dibayangkan. Hal ini tidak boleh diartikan bahwa segala sesuatu dapat dilakukan dengan cara yang memuliakan Allah. Maksud Paulus adalah kita harus membedakan apakah tindakan kita—termasuk pekerjaan—konsisten dengan tujuan Allah di dunia. Kriterianya bukanlah apakah kita bergaul dengan orang-orang yang tidak beriman, apakah kita menggunakan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk tujuan jahat oleh orang lain, apakah kita berurusan dengan orang-orang yang tidak bersahabat dengan Tuhan, namun apakah pekerjaan yang kita lakukan berkontribusi terhadap tujuan Allah. Jika demikian, maka apa pun yang kita lakukan memang dilakukan untuk kemuliaan Allah.
Hasilnya adalah semua panggilan yang menambah nilai sejati pada dunia ciptaan Allah dengan cara yang bermanfaat bagi umat manusia adalah panggilan sejati yang membawa kemuliaan bagi Allah. Petani dan pegawai toko kelontong, produsen dan pengatur emisi, orang tua dan guru, pemilih dan gubernur dapat menikmati kepuasan melayani dalam rencana Allah bagi ciptaan-Nya.
Karunia Rohani dalam Komunitas (1 Korintus 12:1–14:40)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPenggunaan dari apa yang kemudian disebut “karunia-karunia rohani” (12:1) tampak menimbulkan banyak perselisihan di gereja Korintus. Tampaknya karunia bahasa roh (yaitu, ucapan-ucapan gembira yang dipimpin oleh Roh Kudus) khususnya digunakan untuk menonjolkan perbedaan status dalam gereja, dengan mereka yang mempraktikkan karunia ini mengaku lebih rohani dibandingkan mereka yang tidak (lihat 12: 1–3, 13:1, 14:1–25).[1] Dalam argumennya, Paulus mengartikulasikan pemahaman luas tentang karunia Roh Allah yang mempunyai penerapan besar dalam pekerjaan.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa istilah “karunia rohani” terlalu sempit untuk menggambarkan apa yang Paulus bicarakan. Mereka bersifat “rohani” dalam arti luas yaitu berasal dari Roh Allah, bukan dalam arti sempit yaitu tidak berwujud atau bersifat paranormal. Dan “karunia” hanyalah salah satu dari sejumlah istilah yang digunakan Paulus untuk fenomena yang ada dalam pikirannya. Dalam pasal 12 saja, ia menyebut berbagai karunia itu sebagai “pelayanan” (12:5), “perbuatan” (12:6), penyataan” (12:7), “perbuatan”, “bentuk”, dan “jenis” (12 :28). Penggunaan istilah “karunia rohani” secara eksklusif untuk merujuk pada apa yang disebut Paulus sebagai “perwujudan roh Allah demi kebaikan bersama” atau “jenis pelayanan” cenderung menyesatkan pemikiran kita.[2]
Hal ini menunjukkan bahwa Roh Allah menggantikan atau mengabaikan keterampilan dan kemampuan “alami” yang telah Allah berikan kepada kita. Hal ini menyiratkan bahwa penerima “karunia” tersebut adalah penerima manfaat yang dimaksudkan. Hal ini membuat kita berpikir bahwa tujuan utama pekerjaan Roh Kudus adalah penyembahan, bukan pelayanan. Semua ini adalah asumsi yang salah, menurut 1 Korintus. Roh Kudus tidak mengabaikan kemampuan tubuh kita, tetapi menghormati dan menggunakannya (12:14-26). Komunitas atau organisasi, bukan hanya individu, yang mendapat manfaat (12:7). Tujuannya adalah untuk membangun komunitas (14:3-5) dan melayani pihak luar (14:23-25), bukan sekedar meningkatkan kualitas ibadah. “Hadiah” mungkin merupakan istilah yang lebih baik untuk digunakan, karena memiliki konotasi penting yang lebih baik.
Kedua, Paulus sepertinya memberikan sejumlah contoh dan bukan daftar yang lengkap. Paulus juga mencantumkan karunia-karunia Allah dalam Roma 12:6–8, Efesus 4:11, dan 1 Petrus 4:10–11, dan perbedaan di antara daftar-daftar tersebut menunjukkan bahwa karunia-karunia tersebut hanya bersifat ilustratif dan bukannya menyeluruh. Di antara semua daftar itu tidak ada daftar baku atau bahkan cara baku untuk merujuk pada berbagai cara pemberian hadiah. Bertentangan dengan banyak literatur populer mengenai hal ini, mustahil untuk menyusun daftar pasti tentang karunia-karunia rohani. Mereka memperlihatkan keragaman yang mencolok. Beberapa di antaranya adalah apa yang kita sebut super natural (berbicara dalam bahasa yang tidak diketahui), sementara yang lain tampaknya merupakan kemampuan alami (kepemimpinan) atau bahkan ciri kepribadian (belas kasihan). Seperti yang telah kita lihat, Paulus menyuruh kita untuk “lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31), dan di sini ia menyebutkan beberapa hal menakjubkan yang Allah berikan kepada kita untuk kita lakukan.
Di sini, Paulus memikirkan gereja (14:4, 12), dan beberapa orang Kristen menganggap ayat ini berarti bahwa Roh memberikan karunia hanya untuk digunakan di dalam gereja. Namun, Paulus tidak memberikan alasan untuk menganggap bahwa karunia-karunia ini hanya terbatas pada lingkup gereja saja. Kerajaan Allah mencakup seluruh dunia, bukan hanya institusi gereja. Orang-orang percaya dapat dan harus menggunakan karunia mereka dalam segala situasi, termasuk di tempat kerja. Banyak dari karunia yang disebutkan di sini—seperti kepemimpinan, pelayanan, dan kebijaksanaan—akan memberikan manfaat langsung di tempat kerja. Yang lain pasti akan diberikan kepada kita sesuai kebutuhan untuk memenuhi tujuan Allah dalam pekerjaan apa pun yang kita lakukan. Kita harus dengan segala cara mengembangkan karunia yang telah diberikan kepada kita dan menggunakannya untuk kebaikan bersama dalam setiap bidang kehidupan.
Faktanya, pertanyaan yang paling penting bukanlah siapa, di mana, apa, atau bagaimana kita menggunakan karunia Roh Allah. Pertanyaan yang paling penting adalah mengapa kita menggunakan karunia tersebut. Dan jawabannya adalah, “Demi kasih.” Karunia, bakat, dan kemampuan—yang datangnya dari Allah—merupakan sumber keunggulan dalam pekerjaan kita. Namun ketika ia mulai membahas pentingnya kasih, Paulus berkata, “Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lebih baik lagi” (12:31), “aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi” (13:13). Jika saya menggunakan setiap karunia Roh Allah yang menakjubkan “tetapi jika aku tidak mempunyai kasih,” kata Paulus, “aku sama sekali tidak berguna” (13:2). Bab 13 sering dibacakan di pesta pernikahan, tetapi sebenarnya ini adalah manifesto yang sempurna untuk tempat kerja.
Kasih itu sabar; kasih itu baik hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menahan segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. (13:4–7)
Jika umat Kristiani menunjukkan kasih semacam ini di tempat kerja kita, betapa akan lebih produktif dan memperkaya pekerjaan kita bagi semua orang? Betapa besarnya kemuliaan yang akan diberikan kepada Allah kita? Betapa dekatnya kita dengan penggenapan doa kita, “Datanglah Kerajaan-Mu di bumi”?
Usaha Kita Tidak Sia-sia (1 Korintus 15:58)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam pasal 15, Paulus membahas panjang lebar tentang kebangkitan, dan ia menerapkan kesimpulannya secara langsung dalam kerja. “[Giat] selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Kor. 15:58). Bagaimana pemahaman yang benar mengenai kebangkitan—bahwa orang-orang percaya akan dibangkitkan secara jasmani—menjadi dasar kesimpulan bahwa kerja keras kita bagi Tuhan mempunyai arti yang kekal (“tidak sia-sia”)?
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa jika kehidupan di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa di sekitar kita adalah segalanya, maka jerih payah kita akan sia-sia (1Kor. 15:14-19). Penggunaan kata sia-sia oleh Paulus mengingatkan kita pada renungan panjang lebar Pengkhotbah tentang kesia-siaan kerja dalam kondisi Kejatuhan. (Lihat Pengkhotbah dan Kerja di www.theologyofwork.org.) Sekalipun masih ada kehidupan di luar kejatuhan dunia saat ini, pekerjaan kita akan sia-sia jika dunia baru benar-benar terputus dari dunia saat ini. Paling-paling, hal itu akan meluncurkan kita (dan mungkin orang lain) ke dunia baru. Namun kita telah melihat bahwa pekerjaan yang dilakukan menurut jalan Allah akan bertahan sampai kekekalan (1Kor. 3:10-15). Pada paruh kedua pasal 15, Paulus mengembangkan masalah ini lebih jauh dengan menekankan kesinambungan mendasar antara keberadaan jasmani sebelum dan sesudah kebangkitan, meskipun terdapat perbedaan besar dalam hakikatnya masing-masing. “Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati.” (1Kor. 15:53). Jiwa kita tidak berubah dari tubuh lama menjadi tubuh baru—seolah-olah mengenakan pakaian baru—tetapi tubuh kita yang sekarang “mengenakan yang tidak dapat mati.” Yang lama terus berlanjut ke yang baru, meski telah berubah secara radikal. Justru kesinambungan inilah yang memberi makna pada keberadaan kita saat ini dan menjamin bahwa kerja keras kita bagi Allah mempunyai nilai yang kekal.[1]
Umat Kristiani Berbagi Sumber Daya dengan Mereka yang Berada dalam Kesulitan (1 Korintus 16:1–3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu proyek berkelanjutan yang dilakukan Paulus sepanjang perjalanan misinya adalah mengumpulkan uang untuk jemaat di Yudea yang mengalami kesulitan ekonomi.[1]Ia menyebutkan pengumpulan sumbangan ini bukan hanya di sini tetapi juga dalam Galatia 2:10, dan ia menjelaskan alasan teologisnya secara lebih menyeluruh dalam Roma 15:25–31 dan 2 Korintus 8–9. Untuk tujuan kita, penting untuk dicatat bahwa, menurut Paulus, sebagian dari penghasilan orang percaya harus diberikan untuk kepentingan mereka yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Bagi Paulus, salah satu fungsi penting gereja adalah memenuhi kebutuhan anggotanya di seluruh dunia. Perjanjian Lama menetapkan baik persepuluhan tetap maupun persembahan sukarela,[2] yang bersama-sama mendukung pengoperasian bait suci, pemeliharaan negara, dan bantuan kepada orang miskin. Namun sistem ini telah berakhir dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan Yahudi. Pengumpulan Paulus untuk kaum miskin di Yudea pada dasarnya meneruskan aspek bantuan yang diberikan oleh persepuluhan dan persembahan oleh gereja dalam Perjanjian Lama.
Perjanjian Baru tidak pernah menegaskan persentase tertentu yang tetap, namun Paulus menganjurkan kemurahan hati (lihat 2Kor. 8–9), yang artinya tidak lebih rendah dari persentase di Perjanjian Lama. Selama beberapa abad berikutnya, seiring pertumbuhan gereja, perannya sebagai penyedia layanan sosial menjadi elemen penting dalam masyarakat, bahkan lebih lama dari Kekaisaran Romawi.[3]
Berapapun jumlah yang diberikan, umat diharapkan untuk menentukannya terlebih dahulu sebagai bagian dari anggaran mereka dan membawa persembahan mereka secara teratur ke pertemuan mingguan jemaat. Dengan kata lain, dibutuhkan perubahan gaya hidup yang berkelanjutan untuk mencapai tingkat kemurahan hati tersebut. Kita tidak berbicara tentang uang receh.
Prinsip-prinsip ini memerlukan pertimbangan baru di zaman kita. Pemerintah telah menggantikan gereja sebagai penyedia utama kesejahteraan sosial, namun adakah bentuk pelayanan yang Allah berikan kepada umat Kristiani agar dapat dilakukan dengan sama baiknya? Dapatkah pekerjaan, investasi, dan aktivitas ekonomi orang Kristen lainnya menjadi sarana untuk melayani mereka yang menghadapi kesulitan ekonomi? Pada zaman Paulus, orang Kristen mempunyai ruang terbatas untuk memulai bisnis, terlibat dalam perdagangan, atau memberikan pelatihan dan pendidikan, namun saat ini hal tersebut dapat menjadi sarana untuk menciptakan lapangan kerja atau menafkahi orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi. Apakah tujuan memberi hanya untuk mengikat gereja lebih erat di seluruh dunia (tentunya salah satu tujuan Paulus), atau juga untuk peduli terhadap sesama kita? Mungkinkah saat ini Allah memanggil orang-orang beriman untuk memberi uang dan menjalankan bisnis, pemerintahan, pendidikan, dan segala bentuk pekerjaan lainnya sebagai sarana untuk membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan? (Pertanyaan-pertanyaan ini dieksplorasi secara mendalam dalam “Provision and Wealth” di www.teologikerja.org.)
Ringkasan & Kesimpulan 1 Korintus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat 1 Korintus mempunyai banyak kontribusi terhadap pemahaman alkitabiah tentang kerja. Yang terpenting, surat ini membangun pemahaman akan panggilan yang sehat terhadap setiap jenis pekerjaan yang sah. Dalam kata-kata pembukaannya, Paulus menekankan bahwa Allah telah memanggilnya dan jemaat di Korintus untuk mengikut Kristus. Allah membekali setiap orang percaya dengan sumber daya spiritual dan karunia nyata untuk melayani orang lain. Efektivitas kita tidak bergantung pada kemampuan kita sendiri, namun pada kuasa Allah. Bergantung pada kuasa-Nya, kita dapat dan harus berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Allah menuntun kita pada visi dan tujuan yang sama dalam pekerjaan kita, yang memerlukan beragam orang yang bekerja dalam berbagai macam pekerjaan. Pemimpin diperlukan untuk membawa keberagaman dan keragaman ini menjadi fokus yang efektif.
Para pemimpin dalam kerajaan Allah adalah hamba dari orang-orang yang mereka pimpin, bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok mereka dan pada saat yang sama memenuhi kebutuhan mereka. Apapun posisi kita, yang lebih penting adalah bekerja setiap hari sesuai dengan tujuan Allah ketimbang menghabiskan seluruh waktu dan energi kita untuk mencari pekerjaan yang sempurna. Karena kita tahu Kristus akan datang kembali untuk menggenapi pemulihan dunia oleh Allah sesuai dengan maksud semula, kita mempunyai keyakinan untuk bekerja dengan tekun menuju kedatangan kerajaan Kristus. Ketika kita bekerja sesuai dengan kemampuan kita, maka Tuhan akan membalas pekerjaan kita dengan bagian yang adil dari hasil jerih payah kita. Umat Kristen dipanggil untuk menerapkan standar upah yang adil dan pekerjaan yang adil.
Tujuan utama kita adalah kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya. Hal ini memberi kita kebebasan untuk menggunakan sumber daya dunia, namun kita harus mengelolanya demi kepentingan semua orang, termasuk generasi mendatang. Bahkan, kita tidak boleh berpikir untuk menyeimbangkan kebutuhan satu individu dengan kebutuhan lainnya, namun untuk membangun komunitas yang saling mendukung dan melayani. Kasih adalah sumber air utama kerajaan Allah, dan ketika kita bekerja atas dasar kasih kepada orang-orang yang untuknya Kristus bekerja dan mati, maka pekerjaan kita tidak sia-sia. Hal ini memiliki makna kekal dan bertahan bersama kita menuju dunia baru kerajaan Allah yang digenapi. Sementara itu, kita lebih berhati-hati dalam menggunakan sumber daya yang kita miliki untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Ayat-ayat Kunci dan Tema-tema Dalam 1 Korintus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
1Kor. 1:1-2 Dari Paulus, yang atas kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus, dan dari Sostenes, saudara seiman kita, kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Allah kita Yesus Kristus, yaitu Allah mereka dan Allah kita. | |
1Kor. 1:4-7 Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas anugerah Allah yang diberikan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: Dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu. Demikianlah Allah memberi orang-orang percaya sumber daya rohani yang mereka butuhkan untuk kamu tidak kekurangan dalam karunia apa pun sementara kamu menantikan penyataan Allah kita Yesus Kristus. | |
1Kor. 1:10 Tetapi aku menasihatkan kamu, Saudara-saudara, demi nama Allah kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. | |
1Kor. 1:17 Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia. | Kita harus memusatkan perhatian pada hal-hal yang kepadanya kita dipanggil. |
1Kor. 1:26 Ingat saja, Saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. | Orang-orang yang dipanggil dan memiliki karunia berasal dari berbagai latar belakang. |
1Kor. 2:1-5 Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, Saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang muluk atau dengan hikmat yang tinggi untuk menyampaikan rahasia Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan bukti bahwa Roh berkuasa, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. | Citra bukanlah segalanya; isi lebih penting. |
1Kor. 3:4-9 Karena jika yang seorang berkata, "Aku dari golongan Paulus," dan yang lain berkata, "Aku dari golongan Apolos," bukankah hal itu menunjukkan bahwa kamu manusia duniawi? Jadi, siapakah Apolos? Siapakah Paulus? Pelayan-pelayan yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut tugas yang diberikan Allah kepadanya. Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang menumbuhkan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang menumbuhkan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri. Karena kami adalah kawan sekerja untuk Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. |
|
1Kor. 3:10-15 Sesuai dengan anugerah Allah, yang diberikan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang terampil telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan tampak, karena hari Allah akan menyatakannya. Sebab hari itu akan tampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang, akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian; ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api. | Semua orang bertanggungjawab di hadapan Allah bagi pekerjaannya sendiri. |
1Kor. 4:1-2 Demikianlah hendaknya orang memandang kami: Sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai. | |
1Kor. 7:20-24 Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah. Apakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu. Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Allah dalam pelayanan-Nya, adalah orang merdeka, milik Allah. Demikian pula orang merdeka yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya. Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia. Saudara-saudara, hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil. | Secara umum, orang-orang percaya tidak perlu mengganti pekerjaan untuk menyenangkan Allah. |
1Kor. 7:29-31 Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: Waktunya telah singkat! Karena itu, dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya, orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu. |
|
1Kor. 9:7-10 Siapakah yang pernah turut dalam peperangan atas biayanya sendiri? Siapakah yang menanami kebun anggur tanpa memakan buahnya? Atau siapakah yang menggembalakan kawanan domba tanpa minum susu domba itu? Apa yang kukatakan ini bukanlah hanya pikiran manusia saja. Bukankah hukum Taurat juga berkata-kata demikian? Sebab dalam hukum Musa ada tertulis: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!" Lembukah yang Allah perhatikan? Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu orang yang membajak tanah harus membajak dalam pengharapan dan orang yang mengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya. | Semua orang yang berpartisipasi dalam penciptaan kekayaan layak memperoleh bagian dari kekayaan itu. |
1Kor. 10:26, 31 Karena: "Bumi serta segala isinya adalah milik Allah.” … Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. | Semua pekerjaan yang sah perlu memiliki kemuliaan Allah sebagai tujuannya. |
1Kor. 12:4-11 Ada berbagai karunia, tetapi satu Roh. Ada berbagai pelayanan, tetapi satu Allah. Ada pula berbagai perbuatan ajaib, tetapi Allah yang sama juga yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. Sebab kepada yang seorang, Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang, Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang, Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mukjizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang, Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa lidah, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa lidah itu. Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya. | Setiap orang percaya diberi karunia oleh Allah secara konkrit agar bisa melayani sesama. |
1Kor. 15:58 Karena itu, Saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Allah jerih payahmu tidak sia-sia. | Oleh karena pengharapan akan kebangkitan, kerja kita dalam kehidupan ini memiliki nilai kekal. |
1Kor. 16:1-3 Tentang pengumpulan uang bagi orang-orang kudus, hendaklah kamu melakukannya sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang kuberikan kepada jemaat-jemaat di Galatia. Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing — sesuai dengan apa yang kamu peroleh — menyisihkan sesuatu dan menyimpannya, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan pada saat aku datang. Sesudah aku tiba, aku akan mengutus orang-orang, yang kamu anggap layak, disertai dengan surat-surat pengantar ke Yerusalem untuk menyampaikan pemberianmu. Kalau ternyata penting bahwa aku juga pergi, maka mereka akan pergi bersama-sama dengan aku. |
|
Pengantar kepada 2 Korintus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJika 1 Korintus memberi kita wawasan yang tak tertandingi mengenai kehidupan sehari-hari gereja Perjanjian Baru, maka 2 Korintus memberi kita gambaran unik tentang hati dan jiwa rasul yang karyanya mendirikan dan membangun gereja tersebut. Kita melihat Paulus bekerja, mengajar dan memberi teladan tentang transparansi, sukacita, hubungan baik, ketulusan, reputasi, pelayanan, kerendahan hati, kepemimpinan, kinerja dan akuntabilitas, rekonsiliasi, bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman, dorongan semangat, kemurahan hati, pemenuhan kewajiban tepat waktu, dan penggunaan kekayaan yang tepat.
Topik-topik di tempat kerja ini muncul karena pergumulan dan peluang sehari-hari yang Paulus temui dalam pekerjaannya sebagai rasul. Selama periode menjelang penulisan 2 Korintus, Paulus menghadapi sejumlah “pertengkaran dari luar dan ketakutan dari dalam,” seperti yang ia gambarkan (2Kor. 7:5). Hal ini jelas meninggalkan kesan tersendiri baginya, dan hasilnya adalah sebuah surat yang tiada duanya dalam Perjanjian Baru—sangat pribadi, menunjukkan berbagai macam emosi mulai dari kesedihan dan kegelisahan hingga kegembiraan dan keyakinan. Sebagai akibat dari kesulitan ini, Paulus menjadi pemimpin dan pekerja yang lebih efektif. Semua orang yang ingin belajar menjadi lebih efektif dalam pekerjaan mereka—dan bersedia mempercayai Allah atas kemampuan untuk melakukan hal tersebut—akan menemukan model praktis dalam diri Paulus dan ajarannya dalam 2 Korintus.
Interaksi Paulus dengan Gereja di Korintus (2 Korintus)
Dalam pendahuluan 1 Korintus kita memperhatikan bahwa Paulus mendirikan gereja Korintus selama kunjungan pertamanya di sana (musim dingin tahun 49/50 hingga musim panas tahun 51). Kemudian ia menulis satu surat, yang sudah tidak ada lagi, kepada gereja Korintus (disebutkan dalam 1Kor. 5:9) dan satu surat lagi yang masih ada—1 Korintus. Ia juga mengunjungi gereja itu tiga kali (2Kor. 12:14; 13:1). Kita tahu dari Roma 16:1 bahwa Paulus menulis suratnya kepada jemaat di Roma pada salah satu kunjungannya di Korintus.
Meskipun demikian, hubungan Paulus dengan gereja di Korintus tegang. Pada suatu saat ia menulis kepada mereka apa yang kemudian dikenal sebagai “surat yang keras" [1]—yang tampaknya cukup tegas (lihat 2Kor. 2:4). Ia mengirimkannya kepada jemaat Korintus melalui Titus dengan harapan hal itu akan membawa perubahan hati di antara orang-orang yang menentangnya di Korintus. Konflik yang belum terselesaikan dengan gereja di Korintus membuat Paulus gelisah saat menunggu kabar dari mereka (2Kor. 1:12-13). Ketika Titus akhirnya tiba pada musim gugur tahun 55, ia membawa kabar baik dari Korintus. Pada kenyataannya, surat Paulus yang keras terbukti sangat bermanfaat. Jemaat di Korintus yang telah menyebabkan begitu banyak dukacita benar-benar berduka atas putusnya hubungan mereka dengan Paulus, dan dukacita mereka telah menuntun pada pertobatan (2Kor. 7:8-16).
Menanggapi berita tersebut, Paulus menulis 2 Korintus, atau lebih tepatnya tujuh pasal pertama, untuk mengungkapkan sukacita dan rasa syukurnya baik kepada Allah maupun kepada jemaat Korintus atas pemulihan hubungan di antara mereka. Dalam pasal-pasal ini ia mencontohkan transparansi, sukacita, perhatian terhadap hubungan, integritas, reputasi, pelayanan, ketergantungan pada Allah, perilaku etis, karakter, dan dorongan semangat yang Allah minta untuk diwujudkan oleh semua orang Kristen. Selanjutnya, dalam pasal 8 dan 9, ia beralih ke topik kemurahan hati dan memenuhi kewajiban tepat waktu ketika ia mendesak jemaat Korintus untuk berkontribusi dalam memberikan bantuan kepada orang-orang Kristen di Yerusalem, yang telah mereka janjikan. Pada bagian ini Paulus menyoroti bagaimana kebutuhan kita dipenuhi oleh kemurahan hati Allah, bukan hanya agar kita tidak kekurangan apa pun yang kita perlukan tetapi juga agar kita memiliki banyak hal untuk dibagikan kepada orang lain. Dalam pasal 10 sampai 13 ia menggambarkan ciri-ciri kepemimpinan yang saleh, tampaknya sebagai respons terhadap berita meresahkan yang ia terima tentang apa yang disebut “rasul-rasul yang tak ada taranya” yang menyesatkan beberapa jemaat di Korintus. Meskipun di sini kita tidak membahas kepemimpinan gereja, kata-kata Paulus di bagian ini dapat diterapkan secara langsung di semua tempat kerja.
Bersyukur kepada Allah atas Hubungan yang Ada (2 Korintus 1:1–11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat Kedua Korintus dimulai dengan ucapan syukur Paulus yang tulus atas hubungan mendalam yang ia miliki dengan jemaat Korintus. Hubungan mereka begitu erat sehingga apa pun yang terjadi pada satu pihak, seolah-olah dirasakan oleh semuanya. Ia menulis, “Jika kami menderita, hal itu adalah untuk penghiburan dan keselamatan kamu” (2Kor. 1:6). “Sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami” (2Kor. 1:7). Gambaran Paulus tentang hubungan tersebut terdengar hampir seperti sebuah pernikahan. Mengingat ketegangan hubungan antara Paulus dan gereja yang terlihat dalam surat ini, keintiman ini mungkin mengejutkan. Bagaimana mungkin orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat, kekecewaan, dan bahkan kemarahan satu sama lain bisa mengatakan hal-hal seperti, “Pengharapan kami akan kamu teguh” (2Kor. 1:7)?
Jawabannya, hubungan baik tidak lahir dari kesepakatan bersama melainkan saling menghormati dalam mencapai tujuan bersama. Ini adalah poin penting dalam kehidupan kita di tempat kerja. Kita umumnya tidak memilih rekan kerja kita, sama seperti jemaat Korintus tidak memilih Paulus untuk menjadi rasul mereka dan Paulus tidak memilih orang-orang yang akan dituntun Allah kepada iman. Hubungan kita di tempat kerja tidak didasarkan pada ketertarikan timbal balik namun pada kebutuhan untuk bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kita bersama. Hal ini berlaku baik pekerjaan kita adalah mendirikan gereja, memproduksi suku cadang mobil, memproses asuransi atau formulir pemerintah, mengajar di universitas, atau pekerjaan lainnya. Semakin sulit suatu hal, semakin penting pula hubungan baik.
Bagaimana kita membangun hubungan baik di tempat kerja? Dalam arti tertentu, sisa surat 2 Korintus merupakan eksplorasi berbagai cara untuk membangun hubungan kerja yang baik—transparansi, integritas, akuntabilitas, kemurahan hati, dan sebagainya. Kita akan membahas semuanya dalam konteks ini. Namun Paulus menegaskan bahwa kita tidak bisa mencapai hubungan baik hanya melalui keterampilan dan metode. Yang paling kita perlukan adalah pertolongan Allah. Oleh karena itu, saling mendoakan adalah landasan hubungan yang baik. “Kamu juga turut membantu mendoakan kami,” Paulus meminta dan kemudian berbicara tentang “karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami” (2Kor. 1:11).
Seberapa dalam kita berinvestasi dalam hubungan dengan orang-orang yang bekerja bersama kita? Jawabannya mungkin diukur dari sejauh mana kita mendoakan mereka. Apakah kita cukup peduli terhadap mereka sehingga kita mendoakan mereka? Apakah kita berdoa untuk kebutuhan dan kekhawatiran khusus mereka? Apakah kita bersusah payah untuk cukup banyak mempelajari kehidupan mereka sehingga kita dapat mendoakan mereka dengan cara yang konkret? Apakah kita cukup membuka kehidupan kita sendiri sehingga orang lain bisa mendoakan kita? Pernahkah kita bertanya kepada orang-orang di tempat kerja kita apakah kita bisa mendoakan mereka atau mendoakan mereka untuk kita? Mereka mungkin tidak seiman dengan kita, namun orang-orang hampir selalu menghargai tawaran otentik untuk mendoakan mereka atau permintaan untuk mendoakan (atau berharap) bagi kita.
Transparansi (2 Korintus 1:12–23)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika Paulus beralih ke isi suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, ia membahas keluhan bahwa ia tidak terbuka dan jujur kepada mereka. Meskipun ia berjanji untuk mengunjungi Korintus lagi, Paulus telah membatalkannya dua kali. Apakah Paulus bersikap tidak tulus atau mencoba mempertahankan posisi yang kontradiktif untuk menyenangkan banyak orang? Apakah ia bermanuver di belakang layar untuk mendapatkan apa yang diinginkannya di belakang orang lain? Paulus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam 2 Korintus 1:12–14. Ia bangga bahwa perilakunya di antara jemaat Korintus selalu transparan. Tindakannya bukanlah tipu muslihat dari apa yang disebutnya “hikmat duniawi” (2Kor. 1:12). Ia membatalkan kunjungannya, bukan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau untuk menyelamatkan mukanya, tetapi karena ia tidak ingin mempermalukan atau menegur jemaat Korintus lagi. Oleh karena itu, ia menunda kedatangannya kembali ke Korintus dengan harapan bahwa, ketika ia datang, ia akan membawa sukacita daripada saling tuduh dan teguran (2Kor. 1:23-24).
Meskipun integritas Paulus dipertanyakan, ia tahu bahwa karena sejarah transparansinya dengan mereka, mereka akan terus mempercayainya. “Hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah,” ia mengingatkan mereka (2Kor. 1:12). Karena mereka telah melihatnya beraksi, mereka tahu bahwa ia mengatakan maksudnya tanpa ragu-ragu (2Kor. 1:17-20). Hal ini membuatnya yakin bahwa mereka “akan memahaminya sepenuhnya” (2Kor. 1:1–13), setelah mereka mengetahui semua faktor yang harus dipertimbangkannya. Bukti kepercayaan mereka adalah bahwa bahkan tanpa mengetahui segalanya, Paulus mengatakan kepada mereka, “Kamu akan memahaminya sepenuhnya” (2Kor. 1:13).
Dalam pekerjaan kita saat ini, apakah kita cukup transparan sehingga orang mempunyai alasan untuk mempercayai kita? Setiap hari, setiap orang, perusahaan, dan organisasi menghadapi godaan untuk menyembunyikan kebenaran. Apakah kita mengaburkan motivasi kita untuk mendapatkan kepercayaan palsu dari pelanggan atau pesaing? Apakah kita mengambil keputusan secara diam-diam sebagai cara untuk menghindari akuntabilitas atau menyembunyikan faktor-faktor yang mungkin membuat orang lain keberatan? Apakah kita berpura-pura mendukung rekan kerja di hadapan mereka, namun mengejek di belakang mereka? Teladan Paulus menunjukkan kepada kita bahwa tindakan tersebut salah. Selain itu, keuntungan singkat apa pun yang dapat kita peroleh dari mereka akan lebih besar daripada kerugiannya dalam jangka panjang karena rekan kerja kita belajar untuk tidak mempercayai kita. Dan jika rekan kerja kita tidak bisa mempercayai kita, apakah Allah bisa?
Tentu saja ini tidak berarti bahwa kita selalu mengungkapkan semua informasi yang kita miliki. Ada hal-hal rahasia, pribadi dan organisasi, yang tidak dapat diungkapkan. Tidak semua orang perlu mengetahui semua informasi. Kadang-kadang jawaban yang jujur mungkin adalah, “Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena saya mempunyai kewajiban menjaga privasi orang lain.” Namun kita tidak boleh menggunakan kerahasiaan sebagai alasan untuk berbohong, untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, atau untuk menampilkan diri kita dalam sudut pandang positif palsu. Jika dan ketika pertanyaan muncul mengenai motif kita, rekam jejak keterbukaan dan keandalan yang solid akan menjadi penawar terbaik bagi keraguan yang salah tempat.
Transparansi sangat penting dalam pekerjaan Paulus dengan jemaat Korintus sehingga ia kembali membahas tema tersebut di seluruh suratnya. “Kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan ... Sebaliknya, kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dinilai.” (2Kor. 4:2). “Hai orang Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu” (2Kor. 6:11).
Bekerja untuk Sukacita Sesama (2 Korintus 1:24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSukacita adalah cara berikutnya untuk membangun hubungan yang dibahas oleh Paulus. “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu” (2Kor. 1:24). Meskipun ia seorang rasul dengan wewenang yang dari Allah, Paulus membawa sukacita kepada sesama melalui caranya memimpin mereka—bukan memerintah mereka tetapi bekerja bersama mereka. Hal ini menjelaskan mengapa ia adalah pemimpin yang efektif dan mengapa orang-orang yang terkait dengannya menjadi rekan kerja yang kuat dan dapat diandalkan. Kata-kata Paulus menggemakan apa yang Yesus katakan kepada murid-murid-Nya ketika mereka berdebat tentang siapa di antara mereka yang terbesar:
"Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu janganlah demikian. Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi seperti yang paling muda dan pemimpin menjadi seperti pelayan.” (Luk. 22:25–26)
Inti dari pekerjaan Kristen, menurut Paulus, adalah bekerja bersama orang lain untuk membantu mereka mencapai sukacita yang lebih besar.
Akan seperti apa tempat kerja kita jika kita berusaha memberikan sukacita kepada orang lain melalui cara kita memperlakukan mereka?[1] Ini tidak berarti berusaha membuat semua orang bahagia sepanjang waktu, namun memperlakukan rekan kerja sebagai orang yang bernilai dan bermartabat, seperti yang dilakukan Paulus. Ketika kita memperhatikan kebutuhan orang lain di tempat kerja, termasuk kebutuhan untuk dihormati dan kebutuhan untuk dipercayakan dengan pekerjaan yang berarti, kita mengikuti teladan Paulus sendiri.
Prioritas Hubungan (2 Korintus 2:12–16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiCara lain untuk melakukan interaksi yang sehat di tempat kerja adalah dengan meluangkan waktu dan upaya untuk mengembangkan dan berinvestasi dalam hubungan. Setelah meninggalkan Efesus, Paulus pergi ke Troas, sebuah kota pelabuhan di sudut barat laut Asia Kecil, tempat ia mengharapkan Titus tiba dari kunjungannya ke Korintus (lihat pendahuluan di atas untuk rinciannya). Selagi Paulus berada di sana, ia menjalankan pekerjaan misionarisnya dengan semangat seperti biasanya, dan Allah memberkati usahanya. Namun terlepas dari awal yang menjanjikan di sebuah kota yang sangat strategis,[1] Paulus menghentikan pekerjaannya di Troas, karena, seperti yang ia katakan, “Tetapi hatiku tidak merasa tenang, karena aku tidak menjumpai saudara seimanku Titus” (2 Kor 2:13). Ia benar-benar tidak dapat melakukan pekerjaannya, hal yang sangat disukainya, karena kesedihan yang dirasakannya atas ketegangan hubungannya dengan orang-orang percaya di Korintus. Maka ia berangkat ke Makedonia dengan harapan dapat menemukan Titus di sana.
Ada dua hal yang mencolok mengenai bagian ini. Pertama, Paulus sangat menghargai hubungannya dengan orang percaya lainnya. Ia tidak bisa tetap menyendiri dan tidak terbebani ketika hubungan ini sedang rusak. Kita tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa ia mengetahui ajaran Yesus tentang meninggalkan pemberian di altar dan berdamai dengan saudaranya (Mat. 5:23-24), namun ia memahami dengan jelas prinsipnya. Paulus sangat ingin melihat segala sesuatunya diperbaiki, dan ia menginvestasikan banyak energi dan doa untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, Paulus memberikan prioritas tinggi untuk mewujudkan rekonsiliasi, meskipun hal tersebut menyebabkan penundaan yang signifikan dalam jadwal kerjanya. Ia tidak berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mempunyai kesempatan besar untuk pelayanan yang tidak akan datang lagi, dan oleh karena itu ia tidak bisa diganggu dengan jemaat Korintus dan kebutuhan sesaat mereka. Memperbaiki perpecahan dalam hubungannya dengan mereka lebih diutamakan.
Pelajarannya bagi kita sudah jelas. Hubungan itu penting. Jelas, kita tidak bisa selalu menghentikan apa yang kita lakukan seketika dan mengurus hubungan yang tegang. Namun apa pun tugas kita, hubungan adalah urusan kita. Tugas itu penting. Hubungan itu penting. Jadi, sesuai dengan semangat Matius 5:23–24, ketika kita mengetahui—atau bahkan mencurigai—bahwa suatu hubungan menjadi tegang atau rusak karena pekerjaan kita, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri mana yang lebih mendesak saat ini, penyelesaian tugas atau pemulihan hubungan. Jawabannya mungkin berbeda-beda, tergantung keadaan. Jika tugasnya cukup besar, atau ketegangan dalam hubungan cukup serius, sebaiknya kita tidak hanya menanyakan mana yang lebih mendesak namun juga mencari nasihat dari saudara atau saudari yang kita hormati.
Ketulusan (2 Korintus 2:17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti dalam 2 Korintus 1:12, Paulus sekali lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih ada mengenai kunjungannya ke Korintus yang tertunda. Jemaat Korintus nampaknya tersinggung karena pada awalnya ia tidak menerima dukungan finansial dari gereja di Korintus. Tanggapannya adalah bahwa menghidupi dirinya sendiri adalah masalah ketulusan. Bisakah orang percaya bahwa ia benar-benar mempercayai apa yang ia khotbahkan, atau apakah ia melakukannya hanya untuk menghasilkan uang seperti “banyak orang lain yang menjajakan firman Allah” (2Kor. 2:17) yang dapat ditemukan di kota-kota Romawi mana pun? Tampaknya ia tidak ingin disamakan dengan para filsuf dan ahli retorika pada zamannya yang mengenakan biaya besar untuk pidato mereka.[1] Sebaliknya ia dan rekan-rekan kerjanya “berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni.” Jelas sekali mereka tidak pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberitakan Injil demi menjadi kaya, namun mereka memahami diri mereka sendiri sebagai individu-individu yang diutus oleh Allah dan bertanggung jawab kepada Allah.
Hal ini mengingatkan kita bahwa motivasi bukan hanya urusan pribadi, terutama jika menyangkut uang. Cara kita menangani uang bersinar bagaikan penunjuk laser pada pertanyaan tentang ketulusan kita sebagai orang Kristen. Orang-orang ingin melihat apakah kita menangani uang sesuai dengan prinsip-prinsip tinggi kita atau membuang prinsip-prinsip kita ketika ada uang yang bisa dihasilkan. Apakah kita longgar dalam perhitungan pengeluaran? Apakah kita menyembunyikan pendapatan di bawah meja? Apakah kita terlibat dalam perlindungan pajak yang meragukan? Apakah kita mendorong kenaikan gaji, komisi, dan bonus dengan mengorbankan orang lain? Apakah kita mengambil keuntungan finansial dari orang-orang yang berada dalam keadaan sulit? Apakah kita memutarbalikkan kontrak untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak proporsional? Pertanyaannya bukan hanya apakah kita dapat membenarkan diri kita sendiri, tetapi juga apakah orang-orang di sekitar kita dapat mengenali bahwa tindakan kita sejalan dengan keyakinan Kristen. Jika tidak, kita mempermalukan diri sendiri dan nama Kristus.
Reputasi yang Tulus (2 Korintus 3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus memulai bagian 2 Korintus ini dengan dua pertanyaan retoris, yang keduanya mengharapkan jawaban negatif.[1] “Apakah kami mulai lagi memujikan diri kami? Atau perlukah kami seperti orang-orang lain menunjukkan surat pujian kepada kamu atau dari kamu?” (2Kor. 3:1). Paulus—teman lama mereka—dengan masam bertanya apakah ia memerlukan surat pengantar atau surat rekomendasi yang tampaknya dimiliki oleh orang lain yang telah memperkenalkan diri ke gereja. Surat-surat seperti itu adalah hal yang umum di dunia kuno, dan umumnya surat-surat itu perlu ditanggapi dengan hati-hati. Misalnya saja, negarawan Romawi, Cicero, yang menulis banyak surat seperti itu, menggunakan bahasa pujian stereotip yang dituntut oleh genre tersebut secara berlebihan. Namun, penerimanya menjadi sangat bosan membacanya sehingga terkadang ia merasa perlu menulis surat kedua agar penerima tahu apakah harus menganggap serius surat pertama. [2] Dengan kata lain, surat pujian sering kali tidak sebanding nilainya dengan papirus yang ditulisinya.
Paulus sama sekali tidak memerlukannya. Jemaat di Korintus mengenalnya secara dekat. Satu-satunya surat rekomendasi yang dibutuhkannya sudah tertulis di hati mereka (2Kor. 3:3). Keberadaan mereka sebagai sebuah gereja, serta pertobatan individu mereka sebagai respons terhadap khotbah Paulus, itulah surat pujian yang dibutuhkan atau diinginkan Paulus sehubungan dengan kerasulannya. Mereka dapat melihat hasil kerja keras Paulus, yang tidak meninggalkan keraguan bahwa ia adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah. Lebih lanjut, Paulus menegaskan, ia tidak mengklaim kompetensi dengan kekuatannya sendiri. “Kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah” (2Kor. 3:5), tulisnya. Pertanyaannya bukanlah apakah Paulus memiliki setumpuk kredensial dan rekomendasinya, namun apakah karyanya merupakan kontribusi bagi kerajaan Allah.
Bagaimana kita membangun reputasi kita saat ini? Di Amerika Serikat, banyak anak muda yang memilih kegiatan mereka bukan berdasarkan bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi terbaiknya kepada masyarakat, atau bahkan berdasarkan apa yang sebenarnya mereka nikmati, namun berdasarkan bagaimana kegiatan tersebut akan terlihat ketika mendaftar di universitas atau sekolah pascasarjana. Hal ini dapat berlanjut selama masa kerja kita, dengan setiap penugasan pekerjaan, afiliasi profesional, pesta makan malam, dan acara sosial yang diperhitungkan untuk mengasosiasikan kita dengan orang-orang dan institusi bergengsi. Paulus memilih aktivitasnya berdasarkan bagaimana ia dapat melayani orang-orang yang ia kasihi dengan sebaik-baiknya. Mengikuti jejaknya, kita harus bekerja sedemikian rupa sehingga dapat meninggalkan bukti kuat bahwa pekerjaan telah dilakukan dengan baik, hasil yang bertahan lama, dan orang-orang yang kehidupannya terkena dampak menjadi lebih baik.
Memimpin dan Melayani (2 Korintus 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDua Korintus 4 menyatukan tema-tema yang berkaitan erat dalam pekerjaan Paulus—transparansi, kerendahan hati, kelemahan, kepemimpinan, dan pelayanan. Karena kita melihat Paulus bekerja dalam situasi kehidupan nyata, tema-tema tersebut saling terkait ketika Paulus menceritakan kisahnya. Namun kita akan mencoba membahas tema-tema tersebut satu per satu agar dapat mendalami masing-masing tema sejelas mungkin.
Transparansi dan Kerendahan Hati (2 Korintus 4)
Dalam pasal 4 Paulus kembali ke tema transparansi, seperti yang kita bahas dalam pembahasan 2 Korintus 1:12-23. Kali ini ia menekankan pentingnya kerendahan hati untuk menjaga transparansi. Jika kita ingin membiarkan semua orang melihat kenyataan hidup dan pekerjaan kita, sebaiknya kita bersiap untuk rendah hati.
Tentu saja, akan lebih mudah untuk bersikap transparan terhadap orang lain jika kita tidak menyembunyikan apa pun. Paulus sendiri berkata, “Kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan” (2Kor. 4:2). Namun transparansi mengharuskan kita tetap terbuka, meskipun kita telah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sebenar-benarnya, kita semua rentan terhadap niat dan pelaksanaan yang keliru. “Harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat,” Paulus mengingatkan kita (2Kor. 4:7), mengacu pada bejana-bejana rumah tangga pada zamannya yang terbuat dari tanah liat biasa dan mudah pecah. Siapa pun yang mengunjungi puing-puing Timur Dekat Kuno dapat bersaksi tentang pecahan perabot yang berserakan di mana-mana. Paulus kemudian memperkuat gagasan ini dengan menceritakan bahwa Allah memberinya “duri dalam daging” untuk mengendalikan kesombongannya (2Kor. 12:7).
Menjaga transparansi ketika kita mengetahui kelemahan kita memerlukan kerendahan hati dan terutama kesediaan untuk menyampaikan permintaan maaf yang tulus. Banyak permintaan maaf yang disampaikan oleh tokoh masyarakat terdengar lebih seperti pembenaran terselubung dibandingkan permintaan maaf yang sebenarnya. Hal ini mungkin terjadi karena, jika kita bergantung pada diri kita sendiri sebagai sumber kepercayaan diri kita, meminta maaf berarti mempertaruhkan kemampuan kita untuk terus melakukannya. Namun keyakinan diri Paulus bukanlah pada kebenaran atau kemampuannya sendiri, namun pada ketergantungannya pada kuasa Allah. “Harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2Kor. 4:7). Jika kita juga mengakui bahwa hal-hal baik yang kita capai bukanlah cerminan diri kita, melainkan cerminan Tuhan kita, maka mungkin kita bisa memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan kita dan berharap kepada Allah untuk mengembalikan kita ke jalur yang benar. Paling tidak, kita bisa berhenti merasa bahwa kita harus menjaga citra kita dengan cara apa pun, termasuk dengan menipu orang lain.
Weakness as the Source of Strength (2 Corinthians 4)
Namun, kelemahan kita bukan hanya tantangan terhadap transparansi kita. Ini sebenarnya adalah sumber dari kemampuan kita yang sejati. Menahan penderitaan bukanlah sebuah efek samping yang disayangkan yang dialami dalam beberapa keadaan; ini adalah cara nyata untuk mewujudkan pencapaian sejati. Sebagaimana kuasa kebangkitan Yesus muncul karena penyaliban-Nya,[7] demikian pula ketabahan para rasul di tengah penderitaan membuktikan fakta bahwa kuasa yang sama sedang bekerja di dalam diri mereka.
Dalam budaya kita, seperti halnya di Korintus, kita memamerkan kekuatan dan kehebatan karena kita merasa hal-hal tersebut diperlukan untuk menaiki tangga kesuksesan. Kita mencoba meyakinkan orang-orang bahwa kita lebih kuat, lebih pintar, dan lebih kompeten daripada yang sebenarnya. Oleh karena itu, pesan Paulus tentang kerentanan mungkin terdengar sulit bagi kita. Apakah terlihat jelas dalam cara Anda melakukan pekerjaan Anda bahwa kekuatan dan vitalitas yang Anda pancarkan bukanlah kekuatan Anda sendiri, melainkan kekuatan Allah yang terlihat dalam kelemahan Anda? Saat Anda menerima pujian, apakah Anda membiarkannya menambah aura cemerlang Anda? Atau apakah Anda menceritakan bagaimana Allah—mungkin bekerja melalui orang lain—memungkinkan Anda melampaui potensi diri Anda? Kita biasanya ingin orang menganggap kita sangat kompeten. Namun bukankah orang yang paling kita kagumi adalah orang yang membantu sesama menggunakan karunia mereka?
Jika kita bertahan dalam keadaan sulit tanpa berusaha menyembunyikannya, akan terlihat jelas bahwa kita mempunyai sumber kekuatan di luar diri kita, yaitu kekuatan yang mempengaruhi kebangkitan Yesus dari kematian.
Melayani Sesama dengan Memimpin (2 Korintus 4)
Kerendahan hati dan kelemahan tidak akan tertahankan jika tujuan hidup kita adalah untuk menjadikan diri kita hebat. Namun pelayanan, bukan kebesaran, adalah tujuan orang Kristen. “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus.” (2Kor. 4:5). Ayat ini adalah salah satu pernyataan klasik alkitabiah tentang konsep yang kemudian dikenal sebagai “kepemimpinan yang melayani.” Paulus, pemimpin terkemuka gerakan Kristen di luar Palestina, menyebut dirinya “hambamu karena kehendak Yesus” (2Kor. 4:5).
Sekali lagi, Paulus tampaknya sedang merefleksikan ajaran Yesus sendiri di sini (lihat 2Kor. 1:24 di atas). Sebagai pemimpin, Yesus dan para pengikut-Nya melayani sesama. Wawasan Kristen yang mendasar ini harus mempengaruhi sikap kita dalam posisi kepemimpinan mana pun. Hal ini tidak berarti kita tidak menjalankan wewenang yang sah atau kita memimpin dengan ragu-ragu. Sebaliknya, hal ini menyiratkan bahwa kita menggunakan posisi dan kekuasaan kita untuk meningkatkan kesejahteraan sesama dan bukan hanya kesejahteraan kita sendiri. Pada kenyataannya, kata-kata Paulus “hambamu karena kehendak Yesus” lebih tegas daripada yang terlihat pada pandangan pertama. Para pemimpin dipanggil untuk mengutamakan kesejahteraan orang lain dibandingkan kesejahteraan mereka sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh para budak. Seorang budak, seperti yang Yesus tunjukkan, bekerja sepanjang hari di ladang, kemudian masuk dan menyajikan makan malam untuk rumah tangganya, dan baru setelah itu boleh makan dan minum (Lukas 17:7-10).
Memimpin sesama dengan melayani pasti akan membawa penderitaan. Dunia ini terlalu rusak bagi kita untuk membayangkan ada kemungkinan untuk lepas dari penderitaan saat melayani. Paulus mengalami kesengsaraan, kebingungan, dan penganiayaan sampai hampir mati (2Kor. 4:8-12). Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh menerima posisi kepemimpinan kecuali kita bermaksud mengorbankan hak istimewa untuk mengurus diri sendiri sebelum mengurus orang lain.
Kinerja dan Akuntabilitas (2 Korintus 5:1–15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam 2 Korintus 5 Paulus, yang terus-menerus menghadapi situasi yang dapat mengakibatkan kematiannya, mengingatkan jemaat Korintus bahwa pada penghakiman terakhir, setiap orang akan “memperoleh apa yang patut diterimanya sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat” (2Kor. 5:10) Ini adalah kata-kata yang tidak biasa bagi Paulus (walaupun tidak seaneh yang diperkirakan; lihat Rm. 2:6-10), yang biasanya kita kaitkan dengan doktrin kasih karunia, yang berarti bahwa keselamatan kita sepenuhnya tidak layak kita terima dan bukan hasil pekerjaan kita sendiri (Ef. 2:8–9). Namun, penting bagi kita untuk membiarkan gambaran kita tentang Paulus dibentuk berdasarkan apa yang sebenarnya ia katakan, dan bukan berdasarkan karikatur. Ketika kita menganalisa ajaran Paulus secara keseluruhan, kita menemukan bahwa ajaran tersebut selaras dengan ajaran Yesus, Yakobus, dan bahkan Perjanjian Lama. Bagi mereka semua, iman yang tidak diwujudkan dalam perbuatan baik bukanlah iman sama sekali. Memang, iman dan ketaatan saling berkaitan erat sehingga bahkan Paulus, seperti yang ia lakukan di sini, dapat merujuk pada ketaatan daripada iman padahal sebenarnya ia memikirkan kedua hal tersebut. Apa yang kita lakukan di dalam tubuh tidak bisa tidak mencerminkan apa yang telah dilakukan anugerah Allah bagi kita. Apa yang menyenangkan Tuhan dapat digambarkan sebagai iman atau, seperti di sini, sebagai perbuatan kebenaran yang dimungkinkan oleh kasih karunia Allah.
Apa pun itu, pesan Paulus cukup jelas: Cara kita menjalani hidup penting bagi Allah. Di tempat kerja, kinerja kita penting. Terlebih lagi, kita harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yesus atas semua yang telah kita lakukan dan yang belum kita lakukan. Dalam istilah tempat kerja, ini adalah akuntabilitas. Kinerja dan akuntabilitas sangatlah penting dalam kehidupan Kristen, dan kita tidak dapat meremehkannya sebagai urusan sekuler yang tidak penting bagi Allah. Allah peduli apakah kita bermalas-malasan, mengabaikan tugas kita, tidak masuk kerja, atau bekerja tanpa sungguh-sungguh memperhatikan pekerjaan kita.
Ini tidak berarti bahwa Allah selalu setuju dengan apa yang diharapkan oleh tempat kerja kita. Gagasan Allah tentang kinerja yang baik mungkin berbeda dengan gagasan manajer atau penyelia kita. Khususnya, jika memenuhi ekspektasi kinerja perusahaan kita memerlukan aktivitas yang tidak etis atau merugikan orang lain, maka penilaian Allah atas kinerja kita akan berbeda dengan penilaian perusahaan kita. Jika atasan Anda mengharapkan Anda untuk menyesatkan pelanggan atau merendahkan rekan kerja, demi Allah, carilah penilaian kinerja yang buruk dari atasan Anda dan penilaian yang baik dari Allah.
Allah memberi kita standar perilaku yang tinggi. Suatu hari nanti kita akan mempertanggungjawabkan cara kita memperlakukan rekan kerja, atasan, karyawan, dan pelanggan, belum lagi keluarga dan teman kita. Hal ini tidak meniadakan doktrin kasih karunia, namun justru menunjukkan kepada kita bagaimana Allah menghendaki kasih karunia-Nya mengubah hidup kita.
Mendamaikan Seluruh Dunia (2 Korintus 5:16–21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJika kedengarannya seolah-olah Paulus memanggil kita untuk mengertakkan gigi dan berusaha lebih keras untuk menjadi baik, maka kita melewatkan tujuan utama 2 Korintus. Paulus bermaksud agar kita melihat dunia dengan cara yang benar-benar baru, sehingga tindakan kita berasal dari pemahaman baru ini, bukan dari usaha yang lebih keras.
Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya tanpa memperhitungkan pelanggaran mereka dan Dia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. (2Kor. 5:17–19)
Paulus ingin kita mengalami transformasi menyeluruh sehingga kita menjadi anggota “ciptaan baru.” Penyebutan “ciptaan” segera membawa kita kembali ke Kejadian 1–2, kisah penciptaan dunia oleh Allah. Sejak awal Allah memiliki tujuan agar laki-laki dan perempuan bekerja sama (Kej. 1:27; 2:18), bekerja sama dengan Allah (Kej. 2:19), untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15), “menamai” makhluk-makhluk di bumi, dan “berkuasa” (Kej. 1:26) atas bumi sebagai penatalayan bagi Allah. Maksud Allah atas penciptaan, dengan kata lain, mencakup kerja sebagai realitas utama keberadaannya. Ketika manusia tidak menaati Allah dan merusak ciptaan, pekerjaan menjadi terkutuk (Kej. 3:17-18), dan manusia tidak lagi bekerja bersama Allah. Jadi ketika Paulus berkata, “sesungguhnya yang baru sudah datang,” segala sesuatu mencakup dunia kerja sebagai elemen intinya.
Allah mewujudkan ciptaan baru dengan mengutus Anak-Nya ke dalam ciptaan lama untuk mengubah atau “mendamaikan” ciptaan tersebut. “Sebab di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya.” Bukan hanya satu aspek dunia, tapi seluruh dunia. Dan mereka yang mengikuti Kristus, yang diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus, ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan rekonsiliasi Kristus (2Kor. 5:18). Kita adalah agen yang membawa rekonsiliasi ke seluruh penjuru dunia. Setiap hari ketika kita melakukan pekerjaan kita, kita harus menjadi pelayan rekonsiliasi ini. Hal ini mencakup rekonsiliasi antara manusia dengan Allah (penginjilan dan pemuridan), antara manusia dengan manusia (resolusi konflik), dan antara manusia dengan pekerjaan mereka (barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan nyata dan meningkatkan kualitas hidup serta kepedulian terhadap ciptaan Allah).
Ada tiga unsur penting dalam upaya rekonsiliasi. Pertama, kita harus memahami secara akurat apa yang salah di antara manusia, Allah, dan ciptaan. Jika kita tidak benar-benar memahami permasalahan yang ada di dunia, kita tidak bisa mewujudkan rekonsiliasi sejati seperti halnya seorang duta besar tidak bisa secara efektif mewakili satu negara ke negara lain tanpa mengetahui apa yang terjadi di kedua negara. Kedua, kita harus mengasihi orang lain dan berusaha memberi manfaat bagi mereka, bukan menghakimi mereka. “Kami tidak lagi menilai seorang pun juga menurut ukuran manusia,” kata Paulus kepada kita (2Kor. 5:16)—yaitu, sebagai objek untuk dieksploitasi, disingkirkan, atau disanjung, tetapi sebagai pribadi yang untuknya “[Kristus] telah mati dan telah dibangkitkan” (2Kor. 5:15). Jika kita mengutuk orang-orang di tempat kerja kita atau menarik diri dari kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, kita memandang sesama dan pekerjaan dari sudut pandang manusia. Jika kita mengasihi orang-orang di mana kita bekerja dan berusaha meningkatkan kualitas tempat kerja, produk, dan layanan kita, maka kita menjadi agen rekonsiliasi Kristus. Dan yang terakhir, menjadi benih ciptaan Allah tentu saja mengharuskan kita untuk terus bersekutu dengan Kristus. Jika kita melakukan hal-hal ini, kita akan mampu menghadirkan kuasa Kristus untuk mendamaikan sesama, organisasi, tempat-tempat, dan hal-hal di dunia sehingga mereka juga dapat menjadi anggota ciptaan baru Allah.
Mengunjungi Kembali Transparansi (2 Korintus 6:11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti yang telah kita perhatikan sebelumnya (dalam 2Kor. 1:12-23), transparansi merupakan tema yang berulang dalam surat ini. Tema ini muncul lagi di sini ketika Paulus menulis, “Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu” (2Kor. 6:11). Kita dapat mengatakan bahwa kehidupannya adalah sebuah kitab yang terbuka di hadapan mereka. Meski ia tidak menambahkan hal baru pada apa yang ia katakan sebelumnya, semakin jelas betapa pentingnya topik transparansi baginya. Ketika timbul pertanyaan mengenai pelayanannya, ia dapat mengacu kepada hubungannya dengan jemaat Korintus sebelumnya dengan kepastian mutlak bahwa ia selalu jujur kepada mereka tentang dirinya sendiri. Bisakah kita mengatakan hal yang sama tentang diri kita sendiri?
Bekerja dengan Orang Tidak Percaya (2 Korintus 6:14–18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam 2 Korintus 6:14-18 Paulus mengangkat pertanyaan tentang ketidakcocokan (secara harfiah berarti “pasangan yang tidak seimbang”) dengan orang non-Kristen. Ini memiliki implikasi baik bagi pernikahan (yang berada di luar cakupan kita di sini) dan hubungan kerja. Sampai saat ini, Paulus dengan gamblang menggambarkan pentingnya hubungan baik dengan orang-orang yang tinggal dan bekerja bersama kita. Paulus berkata dalam 1 Kor. 5:9–10 bahwa kita hendaknya bekerja dengan orang-orang non-Kristen, dan ia membahas cara melakukannya dalam 1 Kor. 10:25–33. (Lihat “Kemuliaan Allah adalah Tujuan Utama” (1 Kor. 10) untuk informasi lebih lanjut).
Di sini, Paulus memperingatkan kita mengenai perjanjian kerja dengan orang-orang yang tidak beriman, dengan merujuk pada Ulangan 22:10 yang memperingatkan kita agar tidak membajak dengan seekor lembu dan seekor keledai yang berpasangan. Mungkin ini karena keledai kesulitan menarik beban lembu dan lembu tidak bisa berlari lebih cepat dari keledai. Dalam 2 Korintus, Paulus tampaknya berbicara tentang realitas rohani yang lebih dalam, menasihati umat Allah untuk berhati-hati dalam memikul kuk dengan orang-orang yang mengabdi pada pelanggaran hukum, kegelapan, penyembahan berhala, dan Iblis sendiri (2Kor. 6:14-15).
Meskipun kita jelas-jelas dipanggil untuk mengasihi, melayani, dan bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman, Paulus mengatakan untuk tidak menjadi “pasangan yang tidak seimbang” dengan mereka. Apa maksudnya menjadi pasangan yang tidak seimbang? Jawabannya terletak pada kontras dengan menjadi pasangan seimbang Yesus, yang mengatakan, “Pikullah gandar yang Kupasang.” (Matius 11:29). Satu bagian dari kuk atau gandar itu merengkuh kita, dan bagian lainnya ada di pundak Yesus. Yesus, seperti lembu yang memimpin dalam sebuah tim, menentukan arah, langkah, dan jalan kita, dan kita tunduk pada kepemimpinan-Nya. Melalui kuk-Nya, kita merasakan tarikan-Nya, bimbingan-Nya, arah-Nya. Melalui kuk-Nya, Dia melatih kita untuk bekerja secara efektif dalam tim-Nya. Kuk-Nya lah yang menuntun kita, menyadarkan kita, dan mengikat kita kepada-Nya. Menjadi pasangan Yesus membuat kita bermitra dengan-Nya dalam memulihkan ciptaan Allah di setiap bidang kehidupan, seperti yang kita bahas dalam 2Kor. 5:16–21. Tidak ada kuk lain yang memisahkan kita dari kuk Yesus yang dapat menandinginya! “Sebab gandar yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan,” kata Yesus kepada kita (Mat. 11:29). Namun pekerjaan yang kita lakukan bersama-Nya Tidak lain adalah transformasi seluruh kosmos.
Ketika Paulus mengatakan kepada kita untuk tidak memikul kuk yang tidak seimbang dalam hubungan kerja, ia memperingatkan kita agar tidak terlibat dalam komitmen kerja yang menghalangi kita melakukan pekerjaan yang Yesus berikan bagi kita atau yang menghalangi kita untuk bekerja dalam kuk Yesus. Ini memiliki unsur etika yang kuat. “Persamaan apa yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?” Paulus bertanya (2Kor. 6:14). Jika relasi kerja itu mengharuskan suatu komitmen kerja yang membuat kita merugikan pelanggan, menipu konstituen, menyesatkan karyawan, menganiaya rekan kerja, mencemari lingkungan, atau semacamnya, maka kita telah mengenakan kuk untuk melanggar tugas kita sebagai penatalayan kerajaan Allah. Lebih jauh lagi, mengenakan kuk bersama Yesus menuntun kita untuk berupaya mendamaikan dan memperbarui dunia dalam terang janji-janji Allah tentang “kerajaan yang akan datang.”
Jadi, menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak beriman berarti berada dalam situasi atau hubungan yang mengikat Anda pada keputusan dan tindakan orang-orang yang memiliki nilai dan tujuan yang tidak sesuai dengan nilai dan tujuan Yesus. Kita mungkin akan—dan harus—melakukan segala yang kita bisa untuk menghindari bekerja sama dengan orang-orang yang akan memaksa kita bertindak bertentangan dengan keyakinan kita. Namun selain itu, banyak motivasi, nilai-nilai, dan metode kerja dari supervisor dan kolega kita di sebagian besar tempat kerja mungkin tidak sesuai dengan keyakinan kita sebagai orang Kristen. Dan lingkungan serta keyakinan orang-orang yang bekerja bersama Anda mungkin mempunyai pengaruh negatif terhadap iman dan pengalaman hidup Kristen Anda. Meskipun demikian, sebagian besar dari kita bekerja di antara orang-orang yang tidak beriman, dan seperti yang telah kita perhatikan, Paulus berasumsi bahwa ini adalah situasi normal bagi orang-orang Kristen. Lalu bagaimana kita menerapkan larangan-Nya terhadap berpasangan yang tidak seimbang?
Mari kita mulai dengan melihat pekerjaan. Pekerjaan adalah perjanjian di mana Anda melakukan pekerjaan yang disepakati dengan imbalan yang disepakati. JIka Anda dapat secara sukarela dan adil mengakhiri kontrak ini jika hal itu merugikan Anda atau orang lain, Anda bebas untuk melepaskan ikatan tersebut. Bagaimana Anda mengetahui apakah suatu perjanjian kerja perlu dilepaskan atau diakhiri? Kita akan melihat dua situasi yang sangat berbeda.
Pertama, bayangkan Anda bekerja di sebuah organisasi yang umumnya beretika, namun Anda dikelilingi oleh orang-orang yang tidak percaya seperti Anda dan yang pengaruhnya merusak kehidupan iman Anda. Penilaian ini mungkin berbeda bagi setiap orang percaya. Ada yang mampu mempertahankan imannya di tengah pencobaan dan ketidakpercayaan di sekelilingnya, ada pula yang tidak. Godaan seperti uang, kekuasaan, percabulan, dan mencari pengakuan bisa sangat besar di banyak lingkungan kerja, dan larangan Paulus menyarankan bahwa lebih baik melepaskan diri dari “kuk” pekerjaan itu daripada menajiskan tubuh dan roh atau mengkompromikan hubungan Anda dengan Tuhan. Di sisi lain, orang lain mampu bekerja di tengah godaan tersebut sebagai saksi kebenaran dan kasih serta harapan Injil. Biasanya mereka membutuhkan seseorang di luar godaan di tempat kerja untuk membantu mereka mempertahankan iman mereka.
Ester adalah contoh menarik dari situasi seperti ini. Allah memanggilnya ke dalam harem Raja Ahasyweros agar ia bisa menjadi pelindung bangsa Yahudinya (Ester 4:12-16). Godaan dari “pekerjaan” tersebut adalah untuk melindungi status dan hak istimewanya sebagai ratu pilihan raja (Ester 4:11-12). Ia mungkin menyerah pada godaan kehidupan mewah itu jika pamannya, Mordekhai, tidak menghubunginya setiap hari (Ester 2:11) untuk membimbingnya dan akhirnya memanggilnya untuk mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan bangsanya (Ester 4: 8). (Lihat “Bekerja dalam Sistem yang Jatuh (Ester)” untuk informasi lebih lanjut.)
Ester mempunyai pengaruh besar terhadap raja tetapi juga sangat rentan terhadap rasa ketidaksenangannya. Hal ini tampaknya merupakan suatu kasus yang jelas mengenai “pasangan yang tidak seimbang.” Namun pada akhirnya, kuknya bersama Allah terbukti lebih kuat daripada kuknya bersama raja karena ia rela mempertaruhkan nyawanya demi melakukan kehendak Allah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar keinginan Anda untuk menanggung konsekuensi dari mengatakan “tidak” ketika diminta untuk melanggar keyakinan Anda, semakin erat pula hubungan yang dapat Anda jalin dengan orang-orang yang tidak beriman, namun tetap terikat pada Yesus. Implikasi penting dari hal ini adalah menahan diri untuk tidak terlalu bergantung pada suatu pekerjaan sehingga Anda tidak sanggup berhenti. Jika Anda menanggung pengeluaran dan utang hingga, atau bahkan melebihi, tingkat pendapatan Anda, pekerjaan apa pun dapat dengan cepat menjadi semacam pekerjaan yang tidak seimbang. Mengadopsi standar hidup yang lebih sederhana dan mengumpulkan tabungan dalam jumlah besar—jika mungkin—dapat membuat lebih mudah untuk tetap menjadi pasangan Kristus jika keadaan di tempat kerja menjadi buruk.
Contoh kedua dari “kuk yang tidak seimbang” mungkin adalah kemitraan bisnis dengan orang yang tidak seiman. Ini akan menjadi kemitraan yang jauh lebih setara dalam hal kekuasaan, namun sama berisikonya dalam hal etika. Ketika salah satu mitra menandatangani kontrak, membelanjakan uang, membeli atau menjual properti—atau melanggar hukum—mitra lainnya terikat oleh tindakan atau keputusan tersebut. Kemitraan semacam ini bisa jadi lebih mirip seperti lembu dan keledai – dua mitra yang bergerak ke arah yang berlawanan. Terlebih lagi, kita tahu dari pengalaman bahwa kemitraan antara dua orang beriman juga mengandung risiko, mengingat orang Kristen juga masih berdosa. Oleh karena itu, semua kemitraan bisnis memerlukan kebijaksanaan dan kearifan serta kemampuan dan kemauan untuk mengakhiri kemitraan jika diperlukan, meskipun hal tersebut akan sangat merugikan. Larangan Paulus dalam 2 Korintus 6, minimal, harus menjadi alasan untuk berdoa dan melakukan pertimbangan sebelum menjalin suatu kemitraan, dan mungkin untuk memasukkan batasan kontrak dalam pengaturan tersebut.
Tentu saja ada banyak jenis hubungan kerja lainnya, termasuk jual beli, investasi, kontrak dan subkontrak, serta asosiasi dagang. Peringatan Paulus terhadap pasangan yang tidak seimbang dapat membantu kita memahami bagaimana dan kapan kita harus menjalin hubungan seperti itu, dan mungkin yang lebih penting, bagaimana dan kapan kita harus keluar dari hubungan tersebut. Dalam semua hubungan ini, bahayanya semakin besar ketika kita menjadi lebih bergantung pada hubungan tersebut dibandingkan pada Kristus.
Yang terakhir, kita harus berhati-hati untuk tidak menjadikan kata-kata Paulus menjadi mentalitas kita-lawan-mereka terhadap orang-orang yang tidak percaya. Kita tidak bisa menghakimi atau mengutuk orang-orang yang tidak beriman sebagai orang yang tidak etis karena Paulus sendiri menolak melakukan hal tersebut. “Sebab dengan wewenang apa aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah seharusnya kamu yang menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah” (1 Kor. 5:12–13). Kenyataannya adalah kita sendiri membutuhkan kasih karunia Kristus setiap hari agar kita tidak menyesatkan orang lain karena dosa kita sendiri. Kita dipanggil bukan untuk menghakimi, namun untuk menilai apakah pekerjaan kita memenuhi tujuan dan cara Kristus.
Dorongan Semangat untuk Memuji (2 Korintus 7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSegera setelah menegur jemaat Korintus, Paulus memuji mereka. “Aku juga sangat memegahkan kamu. Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2Kor. 7:4). Mungkin mengejutkan bagi sebagian orang ketika mendapati Paulus tanpa malu-malu berbangga mengenai jemaat di Korintus. Banyak di antara kita yang dibesarkan dengan keyakinan bahwa kesombongan adalah dosa (yang tentu saja benar) dan bahkan kebanggaan terhadap prestasi orang lain pun patut dipertanyakan. Lebih jauh lagi, kita mungkin bertanya-tanya apakah rasa bangga Paulus terhadap jemaat Korintus pada tempatnya. Ini adalah jemaat yang dilanda banyak kesulitan, dan ada beberapa teguran pedas dalam suratnya kepada mereka. Ia tidak menggunakan sudut pandang yang berlebihan dalam hal jemaat Korintus. Namun Paulus sama sekali tidak malu dengan hal-hal seperti itu. Ia tidak segan-segan memberikan pujian ketika pujian memang layak diberikan, dan tampaknya ia benar-benar bangga dengan kemajuan yang dicapai orang-orang percaya di Korintus meskipun hubungannya tegang dengan mereka. Ia menyatakan bahwa kebanggaannya terhadap mereka memang pantas diterima, dan bukan sekadar sanjungan murahan (2Kor. 7:11-13). Ia mengulangi dalam 2 Korintus 7:14 poin bahwa pujian harus tulus ketika ia berkata, “Kami senantiasa mengatakan apa yang benar kepada kamu, demikian juga kemegahan kami di hadapan Titus sudah ternyata benar.”
Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya pujian yang spesifik, akurat, dan tepat waktu bagi rekan kerja, karyawan, dan sesama yang berinteraksi dengan kita di tempat kerja. Pujian yang berlebihan atau bersifat umum adalah hal yang hampa dan mungkin tampak tidak tulus atau manipulatif. Dan kritik yang tak henti-hentinya justru menghancurkan, bukannya membangun. Namun kata-kata penghargaan dan terima kasih yang tulus atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik selalu tepat. Mereka merupakan bukti rasa saling menghormati, fondasi komunitas sejati, dan memotivasi setiap orang untuk melanjutkan pekerjaan baik mereka. Kita semua menantikan untuk mendengar Allah berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat. 25:21), dan kita sebaiknya memberikan pujian serupa kapan pun diperlukan.
Kemurahan Hati Bukanlah Pilihan (2 Korintus 8:1–9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti yang telah kita perhatikan dalam pendahuluan, 2 Korintus 8 dan 9 membentuk bagian terpisah dari surat Paulus yang membahas topik pengumpulan bantuan untuk gereja-gereja di Yudea. Proyek ini merupakan kegemaran sang rasul, dan ia mempromosikannya dengan penuh semangat di gereja-gerejanya (1 Kor. 16:1-3). Paulus memulai bagian ini dengan menunjuk pada teladan kemurahan hati gereja-gereja di Makedonia dan menyiratkan bahwa ia mengharapkan hal yang sama dari jemaat Korintus. Sebagaimana umat beriman di Korintus telah menunjukkan iman yang berlimpah, kemampuan untuk mewartakan kebenaran,[1] pengetahuan, antusiasme, dan kasih, maka mereka juga harus berusaha untuk mendapatkan “karunia” (Yun. charis) kemurahan hati. Istilah “karunia” mempunyai arti ganda di sini. Kata ini mempunyai arti “karunia rohani”, mengacu kepada karunia Allah kepada mereka berupa kebajikan kemurahan hati, dan memiliki arti “sumbangan”, mengacu pada pemberian uang yang mereka kumpulkan. Hal ini memperjelas bahwa kemurahan hati bukanlah sebuah pilihan bagi umat kristiani, namun merupakan bagian dari karya Roh Kudus dalam hidup kita.
Di tempat kerja, semangat kemurahan hati adalah minyak yang membuat segala sesuatunya berjalan lancar di berbagai tingkatan. Karyawan yang merasa bahwa atasannya murah hati akan lebih bersedia berkorban untuk organisasinya ketika diperlukan. Pekerja yang murah hati terhadap rekan kerjanya akan menciptakan sumber bantuan yang siap pakai bagi dirinya sendiri dan pengalaman yang lebih menyenangkan dan memuaskan bagi semua orang.
Kedermawanan tidak selalu soal uang. Contohnya saja, pemberi kerja dapat bermurah hati dengan meluangkan waktu untuk membimbing pekerjanya, menyediakan tempat kerja yang indah, menawarkan kesempatan untuk pelatihan dan pengembangan, dengan tulus mendengarkan seseorang yang mempunyai masalah atau keluhan, atau mengunjungi anggota keluarga pekerja di rumah sakit. Rekan kerja dapat menawarkan kemurahan hati dengan membantu orang lain melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik, memastikan tidak ada orang yang tersisih dalam pergaulan, membela mereka yang mengalami pelecehan, menawarkan persahabatan sejati, berbagi pujian, meminta maaf atas pelanggaran, atau sekadar mengetahui nama-nama pekerja yang mungkin tidak terlihat oleh kita jika tidak demikian. Steve Harrison bercerita tentang dua residen bedah di Universitas Washington yang berlomba untuk melihat siapa yang dapat mengetahui nama-nama asisten perawat, penjaga, transportasi, dan staf diet dan kemudian menyapa mereka dengan namanya setiap kali mereka melihatnya.[2]
Berbagi Kekayaan (2 Korintus 8:13–15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus mengingatkan jemaat Korintus tentang prinsip dasar pengumpulan ini. “Hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2Kor. 8:14). Hal ini bukan berarti bahwa gereja-gereja di Yudea harus merasakan terbantu kesulitannya dengan merugikan gereja-gereja non-Yahudi, namun harus ada keseimbangan yang tepat di antara keduanya. Orang-orang percaya di sana sangat membutuhkan dan gereja Korintus sedang mengalami kemakmuran. Mungkin akan tiba waktunya ketika keadaan akan berbalik, dan kemudian bantuan akan mengalir ke arah sebaliknya, “agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu” (2Kor. 8:14).
Paulus menggunakan dua gambaran untuk menjelaskan maksudnya. Yang pertama, keseimbangan, bersifat abstrak, tetapi di dunia kuno, seperti zaman sekarang juga, kita memahami bahwa dalam alam dan dalam masyarakat, keseimbangan mengarah pada stabilitas dan kesehatan.[1] Penerimanya mendapat manfaat karena sumbangan itu meringankan kekurangan yang tidak normal. Pemberi manfaat karena pemberian tersebut mencegah penyesuaian terhadap kelimpahan yang tidak berkelanjutan. Gambaran kedua bersifat konkrets dan historis. Paulus mengingatkan jemaat Korintus tentang zaman dahulu kala ketika Allah memberikan manna kepada bangsa Israel mempertahankan hidup mereka (Kel. 16:11-18). Meskipun ada yang mengumpulkan banyak dan ada yang mengumpulkan sedikit, ketika jatah harian dibagikan, tidak ada yang mengumpulkan terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Prinsip bahwa orang yang lebih kaya harus memberikan kekayaannya kepada orang yang lebih miskin hingga sumber dayanya berada dalam “keseimbangan” merupakan tantangan bagi gagasan modern tentang kemandirian individu. Rupanya, ketika Paulus menyebut orang-orang Kristen sebagai “hambamu karena kehendak Yesus” (2Kor. 4:5), yang dimaksudkannya adalah 100 persen gaji dan kekayaan kita adalah milik Allah, dan Allah mungkin ingin agar kita membagikannya kepada orang lain sedemikian rupa sehingga pendapatan yang kita simpan untuk keperluan pribadi kita seimbang dengan pendapatan mereka.
Namun, kita harus berhati-hati agar tidak membuat penerapan yang terlalu disederhanakan pada struktur dunia saat ini. Diskusi penuh mengenai prinsip ini di kalangan umat kristiani menjadi sulit karena terjebak dalam perdebatan politik mengenai sosialisme dan kapitalisme. Pertanyaan dalam perdebatan tersebut adalah apakah negara mempunyai hak—atau kewajiban—untuk memaksakan keseimbangan kekayaan dengan mengambil dari masyarakat kaya dan mendistribusikannya kepada masyarakat miskin. Hal ini berbeda dengan situasi Paulus, dimana sekelompok gereja meminta anggotanya untuk secara sukarela memberikan uang untuk dibagikan oleh gereja lain demi kepentingan anggotanya yang miskin. Faktanya, Paulus tidak mengatakan apa pun tentang negara dalam hal ini. Mengenai dirinya sendiri, Paulus mengatakan ia tidak punya rencana untuk memaksa siapa pun. “Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah” (2Kor. 8:8), begitulah katanya, dan pengumpulan juga tidak boleh dilakukan “dengan sedih hati atau karena paksaan” (2Kor. 9:7).
Tujuan Paulus bukan untuk menciptakan sistem sosial tertentu tetapi untuk meminta mereka yang mempunyai uang apakah mereka benar-benar siap menggunakannya untuk melayani Allah demi kepentingan orang miskin. “Karena itu tunjukkanlah kepada mereka di hadapan jemaat-jemaat bukti kasihmu dan bukti kemegahanku atas kamu,” pintanya (2Kor. 8:24). Umat Kristen harus terlibat dalam banyak diskusi tentang cara terbaik untuk mengentaskan kemiskinan. Apakah melalui pemberian saja, atau investasi, atau sesuatu yang lain, atau campuran? Peran apa yang dimiliki oleh struktur gereja, bisnis, pemerintah, dan organisasi nirlaba? Aspek-aspek sistem hukum, infrastruktur, pendidikan, budaya, tanggung jawab pribadi, penatalayanan, kerja keras, dan faktor-faktor lain manakah yang harus direformasi atau dikembangkan? Umat Kristen harus berada di garis depan dalam mengembangkan cara-cara yang tidak hanya murah hati namun juga efektif untuk mengakhiri kemiskinan.[2]
Namun tidak boleh ada keraguan mengenai mendesaknya kemiskinan dan tidak boleh ada keengganan untuk menyeimbangkan penggunaan uang dengan kebutuhan orang lain di seluruh dunia. Kata-kata Paulus yang tegas menunjukkan bahwa mereka yang menikmati kelimpahan tidak bisa berpuas diri ketika begitu banyak orang di dunia menderita kemiskinan ekstrem.
Anda Tidak Bisa Memberi Lebih Banyak dari Allah (2 Korintus 9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam mendesak jemaat di Korintus untuk memberi dengan murah hati, Paulus sadar bahwa ia harus mengatasi keprihatinan yang sangat manusiawi di dunia yang memiliki sumber daya yang terbatas. Beberapa pendengarnya pasti berpikir, “Jika saya memberi dengan tulus dan murah hati seperti yang Paulus anjurkan, mungkin saya tidak akan punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan saya.” Dengan menggunakan metafora pertanian yang diperluas, Paulus meyakinkan mereka bahwa dalam perekonomian Allah segala sesuatunya berjalan berbeda. Ia telah menyinggung sebuah prinsip dalam kitab Amsal, dengan menyatakan bahwa “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (bandingkan 2Kor. 9:6 dengan Ams. 11: 24–25). Ia melanjutkannya dengan mengutip sebuah pepatah dari Amsal 22:8 versi Yunani, bahwa “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2Kor. 9:7). Dari sini ia menyimpulkan sebuah janji bahwa bagi orang yang memberi dengan murah hati, Allah dapat dan akan memberikan segala macam berkat menjadi berlimpah[1].
Oleh karena itu, Paulus meyakinkan jemaat Korintus bahwa kemurahan hati mereka tidak menimbulkan risiko kemiskinan di masa depan. Sebaliknya, kemurahan hati adalah jalan untuk mencegah kekurangan di masa depan. “Allah sanggup melimpahkan segala anugerah kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam berbagai perbuatan baik” (2Kor. 9:8). Dalam dua ayat berikutnya ia meyakinkan mereka yang menabur (atau “menyebarkan”) dengan murah hati kepada orang miskin bahwa Allah akan memberi mereka benih yang cukup untuk ditabur dan untuk membuat roti untuk kebutuhan mereka sendiri. Ia menggarisbawahi hal ini ketika ia mengatakan, “Kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami” (2Kor. 9:11), sebuah janji yang mencakup dan melampaui berkat materi.
Meskipun Paulus dengan jelas berbicara tentang kemurahan hati dan berkat materi, kita harus berhati-hati untuk tidak mengubah jaminan akan penyediaan Allah menjadi harapan untuk menjadi kaya. Allah bukanlah skema MLM! “Berkelebihan” yang Paulus maksudkan adalah “memiliki segala sesuatu secara cukup,” bukan menjadi kaya. Yang disebut “Injil Kemakmuran” sangat salah memahami ayat-ayat seperti ini. Mengikuti Kristus bukanlah sebuah skema yang menghasilkan uang, seperti yang Paulus dengan susah payah katakan di seluruh suratnya.
Hal ini mempunyai penerapan yang jelas dalam memberikan hasil kerja kita, yaitu dalam menyumbangkan uang dan sumber daya lainnya. Namun hal ini juga berlaku dalam pemberian diri kita selama bekerja. Kita tidak perlu takut bahwa dengan membantu orang lain sukses di tempat kerja, kita akan membahayakan kesejahteraan kita sendiri. Allah telah berjanji untuk memberi kita semua yang kita butuhkan. Kita dapat membantu orang lain tampil bagus di tempat kerja tanpa takut hal itu akan membuat kita terlihat suram jika dibandingkan. Kita dapat bersaing secara sehat di pasar tanpa khawatir bahwa akan diperlukan beberapa trik kotor untuk mencari nafkah dalam bisnis yang kompetitif. Kita dapat mendoakan, menyemangati, mendukung, dan bahkan membantu saingan kita karena kita tahu bahwa Allahlah, bukan keunggulan kompetitif kita, yang merupakan sumber rezeki kita. Kita harus berhati-hati untuk tidak memutarbalikkan janji ini menjadi Injil palsu mengenai kesehatan dan kekayaan, seperti yang dilakukan banyak orang. Allah tidak menjanjikan bagi orang percaya sejati sebuah rumah besar dan mobil mahal. Namun Dia meyakinkan kita bahwa jika kita memperhatikan kebutuhan orang lain, Dia akan memastikan bahwa kebutuhan kita akan terpenuhi dalam prosesnya.
Menilai Kinerja (2 Korintus 10–13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti yang telah kita catat dalam pendahuluan, 2 Korintus 10 sampai 13 merupakan bagian ketiga surat ini. Bagian yang paling relevan mengenai pekerjaan terdapat pada pasal 10 dan 11, yang memperluas pembahasan mengenai kinerja di tempat kerja yang dimulai pada pasal 5. Di sini Paulus membela diri ketika menghadapi serangan dari beberapa orang yang ia sebut sebagai “rasul-rasul yang tak ada taranya” (2Kor. 11:5). Dalam melakukan hal ini, ia menawarkan wawasan spesifik yang dapat diterapkan secara langsung pada penilaian kinerja.
Para rasul-rasul yang tak ada taranya namun palsu telah mengkritik Paulus karena tidak menyamai mereka dalam hal kefasihan berbicara, karisma pribadi, dan bukti tanda-tanda dan mukjizat. Tentu saja, “standar” yang mereka pilih tidak lebih dari sekedar deskripsi diri mereka sendiri dan pelayanan mereka. Paulus menunjukkan betapa absurdnya permainan yang mereka mainkan. Orang yang menilai dengan membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri akan selalu merasa puas diri. Paulus menolak untuk mengikuti skema yang mementingkan diri sendiri. Baginya, seperti yang telah ia jelaskan dalam 1 Korintus 4:1-5, satu-satunya penghakiman—dan oleh karena itu satu-satunya pujian—yang bernilai adalah penghakiman Tuhan Yesus.
Perspektif Paulus memiliki relevansi langsung dengan tempat kerja kita. Kinerja kita dalam pekerjaan kemungkinan besar akan dinilai dalam tinjauan triwulanan atau tahunan, dan tentunya tidak ada yang salah dengan hal itu. Masalah muncul ketika standar yang kita gunakan untuk mengukur diri sendiri atau orang lain bersifat bias dan mementingkan diri sendiri. Di beberapa organisasi—biasanya organisasi yang hanya bertanggung jawab secara longgar kepada pemilik dan pelanggannya—sekelompok kecil orang terdekat mungkin memperoleh kemampuan untuk menilai kinerja pihak lain berdasarkan apakah kinerja tersebut sejalan dengan kepentingan pribadi orang dalam. Mereka yang berada di luar lingkaran dalam kemudian dievaluasi terutama dalam hal “bersama kita” atau “melawan kita.” Ini adalah situasi yang sulit untuk kita hadapi, namun karena umat kristiani mengukur kesuksesan berdasarkan penilaian Allah, bukan berdasarkan promosi, gaji, atau bahkan kelanjutan pekerjaan, kita mungkin adalah orang-orang yang dapat membawa penebusan bagi organisasi-organisasi korup tersebut. Jika kita mendapati diri kita sebagai penerima manfaat dari sistem yang korup dan mementingkan diri sendiri, kesaksian apa yang lebih baik tentang Kristus yang dapat kita temukan selain membela kepentingan orang lain yang telah dirugikan atau dipinggirkan, bahkan dengan mengorbankan kenyamanan dan keamanan kita sendiri?
Ringkasan dan Kesimpulan 2 Korintus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKeadaan unik yang mendorong Paulus untuk menulis 2 Korintus menghasilkan sebuah surat yang berisi banyak pelajaran penting bagi pekerjaan, pekerja, dan tempat kerja. Paulus berulang kali menekankan pentingnya transparansi dan integritas. Ia mendesak para pembacanya untuk berinvestasi dalam hubungan yang baik dan menyenangkan di tempat kerja dan mengupayakan rekonsiliasi ketika hubungan rusak. Ia mengukur pekerjaan yang rohani dalam hal pelayanan, kepemimpinan, kerendahan hati, kemurahan hati, dan reputasi yang kita peroleh melalui tindakan kita. Ia berpendapat bahwa kinerja, akuntabilitas, dan pemenuhan kewajiban tepat waktu merupakan tugas penting orang Kristen di tempat kerja. Ia memberikan standar untuk evaluasi kinerja yang tidak memihak. Ia mengeksplorasi peluang dan tantangan bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman. Ia menghimbau kita untuk menggunakan kekayaan yang kita dapatkan dari bekerja demi kebaikan masyarakat, bahkan sampai pada titik di mana kita dapat memanfaatkannya secara setara untuk memberi manfaat bagi orang lain seperti yang kita lakukan untuk memberi manfaat bagi diri kita sendiri. Ia meyakinkan kita bahwa dengan melakukan hal ini kita menambah, bukannya mengurangi, keamanan finansial kita karena kita bergantung pada kekuatan Allah dan bukan pada kelemahan kita sendiri.
Kata-kata Paulus sangat menantang karena ia mengatakan bahwa melayani orang lain, bahkan sampai pada titik penderitaan, adalah cara untuk menjadi efektif dalam perekonomian Allah, sama seperti Yesus sendiri yang menyelamatkan kita melalui penderitaan-Nya di kayu salib. Paulus, meskipun masih jauh dari kesempurnaan ilahi Yesus, bersedia menjalani kehidupannya sebagai sebuah buku yang terbuka, sebuah contoh tentang bagaimana kekuatan Allah mengatasi kelemahan manusia. Karena keterbukaannya, Paulus dapat dipercaya ketika ia menyatakan bahwa bekerja sesuai dengan cara, tujuan, dan nilai-nilai Allah adalah jalan menuju kehidupan yang lebih utuh. Ia menyampaikan kepada kita perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9). Nasihat ini sama pentingnya bagi pekerjaan kita saat ini dan juga bagi jemaat Korintus ketika Paulus menulis surat yang menakjubkan ini.
Ayat-ayat Kunci dan Tema-tema dalam 2 Korintus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
2 Kor 1:3-4 Terpujilah Allah, Bapa Allah kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh kemurahan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. | Pengalaman kita dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. |
2 Kor 1:12 Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan anugerah Allah. | Transparansi akan meyakinkan orang lain bahwa motif kita murni. |
2 Kor 1:24 Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu. | Kepemimpinan mencakup pelayanan yang meningkatkan sukacita sesama kita. |
2 Kor 2:12-13 Ketika aku tiba di Troas untuk memberitakan Injil Kristus, aku dapati bahwa Allah telah membuka pintu untuk pekerjaan di sana. Tetapi hatiku tidak merasa tenang, karena aku tidak menjumpai saudara seimanku Titus. Sebab itu aku minta diri dan berangkat ke Makedonia. | Hubungan yang sehat harus menempati prioritas tinggi dalam hidup kita. |
2 Kor 2:17 Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang menjajakan firman Allah. Sebaliknya, dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya. | Integritas menuntut ketulusan yang setinggi-tingginya. |
2 Kor 3:1-2, 5-6 Apakah kami mulai lagi memujikan diri kami? Atau perlukah kami seperti orang-orang lain menunjukkan surat pujian kepada kamu atau dari kamu? Kamulah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami, yang dikenal dan dapat dibaca oleh semua orang. … Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. Dialah yang membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan. | Penampakan luar kesuksesan tidak menjamin kompetensi dan integritas. |
2 Kor 4:1-2 Oleh rahmat Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu, kami tidak tawar hati. Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya, kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dinilai menurut hati nurani semua orang di hadapan Allah. | Perilaku kita hendaknya tidak tercela sehingga kita tidak pernah takut diawasi. |
2 Kor 4:5 Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Allah, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus. | Kepemimpinan berarti menjalankan otoritas demi kebaikan orang lain. |
2 Kor 4:7-11 Tetapi harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak hancur terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. | Jika kita menggambarkan diri kita lebih kuat dari yang sebenarnya, kita kehilangan kesempatan untuk menunjukkan sumber kekuatan kita yang sejati. |
2 Kor 5:10 Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. | Cara kita berperilaku penting bagi Allah. |
2 Kor 6:11, 7:2 Hai orang Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu. … Berilah tempat bagi kami di dalam hati kamu! Kami tidak pernah berbuat salah terhadap seorang pun, tidak seorang pun yang kami rugikan, dan kami tidak mencari untung dari seorang pun. | Transparansi akan memberikan bukti integritas. |
2 Kor 7:4, 14 Aku sangat berterus terang terhadap kamu; tetapi aku juga sangat memegahkan kamu. … Aku memegahkan kamu kepadanya, dan kamu tidak mengecewakan aku. Kami senantiasa mengatakan apa yang benar kepada kamu, demikian juga kemegahan kami di hadapan Titus sudah ternyata benar. | Kita tidak boleh kikir memuji karya sesame kita. |
2 Kor 8:7 Karena itu, sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu — dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami — demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini. | Tumbuhnya kemurahan hati merupakan tanda tumbuhnya iman. |
2 Kor 8:10-11 Inilah pendapatku tentang hal itu, yang mungkin berfaedah bagimu. Memang sudah sejak tahun yang lalu kamu mulai melaksanakannya dan mengambil keputusan untuk menyelesaikannya juga. Selesaikan jugalah pelaksanaannya itu sekarang! Hendaklah pelaksanaannya sepadan dengan kerelaanmu, dan lakukanlah itu dengan apa yang ada padamu. | Kita harus menepati komitmen kita secara tepat waktu. |
2 Kor 8:13-15 Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan." | Orang percaya yang berkecukupan bertanggung jawab membantu orang yang membutuhkan. |
2 Kor 9:8-11 Lagi pula, Allah sanggup melimpahkan segala anugerah kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam berbagai perbuatan baik. 9Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, Ia memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya." Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami. | Jika kita menggunakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sesama , Allah berjanji akan memeliharakan kita. |
2 Kor 10:12, 18 Memang kami tidak berani menggolongkan atau membandingkan diri kami dengan orang-orang tertentu yang memuji diri sendiri. Mereka mengukur dirinya dengan ukuran mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan diri mereka sendiri. Alangkah bodohnya mereka! … Sebab bukan orang yang memuji diri yang tahan uji, melainkan orang yang dipuji Allah. | Kita hendaknya mengukur diri kita berdasarkan standar Allah dan hanya mencari pujian dari-Nya. |
2 Kor 12:9-10 Tetapi jawab Allah kepadaku, "Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesengsaraan karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. | Allah dimuliakan ketika kita bertahan dalam kesulitan. |
2 Kor 12:14 Sesungguhnya sekarang sudah untuk ketiga kalinya aku siap untuk mengunjungi kamu, dan aku tidak akan merupakan suatu beban bagi kamu. Sebab bukan hartamu yang kucari, melainkan kamu sendiri. Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya. | Kita harus berupaya mencapai kemandirian finansial agar dapat membantu orang lain. |
2 Kor 13:11 Akhirnya, Saudara-saudaraku, bersukacitalah, usahakanlah dirimu supaya sempurna. Terimalah segala nasihatku! Sehati sepikirlah kamu, dan hiduplah dalam damai sejahtera; maka Allah, sumber kasih dan damai sejahtera akan menyertai kamu! | Beberapa pedoman sederhana akan menjamin perdamaian. |
Garis Besar Surat Galatia, Efesus, Filipi dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiGalatia, Efesus, dan Filipi adalah tiga kitab yang pendek namun kaya di antara surat-surat Paulus dalam Perjanjian Baru. Karena singkatnya, kontribusi mereka terhadap teologi kerja digabungkan di sini menjadi satu bab. Namun ketiga surat tersebut mempunyai tema tersendiri, dan kita akan mendalami masing-masing surat secara tersendiri.
Galatia dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih (Gal. 5:13)
Pengantar Galatia
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagaimana kita hidup sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus? Jika kehidupan Kristen dimulai ketika kita meletakkan iman kepada Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan, bagaimana kita mengekspresikan iman ini dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam pekerjaan kita?
Bagi kebanyakan dari kita, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terletak pada mengatur perilaku kita berdasarkan aturan-aturan dasar tertentu. Jadi, misalnya, jika menyangkut tempat kerja, kita dapat menerapkan daftar hal yang harus dilakukan berikut ini: (1) Tunjukkan rasa hormat kepada rekan kerja; (2) tidak menggunakan bahasa yang tidak pantas; (3) tidak bergosip; (4) dipandu oleh nilai-nilai alkitabiah ketika mengambil keputusan; dan (5) berbicara tentang iman kepada Kristus jika memungkinkan. Meskipun daftar ini bisa dengan mudah menjadi lebih panjang, daftar ini berisi panduan berharga yang mencerminkan prioritas alkitabiah.
Namun daftar seperti itu memiliki bahaya bagi orang-orang Kristen, baik di tempat kerja maupun di tempat lain. Bahayanya adalah legalisme, mengubah kehidupan Kristen menjadi seperangkat aturan ketimbang tanggapan bebas kita terhadap kasih karunia Allah di dalam Kristus dan jaringan hubungan yang berpusat di dalam Kristus. Selain itu, orang-orang yang menjalani kehidupan Kristen secara legalistik sering kali cenderung memasukkan hal-hal yang tidak penting atau bahkan keliru ke dalam daftar tugas mereka.
Paulus dan Jemaat Galatia
Tepat inilah yang terjadi pada orang-orang percaya di Galatia pada pertengahan abad pertama. Menanggapi khotbah Rasul Paulus, mereka meletakkan iman mereka kepada Kristus dan mulai hidup sebagai orang Kristen. Namun, tak lama kemudian, mereka mulai membentuk kehidupan mereka berdasarkan daftar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam upaya ini, jemaat Galatia dipengaruhi oleh orang luar yang mengaku Kristen dan bersikeras bahwa kehidupan Kristen menuntut mereka menaati Hukum Musa sebagaimana dipahami oleh aliran pemikiran tertentu pada masa itu. Secara khusus, para “penganut agama Yahudi” ini membujuk orang-orang Galatia untuk hidup seperti orang Yahudi dalam hal sunat (Gal. 5:2-12) dan hukum upacara (Gal. 4:10).
Paulus menulis surat yang kita sebut “Galatia” untuk membawa umat Kristen di Galatia kembali ke jalur yang benar. Walaupun ia tidak membahas persoalan-persoalan di tempat kerja secara langsung, instruksi-instruksi dasarnya mengenai hakikat kehidupan kristiani berbicara dengan tajam mengenai kepentingan kita dalam iman dan pekerjaan. Terlebih lagi, surat Galatia memuat gambaran yang berkaitan dengan pekerjaan, terutama yang diambil dari praktik perhambaan pada abad pertama. Umat Kristen, menurut Paulus, harus hidup dalam kemerdekaan, bukan dalam perhambaan Hukum Musa dan kekuasaan duniawi lainnya (Gal. 4:1–11). Namun ironisnya, mereka yang menjalankan kebebasan mereka di dalam Kristus harus memilih untuk “layanilah seorang akan yang lain” melalui kasih (Gal. 5:13).
Para ahli Alkitab hampir semuanya sepakat bahwa surat Galatia ditulis oleh Rasul Paulus kepada sekelompok gereja di provinsi Romawi Galatia, di wilayah yang sekarang menjadi Turki tengah, antara tahun 49 dan 58 M.[1] Paulus menulis surat kepada gereja-gereja yang didirikannya melalui pemberitaan kabar baik tentang Yesus Kristus. Gereja-gereja ini berada di lingkungan yang beragam secara budaya dan agama dan baru-baru ini dipengaruhi oleh kaum Yahudi (orang-orang Kristen Yahudi yang berpendapat bahwa semua orang Kristen harus menaati seluruh hukum jika mereka ingin mengalami kehidupan Kristen seutuhnya).
Paulus menggarisbawahi kemerdekaan yang kita miliki di dalam Kristus dalam tanggapannya terhadap orang-orang Galatia dan kaum Yudais yang merusak mereka. Diterapkan di tempat kerja, Galatia membantu kita memahami dan terlibat dalam pekerjaan kita dengan kemerdekaan yang penting bagi Injil Yesus Kristus.
Setelah memperkenalkan diri, Paulus menyapa jemaat di Galatia, merujuk pada Kristus sebagai pribadi yang “telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini” (Gal. 1:4). Oleh karena itu, ia memperkenalkan tema kemerdekaan, yang merupakan inti dari surat kepada jemaat Galatia dan bagi kehidupan sebagai orang yang percaya kepada Yesus.
Memahami Kehidupan di dalam Kristus (Galatia 1:6–4:31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus memulai dengan mengidentifikasi masalah di antara jemaat Galatia. Mereka “mengikuti suatu injil lain” (Gal. 1:6). “Injil” ini mengharuskan orang bukan Yahudi “hidup seperti orang Yahudi” (Gal. 2:14). Untuk menunjukkan bahwa “Injil” ini sebenarnya bukan Injil—yakni kabar baik—sama sekali, Paulus mengajukan berbagai argumen, termasuk otobiografinya (Gal. 1:10–2:21), penerimaan Roh melalui iman (Gal. 3:1-5), keturunan Abraham melalui iman (Gal. 3:6-29), analogi hamba dan anak-anak (Gal. 4:1-11), permohonan pribadi yang penuh emosi (Gal. 4:12-20), dan kiasan tentang hamba perempuan dan perempuan merdeka (Gal. 4:21-31).
Pada beberapa poin di pasal 1–4 dalam penjelasannya mengenai kehidupan Kristen, Paulus menggunakan bahasa dan gambaran perhambaan untuk memperkuat pemahamannya tentang kehidupan di dalam Kristus. Perhambaan, yang dalam kitab Galatia pada dasarnya berarti tidak adanya kemerdekaan, dan orang-orang Galatia karena iman mereka kepada Kristus telah dimerdekakan darinya. “Jadi, kamu bukan lagi hamba, melainkan anak” (Gal. 4:7). Keinginan mereka untuk mengikuti Hukum Musa ketimbang mengandalkan iman mereka, sebagai akibatnya, merupakan tindakan yang tidak masuk akal untuk kembali ke dalam belenggu perhambaan (Gal. 4:8-10). Bahkan Hukum Musa, jika dipahami dengan benar, lebih mengutamakan kemerdekaan daripada perhambaan kepada hukum itu sendiri (Gal. 4:21-31).
Jadi kita lihat bahwa Paulus menggunakan gambaran di tempat kerja (perhambaan) untuk mengilustrasikan poin spiritual tentang legalisme agama. Namun poin ini berlaku langsung pada tempat kerja itu sendiri. Tempat kerja yang legalistic di mana atasan berusaha mengendalikan setiap tindakan, setiap perkataan, setiap pemikiran yang dimiliki karyawan—bertentangan dengan kebebasan di dalam Kristus. Semua jenis pekerja harus patuh kepada atasan mereka yang sah. Dan semua jenis organisasi berhutang kebebasan kepada pekerjanya sepanjang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang sebenarnya.
Hidup di dalam Kristus (Galatia 5–6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiGalatia 5:1 melengkapi kresendo empat pasal pertama dengan seruan yang menderu-deru menuju kemerdekaan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu, berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.” Namun hal ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus melakukan apa pun yang mereka sukai, memuaskan hasrat dosa mereka sendiri dan mengabaikan orang-orang di sekitar mereka. Sebaliknya, Paulus menjelaskan, “Memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal. 5:13). Umat Kristen merdeka di dalam Kristus dari perhambaan dunia ini dan kekuasaannya, termasuk Hukum Musa. Namun dalam kemerdekaan ini, mereka harus memilih untuk melayani satu sama lain karena kasih, dengan kerendahan hati. “Perhambaan” seperti itu bukanlah perhambaan, namun sebuah praktik ironis dari kemerdekaan sejati di dalam Kristus.
Hidup dalam Roh (Galatia 5:13–23)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiRoh Allah, yang diberikan kepada umat Kristen ketika mereka memercayai kabar baik tentang Kristus (Gal. 3:2-5), menolong kita menjalani iman kita setiap hari (Gal. 5:16). Mereka yang “hidup oleh Roh” akan menolak dan aman dari “keinginan daging,” yang meliputi “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, kemarahan, kepentingan diri sendiri, percekcokan, perpecahan, kedengkian, bermabuk-mabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal. 5:19–21). Beberapa bagian dari daftar ini terdengar sangat mirip dengan kehidupan di banyak tempat kerja—perselisihan, kecemburuan, kemarahan, pertengkaran, pertikaian, perpecahan, dan rasa iri hati. Bahkan praktik keagamaan seperti penyembahan berhala dan ilmu sihir mempunyai manifestasi nyata di tempat kerja. Jika kita dipanggil untuk hidup dalam Roh, maka kita dipanggil untuk hidup dalam Roh dalam pekerjaan.
Paulus secara khusus memperingatkan kita terhadap “kesempatan untuk kehidupan dalam dosa” atas nama kebebasan (Gal. 5:13). Sebaliknya, kita hendaknya memilih untuk “layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” Di tempat kerja, ini berarti kita harus membantu rekan kerja kita bahkan ketika kita sedang berkompetisi atau berselisih dengan mereka. Kita harus berkonfrontasi secara adil dan menyelesaikan kecemburuan, kemarahan, pertengkaran, pertikaian, perpecahan, dan rasa iri hati kita (lihat Matius 18:15–17), ketimbang memupuk kebencian. Kita harus menciptakan produk dan layanan yang melampaui ekspektasi sah pelanggan kita, karena pelayan sejati mengupayakan yang terbaik bagi orang yang dilayani, bukan sekadar apa yang memadai.
Namun, Roh Allah bukan sekedar oknum ilahi yang pesimis yang menjauhkan kita dari masalah. Sebaliknya, Roh yang bekerja dalam diri orang percaya menghasilkan sikap dan tindakan baru. Di bidang pertanian, buah merupakan hasil pertumbuhan dan budidaya jangka panjang yang lezat. Metafora “buah Roh” menandakan bahwa Allah peduli tentang kita menjadi orang seperti apa, bukan hanya pada apa yang kita lakukan saat ini. Kita harus memupuk “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri” (Gal. 5:22–23) sepanjang hidup kita. Kita tidak punya alasan untuk percaya bahwa buah ini dimaksudkan hanya untuk hubungan antar umat kristiani di gereja dan keluarga kita. Sebaliknya, seperti halnya kita harus dibimbing oleh Roh dalam setiap aspek kehidupan, kita juga harus menunjukkan buah Roh di mana pun kita berada, termasuk di tempat kita bekerja. Kesabaran di tempat kerja, misalnya, tidak mengacu pada keragu-raguan atau kegagalan untuk bertindak segera dalam urusan bisnis. Sebaliknya, ini berarti terbebas dari rasa cemas yang akan menggoda kita untuk bertindak sebelum waktunya tiba, seperti memecat bawahan ketika marah, mencaci-maki rekan kerja sebelum mendengar penjelasan, menuntut tanggapan sebelum siswa sempat memikirkannya, atau memotong rambut pelanggan sebelum benar-benar yakin gaya seperti apa yang diinginkannya. Jika buah Roh tampaknya tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, mungkin kita telah mempersempit imajinasi kita tentang apa sebenarnya buah roh itu.
Bekerja demi Kebaikan Orang Lain (Galatia 6:1–10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagian pertama Galatia 6 menggunakan berbagai kata yang berhubungan dengan pekerjaan untuk memberikan instruksi kepada orang Kristen tentang cara memedulikan sesama secara nyata. Orang Kristen harus bermurah hati kepada orang lain karena kita “bertolong-tolonganlah” menanggung beban” (Gal. 6:2). Namun, agar kita tidak menjadi sombong dan berpikir bahwa pekerjaan kita demi sesama bisa dijadikan alasan untuk melakukan pekerjaan kita sendiri secara serampangan, orang-orang percaya harus “menguji pekerjaannya sendiri” dan “memikul tanggungannya sendiri” (Gal. 6:4-5).
Analogi menabur dan menuai memungkinkan Paulus mendorong jemaat Galatia untuk fokus pada hidup dalam Roh dibandingkan kehidupan daging (Gal. 6:7-8). Menabur dalam Roh memerlukan upaya yang penuh tujuan: “Marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada saudara-saudara seiman kita” (Gal. 6:10). Umat Kristen harus bekerja demi kebaikan bersama, selain memperhatikan rekan-rekan seiman mereka. Tentu saja, jika kita ingin bekerja demi kebaikan orang lain, salah satu tempat yang harus kita lakukan adalah di tempat kerja.
Inti Injil (Galatia 6:11–18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam kata penutupnya, Paulus mengingatkan jemaat Galatia akan inti Injil, yaitu salib Kristus: “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal. 6:14).
Ringkasan & Kesimpulan Galatia
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam penutup suratnya yang menggunakan bahasa penyaliban (Gal. 6:14), Paulus menggemakan apa yang telah ia katakan sebelumnya dalam suratnya: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Hidup yang sekarang aku hidupi secara jasmani adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal. 2:19b-20). Iman kepada Kristus bukan hanya mempercayai fakta-fakta tertentu tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya, namun juga mati bersama Kristus agar Dia dapat hidup di dalam kita. Realitas “Kristus di dalam kita” ini tidak hilang ketika kita memasuki kantor, gudang, toko, dan ruang rapat kita. Sebaliknya, hal ini mendorong dan memberdayakan kita untuk hidup bagi Kristus, dalam kuasa Roh, setiap saat, di setiap tempat.
Kehidupan Kristen didasarkan pada iman. Namun iman bukanlah persetujuan pasif terhadap kebenaran Injil. Sebaliknya, dalam pengalaman sehari-hari orang Kristen, iman menjadi hidup dan aktif. Menurut Paulus, iman bahkan dapat dikatakan “bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6). Oleh karena itu, iman yang bekerja dalam hidup kita memberi energi pada tindakan kasih, sama seperti Roh Allah membantu kita menjadi lebih mengasihi baik dalam hati maupun tindakan (Gal. 5:22). Kita menolak perhambakan dalam upaya membenarkan diri sendiri melalui pekerjaan kita. Namun, ketika kita merangkul kemerdekaan kita di dalam Kristus melalui iman, pekerjaan kita akan membawa pada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kemurahan hati, kesetiaan, kelembutan, dan pengendalian diri. Kita memandang pekerjaan kita sebagai konteks utama untuk menjalankan kemerdekaan kita di dalam Kristus agar dapat mengasihi sesama dan “berbuat baik kepada semua orang” (Gal. 6:10). Jika kita tidak melihat buah iman di tempat kerja kita, maka kita kehilangan sebagian besar kehidupan kita dari penguasaan Kristus.
Efesus dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebab itu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, menasihatkan kamu, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. (Ef. 4:1)
Pengantar Efesus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApa peran pekerjaan kita dalam skema agung dunia ini? Apakah kerja hanyalah sebuah aktivitas yang perlu kita jalani dalam hidup? Atau apakah kerja juga merupakan tempat di mana kita menemukan makna, penyembuhan, dan integrasi pribadi?[1] Apakah kerja kita memiliki tempat dalam kosmos ciptaan Allah? Apakah hal ini ada artinya jika dibandingkan dengan pekerjaan Kristus dalam menebus dunia?
Surat kepada jemaat di Efesus menceritakan kisah karya kosmis Allah, dimulai sebelum penciptaan dunia, berlanjut dalam karya penebusan Kristus, dan berlanjut hingga saat ini dan seterusnya. Semua ini menarik kita ke dalam karya ini baik sebagai pengamat drama yang terkagum-kagum maupun sebagai partisipan aktif dalam pekerjaan Allah.
Karenanya surat Efesus memberikan sudut pandang baru, bukan hanya tentang Allah tetapi juga tentang diri kita sendiri. Kehidupan kita, tindakan kita, dan pekerjaan kita mempunyai makna yang segar. Kita hidup secara berbeda, kita beribadah secara berbeda, dan kita bekerja secara berbeda karena apa yang telah dan sedang dilakukan Allah di dalam Kristus. Kita melakukan apa yang kita lakukan dalam hidup kita, termasuk kehidupan profesional kita, sebagai respons terhadap kegiatan penyelamatan Allah dan dalam memenuhi tugas yang telah Dia berikan kepada kita untuk bekerja sama dengan-Nya. Kita masing-masing telah dipanggil oleh Allah untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Allah di dunia (Ef. 4:1).
Surat yang kita kenal sebagai “Efesus” serupa dan berbeda dari surat-surat Perjanjian Baru lainnya yang dikaitkan dengan Rasul Paulus. Surat ini paling mirip dengan surat Kolose, yang memiliki tema, struktur, dan bahkan kalimat yang sama (Ef. 6:21–22; Kol. 4:7–8).[2] Surat Efesus berbeda dari surat-surat Paulus lainnya dalam gayanya memuliakan Allah, kosa katanya yang khas, dan dalam beberapa perspektif teologisnya. Terlebih lagi, surat ini kurang berorientasi pada situasi tertentu dalam kehidupan gereja tertentu dibandingkan surat-surat Paulus lainnya.[3] Dalam tafsiran ini, penulisnya diasumsikan adalah Paulus.
Bukannya berfokus pada kebutuhan satu jemaat tertentu, surat Efesus menyajikan perspektif teologis yang luas mengenai pekerjaan Allah di alam semesta dan peran sentral gereja Yesus Kristus dalam pekerjaan itu. Setiap orang percaya berkontribusi dalam upaya gerejawi ini sebagai orang yang “diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik” (Ef. 2:10) dan berperan penting bagi pertumbuhan dan pelayanan gereja (Ef. 4:15–16).
Rencana Besar Allah: Sebuah Visi Teologis (Efesus 1:1–3:21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiParuh pertama kitab Efesus menyingkapkan kisah besar penyelamatan Allah atas seluruh alam semesta. Bahkan sebelum “dunia dijadikan,” Allah dengan penuh kasih karunia memilih kita di dalam Kristus untuk berhubungan dengan-Nya dan untuk mewujudkan tujuan-Nya di dunia (Ef. 1:4-6). Inti dari tujuan ini, Allah akan “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang ada di bumi” (Ef. 1:10). Dengan kata lain, Allah akan memulihkan seluruh kosmos, yang pernah rusak karena dosa, di bawah otoritas Kristus. Fakta bahwa Allah akan merenovasi ciptaan-Nya mengingatkan kita bahwa dunia ini—termasuk pertanian, sekolah, dan perusahaan—adalah penting bagi Allah dan tidak ditinggalkan oleh-Nya.
Karya pemulihan Allah, yang berpusat pada Kristus, melibatkan umat manusia, baik sebagai penerima kasih karunia Allah maupun sebagai partisipan dalam pekerjaan pemulihan penuh kasih karunia-Nya yang berkelanjutan. Kita diselamatkan karena kasih karunia oleh iman, bukan karena perbuatan kita (Ef. 2:8-9). Namun perbuatan kita penting bagi Allah, “karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2:10). Jadi kita diselamatkan bukan karena perbuatan, melainkan untuk perbuatan. Perbuatan ini, termasuk semua yang kita lakukan, adalah bagian dari pembaruan ciptaan Allah. Oleh karena itu, aktivitas kita di tempat kerja merupakan salah satu elemen penting yang telah Allah persiapkan untuk kita lakukan guna memenuhi tujuan-Nya bagi kita.
Gereja menonjol dalam rencana Allah untuk menyatukan kembali dunia di dalam Kristus. Kematian-Nya di kayu salib tidak hanya memungkinkan keselamatan pribadi kita (Ef. 2:4-7), namun juga memperbaiki perpecahan antara orang Yahudi dan non-Yahudi (Ef. 2:13-18). Kesatuan antar para mantan musuh ini merupakan lambang karya Allah yang mempersatukan. Dengan demikian, gereja berfungsi sebagai demonstrasi kepada seluruh alam semesta tentang hakikat dan keberhasilan utama rencana kosmis Allah (Ef. 3:9-10). Namun gereja bukan sekadar kumpulan orang-orang yang berkumpul seminggu sekali untuk melakukan kegiatan keagamaan bersama. Sebaliknya, gereja adalah komunitas semua orang percaya, yang melakukan segala sesuatu yang mereka lakukan di semua bidang kehidupan, baik bekerja bersama-sama atau sendiri-sendiri. Dalam setiap bidang kehidupan, kita memiliki “Dia yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,” (Ef. 3:20). Perhatikan bahwa Paulus menggunakan istilah sipil “kawan sewarga” (Ef. 2:19) untuk menggambarkan orang Kristen, bukan istilah religius “orang percaya.” Bahkan, surat Efesus tidak memberikan instruksi apa pun tentang apa yang harus dilakukan gereja ketika berkumpul, namun beberapa instruksi tentang bagaimana anggotanya harus bekerja, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi.
Rencana Besar Tuhan: Panduan Praktis (Efesus 4:1–6:24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiParuh kedua surat Efesus dimulai dengan sebuah nasihat untuk menjalani visi paruh pertama surat ini. “Sebab itu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, menasihatkan kamu, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef. 4:1). Setiap orang Kristen memiliki bagian dalam panggilan ini. Jadi panggilan kita yang terdalam dan sesungguhnya (dari kata Latin yang berarti “panggilan”) adalah melakukan bagian kita untuk memajukan misi Allah yang multifaset di dunia. Panggilan ini membentuk segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup, termasuk pekerjaan kita—atau apa yang terkadang kita sebut sebagai “panggilan” kita. Tentu saja, Allah mungkin membimbing kita pada pekerjaan tertentu untuk mengekspresikan panggilan mendasar kita untuk hidup demi kemuliaan Allah (Ef. 1:12). Jadi, sebagai dokter dan pengacara, juru tulis dan pelayan, aktor dan musisi, serta orang tua dan kakek-nenek, kita menjalani kehidupan yang sesuai dengan panggilan kita kepada Kristus dan aktivitas-Nya di dunia.
Bekerja Keras Demi Kebaikan dan Untuk Memberi (Efesus 4:28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi antara nasihat praktis dalam Efesus 4–6, ada dua perikop yang secara khusus membahas masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Yang pertama berkaitan dengan tujuan kerja. “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Ef. 4:28). Meskipun ditujukan langsung kepada orang-orang yang mencuri, nasihat Paulus relevan bagi semua orang Kristen. Kata Yunani yang diterjemahkan dalam Alkitab versi NRSV sebagai “dengan tangannya sendiri” (to agathon) secara harafiah berarti “demi kebaikan.” Allah selalu memimpin umat kristiani kepada kebaikan. Tempat kerja adalah tempat yang penting bagi kita untuk melakukan banyak pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan bagi kita (Ef. 2:10).
Melalui pekerjaan kita, kita juga memperoleh sumber daya yang cukup untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, baik secara langsung melalui gereja atau melalui cara lain. Meskipun teologi kerja tidak sama dengan teologi kedermawanan, ayat ini secara eksplisit menghubungkan keduanya. Pesan keseluruhannya adalah bahwa tujuan bekerja adalah untuk berbuat baik, baik melalui apa yang kita capai secara langsung maupun melalui apa yang memungkinkan kita berikan kepada orang lain di luar pekerjaan melalui pekerjaan kita.
Kebersamaan dalam Bekerja bagi Tuhan (Efesus 5:21–6:9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPertimbangan praktis kedua adalah hubungan. Panggilan kita sebagai orang Kristen berdampak pada hubungan-hubungan dasar kita, khususnya dalam keluarga dan tempat kerja. (Sebelum era industri, rumah tangga sama-sama merupakan tempat kehidupan keluarga dan tempat bekerja.) Efesus 5:21–6:9 menggarisbawahi hal ini dengan memasukkan petunjuk khusus mengenai hubungan dalam rumah tangga (istri/suami, anak/ayah, hamba /tuan). Daftar semacam ini umum dalam wacana moral di dunia Yunani-Romawi dan terwakili dalam Perjanjian Baru (lihat, misalnya, Kol. 3:18–4:1 dan 1Ptr. 2:13–3:12).[1]
Kita khususnya tertarik pada Efesus 6:5–9, sebuah ayat yang membahas hubungan antara hamba dan tuan. Paulus berbicara kepada orang-orang Kristen yang menjadi tuan, orang-orang Kristen yang menjadi hamba di bawah tuan-tuan Kristen, dan orang-orang Kristen yang menjadi hamba di bawah tuan-tuan yang tidak beriman. Teks ini mirip dengan bagian paralel dalam Kolose (Kol. 3:22–4:1). (Lihat “Kolose” dalam “Kolose & Filemon dan Kerja” untuk mengetahui latar belakang sejarah perhambaan di Kekaisaran Romawi abad pertama, yang berguna untuk memahami bagian dalam Efesus ini.) Untuk meringkaskan secara singkat, perhambaan Romawi memiliki persamaan dan perbedaan dari pekerjaan berbayar di abad kedua puluh satu. Persamaan utamanya adalah bahwa hamba zaman dahulu dan pekerja masa kini bekerja di bawah otoritas majikan atau pengawas. Berkenaan dengan pekerjaan itu sendiri, kedua kelompok ini mempunyai kewajiban untuk memenuhi harapan pihak yang berwenang atas pekerjaan mereka. Perbedaan utamanya adalah bahwa para hamba zaman dahulu (dan juga hamba-hamba di zaman modern) tidak hanya berutang pekerjaan mereka tetapi juga kehidupan mereka kepada majikan mereka. Hamba tidak bisa berhenti bekerja, mereka mempunyai hak hukum dan pemulihan yang terbatas atas penganiayaan, mereka tidak menerima gaji atau kompensasi atas pekerjaan mereka, dan mereka tidak bisa menegosiasikan kondisi kerja. Singkatnya, ruang lingkup penyalahgunaan kekuasaan oleh majikan terhadap hamba jauh lebih besar dibandingkan penyalahgunaan kekuasaan oleh supervisor terhadap pekerja.
Kita akan mulai dengan menjelajahi bagian Efesus ini dalam kaitannya dengan hamba yang sebenarnya. Kemudian kita akan mempertimbangkan penerapannya pada bentuk tenaga kerja berbayar yang mendominasi negara-negara maju saat ini.
Hamba Kristus (Efesus 6:6–8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat kepada jemaat di Efesus mendorong para hamba untuk melihat diri mereka sebagai “hamba Kristus” yang “dengan segenap hati melakukan kehendak” Allah daripada tuan manusia mereka (Ef. 6:6-7). Fakta bahwa pekerjaan mereka adalah untuk Kristus akan mendorong mereka untuk bekerja keras dan baik. Oleh karena itu, kata-kata Paulus menjadi penghiburan ketika para tuan memerintahkan para hamba untuk melakukan pekerjaan yang baik. Dalam hal ini, Allah akan memberi balasan bagi si hamba (Ef. 6:8) meskipun tuannya tidak memberikannya, seperti yang biasanya terjadi pada hamba (Lukas 17:8).
Namun mengapa bekerja keras demi tuan di dunia berarti “melakukan kehendak Allah” (Ef. 6:6)? Tentunya seorang majikan bisa saja memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan yang jauh dari kehendak Allah—menganiaya hamba lain, menipu pelanggan, atau merambah ladang orang lain. Paulus menjelaskan, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus” (Ef. 6:5). Hamba hanya dapat melakukan bagi tuannya apa yang dapat dilakukan bagi Kristus. Jika seorang majikan memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan jahat, maka kata-kata Paulus sangat menantang, karena hamba tersebut harus menolak perintah majikannya. Hal ini setidaknya dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian, perintah Paulus tidak bisa dihindari. “Dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia” (Ef. 6:7). Perintah Tuhan melampaui perintah tuan mana pun. Memang benar, apa lagi arti “kebulatan hati” jika bukan mengesampingkan setiap perintah yang bertentangan dengan kewajiban kepada Kristus? “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan,” kata Yesus (Mat. 6:24). Hukuman karena tidak menaati tuan di bumi mungkin menakutkan, namun mungkin perlu ditanggung agar dapat bekerja “seperti bagi Tuhan.”
Tuan Kristen (Efesus 6:5–11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSungguh kejam jika seorang tuan memaksa seorang hamba untuk memilih antara ketaatan kepada tuannya dan ketaatan kepada Kristus. Oleh karena itu, Paulus mengatakan kepada para tuan untuk “jauhkanlah ancaman” hambanya (Ef. 6:9). Jika para tuan memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan baik, maka ancaman tidak diperlukan. Jika para tuan memerintahkan hambanya melakukan pekerjaan jahat, maka ancaman mereka sama dengan ancaman terhadap Kristus. Seperti dalam surat kepada jemaat Kolose, jemaat Efesus setuju bahwa para tuan harus ingat bahwa mereka mempunyai seorang Tuan di surga. Namun surat Efesus menggarisbawahi fakta bahwa baik bagi hamba maupun tuan, “Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di surga dan Ia tidak memandang muka” (Ef. 6:9). Karena alasan ini, Efesus mengatakan bahwa para tuan harus “perbuatlah demikian juga terhadap mereka” (Ef. 6:9)—yaitu, memberi perintah kepada hamba seolah-olah mereka memberi perintah kepada (atau untuk) Kristus. Dengan mengingat hal ini, tidak ada tuan Kristen yang dapat memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan jahat, atau bahkan pekerjaan yang berlebihan. Meskipun perbedaan antara tuan dan hamba di bumi masih tetap ada, hubungan mereka telah diubah dengan adanya seruan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk saling menguntungkan. Kedua belah pihak tunduk kepada Kristus saja “dengan tulus hati” (Ef. 6:5). Tidak ada yang bisa berkuasa atas yang lain, karena hanya Kristus yang menjadi Tuhan (Ef. 6:7). Tidak ada yang bisa mengabaikan kewajiban cinta terhadap satu sama lain. Bagian ini menerima realitas perhambaan secara ekonomi dan budaya, namun mengandung benih subur abolisionisme. Dalam kerajaan Kristus, “tidak ada hamba atau orang merdeka” (Gal. 3:28).
Perhambaan terus berkembang di dunia saat ini, dan hal ini sangat memalukan, meskipun hal ini sering disebut perdagangan manusia atau kerja paksa. Logika batin Efesus 6:5–9, serta kisah Efesus yang lebih luas, memotivasi kita untuk berupaya mengakhiri perhambaan. Namun sebagian besar dari kita tidak akan mengalami perhambaan secara pribadi, baik sebagai hamba atau sebagai tuan. Walaupun demikian, kita menemukan diri kita berada dalam hubungan di tempat kerja di mana seseorang memiliki otoritas atas orang lain. Sebagai analogi, Efesus 6:5-9 mengajarkan baik pengusaha maupun karyawan untuk memerintahkan, melaksanakan, dan memberi penghargaan hanya pada pekerjaan yang dapat dilakukan oleh atau untuk Kristus. Ketika kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang baik, persoalannya sederhana, meski tidak selalu mudah. Kita melakukannya sebaik yang dapat kita lakukan, terlepas dari kompensasi atau penghargaan yang kita terima dari atasan, pelanggan, yang berwenang, atau siapa pun yang berwenang atas kita.
Ketika kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan jahat, situasinya menjadi lebih rumit. Di satu sisi, Paulus mengajar kita untuk “taatilah tuanmu yang di dunia. . . seperti kamu taat kepada Kristus.” Kita tidak bisa dengan entengnya tidak menaati mereka yang berkuasa di dunia atas kita, sama seperti kita tidak bisa dengan entengnya tidak menaati Kristus. Hal ini bahkan menyebabkan beberapa orang mempertanyakan apakah pelaporan pelanggaran (whistleblowing), penghentian kerja, dan pengaduan kepada pihak berwenang adalah sah bagi karyawan Kristen. Paling tidak, perbedaan pendapat atau penilaian tidak dengan sendirinya menjadi alasan yang baik untuk tidak mematuhi perintah yang sah di tempat kerja. Penting untuk tidak merancukan antara “Saya tidak ingin melakukan pekerjaan ini, dan menurut saya tidak adil jika atasan saya menyuruh saya melakukannya” dengan “Adalah bertentangan dengan kehendak Allah jika saya melakukan pekerjaan ini.” Perintah Paulus untuk “taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar” menyiratkan agar kita menaati perintah orang-orang yang berkuasa atas kita, kecuali kita mempunyai alasan yang kuat untuk meyakini bahwa hal itu salah.
Namun Paulus menambahkan bahwa kita menaati tuan-tuan di dunia sebagai cara untuk “dengan segenap hati melakukan kehendak Allah.” Tentu saja, jika kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Allah—misalnya, pelanggaran terhadap perintah atau nilai-nilai Alkitab—maka tugas kita kepada majikan kita yang lebih tinggi (Kristus) adalah menolak perintah yang tidak saleh dari atasan manusia. Pembedaan yang krusial sering kali mengharuskan kita mencari tahu kepentingan siapa yang akan dilayani dengan tidak mematuhi perintah. Jika ketidaktaatan akan melindungi kepentingan orang lain atau komunitas yang lebih luas, maka ada alasan kuat untuk tidak mematuhi perintah tersebut. Jika tidak mematuhi perintah hanya akan melindungi kepentingan pribadi kita, maka kasusnya lebih lemah. Dalam beberapa kasus, melindungi orang lain bahkan dapat membahayakan karier kita atau mengorbankan penghidupan kita. Tidak heran Paulus mengatakan, “hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan” dan “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah” (Ef. 6:10, 11).
Namun tentu saja kita mengekspresikan belas kasihan terhadap mereka—termasuk mungkin diri kita sendiri kadang kala—yang menghadapi pilihan untuk mematuhi perintah yang benar-benar tidak saleh atau menderita kerugian pribadi seperti dipecat, misalnya. Hal ini terutama terjadi pada pekerja yang berada pada tangga ekonomi terbawah, yang mungkin hanya memiliki sedikit alternatif dan tidak memiliki dukungan keuangan. Para pekerja secara rutin diperintahkan untuk melakukan berbagai kejahatan kecil, seperti berbohong (“Katakan padanya saya tidak ada di kantor”), berbuat curang (“Taruh sebotol anggur tambahan di tagihan meja 16—mereka terlalu mabuk untuk menyadarinya), dan penyembahan berhala (“Saya harap Anda bertindak seolah-olah pekerjaan ini adalah hal yang paling penting di dunia bagi Anda”). Apakah kita harus mengundurkan diri atas semuanya itu? Di lain waktu, pekerja mungkin diperintahkan untuk melakukan kejahatan yang serius. “Ancam saja akan menyeret namanya ke dalam lumpur jika ia tidak menyetujui persyaratan kita.” “Cari alasan untuk memecatnya sebelum ia menemukan catatan kendali mutu yang dipalsukan lagi.” “Buanglah ke sungai malam ini saat tidak ada orang di sekitar.” Namun pilihan untuk kehilangan pekerjaan dan melihat keluarga kita jatuh ke dalam kemiskinan mungkin—atau tampak—bahkan lebih buruk daripada mengikuti aturan yang tidak saleh. Sering kali tidak jelas alternatif mana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai alkitabiah dan mana yang kurang sesuai. Kita harus mengakui bahwa keputusan yang diambil bisa jadi rumit. Saat kita ditekan untuk melakukan sesuatu yang salah, kita perlu bergantung pada kuasa Allah untuk bisa berdiri lebih teguh melawan kejahatan lebih dari yang kita yakini bisa kita lakukan. Namun kita juga perlu menjunjung firman Kristus tentang belas kasihan dan pengampunan ketika kita menyadari bahwa orang Kristen tidak dapat mengatasi semua kejahatan di tempat kerja di dunia.
Maka ketika kita adalah pemegang otoritas, kita harus memerintahkan pekerjaan yang diperintahkan Kristus saja. Kita tidak memerintahkan bawahan untuk merugikan diri sendiri atau orang lain demi keuntungan diri sendiri. Kita tidak memerintahkan orang lain untuk melakukan apa yang menurut hati nurani kita tidak akan kita lakukan. Kita tidak mengancam mereka yang menolak melakukan perintah kita karena hati nurani mereka atau karena keadilan. Meskipun kita adalah atasan, kita juga mempunyai atasan kita sendiri, dan orang-orang Kristen yang berkuasa masih mempunyai kewajiban yang lebih tinggi untuk melayani Allah melalui cara kita memerintah orang lain. Kita adalah hamba Kristus, dan kita tidak mempunyai wewenang untuk memerintah atau menaati orang lain dengan menentang Kristus. Bagi kita masing-masing, tidak peduli posisi kita di tempat kerja, pekerjaan kita adalah cara untuk melayani—atau gagal untuk melayani—Allah.
Ringkasan & Kesimpulan Efesus
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHanya beberapa ayat dalam kitab Efesus yang membahas secara khusus tentang tempat kerja dan bahkan ayat-ayat ini ditujukan kepada pencuri, hamba, dan majikan. Namun ketika kita melihat sekilas bagaimana Allah memulihkan seluruh ciptaan melalui Kristus, dan ketika kita menemukan bahwa pekerjaan kita memainkan peran penting dalam rencana tersebut, maka tempat kerja kita menjadi konteks utama bagi kita untuk melakukan pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan bagi kita. Surat Efesus tidak memberi tahu kita secara spesifik pekerjaan baik apa yang telah Allah persiapkan bagi kita masing-masing dalam pekerjaan kita. Kita harus mencari sumber lain untuk membedakannya. Namun surat ini mengajar kita bahwa Allah memanggil kita untuk melakukan semua pekerjaan kita demi kebaikan. Hubungan dan sikap di tempat kerja diubahkan ketika kita melihat diri kita sendiri dan rekan kerja kita terutama dalam hal hubungan kita dengan Yesus Kristus, satu-satunya Tuhan yang sejati.
Surat Efesus mendorong kita untuk mengambil perspektif baru dalam hidup kita, dimana pekerjaan kita merupakan hasil dari pekerjaan Allah sendiri dalam menciptakan dunia dan menebusnya dari dosa. Kita bekerja sebagai respons terhadap panggilan Allah untuk mengikuti Yesus dalam setiap aspek kehidupan kami (Ef. 4:1). Dalam kerja, kita menemukan kesempatan untuk melakukan banyak pekerjaan baik yang Allah ingin kita lakukan. Jadi, di kantor, pabrik, sekolah, rumah tangga, toko, dan tempat kerja lainnya, kita mempunyai kesempatan untuk “dengan rela menjalankan pelayanannya” kepada Tuhan (Ef. 6:7).
Filipi dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar; karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. (Flp. 2:12b-13)
Pengantar Surat Filipi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKerja memerlukan usaha. Entah kita berbisnis atau mengemudikan truk, membesarkan anak atau menulis artikel, menjual sepatu atau merawat orang cacat dan lanjut usia, pekerjaan kita memerlukan upaya pribadi. Jika kita tidak bangun di pagi hari dan berangkat, pekerjaan kita tidak akan selesai. Apa yang memotivasi kita untuk bangun dari tempat tidur setiap pagi? Apa yang membuat kita terus bekerja sepanjang hari? Apa yang memberi kita energi sehingga kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan setia dan bahkan unggul?
Ada beragam jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini. Beberapa orang mungkin menunjuk pada kebutuhan ekonomi. “Saya bangun dan pergi kerja karena saya membutuhkan uang.” Jawaban lain mungkin merujuk pada minat kita pada pekerjaan kita. “Saya bekerja karena saya mencintai pekerjaan saya.” Jawaban lain mungkin kurang menginspirasi. “Apa yang membuat saya bersemangat dan terus bekerja sepanjang hari? Kafein!"
Surat Paulus kepada umat Kristen di Filipi memberikan jawaban berbeda terhadap pertanyaan dari mana kita mendapatkan kekuatan untuk melakukan pekerjaan kita. Paulus mengatakan bahwa pekerjaan kita bukanlah hasil usaha kita sendiri, tetapi pekerjaan Allah di dalam kitalah yang memberi kita energi. Apa yang kita lakukan dalam hidup, termasuk di pekerjaan, merupakan ekspresi karya penyelamatan Allah di dalam Kristus. Selain itu, kita menemukan kekuatan untuk upaya ini melalui kuasa Allah dalam diri kita. Pekerjaan Kristus adalah melayani manusia (Markus 10:35), dan Allah memberdayakan kita untuk melayani bersama-Nya.
Hampir semua ahli sepakat bahwa Rasul Paulus menulis surat yang kita kenal sebagai surat Filipi antara tahun 54 dan 62 M.[1] Tidak ada konsensus mengenai di mana Paulus menulis surat ini, meskipun kita tahu bahwa itu ditulis pada salah satu dari beberapa periode pemenjaraannya (Flp. 1:7).[2] Jelas bahwa Paulus menulis surat pribadi ini kepada gereja di Filipi, sebuah komunitas yang ia rintis pada kunjungan sebelumnya ke sana (Flp. 1:5; Kisah Para Rasul 16:11-40). Ia menulis untuk memperkuat hubungannya dengan gereja Filipi, untuk memberikan informasi terkini kepada mereka tentang situasi pribadinya, untuk berterima kasih atas dukungan mereka terhadap pelayanannya, untuk memperlengkapi mereka dalam menghadapi ancaman terhadap iman mereka, untuk membantu mereka bergaul dengan lebih baik, dan, secara umum, untuk membantu mereka dalam menghayati iman mereka.
Jemaat Filipi menggunakan kata kerja (ergon dan serumpun) beberapa kali (Flp. 1:6; 2:12–13, 30; 4:3). Paulus menggunakannya untuk menggambarkan pekerjaan keselamatan Allah dan tugas manusia yang berasal dari pekerjaan penyelamatan Allah. Ia tidak secara langsung membahas isu-isu di tempat kerja sekuler, namun apa yang ia katakan tentang kerja mempunyai penerapan penting di sana.
Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya (Filipi 1:1–26)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam konteks doa pembukaannya bagi jemaat di Filipi (Flp. 1:3-11), Paulus membagikan keyakinannya akan pekerjaan Allah di dalam dan di antara jemaat di Filipi. “Mengenai hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp. 1:6). “Pekerjaan” yang Paulus maksudkan adalah pekerjaan kelahiran baru di dalam Kristus, yang membawa kepada keselamatan. Paulus sendiri turut serta dalam pekerjaan itu dengan memberitakan Injil kepada mereka. Ia melanjutkan pekerjaan itu sebagai guru dan rasul mereka, dan ia berkata bahwa itu adalah “bekerja memberi buah” (Flp. 1:22). Namun pekerja utamanya bukanlah Paulus melainkan Allah, karena Allahlah “yang memulai pekerjaan baik di antara kamu” (Flp. 1:6). “Itu datangnya dari Allah” (Flp. 1:28).
NRSV berbicara tentang pekerjaan Allah “di antara kamu,” sementara sebagian besar terjemahan bahasa Inggris berbicara tentang pekerjaan Allah “di dalam kamu.” Keduanya tepat sasaran, dan frasa Yunani en humin dapat diterjemahkan menjadi keduanya. Pekerjaan baik Allah dimulai dalam kehidupan individu. Namun hal ini harus dijalani di antara orang-orang percaya dalam persekutuan mereka bersama. Poin utama dari ayat 6 bukanlah untuk membatasi pekerjaan Allah baik pada individu atau komunitas secara keseluruhan, melainkan untuk menggarisbawahi fakta bahwa semua pekerjaan mereka adalah pekerjaan Allah. Terlebih lagi, pekerjaan ini belum selesai ketika individu “diselamatkan” atau ketika gereja dirintis. Allah terus bekerja di dalam dan di antara kita sampai pekerjaan-Nya selesai, yang terjadi “pada hari Kristus Yesus.” Hanya ketika Kristus datang kembali, pekerjaan Allah akan selesai.
Pekerjaan Paulus adalah penginjil dan rasul, dan terdapat tanda-tanda keberhasilan dan ambisi dalam profesinya, sama seperti profesi lainnya. Berapa banyak petobat yang Anda menangkan, berapa banyak dana yang Anda kumpulkan, berapa banyak orang yang memuji Anda sebagai mentor rohani mereka, bagaimana jumlah pengikut Anda dibandingkan dengan penginjil lain—ini bisa menjadi kebanggaan dan ambisi. Paulus mengakui bahwa motivasi-motivasi ini ada dalam profesinya, namun ia menegaskan bahwa satu-satunya motivasi yang tepat adalah kasih (Flp. 1:15-16). Implikasinya adalah hal ini juga berlaku di setiap profesi lainnya. Kita semua tergoda untuk bekerja demi tanda-tanda kesuksesan—termasuk pengakuan, rasa aman, dan uang—yang dapat mengarah pada “maksud yang tidak ikhlas” (eritieias, mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “promosi diri yang tidak adil”).[1] Hal-hal tersebut tidak sepenuhnya buruk, karena sering kali hal-hal tersebut datang ketika kita mencapai tujuan-tujuan yang sah dalam pekerjaan kita (Flp. 1:18). Menyelesaikan pekerjaan itu penting, meskipun motivasi kita tidak sempurna. Namun dalam jangka panjang (Flp. 3:7-14), motivasi menjadi lebih penting dan satu-satunya motivasi seperti Kristus adalah kasih.
Lakukan Pekerjaan Anda dengan Cara yang Layak (Filipi 1:27–2:11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKarena pekerjaan kita sebenarnya adalah pekerjaan Allah di dalam kita, maka pekerjaan kita haruslah bernilai, sama seperti pekerjaan Allah. Namun rupanya kita mempunyai kemampuan untuk menghalangi pekerjaan Allah di dalam kita, karena Paulus menasihati, “Hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus” (Flp. 1:27). Topiknya adalah kehidupan secara umum, dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa ia bermaksud mengecualikan pekerjaan dari nasihat ini. Ia memberikan tiga perintah khusus:
“Hendaklah kamu sehati sepikir” (Flp. 2:2).
“Tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri;” (Flp. 2:3).
“Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Flp. 2:4).
Sekali lagi, kita dapat bekerja sesuai dengan perintah-perintah ini hanya karena pekerjaan kita sebenarnya adalah pekerjaan Allah di dalam kita, namun kali ini ia mengatakannya dalam sebuah bagian indah yang sering disebut “Himne Kristus” (Flp. 2:6-11). Yesus, katanya, “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:6b-8). Oleh karena itu, pekerjaan Allah di dalam kita—khususnya pekerjaan Kristus di dalam kita—selalu dilakukan dengan rendah hati terhadap orang lain, demi kepentingan orang lain, bahkan jika itu memerlukan pengorbanan.
“Hendaklah Kamu Sehati Sepikir” (Filipi 2:2)
Perintah pertama dari tiga perintah, “Hendaklah kamu sehati sepikir,” diberikan kepada umat Kristen sebagai satu tubuh. Kita tidak boleh mengharapkan hal ini berlaku di tempat kerja sekuler. Faktanya, kita tidak selalu ingin mempunyai pikiran yang sama dengan semua orang di sekitar kita di tempat kerja (Rm. 12:2). Namun di banyak tempat kerja, terdapat lebih dari satu orang Kristen. Kita harus berusaha untuk memiliki pemikiran yang sama dengan orang-orang Kristen lainnya di tempat kita bekerja. Sayangnya, hal ini bisa sangat sulit. Di gereja, kita memisahkan diri ke dalam komunitas-komunitas yang pada umumnya sepakat dengan kita mengenai masalah-masalah alkitabiah, teologis, moral, spiritual, dan bahkan budaya. Di tempat kerja kita tidak memiliki kemewahan itu. Kita mungkin berbagi tempat kerja dengan orang Kristen lain yang tidak sepakat dengan kita mengenai hal-hal tersebut. Bahkan mungkin sulit untuk mengenali orang lain yang mengaku Kristen sebagai orang Kristen, menurut penilaian kita.
Ini merupakan hambatan besar bagi kesaksian kita sebagai orang Kristen dan efektivitas kita sebagai rekan kerja. Apa yang rekan-rekan non-Kristen pikirkan tentang Tuhan kita—dan diri kita sendiri—jika hubungan kita lebih buruk satu sama lain dibandingkan dengan orang yang tidak beriman? Paling tidak, kita harus mencoba mengidentifikasi orang Kristen lain di tempat kerja kita dan mempelajari keyakinan dan praktik mereka. Kita mungkin tidak setuju, bahkan dalam hal-hal yang sangat penting, namun menunjukkan rasa saling menghormati adalah kesaksian yang jauh lebih baik daripada memperlakukan orang lain yang menyebut diri mereka Kristen dengan hinaan atau sering bertengkar dengan mereka. Paling tidak, kita harus cukup mengesampingkan perbedaan-perbedaan kita untuk melakukan pekerjaan yang baik bersama-sama, jika kita benar-benar percaya bahwa pekerjaan kita benar-benar penting bagi Allah.
Memiliki pikiran yang sama dengan Kristus berarti “dalam satu kasih” dengan Kristus (Flp. 2:2). Kristus mengasihi kita sampai pada titik kematian (Flp. 2:8), dan kita juga harus mempunyai kasih yang sama seperti yang Dia miliki (Flp. 2:5). Hal ini memberi kita kesamaan tidak hanya dengan orang-orang percaya lainnya tetapi juga dengan orang-orang tidak percaya di tempat kerja kita: kita mengasihi mereka! Semua orang di tempat kerja bisa sepakat dengan kita bahwa kita harus melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka. Jika seorang Kristen berkata, “Tugas saya adalah melayani Anda,” siapa yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut?
“Jangan Melakukan Apa pun atas Dasar Ambisi Egois atau Keangkuhan” (Filipi 2:3)
Menganggap orang lain lebih baik dari diri kita sendiri merupakan pola pikir orang yang mempunyai pikiran Kristus (Flp. 2:3). Kerendahan hati kita dimaksudkan untuk diberikan kepada semua orang di sekitar kita, dan bukan hanya kepada orang Kristen. Karena kematian Yesus di kayu salib—tindakan kerendahan hati yang utama—adalah bagi orang berdosa dan bukan untuk orang benar (Lukas 5:32; Rm. 5:8; 1 Tim. 1:15).
Tempat kerja menawarkan peluang tak terbatas untuk pelayanan yang rendah hati. Anda bisa bermurah hati dalam menghargai keberhasilan sesama dan pelit dalam menyalahkan sesama atas kegagalan. Anda dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain daripada memikirkan jawaban Anda terlebih dahulu. Anda dapat mencoba ide orang lain daripada memaksakan cara Anda sendiri. Anda dapat membuang rasa iri Anda terhadap kesuksesan, promosi, atau gaji orang lain yang lebih tinggi, atau jika gagal melakukannya, Anda dapat membawa rasa iri Anda kepada Allah dalam doa, bukan kepada teman-teman Anda saat makan siang.
Sebaliknya, tempat kerja menawarkan peluang tak terbatas untuk ambisi egois. Seperti yang telah kita lihat, ambisi—bahkan persaingan—tidak selalu buruk (Rm. 15:20; 1 Kor. 9:24; 1 Tim. 2:5), namun memajukan agenda Anda sendiri secara tidak adil adalah hal yang buruk. Hal ini memaksa Anda untuk melakukan penilaian yang tidak akurat dan berlebihan terhadap diri sendiri (“kesombongan”), yang menempatkan Anda di dunia fantasi yang semakin terpencil di mana Anda tidak bisa efektif baik dalam pekerjaan maupun dalam keyakinan. Ada dua penawarnya. Pertama, pastikan kesuksesan Anda bergantung dan berkontribusi pada kesuksesan orang lain. Hal ini umumnya berarti bekerja dalam kerja sama tim yang tulus dengan orang lain di tempat kerja Anda. Kedua, terus mencari umpan balik yang akurat tentang diri Anda dan kinerja Anda. Anda mungkin mendapati bahwa kinerja Anda sebenarnya luar biasa, namun jika Anda mengetahuinya dari sumber yang akurat, itu bukanlah suatu kesombongan. Tindakan sederhana menerima masukan dari orang lain adalah bentuk kerendahan hati, karena Anda menundukkan citra diri Anda pada citra mereka tentang Anda. Tentu saja, ini hanya berguna jika Anda menemukan sumber masukan yang akurat. Menyerahkan citra diri Anda kepada orang-orang yang akan melecehkan atau menipu Anda bukanlah kerendahan hati yang sejati. Bahkan ketika Dia menyerahkan tubuh-Nya untuk dianiaya di kayu salib, Yesus tetap mempertahankan penilaian yang akurat terhadap diri-Nya sendiri (Lukas 23:43).
“Janganlah Tiap-tiap Orang Hanya Memperhatikan Kepentingannya Sendiri, Tetapi Kepentingan Orang Lain Juga” (Filipi 2:4)
Dari ketiga perintah tersebut, ini mungkin yang paling sulit disesuaikan dengan peran kita di tempat kerja. Kita pergi bekerja—setidaknya sebagian—untuk memenuhi kebutuhan kita. Lalu bagaimana bisa masuk akal untuk menghindari kepentingan diri sendiri? Paulus tidak mengatakannya. Namun kita harus ingat bahwa ia sedang berbicara kepada sekelompok orang, kepada mereka ia berkata, “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Flp. 2:4). Mungkin ia berharap bahwa jika setiap orang tidak hanya memperhatikan kebutuhannya masing-masing, namun memperhatikan kebutuhan seluruh komunitas, maka kebutuhan setiap orang akan terpenuhi. Hal ini konsisten dengan analogi tubuh yang Paulus gunakan dalam 1 Korintus 12 dan di tempat lain. Mata tidak bisa memenuhi kebutuhan akan transportasinya tetapi bergantung pada kaki untuk itu. Jadi setiap organ bertindak demi kebaikan tubuh, namun kebutuhannya tetap terpenuhi.
Dalam keadaan yang ideal, hal ini mungkin cocok untuk kelompok yang memiliki ikatan erat, mungkin sebuah gereja yang anggotanya memiliki komitmen yang sama tinggi. Namun apakah hal ini dimaksudkan untuk diterapkan pada tempat kerja di luar gereja? Apakah Paulus bermaksud menyuruh kita untuk memperhatikan kepentingan rekan kerja, pelanggan, atasan, bawahan, pemasok, dan banyak orang lain di sekitar kita, dan bukan kepentingan kita sendiri? Sekali lagi, kita harus membaca Filipi 2:8, di mana Paulus menggambarkan Yesus di kayu salib sebagai teladan kita, yang mengutamakan kepentingan orang-orang berdosa dan bukan kepentingannya sendiri. Dia menjalani prinsip ini di dunia pada umumnya, bukan di gereja, demikian pula kita. Dan Paulus menjelaskan dengan jelas bahwa konsekuensinya bagi kita mencakup penderitaan dan kehilangan, bahkan mungkin kematian. “Apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.” Tidak ada bacaan alamiah dalam Filipi 2 yang membebaskan kita dari memperhatikan kepentingan orang lain di tempat kerja dan bukan kepentingan kita sendiri.
Salah satu cara untuk memperhatikan kepentingan orang lain di tempat kerja adalah dengan memperhatikan bagaimana bias ras dan etnis memengaruhi orang-orang di tempat kerja Anda. Pdt. Dr. Gina Casey, pendeta kepala di St Joseph Health di Santa Rosa, California berkata, “Sudah tiba waktunya bagi orang-orang percaya untuk secara sengaja mendidik dirinya sendiri tentang dan mengakui keberadaan rasisme di tempat kerja. Orang Kristen juga harus berusaha untuk memahami dan mengamati dampak negatif yang ditimbulkan oleh masalah ini terhadap kesejahteraan finansial, sosial dan emosional rekan kerja dan karyawan mereka yang berkulit hitam. Merupakan kewajiban moral bagi orang-orang beriman untuk berusaha mempelajari lebih lanjut tentang bias rasial yang tersirat dan mikroagresi di tempat kerja, dan kemudian terus-menerus terlibat dalam disiplin pemeriksaan diri untuk mengungkap area yang memerlukan modifikasi dan penyembuhan perilaku pribadi.”[1]
3 Teladan Mengikut Kristus sebagai Orang Kristen Biasa (Filipi 2:19–3:21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiFaktanya, surat Filipi memberi kita tiga teladan—Paulus, Epafroditus, dan Timotius—untuk menunjukkan kepada kita bagaimana semua orang Kristen dimaksudkan untuk mengikuti teladan Kristus. “Ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladan bagimu,” kata Paulus kepada kita (Flp. 3:17). Ia menggambarkan masing-masing contoh ini dalam suatu kerangka berdasarkan “Nyanyian Rohani Yesus” di pasal 2.
Nama | Diutus ke Tempat yang Sulit | Dalam Ketaatan/ Perhambaan | Mengambil Risiko yang Berat | Demi Sesama |
Yesus | Menjadi sama dengan manusia (2:7) | Mengambil rupa seorang hamba (2:7) | Taat sampai mati (2:8) | Mengosongkan diri-Nya (2:7) |
Paulus | Hidup di dunia ini (1:22) | Hamba Kristus Yesus (1:1) | Dipenjarakan (1:7) menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (3:10) | Supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman (1:25) |
Timotius | Segera mengirimkan Timotius kepadamu (2:19) | Seperti seorang anak menolong bapaknya (2:22) | (Tidak dijabarkan dalam Filipi, tetapi lihat Rm. 6:21) | Bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu (2:20) |
Epafroditus | Mengirim kembali Epafroditus (2:25) | Yang kamu utus (2:25) | Ia nyaris mati (2:30) | Untuk melayani aku dalam keperluanku (2:25) |
Pesannya jelas. Kita dipanggil untuk melakukan apa yang Yesus lakukan. Kita tidak bisa bersembunyi di balik alasan bahwa Yesus adalah satu-satunya Anak Allah, yang melayani sesama sehingga kita tidak perlu melakukannya. Paulus, Epafroditus, dan Timotius juga bukan manusia super yang tindakannya tidak dapat kita tiru. Sebaliknya, saat kita mulai bekerja, kita harus menempatkan diri kita dalam kerangka kerja yang sama, yakni mengutus, menaati, mengambil risiko, dan melayani sesama:
Nama | Diutus ke Tempat yang Sulit | Dalam Ketaatan/ Perhambaan | Mengambil Risiko yang Berat | Demi Sesama |
Orang-orang Kristen di Tempat Kerja | Pergi ke tempat-tempat kerja non-kristiani | Bekerja di bawah wewenang orang lain | Mengambil risiko keterbatasan karier demi motivasi kita utk mengasihi seperti Kristus mengasihi | Dipanggil Allah untuk mendahulukan kepentingan sesama di atas kepentingan pribadi |
Bolehkah kita memperingan perintah untuk melayani orang lain dibandingkan diri kita sendiri dengan sedikit akal sehat? Bisakah kita, misalnya, mengutamakan kepentingan orang lain yang dapat kita percayai? Bisakah kita mengutamakan kepentingan orang lain sebagai tambahan terhadap kepentingan kita sendiri? Bolehkah kita bekerja demi kebaikan bersama dalam situasi di mana kita dapat mengharapkan manfaat yang proporsional, namun tetap waspada ketika sistem merugikan kita? Paulus tidak berkata apa pun tentang hal ini.
Apa yang harus kita lakukan jika kita mendapati diri kita tidak mampu atau tidak mau hidup seberani itu? Paulus hanya mengatakan ini, “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Flp. 4:6). Hanya dengan doa, permohonan, dan ucapan syukur yang terus-menerus kepada Allah, kita dapat melewati keputusan-keputusan sulit dan tindakan-tindakan berat yang diperlukan untuk memperhatikan kepentingan sesama dan bukan kepentingan kita sendiri. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai teologi abstrak namun sebagai nasihat praktis untuk kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Penerapan Sehari-hari (Filipi 4:1–23)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus menjelaskan tiga situasi sehari-hari yang memiliki relevansi langsung dengan tempat kerja.
Menyelesaikan Konflik (Filipi 4:2–9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus meminta jemaat Filipi untuk membantu dua wanita di antara mereka, Euodia dan Sintikhe, untuk berdamai satu sama lain (Flp. 4:2–9). Meskipun refleks naluri kita adalah menekan dan menyangkal konflik, Paulus dengan penuh kasih mengungkap konflik tersebut agar dapat diselesaikan. Konflik yang dialami oleh para wanita ini tidak disebutkan secara spesifik, namun mereka berdua adalah orang percaya yang menurut Paulus “telah berjuang dengan aku dalam pekerjaan Injil” (Flp. 4:3). Konflik terjadi bahkan di antara orang Kristen yang paling setia sekalipun, seperti yang kita semua tahu. Berhentilah memupuk kebencian, katanya kepada mereka, dan pikirkan tentang semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji dalam diri orang lain (Flp. 4:8). “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal” (Flp. 4:7) tampaknya dimulai dengan menghargai kebaikan orang-orang di sekitar kita, bahkan (atau khususnya) ketika kita sedang berkonflik dengan mereka. Bagaimanapun, mereka adalah orang-orang yang untuknya Kristus mati. Kita juga harus memperhatikan diri kita sendiri dengan cermat dan menemukan simpanan dari Allah dalam hal kelembutan, doa, permohonan, ucapan syukur, dan melepaskan kekhawatiran (Flp. 4:6) di dalam diri kita.
Penerapannya di tempat kerja saat ini jelas, meski jarang mudah diterapkan. Ketika keinginan kita adalah untuk mengabaikan dan menyembunyikan konflik dengan sesama di tempat kerja, kita harus mengakui dan membicarakannya (bukan bergosip). Ketika kita lebih suka menyimpannya untuk diri kita sendiri, kita harus meminta bantuan orang-orang yang bijaksana—dengan rendah hati, bukan dengan harapan mendapatkan dukungan untuk menang. Ketika kita memilih untuk mengajukan argumen terhadap pesaing kita, kita seharusnya juga membangun argumen bagi mereka, paling tidak bersikap adil dengan mengakui apa pun kelebihan mereka. Dan ketika kita berpikir kita tidak mempunyai energi untuk berurusan dengan orang itu, namun lebih memilih untuk memutuskan hubungan tersebut, kita harus membiarkan kekuatan dan kesabaran Allah menggantikan kekuatan dan kesabaran kita. Dalam hal ini kita berusaha meniru Allah kita, yang “mengosongkan diri-Nya” (Flp. 2:7) dari agenda-agenda pribadi dan menerima kuasa Allah (Flp. 2:9) untuk menjalankan kehendak Allah di dunia. Jika kita melakukan hal-hal ini, maka konflik kita dapat diselesaikan berdasarkan permasalahan sebenarnya, bukan berdasarkan proyeksi, ketakutan, dan kebencian kita. Biasanya hal ini mengarah pada pemulihan hubungan kerja dan semacam rasa saling menghormati, atau bahkan persahabatan. Bahkan dalam kasus-kasus yang tidak biasa di mana rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan, kita dapat mengharapkan “damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal” (Flp. 4:7). Ini adalah tanda dari Allah bahwa hubungan yang rusak pun tidak lebih besar dari harapan akan kebaikan Allah.
Saling Mendukung dalam Pekerjaan (Filipi 4:10–11, 15–16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus berterima kasih kepada jemaat Filipi atas dukungan mereka, baik secara pribadi (Flp. 1:30) maupun finansial (Flp. 4:10–11, 15–16). Di sepanjang Perjanjian Baru, kita melihat Paulus selalu berusaha bekerja sama dengan orang-orang Kristen lainnya, termasuk Barnabas (Kisah 13:2), Silas (Kisah 15:40), Lidia (Kisah 16:14-15), serta Priskila dan Akwila (Rom 16:3). Surat-suratnya biasanya diakhiri dengan salam kepada orang-orang yang pernah bekerja sama dengannya, dan sering kali berasal dari Paulus dan rekan sekerjanya, seperti surat Filipi berasal dari Paulus dan Timotius (Flp. 1:1). Dalam melakukan hal ini ia mengikuti nasihatnya sendiri untuk meniru Yesus, yang melakukan hampir semua hal dalam kemitraan dengan murid-murid-Nya dan orang lain.
Seperti yang kita perhatikan dalam Filipi 2, orang-orang Kristen di tempat kerja sekuler tidak selalu mempunyai kemewahan untuk bekerja bersama orang-orang percaya. Namun bukan berarti kita tidak bisa saling mendukung. Kita dapat berkumpul dengan orang lain dalam profesi atau institusi kita untuk saling berbagi dukungan dalam menghadapi tantangan dan peluang spesifik yang kita hadapi dalam pekerjaan kita. Program “Ibu-ke-Ibu”[] adalah contoh praktis dari sikap saling mendukung di tempat kerja. Para ibu berkumpul setiap minggu untuk belajar, berbagi ide, dan saling mendukung dalam tugas mengasuh anak kecil. Idealnya, semua orang Kristen mendapat dukungan seperti itu dalam pekerjaan mereka. Jika tidak ada program formal, kita dapat membicarakan pekerjaan kita di komunitas Kristen biasa, termasuk ibadah dan khotbah, studi Alkitab, kelompok kecil, retret di gereja, kelas, dan lain-lain. Tapi seberapa sering kita melakukannya? Paulus berusaha keras untuk membangun komunitas dengan sesama dalam panggilannya, bahkan mempekerjakan pembawa pesan untuk melakukan perjalanan laut yang jauh (Flp. 2:19, 25) untuk berbagi ide, berita, persekutuan, dan sumber daya.
Menangani Kemiskinan dan Kelimpahan (Filipi 4:12–13, 18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTerakhir, Paulus membahas cara menangani kemiskinan dan kelimpahan. Hal ini memiliki relevansi langsung dengan tempat kerja karena pekerjaan dapat membuat perbedaan antara kemiskinan dan kelimpahan bagi kita, atau setidaknya bagi kita yang dibayar atas pekerjaan kita. Sekali lagi, nasihat Paulus sederhana, namun sulit untuk diikuti. Jangan mengidolakan pekerjaan Anda dengan harapan akan selalu memberi banyak manfaat bagi Anda. Sebaliknya, lakukanlah pekerjaan Anda karena manfaatnya bagi orang lain, dan belajarlah untuk merasa puas dengan seberapa banyak atau sedikit hal yang diberikannya bagi Anda. Sungguh nasihat yang sulit. Beberapa profesi—guru, petugas kesehatan, petugas layanan pelanggan, dan orang tua, beberapa di antaranya—mungkin terbiasa bekerja lembur tanpa bayaran tambahan untuk membantu orang yang membutuhkan. Yang lain mengharapkan imbalan yang besar atas layanan yang mereka lakukan. Bayangkan seorang eksekutif senior atau bankir investasi yang bekerja tanpa kontrak atau target bonus berkata,
“Saya menjaga pelanggan, karyawan, dan pemegang saham, dan saya senang menerima apa pun yang mereka pilih untuk diberikan kepada saya di akhir tahun.” Ini tidak umum, tetapi sedikit orang yang melakukannya. Paulus hanya mengatakan ini:
Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam setiap keadaan dan dalam segala hal tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam keadaan kenyang, maupun dalam keadaan lapar, baik dalam keadaan berkelimpahan maupun dalam keadaan berkekurangan. Segala hal dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku ... Kini aku telah menerima semua yang perlu dari kamu, malahan lebih daripada itu” (Flp. 4:12–13, 18)
Poinnya bukanlah berapa banyak atau sedikit bayaran yang kita terima—dalam batasan yang masuk akal—tetapi apakah kita termotivasi oleh manfaat pekerjaan kita bagi orang lain atau hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Namun motivasi tersebut seharusnya menggerakkan kita untuk menolak institusi, praktik, dan sistem yang menimbulkan hasil-hasil ekstrem dalam hal kemiskinan atau kekayaan.
Kesimpulan Surat Filipi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun Paulus tidak membahas tempat kerja secara jelas dalam surat Filipi, visinya tentang pekerjaan Allah di dalam kita meletakkan landasan bagi pertimbangan kita mengenai iman dan pekerjaan. Pekerjaan kita memberikan konteks utama di mana kita harus menjalani pekerjaan baik yang telah Allah mulai dalam diri kita. Kita harus mencari pemikiran yang sama seperti orang-orang Kristen lainnya dalam kehidupan dan pekerjaan kita. Kita harus bertindak seolah-olah orang lain lebih baik dari diri kita sendiri. Kita harus mengutamakan kepentingan orang lain, bukan kepentingan kita sendiri. Tanpa membahas pekerjaan secara langsung, Paulus sepertinya menuntut hal yang mustahil dari kita di tempat kerja! Namun apa yang kita lakukan di tempat kerja bukan sekedar usaha kita—melainkan pekerjaan Allah di dalam dan melalui kita. Karena kuasa Allah tidak terbatas, Paulus dapat berkata dengan berani, “Segala hal dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp. 4:13).
Ayat dan Tema Kunci dalam Surat Galatia, Efesus, dan Filipi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
Galatia 2:19b-20 Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Hidup yang sekarang aku hidupi secara jasmani adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. | Hidup di dalam Kristus berdasarkan iman |
Galatia 5:1 Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu, berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. | Kemerdekaan di dalam Kristus, bukan perhambaan |
Galatia 5:6 Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih. | Iman bekerja melalui kasih |
Galatia 5:13 Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.. | Kemerdekaan untuk menjadi “hamba” melalui kasih. |
Galatia 5:16 Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. | Hiduplah oleh Roh, bukan oleh kedagingan. |
Galatia 5:22-23a Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.. | Buah Roh |
Galatia 6:10 Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada saudara-saudara seiman kita. | Bekerja bagi kebaikan bersama dan bagi saudara-saudara seiman |
Efesus 1:9-10 [Allah] telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi. | Segala sesuatu – termasuk kerja kita di bumi – adalah suatu bagian dari rencana Allah |
Efesus 2:8-10 Sebab karena anugerah kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu, supaya tidak ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. | Walaupun keselamatanmu hanya datang oleh kasih karunia karena iman, namun engkau diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik. |
Efesus 4:28 Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan. | Bekerjalah dengan keras sehingga Anda bisa berbagi dengan mereka yang membutuhkan. |
Efesus 6:5-8 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati manusia, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. | Jika diperintahkan untuk melakukan pekerjaan baik, bekerjalah dengan penuh semangat seakan-akan bagi Tuhan. Jika diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang jahat, tolaklah, karena pekerjaan yang jahat tidak bisa dilakukan “bagi Tuhan” |
Efesus 6:9 Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di surga dan Ia tidak memandang muka. | Jika Anda memiliki otoritas, jangan perintahkan bawahan Anda untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah. |
Filipi 1:6 Mengenai hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus. | Allah akan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang telah dimulai-Nya di dalam kita. |
Filipi 2:2 Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. | Orang-orang Kristen tidak boleh membiarkan perpecahan menghalangi mereka untuk bersaksi dan bekerja secara efektif dalam dunia |
Filipi 2:3 tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri. | Ambil keuntungan dari kesempatan tak terbatas di tempat kerja untuk memperlakukan orang lain seolah-olah mereka lebih bijaksana atau lebih pandai atau lebih baik dari diri Anda. |
Filipi 2:4 janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. | Kita perlu memenuhi kebutuhan komunitas di sekeliling kita ketimbang kebutuhan kita sendiri. Jika orang lain melakukan hal yang sama, maka kebutuhan kita akan terpenuhi, walaupun tidak ada jaminan bahwa mereka akan melakukannya |
Filipi 4:12-13, 18 Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam setiap keadaan dan dalam segala hal tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam keadaan kenyang, maupun dalam keadaan lapar, baik dalam keadaan berkelimpahan maupun dalam keadaan berkekurangan. Segala hal dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku ... Kini aku telah menerima semua yang perlu dari kamu, malahan lebih daripada itu. | Cara untuk terbebas dari penyembahan berhala akan imbalan yang kita cari dari kerja (uang, kekuasaan, status, dll) adalah dengan termotivasi oleh manfaat kerja kita bagi sesama dan merasa puas dengan imbalan apa pun yang kita terima. |
Pengantar Kepada Kolose dan Filemon
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur melalui Dia kepada Allah Bapa. Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima warisan yang menjadi upahmu. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya. (Kol. 3: 17, 23-24)
Mengapa Rasul Paulus[1] mendesak agar umat Kristen di Kolose menjalani kehidupan sehari-hari mereka di bawah mandat menyeluruh untuk mengendalikan setiap perkataan dan perbuatan? Dalam dua surat yang singkat tetapi kaya ini, Paulus mengeksplorasi secara rinci alasan teologis di balik kedua perintah yang tumpang tindih ini serta implikasi gaya hidup ini dalam semua hubungan utama dalam hidup—dengan pasangan dan keluarga kita, dan dengan rekan kerja, karyawan, atau atasan kita di tempat kerja.
Latar Belakang Kolose dan Jemaat Kolose
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSejarah Kota Kolose
Kota-kota tumbuh seiring dengan berkembangnya pusat-pusat komersial yang menyediakan lapangan kerja bagi penduduknya. Kota kuno Kolose dibangun di jalur perdagangan utama melalui Lembah Sungai Likus di provinsi Romawi di Asia Kecil (di sudut barat daya Turki modern). Di sana orang Kolose membuat kain wol merah tua yang indah (colossinum) yang menjadikan kota ini terkenal. Namun pentingnya Kolose sebagai pusat bisnis berkurang secara signifikan sekitar tahun 100 SM, ketika kota tetangganya, Laodikia, didirikan sebagai pesaing yang aktif dan agresif secara komersial. Kedua kota tersebut, bersama dengan kota tetangganya Hierapolis, dihancurkan oleh gempa bumi pada tahun 17 M (pada masa pemerintahan Tiberius) dan sekali lagi pada tahun 60 (pada masa pemerintahan Nero). Dibangun kembali setelah setiap gempa bumi, Kolose tidak pernah kembali menonjol, dan pada tahun 400 kota itu tidak ada lagi.
Sejarah Gereja Kolose
Rasul Paulus telah menghabiskan waktu dua tahun mendirikan gereja di Efesus, dan dalam Kisah Para Rasul 19:10 kita mengetahui bahwa, dari sana, “seluruh penduduk Asia, baik Yahudi maupun Yunani, mendengar firman Allah.” Entah apakah Paulus sendiri yang melakukan kegiatan misi di seluruh provinsi atau beberapa orang petobatnya yang melakukannya, sebuah gereja didirikan di Kolose. Kemungkinan besar Epafras mendirikan gereja Kolose (Kol. 1:7), dan dari 1:21 kita berasumsi bahwa gereja tersebut sebagian besar terdiri dari orang-orang bukan Yahudi.
Filemon adalah warga Kolose dan pemimpin yang benar di gereja itu. Ia juga seorang pemilik hamba, dan hambanya Onesimus telah melarikan diri, kemudian bertemu dengan Rasul Paulus, dan menanggapi pesan Injil tentang Yesus. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus membahas bagaimana hubungan kita dengan Allah melalui Yesus Kristus mempengaruhi kita di tempat kerja. Secara khusus, ia menulis tentang bagaimana hamba harus melakukan pekerjaannya untuk majikannya dan bagaimana majikan harus memperlakukan hambanya. Surat pribadi singkat kepada Filemon memperluas pemahaman kita tentang perintah Paulus dalam Kolose 4:1.
Apa Tujuan Surat Paulus kepada Jemaat Kolose dan Filemon?
Surat-surat kepada jemaat Kolose dan Filemon diyakini ditulis oleh Paulus dari penjara sekitar tahun 60 hingga 62. Pada saat itu, Nero adalah kaisar Kekaisaran Romawi yang kejam dan gila yang dapat mengabaikan klaim Paulus sebagai warga negara Romawi.
Dari penjara, Paulus telah mendengar bahwa orang-orang Kristen di Kolose, yang dulunya kuat dalam iman mereka, kini rentan terhadap tipuan tentang iman (2:4, 8, 16, 18, 21–23). Ia menulis untuk menyangkal setiap kesalahan teologis yang coba diterima oleh jemaat Kolose. Namun, surat-surat ini membawa pembaca jauh melampaui isu-isu penipuan ini. Paulus sangat peduli agar semua pembacanya (hari ini seperti halnya bagi jemaat Kolose dua ribu tahun yang lalu) memahami konteks kehidupan mereka dalam kisah Allah, dan seperti apa hubungan mereka di tempat kerja.
Allah Bekerja dalam Penciptaan, Menjadikan Manusia Pekerja Sesuai Gambar dan Rupa-Nya (Kolose 1:1–14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam Kolose 1:6, Paulus membawa kita kembali ke Kejadian 1:26–28.
Kemudian Allah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita; supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan atas burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar dan rupa-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka, “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhi bumi dan taklukkanlah itu; berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Di sinilah Allah sang Pencipta sedang bekerja, dan puncak aktivitas-Nya adalah penciptaan umat manusia menurut gambar dan rupa Ilahi. Kepada laki-laki dan perempuan yang baru diciptakan, Dia memberikan dua tugas (tugas tersebut diberikan kepada laki-laki dan perempuan): mereka harus beranak cucu dan bertambah banyak, memenuhi bumi yang harus mereka taklukkan atau perintah. Paulus mengambil bahasa dari Kejadian 1 dalam Kolose 1:6, mengucap syukur kepada Allah karena Injil berkembang di tengah-tengah mereka, “berbuah dan berkembang” seiring dengan penyebarannya ke seluruh dunia. Dia kemudian mengulangi hal ini dalam 1:10—jemaat Kolose harus berbuah dan bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang Allah dan dalam pekerjaan mereka demi Dia. Entah tugas-tugas tersebut adalah pekerjaan mengasuh anak, pekerjaan multifaset dalam menundukkan bumi dan mengaturnya, atau pekerjaan pelayanan, dalam pekerjaan kita tugas-tugas tersebut dan kita adalah pembawa gambar Allah yang bekerja. Kita diciptakan sebagai pekerja pada mulanya, dan Kristus menebus kita sebagai pekerja.
Allah Bekerja, Yesus Bekerja (Kolose 1:15–20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiParuh pertama surat Paulus kepada jemaat Kolose dapat diringkas dalam tujuh kata:
Yesus menciptakan semuanya.
Lalu Yesus membayar semuanya.
Yesus Menciptakan Semuanya
Surat Kolose berasumsi bahwa pembaca sudah tidak asing dengan kalimat pembuka kitab pertama Alkitab, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Kejadian pasal kedua kemudian menyatakan “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kej. 2:2). Penciptaan segala sesuatu yang ada adalah kerja, bahkan bagi Allah. Paulus memberitahu kita bahwa Kristus hadir pada saat penciptaan dan bahwa karya Allah dalam penciptaan adalah karya Kristus:
Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu. (Kol 1:15-17)
Dengan kata lain, Paulus menghubungkan seluruh ciptaan dengan Yesus, sebuah tema yang juga dikembangkan dalam Injil Yohanes (1:1-4).
Yesus Membayar Semuanya
Paulus kemudian menjelaskan kepada para pembacanya bahwa Yesus bukan hanya agen yang menciptakan segala sesuatu yang ada, tetapi Dia juga agen keselamatan kita:
Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus. (Kol 1:19-20)
Paulus menempatkan karya Kristus dalam penciptaan berdampingan dengan karya-Nya dalam penebusan, dengan tema penciptaan mendominasi bagian pertama perikopnya (Kol. 1:15–17) dan tema penebusan mendominasi bagian kedua (Kol. 1:18– 20). Paralelisme ini sangat mencolok antara 1:16, “di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi,” dan 1:20, “memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” Polanya mudah dilihat: Allah menciptakan segala sesuatu melalui Kristus, dan Dia mendamaikan hal-hal yang sama itu dengan diri-Nya melalui Kristus. James Dunn menulis,
Apa yang diklaim–secara sederhana dan mendalam—adalah bahwa tujuan ilahi dalam tindakan rekonsiliasi dan perdamaian adalah memulihkan keharmonisan ciptaan yang asli . . . menyelesaikan ketidakharmonisan alam dan ketidakmanusiawian umat manusia, sehingga karakter ciptaan Allah dan kepedulian Allah terhadap alam semesta dalam ekspresi sepenuhnya dapat ditangkap dan dikemas dalam salib Kristus.[1]
Singkatnya, Yesus menciptakan semuanya dan kemudian Yesus membayar semuanya agar kita dapat mempunyai hubungan dengan Allah yang hidup.
Yesus, Gambar dari Allah yang Takterlihat (Kolose 1:15–29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApa perbedaan yang seharusnya terjadi dengan kita menjadi penyandang gambar ilahi dalam pekerjaan kita? Salah satu implikasinya adalah bahwa dalam pekerjaan kita, kita akan mencerminkan pola dan nilai-nilai kerja Allah. Namun bagaimana kita bisa mengenal Allah sehingga kita mengetahui apa saja pola dan nilai-nilai tersebut? Dalam Kolose 1:15, Paulus mengingatkan kita bahwa Yesus Kristus adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan.” Sekali lagi, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian” (Kol. 2:9). “Pada wajah Yesus Kristus” lah kita dapat mengenal Allah (2 Kor. 4:6). Dalam pelayanan Yesus di bumi, Filipus bertanya kepadanya, “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” Yesus menjawab, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami?” (Yoh. 14:8–9).
Yesus mengungkapkan Allah kepada kita. Dia menunjukkan kepada kita bagaimana kita sebagai penyandang gambar Allah harus melaksanakan pekerjaan kita. Jika kita memerlukan bantuan untuk memahami hal ini, Paulus menjelaskannya: pertama, ia menggambarkan kuasa Yesus yang tak terbatas dalam penciptaan (Kol. 1:15-17), kemudian ia langsung menghubungkan hal itu dengan kesediaan Yesus untuk mengesampingkan kuasa tersebut, menginkarnasikan Allah di bumi melalui perkataan dan perbuatan, lalu mati demi dosa-dosa kita. (Paulus mengatakan hal ini secara langsung dalam Flp. 2:5-9.) Kita memandang Yesus. Kita mendengarkan Yesus untuk memahami bagaimana ktai dipanggil untuk menggambarkan Allah dalam pekerjaan kita.
Lalu, bagaimana pola dan nilai-nilai Allah dapat diterapkan dalam pekerjaan kita? Kita mulai dengan melihat secara spesifik pekerjaan Yesus sebagai teladan kita.
Pengampunan
Pertama, kita melihat bahwa Allah “telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang terkasih” (Kol. 1:13). Karena Yesus telah melakukan hal itu, Paulus dapat menghimbau kita untuk “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian” (Kol. 3:13). Atas dasar inilah Paulus dapat meminta Filemon, sang majikan hamba, untuk mengampuni dan menerima Onesimus sebagai seorang saudara, bukan lagi sebagai hamba. Kita melakukan pekerjaan kita dalam nama Tuhan Yesus ketika kita menerapkan sikap tersebut dalam hubungan kita di tempat kerja: kita mengampuni kesalahan orang lain dan mengampuni orang yang menyakiti kita.
Pengorbanan Diri demi Kepentingan Orang Lain
Kedua, kita melihat Yesus dengan kuasa yang tak terbatas menciptakan segala sesuatu yang ada, “yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa” (Kol. 1:16). Namun kita juga melihat Dia mengesampingkan kuasa itu demi kita, “mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus” (Kol. 1:20), sehingga kita bisa memiliki hubungan dengan Allah. Ada kalanya kita mungkin dipanggil untuk mengesampingkan otoritas atau kekuasaan yang kita miliki di tempat kerja demi memberi manfaat bagi seseorang yang mungkin tidak layak. Jika Filemon bersedia mengesampingkan otoritasnya sebagai pemilik hamba atas Onesimus (yang tidak pantas mendapatkan kemurahannya) dan membawanya kembali ke dalam hubungan yang baru, maka dengan cara ini Filemon menggambarkan Allah yang tidak terlihat di tempat kerjanya.
Kebebasan Dari Akomodasi Budaya
Ketiga, kita melihat Yesus menghayati realitas baru yang Dia tawarkan kepada kita: “Karena itu, apabila kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kol. 3:1–3). Kita tidak lagi terikat oleh adat istiadat budaya yang bertentangan dengan kehidupan Allah di dalam diri kita. Kita berada di dunia, namun kita bukan bagian dari dunia. Kita bisa berbaris mengikuti irama drum yang berbeda. Budaya di tempat kerja dapat merugikan kehidupan kita di dalam Kristus, namun Yesus memanggil kita untuk mengarahkan hati dan pikiran kita pada apa yang Allah inginkan bagi kita dan di dalam diri kita. Hal ini memerlukan reorientasi besar-besaran atas sikap dan nilai-nilai kita.
Paulus memanggil Filemon untuk melakukan reorientasi ini. Kebudayaan Romawi abad pertama memberi pemilik hamba kekuasaan penuh atas tubuh dan kehidupan hamba mereka. Segala sesuatu dalam budaya itu memberi izin penuh kepada Filemon untuk memperlakukan Onesimus dengan kasar, bahkan membunuhnya. Namun Paulus menegaskan dengan jelas: Sebagai pengikut Yesus Kristus, Filemon telah mati dan kehidupan barunya kini ada di dalam Kristus (Kol. 3:3). Itu berarti memikirkan kembali tanggung jawabnya tidak hanya terhadap Onesimus tetapi juga terhadap Paulus, terhadap gereja Kolose, dan terhadap Allah yang menjadi hakimnya.
“Aku Sendiri Baik-Baik Saja” (Kolose 2:1–23)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaulus memperingatkan jemaat Kolose agar tidak kembali ke orientasi lama yaitu menolong diri sendiri. “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2:8). Dalam buku “A Good Man is Hard to Find,” Flannery O’Connor dengan ironisnya mengucapkan kata-kata itu—“Saya sendiri baik-baik saja”—di mulut seorang pembunuh berantai yang menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan Yesus.[1] Ini adalah rangkuman yang pas tentang etos para guru palsu yang mengganggu orang-orang kudus di Kolose. Dalam “ibadah buatan sendiri” (Kol. 2:23), kemajuan rohani dapat dicapai melalui perlakuan kasar terhadap tubuh, penglihatan mistik (Kol. 2:18), dan mematuhi hari-hari khusus serta peraturan makanan (Kol. 2: 16, kemungkinan besar berasal dari Perjanjian Lama). Guru-guru ini percaya bahwa dengan mengerahkan sumber daya yang mereka miliki, mereka dapat mengatasi dosa mereka sendiri.
Poin penting ini menjadi dasar nasihat Paulus kepada para pekerja di bagian akhir suratnya. Kemajuan sejati dalam iman—termasuk kemajuan dalam cara kita memuliakan Allah di tempat kerja kita—hanya dapat muncul dari kepercayaan kita akan pekerjaan Allah di dalam kita melalui Kristus.
Tetapkan Pikiran Anda pada Hal-Hal di Atas: Kehidupan Surgawi demi Kebaikan Duniawi (Kolose 3:1–16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPanggilan untuk melakukan reorientasi ini berarti kita membentuk kembali kehidupan kita untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan etika Yesus dalam situasi yang tidak pernah Dia temui. Kita tidak dapat menjalani kembali kehidupan Yesus. Kita harus menjalani hidup kita sendiri bagi Yesus. Kita harus menanggapi pertanyaan-pertanyaan dalam hidup yang baginya Yesus tidak memberikan jawaban spesifik. Misalnya, ketika Paulus menulis, “Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol. 3:2), apakah ini berarti berdoa lebih baik daripada mengecat rumah? Apakah kemajuan umat kristiani berarti semakin sedikit memikirkan pekerjaan kita dan semakin banyak memikirkan tentang kecapi, malaikat, dan awan?
Paulus tidak membiarkan kita berspekulasi secara mentah mengenai hal-hal ini. Dalam Kolose 3:1–17, ia memperjelas bahwa “Pikirkanlah hal-hal yang di atas” (Kol. 3:2) berarti mengungkapkan prioritas kerajaan Allah tepat di tengah-tengah aktivitas sehari-hari di bumi. Sebaliknya, memikirkan hal-hal duniawi berarti hidup berdasarkan nilai-nilai sistem dunia yang bertentangan dengan Allah dan jalan-jalan-Nya.
Seperti apakah tindakan mematikan “segala sesuatu yang duniawi” (Kol. 3:5) dalam kehidupan nyata sehari-hari? Ini tidak berarti mengenakan baju yang terbuat dari rambut atau mandi air sedingin es untuk disiplin spiritual. Paulus baru saja mengatakan bahwa “menyiksa diri” tidak ada gunanya untuk menghentikan dosa (Kol. 2:23).
Pertama, ini berarti mematikan “percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Kita dipanggil untuk menjauhi imoralitas seksual (seolah-olah seks yang terdegradasi dapat memberikan kehidupan yang lebih baik) dan keserakahan (seolah-olah lebih banyak barang dapat membawa lebih banyak kebahagiaan). Tentu saja asumsinya adalah bahwa memang ada tempat yang layak untuk pemuasan hasrat seksual (perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita) dan tingkat yang tepat untuk pemuasan hasrat material (yang dihasilkan dari percaya kepada Allah, kerja keras, kemurahan terhadap sesama, dan rasa syukur atas pemeliharaan Allah).
Kedua, Paulus menyatakan, “Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu. Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya” (Kol. 3:8-10). Kata-kata “saling” menunjukkan bahwa Paulus sedang berbicara kepada gereja, yaitu kepada mereka yang percaya kepada Kristus. Apakah ini berarti diperbolehkan terus berbohong kepada orang lain di luar gereja? Tidak, karena Paulus tidak berbicara tentang perubahan perilaku saja, melainkan perubahan dalam hati dan pikiran. Sulit untuk membayangkan bahwa setelah mengambil “manusia baru”, Anda bisa kembali ke manusia lama ketika berhadapan dengan orang-orang yang tidak beriman. Setelah Anda “membuang semuanya itu”, mereka tidak dimaksudkan untuk dikembalikan lagi.
Dari sifat-sifat buruk ini, ada tiga hal yang sangat relevan dengan tempat kerja: keserakahan, amarah, dan tipu daya. Ketiga sifat buruk ini dapat muncul dalam kegiatan bisnis yang sah.
Keserakahan adalah mengejar kekayaan secara tidak terkendali. Adalah layak dan perlu bagi suatu bisnis untuk menghasilkan keuntungan atau bagi organisasi nirlaba untuk menciptakan nilai tambah. Namun jika keinginan untuk mendapatkan keuntungan menjadi tidak terbatas, kompulsif, berlebihan, dan menyempit pada pencarian keuntungan pribadi, dosa telah mengambil alih.
Amarah bisa muncul dalam konflik. Konflik perlu diungkapkan, dieksplorasi, dan diselesaikan di tempat kerja mana pun. Namun jika konflik tidak ditangani secara terbuka dan adil, konflik tersebut akan berubah menjadi amarah, murka, dan niat jahat yang tidak terselesaikan, dan dosa berkuasa.
Tipu daya dapat disebabkan oleh promosi prospek perusahaan atau manfaat produk secara tidak akurat. Sudah sepantasnya setiap perusahaan mempunyai visi terhadap produk, layanan, dan organisasinya yang melampaui apa yang ada saat ini. Brosur penjualan harus menjelaskan produk dalam penggunaan tertinggi dan terbaiknya, disertai peringatan tentang keterbatasan produk. Prospektus saham harus menggambarkan apa yang ingin dicapai perusahaan jika berhasil, dan juga risiko yang mungkin dihadapi perusahaan selama proses tersebut. Jika keinginan untuk menggambarkan suatu produk, layanan, perusahaan, atau orang dalam sudut pandang visioner melampaui batas dan mengarah pada penipuan (penggambaran yang tidak seimbang antara risiko versus imbalan, penyesatan, atau fabrikasi terang-terangan serta tipuan), maka dosa sekali lagi berkuasa.
Paulus tidak berusaha memberikan kriteria universal untuk mendiagnosis kapan kebajikan yang seharusnya telah merosot menjadi keburukan, namun ia memperjelas bahwa umat Kristiani harus belajar melakukan diagnosistersebut dalam situasi khusus mereka.
Ketika umat Kristiani “mematikan” (Kol. 3:5) diri mereka yang lama, mereka kemudian perlu mengenakan pribadi yang Allah kehendaki, yaitu pribadi yang Allah ciptakan kembali menurut gambar Kristus (Kol. 3: 10). Hal ini tidak berarti menyembunyikan diri untuk terus-menerus berdoa dan beribadah (walaupun kita semua dipanggil untuk berdoa dan beribadah, dan beberapa orang mungkin dipanggil untuk melakukan hal itu sebagai panggilan penuh waktu). Sebaliknya, hal ini berarti mencerminkan keutamaan Allah yaitu “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kol. 3:12) dalam apa pun yang kita lakukan.
Sebuah kata yang menguatkan datang dari nasihat Paulus untuk “tanggunglah seorang terhadap yang lain” (Kol. 3:13, terjemahannya mungkin demikian). Kebanyakan terjemahannya berbunyi “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain,” namun hal ini tidak sepenuhnya menangkap maksud Paulus. Tampaknya ia mengatakan bahwa ada berbagai macam orang di gereja (dan kita juga dapat menerapkan hal ini di tempat kerja) yang secara alami tidak cocok dengan kita. Minat dan kepribadian kita sangat berbeda sehingga tidak bisa terjadi kedekatan secara naluriah. Namun kita tetap menoleransi mereka. Kita mengupayakan kebaikan mereka, kita mengampuni dosa-dosa mereka, dan kita menanggung keanehan mereka yang menjengkelkan. Banyak karakter yang dipuji Paulus dalam suratnya dapat diringkas dalam kalimat “ia bekerja dengan baik bersama orang lain.” Paulus sendiri menyebut rekan sekerjanya Tikhikus, Onesimus, Aristarkhus, Markus, Yustus, Epafras, Lukas, Demas, Nimfa, dan Arkhipus (Kol. 4:7–17). Menjadi “pemain tim” bukan sekadar klise yang meningkatkan resume. Ini adalah kebajikan Kristen yang mendasar. Baik mematikan manusia yang lama maupun menerapkan manusia yang baru sangatlah relevan dalam pekerjaan sehari-hari. Umat Kristiani dimaksudkan untuk menunjukkan kehidupan baru Kristus di tengah dunia yang sedang sekarat, dan tempat kerja mungkin merupakan forum utama di mana pertunjukan semacam itu dapat dilakukan.
Misalnya, orang Kristen mungkin tergoda untuk menyesuaikan diri di tempat kerja dengan ikut serta dalam gosip dan keluhan yang tersebar di banyak tempat kerja. Kemungkinan besar setiap tempat kerja memiliki orang-orang yang tindakannya di dalam dan di luar jam kerja dapat menghasilkan cerita yang menarik. Tidak bohong kan, mengulang cerita itu?
Kemungkinan besar setiap tempat kerja mempunyai kebijakan yang tidak adil, atasan yang buruk, proses yang tidak berfungsi, dan saluran komunikasi yang buruk. Bukan fitnah kan jika kita mengutarakan keluhan-keluhan tersebut?
Nasihat Paulus adalah untuk hidup secara berbeda bahkan di tempat kerja yang buruk. Mematikan sifat duniawi dan mengenakan Kristus berarti berkonfrontasi langsung dengan orang-orang yang telah berbuat salah terhadap kita, bukannya bergosip di belakang mereka (Mat. 18:15-17). Hal ini berarti berupaya memperbaiki ketidaksetaraan di tempat kerja dan memaafkan ketidakadilan yang terjadi.
Seseorang mungkin bertanya, “Tidakkah orang Kristen menanggung risiko ditolak sebagai tipe orang yang tidak ceria dan ‘lebih suci dari Anda’ jika mereka tidak berbicara seperti orang lain?” Hal ini dapat terjadi jika orang-orang Kristen tersebut memisahkan diri dari orang lain dalam upaya untuk menunjukkan bahwa mereka lebih baik daripada orang lain. Rekan kerja akan mengendusnya dengan cepat. Namun jika umat Kristiani benar-benar mengenakan Kristus pada diri mereka, sebagian besar orang akan senang berada di dekat mereka. Beberapa bahkan mungkin diam-diam atau secara terbuka menghargai kenyataan bahwa seseorang yang mereka kenal setidaknya mencoba menjalani kehidupan yang penuh “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, dan kesabaran” (Kol. 3:12). Dengan cara yang sama, para pekerja Kristen yang menolak melakukan penipuan (baik dengan menolak salinan iklan yang menyesatkan atau menolak keras skema Ponzi yang diagung-agungkan) mungkin mendapati diri mereka mendapat musuh sebagai akibat kejujuran mereka. Namun ada kemungkinan juga bahwa beberapa rekan kerja akan mengembangkan keterbukaan baru terhadap cara Yesus ketika Komisi Sekuritas dan Bursa (Securities and Exchange Commission) mengetuk pintu kantor mereka.
Melakukan Pekerjaan Kita seperti untuk Allah (Kolose 3:17, 23)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJadi apa artinya melakukan pekerjaan kita “dalam nama Tuhan Yesus” (Kol. 3:17)? Bagaimana kita melakukan pekerjaan kita dengan sepenuh hati, “seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23)? Melakukan pekerjaan kita dalam nama Tuhan Yesus setidaknya mengandung dua gagasan:
Kita menyadari bahwa kita mewakili Yesus di tempat kerja. Jika kita adalah pengikut Kristus, cara kita memperlakukan orang lain dan seberapa rajin dan setia kita melakukan pekerjaan mencerminkan Tuhan kita. Seberapa cocokkah tindakan kita dengan siapa Dia?
Bekerja dalam “nama Yesus” juga menyiratkan bahwa kita hidup dengan mengakui bahwa Dia adalah tuan kita, atasan kita, dan kepada-Nya kita bertanggung jawab. Hal ini mengingatkan Paulus bahwa kita bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk majikan manusia. Ya, kemungkinan besar kita mempunyai akuntabilitas horizontal dalam bekerja, namun ketekunan yang kita lakukan dalam pekerjaan berasal dari pengakuan kita bahwa, pada akhirnya, Allah adalah hakim kita.
Ketika Paulus menulis, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur melalui Dia kepada Allah, Bapa kita” (Kol. 3:17), kita dapat memahami ayat ini dalam dua cara: jalan yang dangkal dan jalan yang lebih dalam. Cara yang dangkal adalah dengan memasukkan beberapa tanda dan gerak tubuh Kristen ke dalam tempat kerja kita, seperti ayat Alkitab yang ditempel di bilik kita atau stiker bemper Kristen di truk kita. Tindakan seperti ini bisa saja bermakna, namun tindakan seperti ini tidak mencerminkan kehidupan kerja yang berpusat pada Kristus. Cara yang lebih dalam untuk memahami tantangan Paulus adalah dengan berdoa secara khusus untuk pekerjaan yang sedang kita lakukan: “Tuhan, tolong tunjukkan saya cara menghormati penggugat dan tergugat dalam bahasa yang saya gunakan dalam laporan singkat ini.”
Cara yang lebih mendalam lagi adalah memulai hari dengan membayangkan apa tujuan kita sehari-hari jika Allah adalah pemilik tempat kerja kita. Dengan memahami perintah Paulus ini, kita akan bekerja sepanjang hari untuk mencapai tujuan yang memuliakan Allah. Maksud rasul Paulus adalah bahwa dalam kerajaan Allah, pekerjaan dan doa kita merupakan kegiatan yang terintegrasi. Kita cenderung melihatnya sebagai dua aktivitas terpisah yang perlu diseimbangkan. Namun keduanya merupakan dua aspek dari aktivitas yang sama—yakni, bekerja untuk mencapai apa yang Allah ingin capai dalam persekutuan dengan orang lain dan dengan Allah.
Tentang Hamba dan Tuan, Zaman Dahulu dan Kontemporer (Kolose 3:18–4:1)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada titik ini, surat Kolose beralih ke apa yang disebut “aturan rumah tangga,” yaitu serangkaian instruksi khusus bagi istri dan suami, anak-anak dan orang tua, hamba dan tuan. Aturan-aturan ini umum di dunia kuno. Dalam Perjanjian Baru, aturan-aturan tersebut muncul dalam berbagai bentuk sebanyak enam kali—dalam Galatia 3:28; Efesus 5:15–6:9; Kolose 3:15–4:1; 1 Timotius 5:1–22; 6:1–2; Titus 2:1–15; dan 1 Petrus 2:11–3:9. Untuk tujuan kita di sini, kita hanya akan mengeksplorasi bagian dalam Kolose yang berkaitan dengan tempat kerja (hamba dan majikan dalam 3:18–4:1).
Jika kita ingin menghargai sepenuhnya nilai kata-kata Paulus di sini bagi para pekerja masa kini, kita perlu memahami sedikit tentang perhambaan di dunia zaman kuno. Pembaca Barat sering menyamakan perhambaan di dunia kuno dengan sistem perbudakan sebelum Perang Saudara di Amerika Serikat, sebuah sistem yang terkenal karena kebrutalan dan degradasinya. Dengan risiko penyederhanaan yang berlebihan, kita dapat mengatakan bahwa sistem perhambaan di dunia kuno serupa dan berbeda dari sistem yang pernah ada di AS. Di satu sisi, pada zaman dahulu, tawanan perang asing yang bekerja di pertambangan bisa dibilang jauh lebih buruk kondisinya dibandingkan para budak di Amerika Selatan. Namun di sisi lain, beberapa hamba adalah anggota rumah tangga yang berpendidikan tinggi dan berharga, serta bertugas sebagai dokter, guru, dan manajer perkebunan. Namun semuanya dianggap sebagai milik majikannya, sehingga bahkan seorang hamba rumah tangga pun dapat mengalami perlakuan yang mengerikan tanpa adanya upaya hukum yang diperlukan.[1]
Apa relevansi Kolose 3:18–4:1 bagi para pekerja saat ini? Meskipun bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji merupakan bentuk pekerjaan yang dominan di negara-negara maju saat ini, perhambaan adalah bentuk pekerjaan yang dominan di Kekaisaran Romawi. Banyak hamba bekerja dalam pekerjaan yang kita kenal sekarang sebagai pekerjaan, menerima makanan, tempat tinggal, dan sering kali mendapatkan sedikit kenyamanan sebagai imbalannya. Kekuasaan pemilik hamba atas hambanya dalam beberapa hal serupa, namun jauh lebih ekstrim dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki majikan atau manajer terhadap pekerja saat ini. Prinsip-prinsip umum yang Paulus kemukakan mengenai hamba dan majikan dalam surat ini dapat diterapkan pada manajer dan majikan modern, asalkan kita menyesuaikan diri dengan perbedaan signifikan antara situasi kita saat ini dan situasi mereka di kemudian hari.
Apa saja prinsip umum tersebut? Pertama, dan mungkin yang paling penting, Paulus mengingatkan para hamba bahwa pekerjaan mereka harus dilakukan dengan integritas di hadapan Allah, yang merupakan tuan mereka yang sebenarnya. Lebih dari segalanya, Paulus ingin mengkalibrasi ulang timbangan baik hamba maupun majikan sehingga mereka menimbang segala sesuatunya dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup mereka. Hamba harus bekerja “takut akan TUHAN” (Kol. 3:22) karena “dari Tuhanlah kamu akan menerima warisan yang menjadi upahmu” (Kol. 3:24). Ringkasnya, “Apa pun tugasmu, lakukanlah [secara harfiah, “bekerja dengan jiwa”] seperti yang dilakukan untuk Allah dan bukan untuk tuanmu” (Kol. 3:23). Dengan cara yang sama, para tuan [secara harfiah berarti “tuhan”] harus menyadari bahwa otoritas mereka tidak mutlak—mereka “mempunyai tuan di surga” (Kol. 4:1). Otoritas Kristus tidak dibatasi oleh tembok gereja. Dia adalah Tuhan tempat kerja baik bagi pekerja maupun bos.
Hal ini mempunyai beberapa konsekuensi praktis. Karena Allah mengawasi para pekerja, tidak ada gunanya sekedar “menyenangkan orang lain” yang memberikan “layanan mata” (terjemahan literal dari istilah Yunani dalam Kol. 3:22). Di dunia sekarang ini, banyak orang mencoba menjilat atasan mereka saat mereka ada, dan kemudian bermalas-malasan saat mereka keluar. Sepertinya di dunia kuno pun demikian. Paulus mengingatkan kita bahwa Bos Utama selalu mengawasi dan kenyataan itu menuntun kita untuk bekerja dengan “tulus hati,” bukan berpura-pura di hadapan manajemen, namun dengan sungguh-sungguh mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita. (Beberapa bos duniawi cenderung mengetahui siapa yang berpura-pura seiring berjalannya waktu, meskipun di dunia yang sudah rusak, para pemalas kadang-kadang bisa lolos dari tindakan mereka.)
Bahaya tertangkap karena ketidakjujuran atau pekerjaan buruk diperkuat dalam Kolose 3:25. “Siapa saja yang berbuat salah akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.” Karena ayat sebelumnya mengacu pada upah dari Allah atas pelayanan yang setia, kita dapat berasumsi bahwa Allah juga dipandang sebagai penghukum orang jahat. Namun perlu dicatat di sini bahwa rasa takut akan hukuman bukanlah motivasi utama. Kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan baik hanya untuk menghindari tinjauan kinerja yang buruk. Paulus ingin pekerjaan baik muncul dari hati yang baik. Ia ingin orang-orang bekerja dengan baik karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Yang tersirat di sini adalah penegasan akan nilai kerja di mata Allah. Karena Allah menciptakan kita untuk menjalankan kekuasaan atas ciptaan-Nya, Dia senang jika kita memenuhinya dengan mengejar keunggulan dalam pekerjaan kita. Dalam pengertian ini, kata-kata “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu!” (Kol. 3:23) merupakan janji dan juga perintah. Melalui pembaruan rohani yang ditawarkan kepada kita di dalam Kristus melalui kasih karunia Allah, kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan semangat.
Kolose 3:22–4:1 memperjelas bahwa Allah memandang serius semua pekerjaan, meskipun pekerjaan itu dilakukan dalam kondisi yang tidak sempurna atau merendahkan martabat. Katarak yang diangkat oleh seorang ahli bedah mata yang dibayar dengan baik adalah penting bagi Allah. Demikian pula halnya dengan kapas yang dipetik oleh petani bagi hasil atau bahkan oleh budak perkebunan. Ini tidak berarti bahwa eksploitasi terhadap pekerja dapat diterima di hadapan Allah. Hal ini berarti bahwa sistem yang kejam sekalipun tidak dapat merampas martabat pekerjaan dari pekerja, karena martabat tersebut diberikan oleh Allah sendiri.
Salah satu hal yang patut diperhatikan mengenai aturan rumah tangga Perjanjian Baru adalah masih adanya tema kesetaraan. Ketimbang sekadar menyuruh bawahan untuk menaati atasannya, Paulus mengajarkan bahwa kita hidup dalam jaringan hubungan yang saling bergantung. Istri dan suami, anak dan orang tua, hamba dan tuan semuanya mempunyai kewajiban satu sama lain dalam tubuh Kristus. Karenanya perintah yang diberikan kepada para hamba langsung diikuti oleh arahan kepada majikan: “Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di surga” (Kol. 4:1). Apa pun kelonggaran yang diberikan sistem hukum Romawi kepada pemilik hamba, mereka pada akhirnya harus menjawab di pengadilan Allah di mana keadilan bagi semua ditegakkan. Tentu saja, keadilan dan kewajaran harus ditafsirkan secara segar dalam setiap situasi baru. Misalnya saja konsep “upah yang adil”. Upah yang adil di pertanian Tiongkok mungkin memiliki nilai tunai yang berbeda dengan upah yang adil di bank Chicago. Namun di bawah Allah ada kewajiban bersama bagi pengusaha dan pekerja untuk memperlakukan satu sama lain dengan adil.
Filemon dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPenerapan tema mutualitas di tempat kerja disinggung dalam surat Kolose dan dibahas dalam surat Paulus kepada Filemon, kitab terpendek dalam Alkitab. Dalam Kolose, Paulus menyebutkan “saudara seiman kita yang setia dan terkasih,” Onesimus (Kol. 4:9). Surat kepada Filemon menceritakan bahwa Onesimus adalah hamba seorang Kristen bernama Filemon (Flm. 16). Onesimus tampaknya melarikan diri, menjadi seorang Kristen, dan kemudian menjadi asisten Paulus (Flm. 10–11, 15). Berdasarkan hukum Romawi, Filemon mempunyai hak untuk menghukum Onesimus dengan berat. Di sisi lain, Paulus—sebagai rasul Allah—mempunyai hak untuk memerintahkan Filemon agar melepaskan Onesimus (Flm. 17–20). Namun alih-alih menggunakan hierarki hak, Paulus menerapkan prinsip mutualitas. Ia meminta Filemon mengampuni Onesimus dan melepaskan hukuman apa pun, dan pada saat yang sama meminta agar Onesimus kembali secara sukarela kepada Filemon. Ia meminta kedua orang tersebut untuk memperlakukan satu sama lain sebagai saudara, bukan sebagai hamba dan tuan (Flm. 12–16). Kita melihat penerapan prinsip mutualitas dalam tiga cara di antara Paulus, Filemon, dan Onesimus. Masing-masing dari mereka berhutang sesuatu kepada yang lain. Masing-masing mempunyai klaim atas yang lain. Paulus berusaha agar semua utang dan tuntutan dilepaskan demi rasa saling menghormati dan melayani. Di sini kita melihat bagaimana Paulus menerapkan nilai-nilai belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran, serta saling menerima kesalahan (Kol. 3:12-13) dalam situasi kerja yang nyata.
Penggunaan persuasi, bukan perintah oleh Paulus (Flm 14), merupakan penerapan lebih lanjut dari prinsip mutualitas. Ketimbang mendiktekan solusi kepada Filemon, Paulus mendekatinya dengan hormat, memberikan argumen yang persuasif, dan menyerahkan keputusan ke tangan Filemon. Filemon tidak mungkin tidak memperhatikan keinginan Paulus yang begitu jelas dan pernyataannya bahwa ia akan menindaklanjutinya (Flm. 21). Namun Paulus mengelola komunikasi dengan cara yang cerdik sehingga memberikan model untuk menyelesaikan masalah di tempat kerja.
Ringkasan & Kesimpulan Kolose & Filemon
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat Kolose memberi kita gambaran tentang standar Allah bagi kerja. Sebagai pekerja, kita melayani majikan kita dengan integritas, memberikan seluruh pekerjaan sesuai dengan upah yang kita terima (Kol. 3:23). Sebagai penyelia, kita memperlakukan bawahan kita sebagaimana Allah memperlakukan kita—dengan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran (Kol. 3:12). Allah menghendaki agar pekerjaan kita dilakukan dalam hubungan timbal balik, di mana masing-masing pihak berkontribusi dan mendapat manfaat dari keseluruhan pekerjaan. Namun bahkan saat pihak-pihak lain gagal melakukan kewajiban timbal balik mereka, umat Kristiani tetap memenuhi kewajiban mereka (Kol. 3:22–4:1). Mengikuti teladan Yesus, kita memberikan pengampunan saat menghadapi konflik (Kol. 1:13) dan kita mengesampingkan kekuasaan kita bila diperlukan demi kebaikan sesama (Kol. 1:20). Hal ini tidak berarti kita tidak memiliki standar atau akuntabilitas yang ketat, atau bahwa orang-orang Kristen dalam dunia bisnis dan pekerjaan lainnya tidak dapat bersaing secara kuat dan berhasil. Itu berarti kita menawarkan pengampunan. Itu berarti orang Kristen tidak selalu bisa mengikuti apa yang dianggap dapat diterima oleh budaya tempat kerja mereka (Kol. 3:1-3), khususnya jika hal tersebut akan mengakibatkan perlakuan yang tidak wajar atau tidak adil terhadap rekan kerja atau karyawan (Kol. 4:1). Kita melihat hal ini diilustrasikan dalam kasus Onesimus dan Filemon. Apa pun pekerjaan kita, kita berusaha mencapai yang terbaik, karena kita melakukannya dalam nama Tuhan Yesus, bukan hanya untuk tuan manusia, karena kita tahu bahwa kita akan menerima warisan dari Allah sebagai upah (Kol. 3:23-24).
Ayat-ayat Kunci dan Tema-tema dalam Kolose dan Filemon
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
Kol. 1:15-17 Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu menyatu di dalam Dia. | Yesus menciptakan segala sesuatu dalam dunia. |
Kol. 1:19-20 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian | Yesus datang untuk menebus dunia, termasuk dunia kerja. |
Kol. 1:9-10 Sebab itu, sejak kami mendengarnya, kami tidak henti-hentinya berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu dipenuhi dengan segala hikmat dan pengertian rohani untuk mengetahui kehendak Tuhan, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan tentang Allah. [dengan menyinggung tentang menghasilkan buah dan berkembang biak dalam Kejadian 1:26-28] | Kita bekerja sebagai penyandang gambar dan rupa Allah dalam Kristus. |
Kol. 2:8 Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus. | Bergantunglah pada kuasa Kristus yang mengubahkan, bukan pada diri sendiri atau tradisi manusia. |
Kol. 3:2-5 Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, tampak kelak, kamu pun akan tampak bersama dengan Dia dalam kemuliaan. Karena itu, matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala (yang adalah penyembahan berhala). | Jangan mengakomodasi budaya yang bertentangan dengan kehendak Allah. |
Kol. 3:8-10 Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu. Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya. | Bebaskan diri Anda dari keserakahan, amarah, kebohongan, dan gosip di tempat kerja. |
Kol. 3:12 Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. | Bekerjalah memberi manfaat bagi sesama. |
Kol. 3:13 Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian. | Bersabarlah satu sama lain. |
Kol. 3:17, 23 Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur melalui Dia kepada Allah, Bapa kita. ... Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. | Bekerjalah seperti untuk Tuhan, dan bukan hanya untuk manusia. |
Kol. 3:22 Slaves, obey your earthly masters in everything, not only while being watched and in order to please them, but wholeheartedly, fearing the Lord. | Subordinates must do their work with obedience and sincerity. |
Kol. 4:1 Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di surga. | Atasan harus melakukan apa yang benar dan adil bagi para pekerja, bukan hanya apa yang dapat diterima secara hukum atau budaya. |
Pengantar Kepada 1 & 2 Tesalonika
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Kami bekerja keras, jadi Anda tidak perlu melakukannya.” Itu adalah kalimat iklan pembersih kamar mandi modern[1], namun—dengan sedikit penyesuaian—mungkin cocok menjadi slogan bagi sebagian orang Kristen di kota kuno Tesalonika. “Yesus bekerja keras jadi saya tidak perlu melakukannya.” Banyak yang percaya bahwa cara hidup baru yang ditawarkan oleh Yesus adalah alasan untuk meninggalkan cara hidup lama yang mencakup kerja keras, sehingga mereka menjadi malas. Seperti yang akan kita lihat, sulit untuk mengetahui secara pasti mengapa beberapa jemaat Tesalonika tidak bekerja. Mungkin mereka salah mengira bahwa janji kehidupan kekal berarti kehidupan di dunia ini tidak lagi berarti. Namun para pemalas ini hidup dari sumbangan para anggota gereja yang lebih bertanggung jawab. Mereka menghabiskan sumber daya yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang benar-benar tidak mampu menghidupi diri mereka sendiri. Dan mereka menjadi menyusahkan dan suka berdebat.
Dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika, Paulus tidak menerima hal ini. Ia menegaskan bahwa umat Kristiani perlu terus bekerja, karena jalan Kristus bukanlah bermalas-malasan, melainkan pelayanan dan keunggulan dalam bekerja.
Bagaimana Sejarah Tesalonika dan Gerejanya?
Ibu kota provinsi Romawi Makedonia dan pelabuhan utama Mediterania, Tesalonika memiliki populasi lebih dari 100.000 jiwa.[2] Tidak hanya memiliki pelabuhan alami, kota ini juga terletak di jalur perdagangan utama utara-selatan dan di Jalan Ignatian timur-barat yang sibuk, jalan yang menghubungkan Italia dengan provinsi-provinsi timur. Orang-orang dari desa-desa terdekat tertarik datang ke kota besar ini, yang merupakan pusat perdagangan dan filsafat yang ramai. Sumber daya alam Tesalonika mencakup kayu, biji-bijian, buah-buahan kontinental, serta emas dan perak (walaupun patut dipertanyakan apakah tambang emas dan perak sudah beroperasi pada abad pertama Masehi). Tesalonika juga sangat pro-Romawi dan memiliki pemerintahan sendiri, serta menikmati status kota bebas. Karena warganya merupakan warga negara Romawi, maka kota ini dibebaskan dari kewajiban membayar upeti kepada Roma.[3]
Gereja di Tesalonika didirikan oleh Paulus dan rekan sekerjanya Timotius serta Silas selama apa yang disebut Perjalanan Misionaris Kedua pada tahun 50 M. Allah bekerja dengan luar biasa melalui para misionaris dan banyak yang menjadi orang Kristen. Meskipun sebagian orang Yahudi adalah orang percaya (Kis. 17:4), mayoritas anggota gereja adalah orang non-Yahudi (1Tes. 1:9-10). Meskipun kelompok ini mempunyai beberapa anggota yang relatif kaya—seperti Yason, Aristarkhus, dan sejumlah “perempuan terkemuka” (Kis. 17:4, 6–7; 20:4)—tampaknya kelompok ini sebagian besar terdiri dari pekerja kasar (1Tes. 4:11) dan mungkin beberapa orang yang diperhamba. Dalam 2 Korintus, Paulus menyatakan bahwa “jemaat Makedonia” bercirikan “sangat miskin” (2Kor. 8:2), dan gereja Tesalonika termasuk dalam kelompok mereka.
Situasi sebenarnya yang mendorong Paulus untuk menulis kedua surat ini[4] telah banyak diperdebatkan. Untuk tujuan kita, cukuplah dikatakan bahwa Paulus ingin menyemangati orang-orang percaya yang mencoba menjalani kehidupan Kristen yang setia dalam lingkungan kafir yang tidak bersahabat. Selain perjuangan khas mereka melawan hal-hal seperti penyembahan berhala dan percabulan, mereka juga bingung tentang akhir zaman, peran pekerjaan sehari-hari, dan kehidupan beriman.
Pekerjaan Iman, Menyelesaikan, dan Memelihara Iman (1Tes. 1:1–4:8; 4:13–5:28; 2Tes. 1:1-2:17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagaimana Paulus Menghubungkan Iman dan Pekerjaan dalam 1 Tesalonika?
Mengingat permasalahan pekerjaan yang akan muncul kemudian dalam surat-surat ini, menarik bahwa Paulus memulai dengan mengingat “pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus” (1Tes. 1:3) dari jemaat Tesalonika. Paulus menulis surat-suratnya dengan hati-hati dan, tampaknya, pembukaan ini berfungsi untuk memperkenalkan kosakata kerja ke dalam diskusinya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa iman bukan sekadar persetujuan mental terhadap proposisi Injil. Iman membutuhkan kerja keras. Ini adalah respons hidup total terhadap perintah dan janji Allah yang memperbaharui dan memberdayakan kita melalui Roh-Nya. Jemaat Tesalonika tampaknya memberikan respons yang baik dalam kehidupan iman mereka sehari-hari, meskipun mereka membutuhkan dorongan untuk tetap menjalani kehidupan yang murni secara moral (1Tes. 4:1-8).
Pertanyaan tentang kerja langsung muncul lagi di pasal 2, ketika Paulus mengingatkan jemaat Tesalonika bahwa ia dan teman-temannya bekerja siang dan malam agar mereka tidak menjadi beban bagi jemaat (1 Tes. 2:9). Paulus mengatakan hal ini agar jemaat Tesalonika yakin betapa pedulinya Paulus terhadap mereka, meskipun secara fisik ia tidak berada bersama mereka. Namun hal ini juga bisa menjadi teguran bagi anggota jemaat yang mungkin memanfaatkan kemurahan hati rekan-rekan seiman. Jika ada orang yang berhak menerima sesuatu dari jemaat Tesalonika, maka Pauluslah orannya. Ia yang pertama bekerja keras untuk memediasi kehidupan baru Kristus bagi mereka pada awalnya. Namun Paulus tidak mengambil uang dari jemaat Tesalonika sebagai kompensasi. Sebaliknya, ia bekerja keras dalam bidang kerjanya sebagai wujud kepeduliannya terhadap mereka.
Apa Kata 1 Tesalonika tentang Pekerjaan dan Kehidupan Kekal?
Paulus menghibur jemaat Tesalonika tentang orang-orang di komunitas mereka yang telah meninggal, mengingatkan mereka bahwa mereka tidak mati tetapi hanya tidur; Yesus akan membangunkan mereka pada hari terakhir (1Tes. 4:13-18). Mereka tidak perlu khawatir kapan hari itu akan tiba, karena itu ada di tangan Tuhan. Satu-satunya perhatian mereka haruslah tetap berjalan dalam terang, tetap setia dan penuh pengharapan di tengah dunia yang gelap (1Tes. 5:11). Hal ini antara lain berarti bahwa mereka harus menghormati mereka yang bekerja (1Tes. 5:12-13; yang dimaksud mungkin adalah “pekerjaan” dalam mendidik orang tentang iman, namun bisa juga berarti pekerja pada umumnya, untuk membedakan mereka dari para pemalas) dan menegur para pemalas di antara mereka (1Tes. 5:14). Janji kehidupan kekal adalah alasan yang lebih besar—bukan lebih kecil—untuk bekerja keras dalam kehidupan ini. Hal ini terjadi karena kebaikan yang kita lakukan akan bertahan selamanya, karena “kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang” dalam penebusan Kristus, dan bukan mereka yang mabuk waktu malam (1Tes. 5:4-8). Setiap hari yang baru memberi kita kesempatan untuk “usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (1Tes. 5:15).
Apa Poin Utama dari 2 Tesalonika?
Saat kitab 2 Tesalonika dibuka, kita mengetahui bahwa Paulus masih merasa senang karena jemaat Tesalonika tetap mempertahankan iman mereka di tengah lingkungan yang sulit, dan ia menyemangati mereka bahwa Yesus akan datang kembali untuk memperbaiki segala sesuatu (2Tes. 1:1-12). Namun sebagian dari mereka khawatir bahwa Hari Tuhan telah tiba dan mereka melewatkannya. Paulus memberi tahu mereka bahwa harinya belum tiba, dan bahkan hari itu belum akan tiba sampai Iblis melakukan upaya besar terakhirnya untuk menipu dunia melalui “si pendurhaka” (mungkin sosok yang biasa kita sebut “Antikristus”; 2Tes. 2:8). Mereka harus berbesar hati: Allah akan menghakimi Iblis dan antek-anteknya, namun mendatangkan berkat kekal kepada anak-anak terkasihnya (2Tes. 2:9–17).
Masalah Kemalasan di Tesalonika (1 Tesalonika 4:9–12 dan 2 Tesalonika 3:6–16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi1 Tesalonika 4:9–12 dan 2 Tesalonika 3:6–16 membahas pekerjaan secara langsung.[1]
Para ahli terus memperdebatkan apa sebenarnya yang menyebabkan masalah kemalasan di Tesalonika. Meskipun kepedulian kita yang terbesar adalah mendengar bagaimana Paulus ingin agar masalah ini diselesaikan, ada baiknya memikirkan beberapa gagasan mengenai bagaimana masalah tersebut bisa timbul.
Banyak yang percaya bahwa beberapa orang Tesalonika telah berhenti bekerja karena akhir zaman sudah dekat.[2] Mereka mungkin merasa bahwa mereka sudah hidup dalam kerajaan Allah, dan tidak perlu bekerja; atau mereka mungkin merasa bahwa Yesus akan datang kapan saja, sehingga tidak ada gunanya bekerja. Surat-surat bagi jemaat Tesalonika memang berbicara banyak tentang kesalahpahaman tentang akhir zaman, dan menarik bahwa ayat-ayat tentang kemalasan dalam 1 Tesalonika 4:9-12 dan 2 Tesalonika 3:6-16 keduanya hadir dalam konteks pengajaran tentang akhir zaman. Di sisi lain, Paulus tidak membuat hubungan eksplisit antara kemalasan dan eskatologi.
Yang lain berpendapat bahwa ada alasan yang “lebih mulia” atas kemalasan ini: orang-orang telah meninggalkan pekerjaan sehari-hari mereka demi memberitakan Injil. (Kita bisa melihat bahwa pemikiran ini akan lebih mudah diterima jika mereka mempunyai semangat eskatologis seperti yang terlihat pada pandangan pertama.) [3] Para calon penginjil itu posisinya sangat bertentangan dengan Paulus, sang penginjil utama, yang bekerja dengan tangannya sendiri agar ia tidak menjadi beban bagi gereja. Gereja-gereja di Makedonia terkenal karena semangat penginjilan mereka, namun masih belum jelas apakah orang-orang yang menganggur di Tesalonika menggunakan waktu luang mereka untuk melakukan pekerjaan penginjilan.
Pandangan ketiga memandang permasalahan ini lebih bersifat sosiologis dibandingkan teologis.[4] Beberapa pekerja kasar menganggur (baik karena kemalasan, penganiayaan, atau kelesuan ekonomi secara umum) dan menjadi bergantung pada amal orang lain di gereja. Mereka mendapati bahwa hidup sebagai klien seorang dermawan yang kaya jauh lebih mudah daripada hidup sebagai buruh yang bekerja keras sehari-hari. Perintah bagi umat Kristiani untuk saling memperhatikan satu sama lain menjadi alasan bagi mereka untuk terus menjalani gaya hidup parasit ini.
Sulit untuk memilih di antara berbagai rekonstruksi ini. Ada sesuatu dalam surat-surat ini yang mendukung pemikiran-pemikiran itu, dan tidak sulit untuk melihat analogi modernnya dalam gereja modern. Banyak orang saat ini meremehkan pekerjaan sehari-hari karena “Yesus akan segera datang, dan semuanya akan terbakar habis.” Banyak pekerja Kristen yang membenarkan kinerja di bawah standar karena tujuan “sebenarnya” mereka di tempat kerja adalah untuk menginjili rekan kerja mereka. Dan pertanyaan mengenai ketergantungan yang tidak berguna pada amal orang lain muncul baik dalam konteks lokal (misalnya, pendeta yang diminta memberikan uang kepada seorang pria yang ibunya meninggal ... untuk ketiga kalinya tahun ini) dan dalam konteks global (misalnya, pertanyaan apakah bantuan asing lebih banyak merugikan daripada menguntungkan).
Namun, kita dapat bergerak maju meskipun tidak ada kepastian yang lengkap tentang apa yang menyebabkan masalah kemalasan di Tesalonika. Pertama, kita dapat melihat bahwa pandangan-pandangan di atas mempunyai anggapan yang sama, namun keliru—yaitu, kedatangan Kristus ke dunia telah secara radikal mengurangi nilai kerja sehari-hari. Orang-orang menggunakan beberapa aspek dari ajaran Kristus—entah itu tentang kedatangan-Nya yang kedua kali, atau amanat-Nya untuk menginjili dunia, atau perintah-Nya untuk berbagi secara radikal dalam komunitas—untuk membenarkan kemalasan mereka. Paulus tidak bisa menerima semua itu. Kehidupan Kristen yang bertanggung jawab mencakup kerja, bahkan kerja keras seorang pekerja kasar di abad pertama. Jelas juga bahwa Paulus merasa terganggu ketika orang-orang memanfaatkan kemurahan hati orang lain di dalam gereja. Jika orang bisa bekerja, mereka harus bekerja. Yang terakhir, kemalasan umat Kristiani nampaknya telah menimbulkan nama buruk bagi gereja di kalangan komunitas penyembah berhala.
Orang Kristen Diharapkan Bekerja (1 Tesalonika 4:9–12; 5:14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApakah Allah Mengharapkan Orang Kristen Bekerja?
Paulus menyoroti bahwa Allah mengharapkan setiap orang Kristen yang mampu bekerja untuk melakukan hal tersebut (1 Tes. 4:11-12). Ia menasihati jemaat Tesalonika untuk “bekerja dengan tangan [mereka]” (1 Tes. 4:11) dan “tidak bergantung pada mereka” (1 Tes. 4:12). Bukannya menghindari pekerjaan, orang-orang Kristen di Tesalonika harus rajin, bekerja keras untuk mencari nafkah sendiri dan dengan demikian menghindari memberikan beban yang tidak semestinya kepada orang lain. Menjadi pekerja kasar di kota Yunani-Romawi adalah kehidupan yang sulit menurut standar modern maupun kuno, dan pemikiran bahwa hal itu mungkin tidak diperlukan pastilah menarik. Namun, meninggalkan pekerjaan demi hidup dari pekerjaan orang lain adalah hal yang tidak dapat diterima. Sangat mengejutkan bahwa pembahasan Paulus mengenai masalah ini dalam 1 Tesalonika dibingkai dalam istilah “kasih persaudaraan” (1 Tes. 4:9). Gagasannya jelas bahwa kasih dan rasa hormat sangat penting dalam hubungan Kristen, dan bahwa hidup dari kemurahan hati orang lain secara tidak perlu adalah tindakan yang tidak penuh kasih dan tidak menghormati saudara-saudari yang dermawan.
Penting untuk diingat bahwa bekerja tidak selalu berarti pekerjaan yang dibayar. Banyak bentuk pekerjaan—memasak, membersihkan, memperbaiki, mempercantik, membesarkan anak, melatih generasi muda, dan ribuan lainnya—memenuhi kebutuhan keluarga atau komunitas tetapi tidak menerima imbalan. Yang lainnya—seni terlintas dalam pikiran—mungkin ditawarkan secara gratis atau dengan harga yang terlalu rendah untuk menafkahi mereka yang melakukannya. Meskipun demikian, semuanya adalah pekerjaan.
Umat Kristen tidak selalu diharapkan untuk mendapatkan uang, tetapi bekerja untuk menghidupi diri mereka sendiri, keluarga mereka, dan gereja serta komunitas.
Apakah Mandat Penciptaan Masih Berlaku?
Mandat penciptaan dalam Kejadian 2:15 (“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”) masih berlaku. Pekerjaan Kristus tidak menghilangkan atau menggantikan pekerjaan asli umat manusia, namun menjadikannya lebih bermanfaat, dan terutama, bernilai. Paulus mungkin mengingat teks Kejadian 2:15 ketika ia merujuk pada para pemalas dengan kata sifat, kata keterangan, dan kata kerja Bahasa Yunani yang berasal dari kata dasar atakt- (“kelainan/nakal”) dalam 1 Tesalonika 5:14, 2 Tesalonika 3:6 dan 11, dan 1 Tesalonika 5:7, secara berurut. Semua kata-kata ini menggambarkan perilaku para pemalas sebagai tindakan yang tidak tertib, menunjukkan “sikap tidak bertanggung jawab terhadap kewajiban bekerja.”[1] Perintah yang dilanggar mungkin merupakan amanat kerja dalam Kejadian 2.
Penegasan Paulus mengenai validitas yang berkelanjutan tentang kerja bukanlah sebuah konsesi terhadap agenda borjuis, melainkan mencerminkan perspektif yang seimbang mengenai kerajaan Allah yang sudah/belum ada. Kerajaan Allah telah datang ke dunia melalui pribadi Yesus, namun belum selesai (1 Tes. 4:9-10). Ketika umat Kristiani bekerja dengan tekun dan hasilnya unggul, mereka menunjukkan bahwa kerajaan Allah bukanlah sebuah khayalan yang merupakan pelarian dari kenyataan, namun sebuah penggenapan dari realitas dunia yang terdalam.
Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Bekerja?
Mengingat pentingnya kerja, orang Kristen harus menjadi pekerja terbaik yang mereka bisa lakukan. Kegagalan untuk bekerja dengan cemerlang dapat membawa reputasi buruk bagi gereja. Banyak orang sinis di dunia Yunani-Romawi meninggalkan pekerjaan mereka, dan perilaku ini secara luas dianggap memalukan.[2] Paulus sadar bahwa jika orang Kristen mengabaikan tanggung jawab mereka untuk bekerja, maka reputasi gereja secara keseluruhan akan terpuruk. Dalam 1 Tesalonika 4:11-12, Paulus jelas khawatir bahwa masyarakat mempunyai pandangan yang salah terhadap gereja. Dalam konteks dunia Yunani-Romawi, kekhawatirannya sangat masuk akal, karena apa yang terjadi di gereja Tesalonika tidak hanya berada di bawah standar kelayakan masyarakat, namun juga membuat orang-orang Kristen yang dermawan terlihat mudah tertipu dan bodoh. Paulus tidak ingin umat Kristiani berada di bawah standar masyarakat dalam hal kerja, namun justru melebihi standar tersebut. Selain itu, dengan gagal menjalankan peran yang tepat dalam masyarakat, orang-orang Kristen ini berisiko menimbulkan lebih banyak desas-desus dan kebencian anti-Kristen. Paulus sangat ingin agar mereka yang menganiaya gereja tidak mempunyai dasar yang sah untuk melakukan permusuhan. Tentang kerja, orang Kristen harus menjadi warga negara teladan. Dengan mendisiplinkan para pemalas, gereja akan secara efektif menjauhkan diri dari perilaku buruk mereka.
Umat Kristiani yang dewasa harus memberikan teladan bagi kaum muda Kristiani dengan memberikan contoh etos kerja yang baik. Walaupun Paulus tahu bahwa pemberita Injil berhak mendapat nafkah (1 Tim. 5:17-18), ia sendiri menolak mengambil keuntungan dari hal ini (1 Tes. 2:9; 2 Tes. 3:8). Ia melihat perlunya memberi contoh kepada orang-orang yang baru bertobat mengenai kehidupan Kristen, dan itu berarti ikut serta dalam pekerjaan kasar. Para filsuf keliling di dunia Yunani-Romawi sering kali dengan cepat membebani orang-orang yang bertobat secara finansial, namun Paulus tidak suka menjalani kehidupan yang gampangan atau menonjolkan gambaran superioritas atas anak-anak rohaninya. Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang melayani, bahkan dalam arena pekerjaan.
Apakah Allah Menghargai Kerja Kasar dan Kerja Keras?
Pandangan positif tentang kerja keras yang dipromosikan Paul bertentangan dengan budaya. Dunia Yunani-Romawi mempunyai pandangan yang sangat negatif terhadap pekerjaan kasar.[3] T
Sampai batas tertentu, hal ini dapat dimengerti mengingat betapa tidak menyenangkannya rumah-rumah tempat kerja di perkotaan. Jika mereka yang menganggur di Tesalonika sebenarnya adalah pekerja kasar yang tidak dipekerjaan, maka tidak sulit untuk memahami betapa mudahnya merasionalisasikan eksploitasi amal saudara-saudari mereka agar tidak kembali ke rumah kerja mereka. Lagi pula, bukankah semua orang Kristen setara di dalam Kristus? Namun, Paulus tidak punya waktu untuk melakukan rasionalisasi apa pun. Ia mendekati masalah ini dari pemahaman yang berakar kuat dalam Perjanjian Lama, di mana Allah digambarkan menciptakan Adam untuk bekerja, dan pekerjaan fisik Adam tidak bisa dipisahkan dari ibadah, namun lebih merupakan suatu bentuk ibadah. Menurut penilaian Paulus, pekerjaan kasar bukanlah hal yang remeh bagi orang Kristen, dan Paulus sendiri telah melakukan apa yang ia minta agar dilakukan oleh saudara-saudara yang menganggur ini. Sang rasul dengan jelas menganggap bekerja sebagai salah satu cara orang percaya dapat menghormati Allah, menunjukkan kasih kepada sesama umat Kristen, dan menunjukkan kuasa Injil yang mentransformasikan kepada orang luar. Ia ingin saudara-saudara yang menganggur ini menerima sudut pandangnya dan memberikan teladan yang mengesankan, bukan memalukan, bagi rekan-rekan mereka yang tidak seiman.
Mereka yang Benar-benar Tidak Mampu Bekerja Harus Menerima Bantuan (1 Tesalonika 4:9–10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaul adalah seorang pendukung kesejahteraan sosial dan menyumbangkan amal, tetapi hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Paulus dengan jelas menganggap manifestasi awal dari kemurahan hati bagi orang-orang Kristen di Tesalonika yang menganggur sebagai ungkapan kasih Kristiani yang tepat (1 Tes. 4:9-10). Terlebih lagi, bahkan setelah ungkapan kasih sebagian orang dieksploitasi secara egois oleh orang lain, ia tetap menyerukan agar gereja terus berbuat baik dengan memberi kepada mereka yang benar-benar membutuhkan (2 Tes. 3:13). Akan mudah bagi para dermawan untuk menjadi kecewa dengan menyumbangkan amal secara umum dan menghindarinya di masa depan.
Faktor kunci dalam menentukan apakah seseorang yang menganggur layak menerima amal atau tunjangan kesejahteraan adalah kesediaannya untuk bekerja (2 Tes. 3:10). Beberapa orang yang benar-benar mampu bekerj, namun tidak mau melakukannya—mereka tidak layak mendapatkan bantuan finansial atau materi. Di sisi lain, ada pula yang tidak dapat bekerja karena ketidakmampuan atau keadaan yang memaksa—mereka jelas-jelas layak mendapatkan bantuan keuangan dan materi. Ayat 13 mengasumsikan bahwa ada kasus tunjangan amal yang sah di gereja Tesalonika.
Dalam praktiknya, tentu saja, sulit untuk menentukan siapa yang bermalas-malasan dan siapa yang bersedia namun tidak mampu bekerja atau mendapatkan pekerjaan. Jika anggota gereja Tesalonika yang sedemikian akrabnya kesulitan membedakan siapa di antara mereka yang layak menerima dukungan finansial, bayangkan betapa lebih sulitnya menentukan hal ini di kota, provinsi, atau negara modern yang letaknya berjauhan. Kenyataan ini telah menyebabkan perpecahan yang mendalam di kalangan umat Kristiani sehubungan dengan kebijakan sosial, yang dipraktekkan oleh gereja dan negara. Beberapa orang lebih memilih untuk mengambil tindakan yang berpihak pada belas kasihan, dengan memberikan akses yang relatif mudah dan memberikan manfaat yang besar, terkadang dalam jangka panjang, kepada orang-orang yang jelas-jelas mengalami kesulitan keuangan. Yang lain lebih memilih berpihak pada ketekunan, yang memerlukan bukti yang relatif kuat bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali penerima, dan memberikan manfaat yang terbatas dalam jumlah dan jangka waktu. Pertanyaan yang sangat sulit adalah dukungan terhadap ibu tunggal yang memiliki anak kecil dan semua orang yang menganggur dalam jangka waktu lama selama resesi ekonomi. Apakah dukungan tersebut memberikan layanan kepada anggota masyarakat yang paling rentan, khususnya anak-anak dalam keluarga rentan? Ataukah hal ini menyubsidi budaya yang menyebabkan orang tidak memasuki masyarakat pekerja, sehingga merugikan individu dan komunitas? Ini adalah permasalahan yang sulit dan menantang. Ayat-ayat Alkitab seperti yang terdapat dalam surat-surat Tesalonika harus mencerminkan pemahaman sosial dan politik umat Kristiani secara mendalam. Kesimpulan yang kita ambil mungkin membuat kita berseberangan dengan umat Kristen lainnya, namun hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk menarik diri dari partisipasi politik dan sosial. Namun kita harus terlibat dalam politik dan wacana sosial dengan rasa hormat, kebaikan, kerendahan hati yang sehat bahwa pandangan kita tidak sempurna, dan kesadaran bahwa ayat-ayat yang sama dapat membawa orang beriman lainnya mengambil kesimpulan yang berlawanan. Surat-surat Tesalonika mengungkapkan nilai-nilai dan wawasan Allah yang diterapkan pada konteks Tesalonika kuno. Namun semua ini bukan merupakan program sosial atau partai yang tidak dapat disangkal sebagaimana diterapkan dalam konteks yang sangat berbeda saat ini.
Jelas bahwa Paulus memaksudkan agar semua orang Kristen di Tesalonika harus bekerja semampu mereka dan bahwa gereja harus memperhatikan mereka yang benar-benar membutuhkan. Ia ingin keuangan para dermawan di gereja digunakan secara strategis dan tidak disia-siakan. Memang benar, jika mereka yang menganggur kembali bekerja, mereka juga akan berada dalam posisi untuk menjadi pemberi dibandingkan penerima, dan kapasitas gereja untuk menyebarkan Injil dan melayani orang-orang miskin dan membutuhkan di dalam dan di luar gereja akan meningkat. Desakan alkitabiah bahwa umat Kristiani harus bekerja sedemikian rupa sehingga bisa mandiri sedapat mungkin pada akhirnya merujuk pada perluasan kerajaan Allah di bumi.
Kemalasan (2 Tesalonika 3:6–15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKemalasan adalah Masalah Komunitas Kristen, Bukan Hanya Perorangan
Kata-kata di 2 Tesalonika 3:10 sangat penting. “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Allah menganggap melalaikan pekerjaan sebagai pelanggaran berat, begitu berat sehingga gereja terpanggil untuk mengoreksi para anggotanya yang menganggur. Paulus menasihati gereja untuk “menegur” mereka yang menghindari kewajiban bekerja (1 Tes. 5:14) dan mengeluarkan “dalam nama Tuhan Yesus Kristus” dalam 2 Tesalonika 3:6–15 agar gereja menerapkan tindakan disipliner pada saudara-saudara yang melakukan pelanggaran. Disiplinnya relatif keras, yang menggarisbawahi bahwa kemalasan bukanlah kelemahan kecil dalam penilaian Paulus. Gereja dipanggil untuk “jangan bergaul dengan” orang-orang yang melalaikan tanggung jawab mereka untuk bekerja, yang mungkin berarti bahwa mereka harus menghindari mengikutsertakan mereka ketika mereka berkumpul dalam persekutuan Kristen. Tentu saja, tujuannya adalah untuk menimbulkan kejutan singkat dan tajam pada saudara-saudara yang bersalah dengan mengasingkan mereka, dan dengan demikian mengembalikan mereka ke jalur yang benar.
Kemalasan Menimbulkan Kenakalan
Konsekuensi negatif dari melalaikan pekerjaan lebih dari sekadar membebani orang lain. Mereka yang menghindari pekerjaan sering kali akhirnya menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Nasihat Paulus kepada para pekerja kasar di Tesalonika agar “hidup tenang” dan “mengurus persoalan-persoalan [mereka] sendiri” (1Tes. 4:11) mengisyaratkan apa yang secara eksplisit dinyatakan dalam 2 Tesalonika 3:11, “Kami dengar bahwa ada orang di antara kamu yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna.” Kata Yunani periergazomai (“orang yang suka ikut campur”) mengacu pada campur tangan dalam urusan orang lain[1]. Pemikiran serupa diungkapkan oleh Paulus dalam 1 Timotius 5:13, di mana Paulus berkata tentang janda-janda muda yang didukung oleh gereja bahwa mereka “bukan hanya bermalas-malas saja, tetapi juga suka bergunjing dan mencampuri urusan orang lain dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas.” Tampaknya para pemalas di Tesalonika itu ikut campur dalam urusan orang lain dan bersikap argumentatif. Kemalasan menimbulkan masalah.
Ringkasan & Kesimpulan 1 & 2 Tesalonika
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTema-tema tempat kerja terjalin ke dalam tenunan surat-surat Tesalonika. Mereka paling terlihat dalam beberapa bagian yang eksplisit, dan khususnya dalam 2 Tesalonika. Yang mendasari kedua surat tersebut adalah prinsip bahwa umat Kristiani dipanggil untuk bekerja sesuai kemampuan mereka. Kerja dibutuhkan untuk menyediakan makanan di meja, jadi mereka yang makan harus bekerja. Terlebih lagi, bekerja adalah sesuatu yang terhormat, karena mencerminkan maksud Allah bagi umat manusia dalam penciptaan. Tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama dalam bekerja, sehingga ukuran kerja bukanlah kuantitas prestasi, melainkan sikap melayani dan komitmen terhadap keunggulan. Oleh karena itu, mereka yang bekerja sekeras dan semampunya, berhak mendapat bagian penuh dari kemakmuran komunitas. Sebaliknya, mereka yang melalaikan tugas bekerja harus dikonfrontasi oleh gereja. Kalau mereka terus bermalas-malasan, jangan didukung dengan penghasilan orang lain. Sebagai upaya terakhir, mereka bahkan harus disingkirkan dari komunitas, karena kemalasan bukan hanya menghabiskan hasil kerja orang lain, namun juga akan menimbulkan gangguan aktif terhadap masyarakat melalui campur tangan, gosip, dan tindakan-tindakan yang menghalangi.