1 & 2 Tesalonika dan Kerja
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Pengantar Kepada 1 & 2 Tesalonika
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi“Kami bekerja keras, jadi Anda tidak perlu melakukannya.” Itu adalah kalimat iklan pembersih kamar mandi modern[1], namun—dengan sedikit penyesuaian—mungkin cocok menjadi slogan bagi sebagian orang Kristen di kota kuno Tesalonika. “Yesus bekerja keras jadi saya tidak perlu melakukannya.” Banyak yang percaya bahwa cara hidup baru yang ditawarkan oleh Yesus adalah alasan untuk meninggalkan cara hidup lama yang mencakup kerja keras, sehingga mereka menjadi malas. Seperti yang akan kita lihat, sulit untuk mengetahui secara pasti mengapa beberapa jemaat Tesalonika tidak bekerja. Mungkin mereka salah mengira bahwa janji kehidupan kekal berarti kehidupan di dunia ini tidak lagi berarti. Namun para pemalas ini hidup dari sumbangan para anggota gereja yang lebih bertanggung jawab. Mereka menghabiskan sumber daya yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang benar-benar tidak mampu menghidupi diri mereka sendiri. Dan mereka menjadi menyusahkan dan suka berdebat.
Dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika, Paulus tidak menerima hal ini. Ia menegaskan bahwa umat Kristiani perlu terus bekerja, karena jalan Kristus bukanlah bermalas-malasan, melainkan pelayanan dan keunggulan dalam bekerja.
Bagaimana Sejarah Tesalonika dan Gerejanya?
Ibu kota provinsi Romawi Makedonia dan pelabuhan utama Mediterania, Tesalonika memiliki populasi lebih dari 100.000 jiwa.[2] Tidak hanya memiliki pelabuhan alami, kota ini juga terletak di jalur perdagangan utama utara-selatan dan di Jalan Ignatian timur-barat yang sibuk, jalan yang menghubungkan Italia dengan provinsi-provinsi timur. Orang-orang dari desa-desa terdekat tertarik datang ke kota besar ini, yang merupakan pusat perdagangan dan filsafat yang ramai. Sumber daya alam Tesalonika mencakup kayu, biji-bijian, buah-buahan kontinental, serta emas dan perak (walaupun patut dipertanyakan apakah tambang emas dan perak sudah beroperasi pada abad pertama Masehi). Tesalonika juga sangat pro-Romawi dan memiliki pemerintahan sendiri, serta menikmati status kota bebas. Karena warganya merupakan warga negara Romawi, maka kota ini dibebaskan dari kewajiban membayar upeti kepada Roma.[3]
Gereja di Tesalonika didirikan oleh Paulus dan rekan sekerjanya Timotius serta Silas selama apa yang disebut Perjalanan Misionaris Kedua pada tahun 50 M. Allah bekerja dengan luar biasa melalui para misionaris dan banyak yang menjadi orang Kristen. Meskipun sebagian orang Yahudi adalah orang percaya (Kis. 17:4), mayoritas anggota gereja adalah orang non-Yahudi (1Tes. 1:9-10). Meskipun kelompok ini mempunyai beberapa anggota yang relatif kaya—seperti Yason, Aristarkhus, dan sejumlah “perempuan terkemuka” (Kis. 17:4, 6–7; 20:4)—tampaknya kelompok ini sebagian besar terdiri dari pekerja kasar (1Tes. 4:11) dan mungkin beberapa orang yang diperhamba. Dalam 2 Korintus, Paulus menyatakan bahwa “jemaat Makedonia” bercirikan “sangat miskin” (2Kor. 8:2), dan gereja Tesalonika termasuk dalam kelompok mereka.
Situasi sebenarnya yang mendorong Paulus untuk menulis kedua surat ini[4] telah banyak diperdebatkan. Untuk tujuan kita, cukuplah dikatakan bahwa Paulus ingin menyemangati orang-orang percaya yang mencoba menjalani kehidupan Kristen yang setia dalam lingkungan kafir yang tidak bersahabat. Selain perjuangan khas mereka melawan hal-hal seperti penyembahan berhala dan percabulan, mereka juga bingung tentang akhir zaman, peran pekerjaan sehari-hari, dan kehidupan beriman.
Pekerjaan Iman, Menyelesaikan, dan Memelihara Iman (1Tes. 1:1–4:8; 4:13–5:28; 2Tes. 1:1-2:17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagaimana Paulus Menghubungkan Iman dan Pekerjaan dalam 1 Tesalonika?
Mengingat permasalahan pekerjaan yang akan muncul kemudian dalam surat-surat ini, menarik bahwa Paulus memulai dengan mengingat “pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus” (1Tes. 1:3) dari jemaat Tesalonika. Paulus menulis surat-suratnya dengan hati-hati dan, tampaknya, pembukaan ini berfungsi untuk memperkenalkan kosakata kerja ke dalam diskusinya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa iman bukan sekadar persetujuan mental terhadap proposisi Injil. Iman membutuhkan kerja keras. Ini adalah respons hidup total terhadap perintah dan janji Allah yang memperbaharui dan memberdayakan kita melalui Roh-Nya. Jemaat Tesalonika tampaknya memberikan respons yang baik dalam kehidupan iman mereka sehari-hari, meskipun mereka membutuhkan dorongan untuk tetap menjalani kehidupan yang murni secara moral (1Tes. 4:1-8).
Pertanyaan tentang kerja langsung muncul lagi di pasal 2, ketika Paulus mengingatkan jemaat Tesalonika bahwa ia dan teman-temannya bekerja siang dan malam agar mereka tidak menjadi beban bagi jemaat (1 Tes. 2:9). Paulus mengatakan hal ini agar jemaat Tesalonika yakin betapa pedulinya Paulus terhadap mereka, meskipun secara fisik ia tidak berada bersama mereka. Namun hal ini juga bisa menjadi teguran bagi anggota jemaat yang mungkin memanfaatkan kemurahan hati rekan-rekan seiman. Jika ada orang yang berhak menerima sesuatu dari jemaat Tesalonika, maka Pauluslah orannya. Ia yang pertama bekerja keras untuk memediasi kehidupan baru Kristus bagi mereka pada awalnya. Namun Paulus tidak mengambil uang dari jemaat Tesalonika sebagai kompensasi. Sebaliknya, ia bekerja keras dalam bidang kerjanya sebagai wujud kepeduliannya terhadap mereka.
Apa Kata 1 Tesalonika tentang Pekerjaan dan Kehidupan Kekal?
Paulus menghibur jemaat Tesalonika tentang orang-orang di komunitas mereka yang telah meninggal, mengingatkan mereka bahwa mereka tidak mati tetapi hanya tidur; Yesus akan membangunkan mereka pada hari terakhir (1Tes. 4:13-18). Mereka tidak perlu khawatir kapan hari itu akan tiba, karena itu ada di tangan Tuhan. Satu-satunya perhatian mereka haruslah tetap berjalan dalam terang, tetap setia dan penuh pengharapan di tengah dunia yang gelap (1Tes. 5:11). Hal ini antara lain berarti bahwa mereka harus menghormati mereka yang bekerja (1Tes. 5:12-13; yang dimaksud mungkin adalah “pekerjaan” dalam mendidik orang tentang iman, namun bisa juga berarti pekerja pada umumnya, untuk membedakan mereka dari para pemalas) dan menegur para pemalas di antara mereka (1Tes. 5:14). Janji kehidupan kekal adalah alasan yang lebih besar—bukan lebih kecil—untuk bekerja keras dalam kehidupan ini. Hal ini terjadi karena kebaikan yang kita lakukan akan bertahan selamanya, karena “kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang” dalam penebusan Kristus, dan bukan mereka yang mabuk waktu malam (1Tes. 5:4-8). Setiap hari yang baru memberi kita kesempatan untuk “usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (1Tes. 5:15).
Apa Poin Utama dari 2 Tesalonika?
Saat kitab 2 Tesalonika dibuka, kita mengetahui bahwa Paulus masih merasa senang karena jemaat Tesalonika tetap mempertahankan iman mereka di tengah lingkungan yang sulit, dan ia menyemangati mereka bahwa Yesus akan datang kembali untuk memperbaiki segala sesuatu (2Tes. 1:1-12). Namun sebagian dari mereka khawatir bahwa Hari Tuhan telah tiba dan mereka melewatkannya. Paulus memberi tahu mereka bahwa harinya belum tiba, dan bahkan hari itu belum akan tiba sampai Iblis melakukan upaya besar terakhirnya untuk menipu dunia melalui “si pendurhaka” (mungkin sosok yang biasa kita sebut “Antikristus”; 2Tes. 2:8). Mereka harus berbesar hati: Allah akan menghakimi Iblis dan antek-anteknya, namun mendatangkan berkat kekal kepada anak-anak terkasihnya (2Tes. 2:9–17).
Masalah Kemalasan di Tesalonika (1 Tesalonika 4:9–12 dan 2 Tesalonika 3:6–16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi1 Tesalonika 4:9–12 dan 2 Tesalonika 3:6–16 membahas pekerjaan secara langsung.[1]
Para ahli terus memperdebatkan apa sebenarnya yang menyebabkan masalah kemalasan di Tesalonika. Meskipun kepedulian kita yang terbesar adalah mendengar bagaimana Paulus ingin agar masalah ini diselesaikan, ada baiknya memikirkan beberapa gagasan mengenai bagaimana masalah tersebut bisa timbul.
Banyak yang percaya bahwa beberapa orang Tesalonika telah berhenti bekerja karena akhir zaman sudah dekat.[2] Mereka mungkin merasa bahwa mereka sudah hidup dalam kerajaan Allah, dan tidak perlu bekerja; atau mereka mungkin merasa bahwa Yesus akan datang kapan saja, sehingga tidak ada gunanya bekerja. Surat-surat bagi jemaat Tesalonika memang berbicara banyak tentang kesalahpahaman tentang akhir zaman, dan menarik bahwa ayat-ayat tentang kemalasan dalam 1 Tesalonika 4:9-12 dan 2 Tesalonika 3:6-16 keduanya hadir dalam konteks pengajaran tentang akhir zaman. Di sisi lain, Paulus tidak membuat hubungan eksplisit antara kemalasan dan eskatologi.
Yang lain berpendapat bahwa ada alasan yang “lebih mulia” atas kemalasan ini: orang-orang telah meninggalkan pekerjaan sehari-hari mereka demi memberitakan Injil. (Kita bisa melihat bahwa pemikiran ini akan lebih mudah diterima jika mereka mempunyai semangat eskatologis seperti yang terlihat pada pandangan pertama.) [3] Para calon penginjil itu posisinya sangat bertentangan dengan Paulus, sang penginjil utama, yang bekerja dengan tangannya sendiri agar ia tidak menjadi beban bagi gereja. Gereja-gereja di Makedonia terkenal karena semangat penginjilan mereka, namun masih belum jelas apakah orang-orang yang menganggur di Tesalonika menggunakan waktu luang mereka untuk melakukan pekerjaan penginjilan.
Pandangan ketiga memandang permasalahan ini lebih bersifat sosiologis dibandingkan teologis.[4] Beberapa pekerja kasar menganggur (baik karena kemalasan, penganiayaan, atau kelesuan ekonomi secara umum) dan menjadi bergantung pada amal orang lain di gereja. Mereka mendapati bahwa hidup sebagai klien seorang dermawan yang kaya jauh lebih mudah daripada hidup sebagai buruh yang bekerja keras sehari-hari. Perintah bagi umat Kristiani untuk saling memperhatikan satu sama lain menjadi alasan bagi mereka untuk terus menjalani gaya hidup parasit ini.
Sulit untuk memilih di antara berbagai rekonstruksi ini. Ada sesuatu dalam surat-surat ini yang mendukung pemikiran-pemikiran itu, dan tidak sulit untuk melihat analogi modernnya dalam gereja modern. Banyak orang saat ini meremehkan pekerjaan sehari-hari karena “Yesus akan segera datang, dan semuanya akan terbakar habis.” Banyak pekerja Kristen yang membenarkan kinerja di bawah standar karena tujuan “sebenarnya” mereka di tempat kerja adalah untuk menginjili rekan kerja mereka. Dan pertanyaan mengenai ketergantungan yang tidak berguna pada amal orang lain muncul baik dalam konteks lokal (misalnya, pendeta yang diminta memberikan uang kepada seorang pria yang ibunya meninggal ... untuk ketiga kalinya tahun ini) dan dalam konteks global (misalnya, pertanyaan apakah bantuan asing lebih banyak merugikan daripada menguntungkan).
Namun, kita dapat bergerak maju meskipun tidak ada kepastian yang lengkap tentang apa yang menyebabkan masalah kemalasan di Tesalonika. Pertama, kita dapat melihat bahwa pandangan-pandangan di atas mempunyai anggapan yang sama, namun keliru—yaitu, kedatangan Kristus ke dunia telah secara radikal mengurangi nilai kerja sehari-hari. Orang-orang menggunakan beberapa aspek dari ajaran Kristus—entah itu tentang kedatangan-Nya yang kedua kali, atau amanat-Nya untuk menginjili dunia, atau perintah-Nya untuk berbagi secara radikal dalam komunitas—untuk membenarkan kemalasan mereka. Paulus tidak bisa menerima semua itu. Kehidupan Kristen yang bertanggung jawab mencakup kerja, bahkan kerja keras seorang pekerja kasar di abad pertama. Jelas juga bahwa Paulus merasa terganggu ketika orang-orang memanfaatkan kemurahan hati orang lain di dalam gereja. Jika orang bisa bekerja, mereka harus bekerja. Yang terakhir, kemalasan umat Kristiani nampaknya telah menimbulkan nama buruk bagi gereja di kalangan komunitas penyembah berhala.
Orang Kristen Diharapkan Bekerja (1 Tesalonika 4:9–12; 5:14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApakah Allah Mengharapkan Orang Kristen Bekerja?
Paulus menyoroti bahwa Allah mengharapkan setiap orang Kristen yang mampu bekerja untuk melakukan hal tersebut (1 Tes. 4:11-12). Ia menasihati jemaat Tesalonika untuk “bekerja dengan tangan [mereka]” (1 Tes. 4:11) dan “tidak bergantung pada mereka” (1 Tes. 4:12). Bukannya menghindari pekerjaan, orang-orang Kristen di Tesalonika harus rajin, bekerja keras untuk mencari nafkah sendiri dan dengan demikian menghindari memberikan beban yang tidak semestinya kepada orang lain. Menjadi pekerja kasar di kota Yunani-Romawi adalah kehidupan yang sulit menurut standar modern maupun kuno, dan pemikiran bahwa hal itu mungkin tidak diperlukan pastilah menarik. Namun, meninggalkan pekerjaan demi hidup dari pekerjaan orang lain adalah hal yang tidak dapat diterima. Sangat mengejutkan bahwa pembahasan Paulus mengenai masalah ini dalam 1 Tesalonika dibingkai dalam istilah “kasih persaudaraan” (1 Tes. 4:9). Gagasannya jelas bahwa kasih dan rasa hormat sangat penting dalam hubungan Kristen, dan bahwa hidup dari kemurahan hati orang lain secara tidak perlu adalah tindakan yang tidak penuh kasih dan tidak menghormati saudara-saudari yang dermawan.
Penting untuk diingat bahwa bekerja tidak selalu berarti pekerjaan yang dibayar. Banyak bentuk pekerjaan—memasak, membersihkan, memperbaiki, mempercantik, membesarkan anak, melatih generasi muda, dan ribuan lainnya—memenuhi kebutuhan keluarga atau komunitas tetapi tidak menerima imbalan. Yang lainnya—seni terlintas dalam pikiran—mungkin ditawarkan secara gratis atau dengan harga yang terlalu rendah untuk menafkahi mereka yang melakukannya. Meskipun demikian, semuanya adalah pekerjaan.
Umat Kristen tidak selalu diharapkan untuk mendapatkan uang, tetapi bekerja untuk menghidupi diri mereka sendiri, keluarga mereka, dan gereja serta komunitas.
Apakah Mandat Penciptaan Masih Berlaku?
Mandat penciptaan dalam Kejadian 2:15 (“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”) masih berlaku. Pekerjaan Kristus tidak menghilangkan atau menggantikan pekerjaan asli umat manusia, namun menjadikannya lebih bermanfaat, dan terutama, bernilai. Paulus mungkin mengingat teks Kejadian 2:15 ketika ia merujuk pada para pemalas dengan kata sifat, kata keterangan, dan kata kerja Bahasa Yunani yang berasal dari kata dasar atakt- (“kelainan/nakal”) dalam 1 Tesalonika 5:14, 2 Tesalonika 3:6 dan 11, dan 1 Tesalonika 5:7, secara berurut. Semua kata-kata ini menggambarkan perilaku para pemalas sebagai tindakan yang tidak tertib, menunjukkan “sikap tidak bertanggung jawab terhadap kewajiban bekerja.”[1] Perintah yang dilanggar mungkin merupakan amanat kerja dalam Kejadian 2.
Penegasan Paulus mengenai validitas yang berkelanjutan tentang kerja bukanlah sebuah konsesi terhadap agenda borjuis, melainkan mencerminkan perspektif yang seimbang mengenai kerajaan Allah yang sudah/belum ada. Kerajaan Allah telah datang ke dunia melalui pribadi Yesus, namun belum selesai (1 Tes. 4:9-10). Ketika umat Kristiani bekerja dengan tekun dan hasilnya unggul, mereka menunjukkan bahwa kerajaan Allah bukanlah sebuah khayalan yang merupakan pelarian dari kenyataan, namun sebuah penggenapan dari realitas dunia yang terdalam.
Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Bekerja?
Mengingat pentingnya kerja, orang Kristen harus menjadi pekerja terbaik yang mereka bisa lakukan. Kegagalan untuk bekerja dengan cemerlang dapat membawa reputasi buruk bagi gereja. Banyak orang sinis di dunia Yunani-Romawi meninggalkan pekerjaan mereka, dan perilaku ini secara luas dianggap memalukan.[2] Paulus sadar bahwa jika orang Kristen mengabaikan tanggung jawab mereka untuk bekerja, maka reputasi gereja secara keseluruhan akan terpuruk. Dalam 1 Tesalonika 4:11-12, Paulus jelas khawatir bahwa masyarakat mempunyai pandangan yang salah terhadap gereja. Dalam konteks dunia Yunani-Romawi, kekhawatirannya sangat masuk akal, karena apa yang terjadi di gereja Tesalonika tidak hanya berada di bawah standar kelayakan masyarakat, namun juga membuat orang-orang Kristen yang dermawan terlihat mudah tertipu dan bodoh. Paulus tidak ingin umat Kristiani berada di bawah standar masyarakat dalam hal kerja, namun justru melebihi standar tersebut. Selain itu, dengan gagal menjalankan peran yang tepat dalam masyarakat, orang-orang Kristen ini berisiko menimbulkan lebih banyak desas-desus dan kebencian anti-Kristen. Paulus sangat ingin agar mereka yang menganiaya gereja tidak mempunyai dasar yang sah untuk melakukan permusuhan. Tentang kerja, orang Kristen harus menjadi warga negara teladan. Dengan mendisiplinkan para pemalas, gereja akan secara efektif menjauhkan diri dari perilaku buruk mereka.
Umat Kristiani yang dewasa harus memberikan teladan bagi kaum muda Kristiani dengan memberikan contoh etos kerja yang baik. Walaupun Paulus tahu bahwa pemberita Injil berhak mendapat nafkah (1 Tim. 5:17-18), ia sendiri menolak mengambil keuntungan dari hal ini (1 Tes. 2:9; 2 Tes. 3:8). Ia melihat perlunya memberi contoh kepada orang-orang yang baru bertobat mengenai kehidupan Kristen, dan itu berarti ikut serta dalam pekerjaan kasar. Para filsuf keliling di dunia Yunani-Romawi sering kali dengan cepat membebani orang-orang yang bertobat secara finansial, namun Paulus tidak suka menjalani kehidupan yang gampangan atau menonjolkan gambaran superioritas atas anak-anak rohaninya. Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang melayani, bahkan dalam arena pekerjaan.
Apakah Allah Menghargai Kerja Kasar dan Kerja Keras?
Pandangan positif tentang kerja keras yang dipromosikan Paul bertentangan dengan budaya. Dunia Yunani-Romawi mempunyai pandangan yang sangat negatif terhadap pekerjaan kasar.[3] T
Sampai batas tertentu, hal ini dapat dimengerti mengingat betapa tidak menyenangkannya rumah-rumah tempat kerja di perkotaan. Jika mereka yang menganggur di Tesalonika sebenarnya adalah pekerja kasar yang tidak dipekerjaan, maka tidak sulit untuk memahami betapa mudahnya merasionalisasikan eksploitasi amal saudara-saudari mereka agar tidak kembali ke rumah kerja mereka. Lagi pula, bukankah semua orang Kristen setara di dalam Kristus? Namun, Paulus tidak punya waktu untuk melakukan rasionalisasi apa pun. Ia mendekati masalah ini dari pemahaman yang berakar kuat dalam Perjanjian Lama, di mana Allah digambarkan menciptakan Adam untuk bekerja, dan pekerjaan fisik Adam tidak bisa dipisahkan dari ibadah, namun lebih merupakan suatu bentuk ibadah. Menurut penilaian Paulus, pekerjaan kasar bukanlah hal yang remeh bagi orang Kristen, dan Paulus sendiri telah melakukan apa yang ia minta agar dilakukan oleh saudara-saudara yang menganggur ini. Sang rasul dengan jelas menganggap bekerja sebagai salah satu cara orang percaya dapat menghormati Allah, menunjukkan kasih kepada sesama umat Kristen, dan menunjukkan kuasa Injil yang mentransformasikan kepada orang luar. Ia ingin saudara-saudara yang menganggur ini menerima sudut pandangnya dan memberikan teladan yang mengesankan, bukan memalukan, bagi rekan-rekan mereka yang tidak seiman.
Mereka yang Benar-benar Tidak Mampu Bekerja Harus Menerima Bantuan (1 Tesalonika 4:9–10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPaul adalah seorang pendukung kesejahteraan sosial dan menyumbangkan amal, tetapi hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Paulus dengan jelas menganggap manifestasi awal dari kemurahan hati bagi orang-orang Kristen di Tesalonika yang menganggur sebagai ungkapan kasih Kristiani yang tepat (1 Tes. 4:9-10). Terlebih lagi, bahkan setelah ungkapan kasih sebagian orang dieksploitasi secara egois oleh orang lain, ia tetap menyerukan agar gereja terus berbuat baik dengan memberi kepada mereka yang benar-benar membutuhkan (2 Tes. 3:13). Akan mudah bagi para dermawan untuk menjadi kecewa dengan menyumbangkan amal secara umum dan menghindarinya di masa depan.
Faktor kunci dalam menentukan apakah seseorang yang menganggur layak menerima amal atau tunjangan kesejahteraan adalah kesediaannya untuk bekerja (2 Tes. 3:10). Beberapa orang yang benar-benar mampu bekerj, namun tidak mau melakukannya—mereka tidak layak mendapatkan bantuan finansial atau materi. Di sisi lain, ada pula yang tidak dapat bekerja karena ketidakmampuan atau keadaan yang memaksa—mereka jelas-jelas layak mendapatkan bantuan keuangan dan materi. Ayat 13 mengasumsikan bahwa ada kasus tunjangan amal yang sah di gereja Tesalonika.
Dalam praktiknya, tentu saja, sulit untuk menentukan siapa yang bermalas-malasan dan siapa yang bersedia namun tidak mampu bekerja atau mendapatkan pekerjaan. Jika anggota gereja Tesalonika yang sedemikian akrabnya kesulitan membedakan siapa di antara mereka yang layak menerima dukungan finansial, bayangkan betapa lebih sulitnya menentukan hal ini di kota, provinsi, atau negara modern yang letaknya berjauhan. Kenyataan ini telah menyebabkan perpecahan yang mendalam di kalangan umat Kristiani sehubungan dengan kebijakan sosial, yang dipraktekkan oleh gereja dan negara. Beberapa orang lebih memilih untuk mengambil tindakan yang berpihak pada belas kasihan, dengan memberikan akses yang relatif mudah dan memberikan manfaat yang besar, terkadang dalam jangka panjang, kepada orang-orang yang jelas-jelas mengalami kesulitan keuangan. Yang lain lebih memilih berpihak pada ketekunan, yang memerlukan bukti yang relatif kuat bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali penerima, dan memberikan manfaat yang terbatas dalam jumlah dan jangka waktu. Pertanyaan yang sangat sulit adalah dukungan terhadap ibu tunggal yang memiliki anak kecil dan semua orang yang menganggur dalam jangka waktu lama selama resesi ekonomi. Apakah dukungan tersebut memberikan layanan kepada anggota masyarakat yang paling rentan, khususnya anak-anak dalam keluarga rentan? Ataukah hal ini menyubsidi budaya yang menyebabkan orang tidak memasuki masyarakat pekerja, sehingga merugikan individu dan komunitas? Ini adalah permasalahan yang sulit dan menantang. Ayat-ayat Alkitab seperti yang terdapat dalam surat-surat Tesalonika harus mencerminkan pemahaman sosial dan politik umat Kristiani secara mendalam. Kesimpulan yang kita ambil mungkin membuat kita berseberangan dengan umat Kristen lainnya, namun hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk menarik diri dari partisipasi politik dan sosial. Namun kita harus terlibat dalam politik dan wacana sosial dengan rasa hormat, kebaikan, kerendahan hati yang sehat bahwa pandangan kita tidak sempurna, dan kesadaran bahwa ayat-ayat yang sama dapat membawa orang beriman lainnya mengambil kesimpulan yang berlawanan. Surat-surat Tesalonika mengungkapkan nilai-nilai dan wawasan Allah yang diterapkan pada konteks Tesalonika kuno. Namun semua ini bukan merupakan program sosial atau partai yang tidak dapat disangkal sebagaimana diterapkan dalam konteks yang sangat berbeda saat ini.
Jelas bahwa Paulus memaksudkan agar semua orang Kristen di Tesalonika harus bekerja semampu mereka dan bahwa gereja harus memperhatikan mereka yang benar-benar membutuhkan. Ia ingin keuangan para dermawan di gereja digunakan secara strategis dan tidak disia-siakan. Memang benar, jika mereka yang menganggur kembali bekerja, mereka juga akan berada dalam posisi untuk menjadi pemberi dibandingkan penerima, dan kapasitas gereja untuk menyebarkan Injil dan melayani orang-orang miskin dan membutuhkan di dalam dan di luar gereja akan meningkat. Desakan alkitabiah bahwa umat Kristiani harus bekerja sedemikian rupa sehingga bisa mandiri sedapat mungkin pada akhirnya merujuk pada perluasan kerajaan Allah di bumi.
Kemalasan (2 Tesalonika 3:6–15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKemalasan adalah Masalah Komunitas Kristen, Bukan Hanya Perorangan
Kata-kata di 2 Tesalonika 3:10 sangat penting. “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Allah menganggap melalaikan pekerjaan sebagai pelanggaran berat, begitu berat sehingga gereja terpanggil untuk mengoreksi para anggotanya yang menganggur. Paulus menasihati gereja untuk “menegur” mereka yang menghindari kewajiban bekerja (1 Tes. 5:14) dan mengeluarkan “dalam nama Tuhan Yesus Kristus” dalam 2 Tesalonika 3:6–15 agar gereja menerapkan tindakan disipliner pada saudara-saudara yang melakukan pelanggaran. Disiplinnya relatif keras, yang menggarisbawahi bahwa kemalasan bukanlah kelemahan kecil dalam penilaian Paulus. Gereja dipanggil untuk “jangan bergaul dengan” orang-orang yang melalaikan tanggung jawab mereka untuk bekerja, yang mungkin berarti bahwa mereka harus menghindari mengikutsertakan mereka ketika mereka berkumpul dalam persekutuan Kristen. Tentu saja, tujuannya adalah untuk menimbulkan kejutan singkat dan tajam pada saudara-saudara yang bersalah dengan mengasingkan mereka, dan dengan demikian mengembalikan mereka ke jalur yang benar.
Kemalasan Menimbulkan Kenakalan
Konsekuensi negatif dari melalaikan pekerjaan lebih dari sekadar membebani orang lain. Mereka yang menghindari pekerjaan sering kali akhirnya menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Nasihat Paulus kepada para pekerja kasar di Tesalonika agar “hidup tenang” dan “mengurus persoalan-persoalan [mereka] sendiri” (1Tes. 4:11) mengisyaratkan apa yang secara eksplisit dinyatakan dalam 2 Tesalonika 3:11, “Kami dengar bahwa ada orang di antara kamu yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna.” Kata Yunani periergazomai (“orang yang suka ikut campur”) mengacu pada campur tangan dalam urusan orang lain[1]. Pemikiran serupa diungkapkan oleh Paulus dalam 1 Timotius 5:13, di mana Paulus berkata tentang janda-janda muda yang didukung oleh gereja bahwa mereka “bukan hanya bermalas-malas saja, tetapi juga suka bergunjing dan mencampuri urusan orang lain dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas.” Tampaknya para pemalas di Tesalonika itu ikut campur dalam urusan orang lain dan bersikap argumentatif. Kemalasan menimbulkan masalah.
Ringkasan & Kesimpulan 1 & 2 Tesalonika
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTema-tema tempat kerja terjalin ke dalam tenunan surat-surat Tesalonika. Mereka paling terlihat dalam beberapa bagian yang eksplisit, dan khususnya dalam 2 Tesalonika. Yang mendasari kedua surat tersebut adalah prinsip bahwa umat Kristiani dipanggil untuk bekerja sesuai kemampuan mereka. Kerja dibutuhkan untuk menyediakan makanan di meja, jadi mereka yang makan harus bekerja. Terlebih lagi, bekerja adalah sesuatu yang terhormat, karena mencerminkan maksud Allah bagi umat manusia dalam penciptaan. Tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama dalam bekerja, sehingga ukuran kerja bukanlah kuantitas prestasi, melainkan sikap melayani dan komitmen terhadap keunggulan. Oleh karena itu, mereka yang bekerja sekeras dan semampunya, berhak mendapat bagian penuh dari kemakmuran komunitas. Sebaliknya, mereka yang melalaikan tugas bekerja harus dikonfrontasi oleh gereja. Kalau mereka terus bermalas-malasan, jangan didukung dengan penghasilan orang lain. Sebagai upaya terakhir, mereka bahkan harus disingkirkan dari komunitas, karena kemalasan bukan hanya menghabiskan hasil kerja orang lain, namun juga akan menimbulkan gangguan aktif terhadap masyarakat melalui campur tangan, gosip, dan tindakan-tindakan yang menghalangi.