2 Korintus dan Kerja
Bible Commentary / Produced by TOW ProjectPengantar kepada 2 Korintus
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsJika 1 Korintus memberi kita wawasan yang tak tertandingi mengenai kehidupan sehari-hari gereja Perjanjian Baru, maka 2 Korintus memberi kita gambaran unik tentang hati dan jiwa rasul yang karyanya mendirikan dan membangun gereja tersebut. Kita melihat Paulus bekerja, mengajar dan memberi teladan tentang transparansi, sukacita, hubungan baik, ketulusan, reputasi, pelayanan, kerendahan hati, kepemimpinan, kinerja dan akuntabilitas, rekonsiliasi, bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman, dorongan semangat, kemurahan hati, pemenuhan kewajiban tepat waktu, dan penggunaan kekayaan yang tepat.
Topik-topik di tempat kerja ini muncul karena pergumulan dan peluang sehari-hari yang Paulus temui dalam pekerjaannya sebagai rasul. Selama periode menjelang penulisan 2 Korintus, Paulus menghadapi sejumlah “pertengkaran dari luar dan ketakutan dari dalam,” seperti yang ia gambarkan (2Kor. 7:5). Hal ini jelas meninggalkan kesan tersendiri baginya, dan hasilnya adalah sebuah surat yang tiada duanya dalam Perjanjian Baru—sangat pribadi, menunjukkan berbagai macam emosi mulai dari kesedihan dan kegelisahan hingga kegembiraan dan keyakinan. Sebagai akibat dari kesulitan ini, Paulus menjadi pemimpin dan pekerja yang lebih efektif. Semua orang yang ingin belajar menjadi lebih efektif dalam pekerjaan mereka—dan bersedia mempercayai Allah atas kemampuan untuk melakukan hal tersebut—akan menemukan model praktis dalam diri Paulus dan ajarannya dalam 2 Korintus.
Interaksi Paulus dengan Gereja di Korintus (2 Korintus)
Dalam pendahuluan 1 Korintus kita memperhatikan bahwa Paulus mendirikan gereja Korintus selama kunjungan pertamanya di sana (musim dingin tahun 49/50 hingga musim panas tahun 51). Kemudian ia menulis satu surat, yang sudah tidak ada lagi, kepada gereja Korintus (disebutkan dalam 1Kor. 5:9) dan satu surat lagi yang masih ada—1 Korintus. Ia juga mengunjungi gereja itu tiga kali (2Kor. 12:14; 13:1). Kita tahu dari Roma 16:1 bahwa Paulus menulis suratnya kepada jemaat di Roma pada salah satu kunjungannya di Korintus.
Meskipun demikian, hubungan Paulus dengan gereja di Korintus tegang. Pada suatu saat ia menulis kepada mereka apa yang kemudian dikenal sebagai “surat yang keras" [1]—yang tampaknya cukup tegas (lihat 2Kor. 2:4). Ia mengirimkannya kepada jemaat Korintus melalui Titus dengan harapan hal itu akan membawa perubahan hati di antara orang-orang yang menentangnya di Korintus. Konflik yang belum terselesaikan dengan gereja di Korintus membuat Paulus gelisah saat menunggu kabar dari mereka (2Kor. 1:12-13). Ketika Titus akhirnya tiba pada musim gugur tahun 55, ia membawa kabar baik dari Korintus. Pada kenyataannya, surat Paulus yang keras terbukti sangat bermanfaat. Jemaat di Korintus yang telah menyebabkan begitu banyak dukacita benar-benar berduka atas putusnya hubungan mereka dengan Paulus, dan dukacita mereka telah menuntun pada pertobatan (2Kor. 7:8-16).
Menanggapi berita tersebut, Paulus menulis 2 Korintus, atau lebih tepatnya tujuh pasal pertama, untuk mengungkapkan sukacita dan rasa syukurnya baik kepada Allah maupun kepada jemaat Korintus atas pemulihan hubungan di antara mereka. Dalam pasal-pasal ini ia mencontohkan transparansi, sukacita, perhatian terhadap hubungan, integritas, reputasi, pelayanan, ketergantungan pada Allah, perilaku etis, karakter, dan dorongan semangat yang Allah minta untuk diwujudkan oleh semua orang Kristen. Selanjutnya, dalam pasal 8 dan 9, ia beralih ke topik kemurahan hati dan memenuhi kewajiban tepat waktu ketika ia mendesak jemaat Korintus untuk berkontribusi dalam memberikan bantuan kepada orang-orang Kristen di Yerusalem, yang telah mereka janjikan. Pada bagian ini Paulus menyoroti bagaimana kebutuhan kita dipenuhi oleh kemurahan hati Allah, bukan hanya agar kita tidak kekurangan apa pun yang kita perlukan tetapi juga agar kita memiliki banyak hal untuk dibagikan kepada orang lain. Dalam pasal 10 sampai 13 ia menggambarkan ciri-ciri kepemimpinan yang saleh, tampaknya sebagai respons terhadap berita meresahkan yang ia terima tentang apa yang disebut “rasul-rasul yang tak ada taranya” yang menyesatkan beberapa jemaat di Korintus. Meskipun di sini kita tidak membahas kepemimpinan gereja, kata-kata Paulus di bagian ini dapat diterapkan secara langsung di semua tempat kerja.
Bersyukur kepada Allah atas Hubungan yang Ada (2 Korintus 1:1–11)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSurat Kedua Korintus dimulai dengan ucapan syukur Paulus yang tulus atas hubungan mendalam yang ia miliki dengan jemaat Korintus. Hubungan mereka begitu erat sehingga apa pun yang terjadi pada satu pihak, seolah-olah dirasakan oleh semuanya. Ia menulis, “Jika kami menderita, hal itu adalah untuk penghiburan dan keselamatan kamu” (2Kor. 1:6). “Sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami” (2Kor. 1:7). Gambaran Paulus tentang hubungan tersebut terdengar hampir seperti sebuah pernikahan. Mengingat ketegangan hubungan antara Paulus dan gereja yang terlihat dalam surat ini, keintiman ini mungkin mengejutkan. Bagaimana mungkin orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat, kekecewaan, dan bahkan kemarahan satu sama lain bisa mengatakan hal-hal seperti, “Pengharapan kami akan kamu teguh” (2Kor. 1:7)?
Jawabannya, hubungan baik tidak lahir dari kesepakatan bersama melainkan saling menghormati dalam mencapai tujuan bersama. Ini adalah poin penting dalam kehidupan kita di tempat kerja. Kita umumnya tidak memilih rekan kerja kita, sama seperti jemaat Korintus tidak memilih Paulus untuk menjadi rasul mereka dan Paulus tidak memilih orang-orang yang akan dituntun Allah kepada iman. Hubungan kita di tempat kerja tidak didasarkan pada ketertarikan timbal balik namun pada kebutuhan untuk bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kita bersama. Hal ini berlaku baik pekerjaan kita adalah mendirikan gereja, memproduksi suku cadang mobil, memproses asuransi atau formulir pemerintah, mengajar di universitas, atau pekerjaan lainnya. Semakin sulit suatu hal, semakin penting pula hubungan baik.
Bagaimana kita membangun hubungan baik di tempat kerja? Dalam arti tertentu, sisa surat 2 Korintus merupakan eksplorasi berbagai cara untuk membangun hubungan kerja yang baik—transparansi, integritas, akuntabilitas, kemurahan hati, dan sebagainya. Kita akan membahas semuanya dalam konteks ini. Namun Paulus menegaskan bahwa kita tidak bisa mencapai hubungan baik hanya melalui keterampilan dan metode. Yang paling kita perlukan adalah pertolongan Allah. Oleh karena itu, saling mendoakan adalah landasan hubungan yang baik. “Kamu juga turut membantu mendoakan kami,” Paulus meminta dan kemudian berbicara tentang “karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami” (2Kor. 1:11).
Seberapa dalam kita berinvestasi dalam hubungan dengan orang-orang yang bekerja bersama kita? Jawabannya mungkin diukur dari sejauh mana kita mendoakan mereka. Apakah kita cukup peduli terhadap mereka sehingga kita mendoakan mereka? Apakah kita berdoa untuk kebutuhan dan kekhawatiran khusus mereka? Apakah kita bersusah payah untuk cukup banyak mempelajari kehidupan mereka sehingga kita dapat mendoakan mereka dengan cara yang konkret? Apakah kita cukup membuka kehidupan kita sendiri sehingga orang lain bisa mendoakan kita? Pernahkah kita bertanya kepada orang-orang di tempat kerja kita apakah kita bisa mendoakan mereka atau mendoakan mereka untuk kita? Mereka mungkin tidak seiman dengan kita, namun orang-orang hampir selalu menghargai tawaran otentik untuk mendoakan mereka atau permintaan untuk mendoakan (atau berharap) bagi kita.
Transparansi (2 Korintus 1:12–23)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsKetika Paulus beralih ke isi suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, ia membahas keluhan bahwa ia tidak terbuka dan jujur kepada mereka. Meskipun ia berjanji untuk mengunjungi Korintus lagi, Paulus telah membatalkannya dua kali. Apakah Paulus bersikap tidak tulus atau mencoba mempertahankan posisi yang kontradiktif untuk menyenangkan banyak orang? Apakah ia bermanuver di belakang layar untuk mendapatkan apa yang diinginkannya di belakang orang lain? Paulus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam 2 Korintus 1:12–14. Ia bangga bahwa perilakunya di antara jemaat Korintus selalu transparan. Tindakannya bukanlah tipu muslihat dari apa yang disebutnya “hikmat duniawi” (2Kor. 1:12). Ia membatalkan kunjungannya, bukan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau untuk menyelamatkan mukanya, tetapi karena ia tidak ingin mempermalukan atau menegur jemaat Korintus lagi. Oleh karena itu, ia menunda kedatangannya kembali ke Korintus dengan harapan bahwa, ketika ia datang, ia akan membawa sukacita daripada saling tuduh dan teguran (2Kor. 1:23-24).
Meskipun integritas Paulus dipertanyakan, ia tahu bahwa karena sejarah transparansinya dengan mereka, mereka akan terus mempercayainya. “Hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah,” ia mengingatkan mereka (2Kor. 1:12). Karena mereka telah melihatnya beraksi, mereka tahu bahwa ia mengatakan maksudnya tanpa ragu-ragu (2Kor. 1:17-20). Hal ini membuatnya yakin bahwa mereka “akan memahaminya sepenuhnya” (2Kor. 1:1–13), setelah mereka mengetahui semua faktor yang harus dipertimbangkannya. Bukti kepercayaan mereka adalah bahwa bahkan tanpa mengetahui segalanya, Paulus mengatakan kepada mereka, “Kamu akan memahaminya sepenuhnya” (2Kor. 1:13).
Dalam pekerjaan kita saat ini, apakah kita cukup transparan sehingga orang mempunyai alasan untuk mempercayai kita? Setiap hari, setiap orang, perusahaan, dan organisasi menghadapi godaan untuk menyembunyikan kebenaran. Apakah kita mengaburkan motivasi kita untuk mendapatkan kepercayaan palsu dari pelanggan atau pesaing? Apakah kita mengambil keputusan secara diam-diam sebagai cara untuk menghindari akuntabilitas atau menyembunyikan faktor-faktor yang mungkin membuat orang lain keberatan? Apakah kita berpura-pura mendukung rekan kerja di hadapan mereka, namun mengejek di belakang mereka? Teladan Paulus menunjukkan kepada kita bahwa tindakan tersebut salah. Selain itu, keuntungan singkat apa pun yang dapat kita peroleh dari mereka akan lebih besar daripada kerugiannya dalam jangka panjang karena rekan kerja kita belajar untuk tidak mempercayai kita. Dan jika rekan kerja kita tidak bisa mempercayai kita, apakah Allah bisa?
Tentu saja ini tidak berarti bahwa kita selalu mengungkapkan semua informasi yang kita miliki. Ada hal-hal rahasia, pribadi dan organisasi, yang tidak dapat diungkapkan. Tidak semua orang perlu mengetahui semua informasi. Kadang-kadang jawaban yang jujur mungkin adalah, “Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena saya mempunyai kewajiban menjaga privasi orang lain.” Namun kita tidak boleh menggunakan kerahasiaan sebagai alasan untuk berbohong, untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, atau untuk menampilkan diri kita dalam sudut pandang positif palsu. Jika dan ketika pertanyaan muncul mengenai motif kita, rekam jejak keterbukaan dan keandalan yang solid akan menjadi penawar terbaik bagi keraguan yang salah tempat.
Transparansi sangat penting dalam pekerjaan Paulus dengan jemaat Korintus sehingga ia kembali membahas tema tersebut di seluruh suratnya. “Kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan ... Sebaliknya, kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dinilai.” (2Kor. 4:2). “Hai orang Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu” (2Kor. 6:11).
Bekerja untuk Sukacita Sesama (2 Korintus 1:24)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSukacita adalah cara berikutnya untuk membangun hubungan yang dibahas oleh Paulus. “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu” (2Kor. 1:24). Meskipun ia seorang rasul dengan wewenang yang dari Allah, Paulus membawa sukacita kepada sesama melalui caranya memimpin mereka—bukan memerintah mereka tetapi bekerja bersama mereka. Hal ini menjelaskan mengapa ia adalah pemimpin yang efektif dan mengapa orang-orang yang terkait dengannya menjadi rekan kerja yang kuat dan dapat diandalkan. Kata-kata Paulus menggemakan apa yang Yesus katakan kepada murid-murid-Nya ketika mereka berdebat tentang siapa di antara mereka yang terbesar:
"Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu janganlah demikian. Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi seperti yang paling muda dan pemimpin menjadi seperti pelayan.” (Luk. 22:25–26)
Inti dari pekerjaan Kristen, menurut Paulus, adalah bekerja bersama orang lain untuk membantu mereka mencapai sukacita yang lebih besar.
Akan seperti apa tempat kerja kita jika kita berusaha memberikan sukacita kepada orang lain melalui cara kita memperlakukan mereka?[1] Ini tidak berarti berusaha membuat semua orang bahagia sepanjang waktu, namun memperlakukan rekan kerja sebagai orang yang bernilai dan bermartabat, seperti yang dilakukan Paulus. Ketika kita memperhatikan kebutuhan orang lain di tempat kerja, termasuk kebutuhan untuk dihormati dan kebutuhan untuk dipercayakan dengan pekerjaan yang berarti, kita mengikuti teladan Paulus sendiri.
Prioritas Hubungan (2 Korintus 2:12–16)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsCara lain untuk melakukan interaksi yang sehat di tempat kerja adalah dengan meluangkan waktu dan upaya untuk mengembangkan dan berinvestasi dalam hubungan. Setelah meninggalkan Efesus, Paulus pergi ke Troas, sebuah kota pelabuhan di sudut barat laut Asia Kecil, tempat ia mengharapkan Titus tiba dari kunjungannya ke Korintus (lihat pendahuluan di atas untuk rinciannya). Selagi Paulus berada di sana, ia menjalankan pekerjaan misionarisnya dengan semangat seperti biasanya, dan Allah memberkati usahanya. Namun terlepas dari awal yang menjanjikan di sebuah kota yang sangat strategis,[1] Paulus menghentikan pekerjaannya di Troas, karena, seperti yang ia katakan, “Tetapi hatiku tidak merasa tenang, karena aku tidak menjumpai saudara seimanku Titus” (2 Kor 2:13). Ia benar-benar tidak dapat melakukan pekerjaannya, hal yang sangat disukainya, karena kesedihan yang dirasakannya atas ketegangan hubungannya dengan orang-orang percaya di Korintus. Maka ia berangkat ke Makedonia dengan harapan dapat menemukan Titus di sana.
Ada dua hal yang mencolok mengenai bagian ini. Pertama, Paulus sangat menghargai hubungannya dengan orang percaya lainnya. Ia tidak bisa tetap menyendiri dan tidak terbebani ketika hubungan ini sedang rusak. Kita tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa ia mengetahui ajaran Yesus tentang meninggalkan pemberian di altar dan berdamai dengan saudaranya (Mat. 5:23-24), namun ia memahami dengan jelas prinsipnya. Paulus sangat ingin melihat segala sesuatunya diperbaiki, dan ia menginvestasikan banyak energi dan doa untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, Paulus memberikan prioritas tinggi untuk mewujudkan rekonsiliasi, meskipun hal tersebut menyebabkan penundaan yang signifikan dalam jadwal kerjanya. Ia tidak berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mempunyai kesempatan besar untuk pelayanan yang tidak akan datang lagi, dan oleh karena itu ia tidak bisa diganggu dengan jemaat Korintus dan kebutuhan sesaat mereka. Memperbaiki perpecahan dalam hubungannya dengan mereka lebih diutamakan.
Pelajarannya bagi kita sudah jelas. Hubungan itu penting. Jelas, kita tidak bisa selalu menghentikan apa yang kita lakukan seketika dan mengurus hubungan yang tegang. Namun apa pun tugas kita, hubungan adalah urusan kita. Tugas itu penting. Hubungan itu penting. Jadi, sesuai dengan semangat Matius 5:23–24, ketika kita mengetahui—atau bahkan mencurigai—bahwa suatu hubungan menjadi tegang atau rusak karena pekerjaan kita, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri mana yang lebih mendesak saat ini, penyelesaian tugas atau pemulihan hubungan. Jawabannya mungkin berbeda-beda, tergantung keadaan. Jika tugasnya cukup besar, atau ketegangan dalam hubungan cukup serius, sebaiknya kita tidak hanya menanyakan mana yang lebih mendesak namun juga mencari nasihat dari saudara atau saudari yang kita hormati.
Ketulusan (2 Korintus 2:17)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSeperti dalam 2 Korintus 1:12, Paulus sekali lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih ada mengenai kunjungannya ke Korintus yang tertunda. Jemaat Korintus nampaknya tersinggung karena pada awalnya ia tidak menerima dukungan finansial dari gereja di Korintus. Tanggapannya adalah bahwa menghidupi dirinya sendiri adalah masalah ketulusan. Bisakah orang percaya bahwa ia benar-benar mempercayai apa yang ia khotbahkan, atau apakah ia melakukannya hanya untuk menghasilkan uang seperti “banyak orang lain yang menjajakan firman Allah” (2Kor. 2:17) yang dapat ditemukan di kota-kota Romawi mana pun? Tampaknya ia tidak ingin disamakan dengan para filsuf dan ahli retorika pada zamannya yang mengenakan biaya besar untuk pidato mereka.[1] Sebaliknya ia dan rekan-rekan kerjanya “berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni.” Jelas sekali mereka tidak pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberitakan Injil demi menjadi kaya, namun mereka memahami diri mereka sendiri sebagai individu-individu yang diutus oleh Allah dan bertanggung jawab kepada Allah.
Hal ini mengingatkan kita bahwa motivasi bukan hanya urusan pribadi, terutama jika menyangkut uang. Cara kita menangani uang bersinar bagaikan penunjuk laser pada pertanyaan tentang ketulusan kita sebagai orang Kristen. Orang-orang ingin melihat apakah kita menangani uang sesuai dengan prinsip-prinsip tinggi kita atau membuang prinsip-prinsip kita ketika ada uang yang bisa dihasilkan. Apakah kita longgar dalam perhitungan pengeluaran? Apakah kita menyembunyikan pendapatan di bawah meja? Apakah kita terlibat dalam perlindungan pajak yang meragukan? Apakah kita mendorong kenaikan gaji, komisi, dan bonus dengan mengorbankan orang lain? Apakah kita mengambil keuntungan finansial dari orang-orang yang berada dalam keadaan sulit? Apakah kita memutarbalikkan kontrak untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak proporsional? Pertanyaannya bukan hanya apakah kita dapat membenarkan diri kita sendiri, tetapi juga apakah orang-orang di sekitar kita dapat mengenali bahwa tindakan kita sejalan dengan keyakinan Kristen. Jika tidak, kita mempermalukan diri sendiri dan nama Kristus.
Reputasi yang Tulus (2 Korintus 3)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsPaulus memulai bagian 2 Korintus ini dengan dua pertanyaan retoris, yang keduanya mengharapkan jawaban negatif.[1] “Apakah kami mulai lagi memujikan diri kami? Atau perlukah kami seperti orang-orang lain menunjukkan surat pujian kepada kamu atau dari kamu?” (2Kor. 3:1). Paulus—teman lama mereka—dengan masam bertanya apakah ia memerlukan surat pengantar atau surat rekomendasi yang tampaknya dimiliki oleh orang lain yang telah memperkenalkan diri ke gereja. Surat-surat seperti itu adalah hal yang umum di dunia kuno, dan umumnya surat-surat itu perlu ditanggapi dengan hati-hati. Misalnya saja, negarawan Romawi, Cicero, yang menulis banyak surat seperti itu, menggunakan bahasa pujian stereotip yang dituntut oleh genre tersebut secara berlebihan. Namun, penerimanya menjadi sangat bosan membacanya sehingga terkadang ia merasa perlu menulis surat kedua agar penerima tahu apakah harus menganggap serius surat pertama. [2] Dengan kata lain, surat pujian sering kali tidak sebanding nilainya dengan papirus yang ditulisinya.
Paulus sama sekali tidak memerlukannya. Jemaat di Korintus mengenalnya secara dekat. Satu-satunya surat rekomendasi yang dibutuhkannya sudah tertulis di hati mereka (2Kor. 3:3). Keberadaan mereka sebagai sebuah gereja, serta pertobatan individu mereka sebagai respons terhadap khotbah Paulus, itulah surat pujian yang dibutuhkan atau diinginkan Paulus sehubungan dengan kerasulannya. Mereka dapat melihat hasil kerja keras Paulus, yang tidak meninggalkan keraguan bahwa ia adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah. Lebih lanjut, Paulus menegaskan, ia tidak mengklaim kompetensi dengan kekuatannya sendiri. “Kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah” (2Kor. 3:5), tulisnya. Pertanyaannya bukanlah apakah Paulus memiliki setumpuk kredensial dan rekomendasinya, namun apakah karyanya merupakan kontribusi bagi kerajaan Allah.
Bagaimana kita membangun reputasi kita saat ini? Di Amerika Serikat, banyak anak muda yang memilih kegiatan mereka bukan berdasarkan bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi terbaiknya kepada masyarakat, atau bahkan berdasarkan apa yang sebenarnya mereka nikmati, namun berdasarkan bagaimana kegiatan tersebut akan terlihat ketika mendaftar di universitas atau sekolah pascasarjana. Hal ini dapat berlanjut selama masa kerja kita, dengan setiap penugasan pekerjaan, afiliasi profesional, pesta makan malam, dan acara sosial yang diperhitungkan untuk mengasosiasikan kita dengan orang-orang dan institusi bergengsi. Paulus memilih aktivitasnya berdasarkan bagaimana ia dapat melayani orang-orang yang ia kasihi dengan sebaik-baiknya. Mengikuti jejaknya, kita harus bekerja sedemikian rupa sehingga dapat meninggalkan bukti kuat bahwa pekerjaan telah dilakukan dengan baik, hasil yang bertahan lama, dan orang-orang yang kehidupannya terkena dampak menjadi lebih baik.
Memimpin dan Melayani (2 Korintus 4)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsDua Korintus 4 menyatukan tema-tema yang berkaitan erat dalam pekerjaan Paulus—transparansi, kerendahan hati, kelemahan, kepemimpinan, dan pelayanan. Karena kita melihat Paulus bekerja dalam situasi kehidupan nyata, tema-tema tersebut saling terkait ketika Paulus menceritakan kisahnya. Namun kita akan mencoba membahas tema-tema tersebut satu per satu agar dapat mendalami masing-masing tema sejelas mungkin.
Transparansi dan Kerendahan Hati (2 Korintus 4)
Dalam pasal 4 Paulus kembali ke tema transparansi, seperti yang kita bahas dalam pembahasan 2 Korintus 1:12-23. Kali ini ia menekankan pentingnya kerendahan hati untuk menjaga transparansi. Jika kita ingin membiarkan semua orang melihat kenyataan hidup dan pekerjaan kita, sebaiknya kita bersiap untuk rendah hati.
Tentu saja, akan lebih mudah untuk bersikap transparan terhadap orang lain jika kita tidak menyembunyikan apa pun. Paulus sendiri berkata, “Kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan” (2Kor. 4:2). Namun transparansi mengharuskan kita tetap terbuka, meskipun kita telah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sebenar-benarnya, kita semua rentan terhadap niat dan pelaksanaan yang keliru. “Harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat,” Paulus mengingatkan kita (2Kor. 4:7), mengacu pada bejana-bejana rumah tangga pada zamannya yang terbuat dari tanah liat biasa dan mudah pecah. Siapa pun yang mengunjungi puing-puing Timur Dekat Kuno dapat bersaksi tentang pecahan perabot yang berserakan di mana-mana. Paulus kemudian memperkuat gagasan ini dengan menceritakan bahwa Allah memberinya “duri dalam daging” untuk mengendalikan kesombongannya (2Kor. 12:7).
Menjaga transparansi ketika kita mengetahui kelemahan kita memerlukan kerendahan hati dan terutama kesediaan untuk menyampaikan permintaan maaf yang tulus. Banyak permintaan maaf yang disampaikan oleh tokoh masyarakat terdengar lebih seperti pembenaran terselubung dibandingkan permintaan maaf yang sebenarnya. Hal ini mungkin terjadi karena, jika kita bergantung pada diri kita sendiri sebagai sumber kepercayaan diri kita, meminta maaf berarti mempertaruhkan kemampuan kita untuk terus melakukannya. Namun keyakinan diri Paulus bukanlah pada kebenaran atau kemampuannya sendiri, namun pada ketergantungannya pada kuasa Allah. “Harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2Kor. 4:7). Jika kita juga mengakui bahwa hal-hal baik yang kita capai bukanlah cerminan diri kita, melainkan cerminan Tuhan kita, maka mungkin kita bisa memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan kita dan berharap kepada Allah untuk mengembalikan kita ke jalur yang benar. Paling tidak, kita bisa berhenti merasa bahwa kita harus menjaga citra kita dengan cara apa pun, termasuk dengan menipu orang lain.
Weakness as the Source of Strength (2 Corinthians 4)
Namun, kelemahan kita bukan hanya tantangan terhadap transparansi kita. Ini sebenarnya adalah sumber dari kemampuan kita yang sejati. Menahan penderitaan bukanlah sebuah efek samping yang disayangkan yang dialami dalam beberapa keadaan; ini adalah cara nyata untuk mewujudkan pencapaian sejati. Sebagaimana kuasa kebangkitan Yesus muncul karena penyaliban-Nya,[7] demikian pula ketabahan para rasul di tengah penderitaan membuktikan fakta bahwa kuasa yang sama sedang bekerja di dalam diri mereka.
Dalam budaya kita, seperti halnya di Korintus, kita memamerkan kekuatan dan kehebatan karena kita merasa hal-hal tersebut diperlukan untuk menaiki tangga kesuksesan. Kita mencoba meyakinkan orang-orang bahwa kita lebih kuat, lebih pintar, dan lebih kompeten daripada yang sebenarnya. Oleh karena itu, pesan Paulus tentang kerentanan mungkin terdengar sulit bagi kita. Apakah terlihat jelas dalam cara Anda melakukan pekerjaan Anda bahwa kekuatan dan vitalitas yang Anda pancarkan bukanlah kekuatan Anda sendiri, melainkan kekuatan Allah yang terlihat dalam kelemahan Anda? Saat Anda menerima pujian, apakah Anda membiarkannya menambah aura cemerlang Anda? Atau apakah Anda menceritakan bagaimana Allah—mungkin bekerja melalui orang lain—memungkinkan Anda melampaui potensi diri Anda? Kita biasanya ingin orang menganggap kita sangat kompeten. Namun bukankah orang yang paling kita kagumi adalah orang yang membantu sesama menggunakan karunia mereka?
Jika kita bertahan dalam keadaan sulit tanpa berusaha menyembunyikannya, akan terlihat jelas bahwa kita mempunyai sumber kekuatan di luar diri kita, yaitu kekuatan yang mempengaruhi kebangkitan Yesus dari kematian.
Melayani Sesama dengan Memimpin (2 Korintus 4)
Kerendahan hati dan kelemahan tidak akan tertahankan jika tujuan hidup kita adalah untuk menjadikan diri kita hebat. Namun pelayanan, bukan kebesaran, adalah tujuan orang Kristen. “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus.” (2Kor. 4:5). Ayat ini adalah salah satu pernyataan klasik alkitabiah tentang konsep yang kemudian dikenal sebagai “kepemimpinan yang melayani.” Paulus, pemimpin terkemuka gerakan Kristen di luar Palestina, menyebut dirinya “hambamu karena kehendak Yesus” (2Kor. 4:5).
Sekali lagi, Paulus tampaknya sedang merefleksikan ajaran Yesus sendiri di sini (lihat 2Kor. 1:24 di atas). Sebagai pemimpin, Yesus dan para pengikut-Nya melayani sesama. Wawasan Kristen yang mendasar ini harus mempengaruhi sikap kita dalam posisi kepemimpinan mana pun. Hal ini tidak berarti kita tidak menjalankan wewenang yang sah atau kita memimpin dengan ragu-ragu. Sebaliknya, hal ini menyiratkan bahwa kita menggunakan posisi dan kekuasaan kita untuk meningkatkan kesejahteraan sesama dan bukan hanya kesejahteraan kita sendiri. Pada kenyataannya, kata-kata Paulus “hambamu karena kehendak Yesus” lebih tegas daripada yang terlihat pada pandangan pertama. Para pemimpin dipanggil untuk mengutamakan kesejahteraan orang lain dibandingkan kesejahteraan mereka sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh para budak. Seorang budak, seperti yang Yesus tunjukkan, bekerja sepanjang hari di ladang, kemudian masuk dan menyajikan makan malam untuk rumah tangganya, dan baru setelah itu boleh makan dan minum (Lukas 17:7-10).
Memimpin sesama dengan melayani pasti akan membawa penderitaan. Dunia ini terlalu rusak bagi kita untuk membayangkan ada kemungkinan untuk lepas dari penderitaan saat melayani. Paulus mengalami kesengsaraan, kebingungan, dan penganiayaan sampai hampir mati (2Kor. 4:8-12). Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh menerima posisi kepemimpinan kecuali kita bermaksud mengorbankan hak istimewa untuk mengurus diri sendiri sebelum mengurus orang lain.
Kinerja dan Akuntabilitas (2 Korintus 5:1–15)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsDalam 2 Korintus 5 Paulus, yang terus-menerus menghadapi situasi yang dapat mengakibatkan kematiannya, mengingatkan jemaat Korintus bahwa pada penghakiman terakhir, setiap orang akan “memperoleh apa yang patut diterimanya sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat” (2Kor. 5:10) Ini adalah kata-kata yang tidak biasa bagi Paulus (walaupun tidak seaneh yang diperkirakan; lihat Rm. 2:6-10), yang biasanya kita kaitkan dengan doktrin kasih karunia, yang berarti bahwa keselamatan kita sepenuhnya tidak layak kita terima dan bukan hasil pekerjaan kita sendiri (Ef. 2:8–9). Namun, penting bagi kita untuk membiarkan gambaran kita tentang Paulus dibentuk berdasarkan apa yang sebenarnya ia katakan, dan bukan berdasarkan karikatur. Ketika kita menganalisa ajaran Paulus secara keseluruhan, kita menemukan bahwa ajaran tersebut selaras dengan ajaran Yesus, Yakobus, dan bahkan Perjanjian Lama. Bagi mereka semua, iman yang tidak diwujudkan dalam perbuatan baik bukanlah iman sama sekali. Memang, iman dan ketaatan saling berkaitan erat sehingga bahkan Paulus, seperti yang ia lakukan di sini, dapat merujuk pada ketaatan daripada iman padahal sebenarnya ia memikirkan kedua hal tersebut. Apa yang kita lakukan di dalam tubuh tidak bisa tidak mencerminkan apa yang telah dilakukan anugerah Allah bagi kita. Apa yang menyenangkan Tuhan dapat digambarkan sebagai iman atau, seperti di sini, sebagai perbuatan kebenaran yang dimungkinkan oleh kasih karunia Allah.
Apa pun itu, pesan Paulus cukup jelas: Cara kita menjalani hidup penting bagi Allah. Di tempat kerja, kinerja kita penting. Terlebih lagi, kita harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yesus atas semua yang telah kita lakukan dan yang belum kita lakukan. Dalam istilah tempat kerja, ini adalah akuntabilitas. Kinerja dan akuntabilitas sangatlah penting dalam kehidupan Kristen, dan kita tidak dapat meremehkannya sebagai urusan sekuler yang tidak penting bagi Allah. Allah peduli apakah kita bermalas-malasan, mengabaikan tugas kita, tidak masuk kerja, atau bekerja tanpa sungguh-sungguh memperhatikan pekerjaan kita.
Ini tidak berarti bahwa Allah selalu setuju dengan apa yang diharapkan oleh tempat kerja kita. Gagasan Allah tentang kinerja yang baik mungkin berbeda dengan gagasan manajer atau penyelia kita. Khususnya, jika memenuhi ekspektasi kinerja perusahaan kita memerlukan aktivitas yang tidak etis atau merugikan orang lain, maka penilaian Allah atas kinerja kita akan berbeda dengan penilaian perusahaan kita. Jika atasan Anda mengharapkan Anda untuk menyesatkan pelanggan atau merendahkan rekan kerja, demi Allah, carilah penilaian kinerja yang buruk dari atasan Anda dan penilaian yang baik dari Allah.
Allah memberi kita standar perilaku yang tinggi. Suatu hari nanti kita akan mempertanggungjawabkan cara kita memperlakukan rekan kerja, atasan, karyawan, dan pelanggan, belum lagi keluarga dan teman kita. Hal ini tidak meniadakan doktrin kasih karunia, namun justru menunjukkan kepada kita bagaimana Allah menghendaki kasih karunia-Nya mengubah hidup kita.
Mendamaikan Seluruh Dunia (2 Korintus 5:16–21)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsJika kedengarannya seolah-olah Paulus memanggil kita untuk mengertakkan gigi dan berusaha lebih keras untuk menjadi baik, maka kita melewatkan tujuan utama 2 Korintus. Paulus bermaksud agar kita melihat dunia dengan cara yang benar-benar baru, sehingga tindakan kita berasal dari pemahaman baru ini, bukan dari usaha yang lebih keras.
Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya tanpa memperhitungkan pelanggaran mereka dan Dia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. (2Kor. 5:17–19)
Paulus ingin kita mengalami transformasi menyeluruh sehingga kita menjadi anggota “ciptaan baru.” Penyebutan “ciptaan” segera membawa kita kembali ke Kejadian 1–2, kisah penciptaan dunia oleh Allah. Sejak awal Allah memiliki tujuan agar laki-laki dan perempuan bekerja sama (Kej. 1:27; 2:18), bekerja sama dengan Allah (Kej. 2:19), untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15), “menamai” makhluk-makhluk di bumi, dan “berkuasa” (Kej. 1:26) atas bumi sebagai penatalayan bagi Allah. Maksud Allah atas penciptaan, dengan kata lain, mencakup kerja sebagai realitas utama keberadaannya. Ketika manusia tidak menaati Allah dan merusak ciptaan, pekerjaan menjadi terkutuk (Kej. 3:17-18), dan manusia tidak lagi bekerja bersama Allah. Jadi ketika Paulus berkata, “sesungguhnya yang baru sudah datang,” segala sesuatu mencakup dunia kerja sebagai elemen intinya.
Allah mewujudkan ciptaan baru dengan mengutus Anak-Nya ke dalam ciptaan lama untuk mengubah atau “mendamaikan” ciptaan tersebut. “Sebab di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya.” Bukan hanya satu aspek dunia, tapi seluruh dunia. Dan mereka yang mengikuti Kristus, yang diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus, ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan rekonsiliasi Kristus (2Kor. 5:18). Kita adalah agen yang membawa rekonsiliasi ke seluruh penjuru dunia. Setiap hari ketika kita melakukan pekerjaan kita, kita harus menjadi pelayan rekonsiliasi ini. Hal ini mencakup rekonsiliasi antara manusia dengan Allah (penginjilan dan pemuridan), antara manusia dengan manusia (resolusi konflik), dan antara manusia dengan pekerjaan mereka (barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan nyata dan meningkatkan kualitas hidup serta kepedulian terhadap ciptaan Allah).
Ada tiga unsur penting dalam upaya rekonsiliasi. Pertama, kita harus memahami secara akurat apa yang salah di antara manusia, Allah, dan ciptaan. Jika kita tidak benar-benar memahami permasalahan yang ada di dunia, kita tidak bisa mewujudkan rekonsiliasi sejati seperti halnya seorang duta besar tidak bisa secara efektif mewakili satu negara ke negara lain tanpa mengetahui apa yang terjadi di kedua negara. Kedua, kita harus mengasihi orang lain dan berusaha memberi manfaat bagi mereka, bukan menghakimi mereka. “Kami tidak lagi menilai seorang pun juga menurut ukuran manusia,” kata Paulus kepada kita (2Kor. 5:16)—yaitu, sebagai objek untuk dieksploitasi, disingkirkan, atau disanjung, tetapi sebagai pribadi yang untuknya “[Kristus] telah mati dan telah dibangkitkan” (2Kor. 5:15). Jika kita mengutuk orang-orang di tempat kerja kita atau menarik diri dari kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, kita memandang sesama dan pekerjaan dari sudut pandang manusia. Jika kita mengasihi orang-orang di mana kita bekerja dan berusaha meningkatkan kualitas tempat kerja, produk, dan layanan kita, maka kita menjadi agen rekonsiliasi Kristus. Dan yang terakhir, menjadi benih ciptaan Allah tentu saja mengharuskan kita untuk terus bersekutu dengan Kristus. Jika kita melakukan hal-hal ini, kita akan mampu menghadirkan kuasa Kristus untuk mendamaikan sesama, organisasi, tempat-tempat, dan hal-hal di dunia sehingga mereka juga dapat menjadi anggota ciptaan baru Allah.
Mengunjungi Kembali Transparansi (2 Korintus 6:11)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSeperti yang telah kita perhatikan sebelumnya (dalam 2Kor. 1:12-23), transparansi merupakan tema yang berulang dalam surat ini. Tema ini muncul lagi di sini ketika Paulus menulis, “Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu” (2Kor. 6:11). Kita dapat mengatakan bahwa kehidupannya adalah sebuah kitab yang terbuka di hadapan mereka. Meski ia tidak menambahkan hal baru pada apa yang ia katakan sebelumnya, semakin jelas betapa pentingnya topik transparansi baginya. Ketika timbul pertanyaan mengenai pelayanannya, ia dapat mengacu kepada hubungannya dengan jemaat Korintus sebelumnya dengan kepastian mutlak bahwa ia selalu jujur kepada mereka tentang dirinya sendiri. Bisakah kita mengatakan hal yang sama tentang diri kita sendiri?
Bekerja dengan Orang Tidak Percaya (2 Korintus 6:14–18)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsDalam 2 Korintus 6:14-18 Paulus mengangkat pertanyaan tentang ketidakcocokan (secara harfiah berarti “pasangan yang tidak seimbang”) dengan orang non-Kristen. Ini memiliki implikasi baik bagi pernikahan (yang berada di luar cakupan kita di sini) dan hubungan kerja. Sampai saat ini, Paulus dengan gamblang menggambarkan pentingnya hubungan baik dengan orang-orang yang tinggal dan bekerja bersama kita. Paulus berkata dalam 1 Kor. 5:9–10 bahwa kita hendaknya bekerja dengan orang-orang non-Kristen, dan ia membahas cara melakukannya dalam 1 Kor. 10:25–33. (Lihat “Kemuliaan Allah adalah Tujuan Utama” (1 Kor. 10) untuk informasi lebih lanjut).
Di sini, Paulus memperingatkan kita mengenai perjanjian kerja dengan orang-orang yang tidak beriman, dengan merujuk pada Ulangan 22:10 yang memperingatkan kita agar tidak membajak dengan seekor lembu dan seekor keledai yang berpasangan. Mungkin ini karena keledai kesulitan menarik beban lembu dan lembu tidak bisa berlari lebih cepat dari keledai. Dalam 2 Korintus, Paulus tampaknya berbicara tentang realitas rohani yang lebih dalam, menasihati umat Allah untuk berhati-hati dalam memikul kuk dengan orang-orang yang mengabdi pada pelanggaran hukum, kegelapan, penyembahan berhala, dan Iblis sendiri (2Kor. 6:14-15).
Meskipun kita jelas-jelas dipanggil untuk mengasihi, melayani, dan bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman, Paulus mengatakan untuk tidak menjadi “pasangan yang tidak seimbang” dengan mereka. Apa maksudnya menjadi pasangan yang tidak seimbang? Jawabannya terletak pada kontras dengan menjadi pasangan seimbang Yesus, yang mengatakan, “Pikullah gandar yang Kupasang.” (Matius 11:29). Satu bagian dari kuk atau gandar itu merengkuh kita, dan bagian lainnya ada di pundak Yesus. Yesus, seperti lembu yang memimpin dalam sebuah tim, menentukan arah, langkah, dan jalan kita, dan kita tunduk pada kepemimpinan-Nya. Melalui kuk-Nya, kita merasakan tarikan-Nya, bimbingan-Nya, arah-Nya. Melalui kuk-Nya, Dia melatih kita untuk bekerja secara efektif dalam tim-Nya. Kuk-Nya lah yang menuntun kita, menyadarkan kita, dan mengikat kita kepada-Nya. Menjadi pasangan Yesus membuat kita bermitra dengan-Nya dalam memulihkan ciptaan Allah di setiap bidang kehidupan, seperti yang kita bahas dalam 2Kor. 5:16–21. Tidak ada kuk lain yang memisahkan kita dari kuk Yesus yang dapat menandinginya! “Sebab gandar yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan,” kata Yesus kepada kita (Mat. 11:29). Namun pekerjaan yang kita lakukan bersama-Nya Tidak lain adalah transformasi seluruh kosmos.
Ketika Paulus mengatakan kepada kita untuk tidak memikul kuk yang tidak seimbang dalam hubungan kerja, ia memperingatkan kita agar tidak terlibat dalam komitmen kerja yang menghalangi kita melakukan pekerjaan yang Yesus berikan bagi kita atau yang menghalangi kita untuk bekerja dalam kuk Yesus. Ini memiliki unsur etika yang kuat. “Persamaan apa yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?” Paulus bertanya (2Kor. 6:14). Jika relasi kerja itu mengharuskan suatu komitmen kerja yang membuat kita merugikan pelanggan, menipu konstituen, menyesatkan karyawan, menganiaya rekan kerja, mencemari lingkungan, atau semacamnya, maka kita telah mengenakan kuk untuk melanggar tugas kita sebagai penatalayan kerajaan Allah. Lebih jauh lagi, mengenakan kuk bersama Yesus menuntun kita untuk berupaya mendamaikan dan memperbarui dunia dalam terang janji-janji Allah tentang “kerajaan yang akan datang.”
Jadi, menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak beriman berarti berada dalam situasi atau hubungan yang mengikat Anda pada keputusan dan tindakan orang-orang yang memiliki nilai dan tujuan yang tidak sesuai dengan nilai dan tujuan Yesus. Kita mungkin akan—dan harus—melakukan segala yang kita bisa untuk menghindari bekerja sama dengan orang-orang yang akan memaksa kita bertindak bertentangan dengan keyakinan kita. Namun selain itu, banyak motivasi, nilai-nilai, dan metode kerja dari supervisor dan kolega kita di sebagian besar tempat kerja mungkin tidak sesuai dengan keyakinan kita sebagai orang Kristen. Dan lingkungan serta keyakinan orang-orang yang bekerja bersama Anda mungkin mempunyai pengaruh negatif terhadap iman dan pengalaman hidup Kristen Anda. Meskipun demikian, sebagian besar dari kita bekerja di antara orang-orang yang tidak beriman, dan seperti yang telah kita perhatikan, Paulus berasumsi bahwa ini adalah situasi normal bagi orang-orang Kristen. Lalu bagaimana kita menerapkan larangan-Nya terhadap berpasangan yang tidak seimbang?
Mari kita mulai dengan melihat pekerjaan. Pekerjaan adalah perjanjian di mana Anda melakukan pekerjaan yang disepakati dengan imbalan yang disepakati. JIka Anda dapat secara sukarela dan adil mengakhiri kontrak ini jika hal itu merugikan Anda atau orang lain, Anda bebas untuk melepaskan ikatan tersebut. Bagaimana Anda mengetahui apakah suatu perjanjian kerja perlu dilepaskan atau diakhiri? Kita akan melihat dua situasi yang sangat berbeda.
Pertama, bayangkan Anda bekerja di sebuah organisasi yang umumnya beretika, namun Anda dikelilingi oleh orang-orang yang tidak percaya seperti Anda dan yang pengaruhnya merusak kehidupan iman Anda. Penilaian ini mungkin berbeda bagi setiap orang percaya. Ada yang mampu mempertahankan imannya di tengah pencobaan dan ketidakpercayaan di sekelilingnya, ada pula yang tidak. Godaan seperti uang, kekuasaan, percabulan, dan mencari pengakuan bisa sangat besar di banyak lingkungan kerja, dan larangan Paulus menyarankan bahwa lebih baik melepaskan diri dari “kuk” pekerjaan itu daripada menajiskan tubuh dan roh atau mengkompromikan hubungan Anda dengan Tuhan. Di sisi lain, orang lain mampu bekerja di tengah godaan tersebut sebagai saksi kebenaran dan kasih serta harapan Injil. Biasanya mereka membutuhkan seseorang di luar godaan di tempat kerja untuk membantu mereka mempertahankan iman mereka.
Ester adalah contoh menarik dari situasi seperti ini. Allah memanggilnya ke dalam harem Raja Ahasyweros agar ia bisa menjadi pelindung bangsa Yahudinya (Ester 4:12-16). Godaan dari “pekerjaan” tersebut adalah untuk melindungi status dan hak istimewanya sebagai ratu pilihan raja (Ester 4:11-12). Ia mungkin menyerah pada godaan kehidupan mewah itu jika pamannya, Mordekhai, tidak menghubunginya setiap hari (Ester 2:11) untuk membimbingnya dan akhirnya memanggilnya untuk mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan bangsanya (Ester 4: 8). (Lihat “Bekerja dalam Sistem yang Jatuh (Ester)” untuk informasi lebih lanjut.)
Ester mempunyai pengaruh besar terhadap raja tetapi juga sangat rentan terhadap rasa ketidaksenangannya. Hal ini tampaknya merupakan suatu kasus yang jelas mengenai “pasangan yang tidak seimbang.” Namun pada akhirnya, kuknya bersama Allah terbukti lebih kuat daripada kuknya bersama raja karena ia rela mempertaruhkan nyawanya demi melakukan kehendak Allah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar keinginan Anda untuk menanggung konsekuensi dari mengatakan “tidak” ketika diminta untuk melanggar keyakinan Anda, semakin erat pula hubungan yang dapat Anda jalin dengan orang-orang yang tidak beriman, namun tetap terikat pada Yesus. Implikasi penting dari hal ini adalah menahan diri untuk tidak terlalu bergantung pada suatu pekerjaan sehingga Anda tidak sanggup berhenti. Jika Anda menanggung pengeluaran dan utang hingga, atau bahkan melebihi, tingkat pendapatan Anda, pekerjaan apa pun dapat dengan cepat menjadi semacam pekerjaan yang tidak seimbang. Mengadopsi standar hidup yang lebih sederhana dan mengumpulkan tabungan dalam jumlah besar—jika mungkin—dapat membuat lebih mudah untuk tetap menjadi pasangan Kristus jika keadaan di tempat kerja menjadi buruk.
Contoh kedua dari “kuk yang tidak seimbang” mungkin adalah kemitraan bisnis dengan orang yang tidak seiman. Ini akan menjadi kemitraan yang jauh lebih setara dalam hal kekuasaan, namun sama berisikonya dalam hal etika. Ketika salah satu mitra menandatangani kontrak, membelanjakan uang, membeli atau menjual properti—atau melanggar hukum—mitra lainnya terikat oleh tindakan atau keputusan tersebut. Kemitraan semacam ini bisa jadi lebih mirip seperti lembu dan keledai – dua mitra yang bergerak ke arah yang berlawanan. Terlebih lagi, kita tahu dari pengalaman bahwa kemitraan antara dua orang beriman juga mengandung risiko, mengingat orang Kristen juga masih berdosa. Oleh karena itu, semua kemitraan bisnis memerlukan kebijaksanaan dan kearifan serta kemampuan dan kemauan untuk mengakhiri kemitraan jika diperlukan, meskipun hal tersebut akan sangat merugikan. Larangan Paulus dalam 2 Korintus 6, minimal, harus menjadi alasan untuk berdoa dan melakukan pertimbangan sebelum menjalin suatu kemitraan, dan mungkin untuk memasukkan batasan kontrak dalam pengaturan tersebut.
Tentu saja ada banyak jenis hubungan kerja lainnya, termasuk jual beli, investasi, kontrak dan subkontrak, serta asosiasi dagang. Peringatan Paulus terhadap pasangan yang tidak seimbang dapat membantu kita memahami bagaimana dan kapan kita harus menjalin hubungan seperti itu, dan mungkin yang lebih penting, bagaimana dan kapan kita harus keluar dari hubungan tersebut. Dalam semua hubungan ini, bahayanya semakin besar ketika kita menjadi lebih bergantung pada hubungan tersebut dibandingkan pada Kristus.
Yang terakhir, kita harus berhati-hati untuk tidak menjadikan kata-kata Paulus menjadi mentalitas kita-lawan-mereka terhadap orang-orang yang tidak percaya. Kita tidak bisa menghakimi atau mengutuk orang-orang yang tidak beriman sebagai orang yang tidak etis karena Paulus sendiri menolak melakukan hal tersebut. “Sebab dengan wewenang apa aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah seharusnya kamu yang menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah” (1 Kor. 5:12–13). Kenyataannya adalah kita sendiri membutuhkan kasih karunia Kristus setiap hari agar kita tidak menyesatkan orang lain karena dosa kita sendiri. Kita dipanggil bukan untuk menghakimi, namun untuk menilai apakah pekerjaan kita memenuhi tujuan dan cara Kristus.
Dorongan Semangat untuk Memuji (2 Korintus 7)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSegera setelah menegur jemaat Korintus, Paulus memuji mereka. “Aku juga sangat memegahkan kamu. Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2Kor. 7:4). Mungkin mengejutkan bagi sebagian orang ketika mendapati Paulus tanpa malu-malu berbangga mengenai jemaat di Korintus. Banyak di antara kita yang dibesarkan dengan keyakinan bahwa kesombongan adalah dosa (yang tentu saja benar) dan bahkan kebanggaan terhadap prestasi orang lain pun patut dipertanyakan. Lebih jauh lagi, kita mungkin bertanya-tanya apakah rasa bangga Paulus terhadap jemaat Korintus pada tempatnya. Ini adalah jemaat yang dilanda banyak kesulitan, dan ada beberapa teguran pedas dalam suratnya kepada mereka. Ia tidak menggunakan sudut pandang yang berlebihan dalam hal jemaat Korintus. Namun Paulus sama sekali tidak malu dengan hal-hal seperti itu. Ia tidak segan-segan memberikan pujian ketika pujian memang layak diberikan, dan tampaknya ia benar-benar bangga dengan kemajuan yang dicapai orang-orang percaya di Korintus meskipun hubungannya tegang dengan mereka. Ia menyatakan bahwa kebanggaannya terhadap mereka memang pantas diterima, dan bukan sekadar sanjungan murahan (2Kor. 7:11-13). Ia mengulangi dalam 2 Korintus 7:14 poin bahwa pujian harus tulus ketika ia berkata, “Kami senantiasa mengatakan apa yang benar kepada kamu, demikian juga kemegahan kami di hadapan Titus sudah ternyata benar.”
Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya pujian yang spesifik, akurat, dan tepat waktu bagi rekan kerja, karyawan, dan sesama yang berinteraksi dengan kita di tempat kerja. Pujian yang berlebihan atau bersifat umum adalah hal yang hampa dan mungkin tampak tidak tulus atau manipulatif. Dan kritik yang tak henti-hentinya justru menghancurkan, bukannya membangun. Namun kata-kata penghargaan dan terima kasih yang tulus atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik selalu tepat. Mereka merupakan bukti rasa saling menghormati, fondasi komunitas sejati, dan memotivasi setiap orang untuk melanjutkan pekerjaan baik mereka. Kita semua menantikan untuk mendengar Allah berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat. 25:21), dan kita sebaiknya memberikan pujian serupa kapan pun diperlukan.
Kemurahan Hati Bukanlah Pilihan (2 Korintus 8:1–9)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSeperti yang telah kita perhatikan dalam pendahuluan, 2 Korintus 8 dan 9 membentuk bagian terpisah dari surat Paulus yang membahas topik pengumpulan bantuan untuk gereja-gereja di Yudea. Proyek ini merupakan kegemaran sang rasul, dan ia mempromosikannya dengan penuh semangat di gereja-gerejanya (1 Kor. 16:1-3). Paulus memulai bagian ini dengan menunjuk pada teladan kemurahan hati gereja-gereja di Makedonia dan menyiratkan bahwa ia mengharapkan hal yang sama dari jemaat Korintus. Sebagaimana umat beriman di Korintus telah menunjukkan iman yang berlimpah, kemampuan untuk mewartakan kebenaran,[1] pengetahuan, antusiasme, dan kasih, maka mereka juga harus berusaha untuk mendapatkan “karunia” (Yun. charis) kemurahan hati. Istilah “karunia” mempunyai arti ganda di sini. Kata ini mempunyai arti “karunia rohani”, mengacu kepada karunia Allah kepada mereka berupa kebajikan kemurahan hati, dan memiliki arti “sumbangan”, mengacu pada pemberian uang yang mereka kumpulkan. Hal ini memperjelas bahwa kemurahan hati bukanlah sebuah pilihan bagi umat kristiani, namun merupakan bagian dari karya Roh Kudus dalam hidup kita.
Di tempat kerja, semangat kemurahan hati adalah minyak yang membuat segala sesuatunya berjalan lancar di berbagai tingkatan. Karyawan yang merasa bahwa atasannya murah hati akan lebih bersedia berkorban untuk organisasinya ketika diperlukan. Pekerja yang murah hati terhadap rekan kerjanya akan menciptakan sumber bantuan yang siap pakai bagi dirinya sendiri dan pengalaman yang lebih menyenangkan dan memuaskan bagi semua orang.
Kedermawanan tidak selalu soal uang. Contohnya saja, pemberi kerja dapat bermurah hati dengan meluangkan waktu untuk membimbing pekerjanya, menyediakan tempat kerja yang indah, menawarkan kesempatan untuk pelatihan dan pengembangan, dengan tulus mendengarkan seseorang yang mempunyai masalah atau keluhan, atau mengunjungi anggota keluarga pekerja di rumah sakit. Rekan kerja dapat menawarkan kemurahan hati dengan membantu orang lain melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik, memastikan tidak ada orang yang tersisih dalam pergaulan, membela mereka yang mengalami pelecehan, menawarkan persahabatan sejati, berbagi pujian, meminta maaf atas pelanggaran, atau sekadar mengetahui nama-nama pekerja yang mungkin tidak terlihat oleh kita jika tidak demikian. Steve Harrison bercerita tentang dua residen bedah di Universitas Washington yang berlomba untuk melihat siapa yang dapat mengetahui nama-nama asisten perawat, penjaga, transportasi, dan staf diet dan kemudian menyapa mereka dengan namanya setiap kali mereka melihatnya.[2]
Berbagi Kekayaan (2 Korintus 8:13–15)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsPaulus mengingatkan jemaat Korintus tentang prinsip dasar pengumpulan ini. “Hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2Kor. 8:14). Hal ini bukan berarti bahwa gereja-gereja di Yudea harus merasakan terbantu kesulitannya dengan merugikan gereja-gereja non-Yahudi, namun harus ada keseimbangan yang tepat di antara keduanya. Orang-orang percaya di sana sangat membutuhkan dan gereja Korintus sedang mengalami kemakmuran. Mungkin akan tiba waktunya ketika keadaan akan berbalik, dan kemudian bantuan akan mengalir ke arah sebaliknya, “agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu” (2Kor. 8:14).
Paulus menggunakan dua gambaran untuk menjelaskan maksudnya. Yang pertama, keseimbangan, bersifat abstrak, tetapi di dunia kuno, seperti zaman sekarang juga, kita memahami bahwa dalam alam dan dalam masyarakat, keseimbangan mengarah pada stabilitas dan kesehatan.[1] Penerimanya mendapat manfaat karena sumbangan itu meringankan kekurangan yang tidak normal. Pemberi manfaat karena pemberian tersebut mencegah penyesuaian terhadap kelimpahan yang tidak berkelanjutan. Gambaran kedua bersifat konkrets dan historis. Paulus mengingatkan jemaat Korintus tentang zaman dahulu kala ketika Allah memberikan manna kepada bangsa Israel mempertahankan hidup mereka (Kel. 16:11-18). Meskipun ada yang mengumpulkan banyak dan ada yang mengumpulkan sedikit, ketika jatah harian dibagikan, tidak ada yang mengumpulkan terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Prinsip bahwa orang yang lebih kaya harus memberikan kekayaannya kepada orang yang lebih miskin hingga sumber dayanya berada dalam “keseimbangan” merupakan tantangan bagi gagasan modern tentang kemandirian individu. Rupanya, ketika Paulus menyebut orang-orang Kristen sebagai “hambamu karena kehendak Yesus” (2Kor. 4:5), yang dimaksudkannya adalah 100 persen gaji dan kekayaan kita adalah milik Allah, dan Allah mungkin ingin agar kita membagikannya kepada orang lain sedemikian rupa sehingga pendapatan yang kita simpan untuk keperluan pribadi kita seimbang dengan pendapatan mereka.
Namun, kita harus berhati-hati agar tidak membuat penerapan yang terlalu disederhanakan pada struktur dunia saat ini. Diskusi penuh mengenai prinsip ini di kalangan umat kristiani menjadi sulit karena terjebak dalam perdebatan politik mengenai sosialisme dan kapitalisme. Pertanyaan dalam perdebatan tersebut adalah apakah negara mempunyai hak—atau kewajiban—untuk memaksakan keseimbangan kekayaan dengan mengambil dari masyarakat kaya dan mendistribusikannya kepada masyarakat miskin. Hal ini berbeda dengan situasi Paulus, dimana sekelompok gereja meminta anggotanya untuk secara sukarela memberikan uang untuk dibagikan oleh gereja lain demi kepentingan anggotanya yang miskin. Faktanya, Paulus tidak mengatakan apa pun tentang negara dalam hal ini. Mengenai dirinya sendiri, Paulus mengatakan ia tidak punya rencana untuk memaksa siapa pun. “Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah” (2Kor. 8:8), begitulah katanya, dan pengumpulan juga tidak boleh dilakukan “dengan sedih hati atau karena paksaan” (2Kor. 9:7).
Tujuan Paulus bukan untuk menciptakan sistem sosial tertentu tetapi untuk meminta mereka yang mempunyai uang apakah mereka benar-benar siap menggunakannya untuk melayani Allah demi kepentingan orang miskin. “Karena itu tunjukkanlah kepada mereka di hadapan jemaat-jemaat bukti kasihmu dan bukti kemegahanku atas kamu,” pintanya (2Kor. 8:24). Umat Kristen harus terlibat dalam banyak diskusi tentang cara terbaik untuk mengentaskan kemiskinan. Apakah melalui pemberian saja, atau investasi, atau sesuatu yang lain, atau campuran? Peran apa yang dimiliki oleh struktur gereja, bisnis, pemerintah, dan organisasi nirlaba? Aspek-aspek sistem hukum, infrastruktur, pendidikan, budaya, tanggung jawab pribadi, penatalayanan, kerja keras, dan faktor-faktor lain manakah yang harus direformasi atau dikembangkan? Umat Kristen harus berada di garis depan dalam mengembangkan cara-cara yang tidak hanya murah hati namun juga efektif untuk mengakhiri kemiskinan.[2]
Namun tidak boleh ada keraguan mengenai mendesaknya kemiskinan dan tidak boleh ada keengganan untuk menyeimbangkan penggunaan uang dengan kebutuhan orang lain di seluruh dunia. Kata-kata Paulus yang tegas menunjukkan bahwa mereka yang menikmati kelimpahan tidak bisa berpuas diri ketika begitu banyak orang di dunia menderita kemiskinan ekstrem.
Anda Tidak Bisa Memberi Lebih Banyak dari Allah (2 Korintus 9)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsDalam mendesak jemaat di Korintus untuk memberi dengan murah hati, Paulus sadar bahwa ia harus mengatasi keprihatinan yang sangat manusiawi di dunia yang memiliki sumber daya yang terbatas. Beberapa pendengarnya pasti berpikir, “Jika saya memberi dengan tulus dan murah hati seperti yang Paulus anjurkan, mungkin saya tidak akan punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan saya.” Dengan menggunakan metafora pertanian yang diperluas, Paulus meyakinkan mereka bahwa dalam perekonomian Allah segala sesuatunya berjalan berbeda. Ia telah menyinggung sebuah prinsip dalam kitab Amsal, dengan menyatakan bahwa “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (bandingkan 2Kor. 9:6 dengan Ams. 11: 24–25). Ia melanjutkannya dengan mengutip sebuah pepatah dari Amsal 22:8 versi Yunani, bahwa “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2Kor. 9:7). Dari sini ia menyimpulkan sebuah janji bahwa bagi orang yang memberi dengan murah hati, Allah dapat dan akan memberikan segala macam berkat menjadi berlimpah[1].
Oleh karena itu, Paulus meyakinkan jemaat Korintus bahwa kemurahan hati mereka tidak menimbulkan risiko kemiskinan di masa depan. Sebaliknya, kemurahan hati adalah jalan untuk mencegah kekurangan di masa depan. “Allah sanggup melimpahkan segala anugerah kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam berbagai perbuatan baik” (2Kor. 9:8). Dalam dua ayat berikutnya ia meyakinkan mereka yang menabur (atau “menyebarkan”) dengan murah hati kepada orang miskin bahwa Allah akan memberi mereka benih yang cukup untuk ditabur dan untuk membuat roti untuk kebutuhan mereka sendiri. Ia menggarisbawahi hal ini ketika ia mengatakan, “Kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami” (2Kor. 9:11), sebuah janji yang mencakup dan melampaui berkat materi.
Meskipun Paulus dengan jelas berbicara tentang kemurahan hati dan berkat materi, kita harus berhati-hati untuk tidak mengubah jaminan akan penyediaan Allah menjadi harapan untuk menjadi kaya. Allah bukanlah skema MLM! “Berkelebihan” yang Paulus maksudkan adalah “memiliki segala sesuatu secara cukup,” bukan menjadi kaya. Yang disebut “Injil Kemakmuran” sangat salah memahami ayat-ayat seperti ini. Mengikuti Kristus bukanlah sebuah skema yang menghasilkan uang, seperti yang Paulus dengan susah payah katakan di seluruh suratnya.
Hal ini mempunyai penerapan yang jelas dalam memberikan hasil kerja kita, yaitu dalam menyumbangkan uang dan sumber daya lainnya. Namun hal ini juga berlaku dalam pemberian diri kita selama bekerja. Kita tidak perlu takut bahwa dengan membantu orang lain sukses di tempat kerja, kita akan membahayakan kesejahteraan kita sendiri. Allah telah berjanji untuk memberi kita semua yang kita butuhkan. Kita dapat membantu orang lain tampil bagus di tempat kerja tanpa takut hal itu akan membuat kita terlihat suram jika dibandingkan. Kita dapat bersaing secara sehat di pasar tanpa khawatir bahwa akan diperlukan beberapa trik kotor untuk mencari nafkah dalam bisnis yang kompetitif. Kita dapat mendoakan, menyemangati, mendukung, dan bahkan membantu saingan kita karena kita tahu bahwa Allahlah, bukan keunggulan kompetitif kita, yang merupakan sumber rezeki kita. Kita harus berhati-hati untuk tidak memutarbalikkan janji ini menjadi Injil palsu mengenai kesehatan dan kekayaan, seperti yang dilakukan banyak orang. Allah tidak menjanjikan bagi orang percaya sejati sebuah rumah besar dan mobil mahal. Namun Dia meyakinkan kita bahwa jika kita memperhatikan kebutuhan orang lain, Dia akan memastikan bahwa kebutuhan kita akan terpenuhi dalam prosesnya.
Menilai Kinerja (2 Korintus 10–13)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsSeperti yang telah kita catat dalam pendahuluan, 2 Korintus 10 sampai 13 merupakan bagian ketiga surat ini. Bagian yang paling relevan mengenai pekerjaan terdapat pada pasal 10 dan 11, yang memperluas pembahasan mengenai kinerja di tempat kerja yang dimulai pada pasal 5. Di sini Paulus membela diri ketika menghadapi serangan dari beberapa orang yang ia sebut sebagai “rasul-rasul yang tak ada taranya” (2Kor. 11:5). Dalam melakukan hal ini, ia menawarkan wawasan spesifik yang dapat diterapkan secara langsung pada penilaian kinerja.
Para rasul-rasul yang tak ada taranya namun palsu telah mengkritik Paulus karena tidak menyamai mereka dalam hal kefasihan berbicara, karisma pribadi, dan bukti tanda-tanda dan mukjizat. Tentu saja, “standar” yang mereka pilih tidak lebih dari sekedar deskripsi diri mereka sendiri dan pelayanan mereka. Paulus menunjukkan betapa absurdnya permainan yang mereka mainkan. Orang yang menilai dengan membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri akan selalu merasa puas diri. Paulus menolak untuk mengikuti skema yang mementingkan diri sendiri. Baginya, seperti yang telah ia jelaskan dalam 1 Korintus 4:1-5, satu-satunya penghakiman—dan oleh karena itu satu-satunya pujian—yang bernilai adalah penghakiman Tuhan Yesus.
Perspektif Paulus memiliki relevansi langsung dengan tempat kerja kita. Kinerja kita dalam pekerjaan kemungkinan besar akan dinilai dalam tinjauan triwulanan atau tahunan, dan tentunya tidak ada yang salah dengan hal itu. Masalah muncul ketika standar yang kita gunakan untuk mengukur diri sendiri atau orang lain bersifat bias dan mementingkan diri sendiri. Di beberapa organisasi—biasanya organisasi yang hanya bertanggung jawab secara longgar kepada pemilik dan pelanggannya—sekelompok kecil orang terdekat mungkin memperoleh kemampuan untuk menilai kinerja pihak lain berdasarkan apakah kinerja tersebut sejalan dengan kepentingan pribadi orang dalam. Mereka yang berada di luar lingkaran dalam kemudian dievaluasi terutama dalam hal “bersama kita” atau “melawan kita.” Ini adalah situasi yang sulit untuk kita hadapi, namun karena umat kristiani mengukur kesuksesan berdasarkan penilaian Allah, bukan berdasarkan promosi, gaji, atau bahkan kelanjutan pekerjaan, kita mungkin adalah orang-orang yang dapat membawa penebusan bagi organisasi-organisasi korup tersebut. Jika kita mendapati diri kita sebagai penerima manfaat dari sistem yang korup dan mementingkan diri sendiri, kesaksian apa yang lebih baik tentang Kristus yang dapat kita temukan selain membela kepentingan orang lain yang telah dirugikan atau dipinggirkan, bahkan dengan mengorbankan kenyamanan dan keamanan kita sendiri?
Ringkasan dan Kesimpulan 2 Korintus
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsKeadaan unik yang mendorong Paulus untuk menulis 2 Korintus menghasilkan sebuah surat yang berisi banyak pelajaran penting bagi pekerjaan, pekerja, dan tempat kerja. Paulus berulang kali menekankan pentingnya transparansi dan integritas. Ia mendesak para pembacanya untuk berinvestasi dalam hubungan yang baik dan menyenangkan di tempat kerja dan mengupayakan rekonsiliasi ketika hubungan rusak. Ia mengukur pekerjaan yang rohani dalam hal pelayanan, kepemimpinan, kerendahan hati, kemurahan hati, dan reputasi yang kita peroleh melalui tindakan kita. Ia berpendapat bahwa kinerja, akuntabilitas, dan pemenuhan kewajiban tepat waktu merupakan tugas penting orang Kristen di tempat kerja. Ia memberikan standar untuk evaluasi kinerja yang tidak memihak. Ia mengeksplorasi peluang dan tantangan bekerja dengan orang-orang yang tidak beriman. Ia menghimbau kita untuk menggunakan kekayaan yang kita dapatkan dari bekerja demi kebaikan masyarakat, bahkan sampai pada titik di mana kita dapat memanfaatkannya secara setara untuk memberi manfaat bagi orang lain seperti yang kita lakukan untuk memberi manfaat bagi diri kita sendiri. Ia meyakinkan kita bahwa dengan melakukan hal ini kita menambah, bukannya mengurangi, keamanan finansial kita karena kita bergantung pada kekuatan Allah dan bukan pada kelemahan kita sendiri.
Kata-kata Paulus sangat menantang karena ia mengatakan bahwa melayani orang lain, bahkan sampai pada titik penderitaan, adalah cara untuk menjadi efektif dalam perekonomian Allah, sama seperti Yesus sendiri yang menyelamatkan kita melalui penderitaan-Nya di kayu salib. Paulus, meskipun masih jauh dari kesempurnaan ilahi Yesus, bersedia menjalani kehidupannya sebagai sebuah buku yang terbuka, sebuah contoh tentang bagaimana kekuatan Allah mengatasi kelemahan manusia. Karena keterbukaannya, Paulus dapat dipercaya ketika ia menyatakan bahwa bekerja sesuai dengan cara, tujuan, dan nilai-nilai Allah adalah jalan menuju kehidupan yang lebih utuh. Ia menyampaikan kepada kita perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9). Nasihat ini sama pentingnya bagi pekerjaan kita saat ini dan juga bagi jemaat Korintus ketika Paulus menulis surat yang menakjubkan ini.
Ayat-ayat Kunci dan Tema-tema dalam 2 Korintus
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsAyat | Tema |
2 Kor 1:3-4 Terpujilah Allah, Bapa Allah kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh kemurahan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. | Pengalaman kita dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. |
2 Kor 1:12 Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan anugerah Allah. | Transparansi akan meyakinkan orang lain bahwa motif kita murni. |
2 Kor 1:24 Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu. | Kepemimpinan mencakup pelayanan yang meningkatkan sukacita sesama kita. |
2 Kor 2:12-13 Ketika aku tiba di Troas untuk memberitakan Injil Kristus, aku dapati bahwa Allah telah membuka pintu untuk pekerjaan di sana. Tetapi hatiku tidak merasa tenang, karena aku tidak menjumpai saudara seimanku Titus. Sebab itu aku minta diri dan berangkat ke Makedonia. | Hubungan yang sehat harus menempati prioritas tinggi dalam hidup kita. |
2 Kor 2:17 Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang menjajakan firman Allah. Sebaliknya, dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya. | Integritas menuntut ketulusan yang setinggi-tingginya. |
2 Kor 3:1-2, 5-6 Apakah kami mulai lagi memujikan diri kami? Atau perlukah kami seperti orang-orang lain menunjukkan surat pujian kepada kamu atau dari kamu? Kamulah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami, yang dikenal dan dapat dibaca oleh semua orang. … Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. Dialah yang membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan. | Penampakan luar kesuksesan tidak menjamin kompetensi dan integritas. |
2 Kor 4:1-2 Oleh rahmat Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu, kami tidak tawar hati. Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya, kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dinilai menurut hati nurani semua orang di hadapan Allah. | Perilaku kita hendaknya tidak tercela sehingga kita tidak pernah takut diawasi. |
2 Kor 4:5 Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Allah, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus. | Kepemimpinan berarti menjalankan otoritas demi kebaikan orang lain. |
2 Kor 4:7-11 Tetapi harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak hancur terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. | Jika kita menggambarkan diri kita lebih kuat dari yang sebenarnya, kita kehilangan kesempatan untuk menunjukkan sumber kekuatan kita yang sejati. |
2 Kor 5:10 Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. | Cara kita berperilaku penting bagi Allah. |
2 Kor 6:11, 7:2 Hai orang Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu. … Berilah tempat bagi kami di dalam hati kamu! Kami tidak pernah berbuat salah terhadap seorang pun, tidak seorang pun yang kami rugikan, dan kami tidak mencari untung dari seorang pun. | Transparansi akan memberikan bukti integritas. |
2 Kor 7:4, 14 Aku sangat berterus terang terhadap kamu; tetapi aku juga sangat memegahkan kamu. … Aku memegahkan kamu kepadanya, dan kamu tidak mengecewakan aku. Kami senantiasa mengatakan apa yang benar kepada kamu, demikian juga kemegahan kami di hadapan Titus sudah ternyata benar. | Kita tidak boleh kikir memuji karya sesame kita. |
2 Kor 8:7 Karena itu, sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu — dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami — demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini. | Tumbuhnya kemurahan hati merupakan tanda tumbuhnya iman. |
2 Kor 8:10-11 Inilah pendapatku tentang hal itu, yang mungkin berfaedah bagimu. Memang sudah sejak tahun yang lalu kamu mulai melaksanakannya dan mengambil keputusan untuk menyelesaikannya juga. Selesaikan jugalah pelaksanaannya itu sekarang! Hendaklah pelaksanaannya sepadan dengan kerelaanmu, dan lakukanlah itu dengan apa yang ada padamu. | Kita harus menepati komitmen kita secara tepat waktu. |
2 Kor 8:13-15 Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan." | Orang percaya yang berkecukupan bertanggung jawab membantu orang yang membutuhkan. |
2 Kor 9:8-11 Lagi pula, Allah sanggup melimpahkan segala anugerah kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam berbagai perbuatan baik. 9Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, Ia memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya." Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami. | Jika kita menggunakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sesama , Allah berjanji akan memeliharakan kita. |
2 Kor 10:12, 18 Memang kami tidak berani menggolongkan atau membandingkan diri kami dengan orang-orang tertentu yang memuji diri sendiri. Mereka mengukur dirinya dengan ukuran mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan diri mereka sendiri. Alangkah bodohnya mereka! … Sebab bukan orang yang memuji diri yang tahan uji, melainkan orang yang dipuji Allah. | Kita hendaknya mengukur diri kita berdasarkan standar Allah dan hanya mencari pujian dari-Nya. |
2 Kor 12:9-10 Tetapi jawab Allah kepadaku, "Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesengsaraan karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. | Allah dimuliakan ketika kita bertahan dalam kesulitan. |
2 Kor 12:14 Sesungguhnya sekarang sudah untuk ketiga kalinya aku siap untuk mengunjungi kamu, dan aku tidak akan merupakan suatu beban bagi kamu. Sebab bukan hartamu yang kucari, melainkan kamu sendiri. Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya. | Kita harus berupaya mencapai kemandirian finansial agar dapat membantu orang lain. |
2 Kor 13:11 Akhirnya, Saudara-saudaraku, bersukacitalah, usahakanlah dirimu supaya sempurna. Terimalah segala nasihatku! Sehati sepikirlah kamu, dan hiduplah dalam damai sejahtera; maka Allah, sumber kasih dan damai sejahtera akan menyertai kamu! | Beberapa pedoman sederhana akan menjamin perdamaian. |