Bootstrap

Memimpin dan Melayani (2 Korintus 4)

Bible Commentary / Produced by TOW Project
Leading serving 72

Dua Korintus 4 menyatukan tema-tema yang berkaitan erat dalam pekerjaan Paulus—transparansi, kerendahan hati, kelemahan, kepemimpinan, dan pelayanan. Karena kita melihat Paulus bekerja dalam situasi kehidupan nyata, tema-tema tersebut saling terkait ketika Paulus menceritakan kisahnya. Namun kita akan mencoba membahas tema-tema tersebut satu per satu agar dapat mendalami masing-masing tema sejelas mungkin.

Transparansi dan Kerendahan Hati (2 Korintus 4)

Dalam pasal 4 Paulus kembali ke tema transparansi, seperti yang kita bahas dalam pembahasan 2 Korintus 1:12-23. Kali ini ia menekankan pentingnya kerendahan hati untuk menjaga transparansi. Jika kita ingin membiarkan semua orang melihat kenyataan hidup dan pekerjaan kita, sebaiknya kita bersiap untuk rendah hati.

Tentu saja, akan lebih mudah untuk bersikap transparan terhadap orang lain jika kita tidak menyembunyikan apa pun. Paulus sendiri berkata, “Kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan” (2Kor. 4:2). Namun transparansi mengharuskan kita tetap terbuka, meskipun kita telah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sebenar-benarnya, kita semua rentan terhadap niat dan pelaksanaan yang keliru. “Harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat,” Paulus mengingatkan kita (2Kor. 4:7), mengacu pada bejana-bejana rumah tangga pada zamannya yang terbuat dari tanah liat biasa dan mudah pecah. Siapa pun yang mengunjungi puing-puing Timur Dekat Kuno dapat bersaksi tentang pecahan perabot yang berserakan di mana-mana. Paulus kemudian memperkuat gagasan ini dengan menceritakan bahwa Allah memberinya “duri dalam daging” untuk mengendalikan kesombongannya (2Kor. 12:7).

Menjaga transparansi ketika kita mengetahui kelemahan kita memerlukan kerendahan hati dan terutama kesediaan untuk menyampaikan permintaan maaf yang tulus. Banyak permintaan maaf yang disampaikan oleh tokoh masyarakat terdengar lebih seperti pembenaran terselubung dibandingkan permintaan maaf yang sebenarnya. Hal ini mungkin terjadi karena, jika kita bergantung pada diri kita sendiri sebagai sumber kepercayaan diri kita, meminta maaf berarti mempertaruhkan kemampuan kita untuk terus melakukannya. Namun keyakinan diri Paulus bukanlah pada kebenaran atau kemampuannya sendiri, namun pada ketergantungannya pada kuasa Allah. “Harta ini kami miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2Kor. 4:7). Jika kita juga mengakui bahwa hal-hal baik yang kita capai bukanlah cerminan diri kita, melainkan cerminan Tuhan kita, maka mungkin kita bisa memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan kita dan berharap kepada Allah untuk mengembalikan kita ke jalur yang benar. Paling tidak, kita bisa berhenti merasa bahwa kita harus menjaga citra kita dengan cara apa pun, termasuk dengan menipu orang lain.

Weakness as the Source of Strength (2 Corinthians 4)

Namun, kelemahan kita bukan hanya tantangan terhadap transparansi kita. Ini sebenarnya adalah sumber dari kemampuan kita yang sejati. Menahan penderitaan bukanlah sebuah efek samping yang disayangkan yang dialami dalam beberapa keadaan; ini adalah cara nyata untuk mewujudkan pencapaian sejati. Sebagaimana kuasa kebangkitan Yesus muncul karena penyaliban-Nya,[7] demikian pula ketabahan para rasul di tengah penderitaan membuktikan fakta bahwa kuasa yang sama sedang bekerja di dalam diri mereka.

Dalam budaya kita, seperti halnya di Korintus, kita memamerkan kekuatan dan kehebatan karena kita merasa hal-hal tersebut diperlukan untuk menaiki tangga kesuksesan. Kita mencoba meyakinkan orang-orang bahwa kita lebih kuat, lebih pintar, dan lebih kompeten daripada yang sebenarnya. Oleh karena itu, pesan Paulus tentang kerentanan mungkin terdengar sulit bagi kita. Apakah terlihat jelas dalam cara Anda melakukan pekerjaan Anda bahwa kekuatan dan vitalitas yang Anda pancarkan bukanlah kekuatan Anda sendiri, melainkan kekuatan Allah yang terlihat dalam kelemahan Anda? Saat Anda menerima pujian, apakah Anda membiarkannya menambah aura cemerlang Anda? Atau apakah Anda menceritakan bagaimana Allah—mungkin bekerja melalui orang lain—memungkinkan Anda melampaui potensi diri Anda? Kita biasanya ingin orang menganggap kita sangat kompeten. Namun bukankah orang yang paling kita kagumi adalah orang yang membantu sesama menggunakan karunia mereka?

Jika kita bertahan dalam keadaan sulit tanpa berusaha menyembunyikannya, akan terlihat jelas bahwa kita mempunyai sumber kekuatan di luar diri kita, yaitu kekuatan yang mempengaruhi kebangkitan Yesus dari kematian.

Melayani Sesama dengan Memimpin (2 Korintus 4)

Kerendahan hati dan kelemahan tidak akan tertahankan jika tujuan hidup kita adalah untuk menjadikan diri kita hebat. Namun pelayanan, bukan kebesaran, adalah tujuan orang Kristen. “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus.” (2Kor. 4:5). Ayat ini adalah salah satu pernyataan klasik alkitabiah tentang konsep yang kemudian dikenal sebagai “kepemimpinan yang melayani.” Paulus, pemimpin terkemuka gerakan Kristen di luar Palestina, menyebut dirinya “hambamu karena kehendak Yesus” (2Kor. 4:5).

Sekali lagi, Paulus tampaknya sedang merefleksikan ajaran Yesus sendiri di sini (lihat 2Kor. 1:24 di atas). Sebagai pemimpin, Yesus dan para pengikut-Nya melayani sesama. Wawasan Kristen yang mendasar ini harus mempengaruhi sikap kita dalam posisi kepemimpinan mana pun. Hal ini tidak berarti kita tidak menjalankan wewenang yang sah atau kita memimpin dengan ragu-ragu. Sebaliknya, hal ini menyiratkan bahwa kita menggunakan posisi dan kekuasaan kita untuk meningkatkan kesejahteraan sesama dan bukan hanya kesejahteraan kita sendiri. Pada kenyataannya, kata-kata Paulus “hambamu karena kehendak Yesus” lebih tegas daripada yang terlihat pada pandangan pertama. Para pemimpin dipanggil untuk mengutamakan kesejahteraan orang lain dibandingkan kesejahteraan mereka sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh para budak. Seorang budak, seperti yang Yesus tunjukkan, bekerja sepanjang hari di ladang, kemudian masuk dan menyajikan makan malam untuk rumah tangganya, dan baru setelah itu boleh makan dan minum (Lukas 17:7-10).

Memimpin sesama dengan melayani pasti akan membawa penderitaan. Dunia ini terlalu rusak bagi kita untuk membayangkan ada kemungkinan untuk lepas dari penderitaan saat melayani. Paulus mengalami kesengsaraan, kebingungan, dan penganiayaan sampai hampir mati (2Kor. 4:8-12). Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh menerima posisi kepemimpinan kecuali kita bermaksud mengorbankan hak istimewa untuk mengurus diri sendiri sebelum mengurus orang lain.