Bootstrap

Efesus dan Kerja

Bible Commentary / Produced by TOW Project
Ephesians

Sebab itu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, menasihatkan kamu, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. (Ef. 4:1)

Pengantar Efesus

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Apa peran pekerjaan kita dalam skema agung dunia ini? Apakah kerja hanyalah sebuah aktivitas yang perlu kita jalani dalam hidup? Atau apakah kerja juga merupakan tempat di mana kita menemukan makna, penyembuhan, dan integrasi pribadi?[1] Apakah kerja kita memiliki tempat dalam kosmos ciptaan Allah? Apakah hal ini ada artinya jika dibandingkan dengan pekerjaan Kristus dalam menebus dunia?

Surat kepada jemaat di Efesus menceritakan kisah karya kosmis Allah, dimulai sebelum penciptaan dunia, berlanjut dalam karya penebusan Kristus, dan berlanjut hingga saat ini dan seterusnya. Semua ini menarik kita ke dalam karya ini baik sebagai pengamat drama yang terkagum-kagum maupun sebagai partisipan aktif dalam pekerjaan Allah.

Karenanya surat Efesus memberikan sudut pandang baru, bukan hanya tentang Allah tetapi juga tentang diri kita sendiri. Kehidupan kita, tindakan kita, dan pekerjaan kita mempunyai makna yang segar. Kita hidup secara berbeda, kita beribadah secara berbeda, dan kita bekerja secara berbeda karena apa yang telah dan sedang dilakukan Allah di dalam Kristus. Kita melakukan apa yang kita lakukan dalam hidup kita, termasuk kehidupan profesional kita, sebagai respons terhadap kegiatan penyelamatan Allah dan dalam memenuhi tugas yang telah Dia berikan kepada kita untuk bekerja sama dengan-Nya. Kita masing-masing telah dipanggil oleh Allah untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Allah di dunia (Ef. 4:1).

Surat yang kita kenal sebagai “Efesus” serupa dan berbeda dari surat-surat Perjanjian Baru lainnya yang dikaitkan dengan Rasul Paulus. Surat ini paling mirip dengan surat Kolose, yang memiliki tema, struktur, dan bahkan kalimat yang sama (Ef. 6:21–22; Kol. 4:7–8).[2] Surat Efesus berbeda dari surat-surat Paulus lainnya dalam gayanya memuliakan Allah, kosa katanya yang khas, dan dalam beberapa perspektif teologisnya. Terlebih lagi, surat ini kurang berorientasi pada situasi tertentu dalam kehidupan gereja tertentu dibandingkan surat-surat Paulus lainnya.[3] Dalam tafsiran ini, penulisnya diasumsikan adalah Paulus.

Bukannya berfokus pada kebutuhan satu jemaat tertentu, surat Efesus menyajikan perspektif teologis yang luas mengenai pekerjaan Allah di alam semesta dan peran sentral gereja Yesus Kristus dalam pekerjaan itu. Setiap orang percaya berkontribusi dalam upaya gerejawi ini sebagai orang yang “diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik” (Ef. 2:10) dan berperan penting bagi pertumbuhan dan pelayanan gereja (Ef. 4:15–16).

Rencana Besar Allah: Sebuah Visi Teologis (Efesus 1:1–3:21)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Paruh pertama kitab Efesus menyingkapkan kisah besar penyelamatan Allah atas seluruh alam semesta. Bahkan sebelum “dunia dijadikan,” Allah dengan penuh kasih karunia memilih kita di dalam Kristus untuk berhubungan dengan-Nya dan untuk mewujudkan tujuan-Nya di dunia (Ef. 1:4-6). Inti dari tujuan ini, Allah akan “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang ada di bumi” (Ef. 1:10). Dengan kata lain, Allah akan memulihkan seluruh kosmos, yang pernah rusak karena dosa, di bawah otoritas Kristus. Fakta bahwa Allah akan merenovasi ciptaan-Nya mengingatkan kita bahwa dunia ini—termasuk pertanian, sekolah, dan perusahaan—adalah penting bagi Allah dan tidak ditinggalkan oleh-Nya.

Karya pemulihan Allah, yang berpusat pada Kristus, melibatkan umat manusia, baik sebagai penerima kasih karunia Allah maupun sebagai partisipan dalam pekerjaan pemulihan penuh kasih karunia-Nya yang berkelanjutan. Kita diselamatkan karena kasih karunia oleh iman, bukan karena perbuatan kita (Ef. 2:8-9). Namun perbuatan kita penting bagi Allah, “karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2:10). Jadi kita diselamatkan bukan karena perbuatan, melainkan untuk perbuatan. Perbuatan ini, termasuk semua yang kita lakukan, adalah bagian dari pembaruan ciptaan Allah. Oleh karena itu, aktivitas kita di tempat kerja merupakan salah satu elemen penting yang telah Allah persiapkan untuk kita lakukan guna memenuhi tujuan-Nya bagi kita.

Gereja menonjol dalam rencana Allah untuk menyatukan kembali dunia di dalam Kristus. Kematian-Nya di kayu salib tidak hanya memungkinkan keselamatan pribadi kita (Ef. 2:4-7), namun juga memperbaiki perpecahan antara orang Yahudi dan non-Yahudi (Ef. 2:13-18). Kesatuan antar para mantan musuh ini merupakan lambang karya Allah yang mempersatukan. Dengan demikian, gereja berfungsi sebagai demonstrasi kepada seluruh alam semesta tentang hakikat dan keberhasilan utama rencana kosmis Allah (Ef. 3:9-10). Namun gereja bukan sekadar kumpulan orang-orang yang berkumpul seminggu sekali untuk melakukan kegiatan keagamaan bersama. Sebaliknya, gereja adalah komunitas semua orang percaya, yang melakukan segala sesuatu yang mereka lakukan di semua bidang kehidupan, baik bekerja bersama-sama atau sendiri-sendiri. Dalam setiap bidang kehidupan, kita memiliki “Dia yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,” (Ef. 3:20). Perhatikan bahwa Paulus menggunakan istilah sipil “kawan sewarga” (Ef. 2:19) untuk menggambarkan orang Kristen, bukan istilah religius “orang percaya.” Bahkan, surat Efesus tidak memberikan instruksi apa pun tentang apa yang harus dilakukan gereja ketika berkumpul, namun beberapa instruksi tentang bagaimana anggotanya harus bekerja, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi.

Rencana Besar Tuhan: Panduan Praktis (Efesus 4:1–6:24)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Paruh kedua surat Efesus dimulai dengan sebuah nasihat untuk menjalani visi paruh pertama surat ini. “Sebab itu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, menasihatkan kamu, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef. 4:1). Setiap orang Kristen memiliki bagian dalam panggilan ini. Jadi panggilan kita yang terdalam dan sesungguhnya (dari kata Latin yang berarti “panggilan”) adalah melakukan bagian kita untuk memajukan misi Allah yang multifaset di dunia. Panggilan ini membentuk segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup, termasuk pekerjaan kita—atau apa yang terkadang kita sebut sebagai “panggilan” kita. Tentu saja, Allah mungkin membimbing kita pada pekerjaan tertentu untuk mengekspresikan panggilan mendasar kita untuk hidup demi kemuliaan Allah (Ef. 1:12). Jadi, sebagai dokter dan pengacara, juru tulis dan pelayan, aktor dan musisi, serta orang tua dan kakek-nenek, kita menjalani kehidupan yang sesuai dengan panggilan kita kepada Kristus dan aktivitas-Nya di dunia.

Bekerja Keras Demi Kebaikan dan Untuk Memberi (Efesus 4:28)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Di antara nasihat praktis dalam Efesus 4–6, ada dua perikop yang secara khusus membahas masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Yang pertama berkaitan dengan tujuan kerja. “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Ef. 4:28). Meskipun ditujukan langsung kepada orang-orang yang mencuri, nasihat Paulus relevan bagi semua orang Kristen. Kata Yunani yang diterjemahkan dalam Alkitab versi NRSV sebagai “dengan tangannya sendiri” (to agathon) secara harafiah berarti “demi kebaikan.” Allah selalu memimpin umat kristiani kepada kebaikan. Tempat kerja adalah tempat yang penting bagi kita untuk melakukan banyak pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan bagi kita (Ef. 2:10).

Melalui pekerjaan kita, kita juga memperoleh sumber daya yang cukup untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, baik secara langsung melalui gereja atau melalui cara lain. Meskipun teologi kerja tidak sama dengan teologi kedermawanan, ayat ini secara eksplisit menghubungkan keduanya. Pesan keseluruhannya adalah bahwa tujuan bekerja adalah untuk berbuat baik, baik melalui apa yang kita capai secara langsung maupun melalui apa yang memungkinkan kita berikan kepada orang lain di luar pekerjaan melalui pekerjaan kita.

Kebersamaan dalam Bekerja bagi Tuhan (Efesus 5:21–6:9)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Pertimbangan praktis kedua adalah hubungan. Panggilan kita sebagai orang Kristen berdampak pada hubungan-hubungan dasar kita, khususnya dalam keluarga dan tempat kerja. (Sebelum era industri, rumah tangga sama-sama merupakan tempat kehidupan keluarga dan tempat bekerja.) Efesus 5:21–6:9 menggarisbawahi hal ini dengan memasukkan petunjuk khusus mengenai hubungan dalam rumah tangga (istri/suami, anak/ayah, hamba /tuan). Daftar semacam ini umum dalam wacana moral di dunia Yunani-Romawi dan terwakili dalam Perjanjian Baru (lihat, misalnya, Kol. 3:18–4:1 dan 1Ptr. 2:13–3:12).[1]

Kita khususnya tertarik pada Efesus 6:5–9, sebuah ayat yang membahas hubungan antara hamba dan tuan. Paulus berbicara kepada orang-orang Kristen yang menjadi tuan, orang-orang Kristen yang menjadi hamba di bawah tuan-tuan Kristen, dan orang-orang Kristen yang menjadi hamba di bawah tuan-tuan yang tidak beriman. Teks ini mirip dengan bagian paralel dalam Kolose (Kol. 3:22–4:1). (Lihat “Kolose” dalam “Kolose & Filemon dan Kerja” untuk mengetahui latar belakang sejarah perhambaan di Kekaisaran Romawi abad pertama, yang berguna untuk memahami bagian dalam Efesus ini.) Untuk meringkaskan secara singkat, perhambaan Romawi memiliki persamaan dan perbedaan dari pekerjaan berbayar di abad kedua puluh satu. Persamaan utamanya adalah bahwa hamba zaman dahulu dan pekerja masa kini bekerja di bawah otoritas majikan atau pengawas. Berkenaan dengan pekerjaan itu sendiri, kedua kelompok ini mempunyai kewajiban untuk memenuhi harapan pihak yang berwenang atas pekerjaan mereka. Perbedaan utamanya adalah bahwa para hamba zaman dahulu (dan juga hamba-hamba di zaman modern) tidak hanya berutang pekerjaan mereka tetapi juga kehidupan mereka kepada majikan mereka. Hamba tidak bisa berhenti bekerja, mereka mempunyai hak hukum dan pemulihan yang terbatas atas penganiayaan, mereka tidak menerima gaji atau kompensasi atas pekerjaan mereka, dan mereka tidak bisa menegosiasikan kondisi kerja. Singkatnya, ruang lingkup penyalahgunaan kekuasaan oleh majikan terhadap hamba jauh lebih besar dibandingkan penyalahgunaan kekuasaan oleh supervisor terhadap pekerja.

Kita akan mulai dengan menjelajahi bagian Efesus ini dalam kaitannya dengan hamba yang sebenarnya. Kemudian kita akan mempertimbangkan penerapannya pada bentuk tenaga kerja berbayar yang mendominasi negara-negara maju saat ini.

Hamba Kristus (Efesus 6:6–8)
Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Surat kepada jemaat di Efesus mendorong para hamba untuk melihat diri mereka sebagai “hamba Kristus” yang “dengan segenap hati melakukan kehendak” Allah daripada tuan manusia mereka (Ef. 6:6-7). Fakta bahwa pekerjaan mereka adalah untuk Kristus akan mendorong mereka untuk bekerja keras dan baik. Oleh karena itu, kata-kata Paulus menjadi penghiburan ketika para tuan memerintahkan para hamba untuk melakukan pekerjaan yang baik. Dalam hal ini, Allah akan memberi balasan bagi si hamba (Ef. 6:8) meskipun tuannya tidak memberikannya, seperti yang biasanya terjadi pada hamba (Lukas 17:8).

Namun mengapa bekerja keras demi tuan di dunia berarti “melakukan kehendak Allah” (Ef. 6:6)? Tentunya seorang majikan bisa saja memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan yang jauh dari kehendak Allah—menganiaya hamba lain, menipu pelanggan, atau merambah ladang orang lain. Paulus menjelaskan, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus” (Ef. 6:5). Hamba hanya dapat melakukan bagi tuannya apa yang dapat dilakukan bagi Kristus. Jika seorang majikan memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan jahat, maka kata-kata Paulus sangat menantang, karena hamba tersebut harus menolak perintah majikannya. Hal ini setidaknya dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian, perintah Paulus tidak bisa dihindari. “Dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia” (Ef. 6:7). Perintah Tuhan melampaui perintah tuan mana pun. Memang benar, apa lagi arti “kebulatan hati” jika bukan mengesampingkan setiap perintah yang bertentangan dengan kewajiban kepada Kristus? “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan,” kata Yesus (Mat. 6:24). Hukuman karena tidak menaati tuan di bumi mungkin menakutkan, namun mungkin perlu ditanggung agar dapat bekerja “seperti bagi Tuhan.”

Tuan Kristen (Efesus 6:5–11)
Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Sungguh kejam jika seorang tuan memaksa seorang hamba untuk memilih antara ketaatan kepada tuannya dan ketaatan kepada Kristus. Oleh karena itu, Paulus mengatakan kepada para tuan untuk “jauhkanlah ancaman” hambanya (Ef. 6:9). Jika para tuan memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan baik, maka ancaman tidak diperlukan. Jika para tuan memerintahkan hambanya melakukan pekerjaan jahat, maka ancaman mereka sama dengan ancaman terhadap Kristus. Seperti dalam surat kepada jemaat Kolose, jemaat Efesus setuju bahwa para tuan harus ingat bahwa mereka mempunyai seorang Tuan di surga. Namun surat Efesus menggarisbawahi fakta bahwa baik bagi hamba maupun tuan, “Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di surga dan Ia tidak memandang muka” (Ef. 6:9). Karena alasan ini, Efesus mengatakan bahwa para tuan harus “perbuatlah demikian juga terhadap mereka” (Ef. 6:9)—yaitu, memberi perintah kepada hamba seolah-olah mereka memberi perintah kepada (atau untuk) Kristus. Dengan mengingat hal ini, tidak ada tuan Kristen yang dapat memerintahkan hambanya untuk melakukan pekerjaan jahat, atau bahkan pekerjaan yang berlebihan. Meskipun perbedaan antara tuan dan hamba di bumi masih tetap ada, hubungan mereka telah diubah dengan adanya seruan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk saling menguntungkan. Kedua belah pihak tunduk kepada Kristus saja “dengan tulus hati” (Ef. 6:5). Tidak ada yang bisa berkuasa atas yang lain, karena hanya Kristus yang menjadi Tuhan (Ef. 6:7). Tidak ada yang bisa mengabaikan kewajiban cinta terhadap satu sama lain. Bagian ini menerima realitas perhambaan secara ekonomi dan budaya, namun mengandung benih subur abolisionisme. Dalam kerajaan Kristus, “tidak ada hamba atau orang merdeka” (Gal. 3:28).

Perhambaan terus berkembang di dunia saat ini, dan hal ini sangat memalukan, meskipun hal ini sering disebut perdagangan manusia atau kerja paksa. Logika batin Efesus 6:5–9, serta kisah Efesus yang lebih luas, memotivasi kita untuk berupaya mengakhiri perhambaan. Namun sebagian besar dari kita tidak akan mengalami perhambaan secara pribadi, baik sebagai hamba atau sebagai tuan. Walaupun demikian, kita menemukan diri kita berada dalam hubungan di tempat kerja di mana seseorang memiliki otoritas atas orang lain. Sebagai analogi, Efesus 6:5-9 mengajarkan baik pengusaha maupun karyawan untuk memerintahkan, melaksanakan, dan memberi penghargaan hanya pada pekerjaan yang dapat dilakukan oleh atau untuk Kristus. Ketika kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang baik, persoalannya sederhana, meski tidak selalu mudah. Kita melakukannya sebaik yang dapat kita lakukan, terlepas dari kompensasi atau penghargaan yang kita terima dari atasan, pelanggan, yang berwenang, atau siapa pun yang berwenang atas kita.

Ketika kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan jahat, situasinya menjadi lebih rumit. Di satu sisi, Paulus mengajar kita untuk “taatilah tuanmu yang di dunia. . . seperti kamu taat kepada Kristus.” Kita tidak bisa dengan entengnya tidak menaati mereka yang berkuasa di dunia atas kita, sama seperti kita tidak bisa dengan entengnya tidak menaati Kristus. Hal ini bahkan menyebabkan beberapa orang mempertanyakan apakah pelaporan pelanggaran (whistleblowing), penghentian kerja, dan pengaduan kepada pihak berwenang adalah sah bagi karyawan Kristen. Paling tidak, perbedaan pendapat atau penilaian tidak dengan sendirinya menjadi alasan yang baik untuk tidak mematuhi perintah yang sah di tempat kerja. Penting untuk tidak merancukan antara “Saya tidak ingin melakukan pekerjaan ini, dan menurut saya tidak adil jika atasan saya menyuruh saya melakukannya” dengan “Adalah bertentangan dengan kehendak Allah jika saya melakukan pekerjaan ini.” Perintah Paulus untuk “taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar” menyiratkan agar kita menaati perintah orang-orang yang berkuasa atas kita, kecuali kita mempunyai alasan yang kuat untuk meyakini bahwa hal itu salah.

Namun Paulus menambahkan bahwa kita menaati tuan-tuan di dunia sebagai cara untuk “dengan segenap hati melakukan kehendak Allah.” Tentu saja, jika kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Allah—misalnya, pelanggaran terhadap perintah atau nilai-nilai Alkitab—maka tugas kita kepada majikan kita yang lebih tinggi (Kristus) adalah menolak perintah yang tidak saleh dari atasan manusia. Pembedaan yang krusial sering kali mengharuskan kita mencari tahu kepentingan siapa yang akan dilayani dengan tidak mematuhi perintah. Jika ketidaktaatan akan melindungi kepentingan orang lain atau komunitas yang lebih luas, maka ada alasan kuat untuk tidak mematuhi perintah tersebut. Jika tidak mematuhi perintah hanya akan melindungi kepentingan pribadi kita, maka kasusnya lebih lemah. Dalam beberapa kasus, melindungi orang lain bahkan dapat membahayakan karier kita atau mengorbankan penghidupan kita. Tidak heran Paulus mengatakan, “hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan” dan “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah” (Ef. 6:10, 11).

Namun tentu saja kita mengekspresikan belas kasihan terhadap mereka—termasuk mungkin diri kita sendiri kadang kala—yang menghadapi pilihan untuk mematuhi perintah yang benar-benar tidak saleh atau menderita kerugian pribadi seperti dipecat, misalnya. Hal ini terutama terjadi pada pekerja yang berada pada tangga ekonomi terbawah, yang mungkin hanya memiliki sedikit alternatif dan tidak memiliki dukungan keuangan. Para pekerja secara rutin diperintahkan untuk melakukan berbagai kejahatan kecil, seperti berbohong (“Katakan padanya saya tidak ada di kantor”), berbuat curang (“Taruh sebotol anggur tambahan di tagihan meja 16—mereka terlalu mabuk untuk menyadarinya), dan penyembahan berhala (“Saya harap Anda bertindak seolah-olah pekerjaan ini adalah hal yang paling penting di dunia bagi Anda”). Apakah kita harus mengundurkan diri atas semuanya itu? Di lain waktu, pekerja mungkin diperintahkan untuk melakukan kejahatan yang serius. “Ancam saja akan menyeret namanya ke dalam lumpur jika ia tidak menyetujui persyaratan kita.” “Cari alasan untuk memecatnya sebelum ia menemukan catatan kendali mutu yang dipalsukan lagi.” “Buanglah ke sungai malam ini saat tidak ada orang di sekitar.” Namun pilihan untuk kehilangan pekerjaan dan melihat keluarga kita jatuh ke dalam kemiskinan mungkin—atau tampak—bahkan lebih buruk daripada mengikuti aturan yang tidak saleh. Sering kali tidak jelas alternatif mana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai alkitabiah dan mana yang kurang sesuai. Kita harus mengakui bahwa keputusan yang diambil bisa jadi rumit. Saat kita ditekan untuk melakukan sesuatu yang salah, kita perlu bergantung pada kuasa Allah untuk bisa berdiri lebih teguh melawan kejahatan lebih dari yang kita yakini bisa kita lakukan. Namun kita juga perlu menjunjung firman Kristus tentang belas kasihan dan pengampunan ketika kita menyadari bahwa orang Kristen tidak dapat mengatasi semua kejahatan di tempat kerja di dunia.

Maka ketika kita adalah pemegang otoritas, kita harus memerintahkan pekerjaan yang diperintahkan Kristus saja. Kita tidak memerintahkan bawahan untuk merugikan diri sendiri atau orang lain demi keuntungan diri sendiri. Kita tidak memerintahkan orang lain untuk melakukan apa yang menurut hati nurani kita tidak akan kita lakukan. Kita tidak mengancam mereka yang menolak melakukan perintah kita karena hati nurani mereka atau karena keadilan. Meskipun kita adalah atasan, kita juga mempunyai atasan kita sendiri, dan orang-orang Kristen yang berkuasa masih mempunyai kewajiban yang lebih tinggi untuk melayani Allah melalui cara kita memerintah orang lain. Kita adalah hamba Kristus, dan kita tidak mempunyai wewenang untuk memerintah atau menaati orang lain dengan menentang Kristus. Bagi kita masing-masing, tidak peduli posisi kita di tempat kerja, pekerjaan kita adalah cara untuk melayani—atau gagal untuk melayani—Allah.

Ringkasan & Kesimpulan Efesus

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Hanya beberapa ayat dalam kitab Efesus yang membahas secara khusus tentang tempat kerja dan bahkan ayat-ayat ini ditujukan kepada pencuri, hamba, dan majikan. Namun ketika kita melihat sekilas bagaimana Allah memulihkan seluruh ciptaan melalui Kristus, dan ketika kita menemukan bahwa pekerjaan kita memainkan peran penting dalam rencana tersebut, maka tempat kerja kita menjadi konteks utama bagi kita untuk melakukan pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan bagi kita. Surat Efesus tidak memberi tahu kita secara spesifik pekerjaan baik apa yang telah Allah persiapkan bagi kita masing-masing dalam pekerjaan kita. Kita harus mencari sumber lain untuk membedakannya. Namun surat ini mengajar kita bahwa Allah memanggil kita untuk melakukan semua pekerjaan kita demi kebaikan. Hubungan dan sikap di tempat kerja diubahkan ketika kita melihat diri kita sendiri dan rekan kerja kita terutama dalam hal hubungan kita dengan Yesus Kristus, satu-satunya Tuhan yang sejati.

Surat Efesus mendorong kita untuk mengambil perspektif baru dalam hidup kita, dimana pekerjaan kita merupakan hasil dari pekerjaan Allah sendiri dalam menciptakan dunia dan menebusnya dari dosa. Kita bekerja sebagai respons terhadap panggilan Allah untuk mengikuti Yesus dalam setiap aspek kehidupan kami (Ef. 4:1). Dalam kerja, kita menemukan kesempatan untuk melakukan banyak pekerjaan baik yang Allah ingin kita lakukan. Jadi, di kantor, pabrik, sekolah, rumah tangga, toko, dan tempat kerja lainnya, kita mempunyai kesempatan untuk “dengan rela menjalankan pelayanannya” kepada Tuhan (Ef. 6:7).