Bootstrap

Matius dan Kerja

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Matthew

Pengantar Kepada Kitab Matius

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kerja adalah komponen penting dari kerajaan Allah. Matius, pemungut cukai yang kemudian menjadi rasul, menceritakan tindakan dan ajaran Yesus untuk menunjukkan kepada kita bagaimana Allah menginginkan kita untuk hidup dan bekerja di kerajaan baru-Nya. Sebagai pengikut Yesus Kristus, kita hidup di dua dunia. Kita berdiri dengan satu kaki di dunia manusia, di mana pekerjaan kita mungkin harus mengikuti ekspektasi tak terucapkan yang bisa sesuai ataupun tidak sesuai dengan jalan Allah. Pada saat yang sama, sebagai orang Kristen kita adalah warga kerajaan Allah, berkomitmen pada nilai-nilai dan harapan-harapan-Nya. Dalam menceritakan kisah Yesus, Matius menunjukkan kepada kita cara menjelajahi dunia manusia dengan menggunakan kompas Allah. Dengan melakukannya, ia terus-menerus mengarahkan kita kepada identitas sejati dunia sebagai "kerajaan surga". (Matius menggunakan “kerajaan surga” dan “kerajaan Allah” secara bergantian; lihat Matius 19:23-24). Kerajaan ini “telah datang” ke dunia, meskipun belum terwujud sepenuhnya di sini. Sampai kerajaan ini tergenapi sepenuhnya, para pengikut Yesus harus hidup dan bekerja sesuai dengan panggilan Allah sebagai “orang asing”[1] di dunia sekarang ini.

Untuk memandu kita dalam cara hidup dan bekerja ini, Yesus membahas urusan-urusan di tempat kerja seperti kepemimpinan dan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, praktik bisnis yang adil dan tidak adil, kebenaran dan penipuan, perlakuan terhadap pekerja, penyelesaian konflik, kekayaan dan kebutuhan hidup, relasi-relasi di tempat kerja, investasi dan tabungan, istirahat, dan bekerja dalam organisasi-organisasi yang memiliki kebijakan dan praktik bertentangan dengan norma-norma alkitabiah.

Kerajaan Surga Sudah Dekat (Matius)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada awal pelayanan-Nya di bumi, Yesus menyatakan bahwa “Kerajaan Surga sudah dekat” (Matius 4:17). Ketika kita membaca “kerajaan surga,” kita mungkin berpikir tentang kecapi, awan, dan paduan suara malaikat, tetapi Yesus jelas mengatakan bahwa kerajaan surga mengacu pada berkuasanya Allah di bumi. Kerajaan surga ”sudah dekat.” Kerajaan surga telah datang ke dunia ini.

Konsekuensi di tempat kerja dari hidup dalam kerajaan Allah sangat mendalam. Kerajaan-kerajaan berkaitan dengan pemerintahan, ekonomi, pertanian, produksi, keadilan, pertahanan—isu-isu yang kita lihat di sebagian besar tempat kerja. Ajaran Yesus, seperti yang dicatat oleh Matius, berbicara secara langsung kepada kehidupan kita di tempat kerja. Dalam Khotbah di Bukit, Dia memperkenalkan para pengikut-Nya kepada nilai, etika, dan praktik kerajaan baru ini. Dalam Doa Bapa Kami, Dia mengajarkan mereka untuk berdoa, “Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Matius 6:10). Injil Matius diakhiri dengan Yesus menugaskan para pengikut-Nya untuk pergi dan bekerja di seluruh dunia karena Dia telah menerima "segala kuasa di surga dan di bumi" dan akan ada bersama mereka dalam pekerjaan mereka di bumi (Matius 28:19-20). Matius jelas berkata bahwa kerajaan ini tidak akan sepenuhnya terwujud di bumi seperti yang kita kenal, tetapi akan mencapai penggenapannya ketika kita melihat “Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Matius 24:30). Sementara itu, kita berpaling dari cara kerja lama, sehingga cara baru kerajaan surga terlihat dalam diri kita saat kita hidup. Bahkan sekarang, kita bekerja menurut nilai-nilai dan praktiknya.

Bekerja Sebagai Warganegara Kerajaan Allah (Matius 1-4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita hidup dalam masa yang oleh para teolog disebut “sudah, tetapi belum.” Kerajaan surga telah ditahbiskan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi, tetapi belum terwujud sepenuhnya—sampai Kristus datang kembali sebagai pribadi Raja. Sementara itu, hidup kita—termasuk kerja kita, waktu senggang kita, ibadah kita, sukacita kita, dan dukacita kita—dibingkai oleh kenyataan hidup di dunia yang sebagian dikendalikan oleh cara-cara lama dan korup akibat Kejatuhan (Kejadian 3), namun sebagian lagi dikendalikan oleh Tuhannya yang sejati, Kristus. Sebagai orang Kristen, kita menempatkan diri kita sepenuhnya di bawah Yesus sebagai Tuhan. Kebiasaan kita di bumi sekarang mencerminkan kerajaan surga yang akan datang. Ini bukan menyombongkan diri bahwa kita lebih saleh daripada yang lain, tetapi menerima tantangan untuk bertumbuh di jalan Allah. Allah memanggil umat-Nya kepada berbagai peran dan pekerjaan di bumi. Dalam semua peran dan pekerjaan ini, kita harus menjalani realitas sejati: pemerintahan Allah yang datang dari surga ke bumi.

Pada saat yang sama, kita tidak dapat menghindari kebobrokan dunia yang disebabkan oleh Kejatuhan, termasuk kematian (1 Korintus 15:15-26), dosa (Yohanes 1:29), dan Iblis (Wahyu 12:9). Yesus sendiri mengalami penderitaan yang mengerikan, meskipun sementara, di tangan orang-orang berdosa. Mungkin kita pun demikian. Dalam kerja kita, kita mungkin sangat menderita melalui kerja paksa, pengangguran permanen, bahkan kematian terkait pekerjaan. Atau kita mungkin mengalami penderitaan-penderitaan yang lebih kecil ketika kita berurusan dengan rekan kerja yang menantang, kondisi kerja yang tidak menyenangkan, promosi yang layak tetapi tidak diterima, atau ribuan halangan lainnya. Terkadang kita mengalami konsekuensi-konsekuensi dosa kita sendiri di tempat kerja. Orang lain mungkin lebih menderita daripada kita, tetapi kita semua dapat belajar dari Injil Matius tentang cara hidup sebagai pengikut Kristus di dunia yang telah jatuh dalam dosa.

Yesus Sang Mesias (Matius 1-2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pasal-pasal pembukaan Injil Matius menceritakan berbagai kisah yang berurutan dengan cepat yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang kedatangan-Nya mentahbiskan terjadinya kerajaan surga di bumi. Kisah-kisah itu menjelaskan siapa Yesus dalam hal penggenapan Kitab Suci (Mesias) dan menunjukkan bahwa kedatangan-Nya ke dunia adalah titik pusat dari semua urusan Allah dengan umat manusia. Injil Matius dimulai dengan suatu penjelasan tentang garis keturunan dan kelahiran Yesus: bayi di palungan Betlehem yang ada dalam garis keturunan raja besar Israel, Daud, dan adalah seorang Ibrani sejati, yang leluhurnya bisa dilacak sampai ke Abraham (Matius 1:1-2 :23). Dengan setiap cerita, acuan Matius kepada Kitab Suci Perjanjian Lama menunjukkan bagaimana kedatangan Yesus mencerminkan teks kuno tertentu. [1] Kita mendengarkan Yesus karena Dia adalah Yang diurapi Tuhan, Mesias yang dijanjikan, Allah yang datang ke dunia dalam diri manusia (Yohanes 1: 14).

Kisah orang majus (NRSV menerjemahkannya, "orang bijak") terutama sangat relevan dengan kerja. Menurut Daniel 1:20, 2:27, dan 5:15 dan Kis 8:9, dan 13:6-8, orang majus adalah astrolog yang mengamati bintang-bintang untuk menafsirkan mimpi dan mempraktekkan keajaiban-keajaiban lainnya. Baik Daniel maupun Lukas (dalam kitab Kisah Para Rasul) memandang rendah profesi mereka, memandang mereka sebagai penipu atau nabi palsu. Namun demikian, dalam pekerjaan mengamati bintang-bintang, mereka melihat sekilas realitas kuasa Tuhan di dunia. Pekerjaan mereka, meskipun bercacat, membimbing mereka untuk mengakui Yesus sebagai anak Allah. Tanggapan mereka adalah beribadah dengan sebaik-baiknya. Perhatikan kemurahan hati mereka, suatu kebajikan yang sangat dihargai Allah dalam keseluruhan Alkitab. Bandingkan mereka dengan Herodes, yang meskipun berasal dari komunitas beriman, bereaksi terhadap penemuan orang-orang bijak ini dengan permusuhan. Sulit membayangkan tanggapan yang lebih tidak murah hati daripada tanggapannya. Kontras ini menunjukkan bagaimana kasih karunia Tuhan menjangkau semua orang dan seluruh kosmos, bukan hanya untuk orang percaya. Sebaliknya, umat Allah terus terjerumus ke dalam dosa, sedangkan moralitas orang yang tidak beriman bisa menjadi teladan.

Mungkinkah Allah masih menarik orang-orang yang tidak beriman kepada-Nya melalui pekerjaan mereka, termasuk para pekerja di bidang sains, alam, atau dunia materi? Seperti yang dikatakan Paulus, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1:20). Ini ada aplikasinya ketika kita berbicara tentang Kristus di tempat kerja. Meskipun kita mungkin berpikir bahwa kita berbicara tentang Kristus kepada orang-orang yang tidak mengenal-Nya, mungkin sebenarnya Allah sudah membuat diri-Nya dikenal melalui pekerjaan mereka, seperti yang Dia lakukan dengan orang-orang majus. Kita mungkin lebih efektif jika kita menyadari bahwa apa yang sebenarnya kita lakukan adalah membantu rekan kerja menyebutkan dan menghargai hadirat Allah yang telah diungkapkan oleh pekerjaan mereka kepada mereka. Dan kita sendiri mungkin melakukannya dengan baik untuk mengakui kehadiran Allah dalam pekerjaan kita. Orang Kristen sering memperlakukan pekerjaan sekuler dengan kecurigaan, seolah-olah pengetahuan dan keterampilan yang digunakan di sana merusak iman. Sebaliknya, bagaimana jika kita dapat mengenali bagaimana semua jenis pekerjaan mengungkapkan karya tangan dan kehadiran Allah. Apakah mengenali kehadiran Allah dalam pekerjaan sehari-hari sebenarnya memperkuat iman kita?

Untuk memperoleh gagasan-gagasan tentang bagaimana gereja dapat menggabungkan sains dalam ibadah, lihat “Science and Faith in Harmony: Positive ways to include science in worship” (Sains dan Iman dalam Harmoni: Cara-cara positif untuk memasukkan sains dalam ibadah) dari Calvin Institute of Christian Worship.

Yesus Memanggil Para Murid (Matius 3-4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hampir tiga puluh tahun telah berlalu antara pasal dua dan tiga. Yohanes Pembaptis mengungkapkan identitas Yesus yang sebenarnya sebagai Anak Allah kepada orang banyak di Sungai Yordan (Mat. 3:17). Kemudian Yesus, setelah dibaptis oleh Yohanes, berhasil mengatasi pencobaan Iblis di padang gurun (Matius 4:1-11) berbeda dengan Adam atau bangsa Israel yang gagal. (Untuk informasi lebih lanjut tentang pencobaan Yesus, lihat "Lukas 4:1-13" dalam Luke and Work di www.theologyofwork.org.) Dalam bagian ini, kita meninjau akar kuno dari kerajaan yang akan datang: yaitu "Israel" sebagaimana yang dimaksudkan Allah pada awalnya. Dan kita melihat aspek revolusionernya; hal itu membawa kemenangan atas penguasa dunia yang telah jatuh.

Kerja adalah elemen penting dari maksud Allah bagi dunia. Ketika Allah menciptakan Adam, Dia segera memberinya sesuatu untuk dikerjakan (Kejadian 2:15); di sepanjang Perjanjian Lama, umat Allah juga diberikan pekerjaan untuk dilakukan (Keluaran 20:9). Seharusnya tidak mengejutkan bahwa Yesus juga adalah seorang pekerja (Mat. 13:55). Baptisan Yesus, pencobaan-pencobaan kepada-Nya di padang belantara, dan pengalaman kerja-Nya sebagai seorang tukang kayu mempersiapkan-Nya untuk pekerjaan umum yang akan Dia mulai sekarang (Matius 4:12).

Di sini kita menemukan perikop pertama yang berbicara langsung tentang panggilan. Segera setelah Yesus mulai mengkhotbahkan datangnya kerajaan surga, Dia memanggil empat murid pertama untuk mengikuti Dia (Matius 4:18-21). Yang lain kemudian menanggapi panggilan-Nya, membentuk keduabelas murid—kelompok orang-orang yang dipanggil oleh Yesus untuk melayani sebagai murid-murid terdekat-Nya dan pemimpin-pelayan pertama bagi umat Allah yang diperbaharui (berdasarkan. Matius 10:1-4; 19: 28; Efesus 2:19-21). Masing-masing dari keduabelas murid diharuskan meninggalkan pekerjaan, pendapatan, dan relasi-relasi sebelumnya untuk melakukan perjalanan bersama Yesus ke seluruh Galilea. (Pengorbanan pribadi, keluarga, dan sosial yang diperlukan ini dibahas dalam bagian "Markus 1:16-20" dalam Mark and Work di www.theologyofwork.org.) Kepada para pengikut ini dan pengikut lainnya, Yesus tidak memberikan harapan tentang keamanan atau ikatan keluarga. Ketika Yesus kemudian memanggil pemungut cukai Matius, implikasinya adalah Matius akan menghentikan pekerjaannya memungut pajak (Matius 9:9).[1]

Apakah panggilan dari Yesus berarti kita harus berhenti bekerja dari pekerjaan kita saat ini dan menjadi pengkhotbah, pendeta, atau misionaris? Apakah perikop ini mengajarkan kepada kita bahwa pemuridan berarti meninggalkan jaring dan perahu, gergaji dan pahat, gaji dan keuntungan?

Jawabannya adalah tidak. Bagian ini menggambarkan apa yang terjadi pada empat orang di tepi Laut Galilea hari itu. Tetapi tidak menetapkan hal yang sama untuk setiap pengikut Yesus Kristus. Bagi keduabelas murid, mengikuti Yesus memang berarti meninggalkan profesi mereka dan keluarga mereka untuk melakukan perjalanan bersama guru mereka untuk berkeliling. Baik dulu maupun sekarang, ada profesi yang membutuhkan pengorbanan serupa, diantaranya dinas militer, kelautan, atau diplomasi. Pada saat yang sama, kita tahu bahwa bahkan selama pelayanan Yesus di bumi tidak semua orang yang benar-benar percaya kepada-Nya berhenti dari pekerjaan mereka sehari-hari untuk mengikut Dia. Dia memiliki banyak pengikut yang tetap tinggal di rumah dan dalam pekerjaan mereka. Seringkali Dia memanfaatkan kemampuan mereka untuk menyediakan makanan, tempat tinggal, dan dukungan keuangan bagi-Nya dan rekan-rekan-Nya (misalnya Simon si Kusta dalam Markus 14:3, atau Maria, Marta, dan Lazarus dalam Lukas 10:38, Yohanes 12:1 -2). Seringkali, mereka memberi-Nya akses kepada komunitas lokal mereka, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh teman-teman seperjalanan-Nya. Menariknya, Zakheus juga seorang pemungut cukai (Lukas 19:1-10), dan meskipun kehidupannya sebagai pemungut cukai diubah oleh Yesus, kita tidak melihat bukti bahwa ia dipanggil untuk meninggalkan profesinya.

Tetapi perikop ini juga menuntun kita kepada kebenaran yang lebih dalam tentang pekerjaan kita dan mengikuti Kristus. Kita mungkin tidak harus melepaskan pekerjaan kita, tetapi kita harus melepaskan kesetiaan kepada diri kita sendiri atau kepada siapa pun atau sistem apa pun yang bertentangan dengan tujuan Allah. Dalam pengertian tertentu, kita menjadi agen ganda bagi kerajaan Allah. Kita mungkin tetap berada di tempat kerja kita. Kita mungkin melakukan tugas yang sama. Tapi sekarang kita menggunakan pekerjaan kita untuk melayani kerajaan baru dan tuan kita yang baru. Kita masih bekerja untuk membawa pulang gaji, tetapi pada tingkat yang lebih dalam kita juga bekerja untuk melayani orang, seperti yang dilakukan Tuhan kita. Ketika Anda melayani orang karena kesetiaan Anda kepada Kristus, “Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya,” seperti yang dikatakan Paulus (Kolose 3:24).

Ini lebih radikal daripada kesan yang pertama muncul. Kita ditantang dalam pekerjaan yang kita lakukan. Sedapat mungkin, kita harus berusaha melakukan hal-hal yang membuat manusia berkembang maju, baik melalui bagian kita dalam melaksanakan mandat penciptaan, atau bagian kita dalam menjalankan mandat penebusan. Singkatnya, kita melakukan hal-hal yang mendukung impian orang dan membawa pemulihan bagi kehancuran di sekitar kita.

Jadi kita melihat bahwa meskipun panggilan dari Yesus mungkin tidak mengubah apa yang kita lakukan untuk mencari nafkah, panggilan itu selalu mengubah alasan kita bekerja. Sebagai pengikut Yesus, kita bekerja terutama untuk melayani Dia. Pada gilirannya, ini membawa perubahan dalam cara kita bekerja, dan terutama cara kita memperlakukan orang lain. Cara-cara Raja yang baru meliputi belas kasihan, keadilan, kebenaran, dan kemurahan; cara-cara penguasa tua dunia ini adalah penghancuran, sikap apatis, penindasan, penipuan, dan balas dendam. Yang terakhir tidak dapat lagi berperan dalam pekerjaan kita. Ini lebih menantang daripada yang terlihat, dan kita tidak pernah bisa berharap untuk bisa melakukannya sendirian. Praktik yang diperlukan untuk hidup dan bekerja dengan cara-cara baru ini hanya dapat muncul dari kuasa atau berkat Allah dalam pekerjaan kita, seperti yang akan muncul di pasal 5 sampai 7.

Kerajaan Surga Bekerja di Dalam Kita (Matius 5-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pasal 5 sampai 7 dalam Injil Matius memberi kita versi paling lengkap dari Khotbah Yesus di Bukit. Walaupun perikop yang sangat panjang ini (111 ayat) sering diperlakukan sebagai rangkaian segmen-segmen yang berlainan (oleh beberapa orang dianggap telah disusun dari berbagai kesempatan mengajar), ada suatu kohesi dan alur pemikiran dalam khotbah itu yang memperdalam pemahaman kita tentang bagaimana kerajaan surga sedang bekerja di dalam kita, dalam pekerjaan kita, dan dalam kehidupan keluarga dan komunitas kita.

Khotbah di Bukit (Matius 5:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Khotbah di Bukit dibuka dengan ucapan-ucapan bahagia—delapan pernyataan yang diawali dengan kata diberkati.[1] Kata ini menegaskan keadaan berkat yang sudah ada. Setiap ucapan bahagia menyatakan bahwa sekelompok orang yang biasanya dianggap menderita sebenarnya diberkati. Mereka yang diberkati tidak perlu melakukan apa pun untuk memperoleh berkat ini. Yesus hanya menyatakan bahwa mereka telah diberkati. Jadi ucapan-ucapan bahagia pertama-tama adalah pernyataan tentang kasih karunia Allah. Mereka bukanlah syarat bagi keselamatan atau peta untuk mendapatkan jalan masuk ke kerajaan Allah.

Mereka yang menjadi bagian dari setiap kelompok yang diberkati mengalami kasih karunia Allah karena kerajaan surga sudah dekat. Perhatikan ucapan bahagia kedua, “Berbahagialah orang yang berdukacita” (Matius 5:4). Orang biasanya tidak menganggap berkabung sebagai berkah. Itu adalah dukacita. Namun dengan datangnya kerajaan surga, berkabung menjadi berkat karena yang berkabung “akan dihibur.” Implikasinya adalah Allah sendiri yang akan menghibur. Penderitaan karena berkabung menjadi berkat karena membawa hubungan yang mendalam dengan Allah. Sungguh suatu berkat!

Meskipun tujuan utama ucapan-ucapan bahagia adalah untuk menyatakan berkat-berkat yang diberikan oleh kerajaan Allah, sebagian besar cendekiawan juga menganggapnya sebagai gambaran karakter kerajaan itu.[2] Saat kita melangkah memasuki kerajaan Allah, kita berharap bisa menjadi lebih seperti mereka yang disebut diberkati—lebih lemah lembut, lebih berbelas kasihan, lebih lapar akan kebenaran, lebih cepat berdamai, dan seterusnya. Ini memberikan ucapan-ucapan bahagia suatu keharusan moral. Belakangan, ketika Yesus berkata, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19), ucapan-ucapan bahagia menggambarkan karakter yang perlu dimiliki oleh para murid ini.

Ucapan-ucapan bahagia menggambarkan karakter kerajaan Allah, tetapi mereka bukanlah syarat keselamatan. Yesus tidak mengatakan, misalnya, “Hanya orang yang suci hatinya yang boleh masuk kerajaan surga.” Ini adalah kabar baik karena ucapan-ucapan bahagia sangat sulit untuk dipenuhi. Mengingat Yesus berkata, “Setiap orang yang memandang perempuan dengan nafsu, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28), siapakah yang benar-benar “murni hatinya” (Mat. 5:8)? Jika bukan karena kasih karunia Tuhan, tidak ada seorang pun yang benar-benar akan diberkati. Ucapan-ucapan bahagia bukanlah penghakiman terhadap semua orang yang gagal memenuhinya. Sebaliknya, itu adalah berkat bagi siapa pun yang setuju untuk bergabung dengan kerajaan Allah yang "sudah dekat".

Anugerah selanjutnya dari ucapan-ucapan bahagia adalah bahwa ucapan-ucapan bahagia memberkati komunitas Allah, bukan hanya individu-individu milik Allah. Dengan mengikuti Yesus, kita menjadi anggota komunitas kerajaan yang diberkati, meskipun karakter kita belum terbentuk serupa dengan Allah. Secara individu, kita gagal memenuhi karakteristik dari beberapa atau semua berkat itu. Namun kita tetap diberkati oleh karakter keseluruhan komunitas di sekitar kita. Kewarganegaraan dalam kerajaan Allah dimulai sekarang. Karakter komunitas kerajaan disempurnakan ketika Yesus datang kembali, “datang di atas awan di langit dengan kuasa dan kemuliaan yang besar” (Mat. 24:30).

Dengan pemahaman ini, kita siap mengeksplorasi karakter spesifik dari masing-masing ucapan bahagia dan mengeksplorasi penerapannya dalam pekerjaan. Kita tidak dapat membahas setiap ucapan bahagia secara mendalam, tetapi kita berharap dapat meletakkan dasar untuk menerima berkat dan menghidupi ucapan bahagia dalam pekerjaan kita sehari-hari.[3]

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Matius 5:3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Orang yang “miskin” adalah mereka yang menyerahkan diri mereka pada kasih karunia Allah.[1] Kami secara pribadi mengakui kebangkrutan rohani kami di hadapan Tuhan. Ini bagaikan pemungut cukai di bait suci, memukul dadanya dan berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini” (Lukas 18:9-14). Ini adalah pengakuan jujur ​​bahwa kita berdosa dan sama sekali tidak memiliki kebajikan moral yang diperlukan untuk menyenangkan Allah. Ini adalah kebalikan dari kesombongan. Dalam bentuknya yang terdalam, miskin berarti mengakui kebutuhan kita yang sangat mendesak akan Allah. Yesus sedang menyatakan bahwa adalah suatu berkat untuk mengenali kebutuhan kita untuk dipenuhi oleh kasih karunia Allah.

Jadi, di awal Khotbah di Bukit, kita belajar bahwa kita tidak memiliki sumber daya rohani dalam diri kita sendiri untuk mempraktikkan ajaran Yesus. Kita tidak dapat memenuhi panggilan Allah oleh upaya kita sendiri. Berbahagialah mereka yang menyadari bahwa mereka bangkrut secara spiritual, karena kesadaran ini mengarahkan mereka kepada Allah. Tanpa-Nya mereka tidak dapat memenuhi tujuan penciptaan dan keberadaan mereka. Sebagian besar sisa khotbah di bukit merobek kita dari khayalan diri bahwa kita mampu memperoleh keadaan terberkati dengan kemampuan kita sendiri. Tujuannya adalah untuk menghasilkan dalam diri kita kemiskinan roh yang sejati.

Apa hasil praktis dari berkat ini? Jika kita miskin dalam roh, kita dapat memberikan penilaian yang jujur ​​tentang diri kita sendiri tentang pekerjaan kita. Kita tidak membesar-besarkan resume kita atau menyombongkan posisi kita. Kita tahu betapa sulitnya bekerja dengan orang-orang yang tidak dapat belajar, bertumbuh, atau menerima koreksi karena mereka berusaha mempertahankan citra diri mereka yang dibesar-besarkan. Jadi kita berkomitmen pada kejujuran tentang diri kita sendiri. Kita ingat bahwa bahkan Yesus, ketika Dia mulai bekerja dengan kayu, pasti membutuhkan bimbingan dan instruksi. Pada saat yang sama, kita mengakui bahwa hanya karena Allah bekerja di dalam diri kita, kita dapat menerapkan ajaran Yesus di tempat kerja. Kita mencari hadirat dan kekuatan Allah dalam hidup kita setiap hari saat kita hidup sebagai orang Kristen di tempat kerja.

Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, miskin dalam roh mungkin tampak sebagai penghalang untuk sukses dan kemajuan. Seringkali ini hanyalah ilusi. Siapa yang kemungkinan besar akan lebih sukses dalam jangka panjang? Seorang pemimpin yang berkata, "Jangan takut, saya bisa menangani apa pun, lakukan saja apa yang saya katakan," atau seorang pemimpin yang berkata, "Bersama, kita bisa melakukannya, tetapi setiap orang harus tampil lebih baik dari sebelumnya." Jika pernah ada masa ketika seorang pemimpin yang sombong dan menonjolkan diri dianggap lebih hebat daripada pemimpin yang rendah hati dan memberdayakan, masa itu sedang berlalu, setidaknya dalam organisasi terbaik. Misalnya, seorang pemimpin yang rendah hati adalah karakteristik pertama dari perusahaan yang mencapai sukses yang berkelanjutan, menurut penelitian Jim Collins yang terkenal.[2] Tentu saja, banyak tempat kerja tetap terjebak dalam kerajaan lama berupa promosi diri dan penilaian diri yang berlebihan. Dalam beberapa situasi, saran praktis terbaik adalah mencari tempat kerja lain jika memungkinkan. Dalam kasus lain, meninggalkan pekerjaan mungkin mustahil, atau mungkin tidak diinginkan, karena dengan tetap tinggal di sana seorang Kristen bisa menjadi kekuatan penting bagi kebaikan. Dalam situasi ini, miskin dalam roh menjadi berkat yang lebih besar lagi bagi orang-orang di sekitar mereka.

“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Matius 5:4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ucapan bahagia kedua mengembangkan kesadaran mental kita akan kemiskinan kita dalam roh dengan menambahkan suatu tanggapan emosional dukacita. Ketika kita menghadapi kejahatan dalam hidup kita sendiri, itu membuat kita sedih; ketika kita menghadapi kejahatan di dunia—yang mencakup kemungkinan kejahatan di tempat kerja kita—itu juga menyentuh emosi kita dengan dukacita. Kejahatan itu bisa datang dari diri kita sendiri, dari orang lain, atau dari sumber yang tidak diketahui. Apa pun itu, ketika kita dengan jujur ​​berkabung atas kata-kata jahat, perbuatan jahat, kebijakan jahat di tempat kerja, Allah melihat kesedihan kita dan menghibur kita dengan pengetahuan bahwa tidak akan selalu seperti ini.

Mereka yang diberkati dengan berkabung atas kegagalan mereka sendiri dapat memperoleh penghiburan dengan mengakui kesalahan mereka. Jika kita melakukan kesalahan terhadap kolega, siswa, pelanggan, karyawan, atau orang lain, kita mengakuinya dan meminta maaf kepada mereka. Ini membutuhkan keberanian! Tanpa berkat emosional dari berkabung atas tindakan kita, kita mungkin tidak akan pernah berani mengakui kesalahan kita. Namun jika kita melakukannya, kita mungkin dikejutkan oleh betapa seringnya orang siap memaafkan kita. Dan jika, kadang-kadang, orang lain mengambil keuntungan dari pengakuan kesalahan kita, kita dapat kembali pada berkat ketidaksombongan yang mengalir dari ucapan bahagia pertama.

Beberapa bisnis telah menemukan bahwa mengungkapkan dukacita sebagai suatu cara yang efektif untuk beroperasi. Toro, produsen traktor dan peralatan memotong rumput, mengadopsi praktik untuk menunjukkan kepedulian terhadap orang yang terluka saat menggunakan produk mereka. Segera setelah perusahaan mengetahui terjadinya suatu cedera, perusahaan menghubungi orang yang cedera untuk mengungkapkan kesedihan dan menawarkan bantuan. Perusahaan itu juga meminta saran untuk meningkatkan produk. Walaupun kedengarannya mengejutkan, pendekatan ini telah mengurangi jumlah tuntutan hukum dari pelanggan selama bertahun-tahun.[1] Rumah Sakit Virginia Mason menemukan hasil serupa dengan mengakui peran mereka dalam kematian pasien.[2]

“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Matius 5:5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ucapan bahagia ketiga memuat banyak orang di tempat kerja bingung, sebagian karena mereka tidak mengerti apa artinya menjadi lemah lembut. Banyak yang menganggap istilah itu berarti lemah, jinak, atau kurang keberanian. Tetapi pemahaman alkitabiah tentang kelemahlembutan adalah kekuatan yang terkendali. Dalam Perjanjian Lama, Musa digambarkan sebagai orang yang paling lemah lembut di bumi (Bilangan 12:3). Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai “lemah lembut dan rendah hati” (Mat. 11:28-29), yang konsisten dengan tindakan-Nya yang keras dalam membersihkan bait suci (Mat. 21:12-13).

Kuasa di bawah kendali Allah memiliki dua makna: (1) menolak membesar-besarkan penilaian diri kita sendiri; dan (2) keengganan untuk menegaskan diri untuk kepentingan diri kita sendiri. Paulus menangkap aspek pertama dengan sempurna dalam Roma 12:3. “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”

Orang yang lemah lembut melihat diri mereka sebagai hamba Allah, tidak menganggap diri mereka lebih tinggi daripada yang seharusnya mereka pikirkan. Lemah lembut berarti menerima kekuatan dan keterbatasan kita apa adanya, ketimbang terus-menerus mencoba menggambarkan diri kita sebaik mungkin. Namun bukan berarti kita harus mengingkari kelebihan dan kemampuan kita. Ketika ditanya apakah Dia adalah Mesias, Yesus menjawab, “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (Mat. 11:4-6). Dia tidak memiliki citra diri yang berlebihan atau rasa rendah diri, tetapi memiliki hati seorang hamba yang didasarkan pada apa yang kemudian disebut Paulus sebagai “berpikir begitu rupa*” (Roma 12:3).

Hati seorang hamba adalah inti dari aspek kedua kelemahlembutan: keengganan untuk menegaskan diri bagi kepentingan kita sendiri. Kita menjalankan kekuasaan, tetapi untuk kepentingan semua orang, bukan hanya bagi diri kita sendiri. Aspek kedua ditangkap oleh Mazmur 37:1-11a, yang dimulai dengan, “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat,” dan diakhiri dengan “orang yang rendah hati akan mewarisi negeri.” Itu berarti kita mengekang keinginan kita untuk membalas kesalahan yang dilakukan terhadap kita, dan sebaliknya menggunakan kekuatan apa pun yang kita miliki untuk melayani orang lain. Sikap ini mengalir dari dukacita atas kelemahan kita sendiri yang terkandung dalam ucapan bahagia kedua. Jika kita berdukacita atas dosa kita sendiri, dapatkah kita benar-benar merasa dendam atas dosa orang lain?

Bisa sangat menantang untuk meletakkan kekuatan yang ada pada diri kita di bawah kendali Allah. Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, tampaknya orang yang agresif dan mementingkan diri sendirilah yang maju. “Anda tidak mendapatkan apa yang pantas Anda dapatkan, Anda mendapatkan apa yang Anda negosiasikan.”[1]

Di tempat kerja, mereka yang sombong dan berkuasa tampaknya menang, tetapi pada akhirnya mereka kalah. Mereka tidak menang dalam hubungan pribadi. Tidak ada yang menginginkan teman yang sombong dan mementingkan diri sendiri. Lelaki dan perempuan yang haus akan kekuasaan seringkali adalah orang-orang yang kesepian. Mereka juga tidak menang dalam keamanan finansial. Mereka pikir mereka menguasai dunia, tetapi dunia menguasai mereka. Semakin banyak uang yang mereka miliki, semakin mereka merasa kurang aman secara finansial.

Sebaliknya, Yesus mengatakan bahwa orang yang lemah lembut ”akan mewarisi bumi”. Seperti yang telah kita lihat, bumi telah menjadi lokasi kerajaan surga. Kita cenderung menganggap kerajaan surga sebagai surga, tempat yang sama sekali berbeda (jalan-jalan emas, gerbang mutiara, rumah besar di atas puncak bukit) dari apa pun yang kita kenal di dunia ini. Tetapi janji Allah tentang kerajaan adalah langit baru dan bumi baru (Wahyu 21:1). Mereka yang menyerahkan kekuasaannya kepada Allah akan mewarisi kerajaan sempurna yang datang ke bumi. Di kerajaan ini, dengan anugerah Allah, kita menerima hal-hal baik yang diperjuangkan oleh orang sombong dengan sia-sia di bumi ini, dan lebih banyak lagi. Dan ini bukan hanya realitas masa depan. Bahkan di dunia yang rusak, mereka yang mengenali kekuatan dan kelemahan mereka yang sebenarnya dapat menemukan kedamaian dengan hidup secara realistis. Mereka yang menjalankan kekuasaan untuk kepentingan orang lain sering kali dikagumi. Orang yang lemah lembut melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan dan mengalami hasil yang lebih baik serta hubungan yang lebih dalam.

“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (Matius 5:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Memahami ucapan bahagia yang keempat ternyata memahami apa yang Yesus maksudkan dengan kebajikan moral. Dalam Yudaisme kuno, kebajikan moral berarti “membebaskan, membenarkan, memulihkan hubungan yang benar.”[1] Orang-orang yang memiliki kebajikan moral adalah mereka yang mempertahankan hubungan yang benar—dengan Allah dan dengan orang-orang di sekitar mereka. Atas dasar hubungan yang benar, mereka yang melakukan pelanggaran dibebaskan dari kesalahan.

Sudahkah Anda menerima berkat diisi dengan hubungan yang benar? Berkat ini mengalir dari kelemahlembutan (ucapan bahagia ketiga) karena kita hanya dapat membentuk hubungan yang benar dengan orang lain ketika kita berhenti membuat semua tindakan kita berputar di sekitar diri kita sendiri. Apakah Anda lapar dan haus akan hubungan yang benar—dengan Allah, dengan rekan kerja Anda, dengan keluarga Anda, dan komunitas Anda? Rasa lapar adalah tanda kehidupan. Kita benar-benar haus akan hubungan yang baik jika kita mendambakan orang lain untuk kepentingan mereka sendiri, bukan hanya sebagai makanan ringan untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Jika kita melihat bahwa kita memiliki anugerah Allah untuk ini, kita akan lapar dan haus akan hubungan yang benar, bukan hanya dengan Allah, tetapi juga dengan orang-orang yang bekerja atau hidup dengan kita.

Yesus berkata bahwa mereka yang memiliki rasa lapar ini akan dipuaskan. Sangat mudah untuk melihat kesalahan di tempat kerja kita dan ingin berjuang untuk memperbaikinya. Jika kita melakukan ini, kita lapar dan haus akan kebenaran, ingin melihat kesalahan diluruskan. Iman Kristen telah menjadi sumber dari banyak reformasi terbesar di dunia kerja, mungkin terutama penghapusan perbudakan di Inggris Raya dan Amerika Serikat, dan merupakan asal-usul gerakan Hak Sipil. Tetapi sekali lagi, aliran ucapan bahagia itu penting. Kita tidak melakukan pertempuran ini dengan kekuatan kita sendiri, tetapi hanya dengan mengakui kekosongan kita sendiri, berkabung atas ketidakbenaran kita sendiri, menyerahkan kekuatan kita kepada Allah.

“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Matius 5:7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika Anda diberkati dengan kesedihan atas kegagalan Anda sendiri (ucapan bahagia kedua) dan dengan hubungan yang benar (ucapan bahagia keempat), Anda tidak akan sulit menunjukkan kemurahan kepada orang lain di tempat kerja atau di mana pun. Kemurahan terdiri dari memperlakukan orang lebih baik daripada yang pantas mereka terima dari kita. Pengampunan adalah suatu jenis kemurahan. Begitu juga membantu seseorang yang tidak wajib kita bantu, atau menahan diri untuk mengeksploitasi kerentanan seseorang. Kemurahan, dalam semua pengertian ini, adalah kekuatan pendorong dari inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Melalui Dia, dosa-dosa kita diampuni dan kita sendiri mendapat pertolongan melalui anugerah Roh Allah (1 Korintus 12). Alasan Roh untuk menunjukkan kepada kita kemurahan ini hanyalah karena Allah mengasihi kita (Yohanes 3:16).

Di tempat kerja, kemurahan memiliki efek yang sangat praktis. Kita harus membantu orang lain untuk mencapai hasil terbaik mereka, terlepas dari bagaimana perasaan kita tentang mereka. Saat Anda membantu rekan kerja, yang mungkin tidak Anda sukai dan yang mungkin pernah melakukan kesalahan terhadap Anda di masa lalu, Anda menunjukkan kemurahan. Ketika Anda adalah kontestan pertama dalam audisi dan Anda memperingatkan kontestan selanjutnya bahwa suasana hati juri sedang buruk, Anda menunjukkan kemurahan, meskipun itu mungkin memberi mereka keuntungan lebih dari Anda. Ketika anak pesaing sakit, dan Anda setuju untuk menjadwal ulang presentasi Anda ke klien sehingga pesaing Anda tidak harus memilih antara merawat anak dan bersaing untuk bisnis, Anda menunjukkan kemurahan.

Kemurahan semacam ini mungkin membuat Anda kehilangan keuntungan yang sebenarnya bisa Anda peroleh. Namun mereka bermanfaat bagi hasil kerja, serta orang lain. Membantu seseorang yang tidak Anda sukai menolong unit kerja Anda mencapai tujuannya, meskipun itu tidak bermanfaat bagi Anda secara pribadi. Atau—seperti dalam kasus pesaing dengan anak yang sakit—walaupun tidak menguntungkan organisasi Anda, tetapi bermanfaat bagi klien yang ingin Anda layani. Realitas yang mendasari kemurahan adalah bahwa kemurahan bermanfaat bagi seseorang di luar diri Anda sendiri.

Lingkungan yang pemaaf dalam organisasi memberikan hasil mengejutkan lainnya. Ini meningkatkan kinerja organisasi. Jika seseorang membuat kesalahan dalam organisasi di mana kemurahan tidak ditunjukkan, mereka cenderung tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu, berharap hal itu tidak diperhatikan dan mereka tidak disalahkan.

Ini mengurangi kinerja dalam dua cara. Yang pertama adalah bahwa kesalahan yang ditutup-tutupi mungkin akan jauh lebih sulit untuk ditangani nanti. Bayangkan pekerjaan konstruksi di mana seorang pekerja membuat kesalahan saat pemasangan pondasi. Mudah diperbaiki jika diungkapkan dan segera diperbaiki. Tetapi akan sangat mahal untuk memperbaikinya setelah struktur dibangun dan pondasinya dikubur. Yang kedua adalah bahwa pengalaman belajar terbaik muncul dari belajar dari kesalahan. Seperti yang dikatakan Soichiro Honda, “Sukses hanya dapat dicapai melalui kegagalan berulang dan introspeksi. Faktanya, kesuksesan mewakili 1 persen dari pekerjaan Anda yang hanya berasal dari 99 persen yang disebut kegagalan.”[1] Organisasi tidak memiliki kesempatan untuk belajar jika kesalahan tidak dibawa ke depan.

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ucapan bahagia keenam menggemakan Mazmur 24:3-5:

"Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia.

“Tangan yang bersih dan hati yang murni” menunjukkan integritas, pengabdian yang tunggal, kesetiaan yang tidak terbagi. Integritas jauh melampaui sekedar menghindari penipuan dan perilaku buruk. Akar dari integritas adalah keutuhan, yang berarti bahwa tindakan kita bukanlah pilihan-pilihan yang kita bongkar pasang seenaknya, tetapi berasal dari keutuhan diri kita. Perhatikan bahwa Yesus mengucapkan berkat tentang hati yang suci bukan tepat setelah berkat lapar akan kebajikan moral, tetapi setelah berkat menunjukkan kemurahan. Kesucian hati muncul bukan dari kesempurnaan kehendak kita, tetapi dari penerimaan akan anugerah Allah.

Kita dapat menentukan berapa banyak dari berkat ini yang telah kita terima dengan bertanya kepada diri kita sendiri: Seberapa besar komitmen yang saya miliki tentang integritas, kapan saya bisa lolos dengan tipuan yang terampil? Apakah saya menolak untuk membiarkan pendapat saya tentang seseorang dibentuk oleh gosip dan sindiran, tidak peduli seberapa pun menariknya? Sejauh mana tindakan dan kata-kata saya mencerminkan secara akurat apa yang ada dalam hati saya?

Sulit untuk berdebat melawan integritas pribadi di tempat kerja, namun di dunia yang telah jatuh dalam dosa hal ini sering menjadi sasaran lelucon. Seperti kemurahan dan kelemahlembutan, integritas bisa dilihat sebagai kelemahan. Namun orang yang berintegritaslah yang akan “melihat Allah.” Meskipun Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allah yang tak nampak dan “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri” (1 Timotius 1:17, 6:16), orang yang suci hatinya dapat melihat dan merasakan realitas Allah dalam kehidupan ini. Pada kenyataannya, jika tidak memiliki integritas, kebohongan yang kita sebarkan terhadap orang lain pada akhirnya membuat kita tidak mampu memahami kebenaran. Kita mau tidak mau mulai mempercayai kebohongan yang kita buat sendiri. Dan ini menyebabkan kehancuran di tempat kerja, karena pekerjaan yang didasarkan pada hal-hal yang tidak nyata akan segera menjadi tidak efektif. Orang yang najis tidak memiliki keinginan untuk melihat Allah, tetapi mereka yang menjadi bagian dari kerajaan Kristus diberkati karena mereka melihat realitas sebagaimana adanya, termasuk realitas Allah.

“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ucapan bahagia ketujuh membawa setiap pekerja Kristiani ke dalam tugas resolusi konflik. Konflik muncul setiap kali orang memiliki perbedaan pendapat. Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, kecenderungannya adalah mengabaikan konflik atau menekannya dengan menggunakan kekerasan, ancaman, atau intimidasi. Namun keduanya merupakan pelanggaran integritas (ucapan bahagia keenam) dari orang-orang yang berkonflik. Dalam kerajaan Allah, menyatukan orang-orang yang sedang berkonflik adalah suatu berkat. Hanya dengan begitu konflik dapat diselesaikan dan hubungan dipulihkan. (Nanti dalam artikel ini, kita akan menelusuri metode Yesus untuk penyelesaian konflik dalam Mat. 18:17-19.)

Hasil penyelesaian konflik adalah perdamaian, dan pembawa damai akan disebut “anak-anak Allah.” Mereka akan mencerminkan karakter ilahi dalam tindakan-tindakan mereka. Allah adalah Allah damai sejahtera (1 Tesalonika 5:16) dan kita menunjukkan diri kita sebagai anak-anak-Nya ketika kita berusaha membawa perdamaian di tempat kerja, di komunitas, di rumah kita, dan di seluruh dunia.

“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Matius 5:10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ucapan bahagia kedelapan dan terakhir mungkin menurut kita negatif. Sampai saat ini, ucapan bahagia telah berfokus pada kerendahan hati, kelemahlembutan, hubungan yang benar, kemurahan, kesucian hati, dan pembawa damai—semua kualitas positif. Tetapi Yesus menyertakan kemungkinan “dianiaya oleh sebab kebenaran”. Ini muncul dari tujuh yang sebelumnya, karena kekuatan yang menentang jalan Allah masih memiliki kekuatan besar di dunia.

Perhatikan bahwa penganiayaan yang timbul dari perilaku tidak benar tidak diberkati. Jika kita gagal karena kesalahan kita sendiri, kita sudah harus memperkirakan mengalami konsekuensi negatif. Yesus berbicara tentang berkat dianiaya karena melakukan yang benar. Tetapi mengapa kita dianiaya karena kebenaran? Realitas di dunia yang telah jatuh adalah jika kita menunjukkan kesalehan sejati, banyak yang akan menolak kita. Yesus menguraikan dengan menunjukkan bahwa para nabi, yang seperti Dia mengumumkan kerajaan Allah, dianiaya. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (Mat. 5:11-12). Orang-orang saleh di tempat kerja mungkin mengalami penganiayaan yang aktif, bahkan kejam oleh orang-orang yang memperoleh manfaat—atau percaya bahwa mereka memperoleh manfaat—dari ketidakadilan di sana. Sebagai contoh, jika Anda membela—atau sekadar berteman dengan—orang-orang yang menjadi korban gosip atau diskriminasi di tempat kerja Anda, sudah bisa diperkirakan Anda akan mengalami penganiayaan. Jika Anda adalah presiden asosiasi perdagangan, dan Anda menentang subsidi yang tidak adil yang diterima anggota Anda, jangan harap mereka akan memilih Anda lagi. Berkatnya adalah penganiayaan aktif untuk alasan yang benar menunjukkan bahwa kuasa kegelapan percaya bahwa Anda berhasil memajukan kerajaan Allah.

Bahkan organisasi terbaik dan orang-orang yang paling mengagumkan pun masih dinodai oleh Kejatuhan. Tidak ada yang sempurna. Ucapan bahagia kedelapan berfungsi sebagai pengingat bagi kita bahwa bekerja di dunia yang telah jatuh membutuhkan keberanian.

Garam dan Terang di Dunia Kerja (Matius 5:13-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah ucapan-ucapan bahagia dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberi tahu para pengikut-Nya bahwa orang yang menerima berkat-berkat ini penting:

"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga."

Jika Anda adalah pengikut Yesus yang hidup dalam ucapan-ucapan bahagia, Anda penting. Anda memiliki peran penting karena Anda adalah garam dunia. Garam mengawetkan dan orang Kristen membantu melestarikan apa yang baik dalam budaya. Di dunia kuno, garam sangat berharga: orang-orang Yunani menganggapnya mengandung sesuatu yang hampir ilahi, dan orang Romawi terkadang membayar tentara mereka dengan garam. Seorang prajurit yang tidak menjalankan tugasnya "tidak layak mendapat garam". Anda adalah pemberi rasa. Dalam arti, Anda bisa membawa citarasa khas nilai-nilai Tuhan ke dalam semua jenis kehidupan. Anda bisa membuat hidup terasa enak.

Perhatikan bahwa garam, agar efektif, harus bersentuhan dengan daging atau ikan yang akan diawetkan. Agar efektif, kita harus terlibat dengan tempat kita bekerja dan tinggal. Ini menempatkan kita dalam ketegangan karena budaya dominan belum tentu menyukai kita. Pada sebagian besar waktu, hidup sesuai dengan ucapan bahagia dapat membuat kita lebih berhasil dalam pekerjaan. Tapi kita perlu siap untuk saat-saat itu tidak terjadi. Apa yang akan kita lakukan jika menunjukkan kemurahan, berdamai, atau memperjuangkan keadilan membahayakan posisi kita di tempat kerja? Menarik diri dari dunia bukanlah jawaban bagi orang Kristen. Tetapi sulit untuk hidup di dunia, siap menantang jalannya kapan saja. Dalam Matius 5:10-12, Yesus mengakui realitas penganiayaan. Namun dalam kontak kita dengan budaya, kita harus mempertahankan “rasa asin” kita, kekhasan kita. Ini adalah tindakan penyeimbangan yang harus kita pertahankan.

“Kamu adalah terang dunia.” Uraian tugas seorang Kristen bukan hanya menjaga kekudusan pribadi, tetapi juga menyentuh kehidupan setiap orang di sekitar kita. Di tempat kerja, kita menjamah banyak orang yang tidak bertemu Kristus di gereja. Itu mungkin tempat kita yang paling efektif untuk bersaksi tentang Kristus. Tetapi kita harus berhati-hati tentang cara kita bersaksi bagi Kristus di tempat kerja. Kita dibayar untuk melakukan pekerjaan kita, dan tidak jujur ​​untuk membebani pemberi kerja kita dengan menggunakan waktu kerja untuk penginjilan. Selain itu, tidak terhormat untuk menciptakan perpecahan di tempat kerja atau lingkungan yang tidak bersahabat bagi orang yang tidak beriman. Kita harus menghindari kemungkinan yang merusak dengan cara mengupayakan promosi diri melalui penginjilan. Dan kita selalu menghadapi risiko bahwa kegagalan kita dalam pekerjaan dapat mempermalukan nama Kristus, terutama jika kita tampak bersemangat dalam penginjilan tetapi buruk dalam pekerjaan yang sebenarnya.

Dengan semua bahaya ini, bagaimana kita bisa menjadi garam dan terang di tempat kerja? Yesus berkata bahwa terang kita tidak selalu dengan bersaksi melalui kata-kata kita, tetapi bersaksi melalui perbuatan kita--“perbuatan baik” kita. "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." Ucapan-ucapan bahagia telah menguraikan beberapa perbuatan baik itu. Dalam kerendahan hati dan penyerahan diri kepada Allah, kita bekerja untuk hubungan yang benar, untuk tindakan kemurahan, dan untuk perdamaian. Ketika kita hidup sebagai orang yang diberkati, kita menjadi garam dan terang—di tempat kerja, di rumah kita, dan di negara kita.

Apa itu Hidup Keagamaan yang Benar? (Matius 5:17-48)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yesus membuat pernyataan yang mengejutkan dalam Matius 5:20. “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga." Orang-orang biasa pada zaman-Nya menghormati hidup keagamaan yang tampak dari para pemimpin agama dan tidak dapat membayangkan akan pernah bisa menyamai mereka dalam kesalehan. Yesus mengejutkan mereka dengan menyatakan bahwa jalan masuk ke dalam kerajaan Allah hanya tersedia bagi mereka yang hidup keagamaannya melebihi para ahli Taurat dan orang Farisi. Lalu, siapa yang bisa diselamatkan? Masalahnya terletak pada menyamakan hidup keagamaan dengan kesalehan lahiriah, pemahaman umum tentang kata itu sejak dulu dan juga sekarang. Tetapi kata hidup keagaman di seluruh Alkitab (sebagaimana disebutkan di atas dalam ucapan bahagia keempat) selalu menunjukkan hubungan yang benar—dengan Allah dan dengan orang-orang di sekitar kita. Termasuk mereka yang berada di tempat kerja.

Ini menjadi jelas dalam ilustrasi berikut. Dalam Matius 5:21-26, tidak cukup untuk tidak membunuh seseorang; kita harus waspada agar tidak memendam amarah yang mengarah pada hinaan dan rusaknya hubungan. Kita mungkin merasa marah, tetapi cara yang tepat untuk menangani amarah adalah berusaha menyelesaikan konflik (Mat. 18:15-19), bukan mendorong orang tersebut menjauh dengan hinaan atau fitnah. Yesus jelas mengatakan bahwa hubungan yang benar antara Anda dan saudara-saudari Anda sangat penting sehingga Anda harus meninggalkan praktik keagamaan sampai Anda menyelesaikan masalah di antara Anda berdua.

Di tempat kerja, amarah dapat digunakan untuk memanipulasi orang lain. Atau amarah mungkin membuat Anda kewalahan karena merasa diperlakukan tidak adil. Atasi masalahnya: ambil langkah pertama menuju rekonsiliasi, meskipun itu mungkin menempatkan Anda pada posisi harus merendahkan hati. Terlibat dalam penyelesaian konflik yang adil dan terbuka adalah cara kerajaan baru. Sekali lagi, berbahagialah orang yang membawa damai.

Kekayaan dan Pemeliharaan (Matius 6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yesus sering berbicara tentang kekayaan. Kekayaan dan pemeliharaan bukanlah pekerjaan, tetapi seringkali merupakan hasil kerja, pekerjaan kita sendiri atau pekerjaan orang lain. Prinsip utama ekonomi adalah bahwa tujuan kerja adalah untuk meningkatkan kekayaan, menjadikannya topik yang berhubungan dengan kerja. Inilah ajaran Yesus tentang kekayaan dan pemeliharaan sehari-hari seperti yang muncul dalam Khotbah di Bukit.

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Matius 6:11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tepat sebelum permohonan akan makanan setiap hari ini dalam Doa Bapa Kami, kita membaca, "Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga" (Mat. 6:10). Dalam kerajaan Allah, menerima makanan kita setiap hari adalah suatu kepastian, tetapi dalam dunia kita yang rusak oleh dosa, ketahanan hidup sehari-hari layak dipertanyakan. Meskipun Allah telah memberikan kepada umat manusia segala yang kita butuhkan untuk menghasilkan makanan yang cukup untuk memberi makan semua orang di bumi, kelaparan di dunia ini belum kita akhiri. Maka kata pertama Yesus tentang kekayaan atau pemeliharaan hidup sehari-hari adalah permohonan ini, "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." Kita berpaling kepada Allah untuk mendapatkan makanan yang kita butuhkan.

Tetapi perhatikan bahwa permohonan itu jamak: Berikanlah KAMI pada hari ini makanan KAMI yang secukupnya. Kita tidak hanya berdoa untuk makanan kita sendiri, tetapi juga makanan bagi mereka yang tidak memilikinya. Saat orang yang ingin mempertahankan hubungan yang benar dengan orang lain, kita mempertimbangkan kebutuhan makanan orang lain: kita membagikan apa yang kita miliki dengan mereka yang membutuhkan. Jika setiap orang, bisnis, lembaga, dan pemerintah bekerja sesuai dengan tujuan dan prinsip kerajaan Allah, tidak seorang pun akan kelaparan.

Simpanlah Hartamu di Surga, Bukan di Bumi (Matius 6:19-34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita bukan hanya meminta kepada Allah untuk kebutuhan kita sehari-hari, tetapi kita juga diperingatkan untuk tidak menimbun kekayaan materi dan harta lainnya di bumi:

Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya; tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga, di surga ngengat atau karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. (Mat. 6:19-21)

"Harta di surga" bukanlah referensi yang tidak jelas tentang gagasan-gagasan baik di hati Allah atau kata-kata hampa semacam itu. Kerajaan Allah pada akhirnya akan memerintah di bumi. “Harta di surga” adalah hal-hal yang berharga dalam kerajaan Allah yang akan datang, seperti keadilan, kesempatan bagi setiap orang untuk menjadi produktif, penyediaan kebutuhan setiap orang, dan penghormatan terhadap martabat setiap orang. Implikasinya adalah lebih baik kita menginvestasikan uang kita dalam aktivitas-aktivitas yang mengubahkan dunia, daripada dalam sekuritas yang melindungi akumulasi surplus kita.

Lalu, apakah salah memiliki portofolio pensiun atau bahkan peduli terhadap hal-hal materi dunia ini untuk diri kita sendiri atau orang lain? Jawabannya sekali lagi tidak dan ya. Kata tidak datang dari fakta bahwa perikop ini bukanlah satu-satunya perikop di dalam Alkitab yang berbicara tentang pertanyaan tentang kekayaan dan pemeliharaan bagi mereka yang bergantung pada kita. Bagian lain memberi nasihat tentang kehati-hatian dan pemikiran ke depan, seperti, "siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya" (Amsal 13:11b), dan, "Orang baik meninggalkan warisan kepada anak cucunya" (Amsal 13:22). Allah membimbing Yusuf untuk menimbun makanan selama tujuh tahun sebelum kelaparan (Kejadian 41:25-36), dan Yesus berbicara dengan baik dalam Perumpamaan tentang Talenta (Mat. 25:14-30, yang akan dibahas nanti) tentang menginvestasikan uang. Dengan mengingat bagian-bagian Kitab Suci lainnya, Matius 6:19-34 tidak bisa menjadi larangan menyeluruh.

Tetapi bagian jawaban ya adalah peringatan, yang diringkas dengan indah pada ayat 21, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Kita mungkin berharap kalimat ini berbunyi sebaliknya, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada.” Tetapi kata-kata Yesus yang sebenarnya lebih dalam. Uang mengubah hati lebih dari hati memutuskan bagaimana menangani uang. Maksud Yesus bukanlah “Anda cenderung menggunakan uang Anda untuk hal-hal yang penting bagi Anda,” tetapi, “harta yang Anda miliki akan mengubah Anda sehingga Anda lebih memedulikannya daripada hal-hal lain.” Pilih dengan hati-hati apa yang Anda miliki, karena Anda pasti akan mulai menghargai dan melindunginya, hingga berpotensi merusak segalanya.

Kita dapat menyebutnya “Prinsip Harta Karun,” yaitu, bahwa harta itu mengubahkan. Mereka yang menginvestasikan harta terdalam mereka pada hal-hal dunia ini akan mendapati bahwa mereka tidak lagi melayani Allah tetapi uang (Mat. 6:24). Hal itu dapat menimbulkan kecemasan karena ketidakpastian akan uang (Mat. 6:25-34). Apakah nilai uang akan tergerus oleh inflasi? Akankah pasar saham ambruk? Apakah obligasi akan gagal bayar? Apakah bank akan gagal bayar? Bisakah saya yakin bahwa apa yang telah saya simpan akan cukup untuk mengatasi apa pun yang mungkin terjadi?

Penawarnya adalah berinvestasi dengan cara yang memenuhi kebutuhan sejati orang. Sebuah perusahaan yang menyediakan air bersih atau pakaian yang dibuat dengan baik mungkin berinvestasi dalam kerajaan Allah, sedangkan investasi yang bergantung pada subsidi bermotivasi politik, pasar perumahan yang terlalu panas, atau kelangkaan barang mungkin tidak. Perikop dalam Matius 6 ini bukanlah aturan untuk manajemen portofolio, tetapi perikop ini memberi tahu kita bahwa komitmen kita terhadap cara-cara dan sarana kerajaan Allah mencakup cara kita mengelola kekayaan yang kita miliki.

Maka, pertanyaannya adalah perhatian seperti apa yang harus Anda berikan kepada kebutuhan materi dan akumulasi sumber daya. Jika Anda memperhatikan dengan cemas, Anda bodoh. Jika Anda membiarkan mereka menggantikan rasa percaya Anda kepada Allah, Anda menjadi tidak setia. Jika Anda memberi perhatian berlebihan kepada mereka, Anda akan menjadi serakah. Jika Anda memperolehnya dengan mengorbankan orang lain, Anda menjadi semacam penindas yang bertentangan dengan kerajaan Allah.

Bagaimana kita bisa membedakan batas antara perhatian yang pantas dan tidak pantas akan kekayaan? Yesus menjawab, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33). Yang utama terlebih dahulu. Terlepas dari kemampuan kita yang besar untuk menipu diri sendiri, pertanyaan ini dapat membantu kita mengamati dengan cermat di mana harta kita telah menempatkan kita. Itu akan memberi tahu kita sesuatu tentang hati kita.

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matius 7:1-5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yesus memanggil kita kepada realisme tentang diri kita sendiri yang akan mencegah kita untuk mengkritik atau menilai orang lain:

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu" (Matius 7:1-5)

Hal ini tampaknya menimbulkan masalah di tempat kerja. Kesuksesan pekerjaan seringkali bergantung pada penilaian terhadap karakter dan pekerjaan orang lain. Atasan harus menilai bawahannya, dan di beberapa organisasi, timbal balik. Kita harus sering memutuskan siapa yang harus dipercaya, siapa yang akan dipilih sebagai mitra, siapa yang akan dipekerjakan, organisasi mana yang akan diikuti. Tapi Mat. 7:5, dengan kata munafik dan nasihat, “Keluarkanlah dahulu balok dari matamu,” menunjukkan bahwa Yesus menentang penilaian yang salah atau tidak perlu, bukan menentang penilaian yang jujur. Masalahnya adalah kita terus-menerus membuat penilaian tanpa disadari. Gambaran mental yang kita buat tentang orang lain di tempat kerja kita lebih banyak terdiri dari persepsi kita yang bernuansa daripada dari kenyataan. Sebagian, ini karena kita melihat pada orang lain apapun yang membuat kita merasa lebih baik tentang diri kita sendiri. Sebagian, untuk membenarkan tindakan kita sendiri ketika kita tidak bertindak sebagai pelayan bagi orang lain. Sebagian karena kita kekurangan waktu atau keinginan untuk mengumpulkan informasi yang benar, yang jauh lebih sulit dilakukan daripada menyimpan kesan acak.

Mungkin mustahil untuk mengatasi kebiasaan akan penilaian yg keliru ini sendiri. Inilah sebabnya sistem penilaian berbasis fakta yang konsisten sangat penting di tempat kerja. Sistem penilaian kinerja yang baik mengharuskan manajer untuk mengumpulkan bukti kinerja yang nyata, mendiskusikan persepsi yang berbeda dengan karyawan, dan mengenali nuansa-nuansa pemikiran yang umum terjadi. Pada tingkat pribadi, di antara mereka yang bukan bos satu sama lain, kita dapat mencapai ketidakberpihakan yang sama dengan bertanya pada diri sendiri "Peran apa yang saya miliki dalam hal itu" ketika kita melihat diri kita membuat penilaian terhadap orang lain. “Bukti apa yang membawa saya ke kesimpulan itu? Bagaimana penilaian ini menguntungkan saya? Apa yang akan dikatakan orang itu sebagai tanggapan atas penilaian ini? Mungkin cara paling pasti untuk mengeluarkan balok dari mata kita sendiri adalah dengan membawa penilaian kita langsung ke orang itu dan meminta mereka untuk menanggapi persepsi kita. (Lihat bagian resolusi konflik dalam Matius 18:15-17 di bawah.)

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka: Aturan Emas (Matius 7:12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12). Ini membawa kita kembali ke kesalehan sejati, perbaikan dan pemeliharaan hubungan yang benar di tempat kerja maupun di tempat lain. Jika kita hanya memiliki waktu untuk satu pertanyaan sebelum membuat keputusan mengambil tindakan, pertanyaan yang terbaik mungkin adalah, "Apakah ini yang saya inginkan dilakukan pada saya?"

Yesus Menyembuhkan Banyak Orang (Matius 8-9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam pasal 5 sampai 7, kita mendengar Yesus mengajar tentang kerajaan surga yang datang ke bumi. Dalam pasal 8 sampai 9, kita melihat Dia memberlakukan kerajaan itu melalui perbuatan belas kasihan dan kemurahan. Dia menyembuhkan penderita kusta yang diasingkan (Mat. 8:1-4), Dia berbelas kasih kepada seorang perwira pasukan pendudukan Romawi (Mat. 8:5-20), dan Dia membebaskan orang yang dirasuki roh jahat di tengah badai kesengsaraan yang sempurna (Mat. 8:28-9:1). Dalam semua kasus ini, belas kasihan Yesus menuntun-Nya untuk mengambil kembali ciptaan Allah. Belas kasihan para pengikut-Nya dapat diungkapkan dengan cara yang sama praktisnya.

Saat Yesus mendemonstrasikan kedatangan kerajaan, Dia menyebut mereka yang mengikuti-Nya "pekerja" (Mat. 9:37-38). Beberapa dari kita dituntun untuk bekerja dalam penyembuhan fisik dan emosional, serupa dengan pekerjaan Yesus dalam pasal-pasal ini. Yang lain dituntun untuk bekerja dalam pekerjaan yang menyediakan makanan, air, tempat berlindung, transportasi, pendidikan, perawatan kesehatan, keadilan, keamanan, atau pemerintahan yang baik, serupa dengan pekerjaan Yesus menyediakan barang-barang kayu sampai usia-Nya sekitar tiga puluh tahun. Mengingat waktu yang dihabiskan Yesus untuk menyembuhkan orang, mengherankan bahwa kebanyakan orang menganggap Dia sebagai seorang pengkhotbah daripada sebagai seorang dokter. Yang lain lagi dituntun untuk mengekspresikan kreativitas mereka dalam seni, kewirausahaan, desain, fashion, penelitian dan pengembangan, dibuat karena kita ada menurut gambar dan rupa Allah yang kreatif (Kejadian 1). Poinnya adalah bagi Yesus tidak ada pemisahan antara yang sekuler dan yang sakral, antara aspek rohani dan jasmani untuk mewartakan Kerajaan Allah.

Pekerja Patut Mendapatkan Upahnya (Matius 10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam pasal 10, Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mewartakan kerajaan yang akan datang dan mendemonstrasikannya melalui tindakan kemurahan dan belas kasihan yang penuh kuasa. Dia memerintahkan mereka untuk tidak mengupayakan kebutuhan mereka (Mat. 10:9-10), melainkan bergantung pada kemurahan hati orang lain. Dia menyatakan dengan jelas bahwa Injil tidak boleh menjadi masalah perdagangan, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat. 10:8).

Pelajaran di sini bagi kita adalah bahwa menghasilkan uang dan memikirkan tentang keuangan tidaklah buruk; sungguh, melalui jerih payah kitalah Allah memeliharakan kita, karena “seorang pekerja patut mendapat upahnya” (Mat. 10:10). Tetapi peringatannya adalah agar penghasilan kita tidak menjadi fokus utama kita di tempat kerja. Sebagai pekerja di bawah Tuhan dari kerajaan baru, fokus utama kita adalah pada nilai pekerjaan, bukan pada gaji. Instruksi Yesus di sini dimaksudkan untuk menempatkan Allah di tempat terdepan hati kita (berdasarkan. Yakobus 4:13-16). Apa pun tanda tangan di bagian bawah gaji kita, Allah lah yang terutama ada di balik semuanya.

Kuk yang Kupasang Itu Enak (Matius 11:28-30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat kita menelusuri Injil Matius, kita melihat bahwa penentangan terhadap Yesus—pesan dan tindakan-Nya—semakin meningkat. Puncaknya ada dalam Matius 12:14 dengan keputusan para pemimpin agama untuk menghentikan-Nya, bahkan jika itu berarti membunuh-Nya. Ini memberi pertanda dan menggerakkan akhir yang ditunjukkan oleh seluruh narasi: penyaliban Yesus di Yerusalem. Mengetahui apa yang ada di depan-Nya, Yesus tetap memberi tahu para pengikut-Nya,

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan. (Matius 11:28-30)

Jika kita melakukan pekerjaan kita dalam kuk bersama-Nya, kita akan menemukan kepuasan dan mengalami hubungan yang baik dengan Allah dan manusia.[1] Ketika Allah memberikan pekerjaan kepada Adam di Taman Eden, pekerjaan itu mudah dan bebannya ringan di bawah kekuasaan Tuhan. Ketika pasangan manusia memberontak melawan Pencipta mereka, sifat kerja berubah menjadi kerja keras melawan onak dan duri (Kejadian 3). Yesus mengundang kita untuk bekerja dalam kuk yang diberikan-Nya dengan menjanjikan istirahat bagi jiwa kita. (Untuk informasi lebih lanjut tentang bekerja dalam kuk dengan Kristus, lihat "2 Corinthians 6:14-18" in 2 Korintus dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.)

Bekerja Pada Hari Sabat (Matius 12:1-8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu bidang konflik utama antara Yesus dan lawan-lawan-Nya adalah dalam pelaksanaan Sabat. Dalam perikop ini, Yesus dikritik oleh para pemimpin agama karena membiarkan para pengikut-Nya memetik dan memakan biji-bijian pada hari Sabat. Orang Farisi menganggap ini sebagai pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Yesus mengabaikan interpretasi dan motivasi mereka. Dia berpendapat bahwa memetik biji-bijian yang cukup untuk memuaskan rasa lapar tidak melanggar Sabat, karena baik Raja Daud maupun para imam di bait suci melakukannya tanpa menimbulkan teguran Allah (Mat. 12:3-5). Selain itu, kepatuhan yang benar terhadap Hukum Musa harus dimotivasi oleh belas kasihan dan kemurahan (Mat. 12:6). Kasih kemurahan Allah (mengizinkan orang yang lapar memetik biji-bijian untuk dimakan) lebih tinggi daripada keinginan Allah akan korban (mengikuti peraturan Sabat), seperti yang telah diungkapkan dalam Mikha 6:6-8. Karunia satu hari istirahat setiap minggunya merupakan suatu janji dari Allah bahwa kita tidak perlu bekerja tanpa henti hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu bukanlah pertimbangan yang bertentangan dengan menghilangkan rasa lapar atau kebutuhan seseorang pada hari Sabat.

Hubungan antara Sabat Yahudi dan ibadah Kristen pada hari Minggu, dan penerapan hukum Sabat Yahudi dalam kehidupan Kristen dibahas secara lebih mendalam di bagian-bagian tentang "Mark 1:21-45" dan "Mark 2:23-3:6" dalam Markus dan Kerja, dalam bagian-bagian tentang "Luke 6:1-11; 3:10-17" dalam Lukas dan Kerja, dan dalam artikel Istirahat dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.

Perumpamaan-perumpamaan Tentang Kerajaan (Matius 13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mulai dari pasal 13, saat menghadapi oposisi, gaya mengajar Yesus berubah. Ketimbang mewartakan kerajaan secara jelas, Dia mulai berbicara dengan perumpamaan-perumpamaan yang bermakna bagi orang percaya tetapi tidak dapat dipahami oleh orang yang tidak percaya. Sebagian besar cerita-cerita singkat ini adalah tentang para pekerja: seorang penabur menanami ladang (Mat. 13:3-9); seorang wanita menguleni ragi menjadi roti (Mat. 13:33); seorang pemburu harta karun (Mat. 13:44); seorang pedagang mutiara (Mat. 13:45-46); beberapa nelayan (Mat. 13:47-50); dan seorang perumah tangga (Mat. 13:52). Pada sebagian besarnya, perumpamaan-perumpamaan ini bukanlah cerita tentang karya yang mereka gambarkan. Yesus tidak memberi tahu kita cara menabur ladang dengan benar, cara memanggang roti, atau cara berinvestasi dalam komoditas. Sebaliknya, Yesus menggunakan benda-benda materi dan tenaga manusia sebagai elemen cerita yang memberi kita wawasan tentang kerajaan Allah. Kerja kita mampu memberi makna, bahkan dalam mengilustrasikan realitas kekal. Ini mengingatkan kita bahwa kita dan dunia di sekitar kita berasal dari ciptaan Allah dan tetap menjadi bagian dari kerajaan Allah.

Membayar Pajak (Matius 17:24-27 dan 22:15-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada zaman Yesus, orang Yahudi membayar pajak baik secara lokal ke bait Yahudi maupun kepada pemerintah kafir di Roma. Matius mencatat dua kejadian terpisah yang menggambarkan pandangan Yesus tentang pembayaran pajak ini. Kejadian pertama dicatat dalam Matius 17:24-27, di mana para pemungut pajak bait suci bertanya kepada Petrus apakah Yesus membayar pajak itu. Yesus, mengetahui percakapan ini, bertanya kepada Petrus, “Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” Peter menjawab, "Dari orang asing" Yesus menjawab, “Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga”

Insiden kedua, mengenai pajak Romawi, terdapat dalam Matius 22:15-22. Di sini orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak” Yesus mengetahui kebencian di dalam hati mereka dan menjawab dengan pertanyaan tajam, “"Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu” Ketika mereka memberinya satu dinar, Dia bertanya, " Gambar dan tulisan siapakah ini?" Mereka menjawab, "Kaisar." Yesus mengakhiri percakapan dengan kata-kata, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”

Kewarganegaraan sejati kita ada di kerajaan Allah, dan kita mengabdikan sumber daya kita untuk tujuan dan maksud Allah. Tapi kita memberikan kepada kuasa-kuasa duniawi apa yang menjadi hak mereka. Membayar pajak adalah salah satu kewajiban mendasar yang kita lakukan sebagai warga negara atau penduduk atas layanan yang kita nikmati dalam masyarakat beradab mana pun. Layanan tersebut meliputi pekerjaan responden pertama (polisi, pemadam kebakaran, tenaga medis, dan sebagainya), serta jaringan sosial yang ada untuk menjamin keadilan atau bantuan bagi orang miskin, lanjut usia, dan orang lain yang membutuhkan. Kekaisaran Romawi tidak dijalankan terutama untuk kepentingan rakyat biasa, namun demikian kekaisaran ini menyediakan jalanan, air, kebijakan, dan terkadang bantuan bagi orang miskin. Kita mungkin tidak selalu menyetujui jenis atau tingkat layanan yang harus disediakan oleh pemerintah kita, tetapi kita tahu bahwa pajak kita sangat penting dalam menyediakan perlindungan pribadi kita dan untuk membantu mereka yang tidak dapat menolong diri mereka sendiri.

Meskipun tidak semua aktivitas pemerintah sesuai dengan tujuan Allah, Yesus tidak memanggil kita untuk mencemooh kewajiban pajak negara tempat kita tinggal (Roma 13:1-10; 1 Tesalonika 4:11-12). Pada intinya, Yesus mengatakan bahwa kita tidak harus menolak membayar pajak sebagai masalah prinsip. Jika memungkinkan, kita harus “hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18; Ibrani 12:14; bdsk. 1 Petrus 2:12), sambil juga hidup sebagai terang yang bersinar dalam kegelapan (Matius 5:13-16; Filipi 2 :15). Melakukan pekerjaan kita dan menolak membayar pajak dengan cara yang mencemarkan kerajaan Allah tidak akan membawa damai atau menyenangkan.

Ini memiliki aplikasi langsung untuk kerja. Tempat kerja tunduk pada undang-undang dan kekuasaan pemerintah, selain pajak. Beberapa pemerintahan memiliki hukum dan praktik yang mungkin melanggar tujuan dan etika Kristen, seperti yang terjadi di Roma pada abad pertama. Pemerintah atau pegawainya dapat meminta suap, memberlakukan aturan dan peraturan yang tidak etis, membuat orang menderita dan tidak adil, dan menggunakan pajak untuk tujuan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Seperti halnya dengan pajak, Yesus tidak menuntut agar kita menolak setiap pelanggaran ini. Kita bagaikan mata-mata atau gerilyawan di wilayah musuh. Kita tidak boleh terjebak memerangi musuh kerajaan di setiap kubu. Sebaliknya, kita harus bertindak secara strategis, selalu menanyakan apa yang bisa paling berguna dalam memajukan berdirinya kerajaan Allah di bumi. Tentu saja, kita tidak boleh terlibat dalam praktik yang salah demi keuntungan kita sendiri. (Topik ini juga dibahas dalam "Luke 19:1-10; 20:20-26" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.)

Hidup di Kerajaan Baru (Matius 18-25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam Injil Matius pasal 18 sampai 25, Yesus memberikan gambaran konkret tentang seperti apa kehidupan dalam kerajaan Allah. Dalam banyak kasus, gambaran-gambaran ini berlaku khususnya untuk pekerjaan.

Resolusi Konflik (Matius 18:15-35)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Semua tempat kerja mengalami konflik. Dalam perikop ini, Yesus memberi kita pola untuk berurusan dengan seseorang yang telah berbuat salah kepada kita. Dia tidak mengatakan, “Balas dendam!” atau "Serang balik!" Sebaliknya, Dia menjabarkan proses yang dimulai dengan mencari rekonsiliasi satu lawan satu. Ucapan bahagia tentang kelemahlembutan (Mat 5:5) berarti mengesampingkan pembenaran diri Anda cukup lama untuk mengekspresikan diri Anda dengan penuh hormat dan faktual kepada orang yang telah menyakiti Anda, dan membuka diri Anda terhadap perspektif mereka (Mat. 18:15). Ini tidak berarti menyerah pada pelecehan lebih lanjut, tetapi membuka diri terhadap kemungkinan bahwa persepsi Anda tidak universal. Tapi bagaimana jika itu tidak menyelesaikan konflik? Langkah mundur kedua adalah meminta orang yang mengenal kalian berdua untuk menemani Anda saat Anda membahas masalah itu lagi dengan orang yang menyebabkan rasa sakit atau cedera. Jika konflik masih belum terselesaikan, bawa masalah ini ke pimpinan (gereja, dalam Matius 18:16, yang menangani konflik gereja secara khusus) untuk mendapatkan penilaian yang tidak memihak. Jika penghakiman itu tidak menyelesaikan masalah, pelanggar yang gagal mematuhi penghakiman itu dikeluarkan dari komunitas (Mat. 18:17).

Meskipun Yesus sedang berbicara tentang konflik dengan “anggota gereja yang lain” (Mat. 18:15), metode-Nya merupakan pendahulu yang luar biasa untuk apa yang sekarang diakui sebagai praktik terbaik di tempat kerja. Bahkan di tempat kerja terbaik, konflik muncul. Ketika hal itu terjadi, satu-satunya resolusi efektif bagi mereka yang berkonflik adalah berkomunikasi satu sama lain secara langsung, bukan mengeluh kepada orang lain. Daripada mempertontonkan konflik pribadi di depan suatu audiensi, berbicaralah dengan orang tersebut secara pribadi. Di era komunikasi elektronik, pendekatan Yesus menjadi lebih penting dari sebelumnya. Yang diperlukan hanyalah satu atau dua nama di baris "cc:" atau menekan tombol "balas semua" untuk mengubah ketidaksepakatan sederhana menjadi perseteruan se-kantor. Meskipun dua orang dapat menyimpan rangkaian email untuk diri mereka sendiri, kemungkinan kesalahpahaman berlipat ganda ketika media impersonal seperti email digunakan. Mungkin paling baik menjalankan nasihat Yesus secara harafiah, “Tegorlah dia di bawah empat mata.” (Mat. 18:15).

Menunjukkan kesalahan adalah jalan dua arah. Kita harus terbuka untuk mendengar kesalahan yang ditunjukkan kepada kita juga. Mendengarkan—Yesus menyebutkan mendengarkan tiga kali dalam tiga ayat ini—adalah elemen yang sangat penting. Model penyelesaian konflik kontemporer biasanya berfokus untuk membuat semua pihak saling mendengarkan satu sama lain, bahkan sambil mempertahankan pilihan untuk tidak setuju. Seringkali, mendengarkan dengan penuh perhatian menyebabkan ditemukannya penemuan resolusi yang dapat diterima bersama. Jika tidak, maka orang lain dengan keterampilan dan otoritas yang sesuai diminta untuk terlibat.

Orang Muda yang Kaya (Matius 19:16-30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Masalah uang, yang sebelumnya dibahas dalam Matius 6, muncul kembali dengan kisah orang muda kaya yang tertarik kepada Yesus. Orang muda itu bertanya kepada Yesus, “Perbuatan baik apa yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus memberi tahunya untuk mematuhi sepuluh perintah Allah, dan ia menjawab bahwa ia telah melakukannya sejak masa mudanya. Unsur yang khas dalam narasi Matius adalah bahwa pemuda itu kemudian bertanya kepada Yesus, “Apa lagi yang masih kurang?” Dia menunjukkan wawasan yang luar biasa dalam mengajukan pertanyaan ini. Kita dapat melakukan segala sesuatu yang tampak benar tetapi tetap mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam. Yesus menjawab, “Juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat. 19:21).

Kita tahu dari keempat Injil bahwa Yesus tidak memanggil semua pendengar-Nya untuk memberikan semua harta mereka. Tidak semua orang terbebani oleh harta benda mereka seperti orang muda ini. Dalam kasusnya, tantangannya sangat radikal karena keterikatannya yang kuat pada kekayaan (Mat. 19:22). Allah mengetahui dengan tepat apa yang ada dalam hati kita dan apa yang dibutuhkan sewaktu kita melayani Dia.

Apakah harta kita dalam pekerjaan kita, pekerjaan kita, kinerja dan keterampilan kita, dana pensiun kita? Ini adalah hal-hal yang baik (pemberian dari Allah) sebagai gantinya. Tetapi semua itu sekunder sifatnya dibandingkan mencari terlebih dahulu Kerajaan Allah (Mat. 6:33) dan hubungan yang benar (benar) Bersama Allah dan sesama. Kita memegang kekayaan kita dan pekerjaan kita di telapak tangan yang terbuka, agar tidak seperti orang muda kaya itu, kita akhirnya berpaling dari Allah dengan sedih. (Kisah ini dibahas secara lebih mendalam dalam entri untuk Markus 10:17-31 dan Lukas 18:18-30 di https://www.teologikerja.org/.)

Pekerja-pekerja di Kebun Anggur (Matius 20:1-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perumpamaan ini unik, hanya ada di Injil Matius. Pemilik kebun anggur mempekerjakan pekerja harian di berbagai waktu sepanjang hari. Mereka yang dipekerjakan pada pukul enam pagi bekerja seharian penuh. Mereka yang dipekerjakan pada pukul lima hanya bekerja satu jam. Tetapi pemilik membayar setiap orang upah sehari penuh (satu dinar). Dia berusaha keras memastikan agar semua orang tahu bahwa semua dibayar sama terlepas dari jumlah jam kerja yang berbeda. Tidak mengherankan, mereka yang dipekerjakan pertama mengeluh bahwa mereka bekerja lebih lama tetapi tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada mereka yang mulai bekerja di siang hari. “Tetapi pemiliknya menjawab salah satu dari mereka, Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?... Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?’ Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir” (Mat. 20:13, 15-16).

Tidak seperti perumpamaan tentang penabur (Mat. 13:3-9; 18-23), Yesus tidak memberikan penafsiran yang eksplisit. Akibatnya, para cendekiawan menawarkan banyak interpretasi. Karena orang-orang dalam cerita tersebut adalah buruh dan manajer, beberapa menganggap ini tentang pekerjaan. Dalam hal ini, sepertinya dikatakan, "Jangan bandingkan gaji Anda dengan orang lain" atau "Jangan kecewa jika orang lain dibayar lebih tinggi atau bekerja lebih sedikit daripada yang Anda lakukan dalam pekerjaan serupa." Dapat dikatakan bahwa ini adalah praktik yang baik untuk pekerja. Jika Anda mendapat upah yang layak, mengapa menyengsarakan diri karena orang lain gajinya lebih baik? Tetapi interpretasi perumpamaan ini juga dapat digunakan untuk membenarkan praktik perburuhan yang tidak adil atau merugikan. Beberapa pekerja mungkin menerima upah lebih rendah karena alasan yang tidak adil, seperti ras atau jenis kelamin atau status imigran. Apakah maksud Yesus kita harus puas ketika kita atau pekerja lain diperlakukan tidak adil?

Selain itu, membayar orang dengan jumlah yang sama terlepas dari berapa banyak pekerjaan yang mereka lakukan adalah praktik bisnis yang patut dipertanyakan. Bukankah itu akan memberikan insentif yang kuat kepada semua pekerja untuk datang jam lima sore keesokan harinya? Dan bagaimana dengan membuat penggajian semua orang diketahui secara publik? Itu memang mengurangi ruang lingkup intrik. Tetapi apakah merupakan ide yang baik untuk memaksa mereka yang bekerja lebih lama untuk menonton sementara mereka yang bekerja hanya satu jam dibayar dengan upah yang sama? Tampaknya disengaja untuk menyebabkan perselisihan perburuhan. Pembayaran untuk kinerja yang buruk, jika mengartikan perumpamaannya secara harfiah, tampaknya bukan resep untuk kesuksesan bisnis. Benarkah Yesus mendukung praktik pembayaran ini?

Mungkin perumpamaan itu sebenarnya bukan tentang kerja. Konteksnya adalah bahwa Yesus memberikan contoh yang mengejutkan tentang mereka yang termasuk dalam kerajaan Allah: misalnya, anak-anak (Mat. 19:14) yang secara hukum bahkan tidak memiliki diri mereka sendiri. Dia menyatakan dengan jelas bahwa kerajaan itu bukan milik orang kaya, atau setidaknya bukan milik banyak dari mereka (Mat. 19:23-26). Kerajaan itu milik mereka yang mengikuti-Nya, khususnya jika mereka menderita kerugian. “Banyak yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Mat. 19:30). Perumpamaan ini segera diikuti oleh kalimat penutup lainnya dengan kata-kata yang sama, “Yang pertama akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang pertama” (Mat. 20:16). Ini menunjukkan bahwa cerita tersebut merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang mereka yang memiliki kerajaan. Masuk ke dalam kerajaan Allah tidak diperoleh dengan pekerjaan atau tindakan kita, tetapi dengan kemurahan hati Allah.

Begitu kita memahami perumpamaan tentang kemurahan hati Tuhan dalam kerajaan surga, kita mungkin masih bertanya bagaimana penerapannya dalam pekerjaan. Jika Anda dibayar dengan adil, nasihat tentang berpuas diri dengan gaji Anda mungkin berlaku. Jika pekerja lain menerima keuntungan yang tidak terduga, bukankah lebih baik bersukacita, daripada menggerutu?

Tetapi ada juga aplikasi yang lebih luas. Pemilik dalam perumpamaan membayar semua pekerja cukup untuk menghidupi keluarga mereka.[1] Situasi sosial pada zaman Yesus adalah bahwa banyak petani kecil dipaksa keluar dari tanah mereka karena hutang yang mereka terpaksa lakukan untuk membayar pajak Romawi. Hal ini melanggar perintah Allah Israel bahwa tanah tidak dapat diambil dari orang yang mengerjakannya (Imamat 25:8-13), tetapi tentu saja hal ini tidak menjadi perhatian orang Romawi. Akibatnya, sejumlah besar pria pengangguran berkumpul setiap pagi, berharap untuk dipekerjakan pada hari itu. Mereka adalah para pekerja yang terlantar, menganggur, dan setengah menganggur pada zaman mereka. Mereka yang masih menunggu pada pukul lima memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan cukup uang untuk membeli makanan bagi keluarga mereka hari itu. Namun pemilik kebun anggur bahkan membayar mereka upah satu hari penuh.

Jika pemilik kebun anggur mewakili Tuhan, ini adalah pesan yang kuat bahwa di kerajaan Allah, para pekerja yang terlantar dan menganggur menemukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan mereka dan kebutuhan orang-orang yang bergantung padanya. Kita telah melihat Yesus mengatakan bahwa, “pekerja layak mendapatkan makanannya” (Mat. 10:10). Ini tidak berarti bahwa majikan duniawi memiliki tanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan karyawannya. Majikan duniawi bukanlah Allah. Sebaliknya, perumpamaan itu adalah sebuah pesan pengharapan bagi setiap orang yang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Di kerajaan Allah, kita semua akan menemukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan kita. Perumpamaan itu juga menjadi tantangan bagi mereka yang memiliki andil dalam membentuk struktur kerja di masyarakat saat ini. Bisakah orang Kristen melakukan sesuatu untuk memajukan aspek kerajaan Allah ini sekarang?

Kepemimpinan yang Melayani (Matius 20:20-28)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Terlepas dari perumpamaan tentang kasih karunia dan kemurahan hati Allah ini, meskipun mendengar Yesus mengatakan dua kali bahwa yang pertama akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang pertama, murid-murid Yesus masih belum memahaminya. Ibu dari Yakobus dan Yohanes meminta Yesus untuk memberikan kedua putranya tempat yang paling menonjol dalam kerajaan-Nya yang akan datang. Kedua pria itu berdiri di sana dan Yesus berpaling kepada mereka dan bertanya, "Dapatkah kamu meminum cawan yang akan Kuminum?" Mereka menjawab, “Kami mampu.” Ketika sepuluh murid lainnya mendengar hal ini, mereka marah. Yesus mengambil kesempatan ini untuk menantang gagasan mereka tentang keunggulan.

Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:25-28)


Kepemimpinan sejati ditemukan dalam melayani orang lain. Tampilannya akan bervariasi sesuai dengan tempat kerja dan situasi. Ini tidak berarti bahwa seorang CEO harus mengambil giliran bulanan untuk menyapu lantai atau membersihkan toilet, atau bahwa setiap pekerja dapat menggunakan alasan membantu orang lain sebagai alasan untuk tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Hal ini berarti kita melakukan semua pekerjaan kita dengan tujuan melayani pelanggan, rekan kerja, pemegang saham, dan orang lain yang terpengaruh oleh pekerjaan kita. Max De Pree adalah CEO Herman Miller yang sudah lama menjabat dan anggota Fortune Hall of Fame. Dia menulis dalam bukunya Leadership Is an Art, “Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Di antara keduanya, pemimpin harus menjadi hamba dan debitur. Itu merangkum kemajuan seorang pemimpin yang berseni.”[1]

Hamba adalah orang yang mengetahui kemiskinan rohaninya (Mat. 5:3) dan menjalankan kuasa di bawah kendali Allah (Mat. 5:5) untuk mempertahankan hubungan yang benar. Pemimpin yang melayani meminta maaf atas kesalahan (Mat. 5:4), menunjukkan kemurahan ketika orang lain gagal (Mat. 5:7), berdamai jika memungkinkan (Mat. 5:9), dan menanggung kritik yang tidak pantas ketika mencoba untuk melayani Tuhan (Mat. 5:10) dengan integritas (Mat. 5:8). Yesus menetapkan pola dalam tindakan-Nya sendiri demi kita (Mat. 20:28). Kita menunjukkan diri kita sebagai pengikut Kristus dengan mengikuti teladan-Nya.

Perumpamaan Dua Anak Laki-laki (Matius 21: 28-32)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perumpamaan tentang dua anak laki-laki (Mat. 21:28-32) adalah tentang dua bersaudara yang disuruh ayahnya untuk bekerja di kebun anggurnya. Yang satu memberi tahu ayahnya bahwa ia mau tetapi tidak melakukannya. Yang lainnya memberi tahu ayahnya bahwa ia tidak akan pergi tetapi akhirnya bekerja sepanjang hari di antara tanaman anggur. Yesus kemudian mengajukan pertanyaan, “Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawabannya jelas: yang benar-benar bekerja, meski awalnya menolak. Perumpamaan ini melanjutkan cerita sebelumnya dalam Matius tentang orang-orang yang sebenarnya adalah bagian dari kerajaan Allah. Yesus memberi tahu para pemimpin agama di antara para pemirsa-Nya bahwa “pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mat. 21:31).[1]

Orang-orang yang kelihatannya paling tidak relijius akan memasuki kerajaan Allah terlebih dahulu dari para pemimpin agama, karena pada akhirnya mereka melakukan kehendak Allah.

Dalam kerja, hal ini mengingatkan kita bahwa tindakan lebih berarti daripada kata-kata. Banyak organisasi memiliki pernyataan misi yang menyatakan bahwa tujuan utama mereka adalah layanan pelanggan, kualitas produk, integritas sipil, mengutamakan orang-orang mereka, dan sejenisnya. Namun banyak organisasi semacam itu memiliki layanan, kualitas, integritas, dan hubungan karyawan yang buruk. Banyak individu mungkin melakukan hal yang sama, meninggikan rencana mereka, namun gagal menerapkannya. Organisasi-organisasi dan individu-individu yang jatuh ke dalam perangkap ini mungkin memiliki niat baik, namun mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka gagal memenuhi retorika mereka. Tempat kerja membutuhkan sistem yang efektif untuk mengimplementasikan misi dan tujuan mereka, dan sistem pemantauan yang tidak memihak untuk memberikan umpan balik yang apa adanya.

Perumpamaan Penyewa Kebun Anggur (Matius 21:33-41)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perumpamaan ini disampaikan tepat setelah perumpamaan tentang penyewa yang jahat (Mat. 21:33-41) terjadi di suatu tempat kerja, yaitu kebun anggur. Namun, Yesus menyatakan dengan jelas bahwa Dia tidak berbicara tentang pengelolaan kebun anggur, tetapi tentang penolakan terhadap-Nya sendiri dan pembunuhan yang akan terjadi atas hasutan otoritas agama Yahudi pada zaman-Nya (Mat. 21:45). Kunci untuk menerapkannya di tempat kerja saat ini adalah ayat 43, “Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.” Kita semua telah diberi tanggung jawab dalam pekerjaan kita. Jika kita menolak untuk melakukannya dalam ketaatan kepada Allah, kita bekerja bertentangan dengan kerajaan Allah. Dalam setiap pekerjaan, penilaian kinerja tertinggi kita berasal dari Allah.

Hukum Kasih Allah Adalah Suatu Kerangka yang Agung (Matius 22:34-40)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Para pemimpin Yahudi pada zaman Yesus sering memperdebatkan kepentingan relatif dari perintah Allah. Beberapa memegang pandangan bahwa memelihara hari Sabat adalah yang paling penting dari semua perintah. Yang lain menghargai sunat di atas segalanya. Yang lain lagi akan percaya, seperti yang dilakukan oleh banyak orang Yahudi modern saat ini, bahwa perintah yang paling penting ditemukan dalam Ulangan 6:5 “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”

Jadi ketika seorang ahli hukum meminta Yesus untuk ikut menjawab pertanyaan, “Hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat” (Matius 22:36), ia mungkin meminta Yesus untuk memihak dalam perdebatan yang kontroversial.

Namun Yesus terjun ke wilayah wawasan baru dengan menjawab tidak hanya hukum mana yang terbesar, tetapi bagaimana orang bisa memenuhinya. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu,” kata Yesus, dan kemudian Dia menambahkan perintah kedua, dari Imamat 19:18 “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” yang digabungkan-Nya dengan perintah pertama dengan mengatakan “seperti itu.” (Lihat TOW Bible Commentary on Leviticus 19:17-18.) Melalui logika Yesus, mengasihi Allah terkait erat dengan mengasihi orang lain. Yohanes menggemakan pernyataan ini ketika ia berkata, "Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta." (1 Yohanes 4:20)

Bekerja adalah cara utama kita mencintai orang lain. Tempat kerja kita seringkali merupakan tempat di mana kita bertemu dengan orang-orang yang paling beragam, dan kedekatan mereka dengan kita hari demi hari memberi kita tantangan unik untuk mengasihi orang yang berbeda dari diri kita sendiri. Kita juga mengasihi orang lain melalui pekerjaan kita ketika pekerjaan kita memenuhi kebutuhan penting pelanggan atau pemangku kepentingan lainnya. Untuk contoh lebih lanjut, lihat “Pekerjaan Kita Memenuhi Perintah Agung” (Markus 12:28-34) dan “Orang Samaria yang Baik Hati dalam Bekerja--Mengasihi Sesama Seperti Diri Sendiri (Lukas 10:25-37).”

Tetapi Yesus tidak hanya memerintahkan kita untuk mengasihi orang lain tetapi mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Seperti apa ini terlihat di tempat kerja? Seperti seorang juru masak memeriksa ulang suhu internal hamburger setelah seseorang mengatakan "Apakah kelihatannya itu baik-baik saja untuk Anda?" karena itulah yang akan ia lakukan jika memasak hamburger untuk dirinya sendiri. Seperti petugas penjualan memanggil kolega yang lebih berpengalaman ketika pelanggan mengajukan pertanyaan yang ia tidak yakin ia tahu jawabannya—daripada memberikan jawaban yang menurutnya benar—karena ia menginginkan informasi itu sendiri sebelum membeli. Seperti seorang mekanik membongkar ulang reparasi rem yang baru saja ia selesaikan karena mendengar suara aneh dan itulah yang akan ia lakukan sebelum mengendarai mobilnya sendiri. Seperti seorang pengusaha bertanya kepada rekan-rekannya, "Mungkinkah kita tidak menganggapnya cukup serius karena ia seorang wanita?" karena mengetahui bahwa ia ingin seorang kolega membelanya ketika ia disalahpahami.

Ini adalah contoh-contoh kecil, namun masing-masing dari mereka mungkin memiliki resikonya — komisi yang hilang, satu jam waktu yang tidak dapat diuangkan, tidur malam yang singkat, akses ke lingkaran dalam kekuasaan. Semua kerja keras kita memiliki potensi untuk melayani, dan karenanya itu berarti mengasihi, sesama kita. Tetapi untuk mengasihi sesama, seperti diri sendiri, mungkin perlu mengambil risiko yang pasti akan kita ambil untuk mencapai tujuan kita sendiri, tetapi akan tampak besar jika dilakukan hanya untuk kepentingan orang lain. Ini benar-benar standar yang tinggi, dan mungkin itulah sebabnya Yesus menggabungkan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” dengan “kasihilah Tuhan” dalam Hukum Kasih.

Perumpamaan Hamba yang Setia (Matius 24:45-51)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perumpamaan ini tentang seorang hamba yang ditugaskan untuk mengurus seluruh rumah tangga. Ini mencakup tanggung jawab untuk memberi hamba-hamba lain jatah makanan mereka pada waktu yang tepat. Yesus berkata, “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang” (Mat. 24:46). Hamba itu akan dipromosikan ke tanggung jawab tambahan. Di sisi lain, Yesus mengamati,

Tetapi jika hamba yang jahat itu berkata pada dirinya sendiri, " Tuanku tidak datang-datang," dan ia mulai memukuli sesama hamba, dan makan minum bersama para pemabuk, tuan dari hamba itu akan datang pada hari yang tidak terduga dan pada jam yang tidak diketahuinya. Ia akan memotong-motongnya dan menempatkannya bersama orang-orang munafik, di mana akan ada tangisan dan kertakan gigi. (Mat. 24:48-51)

Dalam konteks tempat kerja modern, hamba itu setara dengan seorang manajer yang memiliki kewajiban kepada pemilik sambil mengelola pekerja lain. Kepentingan pemilik terpenuhi hanya ketika kebutuhan pekerja terpenuhi. Manajer memiliki tanggung jawab kepada mereka yang berada di atas dan di bawah otoritasnya. Yesus berkata bahwa adalah tugas pemimpin yang melayani untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang berada di bawahnya maupun yang di atasnya. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena menganiaya orang-orang yang berada di bawah otoritasnya dengan mengklaim bahwa itu adalah untuk kepentingan atasannya. Ia menggambarkan kenyataan ini secara dramatis dalam hukuman yang dijatuhkan kepada pekerja yang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri (Mat. 24:48-51).

Perumpamaan Tentang Talenta (Matius 25:14-30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu perumpamaan Yesus yang paling penting tentang kerja diatur dalam konteks investasi (Mat. 25:14-30). Seorang kaya mendelegasikan pengelolaan kekayaannya kepada hamba-hambanya, seperti yang dilakukan investor di pasar saat ini. Ia memberikan lima talenta (satuan uang yang besar)[1] kepada hamba pertama, dua talenta kepada hamba kedua, dan satu talenta kepada hamba ketiga. Dua dari pelayan mendapatkan pengembalian 100 persen dengan memperdagangkan dana tersebut, tetapi pelayan ketiga menyembunyikan uangnya di tanah dan tidak menghasilkan apa-apa. Orang kaya itu kembali, memberi penghargaan kepada dua orang yang menghasilkan uang, tetapi menghukum berat hamba yang tidak melakukan apa-apa.

Arti perumpamaan itu jauh melampaui investasi finansial. Allah telah memberi setiap orang beragam karunia, dan Dia mengharapkan kita menggunakan karunia itu untuk melayani-Nya. Tidak cukup hanya dengan meletakkan hadiah itu di rak lemari dan mengabaikannya. Seperti ketiga hamba itu, kita tidak memiliki karunia dengan derajat yang sama. Pengembalian yang Allah harapkan dari kita sepadan dengan karunia yang telah kita berikan. Hamba yang menerima satu talenta tidak dihukum karena gagal mencapai target lima talenta; ia dikutuk karena ia tidak melakukan apapun dengan apa yang diberikan kepadanya. Karunia yang kita terima dari Tuhan meliputi keterampilan, kemampuan, koneksi keluarga, posisi sosial, pendidikan, pengalaman, dan banyak lagi. Inti dari perumpamaan ini adalah bahwa kita harus menggunakan apa pun yang telah diberikan kepada kita untuk tujuan Allah. Konsekuensi parah bagi hamba yang tidak produktif, jauh melampaui apa pun yang dipicu oleh bisnis biasa-biasa saja, memberi tahu kita bahwa kita harus menginvestasikan hidup kita, bukan menyia-nyiakannya.

Namun bakat khusus yang diinvestasikan dalam perumpamaan itu adalah uang, sekitar satu juta dolar AS di dunia sekarang ini. Dalam bahasa Inggris modern, fakta ini dikaburkan karena kata bakat merujuk terutama pada keterampilan atau kemampuan. Tetapi perumpamaan ini menyangkut uang. Itu menggambarkan investasi, bukan penimbunan, sebagai hal yang saleh untuk dilakukan jika itu mencapai tujuan yang saleh dengan cara yang saleh. Pada akhirnya, sang majikan memuji kedua hamba yang dapat dipercaya itu dengan kata-kata, “Bagus sekali, hamba yang baik dan dapat dipercaya” (Matius 25:23). Dengan kata-kata ini, kita melihat bahwa sang master peduli pada hasil ("kerja bagus"), metode ("baik"), dan motivasi ("dapat dipercaya").

Lebih jelas lagi untuk tempat kerja, si majikan memuji penempatan modal berisiko untuk mendapatkan keuntungan. Kadang-kadang orang Kristen berbicara seolah-olah pertumbuhan, produktivitas, dan laba atas investasi tidak kudus bagi Allah. Tapi perumpamaan ini menjungkirbalikkan gagasan itu. Kita harus menginvestasikan keterampilan dan kemampuan kita, tetapi juga kekayaan kita dan sumber daya yang tersedia bagi kita di tempat kerja, semuanya untuk urusan kerajaan Allah. Ini mencakup produksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Relawan yang mengajar sekolah minggu memenuhi perumpamaan ini. Begitu pula wiraswastawan yang memulai bisnis baru dan memberikan pekerjaan kepada orang lain, administrator layanan kesehatan yang memulai kampanye kesadaran AIDS, dan operator mesin yang mengembangkan inovasi proses.

Allah tidak menganugerahi manusia dengan karunia yang identik atau harus sama. Dan Allah tidak mengharapkan hasil yang sama atau pasti sama dari pekerjaan setiap orang. Dalam perumpamaan itu, seorang hamba mengembalikan lima talenta, sementara yang lain menghasilkan dua talenta. Sang majikan memuji keduanya secara setara (Matius 25:23). Penting untuk diperhatikan bahwa kedua pelayan berinvestasi untuk keuntungan tuannya, dan mereka mengembalikan kepadanya bukan hanya investasi awal, tetapi juga apa yang mereka hasilkan atas namanya. Ketika kita mengatakan bahwa semua yang kita miliki adalah "anugerah" dari Allah, kita tidak bermaksud bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah milik kita, bukan milik Allah. Maksud kita adalah hak istimewa untuk dipercayakan dengan talenta, sumber daya, dan kesempatan untuk bekerja menuju tujuan Allah di dunia. Implikasi dari perumpamaan ini adalah bahwa jika kita melakukannya, kita mengambil tempat kita di antara semua hamba Allah yang setia dan dapat dipercaya, tidak peduli seberapa besar atau kecil pencapaian kita.

Untuk diskusi tentang perumpamaan yang sangat mirip tentang sepuluh mina, lihat "Lukas 19:11-27" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.

Untuk membaca lebih lanjut tentang hadiah dan panggilan, lihat Calling and Vocation Overview kami. Untuk membaca lebih lanjut tentang menggunakan karunia kita dalam komunitas, lihat "Gifted Community (1 Korintus 12:1-14:40)."

Domba dan Kambing (Matius 25:31-46)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pengajaran terakhir Yesus di bagian ini membahas bagaimana kita memperlakukan mereka yang membutuhkan. Dalam kisah ini, ketika Yesus kembali dalam kemuliaan-Nya, Dia akan duduk di atas takhta-Nya dan memisahkan orang-orang “seperti gembala memisahkan domba dari kambing” (Mat. 25:32). Pemisahannya tergantung pada bagaimana kita memperlakukan orang yang membutuhkan. Kepada domba Dia berkata,

Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Mat. 25:34-36)

Ini semua adalah orang-orang yang membutuhkan, yang dilayani oleh para domba, karena Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25:40). Kepada kambing, Dia berkata,

Enyahlah dari hadapan-Ku, … Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku … Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (Matius 25: 41-43, 45)

Secara individu dan kelompok, kita dipanggil untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kita "terbungkus dalam bungkusan tempat orang-orang hidup pada TUHAN, Allahmu," (1 Samuel 25:29), dan kita tidak dapat mengabaikan penderitaan manusia yang menderita kelaparan, kehausan, ketelanjangan, tunawisma, penyakit, atau dipenjarakan. Kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri dan kebutuhan mereka yang bergantung pada kita; tetapi kita juga bekerja agar memiliki sesuatu untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan (Ibrani 13:1-3). Kita bergandeng tangan dengan orang lain untuk menemukan cara-cara mendampingi mereka yang kekurangan kebutuhan dasar hidup yang mungkin kita anggap biasa. Jika kata-kata Yesus dalam perikop ini ditanggapi dengan serius, mungkin lebih banyak yang bergantung pada amal kita daripada yang kita sadari.

Yesus tidak mengatakan dengan tepat bagaimana domba melayani orang yang membutuhkan. Bisa jadi melalui persembahan dan pekerjaan amal. Tetapi mungkin beberapa di antaranya melalui pekerjaan biasa yaitu menanam dan menyiapkan makanan dan minuman; membantu rekan kerja baru melakukan pekerjaan dengan cepat; merancang, memproduksi, dan menjual pakaian. Semua pekerjaan yang sah melayani orang-orang yang membutuhkan produk dan jasa dari pekerjaan itu, dan dengan demikian, melayani Yesus.

Perjamuan Terakhir (Matius 26:17-30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Plot untuk membunuh Yesus bergerak maju ketika Yudas (salah satu dari Dua Belas murid) pergi ke para pemimpin agama dengan tawaran untuk menyerahkan-Nya kepada para prajurit bait suci. Dengan peristiwa-peristiwa yang bergerak cepat menuju penyaliban, Yesus berbagi santapan terakhir bersama murid-murid-Nya. Dalam perjamuan itu, Yesus memilih barang-barang buatan manusia berupa roti dan anggur untuk melambangkan diri-Nya dan pengorbanan-Nya yang akan datang. Sambil memegang sepotong roti, Dia berkata, “Inilah tubuh-Ku” (Mat. 26:26); kemudian sambil mengangkat kantung anggur itu, Dia berkata, “Inilah darah-Ku” (Mat. 26:28). Anak Allah bukanlah hasil karya siapa pun, bahkan karya Bapa sekalipun. Dalam kata-kata Pengakuan Iman Nicea, Dia “diperanakkan, bukan diciptakan.” Tetapi Dia memilih hal-hal yang umum dan nyata seperti roti dan anggur, yang dibuat oleh orang-orang untuk mengilustrasikan pengorbanan-Nya. Seperti yang dikatakan Alan Richardson:

Tanpa kerja keras dan keterampilan petani, tanpa kerja tukang roti, pekerja transportasi, bank dan kantor, toko dan distributor — sebenarnya tanpa kerja keras tambang dan galangan kapal dan pabrik baja dan sebagainya — roti ini tidak akan ada di sini untuk diletakkan di atas altar pagi ini. Sebenarnya, seluruh dunia kerja manusia terlibat dalam pembuatan roti dan anggur yang kami berikan ... Inilah hubungan aneh yang tak terpatahkan yang ada antara roti yang dimenangkan dengan keringat di wajah manusia dan roti dari hidup yang dibeli tanpa uang atau tanpa harga.[1]

Seluruh masyarakat berpartisipasi.

Kita tidak dapat berpura-pura mengetahui mengapa Yesus memilih produk nyata dari kerja manusia untuk mewakili diri-Nya ketimbang benda-benda alami atau ide-ide abstrak atau gambar-gambar rancangan-Nya sendiri. Tetapi faktanya adalah bahwa Dia menghargai produk-produk kerja ini sebagai representasi dari martabat-Nya yang tak terbatas. Ketika kita mengingat bahwa dalam kebangkitan-Nya Dia juga memiliki tubuh jasmani (Mat. 28:9, 13), tidak ada ruang untuk membayangkan kerajaan Allah sebagai alam rohani yang terpisah dari realitas fisik ciptaan Allah. Setelah menciptakan kita (Kejadian 2:7; Yohanes 1), Dia memilih barang-barang buatan tangan kita untuk mewakili diri-Nya sendiri. Ini adalah anugerah yang hampir di luar pemahaman kita.

Kematian dan Kebangkitan Yesus (Matius 27-28)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Lebih dari penulis Injil lainnya, Matius menekankan implikasi yang menggoncangkan dunia dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan membawa kita kembali ke motif utama kerajaan surga dan bumi. Langit menjadi gelap, bumi bergetar, dan bangkitnya orang-orang mati (Mat. 27:45-54) akan menjadi tanda yang jelas bagi orang Yahudi bahwa zaman sekarang telah berakhir dan zaman yang akan datang telah dimulai. Namun kehidupan dan pekerjaan tampaknya berjalan seperti biasa; itu bisnis seperti biasa. Apakah ada yang benar-benar berubah pada salib di bukit Golgota itu?

Injil menurut Matius menjawab ya dengan tegas. Penyaliban Yesus adalah pukulan maut bagi sistem dunia yang didasarkan pada kepura-puraan kekuatan dan hikmat manusia. Kebangkitan-Nya menandai intrusi definitif jalan Allah ke dunia. Pemerintahan kerajaan Allah belum terjadi di seluruh bumi, tetapi Kristus memerintah semua orang yang akan mengikuti dia.

Pergilah dan Jadikanlah Semua Bangsa Murid-Ku (Matius 28:16-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pelayanan Yesus di bumi telah berakhir. Matius 28:16-20 menceritakan bagaimana Dia mengutus orang-orang yang mengikuti-Nya:

Sekarang kesebelas murid pergi ke Galilea, ke gunung yang telah Yesus arahkan kepada mereka. Ketika mereka melihat-Nya, mereka menyembah-Nya; tapi ada yang meragukan. Dan Yesus datang dan berkata kepada mereka, “"Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Perikop ini sering disebut sebagai Amanat Agung, dan orang-orang Kristen cenderung berfokus pada aspek penginjilannya. Tetapi amanat itu sebenarnya adalah untuk “memuridkan,” bukan hanya untuk “memenangkan orang baru.” Seperti yang telah kita lihat di sepanjang artikel ini, bekerja adalah elemen penting untuk menjadi seorang murid. Memahami pekerjaan kita dalam konteks Ketuhanan Kristus adalah bagian dari pemenuhan Amanat Agung.

Kita sudah diberikan perintah untuk bergerak. Kita harus membawa kabar baik ke semua bangsa, membaptis mereka yang percaya kabar baik, dan mengajar mereka “melakukan segala yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Saat kita melihat kembali dua puluh delapan pasal dari Matius ini, kita melihat banyak perintah yang menyentuh kita di tempat kerja. Ajaran-ajaran ini adalah untuk kita dan untuk mereka yang datang setelah kita.

Kesimpulan Matius

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah peduli dengan pekerjaan kita, dan Kitab Suci berbicara banyak tentang hal ini. Seperti disebutkan di awal, Injil menurut Matius membahas teologi dan praktik kerja di banyak bidang: kepemimpinan dan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, praktik bisnis, kebenaran dan penipuan, perlakuan terhadap pekerja, penyelesaian konflik, kekayaan dan kebutuhan hidup, hubungan di tempat kerja, berinvestasi dan menabung, beristirahat, dan hidup dalam kerajaan Allah sambil bekerja di tempat sekuler.

Umat ​​Kristiani sering beranggapan bahwa hidup kita harus dibagi menjadi dua alam, yang sekuler dan yang sakral. Pekerjaan kita bisa menjadi sekadar cara mencari nafkah, aktivitas sekuler tanpa makna ilahi. Pergi ke gereja dan pengabdian pribadi dianggap sebagai satu-satunya elemen kehidupan yang sakral. Salah membaca Matius dapat mendukung pembagian ini. Kerajaan dunia dapat mewakili materi, bagian kehidupan sekuler; dan kerajaan surga, bagian yang sakral dan halus. Tetapi membaca Matius dengan benar memperjelas bahwa kedua kerajaan mencakup seluruh kehidupan. Kerajaan Allah memiliki aspek material dan spiritual, demikian pula kerajaan bumi yang telah jatuh dalam dosa. Cara Kristiani adalah menempatkan seluruh hidup kita, termasuk kehidupan kerja kita, untuk melayani kerajaan Allah, yang Kristus hadirkan ke bumi bahkan sekarang.

Yesus memanggil para pengikut-Nya untuk hidup dan bekerja di tengah dunia yang telah jatuh, sambil berpegang teguh pada tujuan, kebajikan, dan prinsip-prinsip Allah. Bagi individu Kristen, yang sakral dan sekuler tidak dapat dipisahkan. “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan” (Mat. 6:24). Di alam semesta yang diciptakan dan dipelihara oleh Allah ini, tidak ada ruang “sekuler”, yang kebal terhadap pengaruh-Nya, di luar kendali-Nya, atau di mana Dia tidak mengklaim kedaulatan-Nya.

Tetapi walaupun kerajaan kegelapan tetap ada, kerajaan Allah juga sudah dekat. Orang-orang dan sistem dunia seringkali tidak mencerminkan jalan Tuhan. Mereka yang dipanggil oleh Kristus harus belajar bagaimana melayani kerajaan Allah dengan setia sambil belajar hidup di tengah kekuatan-kekuatan nyata yang menentang jalan Allah. Pandangan dunia Kristen tidak bisa melarikan diri atau mengabaikan dunia ini. Di atas semua orang, orang Kristen seharusnya terlibat dalam menciptakan struktur yang mencerminkan kerajaan Allah di semua bidang kehidupan, termasuk di tempat kerja. Kita harus mencontohkan praktik kerajaan Allah di tempat kerja kita, terutama praktik-praktik di mana kita menyerahkan kekuasaan dan kekayaan kita kepada Allah dan bergantung pada kuasa dan pemeliharaan-Nya. Inilah artinya menghayati (tidak hanya berbicara) doa Tuhan yang berparadigma, “Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga.”

Ayat-ayat dan Tema-tema Kunci

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat

Tema

Matius 4: 18-22 Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. 19Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." 20Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 21Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka 22dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.

Panggilan Yesus bagi kita sifatnya radikal dan mengubahkan hidup, tetapi tidak sellau berarti suatu panggilan untuk meninggalkan pekerjaan dan tempat kerja.

Matius 5:1-16 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:

3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.

4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.

7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.

8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.

11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.

12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."

13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.

14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.

15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga."

Ucapan-ucapan Bahagia ini adalah gambaran karakter berorientasi kerajaan yang harus menjadi ciri setiap orang percaya, termasuk di tempat kerja. Kadang-kadang hasilnya adalah penganiayaan, namun akan menjadi saksi terang yang setia dalam kegelapan.

Matius 5:33-37 Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. 34 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, 35 maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; 36 janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun. 37 Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.

Orang Kristen harus menjadi orang yang perbuatannya sesuai dengan perkataannya. Ini adalah kebajikan yang berlaku baik dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan.

Matius 6:19-34 “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. 21 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. 22 Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 23 jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.

24 Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."

25 "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? 26 Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? 27 Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? 28 Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, 29 namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. 30 Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? 31 Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? 32 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. 33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.

34 Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."


Orang Kristen adalah orang yang menghargai kedatangan kerajaan Allah atas uang dan harta benda dunia ini. Dalam semua pekerjaan kita, kita harus menjadikan kedatangan kerajaan Tuhan dan jalan-Nya sebagai motivasi utama kita.

Matius 8:18-22 Ketika Yesus melihat orang banyak mengelilingi-Nya, Ia menyuruh bertolak ke seberang. 19 Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." 20 Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." 21 Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." 22 Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka."

Matius 9:9 Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia.

Matius 9:37-38 Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. 38 Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu."


Panggilan Yesus untuk menjadi murid terkadang memerlukan perubahan pekerjaan dan perubahan radikal dalam kehidupan.

Matius 10:5-15 Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: "Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, 6 melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. 7 Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat. 8 Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma. 9 Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. 10 Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. 11 Apabila kamu masuk kota atau desa, carilah di situ seorang yang layak dan tinggallah padanya sampai kamu berangkat. 12 Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka. 13 Jika mereka layak menerimanya, salammu itu turun ke atasnya, jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. 14 Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu. 15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya pada hari penghakiman tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu.


Hubungan orang Kristen dengan uang adalah suatu hubungan yang berbahaya dan ia harus berhati-hati untuk mengingat bahwa dalam bekerja, semua yang diperoleh adalah anugerah dari Tuhan.

Matius 17:24-27 Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" 25 Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" 26 Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. 27 Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga."


Orang Kristen menjalani kehidupan dengan kewarganegaraan ganda. Kesetiaan hanya kepada Tuhan, namun kita juga harus bersinar sebagai terang di dunia yang gelap ini dengan hidup sesuai aturannya (jika memungkinkan) dalam pekerjaan, uang, dan pajak, agar tidak menimbulkan pelanggaran.

Matius 19:16-30 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 17 Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah." 18 Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus: "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, 19 hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 20 Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" 21 Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." 22 Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.

23 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. 24 Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." 25 Ketika murid-murid mendengar itu, sangat gemparlah mereka dan berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" 26 Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin."

27 Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" 28 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. 29 Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal. 30 Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu."


Kekayaan di dunia ini memang bisa membuat kita sulit masuk ke dalam kerajaan Allah. Persoalannya adalah apa yang paling kita hargai di dalam hati, apakah itu pekerjaan dan harta benda kita atau kerajaan Allah dan raja kita.

Matius 20:1-16 1 "Adapun hal Kerajaan Surga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. 2 Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. 3 Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. 4 Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan mereka pun pergi. 5 Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. 6 Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? 7 Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. 8 Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. 9 Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. 10 Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi mereka pun menerima masing-masing satu dinar juga. 11 Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, 12 katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. 13 Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? 14 Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. 15 Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? 16 Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir."



Perumpamaan ini mencontohkan kebajikan Kristiani yaitu iman yang rendah hati dalam karunia Allah—tidak menggerutu terhadap karunia Allah terhadap orang lain atau memuji diri sendiri.

Matius 21:33-41 "Dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain. Adalah seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan menanam pagar sekelilingnya. Ia menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga di dalam kebun itu. Kemudian ia menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri lain. 34 Ketika hampir tiba musim petik, ia menyuruh hamba-hambanya kepada penggarap-penggarap itu untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. 35 Tetapi penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu. 36 Kemudian tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi mereka pun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka. 37 Akhirnya ia menyuruh anaknya kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani. 38 Tetapi ketika penggarap-penggarap itu melihat anaknya itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita. 39 Mereka menangkapnya dan melemparkannya ke luar kebun anggur itu, lalu membunuhnya. 40 Maka apabila tuan kebun anggur itu datang, apakah yang akan dilakukannya dengan penggarap-penggarap itu?" 41 Kata mereka kepada-Nya: "Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya."


Dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk pekerjaan kita, karakter kita harus ditandai dengan kesetiaan dan dapat dipercaya. Ini berarti hidup dan bekerja sedemikian rupa sehingga kehidupan kita mencerminkan harapan akan kedatangan kerajaan Allah.

Matius 24:45-51 "Siapakah hamba yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? 46 Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. 47 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya. 48 Akan tetapi apabila hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: 49 Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-pemabuk, 50 maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidak disangkakannya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, 51 dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi."




Matius 25:1-13 "Pada waktu itu hal Kerajaan Surga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. 2 Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. 3 Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, 4 sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. 5 Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. 6 Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! 7 Gadis-gadis itu pun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. 8 Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. 9 Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. 10 Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. 11 Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! 12 Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. 13 Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya."



Matius 25:14-30 "Sebab hal Kerajaan Surga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. 15 Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat. 16 Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta. 17 Hamba yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan berlaba dua talenta. 18 Tetapi hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali lobang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya. 19 Lama sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan mereka. 20 Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima talenta, katanya: Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba lima talenta. 21 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. 22 Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta. 23 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. 24 Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. 25 Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan! 26 Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? 27 Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. 28 Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. 29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. 30 Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.”