Bootstrap

Surat Yakobus: Iman dan Kerja

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
James

Surat Yakobus membawa perspektif “berorientasi-pada-tindakan” pada prinsip-prinsip bahwa kita bisa percaya Allah akan memelihara kita dan bahwa kita harus bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Jika iman kita benar – jika kita benar-benar memercayai Allah – iman kita akan memimpin kita kepada berbagai tindakan praktis untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Perspektif ini membuat surat Yakobus menjadi kitab yang sangat praktis.

Ketekunan, Hikmat dan Pertumbuhan Rohani (Yakobus 1:1-5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Yakobus dimulai dengan menekankan hubungan yang erat antara kehidupan sehari-hari dan pertumbuhan rohani. Secara khusus, Allah memakai berbagai kesulitan dan tantangan hidup dan pekerjaan sehari-hari untuk meningkatkan iman kita. “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan. Sebab, kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu menjadi sempurna dan utuh, serta tidak kekurangan apa pnn.” (Yakobus 1:2-4). “Berbagai” pencobaan dapat menjadi pendorong pertumbuhan—termasuk masalah-masalah dalam bekerja - tetapi Yakobus terutama tertarik pada tantangan-tantangan yang sangat berat yang bisa menjadi “ujian terhadap iman [kita].”

Tantangan apa saja yang kita hadapi di dunia kerja yang bisa menguji iman atau kesetiaan kita kepada Kristus? Salah satunya kemungkinan adalah permusuhan religius. Tergantung situasi kita, iman kepada Kristus bisa membuat kita rentan terhadap apa saja, mulai dari prasangka kecil sampai pembatasan kesempatan kerja, pemecatan atau bahkan bahaya fisik atau kematian di tempat kerja. Bahkan meskipun orang lain tidak menekan kita, kita bisa tergoda sendiri untuk meninggalkan iman kita jika kita berpikir menjadi orang Kristen akan menghambat karier kita.

Pencobaan lainnya bisa jadi berkaitan dengan etika. Kita bisa tergoda untuk meninggalkan iman—atau kesetiaan—dengan melakukan pencurian, kecurangan, ketidakjujuran, transaksi yang tidak benar, atau memanfaatkan orang lain untuk memperkaya diri sendiri atau memajukan karier kita. Pencobaan lainnya lagi muncul dari kegagalan di tempat kerja. Beberapa kegagalan bisa menjadi sedemikian traumatis sampai menggoyahkan iman kita. Sebagai contoh, di-PHK (dianggap tak berguna/tidak dibutuhkan lagi) atau diberhentikan dari pekerjaan bisa sedemikian menghancurkan sampai kita meragukan segala sesuatu yang sebelumnya kita percaya, termasuk iman kepada Kristus. Atau, kita mungkin percaya bahwa Allah memanggil kita kepada pekerjaan kita, menjanjikan kejayaan, atau berutang kesuksesan pada kita karena kita setia pada-Nya. Kegagalan dalam pekerjaan ini lalu tampaknya berarti Allah tak dapat dipercaya atau bahkan tidak ada. Atau, kita bisa begitu dilumpuhkan oleh kekhawatiran sampai kita meragukan bahwa Allah akan terus memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. Semua tantangan yang terkait pekerjaan ini dapat menguji iman kita.

Apa yang harus kita lakukan jika iman kita diuji dalam pekerjaan? Bertekunlah (Yakobus 1:3-4). Yakobus berkata, jika kita mau berjuang untuk tidak menyerah pada godaan untuk meninggalkan iman, untuk bertindak tidak etis, atau untuk menjadi putus asa, kita akan menemukan Allah menyertai kita setiap waktu. Jika kita tidak tahu bagaimana caranya melawan pencobaan-pencobaan ini, Yakobus mengundang kita untuk meminta hikmat yang kita butuhkan untuk melakukannya (Yakobus 1:5). Ketika krisis berlalu, kita akan mendapati kedewasaan kita bertumbuh. Alih-alih tidak mengalami kekurangan apa pun - yang kita takutkan, kita justru akan mengalami sukacita karena mendapatkan pertolongan Tuhan.

Bersandar pada Allah (Yakobus 1:5-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat berbicara tentang hikmat, Yakobus mulai mengembangkan prinsip bahwa kita bisa percaya Allah akan memelihara kita. “Apabila di antara kamu ada yang kurang berhikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati tanpa mencela, maka hal itu akan diberikan kepadanya” (Yakobus 1:5). Mungkin tampaknya aneh bahwa kita bisa meminta hikmat kepada Allah dalam hal tugas-tugas pekerjaan yang biasa—mengambil keputusan, menilai kesempatan, memercayai rekan kerja atau pelanggan, menginvestasikan sumber daya, dan lain-lainnya—tetapi Yakobus mendorong kita untuk “meminta dengan iman, dan sama sekali jangan bimbang” bahwa Allah akan memberikan hikmat yang kita butuhkan. Masalah kita bukan karena kita mengharapkan terlalu banyak pertolongan Allah di tempat kerja, tetapi karena kita berharap terlalu sedikit (Yakobus 1:8).

Hal ini penting sekali kita pahami. Jika kita meragukan bahwa Allah adalah sumber dari segala yang kita perlukan, kita seperti yang disebut Yakobus dengan “mendua hati.” Kita tidak bisa memutuskan apakah akan mengikut Kristus atau tidak. Ini membuat kita “terombang-ambing kian ke mari,” dan kita tidak akan dapat berbuat banyak untuk kepentingan siapa pun, bahkan untuk “menerima sesuatu dari Tuhan” untuk diri kita sendiri (Yakobus 1:7). Yakobus tahu betapa sulitnya memercayai Allah. Ia tahu benar pencobaan-pencobaan yang sudah mulai dialami pendengarnya di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi (Yakobus 1:1-2). Namun ia menegaskan bahwa kehidupan orang Kristen harus dimulai dengan percaya bahwa Allah akan memelihara.

Ia langsung menerapkan hal ini pada masalah ekonomi di Yakobus 1:9-11. Orang kaya tidak boleh bermegah bahwa kekayaannya adalah hasil usahanya sendiri. Jika kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, kita akan “layu/gugur” meskipun kita terus melakukan yang biasa kita lakukan. Sebaliknya, orang miskin tidak boleh menganggap keadaannya sebagai akibat tidak diperkenan Allah. Mereka justru harus berharap “diangkat” Allah. Kesuksesan atau kegagalan bisa disebabkan oleh banyak faktor yang di luar kendali kita. Orang yang pernah kehilangan mata pencahariannya akibat resesi, perusahaan yang dijual, relokasi kantor, gagal panen, diskriminasi, kerusakan akibat badai, atau seribu faktor lainnya, dapat memberi kesaksian tentang hal itu. Allah tidak menjanjikan kesuksesan ekonomi dalam pekerjaan kita, atau menjerumuskan kita dalam kegagalan kerja, tetapi Dia memakai kesuksesan maupun kegagalan itu untuk mengembangkan ketekunan yang diperlukan dalam mengatasi kejahatan. Jika Yakobus 1:1-8 mengundang kita untuk berseru kepada Allah dalam masa kesusahan, ayat 9-11 mengingatkan kita untuk berseru kepada-Nya dalam masa kesuksesan juga.

Perhatikan bahwa meskipun Yakobus mempertentangkan kebaikan Allah dengan kejahatan dunia, ia tidak membolehkan kita berpikir bahwa kita berada di pihak malaikat, dan orang-orang di sekitar kita berada di pihak Si Jahat. Sebaliknya, pemilahan antara yang baik dan yang jahat terjadi di hati setiap orang Kristen. “Tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yakobus 1:14). Ia mengatakan hal ini kepada para anggota gereja. Dan ini seharusnya membuat kita tidak cepat-cepat mengidentifikasi gereja sebagai tempat kerja yang baik atau buruk. Ada kejahatan di dalam maupun di luar gereja—seperti yang diingatkan skandal-skandal gereja dan penipuan-penipuan bisnis pada kita—tetapi atas kasih karunia Allah, kita bisa mendatangkan kebaikan pada keduanya.

Sesungguhnya, komunitas Kristen adalah salah satu sarana yang dipakai Allah untuk mengangkat orang miskin. Janji Allah untuk memelihara orang miskin dipenuhi – sebagian -melalui kemurahan hati umat-Nya, dan kemurahan hati mereka ini merupakan akibat langsung dari kemurahan hati Allah kepada mereka. “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna datangnya dari atas, turun dari Bapa segala terang” (Yakobus 1:17). Hal ini meneguhkan baik bahwa Allah sebagai sumber pemeliharaan tertinggi maupun bahwa orang percaya bertanggung jawab untuk melakukan semua yang dapat mereka lakukan untuk membawa pemeliharaan Allah kepada orang-orang yang membutuhkan.

Mendengarkan, Bereaksi, dan Menjauhi Amarah (Yakobus 1:19-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus melanjutkan pedoman praktisnya dengan nasihat tentang mendengarkan. Orang Kristen perlu mendengarkan dengan saksama baik orang lain (Yakobus 1:19) maupun Allah (Yakobus 1:22-25). “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19). Kita mendengarkan bukan sebagai kiat untuk memengaruhi orang lain, tetapi sebagai cara mempersilakan firman Tuhan “membuang segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak” (Yakobus 1:21). Yang menarik, Yakobus mengatakan bahwa mendengarkan orang lain—bukan hanya mendengarkan firman Tuhan—adalah sebuah cara untuk melepaskan diri kita dari kejahatan. Ia tidak berkata bahwa orang lain itu menyampaikan firman Allah kepada kita. Namun, ia berkata bahwa mendengarkan orang lain akan membuang amarah dan arogansi yang menghalangi kita untuk melakukan firman Tuhan yang disampaikan dalam Kitab Suci. “Kemarahan manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah… Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatim, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu” (Yakobus 1:20-21). Ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang tidak kita sukai—ketidaksetujuan, kritik, penolakan—mudah sekali untuk merespons dengan kemarahan, apalagi dalam situasi-situasi tekanan-tinggi di tempat kerja. Namun, berbuat seperti itu biasanya malah memperburuk keadaan kita, dan selalu merusak kesaksian kita sebagai hamba Kristus. Betapa lebih baiknya memercayai Allah yang akan membela kita, daripada kita membela diri sendiri dengan kata-kata amarah dan gegabah.

Nasihat ini berlaku untuk segala macam pekerjaan dan tempat kerja. Dalam literatur bisnis, mendengarkan sudah dikenal sebagai keterampilan kepemimpinan yang sangat penting.[1] Bisnis-bisnis harus mendengarkan dengan baik para pelanggan, karyawan, investor, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang sesungguhnya, organisasi-organisasi perlu mendengarkan orang-orang yang berharap kebutuhannya dipenuhi. Ini mengingatkan kita bahwa tempat kerja dapat menjadi tanah yang subur bagi pekerjaan Allah, seperti halnya Kekaisaran Romawi, meskipun di tengah kesulitan dan penganiayaan.

Pelaku Firman: Bekerja untuk Orang Lain Yang Membutuhkan (Yakobus 1:22-27)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian ini membawa kita kepada prinsip yang kedua tentang pekerjaan yang tepat—bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. “Hendaklah kamu menjadi pelaku firman, dan bukan hanya pendengar saja. Sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22). Prinsip ini jelas berasal dari prinsip percaya bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan kita. Jika kita percaya Allah akan memenuhi kebutuhan kita, kita akan merasa bebas untuk bekerja bagi kebaikan orang lain. Sebaliknya, jika kepercayaan kita pada Allah tidak memimpin kita untuk bertindak bagi kebaikan orang lain yang membutuhkan, menurut Yakobus, kita tidak benar-benar memercayai Allah. Seperti yang dikatakannya, “Ibadah yang murni dan tidak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita ialah: mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka” (Yakobus 1:27). Percaya berarti menunjukkan kepercayaan, dan kepercayaan memimpin kepada tindakan.

Sumber pemikiran Yakobus tampaknya berasal dari Yesus sendiri, khususnya pengajaran-Nya tentang orang miskin dan kepedulian praktis yang Dia tunjukkan kepada berbagai kelompok marjinal. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam kutipan Yakobus tentang ajaran Yesus mengenai tempat istimewa orang miskin dalam kerajaan Allah (Yakobus 2:5; Lukas 6:20), serta peringatan-peringatan Yesus tentang harta kekayaan “di bumi” yang tidak abadi (Yakobus 5:1-5; Matius 6:19).

Hal ini bisa diterapkan langsung di dunia kerja karena memenuhi kebutuhan adalah tanda sukses nomor satu dalam bekerja, entah di bidang bisnis, pendidikan, layanan kesehatan, tugas pemerintahan, profesi-profesi, nirlaba, dan lain-lainnya. Organisasi yang sukses memenuhi kebutuhan pelanggan, karyawan, investor, warga masyarakat, mahasiswa, klien, dan pemangku kepentingan lainnya. Sukses memenuhi kebutuhan ini bukan fokus utama Yakobus—ia lebih berfokus pada kebutuhan orang miskin atau tak berdaya—tetapi hal memenuhi kebutuhan ini tetap berlaku. Setiap kali suatu organisasi memenuhi kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, organisasi itu sedang melakukan pekerjaan Allah.

Penerapan ini tidak terbatas pada melayani pelanggan di perusahaan yang mapan. Perlu kreativitas yang jauh lebih besar—dan lebih menunjukkan tentang pemeliharaan Tuhan—ketika orang Kristen memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang terlalu miskin untuk menjadi pelanggan perusahaan yang mapan. Sebagai contoh, sekelompok orang Kristen mendirikan pabrik perabot rumahtangga di Vietnam untuk menyediakan pekerjaan bagi orang-orang yang tingkat sosial ekonominya paling rendah di sana. Melalui pabrik itu, Allah memenuhi kebutuhan para pelanggan dari luar negeri yang memerlukan perabot dan juga kebutuhan para pekerja lokal yang sebelumnya menganggur.[1] Demikian pula, TriLink Global, perusahaan investasi yang dipimpin Gloria Nlund, membantu membuka perusahaan-perusahaan di negara berkembang sebagai cara memenuhi kebutuhan orang-orang miskin dan terpinggirkan.[2]

Tugas orang Kristen tidak berakhir dengan melayani orang miskin dan membutuhkan melalui tempat kerja masing-masing. Struktur-struktur sosial dan sistem-sistem politik-ekonomi sangat memengaruhi terpenuhinya kebutuhan orang miskin. Sejauh orang Kristen dapat memengaruhi struktur dan sistem ini, kita punya tanggung jawab untuk memastikan kebutuhan orang-orang miskin dan membutuhkan terpenuhi, seperti halnya kebutuhan orang-orang kaya dan berkuasa.

Menindas Orang Miskin dan Menjilat Orang Kaya (Yakobus 2:1-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus menerapkan kedua prinsip pokoknya sebagai peringatan terhadap favoritisme terhadap orang kaya dan berkuasa. Ia memulai dengan prinsip kedua—bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. “Jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci, ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,’ kamu berbuat baik. Namun jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa” (Yakobus 2:8–9). Dosa itu adalah ketika kita berpihak pada orang kaya dan berkuasa, kita sedang melayani diri sendiri dan bukan orang lain. Ini karena orang kaya dan berkuasa berpotensi memberikan sedikit kekayaan dan kekuasaannya pada kita. Orang miskin tak bisa berbuat apa-apa untuk kita. Namun, mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Yakobus menjelaskan hal ini dengan menunjukkan perlakuan khusus yang diberikan kepada orang kaya dan berpakaian bagus di gereja, sementara orang miskin dan lusuh diperlakukan dengan hina. Bahkan dalam hal sesederhana datang ke gereja, orang miskin membutuhkan sambutan. Orang kaya—yang biasa disambut di mana-mana—tidak membutuhkan itu.

Yakobus mengutip Imamat 19:18 - “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” - untuk menunjukkan bahwa sikap memihak orang kaya dan mengucilkan atau merendahkan orang miskin merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah seperti halnya membunuh atau berzinah (Yakobus 2:8-12). Melakukan hal ini berarti kita tidak memperlakukan sesama manusia seperti diri kita sendiri, atau bahkan kita tidak menyadari bahwa orang miskin adalah sesama kita.

Meskipun Yakobus sedang berbicara tentang pertemuan-pertemuan di gereja, penerapan ini juga berlaku dalam hal kerja. Di tempat kerja, kita bisa memerhatikan orang-orang yang membantu kita maupun yang membutuhkan bantuan kita. Di tempat kerja yang sehat, hal ini mungkin hanya masalah penekanan. Di tempat kerja yang disfungsional—di mana orang saling diadu dalam perebutan kekuasaan—perlu keberanian untuk berpihak pada yang tak berdaya. Menolak untuk berpihak bisa sangat berbahaya ketika kita dihadapkan pada favoritisme yang sudah berurat-akar di masyarakat, seperti diskriminasi etnis, stereotip gender, atau kefanatikan agama.

Meskipun Yakobus menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan prinsip bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan, penerapan ini secara implisit menegakkan prinsip tentang memercayai Allah. Jika kita benar-benar percaya Allah akan memelihara kita, kita tidak akan tergoda untuk menjilat atau terlalu mencari muka pada orang kaya dan berkuasa. Kita juga tidak akan takut untuk bergaul dengan orang-orang yang tidak populer di tempat kerja atau sekolah. Yakobus tidak menasihati kita untuk berbuat baik meskipun tidak beriman pada Kristus atau memercayai pemeliharaan Allah. Yakobus justru menunjukkan bahwa perbuatan baik hanya dimungkinkan oleh karena percaya pada Kristus. Ironisnya, orang miskin malah sudah menghidupi kebenaran ini setiap hari. “Bukankah Allah telah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada orang-orang yang mengasihi Dia?” (Yakobus 2:5). Kemungkinan inilah acuan untuk perkataan Yesus dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:3; Lukas 6:20). Orang miskin mewarisi Kerajaan bukan karena mereka lebih baik daripada orang kaya, tetapi karena mereka percaya kepada Allah. Karena tidak bisa bersandar pada diri sendiri, atau mencari muka pada orang kaya, mereka belajar bersandar pada Allah.

Iman dan Kerja (Yakobus 2:14-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus membahas topik tentang kerja secara rinci di bagian kedua pasal 2. Ketika membahas tentang pekerjaan, ia selalu memakai bentuk jamak (Yunani: erga), bukan bentuk tunggal (Yunani: ergon). Hal ini membuat sebagian orang berasumsi bahwa Yakobus memakai bentuk jamak untuk mengartikan pekerjaan yang berbeda dari bentuk tunggalnya. Namun, erga dan ergon hanyalah bentuk jamak dan tunggal dari kata yang sama.[1] Yakobus di sini sedang menjelaskan berbagai macam pekerjaan, mulai dari pekerjaan yang menunjukkan kemurahan hati seperti memberi makan orang kelaparan, sampai pekerjaan yang benar-benar dilakukan secara langsung, seperti meningkatkan hasil panen yang berkelanjutan. Penggunaan bentuk jamak menunjukkan bahwa ia berharap pekerjaan orang Kristen berlangsung terus-menerus.

Fokus Yakobus pada pekerjaan/perbuatan menimbulkan kontroversi mendalam tentang surat itu. Luther sangat tidak menyukai surat Yakobus karena ia membaca Yakobus 2:24 (“Kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman”) sebagai kontradiksi dari Galatia 2:16 (“Tidak seorang pun yang dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, tetapi melalui iman dalam Yesus Kristus”). Tokoh-tokoh Reformasi Protestan lainnya tidak berpandangan seperti ini, tetapi keberatan Luther sangat mendominasi interpretasi orang Protestan tentang kitab Yakobus.[2]

Meskipun kita tidak dapat membahas perdebatan panjang tentang Luther dan kitab Yakobus di sini, kita dapat menyelidiki secara singkat apakah penekanan Yakobus tentang kerja/tindakan bertentangan dengan penolakan ajaran Protestan tentang “dibenarkan karena perbuatan.”

Apa yang dikatakan oleh Yakobus sendiri? Yakobus 2:14 bisa dikatakan sebagai inti pendapatnya, jadi kita akan membahas bagian ini lebih dulu sebelum melanjutkan: “Apa gunanya saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman padahal ia tidak mempunyai perbuatan?” Yakobus secara blak-blakan menjawab pertanyaannya sendiri dengan mengatakan, “Jadi, jika iman itu tidak disertai perbuatan, iman itu pada hakikatnya mati” (Yakobus 2:17) - mati (seperti yang ia tuliskan dalam contoh yang dipilihnya dengan cermat) sebagai orang yang sangat membutuhkan makanan tetapi hanya menerima kata-kata ucapan selamat yang kosong dari sesamanya (Yakobus 2:15-16). Yakobus sudah menganggap sebagai hal yang lazim bahwa percaya pada Kristus (memercayai Allah) akan menggerakkan Anda untuk berbelas kasihan—dan bertindak menolong—orang yang membutuhkan.

Kita memiliki kesempatan-kesempatan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan orang-orang di tempat kita bekerja. Kesempatan ini bisa sesederhana memastikan pelanggan yang bingung mendapatkan barang yang tepat untuk kebutuhannya, atau memerhatikan bahwa rekan kerja yang baru memerlukan bantuan tetapi takut untuk bertanya. Yakobus mendorong kita untuk memberi perhatian khusus kepada orang-orang yang rentan atau terpinggirkan, dan kita mungkin perlu berlatih memerhatikan orang-orang semacam ini di tempat kerja kita.

Inilah inti dari kitab Yakobus. Yakobus tidak menganggap pekerjaan/perbuatan bertentangan dengan iman. Tidak ada “pembenaran karena perbuatan” karena tidak akan ada perbuatan baik jika tidak/belum ada iman (kepercayaan) kepada Allah. Yakobus tidak bermaksud mengatakan bahwa iman bisa ada tanpa perbuatan namun tidak cukup untuk keselamatan. Maksudnya adalah bahwa semua “iman” yang tidak memimpin kepada perbuatan adalah mati; dengan kata lain, itu bukanlah iman sama sekali. “Sebagaimana tubuh tanpa roh mati, demikian juga iman tanpa perbuatan mati” (Yakobus 2:26). Yakobus tidak memerintahkan orang Kristen untuk bekerja bagi kebaikan orang lain yang membutuhkan sebagai ganti beriman pada Kristus, atau bahkan sebagai tambahan beriman pada Kristus. Ia berharap orang Kristen akan bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan sebagai hasil dari beriman pada Kristus.[3]

Pandangan bahwa iman Kristen selalu memimpin kepada tindakan praktis itu sendiri merupakan pelajaran bagi dunia kerja. Kita tidak dapat membagi dunia menjadi yang rohani dan yang praktis, karena yang rohani itu juga praktis. “Engkau lihat bahwa iman [Abraham] bekerja sama dengan perbuatan-perbuatannya,” kata Yakobus (Yakobus 2:22). Oleh karena itu kita tak pernah bisa berkata, “Aku percaya pada Yesus dan aku pergi ke gereja, tetapi aku menjauhkan iman pribadiku dari pekerjaan/perbuatanku.” Iman seperti itu adalah iman yang mati. Perkataan Yakobus, “Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yakobus 2:24) justru menantang kita untuk menunjukkan komitmen kita kepada Kristus dalam pekerjaan/tindakan kita sehari-hari.

Bagian selanjutnya dari surat ini memberikan penerapan-penerapan praktis untuk kedua prinsip pokok tentang memercayai Allah dan bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Dengan mengingat evaluasi kita tentang Yakobus 2:14-26, kita akan melanjutkan dengan perspektif bahwa penerapan-penerapan ini adalah hasil/akibat dari beriman dalam Kristus, yang berlaku pada zaman Yakobus dan menjadi pelajaran pada zaman kita.

Menjinakkan Lidah (Yakobus 3:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus menindaklanjuti penerapan praktisnya tentang mendengarkan (lihat Yakobus 1:19-21) dengan nasihat senada tentang berkata-kata. Di sini ia memakai kata-kata yang paling menohok dalam kitab itu. “Lidah pun adalah api. Lidah merupakan suatu dunia kejahatan di antara anggota-anggota tubuh kita; sesuatu yang menodai seluruh tubuh dan membakar roda kehidupan kita, sedangkan lidah itu sendiri dibakar oleh api neraka. . . . Ia tidak terkuasai, jahat dan penuh racun mematikan” (Yakobus 3:6, 8). Yakobus pasti tahu betul amsal-amsal Perjanjian Lama yang berbicara tentang kuasa lidah yang memberi-hidup (seperti Amsal 12:18, “Ada orang yang mulutnya lancang seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan”), dan ia juga menyadari kekuatan lidah yang bisa mematikan. Banyak orang Kristen sangat berhati-hati agar tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kasar di gereja. Bukankah kita seharusnya juga sama berhati-hatinya di tempat kerja agar tidak “mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah”? (Yakobus 3:9, merujuk pada Kejadian 1:26–27). Gosip, fitnah, pelecehan, olok-olok dalam persaingan—siapa yang tak pernah terluka oleh kata-kata kasar di tempat kerja, dan siapa yang tak pernah menyakiti orang lain?

Ambisi Egois dan Ketundukan pada Allah (Yakobus 3:13 -4:12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus 3:14 - 4:12 juga menggunakan sepasang prinsip tentang percaya pada Allah dan melayani orang lain yang membutuhkan. Seperti biasa, Yakobus memakainya dengan urutan terbalik, dengan membahas pelayanan lebih dulu dan baru kemudian kepercayaan. Dalam hal ini, Yakobus memulai dengan nasihat tentang ambisi yang egois (keinginan/hawa nafsu yang hanya untuk memuaskan diri sendiri), disusul dengan nasihat untuk tunduk pada Allah.

Ambisi Yang Egois (Yakobus 3:13 - 4:12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ambisi yang Egois adalah Hambatan dalam Membawa Damai (Yakobus 3:16 - 4:11)

Ambisi yang egois (hawa nafsu untuk memuaskan keinginan sendiri) adalah kebalikan dari melayani kebutuhan orang lain. Bagian ini diringkas dengan tepat di Yakobus 3:16: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” Yakobus menyoroti tindakan tertentu yang mengalahkan ambisi yang egois: membawa damai.[1] “Buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang membawa damai” (Yakobus 3:18). Dengan cara yang khas, ia lalu mengaitkannya dengan dunia kerja—dalam hal ini buah yang dihasilkan—untuk menyampaikan maksudnya. Ia menyebutkan beberapa hal tentang membawa damai: berduka atas kemalangan yang kita timbulkan pada orang lain (Yakobus 4:9), merendahkan diri (Yakobus 4:10), tidak memfitnah, menuduh dan menghakimi (Yakobus 4:11), penuh belas kasihan dan tulus ikhlas (Yakobus 3:17). Semua ini dapat dan harus dilakukan orang Kristen di tempat kerja.

Ambisi Yang Egois Diatasi dengan Ketundukan pada Allah (Yakobus 4:2–5)

Ambisi yang egois menimbulkan pertengkaran dan perkelahian di dalam komunitas Kristen, dan Yakobus berkata penyebab dasarnya adalah karena mereka tidak bersandar pada Allah. “Kamu mengingini sesuatu tetapi tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh. Kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah meminta, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yakobus 4:2-3). Kita tidak bersandar pada Allah ketika kita bahkan tidak meminta yang kita butuhkan kepada-Nya. Yang menarik, alasan kita tidak bersandar pada Allah adalah karena kita ingin memuaskan kesenangan kita sendiri daripada melayani orang lain. Ini membuat kedua prinsip menjadi satu kesatuan yang menyatu. Yakobus mengibaratkannya sebagai persahabatan/perselingkuhan dengan dunia, yang artinya godaan untuk percaya bahwa kita bisa mendapatkan kekayaan dan kesenangan di dunia tanpa Allah (Yakobus 4:4-5).[2]

Berinvestasi pada Orang Lain (Yakobus 4:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun Yakobus memakai gambaran tentang perzinahan, ia sedang berbicara tentang ambisi egois secara umum. Di tempat kerja, salah satu godaannya adalah memanfaatkan orang lain sebagai batu loncatan untuk kesuksesan kita sendiri. Ketika kita mencuri penghargaan atas pekerjaan seorang bawahan atau rekan kerja, ketika kita menyembunyikan informasi dari saingan kita tentang promosi, ketika kita melemparkan kesalahan kepada orang yang tidak ada di tempat untuk membela diri, ketika kita memanfaatkan situasi orang yang sedang kesulitan, kita bersalah karena ambisi yang egois. Yakobus benar bahwa ini adalah sumber utama segala pertengkaran. Ironisnya, ambisi yang egois justru bisa menghambat kesuksesan, bukan memuluskannya. Semakin tinggi posisi kita dalam organisasi, semakin kita bergantung pada orang lain untuk sukses. Ketergantungan ini bisa sesederhana mendelegasikan tugas kepada bawahan, maupun serumit mengkoordinir tim proyek internasional. Namun, jika kita punya reputasi menginjak orang lain untuk maju, bagaimana kita bisa berharap orang lain akan memercayai dan mengikuti kepemimpinan kita?

Solusinya ada pada ketundukan kepada Allah, yang menciptakan semua manusia menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27) dan yang mengutus Anak-Nya untuk mati bagi semua orang (2 Korintus 5:14). Kita tunduk pada Allah setiap kali kita menyerahkan ambisi kita untuk melayani orang lain daripada memuaskan diri kita sendiri. Apakah kita ingin meningkatkan posisi otoritas dan keunggulan? Bagus, kalau begitu kita harus mulai dengan menolong pekerja lain meningkatkan otoritas dan keunggulan mereka. Apakah kesuksesan memotivasi kita? Bagus, kalau begitu kita harus berinvestasi pada kesuksesan orang-orang di sekitar kita. Ironisnya, berinvestasi pada kesuksesan orang lain ternyata juga bisa menjadi hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk diri kita sendiri. Menurut pakar ekonomi Elizabeth Dunn dari Universitas British Columbia dan Michael Norton dari Sekolah Bisnis Harvard, berinvestasi pada orang lain membuat kita lebih bahagia daripada menghabiskan uang untuk diri sendiri.[1]

Prakiraan Bisnis (Yakobus 4:13-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus beralih ke satu penerapan baru saat ia memberi peringatan khusus tentang prakiraan bisnis.[1] Agak tidak seperti biasanya, ia lebih dulu berfokus pada prinsip memercayai Allah. Ia mengawali dengan kata-kata yang membangkitkan kesadaran: “Jadi, sekarang kamu yang berkata, 'Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,' sedangkan kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yakobus 4:13-14). Mungkin sepertinya Yakobus menyalahkan perencanaan bisnis jangka pendek. Namun, perencanaan ke depan bukanlah fokus perhatiannya. Menganggap diri kita bisa mengendalikan yang akan terjadi itulah yang menjadi keprihatinannya.

Ayat berikutnya membantu kita memahami maksud Yakobus yang sebenarnya: “Sebenarnya kamu harus berkata, ‘Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu’.” (Yakobus 4:15). Masalahnya bukanlah perencanaan; tetapi merencanakan seolah-olah masa depan ada di tangan kita. Kita bertanggung jawab menggunakan dengan bijak sumber daya, kemampuan, koneksi, dan waktu yang diberikan Allah pada kita. Namun, kita tak mengendalikan hasilnya. Banyak bisnis sangat menyadari betapa tak dapat diprediksinya hasil yang didapat, meskipun perencanaan dan pelaksanaan terbaik sudah diupayakan. Laporan tahunan semua perusahaan dagang publik akan menonjolkan bagian risiko-risiko yang dihadapi perusahaan secara rinci, yang seringkali sampai sepuluh atau dua puluh halaman. Pernyataan-pernyataan seperti “Harga saham kami bisa berfluktuasi berdasarkan faktor-faktor yang di luar kendali kami” menunjukkan dengan jelas bahwa perusahaan-perusahaan sekuler sangat peka terhadap ketidakpastian yang dibicarakan Yakobus.

Lalu mengapa Yakobus harus memperingatkan orang percaya tentang hal yang sudah dipahami dengan baik oleh bisnis-bisnis umum? Mungkin karena orang percaya kadang suka berfantasi sendiri bahwa mengikut Kristus akan membuat mereka kebal terhadap ketidakpastian hidup dan kerja. Ini salah. Perkataan Yakobus justru seharusnya membuat orang Kristen makin menyadari akan perlunya evaluasi-ulang, penyesuaian dan penyelarasan terus-menerus. Perencanaan kita harus fleksibel dan pelaksanaannya harus responsif terhadap keadaan yang berubah. Di satu sisi, ini hanyalah soal penyelenggaraan bisnis yang baik. Namun, dalam arti yang lebih mendalam, ini adalah masalah rohani, karena kita bukan saja perlu memerhatikan kondisi pasar, tetapi juga pimpinan Allah dalam pekerjaan kita. Hal ini membawa kita kembali kepada nasihat Yakobus tentang mendengarkan dengan penuh perhatian. Kepemimpinan Kristen tidak meliputi memaksa orang lain untuk mengikuti segala rencana dan tindakan kita, tetapi menyelaraskan diri kita dengan firman Allah dan pimpinan-Nya yang dinyatakan dalam hidup kita.

Penindasan terhadap Pekerja (Yakobus 5:1-6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus kembali kepada prinsip bahwa bekerja harus melayani kebutuhan orang lain. Perkataannya di awal pasal 5 sangat pedas. Ia memperingatkan “orang-orang kaya” supaya “menangis dan meratap atas kemalangan yang akan menimpa” (Yakobus 5:1). Meskipun emas di brankas dan jubah di lemari mereka terlihat berkilau seperti biasanya, Yakobus sangat yakin dengan kemalangan yang akan menimpa mereka sehingga ia bisa berbicara seolah-olah kekayaan mereka sudah membusuk: “Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat. Emas dan perakmu sudah berkarat” (Yakobus 5:2-3). Pemuasan diri-sendiri mereka hanya berhasil “menggemukkan” mereka “menjelang hari penyembelihan” (Yakobus 5:5). Hari penyembelihan tampaknya merujuk pada hari ketika Allah menghakimi orang-orang yang Dia panggil untuk memimpin dan memelihara umat-Nya, tetapi mereka malah mengorbankan umat-Nya (Zakharia 11:4-7).

Orang-orang kaya ini dihukum karena cara mereka mendapatkan kekayaan dan juga karena apa yang mereka lakukan (atau tidak mereka lakukan) dengan kekayaan itu setelah mereka mendapatkannya. Yakobus menggaungkan Perjanjian Lama ketika ia mengecam perilaku bisnis mereka yang tidak adil: “Sesungguhnya, upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai ladangmu, berteriak terhadap kamu, dan keluhan mereka yang menyabit panenmu sampai ke telinga Tuhan Semesta Alam” (Yakobus 5:4; lihat Imamat 19:13).[1] Uang yang seharusnya ada di tangan para pekerja malah bertengger di perbendaharaan pemilik lahan. Dan di sanalah uang itu terus disimpan—mereka menimbun kekayaan dan mengabaikan orang-orang yang membutuhkan di sekitar mereka (Yakobus 5:3).

Para pemimpin bisnis harus sangat bersungguh-sungguh dalam membayar pekerja mereka dengan adil. Analisis tentang yang dimaksud dengan upah yang adil tidak tercakup dalam pembahasan ini,[2] tetapi perkataan Yakobus “upah yang kamu tahan dari buruh…” (Yakobus 5:4) menyingkpkan tuduhan tentangs penyalahgunaan kekuasaan di pihak pemilik lahan yang kaya ini. Para pekerja berhak mendapatkan upah, tetapi orang-orang kaya dan berkuasa berusaha membayar mereka tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Orang kaya dan berkuasa sering memiliki cara untuk merusak sistem peradilan dan sangat mudah untuk menjalankan kekuasaan yang tidak adil bahkan tanpa menyadarinya. Penyalahgunaan kekuasaan meliputi penggolongan karyawan yang tidak tepat sebagai kontraktor independen, pencatatan pekerja yang tidak akurat dengan kode keterampilan yang lebih rendah, membayar pekerja perempuan atau kaum minoritas lebih rendah untuk pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan orang lain, memakai anak-anak untuk melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya yang tidak mau dilakukan orang dewasa. Penyalahgunaan kekuasaan tidak pernah dapat dimaafkan hanya karena hal itu disebut prosedur standar.

Yakobus juga menyalahkan orang-orang yang “hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya di bumi” (Yakobus 5:5). Hal yang dimaksud dengan hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya juga rumit, tetapi banyak orang Kristen yang dihadapkan pada masalah itu dalam satu dan lain hal. Keprihatinan utama Yakobus di bagian ini adalah kesejahteraan orang miskin, sehingga pertanyaan paling relevan bisa jadi adalah, “Apakah cara hidupku memperbaiki ataukah memperburuk kehidupan orang miskin? Apakah yang kulakukan dengan uang membantu mengangkat orang dari kemiskinan ataukah membuat orang tetap hidup dalam kemiskinan?”

Menantikan Hasil Yang Baik (Yakobus 5:7-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yakobus menutup suratnya dengan berbagai nasehat tentang kesabaran, kejujuran, doa, pengakuan dosa, dan penyembuhan. Seperti biasa, semua ini mengacu pada prinsip bahwa pekerjaan yang benar harus bermanfaat bagi orang lain atau harus dilakukan dengan bersandar pada Allah, atau keduanya. Dan seperti biasa, Yakobus membuat penerapan langsung pada dunia kerja.

Kesabaran

Yakobus memulai dengan contoh pekerjaan yang menggambarkan kedatangan Kristus yang akan datang: “Karena itu, Saudara-saudara, bersabarlah sampai kedatangan Tuhan. Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya, dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat” (Yakobus 5:7-8). Ia kemudian menggemakan perkataan ini saat mendekati akhir suratnya: “Elia adalah manusia sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa supaya hujan jangan turun, dan hujan pun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa lagi dan langit menurunkan hujan dan bumi pun mengeluarkan buahnya” (Yakobus 5:17-18).

Kesabaran dalam bekerja adalah bentuk bersandar pada Allah. Namun, sabar dalam bekerja itu sulit. Pekerjaan dilakukan untuk mendapatkan hasil—jika tidak, itu bukan pekerjaan—dan selalu ada godaan untuk memperoleh hasil tanpa benar-benar melakukan pekerjaan itu. Jika kita berinvestasi untuk menghasilkan uang, bukankah kita ingin menjadi cepat kaya daripada berlama-lama? Mentalitas itu membuat orang tertarik pada “permainan” saham, skema Ponzi, dan mempertaruhkan uang belanja dengan berjudi. Jika kita bekerja untuk dipromosikan, bukankah kita akan memposisikan diri kita lebih baik di mata para atasan kita dengan segala cara yang ada? Hal ini bisa membuat orang melakukan pengkhianatan, mencuri penghargaan orang lain, bergosip, dan menghancurkan tim. Jika kita bekerja untuk memenuhi kuota, mungkinkah kita akan memenuhinya lebih cepat dengan melakukan pekerjaan yang kualitasnya lebih rendah dan menyerahkan berbagai persoalan kepada orang berikutnya dalam rantai produksi? Dan semua ini bukan hanya masalah moralitas pribadi. Sistem produksi yang menghargai kualitas yang buruk sama buruknya atau lebih buruk dari pekerja yang memanfaatkannya.

Kejujuran

“Yang terutama, Saudara-saudaraku, jangan bersumpah demi surga maupun demi bumi, atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman” (Yakobus 5:12). Bayangkan tempat kerja yang orang-orangnya selalu mengatakan kebenaran - bukan sekadar menjauhi kebohongan, tetapi selalu mengatakan apa pun yang bisa memberi pemahaman paling akurat kepada pendengarnya tentang keadaan sebenarnya. Tidak perlu sumpah-sumpah, tidak perlu klarifikasi-klarifikasi yang berlaku surut, tidak perlu persyaratan kontrak yang menjelaskan siapa akan mendapat apa dalam kasus salah-saji atau kecurangan. Bayangkan jika para penjual selalu memberikan data informasi yang selengkap-lengkapnya tentang produknya, kontrak-kontrak selalu jelas bagi semua pihak, dan para atasan selalu memberikan penghargaan yang tepat kepada bawahannya. Bayangkan jika kita selalu memberi jawaban-jawaban yang memberikan gambaran seakurat mungkin, bukan yang diam-diam menyembunyikan informasi yang tidak menyenangkan tentang pekerjaan kita. Bisakah kita sukses dalam pekerjaan atau karier kita saat ini? Bisakah kita berhasil jika semua orang jujur maksimal? Apakah kita perlu mengubah definisi kita tentang kesuksesan?[1]

Doa

Yakobus kembali kepada prinsip bersandar pada Allah dalam pembahasannya tentang doa. “Kalau ada seseorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa” (Yakobus 5:13). “Apabila di antara kamu ada yang kurang berhikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah” (Yakobus 1:5). Yakobus mengajak kita untuk berbicara spesifik dengan Allah. “Ya Allah, aku tidak tahu bagaimana menangani kegagalan produksi ini, dan aku perlu pertolongan-Mu sebelum aku menghadap atasanku.” Allah sanggup melakukan yang kita perlukan, meskipun Dia tidak berjanji akan menjawab setiap doa persis seperti yang kita harapkan. Banyak orang Kristen tampaknya agak enggan untuk berdoa tentang hal-hal, situasi-situasi, orang-orang, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan, dan masalah-masalah spesifik yang kita jumpai setiap hari di tempat kerja. Kita melupakan nasihat Yakobus untuk meminta pimpinan dan bahkan hasil yang spesifik. Percayalah, kata Yakobus, maka Allah akan menjawab kita dalam situasi kehidupan nyata. “Mintalah kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati tanpa mencela, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Yakobus 1:5).

Pengakuan Dosa dan Penyembuhan

Yakobus mendorong kita untuk saling mengaku dosa, supaya kita sembuh (Yakobus 5:16). Perkataan paling menarik untuk dunia kerja adalah “saling/kepada satu sama lain.” Asumsinya manusia berdosa kepada satu sama lain, bukan hanya kepada Allah, dan di tempat kerja hal itu pasti terjadi. Kita menghadapi tekanan sehari-hari untuk menunjukkan hasil produksi dan kinerja, dan kita memiliki waktu yang terbatas untuk bekerja, sehingga kita sering bekerja tanpa mendengarkan, menyingkirkan orang-orang yang tidak sependapat, bersaing secara tidak adil, memonopoli sumber daya, meninggalkan kekacauan untuk dibereskan orang berikutnya, dan melampiaskan frustrasi kita pada rekan kerja. Kita melukai dan dilukai. Satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan saling mengaku dosa kepada satu sama lain. Jika seseorang baru saja menolak promosi rekan kerjanya dengan mengkritik kinerjanya secara tidak akurat, orang yang melakukan kesalahan itu perlu mengakuinya kepada orang yang dilukai di tempat kerja itu, bukan hanya kepada Tuhan pada waktu berdoa pribadi. Orang yang bersalah itu mungkin juga perlu mengakuinya di hadapan seluruh anggota departemen, jika ia benar-benar ingin menyembuhkan luka itu.

Apa motivasi kita dalam pengakuan dosa dan penyembuhan? Agar kita dapat melayani kebutuhan orang lain. “Siapa pun yang membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut” (Yakobus 5:20; penekanan pada yang dicetak miring). Menyelamatkan jiwa orang dari maut adalah melayani kebutuhan yang sangat mendalam! Dan bisa jadi —karena kita semua adalah orang berdosa— orang lain akan menyelamatkan jiwa kita dari maut dengan mengembalikan kita dari jalan kita yang sesat.