Permulaan Dunia Baru Allah (Kisah Para Rasul 1-4)
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Komunitas Misi (Kisah Para Rasul 1:6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam kitab Kisah Para Rasul, misi Yesus untuk memulihkan dunia seperti yang Allah kehendaki diubah menjadi misi komunitas pengikut Yesus. Kisah Para Rasul menelusuri kehidupan komunitas para pengikut Yesus ketika Roh membentuk mereka menjadi sekelompok orang yang bekerja dan menggunakan kekuasaan dan kekayaan yang berhubungan dengan kerja dengan cara yang berbeda dari dunia di sekitar mereka. Pekerjaan ini dimulai dengan penciptaan komunitas unik yang disebut gereja. Lukas memulai dengan komunitas “ketika berkumpul,” dan melanjutkan dengan misi untuk “memulihkan kerajaan bagi Israel” (Kisah Para Rasul 1:6). Untuk melaksanakan pekerjaan ini, komunitas itu pertama-tama harus berorientasi pada panggilannya bagi kerajaan Allah, dan kemudian pada identitasnya sebagai saksi kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Panggilan yang Berorientasi pada Kerajaan Allah (Kisah Para Rasul 1:8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Kisah Para Rasul dimulai dengan interaksi paska kebangkitan antara Yesus dan murid-murid-Nya. Yesus mengajar murid-muridnya tentang “kerajaan Allah” (Kisah Para Rasul 1:3). Mereka menjawab dengan pertanyaan tentang didirikannya kerajaan sosio-politik, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kisah 1:6).[1] Tanggapan Yesus berhubungan erat dengan kehidupan kita sebagai pekerja.
Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. (Kisah 1:7-8)
Pertama, Yesus menghentikan keingintahuan para murid tentang jadwal rencana Allah. “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya” (Kisah Para Rasul 1:7). Kita harus hidup dalam penantian akan kepenuhan kerajaan Allah, namun tidak dengan cara yang mempertanyakan kapan tepatnya waktu kedatangan Allah kembali di dalam Kristus. Kedua, Yesus tidak menyangkal bahwa Allah akan mendirikan kerajaan sosio-politik, yaitu “memulihkan kerajaan bagi Israel,” seperti yang diungkapkan dalam pertanyaan para murid.
Murid-murid Yesus semuanya menguasai Kitab Suci Israel. Mereka tahu bahwa kerajaan yang dilukiskan oleh para nabi bukanlah realita yang ada di dunia lain, melainkan kerajaan nyata yang penuh perdamaian dan keadilan di dunia yang diperbarui oleh kuasa Allah. Yesus tidak menyangkal realitas kerajaan yang akan datang ini, namun Dia memperluas batasan harapan para murid dengan memasukkan seluruh ciptaan ke dalam kerajaan yang diharapkan. Ini bukan sekedar kerajaan baru bagi wilayah Israel, tetapi “di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1:8).
Penggenapan kerajaan ini belum terjadi (“pada saat ini”) tetapi kerajaan itu sudah ada di sini, di dunia ini.
Aku juga melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah ... Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata, ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia’” (Wahyu 21:2-3).
Kerajaan surga datang ke bumi, dan Allah berdiam di sini, di dunia yang telah ditebus. Kenapa kerajaan itu belum ada di sini? Pengajaran Yesus menunjukkan bahwa sebagian dari jawabannya adalah karena murid-murid-Nya mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan manusia diperlukan untuk menyelesaikan ciptaan Allah bahkan di Taman Eden (Kejadian 2:5), namun pekerjaan kita menjadi cacat oleh Kejatuhan. Dalam Kisah Para Rasul 1 dan 2, Allah mengirimkan roh-Nya untuk memberdayakan pekerjaan manusia. “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku” (Kisah Para Rasul 1:8a). Yesus memberikan sebuah panggilan kepada para pengikut-Nya—bersaksi, dalam arti memberikan kesaksian tentang kuasa Roh Kudus dalam setiap bidang aktivitas manusia—yang penting bagi datangnya kerajaan. Karunia Roh Kudus dari Allah mengisi kesenjangan antara peran penting yang diberikan Allah pada pekerjaan manusia dan kemampuan kita untuk memenuhi peran tersebut. Untuk pertama kalinya sejak Kejatuhan, kerja kita memiliki kekuatan untuk berkontribusi dalam menggenapi kerajaan Allah pada saat Kristus datang kembali. Para ahli pada umumnya memandang Kisah Para Rasul 1:8 sebagai pernyataan terprogram bagi jilid kedua dari dua jilid tulisan Lukas ini.
Memang benar, keseluruhan kitab Kisah Para Rasul dapat dianggap sebagai suatu ekspresi panggilan Kristiani (yang terkadang terbata-bata) untuk memberikan kesaksian tentang Yesus yang bangkit. Namun memberikan kesaksian lebih dari sekedar menginjili. Kita tidak boleh salah mengira bahwa Yesus hanya berbicara tentang pekerjaan individual mengabarkan Injil kepada orang yang tidak percaya melalui perkataan. Sebaliknya, memberikan kesaksian tentang kerajaan yang akan datang terutama berarti hidup sekarang sesuai dengan prinsip-prinsip dan praktik kerajaan Allah. Kita akan melihat bahwa bentuk kesaksian Kristiani yang paling efektif seringkali—bahkan terutama—kehidupan bersama dalam komunitas ketika mereka menjalankan tugasnya.
Panggilan bersama Kristiani untuk bersaksi hanya mungkin terjadi melalui kuasa Roh Kudus. Roh mentransformasikan individu dan komunitas dengan cara-cara yang menyebabkan dinikmatinya hasil kerja manusia bersama-sama—terutama kekuasaan, sumber daya, dan pengaruh—dengan komunitas dan budaya sekitarnya. Komunitas bersaksi ketika yang kuat membantu yang lemah. Komunitas bersaksi ketika anggotanya menggunakan sumber daya mereka untuk memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Komunitas bersaksi ketika masyarakat sekitar melihat bahwa bekerja dalam jalan keadilan, kebaikan, dan keindahan akan membawa pada kehidupan yang lebih utuh.
Lokasi-lokasi yang disebutkan Yesus mengungkapkan bahwa kesaksian para murid menempatkan mereka dalam bahaya sosial. Kelompok murid Yahudi Yesus diperintahkan untuk berbicara mewakili seseorang yang baru saja disalib karena dianggap musuh Kekaisaran Romawi dan penghujat Allah Israel. Mereka dipanggil untuk menjalankan panggilan ini di kota di mana guru mereka dibunuh, di antara orang Samaria—musuh etnis Yahudi berdasarkan sejarah—dan di wilayah jangkauan Kekaisaran Romawi.[2]
Pendeknya, Kisah Para Rasul dimulai dengan suatu panggilan pengarah yang memanggil para pengikut Yesus pada tugas utama bersaksi. Bersaksi berarti, di atas segalanya, hidup sesuai dengan cara kerajaan Allah yang akan datang. Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, elemen terpenting dalam hidup ini adalah kita bekerja terutama demi kebaikan orang lain. Panggilan ini dimungkinkan oleh kuasa Roh Kudus dan dilaksanakan tanpa mempedulikan hambatan sosial. Panggilan pengarah ini tidak merendahkan nilai kerja manusia atau kehidupan kerja para murid Yesus demi mewartakan Yesus hanya dengan perkataan. Sebaliknya, Kisah Para Rasul akan berargumen dengan tegas bahwa semua pekerjaan manusia dapat menjadi ekspresi mendasar dari kerajaan Allah.
Identitas Kristen Sebagai Saksi Kerajaan Allah dalam Kehidupan Sehari-hari (Kisah Para Rasul 2:1-41)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak diragukan lagi bahwa kisah Pentakosta merupakan inti kehidupan komunitas Kristen mula-mula. Peristiwa inilah yang mengawali panggilan kesaksian yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul 1:8. Bagian kitab Kisah Para Rasul ini mengajukan klaim terhadap semua pekerja dalam dua cara. Pertama, kisah Pentakosta mengidentifikasi para pendengar Kristen dalam sebuah komunitas baru yang menghidupkan kembali penciptaan dunia—yaitu kerajaan Allah—yang dijanjikan oleh Allah melalui para nabi. Petrus menjelaskan fenomena pada hari Pentakosta dengan merujuk kepada nabi Yoel.
Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka, karena hari baru pukul sembilan, tetapi itulah yang difirmankan Allah dengan perantaraan Nabi Yoël: Akan terjadi pada hari-hari terakhir — demikianlah firman Allah — bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan pemuda-pemudimu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi. Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat. Aku akan mengadakan mukjizat-mukjizat di atas, di langit dan tanda-tanda ajaib di bawah, di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap. Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari Tuhan, hari yang besar dan mulia itu. Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan (Kisah 2:15-21).
Petrus mengacu pada bagian kitab Yoel yang menggambarkan pemulihan umat Allah yang diasingkan. Petrus menggunakan bagian ini untuk mengklaim bahwa Allah telah memulai penyelamatan umat-Nya untuk selamanya.[1] Kembalinya umat Allah ke bumi menggenapi janji-janji perjanjian Allah dan mengawali diciptakannya kembali dunia. Yoel menggambarkan penciptaan kembali ini dengan gambaran yang menakjubkan. Saat umat Allah kembali ke tanah perjanjian, gurun pasir menjadi hidup seperti Taman Eden yang baru. Tanah, hewan, dan manusia semuanya bersukacita atas kemenangan Allah dan pembebasan umat Allah (lihat Yoel 2). Di antara kayanya gambaran di bagian kitab Yoel ini, kita mendengar bahwa pemulihan umat Allah akan membawa dampak ekonomi langsung. “TUHAN menjawab, kata-Nya kepada umat-Nya: ‘Sesungguhnya, Aku akan mengirim kepadamu gandum, anggur dan minyak, dan kamu akan kenyang memakannya; Aku tidak akan menyerahkan kamu lagi menjadi cela di antara bangsa-bangsa.’” (Yoel 2:19). Klimaks dari tindakan pembebasan ini bagi Yoel adalah pencurahan Roh ke atas umat Allah. Petrus memahami kedatangan Roh Kudus berarti bahwa para pengikut Yesus mula-mula—dalam beberapa hal yang nyata, meskipun sangat misterius—adalah peserta dalam dunia baru Allah.
Poin kedua yang penting dan berkaitan erat adalah bahwa Petrus menggambarkan keselamatan sebagai penyelamatan dari “orang-orang yang jahat” (Kisah Para Rasul 2:40). Ada dua hal yang perlu diklarifikasi. Pertama, Lukas tidak menggambarkan keselamatan sebagai pelarian dari dunia ini kepada kehidupan surgawi. Sebaliknya, keselamatan dimulai tepat di tengah-tengah dunia saat ini. Kedua, Lukas berharap bahwa keselamatan mempunyai komponen yang berlangsung sekarang. Keselamatan ini dimulai dengan cara hidup yang berbeda, bertentangan dengan pola “orang-orang yang jahat” ini. Karena kerja dan konsekuensi ekonomi serta sosialnya sangat penting dalam identitas manusia, maka tidak mengherankan jika salah satu pola kehidupan manusia yang pertama kali harus disusun kembali adalah cara umat Kristen mengelola kekuasaan dan harta mereka. Jadi, alur bagian awal kitab Kisah Para Rasul ini adalah sebagai berikut: (1) Yesus menyarankan agar seluruh kehidupan manusia harus menjadi kesaksian tentang Kristus; (2) kedatangan Roh menandai dimulainya “hari Tuhan” yang telah lama dijanjikan dan menginisiasi manusia masuk ke dalam dunia baru Allah; dan (3) harapan akan “hari Tuhan” mencakup transformasi ekonomi yang besar. Langkah Lukas selanjutnya adalah menunjuk pada suatu bangsa baru, yang diberdayakan oleh Roh, hidup menurut suatu ekonomi kerajaan.
Komunitas Pengarah yang Mempraktikkan Cara-cara Kerajaan Allah: Kisah Para Rasul 2:42-4:32
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Petrus mengumumkan penciptaan komunitas jenis baru oleh Roh, Kisah Para Rasul menelusuri pertumbuhan pesat komunitas semacam itu di berbagai tempat. Komunitas yang dirangkumkan dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 dan 4:32-38 adalah deskripsi yang paling padat. Memang benar, teks-teks itu sendiri sangat luar biasa dalam menggambarkan ruang lingkup komitmen dan kehidupan bersama orang-orang beriman mula-mula.[5] Karena rangkumannya banyak persamaannya, maka kita akan membahasnya secara berbarengan.
Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Lalu ketakutan melanda semua orang, sebab rasul-rasul itu mengadakan banyak mukjizat dan tanda ajaib. Semua orang yang percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah dan mereka disukai semua orang. Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan. (Kisah 2:42-47)
Kini seluruh kelompok orang-orang yang beriman itu sehati dan sejiwa, dan tidak ada seorang pun yang menyatakan kepemilikan pribadi atas suatu harta benda, tetapi semua yang mereka miliki adalah milik bersama. Dengan kuasa yang besar rasul-rasul terus memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus, dan kasih karunia melimpah atas mereka semua. Tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka, karena banyak orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjualnya dan membawa hasil penjualannya. Mereka meletakkannya di depan kaki rasul-rasul, dan dibagikan kepada masing-masing orang sesuai kebutuhan. Ada seorang Lewi, penduduk asli Siprus, Yusuf, yang oleh para rasul diberi nama Barnabas (yang berarti “anak penghiburan”). Ia menjual sebidang tanah miliknya, lalu membawa uangnya dan menaruhnya di kaki para rasul (Kisah 4:32-37).
Meskipun teks-teks ini tidak menggambarkan kerja secara langsung, teks-teks ini sangat memperhatikan penyebaran kekuasaan dan kepemilikan, dua realitas yang seringkali merupakan hasil dari kerja manusia. Hal pertama yang perlu diperhatikan, dibandingkan dengan masyarakat sekitar, adalah bahwa komunitas Kristen mempunyai praktik yang sangat berbeda dalam penggunaan kekuasaan dan harta benda. Jelaslah bahwa umat Kristen mula-mula memahami bahwa kekuasaan dan harta benda individu tidak boleh disimpan demi kenyamanan individu, namun harus dibelanjakan atau diinvestasikan secara bijaksana demi kebaikan komunitas Kristen. Singkatnya, harta benda ada untuk kebaikan sesama. Lebih dari segalanya, hidup dalam kerajaan Allah berarti bekerja demi kebaikan sesama.
Ada dua hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, teks-teks ini meminta kita untuk memahami identitas kita terutama sebagai anggota komunitas Kristen. Kebaikan masyarakat adalah kebaikan setiap individu anggotanya. Kedua, hal ini merupakan perubahan radikal dari ekonomi patronase yang menjadi ciri Kekaisaran Romawi. Dalam sistem patronase, pemberian dari pihak kaya kepada pihak miskin menciptakan suatu struktur kewajiban yang sistematis. Setiap hadiah dari seorang dermawan menyiratkan hutang sosial yang kini diderita si penerima. Sistem ini menciptakan semacam kemurahan hati semu di mana pemberi yang murah hati sering kali memberi demi kepentingan pribadi, berupaya mendapatkan kehormatan yang terkait dengan patronase.[6] Intinya, perekonomian Romawi memandang “kemurahan hati” sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan dan status sosial. Gagasan tentang kewajiban timbal balik yang sistematis ini sama sekali tidak ada dalam uraian di Kisah 2 dan 4. Dalam komunitas Kristen, memberi harus dimotivasi oleh kepedulian yang tulus terhadap kesejahteraan si penerima, bukan demi kehormatan si dermawan. Memberi tidak ada hubungannya dengan si pemberi dan semuanya demi si penerima.
Ini adalah sistem sosio-ekonomi yang sangat berbeda. Seperti Injil Lukas, Kisah Para Rasul secara teratur menunjukkan bahwa pertobatan Kristen menghasilkan perubahan pendekatan terhadap kepemilikan dan kekuasaan. Selain itu, desakan bahwa harta harus digunakan demi kepentingan sesama secara eksplisit berpola dari kehidupan, misi, dan—terutama—kematian Yesus yang mengorbankan diri-Nya. (Lihat Lukas dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.)
Ekonomi Kemurahan Hati yang Radikal (Kisah Para Rasul 2:45; 4:34-35)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTerdapat perdebatan yang terus berlanjut mengenai apakah rangkuman komunitas ini menganjurkan sistem ekonomi tertentu atau tidak, dengan beberapa penafsir menggambarkan praktik komunitas tersebut sebagai “proto-komunisme” dan yang lain melihat adanya kewajiban divestasi barang. Namun dalam teks tersebut tidak ada upaya untuk mengubah struktur di luar komunitas Kristen. Memang sulit membayangkan kelompok kecil, terpinggirkan, dan tidak berdaya secara sosial mempunyai rencana untuk mengubah sistem ekonomi kekaisaran. Jelas bahwa komunitas itu tidak sepenuhnya memilih keluar dari sistem ekonomi di kekaisaran. Kemungkinan besar, para nelayan tetap menjadi anggota kartel penangkapan ikan dan pengrajin terus berbisnis di pasar.[7]
Bagaimanapun, Paulus terus membuat tenda untuk mendukung perjalanan misionarisnya (Kisah 18:3).
Sebaliknya, dalam teks tersebut ada sesuatu yang jauh lebih menuntut. Dalam gereja mula-mula, orang-orang kaya dan berkuasa melikuidasi harta benda mereka demi kepentingan pihak yang kurang berkuasa “dari waktu ke waktu” (Kisah 4:34) “kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kisah 2:45; 4:35). Hal ini menggambarkan semacam ketersediaan radikal sebagai status normal dari harta milik setiap orang. Artinya, sumber daya—baik materi, politik, sosial, atau praktis—dari setiap anggota komunitas selalu berada dalam kendali komunitas Kristen, meskipun masing-masing anggota tetap mengawasi sumber daya mereka sendiri. Ketimbang secara sistematis mengatur distribusi kekayaan sedemikian rupa untuk memastikan kesetaraan yang merata, gereja mula-mula menerima kenyataan adanya ketidakseimbangan ekonomi, namun mempraktikkan kemurahan hati yang radikal dimana harta benda ada untuk kepentingan keseluruhan, bukan untuk individu. Bentuk kemurahan hati ini, dalam banyak hal, lebih menantang dibandingkan sistem peraturan yang kaku. Hal ini memerlukan sikap tanggap yang berkelanjutan, keterlibatan timbal balik dalam kehidupan anggota komunitas, dan kesediaan terus-menerus untuk memegang harta benda secara longgar, menghargai hubungan dalam komunitas lebih dari rasa aman (yang palsu) atas kepemilikan harta benda.[8]
Sangat mungkin bahwa sistem dalam sistem ini diilhami oleh idealisme ekonomi yang diungkapkan dalam hukum Israel, yang mencapai puncaknya dalam praktik Yobel—redistribusi tanah dan kekayaan di Israel yang dilakukan sekali dalam lima puluh tahun (Imamat 25:1-55). Yobel dirancang oleh Allah untuk memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap sarana mencari nafkah, sebuah idealisme yang tampaknya belum pernah dilakukan secara luas oleh umat Allah. Namun Yesus, memulai pelayanan-Nya dengan serangkaian teks dari Yesaya 61 dan 58 yang menghasilkan banyak sekali tema Yobel:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18–19)
Etika Yobel lebih lanjut disinggung dalam Kisah Para Rasul 4:34, di mana Lukas mengatakan kepada kita “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka.” Hal ini nampaknya merupakan gaung langsung dari Ulangan 15:4, di mana praktik tahun Sabat (Yobel mini yang diadakan setiap tujuh tahun sekali) dirancang untuk memastikan bahwa “tidak akan ada orang miskin di antaramu.”
Sudah sepatutnya komunitas Kristen melihat hal ini sebagai model kehidupan ekonomi mereka. Namun jika di Israel kuno, tahun Sabat dan tahun Yobel hanya dilaksanakan setiap tujuh dan lima puluh tahun, ketersediaan yang radikal menandai sumber daya komunitas Kristen mula-mula. Kita dapat membayangkannya dengan cara yang serupa dengan Khotbah di Bukit. “Engkau telah mendengar pepatah lama, 'Berikan kembali tanahmu kepada mereka yang tidak memiliki tanah setiap lima puluh tahun sekali,' namun aku mengatakan kepadamu, 'Sediakan kekuatan dan sumber dayamu kapan pun engkau melihat ada yang membutuhkannya.” Kemurahan hati yang radikal didasarkan pada kebutuhan orang lain menjadi dasar praktik ekonomi dalam komunitas Kristen. Kita akan mengeksplorasi hal ini secara mendalam melalui peristiwa-peristiwa dalam kitab Kisah Para Rasul.
Praktik gereja mula-mula menantang umat Kristiani kontemporer untuk berpikir secara imajinatif tentang model kemurahan hati yang radikal saat ini. Bagaimana ketersediaan radikal dapat menjadi saksi kerajaan Allah dan membentuk suatu cara alternatif yang masuk akal dalam menata kehidupan manusia dalam budaya yang ditandai dengan upaya gigih untuk mengejar kekayaan dan rasa aman pribadi?
Roh Kudus Memberdayakan Kemurahan Hati Radikal Dengan Segala Jenis Sumber Daya (Kisah Para Rasul 2:42-47; 4:32-38)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDua poin terakhir penting untuk diperhatikan sehubungan dengan penggunaan sumber daya dalam komunitas Kristen mula-mula. Pertama adalah perlunya ada Roh Kudus dalam mempraktekkan kemurahan hati yang radikal. Gambaran komunitas dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 dan 4:32-38 langsung mengikuti dua manifestasi utama Roh Kudus yang pertama. Lukas sangat jelas dalam menempatkan hubungan antara kehadiran dan kuasa Roh Kudus dan kemampuan komunitas untuk hidup dengan kemurahan hati seperti Kristus. Kita perlu paham bahwa salah satu karya mendasar Roh Kudus dalam kehidupan umat Kristiani mula-mula adalah dikembangkannya komunitas yang memiliki sikap yang sangat berbeda terhadap penggunaan sumber daya. Jadi, meskipun kita sering kali terjebak dalam mencari manifestasi Roh yang lebih spektakuler (penglihatan, bahasa roh, dan sebagainya), kita perlu mempertimbangkan fakta bahwa tindakan sederhana yaitu berbagi atau keramahtamahan yang konsisten mungkin merupakan salah satu karunia Roh Kudus yang luar biasa.
Kedua, agar kita tidak berpikir bahwa kata ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki sumber daya keuangan, kita melihat Petrus dan Yohanes menunjukkan bahwa semua sumber daya harus digunakan demi kepentingan orang lain. Dalam Kisah Para Rasul 3:1-10, Petrus dan Yohanes bertemu dengan seorang pengemis di gerbang Bait Suci. Pengemis itu mencari uang, padahal Petrus dan Yohanes tidak memilikinya. Namun mereka mempunyai kesaksian tentang kedatangan kerajaan itu melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Oleh karena itu, Petrus menjawab, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, bangkit dan berjalanlah!” (Kisah Para Rasul 3:6). Ini adalah contoh pembagian sumber daya yang tidak berhubungan dengan kekayaan moneter. Penggunaan kuasa dan kedudukan untuk membangun komunitas akan terjadi pada beberapa kesempatan selanjutnya dalam Kisah Para Rasul.
Mungkin ekspresi yang paling mengharukan terjadi ketika Barnabas—yang, dalam Kisah Para Rasul 4:32-38, merupakan contoh kemurahan hati yang radikal dalam hal sumber daya keuangan—juga memberikan sumber daya sosialnya kepada Paulus, membantu menyambutnya ke dalam persekutuan para rasul di Yerusalem yang enggan terhadapnya. (lihat Kisah Para Rasul 9:1-31). Contoh lainnya adalah Lidia, yang memanfaatkan status sosialnya yang tinggi di industri tekstil di Tiatira sebagai sarana masuknya Paulus ke kota Tiatira (Kisah 16:11-15). Modal sosial perlu dikerahkan, seperti modal lainnya, demi kebaikan kerajaan sebagaimana dipahami oleh komunitas Kristen.
Komunitas yang Adil adalah Kesaksian bagi Dunia (Kisah Para Rasul 2:47; 6:7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika sumber daya dikerahkan dengan tepat dalam kehidupan komunitas Kristen—seperti yang terjadi setelah pemilihan pelayan di Kisah Para Rasul 6—komunitas itu menjadi magnet. Kehidupan komunitas yang berkeadilan—yang terutama ditandai dengan penggunaan kekuasaan dan harta benda yang berpusat pada orang lain—menarik orang-orang kepada komunitas tersebut dan kepada kepala komunitas tersebut, yaitu Yesus. Ketika komunitas itu menggunakan kepemilikan dan hak istimewanya untuk memberikan kehidupan kepada mereka yang membutuhkan, ketika sumber daya individu sepenuhnya diserahkan untuk memberi manfaat bagi orang lain dalam komunitas, maka orang-orang berbondong-bondong bergabung. Kita telah melihat bahwa “tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 2:47). Hal ini juga terlihat jelas setelah pelayanan yang diberdayakan oleh Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul pasal 6. Pekerjaan tujuh diaken yang membentuk komunitas dan memajukan keadilan menghasilkan kehidupan bagi banyak orang. “Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya” (Kisah Para Rasul 6:7).