Bootstrap

Ekonomi Kemurahan Hati yang Radikal (Kisah Para Rasul 2:45; 4:34-35)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Acts an orienting community that practices the ways of gods kingdom acts 2 42 47 4 32 38

Terdapat perdebatan yang terus berlanjut mengenai apakah rangkuman komunitas ini menganjurkan sistem ekonomi tertentu atau tidak, dengan beberapa penafsir menggambarkan praktik komunitas tersebut sebagai “proto-komunisme” dan yang lain melihat adanya kewajiban divestasi barang. Namun dalam teks tersebut tidak ada upaya untuk mengubah struktur di luar komunitas Kristen. Memang sulit membayangkan kelompok kecil, terpinggirkan, dan tidak berdaya secara sosial mempunyai rencana untuk mengubah sistem ekonomi kekaisaran. Jelas bahwa komunitas itu tidak sepenuhnya memilih keluar dari sistem ekonomi di kekaisaran. Kemungkinan besar, para nelayan tetap menjadi anggota kartel penangkapan ikan dan pengrajin terus berbisnis di pasar.[7]

Bagaimanapun, Paulus terus membuat tenda untuk mendukung perjalanan misionarisnya (Kisah 18:3).

Sebaliknya, dalam teks tersebut ada sesuatu yang jauh lebih menuntut. Dalam gereja mula-mula, orang-orang kaya dan berkuasa melikuidasi harta benda mereka demi kepentingan pihak yang kurang berkuasa “dari waktu ke waktu” (Kisah 4:34) “kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kisah 2:45; 4:35). Hal ini menggambarkan semacam ketersediaan radikal sebagai status normal dari harta milik setiap orang. Artinya, sumber daya—baik materi, politik, sosial, atau praktis—dari setiap anggota komunitas selalu berada dalam kendali komunitas Kristen, meskipun masing-masing anggota tetap mengawasi sumber daya mereka sendiri. Ketimbang secara sistematis mengatur distribusi kekayaan sedemikian rupa untuk memastikan kesetaraan yang merata, gereja mula-mula menerima kenyataan adanya ketidakseimbangan ekonomi, namun mempraktikkan kemurahan hati yang radikal dimana harta benda ada untuk kepentingan keseluruhan, bukan untuk individu. Bentuk kemurahan hati ini, dalam banyak hal, lebih menantang dibandingkan sistem peraturan yang kaku. Hal ini memerlukan sikap tanggap yang berkelanjutan, keterlibatan timbal balik dalam kehidupan anggota komunitas, dan kesediaan terus-menerus untuk memegang harta benda secara longgar, menghargai hubungan dalam komunitas lebih dari rasa aman (yang palsu) atas kepemilikan harta benda.[8]

Sangat mungkin bahwa sistem dalam sistem ini diilhami oleh idealisme ekonomi yang diungkapkan dalam hukum Israel, yang mencapai puncaknya dalam praktik Yobel—redistribusi tanah dan kekayaan di Israel yang dilakukan sekali dalam lima puluh tahun (Imamat 25:1-55). Yobel dirancang oleh Allah untuk memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap sarana mencari nafkah, sebuah idealisme yang tampaknya belum pernah dilakukan secara luas oleh umat Allah. Namun Yesus, memulai pelayanan-Nya dengan serangkaian teks dari Yesaya 61 dan 58 yang menghasilkan banyak sekali tema Yobel:

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18–19)

Etika Yobel lebih lanjut disinggung dalam Kisah Para Rasul 4:34, di mana Lukas mengatakan kepada kita “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka.” Hal ini nampaknya merupakan gaung langsung dari Ulangan 15:4, di mana praktik tahun Sabat (Yobel mini yang diadakan setiap tujuh tahun sekali) dirancang untuk memastikan bahwa “tidak akan ada orang miskin di antaramu.”

Sudah sepatutnya komunitas Kristen melihat hal ini sebagai model kehidupan ekonomi mereka. Namun jika di Israel kuno, tahun Sabat dan tahun Yobel hanya dilaksanakan setiap tujuh dan lima puluh tahun, ketersediaan yang radikal menandai sumber daya komunitas Kristen mula-mula. Kita dapat membayangkannya dengan cara yang serupa dengan Khotbah di Bukit. “Engkau telah mendengar pepatah lama, 'Berikan kembali tanahmu kepada mereka yang tidak memiliki tanah setiap lima puluh tahun sekali,' namun aku mengatakan kepadamu, 'Sediakan kekuatan dan sumber dayamu kapan pun engkau melihat ada yang membutuhkannya.” Kemurahan hati yang radikal didasarkan pada kebutuhan orang lain menjadi dasar praktik ekonomi dalam komunitas Kristen. Kita akan mengeksplorasi hal ini secara mendalam melalui peristiwa-peristiwa dalam kitab Kisah Para Rasul.

Praktik gereja mula-mula menantang umat Kristiani kontemporer untuk berpikir secara imajinatif tentang model kemurahan hati yang radikal saat ini. Bagaimana ketersediaan radikal dapat menjadi saksi kerajaan Allah dan membentuk suatu cara alternatif yang masuk akal dalam menata kehidupan manusia dalam budaya yang ditandai dengan upaya gigih untuk mengejar kekayaan dan rasa aman pribadi?