Kitab Ibrani dan Kerja
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Introduksi Kitab Ibrani
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Ibrani memberi landasan kuat dalam memahami nilai kerja di dunia. Kitab ini memberikan tuntunan praktis dalam mengatasi kejahatan di tempat kerja, mengembangkan irama kerja dan istirahat, melayani orang-orang di tempat kita bekerja, sabar dalam kesusahan, membawa damai di tempat kerja, bertekun dalam jangka panjang, menunjukkan keramahtamahan, menumbuhkan sikap memberi-hidup dalam hal keuangan, dan menemukan kesetiaan dan sukacita di tempat kerja yang tampaknya kasih Kristus seringkali kurang nyata.
Kitab ini didasarkan pada satu pesan mendasar: Dengarkanlah Yesus! Sebagian orang percaya saat itu sedang merasakan tekanan untuk meninggalkan Mesias dan kembali kepada perjanjian yang lama. Kitab Ibrani mengingatkan mereka bahwa Yesus Raja, yang oleh-Nya dunia telah diciptakan, adalah juga Imam Besar Agung yang sempurna di segala langit, yang telah mengadakan perjanjian baru dan lebih baik dengan konsekuensi-konsekuensi yang konkret di bumi. Dialah Kurban persembahan tertinggi atas dosa dan Pengantara/Pendoa Syafaat utama kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita tak perlu mencari ke mana-mana lagi untuk diselamatkan, kita hanya perlu memercayakan diri kepada Kristus, hidup dalam ketaatan kepada-Nya sampai Dia membawa kita ke kota Allah yang diubahkan dan diperbarui. Di sana kita akan menemukan hari perhentian Sabat yang kekal, yang bukan penghentian kerja, tetapi penyempurnan siklus kerja dan istirahat sebagaimana yang dimaksud Allah dalam tujuh hari penciptaan.
Kristus Menciptakan dan Menopang Dunia (Ibrani 1:1-2:8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYang sangat penting dari teologi kitab Ibrani adalah bahwa Kristus menciptakan dan menopang dunia. Dialah Anak yang “melalui Dia juga [Allah] telah menciptakan alam semesta” (Ibr.1:2). Dengan demikian, kitab Ibrani adalah kitab tentang Kristus, Pencipta, yang bekerja di tempat kerja-Nya, dunia ciptaan. Hal ini mungkin mengejutkan bagi orang yang biasa berpikir bahwa yang mencipta hanya Bapa. Namun, kitab Ibrani cocok dengan isi kitab Perjanjian Baru lainnya (seperti Yoh. 1:3; Kol. 1:15-17) yang menyebut Kristus sebagai agen/perwakilan Bapa dalam penciptaan.[1] Karena Kristus adalah Allah sepenuhnya, “cahaya kemuliaan Allah dan gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya” (Ibr. 1:3), penulis kitab Ibrani dapat secara berganti-ganti menyebut Kristus atau Bapa sebagai Pencipta.
Lalu bagaimana kitab Ibrani menggambarkan Kristus yang bekerja dalam penciptaan? Dia adalah Pembangun, yang meletakkan dasar bumi dan membuat langit. “Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu” (Ibr. 1:10). Dia juga Penopang ciptaan yang ada, dengan menopang “segala sesuatu dengan firman-Nya yang penuh kuasa” (Ibr. 1:3). “Segala sesuatu” ini tentu saja meliputi kita juga: “Sebab setiap rumah dibangun oleh seseorang, tetapi Allahlah yang membangun segala sesuatu . . . dan rumah-Nya ialah kita, jika kita berpegang teguh” (Ibr. 3:4, 6). Semua ciptaan dibangun oleh Allah melalui Anak-Nya. Ini meneguhkan dengan jelas dunia ciptaan sebagai tempat utama kehadiran Allah dan keselamatan.
Gambaran Allah sebagai Pekerja terus berlanjut di sepanjang kitab Ibrani. Dia mendirikan Tempat Kudus atau kemah sejati (Ibr. 8:2; tersirat di Ibr. 9:24), merancang model atau cetak biru kemah suci pada zaman Musa (Ibr. 8:5), serta merancang dan membangun kota (Ibr. 11:10,16; 12:22; 13:14). Dia adalah Hakim di pengadilan dan sekaligus Eksekutornya (Ibr. 4:12-13; 9:28; 10:27-31; 12:23). Dia Pemimpin militer (Ibr. 1:13), Orang tua (Ibr. 1:5; 5:8; 8:9; 12:4-11), Tuan yang mengatur rumahtangganya (Ibr. 10:5), Petani (Ibr. 6:7-8), Penulis Hukum (Ibr. 8:10), Pemberi Upah (Ibr. 10:35; 11:6), dan Penyembuh (Ibr. 12:13).[2]
Memang benar bahwa Ibrani 1:10-12, yang mengutip Mazmur 102, menunjukkan perbedaan antara Pencipta dan ciptaan:
"Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu. Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian; seperti jubah Engkau akan menggulung mereka, dan seperti pakaian mereka akan diganti, tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan."
Ini sangat sesuai dengan penekanan pada sifat kefanaan hidup di dunia ini dan perlunya merindukan kota abadi di langit baru dan bumi baru. Namun, penekanan di Ibrani 1:10-12 adalah pada kekuasaan Tuhan dan penyelamatan-Nya, bukan pada kerapuhan semesta.[3] Tuhan terus bekerja di dunia ciptaan.
Manusia bukan hanya produk ciptaan Allah, tetapi kita juga sub-pencipta (atau rekan pencipta, jika Anda lebih suka) bersama Dia. Seperti Anak-Nya, kita dipanggil untuk bekerja mengurus dunia. “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya, atau anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Engkau telah membuatnya untuk waktu yang singkat lebih rendah daripada malaikat-malaikat, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, segala sesuatu telah Engkau takhlukkan di bawah kaki-Nya” (Ibr. 2:6-8, mengutip Mzm. 8).[4] Jika menganggap manusia sebagai partisipan dalam karya penciptaan kedengarannga agak congkak, kitab Ibrani mengingatkan kita, “Yesus tidak malu menyebut mereka saudara” (Ibr. 2:11).
Jadi, pekerjaan kita dimaksudkan untuk menyerupai pekerjaan Allah. Pekerjaan yang memiliki nilai kekal. Ketika kita membuat komputer, pesawat terbang atau pakaian, menjual sepatu, memberi jaminan pinjaman, memanen kopi, membesarkan anak, memerintah kota, provinsi, dan negara, atau melakukan berbagai macam pekerjaan kreatif, kita sedang bekerja bersama Allah dalam pekerjaan penciptaan-Nya.
Intinya, Yesuslah yang paling bertanggung jawab atas penciptaan, dan hanya dengan bekerja di dalam Dia, kita dapat dipulihkan untuk kembali bersekutu dengan Allah. Hanya cara ini yang membuat kita dapat merebut kembali kedudukan kita sebagai wakil Allah di bumi. Tujuan penciptaan manusia digenapi dalam Yesus, yang di dalam-Nya kita menemukan pola/teladan (Ibr. 2:10; 12:1-3), pemeliharaan (Ibr. 2:10-18), tujuan, dan harapan dalam semua pekerjaan kita. Namun kita melakukannya pada zaman yang ditandai dengan kekecewaan dan ancaman kematian, yang membuat eksistensi kita bisa menjadi sia-sia (Ibr. 2:14-15). Kitab Ibrani mengakui bahwa “kita belum melihat segala sesuatu ditaklukkan” kepada cara-cara kerajaan-Nya (Ibr. 2:8). Kejahatan masih memiliki pengaruh kuat sekarang ini.
Semua ini sangat penting untuk memahami yang akan disampaikan kitab Ibrani kemudian tentang surga dan “dunia yang akan datang” (Ibr. 2:5). Kitab Ibrani tidak mempertentangkan dua dunia yang berbeda—dunia jasmani yang buruk dan dunia rohani yang baik. Namun kitab ini mengakui bahwa ciptaan Allah yang baik telah tunduk kepada kejahatan. dan karena itu perlu pemulihan radikal agar dapat sepenuhnya menjadi baik lagi. Seluruh ciptaan—bukan hanya jiwa manusia—sedang dalam proses ditebus oleh Kristus. “Dalam menaklukkan segala sesuatu kepada-Nya, tidak ada suatu apa pun yang Ia kecualikan, yang tidak takluk kepada-Nya” (Ibr. 2:8).
Ciptaan Telah Tunduk kepada Kejahatan (Ibrani 2:14 - 3:6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun Kristus menciptakan dunia seluruhnya baik, dunia sudah ternoda dan menjadi tunduk kepada “yang berkuasa atas maut, yaitu iblis” (Ibr. 2:14). Penulis kitab Ibrani tidak berbicara banyak tentang bagaimana hal ini terjadi, tetapi ia berbicara panjang lebar tentang bagaimana Allah bekerja untuk “membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan karena takutnya kepada maut,” yaitu “keturunan Abraham” (Ibr. 2:15-16); yang berarti keturunan Abraham dari Ishak (orang Yahudi) maupun dari Ismael (orang non-Yahudi) – yang bisa dikatakan, semua orang. Pertanyaan yang diajukan kitab Ibrani adalah, bagaimana Allah membebaskan manusia dari kejahatan/dosa, maut, dan Iblis? Jawabannya adalah melalui Yesus Kristus, Imam Besar Agung.
Kita akan membahas keimaman Yesus secara lebih mendalam ketika kita sampai pada pasal-pasal inti kitab ini (Ibr. 5-10). Untuk saat ini, kita akan memerhatikan bahwa pasal-pasal pembukaan kitab ini menegaskan bahwa pekerjaan penciptaan Yesus dan pekerjaan keimaman-Nya tidak terpisah satu sama lain. Kitab Ibrani ini menyatukan keduanya: “Ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi dan langit adalah buatan tangan-Mu” (Ibr. 1:10), dan “Supaya melalui kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibr. 2:14). Hal ini menunjukkan pada kita bahwa Kristus adalah agen/perwakilan Allah dalam penciptaan mula-mula maupun dalam pekerjaan penebusan. Setelah Kejatuhan, pekerjaan penciptaan Kristus memimpin-Nya untuk “membebaskan mereka yang seumur hidup berada dalam perhambaan” (Ibr. 2:15) dan “melakukan pengorbanan untuk menebus dosa-dosa manusia” (Ibr. 2:17).
Kita tahu betul seberapa jauh pekerjaan kita telah menyimpang dari maksud Allah yang semula. Beberapa pekerjaan ada terutama karena kita perlu mengendalikan kejahatan yang sekarang melanda dunia. Kita perlu polisi untuk mengatasi penjahat, diplomat untuk memulihkan perdamaian, ahli medis untuk menyembuhkan penyakit, penginjil untuk memanggil orang kembali kepada Allah, bengkel-bengkel untuk memperbaiki kerusakan, jurnalis investigatif untuk mengungkap korupsi, dan insinyur untuk membangun kembali jembatan yang rusak. Dan setiap pekerjaan sangat terdampak oleh akibat Kejatuhan. Manajemen yang kacau, perselisihan buruh dengan manajemen, gosip, pelecehan, diskriminasi, kemalasan, keserakahan, ketidak-tulusan, serta sejumlah masalah besar dan kecil lainnya, menghambat pekerjaan dan relasi kita di mana-mana. Solusi Allah bukanlah meninggalkan ciptaan-Nya, atau mengevakuasi manusia dari dunia ciptaan, tetapi mentransformasi seluruhnya, menciptakan kembali kebaikan-kebaikannya yang hakiki. Untuk mencapai hal ini, Dia mengutus Anak-Nya untuk berinkarnasi di dunia, sama seperti saat Dia menjadi Pencipta dunia. Di tempat kerja kita, kita adalah “rekan-rekan sekerja Kristus yang kudus yang mendapat bagian dalam panggilan surgawi” (Ibr. 3:1) untuk memelihara maupun memulihkan ciptaan-Nya. Hal ini tidak menggantikan pekerjaan penciptaan yang sudah dimulai di Taman Eden, tetapi hanya menyelaraskan dan menyatukannya. Pekerjaan penciptaan dan penebusan berjalan berdampingan dan saling menjalin sampai kedatangan Kristus kembali dan musnahnya kejahatan.
Peristirahatan Sabat dalam Kristus: Diperlukan dalam Perjalanan Hidup (Ibrani 3:7 - 4:16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun dunia/ciptaan merupakan pekerjaan baik Allah di dalam Kristus, jelas ada perbedaan mencolok antara dunia yang cemar saat ini dengan dunia mulia yang akan datang. Di Ibrani 2:5, penulis menggambarkan topik utamanya sebagai “dunia yang akan datang, yang kita bicarakan ini.” Ini menunjukkan bahwa fokus utama seluruh kitab ini adalah ciptaan yang disempurnakan Allah pada saat penggenapan segala sesuatu. Hal ini dibuktikan dengan panjangnya pembahasan tentang “Peristirahatan Sabat” yang mendominasi pasal 3 dan 4.
Di dalam kitab Ibrani, teks Perjanjian Lama sering dipakai sebagai titik tolak. Dalam hal ini, teks yang dipakai untuk menjelaskan tentang peristirahatan Sabat adalah cerita dalam kitab Keluaran. Seperti bangsa Israel dalam kitab Keluaran, umat Allah sedang dalam perziarahan menuju tempat keselamatan yang dijanjikan. Bagi bangsa Israel, tempat itu adalah Kanaan. Bagi kita, tempat itu adalah ciptaan/dunia yang disempurnakan. Peristirahatan Sabat di Ibrani 4:9-10 bukan hanya penghentian aktivitas (Ibr. 4:10), tetapi juga perayaan Sabat (Ibr. 12:22).[1] Melanjutkan cerita Perjanjian Lama, kitab Ibrani memakai penaklukan negeri di bawah pimpinan Yosua sebagai tanda berikutnya yang menunjuk kepada peristirahatan terakhir kita di dunia yang akan datang. Peristirahatan Yosua belum lengkap dan memerlukan penggenapan yang hanya didapat melalui Kristus. “Sebab andai kata Yosua telah membawa mereka masuk ke peristirahatan, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari yang lain” (Ibr. 4:8).
Setidaknya ada dua hal penting yang bisa didapat dari sini. Pertama, kehidupan di dunia saat ini akan meliputi pekerjaan yang sulit. Hal ini tersirat dari gambaran tentang perjalanan, yang sangat sentral dalam cerita Keluaran. Semua orang yang pernah melakukan perjalanan tahu bahwa perjalanan apa pun meliputi banyak jerih lelah. Kitab Ibrani memakai tema Sabat bukan hanya untuk menggambarkan peristirahatan, tetapi juga pekerjaan yang melingkupinya. Anda bekerja selama enam hari, dan kemudian Anda beristirahat. Demikian pula, Anda bekerja keras di dalam Kristus selama perjalanan hidup Anda, dan kemudian Anda beristirahat dalam Kristus ketika kerajaan Allah digenapi. Tentu saja, kitab Ibrani tidak mengatakan Anda tidak melakukan apa-apa selain bekerja—seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, ada juga waktu-waktu untuk beristirahat. Kitab Ibrani juga tidak mengatakan bahwa aktivitas kerja berakhir ketika kerajaan Kristus digenapi. Namun yang dikatakan adalah bahwa, orang Kristen memiliki pekerjaan yang harus dilakukan di sini dan saat ini. Kita tidak dimaksudkan untuk duduk-duduk saja di padang gurun, ongkang-ongkang kaki, dan menunggu Allah datang dan membuat hidup kita sempurna. Allah sedang bekerja melalui Kristus untuk memulihkan dunia yang hancur ini ke dalam keadaan yang Dia maksudkan semula. Dan kita mendapat hak istimewa untuk ikut berpartisipasi dalam pekerjaan besar ini.
Hal kedua berkaitan dengan peristirahatan Sabat mingguan dan ibadah. Penting dicatat bahwa penulis kitab Ibrani tidak membicarakan masalah Sabat mingguan, baik untuk menegaskan atau pun menyalahkan. Ia kemungkinan menganggap para pembacanya menjalankan Sabat dengan cara tertentu, tetapi kita tidak dapat memastikan. Di dalam kitab Ibrani, nilai peristirahatan mingguan ditentukan dari dampaknya bagi kerajaan yang akan datang. Apakah peristirahatan saat ini membuat kita makin terhubung dengan janji Allah tentang peristirahatan yang akan datang? Apakah peristirahatan itu menopang kita dalam perjalanan hidup? Apakah memelihara Sabat saat ini merupakan tindakan iman yang di dalamnya kita merayakan sukacita yang kita tahu akan digenapi dalam kekekalan? Tampaknya jelas bahwa peristirahatan Sabat (bagaimanapun hal ini dilakukan di dalam komunitas tertentu) akan menjadi cara ideal untuk mengingatkan kita bahwa pekerjaan kita bukanlah siklus tanpa akhir dari tugas membosankan yang tidak akan membawa ke mana-mana, melainkan aktivitas yang memiliki tujuan yang diselingi istirahat dan ibadah.
Dengan perspektif ini, rutinitas kerja mingguan kita - enam hari, atau bahkan satu hari - dapat menjadi latihan penyadaran rohani. Ketika kita merasakan “efek kutukan” terhadap pekerjaan (Kejadian 3:16-19) melalui kehancuran ekonomi, manajemen yang buruk, rekan kerja yang suka bergosip, anggota keluarga yang tidak menghargai, gaji yang tidak memadai, dan sebagainya, kita mengingatkan diri sendiri bahwa rumah Allah sudah dirusak dengan sangat parah oleh manusia yang menyewanya, dan kita merindukan perbaikan seutuhnya. Ketika pekerjaan kita berjalan lancar, kita mengingatkan diri kita bahwa dunia ciptaan Allah, dan pekerjaan kita di dalamnya, adalah hal yang baik, dan dalam ukuran tertentu, pekerjaan baik kita ikut mendukung pencapaian tujuan-tujuan-Nya bagi dunia. Dan pada hari Sabat, kita mengambil waktu untuk beribadah dan beristirahat.
Imam Besar Agung Kita (Ibrani 5:1 - 10:18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagian inti kitab Ibrani didominasi tema tentang Yesus sebagai Imam Besar Agung kita. Dengan memakai Mazmur 110 sebagai acuan, penulis Ibrani menyatakan bahwa Mesias ditentukan untuk menjadi “Imam menurut aturan Melkisedek” (Ibr. 5:6), dan bahwa keimamaman ini lebih tinggi daripada keimamanan orang Lewi yang mengatur kehidupan religius orang Israel. Menurut kitab Ibrani, keimamanan yang lama, di bawah perjanjian yang lama, tidak benar-benar dapat menghapus dosa, tetapi hanya dapat mengingatkan manusia akan dosa-dosa mereka melalui pengorbanan/persembahan kurban yang terus-menerus dilakukan oleh para imam yang tidak sempurna dan fana. Imam Besar Yesus melakukan satu pengorbanan yang definitif untuk selamanya dan menjadi Pengantara yang selalu hidup untuk menjadi pendoa syafaat kita. Di sini kita akan menyoroti implikasi dari kedua tema tentang pengorbanan dan pengantara/pendoa syafaat ini pada cara kita melakukan pekerjaan.
Pengorbanan Kristus Memungkinkan Kita untuk Melayani (Ibrani 5:1 - 7:28)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus, melalui pengorbanan/persembahan kurban diri-Nya sendiri, telah berhasil menghapus dosa manusia untuk selamanya. “Setelah mempersembahkan hanya satu kurban karena dosa, Kristus duduk untuk selama-lamanya di sebelah kanan Allah … Sebab oleh satu kurban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang dikuduskan” (Ibr. 10:12, 14). “Ia tidak seperti imam-imam besar itu, yang setiap hari harus mempersembahkan kurban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa-dosa umat. Sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri” (Ibr. 7:27). Penebusan dosa yang sempurna ini sering disebut sebagai “pekerjaan Kristus.”
Mungkin tampaknya pengampunan dosa hanyalah persoalan gereja atau rohani yang tidak memiliki implikasi apa-apa pada pekerjaan kita, tetapi ini jelas tidak benar. Sebaliknya, pengorbanan Yesus yang definitif itu berjanji membebaskan orang Kristen untuk menjalani kehidupan pelayanan yang bergairah bagi Allah dalam setiap aspek kehidupan. Teks ini menegaskan konsekuensi etis—atau praktis—dari pengampunan di Ibrani 10:16, “Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka.” Dengan kata lain, kita yang diampuni akan rindu melakukan kehendak Allah (dalam hati kita) dan akan menerima hikmat, visi, dan kemampuan untuk melakukannya (dalam pikiran kita).
Bagaimana hal ini terjadi? Banyak orang memandang aktivitas gereja kurang lebih sama seperti sebagian orang Israel memandang ritual-ritual perjanjian lama. Jika kita ingin mendapatkan kebaikan Allah, menurut orang-orang itu, kita perlu melakukan hal religius tertentu, karena tampaknya hal-hal itulah yang menarik bagi Allah. Pergi ke gereja adalah cara yang baik dan mudah untuk memenuhi persyaratan itu, meskipun sisi kelemahannya kita harus terus melakukannya setiap minggu agar “kekuatan gaib” itu tidak hilang. Kabar baik yang diperkirakan adalah jika kita sudah memenuhi kewajiban agama kita, kita bebas melakukan urusan kita tanpa terlalu banyak memikirkan Allah. Kita tentu saja tidak akan melakukan hal yang mengerikan, tetapi pada dasarnya kita akan berjalan sendiri sampai kita mengisi kembali bejana kita dengan kemurahan Allah ketika kita datang ke gereja lagi minggu depan.
Kitab Ibrani menolak pandangan tentang Allah yang seperti itu. Meskipun sistem pengorbanan orang Lewi adalah bagian dari tujuan-tujuan baik Allah bagi umat-Nya, tatacara pengorbanan ini selalu dimaksudkan untuk menunjuk melampaui persembahan kurban itu kepada pengorbanan definitif Kristus yang akan datang. Pengorbanan ini bukan seperti klinik kemurahan supernatural, tetapi ibarat kantin dalam perjalanan. Sekarang setelah Kristus datang dan menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, kita dapat mengalami pengampunan dosa yang sebenarnya melalui kasih karunia Allah secara langsung. Tidak diperlukan lagi melakukan ritual penyucian terus-menerus. Kita tidak punya bejana yang perlu—atau dapat—diisi dengan kemurahan Allah dengan melakukan kegiatan keagamaan. Dengan percaya pada Kristus dan pengorbanan-Nya, kita diperdamaikan dengan Allah. Ibrani 10:5 menyatakannya dengan sangat jelas: “Ketika Kristus masuk ke dunia, Ia berkata: ‘Kurban dan persembahan tidak Engkau kehendaki, tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagi-Ku’” (Ibr. 10:5).
Tentu saja ini tidak berarti bahwa orang Kristen tidak perlu pergi ke gereja atau bahwa ritual-ritual tidak mendapat tempat dalam ibadah Kristen. Namun yang sangat penting adalah bahwa pengorbanan Kristus yang sempurna berarti ibadah kita bukanlah tindakan religius yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan aspek kehidupan kita yang lain. Sebaliknya, ibadah kita adalah “persembahan kurban syukur” (Ibr. 13:15) yang menyegarkan relasi kita dengan Tuhan kita, menyucikan hati nurani kita, menguduskan kehendak kita, dan dengan demikian membebaskan kita untuk melayani Allah setiap hari, di mana pun kita berada.
Kita dikuduskan untuk melayani. “Sungguh, Aku datang … untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah,” kata Kristus (Ibr. 10:7). Melayani adalah akibat yang tidak terelakkan dari diampuni Allah. “Terlebih lagi darah Kristus, yang melalui Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tidak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup!” (Ibr. 9:14).[1]
Ironisnya, fokus pada pekerjaan keimaman Kristus di surga justru membawa kita kepada pelayanan di dunia yang sangat praktis. Pengorbanan yang dilakukan Kristus, yang pada akhirnya mengarah kepada pembaruan langit dan bumi (Ibr. 12:26; lihat juga Wahyu 21:1), sudah berlangsung di bumi ini. Demikian pula, pelayanan kita sendiri sedang berlangsung di sini dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Namun kita hidup dan bekerja di dunia ini dengan keyakinan bahwa Yesus telah berjalan mendahului kita dan menyelesaikan perjalanan yang sama dengan yang sedang kita jalani. Hal ini memberi kita keyakinan bahwa jerih lelah kita bagi Dia dalam setiap aspek kehidupan tidak akan sia-sia.
Doa Syafaat Yesus Memampukan Kita untuk Hidup dan Bekerja (Ibrani 7:1–10:18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiImam-imam di Israel kuno tidak hanya mempersembahkan kurban bagi umat, mereka juga berdoa syafaat. Demikianlah Yesus juga mendoakan kita di hadapan takhta Allah (Ibr. 7:25). “[Yesus] sanggup menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang melalui Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka” (Ibr. 7:25). “[Dia masuk] ke dalam surga sendiri untuk menghadap hadirat Tuhan demi kita” (Ibr. 9:24). Kita perlu Yesus untuk “selalu” mendoakan kita di hadirat Allah karena kita masih saja berbuat dosa, gagal, dan menyimpang. Perbuatan-perbuatan kita berkata buruk tentang kita di hadapan Allah, tetapi perkataan Yesus tentang kita merupakan kata-kata kasih di hadapan takhta Allah.
Untuk menerapkannya dalam hal kerja, bayangkan ketakutan yang mungkin dirasakan seorang insinyur muda ketika ia dipanggil untuk menghadap kepala departemen jalan raya pemerintah setempat. Apa yang bisa ia katakan kepada pimpinan itu? Menyadari bahwa proyek yang dikerjakannya berjalan lambat dan melebihi anggaran membuatnya semakin takut. Namun kemudian ia tahu bahwa supervisornya, seorang mentor yang penuh kasih, akan hadir juga dalam pertemuan itu. Dan ternyata supervisornya berteman baik dengan kepala departemen jalan raya itu sejak mereka masih di universitas. “Jangan takut,” sang mentor menenteramkan hati si insinyur, “Aku akan mengurus semuanya.” Bukankah insinyur muda itu akan memiliki kepercayaan diri yang lebih besar untuk menghadap pimpinan itu dengan kehadiran sahabat pimpinan itu?
Kitab Ibrani menegaskan bahwa Yesus bukan hanya Imam Besar, tetapi Dia juga Imam Besar yang solider dengan kita. “Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya, sama seperti kita, Ia telah dicobai dalam segala hal, hanya saja Ia tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Kembali ke ayat yang kita kutip sebelumnya, Yesus berkata kepada Allah tentang “tubuh yang telah Engkau sediakan bagi-Ku” (Ibr. 10:5). Kristus datang dengan tubuh manusia sejati, dan Dia benar-benar menjalani kehidupan sebagai seorang manusia seperti kita.
Untuk menjadi Imam Besar sejati, penulis menjelaskan, Yesus harus dapat bersimpati dengan manusia. Dia tidak dapat melakukan hal ini jika Dia tidak mengalami hal-hal yang sama seperti yang dialami manusia. Karena itu penulis dengan sangat cermat mengatakan bahwa Yesus telah belajar taat. “Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr. 5:8). Ini tentu saja tidak berarti bahwa Yesus harus belajar taat dengan cara seperti kita—dengan berhenti tidak menaati Allah. Namun ini berarti, Dia perlu mengalami penderitaan dan pencobaan secara langsung untuk memenuhi persyaratan sebagai Imam Besar. Ayat-ayat lain menyatakan hal yang sama dengan perkataan yang ekspresif, bahwa penderitaan-penderitaan Yesus “menyempurnakan” Dia (Ibr. 2:10; 5:9; 7:28). Arti sepenuhnya dari kata “sempurna” bukan hanya “tidak bercacat” tetapi juga “lengkap.” Yesus sudah tidak bercacat—tetapi untuk memenuhi syarat sebagai Imam Besar kita, Dia memerlukan penderitaan-penderitaan itu untuk menyempurnakan-Nya dalam pekerjaan itu. Bagaimana lagi Dia bisa benar-benar menyamakan diri seperti kita ketika kita bergumul di dunia ini hari demi hari?
Hal yang paling menghibur di sini adalah bahwa penderitaan dan pembelajaran ini terjadi dalam konteks pekerjaan Yesus. Dia tidak datang sebagai antropolog teologis yang “belajar” tentang dunia secara klinis dan abstrak, atau sebagai turis yang tiba-tiba muncul untuk berkunjung. Namun, Dia memasukkan diri-Nya ke dalam jalinan kehidupan manusia yang nyata, termasuk pekerjaan manusia secara nyata. Ketika kita menghadapi pergumulan di tempat kerja, kita jadi bisa datang kepada Imam Besar kita yang simpatik itu dengan keyakinan penuh Dia memahami benar yang sedang kita alami.
Merealisasikan Iman (Ibrani 10:19 - 11:40)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMengikut Yesus adalah pekerjaan yang sulit, dan hanya dengan iman percaya pada penggenapan pamungkas janji-janji-Nya, kita dapat terus maju. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat” (Ibr. 11:1). Kita perlu iman/ percaya bahwa janji-janji yang diberikan Allah itu benar, betapa pun tampaknya tidak mungkin hal itu bisa terjadi dalam situasi-situasi saat ini. Terjemahan yang lebih tepat dari ayat ini akan menolong kita melihat pentingnya nilai praktis dari iman atau mempraktikkan iman. “Iman adalah realisasi dari segala sesuatu yang diharapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.”[1] Kata “realisasi” sangat tepat di sini, karena makna ganda yang dimilikinya mengungkapkan dengan sempurna nuansa dari contoh-contoh iman yang dituliskan di Ibrani. 11. Ketika kita akhirnya melihat segala sesuatu dengan jelas, itu adalah satu bentuk realisasi. Kita akhirnya mengerti. Namun bentuk realisasi yang kedua adalah melihat segala sesuatu menjadi nyata, ketika yang kita harapkan akhirnya menjadi kenyataan. Para pahlawan iman di Ibrani 11 menyadari segala sesuatu dengan kedua cara itu. Dengan menerima bagian kedua dari ayat itu, mereka begitu yakin dengan yang dikatakan Allah itu sehingga mereka membuktikannya dengan perbuatan mereka.
Kitab Ibrani memberi kita contoh-contoh praktis tentang Nuh, Abraham, Musa, dan tokoh-tokoh Perjanjian Lama lainnya. Mereka semua menantikan penggenapan janji Allah tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang mereka alami saat ini. Nuh memiliki iman tentang dunia yang saleh setelah air bah, dan ia menyadari bahwa iman berarti membuat bahtera untuk menyelamatkan keluarganya (Ibr. 11:7). Abraham memiliki iman tentang kerajaan (atau “kota”) Allah yang akan datang (Ibr. 11:10), dan ia menyadari bahwa iman berarti melakukan perjalanan ke negeri yang dijanjikan Allah padanya, meskipun ia tidak tahu ke mana ia akan pergi (Ibr. 11:8-12). Musa memiliki iman tentang kehidupan dalam Kristus yang jauh melebihi segala kesenangan yang bisa ia dapatkan sebagai anak putri Firaun, dan ia menyadari bahwa iman berarti “lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah daripada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa” (Ibr. 11:25-26). Harapan-harapan dan janji-janji ini tidak semuanya digenapi pada masa hidup mereka, tetapi mereka hidup setiap hari seolah-olah sudah mengalami kuasa Tuhan untuk menggenapinya.
Iman seperti ini bukan angan-angan. Iman ini memerhatikan sungguh-sungguh penyataan-diri Allah dalam Kitab Suci (Ibr. 8:10-11), diikuti dengan “pertobatan dari perbuatan yang sia-sia” (Ibr. 6:1), ketekunan dalam “kasih dan perbuatan baik” (Ibr. 10:24), dan kemampuan untuk melihat tangan Tuhan bekerja di dunia (Ibr. 11:3), meskipun kejahatan dan kehancuran ada di sekitar kita. Pada akhirnya, iman adalah pemberian Roh Kudus (Ibr. 2:4), karena kita tidak akan pernah dapat berpegang pada iman semacam itu dengan kekuatan kehendak kita sendiri.
Pesan ini sangat penting bagi pembaca surat Ibrani, yang tergoda untuk melepaskan pengharapan mereka dalam Kristus sebagai ganti kehidupan yang lebih nyaman di sini dan saat ini. Mata mereka tidak tertuju pada kemuliaan yang akan datang, tetapi pada kekurangan yang ada saat ini. Kata-kata nasihat kitab ini adalah bahwa janji-janji Allah itu lebih kekal, lebih mulia, dan bahkan lebih nyata daripada segala kesenangan sementara saat ini dan di sini.
Jika kita hendak merealisasikan iman yang diberikan Allah pada kita, kita harus bekerja di antara ketegangan janji-janji Allah untuk yang akan datang dan realitas-realitas saat ini. Di satu sisi, kita harus menyadari betul sifat kesementaraan dan keterbatasan semua yang kita lakukan. Kita tak perlu heran jika segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan. “Namun mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu sekalipun telah diberi kesaksian yang baik tentang mereka karena iman” (Ibr. 11:39). Hal-hal yang terjadi saat kita berupaya sebaik-baiknya untuk melakukan pekerjaan baik bukan hanya bisa digagalkan oleh situasi, tetapi juga oleh kelakuan buruk manusia yang disengaja. Hal ini bisa membuat kita sedih, tetapi tidak menjadikan kita putus asa, karena mata kita tertuju pada kota Allah yang akan datang.
Adakalanya pekerjaan kita digagalkan oleh kelemahan-kelemahan kita sendiri. Kita gagal mencapai tujuan. Perhatikan nama-nama yang dituliskan di Ibrani 11:32. Ketika kita membaca kisah-kisah mereka, kita melihat dengan jelas kegagalan-kegagalan mereka sendiri, terkadang kegagalan yang signifikan. Ketika kita membaca sifat penakut Barak sebagai seorang jenderal (Hakim-hakim 4:8-9) dari kacamata manusia, kita mungkin tidak melihat iman sama sekali. Namun Allah melihat iman mereka melalui kacamata Allah dan menghargai pekerjaan mereka oleh karena kasih karunia-Nya, bukan pencapaian mereka. Hal ini dapat menghibur kita ketika kita juga terjatuh. Kita mungkin telah berkata kasar kepada rekan kerja, tidak sabar terhadap mahasiswa kita, melalaikan tanggung jawab kita terhadap keluarga, dan melakukan pekerjaan kita dengan buruk. Namun kita memiliki iman bahwa Allah sanggup menggenapi tujuan-Nya atas dunia ini sekalipun di tengah segala kelemahan dan kegagalan kita.
Di sisi lain, justru karena pandangan kita tertuju ke kota Allah yang akan datang, kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk hidup sesuai dengan cara kota itu dalam setiap aspek kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Para pahlawan iman dalam kitab Ibrani merealisasikan iman mereka dalam berbagai macam dunia kerja. Mereka adalah orang-orang “yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat, luput dari mata pedang, beroleh kekuatan dalam kelemahan, menjadi kuat dalam peperangan dan memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing” (Ibr. 11:33-34).
Bayangkan seorang kontraktor bangunan, yang merupakan ilustrasi yang cocok untuk kitab yang berkaitan dengan pembangunan rumah Allah semesta alam ini. Kontraktor itu memiliki visi yang jelas tentang kehidupan dalam kerajaan Allah yang akan datang. Ia tahu kehidupan itu akan dicirikan dengan keadilan, relasi-relasi yang harmonis, dan keindahan abadi. Sebagai orang yang beriman, ia berusaha merealisasikan visi ini di masa kini. Ia mengelola bahan-bahan baku dari bumi ini untuk pembangunan rumah itu, untuk menciptakan rumah yang indah, tetapi tanpa kemewahan yang tidak perlu. Ia memperlakukan para pekerjanya dengan penuh perhatian dan hormat, yang akan menjadi ciri dari kota Allah yang akan datang. Ia menunjukkan kasih surgawi kepada klien-kliennya dengan mendengarkan harapan-harapan mereka tentang rumah duniawi mereka, berusaha merealisasikan harapan-harapan itu dengan keterbatasan dana dan bahan bangunan. Ia sabar dalam menghadapi berbagai masalah, ketika radiator kuno terlalu panjang lima sentimeter untuk kamar mandi, atau ketika tukang kayu memotong balok yang mahal terlalu pendek lima sentimeter. Ia tahu bahwa gempa bumi atau angin topan dapat menghancurkan seluruh jerih lelahnya dalam sekejap, tetapi ia tekun mencurahkan segenap hidupnya dalam pekerjaannya. Di tengah segala kegembiraan maupun kekecewaan, ia ingin menghidupi nilai-nilai kota Allah dengan menunjukkan kasih yang tidak berubah kepada orang lain melalui kualitas relasi-relasi pribadinya dan kualitas rumah-rumah yang dibangunnya. Dan ia percaya bahwa setiap bangunan, yang sederhana dan tidak sempurna pun, merupakan kesaksian hari lepas hari bagi kota besar yang akan datang, “yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:10).
Sabar dalam Kesusahan dan Berusaha Hidup Damai (Ibrani 12:1-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Ibrani lalu bergeser dari memberikan contoh-contoh tentang orang-orang kudus yang beriman kepada memberikan tantangan kepada orang-orang pada zamannya masing-masing. Seperti kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya, kitab Ibrani menggambarkan kehidupan orang Kristen sebagai kehidupan yang penuh kesusahan. Kita harus menghadapi kesusahan-kesusahan ini sebagai tindakan disiplin Allah Bapa. Melalui semua itu, kita akan mendapat bagian dalam kekudusan dan kebenaran Kristus. Sama seperti Anak menjalani disiplin dan menjadi disempurnakan (Ibr. 5:7-10), anak-anak Allah juga mengalami proses yang sama.
Menafsirkan kesusahan sebagai hukuman ilahi di dunia ini adalah hal yang sangat lazim. Orang-orang yang menentang kita mungkin juga beranggapan seperti itu, melontarkan dosa-dosa dan kesalahan kita yang sangat nyata ke muka kita. Namun kitab Ibrani mengingatkan kita bahwa tidak ada hukuman lagi bagi orang yang sudah diampuni melalui pengorbanan Kristus yang cukup sekali untuk selama-lamanya. “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan kurban karena dosa” (Ibr. 10:18). Bapa yang penuh kasih akan mendisiplin kita (Ibr. 12:4-11), tetapi disiplin bukanlah hukuman (1Kor 11:32). Disiplin adalah didikan keras, tetapi merupakan bentuk kasih, “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya” (Ibr. 12:6). Jangan biarkan seorang pun berpura-pura menafsirkan kesusahan kita sebagai hukuman Allah. “Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya” (Ibr. 12:10).
Disiplin juga bukan untuk kebaikan kita sendiri saja. Kitab Ibrani selanjutnya mendorong para pengikut Yesus untuk “berusaha hidup damai dengan semua orang dan mengejar kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan.” “Damai” yang dimaksud di Ibrani 12:14 adalah arti sepenuhnya dari kata Ibrani shalom, yang merupakan keadaan adil dan makmur terbaik, yang dialami di seluruh komunitas. Inilah tujuan akhir keselamatan. Hal ini kemudian diungkapkan dengan cara lain dalam pasal yang menggambarkan tentang kota Sion surgawi yang kudus (Ibr. 12:22-24).
Kita tahu betapa sulitnya bersikap sabar dalam kesusahan dan berusaha hidup damai dalam pekerjaan kita. Setelah menerima janji-janji Allah, kita biasanya berharap janji-janji itu akan seketika membuat pekerjaan kita lebih menyenangkan. Kita ingin berhasil, melipatgandakan kekayaan kita, dan memiliki otoritas—semua hal yang baik di mata Tuhan (Kej. 1:28)—serta menikmati persahabatan (Kej. 2:18) di dalam dan melalui pekerjaan kita. Namun jika kita menghadapi masalah, kesulitan keuangan, kelemahan, dan permusuhan dari rekan-rekan kerja, kesabaran dan ketekunan mungkin merupakan hal terakhir yang ada di pikiran kita. Tampaknya jauh lebih mudah untuk menyerah, berhenti, atau berganti pekerjaan—jika kita punya pilihan—atau menarik diri, bermalas-malasan, atau mengejar keadilan ilegal yang kita ciptakan sendiri. Atau kita mungkin menjadi letih dan tawar hati, tetap bekerja tetapi kehilangan minat untuk melakukannya sebagai pelayanan kepada Allah. Kiranya Allah memberi kita kasih karunia untuk bertekun dalam situasi-situasi kerja yang sulit! Kesusahan yang kita hadapi dalam pekerjaan kita dapat menjadi sarana disiplin Allah bagi kita, untuk membentuk kita menjadi orang yang lebih setia dan berguna. Jika kita tidak dapat menjaga integritas, melayani orang lain, dan berusaha hidup damai di tengah pekerjaan yang sulit atau lingkungan kerja yang bermusuhan, bagaimana kita bisa menjadi seperti Yesus, “yang menanggung bantahan sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa” (Ibr. 12:3)?
Mengguncangkan Segala Sesuatu (Ibrani 12:18-29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu kesalahpahaman yang meluas tentang kitab Ibrani adalah bahwa kitab ini mempertentangkan kehidupan di surga (yang tidak diciptakan) dengan dunia/kehidupan di bumi (yang diciptakan), bahwa kitab ini mengantisipasi pemusnahan alam semesta, sementara surga tetap sebagai kerajaan Allah yang tidak terguncangkan. Kesalahpahaman ini tampaknya mendapat dukungan dari ayat-ayat seperti Ibrani 12:26-27.
“Waktu itu suara-Nya mengguncangkan bumi, tetapi sekarang Ia memberikan janji: ‘Satu kali lagi Aku akan mengguncangkan bukan hanya bumi, melainkan langit juga.’ Ungkapan ‘Satu kali lagi’ menunjuk kepada penggantian dari apa yang terguncangkan, yaitu apa yang dijadikan, supaya apa yang tidak terguncangkan tinggal tetap.”
Namun jika diteliti lebih dalam, kita melihat bahwa langit dan bumi tidak begitu berbeda satu sama lain. Langit juga akan diguncangkan seperti halnya bumi (Ibr. 12:26). Kitab Ibrani juga menggambarkan kehidupan di langit sebagai “ciptaan” sama seperti alam semesta (Ibr. 8:2; 11:10). Kitab ini berbicara tentang kebangkitan (Ibr. 6:2, 11:35), yang merupakan reklamasi/ perolehan kembali, bukan pemusnahan, ciptaan. Alam semesta dipahami sebagai warisan Anak (Ibr. 1:2-6, 11:3). Pengorbanan Kristus dikatakan sebagai peristiwa daging dan darah, jasmaniah, di dunia ini (Ibr. 12:24; 13:2; 13:20). Pada akhirnya, “mengguncangkan” berarti menyingkirkan apa saja yang tidak sempurna atau berdosa dari langit maupun bumi, bukan pemusnahan bumi demi langit.
Kata “mengguncangkan” yang digunakan di sini mengacu pada Hagai 2, yang merujuk pada penggulingan penjajah asing, supaya Israel dan bait sucinya dapat dibangun kembali. Referensi ini, dan penjelasan kitab Ibrani secara keseluruhan, menunjukkan bahwa hasil akhir dari pengguncangan ini adalah dipenuhinya bait suci Allah—di bumi—dengan kemuliaan. Seluruh alam semesta menjadi bait suci Allah, yang disucikan dan diperoleh kembali. Di Hagai 2, pengguncangan langit dan bumi menghasilkan realisasi damai di bumi, yang di Ibrani 12 kita didorong untuk mengusahakannya. “'Di tempat ini Aku akan memberi damai sejahtera [shalom],' demikianlah firman Tuhan Semesta Alam ” (Hagai 2:10).
Jadi, yang fana/sementara itu bukan dunia yang diciptakan, tetapi ketidaksempurnaan, kejahatan, dan pertikaian yang melanda dunia. Mencurahkan hidup dalam kerajaan Allah berarti bekerja dalam penciptaan dan penebusan yang merupakan bagian dari mempercepat perwujudan pemerintahan Kristus. Tak peduli entah kita seorang juru masak, pendidik, atlet, manajer, pengurus rumah tangga, ekolog, senator, petugas pemadam kebakaran, pendeta, atau apa pun yang lainnya, cara untuk berpartisipasi dalam kerajaan Kristus bukanlah dengan meninggalkan pekerjaan “duniawi” demi pekerjaan “rohani”; melainkan dengan bertekun—sambil mengucap syukur pada Allah (Ibr. 12:28)—dalam segala macam pekerjaan di bawah disiplin Kristus.
Keramahtamahan (Ibrani 13:1-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi antara berbagai nasihat penutup di Ibrani 13, ada dua nasihat yang memiliki relevansi khusus dengan pekerjaan. Mari kita mulai dengan Ibrani 13:2 yang berbunyi, “Jangan kamu lalai memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang tanpa diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” Ayat ini merujuk pada Abraham dan Sarah yang menjamu tamu-tamu (Kej. 18:1-15) yang ternyata para malaikat (Kej. 19:1), yang membawa janji tentang seorang anak bagi Abraham dan Sarah (Kej. 18:10), yang merupakan figur-figur yang sangat menonjol dalam kitab ini (Ibr. 6:13-15; 11:8-20). Ayat-ayat ini juga mengingatkan kita tentang banyaknya tindakan keramahtamahan yang dilakukan Yesus (seperti di Mat. 14:13-21; Mrk. 6:30-44; Luk. 9:10-17; Yoh. 2:1-11; 6:1-14; 21:12-13) dan orang-orang yang mengikut Dia (seperti di Mrk. 1:31; Lukas 5:9), serta perumpamaan-perumpamaan seperti perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mat. 22:1-4; Luk. 14:15-24).
Keramahtamahan mungkin merupakan satu bentuk pekerjaan yang paling diremehkan di dunia—setidaknya, di dunia Barat modern. Banyak orang berusaha keras melakukan keramahtamahan, meskipun bagi kebanyakan orang pekerjaan ini tidak berbayar. Namun ada juga sebagian kecil orang, yang jika ditanya tentang pekerjaan mereka, akan menjawab, “Saya memberikan keramahtamahan.” Kita mungkin lebih melihatnya sebagai pengisi waktu atau minat pribadi daripada pelayanan kepada Allah. Padahal keramahtamahan adalah tindakan iman yang besar—bahwa pemeliharaan Allah akan mencukupi biaya untuk penyediaan makanan, minuman, hiburan, dan tempat tinggal; bahwa risiko kerusakan atau kecurian properti akan dapat teratasi; bahwa waktu yang dihabiskan bersama orang asing tidak akan mengurangi waktu bersama keluarga dan teman; dan, yang terpenting, bahwa orang asing patut diperhatikan. Sekalipun kita harus keluar dari cara hidup kita untuk melakukannya—pergi ke penjara, misalnya (Ibr. 13:3)—keramahtamahan adalah salah satu tindakan pekerjaan atau pelayanan yang paling signifikan yang dapat dilakukan manusia (Mat. 25:31-40).
Lagipula, hampir semua pekerja punya kesempatan untuk menunjukkan etika keramahtamahan dalam melakukan pekerjaannya. Banyak orang yang bekerja di industri perhotelan. Apakah kita menyadari bahwa kita sedang memenuhi Ibrani 13:1-3 ketika kita menyiapkan kamar hotel yang bersih dan terawat, atau makan malam yang sehat dan nikmat, atau menyajikan hidangan pesta atau resepsi? Apa pun industri atau jenis pekerjaannya, setiap interaksi dengan rekan kerja, pelanggan, pemasok, klien, atau orang asing di tempat kerja adalah kesempatan untuk membuat orang lain merasa diterima dan dihargai. Bayangkan kesaksian tentang kasih Allah jika orang-orang Kristen memiliki reputasi keramahtamahan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.
Masalah Uang (Ibrani 13:5-6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiNasihat kedua yang memiliki keterkaitan dengan pekerjaan di pasal 13 adalah mengenai cinta uang: “Janganlah menjadi hamba uang, dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman, ‘Aku sekali-kali tidak akan mengabaikan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau’.” (Ibr. 13:5). Perintah untuk tidak menjadi hamba uang atau cinta uang ini menunjukkan bahwa masalah finansial termasuk di antara masalah-masalah khusus yang dihadapi para pembaca mula-mula kitab ini. Hal ini sudah ditunjukkan di Ibrani 10:32-36 dan secara tidak langsung di Ibrani 11:25-26. Boleh jadi, penekanan pada “kota” yang akan datang (Ibr. 11:10; 12:22; 13:14) sebagian dipicu oleh pengalaman keadaan ekonomi dan sosial mereka yang terasing dari kota mereka saat itu.
Kita punya keyakinan penuh akan perlindungan dan pemeliharaan Allah kita, tetapi ini tidak menjamin kita akan menikmati kehidupan yang makmur secara materi. Yesus tidak pernah menjanjikan kehidupan yang mudah, dan kerja keras kita mungkin tidak akan diganjar dengan kekayaan atau kemewahan dalam kehidupan saat ini. Maksud dari Ibrani 13:5-6 adalah bahwa Tuhan akan menyediakan semua yang kita perlukan dalam kehidupan yang didasarkan pada iman. Tentu saja, banyak orang percaya yang setia juga mengalami kesulitan ekonomi yang parah, dan bahkan banyak yang mati akibat terpapar penyakit, kehausan, kelaparan, dan hal-hal yang lebih buruk lagi. Mereka mati seperti itu karena iman, bukan karena tidak beriman. Penulis kitab Ibrani sangat menyadari hal ini ketika ia menceritakan kembali orang-orang Kristen yang menderita siksaan, cemoohan, cambukan, dipenjara, dilempari batu, dibelah dengan gergaji, dibunuh dengan pedang, kemiskinan, penganiayaan, penyiksaan, mengembara di gunung-gunung, padang gurun, di dalam gua-gua dan celah-celah gunung (Ibr. 11:35-38). Pada akhirnya janji-janji Allah dan doa-doa kita digenapi sama seperti pada Anak-Nya—melalui kebangkitan dari kematian (Ibr. 5:7-10). Kitab ini ditulis dengan visi ekonomi yang diubahkan, bahwa kebutuhan-kebutuhan kita dipenuhi dengan kemajuan kerajaan Allah, bukan dengan kemakmuran diri kita. Oleh karena itu, jika kita tak punya apa-apa, kita tidak putus asa; jika kita memiliki cukup, kita merasa puas; dan jika kita memiliki banyak, kita mempersembahkannya untuk kepentingan orang lain.
Peringatan tentang cinta uang tidak berasal dari penemuan bahwa kerajaan Allah di dunia ciptaan, dunia materi, kurang rohani daripada kerajaan Allah di surga. Namun berasal dari kesadaran yang mengejutkan bahwa di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini, cinta akan uang menimbulkan keterikatan pada tatanan saat ini,yang menghambat pekerjaan kita menuju transformasi dunia. Jika uang adalah alasan utama kita menerima pekerjaan, mendirikan perusahaan, membuka kantor, bergabung di gereja, memilih teman, menginvestasikan sumber daya, meluangkan waktu, atau mencari pasangan, maka kita tidak hidup dengan iman.
Bekerja di Luar Perkemahan (Ibrani 13:11-25)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiNasihat ketiga yang terkait-pekerjaan di pasal 13 adalah “pergi kepada [Yesus] di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-Nya” (Ibr. 13:13). Menurut Ibrani 13:11-13, “Tubuh binatang-binatang yang darahnya dibawa masuk ke tempat Kudus oleh Imam Besar sebagai kurban penghapus dosa, dibakar di luar perkemahan,” di luar ruang kudus, tempat yang najis. “Itu jugalah sebabnya Yesus telah menderita di luar pintu gerbang,” di luar perkemahan, di dunia yang tidak kudus, “untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri.” Kitab Ibrani lalu mengambil pelajaran bahwa kita juga harus pergi ke luar perkemahan dan bergabung dengan Yesus di sana.
Banyak orang Kristen bekerja di tempat-tempat kerja yang “di luar perkemahan” kekudusan, yaitu di tempat-tempat kerja yang sering terjadi permusuhan, masalah etika, dan penderitaan. Terkadang kita merasa bahwa untuk mengikut Kristus dengan baik, kita perlu mencari tempat kerja yang lebih kudus. Namun bagian kitab Ibrani ini menunjukkan pada kita bahwa yang benar justru yang sebaliknya. Mengikut Kristus sepenuhnya berarti mengikut Dia ke tempat-tempat di mana pertolongan-Nya yang menyelamatkan sangat dibutuhkan, tetapi tidak selalu diterima. Melakukan pekerjaan kerajaan Yesus berarti menderita bersama Yesus. Perkataan “menanggung kehinaan-Nya” menggemakan iman Musa, yang memilih “penghinaan karena Kristus” daripada kehormatan dan kekayaan Mesir (Ibr. 11:24-26). “Penghinaan” ini berarti kehilangan kehormatan dan kekayaan yang disebutkan sebelumnya. Adakalanya, mengorbankan harta benda, hak istimewa, dan status kita adalah satu-satunya cara agar kita dapat menolong orang lain. Namun, untuk menolong orang lain itulah tepatnya alasan Allah mengutus kita bekerja “di luar perkemahan” pada mulanya. “Janganlah kamu lalai untuk berbuat baik dan memberi bantuan, sebab kurban-kurban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah” (Ibr. 13:16).
Ringkasan & Konklusi Kitab Ibrani
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Ibrani memanggil kita ke dunia janji Allah kepada Abraham— janji untuk membawa semua manusia ke tempat kudus kerajaan-Nya. Ini berarti memberitakan tentang penggenapan kehendak Allah untuk memasukkan seluruh alam semesta ke dalam tempat kudus-Nya sendiri. Sebagai umat yang dalam perjalanan ziarah ke dalam kerajaan Allah, kita dipanggil untuk menginvestasikan hidup kita, termasuk kehidupan pekerjaan kita, di dunia yang dirancang dan dibangun Allah. Kitab Ibrani mendorong kita untuk merasa puas dengan pemeliharaan Allah dan mengusahakan damai sejahtera (shalom) dan kekudusan bagi semua. Kita harus rela menderita kehilangan kehormatan dan harta benda demi sukacita yang terbentang di depan kita. Dalam perjalanan ini, kita diperlengkapi, diberi semangat dan dikuatkan oleh Anak Allah, Imam Besar sejati yang pengorbanan diri-Nya membuka jalan bagi dunia untuk disucikan dan dipulihkan ke dalam maksud dan rencana Allah semula. Sekalipun di tengah penderitaan, ucapan syukur adalah sikap dasar dan sumber kesabaran kita. Kristus memanggil kita untuk membuat nilai-nilai kerajaan-Nya dikenal dalam struktur sosial, ekonomi dan politik dunia yang sudah jatuh dalam dosa.
Untuk ini kita perlu melepaskan diri dari perangkap “hidup untuk uang.” Apa yang kita lakukan, dan yang tidak kita lakukan, sama-sama didasarkan pada nilai-nilai ini. Kita punya satu tugas, apa pun pekerjaan kita, dan satu kerinduan besar – untuk “melakukan kehendak-Nya dan mengerjakan di dalam kita apa yang berkenan kepada-Nya melalui Yesus Kristus. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:21).