Kitab Wahyu dan Kerja
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Introduksi: Memahami Kitab Wahyu
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Wahyu memberikan beberapa wawasan paling menarik dalam Alkitab tentang “gambar besar” kerja/pekerjaan. Tetapi wawasan ini sulit dipahami, bukan saja karena masalah kitab ini sendiri, tetapi juga karena banyaknya interpretasi yang berkembang tentang kitab ini. Kita tak bisa berharap memecahkan masalah-masalah itu di sini, tetapi kita (mungkin) bisa menemukan cukup kesamaan sebagai dasar untuk memahami kitab terakhir Alkitab ini.
Kemungkinan, kesenjangan terbesar dalam interpretasi ini adalah antara orang-orang yang melihat kitab ini semata-mata sebagai masa yang akan datang, yang membahas akhir sejarah mutlak dari pasal 6 dan seterusnya, dengan orang-orang yang menganggap sebagian besar kitab ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di sekitar waktu Yohanes menulisnya (yang biasanya dianggap pada akhir abad pertama). Kabar baiknya adalah para penafsir yang bertanggung jawab yang menganut pandangan “futuris” mengakui bahwa peristiwa-peristiwa yang akan datang itu didasarkan pada model pekerjaan Allah di masa lalu, terutama dalam Penciptaan dan Keluaran dari Mesir. Demikian pula, orang-orang yang menafsirkan kitab ini semata-mata dari sudut pandang abad pertama juga mengakui bahwa kitab ini berbicara tentang masa depan terakhir (Yerusalem Baru). Dengan demikian, tak ada yang keberatan dalam menemukan kebenaran-kebenaran rohani abadi dari gambaran-gambaran kitab ini, atau dalam melihat orientasi masa depan yang signifikan dalam janji-janji yang terkandung di dalamnya.
Kerajaan Allah Sudah Dekat (Wahyu 1)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBahkan di ayat-ayat permulaan kitab Wahyu, Yohanes sudah mengatakan hal yang tampaknya melemahkan teologi kerja yang sehat: “Waktunya sudah dekat!” Sebagian menganggap ini berarti bahwa Yohanes berpikir Yesus akan segera datang di masa hidupnya dan ternyata ia salah; yang lain percaya bahwa ini berarti begitu peristiwa-peristiwa zaman akhir mulai terjadi, semuanya akan berlangsung dengan cepat. Namun tak satu pun dari keduanya yang cocok dengan isi kitab Perjanjian Baru lainnya, karena jelas bahwa, dalam arti tertentu, “zaman akhir” dimulai dengan kematian dan kebangkitan Yesus (lihat Ibrani 1:1; 1 Korintus 10:11; Kisah Para Rasul 2:17). Jadi, yang terbaik adalah menganggap “Waktunya sudah dekat” berarti “Kerajaan Allah sudah di depan mata!” dengan pertanyaan tersirat, “Lalu, bagaimana kita akan hidup?” Kepastian-kepastian yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari harus dilihat dari perspektif Kerajaan Allah, yang sudah datang ke dunia.
Hal ini membawa dampak mendalam pada pemahaman kita tentang kerja. Meskipun ada banyak ayat Kitab Suci yang memuji tentang kerja, tak ada apa pun dalam keadaan sekarang ini yang bisa dianggap mutlak. Seperti akan kita lihat, pekerjaan yang dilakukan dengan setia bagi kemuliaan Allah memiliki nilai kekal, tetapi Allah harus selalu menjadi yang pertama dan terakhir. Hidup berdasarkan nilai-nilai-Nya sangatlah penting; tak boleh ada kompromi dengan sistem dunia dan cara-cara penyembahan berhalanya.
Ketujuh Jemaat dalam kitab Wahyu (Wahyu 2-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPesan-pesan kepada ketujuh jemaat menekankan pentingnya pekerjaan dalam kehidupan Kristen, dan dengan demikian secara tidak langsung berkontribusi pada pemahaman yang tepat tentang kerja secara umum. Pesan kepada beberapa jemaat dimulai dengan, “Aku tahu segala pekerjaanmu . . .” Jemaat Efesus ditegur karena tidak melakukan pekerjaan yang semula mereka lakukan (Wahyu 2:5), dan jemaat Sardis juga belum menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya mereka lakukan bagi Yesus (Wahyu 3:2).
Perlu diulangi lagi bahwa “pekerjaan” bukanlah hal buruk di dalam Alkitab. Pekerjaan/bekerja adalah ungkapan nyata kasih kita kepada Allah. Mitos bahwa Allah hanya peduli pada hati dan perasaan kita menjadi alasan utama pekerjaan pada umumnya kurang mendapat perhatian di beberapa kalangan Protestan.
Ada buktinya bahwa keduniawian jemaat Laodikia yang terkenal (buruk) tampak jelas dari pandangannya tentang kerja dan ekonomi. Ketika Yesus menasihati orang-orang percaya ini untuk membeli dari-Nya emas yang dimurnikan dalam api, pakaian putih untuk menutupi ketelanjangan mereka, dan salep untuk menyembuhkan mata mereka, Dia kemungkinan sedang menunjukkan tiga industri besar di Laodikia: perbankan, wol, dan obat mata. Kemungkinan jemaat Laodikia menganggap bahwa sumber daya yang tersedia bagi mereka dari budaya mereka itu adalah semua yang mereka perlukan dalam hidup. Gereja-gereja, terutama di negara-negara makmur, harus menyadari bahwa kelimpahan materi seringkali dapat menutupi kemiskinan rohani. Kesuksesan dalam pekerjaan tidak boleh membuat kita merasa mampu dan mengandalkan diri sendiri.
Ruang Tahta Allah (Wahyu 4 dan 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPenglihatan Yohanes di pasal 4 dan 5 adalah inti dari kitab Wahyu. Penglihatan ini pada dasarnya merupakan visualisasi dari Doa Bapa Kami: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga.” Melalui kesaksian Yesus yang setia dan kematian-Nya yang penuh pengorbanan, kerajaan Allah datang.
Kita bisa mempertegas dari pasal 4 bahwa Allah patut dipuji sebagai Pencipta segala sesuatu (khususnya di Wahyu 4:11; bdk. Wahyu 14:7, ketika hakikat “kabar baik” adalah menyembah “Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, laut dan semua mata air”). Dunia yang kelihatan bukanlah pikiran yang muncul kemudian, atau sekadar pendahuluan surga, tetapi merupakan ungkapan kemuliaan Allah dan dasar bagi ciptaan-Nya untuk memuji Dia. Hal ini lagi-lagi menjadi dasar pemahaman yang tepat tentang kerja. Jika dunia hanyalah ilusi yang memisahkan kita dari kehidupan surga yang nyata, pekerjaan di dunia bisa dianggap sebagai membuang-buang waktu saja. Sebaliknya, jika dunia ini adalah ciptaan Allah yang baik, prospek untuk memiliki pekerjaan yang bermakna lebih punya harapan. Meskipun kita harus ingat bahwa dunia selalu tergantung pada Allah, dan bahwa tatanan dunia yang sekarang ini akan diguncang hebat, kita juga harus ingat bahwa dunia sebagai ciptaan Allah ini berlangsung di hadapan-Nya dengan penuh makna dan dirancang untuk memuji-Nya. Di pasal 5, patut diperhatikan bahwa dalam hal ini penebusan yang dijamin oleh Kristus, yang memungkinkan datangnya kerajaan Allah, dipicu oleh pekerjaan Kristus di dunia yang kelihatan. Sebagaimana dikatakan Jacques Ellul, penyambutan kerajaan Yesus didasarkan pada karya-Nya di bumi: “Peristiwa di bumi memicu peristiwa di langit/surga . . . Yang terjadi di dunia ilahi ditetapkan, ditentukan, dipicu oleh kedatangan Yesus ke bumi.”[1]
Bencana dan Penyelamatan Zaman Akhir (Wahyu 6-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTetapi, rencana Allah mendatangkan kerajaan-Nya memerlukan peralihan yang mengejutkan: sebelum penyelamatan, datanglah bencana. Namun ini mungkin tidak terlalu mengejutkan. Wahyu 6-16 paling mengingatkan kita tentang episode paradigmatik penyelamatan Allah atas umat-Nya, yaitu Keluaran dari Mesir. Air berubah menjadi darah, wabah belalang, gelap gulita —semua ini menandakan bahwa Allah sedang melepaskan umat-Nya dari Firaun-Firaun zaman akhir yang menindas mereka. Lagi-lagi, entah kita menganggap ini sebagai hal yang banyak terjadi pada zaman Yohanes atau pada suatu saat di masa mendatang, inti dasarnya tidak berubah. Jalan Allah konsisten dari zaman ke zaman; pola-pola sejarah berulang ketika Allah bekerja dengan cara-Nya menuju langit baru dan bumi baru.[1]
Hal ini sangat penting bagi dunia kerja. Mari kita perhatikan empat penunggang kuda yang terkenal dalam kitab Wahyu (Wahyu 6). Pada umumnya disetujui bahwa ini melambangkan Perang dan akibat-akibat buruknya yang berupa kematian, kelaparan, dan wabah penyakit.[2] Yang sangat menarik bagi kita adalah pemberitahuan di Wahyu 6:6, “Aku mendengar seperti ada suara di tengah-tengah keempat makhluk itu yang berkata: 'Secupak gandum sedinar, dan tiga cupak jelai sedinar. Namun janganlah merusak minyak dan anggur itu!'” Meskipun pemberitahuan tentang minyak dan anggur itu tidak jelas (mungkin menunjukkan bahwa hukuman itu hanya bersifat parsial [3]), tetapi harga gandum dan jelai itu jelas sangat tinggi. (Aune berkata bahwa harga itu delapan kali lipat dari harga normal gandum dan lima sepertiga kali lipat dari harga normal jelai).[4]
Meskipun ini mungkin merujuk pada kehancuran tertentu di masa mendatang, situasi ini sangat tidak asing bagi setiap generasi—ketidakmampuan manusia untuk hidup berdampingan secara damai menimbulkan dampak-dampak ekonomi yang mengerikan. Karena orang Kristen terperangkap dalam penderitaan-penderitaan ini (lihat meterai kelima, Wahyu 6:9-11), kita harus menghadapi kenyataan bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita sering kali tunduk pada kekuatan-kekuatan yang di luar kendali kita. Namun, betapapun mengerikannya kekuatan-kekuatan ini, pesan lain dari Wahyu 6 adalah bahwa semua itu berada di bawah kendali Tuhan. Sejauh yang kita mampu, kita harus berjuang untuk menciptakan tempat kerja yang menjunjung tinggi keadilan dan membuat orang mengalami berkat dapat mengembangkan talenta yang diberikan Allah kepada mereka. Tetapi kita juga harus menyadari bahwa providensia Allah mengizinkan terjadinya bencana dalam hidup kita. Kitab Wahyu mendorong kita untuk memandang kepada tujuan akhir Yerusalem Baru di tengah perjalanan yang sering kali tidak mulus dan lancar.
Kemungkinan ada juga tantangan tersirat di Wahyu 6:6 untuk tidak mengeksploitasi orang lemah pada masa susah. Realitas ekonomi mungkin membutuhkan kenaikan harga pada saat krisis, tetapi itu bukan alasan untuk mengeruk keuntungan besar dari penderitaan orang lain.
Cawan hukuman di pasal 8 dan 9 memberi pelajaran serupa, meskipun di sini penekanannya pada bencana lingkungan. Karena mekanisme pastinya tidak disebutkan, kehancuran ekologi bisa meliputi pencemaran manusia maupun fenomena supranatural yang lebih nyata. Intinya adalah Allah memukul dunia dalam kapasitas-Nya sebagai Pemelihara manusia yang menyembah berhala. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menyadarkan manusia pada fakta bahwa bumi adalah milik Allah seperti halnya surga. Kita tidak bisa merancang jalan kita sendiri tanpa penyertaan Allah. Kita tidak bisa memanipulasi lingkungan untuk menjadi tempat bersembunyi dari Dia.
Seiring bergulirnya kitab Wahyu, penekanannya beralih dari hukuman Allah atas dunia kepada kesaksian umat-Nya yang setia di bawah pemerintahan Binatang itu (yang mungkin merupakan penguasa tunggal penyembah berhala di akhir sejarah, atau arketipe/representasi utama dari semua penguasa penyembah berhala semacam itu). Sungguh (sangat) ironis bahwa para “penakluk” yang setia (Wahyu 2-3) dalam hal tertentu “ditaklukkan” oleh Binatang itu (Wahyu 13:7), meskipun pada akhirnya mereka dibenarkan Allah (Wahyu 11:11). Penderitaan orang-orang kudus mencakup penderitaan ekonomi: orang yang menolak “tanda Binatang” itu tidak dapat “membeli atau menjual” (Wahyu 13:17). Analogi dengan “tanda” dari Yehezkiel 9 menunjukkan bahwa tanda Binatang itu adalah simbol kepatuhan pada sistem penyembahan berhala (Romawi?) (“666” bisa berarti “Kaisar Nero,” kaisar yang sangat jahat). Namun pelajaran rohani bagi yang menganut pandangan futuris dan lebih harfiah pun jelas: menolak mengikuti sistem penyembahan palsu dunia kadang bisa menimbulkan dampak ekonomi negatif bagi orang percaya. Dampak ini bisa lebih berat atau lebih ringan di semua masyarakat.[5] Yohanes tidak menyangkal bahwa mengikuti jalan Allah bisa membawa dampak ekonomi positif (seperti yang diajarkan dengan jelas dalam kitab Amsal, misalnya). Namun, sejalan dengan perkataan kitab Wahyu lainnya, ia berkata bahwa kekuatan-kekuatan jahat—meskipun pada akhirnya berada di bawah kendali Allah—dapat membelokkan banyak hal sedemikian rupa sampai yang seharusnya membawa berkat malah jadi menimbulkan penderitaan. Orang Kristen harus selalu menetapkan pikiran untuk melakukan yang benar dan menghormati Allah, dengan menyadari bahwa hal ini bisa saja menghilangkan kesempatan ekonomi. Hukuman terhadap para penyembah berhala itu pasti, dan tak ada berkat finansial yang layak diberikan kepada orang yang menentang Allah. Itulah sebabnya para pengikut Binatang itu di pasal 13 langsung dikontraskan dengan 144.000 orang di pasal 14 yang “di dalam mulutnya tidak terdapat dusta” (Wahyu 14:5). Mereka mempertahankan kesaksian mereka yang benar dan setia kepada Allah, apa pun yang terjadi.
Babel dan Yerusalem Baru: Kisah Dua Kota (Wahyu 17-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiWawasan terpenting Kitab Wahyu tentang kerja terdapat di pasal-pasal penutup, ketika kota Babel yang duniawi dikontraskan dengan kota Allah, Yerusalem Baru. Pendahuluan tentang kota-kota di Wahyu 17:1 dan 21:9 dituliskan sangat sejajar:
“Mari ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu putusan atas pelacur besar yang duduk di tempat yang banyak airnya.”
“Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba.”
Babel mewakili jalan buntu usaha manusia untuk membangun budaya mereka di luar Allah. Babel memiliki semua penampakan surga yang selalu dirindukan manusia. Bukan kebetulan jika emas dan permatanya mengingatkan orang pada Yerusalem Baru (Wahyu 17:4). Seperti Yerusalem Baru, Babel menjalankan pemerintahan atas bangsa-bangsa dan menguasai kekayaan mereka (perhatikan referensi tentang “pedagang-pedagang di bumi” dalam Wahyu 18:3 dan ratapan orang-orang yang matapencariannya di laut dalam Wahyu 18:15-19).
Tetapi semua itu ternyata palsu, yang pasti akan dibongkar Allah pada penghakiman terakhir. Informasi yang paling bermanfaat adalah daftar muatan di Wahyu 18:11-13 (lihat Bauckham, “Economic Critique”[1] yang menggambarkan barang-barang mewah yang dibawa ke Babel). Daftar ini didasarkan pada Yehezkiel 27:12-22 dan kejatuhan Tirus, tetapi telah diperbarui untuk meliputi barang-barang mewah yang populer di Roma pada zaman Yohanes.
Dan para pedagang di bumi menangis dan berdukacita atasnya, karena tidak ada lagi yang membeli barang-barang mereka—barang-barang dari emas, perak, permata dan mutiara, linen halus, kain ungu, sutera dan kain kirmizi, berbagai jenis kayu wangi, berbagai barang dari gading, berbagai barang mahal dari kayu, perunggu, besi dan marmer, juga kayu manis, rempah-rempah, dupa, mur, kemenyan, anggur, minyak zaitun, tepung dan gandum pilihan, sapi dan domba, kuda dan kereta, budak—dan nyawa manusia.
Daftar terakhir tentang “nyawa manusia” kemungkinan berkaitan dengan perdagangan budak, dan ini adalah paku terakhir pada peti mati kerajaan Babel yang eksploitatif: Babel tidak akan ragu untuk melakukan apa pun, bahkan sampai memperdagangkan manusia, demi mengejar pemuasan hawa nafsu diri yang sensual.
Pelajaran bahwa Allah akan menghukum sebuah kota karena tindakan ekonominya merupakan pemikiran yang serius. Ekonomi jelas merupakan isu moral dalam kitab Wahyu. Fakta bahwa kebanyakan hukuman tampaknya disebabkan oleh pemuasan hawa nafsu/pemanjaan diri seharusnya memukul keras budaya konsumen modern, yang terus mengejar hal yang lebih baik dan lebih baik lagi, yang bisa mengantar ke fokus sempit pemenuhan kebutuhan materi, baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Namun, hal yang paling meresahkan adalah Babel tampak sangat dekat dengan Yerusalem Baru. Allah jelas menciptakan dunia yang baik; kita dimaksudkan untuk menikmati hidup; Allah senang dengan segala keindahan di bumi. Jika sistem dunia nyata-nyata adalah “tangki septik”, godaan untuk orang Kristen tertarik ke dalamnya akan kecil. Tetapi yang berbahaya justru karena kemajuan teknologi dan jaringan perdagangan yang luas itu memberikan manfaat/kebaikan-kebaikan yang nyata. Babel menjanjikan segala kemuliaan Eden, tanpa memerlukan kehadiran Allah. Perlahan tetapi pasti, hal ini akan membelokkan pemberian-pemberian Allah yang baik—pertukaran ekonomi, kelimpahan hasil pertanian, keahlian yang baik—menjadi pelayanan kepada dewa-dewa palsu.
Dalam hal ini, orang mungkin merasa bahwa segala partisipasi dalam perekonomian dunia—atau bahkan perekonomian lokal —pasti sangat cemar dengan penyembahan berhala, sehingga solusi satu-satunya adalah menarik diri sepenuhnya dan hidup menyendiri di padang gurun. Tetapi kitab Wahyu memberikan visi alternatif untuk hidup bersama: Yerusalem Baru. Inilah “kota yang turun dari surga”, dan dengan demikian merupakan representasi sempurna dari kasih karunia Allah. Ini sangat kontras dengan keburukan yang diciptakan sendiri, yaitu Babel.[2]
Di satu sisi, Yerusalem Baru merupakan pengembalian ke Eden—ada sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengahnya, dengan pohon kehidupan yang memiliki cabang-cabang yang penuh buah-buahan dan daun-daunan untuk penyembuhan bangsa-bangsa (Wahyu 22:2). Manusia dapat kembali hidup bersama Allah dalam perdamaian. Tentu saja kota ini melebihi Eden, karena kemuliaan Tuhan sendirilah yang menerangi kota itu (Wahyu 22:5).
Tetapi Yerusalem Baru bukan sekadar taman yang baru dan lebih baik: Yerusalem Baru adalah kota-taman, kota ideal yang menjadi pengimbang Babel. Masih ada, misalnya, partisipasi manusia yang berarti dalam kehidupan kota surgawi yang datang ke bumi itu. Yang penting, tentu saja, penyembahan yang dibawa manusia kepada Allah dan Anak Domba. Dan tampaknya ada yang lebih dari ini dalam perkataan “kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya [Yerusalem Baru]” (Wahyu 21:24-26). Di dunia kuno, membangun bait suci dengan bahan-bahan terbaik yang diperoleh dari seluruh dunia adalah suatu kerinduan besar; dan inilah yang dilakukan Salomo saat membangun Bait Suci di Yerusalem. Selain itu, orang akan membawa hadiah dari mana-mana untuk menghiasi bait suci yang selesai dibangun. Bisa jadi gambaran tentang raja-raja yang membawa persembahan ke Yerusalem Baru berasal dari latar belakang ini. Tidaklah tampak berlebihan jika menganggap persembahan-persembahan ini sebagai hasil budaya manusia, yang kini dipersembahkan bagi kemuliaan Allah.[3]
Kita juga harus memikirkan implikasi dari penglihatan Perjanjian Lama tentang masa yang akan datang, yang dilihat dalam kontinuitas yang berarti dengan kehidupan saat ini. Yesaya 65:17, misalnya, merupakan teks latar belakang yang sangat penting untuk Wahyu 21-22 yang menyatakan pengajaran dasar, “Sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati” (bdk. Wahyu 21:1). Tetapi pasal ini juga berbicara tentang berkat-berkat masa mendatang umat Allah, “Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya pula; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan memakan buahnya pula. Mereka tidak akan mendirikan sesuatu supaya orang lain mendiaminya; dan mereka tidak akan menanam sesuatu supaya orang lain memakan buahnya; sebab umur umat-Ku akan sepanjang umur pohon, dan orang-orang pilihan-Ku akan menikmati pekerjaan tangan mereka” (Yesaya 65:21-22). Kita tentu saja bisa beranggapan bahwa Yesaya, sesuai pada zamannya, sedang menunjuk pada sesuatu yang jauh lebih besar daripada kelimpahan hasil pertanian saja —dan ia hampir tak bisa menunjukkan sesuatu yang kurang. Tetapi justru “yang kurang” itulah yang biasanya diberikan dalam penglihatan tentang “surga” yang hanya berisi awan, harpa, dan jubah putih.
Menjelaskan dengan tepat tentang semua ini tidaklah mudah. Apakah masih akan ada pertanian di langit baru dan bumi baru? Apakah perangkat lunak program komputer 1.0 yang baik akan dibuang ketika versi 2.0 memasuki kota surgawi? Alkitab tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini secara langsung, tetapi kita lagi-lagi dapat melihat gambar besarnya. Allah menciptakan manusia untuk menjalankan kekuasaan atas bumi, yang memerlukan kreativitas. Apakah masuk akal jika Allah yang seperti itu lalu berbalik dan menganggap pekerjaan yang dilakukan dengan iman tak ada gunanya dan membuangnya? Secara keseluruhan, akan jauh lebih mungkin jika Dia meningkatkan dan menyempurnakan semua yang telah dilakukan bagi kemuliaan-Nya. Demikian pula, visi profetik tentang masa yang akan datang membayangkan manusia terlibat dalam aktivitas yang bermakna dalam dunia ciptaan. Karena Allah tidak menjelaskan secara rinci bagaimana pemindahan produk-produk dari dunia yang sekarang ini ke dunia yang baru, atau apa saja tepatnya yang bisa kita lakukan di masa yang akan datang, kita hanya bisa menebak-nebak apa artinya ini secara konkret. Tetapi yang pasti hal ini berarti kita dapat “selalu giat dalam pekerjaan Tuhan, sebab [kita] tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payah [kita] tidak sia-sia” (1 Korintus 15:58).[4]
Arti Kitab Wahyu bagi Pekerjaan Kita
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApa arti semua ini bagi kehidupan sehari-hari di tempat kerja? Kitab Wahyu tidak memberikan instruksi rinci tentang tindakan-tindakan terbaik di tempat kerja, tetapi ada beberapa panduan penting, terutama yang berkaitan dengan gambar besar. Tidak cukup kita hanya tenggelam dalam pekerjaan dan sibuk menyelesaikan urusan kita sendiri. Kita harus memiliki pemahaman tentang ke mana segala sesuatu akan pergi, dan mengapa kita melakukan yang kita lakukan.
Semakin tinggi posisi kekuasaan seseorang, semakin besar tanggung jawabnya untuk memastikan organisasi terarah kepada tujuan-tujuan yang memuliakan Allah, dan dijalankan dengan cara yang mengungkapkan kasih kepada sesama. Berbeda dengan sifat eksploitatif Babel, bisnis Kristen harus memperjuangkan sifat saling menguntungkan: pertukaran barang dan jasa yang adil, perlakuan yang adil terhadap pekerja, dan memikirkan kebaikan jangka panjang bagi orang-orang dan masyarakat yang bekerja sama dalam usaha itu.
Meskipun sebagian besar tempat kerja saat ini tidak secara formal atau informal berafiliasi dengan dewa-dewa kafir (seperti yang sering terjadi di dunia kuno), bentuk-bentuk penyembahan berhala yang lebih halus dapat terjadi tanpa kita sadari. Sebuah analogi masa kini tentang Babel dalam Alkitab adalah perusahaan yang memandang keuntungan dan kontinuitasnya sendiri sebagai tujuan utama keberadaannya (dengan CEO yang mungkin bertengger di singgasana semesta). Kita harus selalu ingat bahwa seluruh kehidupan terbuka di hadapan Allah dan tunduk pada perkenan atau penolakan-Nya. Pemusnahan Babel menjadi pengingat yang mengerikan bahwa Allah tidak dapat dipermainkan, dan ini berlaku dalam urusan kerja maupun kerohanian.
Pada akhirnya, kesetiaan-kesetiaan ini terungkap dalam perbuatan. Orang yang setia mengikuti jalan Yesus harus berusaha tidak tercela dalam etika. Orang-orang kudus sangat membutuhkan pengampunan yang tersedia melalui darah Yesus, dan mereka dipanggil untuk meniru kesaksian-Nya yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, mengakhiri Yerusalem Baru dengan visi positif sangatlah tepat. Meskipun perlu ada perubahan radikal antara dunia yang sekarang ini dengan dunia baru, rasa kesinambungan yang kuat di antara keduanya juga ada. Bagaimanapun, Yerusalem Baru tetaplah Yerusalem yang baru. Kota ini memiliki kesamaan-kesamaan dengan kota duniawi; bahkan, di satu sisi dapat dianggap sebagai penyempurnaan dari semua yang dicita-citakan Yerusalem duniawi. Demikian pula, masa depan kita pada akhirnya adalah anugerah Allah. Namun dalam misteri kebaikan penciptaan-Nya, perbuatan-perbuatan kita mengikuti kita (Wahyu 14:13)—tentu saja perbuatan-perbuatan kita yang baik, penyembahan kita kepada Allah dan pekerjaan tangan kita.