Kolose dan Kerja
Article / Produced by TOW ProjectAllah Bekerja dalam Penciptaan, Menjadikan Manusia Pekerja Sesuai Gambar dan Rupa-Nya (Kolose 1:1–14)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsDalam Kolose 1:6, Paulus membawa kita kembali ke Kejadian 1:26–28.
Kemudian Allah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita; supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan atas burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar dan rupa-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka, “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhi bumi dan taklukkanlah itu; berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Di sinilah Allah sang Pencipta sedang bekerja, dan puncak aktivitas-Nya adalah penciptaan umat manusia menurut gambar dan rupa Ilahi. Kepada laki-laki dan perempuan yang baru diciptakan, Dia memberikan dua tugas (tugas tersebut diberikan kepada laki-laki dan perempuan): mereka harus beranak cucu dan bertambah banyak, memenuhi bumi yang harus mereka taklukkan atau perintah. Paulus mengambil bahasa dari Kejadian 1 dalam Kolose 1:6, mengucap syukur kepada Allah karena Injil berkembang di tengah-tengah mereka, “berbuah dan berkembang” seiring dengan penyebarannya ke seluruh dunia. Dia kemudian mengulangi hal ini dalam 1:10—jemaat Kolose harus berbuah dan bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang Allah dan dalam pekerjaan mereka demi Dia. Entah tugas-tugas tersebut adalah pekerjaan mengasuh anak, pekerjaan multifaset dalam menundukkan bumi dan mengaturnya, atau pekerjaan pelayanan, dalam pekerjaan kita tugas-tugas tersebut dan kita adalah pembawa gambar Allah yang bekerja. Kita diciptakan sebagai pekerja pada mulanya, dan Kristus menebus kita sebagai pekerja.
Allah Bekerja, Yesus Bekerja (Kolose 1:15–20)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsParuh pertama surat Paulus kepada jemaat Kolose dapat diringkas dalam tujuh kata:
Yesus menciptakan semuanya.
Lalu Yesus membayar semuanya.
Yesus Menciptakan Semuanya
Surat Kolose berasumsi bahwa pembaca sudah tidak asing dengan kalimat pembuka kitab pertama Alkitab, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Kejadian pasal kedua kemudian menyatakan “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kej. 2:2). Penciptaan segala sesuatu yang ada adalah kerja, bahkan bagi Allah. Paulus memberitahu kita bahwa Kristus hadir pada saat penciptaan dan bahwa karya Allah dalam penciptaan adalah karya Kristus:
Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu. (Kol 1:15-17)
Dengan kata lain, Paulus menghubungkan seluruh ciptaan dengan Yesus, sebuah tema yang juga dikembangkan dalam Injil Yohanes (1:1-4).
Yesus Membayar Semuanya
Paulus kemudian menjelaskan kepada para pembacanya bahwa Yesus bukan hanya agen yang menciptakan segala sesuatu yang ada, tetapi Dia juga agen keselamatan kita:
Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus. (Kol 1:19-20)
Paulus menempatkan karya Kristus dalam penciptaan berdampingan dengan karya-Nya dalam penebusan, dengan tema penciptaan mendominasi bagian pertama perikopnya (Kol. 1:15–17) dan tema penebusan mendominasi bagian kedua (Kol. 1:18– 20). Paralelisme ini sangat mencolok antara 1:16, “di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi,” dan 1:20, “memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” Polanya mudah dilihat: Allah menciptakan segala sesuatu melalui Kristus, dan Dia mendamaikan hal-hal yang sama itu dengan diri-Nya melalui Kristus. James Dunn menulis,
Apa yang diklaim–secara sederhana dan mendalam—adalah bahwa tujuan ilahi dalam tindakan rekonsiliasi dan perdamaian adalah memulihkan keharmonisan ciptaan yang asli . . . menyelesaikan ketidakharmonisan alam dan ketidakmanusiawian umat manusia, sehingga karakter ciptaan Allah dan kepedulian Allah terhadap alam semesta dalam ekspresi sepenuhnya dapat ditangkap dan dikemas dalam salib Kristus.[1]
Singkatnya, Yesus menciptakan semuanya dan kemudian Yesus membayar semuanya agar kita dapat mempunyai hubungan dengan Allah yang hidup.
Yesus, Gambar dari Allah yang Takterlihat (Kolose 1:15–29)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsApa perbedaan yang seharusnya terjadi dengan kita menjadi penyandang gambar ilahi dalam pekerjaan kita? Salah satu implikasinya adalah bahwa dalam pekerjaan kita, kita akan mencerminkan pola dan nilai-nilai kerja Allah. Namun bagaimana kita bisa mengenal Allah sehingga kita mengetahui apa saja pola dan nilai-nilai tersebut? Dalam Kolose 1:15, Paulus mengingatkan kita bahwa Yesus Kristus adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan.” Sekali lagi, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian” (Kol. 2:9). “Pada wajah Yesus Kristus” lah kita dapat mengenal Allah (2 Kor. 4:6). Dalam pelayanan Yesus di bumi, Filipus bertanya kepadanya, “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” Yesus menjawab, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami?” (Yoh. 14:8–9).
Yesus mengungkapkan Allah kepada kita. Dia menunjukkan kepada kita bagaimana kita sebagai penyandang gambar Allah harus melaksanakan pekerjaan kita. Jika kita memerlukan bantuan untuk memahami hal ini, Paulus menjelaskannya: pertama, ia menggambarkan kuasa Yesus yang tak terbatas dalam penciptaan (Kol. 1:15-17), kemudian ia langsung menghubungkan hal itu dengan kesediaan Yesus untuk mengesampingkan kuasa tersebut, menginkarnasikan Allah di bumi melalui perkataan dan perbuatan, lalu mati demi dosa-dosa kita. (Paulus mengatakan hal ini secara langsung dalam Flp. 2:5-9.) Kita memandang Yesus. Kita mendengarkan Yesus untuk memahami bagaimana ktai dipanggil untuk menggambarkan Allah dalam pekerjaan kita.
Lalu, bagaimana pola dan nilai-nilai Allah dapat diterapkan dalam pekerjaan kita? Kita mulai dengan melihat secara spesifik pekerjaan Yesus sebagai teladan kita.
Pengampunan
Pertama, kita melihat bahwa Allah “telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang terkasih” (Kol. 1:13). Karena Yesus telah melakukan hal itu, Paulus dapat menghimbau kita untuk “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian” (Kol. 3:13). Atas dasar inilah Paulus dapat meminta Filemon, sang majikan hamba, untuk mengampuni dan menerima Onesimus sebagai seorang saudara, bukan lagi sebagai hamba. Kita melakukan pekerjaan kita dalam nama Tuhan Yesus ketika kita menerapkan sikap tersebut dalam hubungan kita di tempat kerja: kita mengampuni kesalahan orang lain dan mengampuni orang yang menyakiti kita.
Pengorbanan Diri demi Kepentingan Orang Lain
Kedua, kita melihat Yesus dengan kuasa yang tak terbatas menciptakan segala sesuatu yang ada, “yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa” (Kol. 1:16). Namun kita juga melihat Dia mengesampingkan kuasa itu demi kita, “mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus” (Kol. 1:20), sehingga kita bisa memiliki hubungan dengan Allah. Ada kalanya kita mungkin dipanggil untuk mengesampingkan otoritas atau kekuasaan yang kita miliki di tempat kerja demi memberi manfaat bagi seseorang yang mungkin tidak layak. Jika Filemon bersedia mengesampingkan otoritasnya sebagai pemilik hamba atas Onesimus (yang tidak pantas mendapatkan kemurahannya) dan membawanya kembali ke dalam hubungan yang baru, maka dengan cara ini Filemon menggambarkan Allah yang tidak terlihat di tempat kerjanya.
Kebebasan Dari Akomodasi Budaya
Ketiga, kita melihat Yesus menghayati realitas baru yang Dia tawarkan kepada kita: “Karena itu, apabila kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kol. 3:1–3). Kita tidak lagi terikat oleh adat istiadat budaya yang bertentangan dengan kehidupan Allah di dalam diri kita. Kita berada di dunia, namun kita bukan bagian dari dunia. Kita bisa berbaris mengikuti irama drum yang berbeda. Budaya di tempat kerja dapat merugikan kehidupan kita di dalam Kristus, namun Yesus memanggil kita untuk mengarahkan hati dan pikiran kita pada apa yang Allah inginkan bagi kita dan di dalam diri kita. Hal ini memerlukan reorientasi besar-besaran atas sikap dan nilai-nilai kita.
Paulus memanggil Filemon untuk melakukan reorientasi ini. Kebudayaan Romawi abad pertama memberi pemilik hamba kekuasaan penuh atas tubuh dan kehidupan hamba mereka. Segala sesuatu dalam budaya itu memberi izin penuh kepada Filemon untuk memperlakukan Onesimus dengan kasar, bahkan membunuhnya. Namun Paulus menegaskan dengan jelas: Sebagai pengikut Yesus Kristus, Filemon telah mati dan kehidupan barunya kini ada di dalam Kristus (Kol. 3:3). Itu berarti memikirkan kembali tanggung jawabnya tidak hanya terhadap Onesimus tetapi juga terhadap Paulus, terhadap gereja Kolose, dan terhadap Allah yang menjadi hakimnya.
“Aku Sendiri Baik-Baik Saja” (Kolose 2:1–23)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsPaulus memperingatkan jemaat Kolose agar tidak kembali ke orientasi lama yaitu menolong diri sendiri. “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2:8). Dalam buku “A Good Man is Hard to Find,” Flannery O’Connor dengan ironisnya mengucapkan kata-kata itu—“Saya sendiri baik-baik saja”—di mulut seorang pembunuh berantai yang menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan Yesus.[1] Ini adalah rangkuman yang pas tentang etos para guru palsu yang mengganggu orang-orang kudus di Kolose. Dalam “ibadah buatan sendiri” (Kol. 2:23), kemajuan rohani dapat dicapai melalui perlakuan kasar terhadap tubuh, penglihatan mistik (Kol. 2:18), dan mematuhi hari-hari khusus serta peraturan makanan (Kol. 2: 16, kemungkinan besar berasal dari Perjanjian Lama). Guru-guru ini percaya bahwa dengan mengerahkan sumber daya yang mereka miliki, mereka dapat mengatasi dosa mereka sendiri.
Poin penting ini menjadi dasar nasihat Paulus kepada para pekerja di bagian akhir suratnya. Kemajuan sejati dalam iman—termasuk kemajuan dalam cara kita memuliakan Allah di tempat kerja kita—hanya dapat muncul dari kepercayaan kita akan pekerjaan Allah di dalam kita melalui Kristus.
Tetapkan Pikiran Anda pada Hal-Hal di Atas: Kehidupan Surgawi demi Kebaikan Duniawi (Kolose 3:1–16)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsPanggilan untuk melakukan reorientasi ini berarti kita membentuk kembali kehidupan kita untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan etika Yesus dalam situasi yang tidak pernah Dia temui. Kita tidak dapat menjalani kembali kehidupan Yesus. Kita harus menjalani hidup kita sendiri bagi Yesus. Kita harus menanggapi pertanyaan-pertanyaan dalam hidup yang baginya Yesus tidak memberikan jawaban spesifik. Misalnya, ketika Paulus menulis, “Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol. 3:2), apakah ini berarti berdoa lebih baik daripada mengecat rumah? Apakah kemajuan umat kristiani berarti semakin sedikit memikirkan pekerjaan kita dan semakin banyak memikirkan tentang kecapi, malaikat, dan awan?
Paulus tidak membiarkan kita berspekulasi secara mentah mengenai hal-hal ini. Dalam Kolose 3:1–17, ia memperjelas bahwa “Pikirkanlah hal-hal yang di atas” (Kol. 3:2) berarti mengungkapkan prioritas kerajaan Allah tepat di tengah-tengah aktivitas sehari-hari di bumi. Sebaliknya, memikirkan hal-hal duniawi berarti hidup berdasarkan nilai-nilai sistem dunia yang bertentangan dengan Allah dan jalan-jalan-Nya.
Seperti apakah tindakan mematikan “segala sesuatu yang duniawi” (Kol. 3:5) dalam kehidupan nyata sehari-hari? Ini tidak berarti mengenakan baju yang terbuat dari rambut atau mandi air sedingin es untuk disiplin spiritual. Paulus baru saja mengatakan bahwa “menyiksa diri” tidak ada gunanya untuk menghentikan dosa (Kol. 2:23).
Pertama, ini berarti mematikan “percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Kita dipanggil untuk menjauhi imoralitas seksual (seolah-olah seks yang terdegradasi dapat memberikan kehidupan yang lebih baik) dan keserakahan (seolah-olah lebih banyak barang dapat membawa lebih banyak kebahagiaan). Tentu saja asumsinya adalah bahwa memang ada tempat yang layak untuk pemuasan hasrat seksual (perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita) dan tingkat yang tepat untuk pemuasan hasrat material (yang dihasilkan dari percaya kepada Allah, kerja keras, kemurahan terhadap sesama, dan rasa syukur atas pemeliharaan Allah).
Kedua, Paulus menyatakan, “Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu. Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya” (Kol. 3:8-10). Kata-kata “saling” menunjukkan bahwa Paulus sedang berbicara kepada gereja, yaitu kepada mereka yang percaya kepada Kristus. Apakah ini berarti diperbolehkan terus berbohong kepada orang lain di luar gereja? Tidak, karena Paulus tidak berbicara tentang perubahan perilaku saja, melainkan perubahan dalam hati dan pikiran. Sulit untuk membayangkan bahwa setelah mengambil “manusia baru”, Anda bisa kembali ke manusia lama ketika berhadapan dengan orang-orang yang tidak beriman. Setelah Anda “membuang semuanya itu”, mereka tidak dimaksudkan untuk dikembalikan lagi.
Dari sifat-sifat buruk ini, ada tiga hal yang sangat relevan dengan tempat kerja: keserakahan, amarah, dan tipu daya. Ketiga sifat buruk ini dapat muncul dalam kegiatan bisnis yang sah.
Keserakahan adalah mengejar kekayaan secara tidak terkendali. Adalah layak dan perlu bagi suatu bisnis untuk menghasilkan keuntungan atau bagi organisasi nirlaba untuk menciptakan nilai tambah. Namun jika keinginan untuk mendapatkan keuntungan menjadi tidak terbatas, kompulsif, berlebihan, dan menyempit pada pencarian keuntungan pribadi, dosa telah mengambil alih.
Amarah bisa muncul dalam konflik. Konflik perlu diungkapkan, dieksplorasi, dan diselesaikan di tempat kerja mana pun. Namun jika konflik tidak ditangani secara terbuka dan adil, konflik tersebut akan berubah menjadi amarah, murka, dan niat jahat yang tidak terselesaikan, dan dosa berkuasa.
Tipu daya dapat disebabkan oleh promosi prospek perusahaan atau manfaat produk secara tidak akurat. Sudah sepantasnya setiap perusahaan mempunyai visi terhadap produk, layanan, dan organisasinya yang melampaui apa yang ada saat ini. Brosur penjualan harus menjelaskan produk dalam penggunaan tertinggi dan terbaiknya, disertai peringatan tentang keterbatasan produk. Prospektus saham harus menggambarkan apa yang ingin dicapai perusahaan jika berhasil, dan juga risiko yang mungkin dihadapi perusahaan selama proses tersebut. Jika keinginan untuk menggambarkan suatu produk, layanan, perusahaan, atau orang dalam sudut pandang visioner melampaui batas dan mengarah pada penipuan (penggambaran yang tidak seimbang antara risiko versus imbalan, penyesatan, atau fabrikasi terang-terangan serta tipuan), maka dosa sekali lagi berkuasa.
Paulus tidak berusaha memberikan kriteria universal untuk mendiagnosis kapan kebajikan yang seharusnya telah merosot menjadi keburukan, namun ia memperjelas bahwa umat Kristiani harus belajar melakukan diagnosistersebut dalam situasi khusus mereka.
Ketika umat Kristiani “mematikan” (Kol. 3:5) diri mereka yang lama, mereka kemudian perlu mengenakan pribadi yang Allah kehendaki, yaitu pribadi yang Allah ciptakan kembali menurut gambar Kristus (Kol. 3: 10). Hal ini tidak berarti menyembunyikan diri untuk terus-menerus berdoa dan beribadah (walaupun kita semua dipanggil untuk berdoa dan beribadah, dan beberapa orang mungkin dipanggil untuk melakukan hal itu sebagai panggilan penuh waktu). Sebaliknya, hal ini berarti mencerminkan keutamaan Allah yaitu “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kol. 3:12) dalam apa pun yang kita lakukan.
Sebuah kata yang menguatkan datang dari nasihat Paulus untuk “tanggunglah seorang terhadap yang lain” (Kol. 3:13, terjemahannya mungkin demikian). Kebanyakan terjemahannya berbunyi “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain,” namun hal ini tidak sepenuhnya menangkap maksud Paulus. Tampaknya ia mengatakan bahwa ada berbagai macam orang di gereja (dan kita juga dapat menerapkan hal ini di tempat kerja) yang secara alami tidak cocok dengan kita. Minat dan kepribadian kita sangat berbeda sehingga tidak bisa terjadi kedekatan secara naluriah. Namun kita tetap menoleransi mereka. Kita mengupayakan kebaikan mereka, kita mengampuni dosa-dosa mereka, dan kita menanggung keanehan mereka yang menjengkelkan. Banyak karakter yang dipuji Paulus dalam suratnya dapat diringkas dalam kalimat “ia bekerja dengan baik bersama orang lain.” Paulus sendiri menyebut rekan sekerjanya Tikhikus, Onesimus, Aristarkhus, Markus, Yustus, Epafras, Lukas, Demas, Nimfa, dan Arkhipus (Kol. 4:7–17). Menjadi “pemain tim” bukan sekadar klise yang meningkatkan resume. Ini adalah kebajikan Kristen yang mendasar. Baik mematikan manusia yang lama maupun menerapkan manusia yang baru sangatlah relevan dalam pekerjaan sehari-hari. Umat Kristiani dimaksudkan untuk menunjukkan kehidupan baru Kristus di tengah dunia yang sedang sekarat, dan tempat kerja mungkin merupakan forum utama di mana pertunjukan semacam itu dapat dilakukan.
Misalnya, orang Kristen mungkin tergoda untuk menyesuaikan diri di tempat kerja dengan ikut serta dalam gosip dan keluhan yang tersebar di banyak tempat kerja. Kemungkinan besar setiap tempat kerja memiliki orang-orang yang tindakannya di dalam dan di luar jam kerja dapat menghasilkan cerita yang menarik. Tidak bohong kan, mengulang cerita itu?
Kemungkinan besar setiap tempat kerja mempunyai kebijakan yang tidak adil, atasan yang buruk, proses yang tidak berfungsi, dan saluran komunikasi yang buruk. Bukan fitnah kan jika kita mengutarakan keluhan-keluhan tersebut?
Nasihat Paulus adalah untuk hidup secara berbeda bahkan di tempat kerja yang buruk. Mematikan sifat duniawi dan mengenakan Kristus berarti berkonfrontasi langsung dengan orang-orang yang telah berbuat salah terhadap kita, bukannya bergosip di belakang mereka (Mat. 18:15-17). Hal ini berarti berupaya memperbaiki ketidaksetaraan di tempat kerja dan memaafkan ketidakadilan yang terjadi.
Seseorang mungkin bertanya, “Tidakkah orang Kristen menanggung risiko ditolak sebagai tipe orang yang tidak ceria dan ‘lebih suci dari Anda’ jika mereka tidak berbicara seperti orang lain?” Hal ini dapat terjadi jika orang-orang Kristen tersebut memisahkan diri dari orang lain dalam upaya untuk menunjukkan bahwa mereka lebih baik daripada orang lain. Rekan kerja akan mengendusnya dengan cepat. Namun jika umat Kristiani benar-benar mengenakan Kristus pada diri mereka, sebagian besar orang akan senang berada di dekat mereka. Beberapa bahkan mungkin diam-diam atau secara terbuka menghargai kenyataan bahwa seseorang yang mereka kenal setidaknya mencoba menjalani kehidupan yang penuh “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, dan kesabaran” (Kol. 3:12). Dengan cara yang sama, para pekerja Kristen yang menolak melakukan penipuan (baik dengan menolak salinan iklan yang menyesatkan atau menolak keras skema Ponzi yang diagung-agungkan) mungkin mendapati diri mereka mendapat musuh sebagai akibat kejujuran mereka. Namun ada kemungkinan juga bahwa beberapa rekan kerja akan mengembangkan keterbukaan baru terhadap cara Yesus ketika Komisi Sekuritas dan Bursa (Securities and Exchange Commission) mengetuk pintu kantor mereka.
Melakukan Pekerjaan Kita seperti untuk Allah (Kolose 3:17, 23)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsJadi apa artinya melakukan pekerjaan kita “dalam nama Tuhan Yesus” (Kol. 3:17)? Bagaimana kita melakukan pekerjaan kita dengan sepenuh hati, “seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23)? Melakukan pekerjaan kita dalam nama Tuhan Yesus setidaknya mengandung dua gagasan:
Kita menyadari bahwa kita mewakili Yesus di tempat kerja. Jika kita adalah pengikut Kristus, cara kita memperlakukan orang lain dan seberapa rajin dan setia kita melakukan pekerjaan mencerminkan Tuhan kita. Seberapa cocokkah tindakan kita dengan siapa Dia?
Bekerja dalam “nama Yesus” juga menyiratkan bahwa kita hidup dengan mengakui bahwa Dia adalah tuan kita, atasan kita, dan kepada-Nya kita bertanggung jawab. Hal ini mengingatkan Paulus bahwa kita bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk majikan manusia. Ya, kemungkinan besar kita mempunyai akuntabilitas horizontal dalam bekerja, namun ketekunan yang kita lakukan dalam pekerjaan berasal dari pengakuan kita bahwa, pada akhirnya, Allah adalah hakim kita.
Ketika Paulus menulis, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur melalui Dia kepada Allah, Bapa kita” (Kol. 3:17), kita dapat memahami ayat ini dalam dua cara: jalan yang dangkal dan jalan yang lebih dalam. Cara yang dangkal adalah dengan memasukkan beberapa tanda dan gerak tubuh Kristen ke dalam tempat kerja kita, seperti ayat Alkitab yang ditempel di bilik kita atau stiker bemper Kristen di truk kita. Tindakan seperti ini bisa saja bermakna, namun tindakan seperti ini tidak mencerminkan kehidupan kerja yang berpusat pada Kristus. Cara yang lebih dalam untuk memahami tantangan Paulus adalah dengan berdoa secara khusus untuk pekerjaan yang sedang kita lakukan: “Tuhan, tolong tunjukkan saya cara menghormati penggugat dan tergugat dalam bahasa yang saya gunakan dalam laporan singkat ini.”
Cara yang lebih mendalam lagi adalah memulai hari dengan membayangkan apa tujuan kita sehari-hari jika Allah adalah pemilik tempat kerja kita. Dengan memahami perintah Paulus ini, kita akan bekerja sepanjang hari untuk mencapai tujuan yang memuliakan Allah. Maksud rasul Paulus adalah bahwa dalam kerajaan Allah, pekerjaan dan doa kita merupakan kegiatan yang terintegrasi. Kita cenderung melihatnya sebagai dua aktivitas terpisah yang perlu diseimbangkan. Namun keduanya merupakan dua aspek dari aktivitas yang sama—yakni, bekerja untuk mencapai apa yang Allah ingin capai dalam persekutuan dengan orang lain dan dengan Allah.
Tentang Hamba dan Tuan, Zaman Dahulu dan Kontemporer (Kolose 3:18–4:1)
Back to Table of Contents Back to Table of ContentsPada titik ini, surat Kolose beralih ke apa yang disebut “aturan rumah tangga,” yaitu serangkaian instruksi khusus bagi istri dan suami, anak-anak dan orang tua, hamba dan tuan. Aturan-aturan ini umum di dunia kuno. Dalam Perjanjian Baru, aturan-aturan tersebut muncul dalam berbagai bentuk sebanyak enam kali—dalam Galatia 3:28; Efesus 5:15–6:9; Kolose 3:15–4:1; 1 Timotius 5:1–22; 6:1–2; Titus 2:1–15; dan 1 Petrus 2:11–3:9. Untuk tujuan kita di sini, kita hanya akan mengeksplorasi bagian dalam Kolose yang berkaitan dengan tempat kerja (hamba dan majikan dalam 3:18–4:1).
Jika kita ingin menghargai sepenuhnya nilai kata-kata Paulus di sini bagi para pekerja masa kini, kita perlu memahami sedikit tentang perhambaan di dunia zaman kuno. Pembaca Barat sering menyamakan perhambaan di dunia kuno dengan sistem perbudakan sebelum Perang Saudara di Amerika Serikat, sebuah sistem yang terkenal karena kebrutalan dan degradasinya. Dengan risiko penyederhanaan yang berlebihan, kita dapat mengatakan bahwa sistem perhambaan di dunia kuno serupa dan berbeda dari sistem yang pernah ada di AS. Di satu sisi, pada zaman dahulu, tawanan perang asing yang bekerja di pertambangan bisa dibilang jauh lebih buruk kondisinya dibandingkan para budak di Amerika Selatan. Namun di sisi lain, beberapa hamba adalah anggota rumah tangga yang berpendidikan tinggi dan berharga, serta bertugas sebagai dokter, guru, dan manajer perkebunan. Namun semuanya dianggap sebagai milik majikannya, sehingga bahkan seorang hamba rumah tangga pun dapat mengalami perlakuan yang mengerikan tanpa adanya upaya hukum yang diperlukan.[1]
Apa relevansi Kolose 3:18–4:1 bagi para pekerja saat ini? Meskipun bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji merupakan bentuk pekerjaan yang dominan di negara-negara maju saat ini, perhambaan adalah bentuk pekerjaan yang dominan di Kekaisaran Romawi. Banyak hamba bekerja dalam pekerjaan yang kita kenal sekarang sebagai pekerjaan, menerima makanan, tempat tinggal, dan sering kali mendapatkan sedikit kenyamanan sebagai imbalannya. Kekuasaan pemilik hamba atas hambanya dalam beberapa hal serupa, namun jauh lebih ekstrim dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki majikan atau manajer terhadap pekerja saat ini. Prinsip-prinsip umum yang Paulus kemukakan mengenai hamba dan majikan dalam surat ini dapat diterapkan pada manajer dan majikan modern, asalkan kita menyesuaikan diri dengan perbedaan signifikan antara situasi kita saat ini dan situasi mereka di kemudian hari.
Apa saja prinsip umum tersebut? Pertama, dan mungkin yang paling penting, Paulus mengingatkan para hamba bahwa pekerjaan mereka harus dilakukan dengan integritas di hadapan Allah, yang merupakan tuan mereka yang sebenarnya. Lebih dari segalanya, Paulus ingin mengkalibrasi ulang timbangan baik hamba maupun majikan sehingga mereka menimbang segala sesuatunya dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup mereka. Hamba harus bekerja “takut akan TUHAN” (Kol. 3:22) karena “dari Tuhanlah kamu akan menerima warisan yang menjadi upahmu” (Kol. 3:24). Ringkasnya, “Apa pun tugasmu, lakukanlah [secara harfiah, “bekerja dengan jiwa”] seperti yang dilakukan untuk Allah dan bukan untuk tuanmu” (Kol. 3:23). Dengan cara yang sama, para tuan [secara harfiah berarti “tuhan”] harus menyadari bahwa otoritas mereka tidak mutlak—mereka “mempunyai tuan di surga” (Kol. 4:1). Otoritas Kristus tidak dibatasi oleh tembok gereja. Dia adalah Tuhan tempat kerja baik bagi pekerja maupun bos.
Hal ini mempunyai beberapa konsekuensi praktis. Karena Allah mengawasi para pekerja, tidak ada gunanya sekedar “menyenangkan orang lain” yang memberikan “layanan mata” (terjemahan literal dari istilah Yunani dalam Kol. 3:22). Di dunia sekarang ini, banyak orang mencoba menjilat atasan mereka saat mereka ada, dan kemudian bermalas-malasan saat mereka keluar. Sepertinya di dunia kuno pun demikian. Paulus mengingatkan kita bahwa Bos Utama selalu mengawasi dan kenyataan itu menuntun kita untuk bekerja dengan “tulus hati,” bukan berpura-pura di hadapan manajemen, namun dengan sungguh-sungguh mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita. (Beberapa bos duniawi cenderung mengetahui siapa yang berpura-pura seiring berjalannya waktu, meskipun di dunia yang sudah rusak, para pemalas kadang-kadang bisa lolos dari tindakan mereka.)
Bahaya tertangkap karena ketidakjujuran atau pekerjaan buruk diperkuat dalam Kolose 3:25. “Siapa saja yang berbuat salah akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.” Karena ayat sebelumnya mengacu pada upah dari Allah atas pelayanan yang setia, kita dapat berasumsi bahwa Allah juga dipandang sebagai penghukum orang jahat. Namun perlu dicatat di sini bahwa rasa takut akan hukuman bukanlah motivasi utama. Kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan baik hanya untuk menghindari tinjauan kinerja yang buruk. Paulus ingin pekerjaan baik muncul dari hati yang baik. Ia ingin orang-orang bekerja dengan baik karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Yang tersirat di sini adalah penegasan akan nilai kerja di mata Allah. Karena Allah menciptakan kita untuk menjalankan kekuasaan atas ciptaan-Nya, Dia senang jika kita memenuhinya dengan mengejar keunggulan dalam pekerjaan kita. Dalam pengertian ini, kata-kata “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu!” (Kol. 3:23) merupakan janji dan juga perintah. Melalui pembaruan rohani yang ditawarkan kepada kita di dalam Kristus melalui kasih karunia Allah, kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan semangat.
Kolose 3:22–4:1 memperjelas bahwa Allah memandang serius semua pekerjaan, meskipun pekerjaan itu dilakukan dalam kondisi yang tidak sempurna atau merendahkan martabat. Katarak yang diangkat oleh seorang ahli bedah mata yang dibayar dengan baik adalah penting bagi Allah. Demikian pula halnya dengan kapas yang dipetik oleh petani bagi hasil atau bahkan oleh budak perkebunan. Ini tidak berarti bahwa eksploitasi terhadap pekerja dapat diterima di hadapan Allah. Hal ini berarti bahwa sistem yang kejam sekalipun tidak dapat merampas martabat pekerjaan dari pekerja, karena martabat tersebut diberikan oleh Allah sendiri.
Salah satu hal yang patut diperhatikan mengenai aturan rumah tangga Perjanjian Baru adalah masih adanya tema kesetaraan. Ketimbang sekadar menyuruh bawahan untuk menaati atasannya, Paulus mengajarkan bahwa kita hidup dalam jaringan hubungan yang saling bergantung. Istri dan suami, anak dan orang tua, hamba dan tuan semuanya mempunyai kewajiban satu sama lain dalam tubuh Kristus. Karenanya perintah yang diberikan kepada para hamba langsung diikuti oleh arahan kepada majikan: “Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di surga” (Kol. 4:1). Apa pun kelonggaran yang diberikan sistem hukum Romawi kepada pemilik hamba, mereka pada akhirnya harus menjawab di pengadilan Allah di mana keadilan bagi semua ditegakkan. Tentu saja, keadilan dan kewajaran harus ditafsirkan secara segar dalam setiap situasi baru. Misalnya saja konsep “upah yang adil”. Upah yang adil di pertanian Tiongkok mungkin memiliki nilai tunai yang berbeda dengan upah yang adil di bank Chicago. Namun di bawah Allah ada kewajiban bersama bagi pengusaha dan pekerja untuk memperlakukan satu sama lain dengan adil.