Lukas dan Kerja
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Pengantar Kepada Kitab Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Lukas memberitakan Yesus sebagai raja yang akan datang ke dunia. Diutus oleh Allah, pemerintahan-Nya akan memperbaiki segala sesuatu yang rusak setelah pemberontakan dan kejatuhan umat manusia yang dimulai oleh Adam dan Hawa. Saat ini, sebagian besar dunia dikuasai oleh para pemberontak yang menentang otoritas Allah. Namun bagaimana pun dunia ini adalah kerajaan Allah, dan urusan kehidupan sehari-hari — termasuk pekerjaan — adalah urusan kerajaan Allah. Allah sangat peduli terhadap pemerintahan, produktivitas, keadilan, dan budaya dari dunia milik-Nya.
Yesus adalah raja sekaligus teladan bagi semua orang yang memiliki otoritas lebih rendah. Walaupun umat Kristiani terbiasa menyebut Yesus sebagai “raja”, entah bagaimana, bagi sebagian besar dari kita, gelar ini lebih terkesan bersifat relijius, ketimbang mengacu pada kerajaan yang sebenarnya. Kita mengatakan bahwa Yesus adalah raja, namun sering kali kita mengartikan bahwa Dia adalah raja para imam. Kita menganggap-Nya sebagai pendiri suatu agama, namun Lukas menunjukkan bahwa Dia mendirikan ulang sebuah dunia — kerajaan Allah di bumi. Ketika Yesus hadir secara pribadi, bahkan Iblis dan antek-anteknya mengakui kekuasaan-Nya (misalnya Lukas 8:32) dan kuasa-Nya tidak tertandingi. Setelah Dia kembali, untuk sementara, ke surga, teladan-Nya menunjukkan kepada warga kerajaan-Nya bagaimana menjalankan otoritas dan kekuasaan sebagai wakil-Nya.
Kepemimpinan Yesus menjangkau setiap aspek kehidupan, termasuk pekerjaan. Maka tidak mengherankan jika Injil Lukas memiliki penerapan yang luas dalam dunia kerja. Lukas memberikan perhatian mendalam pada topik-topik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti kekayaan dan kekuasaan, ekonomi, pemerintahan, konflik, kepemimpinan, produktivitas, dan pemeliharaan kebutuhan, serta investasi, seperti yang akan kita bahas. Kita akan melanjutkan secara garis besar sesuai urutan teks Lukas, meskipun kadang-kadang mengambil bagian-bagian secara tidak berurutan sehingga kita dapat menganggapnya sebagai satu unit dengan bagian-bagian lain yang memiliki tema yang sama. Kita tidak akan mencoba membahas bagian-bagian yang hanya sedikit kontribusinya terhadap pemahaman tentang pekerjaan, pekerja, dan tempat kerja. Mungkin mengejutkan betapa banyaknya bagian Injil Lukas yang ternyata berkaitan dengan pekerjaan.
Allah Bekerja (Lukas 1, 2, dan 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHari yang Mengejutkan di Tempat Kerja Zakharia (Lukas 1:8-25)
Injil Lukas dimulai di tempat kerja. Hal ini melanjutkan sejarah panjang kemunculan Yahweh di tempat kerja (misalnya, Kejadian 2:19-20; Keluaran 3:1-5). Zakharia dikunjungi oleh malaikat Gabriel pada hari kerja terpenting dalam hidupnya — hari dimana ia dipilih untuk melayani di tempat suci Bait Suci Yerusalem (Lukas 1:8). Meskipun kita mungkin tidak terbiasa menganggap bait suci sebagai tempat kerja, para imam dan orang Lewi di sana melakukan pekerjaan penjagalan (hewan kurban tidak membunuh dirinya sendiri), memasak, menjaga kebersihan, akuntansi, dan berbagai macam kegiatan lainnya. Bait Suci bukan sekedar pusat keagamaan, namun juga pusat kehidupan ekonomi dan sosial bangsa Yahudi. Zakharia sangat terpengaruh oleh perjumpaannya dengan Allah—ia tidak mampu berbicara sampai ia memberikan kesaksian tentang kebenaran firman Allah.
Gembala yang Baik Muncul di Tengah-tengah Para Gembala (Lukas 2:8-20)
Perjumpaan di tempat kerja berikutnya terjadi beberapa mil jauhnya dari bait suci. Sekelompok gembala yang mengawasi kawanan ternaknya di malam hari dikunjungi oleh malaikat yang mengumumkan kelahiran Yesus (Lukas 2:9). Para penggembala pada umumnya dianggap hina, dan orang lain memandang rendah mereka. Tapi Allah berkenan atas mereka. Seperti Imam Zakharia, hari kerja para gembala diinterupsi oleh Allah dengan cara yang mengejutkan. Lukas menggambarkan suatu kenyataan di mana perjumpaan dengan Allah tidak hanya dilakukan pada hari Minggu, retret, atau perjalanan misi. Sebaliknya, setiap momen muncul sebagai momen potensial di mana Allah dapat mengungkapkan diri-Nya. Pekerjaan sehari-hari bisa menumpulkan indera rohani kita, seperti orang-orang se-generasi Lot yang rutinitas “makan dan minum, jual beli, menanam dan membangun”-nya membutakan mereka terhadap penghakiman yang akan datang atas kota mereka (Lukas 17:28-30).[1] Namun Allah sanggup mendobrak kehidupan sehari-hari dengan kebaikan dan kemuliaan-Nya.Deskripsi Pekerjaan Yesus: Raja (Lukas 1:26-56, 4:14-22)
Jika terasa aneh bagi Allah untuk mengumumkan rencana-Nya untuk menyelamatkan dunia di tengah-tengah dua tempat kerja itu, mungkin kelihatan lebih aneh lagi bahwa Dia memperkenalkan Yesus dengan sebuah deskripsi pekerjaan. Tapi Dia melakukannya, ketika malaikat Gabriel memberitahu Maria bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki. “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Allah Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan" (Lukas 1:32-33).
Meskipun kita mungkin tidak terbiasa menganggap “raja Israel” sebagai pekerjaan Yesus, namun yang pasti ini adalah pekerjaan-Nya menurut Injil Lukas. Rincian pekerjaan-Nya sebagai raja yang diberikan: Dia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Allah Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Dia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan, serta menunjukkan belas kasihan kepada keturunan Abraham (Lukas 1:51-55). Ayat-ayat terkenal ini, yang sering disebut Magnificat, menggambarkan Yesus sebagai seorang raja yang menjalankan kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan mungkin militer. Berbeda dengan raja-raja korup di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, Dia menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi manfaat bagi rakyat-Nya yang paling rentan. Dia tidak menjilat orang-orang yang berkuasa dan mempunyai koneksi baik demi menopang dinasti-Nya. Dia tidak menindas rakyat-Nya atau mengenakan pajak kepada mereka untuk mendukung kebiasaan-kebiasaan mewah. Dia mendirikan sebuah wilayah yang dikelola dengan baik dimana tanah tersebut menghasilkan hal-hal baik bagi semua orang, keamanan bagi umat Allah, dan belas kasihan bagi mereka yang bertobat dari kejahatan. Dialah raja yang tidak pernah dimiliki Israel.
Di kemudian hari, Yesus meneguhkan uraian tugas ini ketika Dia menggunakan Yesaya 61:1-2 untuk menggambarkan diri-Nya sendiri. “Roh Allah ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Allah telah datang." (Lukas 4:18-19). Ini adalah tugas politik dan pemerintahan. Oleh karena itu, setidaknya dalam Lukas, pekerjaan Yesus lebih berkaitan erat dengan pekerjaan politik masa kini dibandingkan dengan profesi pastoral atau keagamaan di masa kini.[2] Yesus sangat menghormati para imam dan peran khusus mereka dalam tatanan Allah, namun Dia pada dasarnya tidak mengidentifikasi diri-Nya sebagai salah satu dari mereka (Lukas 5:14; 17:14).
Tugas yang Yesus nyatakan bagi diri-Nya bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan. Berbeda dengan para penguasa di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, Dia memerintah atas nama orang-orang miskin, orang-orang yang dipenjarakan, orang-orang buta, orang-orang yang tertindas, dan orang-orang yang berhutang (yang tanahnya dikembalikan kepada mereka pada tahun perkenanan Allah; lihat Imamat 25 :8-13). Kepedulian-Nya bukan hanya pada masyarakat yang sangat membutuhkan saja. Dia peduli terhadap orang-orang di setiap posisi dan kondisi, seperti yang akan kita lihat. Namun kepedulian-Nya terhadap masyarakat miskin, mereka yang menderita, dan mereka yang tidak berdaya membedakan-Nya secara jelas dengan para penguasa yang akan Dia gantikan.
Yohanes Pembaptis Mengajarkan Etika di Tempat Kerja (Lukas 3:8-14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebagian besar isi Injil Lukas berisi pengajaran Yesus. Kebetulan, pengajaran pertama dalam Lukas secara langsung berkaitan dengan kerja, meskipun pengajaran tersebut berasal dari Yohanes Pembaptis dan bukan dari Yesus. Yohanes menasihati para pendengarnya “hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (Lukas 3:8) agar mereka tidak dihakimi. Ketika mereka bertanya secara spesifik, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” (Lukas 3:10, 12, 14), Yohanes memberikan tanggapan ekonomi, bukan agama. Pertama, ia menyuruh mereka yang mempunyai harta berlimpah (dua helai baju atau makanan yang cukup) untuk berbagi dengan mereka yang tidak memiliki apa pun (Lukas 3:10). Ia kemudian memberikan instruksi kepada pemungut pajak dan tentara, berkaitan langsung dengan pekerjaan mereka. Pemungut pajak harus memungut pajak sesuai dengan kewajibannya saja, bukan menambah tagihan pajak dan mengantongi selisihnya. Tentara tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk memeras uang dan menuduh orang secara tidak benar. Mereka harus puas dengan gajinya (Lukas 3:13-14).
Ketika Yohanes mengatakan kepada para pemungut pajak, "Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu" (Lukas 3:13), ia sedang melontarkan kata-kata radikal kepada suatu profesi yang ditandai dengan ketidakadilan yang sudah mengakar dan sistemik. Pajak di seluruh Palestina dikumpulkan melalui suatu sistem “tax farming” di mana gubernur dan pejabat tingkat tinggi lainnya melakukan outsourcing hak untuk memungut pajak di yurisdiksi mereka.[1] Untuk memenangkan kontrak, seorang calon pemungut pajak harus setuju untuk memberi pejabat tersebut jumlah tertentu di atas pajak Romawi yang sebenarnya. Demikian pula, keuntungan yang diperoleh para pemungut pajak adalah jumlah yang mereka bebankan melebihi jumlah yang mereka berikan kepada pejabat pemerintah. Karena masyarakat tidak bisa mengetahui berapa sebenarnya pajak Romawi, mereka harus membayar berapa pun yang dinilai oleh pemungut pajak. Sulit untuk menahan godaan untuk memperkaya diri sendiri, dan hampir mustahil memenangkan tender tanpa menawarkan keuntungan besar kepada pejabat pemerintah.
Perhatikan bahwa Yohanes tidak menawarkan kepada mereka pilihan untuk berhenti menjadi pemungut pajak. Situasi serupa terjadi pada orang-orang yang disebut Lukas sebagai “prajurit”. Mereka mungkin bukan tentara Romawi yang disiplin, melainkan tentara Herodes, yang pada waktu itu memerintah Galilea sebagai raja klien Roma. Para tentara Herodes dapat (dan memang) menggunakan otoritas mereka untuk mengintimidasi, memeras, dan mendapatkan keuntungan pribadi. Instruksi Yohanes kepada para pekerja ini adalah untuk membawa keadilan kepada sistem yang ditandai dengan ketidakadilan yang sangat mendalam. Kita tidak boleh meremehkan betapa sulitnya hal itu. Memegang kewarganegaraan dalam kerajaan Allah sambil hidup di bawah kekuasaan raja-raja dunia yang sudah jatuh dalam dosa bisa menjadi hal yang berbahaya dan sulit.
Perhatikan juga bahwa para pemungut pajak dan tentara menanggapi pengumuman Yohanes tentang penghakiman Allah dengan bertanya, “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” Mereka menanyakan pertanyaan ini sebagai kelompok (“kami”) yang memiliki pekerjaan yang sama. Bisakah kelompok pekerja saat ini melakukan hal yang sama?
guru sekolah bertanya, “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?”
eksekutif bisnis bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
pegawai toko kelontong bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
pekerja kantoran bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
Teks ini mengajak kita untuk memahami maksud Allah dalam pekerjaan kita yang spesifik, bukan hanya untuk kerja secara umum. Bagaimana kita, dalam pekerjaan kita saat ini, menanggapi panggilan Injil?
Dalam perikop tersebut, seorang pemimpin agama—nabi Yohanes Pembaptis—memiliki kredibilitas yang cukup di mata kelompok pekerja—pemungut pajak dan tentara—sehingga mereka bersedia menerima masukannya mengenai etika mereka di tempat kerja. Dapatkah kelompok pekerja saat ini mendapatkan bantuan dari para pemimpin agama – atau dari orang-orang yang mempunyai kemampuan alkitabiah/teologis di antara mereka sendiri – untuk saling memahami apa yang Allah maksudkan dalam pekerjaan mereka? Yesus sendiri berjanji untuk membimbing mereka yang berkumpul untuk mendapatkan bimbingan, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20).
Artikel “The Equipping Church” mengeksplorasi bagaimana gereja-gereja dapat membantu para pekerja dalam pekerjaan umum mengenali dan bertindak berdasarkan maksud Allah dalam pekerjaan mereka.
Yesus Dicobai Agar Batal Melayani Allah (Lukas 4:1-13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTepat sebelum Yesus memulai pekerjaan-Nya sebagai raja, Iblis mencobai Dia untuk meninggalkan kesetiaan-Nya kepada Allah. Yesus pergi ke padang gurun, di mana Dia berpuasa selama empat puluh hari (Lukas 4:2). Kemudian Dia menghadapi pencobaan yang sama yang dihadapi bangsa Israel di padang gurun Sinai. (Jawaban yang Yesus berikan kepada Iblis semuanya merupakan kutipan dari Ulangan 6-8, yang menceritakan kisah Israel di padang gurun.) Pertama, Dia dicobai untuk percaya pada kekuatan-Nya sendiri untuk memenuhi kebutuhan-Nya, ketimbang bergantung pada pemeliharaan Allah (Lukas 4:1-3; Ulangan 8:3, 17-20). “Karena Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti.” (Lukas 4:3). Kedua, Dia dicobai untuk mengalihkan kesetiaan-Nya kepada seseorang (Iblis) yang menggoda-Nya dengan jalan pintas menuju kekuasaan dan kemuliaan (Lukas 4:5-8; Ulangan 6:13; 7:1-26). “Jikalau Engkau menyembah aku, seluruhnya itu akan menjadi milik-Mu.” Ketiga, Dia dicobai untuk mempertanyakan apakah Allah benar-benar menyertai-Nya, dan karena itu mencoba memaksa Allah turun tangan dalam keputusasaan (Lukas 4:9-12; Ulangan 6:16-25). “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah,” (dari Bait Allah). Berbeda dengan Israel, Yesus menolak godaan ini dengan mengandalkan firman Allah. Umat Israel seharusnya menjadi manusia seperti Dia –seperti Adam dan Hawa sebelumnya, namun hal itu tidak pernah terjadi.
Seperti halnya pencobaan yang dialami Israel dalam Ulangan 6-8, pencobaan ini tidak hanya terjadi pada Yesus saja. Dia mengalaminya sama seperti kita semua. “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya saja Ia tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15). Seperti Israel, dan seperti Yesus, kita bisa memperkirakan akan mengalami godaan, baik dalam pekerjaan maupun dalam seluruh kehidupan.
Godaan untuk bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sendiri sangat tinggi di tempat kerja. Bekerja dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kita (2 Tesalonika 3:10), namun bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita. Kerja kita dimaksudkan untuk melayani orang lain juga. Berbeda dengan Yesus, kita tidak mempunyai pilihan untuk melayani diri sendiri menggunakan mukjizat. Namun kita bisa tergoda untuk bekerja secukupnya demi mendapatkan gaji, berhenti ketika keadaan menjadi sulit, mengabaikan bagian beban kerja yang kita emban, atau mengabaikan beban yang dipaksakan oleh kebiasaan kerja kita yang buruk kepada orang lain. Godaan untuk mengambil jalan pintas juga tinggi di tempat kerja.
Godaan untuk mempertanyakan kehadiran dan kuasa Allah dalam pekerjaan kita mungkin merupakan godaan terbesar. Yesus dicobai untuk menguji Allah dengan memaksakan tangannya. Kita dicobai dengan hal yang sama ketika kita menjadi malas atau melakukan hal-hal yang bodoh dan berharap Allah menjaga kita. Kadang-kadang hal ini terjadi ketika seseorang memutuskan bahwa Allah telah memanggilnya kepada suatu profesi atau posisi, dan kemudian duduk menunggu Allah mewujudkannya. Namun kita mungkin lebih dicobai untuk tidak lagi mengharapkan kehadiran dan kuasa Allah dalam pekerjaan kita. Kita mungkin berpikir pekerjaan kita tidak ada artinya bagi Allah, atau Allah hanya peduli pada kehidupan bergereja kita, atau kita tidak bisa berdoa memohon pertolongan Allah dalam aktivitas kerja sehari-hari. Yesus mengharapkan Allah untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-Nya setiap hari, namun Dia tidak menuntut Allah melakukan pekerjaan itu untuk-Nya.
Keseluruhan episode dimulai dengan Roh Allah memimpin Yesus ke padang gurun untuk berpuasa selama empat puluh hari. Dulu, seperti sekarang, berpuasa dan retret merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sebelum memulai perubahan besar dalam hidup. Yesus akan memulai pekerjaan-Nya sebagai raja, dan Dia ingin menerima kuasa, hikmat, dan hadirat Allah sebelum memulainya. Ini berhasil. Ketika Iblis mencobai Yesus, Dia telah menghabiskan empat puluh hari dalam roh Allah. Dia sepenuhnya siap untuk melawan. Namun, berpuasa juga membuat godaan tersebut semakin mendalam. “Ia lapar” (Lukas 4:2). Pencobaan sering kali datang kepada kita jauh lebih cepat dari yang kita perkirakan, bahkan pada awal kehidupan kerja kita. Kita mungkin dicobai untuk mengikuti skema cepat kaya, ketimbang memulai dari bawah dalam profesi yang benar-benar produktif. Kita mungkin berhadapan langsung dengan kelemahan kita sendiri untuk pertama kalinya, dan tergoda untuk mengimbanginya dengan berbuat curang, menindas, atau menipu. Kita mungkin berpikir kita tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan dengan keterampilan yang kita miliki, sehingga kita tergoda untuk memberikan gambaran yang salah atau mengarang kualifikasi. Kita mungkin mengambil posisi yang menguntungkan namun tidak memuaskan “hanya untuk beberapa tahun, sampai saya mapan,” dalam khayalan bahwa kita nantinya akan melakukan sesuatu yang lebih sesuai dengan panggilan kita.
Persiapan adalah kunci kemenangan atas pencobaan. Pencobaan biasanya datang tanpa peringatan. Anda mungkin diperintahkan untuk mengirimkan laporan palsu. Anda mungkin ditawari informasi rahasia hari ini yang akan diketahui publik besok. Pintu yang tidak terkunci mungkin menawarkan kesempatan mendadak untuk mengambil sesuatu yang bukan milik Anda. Tekanan untuk ikut bergosip tentang rekan kerja mungkin muncul secara tiba-tiba saat istirahat makan siang. Persiapan terbaik adalah dengan membayangkan skenario yang mungkin terjadi sebelumnya dan, dalam doa, rencanakan bagaimana menanggapinya, bahkan mungkin menuliskannya bersama dengan tanggapan yang Anda serahkan kepada Allah. Perlindungan lainnya adalah memiliki sekelompok orang yang mengenal Anda secara dekat, yang dapat Anda hubungi dalam waktu singkat untuk mendiskusikan godaan Anda. Jika Anda dapat memberi tahu mereka sebelum Anda bertindak, mereka mungkin membantu Anda melewati godaan tersebut. Yesus, yang berada dalam persekutuan dengan Bapa-Nya dalam kuasa Roh Kudus, menghadapi pencobaan-pencobaan tersebut dengan dukungan dari komunitas sejawat-Nya – jika kita boleh menggambarkan Allah Tritunggal seperti itu.
Pencobaan-pencobaan yang kita alami tidak identik dengan yang dialami Yesus, walaupun pencobaan-pencobaan tersebut memiliki kesamaan yang luas. Kita semua mempunyai pencobaan masing-masing, besar atau kecil, bergantung pada siapa kita, keadaan kita, dan sifat pekerjaan kita. Tidak seorang pun di antara kita yang merupakan Anak Allah, namun cara kita menanggapi pencobaan mempunyai konsekuensi yang mengubahkan hidup. Bayangkan konsekuensinya jika Yesus menyimpang dari panggilan-Nya sebagai raja Allah dan menghabiskan hidup-Nya dengan menciptakan kemewahan bagi diri-Nya sendiri, atau melakukan perintah penguasa kejahatan, atau bermalas-malasan menunggu Bapa melakukan pekerjaan-Nya bagi-Nya.
Yesus Memanggil Orang-Orang di Tempat Kerja (Lukas 5:1-11; 27-32)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus dua kali pergi ke tempat kerja orang untuk memanggil mereka agar mengikut Dia. Yang pertama adalah ketika Yesus meminta beberapa nelayan untuk menghentikan pekerjaan mereka dan membiarkan Dia menggunakan perahu mereka sebagai podium. Kemudian Dia memberi mereka beberapa tips menjala ikan yang bagus dan tiba-tiba memanggil mereka untuk menjadi murid pertama-Nya (Lukas 5:1-11). Yang kedua ketika Dia memanggil Lewi yang sedang bekerja memungut pajak (Lukas 5:27-32). Orang-orang ini dipanggil untuk mengikut Yesus dengan meninggalkan profesinya. Kita cenderung menganggap mereka sebagai pekerja gereja penuh waktu, namun “duta” penuh waktu (2 Korintus 5:20) adalah gambaran yang lebih akurat. Meskipun individu-individu ini dipanggil untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam kerajaan Yesus, Lukas tidak mengatakan bahwa beberapa panggilan (misalnya, berkhotbah) lebih tinggi daripada panggilan lainnya (misalnya, menjadi nelayan). Beberapa pengikut Yesus—seperti Petrus, Yohanes, dan Lewi—mengikuti Yesus dengan meninggalkan pekerjaan mereka saat itu (Lukas 5:11). Kita akan segera bertemu dengan orang lain—seperti Maria dan Marta (Lukas 10:38-41), seorang pemungut cukai lainnya bernama Zakheus (Lukas 19:1-10) dan seorang perwira militer Romawi (Lukas 1-10)—yang mengikuti Yesus dengan menjalani hidup yang berubah dalam pekerjaan mereka saat ini. Dalam satu kasus (Lukas 8:26-39), Yesus memerintahkan seseorang untuk tidak meninggalkan rumahnya dan bepergian bersama-Nya.
Mereka yang bepergian bersama Yesus tampaknya berhenti bekerja mencari upah dan bergantung pada sumbangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Lukas 9:1-6; 10:1-24). Namun ini bukanlah tanda bahwa bentuk tertinggi dari pemuridan adalah meninggalkan pekerjaan kita. Ini adalah panggilan khusus bagi orang-orang ini dan sebagai pengingat bahwa semua pemeliharaan kita berasal dari Allah, meskipun Dia biasanya menyediakan kebutuhan kita melalui pekerjaan konvensional. Ada banyak model untuk mengikuti Kristus dalam berbagai pekerjaan kita.
Selain menampakkan diri di tempat kerja, Yesus juga banyak menyampaikan perumpamaan-Nya di tempat kerja, antara lain perumpamaan tentang kantong anggur yang baru (Lukas 5:36-39), para pembangun yang bijaksana dan yang bodoh (Lukas 6:46-49), para penabur ( Lukas 8:4-15), hamba-hamba yang berjaga-jaga (Lukas 12:35-41), hamba yang jahat (Lukas 12:42-47), biji sesawi (Lukas 13:18-19), ragi (Lukas 13: 20-21), domba yang hilang (Lukas 15:1-7), dirham yang hilang (Lukas 15:8-10), anak yang hilang (Lukas 15:11-32), dan penggarap yang jahat (Lukas 20:9 -19). Tempat kerja adalah tempat yang digunakan Yesus sebagai contoh ketika Dia ingin mengatakan, “Kerajaan Allah itu seperti …” Ayat-ayat ini umumnya tidak dimaksudkan untuk mengajarkan tentang tempat kerja dalam ayat-ayat tersebut, meskipun terkadang ayat-ayat ini memberikan sedikit panduan di tempat kerja. Sebaliknya, Yesus menggunakan aspek-aspek familiar di tempat kerja terutama untuk menyampaikan poin-poin tentang kerajaan Allah yang melampaui situasi khusus dalam perumpamaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan biasa mempunyai arti dan nilai yang besar di mata Yesus. Kalau tidak, maka tidak masuk akal untuk menggambarkan kerajaan Allah dengan istilah tempat kerja.
Untuk informasi lebih lanjut tentang panggilan Yesus terhadap para murid, lihat "Markus 1:16-20" dalam Markus dan Kerja dan "Matius 3-4" dalam Matius dan Kerja di https://www.teologikerja.org/. Untuk informasi lebih lanjut mengenai panggilan secara umum, lihat artikel Vocation Overview di https://www.teologikerja.org/.
Penyembuhan dalam Kitab Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPada zaman Yesus, seperti sekarang, pekerjaan penyembuhan dan kesehatan sangatlah penting. Yesus menyembuhkan orang dalam tiga belas episode dalam Injil Lukas: 4:31-37; 4:38-44; 5:12-16; 5:17-26; 7:1-10; 7:11-17; 7:21; 8:26-39; 8:40-56; 9:37-45; 13:10-17; 17:11-19; Dan; 18:35-43. Dengan melakukan hal ini, Dia membawa kesejahteraan kepada orang-orang yang menderita, seperti yang dikatakan-Nya akan Dia lakukan ketika Dia menyandang jubah sebagai raja. Selain itu, kesembuhan juga merupakan realisasi kedatangan Kerajaan Allah, yang di dalamnya tidak ada sakit penyakit (Wahyu 21:4). Allah tidak hanya memerintahkan manusia untuk bekerja demi kepentingan orang lain, Dia juga memberdayakan manusia untuk melakukannya. Kuasa Allah tidak terbatas pada Yesus sendiri, karena dalam dua ayat, Yesus memberdayakan para pengikut-Nya untuk menyembuhkan orang (Lukas 9:1-6, 10:9). Namun semua kesembuhan bergantung pada kuasa Allah. Teolog Jürgen Moltmann merangkum hal ini dengan indah. “Penyembuhan Yesus bukanlah mukjizat supernatural di dunia yang alamiah. Penyembuhan tersebut adalah satu-satunya hal yang benar-benar ‘alami’ di dunia yang tidak alami, dikuasai Iblis, dan terluka.”[1] Hal-hal tersebut adalah tanda nyata bahwa Allah sedang memulihkan keadaan dunia.
Penyembuhan yang diceritakan dalam Injil pada umumnya ajaib. Namun upaya luar biasa umat Kristiani untuk memulihkan tubuh manusia juga dapat dilihat sebagai perpanjangan dari pelayanan Yesus yang memberi kehidupan. Adalah suatu kesalahan jika kita tidak memperhatikan betapa pentingnya penyembuhan bagi pekerjaan penebusan kerajaan Allah. Pekerjaan ini dilakukan setiap hari oleh dokter, perawat, ahli teknologi, pemroses klaim, petugas parkir rumah sakit, dan banyak lagi lainnya yang pekerjaannya memungkinkan penyembuhan terjadi. Lukas sendiri adalah seorang dokter (Kolose 4:14), dan kita dapat membayangkan ketertarikannya yang khusus terhadap penyembuhan. Namun, keliru jika menyimpulkan bahwa profesi penyembuhan pada dasarnya memiliki panggilan yang lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya.
Sabat dan Kerja (Lukas 6:1-11; 13:10-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHari Sabat adalah bagian penting dari pemahaman alkitabiah tentang kerja, dan Yesus mengajarkan tentang hari Sabat dalam Injil Lukas. Kerja dan istirahat bukanlah kekuatan yang berlawanan, melainkan elemen-elemen dari suatu ritme yang memungkinkan terjadinya kerja yang baik dan rekreasi yang sesungguhnya. Idealnya, ritme tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat akan pemeliharaan dan kesehatan, namun di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, ada kalanya hal tersebut tidak terpenuhi.
Tuhannya Hari Sabat (Lukas 6:1-11)
Dalam Lukas 6:1-5, saat itu adalah hari Sabat, dan Yesus serta murid-muridnya lapar. Mereka memetik bulir gandum di ladang, menggosok-gosoknya di tangan, dan memakan bijinya. Beberapa orang Farisi mengeluh bahwa ini termasuk mengirik dan karena itu bekerja pada hari Sabat. Yesus menjawab bahwa Daud dan rekan-rekannya juga melanggar aturan suci ketika mereka lapar, memasuki rumah Allah dan makan roti yang dikuduskan yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Kita mungkin membayangkan bahwa hubungan antara kedua episode ini adalah rasa lapar. Bila merasa lapar, kita diperbolehkan bekerja untuk memberi makan diri sendiri, meskipun itu berarti bekerja pada hari Sabat. Namun Yesus menarik kesimpulan yang agak berbeda. “Anak Manusia adalah Allah atas hari Sabat” (Lukas 6:5). Hal ini menunjukkan bahwa memelihara hari Sabat didasarkan pada pemahaman akan isi hati Allah, bukannya mengembangkan aturan-aturan dan pengecualian yang semakin rinci.
Dilepaskan Pada Hari Sabat (Lukas 13:10-17)
Penyembuhan lain yang dilakukan Yesus pada hari Sabat dijelaskan dalam Lukas 6:9 dan 14:5. Meskipun demikian, akan sulit untuk menyusun teologi Sabat hanya berdasarkan peristiwa-peristiwa dalam Lukas. Namun kita dapat mengamati bahwa Yesus mendasarkan pemahaman-Nya tentang hari Sabat pada kebutuhan manusia. Kebutuhan lebih utama daripada memelihara hari Sabat, meskipun memelihara hari Sabat adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah. Namun dengan memenuhi kebutuhan manusia pada hari Sabat, perintah itu terpenuhi, bukan dihapuskan. Penyembuhan perempuan lumpuh pada hari Sabat memberikan contoh yang sangat kaya mengenai hal ini.” Ada enam hari untuk bekerja,” kata pemimpin sinagoga yang marah kepada orang banyak. “Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat” (Lukas 13:14). Jawaban Yesus dimulai dengan hukum. Jika orang memberi minum hewan mereka pada hari Sabat, sebagaimana yang sah menurut hukum, “Perempuan ini keturunan Abraham dan sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis; bukankah ia harus dilepaskan dari ikatannya itu?” (Lukas 13:16).
Pembahasan tambahan tentang Sabat – dalam beberapa kasus dengan sudut pandang yang berbeda – dapat ditemukan dalam "Markus 1:21-45" dan "Markus 2:23-3:6" dalam Markus dan Kerja, dan dalam artikel Rest and Work di https://www.teologikerja.org/.
Etika Konflik (Lukas 6:27-36; 17:3-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBerbuat Baiklah kepada Mereka yang Membencimu (Lukas 6:27-36)
Semua tempat kerja mengalami konflik. Dalam Lukas 6:27-36, Yesus membahas situasi konflik. “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, berkatilah orang yang mengutuk kamu, berdoalah orang yang berbuat jahat terhadap kamu” (Lukas 6:27-28). Lukas tidak memastikan bahwa ini adalah ajaran bagi dunia ekonomi, karena ia secara khusus menghubungkannya dengan peminjaman uang. “pinjamkan [kepada musuhmu] tanpa mengharapkan balasan” (Lukas 6:35). Tampaknya ini bukan strategi peminjaman komersial yang dilakukan secara aktif, namun mungkin kita dapat memahaminya secara lebih abstrak. Orang-orang Kristen tidak boleh menggunakan kekuasaan mereka untuk menghancurkan orang-orang yang berkonflik dengan mereka. Sebaliknya, mereka harus secara aktif bekerja demi kebaikan mereka. Hal ini dapat berlaku di tempat kerja pada dua tingkat.
Pada tingkat individu, ini berarti kita harus bekerja demi kebaikan orang-orang yang berkonflik dengan kita. Hal ini tidak berarti menghindari konflik atau menarik diri dari persaingan. Namun hal ini berarti, misalnya, jika Anda bersaing dengan rekan kerja untuk mendapatkan promosi, Anda harus membantu rekan kerja/lawan Anda melakukan pekerjaannya sebaik yang mereka bisa, sambil berusaha melakukan pekerjaan Anda dengan lebih baik lagi.
Di tingkat korporat, hal ini berarti tidak menghancurkan pesaing, pemasok, atau pelanggan Anda, terutama dengan tindakan yang tidak adil atau tidak produktif seperti tuntutan hukum yang tidak berdasar, monopoli, rumor palsu, manipulasi saham, dan sejenisnya. Setiap pekerjaan memiliki kondisinya masing-masing, dan sangatlah bodoh jika kita menerapkan satu hal yang sama untuk semua hal dari bagian dalam Lukas ini. Bersaing keras dalam bisnis melalui penipuan yang disengaja mungkin berbeda dengan bersaing keras dalam bola basket melalui pelanggaran yang disengaja. Oleh karena itu, elemen penting dalam partisipasi orang-orang percaya dalam suatu pekerjaan adalah mencoba mencari cara-cara konflik dan persaingan yang tepat sesuai dengan ajaran Yesus.
Tegur - Bertobat - Maafkan (Lukas 17:3-4)
Belakangan, Yesus kembali membahas konflik antarpribadi. “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia” (Lukas 17:3, NIV). Kita tidak boleh menganggap hal ini sebagai terapi keluarga saja, karena Yesus menerapkan istilah “saudara” kepada semua pengikut-Nya (Markus 3:35). Menghadapi orang secara langsung dan memulihkan hubungan baik ketika konflik telah diselesaikan merupakan perilaku organisasi yang baik. Namun ayat berikutnya mematahkan batasan akal sehat. “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia" (Lukas 17:4). Faktanya, Yesus tidak hanya memerintahkan pengampunan, namun juga tidak adanya penghakiman. “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Janganlah kamu suka mempersalahkan, maka kamu pun tidak akan dipersalahkan” (Lukas 6:37). “Mengapa engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?” (Lukas 6:41).
Apakah bijaksana untuk bersikap tidak menghakimi di tempat kerja? Bukankah penilaian yang baik merupakan persyaratan bagi tata kelola dan kinerja organisasi yang baik? Mungkin Yesus bukan sedang berbicara tentang meninggalkan penilaian yang baik, tetapi sikap menghakimi dan mengutuk—sikap munafik yang menganggap masalah di sekitar kita sepenuhnya kesalahan orang lain. Mungkin yang Yesus maksudkan bukanlah “Abaikan kesalahan moral atau ketidakmampuan yang berulang-ulang,” melainkan, “Tanyakan pada diri Anda sendiri bagaimana tindakan Anda berkontribusi terhadap masalah tersebut.” Mungkin maksud-Nya bukan, “Jangan menilai kinerja orang lain,” namun, “Cari tahu apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu orang-orang di sekitar Anda sukses.” Barangkali maksud Yesus bukanlah meringankan hukuman, melainkan belas kasihan. “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6:31).
Pemeliharaan Allah (Lukas 9:10-17; 12:4-7; 12:22-31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi sepanjang kitab Lukas, Yesus mengajarkan bahwa hidup dalam kerajaan Allah berarti memandang Allah, bukan usaha manusia, sebagai sumber utama segala hal yang kita perlukan dalam hidup. Kerja kita bukanlah suatu pilihan, namun juga bukan suatu hal yang mutlak. Kerja kita selalu merupakan partisipasi dalam anugerah pemeliharaan Allah.
Yesus Memberi Makan Lima Ribu Orang (Lukas 9:10-17)
Yesus mendemonstrasikan hal ini dalam tindakan sebelum Dia mengajarkannya dengan perkataan. Dalam memberi makan lima ribu orang (Lukas 9:10-17), Allah, dalam pribadi Yesus, mengambil tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan makanan orang banyak. Dia melakukannya karena mereka lapar. Bagaimana tepatnya Yesus melakukan mujizat ini tidak disebutkan. Dia memanfaatkan makanan biasa – lima potong roti dan dua ikan – dan dengan kuasa Allah, makanan yang sedikit itu menjadi cukup untuk memberi makan begitu banyak orang. Beberapa murid Yesus (para nelayan) berada dalam profesi penyediaan makanan dan yang lain (misalnya, Lewi sang pemungut pajak) bekerja sebagai pegawai negeri. Dia menggunakan kebiasaan mereka bekerja, saat mereka mengatur kerumunan dan menyajikan roti dan ikan. Yesus menggabungkan, bukan menggantikan, cara manusia biasa dalam menyediakan makanan, dan hasilnya secara ajaib berhasil. Pekerjaan manusia mampu mendatangkan kebaikan atau kejahatan. Jika kita melakukan apa yang Yesus perintahkan, maka pekerjaan kita baik. Seperti yang sering kita lihat dalam Injil Lukas, Allah membawa hasil yang ajaib melalui pekerjaan biasa—dalam hal ini, pekerjaan menyediakan kebutuhan hidup.
Yesus Mengajarkan Tentang Pemeliharaan Allah (Lukas 12:4-7; 12:22-31)
Di kemudian hari, Yesus mengajarkan tentang pemeliharaan Allah. “Aku berkata kepadamu: Janganlah khawatir tentang hidupmu, mengenai apa yang hendak kamu makan, dan janganlah khawatir pula tentang tubuhmu, mengenai apa yang hendak kamu pakai … Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambah sehasta pada jalan hidupnya? Jadi, jikalau kamu tidak sanggup melakukan hal yang sekecil itu, mengapa kamu khawatir tentang hal-hal lain?” (Lukas 12:22-31). Yesus menawarkan hal ini sebagai hal yang masuk akal. Karena rasa khawatir tidak dapat menambah satu jam pun dalam hidup Anda, mengapa khawatir? Yesus tidak mengatakan untuk tidak bekerja, hanya saja jangan khawatir apakah pekerjaan Anda akan cukup memenuhi kebutuhan Anda.
Dalam keadaan ekonomi berkelimpahan, ini adalah nasihat yang cemerlang. Banyak di antara kita yang didorong oleh rasa khawatir untuk bekerja dalam pekerjaan yang tidak kita sukai, bekerja dengan jam kerja yang mengurangi kenikmatan hidup, mengabaikan kebutuhan orang lain di sekitar kita. Bagi kita, tujuannya bukan “lebih banyak” uang, melainkan “cukup” uang, cukup untuk merasa aman. Namun jarang sekali kita benar-benar merasa aman, tidak peduli berapa banyak uang yang kita hasilkan. Faktanya, sering kali benar bahwa makin sukses kita menghasilkan uang lebih banyak, makin kita merasa kurang aman karena kini kita bisa lebih banyak kehilangan. Seolah-olah keadaan kita akan lebih baik jika kita memiliki sesuatu yang benar-benar perlu dikhawatirkan, seperti halnya orang miskin (“Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan,” Lukas 6:21). Untuk keluar dari kebiasaan ini, Yesus bersabda “carilah kerajaan [Allah], semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu” (Lukas 12:31). Mengapa? Karena jika tujuan akhir Anda adalah kerajaan Allah, maka Anda mempunyai jaminan bahwa tujuan akhir Anda akan tercapai. Dan dengan merasakan kepastian itu, Anda dapat menyadari bahwa uang yang Anda hasilkan sebenarnya cukup, bahwa Allah menyediakan kebutuhan Anda. Menghasilkan satu juta dolar dan takut kehilangannya sama seperti berhutang satu juta dolar. Mendapatkan seribu dolar dan tahu bahwa pada akhirnya Anda akan baik-baik saja rasanya bagaikan mendapatkan hadiah seribu dolar.
Tapi bagaimana jika Anda tidak punya seribu dolar? Sekitar sepertiga penduduk dunia hidup dengan pendapatan kurang dari seribu dolar per tahun.[1] Orang-orang ini mungkin mempunyai cukup uang untuk hidup saat ini, namun mereka menghadapi ancaman kelaparan atau lebih buruk lagi kapan saja, entah mereka beriman atau tidak. Sulit untuk menyelaraskan fakta kemiskinan dan kelaparan dengan janji pemeliharaan Allah. Yesus tidak mengabaikan situasi ini. “Jual harta milikmu dan berilah sedekah!” katanya (Lukas 12:33, NIV), karena Dia tahu bahwa sejumlah orang sangat miskin. Itu sebabnya kita harus memberi kepada mereka. Mungkin jika semua pengikut Yesus menggunakan kerja dan kekayaan kita untuk mengentaskan dan mencegah kemiskinan, kita akan menjadi sarana pemeliharaan Allah bagi mereka yang sangat miskin. Namun karena umat Kristiani belum melakukan hal tersebut, kami tidak akan berpura-pura berbicara di sini atas nama orang-orang yang sangat miskin sehingga pemeliharaan kehidupan mereka diragukan. Sebaliknya, marilah kita bertanya apakah pemeliharaan akan hidup kita saat ini diragukan. Apakah kekhawatiran kita sebanding dengan bahaya kekurangan yang sebenarnya kita butuhkan? Apakah hal-hal yang kita khawatirkan itu benar-benar merupakan kebutuhan? Apakah hal-hal yang kita khawatirkan untuk diri kita sendiri sebanding dengan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang-orang yang sangat miskin sehingga kita tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan mereka? Jika tidak, apa pun selain nasihat Yesus untuk tidak mengkhawatirkan kebutuhan hidup adalah kebodohan.
Orang Samaria yang Baik Hati di Tempat Kerja—Kasihilah Sesama Seperti Diri Sendiri (Lukas 10:25-37)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTema pemeliharaan Allah melalui kerja manusia berlanjut dalam Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Dalam perumpamaan ini, pemeliharaan Allah bagi korban kejahatan datang melalui belas kasihan seorang musafir asing, yang jelas memiliki cukup kekayaan untuk membayar perawatan medis orang asing tersebut. Ini mungkin perumpamaan Yesus yang paling terkenal, meski hanya muncul dalam Injil Lukas. Perumpamaan ini langsung mengikuti catatan Lukas tentang Sepuluh Perintah Allah. Dalam Injil Matius dan Markus, Yesus mengatakan bahwa perintah terbesar dalam seluruh kitab suci adalah “mengasihi Allah” dan “mengasihi sesamamu.” Dalam Lukas 10:25-37 pembahasan tentang perintah terbesar ini langsung dilanjutkan dengan Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Untuk implikasi Perintah Utama di tempat kerja, lihat "Hukum Kasih Allah Adalah Suatu Kerangka yang Agung (Matius 22:34-40)” dan “Pekerjaan Kita Memenuhi Hukum Kasih” (Markus 12:28-34).”
Dalam cerita yang dikisahkan Lukas, si ahli Taurat memulai dengan bertanya kepada Yesus apa yang harus ia lakukan untuk mewarisi kehidupan kekal. Yesus meminta ahli Taurat untuk merangkum sendiri apa yang tertulis dalam hukum Taurat, dan si ahli Taurat menjawabnya dengan Perintah Utama “Kasihilah Allah, Allahmu… dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Yesus menjawab bahwa inilah sesungguhnya kunci kehidupan.
Ahli Taurat itu kemudian melanjutkan pertanyaannya kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Yesus menanggapinya dengan menceritakan sebuah kisah yang disebut “Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati.” Kisah ini begitu menarik hingga telah meresap ke dalam pengetahuan populer jauh melampaui kalangan Kristen. Orang yang belum pernah membaca Alkitab akan tetap mengenali arti istilah “Orang Samaria yang Baik Hati” sebagai seseorang yang mengurus orang asing yang membutuhkan bantuan.
Mengingat gagasan budaya tentang “Orang Samaria yang Baik Hati” sebagai seseorang yang memiliki belas kasih yang luar biasa, kita mungkin tergoda untuk mengabaikan orang Samaria yang sebenarnya dalam kisah Yesus. Namun penting bagi pemahaman kita atas pekerjaan kita sendiri untuk memeriksa mengapa orang Samaria yang Yesus gambarkan adalah seorang pengusaha sukses.
Orang Samaria dalam cerita Yesus menjumpai orang Yahudi yang dilukai oleh perampok di sepanjang jalur perdagangan terkenal. Orang Samaria itu kemungkinan besar sering menempuh jalur perdagangan tersebut, terbukti dari fakta bahwa ia dikenal di penginapan terdekat dan dianggap cukup dapat dipercaya oleh pemilik penginapan sehingga bisa meminta pelayanan tambahan. Apa pun jenis usahanya, orang Samaria itu cukup sukses sehingga mampu membeli minyak dan anggur untuk keperluan pengobatan dan menyewa kamar di penginapan untuk seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia bersedia menghabiskan uangnya untuk orang asing itu, demikian pula waktunya. Orang Samaria itu menunda urusannya yang lain untuk memenuhi kebutuhan orang asing yang terluka itu.
Maka perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati dapat diartikan sebagai sebuah cerita tentang menggunakan kesuksesan materi kita untuk memberi manfaat bagi orang lain. Pahlawan dalam perumpamaan ini menggunakan uangnya untuk orang asing tanpa kewajiban langsung untuk melakukannya. Mereka tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau bahkan hubungan iman. Memang benar, orang Samaria dan Yahudi sering kali bermusuhan satu sama lain. Namun dalam pikiran Yesus, mengasihi Allah berarti menjadikan siapa pun yang membutuhkan bantuan kita menjadi “sesama” kita. Yesus menekankan hal ini dengan membalikkan maksud pertanyaan awal ahli Taurat tersebut. Ahli Taurat itu bertanya, “Dan siapakah sesamaku?” Suatu pertanyaan yang berawal dari diri sendiri kemudian menanyakan siapa yang wajib dibantunya. Yesus membalikkan pertanyaan itu, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” sebuah pertanyaan yang berpusat pada orang yang membutuhkan, dan bertanya siapa yang wajib menolongnya. Jika kita mulai dengan memikirkan orang yang membutuhkan pertolongan, ketimbang diri kita sendiri, apakah hal ini memberi kita sudut pandang berbeda mengenai apakah Allah memanggil kita untuk membantu?
Ini tidak berarti kita dipanggil untuk selalu siap sedia secara mutlak dan tidak terbatas. Tidak seorang pun yang dipanggil untuk memenuhi semua kebutuhan dunia. Itu di luar kemampuan kita. Orang Samaria itu tidak berhenti dari pekerjaannya untuk mencari setiap pelancong yang terluka di Kekaisaran Romawi. Namun jika ia menemukan—secara harafiah—seseorang yang membutuhkan bantuan yang bisa ia berikan, ia mengambil tindakan. “Sesama kita,” kata pengkhotbah Haddon Robinson, “adalah seseorang yang kebutuhannya dapat Anda penuhi.”
Orang Samaria tidak hanya membantu orang yang terluka dengan melemparkan beberapa koin ke arahnya. Sebaliknya, ia memastikan semua kebutuhan orang itu terpenuhi, baik kebutuhan medis yang mendesak maupun kebutuhannya akan tempat untuk memulihkan diri. Jadi, orang Samaria itu mengurus orang itu seperti ia mengurus dirinya sendiri. Hal ini menggenapi Imamat 19:18, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Orang Samaria itu mengambil risiko yang sangat besar untuk membantu orang asing ini. Ia berisiko disergap oleh bandit yang sama ketika ia membungkuk untuk melihat apa yang terjadi pada orang itu. Ia berisiko ditipu oleh pemilik penginapan. Ia berisiko terbebani oleh biaya dan beban emosional karena mengurus seseorang yang menjadi sakit kronis. Namun ia mengambil risiko ini karena ia bertindak seolah-olah nyawanya sendirilah yang terancam. Ini adalah contoh terbaik Yesus tentang apa artinya menjadi sesama manusia dengan “mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Ciri lain dari kisah ini yang mungkin mengejutkan para pendengar Yesus adalah etnisitas sang pahlawan, seorang Samaria. Umat Yesus, orang-orang Yahudi, menganggap orang Samaria lebih rendah secara etnis dan relijius. Namun perilaku orang Samaria itu lebih selaras dengan Hukum Musa dibandingkan para pemimpin agama Yahudi yang lewat di seberang jalan. Kehadirannya di wilayah Yahudi bukanlah suatu bahaya yang harus ditakuti, namun merupakan suatu anugerah penyelamatan yang patut disambut.
Di tempat kerja, kita mempunyai banyak kesempatan untuk menjadi sesame manusia dengan rekan kerja, pelanggan, dan orang lain yang berbeda etnis atau budaya. Menjadi Orang Samaria yang Baik Hati di tempat kerja berarti menumbuhkan kesadaran khusus akan kebutuhan orang lain. Apakah ada orang di tempat kerja Anda yang dirampok dengan cara tertentu? Seringkali kelompok etnis tertentu tidak mendapat pengakuan atau promosi. Seorang Kristen yang bertanggungjawab seharusnya menjadi orang yang berkata, “Apakah kita akan memberikan bagian yang adil kepada orang ini?”
Demikian pula, ketika permusuhan tumbuh antara orang Yahudi dan orang Samaria, manajemen dan karyawan sering kali menganggap diri mereka sebagai dua suku yang berbeda. Namun hal tersebut tidak perlu terjadi. Ada satu perusahaan yang tidak melihatnya sama sekali. Arthur Demoulas, CEO jaringan toko kelontong Market Basket, berkomitmen untuk memperlakukan pekerjanya dengan sangat baik. Ia membayar mereka jauh di atas upah minimum dan menolak membatalkan rencana bagi hasil perusahaan bahkan ketika perusahaan tersebut merugi selama krisis ekonomi. Ia menjalin hubungan langsung dengan para pekerjanya, mengenal nama-nama sebanyak mungkin dari mereka. Ini bukanlah prestasi kecil dalam sebuah perusahaan dengan 25.000 karyawan. Ketika dewan direksi Market Basket memecat Arthur Demoulas pada tahun 2014, sebagian besar karena praktik kemurahan hatinya, karyawan jaringan supermarket tersebut melakukan pemogokan. Para pekerja menolak untuk meletakkan stok barang di rak penjualan sampai Arthur Demoulas mendapatkan kembali kendali atas perusahaan. Ini mungkin pertama kalinya para pekerja di sebuah perusahaan besar berorganisasi di tingkat akar rumput untuk memilih CEO mereka sendiri, dan hal ini dipicu oleh kemurahan hati Arthur Demoulas yang rela berkorban.
Dalam hal ini, menjadi orang Samaria yang Baik hati justru mendongkrak kesuksesan Arthur Demoulas. Mungkin ini bukan hanya nasihat rohani yang baik tetapi juga nasihat bisnis yang baik ketika Yesus berkata, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Bendahara yang Tidak Jujur dan Anak yang Hilang (Lukas 16:1-13; 15:11-32)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan Bendahara yang Tidak Jujur (Lukas 16:1-13)
Kunci dari rasa aman tentang hal-hal yang kita butuhkan bukanlah pendapatan dan menabung yang dilakukan dengan penuh kecemasan, namun melalui pelayanan dan pembelanjaan yang dapat dipercaya. Jika Allah dapat mempercayai kita untuk membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan orang lain, maka uang yang kita sendiri perlukan pun akan tercukupi. Inilah inti dari perumpamaan bendahara yang tidak jujur. Dalam perumpamaan itu, seorang bendahara menghambur-hamburkan harta majikannya, dan sebagai akibatnya, diberitahu bahwa ia akan dipecat. Ia menggunakan hari-hari terakhirnya dalam pekerjaannya untuk menipu tuannya lebih lanjut, tetapi ada pelintiran aneh dalam cara melakukannya. Ia tidak mencoba mencuri dari tuannya. Mungkin ia tahu bahwa tidak mungkin membawa apa pun saat ia meninggalkan perkebunan. Sebaliknya, ia dengan curang mengurangi hutang para debitur majikannya, dengan harapan bahwa mereka akan membalas budi dan menafkahinya ketika ia menganggur.
Seperti bendahara yang tidak jujur ini, kita tidak bisa membawa apa pun ketika kita meninggalkan kehidupan ini. Bahkan dalam hidup kita, tabungan kita bisa hancur karena inflasi yang terlalu tinggi, jatuhnya pasar saham, pencurian, penyitaan, tuntutan hukum, perang, dan bencana alam. Karenanya, menabung dalam jumlah besar tidak memberikan rasa aman yang nyata. Sebaliknya, kita harus membelanjakan kekayaan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan bergantung pada mereka untuk melakukan hal yang sama ketika kita membutuhkannya. “Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.” (Lukas 16:9, catatan kaki NRSV b). Dengan menolong debitur majikannya, bendahara yang tidak jujur menciptakan persahabatan. Saling menipu mungkin bukan cara terbaik untuk membangun hubungan. Namun ternyata itu lebih baik daripada tidak membangun hubungan sama sekali. Membangun hubungan jauh lebih efektif untuk mendapatkan rasa aman dibandingkan membangun kekayaan. Kata kekal menandakan bahwa hubungan yang baik membantu kita di saat-saat sulit dalam hidup ini, dan juga akan bertahan hingga kehidupan kekal.
Contoh ekstrim dari prinsip ini terjadi ketika perang, teror, atau bencana menghancurkan tatanan perekonomian masyarakat. Di kamp pengungsi, di penjara, atau dalam perekonomian yang mengalami hiperinflasi, kekayaan yang mungkin Anda miliki sebelumnya tidak dapat menghasilkan bahkan kulit roti sekalipun. Namun jika Anda pernah menolong orang lain, Anda mungkin mendapati mereka menolong Anda di saat-saat tersulit Anda. Perhatikan bahwa orang yang dibantu oleh bendahara yang tidak jujur itu bukanlah orang-orang kaya. Mereka adalah debitur. Bendahara yang tidak jujur itu tidak bergantung pada kekayaan mereka tetapi pada hubungan saling ketergantungan yang telah dibangun di antara mereka.
Namun Yesus tidak mengatakan agar kita bergantung pada perasaan dari orang-orang yang mungkin telah Anda bantu selama bertahun-tahun, yang bisa berubah-ubah. Kisah ini dengan cepat beralih dari orang yang berhutang ke sang majikan (Lukas 16:8), dan Yesus mendukung perkataan sang majikan, “Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar” (Lukas 16:10). Hal ini menunjuk kepada Allah sebagai penjamin bahwa menggunakan uang untuk hubungan akan menghasilkan rasa aman yang langgeng. Ketika Anda membangun hubungan yang baik dengan orang lain, Anda akan memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Yesus tidak mengatakan mana yang lebih penting bagi Allah, kemurahan hati terhadap orang miskin atau hubungan baik dengan manusia. Mungkin keduanya. “Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Lukas 16:11). Kekayaan sejati adalah hubungan baik dengan orang-orang yang didasarkan bahwa kita sama-sama diadopsi sebagai anak-anak Allah, dan hubungan baik dengan Allah diwujudkan dalam kemurahan hati terhadap orang miskin. Hubungan yang baik menghasilkan buah yang baik, yang memberi kita kemampuan lebih besar untuk membangun hubungan baik dan bermurah hati kepada orang lain. Jika Allah dapat mempercayai Anda untuk bermurah hati dengan sedikit uang dan menggunakannya untuk membangun hubungan yang baik, Dia akan dapat mempercayai Anda dengan sumber daya yang lebih besar.
Ini menunjukkan bahwa jika Anda tidak memiliki tabungan yang cukup untuk merasa aman, jawabannya bukanlah mencoba untuk menabung lebih banyak. Sebaliknya, gunakan sedikit uang yang Anda miliki untuk kemurahan hati atau keramahtamahan. Tanggapan orang lain terhadap kemurahan hati dan keramahtamahan Anda mungkin memberi Anda lebih banyak rasa aman daripada menghemat lebih banyak uang. Tentu saja, hal ini harus dilakukan dengan bijaksana, dengan cara yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain, dan bukan sekadar untuk menenangkan hati nurani Anda atau menyanjung orang-orang yang menjadi sasaran sebagai dermawan di masa depan. Bagaimanapun, rasa aman utama Anda ada pada kemurahan hati dan keramahtamahan Allah.
Gema Anak yang Hilang (Lukas 15:11-32)
Ini mungkin nasihat finansial yang mengejutkan: Jangan menabung, tapi gunakan apa yang Anda miliki untuk mendekatkan diri dengan orang lain. Namun, perhatikan bahwa kisah ini muncul segera setelah kisah anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Dalam cerita tersebut, si anak bungsu menghambur-hamburkan seluruh hartanya, sedangkan anak sulung menyimpan uangnya dengan sangat hemat sehingga ia bahkan tidak bisa bersenang-senang dengan teman-teman terdekatnya (Lukas 16:29). Pemborosan anak bungsu membawa kehancuran. Namun penghamburan kekayaannya membuatnya bergantung sepenuhnya pada ayahnya. Kegembiraan sang ayah karena ia kembali menghapus semua perasaan negatif yang dimilikinya tentang putranya yang membuatnya kehilangan setengah kekayaan. Sebaliknya, si anak sulung mencengkeram erat-erat sisa kekayaan keluarga, membuatnya menjauhi hubungan dekat dengan ayahnya.
Baik dalam kisah bendahara yang tidak jujur dan kisah anak yang hilang, Yesus tidak mengatakan bahwa kekayaan itu pada dasarnya buruk. Sebaliknya, Dia mengatakan bahwa penggunaan kekayaan yang tepat adalah dengan menggunakannya, terutama untuk tujuan-tujuan Allah—tetapi jika bukan itu, maka untuk hal-hal yang akan meningkatkan ketergantungan kita kepada Allah.
Yesus dan Kekayaan dalam Kitab Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDua perikop terakhir beralih dari topik pemeliharaan kebutuhan ke topik kekayaan. Meskipun Yesus tidak menentang kekayaan, Dia memandang kekayaan dengan curiga. Perekonomian pasar didasarkan pada penciptaannya, pertukaran, dan akumulasi kekayaan milik pribadi. Kenyataan ini begitu tertanam dalam banyak masyarakat sehingga mengejar dan akumulasi kekayaan pribadi, bagi banyak orang, telah menjadi tujuan akhir. Namun, seperti yang telah kita lihat, Yesus tidak memandang akumulasi kekayaan sebagai tujuan akhir yang tepat. Sama seperti pekerjaan seseorang (yang meneladani kehidupan Yesus) harus menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap orang lain dan keengganan untuk menggunakan kekuasaan atau otoritas yang berhubungan dengan pekerjaan hanya untuk keuntungan diri sendiri, demikian pula kekayaan harus digunakan dengan kepedulian yang mendalam terhadap sesama. Meskipun karya kedua Lukas, kitab Kisah Para Rasul (lihat Kisah Para Rasul dan Kerja di https://www.teologikerja.org/), memuat lebih banyak materi yang berhubungan dengan kekayaan, Injilnya juga memberikan tantangan yang signifikan terhadap asumsi dominan tentang kekayaan.
Keprihatinan Tentang Orang Kaya (Lukas 6:25; 12:13-21; 18:18-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMasalah pertama Yesus dengan kekayaan adalah bahwa kekayaan cenderung menggantikan Allah dalam kehidupan orang-orang kaya. “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Lukas 12:34). Yesus ingin manusia menyadari bahwa hidup mereka bukan ditentukan oleh apa yang mereka miliki, namun oleh kasih Allah bagi mereka dan panggilan-Nya dalam hidup mereka. Lukas mengharapkan kita – dan pekerjaan yang kita lakukan – diubah secara mendasar melalui perjumpaan kita dengan Yesus.
Namun memiliki kekayaan sepertinya membuat kita keras kepala menolak segala perubahan dalam hidup. Kekayaan memberi kita sarana untuk mempertahankan status quo, menjadi mandiri, dan melakukan segala sesuatu dengan cara kita sendiri. Kehidupan yang benar atau kekal adalah kehidupan yang berhubungan dengan Allah (dan orang lain), dan kekayaan yang menggantikan Allah pada akhirnya mengarah pada kematian kekal. Seperti yang Yesus katakan, “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Lukas 9:25). Orang-orang kaya mungkin terpikat untuk menjauh dari kehidupan bersama Allah oleh kekayaan mereka sendiri, sebuah nasib yang tidak dialami orang-orang miskin. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah,” kata Yesus (Lukas 6:20). Ini bukanlah janji imbalan di masa depan, namun pernyataan realitas saat ini. Orang miskin tidak mempunyai kekayaan yang menghalangi mereka untuk mengasihi Allah. Namun “Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar” (Lukas 6:25). “Lapar” tampaknya merupakan sebuah pernyataan yang tidak sepenuhnya merangkum pengertian “kehilangan kehidupan kekal karena menempatkan Allah di luar kepentingan Anda,” namun jelas itulah implikasinya. Tetapi mungkin masih ada harapan bahkan bagi mereka yang sangat kaya sekalipun.
Perumpamaan Orang Kaya yang Bodoh (Lukas 12:13-21)
Perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13-21) mengangkat tema ini secara dramatis. “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya,” terlalu banyak untuk disimpan di lumbung orang itu. " Apakah yang harus aku perbuat?" ia khawatir, dan memutuskan untuk merobohkan lumbungnya dan membangun yang lebih besar. Ia termasuk orang yang percaya bahwa semakin banyak kekayaan akan mengurangi kekhawatiran terhadap uang. Namun sebelum ia menyadari betapa hampanya kekayaannya yang membuatnya khawatir, ia menemui takdir yang lebih kejam: kematian. Saat ia bersiap untuk mati, pertanyaan Allah yang mengejek terdengar bagaikan pedang bermata dua, “Apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (Lukas 12:20). Jawaban pertama adalah, “Bukan milikmu,” karena kekayaan yang ia andalkan untuk memuaskannya selama bertahun-tahun akan langsung berpindah ke orang lain. Sisi lainnya memotong lebih dalam lagi, dan itulah jawabannya, “Milikmu.” Engkau—orang kaya yang bodoh—akan mendapatkan apa yang telah engkau persiapkan untuk dirimu sendiri, kehidupan setelah kematian tanpa Allah, kematian yang sesungguhnya. Kekayaannya telah menghalanginya dari kebutuhan untuk mengembangkan hubungan dengan Allah, yang ditunjukkan oleh kegagalannya untuk berpikir bahkan menggunakan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan. “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah” (Lukas 12:21).
Persahabatan dengan Allah terlihat di sini dari segi ekonomi. Sahabat Allah yang kaya menolong sahabat Allah yang miskin. Masalah orang kaya yang bodoh adalah ia menimbun harta untuk dirinya sendiri, bukan menghasilkan lapangan kerja atau kemakmuran bagi orang lain. Hal ini berarti bahwa ia lebih mencintai harta dibandingkan Allah, dan bahwa ia tidak murah hati terhadap orang miskin. Kita bisa membayangkan orang kaya yang benar-benar mengasihi Allah dan tidak menganggap kekayaan terlalu serius, orang yang memberi secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan, atau lebih baik lagi, menginvestasikan uangnya untuk memproduksi barang dan jasa yang baik, mempekerjakan angkatan kerja yang terus bertambah, dan memperlakukan orang dengan adil dan adil dalam bekerja. Bahkan, kita dapat menemukan banyak orang seperti itu di dalam Alkitab (misalnya Yusuf dari Arimatea, Lukas 23:50) dan di dunia sekitar kita. Orang-orang seperti itu diberkati baik dalam kehidupan maupun setelahnya. Namun kami tidak ingin menghilangkan sengatan dari perumpamaan ini: jika dimungkinkan untuk bertumbuh (secara ekonomi dan sebaliknya) dengan anugerah, maka dimungkinkan juga untuk bertumbuh hanya dengan keserakahan; pertanggungjawaban terakhir ada pada Allah.
Seorang yang Kaya (Lukas 18:18-30)
Perjumpaan Yesus dengan seseorang yang kaya (Lukas 18:18-30) menunjuk kepada kemungkinan penebusan dari cengkeraman kekayaan. Orang ini tidak membiarkan kekayaannya sepenuhnya menggantikan keinginannya akan Allah. Ia mulai dengan bertanya kepada Yesus, “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Sebagai jawabannya, Yesus merangkum Sepuluh Perintah Allah. “Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku,” jawab orang itu (Lukas 18:21), dan Yesus mempercayai perkataannya. Meski begitu, Yesus melihat pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekayaan terhadap orang itu. Jadi Dia menawarkan kepadanya suatu cara untuk mengakhiri pengaruh buruk kekayaan. “Juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Lukas 18:22). Siapa pun yang kerinduannya yang terdalam adalah Allah pasti akan melompat menerima undangan keintiman pribadi setiap hari dengan Anak Allah. Namun sudah terlambat bagi si orang kaya – kecintaannya pada kekayaan sudah melebihi kecintaannya pada Allah. “Ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya” (Lukas 18:23). Yesus mengenali gejalanya dan berkata, “Alangkah sukarnya orang yang banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Lukas 18:24-25).
Sebaliknya, orang-orang miskin seringkali menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Janda miskin mampu memberikan segala miliknya demi kasihnya kepada Allah (Lukas 21:1-4). Ini bukanlah ringkasan penghakiman Allah terhadap orang-orang kaya, namun sebuah pengamatan terhadap kuatnya cengkeraman daya tarik kekayaan. Orang-orang yang berdiri di dekat Yesus dan si orang kaya juga menyadari masalah tersebut dan merasa putus asa tentang apakah seseorang dapat menolak daya tarik kekayaan, meskipun mereka sendiri telah memberikan segalanya untuk mengikuti Yesus (Lukas 18:28). Namun Yesus tidak putus asa, karena “apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah” (Lukas 18:27). Allah sendirilah yang menjadi sumber kekuatan bagi keinginan untuk lebih mencintai Allah dibandingkan kekayaan.
Mungkin dampak paling berbahaya dari kekayaan adalah bahwa kekayaan dapat menghalangi kita untuk menginginkan masa depan yang lebih baik. Jika Anda kaya, segalanya akan baik-baik saja seperti sekarang. Perubahan menjadi ancaman, bukan peluang. Dalam kasus si orang kaya, hal ini membutakannya terhadap kemungkinan bahwa hidup bersama Yesus bisa menakjubkan tanpa bandingan. Yesus menawarkan kepada orang kaya itu pemahaman akan identitas dan rasa aman yang baru. Seandainya ia bisa membayangkan bahwa hal itu bisa menggantikan hilangnya kekayaannya, mungkin ia bisa menerima undangan Yesus. Yang paling lucu, ketika para murid berbicara tentang segala sesuatu yang telah mereka tinggalkan dan Yesus menjanjikan kepada mereka kekayaan yang melimpah karena menjadi bagian dari kerajaan Allah. Bahkan di zaman ini, kata Yesus, mereka akan menerima “berlipat ganda” baik dalam sumber daya maupun hubungan, dan di zaman mendatang, kehidupan kekal (Lukas 18:29-30). Hal inilah yang secara tragis dilewatkan oleh orang kaya tersebut. Ia hanya bisa melihat apa yang akan hilang darinya, bukan apa yang akan didapatnya.
Kisah si orang kaya dibahas lebih lanjut dalam "Markus 10:17-31" dalam Markus dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.
Kepedulian terhadap Orang Miskin (Lukas 6:17-26; 16:19-31)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKesejahteraan orang kaya bukan satu-satunya keprihatinan Yesus sehubungan dengan kekayaan. Dia juga peduli terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. “Juallah segala milikmu,” katanya “dan berilah sedekah! [kepada orang miskin]. Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di surga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusak ngengat” (Lukas 12:33). Jika penimbunan kekayaan merugikan orang kaya, apalagi bagi orang miskin?
Kepedulian Allah yang terus-menerus terhadap orang-orang miskin dan tak berdaya melekat dalam Magnificat (Lukas 1:46-56) dan Khotbah di Dataran (Lukas 6:17-26), dan bahkan di seluruh Injil Lukas. Namun Yesus menekankan hal ini dalam perumpamaan Lazarus dan orang kaya (Lukas 16:19-31). Orang kaya ini berpakaian mewah dan hidup mewah, sementara ia tidak melakukan apa pun untuk membantu Lazarus, yang sedang sekarat karena kelaparan dan penyakit. Lazarus meninggal, tetapi tentu saja, demikian pula orang kaya itu, mengingatkan kita bahwa kekayaan tidak memiliki kekuatan yang besar. Para malaikat membawa Lazarus ke surga, tampaknya tanpa alasan apa pun selain kemiskinannya (Lukas 16:22), kecuali mungkin juga karena kasih kepada Allah yang tidak pernah digantikan oleh kekayaan. Orang kaya pergi ke Hades (atau “neraka” sebagaimana NIV menerjemahkannya), tampaknya tanpa alasan apa pun selain kekayaannya (Lukas 16:23), kecuali mungkin karena kecintaannya pada kekayaan sehingga tidak ada ruang bagi Allah atau orang lain. Implikasinya kuat bahwa tugas orang kaya adalah memenuhi kebutuhan Lazarus sesuai kemampuannya (Lukas 16:25). Mungkin dengan berbuat demikian, ia dapat menemukan kembali ruang dalam dirinya untuk memiliki hubungan yang baik dengan Allah dan menghindari akhir hidupnya yang menyedihkan. Lebih jauh lagi, seperti kebanyakan orang kaya, ia peduli terhadap keluarganya, ingin memperingatkan mereka tentang penghakiman yang akan datang, namun kepeduliannya terhadap keluarga Allah yang lebih luas seperti yang diungkapkan dalam hukum Taurat dan kitab-kitab para nabi sangat kurang, dan tidak ada seorang pun yang kembali dari kematian bisa memperbaikinya.
Berinvestasi dalam Pekerjaan Yesus (Lukas 8:3; 10:7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-13) mengajarkan pentingnya menggunakan uang dengan bijak. Lukas memberikan contoh mengenai orang-orang yang menginvestasikan uang mereka dalam pekerjaan Yesus: Maria Magdalena, Yohana, dan Susana disebutkan bersama dengan kedua belas murid karena dukungan finansial mereka terhadap pekerjaan Yesus. Sungguh mengejutkan betapa menonjolnya perempuan dalam daftar ini, karena hanya sedikit perempuan di dunia kuno yang memiliki kekayaan. Namun “Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan harta milik mereka” (Lukas 8:3, NIV). Kemudian, ketika Yesus mengutus para penginjil, Dia meminta mereka untuk bergantung pada kemurahan hati orang-orang yang mereka layani, “sebab pekerja patut mendapat upahnya” (Lukas 10:7).
Apa yang tampak mengejutkan adalah hanya kedua komentar yang agak sembarangan ini yang Lukas katakan tentang memberi kepada apa yang sekarang kita kenal sebagai gereja. Dibandingkan dengan kepedulian Yesus yang tak henti-hentinya terhadap pemberian kepada orang miskin, Dia tidak banyak bicara tentang memberi persembahan kepada gereja. Misalnya saja, Dia sama sekali tidak menafsirkan persepuluhan dalam Perjanjian Lama sebagai milik gereja. Hal ini tidak berarti mengatakan bahwa Yesus mempertentangkan kemurahan hati kepada orang miskin dengan kemurahan hati kepada gereja. Sebaliknya, ini adalah masalah penekanan. Kita harus ingat bahwa memberi uang bukanlah satu-satunya cara bermurah hati. Manusia juga berpartisipasi dalam pekerjaan penebusan Allah dengan menggunakan keterampilan, gairah, hubungan, dan doa mereka secara kreatif.
Kedermawanan: Rahasia Mematahkan Genggaman Kekayaan (Lukas 10:38-42; 14:12-14; 24:13-15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHal ini menyatakan bahwa senjata rahasia Allah adalah kemurahan hati. Jika dengan kuasa Allah Anda bisa bermurah hati, kekayaan mulai kehilangan kendali atas Anda. Kita telah melihat betapa besarnya kemurahan hati bekerja di hati seorang janda miskin. Jauh lebih sulit bagi orang kaya untuk bermurah hati, namun Yesus mengajarkan bagaimana kemurahan hati juga bisa dilakukan oleh mereka. Salah satu jalan penting menuju kemurahan hati adalah dengan memberi kepada orang-orang yang terlalu miskin untuk membalas Anda kembali.
Yesus bersabda juga kepada orang yang mengundang-Nya, “Lalu Yesus berkata juga kepada orang yang mengundang Dia, "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau lagi dan dengan demikian engkau mendapat balasannya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasannya pada hari kebangkitan orang-orang benar." (Lukas 14:12-14)
Kedermawanan yang berpamrih bukanlah kemurahan hati, melainkan membeli pamrih. Kemurahan hati yang sejati adalah memberi ketika tidak ada imbalan yang mungkin didapat, dan inilah yang diberi imbalan dalam kekekalan. Tentu saja, pahala di surga bisa dianggap sebagai semacam gratifikasi yang tertunda, ketimbang kemurahan hati yang sejati: Anda memberi karena Anda mengharapkan imbalan pada saat kebangkitan, bukan pada saat hidup di dunia. Tampaknya ini adalah jenis pamrih yang lebih bijaksana, namun tetap saja merupakan pamrih. Perkataan Yesus tidak mengesampingkan penafsiran kemurahan hati sebagai pamrih yang kekal, namun ada penafsiran yang lebih mendalam dan memuaskan. Kemurahan hati yang sejati –yang tidak mengharapkan imbalan dalam kehidupan ini atau kehidupan berikutnya – mematahkan cengkeraman kekayaan yang menggusur Allah. Ketika Anda memberikan uang, uang melepaskan cengkeramannya atas Anda, tetapi hanya jika Anda menaruh uang itu secara permanen di luar jangkauan Anda. Ini adalah realitas psikologis, sekaligus realitas material dan spiritual. Kemurahan hati memberikan ruang bagi Allah untuk menjadi Allah Anda lagi, dan ini membawa pada imbalan kebangkitan yang sejati— kehidupan kekal bersama Allah.
Maria dan Marta (Lukas 10:38-42)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKisah Marta dan Maria (Lukas 10:38-42) juga menempatkan kemurahan hati dalam konteks kasih kepada Allah. Marta bekerja menyiapkan makan malam, sementara Maria duduk dan mendengarkan Yesus. Marta meminta Yesus untuk menegur saudarinya karena tidak membantu, namun Yesus malah memuji Maria. Sayangnya, cerita ini sering kali mendapat penafsiran yang meragukan, dengan Marta menjadi contoh dari semua hal yang salah dalam kehidupan yang penuh kesibukan dan gangguan, atau apa yang disebut oleh Gereja Abad Pertengahan sebagai kehidupan Marta yang aktif atau penuh pekerjaan, yang diperbolehkan tetapi lebih rendah daripada kehidupan kontemplasi atau dalam biara yang sempurna. Namun kisah ini harus dibaca dengan latar belakang Injil Lukas secara keseluruhan, di mana tindakan keramahtamahan (suatu bentuk kemurahan hati yang penting di Timur Dekat kuno) merupakan salah satu tanda utama mendobraknya kerajaan Allah.[1]
Maria dan Marta bukanlah musuh melainkan saudara. Dua saudara perempuan yang bertengkar tentang tugas-tugas rumah tangga secara masuk akal tidak dapat ditafsirkan sebagai pertarungan cara hidup yang tidak sejalan. Pelayanan Marta yang murah hati tidak diremehkan oleh Yesus, namun kekhawatirannya menunjukkan bahwa pelayanannya perlu didasarkan pada kasih Maria terhadap Yesus. Bersama-sama, kakak beradik ini mewujudkan kebenaran bahwa kemurahan hati dan kasih Allah adalah realitas yang saling terkait. Marta menunjukkan kemurahan hati yang Yesus puji dalam Lukas 14:12-14, karena Dia adalah seseorang yang tidak dapat membalas dengan hal yang sama. Dengan duduk di kaki Yesus, Maria menunjukkan bahwa semua pelayanan kita harus didasarkan pada hubungan pribadi yang hidup dengan-Nya. Mengikuti Kristus berarti menjadi seperti Marta dan Maria. Jadilah murah hati dan kasihilah Allah. Hal ini saling memperkuat, begitu pula hubungan kedua kakak beradik ini satu sama lain.
Kekuasaan dan Kepemimpinan dalam Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebagai raja, Yesus adalah pemimpin kerajaan Allah. Dia menggunakan kekuatan-Nya dalam banyak cara yang dicatat dalam Injil Lukas. Namun umat Kristiani sering kali enggan menjalankan kepemimpinan atau kekuasaan, seolah-olah keduanya pada dasarnya jahat. Yesus mengajarkan sebaliknya. Umat Kristen dipanggil untuk memimpin dan menjalankan kekuasaan, namun tidak seperti kekuasaan di dunia yang sudah jatuh dalam dosa, mereka harus menggunakannya untuk tujuan Allah dan bukan untuk kepentingan mereka sendiri.
Pelayanan yang Rendah Hati (Lukas 9:46-50, 14:7-11, 22:24-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYesus menyatakan bahwa kepemimpinan membutuhkan pelayanan yang rendah hati kepada orang lain, seperti yang kita lihat dalam tiga ayat tambahan. Pada bagian pertama (Lukas 9:46-50), murid-murid Yesus mulai berdebat siapa yang akan menjadi yang terbesar. Yesus menjawab bahwa yang terbesar adalah orang yang menyambut seorang anak dalam namanya. “Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.” Perhatikan bahwa modelnya bukanlah sang anak, namun orang yang menyambut seorang anak. Melayani orang-orang yang orang lain anggap tidak sepadan dengan waktu mereka adalah hal yang menjadikan seorang pemimpin hebat.
Perikop kedua (Lukas 14:7-11) adalah tanggapan Yesus terhadap sikap sosial yang dilihat-Nya di sebuah perjamuan. Yesus mengatakan, hal ini tidak hanya membuang-buang waktu, tetapi juga kontraproduktif. “Sebab siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Jika diterapkan pada kepemimpinan, hal ini berarti bahwa jika Anda berusaha memonopoli semua penghargaan, orang-orang akan berhenti mengikuti Anda, atau perhatian mereka teralihkan dengan mencoba membuat Anda terlihat buruk. Namun jika Anda menghargai orang lain, orang lain akan ingin mengikuti Anda dan itu akan menghasilkan pengakuan sejati.
Perikop ketiga (Lukas 22:24-30) kembali pada pertanyaan siapakah yang terbesar di antara para murid. Kali ini Yesus menjadikan diri-Nya teladan kepemimpinan melalui pelayanan. “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” Dalam ketiga cerita tersebut, konsep pelayanan dan kerendahan hati saling terkait. Kepemimpinan yang efektif membutuhkan pelayanan — atau memang — pelayanan. Pelayanan membutuhkan tindakan seolah-olah Anda tidak sepenting yang Anda kira.
Lihat *Kepemimpinan (ISI BELUM TERSEDIA) di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut mengenai subjek ini.
Kegigihan: Perumpamaan Janda yang Gigih (Lukas 18:1-8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam perumpamaan tentang janda yang gigih (Lukas 18:1-8), seseorang yang miskin dan tidak berdaya (janda) terus-menerus memohon orang yang korup dan berkuasa (hakim) agar melakukan keadilan baginya. Perumpamaan ini mengasumsikan ajaran Yohanes Pembaptis bahwa memegang posisi berkuasa dan kepemimpinan mewajibkan Anda untuk bekerja secara adil, terutama demi kepentingan orang miskin dan lemah. Namun Yesus memfokuskan perumpamaan ini pada hal yang berbeda, yaitu kita harus “selalu berdoa tanpa jemu-jemu” (Lukas 18:1). Dia menyamakan para pendengar-Nya – kita – dengan perempuan tersebut, dan orang kepada siapa kita berdoa – Allah – dengan hakim yang korup, suatu kombinasi yang aneh. Dengan asumsi bahwa Yesus tidak memaksudkan Allah itu jahat, maka poin-Nya pasti bahwa jika kegigihan membuahkan hasil pada manusia yang korup dan memiliki kuasa terbatas, maka terlebih lagi kegigihan akan membuahkan hasil jika Allah adil dan memiliki kuasa tak terbatas.
Tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk mendorong umat Kristiani agar bertekun dalam iman mereka melawan segala rintangan. Namun hal ini juga memiliki dua penerapan bagi mereka yang bekerja di posisi kepemimpinan. Pertama, dibandingkannya hakim yang korup dengan Allah yang adil menyiratkan bahwa kehendak Allah tetap bekerja bahkan di dunia yang rusak. Tugas hakim itu adalah menegakkan keadilan, dan demi Allah, ia akan menegakkan keadilan ketika janda itu sudah selesai berurusan dengannya. Di tempat lain, Alkitab mengajarkan bahwa otoritas sipil melayani berdasarkan wewenang dari Allah, baik mereka menyadarinya atau tidak (Yohanes 19:11; Roma 13:1; 1 Petrus 2:13). Jadi ada harapan bahwa bahkan di tengah ketidakadilan yang sistemik, keadilan dapat ditegakkan. Tugas seorang pemimpin Kristen adalah mengupayakan harapan tersebut setiap saat. Kita tidak bisa memperbaiki setiap kesalahan di dunia dalam hidup kita. Namun kita tidak boleh putus asa, dan tidak pernah berhenti bekerja demi kebaikan yang lebih besar [1] di tengah-tengah sistem yang tidak sempurna di mana pekerjaan kita dilakukan. Badan legislator, misalnya, jarang mempunyai pilihan untuk memilih rancangan undang-undang yang baik atau rancangan undang-undang yang buruk. Biasanya hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah memilih rancangan undang-undang yang lebih besar manfaatnya daripada keburukannya. Namun mereka harus terus mencari peluang untuk mengajukan rancangan undang-undang yang tidak terlalu merugikan dan bahkan lebih bermanfaat.
Poin kedua adalah bahwa hanya Allah yang dapat menegakkan keadilan di dunia yang rusak ini. Itu sebabnya kita harus berdoa dan tidak menyerah dalam pekerjaan kita. Allah dapat memberikan keadilan yang ajaib di dunia yang rusak, sama seperti Allah dapat memberikan kesembuhan yang ajaib di dunia yang sakit. Tiba-tiba, tembok Berlin terbuka, rezim apartheid runtuh, dan perdamaian pun tercipta. Dalam perumpamaan tentang janda yang gigih, Allah tidak campur tangan. Kegigihan sang janda saja sudah membuat hakim bertindak adil. Namun Yesus mengindikasikan bahwa Allah adalah aktor yang tidak terlihat. “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya?” (Lukas 18:7).
Resiko: Perumpamaan Sepuluh Mina (Lukas 19:11-27)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerumpamaan sepuluh mina (“pound” dalam terjemahan NRSV) berlatar belakang tempat kerja dengan keuangan tingkat tinggi. Seorang bangsawan kaya — dan akan segera berkuasa — melakukan perjalanan panjang untuk dinobatkan sebagai raja. Sebagian besar rakyatnya membencinya dan mengirimkan pesan terlebih dahulu bahwa mereka menentang penobatan ini (Lukas 19:14). Saat ia pergi, ia menugaskan tiga orang pelayannya untuk menginvestasikan uangnya. Dua di antara mereka mengambil risiko dengan menginvestasikan uang majikannya. Mereka mendapatkan keuntungan yang besar. Hamba ketiga takut mengambil resiko, sehingga ia menyimpan uangnya di tempat yang aman. Itu tidak menghasilkan keuntungan apa pun. Ketika tuannya kembali, ia telah menjadi raja seluruh wilayah. Ia memberi penghargaan kepada dua pelayan yang menghasilkan uang untuknya, mempromosikan mereka ke posisi tinggi. Ia menghukum hamba yang menyimpan uang itu dengan aman tetapi tidak produktif. Kemudian ia memerintahkan agar semua orang yang menentangnya dibunuh di hadapannya.
Yesus menceritakan perumpamaan ini sesaat sebelum berangkat ke Yerusalem, di mana Dia akan dimahkotai sebagai raja (“Terpujilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan,” Lukas 19:38) namun segera ditolak oleh umat-Nya. Hal ini mengidentifikasikan Yesus dengan bangsawan dalam perumpamaan tersebut, dan orang banyak yang berteriak “Salibkan Dia!” (Lukas 23:21) dengan orang-orang dalam perumpamaan yang menentang penobatan sang bangsawan. Dengan ini kita tahu bahwa rakyat telah salah menilai calon raja mereka, kecuali dua pelayan yang bekerja dengan rajin saat ia pergi. Perumpamaan ini, dalam konteks ini, memperingatkan kita bahwa kita harus memutuskan apakah Yesus benar-benar raja yang ditunjuk oleh Allah dan bersiap untuk menanggung konsekuensi dari keputusan kita, apakah kita akan mengabdi atau menentang Dia.[1]
Perumpamaan ini memperjelas bahwa warga kerajaan Allah bertanggung jawab untuk bekerja mencapai tujuan dan maksud Allah. Dalam perumpamaan ini, raja memberitahukan secara langsung kepada hamba-hambanya apa yang ia harapkan dari mereka, yaitu menginvestasikan uangnya. Panggilan atau perintah khusus ini memperjelas bahwa berkhotbah, penyembuhan, dan penginjilan (panggilan para rasul) bukanlah satu-satunya panggilan Allah yang harus dilakukan manusia. Tentu saja, tidak semua orang di kerajaan Allah dipanggil untuk menjadi investor. Dalam perumpamaan ini, hanya tiga warga negara yang terpanggil menjadi investor. Intinya adalah bahwa mengakui Yesus sebagai raja memerlukan upaya untuk mencapai tujuan-Nya dalam bidang pekerjaan apa pun yang Anda lakukan.
Dilihat dari sudut pandang ini, perumpamaan ini menunjukkan bahwa jika kita memilih untuk menerima Yesus sebagai raja, kita harus siap menjalani kehidupan yang penuh risiko. Para pelayan yang menginvestasikan uang majikannya menghadapi risiko diserang oleh orang-orang di sekitar mereka yang menolak wewenang sang majikan. Dan mereka menghadapi risiko mengecewakan tuan mereka dengan melakukan investasi yang mungkin akan merugi. Bahkan kesuksesan mereka membuat mereka menghadapi risiko. Kini setelah mereka merasakan kesuksesan dan dipromosikan, mereka berisiko menjadi serakah atau gila kekuasaan. Mereka menghadapi risiko bahwa investasi berikutnya – yang akan melibatkan jumlah yang jauh lebih besar – bisa gagal dan membuat mereka menghadapi konsekuensi yang lebih parah. Dalam praktik bisnis (dan olahraga) Anglo-Amerika, CEO (dan pelatih kepala) secara rutin dipecat jika hasil kerja mereka biasa-biasa saja, sedangkan mereka yang menduduki posisi lebih rendah dipecat hanya karena kinerja yang sangat buruk. Baik kegagalan maupun kesuksesan tidak aman dalam perumpamaan ini, atau di tempat kerja saat ini. Kita tergoda untuk mencari perlindungan dan mencari cara aman untuk mengakomodasi sistem sambil menunggu keadaan menjadi lebih baik. Namun menghindar untuk berlindung adalah satu-satunya tindakan yang Yesus kutuk dalam perumpamaan tersebut. Hamba yang berusaha menghindari risiko dianggap tidak setia. Kita tidak diberitahu apa yang akan terjadi jika dua hamba lainnya kehilangan uang atas investasi mereka, namun implikasinya adalah bahwa semua investasi yang dilakukan dalam pelayanan yang setia kepada Allah menyenangkan Dia, terlepas dari apakah investasi tersebut mencapai hasil yang diinginkan atau tidak.
Untuk pembahasan mengenai perumpamaan yang sangat mirip tentang talenta, lihat "Matius 25:14-30" dalam Matius and Kerja dalam www.theologyofwork.org.
Masalah Perpajakan (Lukas 19:1-10; 20:20-26)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSelama ini, Lukas telah mengidentifikasi Yesus sebagai pribadi yang membawa pemerintahan Allah ke bumi. Pada pasal 19, penduduk Yerusalem akhirnya mengakui Dia sebagai raja. Saat Dia berkendara ke kota menaiki seekor keledai muda, orang banyak berbaris di jalan dan menyanyikan pujian bagi-Nya. “Terpujilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” (Lukas 19:38). Seperti yang kita ketahui, kerajaan Allah mencakup seluruh kehidupan, dan isu-isu yang Yesus pilih untuk dibicarakan sebelum dan sesudah kedatangan-Nya ke Yerusalem adalah mengenai pajak dan investasi.
Zakheus, Pemungut Pajak (Lukas 19:1-10)
Saat melewati Yerikho dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus bertemu dengan seorang pemungut cukai bernama Zakheus, yang duduk di pohon untuk dapat melihat Yesus dengan lebih jelas. “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu,” kata Yesus (Lukas 19:5). Perjumpaan dengan Yesus sangat mengubah cara kerja Zakheus. Seperti semua pemungut pajak di negara-negara klien Romawi, Zakheus menghasilkan uang dengan membebankan pajak yang berlebihan kepada masyarakat. Meskipun hal ini mungkin sekarang kita sebut sebagai “praktik standar industri”, hal ini bergantung pada penipuan, intimidasi, dan korupsi. Begitu Zakheus masuk ke dalam kerajaan Allah, ia tidak dapat lagi bekerja seperti ini. “Zakheus berdiri di sana dan berkata kepada Allah, ‘Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan, "Tuhan, lihatlah, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Lukas 19:8). Bagaimana tepatnya – atau apakah – ia akan terus bisa menghasilkan nafkah, ia tidak mengatakannya, karena itu tidak penting. Sebagai warga kerajaan Allah, ia tidak boleh melakukan praktik bisnis yang bertentangan dengan cara Allah.
Berikan Kepada Allah Apa yang Menjadi Milik Allah (Lukas 20:20-26)
Setelah Yesus disambut sebagai raja di Yerusalem, ada satu perikop dalam Lukas yang sering digunakan secara keliru untuk memisahkan dunia kerja dari kerajaan Allah: perkataan Yesus tentang pajak. Para ahli Taurat dan imam-imam kepala berusaha “menjerat-Nya dengan suatu pertanyaan dan menyerahkan-Nya kepada wewenang dan kuasa gubernur” (Lukas 20:20). Mereka bertanya kepada-Nya apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar. Sebagai tanggapan, Dia meminta mereka untuk menunjukkan kepada-Nya sebuah koin, dan segera mereka menunjukkan satu dinar. Dia bertanya potret siapa yang ada di sana dan mereka menjawab, “Gambar dan tulisan Kaisar.” Yesus berkata, “Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Lukas 20:25, NIV).
Jawaban ini kadang-kadang ditafsirkan sebagai memisahkan hal-hal yang bersifat materi dari yang rohani, yang politis dari yang religius, dan dari yang duniawi dengan yang bersifat surgawi. Di gereja (wilayah Allah), kita harus jujur dan murah hati, serta menjaga kebaikan saudara-saudari kita. Di tempat kerja (wilayah Kaisar), kita harus menutupi kebenaran, didorong oleh kekhawatiran tentang uang, dan mengutamakan diri sendiri. Namun hal ini salah memahami ironi tajam dalam jawaban Yesus. Ketika Dia berkata, “berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar,” Dia tidak menyetujui pemisahan antara hal materi dan spiritual. Premis bahwa wilayah Kaisar dan wilayah Allah tidak tumpang tindih tidak masuk akal mengingat apa yang Yesus katakan di seluruh Injil Lukas. Apa milik Tuhan? Semuanya! Kedatangan Yesus ke dunia sebagai raja merupakan pernyataan Allah bahwa seluruh dunia adalah milik Allah. Apa pun yang menjadi milik Kaisar, juga milik Allah. Dunia pajak, pemerintahan, produksi, distribusi, dan segala jenis pekerjaan lainnya adalah dunia yang sedang dibobol oleh kerajaan Allah. Umat Kristiani dipanggil untuk terlibat dalam dunia ini, bukan untuk keluar darinya. Perikop ini merupakan kebalikan dari pembenaran untuk memisahkan dunia kerja dari dunia Kristen. Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar (pajak) dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah (semuanya, termasuk pajak). Untuk diskusi yang lebih menyeluruh mengenai kejadian ini, lihat bagian "Matius 17:24-27 dan 22:15-22" dalam Matius dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.
Kesengsaraan Yesus (Lukas 22:47-24:53)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPuncak karya Yesus adalah kerelaan-Nya untuk berkorban di kayu salib, dan pada hembusan napas terakhir-Nya, Dia menghembuskan nafas kepercayaan kepada Allah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46). Melalui pengorbanan diri Yesus dan tindakan kebangkitan Bapa yang perkasa, Yesus sepenuhnya masuk ke dalam kedudukan raja kekal yang dinubuatkan pada saat kelahiran-Nya. “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Lukas 1:32-33). Ini benar-benar Anak Allah yang terkasih, yang setia sampai mati saat Dia bekerja demi semua orang yang telah jatuh ke dalam kemiskinan dosa dan kematian, yang membutuhkan penebusan yang tidak dapat kita sediakan sendiri. Berdasarkan hal ini, kita melihat bahwa kepedulian Yesus terhadap orang-orang miskin dan tak berdaya merupakan tujuan akhir sekaligus tanda kasih-Nya bagi semua orang yang mengikuti Dia. Kita semua miskin dan tidak berdaya menghadapi dosa kita dan kehancuran dunia. Dalam kebangkitan-Nya, kita mendapati diri kita diubahkan dalam setiap aspek kehidupan, ketika kita terperangkap dalam kasih Allah yang luar biasa ini.
Kesimpulan dari Lukas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiInjil Lukas adalah kisah munculnya kerajaan Allah di bumi dalam pribadi Yesus Kristus. Sebagai raja dunia yang sejati, Kristus adalah penguasa yang kepada-Nya kita harus setia dan Dialah teladan dalam menjalankan otoritas apa pun yang diberikan kepada kita dalam hidup.
Sebagai penguasa kita, Dia memberi kita satu perintah besar yang terbagi dalam dua bagian. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. … perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” (Lukas 10:27-28). Di satu sisi, perintah ini bukanlah hal baru. Ini hanyalah ringkasan dari Hukum Musa. Yang baru adalah bahwa kerajaan yang didasarkan pada hukum ini telah diresmikan melalui inkarnasi Allah dalam pribadi Yesus. Sudah menjadi maksud Allah sejak awal bahwa umat manusia harus hidup di kerajaan ini. Namun sejak Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, manusia malah hidup dalam kerajaan kegelapan dan kejahatan. Yesus datang untuk mengklaim kembali bumi sebagai kerajaan Allah dan untuk menciptakan komunitas umat Allah yang hidup di bawah pemerintahan-Nya, bahkan ketika kerajaan kegelapan masih tetap memegang kekuasaan. Tanggapan penting dari mereka yang menjadi warga negara kerajaan Kristus adalah bahwa mereka menjalani seluruh kehidupan mereka – termasuk bekerja – dalam mengejar tujuan dan sesuai dengan cara kerajaan-Nya.
Sebagai teladan kita, Yesus mengajarkan kita tujuan dan cara ini. Dia memanggil kita untuk mengerjakan tugas-tugas seperti penyembuhan, proklamasi Injil, keadilan, kekuasaan, kepemimpinan, produktivitas dan pemeliharaan, investasi, pemerintahan, kemurahan hati, dan keramahtamahan. Dia mengirimkan roh Allah untuk memberi kita semua yang kita butuhkan untuk memenuhi panggilan spesifik kita. Dia berjanji untuk memelihara hidup kita. Dia memerintahkan kita untuk menyediakan kebutuhan orang lain, dan dengan demikian menyatakan bahwa pemeliharaan-Nya bagi kita umumnya datang dalam bentuk orang lain yang bekerja atas nama kita. Dia memperingatkan kita akan jebakan dalam berusaha mencukupkan diri sendiri melalui kekayaan, dan Dia mengajarkan kita bahwa cara terbaik untuk menghindari jebakan tersebut adalah dengan menggunakan kekayaan kita untuk memajukan hubungan dengan Allah dan dengan orang lain. Ketika konflik muncul dalam hubungan kita, Dia mengajari kita cara menyelesaikannya sehingga mengarah pada keadilan dan rekonsiliasi. Di atas semua itu, Dia mengajarkan bahwa kewarganegaraan dalam kerajaan Allah berarti bekerja sebagai hamba Allah dan manusia. Pengorbanan diri-Nya di kayu salib menjadi teladan utama dalam kepemimpinan yang melayani. Kebangkitan-Nya ke takhta kerajaan Allah meneguhkan dan meneguhkan selamanya kasih aktif terhadap sesama kita sebagai jalan menuju kehidupan kekal.