Bootstrap

Markus dan Kerja

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Mark bible commentary

Pengantar Kepada Kitab Markus

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Injil Markus, seperti Injil lainnya, adalah tentang karya Yesus. Pekerjaan-Nya adalah mengajar, menyembuhkan, melakukan tanda-tanda kuasa Tuhan, dan terutama mati dan dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia. Karya Kristus benar-benar unik. Namun itu juga merupakan bagian yang menyatu dengan pekerjaan semua umat Allah, yaitu bekerja sama dengan Allah dalam memulihkan dunia seperti yang Allah maksudkan sejak semula. Pekerjaan kita bukanlah pekerjaan Kristus, tetapi pekerjaan kita memiliki tujuan yang sama seperti pekerjaan-Nya. Oleh karena itu Injil Markus bukanlah tentang pekerjaan kita, tetapi membentuk pekerjaan kita dan mendefinisikan tujuan akhir dari pekerjaan kita.

Dengan mempelajari kitab Markus, kita menemukan panggilan Allah untuk bekerja dalam pelayanan kerajaan-Nya. Kita mengenali ritme kerja, istirahat, dan ibadah yang Allah maksudkan bagi hidup kita. Kita melihat peluang dan bahaya yang melekat dalam mencari nafkah, mengumpulkan kekayaan, memperoleh status, membayar pajak, dan bekerja dalam masyarakat yang tidak selalu mengarah pada tujuan Allah. Kita bertemu dengan nelayan, buruh, ibu dan ayah (mengasuh anak adalah salah satu jenis pekerjaan!), pemungut pajak, penyandang disabilitas yang memengaruhi pekerjaan mereka, pemimpin, petani, pengacara, pendeta, tukang bangunan, dermawan (kebanyakan wanita), pria yang sangat kaya, pedagang, bankir, tentara, dan gubernur. Kita mengenali berbagai kepribadian membingungkan yang sama yang kita temui dalam kehidupan dan pekerjaan saat ini. Kita bertemu orang bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi sebagai anggota keluarga, komunitas, dan bangsa. Kerja dan pekerja ada di mana-mana dalam Injil Markus.

Markus adalah Injil tersingkat. Injil ini berisi lebih sedikit bahan pengajaran Yesus daripada Matius dan Lukas. Maka, tugas kita pasti untuk memperhatikan detail-detail dalam Injil Markus untuk melihat bagaimana Injil-Nya berlaku untuk pekerjaan non-gereja. Perikop-perikop utama yang berhubungan dengan pekerjaan dalam Markus terbagi dalam tiga kategori: 1) narasi tentang panggilan, sebagaimana Yesus memanggil para murid untuk bekerja atas nama kerajaan Allah; 2) kontroversi-kontroversi tentang Sabat mengenai irama kerja dan istirahat; dan 3) masalah ekonomi tentang kekayaan dan akumulasinya, serta perpajakan. Kita akan membahas narasi panggilan di bawah judul Kerajaan dan Pemuridan, kontroversi Sabat di bawah judul Ritme Kerja, Istirahat dan Ibadah, dan episode-episode yang berkaitan dengan perpajakan dan kekayaan di bawah Masalah Ekonomi. Dalam setiap kategori ini, Markus terutama memperhatikan bagaimana mereka yang akan mengikut Yesus harus ditransformasikan pada tingkat yang dalam.

Seperti Injil lainnya, Markus berlatar belakang masa ekonomi yang bergejolak. Selama era Romawi, Galilea sedang mengalami pergolakan sosial yang besar, dengan tanah yang semakin dikuasai oleh segelintir orang kaya—sering kali orang asing—dan dengan perpindahan umum dari pertanian skala kecil ke pertanian skala besar berbasis perkebunan. Mereka yang pernah menjadi petani penyewa atau bahkan pemilik tanah terpaksa menjadi buruh harian, seringkali karena kehilangan harta benda mereka sendiri melalui penyitaan pinjaman yang diambil untuk membayar pajak Romawi.[1] Dengan latar belakang seperti itu, tidak mengherankan jika tema ekonomi dan fiskal muncul dalam narasi Markus dan dalam pengajaran Yesus, dan kesadaran akan konteks sosial ini memungkinkan kita untuk menghargai arus bawah yang mungkin telah kita abaikan.

Awal Injil (Markus 1:1-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Catatan tentang khotbah Yohanes serta tentang baptisan dan pencobaan Yesus tidak berbicara secara langsung tentang pekerjaan. Namun demikian, sebagai pintu gerbang naratif ke Injil, mereka memberikan konteks tematik dasar untuk semua bagian berikutnya dan tidak dapat dilewati saat kita beralih ke bagian yang lebih jelas dapat diterapkan pada hal yang kita perhatikan. Yang menarik, judul Markus (Markus 1:1) menggambarkan kitab itu sebagai “permulaan Injil tentang Yesus Kristus.” Dari sudut pandang naratif, menarik perhatian ke permulaan sangatlah mencolok, karena Injil ini tampaknya tidak memiliki akhir. Manuskrip paling awal menunjukkan bahwa Injil ini tiba-tiba diakhiri dengan Markus 16: 8, “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.” Teksnya berakhir begitu tiba-tiba sehingga para juru tulis menambahkan bahan yang sekarang ditemukan dalam Markus 16:9-20, yang disusun dari bagian-bagian yang ditemukan di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Tetapi mungkin Markus memang tidak memaksudkan agar Injilnya berakhir. Injil itu hanyalah “permulaan Injil tentang Yesus Kristus,” dan kita yang membacanya adalah peserta dalam Injil yang berkelanjutan itu. Jika memang demikian, maka hidup kita adalah kelanjutan langsung dari peristiwa-peristiwa dalam Markus, dan kita memiliki banyak alasan untuk mengharapkan penerapan nyata pada pekerjaan kita.[1]

Kita akan melihat secara lebih terperinci bahwa Markus selalu menggambarkan manusia pengikut Yesus sebagai pemula yang jauh dari kesempurnaan. Ini berlaku bahkan untuk kedua belas rasul. Markus, lebih dari Injil lainnya, menampilkan para rasul sebagai orang yang tidak mengerti, bodoh, dan berulang kali mengecewakan Yesus. Hal ini sangat membesarkan hati, karena banyak orang Kristen yang mencoba mengikuti Kristus dalam pekerjaan mereka merasa tidak mampu melakukannya. Berbesar hatilah, Mark menasihati, karena dalam hal ini kita seperti para rasul itu sendiri!

Yohanes Pembaptis (Markus 1:2-11) ditampilkan sebagai utusan Maleakhi 3:1 dan Yesaya 40:3. Dia mengumumkan kedatangan “Tuhan.” Dikombinasikan dengan penunjukan Yesus sebagai “Kristus, Anak Allah” (Markus 1:1), bahasa ini memperjelas bagi pembaca bahwa tema sentral Markus adalah “kerajaan Allah,” meskipun ia menunggu sampai Markus 1:15 untuk menggunakan frasa itu dan menghubungkannya dengan Injil (“kabar baik”). "Kerajaan Allah" bukanlah konsep geografis dalam Markus. Itu adalah pemerintahan Tuhan yang terlihat ketika orang-orang dan bangsa-bangsa berada di bawah pemerintahan Tuhan, melalui pekerjaan Roh yang mengubahkan. Pekerjaan itu ditonjolkan oleh uraian singkat Markus tentang baptisan dan pencobaan Yesus (Markus 1:9-13), yang karena singkatnya menekankan turunnya Roh ke atas Yesus dan peran-Nya dalam mendorong Dia ke dalam (dan mungkin melalui) pencobaan oleh Iblis.

Bagian ini menembus dua konsepsi yang berlawanan, namun populer, tentang kerajaan Allah. Di satu sisi ada gagasan bahwa kerajaan Allah belum ada, dan tidak akan ada sampai Kristus datang kembali untuk memerintah dunia secara langsung. Di bawah pandangan ini, tempat kerja, seperti bagian dunia lainnya, adalah wilayah musuh. Tugas orang Kristen adalah bertahan di wilayah musuh dunia ini cukup lama untuk menginjili, dan menghasilkan laba yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan menyumbang uang bagi gereja. Gagasan lainnya adalah bahwa kerajaan Allah adalah wilayah spiritual batin, tidak ada hubungannya dengan dunia di sekitar kita. Menurut pandangan ini, apa yang dilakukan orang Kristen di tempat kerja, atau di mana pun selain dari gereja dan waktu doa pribadi, bukanlah urusan Allah sama sekali.

Bertentangan dengan kedua gagasan ini, Markus memperjelas bahwa kedatangan Yesus meresmikan kerajaan Allah sebagai realitas saat ini di bumi. Yesus berkata dengan jelas, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Markus 1:15). Kerajaan itu belum digenapi saat ini, tentu saja. Kerajaan ini belum memerintah bumi, dan tidak akan melakukannya sampai Kristus datang kembali. Tapi kerajaan ini ada di sini sekarang, dan itu nyata.

Oleh karena itu, tunduk pada kedaulatan Allah dan mewartakan kerajaan-Nya memiliki konsekuensi yang sangat nyata di dunia sekitar kita. Itu mungkin membawa kita ke dalam kehinaan sosial, konflik, dan, ya, penderitaan. Markus 1:14, seperti Matius 4:12, menarik perhatian kepada pemenjaraan Yohanes dan mengaitkannya dengan permulaan pewartaan Yesus sendiri bahwa “kerajaan Allah sudah dekat” (Markus 1:15). Dengan demikian kerajaan Allah ditetapkan melawan kekuatan dunia, dan sebagai pembaca kita dengan tegas diperlihatkan bahwa melayani Injil dan menghormati Allah belum tentu membawa keberhasilan dalam kehidupan ini. Namun pada saat yang sama, oleh kuasa Roh, umat Kristiani dipanggil untuk melayani Allah demi kepentingan orang-orang di sekitar mereka, seperti yang ditunjukkan oleh penyembuhan yang Yesus lakukan (Markus 1:23-34, 40-45).

Signifikansi radikal dari kedatangan Roh Kudus ke dunia menjadi lebih jelas di kemudian hari dalam Injil melalui kontroversi Beelzebul (Markus 3:20-30). Ini adalah bagian yang sulit, dan kita harus sangat berhati-hati dalam menghadapinya, tetapi hal ini tentu saja bukan tidak penting bagi teologi kerajaan yang mendasari teologi kerja kita. Logika dari bagian ini tampaknya adalah bahwa dengan mengusir setan, Yesus secara efektif membebaskan dunia dari Iblis, yang digambarkan sebagai orang kuat yang sekarang terikat. Seperti Tuhan mereka, orang Kristen dimaksudkan untuk menggunakan kuasa Roh untuk mengubah dunia, bukan untuk melarikan diri dari dunia atau menyesuaikan diri dengannya.

Dipanggilnya Murid-murid yang Pertama (Markus 1:16-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian ini perlu diperlakukan dengan hati-hati: walaupun para murid adalah paradigma kehidupan Kristen, mereka juga menempati posisi unik dalam kisah keselamatan. Dipanggilnya mereka untuk suatu jenis pelayanan yang khas, dan meninggalkan pekerjaan mereka saat ini, tidak membentuk suatu pola universal bagi kehidupan dan panggilan Kristiani. Banyak, bahkan sebagian besar, dari mereka yang mengikut Yesus tidak berhenti dari pekerjaannya untuk melakukannya (lihat Vocation Overview di https://www.teologikerja.org/). Namun demikian, cara-cara agar tuntutan kerajaan Allah bisa menembus dan mengesampingkan prinsip-prinsip umum masyarakat dapat dialihkan kepada dan mencerahkan pekerjaan kita.

Ayat pembukaan Markus 1:16 menampilkan Yesus sebagai pengembara ("ketika Yesus sedang berjalan"), dan Dia memanggil para nelayan ini untuk mengikuti-Nya di jalan. Ini lebih dari sekadar tantangan untuk meninggalkan pendapatan dan stabilitas atau, seperti yang bisa kita katakan, untuk keluar dari "zona nyaman" kita. Penceritaan Markus tentang kejadian ini mencatat suatu detail yang tidak ada dalam Injil lainnya, yaitu, bahwa Yakobus dan Yohanes meninggalkan Zebedeus, ayah mereka, " bersama orang-orang upahannya" (Markus 1:20). Mereka sendiri bukanlah orang upahan atau pekerja harian, melainkan bagian dari bisnis keluarga yang mungkin relatif sukses. Seperti yang dicatat oleh Suzanne Watts Henderson sehubungan dengan tanggapan para murid, “penumpukan keterangan menggarisbawahi bobot penuh dari kata kerja [untuk pergi]: bukan hanya jaring yang tertinggal, tetapi seorang ayah yang memiliki nama, sebuah perahu dan bahkan seluruh perusahaan.”[1] Dalam mengikuti Yesus, para murid ini harus menunjukkan kesediaan untuk membiarkan identitas, status, dan nilai mereka ditentukan terutama dalam hubungannya dengan Dia.

Perikanan adalah industri besar di Galilea, dengan sub-industri pengasinan ikan yang terhubung.[2] Pada saat pergolakan sosial di Galilea, kedua industri yang saling terkait ini saling mendukung dan tetap stabil. Kesediaan para murid untuk meninggalkan stabilitas semacam itu sungguh luar biasa. Stabilitas ekonomi bukan lagi tujuan utama mereka untuk bekerja. Namun di sini pun kita harus berhati-hati. Yesus tidak menolak panggilan duniawi dari orang-orang ini tetapi mengarahkannya ulang. Yesus memanggil Simon dan Andreas untuk menjadi "penjala manusia" (Markus 1:17), dengan demikian menegaskan pekerjaan mereka sebelumnya sebagai gambaran dari peran baru ke mana Dia memanggil mereka. Meskipun kebanyakan orang Kristen tidak dipanggil untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan menjadi pengkhotbah keliling, kita dipanggil untuk membumikan identitas kita di dalam Kristus. Apakah kita meninggalkan pekerjaan kita atau tidak, identitas seorang murid bukan lagi “nelayan”, “pemungut cukai”, atau apa pun kecuali “pengikut Yesus”. Ini menantang kita untuk menahan godaan untuk menjadikan pekerjaan kita sebagai elemen penentu dari perasaan kita tentang siapa diri kita.

Orang yang Lumpuh (Markus 2:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kisah Yesus menyembuhkan orang lumpuh menimbulkan pertanyaan tentang apa arti teologi kerja bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. Orang lumpuh itu, sebelum penyembuhan ini, tidak mampu melakukan pekerjaan yang menghasilkan nafkah bagi dirinya sendiri. Karena itu, dia bergantung pada rahmat dan belas kasihan orang-orang di sekitarnya untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari. Yesus terkesan dengan iman teman-teman pria itu. Keyakinan mereka aktif, menunjukkan kepedulian, belas kasihan, dan persahabatan kepada seseorang yang tidak memiliki baik imbalan finansial maupun hubungan kerja. Dalam keyakinan mereka, tidak ada pemisahan antara menjadi dan melakukan.

Yesus melihat upaya mereka sebagai tindakan iman kolektif. “Ketika Yesus melihat iman mereka, Ia berkata kepada orang lumpuh itu, "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (Markus 2:5). Sayangnya, komunitas iman memainkan peran yang makin kecil dalam kehidupan kerja kebanyakan orang Kristen di dunia Barat modern. Bahkan jika kita menerima bantuan dan dorongan bagi tempat kerja dari gereja kita, itu hampir pasti bantuan dan dorongan individu. Di masa lalu, kebanyakan orang Kristen bekerja bersama orang yang sama yang pergi ke gereja Bersama mereka, sehingga gereja dapat dengan mudah menerapkan ayat-ayat Kitab Suci kepada pekerjaan bersama sebagai buruh, petani, dan pemilik rumah. Sebaliknya, orang-orang Kristen Barat saat ini jarang bekerja di lokasi yang sama dengan orang lain di gereja yang sama. Meskipun demikian, orang Kristen saat ini sering bekerja dalam jenis pekerjaan yang sama dengan orang lain dalam komunitas iman mereka. Jadi mungkin ada kesempatan untuk berbagi tantangan dan peluang pekerjaan mereka dengan orang percaya lain dalam pekerjaan serupa. Namun hal ini jarang terjadi. Kecuali kita menemukan cara bagi kelompok pekerja Kristen untuk saling mendukung, tumbuh bersama, dan mengembangkan semacam komunitas Kristen yang berhubungan dengan pekerjaan, kita kehilangan sifat komunal iman yang sangat penting dalam Markus 2:3-12.

Maka, dalam episode singkat ini, kita mengamati tiga hal: (1) kerja dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi mereka yang tidak dapat menghidupi diri sendiri melalui kerja, maupun mereka yang bisa; (2) iman dan kerja tidak dipisahkan sebagai ada dan berbuat, tetapi menyatu dalam tindakan yang diberdayakan oleh Allah; dan 3) pekerjaan yang dilakukan dengan iman menyerukan komunitas iman untuk mendukungnya.

Dipanggilnya Lewi (Markus 2:13-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pemanggilan Lewi adalah kejadian lain yang terjadi saat Yesus mulai bergerak (Markus 2:13-14). Bagian ini menekankan sifat publik dari pemanggilan ini. Yesus memanggil Lewi saat mengajar orang banyak (Markus 2:14), dan Lewi awalnya terlihat "duduk di rumah cukai". Pekerjaannya akan membuatnya menjadi sosok yang dibenci oleh banyak orang se-zamannya di Galilea. Ada banyak perdebatan tentang seberapa berat perpajakan Romawi dan Herodes dirasakan di Galilea, tetapi sebagian besar berpendapat bahwa masalah itu cukup menyakitkan. Pengumpulan pajak secara nyata dikontrakkan kepada pemungut pajak swasta. Seorang pemungut pajak membayar pajak untuk seluruh wilayahnya di muka, dan kemudian mengumpulkan pajak individu dari rakyat. Untuk membuat hal ini menguntungkan, dia harus membebankan biaya kepada penduduk lebih dari tarif pajak yang sebenarnya dan pemungut pajak mengantongi keuntungannya. Oleh karena itu, otoritas Romawi mendelegasikan pekerjaan pengumpulan pajak yang sensitif secara politik kepada anggota komunitas lokal, tetapi hal itu menyebabkan tingkat pajak efektif yang tinggi, dan membuka pintu bagi segala jenis korupsi.[1] Sepertinya ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya tanah di Galilea, karena pemilik tanah mengambil pinjaman untuk membayar pajak moneter dan kemudian, jika panen mereka buruk, kehilangan properti mereka sebagai jaminan. Fakta bahwa pada awalnya kita bertemu dengan Lewi di rumah cukainya berarti bahwa dia, pada dasarnya, adalah simbol hidup pendudukan Romawi dan pengingat akan fakta bahwa beberapa orang Yahudi rela berkolaborasi dengan bangsa Romawi. Tautan yang dibuat dalam Markus 2:16 antara pemungut cukai dan "orang berdosa" memperkuat asosiasi negatif.[2]

Saat Lukas menekankan bahwa Lewi meninggalkan segalanya untuk menjawab panggilan Yesus (Lukas 5:28), Markus hanya menceritakan bahwa Lewi mengikuti-Nya. Pemungut cukai itu kemudian mengadakan perjamuan, membuka rumahnya untuk Yesus, murid-murid-Nya, dan kelompok campuran yang mencakup pemungut cukai lainnya dan "orang-orang berdosa". Walaupun gambaran tersebut mengisyaratkan tentang seorang pria yang berusaha untuk membagikan Injil kepada rekan-rekan bisnisnya, kenyataannya mungkin sedikit lebih halus. "Komunitas" Levi terdiri dari rekan-rekannya dan orang lain yang, sebagai "pendosa", dijauhi oleh tokoh-tokoh terkemuka di komunitas. Dengan kata lain, pekerjaan mereka menjadikan mereka bagian dari sub-komunitas yang memiliki hubungan sosial berkualitas tinggi secara internal, tetapi hubungan berkualitas rendah dengan komunitas di sekitar mereka. Hal ini berlaku untuk banyak jenis pekerjaan saat ini. Rekan kerja kita mungkin jauh lebih terbuka kepada kita daripada tetangga kita. Menjadi anggota komunitas kerja dapat membantu kita memfasilitasi perjumpaan dengan realitas Injil bagi rekan kerja kita. Menariknya, keramahtamahan makan bersama adalah bagian utama dari pelayanan Yesus dan memberi gagasan cara konkret untuk mengadakan perjumpaan semacam itu. Keramahtamahan makan siang bersama rekan kerja, joging bersama atau berolahraga di gym, atau minum bersama setelah bekerja dapat membangun hubungan yang lebih dalam dengan rekan kerja kita. Persahabatan ini memiliki nilai abadi, dan melalui mereka Roh Kudus dapat membuka pintu bagi semacam penginjilan persahabatan.

Ini menimbulkan pertanyaan. Jika orang Kristen hari ini mengadakan jamuan makan dengan rekan-rekan kerja, teman-teman dari lingkungan mereka, dan teman-teman gereja mereka, apa yang akan mereka bicarakan? Iman Kristen berbicara banyak tentang bagaimana menjadi pekerja yang baik dan bagaimana menjadi tetangga yang baik. Tetapi apakah orang Kristen tahu bagaimana berbicara tentang mereka dalam bahasa yang sama yang dapat dimengerti oleh rekan dan tetangga mereka? Jika percakapan beralih ke tempat kerja atau topik kemasyarakatan seperti pencarian kerja, layanan pelanggan, pajak properti atau zonasi, apakah kita dapat berbicara secara bermakna kepada orang yang tidak percaya tentang bagaimana konsep Kristen berlaku untuk masalah seperti itu? Apakah gereja kita memperlengkapi kita untuk percakapan ini? Tampaknya Lewi — atau Yesus — mampu berbicara secara bermakna tentang bagaimana pesan Yesus diterapkan pada kehidupan orang-orang yang berkumpul di sana.

Pertanyaan perpajakan akan muncul nanti dalam Injil ini dan beberapa pertanyaan kita tentang sikap Yesus terhadapnya kita tunda sampai saat itu.

Keduabelas Murid (Markus 3:13-19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selain kisah tentang pemanggilan murid-murid tertentu, ada juga kisah tentang ditunjuknya para rasul. Ada hal penting yang perlu diperhatikan dalam Markus 3:13-14, yaitu bahwa keduabelas murid ini merupakan kelompok khusus dalam komunitas murid yang lebih luas. Keunikan jabatan kerasulan mereka penting. Mereka dipanggil untuk suatu bentuk pelayanan yang khas, yang mungkin berbeda secara signifikan dari pengalaman kebanyakan kita. Jika kita ingin menarik pelajaran dari pengalaman dan peran para murid, maka itu harus melalui pengakuan tentang bagaimana tindakan dan keyakinan mereka berhubungan dengan kerajaan, bukan hanya fakta bahwa mereka meninggalkan pekerjaan mereka untuk mengikuti Yesus.

Kualifikasi yang tercantum untuk Simon, Yakobus, Yohanes, dan Yudas dalam Markus 3:16-19 relevan di sini. Nama Simon, tentu saja, dilengkapi dengan nama baru yang diberikan kepadanya oleh Yesus, "Petrus", yang sangat mirip dengan kata Yunani untuk "batu karang" (petros). Orang pasti bertanya-tanya apakah ada ironi tertentu dan janji tertentu dalam nama itu. Simon, yang berubah-ubah dan tidak stabil seperti yang terbukti kemudian, dinamai Batu Karang, dan suatu hari dia akan hidup sesuai dengan nama itu. Seperti dia, pelayanan kita kepada Allah di tempat kerja kita, sama halnya di tempat lain dalam hidup kita, tidak akan menjadi sempurna seketika, melainkan akan mengalami kegagalan dan pertumbuhan. Ini adalah pemikiran yang membantu pada saat kita merasa telah gagal dan membawa kerajaan ke dalam hal-hal buruk dalam prosesnya.

Sama seperti Simon diberi nama baru, begitu pula anak-anak Zebedeus, yang disebut sebagai “Anak-anak Guruh” (Markus 3:17). Itu adalah nama panggilan yang unik, dan terdengar lucu, tetapi juga sangat mungkin mengambil karakter atau kepribadian kedua pria ini.[7] Menarik bahwa kepribadian dan tipe kepribadian tidak dihilangkan dengan penyertaan dalam kerajaan. Ini menembus ke dua arah. Di satu sisi, kepribadian kita terus menjadi bagian dari identitas kita di dalam kerajaan, dan perwujudan kerajaan kita di tempat kerja kita terus dimediasi melalui kepribadian itu. Godaan untuk menemukan identitas kita dalam beberapa stereotip, bahkan stereotip Kristen, ditantang oleh hal ini. Namun, pada saat yang sama, kepribadian kita mungkin ditandai oleh unsur-unsur yang seharusnya ditantang oleh Injil. Ada petunjuk tentang hal ini dalam gelar yang diberikan kepada putra-putra Zebedeus, karena itu menunjukkan sifat pemarah atau kecenderungan konflik dan, meskipun nama itu diberikan dengan rasa sayang, itu mungkin bukan nama panggilan yang bisa dibanggakan.

Masalah kepribadian memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang penerapan iman Kristen dalam pekerjaan kita. Sebagian besar dari kita mungkin akan mengatakan bahwa pengalaman kerja kita, baik maupun buruk, sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang-orang di sekitar kita. Seringkali kualitas karakter yang membuat seseorang menjadi rekan kerja yang menginspirasi dan memberi energi dapat membuat orang tersebut menjadi orang yang sulit. Seorang pekerja yang termotivasi dan bersemangat mungkin mudah teralihkan oleh proyek-proyek baru, atau mungkin cenderung membentuk opini dengan cepat (dan mengungkapkannya dengan cepat). Kepribadian kita sendiri memainkan peran besar juga. Kita mungkin menganggap orang lain mudah diajak bekerja sama atau sulit, berdasarkan kepribadian kita dan juga kepribadian mereka. Demikian pula, orang lain mungkin menganggap kita mudah atau sulit diajak bekerja sama.

Tapi itu lebih dari masalah bergaul dengan orang lain dengan mudah. Kepribadian kita yang khas membentuk kemampuan kita untuk berkontribusi pada pekerjaan organisasi kita — dan melaluinya kepada pekerjaan kerajaan Allah — baik atau buruk. Kepribadian memberi kita kekuatan dan kelemahan. Sampai taraf tertentu, mengikuti Kristus berarti membiarkan Dia mengekang ekses-ekses kepribadian kita, seperti ketika Dia menegur Anak-anak Guruh karena ambisi mereka yang salah arah untuk duduk di tangan kanan dan kiri-Nya (Markus 10:35-45). Pada saat yang sama, orang Kristen sering keliru dengan menetapkan ciri-ciri kepribadian tertentu sebagai model universal. Beberapa komunitas Kristen memiliki sifat-sifat istimewa seperti ekstroversi, kelembutan, keengganan untuk menggunakan kekuasaan, atau – yang lebih gelap - kasar, tidak toleran, dan mudah tertipu. Beberapa orang Kristen menemukan bahwa ciri-ciri yang membuat mereka bagus dalam pekerjaan mereka — ketegasan, skeptisisme tentang dogma, atau ambisi, misalnya — membuat mereka merasa bersalah atau terpinggirkan di gereja. Mencoba untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita, dalam arti mencoba menyesuaikan stereotip tentang seperti apa seharusnya seorang Kristen di tempat kerja, bisa sangat bermasalah dan dapat membuat orang lain merasa bahwa kita tidak tulus apa adanya. Kita mungkin dipanggil untuk meniru Kristus (Filipi 2:5) dan para pemimpin kita (Ibrani 13:7), tetapi ini adalah masalah meniru kebajikan, bukan kepribadian. Bagaimanapun, Yesus memilih orang-orang dengan berbagai kepribadian sebagai teman dan pekerja-Nya. Banyak alat yang tersedia untuk membantu individu dan organisasi memanfaatkan berbagai karakteristik kepribadian dengan lebih baik sehubungan dengan pengambilan keputusan, pilihan karir, kinerja kelompok, resolusi konflik, kepemimpinan, hubungan di tempat kerja, dan faktor-faktor lainnya.

Walaupun di satu tingkat hal ini perlu dikaitkan dengan teologi kekayaan atau properti, di tingkat lain hal ini perlu dikaitkan dengan titik di mana teologi gereja dan pekerjaan bertemu. Selalu menggoda, dan bahkan tampak seperti kewajiban, untuk mempertahankan jaringan orang Kristen di lingkungan kerja dan berusaha untuk saling mendukung. Meskipun patut dipuji, perlu ada realitas tertentu yang disuntikkan ke dalam hal ini. Beberapa dari mereka yang menampilkan diri sebagai pengikut Yesus mungkin, pada kenyataannya, hatinya kurang benar, dan ini dapat mempengaruhi pendapat yang mereka anjurkan. Pada saat-saat seperti itu, tanggung jawab kita sebagai orang Kristen adalah siap untuk saling menantang satu sama lain dalam kasih, untuk meminta pertanggungjawaban satu sama lain, apakah kita benar-benar beroperasi sesuai dengan standar kerajaan.

Pemuridan dalam Proses (Markus 4:35-41; 6: 45-52; 8:14-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Injil Markus, lebih dari Injil lainnya, menyoroti ketidaktahuan, kelemahan, dan keegoisan para murid. Ini terjadi terlepas dari banyak hal baik yang dikatakan Markus tentang mereka, termasuk tanggapan mereka terhadap panggilan pertama Yesus (Markus 1:16-20) dan pengutusan-Nya atas mereka (Markus 6:7-13).[1]

Insiden-insiden dan perangkat narasi tertentu mengembangkan potret ini. Salah satunya adalah pengulangan adegan perahu (Markus 4:35-41; 6:45-52; 8:14-21), yang sejajar satu sama lain dalam menekankan ketidakmampuan para murid untuk benar-benar memahami kuasa dan otoritas Yesus. Adegan kapal terakhir diikuti oleh penyembuhan dua tahap yang tidak biasa dari seorang buta (Markus 8:22-26), yang mungkin berfungsi sebagai semacam metafora naratif untuk satu-satunya penglihatan parsial para murid mengenai Yesus.[2] Kemudian diikuti pengakuan Petrus akan Kristus (Markus 8:27-33), dengan momen wawasannya yang dramatis diikuti segera oleh kebutaan rohani bagaikan Iblis di pihak sang rasul. Pemahaman terbatas para murid tentang identitas Yesus cocok dengan pemahaman mereka yang terbatas tentang pesannya. Mereka terus menginginkan kekuasaan dan status (Markus 9:33-37; 10:13-16; dan 10:35-45). Yesus menantang mereka beberapa kali karena kegagalan mereka untuk menyadari bahwa mengikuti Dia membutuhkan sikap dasar pengorbanan diri. Yang paling jelas, tentu saja, para murid meninggalkan Yesus pada saat penangkapan dan pengadilan-Nya (Markus 14:50-51). Disandingkannya penyangkalan Petrus yang terjadi tiga kali (Markus 14:66-72) dengan kematian Yesus membuat kontras kepengecutan dan keberanian kedua pria itu, masing-masing, menjadi lebih tajam.

Namun Petrus dan yang lainnya kemudian terus memimpin gereja secara efektif. Malaikat yang berbicara kepada para wanita setelah kebangkitan (Markus 16:6-7) memberi mereka pesan kepada para murid (dan Petrus dipilih!), menjanjikan pertemuan lebih lanjut dengan Yesus yang telah bangkit. Para murid akan menjadi sangat berbeda setelah perjumpaan ini, sebuah fakta yang tidak dieksplorasi oleh Markus tetapi dikembangkan dengan baik dalam Kisah Para Rasul, sehingga kebangkitan adalah peristiwa kunci yang mempengaruhi perubahan tersebut.

Apa relevansi hal ini terhadap kerja? Secara sederhana dan jelas, bahwa sebagai murid-murid Yesus yang harus melakukan pekerjaan kita sendiri, kita tidak sempurna dan dalam proses. Akan ada banyak hal yang mengharuskan kita untuk bertobat, sikap-sikap yang salah dan perlu diubah. Secara signifikan, kita harus menyadari bahwa, seperti para murid, kita mungkin salah dalam banyak hal yang kita yakini dan pikirkan, bahkan tentang masalah Injil. Oleh karena itu, setiap hari, kita harus dengan penuh doa merenungkan bagaimana kita mewujudkan kedaulatan Allah dan siap menunjukkan pertobatan atas kekurangan kita dalam hal ini. Kita mungkin merasa tergoda untuk menggambarkan diri kita sebagai orang benar, bijaksana, dan terampil di tempat kerja kita, sebagai saksi kebenaran, hikmat, dan keunggulan Yesus. Tetapi akan menjadi kesaksian yang lebih jujur dan lebih kuat untuk menggambarkan diri kita apa adanya — sebagai seseorang yang sedang berproses, bisa salah, dan agak berpusat pada diri sendiri, sebagai bukti kemurahan Yesus ketimbang menunjukkan karakter-Nya. Maka kesaksian kita adalah mengundang rekan kerja kita untuk bertumbuh bersama kita di jalan Allah, ketimbang menjadi seperti kita. Tentu saja, kita perlu melatih diri kita dengan keras untuk bertumbuh di dalam Kristus. Kemurahan Allah bukanlah alasan untuk berpuas diri dalam dosa kita.

Hari-hari Pertama Kegerakan (Markus 1:21-45)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian utama perikop ini (Markus 1:21-34) terjadi pada hari Sabat, hari istirahat. Di dalam bagian ini, beberapa tindakan berlokasi di sinagoga (Markus 1:21-28). Penting bahwa rutinitas mingguan untuk bekerja, istirahat, dan beribadah diintegrasikan ke dalam kehidupan Yesus sendiri dan tidak diabaikan atau dibuang. Di zaman kita sendiri, di mana praktik semacam itu telah sangat berkurang, penting untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa ritme mingguan ini didukung oleh Yesus. Tentu saja, penting juga bahwa Yesus melakukan pekerjaan kebenaran dan penyembuhan-Nya pada hari ini. Ini nantinya akan membawa-Nya ke dalam konflik dengan orang-orang Farisi. Ini juga menyoroti bahwa Sabat bukan hanya hari istirahat dari pekerjaan, tetapi juga hari kasih dan kemurahan yang aktif.[1] Selain ritme mingguan, ada juga ritme harian. Setelah hari Sabat, Yesus bangun ketika hari masih “gelap” untuk berdoa (Markus 1:35). Prioritas pertama-Nya pada hari itu adalah berhubungan dengan Tuhan. Penekanan pada kesendirian Yesus dalam waktu doa ini penting, menekankan bahwa doa ini bukanlah pertunjukan publik, tetapi masalah persekutuan pribadi.

Doa harian tampaknya merupakan praktik yang sangat sulit bagi banyak orang Kristen di tempat kerja. Antara tanggung jawab keluarga di pagi hari, perjalanan panjang ke tempat kerja, jam kerja yang mulai pagi-pagi, keinginan untuk menyelesaikan tanggung jawab hari itu lebih cepat, dan tidur larut malam yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan (atau entertain) hari itu, tampaknya hampir tidak mungkin untuk membangun rutinitas doa pagi yang konsisten. Dan jam-jam berikutnya pun lebih sulit lagi. Markus tidak pernah menggambarkan penghakiman terhadap mereka yang tidak atau tidak dapat berdoa setiap hari tentang pekerjaan yang ada di depan mereka. Namun ia memang menggambarkan Yesus — yang lebih sibuk dari siapa pun di sekitar-Nya — berdoa tentang pekerjaan dan orang-orang yang Tuhan tempatkan di hadapan-Nya setiap hari. Di tengah tekanan kehidupan kerja, doa harian tampaknya menjadi kemewahan pribadi yang tidak dapat kita nikmati. Namun, Yesus tidak dapat membayangkan pergi bekerja tanpa doa, seperti kebanyakan dari kita tidak dapat membayangkan pergi bekerja tanpa sepatu.

Waktu teratur yang dikhususkan untuk berdoa adalah hal yang baik, tetapi itu bukanlah satu-satunya cara untuk berdoa. Kita juga bisa berdoa di tengah-tengah pekerjaan kita. Satu praktik yang menurut banyak orang bermanfaat adalah berdoa dengan sangat singkat beberapa kali sepanjang hari. “Devosi Harian untuk Individu dan Keluarga,” terdapat dalam Buku Doa Umum (halaman 136-143), menyediakan struktur singkat untuk doa di pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari, dengan mempertimbangkan ritme kehidupan dan pekerjaan di siang hari. Bahkan contoh yang lebih singkat termasuk doa satu atau dua kalimat saat berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya, berdoa dengan mata terbuka, mengucapkan terima kasih dalam hati atau dengan lantang sebelum makan, menyimpan benda atau ayat Kitab Suci di saku sebagai pengingat untuk berdoa dan banyak lainnya. Di antara banyak buku yang membantu membentuk ritme doa harian adalah Finding God in the Fast Lane oleh Joyce Huggett[2] dan The Spirit of the Disciplines oleh Dallas Willard.[3]

Tuhan dari Hari Sabat (Markus 2:23-3-6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita telah memperhatikan, dalam pembahasan kita tentang Markus 1:21-34, bahwa Sabat diintegrasikan ke dalam ritme mingguan Yesus. Bentrokan yang terjadi antara Yesus dan orang Farisi bukanlah tentang memelihara Sabat tetapi tentang cara memeliharanya. Bagi orang Farisi, Sabat terutama didefinisikan dalam istilah negatif. Mereka akan bertanya, apakah yang dilarang oleh perintah untuk tidak melakukan pekerjaan (Keluaran 20:8-11; Ulangan 5:12-15)?[1] Bagi mereka, bahkan tindakan santai para murid dalam memetik bulir gandum merupakan semacam pekerjaan dan dengan demikian mengabaikan larangan itu. Sangat menarik bahwa mereka menggambarkan tindakan ini sebagai "sesuatu yang tidak diperbolehkan" (Markus 2:24), meskipun penerapan khusus dari perintah keempat tidak ada dalam Taurat. Mereka menganggap interpretasi mereka sendiri tentang hukum Taurat sebagai otoritatif dan mengikat, dan tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa mereka salah. Yang lebih tidak menyenangkan bagi mereka adalah tindakan penyembuhan oleh Yesus (Markus 3:1-6), yang digambarkan sebagai peristiwa penting yang membuat orang Farisi berkomplot melawan Yesus.

Berbeda dengan orang Farisi, Yesus memandang Sabat secara positif. Hari kebebasan dari pekerjaan adalah hadiah untuk kebaikan umat manusia. “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27). Selain itu, hari Sabat memberikan kesempatan untuk menunjukkan belas kasihan dan kasih. Pandangan tentang Sabat seperti itu memiliki pendahuluan kenabian yang baik. Yesaya 58 menghubungkan Sabat dengan belas kasihan dan keadilan sosial dalam pelayanan Allah, yang berpuncak pada deskripsi berkat Allah atas mereka yang menyebut hari Sabat “hari kenikmatan” (Yesaya 58:13-14). Penyandingan belas kasihan, keadilan, dan Sabat menunjukkan bahwa Sabat paling banyak digunakan sebagai hari ibadah dengan menunjukkan belas kasihan dan keadilan. Bagaimanapun, Sabat itu sendiri adalah peringatan akan keadilan dan belas kasihan Allah dalam membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir (Ulangan 5:15).

Kisah Sabat pertama (Markus 2:23-28) dipicu oleh tindakan para murid memetik bulir gandum.[2] Walaupun Matius menambahkan bahwa murid-murid itu lapar, dan Lukas menjelaskan tindakan mereka menggosok bulir gandum di antara tangan mereka sebelum memakannya, Markus hanya menggambarkan mereka memetik biji-bijian, yang menunjukkan sifat kasual dari tindakan tersebut. Murid-murid mungkin tanpa sadar memetik biji-biji itu dan menggigitnya. Pembelaan yang Yesus berikan ketika ditentang oleh orang Farisi tampak sedikit aneh pada awalnya, karena ini adalah cerita tentang rumah Tuhan, bukan hari Sabat.

Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu -- yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam -- dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya. (Markus 2:25-26)

Pendapat para cendekiawan terbagi tentang bagaimana - atau bahkan apakah - argumen Yesus sesuai dengan prinsip-prinsip penafsiran dan argumentasi Yahudi.[3] Kuncinya adalah mengenali konsep “kekudusan.” Baik hari Sabat maupun rumah Allah (bersama segala isinya) digambarkan sebagai "suci" dalam Kitab Suci.[4] Sabat adalah waktu yang sakral, rumah Allah adalah tempat yang sakral, tetapi pelajaran yang mungkin diperoleh dari kekudusan yang satu dapat dipindahkan ke yang lain.

Maksud Yesus adalah bahwa kekudusan rumah Allah tidak menghalangi keikutsertaannya dalam tindakan belas kasihan dan keadilan. Ruang-ruang suci bumi bukanlah tempat perlindungan kesucian terhadap dunia, tetapi tempat kehadiran Tuhan bagi dunia, untuk memeliharakan dan memulihkan dunia. Tempat yang dikhususkan untuk Tuhan pada dasarnya adalah tempat keadilan dan belas kasihan. “Hari Sabat [dan implikasinya, rumah Allah] diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27). Versi Matius dari kisah ini mencakup detail berikut ini, “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan,” dari Hosea 6:6 (Matius 12:7). Ini memperjelas poin yang kita lihat dengan lebih banyak menahan diri di Markus.

Hal yang sama muncul dalam kontroversi Sabat kedua, ketika Yesus menyembuhkan seorang pria di sinagoga pada hari Sabat (Markus 3:1-6). Pertanyaan kunci yang Yesus tanyakan adalah, “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” Keheningan orang Farisi dalam menghadapi pertanyaan ini berfungsi sebagai penegasan bahwa Sabat dihormati dengan berbuat baik, dengan menyelamatkan hidup.

Bagaimana ini berlaku untuk pekerjaan kita hari ini? Prinsip Sabat adalah bahwa kita harus menguduskan sebagian dari waktu kita dan membebaskannya dari tuntutan pekerjaan, membiarkannya mengambil karakter ibadah yang khas. Ini bukan mengatakan bahwa Sabat adalah satu-satunya waktu untuk beribadah, atau bahwa bekerja tidak bisa menjadi bentuk ibadah itu sendiri. Tetapi prinsip Sabat memberi kita waktu untuk berfokus pada Tuhan dengan cara yang berbeda dari yang dimungkinkan oleh minggu kerja, dan untuk menikmati berkat-Nya dengan cara yang khas. Yang terpenting, juga, itu memberi kita ruang untuk membiarkan penyembahan kita kepada Tuhan memanifestasikan dirinya dalam belas kasihan, perhatian, dan kasih sosial. Ibadah kita pada hari Sabat membumbui pekerjaan kita selama seminggu.

Topik Sabat dibahas secara mendalam dalam artikel, Istirahat dan Bekerja di https://www.teologikerja.org/. Menyadari bahwa tidak ada perspektif Kristen tunggal tentang Sabat, Theology of Work Project mengeksplorasi sudut pandang yang agak berbeda di bagian "Sabat dan Bekerja" dalam artikel Lukas dan Kerja.

Yesus Sang Tukang Bangunan (Markus 6:1-6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebuah insiden di kampung halaman Yesus memberikan wawasan yang langka tentang pekerjaan-Nya sebelum menjadi seorang pengkhotbah keliling. Konteksnya adalah bahwa teman-teman dan kenalan Yesus di kampung halaman tidak percaya bahwa anak laki-laki lokal yang mereka kenal dengan baik ini telah menjadi seorang guru dan nabi yang hebat. Ketika mengeluh, mereka berkata, “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita” (Markus 6:2–3). Ini adalah satu-satunya bagian dalam Alkitab yang secara langsung menyatakan pekerjaan Yesus. (Dalam Matius 13:55, Yesus disebut “anak tukang kayu,” dan Lukas dan Yohanes tidak menyebutkan profesi-Nya.) Bahasa Yunani yang mendasarinya (tekton) mengacu pada tukang bangunan atau pengrajin dalam segala jenis bahan,[1]

yang dalam Palestina umumnya berupa batu atau bata. Terjemahan bahasa Inggris "tukang kayu" mungkin mencerminkan fakta bahwa di London kayu adalah bahan bangunan yang lebih umum pada saat terjemahan bahasa Inggris pertama dibuat.

Apapun itu, sejumlah perumpamaan Yesus terjadi di lokasi konstruksi. Berapa banyak dari pengalaman pribadi Yesus yang mungkin tercermin dalam perumpamaan ini? Apakah Dia membantu membangun pagar, menggali tempat pemerasan anggur, atau membangun menara di kebun anggur, dan mengamati hubungan yang tegang antara pemilik tanah dan penggarap (Markus 12:1-12)? Apakah salah satu pelanggan-Nya kehabisan uang di tengah jalan saat membangun menara dan meninggalkan hutang yang belum dibayar kepada Yesus (Lukas 14:28-30)? Apakah Dia ingat Yusuf mengajari-Nya cara menggali fondasi sampai ke batu yang kokoh, sehingga bangunan itu dapat menahan angin dan banjir (Matius 7:24-27)? Apakah Dia pernah mempekerjakan asisten dan harus menghadapi keluhan tentang gaji (Matius 20:1-16) dan urutan kekuasaan (Markus 9:33-37)? Apakah Dia pernah diawasi oleh seorang manajer yang meminta-Nya untuk bergabung dalam suatu skema untuk menipu pemilik kebun (Lukas 16:1-16)? Singkatnya, seberapa banyak hikmat dalam perumpamaan Yesus dikembangkan melalui pengalaman-Nya sebagai seorang pekerja dalam ekonomi abad pertama? Jika tidak ada yang lain, mengingat pengalaman Yesus sebagai seorang tukang bangunan dapat membantu kita melihat perumpamaan dalam terang yang lebih nyata.

Perumpamaan Tentang Kerja (Markus 4:26-29 dan 13:32-37)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Markus hanya memuat dua perumpamaan yang tidak ditemukan dalam Injil lainnya. Keduanya menyangkut pekerjaan, dan keduanya sangat singkat.

Perumpamaan pertama, dalam Markus 4:26-29, membandingkan Kerajaan Allah dengan menumbuhkan biji-bijian dari benih. Ini memiliki kemiripan dengan perumpamaan yang lebih dikenal tentang biji sesawi, yang segera menyusul setelahnya, dan dengan perumpamaan tentang penabur (Markus 4:1-8). Meski perumpamaan itu berlatar tempat kerja pertanian, peran petani sengaja diminimalkan. “Bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu” (Markus 4:27). Sebaliknya, penekanannya adalah pada bagaimana pertumbuhan kerajaan dihasilkan oleh kuasa Allah yang tidak dapat dijelaskan. Meskipun demikian, petani itu “pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun” untuk mengurus tanaman (Markus 4:26) dan pergi dengan sabitnya (Markus 4:28) untuk menuai panen. Mukjizat Allah diberikan di antara mereka yang melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.

Perumpamaan unik Markus yang kedua, dalam Markus 13:32-37, mengilustrasikan perlunya para murid Yesus menantikan kedatangan Yesus yang kedua kali. Menariknya, Yesus berkata, “Dan halnya sama seperti seorang yang bepergian, yang meninggalkan rumahnya dan menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hambanya, masing-masing dengan tugasnya, dan memerintahkan penunggu pintu supaya berjaga-jaga” (Markus 13:34). Selama dia pergi, setiap hamba dituntut untuk tetap melakukan pekerjaannya. Kerajaan itu tidak seperti seorang tuan yang pergi ke negeri yang jauh dan berjanji pada akhirnya akan memanggil para pelayannya untuk bergabung dengannya di sana. Tidak, tuannya akan kembali, dan dia memberi hamba-hambanya pekerjaan untuk menumbuhkan dan memelihara rumah tangganya untuk kepulangannya nanti.

Kedua perumpamaan itu menganggap bahwa murid-murid Yesus adalah pekerja yang rajin, apa pun pekerjaan mereka. Kita tidak akan membahas perumpamaan lain di sini, tetapi merujuk pada eksplorasi ekstensif dalam Matius dan Kerja dan Lukas dan Kerja dalam https://www.teologikerja.org/.

Kekayaan (Markus 10:17-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perjumpaan Yesus dengan seorang kaya yang bertanya “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” merupakan salah satu dari sedikit bagian dalam Markus yang berbicara langsung tentang aktivitas ekonomi. Pertanyaan pria itu menuntun Yesus untuk menyebutkan (Markus 10:18) enam perintah yang paling berorientasi sosial dalam Sepuluh Perintah. Menariknya, "Jangan mengingini" (Keluaran 20:17; Ulangan 5:21) disajikan dengan sentuhan komersial yang jelas sebagai "Jangan mengurangi hak orang." Orang kaya itu berkata bahwa semua itu telah “kuturuti sejak masa mudaku” (Markus 10:20). Tetapi Yesus menyatakan bahwa satu hal yang kurang darinya adalah harta di surga, yang diperoleh dengan mengorbankan kekayaan duniawinya dan mengikuti pengembara dari Galilea ini. Ini menghadirkan rintangan yang tidak bisa dilewati orang kaya. Tampaknya dia terlalu menyukai kenyamanan dan keamanan yang diberikan oleh harta miliknya. Markus 10:22 menekankan dimensi afektif dari situasi— “Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih.” Orang muda itu secara emosional terganggu oleh ajaran Yesus, menunjukkan keterbukaan terhadap kebenarannya, tetapi dia tidak dapat mengikutinya. Keterikatan emosionalnya dengan kekayaan dan statusnya menganulir kesediaannya untuk mengindahkan kata-kata Yesus.

Menerapkan ini untuk bekerja hari ini membutuhkan kepekaan dan kejujuran yang nyata sehubungan dengan naluri dan nilai-nilai kita sendiri. Kekayaan terkadang merupakan hasil dari pekerjaan—pekerjaan kita atau orang lain—tetapi pekerjaan itu sendiri juga dapat menjadi hambatan emosional untuk mengikuti Yesus. Jika kita memiliki posisi istimewa—seperti orang mudah yang kaya itu—mengelola karier kita mungkin menjadi lebih penting daripada melayani orang lain, melakukan pekerjaan yang baik, atau bahkan meluangkan waktu untuk keluarga, kehidupan sosial, dan kehidupan rohani. Itu mungkin menghalangi kita untuk membuka diri terhadap panggilan tak terduga dari Allah. Kekayaan dan hak istimewa kita mungkin membuat kita sombong atau tidak peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Kesulitan-kesulitan ini tentu saja tidak unik bagi orang-orang kaya dan istimewa. Ya, perjumpaan Yesus dengan orang kaya ini menyoroti bahwa sulit untuk memotivasi diri sendiri untuk mengubah dunia jika Anda sudah berada di puncak tumpukan. Sebelum kita yang tidak kaya dan berstatus sederhana di dunia Barat membiarkan diri kita lolos, mari kita bertanya apakah, menurut standar dunia, kita juga menjadi berpuas diri karena kekayaan dan status (relatif) kita.

Sebelum meninggalkan episode ini, satu aspek penting tetap ada. “Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya” (Markus 10:21). Tujuan Yesus bukanlah untuk mempermalukan atau menggertak orang muda itu, tetapi mengasihinya. Dia memanggilnya untuk meninggalkan harta miliknya pertama-tama demi keuntungannya sendiri, dengan mengatakan, “engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Kitalah yang menderita ketika kita membiarkan kekayaan atau pekerjaan memisahkan kita dari orang lain dan menjauhkan kita dari hubungan dengan Allah. Solusinya bukanlah berusaha lebih keras untuk menjadi baik, tetapi menerima kasih Allah; yaitu, mengikuti Kristus. Jika kita melakukan ini, kita belajar bahwa kita dapat memercayai Allah untuk hal-hal yang benar-benar kita butuhkan dalam hidup, dan kita tidak perlu berpegang pada harta dan posisi kita demi keamanan.

Perumpamaan ini dibahas lebih lanjut di dalam "Lukas 18:18-30" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.

Status (Markus 10:31-16, 22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebuah aspek yang khas dari penyampaian cerita Markus adalah diurutkannya dengan cerita tentang anak-anak kecil yang dibawa kepada Yesus, dan pernyataan selanjutnya bahwa kerajaan itu akan diterima seperti anak-anak itu (Markus 10:13-16). Yang menghubungkan kedua perikop ini mungkin bukanlah masalah keamanan, atau mengandalkan sumber daya keuangan daripada mengandalkan Allah. Sebaliknya, titik kontaknya adalah masalah status. Dalam masyarakat Mediterania kuno, anak-anak tidak berstatus, atau setidaknya berstatus rendah.[1] Mereka tidak memiliki properti yang digunakan untuk menilai status. Intinya, mereka tidak memiliki apa-apa. Orang muda kaya, sebaliknya, memiliki banyak simbol status (Markus 10:22) dan ia memiliki banyak harta. (Dalam catatan Lukas, ia secara eksplisit disebut sebagai “penguasa”, Lukas 18:18.) Orang muda yang kaya itu mungkin tidak dapat memasuki kerajaan Allah karena diperbudak statusnya maupun karena diperbudak kekayaannya sendiri.

Di tempat kerja saat ini, status dan kekayaan belum tentu berjalan seiring. Bagi mereka yang tumbuh baik dalam kekayaan maupun status melalui pekerjaan mereka, ini adalah peringatan ganda. Bahkan jika kita berhasil menggunakan kekayaan dengan cara yang saleh, mungkin jauh lebih sulit untuk melepaskan diri dari perangkap perbudakan status. Baru-baru ini sekelompok miliarder menerima banyak publisitas karena berjanji untuk memberikan setidaknya setengah dari kekayaan mereka.[2]

Kemurahan hati mereka sangat mencengangkan, dan kami sama sekali tidak ingin mengkritik pemberi janji yang mana pun. Namun kita mungkin bertanya-tanya, dengan nilai memberi yang begitu besar, mengapa tidak memberi lebih dari setengahnya? Setengah miliar dolar masih jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk kehidupan yang sangat nyaman. Mungkinkah status tetap menjadi miliarder (atau setidaknya setengah miliarder) merupakan penghalang untuk mencurahkan seluruh kekayaan untuk tujuan yang jelas-jelas penting bagi seorang donor? Apakah ada bedanya bagi pekerja yang keuangannya lebih sederhana? Apakah menghargai status membuat kita tidak mencurahkan lebih banyak waktu, bakat, dan harta kita untuk hal-hal yang kita anggap benar-benar penting?

Pertanyaan yang sama dapat ditanyakan kepada orang-orang yang statusnya tidak berkorelasi dengan kekayaan. Akademisi, politisi, pendeta, seniman, dan banyak lainnya dapat memperoleh status tinggi melalui pekerjaan mereka tanpa harus menghasilkan banyak uang. Status mungkin muncul dari bekerja, katakanlah, di universitas tertentu atau menjadi bagian dari lingkaran tertentu. Bisakah status itu menjadi bentuk perbudakan yang membuat kita tidak mau mengorbankan posisi kita dengan mengambil sikap tidak populer atau beralih ke pekerjaan yang lebih bermanfaat di tempat lain?

Anugerah Allah (Markus 10:23-31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perkataan Yesus selanjutnya (Markus 10:23-25) menjelaskan arti penting perjumpaan itu, karena Yesus menekankan kesulitan yang dihadapi oleh orang kaya untuk memasuki kerajaan. Reaksi orang muda itu menggambarkan keterikatan orang kaya terhadap kekayaan mereka dan status yang menyertainya; secara signifikan, para murid sendiri “bingung” dengan pernyataan Yesus tentang orang kaya. Mungkin patut diperhatikan bahwa ketika Dia mengulangi pernyataan-Nya dalam Markus 10:24, Dia menyebut para murid sebagai “anak-anak”, menyatakan mereka tidak terbebani oleh status. Mereka sudah tidak terbebani oleh kekayaan karena mengikuti-Nya.

Analogi Yesus tentang unta dan lubang jarum (Markus 10:25) mungkin tidak ada hubungannya dengan sebuah gerbang kecil di Yerusalem,[1] tetapi bisa menjadi plesetan dari kesamaan kata Yunani untuk unta (kamelos) dan untuk tali yang berat (kamilos). Gambaran absurd yang sengaja diberikan hanya menekankan ketidakmungkinan orang kaya diselamatkan tanpa bantuan ilahi. Ini juga berlaku untuk orang miskin, karena jika tidak, “siapa yang dapat diselamatkan?” (Markus 10:26). Janji pertolongan ilahi seperti itu dijabarkan dalam Markus 10:27, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” Ini mencegah perikop ini (dan mudah-mudahan kita, sebagai pembaca) masuk ke sinisme sederhana terhadap orang kaya.

Hal ini membuat Petrus membela sikap dan sejarah penyangkalan diri para murid. Mereka telah “meninggalkan segalanya” untuk mengikuti Yesus. Jawaban Yesus meneguhkan upah surgawi yang menanti semua orang yang berkorban seperti itu. Sekali lagi, barang-barang yang ditinggalkan oleh orang-orang semacam itu (“rumah atau saudara laki-laki atau saudara perempuan atau ibu atau ayah atau anak atau ladang”) berpotensi memiliki konotasi status dan bukan sekadar kelimpahan materi. Bahkan, Markus 10:31 menyatukan seluruh kisah dengan penekanan kuat pada status— “Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.” Sampai saat ini, kisah tersebut dapat mencerminkan kecintaan terhadap hal-hal di dalam dan tentang diri mereka sendiri, atau status yang diberikan oleh hal-hal tersebut. Pernyataan terakhir ini, bagaimanapun, menempatkan penekanan tegas pada masalah status. Segera setelah itu, Yesus menyatakan ini secara eksplisit dengan istilah-istilah di tempat kerja. “Dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Markus 10:44). Seorang budak, bagaimanapun, hanyalah seorang pekerja tanpa status, bahkan status bahwa mereka memiliki kemampuan sendiri untuk bekerja. Status yang tepat dari para pengikut Yesus adalah seorang anak atau budak - tidak ada status sama sekali. Bahkan jika kita memegang posisi tinggi atau memiliki otoritas, kita harus menganggap posisi dan otoritas itu milik Allah, bukan diri kita sendiri. Kita hanyalah hamba Allah, mewakili Dia tetapi tidak mengambil status yang menjadi milik-Nya saja.

Insiden Bait Allah (Markus 11:15-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Peristiwa di mana Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari Bait Allah memiliki nuansa perdagangan. Ada perdebatan tentang arti sebenarnya dari tindakan ini, baik dari segi catatan Injil individual maupun dari segi tradisi Yesus Historis.[1] Tentu saja, Yesus dengan agresif mengusir mereka yang berdagang di pelataran Bait Allah, entah itu menjual hewan dan burung yang tidak haram untuk dikorbankan atau menukar mata uang yang sesuai dengan persembahan Bait Allah. Telah dikemukakan bahwa ini adalah protes atas tarif terlalu tinggi yang dikenakan oleh mereka yang terlibat dalam perdagangan, dan dengan demikian menyiksa orang miskin ketika mereka datang untuk memberikan persembahan.[2] Alternatifnya, hal itu dipandang sebagai penolakan atas pajak kuil setengah syikal tahunan.[3] Akhirnya, hal itu telah ditafsirkan sebagai tindakan kenabian, yang mengacaukan proses Bait Allah sebagai pertanda kehancuran yang akan datang.[4]

Dengan asumsi kita menyamakan Bait Allah dengan gereja di lingkungan saat ini, kejadian tersebut sebagian besar berada di luar jangkauan kita, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang tidak berhubungan dengan gereja. Namun, kita dapat mencatat bahwa insiden tersebut menyorotkan cahaya redup pada mereka yang akan mencoba menggunakan gereja untuk mendapatkan keuntungan di tempat kerja bagi diri mereka sendiri. Bergabung atau menggunakan gereja untuk mendapatkan posisi bisnis yang disukai secara komersial merusak bagi komunitas dan merusak secara spiritual bagi individu. Tidak berarti bahwa gereja dan anggotanya harus menghindari saling membantu menjadi pekerja yang lebih baik. Namun jika gereja menjadi alat komersial, integritasnya rusak dan kesaksiannya kabur.

Pajak dan Kaisar (Markus 12:13-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Masalah perpajakan telah muncul secara tidak langsung, dalam hal narasi pemanggilan Lewi (Markus 2:13-17, lihat di atas). Bagian ini membahas masalah ini secara lebih langsung, meskipun makna dari bagian ini masih dapat diperdebatkan dalam hal logikanya. Sangat menarik bahwa seluruh kejadian yang dijelaskan di sini pada dasarnya merupakan jebakan. Jika Yesus menegaskan perpajakan Romawi, Dia akan menyinggung para pengikut-Nya. Jika Dia menolaknya, Dia akan menghadapi tuduhan makar. Karena peristiwa tersebut berkait dengan keadaan khusus seperti itu, kita harus berhati-hati dalam menerapkan bagian ini pada situasi kontemporer yang berbeda.

Tanggapan Yesus terhadap jebakan berkisar pada konsep citra dan kepemilikan. Meneliti koin dinar biasa (pada dasarnya, upah sehari), Yesus bertanya "gambar" (atau bahkan "ikon") siapa yang ada di koin itu. Maksud pertanyaannya mungkin untuk menyinggung secara sengaja Kejadian 1:26-27 (manusia diciptakan menurut gambar Allah) untuk menciptakan kontras. Koin memiliki gambar kaisar, tetapi manusia menyandang gambar Allah. Berikan kepada kaisar apa yang menjadi miliknya (uang), tetapi berikan kepada Allah apa yang menjadi milik-Nya (hidup kita). Elemen inti, bahwa manusia menyandang imago Dei, tidak dinyatakan, tetapi hal itu tersirat dari paralelisme yang dibangun dalam logika argument itu.

Dalam menggunakan argumentasi seperti itu, Yesus menundukkan masalah perpajakan pada tuntutan yang lebih besar dari Allah atas hidup kita, namun Dia tidak menyangkal keabsahan perpajakan, bahkan sistem Romawi yang berpotensi disalahgunakan. Dia juga tidak menyangkal bahwa uang adalah milik Allah. Jika uang adalah milik Kaisar, terlebih lagi milik Allah karena Kaisar sendiri berada di bawah kekuasaan Allah (Roma 13:1-17; 1 Petrus 2:13-14). Bagian ini bukanlah jaminan untuk kekeliruan yang sering diungkapkan bahwa bisnis adalah bisnis dan agama adalah agama. Namun, seperti yang telah kita lihat, Allah tidak mengenal pemisahan sekuler-sakral. Anda tidak dapat berpura-pura mengikuti Kristus dengan bertindak seolah-olah Dia tidak peduli terhadap pekerjaan Anda. Yesus tidak memberikan izin untuk melakukan apa saja yang Anda suka di tempat kerja, tetapi damai sejahtera tentang hal-hal yang tidak dapat Anda kendalikan. Anda dapat mengontrol apakah Anda menipu orang lain dalam pekerjaan Anda (Markus 10:18), jadi jangan lakukan itu. Anda tidak dapat mengontrol apakah Anda harus membayar pajak (Markus 12:17), jadi bayarlah. Dalam bagian ini, Yesus tidak mengatakan apa kewajiban Anda jika Anda dapat mengontrol (atau mempengaruhi) pajak Anda, misalnya, jika Anda seorang senator Romawi atau pemilih dalam demokrasi abad kedua puluh satu.

Kejadian ini dibahas secara lebih mendalam dalam "Lukas 20:20-26" dalam Lukas dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.

Pekerjaan Kita Memenuhi Hukum Kasih (Markus 12:28-34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Melihat bahwa Yesus terampil dalam menafsirkan kitab suci, seorang ahli Taurat mengajukan kepada-Nya sebuah pertanyaan yang sudah menjadi perdebatan di antara para pemimpin Yahudi. “Hukum manakah yang paling utama?” Yesus menjawab dengan dua perintah terkait yang pasti diketahui oleh para pendengar-Nya. Yang pertama adalah deklarasi kepada orang-orang Yahudi dari Ulangan 6:5 “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Kemudian pada saat yang sama Yesus menambahkan, “Dan hukum yang kedua ialah,” dan Dia mengutip Imamat 19:18 “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Lihat TOW Bible Commentary pada Imamat 19:17-18.) Jika Anda mengasihi Allah, Anda akan mengasihi sesama Anda. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kaitan antara kedua perintah ini lihat “The Great Commandment is a Great Framework” (Matius 22:34-40) dan “The Good Samaritan at Work--Loving Your Neighbor as Yourself” (Lukas 10:25-37).

Jawaban Yesus yang bijaksana memberi kita pemahaman tentang prioritas Allah. Jika hanya ada dua tugas yang Allah ingin agar kita fokuskan lebih dari tugas lainnya, itu adalah mengasihi Allah dan mengasihi orang-orang di sekitar kita. Perlu disebutkan bahwa dengan mengatakan, “seperti dirimu sendiri,” Yesus juga mengharapkan kita untuk mencintai diri sendiri.

Syukurlah, bekerja dapat menjadi salah satu cara utama kita menanggapi Hukum Kasih. Namun banyak orang gagal menyadari bahwa pekerjaan kita bisa menjadi cara untuk mencintai orang lain. Banyak pekerjaan memberikan kesempatan bagi orang Kristen untuk memenuhi kebutuhan dasar orang lain. Ambil contoh bidang kesehatan. Seorang dokter yang menulis resep, seorang apoteker yang menyiapkan obat sesuai resep tersebut, dan orang yang menata stok obat di rak apotik, semuanya berperan dalam memberikan layanan kesehatan yang diperlukan oleh sesamanya. Di bagian atas dan bawah rantai pasokan, kita melihat karya tak ternilai dari para ilmuwan yang menguji efektivitas intervensi medis, pekerja konstruksi yang menjaga jalan yang dilalui obat-obatan, dan pekerja kasus yang memproses klaim asuransi kesehatan, semuanya berpartisipasi dalam mencintai sesama dengan memenuhi kebutuhan dasar manusiawi mereka.

Namun kebutuhan manusia tidak hanya mencakup layanan kesehatan. Manusia juga membutuhkan makanan, tempat tinggal, tawa, dan hubungan dengan makna yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Jadi para petani dan pekerja restoran, pembangun rumah dan perusahaan asuransi rumah, komedian dan anak-anak, serta filsuf dan pendeta semuanya mempunyai cara untuk mengasihi orang lain melalui pekerjaan mereka sehari-hari, hanya dengan melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Setiap kali Anda menyeberang jalan, Anda bergantung pada kasih yang ditunjukkan oleh montir yang melakukan pemeliharaan rem terbaru pada setiap mobil yang meluncur menuju persimpangan.

Melalui pekerjaan kita memenuhi kebutuhan keuangan kita dan keluarga kita. Karena Allah memerintahkan setiap orang untuk mencintai diri sendiri, ini adalah cara lain kerja memenuhi Hukum Kasih.

Terakhir, kita mungkin bertanya bagaimana kita bisa mengasihi Allah melalui pekerjaan kita. Salah satu caranya adalah dengan mengasihi Allah secara sadar saat melakukan pekerjaan kita, dengan cara yang dipopulerkan oleh orang-orang bijak seperti Brother Lawrence. Namun jika kewaspadaan yang terus-menerus bukan anugerah khusus yang kita miliki, kita dapat mengasihi Allah dengan melakukan sesuatu yang Allah ingin lakukan. Kisah yang lebih luas tentang penebusan yang Yesus tawarkan memberi kita gambaran tentang apa yang Allah ingin lakukan di tempat kerja. Banyak industri atau tempat kerja mempunyai masalah yang memerlukan penebusan. Seorang pekerja Kristen dapat melakukan sesuatu yang Allah inginkan dengan memberikan teladan pengampunan, kasih sayang, dan integritas.

Bagaimana pun kita bekerja, penting untuk mengingat urutan kedua bagian dari Hukum Kasih. Mengasihi Allah adalah yang utama, yang kedua adalah mencintai sesama. Seperti yang dicatat oleh Dorothy Sayers, “Perintah kedua bergantung pada perintah pertama, dan tanpa perintah pertama, itu hanyalah khayalan dan jerat ... Jika kita mendahulukan sesama kita, kita menempatkan manusia di atas Allah, dan itulah yang telah kita lakukan sejak kita mulai memuja umat manusia dan menjadikan manusia sebagai tolok ukur segala sesuatu …. Pada kenyataannya, ada sebuah paradoks dalam berupaya untuk mencapai tujuan. melayani masyarakat, dan inilah dia: bahwa bertujuan langsung melayani masyarakat berarti membuat pekerjaan menjadi keliru; satu-satunya cara untuk melayani komunitas adalah dengan melupakan komunitas dan mengabdi pada pekerjaan.[1]

Secara praktis, ini berarti kita mengasihi sesama kita dengan melakukan pekerjaan yang benar, yaitu bekerja sesuai dengan kemauan Allah. Ini mungkin atau mungkin bukan cara sesama kita—pelanggan, klien, rekan kerja, pemasok, dll—meminta kita melakukannya. Misalnya rekan kerja kita mungkin ingin kita melayani mereka dengan melakukan pekerjaan mereka, namun Allah mungkin ingin kita melayani mereka dengan membantu mereka melakukannya sendiri. Atau pelanggan mungkin ingin kita menyediakan produk dengan harga terendah, sedangkan Allah mungkin ingin kita mendidik pelanggan mengapa barang dengan harga lebih tinggi lebih baik bagi pelanggan, lingkungan, atau komunitas. Bagian pertama dari Hukum Kasih menempatkan kaki kita pada landasan yang kuat akan tujuan Allah. Kita harus bekerja untuk orang lain sebagai hamba Allah, bukan sebagai orang yang menyenangkan orang lain.

Setelah mendengar jawaban Yesus atas pertanyaannya, ahli Taurat itu setuju bahwa prioritas Yesus benar. Mengasihi Allah dan mengasihi sesama memang lebih penting daripada perintah-perintah spesifik yang diwajibkan oleh hukum Yahudi. Yesus menjawab bahwa penanyanya “tidak jauh dari Kerajaan Allah.” Demikian pula, ketika kita menjaga tindakan kita sesuai dengan standar Hukum Kasih, ketika kita mengasihi Allah sepenuhnya dan peduli terhadap orang lain dengan kepedulian yang sama seperti yang kita tunjukkan pada diri kita sendiri, kita membawa kerajaan Allah ke tempat kerja kita.

Salib dan Kebangkitan (Markus 14:32-16:8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Topik tentang status dan kasih karunia kembali mengemuka saat Yesus menghadapi pencobaan dan penyaliban. “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45). Bahkan bagi-Nya jalan pelayanan mengharuskan dilepaskannya semua status:

Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit." (Markus 10:33–34)

Orang-orang – dengan benar – memberitakan Yesus sebagai Mesias dan Raja (Markus 11:8-11). Namun Dia mengesampingkan status ini dan menerima tuduhan palsu dari dewan Yahudi (Markus 14:53-65), pengadilan yang tidak layak oleh pemerintah Romawi (Markus 15:1-15), dan kematian di tangan umat manusia yang bagi mereka Dia datang untuk menyelamatkan (Markus 15:21-41). Murid-murid-Nya sendiri berkhianat (Markus 14:43-49), menyangkal (Markus 14:66-72), dan meninggalkan Dia (Markus 14:50-51), kecuali sejumlah perempuan yang telah mendukung pekerjaan-Nya selama ini. Dia mengambil tempat yang paling rendah, ditinggalkan oleh Allah dan manusia, untuk memberi kita kehidupan kekal. Pada akhir yang pahit dari hidup-Nya, Dia merasa ditinggalkan oleh Allah sendiri (Markus 15:34). Markus, sendirian di antara kitab-kitab Injil lainnya, mencatat Dia meneriakkan kata-kata Mazmur 22:1, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34). Di kayu salib, karya terakhir Yesus adalah menyerap semua pengabaian dunia. Mungkin disalahpahami, diejek, dan ditinggalkan sama beratnya dengan hukuman mati. Ia sadar bahwa kematian-Nya akan teratasi dalam beberapa hari, namun kesalahpahaman, ejekan, dan desersi terus berlanjut hingga hari ini.

Banyak orang saat ini yang merasa ditinggalkan oleh teman, keluarga, masyarakat, bahkan Allah. Perasaan ditinggalkan di tempat kerja bisa terasa sangat kuat. Kita bisa saja dipinggirkan oleh rekan kerja, tertindas oleh pekerjaan dan bahaya, cemas akan kinerja kita, takut dengan kemungkinan PHK, dan menjadi putus asa karena gaji yang tidak memadai dan tunjangan yang kecil, seperti yang digambarkan dalam buku Studs Terkel, Working. Perkataan Sharon Atkins, seorang resepsionis dalam buku Terkel, mewakili banyak orang. “Saya menangis di pagi hari. Saya tidak ingin bangun. Saya takut pada hari Jumat karena hari Senin selalu membayang-bayngi saya. Lima hari lagi di depan saya. Tampaknya tidak pernah ada akhir dari hal itu. Mengapa saya melakukan ini?”[1]

Namun kasih karunia Allah mengatasi bahkan pukulan terberat dalam pekerjaan dan kehidupan bagi mereka yang mau menerimanya. Kasih karunia Allah menyentuh manusia sejak Yesus tunduk, ketika perwira itu menyadari, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Markus 15:39). Kasih karunia menang atas kematian itu sendiri ketika Yesus Kembali hidup. Para wanita menerima firman dari Tuhan bahwa “Ia telah bangkit” (Markus 16:6). Pada bagian Markus 1:1-13, kita melihat bagian akhirnya sangat mendadak. Ini bukanlah kisah yang indah untuk kontes keagamaan, namun tentang campur tangan Tuhan yang sangat memilukan dalam kehidupan dan pekerjaan kita yang kotor. Terbukanya makam penjahat yang disalib merupakan bukti yang lebih dari apa yang kita dapat yakini bahwa “banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Markus 10:31). Namun kasih karunia yang luar biasa ini adalah satu-satunya cara agar pekerjaan kita dapat menghasilkan hasil “pada masa ini … seratus kali lipat” dan kehidupan kita menuntun kita menuju “zaman yang akan datang … hidup yang kekal” (Markus 10:30). Tidak mengherankan bahwa “gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut” (Markus 16:8).

Kesimpulan: Menyatukan Beberapa Utasan (Markus)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Injil Markus tidak disusun sebagai buku petunjuk pekerjaan manusia, tetapi pekerjaan terlihat di setiap halaman. Kita telah menarik beberapa benang merah yang paling penting dalam permadani hidup dan kerja ini, dan menerapkannya pada isu-isu pekerjaan abad kedua puluh satu. Ada banyak jenis pekerjaan, dan banyak konteks di mana orang bekerja. Tema pemersatunya adalah bahwa kita semua dipanggil untuk bekerja mengembangkan, memulihkan, dan mengatur ciptaan Allah, bahkan ketika kita menunggu pencapaian akhir dari maksud Allah bagi dunia ketika Kristus datang kembali.

Dalam paparan yang megah ini, sangat mengejutkan bahwa sebagian besar narasi Markus berkisar pada tema identitas. Markus menunjukkan bahwa memasuki kerajaan Allah memerlukan transformasi identitas pribadi dan hubungan komunal kita. Persoalan status dan identitas dikaitkan dengan kekayaan dan pekerjaan di dunia kuno dengan cara yang jauh lebih formal dibandingkan saat ini. Namun dinamika yang mendasarinya tidak berubah secara radikal. Masalah status masih mempengaruhi pilihan, keputusan, dan tujuan kita sebagai pekerja. Peran, label, afiliasi, dan hubungan semuanya menjadi faktor dalam pekerjaan kita dan dapat menyebabkan kita mengambil keputusan yang baik maupun yang buruk. Kita semua rentan terhadap keinginan untuk menegaskan tempat kita dalam masyarakat melalui harta benda, kekayaan, atau pengaruh potensial kita, dan hal ini, pada gilirannya, dapat mempengaruhi keputusan pekerjaan kita. Semua elemen ini menjadi faktor dalam rasa identitas kita, tentang siapa diri kita. Oleh karena itu, tantangan Yesus untuk siap melepaskan klaim status duniawi merupakan hal yang sangat penting. Relatif sedikit orang yang terpanggil untuk mengikuti pilihan khusus yang dibuat oleh kedua belas murid, untuk meninggalkan pekerjaan mereka sepenuhnya, namun tantangan untuk menundukkan identitas duniawi pada tuntutan kerajaan bersifat universal. Penyangkalan diri adalah inti dari mengikuti Yesus. Sikap seperti ini mencakup penolakan untuk membiarkan identitas kita ditentukan oleh status kita di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa.

Penyangkalan diri yang radikal seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa kasih karunia. Anugerah Allah adalah mukjizat yang mengubah kehidupan dan pekerjaan, sehingga kita mampu hidup dan melayani dalam kerajaan Tuhan sambal tetap berada di dunia yang berdosa. Namun kasih karunia Allah jarang datang melalui transformasi seketika. Narasi para murid adalah tentang kegagalan dan pemulihan, tentang perubahan yang terjadi pada akhirnya, bukan perubahan yang terjadi secara instan. Seperti mereka, pelayanan kita dalam kerajaan Allah tetap dinodai oleh dosa dan kegagalan. Seperti mereka, kita merasa perlu untuk banyak bertobat. Namun, mungkin kita juga akan menjadi seperti mereka dalam meninggalkan warisan abadi di dunia, sebuah kerajaan yang perbatasannya diperluas karena aktivitas kita, dan yang kehidupannya diperkaya oleh kewarganegaraan kita. Meskipun sulit untuk melepaskan hal-hal yang menghalangi kita untuk mengikuti Kristus sepenuhnya dalam pekerjaan kita, kita mendapati bahwa melayani Dia dalam pekerjaan kita jauh lebih bermanfaat (Markus 10:29-32) daripada melayani diri sendiri dan kebodohan kita.

Ayat-ayat Kunci dan Tema-tema Dalam Markus

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat-ayat

Tema-tema

Markus 1:16-20 Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Dan setelah Yesus meneruskan perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus segera memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia.

Murid-murid pertama dipanggil saat mereka sedang di tempat kerja. Relasi mereka dengan pekerjaan mrk diorientaiskan ulang oleh relasi baru mereka Bersama Yesus.

Markus 1:35 Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.

Yesus membingkai waktu siang hari (waktu kerja) dengan komitmen untuk berdoa dan bersekutu dengan Allah.

Markus 2:3, 5 Ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. … Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!"

Seseorang yang tidak mampu bekerja dibawa kepada Yesus. Ceritanya bukan hanya tentang pesembuhannya saja, tapi tentang di mana tempat keimanan bersama dan gotong royong.

Markus 2:14-15 Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!" Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia. Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia.

Lewi dipanggil untuk menjadi murid; dia menanggapinya dengan menawarkan rumah dan kekayaannya untuk menghormati Yesus, dan untuk memberikan kesempatan bagi orang lain untuk bertemu dengan-Nya.

Markus 2:27 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. (Lihat konteks dalam 2:23-3:6)

Irama Sabat disajikan sebagai sesuatu yang berharga oleh Yesus, namun sebagai sesuatu yang dapat kita manfaatkan, bukan sebagai obsesi.

Markus 3:16-19 Kedua belas orang yang ditetapkan-Nya itu ialah: Simon, yang diberi-Nya nama Petrus, Yakobus anak Zebedeus, dan Yohanes saudara Yakobus, yang keduanya diberi-Nya nama Boanerges, yang berarti anak-anak guruh, selanjutnya Andreas, Filipus, Bartolomeus, Matius, Tomas, Yakobus anak Alfeus, Tadeus, Simon orang Zelot, dan Yudas Iskariot, yang mengkhianati Dia.

Kedua belas murid ditunjuk. Adanya nama panggilan dalam daftar mengisyaratkan pentingnya kepribadian dalam kelompok. Pemberian nama Yudas merupakan sebuah pengingat bahwa banyak orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, namun tidak sejalan dengan Kerajaan Allah. Saat kita mempertimbangkan hubungan kita dengan rekan-rekan Kristen, kedua poin ini relevan.

Markus 4:35-41 (Yesus meredakan badai di Danau Galilea, setelah murid-murid-Nya membangunkan-Nya dari tidur di atas bantal di buritan.)

Markus 6:45-52 (Yesus berjalan di atas air)

Markus 8:13-21 (Yesus membawa sebuah kapal menyeberangi danau, tetapi para murid lupa membawa roti.)

Tiga adegan perahu paralel yang menekankan kurangnya pemahaman para murid. Ini adalah bagian dari maksud Markus untuk menggambarkan para murid sedang dalam proses, dari kegagalan menuju kekuatan.

Markus 10:21-22 Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.

Orang muda kaya itu tidak dapat memaksa dirinya untuk berpisah dengan harta miliknya dan status yang diwakilinya. Status sama pentingnya dengan kemewahan dalam cerita ini.

Markus 11:15-17 Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerusalem. Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah. Lalu Ia mengajar mereka, kata-Nya: "Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!"

Yesus mengganggu kegiatan ekonomi di bait Allah, mungkin karena praktik-praktik tertentu yang dilihat-Nya di sana tidak adil atau korup.

Markus 12:15-17 Tetapi Yesus mengetahui kemunafikan mereka, lalu berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mencobai Aku? Bawalah ke mari suatu dinar supaya Kulihat!" Lalu mereka bawa. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" Mereka sangat heran mendengar Dia.

Yesus menjawab pertanyaan sulit mengenai perpajakan dengan menekankan otoritas tertinggi Allah, namun tanpa menyangkal keabsahan perpajakan.