Status (Markus 10:31-16, 22)
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja.jpg)
Sebuah aspek yang khas dari penyampaian cerita Markus adalah diurutkannya dengan cerita tentang anak-anak kecil yang dibawa kepada Yesus, dan pernyataan selanjutnya bahwa kerajaan itu akan diterima seperti anak-anak itu (Markus 10:13-16). Yang menghubungkan kedua perikop ini mungkin bukanlah masalah keamanan, atau mengandalkan sumber daya keuangan daripada mengandalkan Allah. Sebaliknya, titik kontaknya adalah masalah status. Dalam masyarakat Mediterania kuno, anak-anak tidak berstatus, atau setidaknya berstatus rendah.[1]
Bruce Malina dan Richard Rohrbaugh, A Social-Scientific Commentary on the Synoptic Gospels (Minneapolis: Fortress, 1992), hal. 238. “Anak-anak memiliki status yang rendah dalam komunitas atau keluarga. Anak di bawah umur sejajar statusnya dengan budak dan hanya setelah mencapai usia dewasa ia menjadi seorang merdeka yang bisa mewarisi tanah keluarga. Istilah ‘anak/anak-anak’ bisa juga digunakian sebagai suatu hinaan yang serius (lihat Matius 11:16-17).”
Di tempat kerja saat ini, status dan kekayaan belum tentu berjalan seiring. Bagi mereka yang tumbuh baik dalam kekayaan maupun status melalui pekerjaan mereka, ini adalah peringatan ganda. Bahkan jika kita berhasil menggunakan kekayaan dengan cara yang saleh, mungkin jauh lebih sulit untuk melepaskan diri dari perangkap perbudakan status. Baru-baru ini sekelompok miliarder menerima banyak publisitas karena berjanji untuk memberikan setidaknya setengah dari kekayaan mereka.[2]
Stephanie Strom, “Pledge to Give Away Half Gains Billionaire Adherents,” New York Times, August 4, 2010.
Kemurahan hati mereka sangat mencengangkan, dan kami sama sekali tidak ingin mengkritik pemberi janji yang mana pun. Namun kita mungkin bertanya-tanya, dengan nilai memberi yang begitu besar, mengapa tidak memberi lebih dari setengahnya? Setengah miliar dolar masih jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk kehidupan yang sangat nyaman. Mungkinkah status tetap menjadi miliarder (atau setidaknya setengah miliarder) merupakan penghalang untuk mencurahkan seluruh kekayaan untuk tujuan yang jelas-jelas penting bagi seorang donor? Apakah ada bedanya bagi pekerja yang keuangannya lebih sederhana? Apakah menghargai status membuat kita tidak mencurahkan lebih banyak waktu, bakat, dan harta kita untuk hal-hal yang kita anggap benar-benar penting?
Pertanyaan yang sama dapat ditanyakan kepada orang-orang yang statusnya tidak berkorelasi dengan kekayaan. Akademisi, politisi, pendeta, seniman, dan banyak lainnya dapat memperoleh status tinggi melalui pekerjaan mereka tanpa harus menghasilkan banyak uang. Status mungkin muncul dari bekerja, katakanlah, di universitas tertentu atau menjadi bagian dari lingkaran tertentu. Bisakah status itu menjadi bentuk perbudakan yang membuat kita tidak mau mengorbankan posisi kita dengan mengambil sikap tidak populer atau beralih ke pekerjaan yang lebih bermanfaat di tempat lain?