Bootstrap

Kerajaan dan Pemuridan (Markus 1-4, 6, 8)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Kingdom discipleship

Awal Injil (Markus 1:1-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Catatan tentang khotbah Yohanes serta tentang baptisan dan pencobaan Yesus tidak berbicara secara langsung tentang pekerjaan. Namun demikian, sebagai pintu gerbang naratif ke Injil, mereka memberikan konteks tematik dasar untuk semua bagian berikutnya dan tidak dapat dilewati saat kita beralih ke bagian yang lebih jelas dapat diterapkan pada hal yang kita perhatikan. Yang menarik, judul Markus (Markus 1:1) menggambarkan kitab itu sebagai “permulaan Injil tentang Yesus Kristus.” Dari sudut pandang naratif, menarik perhatian ke permulaan sangatlah mencolok, karena Injil ini tampaknya tidak memiliki akhir. Manuskrip paling awal menunjukkan bahwa Injil ini tiba-tiba diakhiri dengan Markus 16: 8, “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.” Teksnya berakhir begitu tiba-tiba sehingga para juru tulis menambahkan bahan yang sekarang ditemukan dalam Markus 16:9-20, yang disusun dari bagian-bagian yang ditemukan di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Tetapi mungkin Markus memang tidak memaksudkan agar Injilnya berakhir. Injil itu hanyalah “permulaan Injil tentang Yesus Kristus,” dan kita yang membacanya adalah peserta dalam Injil yang berkelanjutan itu. Jika memang demikian, maka hidup kita adalah kelanjutan langsung dari peristiwa-peristiwa dalam Markus, dan kita memiliki banyak alasan untuk mengharapkan penerapan nyata pada pekerjaan kita.[1]

Kita akan melihat secara lebih terperinci bahwa Markus selalu menggambarkan manusia pengikut Yesus sebagai pemula yang jauh dari kesempurnaan. Ini berlaku bahkan untuk kedua belas rasul. Markus, lebih dari Injil lainnya, menampilkan para rasul sebagai orang yang tidak mengerti, bodoh, dan berulang kali mengecewakan Yesus. Hal ini sangat membesarkan hati, karena banyak orang Kristen yang mencoba mengikuti Kristus dalam pekerjaan mereka merasa tidak mampu melakukannya. Berbesar hatilah, Mark menasihati, karena dalam hal ini kita seperti para rasul itu sendiri!

Yohanes Pembaptis (Markus 1:2-11) ditampilkan sebagai utusan Maleakhi 3:1 dan Yesaya 40:3. Dia mengumumkan kedatangan “Tuhan.” Dikombinasikan dengan penunjukan Yesus sebagai “Kristus, Anak Allah” (Markus 1:1), bahasa ini memperjelas bagi pembaca bahwa tema sentral Markus adalah “kerajaan Allah,” meskipun ia menunggu sampai Markus 1:15 untuk menggunakan frasa itu dan menghubungkannya dengan Injil (“kabar baik”). "Kerajaan Allah" bukanlah konsep geografis dalam Markus. Itu adalah pemerintahan Tuhan yang terlihat ketika orang-orang dan bangsa-bangsa berada di bawah pemerintahan Tuhan, melalui pekerjaan Roh yang mengubahkan. Pekerjaan itu ditonjolkan oleh uraian singkat Markus tentang baptisan dan pencobaan Yesus (Markus 1:9-13), yang karena singkatnya menekankan turunnya Roh ke atas Yesus dan peran-Nya dalam mendorong Dia ke dalam (dan mungkin melalui) pencobaan oleh Iblis.

Bagian ini menembus dua konsepsi yang berlawanan, namun populer, tentang kerajaan Allah. Di satu sisi ada gagasan bahwa kerajaan Allah belum ada, dan tidak akan ada sampai Kristus datang kembali untuk memerintah dunia secara langsung. Di bawah pandangan ini, tempat kerja, seperti bagian dunia lainnya, adalah wilayah musuh. Tugas orang Kristen adalah bertahan di wilayah musuh dunia ini cukup lama untuk menginjili, dan menghasilkan laba yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan menyumbang uang bagi gereja. Gagasan lainnya adalah bahwa kerajaan Allah adalah wilayah spiritual batin, tidak ada hubungannya dengan dunia di sekitar kita. Menurut pandangan ini, apa yang dilakukan orang Kristen di tempat kerja, atau di mana pun selain dari gereja dan waktu doa pribadi, bukanlah urusan Allah sama sekali.

Bertentangan dengan kedua gagasan ini, Markus memperjelas bahwa kedatangan Yesus meresmikan kerajaan Allah sebagai realitas saat ini di bumi. Yesus berkata dengan jelas, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Markus 1:15). Kerajaan itu belum digenapi saat ini, tentu saja. Kerajaan ini belum memerintah bumi, dan tidak akan melakukannya sampai Kristus datang kembali. Tapi kerajaan ini ada di sini sekarang, dan itu nyata.

Oleh karena itu, tunduk pada kedaulatan Allah dan mewartakan kerajaan-Nya memiliki konsekuensi yang sangat nyata di dunia sekitar kita. Itu mungkin membawa kita ke dalam kehinaan sosial, konflik, dan, ya, penderitaan. Markus 1:14, seperti Matius 4:12, menarik perhatian kepada pemenjaraan Yohanes dan mengaitkannya dengan permulaan pewartaan Yesus sendiri bahwa “kerajaan Allah sudah dekat” (Markus 1:15). Dengan demikian kerajaan Allah ditetapkan melawan kekuatan dunia, dan sebagai pembaca kita dengan tegas diperlihatkan bahwa melayani Injil dan menghormati Allah belum tentu membawa keberhasilan dalam kehidupan ini. Namun pada saat yang sama, oleh kuasa Roh, umat Kristiani dipanggil untuk melayani Allah demi kepentingan orang-orang di sekitar mereka, seperti yang ditunjukkan oleh penyembuhan yang Yesus lakukan (Markus 1:23-34, 40-45).

Signifikansi radikal dari kedatangan Roh Kudus ke dunia menjadi lebih jelas di kemudian hari dalam Injil melalui kontroversi Beelzebul (Markus 3:20-30). Ini adalah bagian yang sulit, dan kita harus sangat berhati-hati dalam menghadapinya, tetapi hal ini tentu saja bukan tidak penting bagi teologi kerajaan yang mendasari teologi kerja kita. Logika dari bagian ini tampaknya adalah bahwa dengan mengusir setan, Yesus secara efektif membebaskan dunia dari Iblis, yang digambarkan sebagai orang kuat yang sekarang terikat. Seperti Tuhan mereka, orang Kristen dimaksudkan untuk menggunakan kuasa Roh untuk mengubah dunia, bukan untuk melarikan diri dari dunia atau menyesuaikan diri dengannya.

Dipanggilnya Murid-murid yang Pertama (Markus 1:16-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian ini perlu diperlakukan dengan hati-hati: walaupun para murid adalah paradigma kehidupan Kristen, mereka juga menempati posisi unik dalam kisah keselamatan. Dipanggilnya mereka untuk suatu jenis pelayanan yang khas, dan meninggalkan pekerjaan mereka saat ini, tidak membentuk suatu pola universal bagi kehidupan dan panggilan Kristiani. Banyak, bahkan sebagian besar, dari mereka yang mengikut Yesus tidak berhenti dari pekerjaannya untuk melakukannya (lihat Vocation Overview di https://www.teologikerja.org/). Namun demikian, cara-cara agar tuntutan kerajaan Allah bisa menembus dan mengesampingkan prinsip-prinsip umum masyarakat dapat dialihkan kepada dan mencerahkan pekerjaan kita.

Ayat pembukaan Markus 1:16 menampilkan Yesus sebagai pengembara ("ketika Yesus sedang berjalan"), dan Dia memanggil para nelayan ini untuk mengikuti-Nya di jalan. Ini lebih dari sekadar tantangan untuk meninggalkan pendapatan dan stabilitas atau, seperti yang bisa kita katakan, untuk keluar dari "zona nyaman" kita. Penceritaan Markus tentang kejadian ini mencatat suatu detail yang tidak ada dalam Injil lainnya, yaitu, bahwa Yakobus dan Yohanes meninggalkan Zebedeus, ayah mereka, " bersama orang-orang upahannya" (Markus 1:20). Mereka sendiri bukanlah orang upahan atau pekerja harian, melainkan bagian dari bisnis keluarga yang mungkin relatif sukses. Seperti yang dicatat oleh Suzanne Watts Henderson sehubungan dengan tanggapan para murid, “penumpukan keterangan menggarisbawahi bobot penuh dari kata kerja [untuk pergi]: bukan hanya jaring yang tertinggal, tetapi seorang ayah yang memiliki nama, sebuah perahu dan bahkan seluruh perusahaan.”[1] Dalam mengikuti Yesus, para murid ini harus menunjukkan kesediaan untuk membiarkan identitas, status, dan nilai mereka ditentukan terutama dalam hubungannya dengan Dia.

Perikanan adalah industri besar di Galilea, dengan sub-industri pengasinan ikan yang terhubung.[2] Pada saat pergolakan sosial di Galilea, kedua industri yang saling terkait ini saling mendukung dan tetap stabil. Kesediaan para murid untuk meninggalkan stabilitas semacam itu sungguh luar biasa. Stabilitas ekonomi bukan lagi tujuan utama mereka untuk bekerja. Namun di sini pun kita harus berhati-hati. Yesus tidak menolak panggilan duniawi dari orang-orang ini tetapi mengarahkannya ulang. Yesus memanggil Simon dan Andreas untuk menjadi "penjala manusia" (Markus 1:17), dengan demikian menegaskan pekerjaan mereka sebelumnya sebagai gambaran dari peran baru ke mana Dia memanggil mereka. Meskipun kebanyakan orang Kristen tidak dipanggil untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan menjadi pengkhotbah keliling, kita dipanggil untuk membumikan identitas kita di dalam Kristus. Apakah kita meninggalkan pekerjaan kita atau tidak, identitas seorang murid bukan lagi “nelayan”, “pemungut cukai”, atau apa pun kecuali “pengikut Yesus”. Ini menantang kita untuk menahan godaan untuk menjadikan pekerjaan kita sebagai elemen penentu dari perasaan kita tentang siapa diri kita.

Orang yang Lumpuh (Markus 2:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kisah Yesus menyembuhkan orang lumpuh menimbulkan pertanyaan tentang apa arti teologi kerja bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. Orang lumpuh itu, sebelum penyembuhan ini, tidak mampu melakukan pekerjaan yang menghasilkan nafkah bagi dirinya sendiri. Karena itu, dia bergantung pada rahmat dan belas kasihan orang-orang di sekitarnya untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari. Yesus terkesan dengan iman teman-teman pria itu. Keyakinan mereka aktif, menunjukkan kepedulian, belas kasihan, dan persahabatan kepada seseorang yang tidak memiliki baik imbalan finansial maupun hubungan kerja. Dalam keyakinan mereka, tidak ada pemisahan antara menjadi dan melakukan.

Yesus melihat upaya mereka sebagai tindakan iman kolektif. “Ketika Yesus melihat iman mereka, Ia berkata kepada orang lumpuh itu, "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (Markus 2:5). Sayangnya, komunitas iman memainkan peran yang makin kecil dalam kehidupan kerja kebanyakan orang Kristen di dunia Barat modern. Bahkan jika kita menerima bantuan dan dorongan bagi tempat kerja dari gereja kita, itu hampir pasti bantuan dan dorongan individu. Di masa lalu, kebanyakan orang Kristen bekerja bersama orang yang sama yang pergi ke gereja Bersama mereka, sehingga gereja dapat dengan mudah menerapkan ayat-ayat Kitab Suci kepada pekerjaan bersama sebagai buruh, petani, dan pemilik rumah. Sebaliknya, orang-orang Kristen Barat saat ini jarang bekerja di lokasi yang sama dengan orang lain di gereja yang sama. Meskipun demikian, orang Kristen saat ini sering bekerja dalam jenis pekerjaan yang sama dengan orang lain dalam komunitas iman mereka. Jadi mungkin ada kesempatan untuk berbagi tantangan dan peluang pekerjaan mereka dengan orang percaya lain dalam pekerjaan serupa. Namun hal ini jarang terjadi. Kecuali kita menemukan cara bagi kelompok pekerja Kristen untuk saling mendukung, tumbuh bersama, dan mengembangkan semacam komunitas Kristen yang berhubungan dengan pekerjaan, kita kehilangan sifat komunal iman yang sangat penting dalam Markus 2:3-12.

Maka, dalam episode singkat ini, kita mengamati tiga hal: (1) kerja dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi mereka yang tidak dapat menghidupi diri sendiri melalui kerja, maupun mereka yang bisa; (2) iman dan kerja tidak dipisahkan sebagai ada dan berbuat, tetapi menyatu dalam tindakan yang diberdayakan oleh Allah; dan 3) pekerjaan yang dilakukan dengan iman menyerukan komunitas iman untuk mendukungnya.

Dipanggilnya Lewi (Markus 2:13-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pemanggilan Lewi adalah kejadian lain yang terjadi saat Yesus mulai bergerak (Markus 2:13-14). Bagian ini menekankan sifat publik dari pemanggilan ini. Yesus memanggil Lewi saat mengajar orang banyak (Markus 2:14), dan Lewi awalnya terlihat "duduk di rumah cukai". Pekerjaannya akan membuatnya menjadi sosok yang dibenci oleh banyak orang se-zamannya di Galilea. Ada banyak perdebatan tentang seberapa berat perpajakan Romawi dan Herodes dirasakan di Galilea, tetapi sebagian besar berpendapat bahwa masalah itu cukup menyakitkan. Pengumpulan pajak secara nyata dikontrakkan kepada pemungut pajak swasta. Seorang pemungut pajak membayar pajak untuk seluruh wilayahnya di muka, dan kemudian mengumpulkan pajak individu dari rakyat. Untuk membuat hal ini menguntungkan, dia harus membebankan biaya kepada penduduk lebih dari tarif pajak yang sebenarnya dan pemungut pajak mengantongi keuntungannya. Oleh karena itu, otoritas Romawi mendelegasikan pekerjaan pengumpulan pajak yang sensitif secara politik kepada anggota komunitas lokal, tetapi hal itu menyebabkan tingkat pajak efektif yang tinggi, dan membuka pintu bagi segala jenis korupsi.[1] Sepertinya ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya tanah di Galilea, karena pemilik tanah mengambil pinjaman untuk membayar pajak moneter dan kemudian, jika panen mereka buruk, kehilangan properti mereka sebagai jaminan. Fakta bahwa pada awalnya kita bertemu dengan Lewi di rumah cukainya berarti bahwa dia, pada dasarnya, adalah simbol hidup pendudukan Romawi dan pengingat akan fakta bahwa beberapa orang Yahudi rela berkolaborasi dengan bangsa Romawi. Tautan yang dibuat dalam Markus 2:16 antara pemungut cukai dan "orang berdosa" memperkuat asosiasi negatif.[2]

Saat Lukas menekankan bahwa Lewi meninggalkan segalanya untuk menjawab panggilan Yesus (Lukas 5:28), Markus hanya menceritakan bahwa Lewi mengikuti-Nya. Pemungut cukai itu kemudian mengadakan perjamuan, membuka rumahnya untuk Yesus, murid-murid-Nya, dan kelompok campuran yang mencakup pemungut cukai lainnya dan "orang-orang berdosa". Walaupun gambaran tersebut mengisyaratkan tentang seorang pria yang berusaha untuk membagikan Injil kepada rekan-rekan bisnisnya, kenyataannya mungkin sedikit lebih halus. "Komunitas" Levi terdiri dari rekan-rekannya dan orang lain yang, sebagai "pendosa", dijauhi oleh tokoh-tokoh terkemuka di komunitas. Dengan kata lain, pekerjaan mereka menjadikan mereka bagian dari sub-komunitas yang memiliki hubungan sosial berkualitas tinggi secara internal, tetapi hubungan berkualitas rendah dengan komunitas di sekitar mereka. Hal ini berlaku untuk banyak jenis pekerjaan saat ini. Rekan kerja kita mungkin jauh lebih terbuka kepada kita daripada tetangga kita. Menjadi anggota komunitas kerja dapat membantu kita memfasilitasi perjumpaan dengan realitas Injil bagi rekan kerja kita. Menariknya, keramahtamahan makan bersama adalah bagian utama dari pelayanan Yesus dan memberi gagasan cara konkret untuk mengadakan perjumpaan semacam itu. Keramahtamahan makan siang bersama rekan kerja, joging bersama atau berolahraga di gym, atau minum bersama setelah bekerja dapat membangun hubungan yang lebih dalam dengan rekan kerja kita. Persahabatan ini memiliki nilai abadi, dan melalui mereka Roh Kudus dapat membuka pintu bagi semacam penginjilan persahabatan.

Ini menimbulkan pertanyaan. Jika orang Kristen hari ini mengadakan jamuan makan dengan rekan-rekan kerja, teman-teman dari lingkungan mereka, dan teman-teman gereja mereka, apa yang akan mereka bicarakan? Iman Kristen berbicara banyak tentang bagaimana menjadi pekerja yang baik dan bagaimana menjadi tetangga yang baik. Tetapi apakah orang Kristen tahu bagaimana berbicara tentang mereka dalam bahasa yang sama yang dapat dimengerti oleh rekan dan tetangga mereka? Jika percakapan beralih ke tempat kerja atau topik kemasyarakatan seperti pencarian kerja, layanan pelanggan, pajak properti atau zonasi, apakah kita dapat berbicara secara bermakna kepada orang yang tidak percaya tentang bagaimana konsep Kristen berlaku untuk masalah seperti itu? Apakah gereja kita memperlengkapi kita untuk percakapan ini? Tampaknya Lewi — atau Yesus — mampu berbicara secara bermakna tentang bagaimana pesan Yesus diterapkan pada kehidupan orang-orang yang berkumpul di sana.

Pertanyaan perpajakan akan muncul nanti dalam Injil ini dan beberapa pertanyaan kita tentang sikap Yesus terhadapnya kita tunda sampai saat itu.

Keduabelas Murid (Markus 3:13-19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selain kisah tentang pemanggilan murid-murid tertentu, ada juga kisah tentang ditunjuknya para rasul. Ada hal penting yang perlu diperhatikan dalam Markus 3:13-14, yaitu bahwa keduabelas murid ini merupakan kelompok khusus dalam komunitas murid yang lebih luas. Keunikan jabatan kerasulan mereka penting. Mereka dipanggil untuk suatu bentuk pelayanan yang khas, yang mungkin berbeda secara signifikan dari pengalaman kebanyakan kita. Jika kita ingin menarik pelajaran dari pengalaman dan peran para murid, maka itu harus melalui pengakuan tentang bagaimana tindakan dan keyakinan mereka berhubungan dengan kerajaan, bukan hanya fakta bahwa mereka meninggalkan pekerjaan mereka untuk mengikuti Yesus.

Kualifikasi yang tercantum untuk Simon, Yakobus, Yohanes, dan Yudas dalam Markus 3:16-19 relevan di sini. Nama Simon, tentu saja, dilengkapi dengan nama baru yang diberikan kepadanya oleh Yesus, "Petrus", yang sangat mirip dengan kata Yunani untuk "batu karang" (petros). Orang pasti bertanya-tanya apakah ada ironi tertentu dan janji tertentu dalam nama itu. Simon, yang berubah-ubah dan tidak stabil seperti yang terbukti kemudian, dinamai Batu Karang, dan suatu hari dia akan hidup sesuai dengan nama itu. Seperti dia, pelayanan kita kepada Allah di tempat kerja kita, sama halnya di tempat lain dalam hidup kita, tidak akan menjadi sempurna seketika, melainkan akan mengalami kegagalan dan pertumbuhan. Ini adalah pemikiran yang membantu pada saat kita merasa telah gagal dan membawa kerajaan ke dalam hal-hal buruk dalam prosesnya.

Sama seperti Simon diberi nama baru, begitu pula anak-anak Zebedeus, yang disebut sebagai “Anak-anak Guruh” (Markus 3:17). Itu adalah nama panggilan yang unik, dan terdengar lucu, tetapi juga sangat mungkin mengambil karakter atau kepribadian kedua pria ini.[7] Menarik bahwa kepribadian dan tipe kepribadian tidak dihilangkan dengan penyertaan dalam kerajaan. Ini menembus ke dua arah. Di satu sisi, kepribadian kita terus menjadi bagian dari identitas kita di dalam kerajaan, dan perwujudan kerajaan kita di tempat kerja kita terus dimediasi melalui kepribadian itu. Godaan untuk menemukan identitas kita dalam beberapa stereotip, bahkan stereotip Kristen, ditantang oleh hal ini. Namun, pada saat yang sama, kepribadian kita mungkin ditandai oleh unsur-unsur yang seharusnya ditantang oleh Injil. Ada petunjuk tentang hal ini dalam gelar yang diberikan kepada putra-putra Zebedeus, karena itu menunjukkan sifat pemarah atau kecenderungan konflik dan, meskipun nama itu diberikan dengan rasa sayang, itu mungkin bukan nama panggilan yang bisa dibanggakan.

Masalah kepribadian memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang penerapan iman Kristen dalam pekerjaan kita. Sebagian besar dari kita mungkin akan mengatakan bahwa pengalaman kerja kita, baik maupun buruk, sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang-orang di sekitar kita. Seringkali kualitas karakter yang membuat seseorang menjadi rekan kerja yang menginspirasi dan memberi energi dapat membuat orang tersebut menjadi orang yang sulit. Seorang pekerja yang termotivasi dan bersemangat mungkin mudah teralihkan oleh proyek-proyek baru, atau mungkin cenderung membentuk opini dengan cepat (dan mengungkapkannya dengan cepat). Kepribadian kita sendiri memainkan peran besar juga. Kita mungkin menganggap orang lain mudah diajak bekerja sama atau sulit, berdasarkan kepribadian kita dan juga kepribadian mereka. Demikian pula, orang lain mungkin menganggap kita mudah atau sulit diajak bekerja sama.

Tapi itu lebih dari masalah bergaul dengan orang lain dengan mudah. Kepribadian kita yang khas membentuk kemampuan kita untuk berkontribusi pada pekerjaan organisasi kita — dan melaluinya kepada pekerjaan kerajaan Allah — baik atau buruk. Kepribadian memberi kita kekuatan dan kelemahan. Sampai taraf tertentu, mengikuti Kristus berarti membiarkan Dia mengekang ekses-ekses kepribadian kita, seperti ketika Dia menegur Anak-anak Guruh karena ambisi mereka yang salah arah untuk duduk di tangan kanan dan kiri-Nya (Markus 10:35-45). Pada saat yang sama, orang Kristen sering keliru dengan menetapkan ciri-ciri kepribadian tertentu sebagai model universal. Beberapa komunitas Kristen memiliki sifat-sifat istimewa seperti ekstroversi, kelembutan, keengganan untuk menggunakan kekuasaan, atau – yang lebih gelap - kasar, tidak toleran, dan mudah tertipu. Beberapa orang Kristen menemukan bahwa ciri-ciri yang membuat mereka bagus dalam pekerjaan mereka — ketegasan, skeptisisme tentang dogma, atau ambisi, misalnya — membuat mereka merasa bersalah atau terpinggirkan di gereja. Mencoba untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita, dalam arti mencoba menyesuaikan stereotip tentang seperti apa seharusnya seorang Kristen di tempat kerja, bisa sangat bermasalah dan dapat membuat orang lain merasa bahwa kita tidak tulus apa adanya. Kita mungkin dipanggil untuk meniru Kristus (Filipi 2:5) dan para pemimpin kita (Ibrani 13:7), tetapi ini adalah masalah meniru kebajikan, bukan kepribadian. Bagaimanapun, Yesus memilih orang-orang dengan berbagai kepribadian sebagai teman dan pekerja-Nya. Banyak alat yang tersedia untuk membantu individu dan organisasi memanfaatkan berbagai karakteristik kepribadian dengan lebih baik sehubungan dengan pengambilan keputusan, pilihan karir, kinerja kelompok, resolusi konflik, kepemimpinan, hubungan di tempat kerja, dan faktor-faktor lainnya.

Walaupun di satu tingkat hal ini perlu dikaitkan dengan teologi kekayaan atau properti, di tingkat lain hal ini perlu dikaitkan dengan titik di mana teologi gereja dan pekerjaan bertemu. Selalu menggoda, dan bahkan tampak seperti kewajiban, untuk mempertahankan jaringan orang Kristen di lingkungan kerja dan berusaha untuk saling mendukung. Meskipun patut dipuji, perlu ada realitas tertentu yang disuntikkan ke dalam hal ini. Beberapa dari mereka yang menampilkan diri sebagai pengikut Yesus mungkin, pada kenyataannya, hatinya kurang benar, dan ini dapat mempengaruhi pendapat yang mereka anjurkan. Pada saat-saat seperti itu, tanggung jawab kita sebagai orang Kristen adalah siap untuk saling menantang satu sama lain dalam kasih, untuk meminta pertanggungjawaban satu sama lain, apakah kita benar-benar beroperasi sesuai dengan standar kerajaan.

Pemuridan dalam Proses (Markus 4:35-41; 6: 45-52; 8:14-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Injil Markus, lebih dari Injil lainnya, menyoroti ketidaktahuan, kelemahan, dan keegoisan para murid. Ini terjadi terlepas dari banyak hal baik yang dikatakan Markus tentang mereka, termasuk tanggapan mereka terhadap panggilan pertama Yesus (Markus 1:16-20) dan pengutusan-Nya atas mereka (Markus 6:7-13).[1]

Insiden-insiden dan perangkat narasi tertentu mengembangkan potret ini. Salah satunya adalah pengulangan adegan perahu (Markus 4:35-41; 6:45-52; 8:14-21), yang sejajar satu sama lain dalam menekankan ketidakmampuan para murid untuk benar-benar memahami kuasa dan otoritas Yesus. Adegan kapal terakhir diikuti oleh penyembuhan dua tahap yang tidak biasa dari seorang buta (Markus 8:22-26), yang mungkin berfungsi sebagai semacam metafora naratif untuk satu-satunya penglihatan parsial para murid mengenai Yesus.[2] Kemudian diikuti pengakuan Petrus akan Kristus (Markus 8:27-33), dengan momen wawasannya yang dramatis diikuti segera oleh kebutaan rohani bagaikan Iblis di pihak sang rasul. Pemahaman terbatas para murid tentang identitas Yesus cocok dengan pemahaman mereka yang terbatas tentang pesannya. Mereka terus menginginkan kekuasaan dan status (Markus 9:33-37; 10:13-16; dan 10:35-45). Yesus menantang mereka beberapa kali karena kegagalan mereka untuk menyadari bahwa mengikuti Dia membutuhkan sikap dasar pengorbanan diri. Yang paling jelas, tentu saja, para murid meninggalkan Yesus pada saat penangkapan dan pengadilan-Nya (Markus 14:50-51). Disandingkannya penyangkalan Petrus yang terjadi tiga kali (Markus 14:66-72) dengan kematian Yesus membuat kontras kepengecutan dan keberanian kedua pria itu, masing-masing, menjadi lebih tajam.

Namun Petrus dan yang lainnya kemudian terus memimpin gereja secara efektif. Malaikat yang berbicara kepada para wanita setelah kebangkitan (Markus 16:6-7) memberi mereka pesan kepada para murid (dan Petrus dipilih!), menjanjikan pertemuan lebih lanjut dengan Yesus yang telah bangkit. Para murid akan menjadi sangat berbeda setelah perjumpaan ini, sebuah fakta yang tidak dieksplorasi oleh Markus tetapi dikembangkan dengan baik dalam Kisah Para Rasul, sehingga kebangkitan adalah peristiwa kunci yang mempengaruhi perubahan tersebut.

Apa relevansi hal ini terhadap kerja? Secara sederhana dan jelas, bahwa sebagai murid-murid Yesus yang harus melakukan pekerjaan kita sendiri, kita tidak sempurna dan dalam proses. Akan ada banyak hal yang mengharuskan kita untuk bertobat, sikap-sikap yang salah dan perlu diubah. Secara signifikan, kita harus menyadari bahwa, seperti para murid, kita mungkin salah dalam banyak hal yang kita yakini dan pikirkan, bahkan tentang masalah Injil. Oleh karena itu, setiap hari, kita harus dengan penuh doa merenungkan bagaimana kita mewujudkan kedaulatan Allah dan siap menunjukkan pertobatan atas kekurangan kita dalam hal ini. Kita mungkin merasa tergoda untuk menggambarkan diri kita sebagai orang benar, bijaksana, dan terampil di tempat kerja kita, sebagai saksi kebenaran, hikmat, dan keunggulan Yesus. Tetapi akan menjadi kesaksian yang lebih jujur dan lebih kuat untuk menggambarkan diri kita apa adanya — sebagai seseorang yang sedang berproses, bisa salah, dan agak berpusat pada diri sendiri, sebagai bukti kemurahan Yesus ketimbang menunjukkan karakter-Nya. Maka kesaksian kita adalah mengundang rekan kerja kita untuk bertumbuh bersama kita di jalan Allah, ketimbang menjadi seperti kita. Tentu saja, kita perlu melatih diri kita dengan keras untuk bertumbuh di dalam Kristus. Kemurahan Allah bukanlah alasan untuk berpuas diri dalam dosa kita.