Bootstrap

Roma dan Kerja

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Romans

Pengantar Kepada Kitab Roma

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Surat Paulus kepada jemaat di Roma terkenal karena visinya akan tindakan Allah yang penuh kemurahan terhadap umat manusia melalui salib dan kebangkitan Kristus. “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya” (Rm. 1:16). Ada sesuatu yang sangat keliru tentang diri kita secara individu, dan tentang dunia secara keseluruhan, yang darinya kita perlu diselamatkan, dan kitab Roma mengajarkan kepada kita bagaimana Allah menyelamatkan kita darinya.

Surat Roma sangat teologis, namun tidak abstrak. Keselamatan dari Allah bukanlah sebuah konsep yang diperbincangkan secara analitis dalam surat Roma, namun sebuah panggilan untuk bertindak (Rm. 6:22). Paulus menceritakan bagaimana keselamatan Allah mempengaruhi hikmat kita, kejujuran kita, hubungan kita, penilaian kita, kemampuan kita untuk menanggung kemunduran, karakter kita, dan pemikiran etis kita, yang semuanya penting bagi kerja kita. Di sinilah, dalam seluk beluk hubungan antarmanusia dan keinginan untuk melakukan pekerjaan baik, keselamatan Allah terjadi dalam dunia kita.

Ditulis di sekitar masa pemerintahan Kaisar Romawi Nero (54–68 M), surat kepada jemaat di Roma ini memuat tanda-tanda kegelapan dan bahaya yang menyelimuti gereja-gereja rumah di Roma, yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang bertobat kepada Kristus. Beberapa anggota jemaat Yahudi telah diasingkan berdasarkan dekrit Kaisar Claudius pada tahun 49 dan baru saja kembali, mungkin telah kehilangan harta benda dan stabilitas keuangan mereka sementara itu (Kisah 18:2). Sentimen anti-Yahudi dalam budaya Romawi yang lebih luas tentunya memberikan tekanan terhadap gereja-gereja Kristen. Refleksi panjang Paulus mengenai kesetiaan Allah kepada orang Yahudi dan non-Yahudi dalam surat ini bukanlah suatu refleksi abstrak tentang jalan-jalan Allah, namun suatu refleksi teologis yang terampil mengenai peristiwa-peristiwa sejarah dan konsekuensi-konsekuensinya. Hasilnya adalah seperangkat alat praktis untuk membuat keputusan moral yang membawa pada kualitas hidup baru di setiap tempat dimana orang tinggal dan bekerja.

Surat kepada jemaat di Roma mempunyai arti yang luar biasa penting dalam perkembangan teologi Kristen. Sekedar contoh saja, Martin Luther memutuskan hubungan dengan Paus Leo X terutama karena ketidaksetujuannya atas apa yang ia anggap sebagai pemahaman Katolik Roma tentang surat Roma. Dan tulisan Karl Barth Epistle to the Romans bisa dibilang merupakan karya teologis paling berpengaruh di abad ke-20.[1] Dalam dua puluh lima atau tiga puluh tahun terakhir, perdebatan teologis besar mengenai hubungan antara keselamatan dan perbuatan baik telah muncul mengenai surat Roma dan surat-surat Paulus lainnya, yang sering disebut Perspektif Baru tentang Paulus. Tafsiran-tafsiran umum mengenai kitab Roma mengeksplorasi isu-isu ini secara panjang lebar. Kita akan fokus secara khusus pada kontribusi surat ini terhadap teologi kerja. Tentu saja, kita perlu memiliki pemahaman dasar mengenai poin-poin umum Paulus sebelum menerapkannya dalam kerja, sehingga kita akan melakukan sejumlah eksplorasi teologis umum jika diperlukan.

Injil Keselamatan—Panggilan Paulus (Roma 1:1–17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat pembuka kitab Roma mengumumkan panggilan Paulus sendiri, pekerjaan yang Allah panggil untuk ia lakukan: mewartakan Injil Allah dalam perkataan dan perbuatan. Jadi apakah Injil Allah itu? Paulus mengatakan bahwa Injil Allah adalah “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman." (Rom. 1:17 TB). Bagi Paulus, Injil lebih dari sekedar kata-kata—injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan. Ia menekankan bahwa keselamatan ini bukan hanya untuk satu kelompok orang tetapi dimaksudkan untuk menolong siapa pun di bumi untuk menjadi umat Allah, melalui iman. Maka, kitab Roma terutama membahas tentang keselamatan dari Allah.

Apakah keselamatan itu? Keselamatan adalah karya Allah yang menempatkan manusia dalam hubungan yang benar dengan Allah dan dengan satu sama lain. Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, kita diselamatkan dari hubungan yang rusak—dengan Allah dan dengan sesama—yang melepaskan kekuatan jahat berupa dosa dan kematian ke dunia. Karenanya, keselamatan pertama-tama adalah disembuhkannya hubungan yang rusak, dimulai dengan penyembuhan yang mendamaikan Sang Pencipta dan ciptaan, Allah dan kita. Rekonsiliasi kita dengan Allah mengakibatkan kita terbebas dari dosa dan hidup baru yang tidak dibatasi oleh kematian.

Orang-orang Kristen terkadang mereduksi Injil keselamatan Paulus menjadi sesuatu seperti, “Percayalah kepada Yesus sehingga Anda secara pribadi bisa masuk surga ketika Anda meninggal.” Ini memang benar, namun sangat tidak memadai. Pertama-tama, pernyataan seperti itu tidak mengatakan apa pun tentang relasi selain antara individu dan Allah, namun Paulus tidak pernah berhenti berbicara tentang hubungan antar manusia dan antara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Dan Paulus mengatakan lebih banyak lagi tentang iman, tentang kehidupan di dalam Yesus, tentang kerajaan Allah, dan tentang kualitas hidup sebelum dan sesudah kematian ketimbang yang dapat diringkas dalam satu slogan.

Demikian pula keselamatan tidak dapat direduksi menjadi satu momen saja. Paulus mengatakan bahwa kita “diselamatkan” (Rm. 8:24) dan bahwa kita “akan diselamatkan” (misalnya, Rm. 5:9). Keselamatan adalah suatu proses yang terus-menerus dan bukan suatu peristiwa yang terjadi sekali saja. Allah berinteraksi dengan setiap orang dalam tarian rahmat ilahi dan kesetiaan manusia sepanjang waktu. Tentu saja ada saat-saat yang menentukan dalam proses diselamatkan. Momen sentralnya adalah kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitan dari antara orang mati. Kita “diperdamaikan dengan Allah melalui kematian Anak-Nya,” kata Paulus kepada kita (Rm. 5:10), dan “Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana” (Rm. 8:11).

Masing-masing dari kita mungkin juga menganggap saat pertama kali kita mengatakan kita percaya kepada Kristus sebagai momen yang menentukan dalam keselamatan kita. Namun surat Roma tidak pernah berbicara tentang momen keselamatan pribadi, seolah-olah keselamatan terjadi pada kita di masa lalu dan sekarang berada dalam penyimpanan sampai Kristus datang kembali. Paulus menggunakan bentuk lampau keselamatan hanya untuk berbicara tentang kematian dan kebangkitan Kristus, yaitu momen ketika Kristus membawa keselamatan kepada dunia. Ketika membahas setiap orang percaya, Paulus berbicara tentang proses keselamatan yang berkelanjutan, selalu dalam bentuk waktu sekarang atau masa depan. “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku sehingga diselamatkan” (Rm. 10:10). Bukan “percaya” dan “mengaku,” dalam bentuk lampau, tapi “percaya” dan “mengaku,” dalam bentuk sekarang. Hal ini mengarah langsung kepada, “siapa saja yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan,” dalam bentuk kalimat masa depan (Rm. 10:13). Keselamatan bukanlah sesuatu yang diberikan kepada kita. Keselamatan terus menerus diberikan kepada kita.

Kita bersusah payah menekankan tindakan keselamatan yang berkelanjutan karena kerja adalah salah satu tempat utama di mana kita bertindak dalam kehidupan. Jika keselamatan adalah sesuatu yang hanya terjadi pada kita di masa lalu, maka apa yang kita lakukan di tempat kerja (atau di mana pun dalam hidup) tidak akan relevan. Namun jika keselamatan adalah sesuatu yang terus terjadi dalam hidup kita, maka itu akan membuahkan hasil dalam pekerjaan kita. Lebih tepatnya, karena keselamatan adalah rekonsiliasi dari hubungan-hubungan yang rusak, maka hubungan kita dengan Allah, dengan sesama, dan dengan dunia ciptaan (seperti di mana pun dalam hidup) akan menjadi lebih baik seiring dengan berjalannya proses keselamatan. Sebagai contoh saja, keselamatan kita terlihat ketika kita berani mengungkapkan kebenaran yang tidak populer, mendengarkan pandangan orang lain dengan penuh belas kasihan, membantu rekan kerja mencapai tujuan mereka, dan menghasilkan produk kerja yang membantu orang lain berkembang.

Apakah ini berarti kita harus bekerja—dan terus bekerja—untuk diselamatkan? Sama sekali tidak! Keselamatan datang hanya melalui “anugerah Allah dan karunia-Nya yang dilimpahkan-Nya atas banyak orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Rm. 5:15). Hal itu “berdasarkan iman” (Rm. 4:16) dan bukan pada yang lain. Seperti yang dikatakan N. T. Wright, “Bahasa atau terminologi apa pun yang kita gunakan untuk berbicara tentang anugerah besar yang telah diberikan oleh satu-satunya Allah yang benar kepada umat-Nya di dalam dan melalui Yesus Kristus, itu tetaplah sebuah anugerah. Itu bukanlah sesuatu yang bisa kita upayakan. Kita tidak akan pernah bisa membuat Allah berhutang kepada kita; kita selalu berhutang kepada-Nya.”[1] Kita tidak bekerja untuk diselamatkan. Namun karena kita diselamatkan, kita melakukan pekerjaan yang menghasilkan buah bagi Allah (Rm. 7:4). Kita akan kembali ke pertanyaan tentang bagaimana keselamatan diberikan kepada kita dalam bagian “Penghakiman, Keadilan, dan Iman” di bawah dalam Roma 3.

Singkatnya, keselamatan adalah karya utama Kristus di dunia, tujuan yang selalu “dikejar” oleh orang-orang percaya, seperti yang Paulus katakan (Filipi 3:12). Keselamatan mendasari segala sesuatu yang Paulus dan semua orang percaya lakukan dalam pekerjaan dan kehidupan.

Kebutuhan Kita Akan Keselamatan Dalam Hidup dan Pekerjaan (Roma 1:18–1:32)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita melihat dalam Roma 1:1–17 bahwa keselamatan dimulai dengan rekonsiliasi kepada Allah. Manusia menjadi terasing dari Allah karena “kefasikan dan kelaliman” mereka (Rm. 1:18). “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya`” (Rm. 1:21). Kita diciptakan untuk berjalan dalam keintiman dengan Allah di antara makhluk-makhluk di Taman Eden (Kejadian 1-2), namun hubungan kita dengan Allah menjadi begitu rusak sehingga kita tidak lagi mengenali Allah. Paulus menyebut keadaan ini sebagai “pikiran-pikiran yang terkutuk” (Rm. 1:28).

Karena tidak mempunyai pikiran untuk tetap berada di hadirat Allah yang sebenarnya, kita mencoba membuat ilah-ilah kita sendiri. Kita telah “menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang melata” (Rm. 1:23). Hubungan kita dengan Allah sangat rusak sehingga kita tidak bisa membedakan antara berjalan bersama Allah dan mengukir berhala. Ketika hubungan kita yang sebenarnya dengan Allah yang benar terputus, kita menciptakan hubungan palsu dengan ilah-ilah palsu. Jadi, penyembahan berhala bukan sekedar salah satu dosa di antara dosa-dosa lainnya, namun merupakan inti dari suatu hubungan yang rusak dengan Allah. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai penyembahan berhala, lihat “Jangan membuat bagimu berhala,” Keluaran 20:4, di https://www.teologikerja.org/.)

Ketika hubungan kita dengan Allah rusak, maka hubungan kita dengan sesama pun ikut rusak. Paulus menyebutkan beberapa aspek rusaknya hubungan manusia yang terjadi kemudian.

Penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak berakal budi, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan. (Rm. 1:29–31)

Kita mengalami hampir semua bentuk hubungan yang rusak di tempat kerja. Ketamakan, perselisihan, dan iri hati terhadap posisi atau gaji orang lain, kedengkian dan pemberontakan terhadap mereka yang berotoritas, gosip dan fitnah terhadap rekan kerja dan pesaing, kebohongan dan ketidaksetiaan dalam komunikasi dan komitmen, sikap kurang ajar, keangkuhan, dan kesombongan dari orang-orang yang mengalami kesuksesan, kebodohan dalam mengambil keputusan, tidak berperasaan dan kejamnya mereka yang berkuasa. Tentu saja tidak setiap saat. Beberapa tempat kerja lebih baik dan beberapa lebih buruk. Namun setiap tempat kerja mengetahui konsekuensi dari rusaknya hubungan. Kita semua menderita karenanya. Kita semua berkontribusi dalam menyebabkan hal tersebut.

Kita bahkan mungkin memperparah masalah dengan menjadikan pekerjaan itu sebagai idola, mengabdikan diri kita untuk bekerja dengan harapan sia-sia bahwa pekerjaan itu sendiri akan memberi kita makna, tujuan, keamanan, atau kebahagiaan. Mungkin hal ini tampaknya berhasil untuk sementara waktu, sampai kita tidak lagi dipromosikan atau dipecat, diberhentikan, atau pensiun. Kemudian kita menyadari bahwa pekerjaan akan segera berakhir, dan sementara itu kita telah menjadi orang asing bagi keluarga dan teman-teman kita. Seperti “manusia fana, burung, binatang berkaki empat, dan binatang melata,” pekerjaan diciptakan oleh Allah (Kej. 2:15) dan pada dasarnya baik, namun menjadi jahat ketika ditinggikan derajatnya ke tempat Allah.

Semua Orang Telah Berdosa (Roma 2–3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yang menyedihkan, kehancuran ini bahkan meluas hingga ke tempat kerja Paulus sendiri, gereja Kristen, dan khususnya umat Kristen di Roma. Meskipun mereka adalah umat Allah sendiri (Rm. 9:25), “dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus” (Rm. 1:7), umat Kristen di Roma mengalami perpecahan dalam hubungan mereka satu sama lain. Secara khusus, orang Kristen Yahudi menghakimi orang Kristen non-Yahudi karena tidak memenuhi harapan mereka sendiri, dan sebaliknya. “Tetapi kita tahu bahwa hukuman Allah berlangsung secara adil atas mereka yang berbuat demikian,’” Paulus mencatat (Rm. 2:2). Masing-masing pihak mengklaim bahwa mereka mengetahui penghakiman Allah dan berbicara atas nama Allah. Mengklaim berbicara atas nama Allah membuat perkataan mereka sendiri menjadi berhala, menggambarkan secara mini bagaimana penyembahan berhala (putusnya hubungan dengan Allah) berujung pada penghakiman (putusnya hubungan dengan orang lain).

Kedua belah pihak salah. Kenyataannya adalah baik orang-orang non-Yahudi maupun Yahudi telah menyimpang dari Allah. Orang-orang non-Yahudi, yang seharusnya mengakui kedaulatan Allah atas ciptaan itu sendiri, malah menyerahkan diri mereka kepada penyembahan berhala dan semua perilaku merusak yang diakibatkan oleh kesalahan mendasar ini (Rm. 1:18-32). Sebaliknya, orang-orang Yahudi menjadi kaum yang suka menghakimi, munafik, dan sombong karena mereka adalah penganut Taurat. Paulus merangkum kedua situasi tersebut dengan mengatakan, “Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi berdasarkan hukum Taurat” (Rm. 2:12).

Namun inti masalahnya bukanlah bahwa masing-masing pihak salah memahami harapan Allah. Masalahnya adalah masing-masing pihak saling menghakimi, menghancurkan hubungan yang telah diciptakan Allah. Penting untuk mengenali peran penghakiman dalam argumen Paulus. Penghakiman menyebabkan rusaknya hubungan. Dosa-dosa spesifik yang disebutkan dalam Roma 1:29-31 bukanlah penyebab rusaknya hubungan kita, namun akibat yang ditimbulkannya. Penyebab rusaknya hubungan kita adalah penyembahan berhala (terhadap Allah) dan penghakiman (terhadap manusia). Bahkan, penyembahan berhala dapat dipahami sebagai suatu bentuk penghakiman, penghakiman bahwa Allah tidak memadai dan bahwa kita sendiri dapat menciptakan ilah yang lebih baik. Oleh karena itu, perhatian utama Paulus dalam pasal 2 dan 3 adalah penghakiman kita terhadap orang lain.

Karena itu, hai manusia, siapa pun engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak mempunyai dasar untuk membela diri. Sebab, dengan menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu bahwa hukuman Allah berlangsung secara adil atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, apakah engkau sangka bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah? (Rm. 2:1–3)

Jika kita bertanya-tanya apa yang telah kita lakukan yang membuat kita membutuhkan keselamatan, jawabannya terutama adalah penghakiman dan penyembahan berhala, menurut Paulus. Kita menghakimi orang lain, meskipun kita tidak punya hak untuk melakukannya, dan dengan demikian kita menjatuhkan penghakiman Allah kepada diri kita sendiri saat Dia berupaya memulihkan keadilan sejati. Jika menggunakan metafora modern, hal ini seperti Mahkamah Agung yang menjatuhkan hakim korup di pengadilan yang lebih rendah yang bahkan tidak mempunyai yurisdiksi.

Apakah ini berarti bahwa orang Kristen tidak boleh menilai tindakan seseorang atau menentang orang lain di tempat kerja? Tidak. Karena kita bekerja sebagai agen Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menilai apakah hal-hal yang terjadi di tempat kerja kita mendukung atau menghalangi tujuan Allah dan bertindak sesuai dengan itu (lihat Roma 12:9–13:7 untuk beberapa contoh dari Paulus). Seorang supervisor mungkin perlu mendisiplinkan atau memecat karyawan yang tidak melakukan pekerjaannya dengan memuaskan. Seorang pekerja mungkin perlu melangkahi atasannya untuk melaporkan pelanggaran etika atau kebijakan. Seorang guru mungkin perlu memberi nilai rendah. Seorang pemilih atau politisi mungkin perlu menentang seorang kandidat. Seorang aktivis mungkin perlu memprotes ketidakadilan yang dilakukan perusahaan atau pemerintah. Seorang siswa mungkin perlu melaporkan kecurangan yang dilakukan siswa lain. Korban pelecehan atau diskriminasi mungkin perlu memutuskan kontak dengan pelaku.

Karena kita bertanggung jawab kepada Allah atas hasil pekerjaan kita dan integritas tempat kerja kita, kita perlu menilai tindakan dan niat orang-orang serta mengambil tindakan untuk mencegah ketidakadilan dan melakukan pekerjaan baik. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita menilai kelayakan orang lain sebagai manusia atau menganggap diri kita lebih unggul secara moral. Bahkan ketika kita menentang tindakan orang lain, kita tidak menghakimi mereka.

Terkadang sulit untuk membedakannya, namun Paulus memberi kita beberapa panduan yang ternyata praktis. Hormati hati nurani orang lain. Allah telah menciptakan semua orang sedemikian rupa sehingga “isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi” (Rm. 2:15). Jika orang lain benar-benar mengikuti hati nuraninya, maka bukan tugas Anda untuk menghakimi mereka. Namun jika Anda menempatkan diri Anda sebagai orang yang lebih unggul secara moral, menyalahkan orang lain karena mengikuti pedoman moral mereka sendiri, Anda mungkin sedang menghakimi dengan cara yang “engkau sendiri tidak mempunyai dasar” (Rm. 2:1).

Penghakiman, Sumber Rusaknya Hubungan (Roma 3:1–20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa yang dapat dilakukan terhadap dunia yang terdiri dari orang-orang yang terpisah dari Allah karena penyembahan berhala dan satu sama lain karena penghakiman? Keadilan Allah yang sejati adalah jawabannya. Dalam Roma 3, ketika Paulus menggambarkan apa yang terjadi dalam keselamatan, ia menempatkannya dalam konteks keadilan Allah. “Ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah” (Rm. 3:5).

Sebelum melanjutkan, kita perlu menjelaskan sedikit tentang terminologi keadilan dan kebenaran. Paulus menggunakan kata Yunani dikaiosynē untuk keadilan, dan berbagai bentuknya, sebanyak tiga puluh enam kali dalam kitab Roma. Kata ini paling sering diterjemahkan sebagai “kebenaran” dan lebih jarang diterjemahkan sebagai “keadilan” (atau “pembenaran”). Namun keduanya sama dalam bahasa Paulus. Penggunaan utama dikaiosynē adalah di pengadilan, di mana orang mencari keadilan untuk memulihkan situasi yang tidak benar. Oleh karena itu, keselamatan berarti dibenarkan di hadapan Allah (kebenaran) dan di hadapan sesama serta seluruh ciptaan (keadilan). Eksplorasi sepenuhnya mengenai hubungan antara kata keselamatan, pembenaran, kebenaran, dan keselamatan berada di luar cakupan pasal ini tetapi akan dibahas dalam tafsiran umum mana pun mengenai Roma.[1]

Jika hal ini tampak abstrak, bertanyalah kepada diri Anda apakah Anda dapat melihat implikasi nyata dalam praktiknya. Apakah memang penilaian (yang salah) yang dibuat orang terhadap satu sama lain merupakan akar dari rusaknya hubungan dan ketidakadilan di tempat Anda bekerja? Misalnya, jika seorang manajer dan karyawan tidak sepakat mengenai penilaian kinerja karyawan, manakah yang menyebabkan kerugian lebih besar—kesenjangan kinerja itu sendiri atau permusuhan yang timbul dari penilaian mereka? Atau jika seseorang bergosip tentang orang lain di tempat kerja, mana yang menyebabkan kerugian lebih besar—rasa malu terhadap hal yang digosipkan atau rasa tidak suka terhadap penilaian yang diungkapkan oleh nada bicara si penggosip dan cibiran para pendengar?

Jika penilaian kita yang salah adalah akar dari rusaknya hubungan kita dengan Allah, sesama, dan ciptaan, bagaimana kita bisa mendapatkan keselamatan? Hal yang kita perlukan—keadilan/kebenaran—adalah satu hal yang paling tidak mampu kita lakukan. Sekalipun kita ingin dikembalikan ke hubungan yang benar, ketidakmampuan kita untuk menilai dengan benar berarti semakin keras kita berusaha, semakin buruk masalah yang kita buat. “Siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Paulus menangis (Rm. 7:24).

Kita tidak bisa berharap untuk diselamatkan oleh orang lain, karena mereka juga berada dalam situasi yang sama dengan kita. “Semua manusia pembohong,” kata Paulus kepada kita (Rm. 3:4). “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak; tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak” (Rm. 3:10–12). “Semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23).

Namun masih ada harapan—bukan pada kemanusiaan, namun pada kesetiaan Allah. “Jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?” Paulus bertanya. " Sekali-kali tidak!" jawabnya (Rm 3:3–4). Sebaliknya, “ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah”. Ini berarti tempat kerja kita adalah tempat bagi anugerah, sama seperti gereja atau keluarga kita. Jika kita merasa tempat kerja kita terlalu sekuler, terlalu tidak etis, terlalu bermusuhan terhadap iman, terlalu penuh dengan orang-orang yang serakah dan tidak punya hati, maka tepat di sinilah salib Kristus efektif! Anugerah Allah dapat mewujudkan rekonsiliasi dan keadilan di pabrik, perkantoran, atau pompa bensin, sama penuhnya dengan di katedral, biara, atau gereja. Injil Paulus bukan hanya untuk gereja, tetapi untuk seluruh dunia.

Keadilan Allah Melalui Yesus, Solusi Bagi Penghakiman Kita yang Keliru (Roma 3:21–26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mengingat penilaian kita palsu dan munafik, bagaimana kita bisa menemukan kebenaran dan keadilan? Ini adalah pertanyaan yang mengarah ke inti dramatis Roma 3. Respons Allah adalah salib Kristus. Allah memberikan keadilan/kebenaran-Nya kepada kita karena kita sendiri tidak mampu menghadirkan keadilan/kebenaran. Allah melaksanakan hal ini melalui salib Yesus, yang padanya Ia menunjukkan bahwa “Ia adil dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus” (Rm. 3:26).

Alat Allah mencapai hal ini adalah melalui kematian dan kebangkitan Yesus. “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm. 5:8). Allah sendiri memilih untuk menerima salib Kristus seolah-olah itu adalah korban suci penebusan di bait suci Yahudi (Rm. 3:25). Seperti pada Hari Raya Pendamaian, Allah memilih untuk mengabaikan kesalahan manusia untuk membangun semacam permulaan baru bagi semua orang yang beriman. Dan meskipun Yesus adalah seorang Yahudi, Allah menganggap salib sebagai tawaran keselamatan bagi semua orang. Melalui salib, setiap orang dapat dikembalikan ke hubungan yang benar dengan Allah.

Meskipun kita tidak memiliki kebenaran/keadilan, Allah memiliki keduanya dalam jumlah yang tidak terbatas. Melalui salib Yesus, Allah memberi kita kebenaran/keadilan yang memulihkan hubungan kita yang rusak dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan. Ketika Allah memberi kita keselamatan, Dia memberi kita kebenaran/keadilan.

Kebenaran Allah telah dinyatakan, dan dibuktikan melalui hukum Taurat dan kitab para nabi, kebenaran Allah melalui iman kepada Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan, karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah; mereka sekarang dibenarkan karena kasih karunia-Nya sebagai suatu anugerah, melalui penebusan dalam Kristus Yesus, yang oleh darah-Nya telah diajukan oleh Allah sebagai korban penebusan, yang efektif melalui iman. Dia melakukan ini untuk menunjukkan kebenaran-Nya, karena dalam kesabaran ilahi Dia telah melupakan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya; hal itu untuk membuktikan pada saat ini bahwa Dia sendiri adalah orang benar dan bahwa Dia membenarkan orang yang beriman kepada Yesus. (Rm. 3:21–26; penekanan ditambahkan)

Salib adalah keadilan Allah yang mengejutkan—mengejutkan karena walaupun Allah bukan pendosa, Allah yang melakukan pengorbanan. Apakah ada maknanya di tempat kerja sekuler saat ini? Ini bisa menjadi catatan yang penuh harapan. Dalam situasi-situasi di mana masalah-masalah di tempat kerja disebabkan oleh kesalahan atau ketidakadilan kita sendiri, kita dapat mengandalkan kebenaran/keadilan Allah untuk mengatasi kegagalan kita. Sekalipun kita tidak dapat memperbaiki diri kita sendiri, Allah dapat melakukan kebenaran/keadilan-Nya di dalam kita dan melalui kita. Dalam situasi di mana kesalahan dan ketidakadilan orang lain menyebabkan masalah, kita mungkin dapat memperbaiki keadaan dengan mengorbankan sesuatu dari diri kita sendiri—meniru Juruselamat kita—meskipun bukan kita yang menyebabkan masalah tersebut.

Misalnya, pertimbangkan suatu kelompok kerja yang beroperasi dalam budaya saling menyalahkan. Ketimbang bekerja sama untuk memperbaiki masalah, orang-orang menghabiskan seluruh waktunya untuk menyalahkan orang lain setiap kali masalah muncul. Jika tempat kerja Anda merupakan budaya menyalahkan, itu mungkin bukan kesalahan Anda. Mungkin atasan Andalah pelaku utama sikap menyalahkan. Meski begitu, bisakah pengorbanan Anda membawa rekonsiliasi dan keadilan? Lain kali saat atasan mulai menyalahkan seseorang, bayangkan jika Anda berdiri dan berkata, "Saya ingat saya mendukung gagasan ini terakhir kali kita membicarakannya, jadi sebaiknya Anda menyalahkan saya juga." Bagaimana jika setelah itu, dua atau tiga orang lainnya melakukan hal yang sama bersama Anda? Apakah hal ini akan membuat permainan saling menyalahkan menjadi berantakan? Anda mungkin akan mengorbankan reputasi Anda, persahabatan Anda dengan atasan, bahkan prospek pekerjaan Anda di masa depan. Namun mungkinkah hal ini juga dapat menghilangkan cengkeraman sikap menyalahkan dan menghakimi dalam kelompok kerja Anda? Bisakah Anda mengharapkan kasih karunia Allah mengambil peran aktif melalui pengorbanan Anda?

Iman/Kesetiaan, Jalan Masuk menuju Keadilan Allah (Roma 3:27–31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada bagian sebelumnya kita melihat Roma 3:22–26 dan menyoroti kebenaran/keadilan yang Allah berikan kepada kita dalam keselamatan. Sekarang mari kita melihat kembali bagian ini untuk menyoroti peran iman.

Kebenaran Allah telah dinyatakan, dan dibuktikan melalui hukum Taurat dan kitab para nabi, kebenaran Allah melalui iman kepada Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada pembedaan, karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah; mereka sekarang dibenarkan karena kasih karunia-Nya sebagai suatu anugerah, melalui penebusan dalam Kristus Yesus, yang diajukan oleh Allah sebagai korban penebusan oleh darah-Nya, yang efektif karena iman. Dia melakukan ini untuk menunjukkan kebenaran-Nya, karena dalam kesabaran ilahi Dia telah melupakan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya; hal itu untuk membuktikan pada saat ini bahwa Dia sendiri adalah benar dan bahwa Dia membenarkan orang yang beriman kepada Yesus. (Rm. 3:21–26; penekanan ditambahkan)

Jelas, anugerah kebenaran/keadilan Allah sangat erat kaitannya dengan iman dan percaya. Hal ini membawa kita pada salah satu tema paling terkenal dalam kitab Roma, yaitu peran iman dalam keselamatan. Dalam banyak hal, Reformasi Protestan didasarkan pada perhatian terhadap ayat ini dan ayat-ayat serupa dalam kitab Roma, dan makna penting ayat-ayat tersebut tetap menjadi pusat perhatian umat Kristen pada masa kini. Meskipun ada banyak cara untuk menggambarkan hal ini, ide utamanya adalah bahwa manusia dipulihkan ke dalam hubungan yang benar dengan Allah melalui iman.

Akar kata Yunani pistis diterjemahkan sebagai “iman” (atau kadang-kadang “percaya,” seperti dalam salah satu contoh di atas), tetapi juga sebagai “kesetiaan” seperti dalam Roma 3:3. Bahasa Inggris membedakan antara iman (persetujuan mental, kepercayaan, atau komitmen) dan kesetiaan (tindakan yang konsisten dengan keyakinan seseorang). Namun dalam bahasa Yunani hanya ada satu kata pistis baik bagi iman maupun kesetiaan. Tidak ada yang bisa memisahkan apa yang diyakini seseorang dengan bukti keyakinan tersebut dalam tindakannya. Jika Anda memiliki iman, Anda akan bertindak dengan setia. Mengingat bahwa di sebagian besar tempat kerja, kesetiaan kita (apa yang kita lakukan) akan lebih terlihat secara langsung dibandingkan iman kita (apa yang kita yakini), hubungan antara kedua aspek pistis ini mempunyai makna penting khusus dalam pekerjaan.

Paulus berbicara tentang “pistis Yesus” dua kali di sini, dalam Roma 3:22 dan 3:26. Jika diterjemahkan secara harafiah, bahasa Yunaninya mengatakan “pistis of Jesus,” bukan “pistis in Jesus.” Kata-kata literal dari Roma 3:22 adalah bahwa kita diselamatkan oleh kesetiaan Yesus kepada Allah (the pistis of Yesus). Dalam ayat lain, pistis dengan jelas mengacu pada iman kita kepada Yesus, seperti Roma 10:9, “Sebab jika engkau mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dengan hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka engkau akan diselamatkan.” Sebenarnya, iman kita kepada Yesus tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan Yesus kepada Allah. Iman kita kepada Yesus timbul karena kesetiaan Yesus kepada Allah di kayu salib, dan kita menanggapinya dengan hidup setia kepada-Nya dan menaruh kepercayaan kita kepada-Nya. Mengingat bahwa keselamatan kita mengalir dari kesetiaan Yesus, dan bukan sekadar keadaan keyakinan kita, akan menghalangi kita mengubah kepemilikan iman menjadi suatu bentuk kebenaran akibat perbuatan yang baru, seolah-olah tindakan kita mengatakan “Aku percaya kepada Yesus” itulah yang membawa keselamatan bagi kita.

Makna iman/kesetiaan yang utuh dalam tulisan Paulus mempunyai dua implikasi penting bagi kerja. Pertama-tama, hal ini menghilangkan segala ketakutan bahwa dengan melakukan pekerjaan kita secara serius, kita mungkin akan ragu-ragu dalam mengakui bahwa keselamatan hanya datang melalui anugerah iman dari Allah. Ketika kita mengingat bahwa kesetiaan Kristus di kayu salib telah menggenapkan pekerjaan keselamatan, dan bahwa iman kita kepada Kristus hanya datang karena kasih karunia Allah, maka kita menyadari bahwa kesetiaan kita kepada Allah dalam pekerjaan kita hanyalah sebuah respons terhadap kasih karunia Allah. Kita setia dalam pekerjaan kita karena Allah telah memberi kita iman sebagai anugerah cuma-cuma.

Kedua, kesetiaan Kristus mendorong kita untuk menjadi semakin setia. Sekali lagi, ini bukan karena kita berpikir bahwa tindakan setia kita menghasilkan keselamatan, namun karena kita diberi iman kepada Kristus, kita sungguh-sungguh ingin menjadi lebih seperti Dia. Paulus menyebut hal ini sebagai "ketaatan dalam iman" (Rm. 1:5, 26). Tanpa iman, mustahil kita bisa taat kepada Allah. Namun jika Allah memberi kita iman, maka kita bisa berespons dengan ketaatan. Bahkan, sebagian besar bagian akhir dari kitab Roma dikhususkan untuk menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi lebih taat kepada Allah sebagai hasil dari anugerah yang Allah berikan kepada kita melalui iman.

Iman yang Patut Diteladani: Abraham Percaya pada Janji Allah (Roma 4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seperti yang telah kita lihat dalam Roma 1-3, salib Kristus membawa keselamatan bagi semua orang—baik orang Yahudi maupun non-Yahudi. Di dalam Kristus, Allah mengembalikan semua manusia ke dalam hubungan yang benar dengan Allah dan satu sama lain tanpa memperhatikan ketentuan hukum Yahudi. Oleh karena itu, fokus utama Paulus di seluruh surat Roma adalah menolong orang-orang Kristen yang terpecah belah dan berselisih di Roma untuk mendamaikan hubungan mereka yang rusak agar dapat hidup dengan setia sesuai dengan apa yang telah dicapai Allah di dalam Kristus.

Namun, penafsiran mengenai kematian Kristus ini menimbulkan masalah bagi Paulus, karena ia menulis surat ini bukan hanya kepada orang-orang non-Yahudi yang tidak disunat tetapi juga kepada orang-orang Yahudi yang disunat, yang menganggap hukum masih penting. Lebih jauh lagi, penafsiran Paulus tampaknya mengabaikan kisah Abraham, yang dianggap sebagai “bapak” orang Yahudi, yang pada kenyataannya disunat sebagai tanda perjanjiannya dengan Allah (Kej. 17:11). Bukankah kisah Abraham menunjukkan bahwa untuk memasuki perjanjian Allah diperlukan sunat pada laki-laki bagi semua orang, baik Yahudi maupun non-Yahudi?

“Tidak,” bantah Paulus dalam Roma 4. Menafsirkan kisah Abraham dari Kejadian 12:1–3, 15:6, dan 17:1–14, Paulus menyimpulkan bahwa Abraham mrmiliki iman bahwa Allah akan menepati firman-Nya dan menjadikan Abraham yang tidak mempunyai anak sebagai bapak banyak bangsa melalui istrinya yang mandul, Sarah. Akibatnya, Allah memperhitungkan iman Abraham sebagai kebenaran (Rm. 4:3, 9, 22). Paulus mengingatkan para pembacanya bahwa pengakuan Allah atas kebenaran Abraham terjadi jauh sebelum Abraham disunat, yang terjadi di kemudian hari sebagai tanda imannya yang sudah ada kepada Allah (Rm. 4:10-11).

Dengan kata lain, pada saat itu Allah menganggap iman Abraham sebagai pemulihan hubungannya dengan Allah, Abraham mempunyai status yang sama dengan orang non-Yahudi yang tidak disunat dalam dunia Paulus. Jadi, Paulus menyimpulkan, Abraham menjadi bapa orang Yahudi dan non-Yahudi melalui kebenaran iman, bukan kebenaran berdasarkan hukum Yahudi (Rm. 4:11-15).

Teladan Abraham dalam Roma 4 memberikan harapan besar bagi umat Kristen terhadap kerja dan tempat kerja kita. Teladan Abraham dalam mempercayai janji-janji Allah—walaupun keadaan sulit dan rintangan yang tampaknya mustahil—meneguhkan agar kepercayaan kita tidak goyah ketika kita menghadapi tantangan di tempat kerja atau ketika Allah tampaknya tidak hadir (lihat Rm. 4:19). Allah tidak serta merta menggenapi janji kepada Abraham, yang semakin mendorong kita untuk bersabar menantikan Allah memperbaharui atau menebus keadaan hidup kita.

Kasih Karunia Berdaulat untuk Kehidupan Kekal Melalui Yesus Kristus (Roma 5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam Roma 5 Paulus mengaitkan karunia kebenaran ilahi ini dengan ketaatan Kristus dan anugerah yang kini mengalir ke dunia melalui Dia. Beberapa fitur penting dalam bab ini menjelaskan pengalaman kerja kita.

Kasih Karunia Mengubah Penderitaan dalam Kehidupan Kita di Dalam Kristus (Roma 5:1–11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam Roma 5:1-11, Paulus memberikan lebih banyak dorongan semangat dengan mengingatkan jemaat Roma bahwa melalui Kristus kita telah “beroleh jalan masuk” kepada anugerah, dan “di dalam anugerah ini kita berdiri” (Rm. 5:2). Anugerah melambangkan kuasa Allah yang memberi kehidupan yang membangkitkan Yesus dari kematian. Anugerah terus membawa kehidupan yang baru dan lebih berkelimpahan ke dalam dunia kepada dan melalui para pengikut Kristus. Dengan menjalani kehidupan Kristus yang taat dalam iman dan kesetiaan dalam keadaan kita sendiri, kita mengalami anugerah Allah yang memberi kehidupan yang dapat memberi kita sukacita dan damai sejahtera di tempat kerja, di rumah, dan dalam setiap konteks kehidupan.

Meski demikian, mempercayai anugerah Allah sering kali menuntut kesabaran yang teguh dalam menghadapi banyak tantangan. Sama seperti Kristus menderita dalam ketaatan-Nya kepada Allah, kita pun mungkin mengalami penderitaan ketika kita mewujudkan kehidupan iman dan kesetiaan Kristus. Paulus bahkan mengatakan bahwa ia “bermegah” atas penderitaannya (Rm. 5:3), mengetahui bahwa penderitaannya adalah bagian dari penderitaan yang Yesus alami dalam misi-Nya untuk mendamaikan dunia dengan Allah (Rm. 8:17–18). Terlebih lagi, penderitaan seringkali membawa pertumbuhan.

Bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketabahan, dan ketabahan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. (Rm. 5:3–5)

Oleh karena itu Allah tidak menjanjikan bahwa hidup dan kerja akan selalu membahagiakan bagi orang beriman. Banyak orang menderita dalam kerja. Kerja bisa jadi membosankan, merendahkan, memalukan, melelahkan, dan tidak berperasaan. Kita bisa saja dibayar rendah, terancam, dan didiskriminasi. Kita bisa ditekan untuk melanggar hati nurani kita dan prinsip-prinsip Allah. Kita bisa dipecat, diberhentikan, tidak diberi tugas, mengalami perampingan, diberhentikan, menganggur atau setengah menganggur untuk jangka waktu lama. Kita dapat mendatangkan penderitaan pada diri kita sendiri karena kesombongan, kecerobohan, ketidakmampuan, keserakahan, atau kejahatan kita terhadap orang lain. Kita bisa menderita bahkan dalam pekerjaan yang bagus. Kita tidak boleh puas dengan pelecehan atau penganiayaan di tempat kerja, namun ketika kita harus menanggung penderitaan di tempat kerja, tidak semuanya sia-sia. Anugerah Allah dicurahkan kepada kita saat kita menderita, dan itu membuat kita lebih kuat jika kita tetap setia.

Sebagai contoh, menyiapkan lahan dan merawat tanaman tidak dapat menjamin bahwa biji-bijian akan tumbuh tinggi atau sayur-sayuran akan siap panen. Cuaca buruk, kekeringan, serangga, dan penyakit busuk daun dapat merusak hasil panen. Namun, melalui anugerah, para petani dapat menerima semua aspek alam ini, sambil memercayai pemeliharaan Allah. Hal ini pada gilirannya membentuk karakter petani yang sabar dan setia, serta sangat peduli terhadap seluruh ciptaan Allah. Menghargai alam secara mendalam, pada gilirannya, dapat menjadi aset besar bagi pekerjaan bertani.

Demikian pula, anugerah memberdayakan kita untuk tetap setia dan penuh harapan bahkan ketika majikan bagi siapa kita bekerja menutup pintunya selama masa ekonomi sulit. Demikian pula, kuasa Allah yang memberi kehidupan menyokong banyak orang muda berpendidikan tinggi yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Anugerah juga menginspirasi tim untuk tekun dalam mengembangkan produk baru, bahkan setelah kegagalan berulang kali, karena mengetahui bahwa apa yang mereka pelajari dari kegagalan itulah yang membuat produk menjadi lebih baik.

Kasih Allah menopang kita melalui segala macam penderitaan dalam hidup dan pekerjaan. “Pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita.” Bahkan ketika penderitaan mengancam untuk mengeraskan hati kita, kasih Allah menjadikan kita agen rekonsiliasi-Nya, yang telah kita terima di dalam Kristus (Rm. 10-11).

Anugerah dan Kebenaran Menuntun Kepada Kehidupan Kekal Melalui Kristus (Roma 5:12–21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Roma 5:12–21 mencerminkan argumen teologis yang padat dan kompleks yang melibatkan sejumlah perbedaan antara Adam yang tidak taat dan Kristus yang taat, yang melalui-Nya kita dijadikan orang benar dan dijanjikan kehidupan kekal. Perikop ini memberi kita kepastian bahwa tindakan ketaatan Kristus dalam memberikan diri bagi sesama menempatkan semua orang yang datang kepada-Nya dalam hubungan yang benar dengan Allah dan satu sama lain. Sebagai partisipan dalam iman dan kesetiaan Kristus, kita menerima bagian dari anugerah ilahi berupa kebenaran dan kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah melalui Kristus. Oleh karena itu, kita tidak lagi ikut serta dalam ketidaktaatan Adam tetapi mendapatkan kehidupan kekal dengan ikut serta dalam ketaatan Kristus kepada Allah.

Paulus berbicara tentang kasih karunia Allah yang bekerja pada saat ini dan dalam kekekalan. Rekonsiliasi sudah diberikan melalui Kristus (Rm. 5:11), sehingga kita sudah mampu menjalani kehidupan yang memuliakan Allah. Namun rekonsiliasi Allah belum selesai dan masih dalam proses “untuk hidup yang kekal” (Rm. 5:21). Jika kita sudah menerima rekonsiliasi Kristus, maka pekerjaan kita saat ini adalah kesempatan untuk berkontribusi demi masa depan yang lebih baik di mana Kristus memimpin. Inovator mendapatkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk mencipta, merancang, dan membangun produk yang meningkatkan kebaikan bersama. Pekerja layanan memiliki peluang baru untuk membuat kehidupan orang lain lebih baik. Seniman atau musisi dapat menciptakan keindahan estetis yang menyempurnakan kehidupan manusia demi kemuliaan Allah. Tak satu pun dari hal-hal ini merupakan alat menuju kehidupan kekal. Namun setiap kali kita berupaya menjadikan dunia ini lebih sesuai dengan kehendak Allah, kita menerima cicipan awal dari kehidupan kekal. Ketika kita tetap taat pada pola iman dan kesetiaan Kristus di tempat kerja kita, apa pun keadaannya, kita dapat percaya bahwa hidup kita aman selamanya di tangan Allah kita yang setia.

Berjalan dalam Hidup yang Baru (Roma 6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun kasih karunia Allah telah datang ke dalam dunia untuk membawa rekonsiliasi dan keadilan, masih ada kekuatan roh jahat yang bekerja melawan kuasa kasih karunia Allah yang memberi kehidupan (Rm. 6:14). Paulus sering mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan rohani yang jahat ini, dengan menyebut mereka dengan nama “dosa” (Rm. 6:2), “daging” (Rm. 7:5), “maut” (Rm. 6:9), atau “dunia ini” (Rm. 12:2). Manusia harus memilih apakah, melalui tindakannya dalam kehidupan sehari-hari, akan bermitra dengan Allah melalui Kristus atau dengan kekuatan-kekuatan jahat ini. Paulus menyebut memilih untuk bermitra dengan Allah sebagai “hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4). Ia membandingkan berjalan dalam hidup yang baru dengan hidup baru Kristus setelah dibangkitkan dari kematian. “Sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita dimungkinkan hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4). Dalam kehidupan kita di sini dan saat ini, kita dapat mulai hidup—atau “berjalan”—dalam rekonsiliasi dan keadilan seperti halnya Kristus hidup saat ini.

Menjalani kehidupan yang baru menuntut kita untuk meninggalkan sikap menghakimi dan melakukan keadilan Allah ketimbang terus melakukan kebiasaan mementingkan diri sendiri (Rm. 6:12-13). Sebagai instrument-instrumen keadilan Allah, orang-orang percaya bertindak dengan cara-cara yang melaluinya kuasa kasih karunia Allah yang memberi kehidupan membangun manusia dan komunitas di dalam Kristus. Ini jauh lebih aktif daripada sekedar menahan diri dari perilaku buruk. Panggilan kita adalah menjadi instrumen keadilan dan rekonsiliasi, berupaya menghilangkan dampak dosa di dunia yang bermasalah.

Misalnya, para pekerja mungkin mempunyai kebiasaan menilai manajemen sebagai jahat atau tidak adil, dan sebaliknya. Hal ini mungkin menjadi dalih yang tepat bagi pekerja untuk menipu perusahaan, menggunakan waktu berbayarnya untuk aktivitas pribadi, atau gagal melakukan pekerjaan dengan baik. Sebaliknya, hal ini bisa menjadi alasan yang tepat bagi para manajer untuk melakukan diskriminasi terhadap pekerja yang tidak mereka sukai secara pribadi, atau untuk menghindari peraturan keselamatan atau keadilan di tempat kerja, atau untuk menyembunyikan informasi dari pekerja. Sekadar mengikuti peraturan atau tidak berbuat curang bukanlah berjalan dalam kehidupan yang baru. Sebaliknya, berjalan dalam kehidupan yang baru pertama-tama akan menuntut kita untuk melepaskan penilaian kita terhadap pihak lain. Ketika kita tidak lagi menganggap mereka tidak layak kita hormati, maka kita dapat mulai mencari cara-cara spesifik untuk memulihkan hubungan baik, membangun kembali hubungan yang adil dan adil satu sama lain, dan saling membangun satu sama lain dan organisasi kita.

Membuat perubahan seperti ini dalam kehidupan dan pekerjaan kita sangatlah sulit. Paulus berkata bahwa dosa terus-menerus berusaha untuk “berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu … menuruti keinginannya.” Seberapa pun baiknya niat kita, kita akan segera kembali ke jalan yang rusak. Hanya kasih karunia Allah, yang diwujudkan dalam kematian Kristus, yang mempunyai kuasa untuk membebaskan kita dari kebiasaan menghakimi (Rm. 6:6).

Oleh karena itu, kasih karunia Allah tidak membuat kita “bebas” untuk mengembara tanpa tujuan dan kembali ke penyakit lama kita. Sebaliknya ia menawarkan untuk mengikat kita ke dalam kehidupan baru di dalam Kristus. Ikatan yang mengikat kita akan lecet setiap kali kita mulai menyimpang dari jalur, dan Paulus mengakui bahwa berjalan dalam hidup yang baru akan terasa seperti perbudakan pada awalnya. Maka, pilihan kita adalah perbudakan jenis apa yang harus kita terima—perbudakan terhadap kehidupan yang baru atau perbudakan terhadap dosa-dosa lama kita. “Apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk menaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, entah itu dosa yang memimpin kamu kepada kematian, entah itu ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran [keadilan]” (Rm. 6:16). “Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal” (Rm. 6:22). Keuntungan berjalan dalam hidup yang baru bukanlah bahwa hal itu terasa lebih bebas daripada perbudakan dosa, namun hal itu menghasilkan keadilan dan kehidupan, bukannya rasa malu dan kematian.

Berjalan dalam Kehidupan Baru di Tempat Kerja (Roma 6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa artinya menjadi “hamba” kasih karunia Allah di tempat kerja kita? Artinya, kita tidak mengambil keputusan di tempat kerja berdasarkan pada bagaimana berbagai hal berpengaruh terhadap kita, namun berdasarkan pengaruhnya terhadap tuan kita, Allah. Kita membuat keputusan sebagai penatalayan atau agen Allah. Ini sebenarnya adalah konsep yang lazim baik dalam iman Kristen maupun di tempat kerja sekuler. Dalam iman Kristen, Kristus sendiri adalah teladan penatalayan, yang menyerahkan nyawa-Nya demi menggenapi tujuan Allah. Demikian pula, banyak orang di tempat kerja mempunyai kewajiban untuk melayani kepentingan sesama, bukan kepentingan mereka sendiri. Di antaranya adalah pengacara, pejabat perusahaan, agen, wali dan dewan direksi, hakim, dan banyak lainnya. Tidak banyak penatalayan atau agen di tempat kerja yang memiliki komitmen seperti Yesus—bersedia memberikan nyawa mereka untuk memenuhi tugas mereka—tetapi konsep melakukan pelayanan adalah kenyataan sehari-hari di tempat kerja.

Bedanya bagi umat Kristen, tanggungjawab kita pada akhirnya adalah kepada Allah, bukan kepada negara, pemegang saham, atau siapa pun. Misi utama kita haruslah keadilan dan rekonsiliasi Allah, bukan sekedar menaati hukum, mencari keuntungan, atau memuaskan harapan manusia. Berbeda dengan pernyataan Albert Carr yang menyatakan bahwa bisnis hanyalah sebuah permainan di mana aturan etika yang normal tidak berlaku,[1] berjalan dalam kehidupan yang baru berarti mengintegrasikan keadilan dan rekonsiliasi ke dalam kehidupan kita di tempat kerja.

Misalnya, menjalani hidup yang baru bagi seorang guru sekolah menengah atas mungkin berarti berulang kali memaafkan seorang siswa yang pemberontak dan menyusahkan, sekaligus mencari cara baru untuk menjangkau siswa tersebut di kelas. Bagi seorang politisi, menjalani kehidupan yang baru mungkin berarti merancang undang-undang baru yang mencakup masukan dari aneka perspektif ideologis yang berbeda. Bagi seorang manajer, ini mungkin berarti meminta maaf kepada karyawannya di depan semua orang yang mengetahui pelanggarannya terhadap karyawan tersebut.

Berjalan dalam kehidupan yang baru menuntut kita untuk melihat secara mendalam pola kerja kita. Pembuat roti atau koki mungkin dengan mudah melihat bagaimana pekerjaan mereka membantu memberi makan orang-orang yang kelaparan, dan hal ini merupakan bentuk keadilan. Pembuat roti dan koki yang sama mungkin juga perlu melihat lebih dalam interaksi pribadi mereka di dapur. Apakah mereka memperlakukan orang lain dengan bermartabat, membantu orang lain sukses, dan memuliakan Allah? Berjalan dalam kehidupan yang baru mempengaruhi tujuan yang ingin kita capai dan cara yang kita gunakan untuk mencapainya.

Kuasa “Dosa” yang Menyebar Luas (Roma 7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam pasal 7, Paulus terus menekankan bahwa kehidupan baru di dalam Kristus memerdekakan kita dari “kurungan” dari “keadaan lama menurut huruf” yaitu hukum Taurat (Rm. 7:6). Meskipun demikian, hukum itu sendiri bukanlah masalah bagi keberadaan manusia, karena “hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar, dan baik” (Rm. 7:12). Sebaliknya, Paulus menyimpulkan, masalahnya adalah kuasa melawan Allah yang disebutnya sebagai “dosa” yang berdiam dalam diri manusia (Rm. 7:13). Dosa telah memanfaatkan perintah-perintah hukum dengan menggunakannya sebagai alat untuk menipu manusia (Rm. 7:11), sehingga menghalangi setiap orang untuk dapat menaati hukum sebagaimana yang Allah kehendaki (Rm. 7:14, 17, 23).

Kuasa dosa bukan sekedar membuat pilihan yang buruk atau melakukan hal-hal yang kita tahu tidak seharusnya kita lakukan. Kuasa dosa bagaikan suatu kekuatan jahat telah menyerbu wilayah rohani setiap orang dan mengambil kendali, “terjual di bawah kuasa dosa,” demikian Paulus menyebutnya (Rm. 7:14). Di bawah perbudakan dosa ini, kita tidak mampu melakukan kebaikan yang diperintahkan dalam sepuluh perintah Allah dan kita ketahui dalam hati kita (Rm. 7:15-20). Hal ini terjadi meskipun kita mempunyai niat baik untuk melakukan apa yang Allah kehendaki (Rm. 7:15–16, 22).

Dengan kata lain, pengetahuan tentang apa yang baik tidak cukup untuk mengalahkan kuasa dosa yang menyerang kita! “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku lakukan, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku lakukan” (Rm. 7:19). Kita dapat diselamatkan dari penderitaan ini hanya melalui campur tangan kekuatan rohani lain yang lebih kuat—Roh Kudus yang menjadi fokus dalam Roma 8.

Kita sangat menyadari bahwa mengetahui apa yang Allah inginkan tidaklah cukup untuk membuat kita tetap berada di jalur yang benar dalam situasi kerja. Misalnya saja, meskipun kita sadar bahwa Allah ingin kita memperlakukan semua orang dengan hormat, kita terkadang terjerumus ke dalam persepsi yang salah bahwa kita bisa maju jika mengatakan hal-hal yang buruk tentang rekan kerja. Demikian pula dalam tugas membesarkan anak, para ibu dan ayah tahu bahwa membentak anak kecil dalam keadaan marah adalah hal yang tidak baik. Namun terkadang kuasa dosa menguasai mereka dan mereka tetap melakukannya. Seorang pengacara yang membebankan biaya kepada kliennya atas jasanya per jam tahu bahwa ia harus menyimpan catatan waktu dengan cermat, namun tetap saja ia dikuasai oleh dosa untuk menambah jam kerjanya guna meningkatkan penghasilannya.

Sendirian, kita sangat rentan terhadap kuasa dosa di dalam diri kita. Di mana pun kita bekerja, sebaiknya kita mencari sesama (Rm. 12:5) dan saling menolong satu sama lain melawan kekuatan yang mencoba menguasai keinginan kita untuk melakukan apa yang benar dan baik. Misalnya, sejumlah kecil orang Kristen yang terus bertambah jumlahnya, bergabung dengan kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang bekerja dalam situasi serupa. Kelompok sejawat bertemu mulai dari satu jam sekali seminggu, seringkali di lokasi kerja, hingga setengah hari sekali dalam sebulan. Para anggota berkomitmen untuk saling menceritakan rincian situasi yang mereka hadapi di tempat kerja dan mendiskusikannya dari sudut pandang iman, mengembangkan opsi-opsi dan berkomitmen pada rencana tindakan. Seorang anggota mungkin menggambarkan konflik dengan rekan kerja, penyimpangan etika, perasaan tidak berarti, kebijakan perusahaan yang terkesan tidak adil. Setelah mendapatkan wawasan dari anggota lain, anggota tersebut akan berkomitmen pada serangkaian tindakan sebagai tanggapan dan melaporkan kepada kelompok tentang hasil pada pertemuan mendatang. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai hal ini, lihat “Equipping Churches Connect Daily Work to Worship” di https://www.teologikerja.org/.)

Hidup Menurut Roh Menuntun pada Kualitas Hidup yang Baru (Roma 8:1–14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Orang-orang percaya bebas dari hukum Taurat, namun hidup dalam hidup yang baru didasarkan pada struktur moral yang kokoh (karena itu disebut “hukum Roh,” Rm. 8:2). Paulus menyebut struktur moral ini “hidup menurut Roh” atau “memikirkan hal-hal yang dari Roh” (Rm. 8:5). Kedua istilah tersebut mengacu pada proses penalaran moral yang membimbing kita saat kita berjalan dalam hidup yang baru.

Kompas moral semacam ini tidak bekerja dengan membuat daftar tindakan tertentu yang benar atau salah. Sebaliknya, hal ini berarti mengikuti “hukum Roh yang memberi hidup” yang telah memerdekakan orang-orang percaya “dari hukum dosa dan hukum maut” (Rm. 8:1-2). Kata hidup dan mati adalah kuncinya. Seperti yang dibahas sebelumnya dalam Roma 6, Paulus memahami “dosa”, “maut”, dan “daging” sebagai kekuatan rohani di dunia yang menuntun manusia untuk bertindak bertentangan dengan kehendak Allah dan menghasilkan kekacauan, keputusasaan, konflik, dan kehancuran dalam kehidupan mereka dan komunitas mereka. Sebaliknya, hidup menurut Roh berarti melakukan apa pun yang mendatangkan kehidupan, bukan kematian. “Karena keinginan daging [pola lama kita berupa penghakiman] adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera” (Rm. 8:6). Menaruh pikiran pada Roh berarti mencari apa pun yang akan membawa lebih banyak kehidupan pada setiap situasi.

Misalnya, hukum Yahudi mengajarkan bahwa “jangan membunuh” (Kel. 20:13). Namun hidup menurut Roh lebih dari sekadar tidak membunuh siapa pun secara harafiah. Hidup seperti ini secara aktif mencari peluang untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi orang banyak. Bisa berarti membersihkan kamar hotel agar tamu tetap sehat. Hal ini dapat berarti membersihkan es dari trotoar tetangga agar pejalan kaki dapat berjalan dengan aman. Ini bisa berarti belajar selama bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar Ph.D. untuk mengembangkan pengobatan baru untuk kanker.

Cara lain untuk menjelaskannya adalah bahwa hidup menurut Roh berarti menjalani kualitas hidup yang baru di dalam Kristus. Hal ini terjadi karena kita mengesampingkan penilaian kita mengenai apa yang pantas diterima orang lain dan sebaliknya mencari apa yang bisa memberikan mereka kualitas hidup yang lebih baik, baik layak atau tidak. Saat membuat penugasan, seorang manajer dapat memberikan tugas yang memperluas kemampuan bawahannya, bukan membatasi mereka pada apa yang sudah mampu mereka lakukan, kemudian mengundang mereka untuk bertemu setiap hari untuk mendapatkan bimbingan. Ketika diminta untuk meminjamkan alat pengganti, seorang pedagang yang terampil dapat menunjukkan kepada pekerja yunior teknik baru yang akan mencegah kerusakan alat tersebut di lain waktu. Saat ditanya “Mengapa anjing kita mati?” orang tua dapat bertanya kepada anaknya, “Apakah kamu takut seseorang yang kamu kasihi akan mati?” alih-alih hanya menjelaskan penyebab langsung kematian hewan peliharaan tersebut. Dalam setiap situasi ini, tujuan moralnya adalah untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik kepada orang lain, bukan untuk memenuhi tuntutan hukum Taurat.

Membawa kehidupan, bukannya memenuhi hukum Taurat, adalah pedoman moral bagi mereka yang diselamatkan oleh kasih karunia Allah. Kita bebas untuk hidup menurut Roh dan bukannya diperbudak oleh hukum Taurat karena “sekarang sama sekali tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm. 8:1).

Dimasukkannya “perdamaian” oleh Paulus sebagai suatu aspek dari mengarahkan pikiran kita pada Roh (Rm. 13:6, seperti di atas) menunjukkan aspek-aspek sosial dari hidup menurut Roh karena perdamaian adalah fenomena sosial.[1] Ketika kita mengikuti Kristus, kita mencoba membawa kualitas hidup yang baru ke dalam masyarakat kita, bukan hanya untuk diri kita sendiri. Ini artinya memperhatikan kondisi sosial yang mengurangi kualitas hidup di tempat kerja dan di tempat lain. Kita melakukan apa yang kita bisa untuk membuat hidup lebih baik bagi orang-orang yang bekerja bersama kita. Pada saat yang sama, kita berupaya untuk menghadirkan keadilan/kebenaran kepada sistem sosial yang membentuk kondisi kerja dan pekerja.

Umat ​​​​Kristen dapat menjadi kekuatan positif untuk kemajuan—bahkan kelangsungan hidup—jika kita dapat membantu organisasi kita memikirkan perlunya kualitas hidup yang baru. Kita mungkin tidak dapat banyak mengubah organisasi kita dengan kekuatan kita sendiri. Namun jika kita bisa membangun hubungan dengan sesama, mendapatkan kepercayaan masyarakat, mendengarkan orang yang tidak didengarkan orang lain, kita bisa membantu organisasi keluar dari kebiasaan buruknya. Ditambah lagi, kita membawa ramuan rahasia—iman kita bahwa kasih karunia Allah dapat menggunakan kita untuk membawa kehidupan bahkan pada situasi yang paling mematikan sekalipun.

Sebaliknya, jika kita tidak menetapkan pikiran kita pada Roh di tempat kerja, kita bisa menjadi angkuh dan merusak, baik dalam hubungan kita dengan rekan kerja, pesaing, klien, atau orang lain. Menetapkan pikiran kita pada Roh memerlukan evaluasi terus-menerus terhadap konsekuensi atau hasil pekerjaan kita, selalu menanyakan apakah pekerjaan kita meningkatkan kualitas hidup orang lain. Jika kita jujur ​​dalam penilaian kita, tidak diragukan lagi hal itu juga memerlukan pertobatan setiap hari dan rahmat untuk berubah.

Menderita Bersama Kristus Agar Dimuliakan Bersama Kristus (Roma 8:15–17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Paulus membandingkan kehidupan dalam Roh dengan kehidupan di bawah hukum Yahudi. Paulus berkata bahwa orang-orang percaya telah menerima “Roh yang menjadikan kamu anak Allah”, bukan “roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi” (Rm. 8:15). Setiap orang yang “milik” Kristus (Rm. 8:9-10) kini menjadi anak adopsi Allah. Sebaliknya, mereka yang berada di bawah hukum hidup dalam perbudakan kuasa dosa dan juga dalam ketakutan—mungkin takut akan ancaman hukuman bagi ketidaktaatan. Orang-orang percaya terbebas dari rasa takut ini, karena “sekarang sama sekali tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm. 8:1). Ketika kita hidup dengan setia di dalam Kristus, kita tidak menghadapi ancaman hukuman dari hukum Taurat, bahkan ketika kita melakukan kesalahan dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari. Kesulitan dan kegagalan mungkin masih menodai pekerjaan kita, namun tanggapan Allah bukanlah penghukuman melainkan penebusan. Allah akan menghasilkan sesuatu yang berharga dari pekerjaan setia kita, tidak peduli betapa buruknya hal itu saat ini.

Setidaknya ada dua aspek dari ayat-ayat ini yang mempengaruhi pendekatan kita terhadap pekerjaan atau kehidupan di tempat kerja kita. Pertama, sebagai anak angkat Allah, kita tidak pernah sendirian dalam kerja kita. Tidak peduli seberapa besar ketidakpuasan atau frustrasi kita terhadap orang-orang di tempat kita bekerja, atau terhadap pekerjaan, atau bahkan kurangnya dukungan terhadap pekerjaan dari keluarga kita, Roh Allah di dalam Kristus tetap tinggal bersama kita. Allah selalu mencari kesempatan untuk menebus penderitaan kita dan mengubahnya menjadi sesuatu yang baik dan memuaskan dalam hidup kita. Seperti yang telah kita amati sebelumnya sehubungan dengan Roma 5, setia menanggung kesulitan dan penderitaan dalam pekerjaan kita dapat menuntun pada pembentukan karakter kita dan mendasari harapan kita untuk masa depan. (Lihat bagian “Kasih Karunia Mengubah Penderitaan dalam Kehidupan Kita di Dalam Kristus,” di atas dalam Roma 5:1–11.)

Kedua, pada suatu waktu, kebanyakan orang mengalami kegagalan, frustrasi, dan kesulitan dalam kerja mereka. Pekerjaan kita meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak kita miliki, bahkan kewajiban yang sederhana seperti datang tepat waktu setiap hari. Dengan setia menghadapi tantangan-tantangan ini sebenarnya dapat membuat pekerjaan lebih bermanfaat dan memuaskan. Seiring berjalannya waktu, pengalaman-pengalaman ini memberi kita keyakinan yang lebih besar akan kehadiran Allah yang menebus dan pengalaman yang lebih besar akan Roh-Nya yang memotivasi dan memberi energi.

Dalam beberapa situasi, Anda mungkin disambut dan dipromosikan karena membawa rekonsiliasi dan keadilan di tempat kerja Anda. Dalam situasi lain Anda mungkin ditolak, diancam, dihukum, atau dipecat. Misalnya saja, hubungan yang buruk merupakan suatu hal yang disayangkan di banyak tempat kerja. Satu departemen mungkin biasa menyabotase pencapaian departemen lain. Perselisihan antara manajer dan pekerja mungkin sudah melembaga. Orang mungkin diteror oleh pengganggu di kantor, kelompok akademis, geng di toko, garis pemisah ras, atau atasan yang kejam. Jika Anda membawa rekonsiliasi dalam situasi seperti ini, produktivitas dapat meningkat, pergantian pekerja dapat berkurang, semangat kerja dapat meningkat, layanan pelanggan dapat pulih kembali, dan Anda mungkin dipuji atau dipromosikan. Di sisi lain, para penindas, kelompok, geng, perpecahan ras, dan atasan yang kejam hampir pasti akan menentang Anda.

Menantikan Penebusan Tubuh bagi Diri Kita Sendiri dan Ciptaan Allah (Roma 8:18–30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Dipermuliakan” bersama Kristus (Rm. 8:17) adalah harapan kita di masa depan. Namun menurut Paulus harapan itu adalah bagian dari suatu proses yang sudah berjalan. Kita harus menjalaninya dengan sabar, dengan harapan bahwa pada suatu saat hal itu akan tergenapi (Rm. 8:18-25). Karunia Roh Kudus yang telah diterima sebagai “buah sulung” dari proses ini (Rm. 8:23) menandakan pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah (Rm. 8:14-17, 23). Hal ini merupakan bukti bahwa proses sedang berlangsung.

Proses ini mencapai puncaknya pada “pembebasan tubuh kita” (Rm. 8:23). Ini bukanlah penyelamatan jiwa kita dari tubuh fisik kita, melainkan transformasi tubuh kita bersama seluruh ciptaan (Rm. 8:21). Proses ini telah dimulai, dan kita merasakan “buah sulungnya” (Rm. 8:24) dalam kehidupan dan pekerjaan kita saat ini. Namun masih banyak hal yang lebih baik yang akan terjadi, dan saat ini “segala mahluk” mengerang dalam “sakit bersalin” karena mereka sangat menantikan untuk dibebaskan dari “perbudakan kebinasaan” mereka sendiri (Rm. 8:19-23). Paulus dengan jelas mengambil gambaran dari Kejadian 2–3, di mana tidak hanya Adam tetapi juga ciptaan itu sendiri yang mengalami kebinasaan dan kematian, tidak dapat lagi hidup sesuai dengan apa yang telah Allah ciptakan. Hal ini mengingatkan kita untuk mempertimbangkan dampak pekerjaan kita terhadap seluruh ciptaan Allah, bukan hanya pada manusia. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini, lihat “Kekuasaan” dalam Kejadian 1:26 dan 2:5 di https://www.teologikerja.org/)

Prosesnya lambat dan terkadang menyakitkan. Kita “mengeluh” sambil menunggu hal itu terlaksana, kata Paulus, dan bukan hanya kita secara individu tetapi “segala mahluk … sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm. 8:22–23). Hal ini menggemakan keluh kesah Israel ketika diperbudak di Mesir (Kel. 6:5) dan mengingatkan kita bahwa hampir 30 juta orang masih diperbudak di dunia saat ini.[1] Kita tidak pernah bisa puas hanya dengan dilepaskannya diri kita dari kekuatan jahat di dunia, namun kita harus melayani Allah dengan setia sampai Dia menyelesaikan keselamatan-Nya di setiap belahan dunia.

Meskipun demikian, keselamatan dunia adalah sesuatu yang pasti, karena “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28). Allah sedang bekerja di dalam kita sekarang, dan waktunya akan tiba ketika keselamatan Allah akan sempurna di dunia. Keputusan awal Allah, “sungguh amat baik” (Kej. 1:31) dibuktikan dengan transformasi yang terjadi di dalam diri kita saat ini, yang akan digenapi pada waktu Allah.

Karena transformasi belum selesai, kita harus bersiap menghadapi kesulitan yang ada di sepanjang perjalanan. Terkadang kita melakukan pekerjaan baik, hanya untuk melihatnya disia-siakan atau dihancurkan oleh kejahatan yang ada saat ini di dunia. Sekalipun kita melakukan pekerjaan dengan baik, pekerjaan kita mungkin saja dirusak. Rekomendasi kita mungkin dikurangi tingkat kedalamannya. Kita mungkin kehabisan modal, kalah dari kandidat yang brengsek dalam pemilu, tenggelam dalam birokrasi, gagal memenuhi kepentingan mahasiswa. Atau kita mungkin berhasil untuk sementara waktu, dan kemudian mendapati hasil kita tenggelam oleh karena kejadian di kemudian hari. Petugas kesehatan, misalnya, telah beberapa kali berada di ambang pemberantasan polio, namun justru menghadapi wabah baru akibat oposisi politik, kebodohan, penularan terkait vaksin, dan pesatnya perjalanan modern.[2]

Tidak Ada Yang Dapat Memisahkan Kita dari Kasih Allah (Roma 8:31-39)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah ada di pihak kita, kata Paulus, setelah memberikan Putra-Nya sendiri untuk “kita semua” (Rm. 8:31–32). Tidak ada yang dapat memisahkan kita dan kasih Allah dalam Kristus Yesus, Allah kita (Rm. 8:35–39). “Baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:38–39). Banyak dari hal-hal tersebut tampaknya menjadi ancaman bagi kita dalam dunia kerja. Kita menghadapi atasan (penguasa) yang mengancam atau tidak kompeten. Kita terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang tanpa hasil (hal-hal yang ada). Saat ini kita berkorban—bekerja dengan jam kerja yang panjang, mengambil kelas sepulang kerja, menjalani magang dengan upah rendah, pindah ke negara lain untuk mencari pekerjaan—yang kita harap akan membuahkan hasil di kemudian hari, namun mungkin tidak akan pernah berjalan dengan baik (hal-hal yang akan datang). Kita kehilangan pekerjaan karena siklus ekonomi atau peraturan atau tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa yang bahkan tidak pernah kita lihat (kekuasaan). Kita dipaksa oleh keadaan, kebodohan, atau kejahatan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang merendahkan martabat atau berbahaya. Semua hal ini bisa sangat merugikan kita. Tapi mereka tidak bisa menang atas kita.

Kesetiaan Kristus—dan kesetiaan kita, melalui kasih karunia Allah—mengatasi dampak terburuk yang dapat ditimbulkan oleh kehidupan dan kerja terhadap kita. Jika kemajuan karier, pendapatan, atau prestise adalah tujuan tertinggi kita di tempat kerja, kita mungkin akan kecewa. Namun jika keselamatan—yaitu rekonsiliasi dengan Allah dan manusia, kesetiaan dan keadilan—adalah harapan utama kita, maka kita akan menemukannya di tengah-tengah pekerjaan yang baik dan buruk. Penegasan Paulus berarti bahwa apa pun kesulitan yang kita hadapi dalam pekerjaan kita, atau kerumitan dan tantangan yang kita hadapi dengan rekan kerja atau atasan di tempat kerja kita, kasih Allah di dalam Kristus selalu tinggal bersama kita. Kasih Allah di dalam Kristus adalah kekuatan yang memantapkan di tengah kesengsaraan saat ini, sekaligus pengharapan kita akan penebusan tubuh di masa depan.

Karakter Allah adalah Memberi Kemurahan kepada Semua Orang (Roma 9–11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam Roma 9–11, Paulus kembali membahas masalah utama yang ingin dibahas dalam surat ini—konflik antara orang Kristen Yahudi dan non-Yahudi. Karena hal ini bukan perhatian utama kita dalam teologi kerja, kita akan merangkumnya secara singkat.

Paulus membahas sejarah Allah dengan Israel, dengan perhatian khusus pada belas kasihan Allah (Rm. 9:14-18). Ia menjelaskan bagaimana keselamatan dari Allah juga datang kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Orang Yahudilah yang pertama kali mengalami keselamatan dari Allah, dimulai dari Abraham (Rm. 9:4-7). Namun banyak yang jatuh, dan saat ini tampaknya bangsa non-Yahudi lebih setia (Rm. 9:30-33). Namun orang-orang non-Yahudi tidak boleh menghakimi, karena keselamatan mereka terjalin bersama orang Yahudi (Rm. 11:11-16). Allah telah memelihara “sisa” umat-Nya (Rm. 9:27, 11:5) yang kesetiaannya—oleh kasih karunia Allah—membawa kepada rekonsiliasi dunia.

Jadi, bagi orang Yahudi dan non-Yahudi, keselamatan adalah tindakan belas kasihan Allah, bukan imbalan atas ketaatan manusia (Rm. 9:6-13). Dengan mengingat hal ini, Paulus menanggapi sejumlah argumen dari kedua belah pihak, selalu menyimpulkan bahwa “Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Rm. 9:18). Baik orang Yahudi maupun orang non-Yahudi bukan diselamatkan karena tindakan mereka sendiri, melainkan karena kemurahan Allah.

Keselamatan dari Allah, kata Paulus, diperoleh dengan mengakui Yesus sebagai Allah dan percaya bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari kematian (Rm. 10:9-10). Dengan kata lain, keselamatan datang kepada setiap orang yang percaya pada kuasa Allah yang memberi kehidupan yang memperkaya kehidupan baik orang Yahudi maupun orang non-Yahudi yang mengikuti Yesus sebagai Allah (lihat Roma 10:12–13). Ketidaktaatan—baik yang dilakukan oleh orang-orang non-Yahudi maupun orang Yahudi—memberikan kesempatan kepada Allah untuk menunjukkan kepada dunia kemurahan Allah terhadap semua orang (Rm. 11:33). Perhatian Paulus dalam surat ini adalah untuk merekonsiliasikan hubungan yang rusak antara pengikut Yesus yang Yahudi dan non-Yahudi.

Roma 9–11 menawarkan pengharapan bagi kita semua dalam kerja dan tempat kerja kita. Pertama, Paulus menekankan keinginan Allah untuk mengasihani orang yang tidak taat. Kita semua, pada suatu saat dalam kehidupan kerja kita, telah gagal mewujudkan iman dan kesetiaan Kristus dalam beberapa aspek pekerjaan kita. Jika Allah mengasihani kita (Rm. 11:30), kita dipanggil untuk mengasihani orang lain dalam pekerjaan kita. Hal ini tidak berarti mengabaikan kinerja buruk atau berdiam diri saat menghadapi pelecehan atau diskriminasi. Kemurahan hati bukanlah pemberdayaan penindasan. Sebaliknya, ini berarti tidak membiarkan kegagalan seseorang membuat kita menyalahkan orang tersebut secara keseluruhan. Ketika seseorang yang bekerja bersama kita melakukan kesalahan, kita tidak boleh menghakimi mereka sebagai orang yang tidak kompeten, namun kita harus membantu mereka untuk pulih dari kesalahan tersebut dan belajar bagaimana agar tidak mengulanginya. Ketika seseorang melanggar kepercayaan kita, kita harus meminta pertanggungjawaban orang tersebut, dan pada saat yang sama menawarkan pengampunan yang, jika ditanggapi dengan pertobatan, akan menciptakan jalan untuk membangun kembali kepercayaan.

Kedua, bagian surat ini mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk bertekun sebagai orang Kristen yang setia agar kita bisa menjadi “sisa” yang setia (Rm. 11:5) mewakili mereka yang untuk sementara waktu tersandung dalam ketaatan iman mereka. Ketika kita melihat orang-orang di sekitar kita gagal, tugas kita bukanlah menghakimi mereka, namun menggantikan mereka. Barangkali kesetiaan kita bisa meringankan kerugian yang menimpa sesama dan bahkan membebaskan mereka yang menyebabkannya dari hukuman berat. Jika kita melihat seorang kolega memperlakukan pelanggan atau bawahan secara keliru, misalnya, mungkin kita bisa melakukan intervensi untuk memperbaiki situasi sebelum hal tersebut menjadi pelanggaran pemecatan. Ketika kita mengingat betapa dekatnya kita tersandung atau berapa kali kita gagal, respons kita terhadap kegagalan orang lain adalah kemurahan, seperti yang dilakukan Kristus. Ini tidak berarti kita membiarkan orang menganiaya sesama. Hal ini berarti kita mengambil risiko, seperti yang dilakukan Kristus, demi penebusan orang-orang yang telah melakukan kesalahan di bawah kuasa dosa.

Ketiga, pasal-pasal ini mengingatkan kita untuk menunjukkan kepada kolega-kolega kita yang lain seperti apa ketaatan iman dalam hidup dan kerja sehari-hari. Jika kita benar-benar berjalan dalam hidup yang baru (lihat “Berjalan dalam Hidup yang Baru” di Roma 6) dan memantapkan pikiran kita tentang bagaimana tindakan kita dapat membawa kualitas hidup yang baru kepada orang-orang di sekitar kita (lihat “Hidup Menurut Roh Menuntun pada Kualitas Hidup yang Baru” dalam Roma 8), bukankah orang lain akan tertarik untuk melakukan hal yang sama? Tindakan kita di tempat kerja mungkin merupakan pujian paling lantang yang pernah kita berikan kepada Allah dan kesaksian paling menarik yang pernah dilihat rekan kerja kita. Keinginan Allah adalah agar semua orang di dunia dapat berdamai dengan Allah dan satu sama lain. Jadi setiap aspek kerja dan hidup kita menjadi kesempatan untuk bersaksi bagi Kristus—menjadi salah satu agen rekonsiliasi Allah di dunia.

Keempat, kita harus tetap rendah hati. Ketika kita, seperti faksi-faksi yang menerima surat Paulus, menilai posisi kita lebih unggul dibandingkan orang-orang di sekitar kita, kita membayangkan bahwa kita mempunyai jalur orang dalam menuju Allah. Paulus secara langsung menentang arogansi ini. Kita tidak tahu segalanya tentang cara Allah bekerja dalam diri orang lain. Seperti yang dikatakan Jenderal Peter Pace, pensiunan ketua kepala staf gabungan Angkatan Bersenjata A.S., “Anda harus selalu mengatakan kebenaran sebagaimana yang Anda ketahui, dan Anda harus memahami bahwa ada banyak hal yang tidak Anda ketahui.”[1]

Cara spesifik kita mewujudkan pelayanan rekonsiliasi di dunia ini sama beragamnya dengan pekerjaan dan tempat kerja kita. Oleh karena itu, kita membuka Roma 12 untuk mendapatkan arahan lebih lanjut dari Paulus tentang bagaimana menemukan cara untuk melaksanakan kasih Allah yang mendamaikan dalam pekerjaan kita.

Komunitas Kasih Karunia Sedang Bekerja (Roma 12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Roma 12 menyoroti aspek sosial dan komunitas dari keselamatan. Paulus tidak menulis kepada individu tetapi kepada komunitas Kristen di Roma, dan perhatiannya selalu tertuju pada kehidupan mereka bersama—dengan penekanan khusus pada pekerjaan mereka. Seperti yang kita lihat dalam Roma 1–3, keselamatan di dalam Kristus mencakup rekonsiliasi, kebenaran dan keadilan, serta iman dan kesetiaan. Masing-masing hal ini mempunyai aspek komunal—rekonsiliasi dengan sesama, keadilan di tengah bangsa-bangsa, kesetiaan kepada sesama.

Berubahlah Oleh Pembaruan Pikiran Anda (Roma 12:1–3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Menghidupkan aspek keselamatan komunal berarti suatu reorientasi pikiran dan kemauan kita dari mementingkan diri sendiri menjadi melayani komunitas.

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna. Berdasarkan anugerah yang diberikan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir sedemikian rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Rm. 12:2–3)

Mari kita mulai dengan bagian kedua dari perikop ini, di mana Paulus memperjelas aspek komunal secara eksplisit. “Aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan.” Dengan kata lain, kurangi memikirkan diri sendiri dan lebih memikirkan orang lain, lebih banyak memikirkan komunitas. Kemudian di pasal 12 Paulus memperkuat hal ini dengan menambahkan, “saling mengasihi sebagai saudara” (Rm. 12:10), “Turutlah menanggung kekurangan orang-orang kudus,” “usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan” (Rm. 12:13), “lakukanlah apa yang baik bagi semua orang” (Rm. 12:17), dan “hiduplah dalam damai dengan semua orang” (Rm. 12:18).

Bagian pertama dari ayat ini mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat mendahulukan orang lain tanpa kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Seperti yang Paulus tunjukkan dalam Roma 1, manusia diperbudak oleh “pikiran-pikiran yang terkutuk” (Rm. 1:28), “pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Rm. 1:21), yang mengakibatkan mereka melakukan segala jenis kejahatan terhadap satu sama lain (Rm. 1:22–32). Keselamatan adalah pembebasan dari perbudakan pikiran ini, “sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.” Hanya jika pikiran kita diubah dari sikap mementingkan diri sendiri menjadi sikap mementingkan sesama—meniru Kristus, yang mengorbankan diri-Nya demi orang lain—kita dapat menempatkan rekonsiliasi, keadilan, dan kesetiaan di atas tujuan yang mementingkan diri sendiri.

Dengan pikiran yang diubahkan, tujuan kita beralih dari membenarkan tindakan kita yang egois menjadi memberikan kehidupan baru kepada orang lain. Misalnya, bayangkan Anda adalah supervisor shift di sebuah restoran dan Anda menjadi kandidat untuk dipromosikan menjadi manajer. Jika pikiran Anda tidak diubahkan, tujuan utama Anda adalah mengalahkan kandidat lainnya. Tidak akan tampak sulit untuk membenarkan tindakan-tindakan (bagi diri Anda sendiri) seperti menyembunyikan informasi dari kandidat lain tentang masalah pemasok, mengabaikan masalah sanitasi yang hanya akan terlihat pada giliran jam kerja pekerja lain, menyebarkan perbedaan pendapat di antara para pekerja, atau menghindari kolaborasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan. Hal ini tidak hanya akan merugikan kandidat lain tetapi juga pekerja shift mereka, restoran secara keseluruhan, dan para pelanggannya. Di sisi lain, jika pikiran Anda diubahkan untuk pertama-tama lebih peduli pada orang lain, maka Anda akan membantu kandidat lain untuk bekerja dengan baik, bukan hanya demi kepentingan mereka tetapi juga demi kepentingan restoran, para pekerja, dan para pelanggan.

Pengorbanan Hidup Demi Komunitas (Roma 12:1–3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tentu saja, mendahulukan orang lain daripada diri kita sendiri memerlukan pengorbanan. “Mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup,” nasihat Paulus (Rm. 12:1). Kata tubuh dan hidup menekankan bahwa yang dimaksud Paulus adalah tindakan praktis dalam dunia hidup dan pekerjaan sehari-hari. Semua orang percaya menjadi persembahan yang hidup dengan mempersembahkan waktu, bakat, dan tenaganya dalam pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain dan/atau seluruh ciptaan Allah.

Kita dapat memberikan persembahan yang hidup kepada Allah setiap saat dalam hidup kita. Kita melakukannya ketika kita memaafkan seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap kita di tempat kerja atau ketika kita mengambil risiko untuk membantu menyembuhkan suatu perselisihan di antara orang lain. Kita memberikan persembahan yang hidup ketika kita tidak menggunakan sumber daya bumi yang tidak berkelanjutan demi mengejar kenyamanan kita sendiri. Kita memberikan persembahan yang hidup ketika kita melakukan pekerjaan yang kurang memuaskan karena menghidupi keluarga lebih penting bagi kita daripada mencari pekerjaan yang sempurna. Kita menjadi persembahan yang hidup ketika kita meninggalkan posisi yang memuaskan agar pasangan kita bisa menerima pekerjaan impian di kota lain. Kita menjadi persembahan yang hidup ketika, sebagai atasan, kita menerima disalahkan atas kesalahan bawahan dalam pekerjaannya.

Melibatkan Komunitas dalam Keputusan Anda (Roma 12:1–3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Transformasi pikiran “sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah” (Rm. 12:2) terjadi seiring dengan melibatkan komunitas iman dalam keputusan-keputusan kita. Seperti halnya mereka yang sedang dalam proses diselamatkan, kita membawa orang lain ke dalam proses pengambilan keputusan kita. Kata yang Paulus gunakan untuk “membedakan” secara harafiah berarti “menguji” atau “menyetujui” dalam bahasa Yunani (dokimazein). Keputusan kita harus diuji dan disetujui oleh orang percaya lainnya sebelum kita bisa yakin bahwa kita telah memahami kehendak Allah. Peringatan Paulus “janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan” (Rm. 12:3) berlaku bagi kemampuan kita dalam mengambil keputusan. Jangan berpikir bahwa Anda mempunyai hikmat, moral yang tinggi, pengetahuan yang luas, atau apa pun yang diperlukan untuk memahami kehendak Allah sendiri. “Janganlah menganggap dirimu pandai” (Rm. 12:16). Hanya dengan melibatkan anggota komunitas yang setia beriman lainnya, dengan keragaman karunia dan hikmatnya (Rm. 12:4-8) hidup selaras satu sama lain (Rm. 12:16), kita dapat mengembangkan, menguji, dan menyetujui keputusan-keputusan yang dapat diandalkan.

Ini lebih menantang daripada yang ingin kita akui. Kita mungkin berkumpul untuk menerima ajaran moral sebagai sebuah komunitas, namun seberapa sering kita benar-benar berbicara satu sama lain ketika membuat keputusan moral? Seringkali keputusan diambil oleh penanggung jawab melalui pertimbangan secara individual, mungkin setelah menerima masukan dari beberapa penasihat. Kita cenderung bertindak seperti ini karena diskusi moral tidak nyaman, atau “panas” seperti yang dikatakan Ronald Heifetz. Masyarakat tidak suka melakukan perbincangan yang memanas karena “kebanyakan masyarakat ingin mempertahankan status quo dan menghindari permasalahan yang sulit.”[1] Selain itu, kita sering merasa bahwa pengambilan keputusan dalam komunitas merupakan ancaman terhadap kekuasaan apa pun yang kita miliki. Namun mengambil keputusan sendiri biasanya berarti mengikuti bias yang sudah ada sebelumnya, dengan kata lain, “menjadi serupa dengan dunia ini” (Rm. 12:2). Hal ini menimbulkan kesulitan dalam lingkup kerja. Bagaimana jika kita tidak bekerja dalam komunitas iman, namun di perusahaan sekuler, pemerintahan, lembaga akademis, atau lingkungan lainnya? Kita bisa menilai tindakan kita secara komunal dengan rekan kerja kita, tapi mereka mungkin tidak selaras dengan kehendak Allah. Kita dapat menilai tindakan kita secara komunal dengan kelompok kecil kita atau orang lain di gereja kita, namun mereka mungkin tidak akan memahami pekerjaan kita dengan baik. Salah satu—atau keduanya—dari praktik-praktik ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun yang lebih baik adalah mengumpulkan sekelompok orang percaya dari tempat kerja kita—atau setidaknya orang-orang percaya yang bekerja dalam situasi serupa—dan merenungkan tindakan kita bersama mereka. Jika kita ingin menilai seberapa baik tindakan kita sebagai programmer, pemadam kebakaran, pegawai negeri, atau guru sekolah (misalnya) menerapkan rekonsiliasi, keadilan, dan kesetiaan, siapa yang lebih baik untuk melakukan refleksi daripada programmer Kristen, pemadam kebakaran, pegawai negeri, atau guru sekolah lainnya? (Lihat “Equipping Churches Encourage Everyone to Take Responsibility” dalam The Equipping Church di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini.)

Bekerja Sebagai Sesama Anggota (Roma 12:4–8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu penerapan praktis yang penting dalam menjalani hidup yang baru adalah dengan menyadari bahwa kita semua saling bergantung pada pekerjaan satu sama lain. “Sebab sama seperti pada satu tubuh, kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.” (Rm. 12:4 –5). Saling ketergantungan ini bukanlah suatu kelemahan, melainkan anugerah dari Allah. Saat kita diselamatkan oleh Allah, kita menjadi lebih terintegrasi satu sama lain.

Paulus menerapkan hal ini pada pekerjaan yang kita masing-masing lakukan dalam peran kita masing-masing. “Kita mempunyai karunia yang berlain-lainan” (Rm. 12:6a) ia mencatat, dan ketika ia menyebutkan beberapa di antaranya, kita melihat bahwa karunia-karunia tersebut merupakan bentuk pekerjaan: bernubuat, pelayanan, pengajaran, menasihati, kemurahan hati, kepemimpinan, dan belas kasihan. Masing-masing dari mereka adalah “anugerah yang diberikan kepada kita” (Rm. 12:6b) yang memungkinkan kita bekerja demi kebaikan komunitas.

Paulus mengembangkan proses ini dalam konteks komunitas tertentu—gereja. Ini cocok karena keseluruhan surat ini berkisar pada suatu masalah dalam gereja—konflik antara orang percaya Yahudi dan non-Yahudi. Namun daftar tersebut tidak terlalu bersifat “gerejawi”. Semuanya sama-sama dapat diterapkan untuk pekerjaan di luar gereja. Nubuat—”mewartakan suatu pesan yang disampaikan secara ilahi” atau “mengungkap sesuatu yang tersembunyi”[1] —adalah kemampuan untuk menerapkan firman Allah dalam situasi yang gelap, sesuatu yang sangat dibutuhkan di setiap tempat kerja. Pelayanan—dalam kaitan dengan kata “administrasi”—adalah kemampuan untuk mengatur pekerjaan sehingga benar-benar melayani orang-orang yang seharusnya dilayani, misalnya pelanggan, warga negara, atau pelajar. Istilah lain untuk itu adalah “manajemen.” Pengajaran, nasihat (atau “dorongan semangat”), dan kepemimpinan jelas dapat diterapkan di lingkungan sekuler maupun di gereja. Begitu juga dengan kemurahan hati, ketika kita ingat bahwa memberikan waktu, keterampilan, kesabaran, atau keahlian kita untuk membantu orang lain di tempat kerja adalah bentuk kemurahan hati.

Belas kasihan adalah elemen kerja yang sangat diremehkan. Meskipun kita mungkin tergoda untuk menganggap belas kasihan sebagai penghalang dalam dunia kerja yang kompetitif, hal ini sebenarnya penting agar bisa melakukan pekerjaan kita dengan baik. Nilai pekerjaan kita bukan hanya datang dari mencurahkan waktu, namun dari kepedulian terhadap bagaimana barang atau jasa kita bermanfaat bagi orang lain—dengan kata lain, berdasarkan belas kasihan. Montir yang tidak peduli apakah suku cadangnya dipasang dengan benar tidak akan berguna bagi perusahaan, pelanggan, atau rekan kerja, dan cepat atau lambat akan menjadi kandidat untuk dipecat. Atau jika perusahaan otomotif itu tidak peduli apakah pekerjanya peduli terhadap pelanggannya, pelanggan akan segera beralih ke merek lain. Pengecualian untuk hal ini adalah produk dan layanan yang dengan sengaja mengambil keuntungan dari kelemahan pelanggan—zat adiktif, pornografi, produk yang mempermainkan ketakutan terhadap citra tubuh dan sejenisnya. Untuk menghasilkan uang dalam kasus seperti ini, mungkin perlu untuk tidak memiliki rasa kasihan terhadap pelanggan. Fakta bahwa kita bisa menghasilkan uang dengan merugikan pelanggan dalam bidang-bidang ini menunjukkan bahwa orang Kristen harus berusaha menghindari tempat kerja di mana belas kasihan tidak penting untuk kesuksesan. Pekerjaan yang sah menghasilkan uang dari memenuhi kebutuhan sejati orang, bukan dari mengeksploitasi kelemahan mereka.

Dengan semua karunia ini, kuasa Allah yang memberi kehidupan dialami dalam tindakan dan cara tertentu dalam melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kuasa Allah yang memperkaya kehidupan manusia muncul melalui tindakan nyata yang dilakukan para pengikut Yesus. Kasih karunia Allah menghasilkan tindakan dalam diri umat Allah demi kebaikan orang lain.

Prinsip-prinsip Perilaku Spesifik untuk Memandu Ketajaman Moral (Roma 12:9–21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Paulus mengidentifikasi prinsip-prinsip pemandu spesifik untuk membantu kita menjadi saluran bagi perhatian menyeluruh agar kasih menjadi tulus—atau, secara harafiah, “jangan pura-pura” (Rm. 12:9). Ayat-ayat selebihnya dari Roma 12:9-13 menguraikan tentang kasih yang sejati, termasuk kehormatan, kesabaran dalam penderitaan, ketekunan dalam doa, kemurahan hati kepada mereka yang membutuhkan, dan keramahtamahan kepada semua orang.

Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Roma 12:16–18, di mana Paulus mendorong jemaat di Roma untuk “hiduplah dalam damai dengan semua orang.” Secara khusus, katanya, hal ini berarti bergaul dengan pihak yang paling tidak memiliki kuasa dalam komunitas, menolak keinginan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, dan, jika memungkinkan, hidup damai dengan semua orang.

Jika kita memiliki kasih yang tulus, maka kita peduli terhadap orang-orang yang baginya kita bekerja, demikian pula bagi yang bekerja di antara kita. Menurut definisinya, ketika kita bekerja, kita melakukannya setidaknya sebagian sebagai alat untuk mencapai tujuan. Namun kita tidak pernah bisa memperlakukan orang-orang yang bekerja bersama kita sebagai alat untuk mencapai tujuan. Masing-masing pada dasarnya berharga dalam dirinya sendiri, sedemikian rupa sehingga Kristus mati bagi masing-masing orang. Ini adalah kasih yang tulus, memperlakukan setiap orang sebagai orang yang bagi mereka Kristus telah mati dan bangkit kembali untuk membawa kehidupan baru.

Kita menunjukkan kasih yang tulus ketika kita menghormati orang-orang yang bekerja bersama kita, memanggil setiap orang dengan namanya tanpa memandang status mereka, dan menghormati keluarga, budaya, bahasa, aspirasi, dan pekerjaan yang mereka lakukan. Kita menunjukkan kasih yang tulus ketika kita bersabar terhadap bawahan yang melakukan kesalahan, pelajar yang lambat belajarnya, rekan kerja yang kecacatannya membuat kita tidak nyaman. Kita menunjukkan kasih yang tulus melalui keramahtamahan kepada karyawan baru, orang yang datang larut malam, pasien yang mengalami disorientasi, penumpang yang terlantar, bos yang baru saja dipromosikan. Setiap hari kita menghadapi kemungkinan seseorang akan melakukan kejahatan kepada kita, kecil ataupun besar. Namun perlindungan kita bukanlah melakukan kejahatan terhadap orang lain demi membela diri, atau menjadi putus asa, melainkan “kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rm. 12:21). Kita tidak dapat melakukan hal ini dengan kekuatan kita sendiri, tetapi hanya dengan hidup dalam Roh Kristus.

Hidup di Bawah Kuasa Allah (Roma 13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

”Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya,” kata Paulus. “Pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1). Tahu bahwa sistem pemerintahan Roma tidak sejalan dengan keadilan Allah, nasihat ini pasti sulit diterima oleh sebagian orang dalam jemaat Roma. Bagaimana mungkin menaati kaisar Romawi yang kejam dan penyembah berhala bisa menjadi cara hidup dalam Roh? Jawaban Paulus adalah bahwa Allah berdaulat atas setiap otoritas di dunia dan bahwa Allah akan mengurus otoritas tersebut pada saat yang tepat. Bahkan Roma, meskipun kuat dulunya, pada akhirnya tunduk pada kuasa Allah.

Di tempat kerja, sering kali benar bahwa “Sebab jika seseorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat.” (Rm. 13:3). Atasan sering kali mengatur pekerjaan secara efektif dan menciptakan lingkungan yang adil untuk menyelesaikan perselisihan. Pengadilan secara teratur menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan hak paten, hak atas tanah, hubungan kerja, dan kontrak secara adil. Pembuat aturan sering kali berfungsi untuk melindungi lingkungan, mencegah penipuan, menegakkan keselamatan di tempat kerja, dan memastikan akses yang setara terhadap peluang mendapatkan rumah. Polisi umumnya menangkap penjahat dan membantu orang yang tidak bersalah. Kenyataan bahwa bahkan pihak berwenang yang tidak beriman sering kali melakukan sesuatu dengan benar merupakan tanda anugerah Allah di dunia ini.

Namun otoritas di dunia bisnis, pemerintahan, dan tempat kerja bisa membuat berbagai hal sangat keliru dan terkadang menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan egois. Ketika hal ini terjadi, akan menolong untuk membedakan antara kekuatan yang dihasilkan oleh manusia (bahkan jika kekuatan tersebut signifikan) dan kekuatan Allah yang ada di atas, di balik, dan di seluruh ciptaan. Sering kali kekuatan manusia begitu dekat dengan kita sehingga mereka cenderung menghalangi kesadaran kita akan gerakan Allah dalam hidup kita. Perikop ini berfungsi sebagai dorongan semangat untuk membedakan di mana Allah aktif dan menggabungkan hidup kita dengan aktivitas Allah yang akan menumbuhkan kepenuhan hidup yang sejati bagi kita dan semua orang.

Orang-orang yang bekerja di Tyco International ketika Dennis Kozlowski menjadi CEO pasti bertanya-tanya mengapa ia dibiarkan lolos menggerebek pundi-pundi perusahaan untuk membiayai gaya hidup pribadinya yang berlebihan. Kita dapat membayangkan bahwa mereka yang berusaha bekerja dengan integritas mungkin merasa takut dengan pekerjaannya. Beberapa orang yang etis mungkin menyerah pada tekanan untuk berpartisipasi dalam skema Kozlowski. Namun akhirnya Kozlowski dipergoki, didakwa, dan dihukum karena pencurian besar-besaran, konspirasi, dan penipuan.[1] Mereka yang percaya bahwa keadilan pada akhirnya akan dipulihkan berada di pihak yang benar.

Paulus memberikan nasihat praktis kepada orang-orang Kristen di Roma, yang hidup di tengah-tengah otoritas manusia paling berkuasa yang pernah ada di dunia Barat. Patuhi hukum, bayar pajak dan biaya komersial, hormati dan hargai mereka yang memegang kekuasaan (Rm. 12:7). Mungkin ada yang berpikir bahwa, sebagai orang Kristen, mereka harus memberontak melawan ketidakadilan Romawi. Namun Paulus tampaknya melihat sikap mereka yang mementingkan diri sendiri, dan bukannya mementingkan Allah. Pemberontakan yang mementingkan diri sendiri tidak akan mempersiapkan mereka menghadapi “hari” Allah (Rm. 13:12) yang akan datang.

Misalnya, di beberapa negara, penghindaran pajak merupakan hal yang lumrah sehingga layanan yang dibutuhkan tidak dapat diberikan, suap (untuk memungkinkan penghindaran pajak) merusak pejabat di semua tingkatan, dan beban pajak didistribusikan secara tidak adil. Pemerintah kehilangan legitimasinya baik di mata wajib pajak maupun penghindar pajak. Ketidakstabilan sipil memperlambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Tidak diragukan lagi, sebagian besar uang yang dikumpulkan digunakan untuk tujuan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristen, dan banyak umat Kristen mungkin menanggapinya dengan menghindari pajak bersama dengan orang lain. Namun apa yang akan terjadi jika umat Kristen berkomitmen, secara terorganisir, untuk membayar pajak dan memantau penggunaan dana pemerintah? Diperlukan waktu puluhan tahun untuk mereformasi pemerintahan dengan cara seperti ini, namun apakah hal ini akan berhasil pada akhirnya? Argumen Paulus dalam Roma 12 menunjukkan bahwa hal tersebut bisa terjadi.

Banyak orang Kristen yang hidup di negara-negara demokrasi saat ini, yang memberikan tanggung jawab tambahan untuk memilih undang-undang bijaksana yang mengekspresikan keadilan Allah sebaik mungkin. Setelah suara dihitung, kita mempunyai tanggung jawab untuk mematuhi undang-undang dan pihak berwenang, meskipun kita tidak setuju dengan mereka. Kata-kata Paulus menyiratkan bahwa kita harus menaati otoritas yang sah, bahkan saat kita berupaya mengubah pihak yang tidak adil melalui cara-cara demokratis.

Di setiap bidang kehidupan, kita mempunyai tanggung jawab yang berkelanjutan untuk melawan dan mengubah semua sistem yang tidak adil, dengan selalu menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi. Meski begitu, kita harus menunjukkan rasa hormat kepada pihak berwenang, baik di tempat kerja, sekolah, gereja, pemerintahan, atau kehidupan bermasyarakat. Kami percaya bahwa perubahan akan terjadi bukan karena kami mengungkapkan kemarahan, namun karena Allah berdaulat atas segalanya.

Paulus menyelesaikan pasal 13 dengan mencatat bahwa dengan mengasihi orang lain, kita memenuhi sepuluh perintah Allah. Hidup dalam Roh secara inheren menggenapi hukum Yahudi, bahkan oleh mereka yang tidak mengetahuinya. Ia menegaskan kembali bahwa hal ini tidak terjadi melalui usaha manusia, namun melalui kuasa Kristus di dalam diri kita. “Kenakan Tuhan Yesus Kristus,” tutupnya (Rm. 13:14).

Penerimaan—Hidup Damai dengan Nilai dan Pendapat yang Berbeda (Roma 14–15)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada bagian surat ini, Paulus telah selesai mengembangkan metode penalaran moralnya. Kini ia berhenti sejenak untuk memberikan beberapa implikasi yang timbul dari hal ini dalam konteks unik gereja-gereja Roma, yaitu perselisihan di antara orang-orang percaya.

Implikasi utamanya bagi gereja-gereja Roma adalah penerimaan dengan tangan terbuka. Umat ​​​​Kristen Roma harus saling menerima. Tidak sulit untuk melihat bagaimana Paulus memperoleh implikasi ini. Tujuan dari penalaran moral, menurut Roma 6, adalah untuk “hidup dalam hidup yang baru,” artinya membawa kualitas hidup yang baru kepada orang-orang di sekitar kita. Jika Anda berada dalam hubungan yang rusak dengan seseorang, menerima dengan tangan terbuka pada dasarnya adalah kualitas hidup yang baru. Mennerima dengan tangan terbuka adalah rekonsiliasi dalam praktiknya. Pertengkaran bertujuan untuk mengecualikan orang lain, namun penerimaan berupaya untuk melibatkan mereka, bahkan ketika hal itu berarti menghormati hal-hal yang tidak disepakati.

Penerimaan Mengatasi Pertengkaran Karena Perbedaan Pendapat (Roma 14:1–23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya,” Paulus memulai (Rm. 14:1). Mereka yang “lemah imannya” mungkin adalah mereka yang kurang percaya pada keyakinan mereka sendiri mengenai isu-isu yang diperdebatkan (lihat Roma 14:23) dan bergantung pada peraturan yang ketat untuk mengatur tindakan mereka. Secara khusus, beberapa orang Kristen Yahudi mematuhi ketatnya hukum makanan Yahudi dan tersinggung karena orang Kristen lainnya mengonsumsi daging dan minuman tidak halal. Tampaknya mereka bahkan menolak makan bersama orang-orang yang tidak menjaga halal.[1] Meskipun mereka menganggap ketatnya memegang aturan sebagai sebuah kekuatan, Paulus berkata bahwa hal itu menjadi sebuah kelemahan jika menyebabkan mereka menghakimi orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama. Paulus mengatakan bahwa mereka yang menjaga halal “janganlah menghakimi orang yang makan [daging non-halal].”

Meskipun demikian, tanggapan Paulus terhadap kelemahan mereka bukanlah dengan berdebat, atau mengabaikan keyakinan mereka, namun melakukan apa pun yang membuat mereka merasa diterima. Ia mengatakan kepada mereka yang tidak menjaga halal agar tidak memamerkan kebebasan mereka untuk makan apa pun, karena hal ini akan mengharuskan pemelihara halal untuk memutuskan persekutuan dengan mereka atau melanggar hati nurani mereka. Jika tidak ditemukan daging halal, maka orang yang tidak halal harus bergabung dengan orang halal dan hanya makan sayuran, daripada menuntut penjaga halal melanggar hati nuraninya. “Seseorang akan bersalah, jika oleh makanannya orang lain tersandung!” kata Paulus (Rm. 14:20).

Kedua kelompok sangat yakin bahwa pandangan mereka penting secara moral. Kelompok yang kuat percaya bahwa menjaga halal bagi orang non-Yahudi merupakan penolakan terhadap kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus. Kaum lemah percaya bahwa tidak menjaga halal—dan sekedar makan bersama orang yang tidak menjaga halal—adalah penghinaan terhadap Allah dan pelanggaran terhadap hukum Yahudi. Argumen ini memanas karena kebebasan dalam Kristus dan ketaatan pada perjanjian Allah merupakan persoalan moral dan agama yang sangat penting. Namun hubungan dalam komunitas jauh lebih penting. Hidup di dalam Kristus bukan berarti benar atau salah dalam suatu permasalahan tertentu. Ini tentang menjalin hubungan yang benar dengan Allah dan satu sama lain, tentang “damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus” (Rm. 14:18).

Ketidaksepakatan moral bisa menjadi lebih sulit di tempat kerja, dimana titik temunya lebih sedikit. Aspek yang menarik dalam hal ini adalah perhatian khusus Paulus terhadap mereka yang lemah. Meskipun ia meminta kedua kelompok untuk tidak menghakimi satu sama lain, ia memberikan beban praktis yang lebih besar kepada pihak yang kuat. “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan diri sendiri” (Rm. 15:1). Teladan kita dalam hal ini adalah Yesus, “yang tidak mencari kesenangan-Nya sendiri” (Rm. 15:3). Ini berarti bahwa mereka yang berada di pihak sayap kanan, atau mayoritas, atau yang mempunyai kekuasaan paling besar dipanggil untuk secara sukarela menahan diri dari menyinggung hati nurani orang lain. Di sebagian besar tempat kerja, yang terjadi justru sebaliknya. Pihak yang lemah harus menyesuaikan diri dengan perintah pihak yang kuat, meskipun tindakan tersebut melanggar hati nuraninya.

Bayangkan, misalnya, seseorang di tempat kerja Anda mempunyai keyakinan agama atau moral yang menuntut kesopanan tertentu dalam berpakaian, misalnya menutupi rambut, bahu, atau kaki. Keyakinan ini bisa menjadi sebuah bentuk kelemahan, menggunakan terminologi Paulus, jika hal itu membuat orang tersebut merasa tidak nyaman berada di dekat orang lain yang tidak mengikuti gagasan mereka tentang berpakaian sopan. Mungkin Anda tidak akan keberatan dengan orang yang mengenakan pakaian sopan seperti itu. Namun argumen Paulus menyiratkan bahwa Anda dan semua rekan kerja Anda juga harus berpakaian sopan sesuai dengan standar orang lain, setidaknya jika Anda ingin menjadikan tempat kerja Anda sebagai tempat yang penuh penerimaan dan rekonsiliasi. Pihak yang kuat (yang tidak terhambat oleh legalisme aturan berpakaian) harus menyambut pihak yang lemah (yang tersinggung dengan cara berpakaian orang lain) dengan mengakomodasi kelemahannya.

Ingatlah bahwa Paulus tidak ingin kita menuntut orang lain untuk mengakomodasi rasa bersalah kita. Itu akan menjadikan kita lemah iman, padahal Paulus ingin kita menjadi kuat dalam iman. Kita tidak boleh menjadi orang yang suka mengomel tentang pakaian, bahasa, atau selera musik orang lain di tempat kerja. Bayangkan jika orang Kristen mempunyai reputasi membuat semua orang merasa diterima, bukan menghakimi selera dan kebiasaan orang lain. Apakah hal itu akan membantu atau menghalangi misi Kristus di dunia kerja?

Penerimaan Membangun Komunitas (Roma 14:19–15:33)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Aspek lain dari penerimaan adalah memperkuat komunitas. “Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya” (Rm. 15:2) sama seperti tuan rumah yang menyambut tamu memastikan bahwa kunjungan itu menguatkan tamunya. “Sesama” di sini adalah anggota komunitas lainnya. “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun,” kata Paulus (Rm. 14:19). Saling membangun berarti bekerja sama dalam komunitas.

Dari bab 14 dan 15, kita melihat bahwa penerimaan adalah praktik yang ampuh. Paulus tidak berbicara tentang sekedar menyapa dengan senyuman di wajah kita. Ia berbicara tentang terlibat dalam kearifan moral yang mendalam sebagai sebuah komunitas, namun tetap menjalin hubungan yang hangat dengan mereka yang mempunyai kesimpulan moral yang berbeda, bahkan dalam hal-hal penting. Bagi Paulus, kesinambungan hubungan dalam komunitas lebih penting daripada kesimpulan moral tertentu. Hubungan memberikan kualitas hidup kepada masyarakat yang jauh melampaui kepuasan yang mungkin didapat karena merasa benar mengenai suatu isu atau menilai orang lain salah. Ini juga merupakan kesaksian yang lebih menarik bagi dunia di sekitar kita. “Sebab itu terimalah satu sama lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rm. 15:7). Ketika kita saling menerima, hasil akhirnya dengan kemurahan Allah (Rm. 15:9) adalah “segala suku bangsa memuji Dia” (Rm. 15:11).

Komunitas Pemimpin (Roma 16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Surat Roma pasal 16 meruntuhkan asumsi umum banyak orang mengenai sifat pekerjaan Paulus—yakni, bahwa ia adalah sosok yang penyendiri, heroik, menanggung kesulitan untuk melaksanakan panggilannya yang tersendiri dan agung untuk menyebarkan Injil di antara orang-orang non-Yahudi. Namun, dalam Roma 16, Paulus memperjelas bahwa pekerjaannya merupakan upaya komunitas. Paulus menyebutkan nama dua puluh sembilan rekan sekerjanya, ditambah lebih banyak lagi dengan istilah seperti “jemaat di rumah mereka” dan “saudara-saudara seiman yang Bersama-sama dengan mereka.” Daftar yang dibuat oleh Paulus menetapkan nilai yang setara terhadap pekerjaan baik perempuan maupun laki-laki, tanpa membedakan peran keduanya, dan tampaknya mencakup orang-orang dari berbagai lapisan sosial. Beberapa dari mereka jelas-jelas kaya, dan beberapa dari mereka mungkin adalah para budak yang telah dimerdekakan. Yang lain mungkin saja para budak. Paulus memuji pekerjaan khusus yang dilakukan banyak orang, misalnya mereka yang “mempertaruhkan nyawanya” (Rm. 16:4), “bekerja keras” (Rm. 16:6), “dipenjarakan bersama-sama dengan Aku” (Rm. 16: 7), “bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan” (Rm. 16:12), atau bertindak “bagiku adalah juga ibu” (Rm. 16:13). Ia menyebutkan karya Tertius “yang menulis surat ini” (Rm. 16:22) dan Erastus “bendahara negeri” (Rm. 16:23).

Mengamati Paulus dalam lingkaran rekan kerja yang begitu luas melemahkan penekanan Barat modern terhadap individualitas, khususnya di tempat kerja. Seperti semua orang yang ia sebutkan namanya, Paulus bekerja dalam komunitas demi kebaikan komunitas. Bagian terakhir dari surat ini memberi tahu kita bahwa Injil adalah pekerjaan semua orang. Tidak semua orang adalah rasul. Tidak semua dari kita dipanggil untuk meninggalkan pekerjaan kita dan berkeliling untuk berkhotbah. Daftar yang dibuat Paulus tentang beragam karunia pelayanan dalam Roma 12:6-8 memperjelas hal itu. Apapun jenis pekerjaan yang menyita waktu kita, kita dipanggil untuk bertindak sebagai pelayan kabar baik keselamatan Allah bagi semua orang. (Lihat “Bekerja Sebagai Sesama Anggota,” dalam Roma 12:4–8.)

Salam ini juga mengingatkan kita bahwa pemimpin gereja adalah pekerja. Terkadang kita tergoda untuk melihat pekerjaan Paulus berbeda dari pekerjaan lainnya. Namun referensi Paulus yang berulang kali mengenai pekerjaan orang-orang yang disebutkannya mengingatkan kita bahwa apa yang berlaku dalam pelayanan Paulus juga berlaku di semua tempat kerja. Di sini, dimana kita menghabiskan sebagian besar waktu kita setiap minggunya, kita akan belajar berjalan dalam hidup yang baru (Rm. 6:4)—atau tetap terperosok dalam kuasa kematian. Dalam hubungan di tempat kerja, kita diajak untuk mengupayakan kebaikan bagi orang lain, sesuai dengan teladan Kristus. Dalam pekerjaan biasa yang menggunakan pikiran, hati, dan tangan kita, di situlah kita ditawari kesempatan untuk menjadi saluran kasih karunia Allah bagi orang lain.

Dalam ayat-ayat terakhir kitab Roma, tampak jelas bahwa tidak ada pekerjaan seorang pun yang berdiri sendiri-sendiri; semuanya terjalin dengan pekerjaan orang lain. Paulus mengakui mereka yang telah mendahuluinya, yang mewariskan iman mereka kepadanya, mereka yang telah bekerja bersamanya, dan mereka yang telah mempertaruhkan nyawanya deminya dan demi pekerjaan mereka bersama. Sudut pandang ini memanggil kita masing-masing untuk melihat keseluruhan struktur komunitas yang membentuk tempat kerja kita, untuk mempertimbangkan semua kehidupan yang saling berkaitan dengan kehidupan kita, mendukung dan meningkatkan apa yang mampu kita lakukan, semua orang yang mengorbankan sesuatu yang mungkin mereka inginkan untuk diri mereka sendiri agar bermanfaat bagi kita dan bermanfaat bagi pekerjaan yang melampaui keberadaan kita menuju dunia Allah.

Ringkasan dan Kesimpulan Roma

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perhatian utama Paulus dalam surat Roma adalah keselamatan—rekonsiliasi Allah atas dunia melalui salib Yesus Kristus. Di dalam Kristus, Allah bekerja untuk mendamaikan semua orang dengan diri-Nya, mendamaikan orang satu sama lain, dan menebus tatanan ciptaan dari kekuatan jahat dosa, maut, dan pembusukan. Kepedulian Paulus bukan abstrak namun praktis. Tujuannya adalah menyembuhkan perpecahan di antara umat Kristen di Roma dan memampukan mereka untuk bekerja sama mewujudkan kehendak Allah dalam hidup dan pekerjaan mereka.

Dalam konteks ini, Paulus menunjukkan bagaimana keselamatan datang kepada kita sebagai anugerah cuma-cuma yang dibeli melalui kesetiaan Allah dalam salib Kristus dan oleh kasih karunia Allah yang membawa kita kepada iman kepada Kristus. Pemberian cuma-cuma ini sama sekali tidak berarti bahwa Allah tidak peduli dengan pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita bekerja. Sebaliknya, Paulus menunjukkan bagaimana menerima kasih karunia Allah mengubah pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita melakukannya. Meskipun kita tidak bekerja untuk mendapatkan keselamatan, karena Allah menyelamatkan kita, Dia memberi kita beragam karunia luar biasa yang dibutuhkan untuk saling melayani dan membangun komunitas kita. Hasilnya, kita menjalani cara hidup yang baru, membawa kehidupan di dalam Kristus kepada orang-orang di sekitar kita dan, dalam waktu Allah, kepada kepenuhan ciptaan.

Daftar Pustaka Terpilih (Roma)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Fowl, Stephen E. Philippians. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans. The Two Horizons New Testament Commentary, 2005.

Grieb, A. Katherine. The Story of Romans: A Narrative Defense of God’s Righteousness. Louisville: Westminster John Knox, 2002.

Jewett, Robert. Romans: A Commentary. Minneapolis: Fortress Press. Hermeneia, 2007.

Johnson, Luke Timothy. Reading Romans: A Literary and Theological Commentary. Macon, GA: Smyth & Helwys, 2001.

Keck, Leander. Romans. Nashville: Abingdon Press. Abingdon New Testament Commentary, 2005.

Moo, Douglas. The Epistle to the Romans in the New International Commentary on the New Testament. Grand Rapids: MI, Eerdmans, 1996.

Stowers, Stanley K. A Rereading of Romans: Justice, Jews & Gentiles. New Haven: Yale University Press, 1994.

Wright, N. T. The Climax of the Covenant. Edinburgh: T&T Clark, 1991.

N.T. Wright. The Letter to the Romans, in The New Interpreter’s Bible. Vol. 10. Nashville: Abingdon Press, 1994.