Iman dan Pekerjaan Sebelum Pembuangan-Hosea, Amos, Obaja, Yoel, Mikha
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Hosea, Amos, Mikha, Obaja dan Yoel aktif sebagai para nabi pada abad kedelapan ketika negara sudah berkembang, tetapi ekonomi sedang mengalami kemunduran. Kekuasaan dan kekayaan menumpuk pada kelompok masyarakat lapisan atas sementara kelompok masyarakat yang kurang beruntung semakin bertambah besar. Beberapa bukti menunjukkan, pada saat itu ada tren untuk bertani tanaman dagang demi memenuhi kebutuhan pangan di perkotaan yang terus meningkat. Tren itu memberi efek destabilisasi karena mengurangi penyebaran risiko, seperti yang sebelumnya ada dalam sistem pertanian swasembada.[1] Kelompok petani menjadi rentan terhadap berbagai variasi tahunan dalam produksi, sehingga banyak kota mengalami ketidakstabilan dalam pasokan makanan mereka (Amos 4:6-9). Ketika para nabi dari periode ini mulai angkat suara, masa-masa kejayaan di mana terjadi proyek-proyek pembangunan yang mewah serta perluasan wilayah, telah berlalu. Keadaan saat itu membuka kesempatan untuk melakukan korupsi bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka yang terus menurun, serta memperlebar jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin. Akibatnya, para nabi Allah dari periode ini memiliki banyak hal yang ingin disampaikan kepada dunia kerja.
Allah Membuat Perubahan Bisa Terjadi (Hosea 14:1-9, Amos 9:11-15, Mikha 4:1-5, Obaja 21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAllah yang sama yang menuntut perubahan, juga berjanji untuk membuat perubahan bisa terjadi. “Juga bagimu, hai Yehuda, telah ditentukan penuaian. Apabila Aku memulihkan keadaan umat-Ku, apabila Aku menyembuhkan Israel” (Hosea 6:11-7:1). Keduabelas Nabi membawa optimisme yang mendasar bahwa Allah terus bekerja di dunia untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Terlepas dari bagaimana orang-orang bisa mengalami kemenangan, pada hakikatnya Allah selalu memegang kendali, dan “kerajaan itu akan menjadi milik TUHAN” (Obaja 1:21). Terlepas dari bencana yang ditimpakan kepada manusia, Allah selalu bekerja untuk membawa kembali kebaikan ke dalam hidup dan pekerjaan sesuai kehendak-Nya sejak awal. “Sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Yoel 2:13). Nubuat penutup dari kitab Yoel, Hosea dan Amos (Hos. 14; Am. 9:11-15) mengilustrasikan hal ini secara eksplisit dengan menggunakaan istilah-istilah ekonomi.
Tempat-tempat pengirikan akan penuh dengan gandum, dan tempat-tempat penampungan berkelimpahan anggur dan minyak .... Kamu akan makan sepuasnya dan menjadi kenyang, dan kamu akan memuji-muji nama TUHAN, Allahmu, yang melakukan perbuatan ajaib bagimu. Umat-Ku tidak akan mendapat malu lagi untuk selama-lamanya. (Yoel 2:24, 26)
Ranting-rantingnya (Israel) akan merambak, semaraknya akan seperti pohon zaitun dan harumnya seperti pepohonan Libanon. (Hosea 14:7)
Aku akan memulihkan keadaan umat-Ku Israel; Mereka akan membangun kota-kota yang hancur luluh dan mendiaminya; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan minum anggurnya. Mereka akan membuat kebun-kebun buah-buahan dan makan buahnya. (Amos 9:14)
Firman Tuhan kepada umat-Nya di masa-masa kesulitan ekonomi dan sosial adalah bahwa Allah bermaksud untuk memulihkan perdamaian, keadilan, dan kemakmuran, jika umat-Nya mau hidup sesuai dengan ajaran perjanjian-Nya. Allah akan melakukan pemulihan itu lewat pekerjaan tangan umat-Nya.
Tanggung Jawab Individu dan Masyarakat atas Pekerjaan yang Tidak Adil (Mikha 1:1-7; 3:1-2; 5:10-15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiWalaupun Allah mempunyai maksud-Nya sendiri, pekerjaan juga dipengaruhi oleh dosa manusia. Contoh yang paling mengerikan adalah pekerjaan pada intinya memang perbuatan dosa. Mikha menyebutkan tentang pelacuran, yang kemungkinan dalam hal mengacu pada pelacuran sebagai bagian dari kepercayaan sesat, dan ia berjanji bahwa upah dari pelacuran adalah hukuman bakar (Mikha 1:7).
Dengan demikian pelacuran tidak bisa diganggap sebagai pekerjaan yang sah, sekalipun dapat dipahami kalaupun dilakukan oleh mereka yang memang sudah tak punya cara lain untuk menafkahi diri sendiri atau keluarganya. Ada berbagai pekerjaan lain yang juga membuat kita bertanya: apakah pekerjaan itu layak dilakukan? Tentu saja kita dapat memikirkan berbagai contoh, dan orang Kristen selayaknya mencari pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.
Namun, Mikha berbicara kepada bangsa Israel secara keseluruhan, bukan hanya kepada orang-orang tertentu. Ia mengkritik masyarakat di mana kondisi sosial, ekonomi, dan agama di dalamnya membuat pelacuran menjadi lumrah. Pertanyaannya bukanlah, “Apakah mencari nafkah sebagai pelacur dapat diterima,” melainkan, “Bagaimana masyarakat harus berubah supaya orang tidak perlu melakukan pekerjaan yang merendahkan atau berbahaya?” Mikha meminta pertanggungjawaban bukan kepada mereka yang merasa terpaksa untuk melakukan pekerjaan yang buruk, melainkan kepada para pemimpin yang gagal mereformasi masyarakat. Kata-katanya pedas. “Dengarlah, hai para pemuka Yakub dan para pemimpin kaum Israel! Bukankah selayaknya kamu mengetahui keadilan, hai kamu yang membenci kebaikan dan yang mencintai kejahatan? Kamu yang mencabik kulit tubuh bangsaku dan daging dari tulang-tulangnya?” (Mikha 3:1-2).
Masyarakat kita saat ini berbeda dengan masyarakat di zaman Mikha, dan solusi spesifik yang Allah janjikan kepada Israel pada zaman dulu bukan begitu saja mewakili apa yang Allah kehendaki pada masa kini. Kata-kata nubuatan Mikha mencerminkan hubungan antara ritual pelacuran dan pemujaan berhala pada zamannya saat itu. Allah berjanji untuk mengakhiri semua pelanggaran sosial yang berpusat di kuil-kuil pemujaan. “Aku akan melenyapkan patung-patungmu dan tugu-tugu berhalamu dari tengah-tengahmu. Engkau tidak akan lagi sujud menyembah buatan tanganmu. Aku akan mencabut tiang-tiang berhalamu dari tengah-tengahmu dan akan memusnahkan kota-kota pemujaanmu. ” (Mikha 5:13-14). Pada zaman sekarang, kita membutuhkan hikmat dari Allah untuk menemukan solusi yang efektif atas berbagai faktor-faktor sosial masa kini yang mendorong munculnya pekerjaan yang memicu dosa dan penindasan. Pada saat yang bersamaan, layaknya para nabi Israel, kita perlu memanggil orang-orang untuk bertobat dari pekerjaan yang penuh dosa. “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup. Dengan demikian, TUHAN, Allah Semesta Alam, akan menyertai kamu” (Amos 5:14).
Bekerja dengan Tidak Adil (Hosea 4:1-10; Yoel 2:28-29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika para nabi berbicara tentang pelacuran, mereka jarang hanya sekadar menyinggung bidang pekerjaan tertentu. Biasanya mereka juga menggunakannya sebagai metafora dari ketidakadilan, yang menurut definisi adalah ketidaksetiaan terhadap perjanjian Allah (Hosea 4:7-10). Dalam sebuah peringatan yang luas bahwa upah dapat diperoleh secara tidak adil, Amos menuduh para pedagang yang menggunakan produk yang lebih rendah, timbangan yang salah, dan tipu daya lainnya untuk meraup untung dengan mengorbankan konsumen yang rentan. Mereka berkata dalam hati: “Supaya kita boleh menawarkan terigu dengan memperkecil ukuran efa, memperbesar berat syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut, serta menjual gandum yang rusak?” (Amos 8:5-6).
Banyak cara mencari nafkah yang sah dapat menjadi tidak adil karena cara melakukannya. Haruskah seorang fotografer memotret apa pun yang diminta oleh kliennya, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap subjek dan pemirsanya? Haruskah seorang ahli bedah melakukan segala jenis operasi elektif yang mungkin bersedia dibayar oleh pasien? Apakah broker hipotek bertanggung jawab untuk memastikan kemampuan peminjam untuk membayar kembali pinjaman tanpa kesulitan yang tidak semestinya? Jika pekerjaan kita adalah suatu bentuk pelayanan di bawah Tuhan, kita tidak dapat mengabaikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak membayangkan sebuah hierarki pekerjaan. Klaim para nabi bukanlah bahwa beberapa jenis pekerjaan lebih saleh daripada yang lain, tetapi bahwa semua jenis pekerjaan harus dilakukan sebagai sumbangsih bagi pekerjaan Allah di dunia. “Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-ku pada hari-hari itu,” demikianlah Allah berjanji (Yoel 2:29).
Keadilan Allah Mencakup Keadilan dalam Pekerjaan dan Ekonomi (Amos 8:1-6, Mikha 6:1-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKeadilan dalam pekerjaan bukan hanya persoalan individu. Semua orang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang dalam masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencari nafkah. Amos mengkritik Israel atas ketidakadilan dalam hal ini secara gamblang dengan menyinggung tentang hukum memungut hasil. Memungut di sini merupakan proses memungut bulir-bulir gandum yang tersisa di ladang setelah para penuai selesai bekerja. Menurut perjanjian Allah dengan Israel, para petani tidak diizinkan untuk memungut sisa tuaian di ladang mereka sendiri, tetapi harus mengizinkan orang-orang miskin (secara harfiah berarti “janda dan yatim piatu”) untuk melakukan pekerjaan itu sebagai cara untuk menghidupi diri mereka sendiri (Ulangan 24:19). Ketetapan itu membentuk kesejahteraan sosial yang cukup mendasar, di mana orang miskin diberi kesempatan untuk bekerja (dengan memetik sisa tuaian di ladang) daripada harus mengemis, mencuri atau kelaparan.
Memungut sisa tuaian adalah cara untuk terlibat dalam pekerjaan yang bermartabat, terutama bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam pasar ketenagakerjaan karena kekurangan sumber daya, dislokasi sosial-ekonomi, diskriminasi, disabilitas, atau faktor-faktor lainnya. Allah tidak hanya ingin agar kebutuhan setiap orang terpenuhi, tetapi juga ingin agar setiap orang memiliki martabat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka dan kebutuhan orang lain.
Amos mengeluhkan tentang bagaimana ketetapan tersebut dilanggar. Para petani tidak membiarkan sisa tuaian gandum di ladang mereka untuk dipungut oleh orang miskin (Mikha 7:1-2). Sebaliknya, mereka menawarkan untuk menjual sekam -sisa-sisa yang tertinggal setelah pengirikan- kepada orang miskin dengan harga yang sangat rendah. “…kamu yang menginjak-injak orang miskin, yang membinasakan orang sengsara di negeri ini,” Amos menuduh mereka, ‘... menjual gandum yang rusak’ (Amos 8:4, 6).
Amos menuduh mereka menunggu dengan gelisah sampai hari Sabat berakhir, sehingga mereka dapat terus menjual produk makanan yang murah dan tercemar itu kepada orang-orang yang tidak punya pilihan lain selain membelinya (Amos 8:5).
Selain itu, mereka juga menipu orang-orang yang mampu membeli gandum murni, seperti yang terlihat dari timbangan yang dicurangi di pasar. “Kami akan membuat efa [gandum yang dijual] menjadi kecil dan syikal [harga jual] menjadi besar,” demikianlah mereka menyombongkan diri. Mikha menyatakan penghakiman Allah terhadap perdagangan yang tidak adil. “Akankah Aku membenarkan neraca palsu atau pundi-pundi berisi batu timbangan yang curang?” demikianlah firman Tuhan (Mikha 6:11). Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa keadilan bukan hanya tentang hukum pidana dan ekspresi politik, tetapi juga tentang kesempatan ekonomi.
Kesempatan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan individu dan keluarga sangat penting bagi peran seseorang yang terlibat di dalam perjanjian. Keadilan ekonomi adalah komponen penting dari pernyataan Mikha yang terkenal dan terngiang hanya dalam 3 ayat sebelumnya, “Apakah yang dituntut TUHAN darimu selain berlaku adil, mencintai kesetiaam, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi 6:8). Allah mengharuskan umat-Nya - sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka - untuk mencintai kebaikan dan melakukan keadilan secara individu dan sosial, dalam setiap aspek pekerjaan dan kehidupan ekonomi.
Kerja dan Ibadah (Mikha 6:6-8; Amos 5:21-24; Hosea 4:1-10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKeadilan bukanlah sekadar permasalahan sekuler, seperti yang dilihat oleh para nabi. Seruan Mikha untuk membela keadilan dalam Mik. 6:8 berasal dari pengamatan bahwa keadilan itu lebih baik daripada korban-korban ritual agamawi yang berlebihan (Mik 6:6-7). Hosea dan Amos pun mengembangkan poin ini. Amos keberatan dengan keterputusan antara ketaatan agama dan tindakan etis.
“Aku membenci, Aku menghina perayaanmu, dan Aku tdak menyukai perkumpulan rayamu. Meskipun kamu mempersembahkan kepada-Ku kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sajianmu, Aku tidak suka, dan kurban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, tidak akan Kupandang. Jauhkanlah dari-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak akan Kudengar. Tetapi, hendaklah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Amos 5:21-24)
Kitab Hosea membawa kita ke dalam pemahaman yang lebih tentang hubungan antara memiliki dasar kehidupan rohani dan melakukan pekerjaan yang baik. Perbuatan baik muncul secara langsung dari kesetiaan kepada perjanjian Allah, dan sebaliknya, perbuatan jahat menjauhkan kita dari hadirat Allah.
Dengarlah firman TUHAN, hai orang Israel, sebab TUHAN mempunyai perkara dengan penduduk negeri ini, sebab tidak ada kesetiaan, tidak ada kasih, dan tidak ada pengenalan akan Allah di negeri ini; hanya mengutuk, berdusta, membunuh, mencuri, berzina, melakukan kekerasan, dan penumpahan darah disusul penumpahan darah. Sebab itu, negeri ini akan berkabung, seluruh penduduknya akan merana; binatang-binatang liar dan burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut pun akan terkumpul mati. Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkau menolak pengenalan itu, Aku pun akan menolakmu sebagai imam-Ku. Karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, Aku pun akan melupakan anak-anakmu. (Hosea 4:1-3, 6)
Ini merupakan pengingat bagi kita bahwa dunia kerja bukanlah sebuah ruang hampa yang terpisah dari seluruh askep lain dalam kehidupan. Jika semua nilai dan prioritas yang kita hidupi tidak dilandaskan pada perjanjian Allah, maka kehidupan dan pekerjaan kita akan menjadi kacau baik secara etika maupun rohani. Jika kita tidak menyukakan Allah dalam pekerjaan kita, maka kita tidak akan dapat menyukakan-Nya dalam ibadah kita.
Sikap Apatis Karena Kekayaan (Amos 3:9-15, 6:1-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPara nabi mengkritik orang-orang yang karena sudah kaya raya, tak lagi memedulikan kebaikan bersama dan mengabaikan rasa tanggung jawab terhadap sesama mereka. Amos mengaitkan kekayaan yang ditumpuk dengan penindasan ketika ia menuduh orang-orang kaya yang tidak bekerja, melakukan pelanggaran, kekerasan dan perampokan (Amos 3:10). Allah akan segera mengakhiri kekayaan orang-orang yang demikian. Allah akan “merobohkan balai musim dingin serta balai musim panas; hancurlah rumah-rumah gading” (Amos 3:15). Amos melontarkan kecaman keras terhadap kemewahan “orang yang merasa nyaman di Sion” (Amos 6:1). Ia mengamati bahwa mereka “berleha-leha di ranjang ” (Amos 6:4) dan “bernyanyi-nyanyi diiringi alunan gambus” (Amos 6:5). Ketika Tuhan menghukum Israel, mereka akan menjadi “yang pertama-tama akan diangkut sebagai orang buangan” (Amos 6:7).
Cukup mengejutkan bahwa keluhan yang sama masih terjadi pada zaman sekarang terhadap mereka yang memiliki kekayaan, tetapi tidak menggunakannya untuk tujuan yang baik. Baik mereka sebagai individu maupun perusahaan, pemerintah, dan institusi lain yang menggunakan kekayaan mereka untuk mengeksploitasi kerentanan orang lain, daripada menciptakan sesuatu yang berguna sesuai dengan kekayaan mereka. Banyak orang Kristen —yang mungkin merupakan mayoritas di dunia bagian Barat— memiliki kemampuan untuk mengubah semua ini, setidaknya dalam lingkungan kerja mereka. Nubuatan para nabi menjadi tantangan dan dorongan yang terus menerus untuk lebih peduli tentang bagaimana pekerjaan dan kekayaan melayani —atau gagal melayani— orang-orang di sekitar kita.