Bootstrap

Kesetiaan Abraham dan ketidaksetiaan Babel (Kejadian 12:1-3)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
2251203

Kejadian 12 diawali dengan sebuah kovenan, perjanjian khusus Allah yang memanggil Abraham untuk melayani-Nya dengan setia. Dengan meninggalkan wilayah tempat tinggal keluarga besarnya yang tidak beriman kepada Allah dan mengikuti panggilan Allah, Abraham membedakan dirinya secara tegas dari kaum kerabatnya yang tinggal di Mesopotamia dan pernah berupaya membangun Menara Babel, sebagaimana diceritakan di akhir Kejadian 11. Perbandingan antara keluarga Abraham di pasal 12 dengan keturunan Nuh lainnya di pasal 11 menyoroti lima perbedaan.

Pertama, Abraham menaruh imannya di dalam tuntunan Allah, bukan pada sarana yang dibangun manusia. Sebaliknya, para pembangun menara Babel percaya bahwa dengan keterampilan dan kecerdasan mereka sendiri, mereka dapat membangun sebuah menara yang “puncaknya sampai ke langit.” (Kej. 11:4). Mereka hendak mencari pengakuan dan rasa aman dengan cara yang mengambil alih otoritas Allah. [1]

Bruce K. Waltke, Genesis: A Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 182-83.

Kedua, para pembangun menara berusaha memashyurkan nama mereka sendiri (Kej. 11:4), tetapi Abraham mempercayai janji Allah bahwa Allah sendiri yang akan membuat nama Abraham masyhur (Kej. 12:2). Perbedaannya bukan pada keinginan untuk meraih kemashyuran itu sendiri, melainkan pada keinginan mencari kemashyuran menurut standar manusia. Allah benar-benar membuat nama Abraham masyhur, bukan untuk kepentingan Abraham, tetapi supaya “semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3). Para pembangun menara berusaha memashyurkan nama mereka sendiri, tetapi sampai hari ini nama mereka tidak pernah dikenal.

Ketiga, Abraham bersedia pergi ke mana pun Allah memimpinnya, sementara para pembangun menara berupaya berkumpul di tempat yang mereka anggap nyaman. Mereka membuat proyek pembangunan menara itu karena mereka takut terserak ke seluruh bumi (Kej. 11:4). Dengan bersikap demikian, mereka menolak tujuan Allah yang menghendaki umat manusia “memenuhi bumi” (Kej. 1:28). Mereka sepertinya takut menghadapi kesulitan jika mereka sampai terserak di dunia yang jelas tidak bersahabat. Mereka kreatif dan teknologi mereka berkembang (Kej. 11:3), tetapi mereka tidak bersedia menerima tujuan Allah sepenuhnya untuk mereka “beranak cucu dan bertambah banyak” (Kej. 1:28). Ketakutan mereka untuk mengelola ciptaan sepenuhnya bertemu dengan keputusan mereka mengandalkan kecerdasan manusia menggantikan tuntunan dan anugerah Allah. Saat kita berhenti mengejar tujuan yang melampaui kemampuan kita, maka aspirasi kita menjadi tidak berarti.

Sebagai kontras, Allah membuat Abraham menjadi seorang pengusaha sejati, selalu bergerak memulai usaha yang baru di lokasi yang baru. Allah memanggilnya keluar dari kota Haran menuju tanah Kanaan, dan Abraham tidak pernah diam lama di satu tempat. Ia dikenal sebagai seorang “pengembara Aram” (Ul. 26:5). Secara alami, Abraham dibentuk untuk hidup berpusat kepada Allah, karena ia harus bergantung pada perkataan dan pimpinan Allah untuk dapat menemukan makna, merasa aman, dan berhasil. Ibrani 11:8, menulis tentang bagaimana Abraham harus “berangkat tanpa mengetahui tempat yang ditujunya.” Dalam dunia kerja, orang percaya harus memahami perbedaan antara kedua orientasi dasar ini. Semua pekerjaan meliputi proses perencanaan dan pembangunan. Pekerjaan yang tidak berorientasi kepada Allah berangkat dari keinginan untuk mandiri, tidak bergantung pada pihak lain dan membatasi diri untuk sekadar menguntungkan diri sendiri serta orang-orang dekat kita. Pekerjaan yang berorientasi kepada Allah berangkat dari kesediaan untuk bergantung pada pimpinan dan otoritas Allah, serta memiliki hasrat untuk tumbuh besar menjadi berkat untuk dunia.

Keempat, Abraham bersedia mengikuti tuntunan Allah ke dalam hubungan-hubungan yang baru. Sementara para pembangun menara berusaha memagari diri mereka di dalam benteng yang dijaga, Abraham mempercayai janji Allah bahwa keluarganya akan menjadi sebuah bangsa yang besar (Kej. 12:2; 15:5). Meski mereka tinggal di antara orang-orang asing di tanah Kanaan (Kej. 17:8), mereka memiliki hubungan yang baik dengan semua orang yang berinteraksi dengan mereka (Kej. 21:22-34; 23:1-12). Inilah anugerah komunitas. Satu tema kunci muncul dalam teologi kerja di sini: Allah merancang agar manusia bekerja dalam jejaring relasi yang sehat.

Pada akhirnya, Abraham diberkati dengan kesabaran untuk melihat jauh ke depan. Janji Allah akan digenapi pada zaman keturunan Abraham, bukan pada zaman Abraham sendiri. Rasul Paulus menafsirkan “keturunan” di sini adalah Yesus (Gal. 3:19), berarti bahwa penggenapan janji itu adalah lebih dari seribu tahun di masa depan. Bahkan, janji kepada Abraham baru benar-benar akan dipenuhi secara sempurna saat kedatangan Yesus Kristus kembali (Mat. 24:30-31). Pemenuhan janji ini tidak bisa hanya diukur dengan laporan per kuartal! Para pembangun menara, sebagai perbandingan, tidak memikirkan bagaimana proyek mereka akan berdampak kepada generasi berikutnya, dan Allah mengkritik mereka secara terbuka untuk sikap mereka yang keliru (Kej. 11:6).

Ringkasnya, Allah menjanjikan kemasyhuran, keberhasilan, dan relasi yang baik, semua yang dibutuhkan untuk Abraham dan keluarganya bisa memberkati seluruh dunia, juga berkat-berkat tak terbayangkan bagi mereka sendiri pada waktu yang tepat (Kej. 22:17). Abraham menyadari bahwa upaya untuk meraih semua itu dengan kekuatannya sendiri akan sia-sia. Sebaliknya, ia mempercayai Allah dan bergantung setiap hari pada tuntunan dan pemeliharaan-Nya (Kej. 22:8-14). Meski tidak semuanya digenapi di akhir kitab Kejadian, perjanjian antara Allah dan umat-Nya telah dimulai, dan melaluinya penebusan dunia akan digenapi pada hari Kristus (Flp. 1:10).

Allah menjanjikan tanah yang baru kepada keluarga Abraham. Mendayagunakan tanah itu membutuhkan berbagai jenis pekerjaan, jadi hadiah berupa sebuah tanah menegaskan bahwa pekerjaan merupakan sesuatu yang penting dan diperhatikan Allah secara khusus. Mengerjakan tanah itu membutuhkan berbagai ketrampilan kerja seperti kemampuan menggembalakan, membuat tenda, menggunakan senjata untuk melindungi diri, dan memproduksi berbagai macam barang dan jasa. Selain itu, keturunan Abraham akan menjadi sebuah bangsa yang besar, yang jumlahnya tidak terhitung seperti banyaknya bintang di langit. Peningkatan populasi ini membutuhkan pekerjaan membangun relasi antar individu, mengasuh anak, politik, diplomasi dan administrasi, pendidikan, seni menyembuhkan, dan berbagai pekerjaan sosial lainnya. Untuk membawa berkat yang demikian besar kepada seluruh bumi, Allah memanggil Abraham dan keturunannya “hidup di hadapan-Ku dengan tidak bercela.” (Kej. 17:1). Ini membutuhkan pekerjaan menyelenggarakan ibadah, mempersembahkan korban pendamaian, pembinaan, dan berbagai pekerjaan rohani lainnya. Pekerjaan Yusuf adalah untuk menciptakan solusi atas dampak kelaparan, dan adakalanya pekerjaan kita adalah untuk menyembuhkan apa yang rusak di dunia ini. Semua jenis pekerjaan tersebut, dan semua pekerja yang terlibat di dalamnya, melakukannya di bawah otoritas, tuntunan, dan pemeliharaan Allah.