Bootstrap

Pengkhotbah dan Bekerja

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Ecclesiastes bible commentary

Introduksi Kitab Pengkhotbah

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Pengkhotbah dengan piawai menggambarkan tentang kerja keras dan sukacita, keberhasilan yang tak abadi, dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang kita semua hadapi dalam pekerjaan kita. Kitab ini merupakan salah satu kitab favorit banyak pekerja Kristen, dan naratornya—yang dalam banyak versi Alkitab bahasa Inggris disebut Teacher (Sang Guru, tetapi di sini kita sebut Sang Pengkhotbah, sesuai judul kitabnya)—berbicara banyak tentang hal kerja. Kebanyakan pengajarannya singkat tetapi jelas, praktis dan cerdas. Siapa pun yang pernah bekerja dalam tim dapat mengapresiasi nilai dari pepatah seperti, “Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka” (Pengkhotbah 4:9). Kebanyakan dari kita menghabiskan sebagian besar waktu hidup kita untuk bekerja, dan kita mendapat peneguhan ketika Sang Pengkhotbah berkata, “Aku memuji kegembiraaan, karena tak ada yang baik bagi manusia di bawah matahari, selain makan minum dan bergembira ria. Hal itulah yang menyertai dia di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari” (Pengkhotbah 8:15).

Tetapi gambaran Sang Pengkhotbah tentang bekerja juga sangat meresahkan. “Ketika aku meninjau segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala jerih payah yang telah kulakukan untuk itu, lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:11). Berbagai pengamatan tentang bekerja yang hampir kebanyakan sangat negatif mengancam membanjiri pembaca. Sang Pengkhotbah mengawali dengan “kesia-siaan belaka” (Pengkhotbah 1:2) dan mengakhiri dengan “semuanya sia-sia” (Pengkhotbah 12:8). Kata-kata dan frasa-frasa yang paling sering diulangi adalah “kesia-siaan”, “usaha menjaring angin”, “tidak menemukan”, dan “tidak dapat menyelami.” Sesungguhnya, jika tidak ada perspektif lebih luas yang menetralisir pengamatan-pengamatannya, kitab Pengkhotbah bisa menjadi kitab yang sangat suram.

Memahami kitab ini secara keseluruhan adalah tugas yang sulit. Apakah kitab Pengkhotbah benar-benar menggambarkan bekerja itu sebagai kesia-siaan, atau apakah Sang Pengkhotbah sedang menyaring berbagai macam cara kerja yang sia-sia agar dapat menemukan seperangkat inti cara kerja yang bermakna? Atau, sebaliknya, apakah berbagai pepatah dan pengamatan positif itu dibuat negatif oleh penilaian keseluruhan tentang kerja sebagai “usaha menjaring angin”? Jawabannya kebanyakan tergantung pada cara kita membaca kitab ini.

Salah satu cara membaca kitab Pengkhotbah adalah dengan memandangnya hanya sebagai kumpulan pengamatan tentang kehidupan, termasuk pekerjaan. Menurut pendekatan ini, Sang Pengkhotbah hanyalah seorang pengamat yang realistis yang melaporkan naik turunnya kehidupan ketika ia menjumpainya. Setiap pengamatan berdiri sendiri sebagai sebuah hikmat. Jika kita mengambil nasihat yang baik dari, misalnya, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya” (Pengkhotbah 2:24), kita tak perlu terlalu risau bahwa nasihat itu langsung diikuti dengan, “Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:26).

Pembaca yang ingin memakai pendekatan ini berada di rombongan yang baik. Mayoritas pakar saat ini tidak mengakui argumen yang menyatakan kitab Pengkhotbah memiliki tema yang komprehensif, dan bahkan di antara yang mengakui, “hampir tak ada penafsir yang sependapat satu dengan yang lain."[1] Tetapi ada yang tidak memuaskan juga pada pendekatan yang tidak menyeluruh itu. Kita tentu ingin tahu, “Apa pesan keseluruhan dari kitab Pengkhotbah?” Jika kita ingin menemukan hal ini, kita harus mencari struktur yang menyatukan berbagai pengamatan paralel yang ada dalam kitab itu.

Kita akan mengikuti struktur yang dikemukakan pertama kali oleh Addison Wright pada tahun 1968, yang membagi kitab ini dalam unit-unit pemikiran.[2] Struktur Wright diterima karena tiga alasan: 1) didasarkan secara objektif pada pengulangan frasa-frasa kunci dalam teks kitab Pengkhotbah, bukan pada penafsiran yang subjektif tentang isinya; 2) diterima oleh lebih banyak pakar—meski diakui masih sekelompok minoritas kecil—daripada yang lainnya;[3]

an 3) menyoroti topik-topik yang berkaitan dengan kerja. Kita tak punya waktu untuk mengulas argumen-argumen Wright, tetapi kita akan memerhatikan frasa-frasa yang diulang-ulang yang menunjukkan unit-unit pemikiran yang dikemukakannya. Pada paruhan pertama kitab ini, frasa “usaha menjaring angin” menandai akhir setiap unit pemikiran. Pada paruhan kedua, frasa “tidak mengetahui” (atau “siapa yang dapat mengetahui?”) menunjukkan fungsi yang sama. Struktur Wright akan berkontribusi langsung pada seluruh pembahasan kita tentang kitab ini.

Ada istilah lain, “di bawah matahari,” yang tak bisa luput dari perhatian kita ketika membaca kitab Pengkhotbah. Istilah ini muncul 29 kali di kitab ini, namun tidak ditemukan di kitab-kitab lainnya dalam Alkitab.[4]

Frasa ini mengingatkan pada istilah, “in the fallen world” (di dunia yang sudah jatuh dalam dosa) dari Kejadian 3, yang menggambarkan dunia ciptaan Allah yang tetap baik, tetapi sangat dicemari oleh yang buruk/jahat. Mengapa Sang Pengkhotbah begitu sering memakai frasa ini? Apakah ia bermaksud menegaskan kesia-siaan dalam bekerja dengan memunculkan gambaran tentang matahari yang tak pernah berhenti berputar sementara tak ada yang pernah berubah? Atau apakah ia membayangkan kemungkinan ada sebuah dunia di luar Kejatuhan, yang bukan “di bawah matahari,” di mana pekerjaan tidak akan menjadi sia-sia? Inilah pertanyaan yang patut diingat ketika kita membaca kitab Pengkhotbah.

Berkebalikan dengan kehidupan manusia di bawah matahari, Sang Pengkhotbah memberi kita pandangan-pandangan sekilas tentang Allah di surga. Kerja keras kita berlangsung singkat, tetapi “segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada selamanya” (Pengkhotbah 3:14). Pandangan-pandangan sekilas ini mulai memberi kita pemahaman tentang karakter Allah, yang kemungkinan akan membantu kita memahami tentang kehidupan. Kita akan memerhatikan yang diungkapkan kitab Pengkhotbah tentang karakter Allah ketika aspek-aspek itu muncul, dan kemudian mendalaminya secara bersama-sama di akhir kitab ini.

Bagaimanapun, kitab Pengkhotbah memberi kontribusi yang sangat berharga pada teologi kerja melalui pandangannya yang jujur dan apa adanya tentang realitas kerja. Semua orang bijaksana yang terlibat dalam pekerjaan, entah pengikut Kristus atau bukan, akan merasa terhubung. Kejujurannya yang menyegarkan membuka pintu bagi percakapan-percakapan mendalam tentang kerja, yang tidak sekadar memberi petunjuk yang terstruktur untuk melakukan bisnis dengan cara Allah seperti yang sangat lazim ditemukan di kalangan orang Kristen.

Bekerja di Bawah Matahari (Pengkhotbah 1:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja adalah aktivitas pokok yang dibahas dalam kitab Pengkhotbah. Biasanya disebut dengan istilah “jerih payah” (Ibrani: amal) yang menunjukkan kesukaran kerja. Topik ini diperkenalkan di awal kitab, di Pengkhotbah 1:3: “Apa gunanya bagi manusia segala jerih payah yang dilakukannya di bawah matahari?” Penilaian Sang Pengkhotbah tentang jerih payah (kerja keras) adalah bahwa itu “sia-sia” (Pengkhotbah 2:1). Kata ini, dalam bahasa Ibrani: hebel, mendominasi kitab Pengkhotbah. Kata hebel sebenarnya berarti “napas”, tetapi kata itu kemudian merujuk pada sesuatu yang tidak substansial, berlangsung singkat, dan tidak bernilai tetap. Kata ini sangat cocok menjadi kata kunci kitab ini karena sebuah napas memang berlangsung singkat, tidak banyak substansi yang terlihat, dan cepat berlalu. Tetapi kelangsungan hidup kita bergantung pada keluar masuknya udara dari embusan napas yang singkat ini. Hanya tak lama, napas akan terhenti dan hidup akan berakhir. Dengan cara yang sama, kata hebel menggambarkan sesuatu yang berlangsung singkat dan pada akhirnya berakhir. Dalam satu hal, “kesia-siaan” merupakan terjemahan yang menyesatkan, karena kata itu tampaknya menekankan bahwa segala sesuatu tak berharga sama sekali. Padahal maksud sebenarnya dari kata hebel adalah tentang sesuatu yang nilainya hanya sekejap saja, yang cepat berlalu. Satu embusan napas mungkin tidak memiliki nilai permanen, tetapi justru melalui satu momen yang singkat inilah, kita bisa tetap hidup. Demikian pula, siapa kita dan apa yang kita lakukan dalam kehidupan yang fana ini memiliki arti yang nyata, meskipun hanya sementara.

Bayangkan pekerjaan membuat kapal. Oleh karena penciptaan Allah yang baik, bumi memiliki bahan-bahan yang kita perlukan untuk membuat kapal. Kecerdasan dan kerja keras manusia—yang juga diciptakan Allah—dapat menghasilkan kapal yang aman, canggih, bahkan indah. Kapal-kapal menjadi armada yang mengangkut makanan, sumber daya, barang-barang yang dihasilkan, dan orang-orang ke tempat yang membutuhkan. Ketika sebuah kapal diluncurkan dan botol sampanye dipecahkan di haluannya (sebagai tanda peresmian peluncuran kapal-Pen), semua orang yang terlibat dalam pekerjaan itu dapat merayakan pencapaian mereka. Namun begitu kapal itu meninggalkan pangkalan, para pembuatnya tak punya kendali lagi atasnya. Kapal itu bisa saja dikapteni orang bodoh yang mengkandaskannya di perairan dangkal. Atau bisa juga dicarter untuk menyelundupkan narkoba, senjata atau bahkan budak. Para awak kapalnya mungkin diperlakukan dengan buruk. Kapal itu mungkin bisa berfungsi dengan baik selama bertahun-tahun, namun bagaimanapun kapal itu akan menjadi aus dan ketinggalan zaman. Nasib akhirnya hampir pasti adalah di tempat perbengkelan kapal, yang mungkin terletak di wilayah yang kurang memerhatikan keselamatan kerja dan pencemaran lingkungan. Kapal itu pun “berlalu” seperti tiupan angin yang pernah menggerakkannya, mula-mula menjadi kerangka yang berkarat, lalu menjadi campuran besi daur ulang dan sampah yang dibuang, dan akhirnya tidak diketahui manusia. Kapal-kapal itu baik, tetapi tidak akan ada untuk selamanya. Selama kita hidup, kita akan selalu bekerja dalam ketegangan ini.

Hal ini membawa kita kepada gambaran tentang matahari yang terus berputar, yang telah kita bahas di bagian Introduksi (Pengkhotbah 1:5). Aktivitas tanpa henti dari benda besar di langit ini membawa cahaya dan kehangatan yang kita andalkan setiap hari, namun tidak mengubah apa pun seiring berjalannya waktu. “Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” (Pengkhotbah 1:9). Ini adalah pengamatan yang rasional, meskipun bukan penghukuman kekal, tentang pekerjaan kita.

Bekerja Itu Usaha Menjaring Angin (Pengkhotbah 1:12-6:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sesudah menyatakan temanya bahwa berjerih payah atau bekerja keras itusia-sia di Pengkhotbah 1:1-11, Sang Pengkhotbah melanjutkan dengan menyelidiki berbagai kemungkinan untuk berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Ia merenungkan, secara berurutan, tentang pencapaian, kesenangan, hikmat, kekayaan, waktu, persahabatan dan menemukan sukacita dalam karunia-karunia Allah. Ia memang menemukan makna tertentu pada beberapa hal ini, yang lebih sedikit pada penyelidikannya yang awal-awal, dan lebih banyak pada penyelidikannya yang setelah-setelahnya. Namun tampaknya tidak ada yang bernilai tetap, dan kesimpulan yang menjadi ciri dari setiap bagian itu adalah bahwa bekerja itu ”usaha menjaring angin.”

Pencapaian (Pengkhotbah 1:12-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertama-tama Sang Pengkhotbah menyelidiki tentang berbagai prestasi atau pencapaian. Ia adalah seorang raja dan sekaligus orang bijak—seorang “overachiever” (orang yang pencapaiannya melebihi normal dan ekpektasi, dan selalu ingin mencapai lebih lagi-Pen) jika memakai istilah sekarang—yang melebihi “setiap orang yang memerintah atas Yerusalem sebelumnya” (Pengkhotbah 1:16). Lalu apa arti semua pencapaiannya itu baginya? Tidak banyak. “Itulah kesibukan yang menyusahkan, yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk menyibukkan diri. Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 1:13-14). Bahkan tampaknya tak ada pencapaian abadi yang bisa terjadi. “Yang bengkok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung” (Pengkhotbah 1:15). Pencapaian tujuan-tujuan tidak memberinya kebahagiaan, karena hanya membuatnya menyadari betapa hampa dan terbatasnya segala yang dapat dicapainya. Singkatnya, ia berkata lagi, “Aku menyadari bahwa hal ini pun usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 1:17-18).

Kesenangan (Pengkhotbah 2:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selanjutnya ia berkata pada dirinya sendiri, “Baiklah, aku hendak mencoba kegirangan. Nikmati kesenangan!” (Pengkhotbah 2:1). Ia mengumpulkan kekayaan, rumah, taman, alkohol, pelayan (budak), perhiasan, hiburan, dan akses langsung kepada kesenangan seksual. “Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun” (Pengkhotbah 2:10a).

Berbeda dengan pencapaian, ia menemukan nilai/makna tertentu dalam mencari kesenangan. “Hatiku bersukacita atas segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku” (Pengkhotbah 2:10b). Segala pencapaiannya ternyata tidak ada yang baru, tetapi kesenangan-kesenangannya setidaknya menyenangkan. Tampaknya pekerjaan yang dilakukan sebagai sarana mencapai tujuan—dalam hal ini kesenangan—lebih memuaskan daripada pekerjaan yang dilakukan sebagai obsesi. Seperti kata pepatah, tanpa perlu memiliki “banyak selir” pun (Pengkhotbah 2:8), para pekerja masa kini bisa mengambil waktu untuk menikmati keharuman bunga mawar. Jika kita berhenti bekerja untuk mencapai tujuan yang lebih dari sekadar bekerja, jika kita tidak bisa lagi menikmati hasil kerja kita, maka kita telah menjadi budak pekerjaan, bukan tuannya.

Meskipun demikian, berjerih lelah untuk mendapatkan kesenangan semata pada akhirnya juga tidak memuaskan. Bagian ini diakhiri dengan penilaian bahwa, lagi-lagi “semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin; tidak ada yang bermakna di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).

Hikmat (Pengkhotbah 2:12-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mungkin baik mencari objek di luar pekerjaan itu sendiri, tetapi untuk itu diperlukan tujuan yang lebih tinggi dari kesenangan. Karena itu, Sang Pengkhotbah melaporkan, “Aku berpaling untuk meninjau hikmat, juga kekonyolan dan kebodohan” (Pengkhotbah 2:12). Dengan kata lain, ia menjadi seperti seorang profesor atau peneliti masa kini. Tidak seperti pencapaian yang dicapai demi pencapaian belaka, hikmat setidaknya bisa dicapai sampai tingkat tertentu. “Aku melihat bahwa hikmat lebih bermakna daripada kebodohan, seperti terang lebih berguna daripada kegelapan” (Pengkhotbah 2:13). Namun selain mengisi kepala dengan pikiran-pikiran yang tinggi, hikmat tidak membuat perbedaan nyata dalam kehidupan, karena “orang berhikmat mati juga seperti orang bodoh” (Pengkhotbah 2:16). Mengejar hikmat membawa Sang Pengkhotbah ke tepi jurang keputusasaan (Pengkhotbah 2:17), akibat yang masih terlalu lazim terjadi dalam pengejaran-pengejaran akademik saat ini. Sang Pengkhotbah menyimpulkan, “Semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:17).

Kekayaan (Pengkhotbah 2:18-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah lalu beralih kepada kekayaan, yang bisa diperoleh sebagai hasil berjerih lelah. Bagaimana dengan penumpukan kekayaan sebagai tujuan yang lebih tinggi dari bekerja? Tindakan ini ternyata lebih buruk daripada memakai kekayaan untuk memperoleh kesenangan. Kekayaan menimbulkan masalah warisan. Ketika Anda mati, kekayaan yang Anda kumpulkan itu akan beralih kepada orang lain yang kemungkinan tidak pantas mendapatkannya sama sekali. “Kalau ada orang berjerih payah dengan hikmat, pengetahuan, dan keterampilan, ia harus meninggalkan bagiannya kepada orang yang tidak berjerih payah untuk itu. Ini pun kesia-siaan dan kemalangan yang besar” (Pengkhotbah 2:21). Hal ini sangat menyakitkan sampai Si Pengkhotbah berkata, “Aku pun mulai putus asa” (Pengkhotbah 2:20).

Di sini, kita menemukan pandangan sekilas kita yang pertama tentang karakter Allah. Allah itu Pemberi. “Kepada orang yang disenangi-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan, dan sukacita” (Pengkhotbah 2:26). Aspek karakter Allah ini diulangi beberapa kali di kitab Pengkhotbah, dan karunia pemberian-Nya meliputi makanan, minuman dan kegembiraan (Pengkhotbah 5:17, 8:15), kekayaan dan harta benda (Pengkhotbah 5:18, 6:2), kemuliaan (Pengkhotbah 6:2), integritas (Pengkhotbah 7:29), dunia yang kita diami (Pengkhotbah 11:5), dan kehidupan itu sendiri (Pengkhotbah 12:7).

Seperti Sang Pengkhotbah, banyak orang masa kini yang menimbun banyak kekayaan juga mendapati hal itu sangat tidak memuaskan. Meskipun kita sudah menjadi kaya raya, berapa banyak pun harta yang kita miliki tampaknya tak pernah cukup. Ketika kita menjadi kaya raya dan mulai menyadari tentang kemungkinan kita akan mati, membagikan kekayaan kita dengan bijak tampaknya menjadi beban yang hampir tak tertahankan. Andrew Carnegie menyadari beratnya beban ini ketika ia berkata, “Aku memutuskan untuk berhenti mengumpulkan (kekayaan) dan memulai tugas yang jauh lebih serius dan sulit, yaitu membagikan dengan bijak.”[1]

Dan, jika Allah itu Pemberi, tak mengherankan jika membagikan kekayaan, bukan hanya menimbunnya, bisa lebih memuaskan.

Tetapi Sang Pengkhotbah juga tidak menemukan bahwa membagikan kekayaan itu lebih memuaskan daripada mengumpulkannya (Pengkhotbah 2:18-21). Entah kenapa, kepuasan yang ditemukan Allah di surga ketika memberi luput dari perhatian Sang Pengkhotbah di bawah matahari. Ia tampaknya tidak memikirkan kemungkinan menginvestasikan kekayaan atau memberikannya untuk tujuan yang lebih tinggi. Dan tentu saja, jika tidak ada tujuan yang lebih tinggi dari segalanya yang ditemukan Sang Pengkhotbah, maka penumpukan dan pembagian kekayaan “ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:26).

Waktu (Pengkhotbah 3:1-4:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika bekerja tidak hanya memiliki satu tujuan yang pasti, mungkin bekerja itu memiliki banyak tujuan, yang masing-masing bermakna pada waktunya sendiri. Sang Pengkhotbah menyelidiki hal ini di pasal terkenal yang dimulai dengan, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1). Intinya, setiap aktivitas itu ditentukan oleh waktu.

Pekerjaan yang sama sekali tidak tepat pada suatu waktu, bisa saja menjadi tepat dan diperlukan pada waktu yang lain. Pada suatu saat, berkabung itu benar dan menari itu salah, dan pada saat lain, yang benar justru yang sebaliknya.

Tidak satu pun dari aktivitas atau kondisi ini yang permanen. Kita bukan para malaikat yang hidup dalam kebahagiaan yang tanpa batas waktu. Kita adalah makhluk dunia ini yang selalu mengalami perubahan dan musim waktu. Ini adalah pelajaran sulit lainnya. Kita menipu diri sendiri tentang hakikat kehidupan jika kita berpikir pekerjaan kita dapat memberi kedamaian, kemakmuran, atau kebahagiaan abadi. Pada suatu saat, segala sesuatu yang kita bangun juga akan diruntuhkan (Pengkhotbah 3:3). Jika pekerjaan kita memiliki nilai kekal, Sang Pengkhotbah tidak melihat tanda-tanda itu “di bawah matahari” (Pengkhotbah 4:1). Kondisi kita dua kali lipat sulit karena kita adalah makhluk fana yang hidup pada masa sekarang, namun, tidak seperti binatang, kita memiliki “pengertian tentang masa lalu dan masa mendatang” di dalam pikiran kita (Pengkhotbah 3:11). Itu sebabnya Sang Pengkhotbah merindukan sesuatu yang bernilai kekal itu, meskipun ia tidak bisa menemukannya.

Lagipula, kebaikan yang berusaha dilakukan orang pada waktu yang tepat pun dapat dikacaukan oleh penindasan. “Di pihak para penindas ada kekuasaan, tetapi tak ada yang menghibur mereka” (Pengkhotbah 4:1). Dan yang terburuk dari semuanya adalah penindasan oleh pemerintah. “Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ ada kejahatan” (Pengkhotbah 3:16). Tetapi orang tak berdaya pun belum tentu lebih baik. Respons yang biasanya muncul pada saat merasa tak berdaya adalah iri hati. Kita iri pada orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, status, relasi, harta benda, atau hal-hal lain yang tidak kita miliki. Sang Pengkhotbah menyadari bahwa iri hati sama buruknya dengan penindasan. “Aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala keterampilan dalam pekerjaan berasal dari rasa iri seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 4:4). Dorongan untuk memperoleh pencapaian, kesenangan, hikmat atau kekayaan melalui penindasan maupun karena iri hati hanya membuang-buang waktu. Namun siapa juga yang tak pernah terjatuh dalam kedua kebodohan ini?

Tetapi Sang Pengkhotbah tidak berputus asa, karena waktu adalah anugerah dari Allah sendiri. “Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pengkhotbah 3:11a). Adalah tepat untuk menangis saat pemakaman orang terkasih, dan baik untuk bersukacita pada saat kelahiran anak. Dan kita tak seharusnya menolak kesenangan-kesenangan yang sah yang bisa diberikan pekerjaan kita. “Tak ada yang lebih baik untuk mereka daripada bersukaria dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka, juga bahwa setiap orang dapat makan minum, dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya; itulah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Pelajaran-pelajaran hidup ini berlaku terutama dalam hal bekerja. “Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itulah bagiannya” (Pengkhotbah 3:22a). Bekerja ada di bawah kutuk, tetapi bekerja itu sendiri bukanlah kutukan. Bahkan visi terbatas yang kita miliki tentang masa depan menjadi semacam berkat, karena membebaskan kita dari beban untuk berusaha mengetahui sebelumnya tentang segala akhir. “Siapa yang akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” (Pengkhotbah 3:22b). Jika pekerjaan kita dapat berjalan sesuai dengan waktu-waktu yang dapat kita perkirakan, maka itu adalah anugerah dari Allah.

Di sini, kita menemukan dua pandangan sekilas tentang karakter Allah. Pertama, Allah itu menakjubkan, kekal, mahatahu, “supaya manusia takut akan Dia” (Pengkhotbah 3:14). Meski kita dibatasi oleh kondisi-kondisi kehidupan di bawah matahari, Allah tidak. Ada banyak yang lebih dahsyat pada Allah dari yang terlihat oleh mata. Transendensi Allah ini—jika memakai istilah teologis—muncul lagi di Pengkhotbah 7:13-14 dan 8:12-13.

Pandangan sekilas kedua menunjukkan pada kita bahwa Allah itu Allah yang adil. “Allah mencari yang sudah lalu” (Pengkhotbah 3:15) dan “Allah akan mengadili baik orang benar maupun orang jahat” (Pengkhotbah 3:17). Ide ini diulangi lagi di Pengkhotbah 8:13, 11:9 dan 12:14. Kita mungkin tidak melihat keadilan Allah dalam kehidupan yang tampak tidak adil ini, tetapi Sang Pengkhotbah meyakinkan kita bahwa hal itu akan terwujud.

Sebagaimana sudah kita ketahui, kitab Pengkhotbah adalah sebuah penyelidikan yang realistis tentang kehidupan di dunia yang telah jatuh dalam dosa. Bekerja itu melelahkan. Tetapi di tengah kerasnya dunia kerja pun, kita bisa mendapatkan kesenangan dalam jerih lelah kita dan menikmati pekerjaan kita. Ini bukan jawaban atas teka-teki kehidupan, tetapi suatu pertanda bahwa Allah ada di dunia ini, sekalipun kita tidak memahami dengan jelas apa sebenarnya artinya itu bagi kita. Meskipun bagian ini agak penuh harapan, penyelidikan tentang waktu diakhiri dengan pengulangan ganda dari “usaha menjaring angin,” sekali di Pengkhotbah 4:4 (sebagaimana dibahas di atas) dan sekali lagi di Pengkhotbah 4:6.

Persahabatan (Pengkhotbah 4:7-4:16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Relasi barangkali menawarkan makna yang nyata dalam bekerja. Sang Pengkhotbah menjunjung tinggi nilai persahabatan di tempat kerja. “Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka” (Pengkhotbah 4:9, cetak miring ditambahkan).

Berapa banyak orang yang menemukan persahabatan terdekat di tempat kerja? Meskipun kita tidak memerlukan bayarannya, meskipun pekerjaannya tidak menarik bagi kita, kita mungkin menemukan arti yang mendalam dalam relasi-relasi kerja kita. Itulah salah satu alasan banyak orang merasa masa pensiun itu mengecewakan. Kita merindukan teman-teman di tempat kerja itu setelah kita pergi, dan kita merasa sulit membangun persahabatan baru yang mendalam tanpa tujuan-tujuan yang sama yang menyatukan kita dengan rekan-rekan di tempat kerja.

Membangun relasi yang baik di tempat kerja memerlukan keterbukaan dan kerinduan untuk belajar dari orang lain. “Lebih baik seorang muda yang miskin tetapi berhikmat daripada seorang raja yang tua tetapi bodoh, yang tak mau lagi diperingatkan” (Pengkhotbah 4:13). Arogansi dan kekuasaan sering menjadi hambatan dalam membangun relasi yang efektif yang mendukung pekerjaan (Pengkhotbah 4:14-16), sebuah kebenaran yang dibahas dalam artikel Harvard Business School, “How Strength Becomes a Weakness” (Bagaimana Kekuatan Menjadi Kelemahan).[1] Kita menjadi sahabat di tempat kerja sebagian karena dibutuhkan kerja tim untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Inilah salah satu alasan mengapa banyak orang lebih mahir membangun persahabatan di tempat kerja daripada di lingkup-lingkup sosial yang tidak memiliki tujuan yang sama.

Penyelidikan Sang Pengkhotbah tentang persahabatan lebih menggembirakan daripada penyelidikan-penyelidikannya yang sebelumnya. Namun demikian, persahabatan di tempat kerja bersifat temporer. Pembagian tugas bisa berubah, tim-tim dibentuk dan dibubarkan, teman sejawat berhenti kerja, pensiun atau dipecat, dan pekerja baru yang bergabung belum tentu kita sukai. Sang Pengkhotbah mengumpamakannya seperti seorang raja muda baru yang pada awalnya diterima rakyatnya dengan gembira, tetapi popularitasnya menurun ketika generasi muda yang baru mulai menganggapnya hanya sebagai raja tua yang lain. Pada akhirnya, baik kemajuan karier maupun ketenaran tidak memberi kepuasan. “Oleh sebab itu, ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 4:16).

Sukacita (Pengkhotbah 5:1-6:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pencarian Sang Pengkhotbah akan makna kerja diakhiri dengan beberapa pelajaran singkat yang dapat diterapkan langsung dalam bekerja. Pertama, mendengarkan lebih bijaksana daripada berbicara, “Sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit saja” (Pengkhotbah 5:1). Kedua, tepatilah janji-janji Anda, terutama kepada Allah (Pengkhotbah 5:4). Ketiga, memperkirakan pemerintah bertindak korup. Ini tidak baik, tetapi ini universal, dan lebih baik daripada anarki (Pengkhotbah 5:7-8). Keempat, obsesi terhadap kekayaan merupakan kecanduan, dan seperti halnya kecanduan apa pun, obsesi ini membawa kemalangan pada yang bersangkutan (Pengkhotbah 5:10-12), dan tidak pernah memuaskan (Pengkhotbah 6:7-8). Kelima, kekayaan tidak abadi. Kekayaan bisa lenyap dalam kehidupan ini, dan pasti hilang pada saat kematian. Jangan membangun hidup Anda di atas kekayaan (Pengkhotbah 5:13-17).

Di tengah-tengah bagian ini, Sang Pengkhotbah menyelidiki kembali karunia Allah yang memungkinkan kita menikmati pekerjaan kita, serta kekayaan, harta benda, dan kemuliaan yang dihasilkan pekerjaan itu pada suatu waktu. “Yang kuanggap baik dan tepat bagi orang ialah makan minum dan menikmati kesenangan dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup, yang dianugerahkan Allah kepadanya” (Pengkhotbah 5:17). Meskipun kenikmatan itu hanya sesaat, tetapi nyata. “Sesungguhnya ia tidak sering mengingat umurnya, karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya” (Pengkhotbah 5:19). Kenikmatan ini bukan datang dari bekerja keras yang lebih berhasil dari orang lain, tetapi dari menerima kehidupan dan pekerjaan sebagai anugerah Allah. Jika kenikmatan dalam pekerjaan kita bukan datang sebagai anugerah Allah, maka kenikmatan itu tidak akan datang sama sekali (Pengkhotbah 6:1-6).

Seperti pada bagian tentang persahabatan, nada Sang Pengkhotbah di bagian ini relatif positif. Namun hasil akhirnya tetap membuat frustrasi. Karena kita melihat jelas bahwa semua kehidupan berakhir di kuburan, dan kehidupan yang dijalani dengan bijak pun akhirnya tidak memberikan hasil yang lebih besar daripada kehidupan yang dijalani dengan bodoh. Namun lebih baik melihat hal ini dengan jelas daripada berusaha hidup dalam ilusi dongeng. “Lebih baik yang sudah tampak di depan mata daripada menuruti nafsu” (Pengkhotbah 6:9a). Tetapi hasil akhir dari kehidupan kita tetaplah “kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 6:9b).

Tak Ada Cara untuk Mengetahui Apa yang Baik untuk Dilakukan (Pengkhotbah 6:10-8:17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah tahu bahwa hidup berjerih lelah itu sama seperti usaha menjaring angin, karena hasil-hasil dari bekerja tidak abadi di dunia ini. Karena itu, ia mulai berusaha menemukan apa yang terbaik untuk dilakukan dengan waktu yang dimilikinya. Seperti sudah dibahas sebelumnya dalam kitab ini, kumpulan pelajaran ini dibagi dalam beberapa bagian yang ditandai dengan frasa yang diulang-ulang di akhir setiap penyelidikan. Dalam kekecewaan pengharapan Sang Pengkhotbah, frasa itu adalah “tidak menemukan,” atau pertanyaan retorisnya yang senada, “siapa yang dapat menemukan/mengetahuinya?”

Hasil Akhir Tindakan Kita (Pengkhotbah 7:1-14)

Jerih payah kita berakhir dengan kematian kita. Karena itu, kitab Pengkhotbah menganjurkan kita untuk meluangkan waktu sungguh-sungguh di rumah duka (Pengkhotbah 7:1-6). Dapatkah kita menemukan manfaat yang nyata dari satu makam dibanding makam lainnya? Sebagian orang bersiul ketika melewati kuburan, menolak memikirkan pelajaran-pelajarannya. Gelak tawa mereka bagaikan bunyi derak duri yang terbakar habis dimakan api (Pengkhotbah 7:6).

Karena waktu hidup kita singkat, kita tidak bisa mengetahui dampak yang mungkin kita timbulkan pada dunia ini. Kita bahkan tidak tahu mengapa hari ini berbeda dari hari kemarin (Pengkhotbah 7:10), apalagi apa yang akan terjadi esok. Masuk akal menikmati apa pun yang baik dari hasil jerih payah kita selama kita hidup, tetapi kita tak punya jaminan bahwa hasil akhirnya juga baik, karena “hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan apa pun mengenai masa depannya” (Pengkhotbah 7:14, cetak miring ditambahkan).

Satu penerapan yang dapat kita ambil dari ketidaktahuan kita tentang peninggalan kita adalah bahwa tujuan yang baik bukan pembenaran untuk cara yang jahat. Karena kita tidak bisa mengetahui akhir dari semua tindakan yang kita ambil, dan kekuatan untuk memitigasi akibat dari cara-cara kita bisa muncul kapan saja. Politisi yang menenangkan opini publik saat ini dengan mengorbankan kerugian masyarakat di kemudian hari, pejabat keuangan yang menutupi kerugian kwartal ini dengan harapan bisa memperbaikinya di kwartal berikutnya, para lulusan yang berbohong saat melamar pekerjaan dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka tidak kompeten—mereka semua sedang mengandalkan masa depan yang tidak mereka miliki kuasa untuk mewujudkannya. Sementara itu, mereka melakukan hal buruk sekarang yang tak pernah bisa benar-benar dihapus sekalipun harapan mereka menjadi kenyataan.

Yang Baik dan Yang Jahat (Pengkhotbah 7:15-28)

Karena itu, kita harus berusaha bertindak sekarang berdasarkan yang baik. Namun kita tak bisa benar-benar tahu apakah tindakan yang kita ambil sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat. Ketika kita berpikir kita bertindak benar, kejahatan bisa saja menyelinap masuk, atau sebaliknya (Pengkhotbah 7:16-18). Sebab “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang saleh yang berbuat baik tanpa pernah berbuat dosa” (Pengkhotbah 7:20). Kebenaran tentang yang baik dan yang jahat itu “jauh dan sangat dalam; siapa yang dapat menemukannya?” (Pengkhotbah 7:24, cetak miring ditambahkan). Seakan hendak menegaskan kesulitan ini, frasa karakteristik “tidak kudapati” diulangi lagi dua kali di Pengkhotbah 7:28.

Yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah takut akan Allah (Pengkhotbah 7:18); yang artinya, menjauhi kesombongan dan sikap merasa benar sendiri. Pemeriksaan-diri yang baik adalah dengan menguji apakah kita harus mengambil jalan yang memutarbalikkan logika dan siasat yang berbelit-belit untuk membenarkan tindakan kita. “Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih” (Pengkhotbah 7:29). Bekerja itu memiliki banyak kompleksitas, banyak faktor yang harus dipertimbangkan, dan moral certainty (kepastian moral) biasanya merupakan hal yang tidak mungkin. Tetapi logika yang memutarbalikkan etika hampir selalu merupakan pertanda buruk.

Kekuasaan dan Keadilan (Pengkhotbah 8:1-17)

Penggunaan kekuasaan adalah fakta kehidupan, dan kita punya kewajiban untuk menaati orang-orang yang berkuasa atas kita (Pengkhotbah 8:2-5). Tetapi kita tidak tahu apakah mereka menggunakan kekuasaannya dengan adil atau tidak. Mungkin saja mereka menggunakan kekuasaan itu untuk mencelakai orang lain (Pengkhotbah 8:9). Keadilan dibengkokkan. Orang benar dihukum, orang jahat diberi pahala (Pengkhotbah 8:10-14).

Di tengah ketidakpastian ini, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah takut akan Allah (Pengkhotbah 8:13) dan menikmati kesempatan untuk bergembira yang Dia berikan pada kita. “Aku memuji kegembiraan, karena tak ada yang baik bagi manusia di bawah matahari selain makan minum dan bergembira ria. Hal itulah yang menyertai dia di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari” (Pengkhotbah 8:15).

Seperti pada bagian sebelumnya, frasa penanda “tidak dapat mengetahui/menyelami” diulangi sampai tiga kali di akhir topik ini. “Manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan di bawah matahari. Meskipun manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan bahwa ia mengetahuinya, ia pun tidak dapat menyelaminya” (Pengkhotbah 8:17). Hal ini menjadi akhir dari pencarian Sang Pengkhotbah untuk mengetahui apa yang baik untuk dilakukan dengan keterbatasan waktu yang dimiliki. Meskipun ia telah menemukan beberapa hal yang baik, hasil keseluruhannya adalah ia tidak dapat menemukan yang benar-benar bermakna.

Tak Ada Cara untuk Tahu Apa yang Akan Terjadi Kemudian (Pengkhotbah 9:1-11:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Barangkali, apa yang terbaik untuk dilakukan dalam hidup bisa diketahui jika kita dapat mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Karena itu, Sang Pengkhotbah mengejar pengetahuan tentang kematian (Pengkhotbah 9:1-6), Syeol/dunia orang mati (Pengkhotbah 9:7-10), saat kematian (Pengkhotbah 9:11-12), apa yang terjadi setelah kematian (Pengkhotbah 10:13-15), hal buruk yang mungkin terjadi setelah kematian (Pengkhotbah 10:16-11:2), dan hal baik yang mungkin terjadi (Pengkhotbah 11:3-6). Sekali lagi, frasa penanda yang diulang-ulang—dalam hal ini “tidak tahu” dan padanannya “tidak ada pengetahuan”—membagi materi ini menjadi beberapa bagian.

Sang Pengkhotbah mendapati bahwa benar-benar tidak mungkin untuk mengetahui apa yang akan terjadi. “Orang yang mati tidak tahu apa-apa” (Pengkhotbah 9:5). “Tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi” (Pengkhotbah 9:10). “Manusia tidak mengetahui waktunya… anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang ketika hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba” (Pengkhotbah 9:12). “Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi. Siapakah yang akan mengatakan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” (Pengkhotbah 10:14). “Engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi” (Pengkhotbah 11:2). “Engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik” (Pengkhotbah 11:5-6).

Meskipun kita benar-benar tidak mengetahui tentang masa depan, Sang Pengkhotbah menemukan beberapa hal yang baik untuk dilakukan selama kita punya kesempatan. Kita hanya akan membahas ayat-ayat yang secara khusus relevan dengan pekerjaan.

Throw Yourself Into Your Work Wholeheartedly (Eccl. 9:10)

“Apa pun yang dapat dikerjakan tanganmu, kerjakanlah dengan sekuat tenaga. Sebab, tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi” (Pengkhotbah 9:10). Meskipun kita tidak dapat mengetahui hasil akhir dari pekerjaan kita, jangan biarkan ketidaktahuan ini melumpuhkan kita. Manusia diciptakan untuk bekerja (Kejadian 2:15), kita perlu bekerja untuk kelangsungan hidup, dan karena itu kita sebaiknya bekerja dengan penuh semangat. Demikian juga dalam menikmati hasil-hasil kerja kita, apa pun bentuknya. “Ayo, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati gembira, karena Allah sudah lama berkenan pada perbuatanmu” (Pengkhotbah 9:7).

Terimalah Keberhasilan dan Kegagalan Sebagai Bagian Hidup (Pengkhotbah 9:11-12)

Pertama-tama, kita tak boleh menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa kesuksesan kita adalah karena kelebihan-kelebihan kita sendiri, atau kegagalan kita adalah karena kekurangan-kekurangan kita sendiri. “Aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan pertempuran bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan penghargaan bukan untuk yang cerdik cendikia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua” (Pengkhotbah 9:11). Keberhasilan atau kegagalan itu bisa jadi karena kebetulan (ada kesempatan). Ini bukan hendak mengatakan bahwa kerja keras dan kepintaran itu tidak penting. Hal-hal itu menyiapkan kita untuk dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan kehidupan dengan sebaik-baiknya, dan mungkin juga untuk menciptakan kesempatan-kesempatan yang tidak akan ada jika kita tidak mengadakannya. Tetapi orang yang berhasil dalam pekerjaannya tidak lebih layak dari orang lain yang gagal. Sebagai contoh, Microsoft mendapat kesempatan untuk sukses sebagian besar karena keputusan IBM yang tak dipikir panjang untuk menggunakan sistem operasi MS-DOS dalam proyek stagnan yang disebut komputer pribadi. Bill Gates di kemudian hari berefleksi, “Pemilihan waktu kami untuk mendirikan perusahaan perangkat lunak pertama untuk komputer pribadi sangat esensial bagi kesuksesan kami. Penentuan waktu itu bukan sepenuhnya keberuntungan, tetapi tanpa keberuntungan besar, hal itu tidak akan terjadi.” Ketika ditanya mengapa ia mendirikan perusahaan perangkat lunak tepat pada saat IBM mengambil peluang dengan komputer pribadi, ia menjawab, “Saya lahir di tempat dan pada waktu yang tepat.”[1]

Bekerjalah dengan Rajin dan Berinvestasilah dengan Bijak (Pengkhotbah 10:18-11:6)

Bagian ini berisi nasihat keuangan yang paling blak-blakan yang dapat ditemukan dalam Alkitab. Pertama, bekerjalah dengan rajin, sebab jika tidak, ekonomi rumah tangga Anda akan runtuh seperti atap yang bocor dan lapuk (Pengkhotbah 10:18). Kedua, ketahuilah bahwa dalam hidup ini kesejahteraan finansial itu penting. “Uang memungkinkan semuanya” (Pengkhotbah 10:19) dapat dibaca dengan nada sinis, tetapi teks ini tidak berkata bahwa uang adalah satu-satunya hal yang penting. Maksudnya hanyalah bahwa uang diperlukan untuk mengurus segala macam hal. Dalam bahasa kekinian, jika mobil saya memerlukan transmisi baru, atau putri saya memerlukan biaya kuliah, atau saya ingin mengajak keluarga pergi berlibur, semua hal itu memerlukan uang. Ini bukan keserakahan atau materialisme; ini hal yang wajar. Ketiga, berhati-hatilah dengan orang yang berotoritas (Pengkhotbah 10:20). Jika Anda meremehkan atasan atau bahkan pelanggan Anda, Anda mungkin akan menyesal. Keempat, variasikan investasi Anda (Pengkhotbah 11:1-2). “Lemparkanlah rotimu ke air” tidak merujuk pada donasi amal, tetapi investasi; dalam hal ini “air” melambangkan usaha perdagangan di luar negeri. Jadi, memberi bagian kepada “tujuh” atau “delapan” orang merujuk pada investasi yang beragam, “karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi” (Pengkhotbah 11:2). Kelima, jangan terlalu takut berinvestasi (Pengkhotbah 11:3-5). Yang akan terjadi, terjadilah, dan Anda tak bisa mengendalikannya (Pengkhotbah 11:3). Tetapi hal ini tak boleh membuat kita takut lalu menyimpan uang di bawah kasur yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, kita harus berani mengambil risiko yang logis. “Siapa yang senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; siapa yang senantiasa melihat awan tidak akan menuai” (Pengkhotbah 11:4). Keenam, pahamilah bahwa kesuksesan ada di tangan Allah. Tetapi Anda tidak tahu rencana atau tujuan apa yang ada pada-Nya, karena itu jangan coba menebak-nebak Dia (Pengkhotbah 11:5). Ketujuh, bertekunlah (Pengkhotbah 11:6). Jangan bekerja keras sebentar dan kemudian berkata, “Aku sudah mencobanya, dan tidak berhasil.”

Pencarian Sang Pengkhotbah untuk mengetahui masa depan berakhir di Pengkhotbah 11:5-6 dengan tiga kali mengulangi frasa penanda “tidak mengetahui.” Hal ini mengingatkan kita bahwa meskipun menekuni pekerjaan dengan sepenuh hati, menerima kesuksesan dan kegagalan sebagai bagian hidup, bekerja dengan rajin dan berinvestasi dengan bijak merupakan tindakan-tindakan yang baik, semua itu hanyalah adaptasi-adaptasi dalam rangka menanggulangi ketidaktahuan kita akan masa depan. Jika kita benar-benar tahu bagaimana tindakan kita akan berjalan baik, kita dapat merencanakan untuk berhasil dengan percaya diri. Jika kita sudah tahu investasi apa yang akan membuahkan hasil, kita tidak perlu mencoba banyak hal sebagai antisipasi terhadap kerugian sistemik. Sulit untuk mengetahui apakah kita akan tertunduk lesu dalam kesedihan atas bencana yang mungkin menimpa kita di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini, ataukah kita akan memuji Allah karena masih ada kemungkinan untuk menyelesaikan masalah, dan bahkan untuk berhasil, di dunia semacam ini. Atau, apakah kebenarannya gabungan dari keduanya?

Syair tentang Masa Muda dan Masa Tua (Pengkhotbah 11:7-12:8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah mengakhiri dengan syair yang menasihati kaum muda untuk bersukaria yang baik (Pengkhotbah 11:7-12:1) dan mengingat kesusahan-kesusahan di masa tua (Pengkhotbah 12:2-8). Syair ini merekap pola yang ditemukan di bagian-bagian sebelumnya dari kitab ini. Ada banyak hal baik yang ditemukan dalam kehidupan dan pekerjaan kita, tetapi pada akhirnya semuanya akan berlalu. Sang Pengkhotbah mengakhiri seperti ia memulai, “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, semuanya sia-sia” (Pengkhotbah 12:8).

Epilog Pujian untuk Sang Pengkhotbah (Pengkhotbah 12:9-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berikutnya adalah epilog tentang, bukan oleh, Sang Pengkhotbah. Epilog ini memuji hikmatnya dan mengulangi nasihatnya untuk takut akan Allah. Epilog ini menambahkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak disebutkan dalam kitab ini, yaitu hikmat tentang menaati perintah-perintah Allah dalam terang penghakiman Allah yang akan datang.

Takutlah akan Allah dan peliharalah perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Sesungguhnya Allah akan membawa setiap perbuatan ke penghakiman yang berlaku atas segala yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat. (Pengkhotbah 12:13-14)

Penghakiman Allah yang akan datang dipandang sebagai kunci yang akan memilah campuran kebaikan dan keburukan yang memengaruhi kehidupan kerja di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Pandangan sekilas tentang karakter Allah yang telah kita pelajari dalam kitab ini—kemurahan hati, keadilan, dan transendensi Allah yang melampaui batasan-batasan dunia—menggambarkan kebaikan yang mendasari fondasi-fondasi dunia, jika saja kita bisa hidup berdasarkan hal itu. Ini mulai menjadi petunjuk bahwa pada waktunya Allah, ketegangan-ketegangan yang begitu jelas digambarkan oleh Sang Pengkhotbah akan diubah menjadi keharmonisan yang tidak terlihat pada zaman kehidupan Sang Pengkhotbah di bawah matahari. Mungkinkah Epilog ini membayangkan suatu hari ketika kondisi-kondisi Kejatuhan tidak memengaruhi kehidupan dan pekerjaan kita?

Konklusi Kitab Pengkhotbah

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa yang harus kita lakukan dengan campuran kebaikan dan keburukan, makna dan kesia-siaan, tindakan dan ketidaktahuan, yang ditemukan Sang Pengkhotbah dalam kehidupan dan pekerjaan? Bekerja adalah “usaha menjaring angin,” sebagaimana yang terus-menerus diingatkan Sang Pengkhotbah pada kita. Seperti angin, bekerja itu nyata dan memberi dampak saat dijalankan. Bekerja membuat kita tetap hidup, dan memberikan kesempatan-kesempatan untuk bersukacita. Namun sulit untuk menilai efek sepenuhnya dari pekerjaan kita, untuk memperkirakan konsekuensi-konsekuensi baik atau buruk yang tak diharapkan. Dan tidaklah mungkin untuk mengetahui bagaimana hasil kerja kita setelah masa sekarang ini. Apakah bekerja memiliki dampak yang abadi, yang kekal, yang sangat baik? Sang Pengkhotbah berkata bahwa benar-benar tidak mungkin untuk mengetahui apa pun secara pasti di bawah matahari.

Tetapi kita mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda. Tidak seperti Sang Pengkhotbah, para pengikut Kristus saat ini melihat pengharapan konkret di balik dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Karena kita adalah saksi-saksi dari kehidupan, kematian, dan kebangkitan Sang Pengkhotbah yang baru, yaitu Yesus, yang kuasa-Nya tidak berakhir dengan berakhirnya hari-hari-Nya di bawah matahari (Lukas 23:44). Dia menyatakan bahwa “Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Matius 12:28). Dunia yang kita diami sekarang ini sedang dalam proses dibawa ke dalam kekuasaan Kristus dan ditebus oleh Allah. Yang tidak diketahui penulis kitab Pengkhotbah—yang tidak dapat diketahuinya, seperti yang sangat disadarinya—adalah bahwa Allah mengutus Anak-Nya bukan untuk menghakimi dunia, tetapi untuk memulihkan dunia sesuai dengan kehendak Allah (Yohanes 3:17). Hari-hari di dunia yang sudah jatuh dalam dosa di bawah matahari ini berlalu untuk kepentingan kerajaan Allah di bumi, saat ketika umat Allah “tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka” (Wahyu 22:5). Karena itu, dunia yang kita diami ini bukan hanya sisa-sisa dari dunia yang sudah jatuh, tetapi juga garda depan bagi kerajaan Kristus, yang “turun dari surga, dari Allah” (Wahyu 21:2).

Oleh karena itu, pekerjaan yang kita lakukan sebagai pengikut Kristus benar-benar—atau setidaknya bisa—memiliki nilai kekal yang tidak mungkin dapat dilihat oleh Sang Pengkhotbah. Kita bekerja bukan hanya di dunia di bawah matahari, tetapi juga di dalam kerajaan Allah. Ini bukan suatu upaya yang salah untuk mengoreksi kitab Pengkhotbah dengan dosis Perjanjian Baru. Ini justru untuk mengapresiasi kitab Pengkhotbah sebagai pemberian Allah pada kita sebagaimana kenyataannya. Karena kita juga menjalani kehidupan sehari-hari dalam kondisi-kondisi yang banyak kesamaannya dengan yang dialami Sang Pengkhotbah. Sebagaimana diingatkan Paulus, “Kita tahu bahwa sampai sekarang segala ciptaan sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (Roma 8:22-23). Kita mengeluh di bawah tekanan yang sama seperti yang dirasakan Sang Pengkhotbah karena kita masih menantikan penggenapan kerajaan Allah di bumi.

Lalu, kitab Pengkhotbah memberikan dua wawasan yang tiada bandingannya di bagian lain Kitab Suci: 1) Catatan Apa Adanya tentang Bekerja di bawah Kejatuhan; dan 2) Saksi Pengharapan dalam Situasi-situasi Kerja yang Paling Kelam.

Catatan Apa Adanya tentang Bekerja di bawah Kejatuhan (Pengkhotbah)

Jika kita tahu bahwa bekerja dalam Kristus memiliki nilai kekal yang tidak terlihat oleh Sang Pengkhotbah, bagaimana perkataannya masih dapat bermanfaat bagi kita? Pertama-tama, perkataannya meneguhkan bahwa kerja keras, penindasan, kegagalan, ketidakberartian, kesedihan dan penderitaan yang kita alami dalam bekerja itu nyata. Kristus sudah datang, tetapi kehidupan para pengikut-Nya belum seperti hidup di taman Eden. Jika pengalaman Anda dalam bekerja sulit dan menyakitkan—meskipun Allah memberikan janji-janji yang baik—Anda sama sekali tidak gila. Janji-janji Allah itu benar, tetapi belum semuanya digenapi di masa sekarang ini. Kita berada di dalam realitas bahwa kerajaan Allah sudah datang di bumi saat ini (Matius 12:28), tetapi belum dibawa ke dalam kesempurnaannya (Wahyu 21:2). Setidaknya, kita bisa terhibur karena Kitab Suci berani menunjukkan kerasnya realitas kehidupan dan pekerjaan, sembari tetap menyatakan bahwa Allah itu Tuhan.

Jika kitab Pengkhotbah dapat menjadi penghiburan bagi orang-orang yang bekerja dalam kondisi-kondisi yang sulit, kitab ini juga dapat menjadi tantangan bagi orang-orang yang diberkati dengan kondisi-kondisi kerja yang baik. Jangan berpuas diri. Sebelum bekerja itu menjadi berkat bagi semua orang, umat Allah dipanggil untuk berjuang bagi kebaikan seluruh pekerja. Kita memang dimaksudkan untuk makan, minum, dan menemukan kesenangan dalam segala jerih payah yang dikaruniakan pada kita. Tetapi kita melakukannya dengan bekerja keras—dan juga berdoa—agar kerajaan Allah datanglah.

Saksi Pengharapan dalam Situasi-situasi Kerja yang Paling Kelam (Pengkhotbah)

Kitab Pengkhotbah juga memberi contoh tentang bagaimana tetap memiliki pengharapan di tengah kerasnya realitas kerja di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Meskipun ia melihat dan mengalami hal-hal terburuk, Sang Pengkhotbah tidak melepaskan pengharapannya di dunia Allah. Ia menemukan momen-momen bersukacita, percikan hikmat, dan cara-cara untuk menghadapi dunia yang fana, tetapi tidak absurd ini. Jika Allah membiarkan manusia tetap berada dalam konsekuensi-konsekuensi Kejatuhan, tidak akan ada makna atau kebaikan sama sekali di dalam kerja. Tetapi, Sang Pengkhotbah menemukan ada makna, dan kebaikan dalam bekerja. Keluhannya hanyalah bahwa hal-hal itu tidak abadi, tidak sempurna, tidak pasti, terbatas. Mengingat alternatif dunia yang sama sekali tanpa Allah, hal-hal ini sebenarnya merupakan tanda-tanda pengharapan

Tanda-tanda pengharapan ini bisa menjadi penghiburan bagi kita dalam pengalaman-pengalaman hidup dan kerja kita yang paling kelam. Selain itu, tanda-tanda pengharapan ini juga membuat kita dapat memahami rekan-rekan kerja kita yang belum menerima Kabar Baik tentang kerajaan Kristus. Pengalaman kerja mereka mungkin sangat mirip dengan pengalaman Sang Pengkhotbah. Jika kita dapat membayangkan menanggung kesulitan-kesulitan yang kita alami, tetapi tanpa janji penebusan Kristus, maka kita akan dapat melihat sekilas beban kehidupan dan pekerjaan bagi rekan-rekan kerja kita. Berdoalah kepada Allah agar hal ini setidaknya membuat kita makin berbelas kasih. Atau mungkin juga membuat kita makin menjadi saksi yang efektif. Sebab, jika kita ingin menjadi saksi Kabar Baik Kristus, kita harus memulai dengan memasuki realitas kehidupan orang-orang yang kita beri kesaksian. Jika tidak, maka kesaksian kita tak akan ada artinya, omong kosong, melayani diri sendiri dan sia-sia saja.

Kepiawaian kitab Pengkhotbah justru karena membuat kita kesal/sedih. Hidup ini penuh kesedihan/kekecewaan, dan kitab Pengkhotbah menghadapi kehidupan dengan jujur. Kita perlu merasa sedih jika kita terlalu terbiasa dengan kehidupan “di bawah matahari”, terlalu tergantung pada kenyamanan yang bisa kita temukan dalam situasi-situasi makmur dan mudah. Kita perlu bersedih dalam keadaan sebaliknya, ketika kita terjatuh dalam sinisme dan keputusasaan karena kesusahan-kesusahan yang kita hadapi. Setiap kali kita terlalu memuja pencapaian-pencapaian kerja kita yang fana, dan arogansi yang ditimbulkannya di dalam diri kita—dan sebaliknya, setiap kali kita gagal memahami makna transenden dari pekerjaan kita, dan keberhargaan orang-orang yang bekerja bersama kita—kita perlu merasa sedih. Kitab Pengkhotbah tampaknya secara unik memang mampu membuat kita bersedih bagi kemuliaan Allah.