Bootstrap

Bekerja Itu Usaha Menjaring Angin (Pengkhotbah 1:12-6:9)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
1542332

Sesudah menyatakan temanya bahwa berjerih payah atau bekerja keras itusia-sia di Pengkhotbah 1:1-11, Sang Pengkhotbah melanjutkan dengan menyelidiki berbagai kemungkinan untuk berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Ia merenungkan, secara berurutan, tentang pencapaian, kesenangan, hikmat, kekayaan, waktu, persahabatan dan menemukan sukacita dalam karunia-karunia Allah. Ia memang menemukan makna tertentu pada beberapa hal ini, yang lebih sedikit pada penyelidikannya yang awal-awal, dan lebih banyak pada penyelidikannya yang setelah-setelahnya. Namun tampaknya tidak ada yang bernilai tetap, dan kesimpulan yang menjadi ciri dari setiap bagian itu adalah bahwa bekerja itu ”usaha menjaring angin.”

Pencapaian (Pengkhotbah 1:12-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertama-tama Sang Pengkhotbah menyelidiki tentang berbagai prestasi atau pencapaian. Ia adalah seorang raja dan sekaligus orang bijak—seorang “overachiever” (orang yang pencapaiannya melebihi normal dan ekpektasi, dan selalu ingin mencapai lebih lagi-Pen) jika memakai istilah sekarang—yang melebihi “setiap orang yang memerintah atas Yerusalem sebelumnya” (Pengkhotbah 1:16). Lalu apa arti semua pencapaiannya itu baginya? Tidak banyak. “Itulah kesibukan yang menyusahkan, yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk menyibukkan diri. Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 1:13-14). Bahkan tampaknya tak ada pencapaian abadi yang bisa terjadi. “Yang bengkok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung” (Pengkhotbah 1:15). Pencapaian tujuan-tujuan tidak memberinya kebahagiaan, karena hanya membuatnya menyadari betapa hampa dan terbatasnya segala yang dapat dicapainya. Singkatnya, ia berkata lagi, “Aku menyadari bahwa hal ini pun usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 1:17-18).

Kesenangan (Pengkhotbah 2:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selanjutnya ia berkata pada dirinya sendiri, “Baiklah, aku hendak mencoba kegirangan. Nikmati kesenangan!” (Pengkhotbah 2:1). Ia mengumpulkan kekayaan, rumah, taman, alkohol, pelayan (budak), perhiasan, hiburan, dan akses langsung kepada kesenangan seksual. “Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun” (Pengkhotbah 2:10a).

Berbeda dengan pencapaian, ia menemukan nilai/makna tertentu dalam mencari kesenangan. “Hatiku bersukacita atas segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku” (Pengkhotbah 2:10b). Segala pencapaiannya ternyata tidak ada yang baru, tetapi kesenangan-kesenangannya setidaknya menyenangkan. Tampaknya pekerjaan yang dilakukan sebagai sarana mencapai tujuan—dalam hal ini kesenangan—lebih memuaskan daripada pekerjaan yang dilakukan sebagai obsesi. Seperti kata pepatah, tanpa perlu memiliki “banyak selir” pun (Pengkhotbah 2:8), para pekerja masa kini bisa mengambil waktu untuk menikmati keharuman bunga mawar. Jika kita berhenti bekerja untuk mencapai tujuan yang lebih dari sekadar bekerja, jika kita tidak bisa lagi menikmati hasil kerja kita, maka kita telah menjadi budak pekerjaan, bukan tuannya.

Meskipun demikian, berjerih lelah untuk mendapatkan kesenangan semata pada akhirnya juga tidak memuaskan. Bagian ini diakhiri dengan penilaian bahwa, lagi-lagi “semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin; tidak ada yang bermakna di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).

Hikmat (Pengkhotbah 2:12-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mungkin baik mencari objek di luar pekerjaan itu sendiri, tetapi untuk itu diperlukan tujuan yang lebih tinggi dari kesenangan. Karena itu, Sang Pengkhotbah melaporkan, “Aku berpaling untuk meninjau hikmat, juga kekonyolan dan kebodohan” (Pengkhotbah 2:12). Dengan kata lain, ia menjadi seperti seorang profesor atau peneliti masa kini. Tidak seperti pencapaian yang dicapai demi pencapaian belaka, hikmat setidaknya bisa dicapai sampai tingkat tertentu. “Aku melihat bahwa hikmat lebih bermakna daripada kebodohan, seperti terang lebih berguna daripada kegelapan” (Pengkhotbah 2:13). Namun selain mengisi kepala dengan pikiran-pikiran yang tinggi, hikmat tidak membuat perbedaan nyata dalam kehidupan, karena “orang berhikmat mati juga seperti orang bodoh” (Pengkhotbah 2:16). Mengejar hikmat membawa Sang Pengkhotbah ke tepi jurang keputusasaan (Pengkhotbah 2:17), akibat yang masih terlalu lazim terjadi dalam pengejaran-pengejaran akademik saat ini. Sang Pengkhotbah menyimpulkan, “Semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:17).

Kekayaan (Pengkhotbah 2:18-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah lalu beralih kepada kekayaan, yang bisa diperoleh sebagai hasil berjerih lelah. Bagaimana dengan penumpukan kekayaan sebagai tujuan yang lebih tinggi dari bekerja? Tindakan ini ternyata lebih buruk daripada memakai kekayaan untuk memperoleh kesenangan. Kekayaan menimbulkan masalah warisan. Ketika Anda mati, kekayaan yang Anda kumpulkan itu akan beralih kepada orang lain yang kemungkinan tidak pantas mendapatkannya sama sekali. “Kalau ada orang berjerih payah dengan hikmat, pengetahuan, dan keterampilan, ia harus meninggalkan bagiannya kepada orang yang tidak berjerih payah untuk itu. Ini pun kesia-siaan dan kemalangan yang besar” (Pengkhotbah 2:21). Hal ini sangat menyakitkan sampai Si Pengkhotbah berkata, “Aku pun mulai putus asa” (Pengkhotbah 2:20).

Di sini, kita menemukan pandangan sekilas kita yang pertama tentang karakter Allah. Allah itu Pemberi. “Kepada orang yang disenangi-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan, dan sukacita” (Pengkhotbah 2:26). Aspek karakter Allah ini diulangi beberapa kali di kitab Pengkhotbah, dan karunia pemberian-Nya meliputi makanan, minuman dan kegembiraan (Pengkhotbah 5:17, 8:15), kekayaan dan harta benda (Pengkhotbah 5:18, 6:2), kemuliaan (Pengkhotbah 6:2), integritas (Pengkhotbah 7:29), dunia yang kita diami (Pengkhotbah 11:5), dan kehidupan itu sendiri (Pengkhotbah 12:7).

Seperti Sang Pengkhotbah, banyak orang masa kini yang menimbun banyak kekayaan juga mendapati hal itu sangat tidak memuaskan. Meskipun kita sudah menjadi kaya raya, berapa banyak pun harta yang kita miliki tampaknya tak pernah cukup. Ketika kita menjadi kaya raya dan mulai menyadari tentang kemungkinan kita akan mati, membagikan kekayaan kita dengan bijak tampaknya menjadi beban yang hampir tak tertahankan. Andrew Carnegie menyadari beratnya beban ini ketika ia berkata, “Aku memutuskan untuk berhenti mengumpulkan (kekayaan) dan memulai tugas yang jauh lebih serius dan sulit, yaitu membagikan dengan bijak.”[1]

Dan, jika Allah itu Pemberi, tak mengherankan jika membagikan kekayaan, bukan hanya menimbunnya, bisa lebih memuaskan.

Tetapi Sang Pengkhotbah juga tidak menemukan bahwa membagikan kekayaan itu lebih memuaskan daripada mengumpulkannya (Pengkhotbah 2:18-21). Entah kenapa, kepuasan yang ditemukan Allah di surga ketika memberi luput dari perhatian Sang Pengkhotbah di bawah matahari. Ia tampaknya tidak memikirkan kemungkinan menginvestasikan kekayaan atau memberikannya untuk tujuan yang lebih tinggi. Dan tentu saja, jika tidak ada tujuan yang lebih tinggi dari segalanya yang ditemukan Sang Pengkhotbah, maka penumpukan dan pembagian kekayaan “ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:26).

Waktu (Pengkhotbah 3:1-4:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika bekerja tidak hanya memiliki satu tujuan yang pasti, mungkin bekerja itu memiliki banyak tujuan, yang masing-masing bermakna pada waktunya sendiri. Sang Pengkhotbah menyelidiki hal ini di pasal terkenal yang dimulai dengan, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1). Intinya, setiap aktivitas itu ditentukan oleh waktu.

Pekerjaan yang sama sekali tidak tepat pada suatu waktu, bisa saja menjadi tepat dan diperlukan pada waktu yang lain. Pada suatu saat, berkabung itu benar dan menari itu salah, dan pada saat lain, yang benar justru yang sebaliknya.

Tidak satu pun dari aktivitas atau kondisi ini yang permanen. Kita bukan para malaikat yang hidup dalam kebahagiaan yang tanpa batas waktu. Kita adalah makhluk dunia ini yang selalu mengalami perubahan dan musim waktu. Ini adalah pelajaran sulit lainnya. Kita menipu diri sendiri tentang hakikat kehidupan jika kita berpikir pekerjaan kita dapat memberi kedamaian, kemakmuran, atau kebahagiaan abadi. Pada suatu saat, segala sesuatu yang kita bangun juga akan diruntuhkan (Pengkhotbah 3:3). Jika pekerjaan kita memiliki nilai kekal, Sang Pengkhotbah tidak melihat tanda-tanda itu “di bawah matahari” (Pengkhotbah 4:1). Kondisi kita dua kali lipat sulit karena kita adalah makhluk fana yang hidup pada masa sekarang, namun, tidak seperti binatang, kita memiliki “pengertian tentang masa lalu dan masa mendatang” di dalam pikiran kita (Pengkhotbah 3:11). Itu sebabnya Sang Pengkhotbah merindukan sesuatu yang bernilai kekal itu, meskipun ia tidak bisa menemukannya.

Lagipula, kebaikan yang berusaha dilakukan orang pada waktu yang tepat pun dapat dikacaukan oleh penindasan. “Di pihak para penindas ada kekuasaan, tetapi tak ada yang menghibur mereka” (Pengkhotbah 4:1). Dan yang terburuk dari semuanya adalah penindasan oleh pemerintah. “Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ ada kejahatan” (Pengkhotbah 3:16). Tetapi orang tak berdaya pun belum tentu lebih baik. Respons yang biasanya muncul pada saat merasa tak berdaya adalah iri hati. Kita iri pada orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, status, relasi, harta benda, atau hal-hal lain yang tidak kita miliki. Sang Pengkhotbah menyadari bahwa iri hati sama buruknya dengan penindasan. “Aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala keterampilan dalam pekerjaan berasal dari rasa iri seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 4:4). Dorongan untuk memperoleh pencapaian, kesenangan, hikmat atau kekayaan melalui penindasan maupun karena iri hati hanya membuang-buang waktu. Namun siapa juga yang tak pernah terjatuh dalam kedua kebodohan ini?

Tetapi Sang Pengkhotbah tidak berputus asa, karena waktu adalah anugerah dari Allah sendiri. “Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pengkhotbah 3:11a). Adalah tepat untuk menangis saat pemakaman orang terkasih, dan baik untuk bersukacita pada saat kelahiran anak. Dan kita tak seharusnya menolak kesenangan-kesenangan yang sah yang bisa diberikan pekerjaan kita. “Tak ada yang lebih baik untuk mereka daripada bersukaria dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka, juga bahwa setiap orang dapat makan minum, dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya; itulah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Pelajaran-pelajaran hidup ini berlaku terutama dalam hal bekerja. “Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itulah bagiannya” (Pengkhotbah 3:22a). Bekerja ada di bawah kutuk, tetapi bekerja itu sendiri bukanlah kutukan. Bahkan visi terbatas yang kita miliki tentang masa depan menjadi semacam berkat, karena membebaskan kita dari beban untuk berusaha mengetahui sebelumnya tentang segala akhir. “Siapa yang akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” (Pengkhotbah 3:22b). Jika pekerjaan kita dapat berjalan sesuai dengan waktu-waktu yang dapat kita perkirakan, maka itu adalah anugerah dari Allah.

Di sini, kita menemukan dua pandangan sekilas tentang karakter Allah. Pertama, Allah itu menakjubkan, kekal, mahatahu, “supaya manusia takut akan Dia” (Pengkhotbah 3:14). Meski kita dibatasi oleh kondisi-kondisi kehidupan di bawah matahari, Allah tidak. Ada banyak yang lebih dahsyat pada Allah dari yang terlihat oleh mata. Transendensi Allah ini—jika memakai istilah teologis—muncul lagi di Pengkhotbah 7:13-14 dan 8:12-13.

Pandangan sekilas kedua menunjukkan pada kita bahwa Allah itu Allah yang adil. “Allah mencari yang sudah lalu” (Pengkhotbah 3:15) dan “Allah akan mengadili baik orang benar maupun orang jahat” (Pengkhotbah 3:17). Ide ini diulangi lagi di Pengkhotbah 8:13, 11:9 dan 12:14. Kita mungkin tidak melihat keadilan Allah dalam kehidupan yang tampak tidak adil ini, tetapi Sang Pengkhotbah meyakinkan kita bahwa hal itu akan terwujud.

Sebagaimana sudah kita ketahui, kitab Pengkhotbah adalah sebuah penyelidikan yang realistis tentang kehidupan di dunia yang telah jatuh dalam dosa. Bekerja itu melelahkan. Tetapi di tengah kerasnya dunia kerja pun, kita bisa mendapatkan kesenangan dalam jerih lelah kita dan menikmati pekerjaan kita. Ini bukan jawaban atas teka-teki kehidupan, tetapi suatu pertanda bahwa Allah ada di dunia ini, sekalipun kita tidak memahami dengan jelas apa sebenarnya artinya itu bagi kita. Meskipun bagian ini agak penuh harapan, penyelidikan tentang waktu diakhiri dengan pengulangan ganda dari “usaha menjaring angin,” sekali di Pengkhotbah 4:4 (sebagaimana dibahas di atas) dan sekali lagi di Pengkhotbah 4:6.

Persahabatan (Pengkhotbah 4:7-4:16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Relasi barangkali menawarkan makna yang nyata dalam bekerja. Sang Pengkhotbah menjunjung tinggi nilai persahabatan di tempat kerja. “Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka” (Pengkhotbah 4:9, cetak miring ditambahkan).

Berapa banyak orang yang menemukan persahabatan terdekat di tempat kerja? Meskipun kita tidak memerlukan bayarannya, meskipun pekerjaannya tidak menarik bagi kita, kita mungkin menemukan arti yang mendalam dalam relasi-relasi kerja kita. Itulah salah satu alasan banyak orang merasa masa pensiun itu mengecewakan. Kita merindukan teman-teman di tempat kerja itu setelah kita pergi, dan kita merasa sulit membangun persahabatan baru yang mendalam tanpa tujuan-tujuan yang sama yang menyatukan kita dengan rekan-rekan di tempat kerja.

Membangun relasi yang baik di tempat kerja memerlukan keterbukaan dan kerinduan untuk belajar dari orang lain. “Lebih baik seorang muda yang miskin tetapi berhikmat daripada seorang raja yang tua tetapi bodoh, yang tak mau lagi diperingatkan” (Pengkhotbah 4:13). Arogansi dan kekuasaan sering menjadi hambatan dalam membangun relasi yang efektif yang mendukung pekerjaan (Pengkhotbah 4:14-16), sebuah kebenaran yang dibahas dalam artikel Harvard Business School, “How Strength Becomes a Weakness” (Bagaimana Kekuatan Menjadi Kelemahan).[1] Kita menjadi sahabat di tempat kerja sebagian karena dibutuhkan kerja tim untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Inilah salah satu alasan mengapa banyak orang lebih mahir membangun persahabatan di tempat kerja daripada di lingkup-lingkup sosial yang tidak memiliki tujuan yang sama.

Penyelidikan Sang Pengkhotbah tentang persahabatan lebih menggembirakan daripada penyelidikan-penyelidikannya yang sebelumnya. Namun demikian, persahabatan di tempat kerja bersifat temporer. Pembagian tugas bisa berubah, tim-tim dibentuk dan dibubarkan, teman sejawat berhenti kerja, pensiun atau dipecat, dan pekerja baru yang bergabung belum tentu kita sukai. Sang Pengkhotbah mengumpamakannya seperti seorang raja muda baru yang pada awalnya diterima rakyatnya dengan gembira, tetapi popularitasnya menurun ketika generasi muda yang baru mulai menganggapnya hanya sebagai raja tua yang lain. Pada akhirnya, baik kemajuan karier maupun ketenaran tidak memberi kepuasan. “Oleh sebab itu, ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 4:16).

Sukacita (Pengkhotbah 5:1-6:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pencarian Sang Pengkhotbah akan makna kerja diakhiri dengan beberapa pelajaran singkat yang dapat diterapkan langsung dalam bekerja. Pertama, mendengarkan lebih bijaksana daripada berbicara, “Sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit saja” (Pengkhotbah 5:1). Kedua, tepatilah janji-janji Anda, terutama kepada Allah (Pengkhotbah 5:4). Ketiga, memperkirakan pemerintah bertindak korup. Ini tidak baik, tetapi ini universal, dan lebih baik daripada anarki (Pengkhotbah 5:7-8). Keempat, obsesi terhadap kekayaan merupakan kecanduan, dan seperti halnya kecanduan apa pun, obsesi ini membawa kemalangan pada yang bersangkutan (Pengkhotbah 5:10-12), dan tidak pernah memuaskan (Pengkhotbah 6:7-8). Kelima, kekayaan tidak abadi. Kekayaan bisa lenyap dalam kehidupan ini, dan pasti hilang pada saat kematian. Jangan membangun hidup Anda di atas kekayaan (Pengkhotbah 5:13-17).

Di tengah-tengah bagian ini, Sang Pengkhotbah menyelidiki kembali karunia Allah yang memungkinkan kita menikmati pekerjaan kita, serta kekayaan, harta benda, dan kemuliaan yang dihasilkan pekerjaan itu pada suatu waktu. “Yang kuanggap baik dan tepat bagi orang ialah makan minum dan menikmati kesenangan dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup, yang dianugerahkan Allah kepadanya” (Pengkhotbah 5:17). Meskipun kenikmatan itu hanya sesaat, tetapi nyata. “Sesungguhnya ia tidak sering mengingat umurnya, karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya” (Pengkhotbah 5:19). Kenikmatan ini bukan datang dari bekerja keras yang lebih berhasil dari orang lain, tetapi dari menerima kehidupan dan pekerjaan sebagai anugerah Allah. Jika kenikmatan dalam pekerjaan kita bukan datang sebagai anugerah Allah, maka kenikmatan itu tidak akan datang sama sekali (Pengkhotbah 6:1-6).

Seperti pada bagian tentang persahabatan, nada Sang Pengkhotbah di bagian ini relatif positif. Namun hasil akhirnya tetap membuat frustrasi. Karena kita melihat jelas bahwa semua kehidupan berakhir di kuburan, dan kehidupan yang dijalani dengan bijak pun akhirnya tidak memberikan hasil yang lebih besar daripada kehidupan yang dijalani dengan bodoh. Namun lebih baik melihat hal ini dengan jelas daripada berusaha hidup dalam ilusi dongeng. “Lebih baik yang sudah tampak di depan mata daripada menuruti nafsu” (Pengkhotbah 6:9a). Tetapi hasil akhir dari kehidupan kita tetaplah “kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 6:9b).