Yeremia & Ratapan dan Pekerjaan
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Pengantar Kitab Yeremia dan Ratapan
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiIsu mendasar yang dibahas dalam kitab Yeremia adalah apakah umat Allah akan tetap setia kepada-Nya di tengah-tengah lingkungan yang menyulitkan. Yeremia menelaah kesetiaan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk agama, keluarga, militer, pemerintahan, pertanian, serta bidang-bidang kehidupan dan pekerjaan lainnya. Kita pun menghadapi isu yang sama sebagai orang-orang yang bekerja pada masa kini. Kita dipanggil untuk setia kepada Allah dalam pekerjaan kita, tetapi ada banyak lingkungan kerja yang menyulitkan kita untuk mengikuti jalan-Nya.
Nabi Yeremia harus berurusan dengan ketidaksetiaan seluruh umat kepada Allah. Dari raja-raja dan para pembesar hingga para imam dan nabi, semuanya tidak setia kepada Allah. Mereka memang masih datang ke Bait Allah, mempersembahkan korban dan menyerukan nama Tuhan, tetapi cara hidup mereka sehari-hari tidak menunjukkan pengakuan akan Allah (Yer. 7:1-11). Tidak ada bedanya dengan orang-orang zaman sekarang yang bergereja pada hari Minggu, memasukkan uang ke dalam kantung persembahan, tetapi menghidupi keseharian seolah mereka tidak mengenal Allah.
Dalam hal kesetiaan kepada Allah, kitab Yeremia menawarkan sejumlah ayat yang terkait langsung dengan pekerjaan serta banyak ayat lain menyangkut kesetiaan secara menyeluruh dalam hidup kepada Allah, berikut implikasi-implikasinya terhadap pekerjaan kita.
Dalam nubuat-nubuatnya yang berhubungan dengan pekerjaan, Yeremia tidak banyak memperkenalkan prinsip atau perintah yang baru. Sebaliknya, nubuat-nubuat yang ia terima merupakan prinsip-prinsip yang telah diwahyukan dalam kitab-kitab awal dalam Alkitab, terutama dalam Hukum Musa. Dia menegur umat Allah yang tidak menaati hukum-Nya dan memperingatkan bahwa ketidaktaatan itu akan mendatangkan bencana bagi mereka. Ketika bencana itu datang, Yeremia pun mengajarkan mereka bagaimana menghidupi hukum Allah di tengah situasi baru yang suram. Dia meneguhkan mereka dengan janji Allah bahwa pada akhirnya Dia akan memulihkan sukacita dan kesejahteraan mereka jika mereka mau kembali setia.
Meskipun dia hidup sekitar 600 tahun sebelum rasul Paulus, penjelasan Yeremia tentang pekerjaan dapat dirangkum dengan sederhana menggunakan ayat Kolose 3:23, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
Yeremia dan Zamannya (Yeremia dan Ratapan)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBanyak dari kita yang merasakan tempat kerja kita jadi menyulitkan, setidaknya pada saat-saat tertentu. Salah satu daya tarik kitab Yeremia adalah bahwa situasi yang ia hadapi begitu menyulitkan. Tempat kerjanya (yaitu di antara para elit pemerintahan Yehuda) korup dan bertentangan dengan pekerjaan Allah. Yeremia terus-menerus berada dalam bahaya. Namun, ia dapat melihat hadirat Allah dalam situasi tersulit sekalipun. Ketekunannya mengingatkan kita bahwa mungkin kita dapat belajar untuk mengalami hadirat Allah di tempat kerja yang paling menyulitkan sekalipun.
Yeremia dibesarkan di kota kecil Anatot yang berjarak tiga mil di sebelah timur laut ibukota Yehuda, Yerusalem. Meskipun dekat secara geografis, kedua komunitas ini jauh berbeda secara budaya dan politik. Yeremia dilahirkan dalam garis keturunan imam Abyatar, tetapi tidak memiliki kedudukan yang berarti di antara para imam di Yerusalem. Salomo telah menyingkirkan Abyatar dari kekuasaan beberapa abad sebelumnya (1 Raja-raja 1:28 - 2:26) dan menggantinya dengan keturunan imam Zadok di Yerusalem.
Ketika ia dipanggil oleh Allah untuk menjadi nabi-Nya di Yerusalem, Yeremia mendapati dirinya berada di tengah-tengah para imam yang tidak menerima keimaman yang diwarisinya. Yeremia terus menjadi orang luar yang dicurigai dan tidak disukai selama karirnya yang panjang di Yerusalem. Orang-orang yang pada zaman sekarang menghadapi prasangka budaya, etnis, ras, bahasa, agama, atau berbagai prasangka lain di tempat kerja, akan mengerti apa yang Yeremia hadapi setiap hari dalam hidupnya.
Panggilan dan Uraian Tugas Bagi Nabi yang Penuh Keengganan (Kitab Yeremia dan Ratapan)
Pada awal usia dua puluhan, Yeremia menerima panggilan Allah untuk menjadi seorang nabi. Tepatnya pada 626 S.M., tahun ke-13 pemerintahan Raja Yosia (Yer. 1:2). Tugasnya adalah membawa pesan-pesan Allah "atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam" (Yer. 1:10). Pesan-pesan Allah yang disampaikan melalui Yeremia tidaklah lembut dan menguatkan, karena orang-orang Yahudi saat itu sudah hampir sepenuhnya mengabaikan kesetiaan mereka kepada Allah. Allah berusaha memanggil mereka, lewat Yeremia, untuk berbalik sebelum bencana melanda. Layaknya seorang konsultan eksternal yang disewa untuk mengguncang sistem yang bertahan dalam sebuah organisasi, Yeremia dipanggil untuk mendisrupsi kebiasaan yang ada di kerajaan Yehuda. Bagian dari tugasnya adalah menentang penyembahan berhala dan praktik-praktik jahat yang telah menggerogoti ibadah di Yehuda.
Pekerjaan kenabian Yeremia dimulai di bawah pemerintahan raja Yosia yang baik dan berlanjut di bawah para penerusnya yang jahat, yaitu Yoahas, Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia, sampai melewati kehancuran total Yerusalem di bawah penguasa Babel, Nebukadnezar (586 SM). Selama empat dekade menjadi nabi Allah di Yerusalem, Yeremia terus-menerus dicemooh, menjadi bahan tertawaan warga kota. Ia pun luput dari beberapa rencana pembunuhan atas dirinya (Yer. 11:21, 18:18, 20:1, 26:8, dan pasal 38-39).
Yeremia tidak mengajukan diri untuk menjadi nabi dan tidak tercatat di mana pun bahwa ia "menerima" panggilan Allah untuk menjadi juru bicara-Nya. Cukup berbeda dengan Yesaya yang, setelah menerima penglihatan tentang kekudusan dan keagungan Tuhan, mendengar Allah bertanya, "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Kita?" Yesaya menjawab, "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8). Ketika Allah memberitahu Yeremia bahwa ia akan menjadi juru bicara-Nya di Yerusalem, Yeremia protes karena merasa masih muda dan kurang berpengalaman (Yer. 1:6-7). Namun, Allah mengabaikan protesnya dan segera memberi Yeremia pesan-pesan nubuatan untuk umat-Nya (Yer. 1:11-16). Setelah itu, Allah melanjutkan dengan memberi instruksi, peringatan dan janji kepada Yeremia yang baru saja diangkat:
Akan tetapi, engkau, ikatlah pinggangmu, dan segeralah sampaikan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadamu. Jangan gentar terhadap mereka, supaya jangan engkau Kubuat gentar di hadapan mereka! Adapun Aku, sesungguhnya pada hari ini Aku membuat engkau menjadi kota berkubu, menjadi tiang besi dan menjadi tembok tembaga melawan seluruh negeri ini, menentang raja-raja Yehuda dan pemuka-pemukanya, menentang para imamnya dan rakyat negeri ini. Mereka akan memerangi engkau, tetapi tidak akan mengalahkan engkau, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau,” demikianlah firman Tuhan. (Yeremia 1:17-19)
Yeremia tahu sejak awal bahwa panggilannya untuk menjadi nabi adalah panggilan yang berat. Tugas kenabiannya akan membuatnya bersinggungan dengan seluruh bangsa Yehuda, mulai dari raja, para pembesar, imam, hingga rakyat di jalan-jalan kota. Meskipun demikian, ia merasakan dengan jelas panggilan Allah untuk melakukan pekerjaan yang sulit ini, dan percaya bahwa Allah akan menuntunnya untuk melaluinya.
Gambaran Umum Kitab Yeremia
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Yeremia mencerminkan semakin memburuknya situasi demi situasi yang Yeremia hadapi. Pada berbagai kesempatan, ia memiliki tugas yang sulit untuk menentang kemunafikan dalam beragama, muslihat ekonomi dan praktik-praktik penindasan oleh para pemimpin Yehuda dan pengikut-pengikut mereka. Yeremialah yang menyuarakan peringatan; layaknya penjaga yang mengingatkan tentang kebenaran-kebenaran sejati yang sering diabaikan orang.
Sebab, beginilah firman Tuhan mengenai keluarga raja Yehuda...Aku pasti akan membuat engkau menjadi padang gurun, menjadi kota-kota tak berpenghuni. Aku akan menyiapkan pembinasa-pembinasa untuk melawan engkau .... Dan banyak bangsa akan melewati kota ini, dan mereka semua akan berkata seorang kepada yang lain: "Mengapa TUHAN bertindak demikian terhadap kota yang besar itu?" Dan mereka akan menjawab: "Karena mereka telah meninggalkan perjanjian TUHAN, Allah mereka." (Yeremia 22:6-8)
Walau bersikap pesimis, sesungguhnya Yeremia adalah orang yang realistis. Dia diejek dan dicemooh oleh para nabi palsu yang bersikeras bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan kota Yerusalem jatuh ke tangan penjajah.
Kegigihan Yeremia selama empat dekade untuk menyampaikan pesan yang tidak disukai, sungguh luar biasa. Dia tidak mau berhenti dari tugas yang tampaknya mustahil. Bukankah banyak dari kita yang akan memilih untuk melepaskan diri dari situasi seperti itu? Sebaliknya, salah satu hal yang paling mencolok tentang Yeremia adalah kesetiaannya yang teguh dalam menjalankan perintah Allah di tengah-tengah pertentangan dan kritik keras yang tiada henti. Meskipun ia sering disebut "nabi yang menangis" karena ia meratapi dosa-dosa bangsanya dan bersedih atas kegagalannya untuk menuntun mereka kembali kepada Yahweh, Yeremia tidak pernah goyah dalam keyakinannya bahwa Allah, yang menempatkannya di tempat ia berada, akan menggenapi pesan-pesan yang ia sampaikan. Yeremia mampu untuk setia pada panggilan yang tidak diinginkannya karena Allah telah berjanji untuk setia kepadanya. Dia melayani sambil memegang janji Allah:
"Mereka akan memerangi engkau, tetapi tidak akan mengalahkan engkau, sebab Aku menyerta engkau untuk melepaskan engkau,” demikianlah firman Tuhan " (Yer. 1:17-19).
Pada tahun 605, Nebukadnezar dari Babel menyerang Yerusalem dan membawa 10.000 orang Yahudi yang paling cakap (termasuk Yehezkiel dan Daniel). Pada saat itu, peran Yeremia diperluas untuk menyampaikan firman Allah kepada orang-orang Yahudi dalam pembuangan (pasal 29). Di antara orang-orang Yahudi yang ditawan, terdapat nabi-nabi palsu yang meyakinkan mereka bahwa kekuasaan Babel akan segera berakhir dan Allah tidak akan pernah membiarkan Yerusalem direbut. Sebaliknya, Yeremia memperingatkan orang-orang dalam pembuangan, bahwa mereka akan berada di Babel selama tujuh puluh tahun. Alih-alih hidup menurut harapan palsu, orang-orang Yahudi harus menetap di negeri tempat pembuangan mereka, membangun rumah, menanam kebun, menikahkan anak-anak mereka —dan berhenti mendengarkan para nabi palsu.
Sementara itu, penduduk Yehuda yang tersisa terus menolak pesan Allah. Pada tahun 586, bangsa Babel pun kembali dan menghancurkan Yerusalem, meruntuhkan tembok-temboknya, menghancurkan bait suci tanpa sisa, dan membawa orang-orang yang masih hidup sebagai tawanan. Sekali lagi, peran Yeremia berubah (pasal 40-45). Allah menahan Yeremia di kota, yang saat itu telah hancur dan dipimpin oleh Gedalya, untuk mendukung penguasa yang baru dan menolong umat-Nya memahami apa yang telah terjadi dan bagaimana mereka harus melanjutkan hidup di tengah-tengah kehancuran. Namun sekali lagi, walaupun telah memohon kepada bangsa Yehuda supaya mau mendengarkan pesan Allah, mereka malah mengandalkan persekutuan militer yang tak berarti dengan Mesir, yang dengan cepat dikalahkan oleh Babel. Yeremia dibawa ke Mesir, tempat dia kemudian meninggal. Hingga akhir hidupnya, sang nabi harus menghadapi para penguasa yang dengan keras kepala mengabaikan pesan-pesan Allah dan melewati akibat-akibat buruk yang terjadi akibatnya. Baik para nabi maupun orang-orang Kristen di tempat kerja akan menyadari bahwa mereka tidak mampu untuk mengatasi semua kejahatan. Terkadang, kesuksesan punya arti sesederhana untuk tetap melakukan apa yang menurut Anda benar bahkan ketika segala sesuatu menentang Anda.
Pasal-pasal terakhir (46-52) pada dasarnya membahas tentang penghakiman yang akan dijatuhkan Allah kepada semua bangsa, bukan hanya kepada Yehuda. Meskipun Allah menggunakan Babel untuk melawan Yehuda, Babel juga tidak akan luput dari hukuman.
Kita tidak bisa membaca kitab Yeremia tanpa diingatkan tentang akibat-akibat buruk dari ketidaksetiaan tanpa henti dari para pemimpin Yehuda - para raja, imam, dan para nabi. Pikiran sempit dan keluguan mereka untuk mempercayai kebohongan yang mereka perkatakan kepada satu sama lain berujung pada kehancuran total bangsa mereka dan ibu kotanya, Yerusalem. Pekerjaan yang Allah berikan kepada kita adalah hal yang serius. Kegagalan untuk mengikuti firman Allah dalam pekerjaan kita dapat menimbulkan kerusakan serius pada diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Memimpin bangsa Israel adalah tugas raja, para imam dan para nabi. Bencana nasional yang segera melanda Israel adalah akibat langsung dari keputusan-keputusan buruk dan kegagalan mereka dalam menjalankan tugas-tugas mereka sesuai Perjanjian.
Tema-Tema dalam Kitab Yeremia yang Berkaitan dengan Pekerjaan
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Yeremia tidak disusun sebagai sebuah risalah tentang pekerjaan. Oleh karena itu, topik-topik menyangkut pekerjaan tersebar di berbagai bagian, terkadang dipisahkan oleh banyak pasal, dan terkadang tumpang tindih di dalam satu pasal atau ayat. Kita akan sebisa mungkin membahas topik-topik dan perikop-perikop ini, sesuai dengan urutan kemunculannya dalam kitab Yeremia.
Kita telah melihat bahwa perhatian utama dalam kitab Yeremia adalah apakah perbuatan orang-orang menunjukkan kesetiaan kepada Allah. Saat membacanya, kita dapat bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita melihat pekerjaan kita sebagai area kehidupan yang signifikan di mana Allah menginginkan kesetiaan kita kepada-Nya. Jika ya, maka kita bisa berharap untuk mengalami hadirat Allah dalam pekerjaan kita. Oleh karena itu, kesetiaan kita kepada Allah dan hadirat Allah dalam pekerjaan kita merupakan dua tema yang saling berkaitan dan akan sering kita bahas ulang.
Panggilan Kepada Yeremia untuk Bekerja (Yeremia 1)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti yang telah kita lihat, Allah telah mempersiapkan Yeremia untuk menjadi seorang nabi bahkan sejak sebelum ia lahir (Yer. 1:5), dan kemudian pada saat yang tepat, menunjuknya untuk melakukan pekerjaan itu (Yer. 1:10). Yeremia menanggapi dengan setia panggilan Allah untuk bekerja, dan Allah memberinya pengetahuan yang ia butuhkan untuk melaksanakannya (Yer. 1:17).
Meskipun profesi Yeremia adalah seorang nabi, tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa pola di mana ketika panggilan Allah diresponi dengan kesetiaan oleh manusia, maka manusia tersebut akan diperlengkapi oleh Allah, hanya berlaku bagi para nabi. Allah memanggil dan memperlengkapi Yusuf (Kejadian 39:1-6; 41:38-57), Bezalel dan Oholiab (Keluaran 36-39) dan Daud (1 Samuel 16:1-13) masing-masing untuk pekerjaan sebagai menteri keuangan, kepala konstruksi, dan raja. Dalam Perjanjian Baru, Paulus mengatakan bahwa Allah memperlengkapi setiap orang yang setia supaya mereka bisa melakukan pekerjaan yang berkontribusi pada kebaikan orang lain (1 Korintus 12-14). Kita dapat melihat dalam kitab Yeremia, sebuah pola yang berlaku untuk semua orang yang dengan setia mengikuti Allah dalam pekerjaan mereka. Seperti yang dikatakan oleh William Tyndale:
Tidak ada satu pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan lain dalam hal menyenangkan Allah: menuangkan air, mencuci piring, menjadi tukang sepatu, atau menjadi rasul, semuanya adalah sama; mencuci piring dan berkhotbah, semuanya adalah sama, seperti menyentuh perbuatan, untuk menyenangkan Allah.[1]
Allah tahu bagaimana kita —seperti halnya Yeremia—dibentuk menurut rancangan-Nya. Allah memimpin kita untuk mengerahkan kemampuan dan talenta kita dengan cara-cara yang benar di dunia ini. Kemungkinan besar kita tidak akan memiliki panggilan yang sama seperti Yeremia. Pun panggilan kita tidak akan langsung, spesifik, dan jelas seperti panggilan Yeremia. Tentu salah jika kita berpikir bahwa panggilan kita untuk bekerja harus sama dengan panggilan Yeremia. Sepertinya Allah begitu terus terang kepada Yeremia karena ia sangat enggan untuk menerima panggilan-Nya. Bagaimanapun juga, kita seharusnya yakin bahwa Allah akan memperlengkapi kita untuk pekerjaan kita, apa pun pekerjaannya, jika kita setia kepada-Nya di dalam melaksanakannya.[2]
Kebaikan dan Kecemaran dalam Pekerjaan (Yeremia 2)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJauh sebelum Yeremia hidup, Allah telah menyatakan bahwa pekerjaan merupakan sesuatu yang baik bagi manusia (Kejadian 1-2). Seperti yang telah kita catat di bagian lain, cara Yeremia menjalankan tugas kenabiannya adalah dengan menerima pesan yang telah Allah nyatakan sebelumnya, dan memperingatkan bagaimana pesan itu dihidupi —atau tidak dihidupi— pada zamannya. Dalam pasal 2, Yeremia menyebut bagaimana orang-orang menyelewengkan kebaikan. Allah berkata kepada umat-Nya, "Aku membawa kamu ke tanah yang subur untuk menikmati buahnya dan segala yang baik darinya. Akan tetapi, segera setelah kamu masuk, kamu menajiskan tanah-Ku; tanah milik-Ku telah kamu buat menjadi hal yang menjijikkan" (Yer. 2:7). Ia menambahkan bahwa bangsa itu "mengikuti ilah-ilah yang tidak berguna" (Yer. 2:8).
Tuhan membawa umat-Nya ke tanah yang subur di mana pekerjaan mereka akan memberikan hasil yang berlimpah, tetapi mereka malah menolak kehadiran-Nya dengan menajiskan tanah-Nya. Inilah gambaran yang cukup umum secara teologis mengenai hak istimewa di Timur Dekat Kuno: bahwa Allah menciptakan tanah dan memilikinya, tetapi kemudian memberikan tanah tersebut kepada manusia yang Ia tunjuk menjadi penatalayannya.[1] Allah memberikan umat-Nya hak istimewa untuk mengerjakan tanah milik-Nya, yang merupakan pusat dari alam semesta. Meskipun pada zaman Yeremia, orang-orang mengerjakan tanah milik Allah dengan memandang rendah, pekerjaan itu sendiri sesungguhnya diciptakan oleh Allah sebagai sesuatu yang baik. "Engkau akan makan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau karena baik keadaanmu" (Mazmur 128:2). Mengolah tanah pekerjaan penting dan, jika dilakukan menurut jalan-jalan-Nya, akan membawa kesukaan dan kepekaan untuk merasakan kehadiran dan kasih Allah dengan mendalam.
"Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah." (Pengkhotbah 2:24). Namun, pekerjaan menjadi tercemar ketika manusia tidak lagi bekerja dengan setia. Orang-orang menajiskan tanah yang mereka terima karena mereka berhenti mengikuti Allah dan "mengikuti ilah yang sia-sia, dan mereka sendiri menjadi sia-sia?" (Yer. 2:5).
Keadaan di mana pekerjaan kita memburuk bisa menjadi semacam tanda telah memudarnya persekutuan kita dengan Allah. Kita mungkin sudah tidak lagi meluangkan waktu bersama Allah, akibat terlalu sibuk bekerja keras. Kita lalu sering tergoda untuk mencoba memperbaiki kedaan itu dengan menghabiskan lebih banyak waktu melakukan pekerjaan yang "tidak berguna" (Yer. 2:8), dan malah semakin menjauhi persekutuan dengan Allah. Hal-hal yang kita kerjakan menjadi tidak banyak menghasilkan bukan karena kita kurang lama bekerja, melainkan karena tanpa keterlibatan Allah di dalamnya, pekerjaan kita menjadi sia-sia dan tidak efisien. Apakah yang akan terjadi jika kita fokus pada hal terpenting, yaitu menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersekutu dengan Allah?
Bayangkan jika kita berkata kepada atasan kita, "Kinerja saya selama enam bulan terakhir tidak sesuai dengan standar tertinggi, jadi saya memutuskan untuk datang 30 menit lebih awal setiap pagi dan menghabiskan setengah dari waktu ekstra itu untuk berdoa dan setengahnya lagi untuk mulai bekerja lebih awal." Apakah cara itu akan lebih atau kurang efektif daripada sekadar bekerja lembur? Apakah seorang atasan akan merasa senang atau terganggu jika karyawannya membawa sumber makna dan dukungan utama mereka, ke dalam pekerjaan sehari-hari?
Pengakuan akan Penyediaan Tuhan (Yeremia 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYeremia mengeluh bahwa "bangsa ini mempunyai hari yang selalu melawan dan memberontak; mereka telah menyimpang dan hengkang" (Yer. 5:23). Mereka dipanggil untuk menjadi penatalayan yang mengerjakan tanah milik Allah sendiri, dengan "takut“ akan Tuhan. "Takut" (atau yare dalam bahasa Ibrani) kepada Allah sering digunakan dalam Perjanjian Lama sebagai sinonim dari "hidup yang meresponi Allah."[1] Bagian ini adalah salah satu dari sekian banyak bagian dalam pasal 1-25 yang berbicara tentang "pencemaran" tanah: "Betapa dahsyat dan mengerikan apa yang terjadi di negeri ini: Para nabi bernubuat palsu dan para imam memimpin dengan sewenang-wenang, dan umat-Ku menyukai hal yang demikian" (Yer. 5:30-31). Pada zaman dahulu —ketika pertanian merupakan tonggak perekonomian— pencemaran tanah bukan sekadar tentang hilangnya keindahan, melainkan juga tentang hilangnya produktivitas dan kelimpahan, sekaligus menandakan penolakan terhadap Allah yang telah memberikan tanah tersebut.
Chris Wright mencatat bahwa tanah —layaknya sebuah sakramen atau tanda yang dapat dilihat— merupakan termometer hubungan kita dengan Allah.[2] Pencemaran atas tanah (baik oleh perusahaan, militer atau individu) merupakan bentuk penyangkalan atas kepemilikan Allah dan tujuan-Nya menjadikan kita sebagai penatalayan bumi ini.
Keberhasilan dan Kegagalan Materi (Yeremia 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApakah Allah menahan kesuksesan materi dari mereka yang melakukan kejahatan di hadapan-Nya? Yeremia mengatakan apa yang hanya sedikit orang Kristen modern berani katakan: kurangnya penyediaan dari Allah bisa menjadi tanda bahwa pekerjaan Anda tidak diakui oleh Allah. Allah menahan turunnya hujan dari bangsa Yehuda karena dosa para penduduknya. "Kesalahanmu telah menghalangi semuanya [turunnya hujan] ini, dan dosamu menghambat yang baik darimu" (Yer. 5:25). Yeremia tidak mengatakan bahwa semua kasus berkurangnya penyediaan atau keberhasilan merupakan tanda penghakiman dari Allah. Ini adalah salah satu masalah yang Yesus bahas hampir 600 tahun kemudian ketika dia mengatakan bahwa orang yang lahir buta tidak menjadi buta sebagai tanda penghakiman Allah (Yohanes 9:2-3).
Selain itu, Allah juga memenuhi kebutuhan material orang-orang jahat sekalipun. Allah "menerbitkan matahari-Nya bagi orang yang jahat maupun orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun orang yang tidak benar," menurut Yesus (Matius 5:45). Dari kitab Yeremia kita hanya dapat mengatakan bahwa kesuksesan material bergantung pada penyediaan Allah, dan bahwa Allah mungkin —setidaknya pada waktu-waktu tertentu— menahan kesuksesan material dari mereka yang mempraktikkan ketidakadilan dan penindasan. [1] Pertanyaan yang sebenarnya adalah, "Apakah baik atau tidak bagi saya, jika Allah mengambil pendapatan orang yang tidak adil dan penindas?"
Ketidakadilan, Keserakahan, Kebaikan Bersama, dan Integritas (Yeremia 5-8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetidakadilan
Akibat tidak mengakui bahwa hasil panen mereka yang baik bersumber dari Allah, bangsa Yehuda kehilangan rasa tanggung jawab kepada Tuhan dalam cara mereka bekerja. Hal ini yang lalu mendorong mereka untuk menindas dan menipu orang-orang yang lemah dan tak berdaya:
Di samping itu mereka membiarkan perbuatan yang jahat, tidak menjalankan hukum, tidak memenangkan perkara anak yatim, dan hak orang miskin tidak mereka bela. (Yer. 5:28)
Mereka berpegang pada tipu daya, mereka menolak untuk kembali. Aku telah memperhatikan dan mendengarkan, mereka tidak berkata jujur! Tidak seorang pun menyesali kejahatannya dengan berkata: Apa yang telah kulakukan? (Yer. 8:5-6)
Pekerjaan di tanah milik Allah yang seharusnya dilakukan demi kebaikan semua orang, malah dilakukan demi keuntungan pribadi semata dan tanpa rasa takut kepada Allah yang telah memanggil mereka untuk bekerja. Maka Allah menahan turunnya hujan, dan mereka pun segera menyadari bahwa keberhasilan bukan bersumber dari mereka sendiri. Keadaan saat itu menunjukkan beberapa kemiripan dengan krisis ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 2008-2010, terkait hal-hal seperti kompensasi, kejujuran dalam pinjam meminjam, dan nafsu untuk cepat meraih keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Penting untuk tidak menyederhanakan masalah —isu-isu ekonomi modern terlalu kompleks untuk dibahas menurut ajaran-ajaran dari kitab Yeremia. Walau demikian, ada hubungan —meskipun rumit— antara kesejahteraan ekonomi suatu masyarakat dan bangsa dengan kehidupan dan nilai-nilai spiritual mereka. Kesejahteraan ekonomi adalah isu moral.
Keserakahan
llah memanggil manusia untuk memenuhi tujuan hidup yang lebih tinggi daripada kepentingan ekonomi pribadi. Tujuan tertinggi kita dalam hidup adalah hubungan dengan Allah, yang melaluinya rezeki dan kesejahteraan materi menjadi, dalam batasan tertentu, penting.
Aku teringat akan kesetiaanmu pada masa mudamu, akan cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di tanah yang tidak ditaburi. Ketika itu Israel kudus bagi Tuhan, sebagai buah sulung dari tuaian-Nya. (Yeremia 2:2-3)
Yeremia melihat sekelilingnya dan menemukan bahwa keserakahan —hasrat tak terkendali untuk mengejar keuntungan ekonomi— telah menggantikan kasih Allah sebagai pusat perhatian umat-Nya. "Sebab, dari yang terkecil sampai yang terbesar, semuanya mengejar keuntungan, baik nabi maupun imam, semuanya melakukan tipu daya" (Yer. 8:10). Tidak ada seorang pun yang luput dari kecaman Yeremia atas ketamakan mereka.[1]
ang nabi tidak pilih kasih terhadap orang kaya maupun miskin, orang kecil maupun besar. Kita melihat dia berlari "di jalan-jalan Yerusalem" untuk mencari apakah ada seseorang "yang berbuat adil dan yang mencari kebenaran" (Yer. 5:1). Pertama-tama ia bertanya kepada orang-orang miskin, tetapi mereka ternyata mengeraskan hati (Yer. 5:4). Kemudian Yeremia berpaling kepada orang-orang kaya, "Akan tetapi, mereka semua juga telah mematahkan kuk, telah memutuskan tali-tali pengikat" (Yer. 5:5).
Seperti diungkapkan oleh Walter Brueggemann, "Semua orang, terutama para pemimpin agama, didakwa karena perilaku ekonomi yang tidak berprinsip.... Komunitas ini telah kehilangan semua norma yang mereka perlukan untuk mengevaluasi dan menilai keserakahan mereka yang beringas dan eksploitatif."[2] Hati setiap orang lebih ingin untuk menjadi kaya daripada takut akan Allah dan mengasihi sesama. Keserakahan yang ditunjukkan baik oleh orang kaya (raja, Yeremia 22:17) maupun orang miskin, membangkitkan murka Allah.
Kebaikan Bersama
Allah ingin agar kita hidup dan bekerja untuk kebaikan bersama.[3] Yeremia mengkritik orang-orang Yehuda karena tidak memedulikan orang lain yang tidak mampu membawa keuntungan ekonomi, termasuk anak-anak yatim piatu dan orang miskin (Yer. 5:28), orang-orang asing, janda-janda, dan orang-orang tak berdosa (Yer. 7:6). Ketidakpedulian tersebut jauh lebih disorot oleh Yeremia dibandingkan tuduhan yang ia berikan atas pelanggaran terhadap elemen-elemen tertentu dalam Hukum Taurat seperti mencuri, membunuh, berzinah, mengucapkan saksi dusta, dan menyembah ilah-ilah palsu (Yer. 7:9). Yeremia mengajukan tuduhan ini terhadap individu-individu tertentu ("di antara umat-ku terdapat orang-orang fasik," Yeremia 5:26), terhadap semua orang ("hai sekalian orang Yehuda," Yeremia 7:2), terhadap para pemimpin bisnis (orang kaya, Yeremia 5:27) dan pemerintah (para hakim, Yeremia 5:28), terhadap kota-kota (Yeremia 4:16-18, 11:12, 26:2, dan sebagainya), serta terhadap bangsa itu secara keseluruhan ("bangsa yang jahat ini," Yeremia 13:10). Setiap elemen masyarakat, baik secara individu maupun institusi, telah melanggar perjanjian Allah.
Tuntutan Yeremia agar setiap pekerjaan dan hasilnya ditujukan untuk kebaikan bersama, merupakan fondasi penting bagi etika bisnis dan motivasi pribadi. Mempertimbangkan kontribusi sebuah tindakan terhadap kebaikan bersama, sama pentingnya dengan mempertimbangkan legalitas tindakan tersebut. Mungkin sah-sah saja secara hukum untuk berbisnis dengan cara-cara yang tak memedulikan kebaikan bersama, tapi bukan berarti hal itu sah di hadapan Allah.
Sebagai contoh, sebagian besar perusahaan pasti menjadi bagian dari sebuah rantai pasokan mulai dari bahan baku sampai ke suku cadang, lalu ke perakitan sampai produk akhir, dan akhirnya ke sistem pendistribusian kepada konsumen. Mungkin saja salah satu pihak dalam rantai pasokan tersebut menjadi lebih berkuasa daripada pihak-pihak lainnya dan menekan margin mereka, lalu merebut semua keuntungan. Namun, meskipun sah secara hukum, apakah tindakan itu baik untuk industri dan masyarakat? Apakah hal itu dapat dipertahankan dalam jangka panjang?
Atau mungkin secara hukum, sah-sah saja ketika sebuah serikat pekerja mempertahankan hak-hak para pekerja lama dengan cara mengorbankan hak-hak para pekerja baru. Namun, jika hak-hak tersebut ternyata dibutuhkan oleh semua pekerja, apakah tindakan itu bermanfaat bagi kebaikan bersama? Ini semua adalah isu-isu kompleks yang tidak dapat ditemukan pemecahannya secara konkret dalam kitab Yeremia. Relevansi kitab Yeremia terhadap masa kini adalah untuk menunjukkan bagaimana sebagian besar orang-orang Yehuda mengira bahwa mereka sudah hidup dengan menuruti Hukum Taurat dan berbagai peraturan ekonomi/tempat kerja yang tercakup di dalamnya.[4] Pada kenyataannya, bagi Allah, mereka belum menunjukkan kesetiaan kepada-Nya di tempat mereka bekerja dan melakukan aktivitas ekonomi. Mereka mengikuti peraturan-peraturan Hukum Taurat tanpa memahami maksud Allah di baliknya. Yeremia mengungkapkan bahwa hal itulah yang pada akhirnya menghalangi seluruh bangsa itu untuk menikmati hasil kerja keras mereka di tanah milik Allah.
Seperti bangsa Yehuda, kita semua memiliki pilihan untuk menumpuk atau membagikan keuntungan yang kita peroleh dari pekerjaan kita. Ada perusahaan-perusahaan yang memusatkan bonus dan opsi saham hanya untuk para eksekutif senior, sementara yang lain mendistribusikannya secara luas di antara semua pekerja. Ada orang-orang mencoba mendapat pengakuan penuh atas setiap pencapaian yang melibatkan mereka, sementara yang lain lain dengan mudahnya memuji rekan kerja mereka tanpa pikir panjang. Sekali lagi, setiap kejadian perlu dilihat dengan pertimbangan yang kompleks, dan kita sebaiknya menghindari untuk terburu-buru menilai orang lain. Sebaliknya, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah cara kita mengatur uang, kekuasaan, pengakuan, dan imbalan lain dari pekerjaan kita hanya menguntungkan diri kita sendiri, atau apakah hal tersebut berkontribusi pada kebaikan rekan kerja, organisasi, dan lingkungan kita?
Demikian juga, sebuah organisasi dapat bercondong ke arah keserakahan atau ke arah mementingkan kebaikan bersama. Jika sebuah perusahaan mengeksploitasi kekuatan monopoli dengan menerapkan harga yang tinggi atau menjual produk dengan tipu muslihat, maka perusahaan itu menunjukkan keserakahan akan uang. Jika suatu pemerintahan menggunakan kekuasaan untuk mengedepankan kepentingannya negaranya sendiri di atas kepentingan negara-negara tetangganya atau kepentingan para pemimpinnya di atas warganya, maka pemerintahan itu menunjukkan keserakahan akan kekuasaan.
Kitab Yeremia memiliki pemahaman yang luas baik tentang kebaikan bersama maupun tentang keserakahan. Keserakahan tidak cuma terkait dengan setiap keuntungan yang didapatkan dengan melanggar hukum tertentu. Sebalikya, keserakahan juga terkait dengan segala jenis keuntungan yang didapatkan dengan mengabaikan kebutuhan dan keberadaan orang lain. Menurut Yeremia, tidak ada seorang pun di zamannya saat itu yang tidak terjebak dalam keserakahan. Apakah zaman kita saat ini menunjukkan perbedaan?
Integritas
Kata "integritas" berarti menjalani hidup menurut seperangkat kode etik, secara konsisten. Ketika kita mengikuti kode etik yang sama baik di rumah, di tempat kerja, di gereja, maupun di tengah-tengah masyarakat, berarti kita memiliki integritas. Ketika kita mengikuti kode etik yang berubah-ubah di berbagai area kehidupan, berarti kita tidak memiliki integritas.
Yeremia mengeluhkan tentang rendahnya integritas yang ia lihat dalam hidup orang-orang Yehuda. Mereka tampak yakin bahwa mereka dapat melanggar norma-norma etis dari Allah dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, lalu datang ke bait suci, bersikap saleh, dan kemudian diselamatkan dari konsekuensi tindakan mereka.
Bagaimana mungkin setelah kamu mencuri, membunuh, berzina dan bersumpah palsu, membakar kurban kepada Ba’al dan mengikuti ilah lain yang tidak kamu kenal, kamu datang berdiri di hadapan-Ku di rumah ini, yang dinamai menurut nama-Ku, sambil berkata: Kita selamat, supaya dapat melakukan lagi segala perbuatan yang menjijikkan ini! Apakah rumah ini, yang dinamai menurut nama-Ku, sudah menjadi sarang penyamun di matamu? Sesungguhnya aku sendiri sudah melihatnya, demikianlah firman Tuhan. (Yeremia 7:9-11)
Yeremia memanggil mereka untuk menjalani hidup dengan integritas. Tanpa integritas, kesalehan mereka tidak berarti di hadapan Allah. "Aku akan mencampakkan kamu dari hadapan-Ku," kata Allah (Yer. 7:15). Hati kita tidak langsung dibenarkan di hadapan-Nya hanya karena kita pergi ke gereja. Hubungan kita dengan-Nya tercermin dalam tindakan kita, dalam apa yang kita kerjakan setiap hari, termasuk di tempat kerja.
Iman akan Penyediaan dari Allah (Yeremia 8-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita lihat dalam Yeremia 5 bagaimana umat-Nya tidak mengakui pemeliharaan Allah. Jika mereka tidak mengakui Allah sebagai sumber utama dari hal-hal baik yang sudah mereka peroleh, bagaimana mungkin mereka punya iman untuk bergantung pada Allah dan penyediaan-Nya di masa depan? John Cotton, seorang teolog Puritan, mengatakan bahwa iman perlu mendasari segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup, baik pekerjaan maupun panggilan kita:
Seorang Kristen yang sungguh-sungguh percaya... menjalani kehidupan dan panggilannya dengan iman. Bukan hanya kehidupan rohani saya, melainkan juga kehidupan bermasyarakat saya di dunia ini, dan juga kehidupan saya secara keseluruhan, berlandaskan pada iman kepada Allah Putra: tidak ada aspek kehidupan yang berada di luar pengaruh-Nya. [1]
Inilah kegagalan mendasar bangsa Yehuda pada zaman Yeremia, yaitu kurangnya iman mereka. Kadang-kadang Yeremia menyebutnya sebagai tidak "mengenal" Tuhan, sebuah istilah yang menunjukkan kesetiaan. [2] Di lain waktu, ia menyebutnya sebagai kegagalan untuk "mendengar"—memperhatikan, menaati, bahkan peduli dengan apa yang Tuhan katakan. [3] Di waktu lainnya, ia menyebutnya sebagai kurangnya "rasa takut". Namun, semua ini pada dasarnya adalah kurangnya iman —iman yang hidup dan bekerja karena meyakini siapa Allah dan apa yang Dia lakukan atau katakan. Kekurangan ini merembes ke dalam pandangan manusia tentang pekerjaan, yang menyebabkan mereka secara terang-terangan melanggar hukum Allah dan mengeksploitasi orang lain demi keuntungan mereka sendiri.
Ironisnya, karena dalam pekerjaan mereka bergantung pada tindakan mereka sendiri dan mengesampingkan kesetiaan kepada Tuhan, umat-Nya pada akhirnya gagal menemukan kenikmatan, kepuasan, dan kebaikan hidup. Yeremia menulis bahwa Allah pada akhirnya akan menangani ketidaksetiaan mereka, dan "semua orang yang masih tersisa dari kaum yang jahat ini akan lebih suka mati daripada hidup" (Yer. 8:3). Semua perintah Allah ditujukan untuk kebaikan kita sendiri dan diberikan untuk membuat kita tetap fokus pada tujuan kita yang seharusnya..[4] Ketika kita mengesampingkan hukum-hukum Allah karena membuat kita jadi tidak mampu menjaga diri dengan cara kita sendiri, maka kita sebenarnya menjauh dari rancangan Allah bagi kita untuk bisa menjadi diri kita yang sejati. Ketika kita bekerja dengan cara yang sedemikian rupa sehingga bergantung pada diri kita sendiri —terlebih kalau kita sampai melanggar hukum-hukum Allah karenanya— pekerjaan kita gagal mencapai tujuan yang sejati. Kita menyangkal kehadiran Allah di dunia. Kita berpikir bahwa kita lebih tahu daripada Allah tentang cara mendapatkan keinginan kita. Akibatnya, kita bekerja menurut cara-cara kita, bukan cara-cara-Nya. Namun, cara-cara kita sendiri tidak akan bisa menghasilkan hal-hal baik yang Allah sesungguhnya ingin berikan kepada kita.
Lalu, ketika kita mengalami kekurangan, kita pun semakin terlibat dalam berbagai tindakan yang mementingkan diri sendiri. Kita mengambil jalan pintas, menindas orang lain, dan menimbun apa yang tersisa di tangan kita. Akibatnya, kita bukan hanya tidak menerima apa yang Allah ingin berikan kepada kita, melainkan juga gagal menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri kita sendiri atau orang lain. Jika orang lain di dalam komunitas atau bangsa kita bertindak sama, kita jadi berselisih hanya demi memperoleh hasil pekerjaan yang juga semakin tidak memuaskan. Kita menjadi kebalikan dari jati diri kita sebagai umat Allah. Pada akhirnya, "Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pahitnya ketika engkau meninggalkan Tuhan, Allahmu; dan tidak gentar terhadap Aku, demikianlah firman Tuhan ALLAH Semesta Alam" (Yer. 2:19).
Tema tentang orang-orang yang meninggalkan Allah, kehilangan iman akan penyediaan-Nya, dan sebagai akibatnya jadi menindas satu sama lain, berkali-kali diulang sepanjang pasal 8 sampai 16. "Mereka menolak mengenal Aku, demikian firman TUHAN" (Yer. 9:6). Oleh karena itu, kemakmuran mereka memudar, "dan tidak terdengar lagi suara ternak; baik burung-burung di udara maupun binatang lainnya, semuanya telah lari dan lenyap" (Yer. 9:10). Akibatnya, mereka berusaha menutupi kerugian dengan menipu satu sama lain. "Yang seorang menipu yang lain, dan tidak seorang pun berkata benar .... Penindasan di atas penindasan, tipu di atas tipu!" (Yeremia 9:5-6).
Bekerja dalam Kehidupan yang Seimbang (Yeremia 17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYeremia juga memberikan perhatian kepada ritme kerja dan istirahat. Seperti biasa, nabi Yeremia memulai dengan penyataan diri yang Allah sudah berikan; dalam hal ini, terkait hari Sabat sebagai hari untuk beristirahat:
Pada hari ketujuh Allah telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya. Pada hari ketujuh itu Ia berhenti dari segala pekerjaan yang dibuat-Nya. (Kejadian 2:2)
Ingat dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu. (Keluaran 20:8-10)
Akan tetapi, Yeremia bertemu dengan orang-orang yang menolak untuk menghormati hari Sabat:
Beginilah firman TUHAN: Waspadalah demi nyawamu! Jangan mengangkut barang pada hari Sabat dan membawanya melalui pintu-pintu gerbang Yerusalem! Jangan membawa barang keluar dari rumahmu pada hari Sabat dan jangan melakukan pekerjaan apa pun. Akan tetapi, kuduskanlah hari Sabat seperti yang telah Kuperintahkan kepada nenenk moyangmu. Namun, mereka tidak mau mendengarkan dan tidak mau mengarahkan telinganya, mereka menegarkan tengkuknya, tidak mau mendengarkan dan tidak mau menerima teguran (Yer.17:21-23).
Sebelumnya dalam pasal 17, Allah berbicara melalui Yeremia dan berkata: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang bersandar pada kekuatan manusia fana, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan! Ia akan seperti semak gundul di padang belantara, ia tidak akan melihat datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah tandus di padang gurung, di padang garam yang tidak berpenduduk. Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang mempercayakan dirinya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi sungai, dan tidak takut akan datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kekeringan, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:5-8).
Pada intinya, Yeremia mengulangi poinnya tentang iman kepada pemeliharaan Allah, yang telah kita bahas di atas pada pasal 8-16, dengan menggunakan hari Sabat sebagai contohnya. Dengan mengandalkan diri sendiri dan bukannya beriman kepada Allah, kita akan merasa seperti tidak punya waktu untuk beristirahat. Terlalu banyak pekerjaan yang harus kita lakukan jika kita ingin sukses baik dalam karir, rumah tangga, maupun dalam hal menikmati waktu luang kita, sampai kita melanggar hari Sabat untuk meyelesaikan pekerjaan kita. Padahal menurut Yeremia, sikap mengandalkan diri sendiri dan menjadikan "kedagingan yang fana" sebagai kekuatan kita, pada akhirnya akan membuat kita mengalami "kegersangan" karena kita terus menerus memaksakan diri kita 24 jam sehari, 7 hari seminggu, demi mencapai target. Kita "tidak akan tahu kapan kelegaan itu datang." Sebaliknya, jika kita mengandalkan Tuhan, kita "tidak akan berhenti menghasilkan buah." Mengabaikan kebutuhan kita akan keseimbangan antara bekerja dan beristirahat pada akhirnya akan menjadi kontra produktif.
Memberkati Masyarakat Luas Melalui Pekerjaan Anda (Yeremia 29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam Yeremia pasal 29, nabi Yeremia mengarahkan perhatian kita pada keinginan Allah supaya pekerjaan yang dilakukan umat-Nya dapat memberkati dan melayani masyarakat di sekitar mereka, bukan hanya umat Israel.
Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel, kepada semua orang buangan yang Kuangkut ke pembuangan dari Yerusalem ke Babel: Dirikanlah rumah dan tempatilah; buatlah kebun dan nikmatilah hasilnya! Ambillah istri dan perolehlah anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah istri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan; bertambah banyaklah di sana dan jangan berkurang! Usahakan kesejahteraan kota ke mana kamu Aku membuangmu, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab dalam kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu! (Yeremia 29:4-7)
Ini adalah tema yang sudah muncul dalam pasal-pasal sebelumnya, yaitu perintah Allah untuk tidak menindas orang-orang asing yang tinggal di daerah perbatasan Yehuda (Yer. 7:6, 22:3). Tema ini juga merupakan bagian dari Perjanjian yang terus diingatkan oleh Yeremia kepada Yehuda. "Bukankah Abraham akan menjadi bangsa yang besar serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di bumi akan mendakat berkat?" (Kejadian 18:18).
Meskipun demikian, para nabi palsu meyakinkan orang-orang Yahudi yang ada dalam pembuangan bahwa perkenanan Allah selalu menyertai Israel, sementara bangsa-bangsa di sekitar mereka akan dikesampingkan-Nya. Babel akan runtuh, Yerusalem akan diselamatkan, dan orang-orang akan segera kembali ke tempat asal mereka. Yeremia berusaha untuk melawan pernyataan palsu tersebut dengan firman Allah yang benar kepada mereka: “Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel” (Yer. 29:10).[1]
Babel akan menjadi satu-satunya tempat tinggal bagi generasi Israel yang saat itu ada dalam pembuangan. Allah memanggil umat-Nya untuk mengerjakan tanah di sana dengan tekun: "dirikanlah rumah ... buatlah kebun dan nikmatilah hasilnya." Orang-orang Yahudi seharusnya bisa mencapai kemakmuran sebagai umat Allah di Babel, meskipun Babel sebenarnya tempat penghukuman dan pertobatan bagi mereka. Selain itu, keberhasilan orang Yahudi di Babel juga berdampak pada keberhasilan Babel. "..dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu!" (Yer. 29:7). Panggilan yang diberikan dua ratus tahun lalu untuk bertanggung jawab kepada masyarakat, masih berlaku sampai sekarang. Kita dipanggil untuk bekerja demi kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan semata untuk kepentingan kita sendiri. Seperti orang-orang Yahudi pada zaman Yeremia, kita jauh dari sempurna. Kita pun mungkin menderita karena ketidaksetiaan dan kebobrokan kita. Meskipun demikian, kita dipanggil dan diperlengkapi untuk menjadi berkat bagi komunitas di mana kita hidup dan bekerja.
Allah memanggil umat-Nya untuk menggunakan berbagai keterampilan kerja mereka untuk melayani masyarakat sekitar. "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana Aku membuangmu " (Yer. 29:7). Kita bisa berargumen bahwa ayat ini tidak membuktikan bahwa Allah peduli pada orang-orang Babel. Hanya saja, Allah tahu bahwa sebagai tawanan, orang Israel tidak akan bisa menjadi makmur kecuali para penawannya juga makmur. Namun, kita telah melihat bagaimana kepedulian terhadap semua manusia termasuk mereka yang bukan umat Allah, merupakan elemen yang melekat dalam Perjanjian Allah, dan hal ini muncul dalam pengajaran Yeremia sebelumnya. Di dalam Yeremia 29, para pembangun rumah, tukang kebun, petani, dan semua orang yang bekerja secara eksplisit dipanggil untuk bekerja demi kebaikan seluruh masyarakat. Pemeliharaan Allah begitu luar biasa atas umat-Nya sehingga bahkan ketika rumah-rumah dihancurkan, anggota keluarga mereka dideportasi, tanah-tanah mereka dirampas, hak-hak mereka dilanggar, dan kedamaian mereka dihancurkan, mereka masih memiliki cukup untuk memakmurkan diri mereka sendiri dan memberkati orang lain. Namun, mereka harus bergantung kepada Allah; itulah kenapa ada nasihat untuk berdoa dalam Yeremia 29:7. Berdasarkan Yeremia pasal 29, sulit untuk memahami 1 Korintus 12-14 dan ayat-ayat lain tentang karunia yang ada dalam Perjanjian Baru sebagai ayat-ayat yang hanya berlaku untuk gereja atau orang Kristen. Allah memanggil dan memperlengkapi umat-Nya untuk melayani seluruh dunia.
Allah Hadir di Mana Saja (Yeremia 29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiIni bukan sesuatu yang mengherankan, karena "TUHANlah yang mempunyai bumi serta segala isinya, dan dunia serta semua penghuninya" (Mazmur 24:1). Hadirat Allah tidak lagi hanya dapat ditemukan di Yerusalem atau Yehuda, tetapi bahkan di ibu kota musuh. Kita dapat menjadi berkat di mana pun kita berada, karena Allah selalu menyertai kita. Di jantung kota Babel sekalipun, umat Allah dipanggil untuk bekerja layaknya mereka bekerja di hadapan hadirat Allah. Tak mudah bagi kita pada saat ini untuk memahami betapa mengejutkannya hal itu bagi umat-Nya yang sedang dalam pembuangan, dan selalu berpikir bahwa Allah hanya hadir di bait suci di Yerusalem. Mereka diperintahkan untuk hidup dalam hadirat Allah tanpa ada bait suci dan hidup jauh dari Yerusalem.
Perasaan seperti sedang berada dalam pembuangan bukanlah hal yang asing bagi orang Kristen yang bekerja. Kita sudah terbiasa menemukan hadirat Allah di gereja, di antara para pengikut-Nya. Namun di tempat kita bekerja, ketika bekerja baik dengan orang-orang beriman maupun tidak beriman, kita mungkin tidak berharap bisa menemukan hadirat-Nya. Bukan berarti di sana ada sikap memusuhi atau tidak etis terhadap orang Kristen, hanya saja agenda pribadi mereka memang bukan untuk bekerja di hadapana hadirat Allah. Walau demikian, Allah sesungguhnya hadir di tempat kerja kita, selalu ingin menyatakan diri-Nya kepada mereka yang mau mengenal-Nya. “Tinggallah di tanah itu: bercocok tanamlah dan makanlah apa yang dihasilkannya, bekerjalah dan bawalah pulang upahmu. Allah ada di sana bersamamu.”[1]
Berkat bagi Semua Bangsa (Yeremia 29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBerikutnya, kita dibawa pada pengertian yang lebih luas tentang kebaikan bersama. Mendoakan Babel adalah perintahyang menunjukkan bahwa Israel dimaksudkan untuk menjadi berkat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk dirinya sendiri: "dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kejadian 12:3). Di tengah kekalahan total yang terjadi, mereka dipanggil untuk memberkati bahkan musuh-musuh mereka. Berkat ini termasuk kemakmuran materi, seperti yang dijelaskan dalam Yeremia 29:7. Betapa ironisnya bahwa dalam pasal 1-25, Allah menahan damai sejahtera dan kemakmuran-Nya dari Yehuda karena ketidaksetiaan mereka; namun pada pasal 29, Allah ingin memberkati Babel dengan damai sejahtera dan kemakmuran meskipun orang-orang Babel tidak beriman kepada Allah bangsa Yehuda. Mengapa? Karena tujuan akhir keberadaan bangsa Israel yang sebenarnya adalah menjadi berkat bagi semua bangsa.
Ayat ini mengecam skema apapun yang dirancang demi memberikan keuntungan khusus bagi orang Kristen. Sebagai bagian dari kesaksian kita, orang Kristen dipanggil untuk bersaing secara efektif di pasar. Kita tidak dapat menjalankan bisnis di bawah standar, mengharapkan Allah untuk memberkati kita walau kinerja kerja kita buruk. Orang-orang Kristen harus bersaing dengan kesempatan yang setara, jika kita ingin memberkati dunia. Setiap organisasi perdagangan, hubungan pemasok pilihan, preferensi perekrutan, manfaat pajak atau peraturan, atau sistem lain yang dirancang untuk hanya menguntungkan orang Kristen tidak akan memberkati kota tempat mereka tinggal. Selama kelaparan di Irlandia pada pertengahan tahun 1800-an, banyak gereja Anglikan yang menyediakan makanan hanya untuk mereka yang mau berpindah agama dari Katolik Roma ke Protestan. Akibat dari tindakan dengan niat buruk itu masih dirasakan 150 tahun kemudian, bahkan walau hanya dilakukan oleh satu golongan Kristen terhadap golongan Kristen lainnya. Bayangkan kerusakan yang jauh lebih besar akibat tindakan diskriminasi orang-orang Kristen terhadap orang-orang bukan Kristen, yang memenuhi halaman-halaman sejarah dunia dari zaman dahulu hingga hari ini.
Pekerjaan orang-orang Kristen yang dilakukan dengan kesetiaan kepada Allah sejatinya ditujukan untuk kebaikan semua orang, dimulai dari mereka yang bukan umat Allah, dan meluas kepada umat Allah sendiri. Ini mungkin merupakan prinsip ekonomi yang paling mendalam dalam kitab Yeremia, bahwa bekerja untuk kebaikan orang lain adalah satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk agar pekerjaan kita membawa kebaikan bagi kita sendiri. Para pemimpin bisnis yang sukses memahami bahwa pengembangan produk, pemasaran, penjualan, dan dukungan pelanggan menjadi efektif ketika mereka terlebih dahulu mengutamakan pelanggan. Tentunya ini merupakan sebuah praktik terbaik yang dapat dikenali oleh semua orang yang bekerja, baik sebagai pengikut Kristus atau bukan.
Kebaikan Pekerjaan Dipulihkan (Yeremia 30-33)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSelama dua puluh tiga tahun, Yeremia menubuatkan tentang kehancuran yang akan melanda Yerusalem (mulai dari tuntutan Allah terhadap bangsa Yehuda di pasal 2 sampai pasal 28).[1] Kemudian di pasal 30-33, sang nabi menantikan pemulihan kerajaan Allah yang ia gambarkan dalam bentuk sukacita kerja tanpa kecemaran dosa:
Sekali lagi Aku akan membangun engkau dan engkau akan dibangun, hai anak dara Israel. [2] sekali lagi engkau akan membawa rebana dan menari-nari dalam tarian orang-orang yang bersukaria. Kamu akan menanami kebun-kebun anggur di gunung-gunung Samaria, dan para penanamnya akan menanam dan menikmati hasilnya. Sebab akan datang waktunya, bahwa para pengawal akan berseru di pegunungan Efraim: "Marilah kita naik ke Sion, kepada TUHAN, Allah kita!" [3] (Yeremia 31:4-6)
Secara keseluruhan, kerangka nubuatan Yeremia adalah dosa, kemudian pembuangan, lalu pemulihan, seperti yang kita lihat pada ayat di atas. Ketika pemulihan di Yehuda masih jauh dari kenyataan,[4] sang nabi memberikan alasan untuk memegang pengharapan yang dijanjikan kepada para buangan dalam Yeremia 29:11. Di dalam dunia yang dipulihkan, umat-Nya akan tetap bekerja, tetapi tak seperti di masa lalu ketika pekerjaan mereka menghasilkan kesia-siaan, sekarang mereka akan menikmati buahnya. Umat yang dipulihkan akan memiliki kehidupan yang penuh dengan pekerjaan, kesukacitaan, perayaan dengan makanan dan penyembahan, semuanya menjadi satu. Gambaran tentang menanam, menuai, bermain musik, menari dan menikmati hasil panen menggambarkan kenikmatan ketika manusia bekerja dalam kesetiaan kepada Allah.
Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Tuhan, Aku akan mengikat pernjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuikat dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan atas mereka, demikianlah firman TUHAN. Tetapi, beginilah perjanjian yang Kuikat dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman Tuhan: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya pada hati mereka. Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Tidak perlu lagi orang mengajar sesamanya atau saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab, mereka, semua, besar kecil, akan mengenal Aku (Yeremia 31:31-34)
Dalam satu goresan, kita melihat sebuah dunia yang dipulihkan: pekerjaan yang dinikmati oleh umat Allah sebagaimana seharusnya, dengan hati yang setia kepada hukum Tuhan. Umat-Nya akan dipulihkan menjadi sebagaimana mereka yang seharusnya, bekerja untuk kebaikan bersama karena pengalaman mereka akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Robert Carroll berkata, "Komunitas yang dibangun kembali adalah komunitas yang menyatukan pekerjaan dan penyembahan."[5] Kita mungkin tidak bisa mengharapkan hal ini akan sepenuhnya terjadi pada kita saat ini, karena kita masih berada dalam dunia yang penuh dengan dosa. Tetapi kita dapat melihat sekilas tentang realitas ini sekarang.
Budak-budak Dibebaskan (Yeremia 34)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu perintah baru dan terakhir dari Allah dalam kitab Yeremia adalah meninggalkan perbudakan (Yer. 34:9). Hukum Musa mewajibkan agar budak-budak Ibrani dibebaskan setelah enam tahun bekerja (Keluaran 21:2-4, Ulangan 15:12). Orang dewasa dapat menjual diri mereka sendiri, dan orang tua dapat menjual anak-anak mereka, menjadi budak selama enam tahun. Setelah itu mereka harus dibebaskan (Imamat 25:39-46). Secara teori, ini adalah sistem yang lebih manusiawi daripada perbudakan atau perbudakan budak yang dikenal di era modern. Namun, sistem ini disalahgunakan oleh para tuan yang mengabaikan persyaratan untuk membebaskan budak pada akhir masa kerja, atau yang tanpa henti memasukkan ulang para budak ke dalam masa kerja enam tahun tersebut (Yeremia 34:16-17).
Yeremia 34:9 sangat luar biasa karena ayat ini menyerukan pembebasan semua budak Ibrani dengan segera, tanpa memperhatikan berapa lama mereka telah menjadi budak. Yang lebih dramatis lagi, ayat ini menyatakan bahwa "sehingga tidak ada lagi seorang pun yang memperbudak saudaranya, orang Yehuda .... dan tidak ada agi yang memperbudak mereka " (Yer. 34:9-10). Dengan kata lain, ini adalah penghapusan perbudakan, setidaknya dalam hal orang Yahudi yang memiliki budak juga orang Yahudi. Tidak jelas apakah ini dimaksudkan sebagai penghapusan permanen, atau apakah ini merupakan respons terhadap keadaan ekstrim dari kekalahan militer dan pembuangan yang kelak akan terjadi. Bagaimanapun juga, peraturan ini tidak berlaku untuk waktu yang lama, dan para tuan segera memperbudak kembali mantan budak mereka. Namun, ini merupakan kemajuan ekonomi yang menakjubkan – apalagi jika berlanjut terjadi.
Sejak awal, Allah telah melarang perbudakan seumur hidup dan tanpa persetujuan di antara orang Yahudi karena "engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN" (Ulangan 15:15). Jika Allah mengulurkan tangan-Nya yang kuat untuk membebaskan suatu bangsa, bagaimana mungkin Dia membiarkan mereka diperbudak lagi, bahkan oleh orang lain dari bangsa yang sama? Tetapi dalam Yeremia pasal 34, Allah menambahkan sebuah faktor baru: "mengumumkan pembebasan kepada sesamanya dan kepada saudaranya" (Yeremia 34:17). Artinya, kemanusiaan para budak —di sini disebut sebagai "tetangga dan sahabat” — menuntut agar mereka dibebaskan. Mereka layak mendapatkan kebebasan karena mereka adalah —atau seharusnya— anggota masyarakat yang dikasihi. Hal ini melampaui klasifikasi agama dan ras, karena orang-orang dari berbagai agama dan ras dapat menjadi teman dan tetangga satu sama lain. Tidak ada hubungannya dengan menjadi keturunan bangsa tertentu —Israel— yang dibebaskan Allah dari Mesir. Para budak harus dibebaskan dengan alasan sesederhana bahwa mereka adalah manusia, sama seperti tuan mereka dan masyarakat di sekitar mereka.
Prinsip dasar ini masih berlaku sampai sekarang. Jutaan orang yang masih diperbudak di dunia ini harus segera dibebaskan cukup dengan alasan bahwa mereka adalah manusia. Selain itu, semua pekerja —tidak hanya mereka yang terikat dalam perbudakan— harus diperlakukan sebagai "tetangga dan teman". Prinsip ini berlaku sama kuatnya dalam hal menentang kondisi kerja yang tidak manusiawi, pelanggaran hak-hak sipil pekerja, diskriminasi yang tidak adil, pelecehan seksual, dan berbagai pelanggaran kecil lain, seperti halnya menentang perbudakan itu sendiri. Apa pun yang tidak akan kita lakukan terhadap tetangga kita, apa pun yang tidak akan kita tolerir terjadi pada teman-teman terdekat kita, kita juga tidak boleh mentolerirnya di perusahaan, organisasi, komunitas, dan masyarakat. Dalam hal bahwa sebagai orang Kristen kita membawa pengaruh di tempat kerja kita, kita menerima mandat yang sama dengan orang-orang Yehuda pada zaman Yeremia.
Mengambil Sikap di Tempat Kerja (Yeremia 38)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebagian besar bagian akhir kitab Yeremia mencatat ujian-ujian yang Yeremia hadapi sebagai seorang nabi (pasal 35-45), nubuat-nubuatnya terhadap bangsa-bangsa (pasal 46-51), dan kejatuhan Yerusalem yang dikisahkan dalam kitab Yeremia (pasal 52). Ada satu bagian yang menonjol dalam kaitannya dengan pekerjaan, yaitu kisah tentang Ebed-Melekh. Narasinya sederhana: Yeremia berkhotbah kepada orang-orang ketika Yerusalem dikepung oleh tentara Babel. Pesannya adalah bahwa kota itu akan jatuh dan siapa pun yang mau keluar dan menyerahkan diri kepada Babel akan hidup. Para pejabat Yehuda tidak menganggap hal ini sebagai khotbah yang memotivasi. Dengan izin raja, mereka melemparkan Yeremia ke dalam sebuah perigi dengan harapan dia akan mati kelaparan selama pengepungan atau tenggelam pada saat hujan turun (Yer. 38:1-6).
Ebed-Melekh, seorang pembesar Etiopia yang tinggal di istana raja, mendengar bahwa Yeremia telah dimasukkan ke dalam sumur. Adapun raja sedang duduk di Pintu Gerbang Benyamin, keluarlah Ebed-Melekh dari istana raja, lalu berkata kepada raja, “Ya Tuanku Raja, orang-orang itu berbuat jahat dalam segala yang mereka lakukan terhadap Nabi Yeremia bahkan memasukkan dia ke dalam sumur. Ia akan mati kelaparan di tempat itu sebab tidak ada lagi roti di kota.” Lalu raja memberi perintah kepada Ebed-Melekh, orang Etiopia itu, katanya, "Bawalah tiga puluh orang dari sini dan angkatlah Nabi Yeremia dari sumur itu sebelum ia mati!” (Yer. 38:7-10).
Pergantian keputusan raja ini kemungkinan besar merupakan tanda sikap apatisnya terhadap urusan ini. (Meskipun Allah dapat saja memanfaatkan sikap apatis seorang raja sebagaimana halnya Allah dapat memanfaatkan tindakan seorang raja). Seorang budak tak dikenal yang bukan bangsa Yahudi (nama Ebed-Melekh artinya adalah "budak raja") malah menonjolkan kesetiaannya.[1] Meskipun status imigrasi dan perbedaan rasial membuat keberadaannya sebagai seorang pekerja menjadi rentan, kesetiaannya kepada Allah mendorongnya untuk melaporkan ketidakadilan di tempat kerjanya. Sebagai hasilnya, satu nyawa berhasil diselamatkan. Sebuah gigi penggerak pada roda membuat perbedaan hidup dan mati.
Tindakan Ebed-Melekh mewakili sang nabi menggambarkan pesan Yeremia bahwa kesetiaan kepada Allah harus berada di atas segala pertimbangan lain di tempat kerja. Ebed-Melekh bertindak tanpa mengetahui apakah raja akan bertindak adil, atau apakah bertindak di luar struktur otoritas saat itu akan menjadi tindakan yang menghambat kariernya (atau bahkan akan mengakhiri hidupnya, mengingat apa yang terjadi pada Yeremia). Yang jelas, ia mempercayai Allah untuk mencukupi kebutuhannya, terlepas dari bagaimana raja akan menanggapinya. Jadi, Ebed-Melekh dipuji oleh Allah. "Aku pasti akan meluputkan engkau ... sebab engkau percaya kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN" (Yeremia 39:18).
Yeremia sang Penyair: Ratapan
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun kita tidak memiliki bukti kesaksian bahwa kitab Ratapan ditulis oleh Yeremia, tapi tradisi kerabian, tema-tema paralel dalam kitab Yeremia dan kitab Ratapan, serta karakter saksi mata atas semua ratapan tersebut menunjukkan bahwa Yeremia kemungkinan besar adalah penulis kelima puisi ratapan ini.[1] Yehuda dan ibu kotanya, Yerusalem, telah dihancurkan secara total. Setelah pengepungan selama dua tahun, orang-orang Babel telah merebut kota itu, meruntuhkan tembok-temboknya, menjarah dan menghancurkan Bait Allah, dan membawa penduduk dengan kondisi fisikyang baik ke dalam pengasingan di Babel. Yeremia adalah salah satu dari sedikit orang yang masih hidup di negeri itu, yang hidup di antara mereka yang bertahan hidup melewati kelaparan dan menyaksikan anak-anak yang mati kelaparan, sementara para nabi palsu terus menyesatkan orang-orang tentang tujuan Allah. Kitab Ratapan menggambarkan kehancuran kota dan keputusasaan orang-orang pada saat yang sama menggarisbawahi alasan dari kehancuran ini.
Kitab ini menunjukkan karya cipta sorang penyair. Dalam lima puisi yang tersusun secara ketat, ia menggunakan gambaran yang gamblang tentang pembantaian di kota Yerusalem saat Allah mengizinkan hukuman bagi umat-Nya atas dosa-dosa mereka yang keji. Namun, terlepas dari kedalaman emosi dari kesedihan yang dialaminya, sang seniman memaparkan kehancuran dalam bentuk puisi yang tertata rapi. Di sini, seni menjadi sebuah sarana pelepasan emosi. Meskipun diskusi tentang “karya" sering kali tidak melingkupi karya kerja sebagai seniman, puisi-puisi ini memaksa kita untuk mengakui kekuatan seni dalam merangkum pasang surutnya pengalaman manusia.
Sang penyair menyematkan sebuah harapan di dalam keputusasaannya, menambatkan masa depan dalam kebaikan Tuhan:
Tetapi, inilah yang kuperhatikan, sebab itu aku berharap: Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu! “TUHANlah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. TUHAN itu baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. (Ratapan 3:21-25)
Karena tidak untuk selamanya Tuhan menolak. Walaupun Ia mendatangkan kesusahan, Ia juga berbelaskasihan menurut kebesaran kasih setia-Nya. Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan menyusahkan anak-anak manusia (Rat. 3:31-33).
Mengapa orang yang hidup mengeluh? Setiap orang mengeluh atas akibat dosanya! Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan kembali kepada Tuhan. Marilah kita mengangkat hati dan tangan kita kepada Allah di surga (Rat. 3:39-41).
Kehancuran Yerusalem mengakibatkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menderita bersama mereka yang memang bersalah. Anak-anak kelaparan dan para nabi yang setia seperti Yeremia menanggung penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh mereka yang dosanya telah menghancurkan kota itu. Inilah realitas kehidupan di dunia yang telah jatuh. Ketika perusahaan-perusahaan runtuh karena keputusan yang buruk, kelalaian yang besar, atau praktik-praktik ilegal, orang-orang yang tidak bersalah kehilangan pekerjaan dan uang pensiun mereka, seperti halnya mereka yang menyebabkan bencana tersebut. Pada saat yang bersamaan, bagi orang-orang Kristen di tempat kerja, ketidakadilan dalam hidup ini tidaklah kekal. Tuhan memerintah dan belas kasihan-Nya tidak pernah gagal (Mazmur 136). Tidaklah mudah untuk berpegang teguh pada realitas ilahi tersebut di tengah-tengah sistem yang penuh dosa dan para pemimpin yang tidak berprinsip. Namun, kitab Ratapan berkata, "tidak untuk selamanya Tuhan menolak." Kita berjalan dengan iman kepada Allah yang hidup, yang kesetiaan-Nya kepada kita tidak akan pernah gagal.