Yosua, Hakim-hakim dan Pekerjaan
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Introduksi Kitab Yosua dan Hakim-hakim
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Yosua dan Hakim-hakim bertutur tentang pendudukan orang Israel di tanah/negeri yang dijanjikan Allah dan pembentukan pemerintahan bangsa. Temanya secara keseluruhan adalah ketika umat Allah menaati perintah-perintah dan pimpinan Allah, pekerjaan mereka berhasil dan mereka mengalami damai sejahtera dan sukacita. Namun, ketika mereka menuruti kecenderungan diri sendiri dan menjadikan diri sendiri sebagai otoritas tertinggi, maka kemiskinan, perselisihan dan segala macam kejahatan membawa kesedihan dan penderitaan.
Menaklukkan, menduduki dan memerintah suatu wilayah adalah pekerjaan yang ditugaskan Allah kepada para pemimpin, nabi-nabi, pasukan militer dan seluruh umat Israel. Meskipun banyak alasan untuk berharap kitab-kitab ini akan menambah wawasan kita tentang pekerjaan dari perspektif alkitabiah, diperlukan usaha dari pihak kita juga untuk menemukan bagaimana pekerjaan yang kita baca di kitab Yosua dan Hakim-hakim dapat diterapkan dalam situasi-situasi pekerjaan kita saat ini. Namun jika kita mencermati dengan saksama, kita akan mendapati bahwa pemikiran-pemikiran tentang pokok-pokok persoalan masa kini justru berkembang dari peristiwa-peristiwa yang ada di bagian Alkitab ini, seperti pengembangan kepemimpinan dan manajemen, peran-peran relatif dari kerja keras dan pimpinan Allah dalam mencapai tujuan-tujuan, konflik dalam permasalahan sumber daya, ketegangan antara mengejar sukses dan melayani orang lain, pimpinan Allah dalam pekerjaan kita, dan bahaya yang selalu mengintai untuk memberhalakan pekerjaan kita. Peristiwa-peristwa dalam kitab Yosua dan Hakim-hakim memberi kita contoh-contoh—yang baik maupun yang buruk— tentang menyelesaikan konflik-konflik di tempat kerja, memotivasi pekerja, menghadapi tantangan-tantangan jabatan dari hasil pemilihan, dan merancang agar para pemimpin baru dapat menggantikan para pemimpin yang pensiun atau pergi. Tokoh-tokoh yang kita temukan dalam kitab-kitab ini menunjukkan tentang pentingnya kepemimpinan perempuan, dampak perang pada perekonomian, dan keterlibatan pihak yang berkuasa dalam pelecehan terhadap orang lemah di tempat kerja.
Alur cerita utama kitab Yosua maupun kitab Hakim-hakim adalah ketika umat pilihan Allah lagi-lagi memberontak kepada Allah, berpaling kepada ilah-ilah lain dan melupakan perjanjian Allah dengan mereka, Allah selalu siap mengatasi krisis-krisis mereka dan melepaskan mereka. Namun ketika mereka berhenti menginginkan berkat-berkat Allah, mereka mengalami kesengsaraan dan kehancuran sosial. Hal ini menjadi pesan masa kini yang luar biasa juga. Kita juga sering menyimpang dari Allah saat menentukan cara menangani berbagai kesempatan dan tantangan dalam pekerjaan kita. Kita sering lebih mementingkan hal lain daripada menerima kasih Allah dan mengasihi serta melayani Dia melalui pekerjaan kita. Pesan dari kitab Yosua dan Hakim-hakim adalah Allah selalu siap, saat ini dan di sini, bagi kita yang mau kembali kepada-Nya dan menerima berkat-Nya dalam hidup dan pekerjaan kita.
Kita akan mengurutkan pembahasan kita tentang kitab-kitab ini di sekitar empat tema utama, yang secara garis besar sesuai dengan alur cerita: Conquest, Coordination, Covenant, Chaos. (Penaklukan, Koordinasi, Perjanjian dan Kekacauan).[1]
Penaklukan (Yosua 1-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Yosua dimulai dengan pernyataan ulang janji tentang negeri/tanah perjanjian dan penyertaan Allah kepada Yosua.
"Hamba-Ku Musa telah meninggal. Sebab itu, bersiaplah sekarang, seberangi Sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel. Setiap tempat yang akan diinjak telapak kakimu akan Kuberikan kepadamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa. Dari padang gurun dan Gunung Libanon di sebelah sana sampai ke Sungai Efrat, sungai besar itu, dari seluruh negeri orang Het, sampai ke Laut Besar itu di sebelah matahari terbenam, semuanya itu akan menjadi wilayahmu. Tidak seorangpun akan dapat tahan menghadapi engkau seumur hidupmu. Sebagaimana Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau. Aku tidak akan mengabaikan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Yosua 1:2-5)
Yosua, negeri/tanah perjanjian, dan penyertaan Allah adalah hal-hal penting yang perlu diperhatikan ketika kita mempelajari bagian demi bagian berikut ini.
Yosua (Yosua 1)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYosua adalah pemimpin bangsa Israel pengganti Musa. Meskipun ia bukan seorang raja, tetapi dalam banyak hal ia merupakan bayang-bayang raja-raja yang akan memerintah Israel di abad-abad berikutnya. Ia memimpin bangsanya dalam peperangan, ia melakukan penghakiman jika diperlukan, dan ia berusaha membuat bangsanya tetap berpegang pada perjanjian yang dibuat Allah dengan bangsa Israel di Gunung Sinai.
Jika memakai istilah masa kini, kita bisa menyebut peralihan kepemimpinan Musa kepada Yosua ini sebagai contoh perencanaan suksesi yang baik. Musa, atas pimpinan Allah, mengangkat Yosua sebagai pemimpin yang sesuai dengan karakter kesetiaan Musa sendiri kepada Allah. Yosua digambarkan sebagai orang yang teguh dan bijaksana, kuat dan berani (Yosua 1:6-7), memahami perkataan Allah dengan baik dan menaati perintah-perintah-Nya (Yosua 1:8-9). Yang lebih penting, ia seorang yang spiritual. Dan pada akhirnya, dasar kepemimpinan Yosua bukanlah kekuatannya sendiri, atau bahkan pengarahan Musa, tetapi pimpinan dan kuasa Allah. Allah berjanji padanya: “TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9). Keterangan lebih lanjut tentang persiapan Yosua menggantikan Musa dapat dibaca dalam "Perencanaan Suksesi (Bilangan 27:12-23)" dan "Akhir Pekerjaan Musa (Ulangan 31:1-34:12)" di https://www.teologikerja.org/.
Sebagai teladan bagi para pemimpin masa kini, karakteristik Yosua yang paling menonjol adalah kesediaannya untuk terus bertumbuh dalam sifat-sifat baik seumur hidupnya. Tidak seperti Simson, yang tampaknya terjebak dalam hasrat-diri yang kekanak-kanakan, Yosua berkembang dari seorang pemuda yang temperamental (Bilangan 14:6-10) menjadi panglima militer (Yosua 6:1-21), menjadi pemimpin utama bangsa (Yosua 20) dan akhirnya seorang visioner yang profetik (Yosua 24). Ia bersedia tunduk di masa-masa pelatihan yang panjang di bawah kepemimpinan Musa dan belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman dari dirinya (Bilangan 27:18-23; Ulangan 3:28). Ia tak gentar memberi perintah-perintah saat bertindak, namun ia juga terus berbagi kepemimpinan dengan tim termasuk dengan imam besar Eleazar dan para tua-tua Keduabelas Suku (misalnya di Yosua 19:51). Ia tak pernah tampak menolak kesempatan untuk bertumbuh dalam karakter atau pun mendapatkan manfaat dengan belajar dari kebijaksanaan orang lain.
Tanah/Negeri Perjanjian (Yosua 2-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi dalam kitab Yosua maupun kitab Hakim-hakim, negeri/tanah perjanjian merupakan hal yang sangat penting sampai hampir memiliki karakter tersendiri: “Lalu negeri itu tenteram” (Hakim-hakim 3:11, 3:30, dsb.). Tindakan utama yang dilakukan di dalam kitab Yosua adalah penaklukan bangsa Israel atas tanah yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka (Yosua 2:24, menyusul Yosua 1:6). Tanah itu menjadi panggung utama tempat drama Allah dan bangsa Israel berlangsung, dan bersandar pada inti janji-janji Allah kepada bangsa itu. Hukum Musa sendiri berkaitan erat dengan tanah itu. Banyak ketetapan penting dalam Hukum Musa hanya dapat dipahami oleh bangsa Israel yang berdiam di tanah itu, dan hukuman utama dalam perjanjian itu juga berupa pengusiran dari tanah/negeri itu.
Aku akan membuat negeri itu sunyi sepi, sehingga musuhmu yang tinggal di situ tercengang. Kamu akan Kuserakkan di antara bangsa-bangsa dan Aku akan menghunus pedang mengejarmu. Tanahmu akan menjadi tandus dan kota-kotamu menjadi reruntuhan. (Imamat 26:32-33)
Negeri - bumi, tanah tempat kaki kita berpijak - adalah tempat hidup kita. (Bahkan orang yang mengarungi lautan dan udara pun menghabiskan sebagian besar hidup mereka di tanah/ daratan). Janji Allah kepada umat-Nya bukanlah suatu abstraksi tanpa wujud/bentuk yang nyata, tetapi suatu tempat yang konkret yang menjadi tempat kehendak-Nya digenapi dan penyertaan-Nya dialami. Tempat kita hidup setiap saat adalah tempat kita bertemu Allah dan satu-satunya tempat kita melakukan pekerjaan-Nya. Dunia bisa menjadi tempat kejahatan maupun kebaikan. Tugas kita adalah melakukan kebaikan di dunia dan budaya nyata tempat kita bekerja. Yosua diberi tugas menguduskan tanah Kanaan dengan menaati perjanjian Allah di sana. Kita diberi tugas menguduskan tempat kerja kita dengan bekerja menurut perjanjian Allah juga.
Mengerjakan Tanah (Yosua 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTanah itu tentu saja sangat subur/berlimpah-limpah menurut standar Timur Dekat Kuno. Akan tetapi berkat-berkat tanah itu bukan hanya berupa iklim yang baik, air yang melimpah, dan hasil-hasil alam lainnya yang dianugerahi tangan Sang Pencipta. Orang Israel juga akan mewarisi infrastruktur yang sudah berkembang baik dari orang Kanaan. “Demikianlah telah Kuberikan kepadamu tanah yang tidak kamu usahakan, kota-kota yang tidak kamu dirikan, tetapi di dalamnya kamu tinggal, kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun yang tidak kamu tanami, tetapi hasilnya kamu nikmati” (Yosua 24:13, bdk. Ulangan 6:10-11). Bahkan deskripsi yang khas tentang tanah yang “berlimpah dengan susu dan madu” ini (Yosua 5:6, bdk. Keluaran 3:8) menunjukkan adanya semacam pengelolaan ternak dan peternakan lebah.
Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara tanah dan kerja keras. Kapasitas kita untuk menghasilkan tidak semata-mata berasal dari kemampuan atau kerajinan kita, tetapi juga dari sumber-sumber yang tersedia bagi kita. Sebaliknya, tanah tidak bekerja dengan sendirinya. Dengan berpeluh kita akan mencari nafkah (Kejadian 3:19). Hal ini dinyatakan dengan sangat tepat di Yosua 5:11-12. “Sehari sesudah Paskah, tepat pada hari itu, mereka makan roti tidak beragi dan gandum panggang, hasil bumi dari negeri itu. Lalu manna berhenti turun pada hari itu ketika mereka makan hasil bumi dari negeri itu. Tidak ada lagi manna bagi orang Israel. Pada tahun itu mereka makan hasil bumi Kanaan.” Orang Israel tetap hidup dengan makan manna yang diberikan Allah selama mereka mengembara di padang gurun, tetapi Allah tidak bermaksud menjadikan hal ini sebagai solusi permanen atas masalah pemenuhan kebutuhan hidup. Tanah itu harus dikerjakan. Sumber daya alam yang cukup dan tenaga kerja yang produktif merupakan unsur-unsur yang menyatu di Tanah Perjanjian.
Maksudnya mungkin sudah jelas, tetapi tetap perlu ditegaskan lagi. Meskipun Allah mungkin terkadang memenuhi kebutuhan jasmani kita secara ajaib, norma untuk kita adalah mencari nafkah atau hidup dari hasil kerja/usaha kita.
Menaklukkan Negeri – Apakah Allah Merestui Penaklukan? (Yosua 6-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiFakta bahwa keberhasilan ekonomi Israel didasarkan pada pengusiran orang Kanaan dari negeri itu, bagaimanapun, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman. Apakah Allah merestui penaklukan sebagai cara suatu bangsa memiliki tanah? Apakah Allah mentolerir perang suku? Apakah orang Israel lebih layak memiliki tanah itu daripada orang Kanaan? Analisis teologi yang lengkap tentang penaklukan tidak tercakup dalam bacaan ini.[1] Meskipun kita tidak bisa berharap dapat menjawab berbagai isu yang muncul, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diingat:
Allah memilih datang pada umat-Nya di negeri nyata Timur Dekat kuno yang kasar dan kacau, tempat kekuatan-kekuatan yang siap menentang Israel sangat besar dan ganas.
Tugas penaklukan militer jelas merupakan pekerjaan yang paling utama di kitab Yosua, tetapi tugas itu tidak diperkenalkan sebagai contoh/model pekerjaan apa pun setelahnya. Ada aspek-aspek tentang pekerjaan atau kepemimpinan dalam kitab Yosua dan Hakim-hakim yang dapat diterapkan pada masa kini, tetapi pengusiran orang-orang dari suatu negeri bukanlah salah satunya.
Perintah untuk menghalau orang Kanaan (Yosua 1:1-5) sangatlah spesifik dan tidak menunjukkan disposisi umum tentang perintah-perintah Allah kepada bangsa Israel maupun kelompok orang lainnya.
Pemusnahan orang Kanaan disebabkan oleh cara hidup mereka yang sangat jahat. Orang Kanaan dikenal suka melakukan ritual pengorbanan anak, ramalan, sihir, pemanggilan arwah, yang tak dapat ditolerir Allah di tengah-tengah umat yang dipilih-Nya untuk menjadi berkat bagi dunia (Ulangan 18:10-12). Negeri itu harus dibersihkan dari penyembahan berhala agar dunia bisa mendapat kesempatan mengenal sifat dari satu-satunya Allah yang benar, Pencipta langit dan bumi.[2]
Orang Kanaan yang bertobat seperti Rahab (Yosua 2:1-21; 6:22-26) terselamatkan – dan sesungguhnya, pemusnahan besar-besaran orang Kanaan yang diduga terjadi tidak pernah terealisasi sepenuhnya (lihat di bawah ini).
Orang Israel di kemudian hari juga melakukan banyak kejahatan yang sama seperti orang Kanaan, yang menjadi jawaban “tidak” yang tegas atas pertanyaan apakah orang Israel lebih layak memiliki tanah itu. Seperti orang Kanaan, orang Israel juga akan menderita pengusiran dari negeri itu melalui penaklukan oleh bangsa lain, yang Alkitab juga menghubungkannya dengan tangan Allah. Orang Israel juga akan menerima hukuman Allah (contohnya: baca Amos 3:1-2).
Etika Kristen yang lengkap tentang kekuasaan tidak dimaksudkan untuk ditemukan dalam kitab Yosua, tetapi dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus, yang mewujudkan seluruh Firman Allah. Contoh definitif Alkitab tentang penggunaan kekuasaan bukanlah bahwa Allah menaklukkan bangsa-bangsa bagi umat-Nya, tetapi bahwa Anak Allah menyerahkan nyawa-Nya bagi semua orang yang datang pada-Nya (Markus 10:42; Yohanes 10:11-18). Etika kekuasaan yang alkitabah pada akhirnya didasarkan pada kerendahan hati dan pengorbanan.
Mengingat Penyertaan Allah di Tanah Perjanjian (Yosua 4:1-9)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBerkat tertinggi bagi bangsa Israel di tanah perjanjian adalah bahwa Allah akan selalu menyertai mereka. Bangsa Israel merayakan berkat ini dengan berjalan di depan tabut Tuhan—tempat tinggal hadirat-Nya —dan meletakkan batu-batu sebagai tugu peringatan di sungai Yordan. Kemakmuran dan keamanan Israel di tanah itu berasal dari tangan Allah. Pekerjaan orang Israel selalu berasal dari Allah yang terlebih dahulu bekerja untuk mereka. Setiap kali mereka menjadi tidak terhubung dengan hadirat Allah, perjalanan pekerjaan mereka menurun. Perhatikan catatan suram yang tertulis di Hakim-hakim 2:10: “Setelah seluruh generasi itu dikumpulkan kepada nenek moyangnya, muncullah sesudah mereka generasi lain, yang tidak mengenal TUHAN ataupun tindakan yang dilakukan-Nya bagi orang Israel.” Masalah-masalah Israel setelah itu berasal dari kegagalan mereka mengakui pekerjaan Allah untuk mereka.
Kita juga perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita memerhatikan pekerjaan Allah untuk kita. Pertanyaannya di sini bukanlah apakah kita bekerja dengan baik untuk Allah, tetapi apakah kita dapat melihat Dia bekerja untuk kita. Dalam bekerja, banyak dari kita merasakan ketegangan antara mendahulukan diri sendiri atau melayani orang lain, atau antara “kepentingan-pribadi yang sangat berpusat pada ‘aku’” dan “kesejahteraan pihak lain,” seperti dikatakan Laura Nash dalam penggaliannya yang sangat baik tentang dinamika ini.[1] Mungkinkah kita berusaha terlalu keras untuk menjadi nomor satu karena kita takut tidak ada orang yang peduli pada kita?
Bagaimana jika kita membangun kebiasaan untuk memerhatikan hal-hal yang Allah lakukan untuk kita? Banyak dari kita menyimpan kenangan tentang berbagai kesuksesan kita dalam bekerja – tanda penghargaan, plakat, foto, pujian, sertifikat dan lain-lain. Bagaimana jika setiap kali mata kita memandang hal-hal itu, kita berpikir, “Allah sudah menyertai aku setiap hari di sini,” dan bukan, “Aku sudah membuat semuanya itu terjadi.” Apakah yang akan membebaskan kita untuk lebih peduli pada orang lain, namun tetap merasa diri sendiri lebih diperhatikan? Cara mudah untuk memulai adalah dengan mencatat dalam hati atau bahkan menuliskan setiap hal baik tak terduga yang terjadi sepanjang hari, entah hal itu terjadi pada Anda maupun pada orang lain melalui Anda. Setiap hal ini bisa menjadi semacam tugu peringatan terhadap Allah, seperti batu-batu yang diletakkan bangsa Israel di sungai Yordan untuk mengingat bahwa Allah yang telah membawa mereka ke Tanah Perjanjian. Menurut ayat bacaan kita, cara ini merupakan pengingat yang luar biasa bagi mereka “dan batu-batu itu masih ada di sana sampai hari ini” (Yosua 4:1-9).
Melibatkan Allah dalam Pengambilan Keputusan (Yosua 9:12-15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYosua pasal 9 menceritakan tentang bagaimana orang Gibeon menipu orang Israel. Mereka ingin orang Israel percaya bahwa mereka datang dari jauh, dari luar tanah Kanaan, sehingga mereka tidak menjadi ancaman bagi Israel. Padahal mereka tinggal di dekat situ. Untuk memuluskan tipuan mereka, mereka mengenakan pakaian usang yang sobek-sobek, kasut usang yang bertambal dan membawa bekal makanan yang kelihatan sudah melalui perjalanan panjang dan lama.
“Ini roti kami, masih hangat ketika kami bawa sebagai bekal dari rumah pada hari kami berangkat menemui kamu. Tetapi, sekarang lihat, roti ini sudah kering dan tinggal remah-remah saja. Ini kantong anggur yang masih baru ketika kami mengisinya, tetapi lihatlah, telah robek. Inilah pakaian dan kasut kami yang sudah usang karena perjalanan kami sangat panjang.” Lalu orang-orang Israel mengambil sebagian dari bekal orang-orang itu, tetapi tidak meminta petunjuk TUHAN. Lalu Yosua mengadakan perdamaian dengan mereka dan mengikat perjanjian dengan mereka bahwa ia akan membiarkan mereka hidup. Para pemimpin umat pun bersumpah kepada mereka. (Yosua 9:12-15)
Bangsa Israel tertipu karena mereka bersandar pada pengamatan mereka sendiri dan tidak “meminta petunjuk TUHAN.” Hal ini juga bisa terjadi pada kita saat ini. Berdasarkan yang kita yakini, kita menarik kesimpulan, dan dengan cepat membuat keputusan, tetapi lupa untuk meminta pimpinan Allah. Mudah bagi kita untuk bersandar pada pemikiran kita sendiri ketika kita berpikir kita memahami situasi itu, dan tidak meminta pandangan Allah tentang hal itu.
Koordinasi (Yosua 13-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPanjangnya pasal-pasal yang membahas tentang pembagian tanah di Yosua 13-22 menunjukkan peran tanah yang sangat penting dalam membentuk identitas Israel, meskipun saat membacanya bisa membuat mata mengantuk jika kita tidak memahami gambar besar dari tindakan itu. Pasal-pasal ini menjelaskan secara rinci pekerjaan menetapkan batas-batas, menetapkan kota-kota, dan membuat prosedur penyelesaian konflik—pekerjaan mengatur dan mengembangkan masyarakat untuk kemajuan umat manusia dan memuliakan Allah. Yosua mengambil langkah-langkah yang cermat untuk memastikan pembagian tanah itu dilakukan dengan adil (Yosua 14:1). Ayat-ayat seperti ini mengingatkan kita bahwa pekerjaan yang produktif banyak bergantung pada tindakan kerja sama dan penanganan yang adil, yang berarti organisasi dan keadilan. Orang Israel perlu tahu apa yang menjadi milik siapa, sehingga mereka kemudian dapat mengatur komunitas-komunitas mereka dengan cara yang damai dan produktif. Diperlukan usaha (dalam hal ini, cukup banyak usaha) untuk menangani realitas-realitas organisasi geografis dan sosial.
Realitas ini disadari dengan sangat jelas di Yosua 22, ketika suku-suku di seberang Yordan dianggap hendak melakukan separatisme setelah mereka mendirikan mezbah di wilayah mereka. Ternyata, pendirian mezbah peringatan itu merupakan siasat cerdik dari pihak suku-suku itu untuk mempertahankan kedudukan mereka di dalam bangsa Israel.
Jika hal ini terjadi dengan maksud memberontak atau berlaku tidak setia terhadap TUHAN – janganlah TUHAN meluputkan kami hari ini juga. Sekiranya kami mendirikan mezbah untuk berbalik dari TUHAN dan mempersembahkan kurban bakaran, kurban sajian serta kurban keselamatan di atasnya, biarlah TUHAN sendiri yang menuntut balas! Namun, sesungguhnya karena cemaslah kami melakukannya, sebab pikir kami: Di kemudian hari anak-anakmu mungkin akan bertanya kepada anak-anak kami: Apa urusanmu dengan TUHAN, Allah Israel? Bukankah TUHAN telah menentukan Sungai Yordan sebagai batas antara kami dan kamu, hai bani Ruben dan bani Gad? Kamu tidak mempunyai bagian apa pun dalam TUHAN! Demikianlah mungkin anak-anak kamu membuat anak-anak kami tidak lagi takut akan TUHAN. Sebab itu, kata kami: Marilah kita mendirikan bagi kita sebuah mezbah, bukan untuk kurban bakaran atau kurban sembelihan, tetapi supaya mezbah itu menjadi saksi antara kami dan kamu dan antara keturunan kita kemudian bahwa kami akan tetap beribadah pada TUHAN di hadapan-Nya dengan kurban bakaran, kurban sembelihan dan kurban keselamatan kami. Jadi, di kemudian hari anak-anakmu tidak mungkin akan berkata kepada anak-anak kami: Kamu tidak mempunyai bagian apa pun dalam TUHAN. (Yosua 22:22-27)
Dari semua rincian ini kita bisa melihat bahwa melakukan pembagian tanah dengan adil, menciptakan struktur-struktur pemerintahan, menyelesaikan konflik-konflik, dan mempertahankan misi persatuan adalah proses yang kompleks. Yosua bertanggung jawab secara keseluruhan, tetapi semua orang memiliki peran yang harus dijalankan, dan bahkan perjuangan dan penempatan yang cerdik diperlukan untuk membuat bangsa yang terdiri dari orang-orang yang tidak sempurna ini bekerja dengan harmonis. Ini membuat kita dapat mengapresiasi terapan dan ilmu manajemen saat ini. Untuk membangun rantai pasokan internasional, misalnya, kita perlu menyelaraskan insentif-insentif, mengomunikasikan spesifikasi-spesifikasi, membahas ide-ide, menyelesaikan berbagai kepentingan yang kompetitif-namun-koperatif, meningkatkan keuntungan sendiri tanpa membuat yang lain mengalami kerugian, menarik dan memotivasi kontributor-kontributor terampil, dan mengatasi masalah-masalah tak terduga, sama seperti yang harus dilakukan para pemimpin Israel. Hal yang sama berlaku di universitas-universitas, instansi-instansi pemerintah, bank-bank, koperasi-koperasi pertanian, perusahaan-perusahaan media, dan hampir semua jenis tempat kerja. Masyarakat juga bergantung pada orang-orang yang meneliti dan mengajarkan metode-metode manajemen, dan orang-orang yang membuat kebijakan perusahaan dan pemerintahan berdasarkan hal itu.
Jika Allah memimpin Yosua dan para pemimpin lain serta bangsa Israel, dapatkah kita berharap Dia memimpin para manajer saat ini? Kita memiliki sumber-sumber dari Alkitab, doa, ibadah, studi-studi kelompok, dan nasihat orang Kristen lain. Bagaimanakah, tepatnya, setiap kita dapat merangkai hal-hal ini menjadi cara kita sendiri dalam menerima pimpinan Allah tentang administrasi, manajemen, dan kepemimpinan yang kita lakukan?
Meskipun memiliki negeri dan mengatur pemerintahan adalah hal terpenting bagi bangsa itu, tetapi pasal-pasal selanjutnya dari bagian ini menunjukkan bahwa penaklukan negeri maupun pemerintahan bangsa itu tidak pernah terealisasi sepenuhnya. Di dalam pasal demi pasal, kita mendengar pengulangan kata-kata yang mengganggu, “tetapi mereka tidak menghalau” berbagai suku-suku Kanaan dari wilayah mereka (Yosua 15:63, 16:10, 17:12-13). Tuhan telah memerintahkan bangsa Israel untuk menghalau orang Kanaan agar tatanan baru yang didirikan tidak dicemari oleh kelakuan-kelakuan yang menjijikan dari penduduk sebelumnya. Keberadaan orang Kanaan yang terus berlanjut menjadi penyebab utama Israel tidak setia pada perjanjian Allah di kemudian hari, meskipun hal ini tidak terjadi pada masa yang dicatat dalam kitab Yosua.
Perjanjian: Bangsa Israel Berjanji Setia (Yosua 23-24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPembaruan perjanjian Allah dengan Israel mengakhiri kitab Yosua. Puncaknya terjadi di pasal terakhir, ketika Yosua menginspirasi bangsa itu dengan memberi tantangan agar mereka berkomitmen untuk beribadah kepada Allah saja. Pidatonya menjadi model komunikasi yang baik. Pertama-tama ia menceritakan tentang perbuatan-perbuatan Allah yang luar biasa bagi bangsa Isael di tanah Mesir, di padang gurun dan di Tanah Perjanjian. Lalu mengapa, tanya Yosua, mereka masih membawa berhala-berhala dan ilah-ilah palsu? Dengan memakai yang sekarang kita sebut sebagai reverse psychology atau psikologi terbalik, ia menantang mereka, “Namun, jika kamu menganggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yosua 24:15). Ini menarik perhatian mereka. "Sekali-kali kami tidak akan meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada ilah-ilah lain” (Yosua 24:16). Maka Yosua pun menantang mereka lebih lanjut. "Takkan sanggup kamu beribadah kepada TUHAN,” katanya kepada mereka, “Sebab Dialah Allah yang kudus” (Yosua 24:19). “Apabila kamu meninggalkan TUHAN dan beribadah kepada ilah-ilah asing, Ia akan berbalik dari kamu dan mendatangkan malapetaka atas kamu, bahkan membinasakan kamu, setelah Ia melakukan yang baik bagi kamu." (Yosua 24:20). Ini membawa mereka ke saat pengambilan keputusan nyata, dan mereka pun memutuskan, "Tidak! Hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah." (Yosua 24:21). Mari kita sahkan, kata Yosua, dan ia pun mempersilakan bangsa itu berjanji setia dan menjadi saksi atas komitmen mereka (Yosua 24:15-27). Di zaman-zaman belakangan ini, John Wesley memperkenalkan layanan pembaruan perjanjian yang sudah digunakan secara luas saat ini, dan banyak gereja-gereja yang sudah mengembangkan cara memperbarui perjanjian mereka sendiri.[1]
Ketika umat tampak goyah dengan komitmen mereka, para pemimpin mungkin tergoda untuk meringankan tugas yang ada atau membuat orang (salah) berpikir bahwa segalanya akan lebih mudah dari yang sebenarnya.Terkadang cara ini mungkin bisa diterima untuk sementara waktu. Namun, seperti dikemukakan Ronald Heifetz dalam Leadership Without Easy Answers [2], menyesatkan pengikut akan segera mengurangi otoritas pemimpin. Hal ini bukan saja karena para pengikut pada akhirnya tahu tentang ketidakbenaran itu, tetapi karena mereka juga jadi tidak dapat berkontribusi dalam penyelesaian masalah kelompok. Kecuali jika pemimpin mengetahui solusi setiap permasalahan—kemungkinan yang sangat kecil sekali—solusi itu harus datang dari kreativitas dan komitmen anggota kelompok. Akan tetapi jika pemimpin sudah mengelabui mereka tentang masalah-masalah yang ada, mereka tidak dapat berkontribusi untuk mencari solusi. Cara ini hanya akan memastikan kegagalan pemimpin itu. Sebaliknya, pemimpin yang jujur kepada pengikutnya tentang sulitnya tantangan-tantangan memiliki kesempatan untuk melibatkan anggota dalam menemukan solusi. Yosua, karena relasinya dengan Allah, telah memberikan teladan yang sangat baik kepada para pemimpin yang berusaha membangun komitmen, dengan menempuh jalan kejujuran dan keterbukaan yang sulit, dan bukan dengan ada yang ditutup-tutupi dan pemberian harapan palsu.
Kekacauan (Hakim-hakim 1-21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Yosua mati, bangsa Israel tidak memiliki pemimpin bangsa yang tetap. Namun, ketika ada ancaman—serangan militer, misalnya—ada orang-orang tertentu yang dibangkitkan Allah untuk menjadi pemimpin pada waktu setiap krisis. Istilah "hakim" sebenarnya tidak terlalu menjelaskan peran yang dilakukan orang-orang ini di tengah bangsa itu. (Kata Ibrani shopet, yang biasanya diterjemahkan sebagai “hakim”, berarti seorang wasit/penengah konflik, komandan militer, dan gubernur suatu wilayah.[1]) Para hakim jelas menyelesaikan perselisihan, tetapi ia juga bertanggung jawab atas urusan militer dan pemerintahan bangsa itu dalam menghadapi permusuhan bangsa-bangsa di sekitarnya. Meskipun kita tetap akan memakai istilah “hakim-hakim” yang tradisional ini, julukan "pembebas" sebenarnya merupakan deskripsi yang lebih tepat untuk para pemimpin ini.
Di dalam kitab Hakim-Hakim kita menemukan gambaran yang jauh lebih suram tentang para pemimpin Israel daripada di dalam kitab Yosua. Makin lama, para hakim yang memerintah makin berkurang kualitasnya sampai akhirnya membawa Israel ke dalam kekacauan total. Kitab ini diakhiri dengan kisah perkosaan, pembunuhan, dan perang saudara, dengan ayat penutup yang sangat suram, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21:25). Melakukan yang benar menurut pandangan sendiri tidak merujuk pada orang-orang saleh yang bertindak etis atas kemauan mereka sendiri, tetapi pada pengejaran tak terkendali untuk menjadi nomor satu, sebagaimana istilah yang mungkin kita pahami saat ini. Ini berarti tidak mematuhi perintah Allah, melalui Yosua, supaya “janganlah engkau lupa menuturkan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak dengan seksama sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya” (Yosua 1:8). Perintah ini adalah untuk melakukan yang benar di mata Allah, bukan yang tampak baik menurut pandangan kita sendiri yang bias dan mementingkan diri sendiri. Para hakim gagal memimpin bangsa itu dalam mematuhi hukum Allah, dan dengan demikian gagal dalam menjalankan keadilan maupun memerintah bangsa itu.[2]
Tidak Lulus Ujian Menghalau: Penyembahan Berhala Israel (Hakim-hakim 1-2)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHakim-hakim 1-2 melanjutkan yang belum selesai dari Yosua 13-22, yaitu kegagalan Israel dalam menghalau orang-orang Kanaan dari negeri itu. “Ketika orang Israel menjadi kuat, mereka mengharuskan orang Kanaan melakukan kerja paksa, tetapi mereka tidak dihalau sepenuhnya” (Yosua 17:13). Ada suatu ironi bahwa bangsa Israel yang baru saja dibebaskan dari perbudakan menjadi pemilik budak begitu mereka pertama kali mendapatkan kesempatan. Padahal alasan utama bangsa Israel harus menghalau orang-orang Kanaan adalah untuk mencegah penyembahan berhala mereka memengaruhi bangsa Israel. Seperti ular di Taman Eden, penyembahan berhala orang Kanaan akan menguji kesetiaan orang Israel kepada Allah dan perjanjian-Nya. Israel tidak melakukan lebih baik dari Adam atau Hawa. Karena gagal menghalau godaan orang-orang Kanaan, mereka pun segera mulai “melayani” ilah-ilah orang Kanaan, Baal dan Astoret (Hakim-hakim 2:11-13, 10:6, dll.). (Alkitab bahasa Inggris versi NRSV, [dan juga LAI], menerjemahkan kata Ibrani itu dengan “worshipping – menyembah/beribadah” tetapi hampir semua terjemahan Alkitab bahasa Inggris lainnya dengan lebih akurat menerjemahkannya dengan kata “serving - melayani”). Ini bukan sekadar soal membungkuk sesekali di hadapan sebuah patung atau berdoa kepada ilah asing. Akan tetapi hidup dan kerja orang Israel digunakan sia-sia dalam pelayanan kepada berhala-berhala, ketika mereka mulai percaya bahwa keberhasilan mereka dalam bekerja bergantung pada menenangkan ilah-ilah Kanaan setempat.[1]
Kebanyakan pekerjaan kita saat ini didedikasikan untuk melayani seseorang atau sesuatu selain Allah. Bisnis-bisnis melayani para pelanggan dan pemegang saham. Pemerintah melayani warganegara. Sekolah melayani siswa. Tidak seperti menyembah ilah-ilah orang Kanaan, melayani sasaran-sasaran ini pada dasarnya bukanlah kejahatan. Bahkan, melayani orang lain merupakan salah satu cara kita melayani Allah. Namun, jika melayani pelanggan, pemegang saham, warganegara, siswa, dan lain-lainnya menjadi lebih penting bagi kita daripada melayani Allah, atau jika hal itu hanyalah sarana untuk memuliakan diri kita sendiri, maka kita sedang mengikuti bangsa Israel kuno yang menyembah ilah-ilah palsu. Tim Keller menemukan bahwa berhala-berhala itu bukan suatu peninggalan agama kuno yang sudah usang, tetapi spiritualitas modern, yang palsu, yang kita jumpai sehari-hari.
Apa itu berhala? Berhala adalah apa saja yang lebih penting bagi Anda daripada Allah; apa saja yang menguasai hati dan pikiran Anda melebihi Allah; apa saja yang Anda cari untuk memberikan pada Anda yang hanya dapat diberikan Allah. Ilah palsu adalah apa saja yang begitu sentral dan esensial bagi hidup Anda sampai-sampai jika Anda kehilangan hal itu, hidup Anda menjadi terasa hampir tak berarti lagi. Berhala memiliki kekuatan mengendalikan di hati Anda sehingga Anda dapat mencurahkan sebagian besar hasrat dan tenaga Anda, sumber daya finansial dan emosional Anda untuk hal itu tanpa berpikir dua kali. Berhala itu bisa berupa keluarga dan anak-anak, karier atau mencari uang, prestasi atau pujian/persetujuan, penghargaan atau kedudukan sosial. Berhala bisa juga berupa hubungan romantis, persetujuan rekan kerja, kompetensi dan keterampilan, situasi aman dan nyaman, kecantikan atau kepintaran, alasan politik atau sosial yang terpuji, moralitas dan kebajikan, atau bahkan keberhasilan dalam pelayanan Kristen.[2]
Sebagai contoh, seorang pejabat terpilih tentu saja ingin melayani publik. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus terus memiliki publik untuk dilayani, yang artinya, tetap menjabat dan terus memenangkan pemilihan. Jika melayani publik menjadi tujuan utamanya, maka apa pun yang diperlukan untuk memenangkan pemilihan menjadi dapat dibenarkan, seperti mengikuti keinginan publik, penipuan, intimidasi, tuduhan palsu, dan bahkan kecurangan dalam penghitungan suara. Keinginan yang tak terbendung untuk melayani publik—ditambah keyakinan tak tergoyahkan bahwa dirinyalah satu-satunya orang yang dapat memimpin dengan efektif— inilah tepatnya yang menjadi motivasi Presiden AS Richard Nixon dalam pemilu 1972. Keinginan tak terbendung untuk melayani publik itulah yang tampaknya membuatnya berusaha memenangkan pemilu dengan segala cara, termasuk dengan memata-matai Komite Nasional Demokrat di Hotel Watergate. Tindakan ini kemudian membuat dirinya dimakzulkan, kehilangan jabatan dan mendapat aib. Melayani berhala selalu akan berakhir dengan malapetaka.
Orang dengan pekerjaan apa pun—bahkan pekerjaan dalam keluarga sebagai pasangan, orang tua dan anak—menghadapi godaan untuk lebih meninggikan “some imtermediate good” (kebaikan sekunder tertentu) daripada melayani Allah. Ketika melayani kebaikan apa pun menjadi tujuan utama, dan bukan sebagai ungkapan pelayanan kepada Allah, maka penyembahan berhala mulai menyelinap masuk. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang bahaya-bahaya memberhalakan pekerjaan, lihat bagian Hukum Pertama dan Hukum Kedua di dalam kitab Keluaran dan Pekerjaan (“Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3); “Jangan membuat bagimu berhala…” (Keluaran 20:4)) dan di dalam kitab Ulangan dan Pekerjaan (“Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:7; Keluaran 20:3); “Jangan membuat bagimu berhala…” (Ulangan 5:8; Keluaran 20:4) di https://www.teologikerja.org/.
Debora (Hakim-hakim 4-5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHakim yang terbaik adalah Debora. Orang-orang mengakui kebijaksanaannya dan datang padanya untuk meminta nasihat dan solusi konflik (Hakim-Hakim 4:5). Hierarki militer juga mengakuinya sebagai panglima tertinggi dan bahkan hanya akan pergi berperang atas perintahnya (Hakim-hakim 4:9). Pemerintahan hakim Debora begitu baik sampai “negeri itu aman empat puluh tahun lamanya” (Hakim-hakim 5:31), suatu keadaan yang jarang terjadi dalam sejarah Israel.
Sebagian orang masa kini mungkin heran, bahwa seorang perempuan, bukan janda atau putri seorang penguasa, bisa tampil sebagai pemimpin bangsa di sebuah negara zaman pramodern. Dan kitab Hakim-hakim memandang Debora sebagai pemimpin Israel terbesar pada zaman itu. Hanya Debora saja di antara para hakim yang disebut nabi atau nabiah (Hakim-hakim 4:4), yang menunjukkan betapa ia sangat mirip dengan Musa dan Yosua, para pemimpin yang juga berkomunikasi langsung dengan Allah. Baik kaum wanita, seperti Yael, agen yang menyamar, maupun kaum pria, seperti Barak sang jenderal, tidak menunjukkan keberatan atas keberadaan pemimpin perempuan. Pelayanan Debora sebagai hakim-nabiah Israel menunjukkan bahwa Allah tidak menganggap masalah dengan kepemimpinan politik, yudisial, atau militer perempuan. Terbukti suaminya Lapidot dan keluarga intinya juga tidak mengalami kesulitan dalam mengatur pekerjaan rumah tangga, sehingga ia punya waktu untuk "duduk di bawah pohon kurma Debora" dan melakukan tugasnya ketika "orang Israel menghadap dia untuk mencari keadilan" (Hakim-hakim 4:5).
Saat ini, di sebagian masyarakat, di banyak sektor pekerjaan, dan organisasi-organisasi tertentu, kepemimpinan perempuan sudah menjadi tidak kontroversial seperti pada zaman Debora. Akan tetapi di sebagian budaya, sektor pekerjaan, dan organisasi masa kini lainnya, perempuan tidak diterima sebagai pemimpin atau harus tunduk pada aturan-aturan yang tidak dikenakan pada laki-laki. Mungkinkah dengan merenungkan kepemimpinan Debora pada zaman Israel kuno dapat membuat orang Kristen masa kini lebih jelas dalam memahami maksud Allah dalam situasi-situasi ini? Dapatkah kita melayani organisasi dan masyarakat kita dengan ikut merobohkan penghalang-penghalang yang tidak sepatutnya terhadap kepemimpinan perempuan? Apakah kita secara pribadi mendapatkan manfaat dengan menerima perempuan sebagai atasan, mentor, dan peran-peran panutan lainnya dalam pekerjaan kita?
Efek Ekonomi Akibat Perang (Hakim-hakim 6:1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Debora, kualitas para hakim mulai merosot. Hakim-hakim 6:1-11 menunjukkan yang kemungkinan menjadi ciri umum kehidupan bangsa Israel pada masa itu – kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh perang.
Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. Sebab itu, TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Midian selama tujuh tahun, dan cengkeraman orang Midian semakin kuat atas Israel. Oleh karena orang Midian, orang Israel membuat tempat-tempat perlindungan di pegunungan, gua-gua dan kubu-kubu bagi dirinya. Setiap kali orang Israel selesai menabur, datanglah orang Midian, orang Amalek serta orang-orang dari timur dan maju menyerang mereka. Orang-orang itu berkemah di daerah mereka dan memusnahkan hasil bumi sampai dekat Gaza. Bahan makanan tidak dibiarkan tersisa sedikit pun di Israel, juga domba atau lembu atau pun keledai. Bahkan orang-orang itu maju dengan ternak dan kemah mereka bagikan belalang yang sangat banyak. Jumlah mereka beserta unta mereka tidak terhitung banyaknya. Mereka datang ke negeri itu untuk memusnahkannya. Orang Israel menjadi sangat melarat karena perbuatan orang Midian itu. Lalu orang Israel berseru kepada TUHAN.
Dampak perang pada pekerjaan dirasakan di berbagai bagian dunia saat ini. Selain kerusakan akibat serangan langsung terhadap sasaran-sasaran ekonomi, ketidakstabilan yang ditimbulkan konflik bersenjata juga dapat menghancurkan mata pencaharian masyarakat. Para petani di wilayah yang dilanda perang enggan bercocok tanam karena kemungkinan mereka akan dipindahkan sebelum musim panen tiba. Para investor menganggap negara yang dilanda perang memiliki risiko buruk dan tidak mungkin menggelontorkan sumber daya untuk meningkatkan infrastruktur. Dengan hanya sedikit harapan akan pembangunan ekonomi, orang bisa ditarik ke dalam faksi-faksi bersenjata yang memperebutkan sumber daya apa pun yang masih ada untuk dieksploitasi. Dengan demikian siklus yang sangat buruk akibat perang dan kemiskinan akan terus berlanjut. Perdamaian perlu mendahului kelimpahan.
Situasi ekonomi Israel begitu sulit di bawah penindasan orang Midian sampai-sampai kita menemukan calon hakim Gideon “mengirik gandum di tempat pemerasan anggur agar tersembunyi dari orang Midian” (Hakim-hakim 6:11). Daniel Block menjelaskan alasan perilakunya ini.
Sebelum peralatan teknologi modern ditemukan, pengirikan bulir-bulir gandum dilakukan pertama-tama dengan menumbuk bonggol-bonggol batangnya dengan pemukul untuk membuang jeraminya, lalu campuran sekam dan biji gandum itu dilambung-lambungkan ke udara agar angin menerbangkan sekamnya dan biji gandum yang lebih berat jatuh ke lantai. Dalam situasi genting seperti saat itu, cara ini jelas tidak bijaksana. Melakukan pengirikan di puncak bukit hanya akan menarik perhatian orang Midian untuk merampas. Oleh karena itu, Gideon memilih mengirik gandum di tempat tersembunyi yang biasanya digunakan untuk memeras buah anggur. Pada umumnya pemerasan buah anggur memerlukan dua cekungan yang digali pada batu karang, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Buah anggur akan ditumpuk dan diinjak-injak di cekungan yang atas, sementara sebuah saluran akan mengalirkan sari-sarinya ke cekungan yang lebih rendah.[1]
Saat ini orang Kristen maupun non-Kristen sama-sama sangat setuju bahwa menjalankan bisnis dengan cara-cara yang melanggengkan konflik bersenjata adalah hal yang tidak bermoral. Larangan internasional terhadap “Berlian konflik/berdarah” adalah sebuah contoh terkini.[2] Apakah orang-orang Kristen memimpin dalam usaha-usaha semacam itu? Apakah kita merupakan orang-orang yang mencari tahu apakah bisnis, pemerintah, universitas, dan institusi lainnya tempat kita bekerja secara tanpa sadar berpartisipasi dalam kekerasan? Apakah kita berani mengambil risiko untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ketika atasan kita mungkin lebih memilih mengabaikan situasi itu? Atau apakah kita bersembunyi, seperti Gideon, di balik alasan hanya melakukan pekerjaan kita?
Keberhasilan Masa Lalu Tidak Menjamin Masa Depan – Kepemimpinan Gideon Yang Ambivalen (Hakim-hakim 6:12 – 8:35)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiGideon merupakan contoh paling jelas dari karakter paradoks para hakim Israel dan pelajaran-pelajaran ambivalen yang mereka tunjukkan dalam kepemimpinan di tempat kerja dan tempat lainnya. Nama Gideon secara harfiah berarti "peretas/pembongkar" [1] dan tampaknya menunjukkan hal yang positif ketika ia membongkar atau merobohkan mezbah berhala ayahnya di Hakim-hakim 6:25-27. (Fakta bahwa ia melakukannya pada malam hari, karena takut, menunjukkan detail yang mengganggu). [2] Meskipun faktanya Allah sudah berjanji untuk menyertainya, Gideon masih saja terus meminta tanda, terutama dalam peristiwa guntingan bulu domba di Hakim 6:36-40. Allah memang berkenan meneguhkan Gideon dalam hal ini, tetapi ini bukanlah contoh untuk diikuti orang lain ketika banyak orang Kristen masa kini berdebat tentang hal mencari pimpinan, terutama pimpinan dalam pekerjaan. Tindakan ini justru menjadi pertanda komitmen yang goyah, yang pada akhirnya mengarah kepada penyembahan berhala di akhir cerita.[3] Lihat Decision Making by the Book [4] dan Decision Making and the Will of God [5] untuk analisis lebih mendalam tentang cara-cara mencari peneguhan yang dilakukan Gideon.
Hal terbaik dari kisah ini, tentu saja, kemenangan Gideon yang menakjubkan atas orang Midian (Hakim-hakim 7). Yang kurang dikenal adalah kegagalan-kegagalan dalam kepemimpinannya selanjutnya (Hakim-hakim 8). Penduduk Sukot dan Pnuel menolak membantu orang-orangnya yang habis bertempur, dan penghancurannya yang brutal atas kota-kota itu bisa dianggap sangat tidak sebanding dengan kesalahan mereka. Gideon lagi-lagi hidup sesuai dengan namanya, tetapi kali ini ia merobohkan siapa saja yang merintanginya.[6] Meskipun ia menyatakan tidak ingin menjadi raja, pada kenyataannya ia banyak bertindak sebagai raja yang lalim (Hakim-hakim 8:22-26). Bahkan yang lebih meresahkan adalah kejatuhannya ke dalam penyembahan berhala. Baju efod yang dibuatnya menjadi “jerat” bagi bangsanya, dan “semua orang Israel berzina dengan menyembah efod itu” (Hakim-hakim 8:27). Betapa telah jatuh sang pahlawan!
Pelajaran untuk kita saat ini bisa jadi kita merasa bersyukur atas berkat keberadaan orang-orang hebat tanpa mengidolakan mereka sampai menjadi berhala. Seperti Gideon, seorang jenderal masa kini bisa membawa kita kepada kemenangan dalam perang, tetapi ternyata menjadi lalim dalam situasi damai. Seorang jenius mungkin memberi kita wawasan yang luar biasa tentang musik atau film, tetapi membuat kita menyimpang dalam mengasuh anak atau politik. Seorang pemimpin bisnis bisa menyelamatkan perusahaan dalam situasi krisis, tetapi menghancurkannya pada saat aman-aman saja. Kita bahkan bisa menemukan diskontinuitas yang sama pada diri kita sendiri. Mungkin kita menanjak dalam kedudukan di tempat kerja tetapi tenggelam dalam perselisihan di rumahtangga, atau sebaliknya. Mungkin kita terbukti andal dalam berprestasi secara perorangan, tetapi gagal sebagai manajer. Kemungkinan yang paling besar, kita mencapai banyak hal baik ketika kita tidak yakin dengan diri kita sendiri, karena kita bersandar pada Allah, dan kita mendatangkan malapetaka ketika kesuksesan membuat kita bersandar pada diri sendiri.[7] Seperti para hakim, kita adalah orang-orang yang penuh kontradiksi dan kelemahan. Satu-satunya harapan kita, atau jadi putus asa, adalah pengampunan dan transformasi yang telah dimungkinkan bagi kita di dalam Kristus.
Kegagalan Kepemimpinan Para Hakim (Hakim-hakim 9-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKegagalan-kegagalan para hakim sesudah Gideon semakin buruk lagi. Anak Gideon, Abimelekh, mempersatukan orang-orang di sekitarnya, tetapi ia kemudian membunuh tujuh puluh saudaranya yang menghalangi jalannya (Hakim-hakim 9). Yefta memulai sebagai perampok yang kemudian membebaskan bangsanya dari tangan orang Amon, tetapi ia menghancurkan keluarga dan masa depannya sendiri dengan nazar yang mengerikan yang menyebabkan kematian putrinya (Hakim-hakim 11). Hakim yang paling terkenal, Simson, menimbulkan bencana di antara orang Filistin, tetapi yang paling terkenal secara negatif adalah kejatuhannya pada bujuk rayu Delila yang tidak mengenal Allah, yang mengakibatkan kehancurannya sendiri (Hakim-hakim 13-16).
Apa yang dapat kita petik dari semuanya ini untuk pekerjaan kita di dunia saat ini? Pertama-tama, kisah-kisah para hakim meneguhkan kebenaran bahwa Allah bekerja melalui orang-orang yang gagal/cacat. Ini benar sekali, karena sejumlah hakim—Gideon, Barak, Simson, dan Yefta—dipuji dalam Perjanjian Baru, bersama-sama dengan Rahab (Ibrani 11:31-34). Kitab Hakim-hakim tidak ragu menunjukkan bahwa Roh Allahlah yang memampukan mereka melakukan tindakan-tindakan pembebasan yang dahsyat saat menghadapi berbagai masalah yang begitu sulit (Hakim-hakim 3:10; 6:34; 11:29; 13:25; 14: 6-9; 15:14). Selanjutnya, mereka lebih dari alat di dalam tangan Allah. Mereka menanggapi positif panggilan Allah untuk membebaskan bangsanya, dan melalui mereka, Allah lagi-lagi menyelamatkan umat-Nya.
Akan tetapi maksud keseluruhan kitab Hakim-hakim bukanlah menganjurkan kita untuk menjadikan orang-orang ini sebagai panutan. Penekanan kitab ini adalah bahwa bangsa itu kacau, penuh kompromi, dan para pemimpinnya mengecewakan dalam ketidakpatuhan mereka terhadap perjanjian Allah. Pelajaran yang lebih tepat untuk dipetik barangkali adalah bahwa kesuksesan – bahkan kesuksesan yang diberikan Allah – belum tentu merupakan pernyataan tentang perkenan Allah. Ketika usaha-usaha kita di tempat kerja diberkati, apalagi di tengah situasi yang tidak menguntungkan, kita mungkin tergoda untuk berpikir, "Nah, Allah jelas bekerja di sini, maka Dia pasti memberkatiku karena menjadi orang baik/berhasil." Padahal sejarah kehidupan para hakim menunjukkan bahwa Allah bekerja kapan saja Dia mau, dengan bagaimana saja yang Dia mau, dan melalui siapa yang Dia mau. Dia bertindak menurut rencana-Nya, bukan berdasarkan kebaikan atau kekurangan kita. Kita tidak dapat mengambil kredit seolah-olah kita layak menerima berkat kesuksesan. Demikian pula, kita tidak boleh menghakimi orang lain yang kita anggap kurang pantas mendapat perkenan Allah, sebagaimana diingatkan Paulus di Roma 2:1.
Injil Kemakmuran Terungkap dalam Bentuk Awal (Hakim-hakim 17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJika bagian tengah kitab Hakim-hakim menunjukkan para pahlawan dengan kelemahan yang terperangkap dalam siklus penindasan dan pembebasan yang menyedihkan, pasal-pasal terakhir menunjukkan sebuah bangsa yang hancur yang tampaknya tak ada harapan untuk ditebus. Hakim-hakim 17 dibuka dengan semacam parodi penyembahan berhala. Seorang yang bernama Mikha memiliki banyak uang, ibunya menggunakan uang itu untuk membuat berhala, dan Mikha mempekerjakan seorang Lewi freelance sebagai imam pribadinya. Tak heran jika kultus pemujaan murahan di rumah Mikha ini menunjukkan teologi yang sama kacaunya. “Kata Mikha, 'Sekarang aku tahu bahwa TUHAN akan berbuat baik kepadaku [membuat aku makmur], karena seorang Lewi telah menjadi imamku'” (Hakim-hakim 17:13). Dengan kata lain, dengan memiliki tokoh agama yang memberkati usaha penyembahan berhalanya, Mikha percaya bahwa ia dapat membuat Allah mengeluarkan barang-barang yang diinginkannya. Kreativitas manusia di sini disia-siakan dengan cara yang paling buruk, dengan membuat ilah-ilah khayalan sebagai pembungkus keserakahan dan kesombongan.
Hasrat untuk mengubah Allah menjadi mesin kemakmuran tak pernah berhenti. Bentuknya yang terkenal secara negatif saat ini adalah yang disebut "injil kemakmuran" atau "injil kesuksesan" yang mengeklaim bahwa orang yang mengaku percaya pada Kristus akan selalu diganjar dengan kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan. Dalam hal pekerjaan, keyakinan ini membuat sebagian orang melalaikan pekerjaan mereka dan melakukan hal-hal yang tak patut sementara menunggu Allah melimpahi mereka dengan kekayaan. Hal ini juga membuat orang-orang lainnya—yang mengharapkan Allah memberi kemakmuran melalui pekerjaan mereka— mengabaikan keluarga dan komunitas, melecehkan rekan kerja, dan melakukan bisnis yang tidak etis, karena yakin perkenanan Allah membebaskan mereka dari moralitas yang wajar.
Gundik Orang Lewi: Kebobrokan Manusia & Keterlibatan Tokoh Agama (Hakim-hakim 18-21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBabak terakhir dari kitab Hakim-hakim merupakan peristiwa paling menjijikkan dalam sejarah kemerosotan bangsa Israel yang panjang dalam kebobrokan, penyembahan berhala, dan anarki. Beberapa orang dari suku Dan merampas seluruh usaha pemujaan Mikha, termasuk orang Lewi dan berhalanya itu (Hakim-hakim 18:1-31). Di Hakim-hakim 19 dikisahkan tentang seorang Lewi yang mengambil gundik dari desa yang jauh (di Betlehem, sebagaimana yang tertulis), tetapi setelah suatu pertengkaran rumah tangga, gundik ini kembali ke rumah ayahnya. Orang Lewi itu lalu pergi ke Betlehem untuk menjemput gundiknya. Setelah lima hari minum-minum bersama ayah mertuanya, orang Lewi itu dengan bodohnya memulai perjalanan pulang saat matahari hampir terbenam. Mereka lalu kemalaman sendirian di alun-alun kota sebuah wilayah suku Benyamin. Tidak ada yang memberi mereka tumpangan sampai akhirnya seorang bapak tua menunjukkan keramahtamahan dengan menyediakan tempat menginap.
Akan tetapi malam itu orang-orang durjana di kota itu mengepung rumah bapak tua itu dan menuntut agar orang asing itu dikeluarkan untuk mereka gauli (Hakim-hakim 19:22). Bapak tua itu berusaha melindungi orang asing itu, tetapi idenya untuk melindungi tamumya benar-benar membuat muak. Untuk menyelamatkan orang Lewi itu, ia menawarkan putrinya yang masih gadis dan gundik orang Lewi itu untuk diperkosa lelaki-lelaki durjana itu. Orang Lewi itu sendiri lalu memegang erat dan membawa gundiknya ke luar, yang kemungkinan menjadi contoh paling awal yang dicatat tentang keterlibatan tokoh agama dalam pelecehan seksual. Kemudian “mereka menggauli dan menyakiti perempuan itu sepanjang malam sampai menjelang pagi” (Hakim-hakim 19:25). Setelah didapati sudah tak bernyawa lagi, tubuhnya lalu dipotong-potong dan dikirimkan ke seluruh wilayah Israel, yang hampir saja mengakibatkan musnahnya suku Benyamin sebagai tindakan pembalasan (Hakim-hakim 20-21). Kanaanisasi terhadap bangsa Israel sempurna.[1]
Ayat penutup kitab ini merangkum semuanya dengan ringkas. “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21:25). Seandainya belum jelas, ayat ini berarti bahwa tanpa pemimpin yang membawa bangsa itu melayani Allah, setiap orang akan mengikuti keinginan dan rancangan jahatnya sendiri, karena kompas moral bawaan mereka tidak mengarahkan mereka untuk melakukan hal yang benar tanpa adanya pengawasan.
Di lingkungan-lingkungan kerja kita saat ini, ancaman terhadap kelompok yang lemah—termasuk pelecehan terhadap perempuan dan orang asing—secara mengejutkan masih sangat umum terjadi. Secara individu, kita harus memilih apakah kita akan berdiri bersama mereka yang menentang ketidakadilan—yang pastinya bisa membawa risiko pada diri kita sendiri—ataukah kita akan bersembunyi sampai kerusakan itu berlalu.
Secara organisasi dan masyarakat, kita harus memutuskan apakah kita akan bekerja untuk sistem dan struktur yang mencegah kejahatan perilaku manusia, ataukah kita akan berdiri di pinggir ketika semua orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Bahkan kepasifan kita dapat berkontribusi pada terjadinya pelecehan-pelecehan di tempat kerja kita, terutama jika kita tidak berada dalam posisi berotoritas. Namun, jika orang lain menganggap Anda memiliki pengaruh—misalnya karena Anda lebih senior, sudah bekerja lebih lama, berpenampilan lebih rapi, kelihatan sering berbicara dengan atasan, berasal dari kelompok etnis atau bahasa yang dihormati, lebih berpendidikan, atau lebih baik dalam mengekspresikan diri—dan Anda tidak membela orang yang dilecehkan, Anda berkontribusi pada terjadinya pelecehan. Contohnya, jika orang cenderung datang pada Anda untuk meminta bantuan, itu tandanya orang lain menganggap Anda memiliki pengaruh yang signifikan. Namun jika kemudian, Anda hanya diam ketika lelucon yang merendahkan dilontarkan, atau karyawan baru diintimidasi, Anda memperberat beban korban, dan Anda ikut memberi jalan kepada pelecehan selanjutnya.
Membaca peristiwa-peristiwa mengerikan di pasal-pasal terakhir kitab Hakim-hakim mungkin membuat kita merasa bersyukur karena kita tidak hidup di zaman itu. Akan tetapi jika kita sungguh-sungguh menyadari, kita dapat melihat bahwa dengan pergi bekerja saja pun mengandung signifikansi moral yang sama beratnya dengan pekerjaan para pemimpin atau siapa pun di Israel kuno.
Konklusi Kitab Yosua dan Hakim-hakim
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerjalanan ke dalam kitab Yosua dan Hakim-hakim adalah perjalanan yang menyadarkan. Kita memulai dengan teladan Yosua yang menginspirasi, yang menggabungkan keterampilan, hikmat, dan kebajikan ilahi. Tuhan sendiri yang memimpin bangsa Israel ke tanah perjanjian, dan mereka berjanji akan menaati Dia dengan seluruh kehidupan mereka. Allah mengaruniakan mereka masyarakat yang tidak dibebani tirani, dengan permulaan baru yang bebas dari korupsi, dominasi, dan ketidakadilan yang melembaga. Pada saat yang dibutuhkan, Allah membangkitkan para pemimpin yang membebaskan mereka dari setiap ancaman yang datang berturut-turut, yang dicontohkan dalam diri Yosua dan Debora—yang bijaksana, berani, dan diakui secara universal.
Kita melihat para pemimpin dan orang Israel awal ini membangun struktur-struktur yang mereka butuhkan untuk kedamaian dan kemakmuran negeri itu. Mereka mengalokasikan sumber daya secara adil dan produktif. Mereka mengejar misi persatuan sambil memelihara budaya yang beragam dan fleksibel. Mereka mendistribusikan kekuasaan sementara pada saat yang sama mempertahankan sikap saling bertanggung jawab dan belajar cara menyelesaikan konflik secara produktif dan kreatif. Mereka makmur dan menikmati kedamaian.
Namun, tak lama sesudah itu, kita melihat Israel merosot dari umat perjanjian yang aman, tertata rapi, dan sangat terorganisir, menjadi gerombolan yang kejam dan terpecah-belah. Setiap aspek kehidupan mereka, termasuk pekerjaan mereka, menjadi rusak karena mereka mengabaikan perintah dan penyertaan Allah. Allah telah memberi mereka tanah yang subur yang siap untuk pekerjaan yang produktif, tetapi mereka melupakan pekerjaan-Nya untuk mereka dan menyia-nyiakan sumber daya mereka untuk menyembah berhala. Mereka membuka diri terhadap peperangan yang mengakibatkan kehancuran ekonomi, dan dalam waktu singkat mereka pun mulai mengikuti sepenuhnya kejahatan bangsa-bangsa di sekitarnya. Pada akhirnya, mereka menjadi musuh terburuk mereka sendiri.
Pelajaran utama untuk kita sama seperti yang ditulis Yohanes di akhir suratnya yang pertama berabad-abad kemudian, “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala” (1 Yohanes 5:21). Ketika kita bekerja dalam kesetiaan kepada Allah, menaati perjanjian-Nya dan mencari pimpinan-Nya, pekerjaan kita mendatangkan kebaikan yang tak terkira bagi diri kita sendiri dan masyarakat kita. Akan tetapi ketika kita melanggar perjanjian dengan Allah yang bekerja untuk kita, dan kita mulai melakukan ketidakadilan yang dengan mudah kita pelajari dari budaya sekitar kita, kita akan mendapati pekerjaan kita sama sia-sianya dengan berhala-berhala yang kita layani.