Bootstrap

Theology of Work Bible Commentary: Old Testament

Test 08

Pengantar untuk Kejadian 1-11

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Kejadian adalah fondasi dari teologi kerja. Semua pembahasan tentang kerja dalam perspektif alkitabiah akan menemukan dasarnya dalam kitab ini. Kitab Kejadian sangat penting untuk teologi kerja karena menceritakan pekerjaan Allah menciptakan dunia ini, pekerjaan pertama dan prototipe untuk semua pekerjaan yang ada kemudian. Allah tidak memimpikan sebuah ilusi, tetapi menciptakan sebuah realitas. Alam semesta yang diciptakan Allah menyediakan apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan manusia: ruang, waktu, materi, dan energi. Melalui alam semesta itu, Allah hadir dalam relasi dengan ciptaan-Nya, terutama dengan manusia. Sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, kita bekerja di dalam dunia ciptaan Allah, pada dunia ciptaan Allah, dengan dunia ciptaan Allah, dan—jika kita bekerja sesuai rencana-Nya—untuk kebaikan dunia ciptaan Allah.

Dalam kitab Kejadian, kita melihat Allah bekerja, dan kita belajar bagaimana Allah menghendaki kita bekerja. Adakalanya kita menaati Allah dalam pekerjaan kita, adakalanya tidak, tetapi kita mendapati bahwa Allah tetap bekerja baik di dalam ketaatan maupun ketidaktaatan kita. Enam puluh lima kitab lainnya dalam Alkitab, masing-masing memiliki kontribusi unik untuk membentuk teologi kerja. Namun, semuanya diawali dari kitab Kejadian, kitab pertama dalam Alkitab.

Allah Menciptakan Dunia (Kejadian 1:1-2:3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hal pertama yang diberitahukan Alkitab kepada kita adalah fakta bahwa Allah itu Pencipta. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Allah berfirman dan berbagai hal yang tadinya tidak ada menjadi ada, mulai dengan alam semesta itu sendiri. Penciptaan dunia murni merupakan inisiatif Allah, bukan sebuah kecelakaan, kesalahan, atau hasil karya seorang dewa yang lebih rendah, melainkan ekspresi atau pernyataan pribadi Allah.

Allah membuat material yang tidak ada menjadi ada (Kejadian 1:2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kejadian melanjutkan dengan menekankan dimensi fisik atau material dari dunia. “Bumi belum berbentuk dan kosong. Gelap gulita meliputi samudra semesta, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kej. 1:2). Semesta yang baru ini meski masih “belum berbentuk”, memiliki dimensi fisik, yaitu ruang (“samudera semesta”) dan zat (“air”). Allah berinteraksi penuh dengan dimensi fisik ini (“Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”). Nantinya, di pasal 2, kita bahkan melihat Allah bekerja menggunakan tanah yang diciptakan-Nya. “TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7). Di sepanjang pasal 1 dan 2, kita melihat Allah begitu memperhatikan dimensi fisik dari ciptaan-Nya.

Semua teologi kerja harus diawali dengan teologi penciptaan. Apakah kita menganggap dunia fisik, berbagai material yang kita gunakan untuk bekerja, sebagai ciptaan Allah yang mulia dan memiliki nilai kekal? Ataukah kita menganggap semua hal yang bersifat fisik itu kurang penting, sekadar sarana bekerja yang fana, atau tempat kita diberikan ujian hidup? Apakah kita ingin segera lepas dari dunia fisik ini menuju surga yang tidak memiliki wujud fisik, karena menurut kita dunia fisik ini akan terus memburuk keadaannya, seperti sebuah kapal yang akan tenggelam?
Kitab Kejadian menentang semua pemikiran bahwa dunia fisik itu kurang penting bagi Tuhan dibanding dunia rohani. Atau lebih tepatnya, dalam kitab Kejadian, tidak ada pembedaan yang tajam antara yang fisik dan yang spiritual. Roh Allah (Ibrani: ruah) dalam Kejadian 1:2 juga digambarkan sebagai “napas”, “angin”, “roh”. Frase “langit dan bumi” (Kej. 1:1; 2:1) yang bisa diterjemahkan juga sebagai “surga dan bumi”, tidak merujuk pada dua dunia yang berbeda, tetapi merupakan sebuah ungkapan bahasa Ibrani yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “alam semesta [1] sama seperti dalam Bahasa Indonesia, ungkapan “handai dan tolan” tidak diartikan terpisah, tetapi satu ungkapan yang berarti “teman-teman”.

Penting untuk diperhatikan, Alkitab berakhir pada tempat semuanya dimulai—yaitu di bumi. Manusia tidak meninggalkan bumi untuk bergabung dengan Allah di surga. Sebaliknya, Allah menyempurnakan kerajaan-Nya di bumi dan mendatangkan “kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah” (Why. 21:2). Di sinilah tempat Allah berdiam bersama umat-Nya, dalam ciptaan yang telah diperbarui. “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia” (Why. 21:3). Sebab itulah Yesus meminta para murid-Nya untuk berdoa demikian, “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10). Dalam selang waktu antara Kejadian 2 dan Wahyu 21, bumi ini rusak, berdosa, kacau, dipenuhi orang-orang dan kuasa-kuasa yang menentang tujuan Allah (kita dapat membacanya dalam pasal 3 dan seterusnya). Tidak semua yang ada di dunia ini berjalan seturut dengan rancangan Allah. Namun, dunia ini tetaplah ciptaan Allah, yang disebutnya “baik” (penjelasan lebih banyak tentang langit dan bumi yang baru, bisa dibaca pada uraian Wahyu 17-22 dalam bab Wahyu dan Pekerjaan).

Banyak orang Kristen, yang pekerjaannya berkaitan dengan objek fisik, mengatakan bahwa pekerjaan mereka tampaknya kurang bermakna bagi gereja—apalagi bagi Tuhan—dibanding dengan pekerjaan yang berpusat pada manusia, gagasan, atau agama. Yang disebut sebagai contoh “pekerjaan baik” dalam khotbah biasanya adalah menjadi misionaris, pekerja sosial, atau guru, bukan menjadi penambang, mekanik, atau ahli kimia. Orang Kristen biasanya lebih mengartikan “panggilan” itu berkaitan dengan menjadi pendeta atau dokter dibanding menjadi manajer inventori, atau pemahat. Namun, apakah pemikiran ini memiliki dasar yang alkitabiah? Bekerja dengan sesama manusia sebenarnya adalah bekerja dengan objek fisik juga. Selain itu, kita perlu mengingat bahwa tugas yang diberikan Allah kepada manusia meliputi dua aspek: bekerja dengan sesama manusia (Kej. 2:18) dan bekerja dengan berbagai objek fisik (Kej. 2:15). Semua aspek dari ciptaan Allah diperhatikan-Nya dengan sangat serius.

Allah Menciptakan Dunia dengan Bekerja (Kejadian 1:3-25; 2:7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Menciptakan dunia adalah sebuah pekerjaan. Dalam Kejadian 1 jelas terlihat kuasa pekerjaan Allah. Allah berfirman dan dunia dijadikan, lalu setahap demi setahap kita melihat contoh paling mendasar tentang penggunaan kuasa yang benar. Perhatikan urutannya. Tiga tindakan penciptaan Allah yang pertama memisahkan dunia yang tidak beraturan dan tidak berbentuk menjadi langit, bumi, dan daratan. Pada hari pertama, Allah menciptakan terang dan memisahkannya dari kegelapan, menjadikan pagi dan petang (Kej. 1:3-5). Pada hari kedua, Dia memisahkan air dan menciptakan langit (Kej. 1:6-8). Di awal hari ketiga, ia memisahkan daratan kering dari lautan (Kej. 1:9-10). Semua yang esensial untuk kehidupan ciptaan-Nya kemudian mengikuti. Selanjutnya, Allah mulai mengisi dunia yang telah Dia ciptakan. Pada sisa hari ketiga itu Allah menciptakan dunia tumbuhan (Kej. 1:11-13). Pada hari keempat, Dia menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang di angkasa (Kej. 1:14-19). Alkitab memakai istilah “penerang yang lebih besar” dan “penerang yang lebih kecil”, tidak langsung menyebutnya sebagai “matahari” dan “bulan”, mencegah orang menyembah benda-benda ciptaan ini, sekaligus mengingatkan bahwa kita masih dalam bahaya untuk menyembah ciptaan dan bukan Sang Pencipta. Benda-benda penerang ini indah dan esensial untuk kehidupan tanaman yang membutuhkan sinar matahari, malam hari, juga pergantian musim. Pada hari kelima, Allah mengisi lautan dan langit dengan ikan-ikan dan burung-burung yang tidak dapat bertahan hidup jika dunia tumbuhan belum diciptakan (Kej. 1:20-23). Pada hari keenam, Allah menciptakan hewan-hewan (Kej. 1:24-25) dan puncaknya, Dia menciptakan manusia untuk memenuhi bumi (Kej. 1:26-31).[1]

Pada pasal pertama, Allah menyelesaikan semua pekerjaan-Nya dengan berfirman. “Allah berfirman…” dan semuanya tercipta. Alkitab memberitahu kita bahwa kuasa Allah itu lebih dari cukup untuk menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya. Kita tidak perlu takut Allah kehabisan bahan bakar atau dunia ciptaan-Nya mendadak lenyap. Allah merancang ciptaan-Nya dengan kemampuan untuk bertahan yang hebat. Allah tidak butuh bantuan dari siapa pun atau apa pun untuk menciptakan atau memelihara dunia ini. Tidak ada kuasa pengacau yang dapat membatalkan rencana Allah mercaptan semesta. Ketika kemudian Allah memilih untuk membagikan tanggung jawab untuk mengelola dunia ciptaan-Nya kepada manusia, kita tahu bahwa hal tersebut adalah pilihan Allah, bukan karena Dia butuh bantuan manusia. Meski manusia dapat melakukan berbagai hal yang mencederai alam atau merusak bumi, Allah berkuasa penuh untuk menyelamatkan dan memulihkannya.

Memiliki kuasa yang tak terbatas tidak berarti Allah menciptakan dunia tanpa bekerja. Sama seperti menulis program komputer atau bermain drama, menciptakan semesta adalah sebuah pekerjaan. Jika keagungan pekerjaan Allah yang melampaui keterbatasan kita manusia dalam Kejadian 1 membuat kita berpikir bahwa penciptaan semesta bukanlah sebuah pekerjaan, Kejadian 2 meyakinkan kita sebaliknya. Allah sendiri turun tangan membentuk tubuh manusia dari tanah (Kej. 2:7, 21), membuat sebuah taman (Kej. 2:8), menumbuhkan pepohonan, (Kej. 2:9), dan–setelah beberapa peristiwa–membuatkan pakaian dari kulit binatang untuk dipakai manusia (Kej. 3:21). Semua ini barulah permulaan pekerjaan Allah yang bersifat fisik di dalam Alkitab yang dipenuhi catatan pekerjaan-Nya.[2]

Ciptaan berasal dari Allah, tetapi tidak sama dengan Allah (Kejadian 1:11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah adalah sumber dari segala sesuatu yang diciptakan. Namun, ciptaan tidaklah sama dengan Allah. Allah memberikan ciptaan-Nya apa yang disebut Pendeta Colin Gunton sebagai Selbständig-keit atau sebuah “kemerdekaan yang sepatutnya.” Yang dimaksud di sini bukanlah kemerdekaan absolut seperti yang dibayangkan oleh kaum ateis atau deis, melainkan keberadaan ciptaan sebagai sesuatu yang berbeda dari pribadi Allah. Hal ini paling baik tergambar dalam catatan penciptaan tumbuhan. “Allah berfirman, ‘Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda: tumbuhan yang menghasilkan biji, dan berbagai jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah berbiji di bumi.’ Maka jadilah demikian.” (Kej. 1:11). Allah menciptakan segala sesuatu, tetapi Dia juga secara literal menanamkan biji atau benih sehingga ciptaan-Nya bisa memperbanyak diri dari waktu ke waktu. Ciptaan selamanya bergantung kepada Allah—“Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 7:28)—tetapi kita berbeda dengan Allah. Hal ini membuat pekerjaan kita indah dan bernilai jauh lebih tinggi daripada sebuah jam yang berdetik atau sebuah boneka tangan. Pekerjaan kita bersumber dari Allah, tetapi juga memiliki bobot dan martabat tersendiri.

Allah melihat bahwa Pekerjaan-Nya Baik (Kejadian 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berlawanan dengan paham dualistik yang menganggap surga itu baik dan bumi itu jahat, kitab Kejadian menyatakan bahwa saat semesta diciptakan, setiap hari “Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Pada hari keenam, dengan diciptakannya manusia, Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu “sungguh sangat baik” (Kej. 1:31). Manusia—yang sayangnya kemudian menjadi agen pembawa dosa ke dalam dunia ciptaan Allah—semula diciptakan “sungguh sangat baik.” Sama sekali tidak ada catatan dalam kitab Kejadian yang mendukung pemikiran, yang entah bagaimana bisa memasuki imajinasi orang Kristen, bahwa dunia fisik ini begitu jahat dan satu-satunya jalan untuk selamat adalah meninggalkan dunia fisik ini menuju suatu dunia rohani yang tidak berwujud. Tidak ada juga dasar yang mendukung pemikiran bahwa selagi kita di dunia, kita harus melewatkan waktu kita dalam “hal-hal rohani” lebih daripada “hal-hal jasmani”. Tidak ada pemisahan antara yang rohani dan jasmani di dalam dunia Allah yang baik.

Allah Bekerja dalam Relasi (Kejadian 1:26a)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bahkan sebelum Allah menciptakan manusia, Dia berfirman memakai kata ganti subjek jamak, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26). Ada perbedaan pendapat di antara para ahli tentang apakah kata “Kita” merujuk pada sekumpulan malaikat atau pada pribadi Allah Tritunggal, tetapi pendapat mana pun yang benar, keduanya sama-sama menyiratkan bahwa pada dasarnya Allah itu pribadi yang relasional.[1]

Sulit untuk memastikan apa yang dipahami bangsa Israel kuno tentang arti kata “Kita” dalam ayat ini. Untuk tujuan pembahasan di sini, kita akan mengikuti pemahaman tradisional Kristen bahwa kata tersebut merujuk pada pribadi Allah Tritunggal. Kita tahu dari Perjanjian Baru bahwa Allah berelasi dengan diri-Nya sendiri—dan dengan ciptaan-Nya—dalam sebuah cinta Trinitas. Dalam Injil Yohanes, kita belajar bahwa Sang Anak—Firman yang telah menjadi manusia (Yohanes 1:14)— hadir dan turut serta secara aktif dalam penciptaan dunia sejak semula.

Pada mulanya sudah ada Firman; Firman itu bersama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Dia pada mulanya bersama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan melalui Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. (Yoh. 1:1-4)

Jadi, orang Kristen mengakui Allah Tritunggal, tiga pribadi yang adalah satu Allah: Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus, masing-masing berperan aktif dalam penciptaan.

Allah Membatasi Pekerjaan-Nya, Beristirahat pada Hari Ketujuh (Kejadian 2:1-3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada akhir dari hari keenam, selesailah pekerjaan Allah menciptakan semesta. Ini tidak berarti bahwa Allah berhenti bekerja, karena Yesus berkata, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, dan Aku pun bekerja.” (Yoh.5:17). Tidak juga berarti bahwa semesta ini sudah lengkap, karena sebagaimana yang kemudian kita lihat, Allah meninggalkan banyak pekerjaan untuk manusia memelihara dan mengembangkan semesta ciptaan-Nya. Namun, bumi yang tadinya tidak berbentuk telah diubah menjadi lingkungan yang bisa ditinggali, yang mendukung keberadaan tanaman, ikan, burung, binatang, dan manusia.

Allah melihat segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh sangat baik. Lalu jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam. Demikianlah diselesaikan langit dan bumi serta segala isinya. Pada hari ketujuh Allah telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya. Pada hari ketujuh itu Dia berhenti dari segala pekerjaan yang dibuat-Nya (Kej. 1:31-2:2; penekanan ditandai huruf miring)

Allah memahkotai enam hari pekerjaannya dengan satu hari istirahat. Penciptaan manusia adalah puncak dari pekerjaan kreatif Allah, istirahat pada hari ketujuh adalah puncak dari minggu kreatif Allah. Mengapa Allah beristirahat? Pasal satu menunjukkan keagungan Allah yang menciptakan semesta hanya dengan berfirman. Jelas bahwa Allah tidak sedang kelelahan. Dia tidak membutuhkan istirahat. Namun, Dia memilih untuk membatasi ciptaan-Nya dalam waktu dan juga ruang. Semesta ini ada batasnya. Semesta ini ada awalnya, sebagaimana dicatat kitab Kejadian, yang diteliti oleh ilmu pengetahuan dan dipahami sebagai teori ledakan besar (Big Bang Theory). Semesta ini juga akan berakhir, menurut Alkitab maupun ilmu pengetahuan, tetapi kita tahu bersama bahwa Allah memberikan batasan waktu di dalam dunia ini. Selama waktu itu masih ada, Allah memberkati enam hari untuk bekerja dan satu hari untuk beristirahat. Inilah batasan yang juga diterapkan oleh Allah sendiri, dan kemudian diperintahkan kepada umat-Nya (Kel. 20:8-11).

Manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:26, 27; 5:1)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah menceritakan pekerjaan Allah menciptakan dunia, Kitab Kejadian kemudian menceritakan pekerjaan manusia. Cerita ini diawali dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah.

Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Kej. 1:26)
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:27)
Pada waktu manusia diciptakan oleh Allah, dijadikan-Nyalah dia menurut rupa Allah (Kej. 5:1)

Semua ciptaan menyatakan desain, kuasa, dan kebaikan Allah, tetapi hanya manusia yang disebutkan diciptakan menurut gambar Allah. Teologi yang lengkap tentang gambar Allah akan terlalu panjang untuk dibahas di sini. Sederhananya, kita perlu ingat bahwa ada sesuatu dalam diri manusia yang secara unik menyerupai Allah. Sungguh konyol jika ada yang menganggap manusia itu sama persis seperti Allah. Kita tidak bisa menciptakan dunia dari sesuatu yang belum berbentuk dan kosong, dan kita tidak seharusnya berusaha melakukan semua yang Allah lakukan. “Saudara-saudaraku yang terkasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis, ‘Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan,’ firman Tuhan.” (Rom. 12:19). Namun, narasi kitab Kejadian memberitahu kita beberapa hal penting tentang Allah: Dia adalah Sang Pencipta yang bekerja di dalam dunia yang bersifat fisik, yang bekerja dalam relasi, dan yang pekerjaan-Nya memperhatikan batasan. Kita memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama.

Bagian selanjutnya dalam Kejadian pasal 1 dan 2 mengembangkan konsep pekerjaan manusia dalam lima kategori spesifik: kekuasaan, relasi, produktivitas/pertumbuhan, pemeliharaan, dan batasan. Pengembangan konsep ini terjadi dalam dua siklus yang bisa dicermati di Kejadian 1:26-2:4, dan Kejadian 2:4-25. Urutan kelima kategori ini tidak persis sama tetapi semuanya ada dalam kedua siklus tersebut. Siklus pertama membangun pemahaman kita tentang apa artinya bekerja dalam gambar Allah. Siklus kedua mendeskripsikan bagaimana Allah memperlengkapi Adam dan Hawa untuk mulai tinggal dan bekerja di Taman Eden.

Bahasa yang dipakai dalam siklus pertama lebih abstrak, sehingga sesuai untuk menjelaskan prinsip-prinsip pekerjaan manusia. Bahasa dalam siklus kedua lebih praktikal, menggambarkan bagaimana Allah membentuk sesuatu dari debu tanah dan elemen lainnya, cocok sebagai instruksi praktis untuk Adam dan Hawa dalam pekerjaan mereka di Taman Eden. Pergeseran gaya bahasa yang dipakai ini—pergeseran serupa juga bisa dijumpai dalam empat kitab pertama Alkitab—telah memicu banyak sekali penelitian, hipotesis, debat, dan bahkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Detailnya bisa dibaca dalam kebanyakan buku tafsir Alkitab. Kita tidak akan membahas pendapat mana yang lebih tepat, karena bagaimana kitab Kejadian memberikan pemahaman tentang pekerjaan, pekerja, dan tempat kerja, tidak banyak dipengaruhi oleh perdebatan yang ada. Yang relevan untuk pembahasan kita adalah bahwa pasal kedua mengulang lima kategori yang sudah disebutkan di pasal pertama—kekuasaan, pemeliharaan, pertumbuhan, batasan, dan relasi—dengan menggambarkan bagaimana Allah memperlengkapi manusia untuk memenuhi pekerjaan yang dirancang bagi mereka saat mereka diciptakan. Untuk memudahkan kita menelusuri tema-tema ini, Kejadian 1:26-2:25 akan kita bahas per kategori, bukan per ayat. Tabel berikut memberikan indeks yang mudah diikuti dengan tautan untuk mereka yang tertarik menjelajahi ayat tertentu secara langsung.


Bagian Alkitab

Kategori

Siklus

Kejadian 1:26-2:4

Kekuasaan

1

Kejadian 1:27

Relasi

1

Kejadian 1:28

Produktivitas/Pertumbuhan

1

Kejadian 1:29-30

Pemeliharaan

1

Kejadian 2:3

Batasan

1

Kejadian 2:5

Kekuasaan

2

Kejadian 2:8-14

Pemeliharaan

2

Kejadian 2:15; 19-20

Produktivitas/Pertumbuhan

2

Kejadian 2:17

Batasan

2

Kejadian 2:18; 21-25

Relasi

2


Kekuasaan (Kejadian 1:26; 2:5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja dalam gambar Allah adalah menguasai sesuatu (Kejadian 1:26)

Salah satu konsekuensi manusia diciptakan menurut gambar Allah yang kita lihat dalam kitab Kejadian adalah manusia itu “berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan seluruh bumi, serta atas segala binatang yang melata di bumi.”(Kej. 1:26). Ian Hart, seorang penulis, menjelaskan ini. “Menyatakan kuasa Kerajaan atas bumi sebagai perwakilan Allah adalah tujuan dasar Allah menciptakan manusia … Manusia adalah raja yang ditunjuk untuk memerintah ciptaan dan bertanggung jawab kepada Allah, Raja atas segala raja. Sebab itu, manusia diharapkan dapat mengelola, mengembangkan, dan memelihara semesta ciptaan Allah, tugas ini meliputi pekerjaan yang dilakukan secara fisik.[1] Pekerjaan kita dalam gambar Allah dimulai dengan setia menjadi perwakilan Allah di dunia.

Kita menguasai dunia ciptaan Allah dengan menyadari bahwa kita mencerminkan Allah. Kita bukan Allah, melainkan gambar-Nya; kita wajib memakai standarnya Allah, bukan standar kita sendiri. Pekerjaan kita dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan Allah, bukan tujuan kita sendiri, Ini mencegah kita bertindak semena-mena terhadap semua yang telah diletakkan Allah di bawah kendali kita.

Pikirkan tentang implikasi hal ini di tempat kerja kita. Bagaimana Allah akan melakukan pekerjaan kita? Nilai-nilai apa yang akan dibawa Allah dalam pekerjaan ini? Produk apa yang akan dibuat Allah? Orang-orang seperti apa yang akan dilayani-Nya? Organisasi apa yang akan dibangun Allah? Standar-standar apa yang akan dipakai Allah? Sebagai pembawa gambar Allah, bagaimana pekerjaan kita seharusnya menyatakan Allah yang kita wakili? Saat kita menyelesaikan sebuah pekerjaan, apakah hasilnya membuat kita bisa mengatakan,”Terima kasih Tuhan sudah memakai saya untuk mewujudkan semua ini.”?

Allah memperlengkapi manusia untuk menguasai sesuatu (Kejadian 2:5)

Siklus kedua kembali dimulai dengan sesuatu yang butuh dikuasai, meski tidak secara langsung. “…belum ada semak apa pun dibumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebah TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada manusia untuk mengerjakan tanah.” (Kej. 2:5; penekanan ditandai cetak miring). Frasa kunci di sini adalah “Belum ada manusia untuk mengerjakan tanah.” Allah memilih untuk tidak mengakhiri penciptaan semesta sampai Dia menciptakan manusia untuk bekerja bersama (atau di bawah) Dia. Penulis Meredith Kline menggambarkannya demikian: “Pekerjaan Allah menciptakan dunia ini sama seperti seorang raja membuat sebuah peternakan, taman, atau kebun; manusia ditempatkan Allah di dalamnya untuk mengerjakan tanah itu, untuk melayani dan memelihara propertinya tersebut.[1]

Pekerjaan menguasai sesuatu dimulai dengan mengerjakan tanah. Di sini kita melihat bahwa kata “menguasai”[2] dan “berkuasa atas” di pasal pertama, tidak memberi kita izin untuk meyalahgunakan semesta ciptaan-Nya. Sebaliknya. Kita harus bertindak penuh kasih, sama seperti Allah mengasihi ciptaan-Nya. Berkuasa atas bumi termasuk mengembangkan dan melindunginya. Menguasai semua makhluk hidup bukan sebuah lisensi untuk menyalahgunakan, tetapi sebuah kontrak dari Allah untuk memeliharanya. Kita harus memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang bersentuhan hidup dengan kita, para atasan kita, para pelanggan kita, sesama rekan kerja, juga mereka yang bekerja untuk kita, atau mereka yang sesekali kita temui. Ini tidak berarti kita mengizinkan orang memanfaatkan kita, tetapi berarti kita tidak membiarkan kepentingan pribadi, harga diri kita, atau kesombongan pribadi membuat kita memanfaatkan/menginjak-injak sesama manusia. Kisah yang selanjutnya dibukakan kitab Kejadian berbicara secara khusus terkait godaan ini dan konsekuensinya.


Hari ini kita secara khusus menyadari bagaimana pengejaran kepentingan pribadi manusia mengancam alam sekitarnya. Kita diharapkan untuk mengurus dan memelihara taman (Kej.2:15). Semesta diciptakan untuk kita gunakan, tetapi tidak hanya untuk kita. Ingat bahwa udara, air, tanah, flora dan fauna, semuanya diciptakan dengan baik (Kej. 1:4-31). Kita diingatkan untuk mempertahankan dan memelihara lingkungan tersebut. Pekerjaan kita dapat memelihara atau merusak kualitas udara, air, tanah, keragaman hayati, ekosistem, bioma, dan bahkan iklim yang diatur Allah untuk kebaikan semesta ciptaan-Nya. Kekuasaan bukanlah otoritas untuk merusak semesta ciptaan Allah, melainkan kemampuan bekerja untuk kebaikan semesta ciptaan Allah.

Relasi dan Pekerjaan (Kejadian 1:27; 2:18, 21-25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja menurut gambar Allah berarti bekerja dalam relasi dengan sesama (Kejadian 1:27)

Kitab Kejadian menunjukkan bahwa sebagai konsekuensi diciptakan menurut gambar Allah, pekerjaan kita tidak bisa dipisahkan dari relasi kita dengan Allah dan dengan sesama manusia. Allah adalah pribadi yang relasional (Kej. 1:26). Karenanya, sebagai gambar Allah, sifat tersebut juga melekat dalam diri kita. Bagian kedua dari Kejadian 1:27 menegaskan kembali hal yang sama: manusia diciptakan tidak sendirian, “Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Kita ada dalam relasi dengan Sang Pencipta dan dengan sesama ciptaan. Kitab Kejadian menggambarkan hubungan-hubungan ini bukan sebagai konsep yang abstrak semata. Allah dicatat berbicara dan bekerja bersama Adam dalam memberi nama satwa (Kej. 2:19). Allah juga mengunjungi Adam dan Hawa “dalam taman itu pada waktu hari sejuk.” (Kej. 3:8).

Bagaimana realitas ini mempengaruhi kita di tempat kerja? Di atas semuanya, kita dipanggil untuk mengasihi rekan kerja kita, orang-orang di lingkungan kerja kita, serta atasan kita. Allah yang berelasi adalah Allah yang penuh kasih (1 Yoh. 4:7). Mudah saja orang berkata,“Allah mengasihi (-mu)”, tetapi Alkitab lebih dalam menyatakan bahwa “Allah adalah Kasih”. Ada kasih yang mengalir di antara Bapa, Anak (Yoh 17:24), dan Roh Kudus. Kasih yang sama mengalir keluar dari pribadi Allah kepada kita, melakukan hanya yang terbaik untuk kita (inilah kasih agape, kontras dengan kasih manusia yang bisa berubah mengikuti emosi).

Francis Schaeffer mengembangkan pemikiran ini lebih jauh: karena kita diciptakan menurut gambar Allah, dan Allah itu pribadi, kita dapat memiliki hubungan pribadi dengan Allah. Manusia juga bisa mengasihi ciptaan lainnya secara pribadi, berbeda dengan mesin yang tidak bisa demikian. Sebab itulah, kita bertanggung jawab untuk memperhatikan dan memelihara ciptaan lainnya yang Tuhan tempatkan di sekitar kita. Sebagai makhluk yang relasional, manusia memiliki tanggung jawab moral. [1]

Allah Memperlengkapi Manusia untuk Bekerja dalam Relasi dengan Sesama (Kejadian 2:18, 21-25)

Karena kita diciptakan seturut gambar Allah yang relasional, kita pada dasarnya merupakan makhluk yang relasional juga. Kita diciptakan untuk memiliki relasi dengan Allah sendiri dan dengan orang lain. Allah berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan baginya penolong yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18). Sebelumnya, Allah menyebut semua yang Dia kerjakan itu “baik” atau “sangat baik”. Inilah kali pertama Allah menyatakan sesuatu itu “tidak baik”. Allah lalu menciptakan seorang perempuan dari daging dan tulang Adam sendiri. Saat bertemu dengan Hawa, Adam dipenuhi dengan sukacita. “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). (Setelah peristiwa ini, semua manusia yang baru akan keluar dari “daging” atau tubuh manusia lainnya. Bedanya, sekarang manusia keluar dari tubuh perempuan, bukan laki-laki.) Adam dan Hawa memulai sebuah hubungan yang begitu dekat sehingga “keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24). Meski terdengar seperti sebuah adegan seksual atau urusan rumah tangga, relasi suami-istri pun adalah sebuah relasi pekerjaan. Hawa diciptakan sebagai “penolong” dan “partner” yang akan bekerja sama dengan Adam di Taman Eden. Kata penolong mengindikasikan bahwa, seperti Adam, Hawa juga akan ikut memelihara taman itu. Menjadi seorang penolong berarti bekerja. Seseorang yang tidak bekerja tidak sedang menolong. Menjadi seorang partner berarti memiliki hubungan kerja dengan orang lain.

Saat Allah menyebut Hawa sebagai seorang “penolong,” Dia tidak mengatakan bahwa Hawa akan menjadi bawahan Adam atau bahwa pekerjaannya akan lebih kurang penting, kurang kreatif, kurang sesuatu dibanding Adam. Kata yang diterjemahkan sebagai “penolong” di sini (ezer dalam Bahasa Ibrani) adalah sebuah kata yang dipakai untuk menyebut pribadi Allah dalam bagian lain Perjanjian Lama. “Allah adalah penolongku [ezer]” (Mzm. 54:6). “TUHAN, jadilah penolongku [ezer]!” (Mzm. 30:11). Jelas bahwa seorang ezer bukan seorang yang lebih rendah. Apalagi, Kejadian 2:18 menggambarkan Hawa tidak hanya sebagai seorang “penolong” tetapi seorang “penolong yang sepadan” alias “partner”. Kata bahasa Inggris yang paling sering dipakai sekarang untuk orang dengan peran “penolong” sekaligus “partner” adalah co-worker, yang berarti rekan sekerja. Makna yang sama sudah ada dalam Kejadian 1:27, “laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka,” keduanya setara, tidak ada yang lebih penting atau dominan. Dominasi perempuan oleh kaum lelaki—atau sebaliknya—tidak selaras dengan rancangan Allah untuk ciptaan-Nya, tetapi merupakan konsekuensi tragis dari kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 3:16).

Relasi adalah sesuatu yang esensial, bukan insidental dalam pekerjaan. Relasi yang dalam dan bermakna dapat terjadi dalam pekerjaan, ketika situasi pekerjaan itu cukup ideal. Yesus menggambarkan relasi kita dengan-Nya sebagai sebuah “pekerjaan”, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat kelegaan” (Mat. 11:29). Kuk atau beban adalah sesuatu yang membuat dua ekor kerbau bekerja bersama-sama. Di dalam Kristus, manusia dapat benar-benar bekerja sama sebagaimana yang Tuhan kehendaki saat Dia menciptakan Hawa dan Adam sebagai rekan sekerja. Ketika pikiran dan tubuh kita bekerja selaras dengan sesama dan dengan Allah, jiwa kita pun “mendapat kelegaan”. Saat kita tidak bekerja dengan sesama untuk mencapai tujuan yang sama, jiwa kita menjadi gelisah. Untuk mempelajari tema kuk ini lebih lanjut, lihat pembahasan 2 Korintus 6:14-18 dalam Tafsiran Teologi Kerja.

Salah satu aspek krusial dalam relasi yang dicontohkan oleh Allah sendiri adalah delegasi otoritas. Allah mendelegasikan tugas menamai hewan kepada Adam, dan Adam benar-benar diberi otoritas untuk melakukan tugas itu, “Sama seperti nama yang diberikan manusia itu kepada setiap makhluk hidup, begitulah namanya.” (Kej. 2:19). Delegasi, dalam konteks apa pun, berarti memberikan sebagian dari kuasa dan kewenangan kita, serta mengambil risiko untuk dipengaruhi oleh pekerjaan orang lain. Selama lima puluh tahun terakhir, bidang kepemimpinan dan manajemen paling banyak berkembang dalam hal mendelegasikan otoritas, memperlengkapi pekerja, dan mendorong kerjasama tim. Fondasi dari semua hal ini sebenarnya sudah ada dalam kitab Kejadian, meski orang Kristen jarang memperhatikannya.

Banyak relasi yang erat dan dalam terbangun saat orang bekerja bersama untuk mencapai satu tujuan, entah pekerjaan itu dibayar atau tidak. Hubungan-hubungan yang terjalin dalam pekerjaan memungkinkan terciptanya banyak sekali produk dan layanan yang tidak akan bisa dihasilkan oleh satu individu saja. Tanpa relasi yang intim antara seorang laki-laki dan perempuan, tidak akan ada generasi penerus yang dilahirkan untuk melakukan pekerjaan yang Allah berikan. Pekerjaan kita dan komunitas kita adalah dua karunia Allah yang saling berkaitan erat. Melalui keduanya, kita dapat mewujudkan amanat Allah untuk “beranakcucu dan bertambah banyak” dalam arti yang sesungguhnya.

Produktivitas/Pertumbuhan (Kejadian 1:28; 2:15, 19-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja menurut gambar Allah dalam Kejadian 1:28 berarti membuahkan hasil dan membuat hasil itu bertambah banyak (Kejadian 1:28)

Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, kita diminta untuk berkreasi, ikut menciptakan atau menghasilkan sesuatu. Ini sering disebut sebagai “mandat penciptaan” atau “mandat budaya”. Allah menciptakan dunia yang sempurna, sebuah platform yang ideal, dan kemudian menciptakan manusia untuk meneruskan proyek penciptaan itu. “Allah memberkati mereka dan berkata kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah … bumi.” (Kej.1:28a). Allah bisa saja menciptakan segala sesuatu untuk memenuhi bumi tanpa melibatkan siapa pun. Namun, Dia memilih menciptakan manusia untuk bekerja bersama-Nya dalam mengeluarkankan potensi alam semesta. Manusia diajak untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Allah sendiri. Sungguh menakjubkan bahwa Allah mempercayai kita untuk mengerjakan tugas luar biasa dalam membangun bumi baik yang telah Dia berikan. Melalui pekerjaan kita, Allah memproduksi makanan dan minuman, produk dan layanan, pengetahuan dan keindahan, organisasi dan komunitas, pertumbuhan dan kesehatan, pujian dan kemuliaan bagi-Nya.

Satu kata tentang keindahan adalah dalam keteraturan. Pekerjaan Allah tidak hanya produktif, tetapi juga “menarik untuk dipandang” (Kej. 3:6). Ini tidak mengherankan, karena manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, pada dasarnya indah dan menyukai keindahan. Sama seperti semua hal baik lainnya, keindahan dapat menjadi berhala, tetapi banyak orang Kristen seringkali terlalu khawatir tentang bahaya keindahan sehingga lupa bahwa keindahan itu penting di mata Allah. Membuat sesuatu yang indah bukanlah sebuah pemborosan atau pekerjaan yang kurang penting, apalagi sia-sia. Keindahan dihasilkan oleh pekerjaan menurut gambar Allah, dan Kerajaan Allah dipenuhi dengan keindahan “sama seperti permata yang paling indah” (Why. 21:11). Banyak komunitas Kristen telah menggubah musik yang indah untuk menceritakan tentang Yesus. Mungkin kita bisa menghargai keindahan sejati dalam berbagai bidang kehidupan dengan cara-cara yang lebih baik lagi.

Satu pertanyaan yang baik untuk kita tanyakan kepada diri sendiri adalah: Apakah kita sedang bekerja dengan lebih produktif dan lebih indah? Sejarah dipenuhi dengan contoh orang-orang yang iman Kristennya membuahkan pencapaian-pencapaian yang mengagumkan. Jika pekerjaan kita saat ini terasa kurang berbuah dibandingkan pekerjaan mereka, kita tidak perlu menghakimi diri sendiri, tetapi terus berharap, berdoa, dan bertumbuh bersama dengan sesama umat Allah. Apa pun penghalang yang tengah kita hadapi—dari dalam atau luar diri kita—dengan pertolongan kuasa Allah, kita dapat melakukan pekerjaan baik jauh lebih banyak daripada yang bisa kita bayangkan.

Allah memperlengkapi manusia untuk membuahkan dan memperbanyak hasil (Kejadian 2:15, 19-20)

"TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15). Kata “mengerjakan” (avad dalam bahasa Ibrani) dan “memelihara” (shamar dalam bahasa Ibrani) juga dipakai untuk menggambarkan ibadah kepada Allah dan kehidupan yang menaati perintah-Nya.[1] Pekerjaan yang dilakukan selaras dengan tujuan Allah sudah pasti ditujukan untuk maksud yang indah dan mulia.

Adam dan Hawa diberikan dua pekerjaan khusus dalam Kejadian 2:15-20, yaitu mengelola taman (pekerjaan fisik) dan memberi nama satwa (pekerjaan intelektual). Dua proyek kreatif yang harus dikerjakan melalui aktivitas yang spesifik, oleh manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Menumbuhkan berbagai hal dan mengembangkan peradaban adalah pekerjaan yang produktif. Kita menciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan masyarakat dan meningkatkan hasil bumi. Kita membangun sarana-prasarana untuk memenuhi bumi, dengan tidak melampaui kapasitasnya. Tentunya pekerjaan yang sesuai untuk manusia tidak terbatas hanya mengelola taman dan menamai satwa. Tugas kita sebagai manusia adalah meneruskan pekerjaan kreatif Allah dalam berbagai cara yang hanya dibatasi oleh imajinasi dan ketrampilan yang dikaruniakan-Nya, serta batas-batas yang digariskan Allah. Sampai kapan pun, pekerjaan selalu berakar dalam rancangan Allah untuk kehidupan manusia. Pekerjaan merupakan jalan untuk kita bisa berkontribusi bagi kepentingan banyak orang dan sarana untuk menyediakan kebutuhan kita, keluarga kita, serta orang-orang yang dapat kita berkati dengan kemurahan hati kita.

Salah satu aspek penting (tetapi kadang terabaikan) dari pekerjaan Allah dalam ciptaan-Nya adalah imajinasi yang dapat menciptakan begitu banyak hal, mulai dari kehidupan bawah laut yang eksotis, hingga aneka satwa unik seperti gajah dan badak. Sementara para ahli teologi telah mendaftarkan berbagai sifat Allah yang dikaruniakan kepada kita sebagai ciptaan yang segambar dengan-Nya, salah satu karunia Allah yang bisa kita lihat dengan jelas di sekitar kita, baik di tempat kerja maupun di rumah, adalah imajinasi.

Banyak pekerjaan yang kita lakukan membutuhkan imajinasi. Produksi baut-baut sebuah truk dimulai dengan imajinasi bagaimana truk itu nanti meluncur di jalan raya. Kita membuka dokumen di laptop dan membayangkan cerita yang hendak kita tulis. Mozart membayangkan sebuah sonata dan Beethoven membayangkan sebuah simfoni. Picasso membayangkan situasi kota Guernica sebelum mengambil kuas dan membuat lukisan yang mengagumkan banyak orang. Tesla dan Edison membayangkan bagaimana memanfaatkan listrik, dan kini kita memiliki penerangan di saat gelap serta berbagai jenis peralatan rumah tangga, gadget, dan mesin. Segala sesuatu yang ada di sekitar kita awalnya merupakan imajinasi seseorang di suatu tempat. Kebanyakan pekerjaan yang tersedia saat ini ada karena seseorang membayangkan sebuah produk atau proses yang kemudian menciptakan lapangan kerja,

Namun, imajinasi tidak terwujud begitu saja. Setelah berimajinasi, kita perlu bekerja untuk mewujudnyatakan imajinasi tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, proses berimajinasi dan mewujudnyatakan imajinasi itu saling berkaitan erat. Picasso mengomentari lukisannya Guernica, “Sebuah lukisan tidak selesai saat ide dituangkan di atas kanvas, Dalam proses pembuatannya, lukisan itu bisa berubah saat pemikiran pelukisnya berubah. Saat lukisan itu selesai dibuat, lukisan itu masih bisa terus berubah sesuai pemikiran orang-orang yang melihatnya.”[2] Mewujudnyatakan imajinasi adalah pekerjaan yang jelas membutuhkan kreativitas.

Pemeliharaan (Kejadian 1:29-30; 2:8-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja sebagai gambar Allah berarti menerima pemeliharaan Allah (Kejadian 1:29-30)

Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, Dia menyediakan kebutuhan-kebutuhan kita. Ini salah satu hal yang menunjukkan bahwa manusia yang diciptakan menurut gambar Allah itu bukanlah Allah. Allah tidak memiliki kebutuhan. Seandainya pun Dia membutuhkan sesuatu, Dia berkuasa memenuhi semua kebutuhan itu. Kita tidak memiliki kuasa yang sama. Sebab itu,

Berfirmanlah Allah, “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuhan yang menghasilkan biji di seluruh muka bumi dan segala pohon yang buahnya berbiji. Semua itu menjadi makananmu. Namun, kepada segala binatang liar, segala burung di udara, dan segala binatang yang melata di bumi, segala binatang yang bernyawa itu, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” (Kej. 1:29-30)

Di satu sisi, mengakui pemeliharaan Allah mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam kesombongan. Tanpa Allah, pekerjaan kita sia-sia. Kita tidak bisa menciptakan kehidupan. Kita bahkan tidak bisa menjamin kelangsungan hidup kita sendiri. Kita membutuhkan Allah untuk selalu menyediakan udara, air, tanah, sinar matahari, dan segala tumbuhan untuk makanan kita. Di sisi lain, mengakui pemeliharaan Allah membuat kita bisa bekerja dengan tenang dan percaya diri. Kita tidak perlu bergantung pada kemampuan kita sendiri atau situasi yang serba tidak pasti untuk memenuhi kebutuhan kita. Allah berkuasa untuk membuat pekerjaan kita membuahkan hasil.

Allah memperlengkapi manusia dengan pemeliharaan kebutuhan mereka (Kejadian 2:8-14)

Siklus kedua dari catatan penciptaan menunjukkan cara Allah menyediakan kebutuhan kita. Dia menyiapkan tanah untuk bisa membuahkan hasil saat manusia menggarapnya. “TUHAN Allah membuat taman di Eden, di timur. Di sanalah Ia menempatkan manusia yang dibentuk-Nya.” (Kej. 2:8).

Meski manusia yang menggarap tanah, yang pertama kali menanam adalah Allah sendiri. Selain memberikan tumbuhan untuk dimakan, Allah juga menciptakan dunia dengan berbagai sumber daya yang dibutuhkan manusia untuk bisa membuahkan dan memperbanyak hasil. Allah memberikan sungai-sungai yang menyediakan air, bijih (pasir, tanah, atau batuan dengan kandungan mineral) yang bisa diolah menjadi barang bernilai ekonomi (Kej. 2:10-14). “Sungai ini mengelilingi seluruh tanah Hawila di mana ada emas. Emas dari negeri itu bagus.” (Kej. 2:11-12). Bahkan ketika kita mensintesa elemen dan molekul baru, saat kita merekayasa DNA organisme atau menciptakan sel buatan, kita bekerja dengan materi dan energi yang Tuhan ciptakan untuk kita.

Allah Menetapkan Batasan-Batasan (Kejadian 2:3; 2:17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja menurut gambar Allah berarti diberkati dengan batasan-batasan yang Allah tetapkan (Kejadian 2:3)

Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, kita harus menaati batasan dalam pekerjaan kita. "Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang dibuat-Nya. (Kej. 2:3). Apakah Allah beristirahat karena Dia kelelahan, atau Dia sedang memberikan kita model siklus kerja dan istirahat sebagai gambar-Nya? Hukum keempat dari Sepuluh Hukum memberitahu kita bahwa Allah mengambil waktu istirahat sebagai contoh untuk kita ikuti.

Ingat dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu. Namun, hari ketujuh adalah hari Sabat bagi TUHAN, Allahmu. Jangan melakukan pekerjaan apa pun, engkau, anakmu laki-laki atau perempuan, hambamu laki-laki atau perempuan, hewanmu, ataupun pendatang di dalam kotamu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut, dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh. Itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya. (Kel. 20:8-11)

Sementara umat beragama dari abad ke abad cenderung menumpuk peraturan demi peraturan untuk mendefinisikan apa artinya menguduskan hari Sabat, Yesus dengan jelas menegaskan bahwa Allah mengadakan hari Sabat untuk kebaikan kita manusia (Mrk 2:27). Apa yang dapat kita pelajari dari ini?

Saat kita mengikuti contoh yang Allah berikan, berhenti dari pekerjaan kita pada hari ketujuh, hari apa pun itu, kita mengakui bahwa kehidupan kita tidak didefinisikan hanya oleh pekerjaan atau produktivitas kita. Walter Brueggemann, seorang teolog, mengalimatkannya demikian, “Hari Sabat memperlihatkan kesaksian yang jelas bahwa Allah adalah pusat kehidupan—bahwa apa yang dihasilkan dan dikonsumsi manusia itu ada di dalam sebuah dunia yang teratur, diberkati, dan diberi batasan oleh Allah, Pencipta segalanya."[1] Kita tidak berupaya mengatur segala sesuatu dalam hidup kita, tetapi mernyatakan kebergantungan kita kepada Allah, Pencipta kita. Jika tidak, kita hidup dengan ilusi bahwa kehidupan itu sepenuhnya berada di bawah kendali manusia. Mempraktikkan Sabat atau hari perhentian sebagai bagian yang teratur dalam kehidupan pekerjaan kita menyatakan bahwa Allah utamanya adalah pusat kehidupan kita. (Pembahasan lebih jauh tentang Sabat, istirahat dan kerja dapat ditemukan dalam buku ini di bagian "Mrk 1:21-45," "Mrk 2:23-3:6," "Luk 6:1-11," dan "Luk 13:10-17".)

Allah Memperlengkapi Umat-Nya untuk Bekerja di dalam Batasan-Batasan (Genesis 2:17)

Setelah memberkati manusia dengan memberikan teladan-Nya sendiri untuk memperhatikan ritme bekerja dan beristirahat, Allah memperlengkapi Adam dan Hawa dengan instruksi spesifik tentang batasan pekerjaan mereka. Di tengah taman Eden, Allah menanam dua pohon, pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan jahat (Kej. 2:9). Ada larangan terkait pohon yang kedua. Allah berfirman kepada Adam, "Buah dari semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan dengan bebas, tetapi buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, jangan kaumakan, sebab pada saat engkau memakannya, engkau pasti mati.” (Kej. 2:16-17).

Para ahli teologi telah berspekulasi panjang lebar tentang mengapa Allah meletakkan sebuah pohon di Taman Eden yang tidak boleh dimanfaatkan oleh penghuni taman itu. Ada berbagai hipotesis yang bisa ditemukan dalam buku-buku tafsiran, dan kita tidak perlu menentukan jawabannya di sini. Untuk tujuan kita, cukuplah kita mengamati bahwa tidak semua yang bisa dilakukan harus dilakukan. Imajinasi dan keterampilan manusia dapat mengelola sumber daya ciptaan Allah dengan cara yang berlawanan dengan kehendak, tujuan, dan perintah Allah. Jika kita ingin bekerja bersama Allah, bukan melawan Allah, kita harus memilih untuk memperhatikan batasan-batasan yang ditetapkan Allah, bukan melakukan semua yang bisa kita lakukan.

Francis Schaeffer menunjukkan bahwa Allah tidak memberikan Adam dan Hawa sebuah pilihan antara pohon yang baik dan pohon yang jahat, tetapi sebuah pilihan untuk mengetahui yang jahat (pengetahuan tentang yang baik sudah jelas mereka miliki). Dalam membuat pohon itu, Allah membuka peluang untuk kejahatan, tetapi itu juga berarti Allah benar-benar memberikan pilihan. Semua hubungan kasih diikat dalam sebuah pilihan, tanpa ruang untuk bisa memilih, kasih menjadi tidak ada artinya.[2] Apakah Adam dan Hawa cukup mengasihi dan mempercayai Allah untuk dapat mengasihi perintah-Nya tentang pohon itu? Allah mengharapkan bahwa orang-orang yang memiliki relasi dengan-Nya memiliki kemampuan untuk menghormati batasan-batasan yang membawa kebaikan dalam dunia ciptaan-Nya.

Dalam dunia kerja sekarang, sebagian batasan terus memberkati kita jika kita memperhatikannya. Kreativitas manusia, misalnya, kebanyakan muncul dari keterbatasan, bukan kesempatan. Para arsitek menemukan inspirasi dari keterbatasan waktu, uang, ruang, materi, dan tujuan yang dikehendaki kliennya. Para pelukis menemukan ekspresi kreatif mereka dengan menerima keterbatasan media yang mereka pilih untuk bekerja, dimulai dari keterbatasan menggambarkan ruang tiga dimensi di atas kanvas dua dimensi. Para penulis mengeluarkan karya-karya hebat ketika mereka harus berhadapan dengan batasan halaman dan jumlah kata yang diperbolehkan.

Semua pekerjaan baik menghormati batasan-batasan Allah. Kapasitas bumi memiliki batas untuk bisa digali sumber dayanya, untuk bisa mengatasi polusi, untuk bisa dirombak demi membangun perumahan. Penggunaan tanaman dan satwa di bumi untuk pangan, sandang, dan tujuan lainnya juga ada batasnya. Tubuh manusia memiliki kekuatan, ketahanan, dan kapasitas bekerja yang besar, tetapi ada batasnya. Mengonsumsi makanan sehat dan berolahraga pun ada batasnya. Ada batasan yang membuat kita bisa membedakan mana yang indah dan mana yang vulgar, mana sikap yang kritis dan mana yang menyalahgunakan, mana keuntungan yang wajar dan mana ketamakan, mana persahabatan dan mana hubungan yang mengeksploitasi, mana pelayanan dan mana perbudakan, mana kebebasan dan mana sikap tidak bertanggung jawab, mana otoritas dan mana otoriter. Dalam praktiknya, batas-batas ini tidak selalu mudah dikenali, dan harus diakui umat Kristen kerap bersikap tidak tepat dengan berkompromi, mendewakan aturan manusia, berprasangka, atau bersikap dingin dan kaku, untuk menyatakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain. Meski begitu, seni hidup menurut gambar Allah mengharuskan kita untuk belajar mengenali di mana berkat bisa ditemukan, dengan memperhatikan batasan-batasan yang ditetapkan Allah dan nyata terlihat dalam dunia ciptaan-Nya.

Pekerjaan dari “Mandat Budaya” (Kejadian 1:28, 2:15)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita telah membahas bagaimana Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya (Kej. 1:1-2:3) dan memperlengkapi manusia untuk hidup sesuai dengan gambar-Nya itu (Kej. 2:4-25). Kita telah melihat bagaimana manusia diciptakan Allah untuk menguasai ciptaan lainnya, untuk membuahkan dan memperbanyak hasil, untuk menerima pemeliharaan Allah, untuk bekerja dalam relasi dengan ciptaan lainnya, dan untuk menghormati batasan-batasan yang ditentukan Allah. Kita sering mendengar istilah “mandat ciptaan” atau “mandat budaya”, dikaitkan terutama dengan dua ayat berikut, Kejadian 1:28 dan 2:15,

Allah memberkati mereka dan berfirman kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah dan taklukkanlah bumi. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan atas segala binatang melata di bumi!” (Kej. 1:28)
TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu. (Kej. 2:15)

Istilah mana yang hendak dipakai tidak jadi masalah, tetapi gagasan tentang mandat ini jelas ada dalam Kejadian pasal 1 dan 2. Sejak awal, Allah menghendaki manusia menjadi partner junior-Nya untuk menggenapi apa yang sedang Dia kerjakan di dunia ini. Manusia tidak diciptakan untuk berpuas diri dengan apa yang ada, untuk menerima pemenuhan kebutuhan tanpa bekerja, untuk menganggur lama, untuk bekerja keras dalam sistem yang kaku dan tidak kreatif, atau bekerja sendirian terisolasi dari orang lain. Kita diciptakan untuk menjadi rekan kerja Sang Pencipta, bekerja sama dengan orang lain dan dengan Allah, bergantung pada pemeliharaan Allah untuk membuat pekerjaan kita berhasil, serta menghormati batasan-batasan yang Allah berikan dalam firman-Nya dan tunjukkan dalam ciptaan-Nya.

Manusia Jatuh dalam Dosa saat Bekerja (Kejadian 3:1-24)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sampai titik ini, kita telah membahas pekerjaan dalam bentuk idealnya, di bawah kondisi yang sempurna di Taman Eden. Namun kemudian kita sampai pada Kejadian 3:1-6.

Ular adalah yang paling cerdik di antara segala binatang liar yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada Perempuan itu, “Tentulah Allah berfirman: Jangan kamu makan buah dari semua pohon di taman ini, bukan?” Sahut Perempuan itu kepada ular, “Buah dari pohon-pohon di taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah dari pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun sentuh, nanti kamu mati!” Namun, ular berkata kepada Perempuan itu, “Sekali-kali kamu tidak akan mati. Sebaliknya, Allah mengetahui bahwa pada saat kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan menarik untuk dipandang. Lagi pula, pohon itu diminati karena memberi pengertian. Lalu ia memetik buahnya dan memakannya. Ia memberikannya juga kepada suaminya yang bersamanya, dan suaminya pun memakannya.

Ular melambangkan anti-Allah, musuhnya Allah. Ahli teologi, Bruce Waltke mencatat bahwa musuh Allah itu licik dan lebih bijak daripada manusia. Dengan cerdik ia membelokkan perintah Allah dan mengarahkan Adam dan Hawa kepada kelemahan mereka. Ia mengecoh Hawa dengan diskusi teologis yang tampaknya tulus, tetapi sebenarnya menggiring Hawa untuk berfokus pada larangan Allah semata dan abai dengan begitu banyak pohon buah-buahan lainnya yang disediakan Allah untuk mereka di taman itu. Pada intinya, ia mau firman Allah terdengar kejam dan penuh larangan.

Rencana si ular berhasil. Pertama-tama Hawa, lalu Adam, makan buah dari pohon terlarang itu. Mereka melanggar batasan yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Mereka sudah diciptakan sesuai dengan gambar Allah (Kej. 3:5), tetapi masih melakukan upaya sia-sia untuk menjadi “seperti Allah” dengan cara-cara yang melampaui kodrat mereka. Pengetahuan tentang yang baik sudah mereka miliki dengan mengalami kebaikan dunia ciptaan Allah, tetapi mereka memilih untuk mendapatkan “pengertian” dalam jalan-jalan kejahatan (Kej. 3:4-6). Keputusan Hawa dan Adam untuk makan buah itu adalah pilihan yang mewakili apa yang menurut mereka menyelesaikan masalah, indah, dan menarik hati dibanding firman Allah. “Baik” tidak lagi berakar dalam perkataan Allah yang membawa kehidupan, tetapi dalam pemikiran yang menurut manusia dapat meningkatkan kehidupan. Singkatnya, mereka mengubah apa yang baik menjadi jahat.[1]

Dengan memilih untuk tidak menaati Allah, mereka merusak hubungan yang mendasar dalam keberadaan diri mereka. Pertama, hubungan di antara laki-laki dan perempuan,—"tulang dari tulangku dan daging dari dagingku,” yang sebelumnya begitu erat (Kej. 2:23)—kini terpisah ketika mereka saling menutup diri dengan cawat daun pohon ara (Kej. 3:7). Selanjutnya adalah hubungan mereka dengan Allah, karena bukannya bercakap-cakap dengan-Nya di taman pada waktu hari sejuk, mereka malah menyembunyikan diri dari hadapan Allah di antara pepohonan (Kej. 3:8). Adam memperparah kerusakan hubungan itu dengan menyalahkan Hawa atas keputusannya memakan buah itu dan pada saat yang sama ia menyalahkan Allah, “Perempuan yang Kauberikan di sisiku, dialah yang memberi buah dari pohon itu kepadaku, dan aku makan.” (Kej. 3:12). Hawa juga merusak hubungan manusia dengan ciptaan lainnya ketika ia menyalahkan ular atas keputusan yang ia ambil sendiri (Kej. 3:13).

Keputusan Adam dan Hawa hari itu mendatangkan akibat mengerikan yang dampaknya ada hingga ke dunia kerja modern. Allah menghukum mereka atas dosa mereka dan menyatakan kesulitan yang harus mereka tanggung sebagai konsekuensi dosa. Ular dikutuk untuk berjalan dengan perutnya seumur hidup (Kej. 3:14). Perempuan akan mengalami susah payah saat melahirkan anak serta konflik batin dalam hasratnya kepada laki-laki (Kej. 3:16). Sang laki-laki harus bersusah payah mencari makan dari tanah seumur hidup, dan tanah akan menghasilkan “semak duri dan rumput duri” baginya, bukan tanaman yang bisa ia makan. (Kej. 3:17-18). Kita melihat bahwa di atas semuanya, manusia akan tetap melakukan pekerjaan yang dipersiapkan bagi mereka, dan Allah masih memelihara kebutuhan mereka (Kej. 3:17-19). Namun, pekerjaan akan menjadi makin sulit, tidak menyenangkan, mudah gagal dan mendapatkan hasil yang tidak diharapkan.

Penting untuk mencatat bahwa pekerjaan tidak diciptakan sebagai suatu kesusahan pada awalnya. Sebagian orang berpikir bahwa pekerjaan baru dimulai saat manusia dikutuk Allah, tetapi Adam dan Hawa telah bekerja di taman sebelum mereka jatuh dalam dosa. Pekerjaan bukan akibat sebuah kutukan, tetapi kutukan itu mempengaruhi pekerjaan. Bahkan, pekerjaan menjadi makin penting sebagai akibat kejatuhan manusia dalam dosa, bukan sebaliknya, karena kini dibutuhkan kerja yang lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Lebih jauh lagi, materi yang dipakai Allah membentuk Adam dan Hawa dalam kebebasan dan kesenangan-Nya, kini menjadi sumber yang mengendalikan mereka. Adam, dibentuk dari debu tanah, kini akan bersusah payah mencari makan dari tanah sampai tubuhnya kembali menjadi debu tanah di hari kematiannya (Kej. 3:19); Hawa, diciptakan dari tulang rusuk Adam, kini berada di bawah dominasinya, bukan direngkuh di sisinya (Kej. 3:16). Dominasi dari satu orang atas orang lainnya dalam pernikahan dan pekerjaan bukanlah bagian dari rencana Allah yang semula, tetapi orang berdosa menjadikan dominasi itu sebagai satu cara yang baru dalam berhubungan satu dengan yang lain ketika mereka merusak hubungan yang sudah diberikan Allah (Kej. 3:12-13).

Dua wujud kejahatan menghadang kita setiap hari. Yang pertama adalah kejahatan yang natural, kondisi fisik di bumi yang tidak bersahabat dengan kehidupan yang Allah kehendaki bagi kita. Banjir dan kekeringan, gempa bumi, tsunami, suhu yang ekstrem panas atau ekstrem dingin, sakit-penyakit, serangan hama tanaman, dan banyak lagi penyebab kerusakan yang tadinya tidak ada di taman.Yang kedua adalah kejahatan moral, ketika orang bertindak dengan kehendak hati yang memusuhi rencana Allah. Dengan bertindak dalam jalan kejahatan, kita merusak dunia ciptaan dan membuat jarak dengan Allah. Kita juga menodai hubungan kita dengan orang lain.

Kita tinggal di dalam sebuah dunia yang sudah jatuh dalam dosa, sudah rusak, dan kita tidak bisa mengharapkan hidup yang tanpa susah payah. Kita diciptakan untuk bekerja, tetapi dalam dunia yang berdosa, pekerjaan kita telah dinodai oleh semua yang dirusak hari itu di Taman Eden. Kesusahan juga kerap datang akibat tidak dihormatinya batasan-batasan yang sudah Allah tetapkan untuk hubungan kita, baik itu hubungan pribadi, di tempat kerja, atau di tengah masyarakat. Dosa menciptakan keterasingan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, serta manusia dengan bumi yang menopang kehidupan mereka. Kecurigaan antar manusia menggantikan rasa percaya dan kasih. Dalam generasi berikutnya, keterasingan menyuburkan rasa cemburu, amarah, dan bahkan menyebabkan pembunuhan. Keterasingan antar manusia bisa ditemukan di semua tempat kerja dengan level yang berbeda-beda, dan ini membuat pekerjaan terasa makin sulit dan kurang produktif.

Manusia Bekerja di dalam Dunia yang sudah Jatuh dalam Dosa (Kej. 4-8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat Allah mengusir Adam dan Hawa keluar dari Taman Eden, (Kej. 3:23-24), mereka membawa hubungan yang telah retak dan pekerjaan yang penuh susah payah, berjuang hidup dari tanah yang tak lagi subur. Meski demikian, Allah terus menyediakan bagi mereka, dan bahkan membuatkan mereka pakaian karena mereka belum tahu cara membuatnya (Kej. 3:21). Kutuk tidak sepenuhnya menghancurkan kemampuan mereka untuk memperbanyak hasil (Kej. 4:1-2), atau untuk mendapatkan kemakmuran (Kej. 4:3-4).

Pekerjaan dalam Kejadian 1 dan 2 berlanjut. Masih ada tanah untuk dikerjakan dan fenomena alam yang perlu dipelajari, digambarkan, dan dinamai. Laki-laki dan perempuan masih harus membuahkan hasil dan memperbanyaknya, masih harus mengelola banyak hal. Namun, kini, ada lapisan pekerjaan kedua yang harus dilakukan—pekerjaan pemulihan, perbaikan, restorasi atas kerusakan dan kejahatan yang telah terjadi. Dalam konteks kontemporer, pekerjaan para petani, ilmuwan, bidan, orangtua, pemimpin, dan semua pekerja kreatif masih dibutuhkan, Namun, dibutuhkan pula pekerjaan para pembasmi hama, dokter, pimpinan rumah duka, petugas lapas, pemeriksa kasus forensik, dan semua profesi yang menahan kejahatan, mencegah bencana, memperbaiki kerusakan, serta memulihkan kesehatan. Faktanya, pekerjaan semua orang memiliki dua sisi: kreasi dan restorasi, semangat dan rasa frustasi, keberhasilan dan kegagalan, sukacita dan dukacita. Secara garis besar, pekerjaan di dunia kita sekarang itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan pekerjaan di Taman Eden dulu. Pekerjaan bukannya kurang penting dalam rencana Allah, malah sekarang makin penting.

Pembunuhan Pertama (Kejadian 4:1-25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kejadian 4 mendetailkan pembunuhan pertama saat Kain membunuh saudaranya, Habel, karena marah dan cemburu. Kedua kakak beradik itu membawa hasil pekerjaan mereka sebagai persembahan kepada Allah. Kain adalah seorang petani, jadi ia membawa sebagian hasil bumi, tanpa keterangan apakah hasil itu adalah hasil pertama atau hasil terbaiknya (Kej. 4:3). Habel adalah seorang gembala dan ia membawa “anak sulung kambing dombanya”, hewan yang terbaik, “dengan lemaknya” (Kej. 4:4). Meskipun keduanya menghasilkan bahan makanan, keduanya tidak bekerja bersama atau beribadah bersama. Pekerjaan tidak lagi menjadi tempat terjadinya relasi yang baik.

Allah mengindahkan persembahan Habel, tetapi tidak mengindahkan persembahan Kain. Alkitab pertama kali menyebutkan tentang kemarahan pada bagian ini. Allah mengingatkan Kain untuk tidak menyerahkan diri pada dosa, tetapi menguasai kemarahannya dan bekerja untuk hasil yang lebih baik ke depan. “Bukankah wajahmu akan berseri-seri jika engkau berbuat baik?” (Kej. 4:7). Atau dalam terjemahan lain, “Bukankah persembahanmu akan diterima kalau engkau memberikan yang terbaik?” Namun, Kain tidak bisa menguasai kemarahannya dan akhirnya membunuh saudara laki-lakinya (Kej. 4:8; bandingkan dengan 1 Yoh. 3:12; Yud 11). Allah meresponi perbuatannya dengan perkataan berikut:

“Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu berteriak kepada-Ku dari tanah. Sekarang, terkutuklah engkau, terasing dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu. Apabila engkau mengerjakan tanah itu, tanah itu tidak akan lagi memberikan hasilnya kepadamu. Engkau akan menjadipelarian dan pengembara di bumi.” (Kej. 4:10-12)

Dosa Adam tidak membuat Allah mengutuk manusia; yang dikutuk adalah tanah tempat mereka bekerja (Kej. 3:17). Dosa Kain mendatangkan kutuk bagi dirinya sendiri (Kej. 4:11). Ia tidak bisa lagi mengerjakan tanah, dan Kain yang tadinya adalah petani, kini menjadi pengembara, sampai akhirnya ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden, tempat ia membangun kota pertama yang disebutkan dalam Alkitab (Kej. 4:16-17). (Lihat Kej. 10-11 untuk pembahasan lebih lanjut tentang kota-kota).

Sisa pasal empat menyebutkan tentang keturunan Kain hingga generasi ketujuh, Lamekh, yang kejahatannya jauh lebih mengerikan daripada kejahatan Kain. Kehidupan Lamekh menunjukkan kepada kita bagaimana dari waktu ke waktu, hati manusia bisa makin keras karena dosa. Awalnya ia melakukan poligami (Kej. 4:19), merusak tujuan Allah dalam pernikahan sebagaimana disebutkan dalam Kejadian 2:24 (bandingkan Mat. 19:5-6). Lalu, dendam membuatnya membunuh orang yang melukainya (Kej. 4:23-24). Namun, pada masa hidup Lamekh juga kita melihat dimulainya pertumbuhan kota. Muncul pekerjaan-pekerjaan yang berfokus pada keahlian tertentu, spesialisasi yang memungkinkan terjadinya sejumlah kemajuan dalam masyarakat. Sebagian anak Lamekh menciptakan alat-alat musik dan membuat perkakas dari tembaga dan besi (Kej. 4:21-22). Kemampuan untuk menciptakan musik, membuat instrumen untuk memainkan musik, dan untuk mengembangkan teknologi pengolahan logam, semua merupakan pekerjaan penciptaan yang memang diberikan Allah saat menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Seni dan pengetahuan adalah penerapan yang seharusnya dari mandat budaya, tetapi apa yang diumbar Lamekh tentang perbuatannya yang jahat menunjukkan bahaya yang menyertai kemajuan teknologi dalam masyarakat yang telah rusak oleh dosa dan penuh kekerasan. Sajak manusia pertama yang dicatat setelah kejatuhan manusia dalam dosa, mengagungkan kesombongan manusia dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, kecapi dan suling dapat ditebus dan dipakai untuk memuji Allah (1 Sam. 16:23), demikian pula perkakas logam dapat dipakai untuk membangun Kemah Suci umat Ibrani (Kel. 35:4-19, 30-35).

Seiring bertambahnya jumlah manusia, mereka pun membentuk kelompok masing-masing. Melalui Set, Adam memiliki harapan untuk benih keturunan yang takut akan Allah, antara lain Henokh dan Nuh. Namun, pada waktu-waktu itu muncul pula sekelompok orang yang menyimpang dari jalan Allah.

Ketika manusia mulai bertambah banyak di muka bumi, dan anak-anak perempuan dilahirkan bagi mereka, anak-anak Allah melihat bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik. Lalu dari antara perempuan-perempuan itu mereka ambil sebagai istri, siapa saja yang mereka sukai … Pada waktu itu dan juga kemudian, ada orang-orang raksasa di bumi ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka. Mereka itulah orang-orang yang gagah perkasa di aman purbakala, orang-orang ternama. TUHAN melihat betapa besarnya kejahatan manusia di bumi, dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata. (Kej. 6:1-5)

Bagaimana keturunan Set yang takut akan Allah—secara khusus Nuh dan keluarganya—bisa hidup di tengah masyarakat yang begitu rusak, hingga Allah sendiri memutuskan untuk memusnahkannya?

Satu isu besar dalam dunia kerja bagi banyak orang Kristen hari ini adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang kita yakini mencerminkan kehendak dan tujuan Allah bagi manusia sebagai pembawa gambar-Nya atau sebagai wakil-Nya. Bagaimana kita dapat berlaku benar ketika berada dalam tekanan situasi yang membuat kita bersikap tidak jujur, tidak setia, dan memberikan pekerjaan berkualitas rendah? Bagaimana kita bisa tetap memberikan yang terbaik ketika mendapatkan gaji yang rendah, mengalami suasana kerja yang tidak menyenangkan, menghadapi eksploitasi terhadap pihak yang rentan, baik itu rekan kerja, pelanggan, pemasok barang, atau komunitas? Kita tahu dari contoh yang diberikan Set—dan banyak tokoh Alkitab lainnya—bahwa ada ruang di dunia ini untuk orang-orang yang mau bekerja menurut rancangan dan mandat Allah.

Saat orang lain mungkin jatuh dalam ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan; tidak mampu mengendalikan hasratnya untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan pengakuan manusia, umat Allah dapat tetap setia bekerja secara etis, bertujuan, dan penuh belas kasih, karena kita percaya Allah akan memelihara kita melewati kesulitan besar yang tidak bisa kita lewati tanpa anugerah Allah. Saat orang diperlakukan salah atau dirugikan karena ketamakan, ketidakadilan, kebencian, atau kealpaan, kita dapat berdiri membela mereka, menegakkan keadilan, memulihkan luka-luka dan perpecahan, karena kita memiliki akses kepada kuasa Kristus yang membebaskan. Orang Kristen, dapat melawan dosa yang kita temui di tempat kita bekerja, baik yang muncul dari tindakan orang lain atau di dalam hati kita sendiri. Allah menghentikan proyek Menara Babel karena “Mulai sekarang apa pun yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi mereka” (Kej. 11:6). Ini bukan menggambarkan kemampuan aktual, melainkan kesombongan manusia. Namun, oleh anugerah Allah, kita sesungguhnya memiliki kemampuan untuk mencapai semua yang telah disediakan Allah bagi kita di dalam Kristus, yang menegaskan bahwa “tidak akan ada yang mustahil bagimu” (Mat. 17:20) dan “bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37).

Apakah kita bekerja dengan keyakinan akan kuasa Allah? Ataukah kita mengecilkan janji-janji Allah dengan selalu mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan kita?

Allah Memanggil Nuh dan Menciptakan Dunia yang Baru (Kejadian 6:9-8:19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagian situasi dapat diperbaiki. Sebagian lagi tidak. Dalam Kejadian 6:6-8 , kita mendengar ratapan Allah tentang kondisi dunia dan budayanya sebelum air bah serta keputusan-Nya untuk memulai segala sesuatu dari awal:

Lalu TUHAN menyesal bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Berfirmanlah TUHAN, “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan, binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal bahwa Aku telah menjadikan mereka. Namun, Nuh mendapat kemurahan hati TUHAN.

Dari Adam sampai kepada kita, Allah mencari orang-orang yang dapat berdiri teguh menentang budaya dosa kapan saja diperlukan. Adam gagal dalam ujian itu, tetapi dari keturunannya, Nuh lahir, “seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya, dan hidup bergaul dengan Allah” (Kej. 6:9). Nuh adalah orang pertama yang pekerjaannya membawa perbaikan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang sibuk mengupayakan penghidupan dari tanah, Nuh dipanggil untuk menyelamatkan umat manusia dan alam semesta dari kehancuran. Dalam dirinya kita melihat leluhur dari para imam, nabi, dan rasul, yang dipanggil untuk ambil bagian dalam pekerjaan rekonsiliasi dengan Allah, juga dari mereka yang peduli dengan lingkungan, yang dipanggil untuk ambil bagian memperbaiki alam semesta. Semua pekerja sejak zaman Nuh dipanggil untuk pekerjaan memperbaiki dan merekonsiliasi.

Membangun bahtera adalah proyek membangun yang luar biasa! Menghadapi cemoohan para tetangga, Nuh dan anak-anaknya harus menebang ribuan pohon sanobar, lalu mengolah batang-batang pohon itu menjadi lembaran-lembaran kayu yang cukup untuk membangun sebuah kebun binatang terapung. Kendaraan tiga lantai ini butuh kapasitas besar untuk membawa beragam spesies hewan serta menyimpan makanan dan air yang dibutuhkan untuk waktu yang panjang. Terlepas dari segala kesulitan yang ada, Alkitab menegaskan bahwa “Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.” (Kej. 6:13-22).

Dalam dunia bisnis, para pengusaha terbiasa untuk mengambil risiko, bekerja melawan hikmat konvensional dengan tujuan menghasilkan produk dan proses-proses baru. Dibutuhkan sudut pandang jangka panjang, bukan perhatian pada hasil jangka pendek. Nuh menghadapi apa yang kadang terlihat sebagai tugas yang mustahil dikerjakan, dan beberapa penafsir memperkirakan proyek membangun bahtera ini memakan waktu sekitar seratus tahun. Dibutuhkan iman, kemantapan hati, dan perencanaan yang cermat untuk menghadapi orang-orang skeptis dan para pengkritik. Mungkin kita harus menambahkan manajemen proyek dalam daftar pekerjaan Nuh. Hari ini pun, para inovator, para wirausahawan, mereka yang gagasannya berlawanan dengan opini mayoritas dan sistem yang selama ini berjalan, masih membutuhkan sumber kekuatan dan keyakinan batin untuk melangkah. Jawabannya tentu bukan dengan berbicara kepada diri sendiri dan mengambil risiko-risiko bodoh, melainkan dengan datang berdoa dan minta nasihat dari orang-orang yang bijaksana dalam Tuhan saat kita diperhadapkan dengan oposisi dan hal-hal yang mematahkan semangat. Sepertinya kita butuh orang-orang Kristen yang berbakat dan terlatih untuk menyemangati dan membantu mempertajam kreativitas para inovator dalam bidang bisnis, sains, akademik, kesenian, pemerintahan, dan berbagai bidang pekerjaan lainnya.

Kisah tentang air bah dalam Kejadian 7:1- 8:19, sangat terkenal. Lebih dari setengah tahun, Nuh, keluarganya, dan semua hewan hanya bisa beraktivitas di dalam bahtera saat air bah melanda, mengangkat bahtera itu tinggi mengatasi puncak-puncak gunung. Saat akhirnya air bah reda, tanah mengering, dan tumbuhan baru muncul. Para penumpang bahtera sekali lagi melangkah di atas tanah yang kering. Allah membuat angin bertiup di atas bumi, sehingga air itu surut (Kej. 8:1-3). Beberapa kata dalam Kejadian 1 diulang di sini; “the wind” (angin, yang juga bisa diterjemahkan Roh), “the deep” (diterjemahkan sebagai “samudra semesta” dalam Kejadian 1), dan “the waters” (air). Teks ini menggaungkan kembali Kejadian 1, menekankan keberlanjutan ciptaan. Dunia kembali dibentuk melalui air bah. Allah memberikan umat manusia sebuah kesempatan baru untuk memulai lagi dari awal dengan benar. Bagi orang-orang Kristen, ini menjadi bayangan langit yang baru dan bumi yang baru dalam Wahyu 21-22, saat kehidupan dan kerja manusia disempurnakan dalam alam semesta yang dipulihkan dari dampak kejatuhan dosa, sebagaimana yang telah kita bahas dalam bagian "Allah menciptakan dunia material" (Kej. 1:1-2).

Ada fakta menarik yang mungkin jarang diperhatikan orang dalam teks ini: pekerjaan membangun sesuatu dalam skala besar yang pertama kali dilakukan manusia merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan lingkungan. Terlepas—atau mungkin sebagai akibat dari—rusaknya hubungan manusia dengan si ular dan semua makhluk lainnya (Kej. 3:15), Allah menugaskan seorang manusia untuk menyelamatkan hewan-hewan dan percaya bahwa ia akan melakukannya dengan setia. Manusia tidak dibebaskan dari panggilan Allah untuk "berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan atas segala binatang melata di bumi" (Kej. 1:28). Allah senantiasa bekerja untuk memulihkan apa yang telah hilang dalam kejatuhan manusia dalam dosa, dan Dia memakai manusia berdosa yang sudah dipulihkan sebagai alat-Nya yang utama.

Perjanjian Allah dengan Nuh (Kejadian 9:1-19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat akhirnya bisa kembali menginjakkan kaki di tanah yang kering dengan awal yang baru, tindakan pertama Nuh adalah membangun altar bagi TUHAN (Kej. 8:20). Di sini ia mempersembahkan korban yang menyenangkan Allah, yang berjanji untuk tidak akan pernah lagi memusnahkan manusia “selama bumi masih ada, tidak akan berhenti musim menabur dan menuai, musim dingin dan panas, musim kemarau dan hujan, siang dan malam” (Kej. 8:22). Allah mengikatkan dirinya dalam sebuah kovenan atau perjanjian dengan Nuh dan keturunannya, berjanji tidak akan pernah lagi menghancurkan bumi dengan banjir (Kej. 9:8-17). Allah memberikan pelangi sebagai tanda perjanjiannya. Meskipun bumi mengalami perubahan yang sangat besar, tujuan Allah untuk pekerjaan manusia tetaplah sama. Dia mengulangi berkat-Nya dan berjanji bahwa Nuh dan anak-anak-Nya akan “beranak cucu, bertambah banyak, dan memenuhi bumi” (Kej. 9:1). Dia mengafirmasi janji-Nya untuk menyediakan makanan melalui pekerjaan mereka (Kej. 9:3). Allah juga menetapkan apa saja yang wajib dipenuhi untuk menghadirkan keadilan di antara manusia dan untuk melindungi segenap makhluk yang ada. (Kej. 9:4-6).

Kata dalam Bahasa Ibrani yang diterjemahkan “pelangi” sebenarnya tidak memiliki makna sesuatu yang muncul sehabis “hujan”. Kata tersebut mengacu hanya kepada sebuah busur—alat untuk berperang dan berburu. Waltke mencatat bahwa di dalam mitologi Timur Dekat, rasi bintang yang berbentuk busur diasosiasikan dengan kemarahan atau murka para dewa, tetapi di sini “busur pahlawan itu digantung dengan arah menjauhi bumi.”[1] Meredith Kline mencermati bahwa “lambang peperangan dan permusuhan telah diubah menjadi sebuah tanda rekonsiliasi antara Allah dan manusia”. [2] Busur itu direntangkan dari bumi ke langit, dari satu ujung ke ujung lainnya. Sebuah alat perang telah menjadi simbol perdamaian melalui kovenan Allah dengan Nuh.

Kejatuhan Nuh (Kejadian 9:20-29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah pekerjaan heroiknya bagi umat manusia, Nuh jatuh dalam sebuah insiden rumah tangga. Dimulai dari—sebagaimana halnya banyak tragedi di rumah tangga dan pekerjaan—dengan penyalahgunaan alkohol. (Tambahkan produksi minuman beralkohol dalam daftar inovasi yang dilakukan Nuh; Kej. 9:20.) Setelah mabuk, Nuh pingsan dalam kondisi telanjang di tendanya. Putranya Ham masuk dan melihatnya telanjang, tetapi saudara-saudaranya—setelah diberitahu Ham—secara berhati-hati masuk tenda dengan berjalan mundur dan menutupi ayah mereka tanpa melihatnya telanjang. Apa tepatnya yang memalukan atau tidak bermoral tentang situasi ini sulit dipahami oleh pembaca modern, tetapi Nuh dan para putranya jelas memahami sehingga kemudian hal itu menjadi sebuah masalah dalam keluarga. Saat Nuh sadar kembali dan menyadari apa yang terjadi, responsnya secara permanen menghancurkan kehidupan keluarga yang tadinya tenang dan damai. Nuh mengutuk keturunan Ham melalui Kanaan dan menjadikan mereka budak dari keturunan kedua putranya yang lain. Hal ini mengawali kisah permusuhan, perang, dan kekerasan selama ribuan tahun di antara keturunan Nuh.

Nuh mungkin adalah tokoh besar pertama yang jatuh ke dalam sesuatu yang memalukan, tetapi jelas ia bukan yang terakhir. Kebesaran tampaknya membuat manusia rentan mengalami kejatuhan moral—khususnya dalam kehidupan pribadi dan keluarga kita. Kita bisa dengan cepat menyebutkan banyak contoh di pentas dunia. Fenomena ini begitu banyak terjadi sehingga memunculkan nasihat bijak, baik di Alkitab—“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (Ams. 16:18)—maupun di dunia—“Makin besar status seseorang, makin sakit kejatuhannya.”

Nuh jelas adalah seorang tokoh besar di Alkitab (Ibr. 11:7), jadi respons terbaik kita seharusnya bukan menghakimi Nuh, tetapi meminta anugerah Allah untuk diri kita. Jika kita menemukan diri kita sedang berjuang menggapai kebesaran, carilah lebih dulu kerendahan hati. Jika kita sudah menjadi hebat, sangat penting untuk kita memohon anugerah agar tidak mengulangi kesalahan Nuh. Jika kita terlanjur jatuh dalam dosa, sama seperti Nuh, mari kita segera mengakuinya dan minta orang-orang di sekitar kita untuk menjagai kita agar kejatuhan kita dalam dosa tidak berlanjut menjadi bencana melalui respons pembenaran diri kita.

Keturunan Nuh dan Menara Babel (Kejadian 10:1-11:32)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Daftar Bangsa-Bangsa dalam Kejadian 10 menelusuri jejak keturunan Yafet (Kej. 10:2-5), lalu keturunan Ham (Kej. 10:6-20), dan akhirnya keturunan Sem (Kej. 10:21-31). Di antara mereka, cucu Ham yang bernama Nimrod tampak menonjol dengan peran pentingnya untuk teologi kerja. Nimrod membangun sebuah kerajaan penjajah yang berpusat di Babel. Ia adalah seorang tiran, seorang pemburu yang hebat dan ditakuti, dan yang paling signifikan adalah seorang pembangun kota-kota (Kej. 10:8-12).

Tepat setelah membaca kisah Nimrod, seorang tiran pembangun kota, kita membaca kisah tentang pembangunan Menara Babel (Kej. 11:1-9). Babel, sama seperti banyak kota di Timur Dekat kuno adalah sebuah kota berpagar tembok yang memiliki ziggurat, sebuah tempat peribadatan besar yang terletak di atas menara dengan banyak anak tangga. Menara itu dibangun setinggi mungkin dengan harapan dapat menggapai dunianya para dewa/allah yang disembah. Dengan menara yang demikian, manusia dapat naik kepada para allah, dan para allah dapat turun ke bumi. Meski Allah tidak mengutuk keinginan untuk mencapai surga ini, kita melihat bahwa dalam ambisi membesarkan diri dan dosa kesombongan yang meningkat, orang-orang ini membangun sebuah menara yang megah. “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit. Marilah kita mencari nama supaya kita tidak terserak ke seluruh bumi.” (Kej. 11:4). Apa yang mereka inginkan? Ketenaran. Apa yang mereka takuti? Terserak-serak tanpa jaminan mereka akan bertahan. Menara yang mereka ingin bangun tampaknya sangat penting bagi mereka, tetapi narator kitab Kejadian tersenyum sembari menceritakan kepada kita betapa kecil dan rapuhnya rencana mereka hingga Allah “turun untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu.” (Kej. 11:5). Betapa berbedanya dari kota yang damai, teratur, dan penuh kebajikan yang sesuai dengan tujuan Allah bagi dunia. [1]

Keberatan Allah dalam kisah ini adalah bahwa menara itu akan membuat orang salah berharap, menganggap “apa pun yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi mereka” (Kej. 11:6). Sama seperti Adam dan Hawa, leluhur mereka, mereka berniat memakai kuasa kreatif yang mereka miliki sebagai pembawa gambar Allah, untuk bertindak melawan tujuan Allah. Dalam hal ini, mereka berencana melakukan yang sebaliknya dari perintah Allah dalam mandat budaya. Bukannya memenuhi bumi, mereka berniat berkumpul memenuhi satu lokasi saja. Bukannya mengekplorasi kepenuhan arti nama yang diberikan Allah kepada manusia,—adam, “humankind” (Kej. 5:2)—mereka memutuskan mencari nama untuk diri mereka sendiri. Allah melihat keangkuhan dan ambisi mereka sudah melewati batas dan berfirman, “Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka di sana, sehingga mereka tidak dapat lagi saling mengerti bahasa mereka” (Kej. 11:7). “Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari sana ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. Itulah sebabnya kota itu disebut dengan nama Babel karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (Kej. 11:8-9).

Kita mungkin tergoda untuk menyimpulkan sampai pada poin ini bahwa kota-kota pada dasarnya buruk, tetapi tidak selalu demikian. Allah memberikan Israel ibukota Yerusalem dan tempat umat Allah akan kelak berdiam adalah kota kudus dari Allah, yang turun dari surga (Why. 21:2). Konsep tentang “kota” tidak jahat, tetapi kesombongan yang dilekatkan dengan kota-kota ini tidaklah menyenangkan Allah (Kej. 19:12-14). Kita berdosa ketika kita meletakkan pengharapan kepada kehidupan dan kemegahan kota menggantikan Allah, sebagai sumber makna dan arah hidup kita. Bruce Waltke menyimpulkan analisanya atas Kejadian 11 dengan perkataan ini:

Masyarakat yang terpisah dari Allah tidaklah stabil. Pada satu sisi, orang dengan tulus mencari makna keberadaan mereka dan rasa aman dalam kesatuan mereka sebagai satu kelompok. Di sisi lain, mereka memiliki hasrat yang tidak ada habisnya untuk mengonsumsi apa yang dimiliki orang lain … Di jantung kota manusia ada cinta akan diri sendiri dan kebencian akan Allah. Kota menyingkapkan bahwa roh manusia tidak akan berhenti pada sesuatu yang kurang dari menyingkirkan takhta Allah di surga. [2]

Sementara mungkin tindakan Allah menyerakkan umat manusia kelihatan seperti sebuah penghukuman, faktanya, tindakan itu juga merupakan sarana penebusan, mengembalikan mereka pada rancangan Allah. Sejak awal, Allah menghendaki manusia untuk tersebar ke seluruh penjuru bumi. “Beranak cuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah dan taklukkanlah bumi” (Kej. 1:28). Dengan menyerakkan manusia setelah berhentinya proyek menara Babel, Allah mengembalikan manusia kepada tujuan awal penciptaan mereka untuk memenuhi bumi, hingga kini kita bisa melihat keindahan dari ragam suku bangsa dan budaya di dunia. Jika umat manusia berhasil menyelesaikan menara itu di bawah satu kekuasaan mutlak hingga “apa pun yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi mereka.” (Kej. 11:6), kita hanya dapat membayangkan hal-hal mengerikan yang bisa mereka kerjakan dalam kesombongan dan dosa mereka. Skala kejahatan yang ada di tengah umat manusia di abad ke-20 dan 21 memberi kita sedikit gambaran akan apa yang bisa dilakukan manusia jika segala sesuatu mungkin dikerjakan tanpa ketergantungan akan Allah. Seorang penulis bernama Dostoevsky mengatakan, “Tanpa Allah dan hidup setelah kematian, segala sesuatu diperbolehkan.”[3] Terkadang Allah tidak mengizinkan sesuatu karena rahmat-Nya atas kita itu terlalu besar.

Apa yang dapat kita pelajari dari insiden Menara Babel bagi pekerjaan kita hari ini? Pelanggaran spesifik yang dilakukan para pembangun menara adalah tidak menaati perintah Allah untuk menyebar dan memenuhi bumi. Mereka berupaya menyatukan, tidak hanya lokasi tempat tinggal mereka, tetapi juga budaya, bahasa, dan institusi mereka. Dalam ambisi mereka untuk melakukan satu perbuatan besar (marilah kita “mencari nama” [Kej. 11:4]), mereka mematikan potensi perkembangan yang ada dalam beragam talenta, kegiatan, dan fungsi yang Allah berikan kepada manusia (1 Kor. 12:4-11). Meski Allah mau manusia bekerja sama untuk kebaikan semua orang (Kej. 2:18; 1 Kor. 12:7), Allah tidak menciptakan kita untuk mencapai itu melalui sentralisasi dan akumulasi kekuasaan. Dia memperingatkan umat Israel tentang bahayanya kekuasaan yang terpusat pada seorang raja (1 Sam. 8:10-18). Allah telah mempersiapkan bagi kita seorang raja, Kristus, Tuhan kita, dan di dalam Dia tidak ada tempat untuk penumpukan kekuasaan dalam manusia, baik itu individu, institusi, maupun pemerintahan.

Sebab itu, kita patut mengharapkan para pemimpin dan institusi Kristen untuk berhati-hati mendistribusikan otoritas dan selalu mengutamakan koordinasi, tujuan dan nilai-nilai bersama, serta pengambilan keputusan yang demokratis daripada penumpukan kekuasaan. Sayangnya, banyak orang Kristen justru berusaha menumpuk kekuasaan sama seperti para tiran dan pemegang kekuasaan otoriter, meski dengan tujuan-tujuan yang lebih baik. Dalam pola serupa, para legislator Kristen mencari kendali sebanyak mungkin atas masyarakat, meski dengan sasaran untuk menegakkan nilai-nilai rohani dan moralitas. Dalam pola serupa, para pengusaha Kristen mencari peluang untuk menguasai pasar seperti yang lain, meski untuk tujuan meningkatkan kualitas produk, layanan pelanggan, atau hal positif lainnya. Dalam pola serupa, para pendidik Kristen berupaya membungkam perbedaan pendapat seperti para pendidik otoriter lainnya, meski dengan niat menekankan perilaku bermoral, kebaikan, dan doktrin yang sehat.

Meski semua tujuan ini tampak terpuji, peristiwa Menara Babel mengingatkan kita bahwa cara bekerja yang demikian kerap salah kaprah (Peringatan Allah kepada bangsa Israel tentang bahaya memiliki seorang raja menggemakan hal senada; baca 1 Sam. 8:10-18). Dalam dunia tempat orang Kristen pun masih bergumul dengan dosa, gagasan Allah tentang kekuasaan yang baik (oleh manusia), tampaknya adalah untuk mendistribusikan manusia, kekuasaan, otoritas, dan kapabilitas, bukan memusatkannya pada satu orang atau satu institusi, atau satu pihak atau satu gerakan saja. Tentu ada situasi-situasi tertentu yang membutuhkan keputusan tegas oleh satu atau sekelompok orang. Seorang pilot akan sangat bodoh jika meminta voting penumpang untuk menentukan di landasan mana ia harus mendaratkan pesawat. Namun, bukankah lebih sering daripada yang kita sadari, saat kita ada pada posisi berkuasa, Allah memanggil kita untuk membagikan, mendelegasikan, memberikan wewenang, dan melatih orang lain, bukan melakukan semuanya seorang diri? Berbagi pekerjaan dengan orang lain itu bisa saja menimbulkan kekacauan, tidak efisien, sulit diukur, berisiko, dan membuat cemas. Namun, tampaknya Allah menghendaki para pemimpin Kristen melakukan hal itu dalam banyak situasi.

Kesimpulan dari Kejadian 1-11

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam pasal-pasal awal di Alkitab, Allah menciptakan dunia dan membawa kita maju bergabung dengan-Nya untuk kreativitas yang lebih jauh. Dia menciptakan kita seturut gambar-Nya untuk menguasai bumi, untuk membuahkan dan memperbanyak hasil, untuk menerima pemeliharaan-Nya, untuk bekerja bersama-Nya dan bersama sesama manusia, serta untuk memperhatikan batasan ciptaan-Nya. Dia memperlengkapi kita dengan sumber daya, kemampuan, dan komunitas untuk memenuhi tugas-tugas ini, serta memberi kita pola untuk bekerja dalam enam dari tujuh hari seminggu. Dia memberi kita kebebasan untuk melakukan semua ini sebagai ekspresi kasih kita kepada-Nya dan kepada ciptaan-Nya. Konsekuensinya, kita juga diberi kebebasan untuk tidak melakukan apa yang menjadi tujuan Dia menciptakan kita. Manusia pertama memilih untuk melanggar mandat Allah dan pilihan untuk tidak taat itu—baik skalanya kecil maupun besar—berlanjut hingga hari ini. Akibatnya, pekerjaan manusia menjadi lebih tidak produktif, lebih sulit, dan lebih kurang memuaskan. Kualitas relasi dan pekerjaan manusia menurun dan bahkan adakalanya bersifat merusak.

Meski demikian, Allah terus memanggil kita untuk bekerja. Dia memperlengkapi dan menyediakan kebutuhan kita. Banyak orang memiliki kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang baik, kreatif, dan memuaskan, yang dapat menghidupi mereka dan mendorong komunitas sekitarnya untuk berkembang. Kejatuhan manusia dalam dosa telah membuat pekerjaan yang dimulai di Taman Eden menjadi makin penting, bukan menjadi kurang penting. Meskipun orang-orang Kristen adakalanya salah memahami ini, Allah tidak merespons kejatuhan manusia dengan menarik diri dari dunia fisik dan membatasi minat-Nya pada hal-hal rohani saja. Tidak mungkin memisahkan yang fisik dari yang rohani. Pekerjaan, termasuk relasi yang ada di dalamnya dan batasan yang memberkatinya, tetap merupakan karunia Allah bagi kita, bahkan meski kondisi dunia ini telah rusak akibat kejatuhan manusia dalam dosa.

Pada saat yang sama, Allah selalu bekerja untuk menebus ciptaan-Nya dari dampak kejatuhan manusia dalam dosa. Kejadian 4-11 memulai cerita bagaimana kuasa Allah bekerja untuk mengatur dan menata ulang dunia beserta segala penghuninya. Allah berdaulat atas dunia ciptaan-Nya dan atas semua makhluk yang hidup, atas manusia dan semua makhluk lainnya. Dia tetap menjaga citra atau gambar-Nya dalam umat manusia. Namun, Dia tidak menoleransi usaha manusia untuk “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5), baik untuk mendapatkan kuasa yang berlebihan atau menjadikan kemandirian manusia sebagai pengganti relasi dengan Allah. Orang-orang seperti Nuh, yang menerima pekerjaan sebagai karunia dari Allah dan melakukan upaya terbaik mereka menurut arahan Allah, menemukan berkat dan keberhasilan dalam pekerjaan mereka. Orang-orang seperti para pembangun Menara Babel yang berusaha meraih kekuasaan dan keberhasilan menurut definisi mereka sendiri, menjumpai kehancuran dan frustrasi, terutama saat pekerjaan mereka mulai mencelakai orang lain. Seperti semua karakter dalam kitab Kejadian ini, kita menghadapi pilihan apakah akan bekerja bersama Allah atau bertentangan dengan-Nya. Bagaimana akhir kisah pekerjaan Allah menebus ciptaan-Nya tidak diberitahukan dalam kitab Kejadian, tetapi kita tahu bahwa kelak, semua ciptaan akan dipulihkan, demikian pula semua pekerjaan yang ada di dunia ini—sebagaimana yang.

Bacaan Lebih Lanjut

Mark Biddle, Missing the Mark: Sin and Its Consequences in Biblical Theology (Nashville, TN: Abingdon Press, 2005).

Walter Brueggemann, Genesis (Atlanta: John Knox, 1982).

Victor Hamilton, The Book of Genesis: Chapters 1-17 (Grand Rapids: Eerdmans, 1990).

Walter Kaiser Jr., Toward Old Testament Ethics (Grand Rapids: Zondervan, 1983).

Thomas Keiser, Genesis 1-11: Its Literary Coherence and Theological Message (Eugene, OR: Wipf & Stock, 2013).

John Mason, “Biblical Teaching and Assisting the Poor,” Interpretation 4, no. 2 (1987).

John Mason and Kurt Schaefer, “The Bible, the State, and the Economy: A Framework for Analysis,” Christian Scholar’s Review 20, no. 1 (1990).

Kenneth Mathews, The New American Commentary: Vol. 1A Genesis 1-11.26 (Nashville: Broadman and Holman, 1996).

Gerhard von Rad, Genesis rev. edn. (London: SCM, 1972).

Bruce Vawter, On Genesis: A New Reading (New York: Doubleday, 1977).

John Walton, The NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 2001).

Claus Westermann, Genesis 1-11 (Minneapolis: Augsburg, 1984).

Albert Wolters, Creation Regained (Grand Rapids: Eerdmans, 2005).

Christopher Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Leicester: Inter-Varsity Press, 2004).

Pengantar untuk Kejadian 12-50 dan Pekerjaan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kejadian pasal 12 sampai 50 menceritakan tentang kehidupan dan pekerjaan dari Abraham, Sara, dan keturunan mereka. Allah memanggil Abraham, Sara, dan keluarga mereka keluar dari kampung halaman menuju negeri baru yang akan ditunjukkan Allah kepada mereka. Dalam perjalanan itu, Allah berjanji untuk membuat mereka menjadi bangsa yang besar: “…olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3). Sebagai keturunan rohani Abraham yang menerima berkat melalui keluarga ini dan yang dibawa kepada iman melalui keturunan mereka, Yesus Kristus, kita dipanggil untuk mengikuti jejak iman dari leluhur semua orang percaya ini (Rom. 4:11; Gal. 3:7, 29).

Kisah keluarga Abraham dan Sara bercerita banyak tentang pekerjaan. Apa yang mereka kerjakan mewakili hampir semua pekerjaan orang-orang seminomadik di Timur Dekat kuno. Dalam tiap aspek pekerjaan itu mereka menghadapi pertanyaan krusial tentang bagaimana hidup dan bekerja dengan menaati kovenan atau perjanjian Allah. Mereka bergumul untuk mencukupi kebutuhan hidup, untuk menghadapi setiap dinamika dalam masyarakat, untuk membesarkan anak dengan aman, dan untuk tetap setia kepada Allah di tengah dunia yang sudah rusak, sama seperti pergumulan kita di hari-hari ini. Mereka menemukan bahwa Allah itu setia kepada janji-Nya untuk memberkati mereka dalam segala situasi, meskipun berulang kali mereka menunjukkan sikap yang tidak beriman.

Namun, kovenan yang dibuat Allah tidak hanya bertujuan memberkati keluarga Abraham di tengah dunia yang kejam. Allah hendak memberkati seluruh dunia melalui orang-orang yang dipilih-Nya. Sebuah tugas yang melampaui kemampuan keluarga Abraham, yang berulang kali jatuh ke dalam dosa kesombongan, keegoisan, kenekatan bodoh, amarah, dan segala macam kebiasaan buruk yang kerap menjerat manusia. Sama seperti kita. Namun, oleh anugerah Allah, mereka masih memiliki setitik kesetiaan pada kovenan, dan Allah bekerja melalui pekerjaan orang-orang ini, yang penuh dengan cela, untuk membawa berkat yang tak terbayangkan kepada dunia. Demikian pula pekerjaan kita membawa berkat bagi orang-orang di sekitar kita, karena melaluinya, kita berpartisipasi dalam pekerjaan Allah di dunia.

Saat dibaca dari awal hingga akhir, jelas bahwa kitab Kejadian adalah satu narasi utuh, tetapi dapat dibagi menjadi dua bagian yang punya keunikan masing-masing. Bagian pertama (Kej. 1-11) bertutur tentang penciptaan dunia oleh Allah, lalu menggambarkan perkembangan umat manusia yang diawali oleh sepasang manusia pertama di Taman Eden hingga ketiga putra Nuh dan keluarga mereka yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Bagian ini ditutup dengan catatan yang agak suram tentang bagaimana manusia dari seluruh dunia berkumpul membangun sebuah kota untuk memasyhurkan nama mereka sendiri, hingga Allah menghukum mereka dengan kegagalan, kekacauan, dan perpecahan. Bagian yang kedua (Kej. 12-50) dibuka dengan panggilan Allah kepada satu manusia pilihan, yaitu Abraham.[1] Allah memanggil Abraham untuk meninggalkan kampung halaman dan keluarganya, memulai suatu kehidupan baru di negeri yang baru, dan Abraham menaati panggilan tersebut. Selanjutnya, kitab ini menceritakan kehidupan Abraham dan tiga generasi keturunannya yang mulai mengalami pemenuhan dari janji Ilahi yang dinyatakan kepada ayah mereka, Abraham.

Kesetiaan Abraham dan ketidaksetiaan Babel (Kejadian 12:1-3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kejadian 12 diawali dengan sebuah kovenan, perjanjian khusus Allah yang memanggil Abraham untuk melayani-Nya dengan setia. Dengan meninggalkan wilayah tempat tinggal keluarga besarnya yang tidak beriman kepada Allah dan mengikuti panggilan Allah, Abraham membedakan dirinya secara tegas dari kaum kerabatnya yang tinggal di Mesopotamia dan pernah berupaya membangun Menara Babel, sebagaimana diceritakan di akhir Kejadian 11. Perbandingan antara keluarga Abraham di pasal 12 dengan keturunan Nuh lainnya di pasal 11 menyoroti lima perbedaan.

Pertama, Abraham menaruh imannya di dalam tuntunan Allah, bukan pada sarana yang dibangun manusia. Sebaliknya, para pembangun menara Babel percaya bahwa dengan keterampilan dan kecerdasan mereka sendiri, mereka dapat membangun sebuah menara yang “puncaknya sampai ke langit.” (Kej. 11:4). Mereka hendak mencari pengakuan dan rasa aman dengan cara yang mengambil alih otoritas Allah. [1]

Kedua, para pembangun menara berusaha memashyurkan nama mereka sendiri (Kej. 11:4), tetapi Abraham mempercayai janji Allah bahwa Allah sendiri yang akan membuat nama Abraham masyhur (Kej. 12:2). Perbedaannya bukan pada keinginan untuk meraih kemashyuran itu sendiri, melainkan pada keinginan mencari kemashyuran menurut standar manusia. Allah benar-benar membuat nama Abraham masyhur, bukan untuk kepentingan Abraham, tetapi supaya “semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3). Para pembangun menara berusaha memashyurkan nama mereka sendiri, tetapi sampai hari ini nama mereka tidak pernah dikenal.

Ketiga, Abraham bersedia pergi ke mana pun Allah memimpinnya, sementara para pembangun menara berupaya berkumpul di tempat yang mereka anggap nyaman. Mereka membuat proyek pembangunan menara itu karena mereka takut terserak ke seluruh bumi (Kej. 11:4). Dengan bersikap demikian, mereka menolak tujuan Allah yang menghendaki umat manusia “memenuhi bumi” (Kej. 1:28). Mereka sepertinya takut menghadapi kesulitan jika mereka sampai terserak di dunia yang jelas tidak bersahabat. Mereka kreatif dan teknologi mereka berkembang (Kej. 11:3), tetapi mereka tidak bersedia menerima tujuan Allah sepenuhnya untuk mereka “beranak cucu dan bertambah banyak” (Kej. 1:28). Ketakutan mereka untuk mengelola ciptaan sepenuhnya bertemu dengan keputusan mereka mengandalkan kecerdasan manusia menggantikan tuntunan dan anugerah Allah. Saat kita berhenti mengejar tujuan yang melampaui kemampuan kita, maka aspirasi kita menjadi tidak berarti.

Sebagai kontras, Allah membuat Abraham menjadi seorang pengusaha sejati, selalu bergerak memulai usaha yang baru di lokasi yang baru. Allah memanggilnya keluar dari kota Haran menuju tanah Kanaan, dan Abraham tidak pernah diam lama di satu tempat. Ia dikenal sebagai seorang “pengembara Aram” (Ul. 26:5). Secara alami, Abraham dibentuk untuk hidup berpusat kepada Allah, karena ia harus bergantung pada perkataan dan pimpinan Allah untuk dapat menemukan makna, merasa aman, dan berhasil. Ibrani 11:8, menulis tentang bagaimana Abraham harus “berangkat tanpa mengetahui tempat yang ditujunya.” Dalam dunia kerja, orang percaya harus memahami perbedaan antara kedua orientasi dasar ini. Semua pekerjaan meliputi proses perencanaan dan pembangunan. Pekerjaan yang tidak berorientasi kepada Allah berangkat dari keinginan untuk mandiri, tidak bergantung pada pihak lain dan membatasi diri untuk sekadar menguntungkan diri sendiri serta orang-orang dekat kita. Pekerjaan yang berorientasi kepada Allah berangkat dari kesediaan untuk bergantung pada pimpinan dan otoritas Allah, serta memiliki hasrat untuk tumbuh besar menjadi berkat untuk dunia.

Keempat, Abraham bersedia mengikuti tuntunan Allah ke dalam hubungan-hubungan yang baru. Sementara para pembangun menara berusaha memagari diri mereka di dalam benteng yang dijaga, Abraham mempercayai janji Allah bahwa keluarganya akan menjadi sebuah bangsa yang besar (Kej. 12:2; 15:5). Meski mereka tinggal di antara orang-orang asing di tanah Kanaan (Kej. 17:8), mereka memiliki hubungan yang baik dengan semua orang yang berinteraksi dengan mereka (Kej. 21:22-34; 23:1-12). Inilah anugerah komunitas. Satu tema kunci muncul dalam teologi kerja di sini: Allah merancang agar manusia bekerja dalam jejaring relasi yang sehat.

Pada akhirnya, Abraham diberkati dengan kesabaran untuk melihat jauh ke depan. Janji Allah akan digenapi pada zaman keturunan Abraham, bukan pada zaman Abraham sendiri. Rasul Paulus menafsirkan “keturunan” di sini adalah Yesus (Gal. 3:19), berarti bahwa penggenapan janji itu adalah lebih dari seribu tahun di masa depan. Bahkan, janji kepada Abraham baru benar-benar akan dipenuhi secara sempurna saat kedatangan Yesus Kristus kembali (Mat. 24:30-31). Pemenuhan janji ini tidak bisa hanya diukur dengan laporan per kuartal! Para pembangun menara, sebagai perbandingan, tidak memikirkan bagaimana proyek mereka akan berdampak kepada generasi berikutnya, dan Allah mengkritik mereka secara terbuka untuk sikap mereka yang keliru (Kej. 11:6).

Ringkasnya, Allah menjanjikan kemasyhuran, keberhasilan, dan relasi yang baik, semua yang dibutuhkan untuk Abraham dan keluarganya bisa memberkati seluruh dunia, juga berkat-berkat tak terbayangkan bagi mereka sendiri pada waktu yang tepat (Kej. 22:17). Abraham menyadari bahwa upaya untuk meraih semua itu dengan kekuatannya sendiri akan sia-sia. Sebaliknya, ia mempercayai Allah dan bergantung setiap hari pada tuntunan dan pemeliharaan-Nya (Kej. 22:8-14). Meski tidak semuanya digenapi di akhir kitab Kejadian, perjanjian antara Allah dan umat-Nya telah dimulai, dan melaluinya penebusan dunia akan digenapi pada hari Kristus (Flp. 1:10).

Allah menjanjikan tanah yang baru kepada keluarga Abraham. Mendayagunakan tanah itu membutuhkan berbagai jenis pekerjaan, jadi hadiah berupa sebuah tanah menegaskan bahwa pekerjaan merupakan sesuatu yang penting dan diperhatikan Allah secara khusus. Mengerjakan tanah itu membutuhkan berbagai ketrampilan kerja seperti kemampuan menggembalakan, membuat tenda, menggunakan senjata untuk melindungi diri, dan memproduksi berbagai macam barang dan jasa. Selain itu, keturunan Abraham akan menjadi sebuah bangsa yang besar, yang jumlahnya tidak terhitung seperti banyaknya bintang di langit. Peningkatan populasi ini membutuhkan pekerjaan membangun relasi antar individu, mengasuh anak, politik, diplomasi dan administrasi, pendidikan, seni menyembuhkan, dan berbagai pekerjaan sosial lainnya. Untuk membawa berkat yang demikian besar kepada seluruh bumi, Allah memanggil Abraham dan keturunannya “hidup di hadapan-Ku dengan tidak bercela.” (Kej. 17:1). Ini membutuhkan pekerjaan menyelenggarakan ibadah, mempersembahkan korban pendamaian, pembinaan, dan berbagai pekerjaan rohani lainnya. Pekerjaan Yusuf adalah untuk menciptakan solusi atas dampak kelaparan, dan adakalanya pekerjaan kita adalah untuk menyembuhkan apa yang rusak di dunia ini. Semua jenis pekerjaan tersebut, dan semua pekerja yang terlibat di dalamnya, melakukannya di bawah otoritas, tuntunan, dan pemeliharaan Allah.

Gaya Hidup Abraham dan Keluarganya sebagai Penggembala (Kejadian 12:4-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat Abraham meninggalkan rumahnya di Haran dan berangkat ke tanah Kanaan, keluarganya mungkin sudah cukup besar untuk ukuran dunia modern. Kita tahu bahwa istrinya Sara dan keponakannya Lot ikut bersamanya, demikian juga sejumlah besar orang dan harta miliknya (Kej. 12:5). Kekayaannya terus bertambah dalam perjalanan, baik jumlah pelayannya, ternak, maupun perak dan emas (Kej. 12:16; 13:2). Para pelayan dan ternak diterimanya dari Firaun saat tinggal di Mesir, sedangkan logam-logam mulia mungkin adalah hasil transaksi perdagangannya─semua menunjukkan bahwa Allah memberkati Abraham.[1] Bukti kesuksesan Abraham dan Lot dapat dilihat saat terjadi pertengkaran antara para gembala mereka terkait lahan yang sudah tidak cukup lagi sebagai tempat merumput dari sedemikian banyak hewan ternak milik mereka. Kedua keluarga itu akhirnya harus berpisah agar bisnis mereka masing-masing bisa berlanjut (Kej. 13:11).

Studi antropologi tentang zaman dan daerah ini mengindikasikan bahwa kedua keluarga dalam narasi ini menjalankan usaha penggembalaan semi nomaden sekaligus bisnis peternakan (Kej. 13:5-12; 21:25-34; 26:17-33; 29:1-10; 37:12-17).[2] Keluarga-keluarga ini akan berpindah pada musim-musim tertentu, sehingga mereka tinggal di dalam tenda dari kulit, serat tenun, dan wol. Mereka memiliki harta benda yang bisa dibawa dengan keledai-keledai, atau jika mereka cukup kaya, dibawa juga oleh unta-unta. Menemukan keseimbangan antara ketersediaan optimal ladang rumput untuk penggembalaan dan air, membutuhkan kecermatan penilaian dan pengetahuan yang dalam tentang cuaca dan geografi. Pada bulan-bulan dengan curah hujan lebih banyak, dari Oktober sampai Maret, mereka membawa ternaknya merumput di dataran yang lebih rendah. Sedangkan pada bulan-bulan yang lebih hangat dan kering, April sampai September, para gembala akan membawa kawanan ternak mereka ke tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan lahan yang lebih hijau dan mata air yang mengalir.[3] Karena satu keluarga tidak bisa sepenuhnya disokong dengan penggembalaan, diperlukan praktik pertanian lokal dan perdagangan dengan masyarakat sekitar yang tinggalnya lebih menetap.[4]

Penggembalaan nomad memelihara kambing domba untuk mendapatkan susu dan daging, (Kej. 18:7-8; 27:9; 31:38), wol, dan barang lain yang dibuat dari hewan, seperti kulit. Keledai pembawa beban (Kej. 42:26), dan unta-unta, adalah kendaraan yang sesuai untuk perjalanan jauh (Kej. 24:10, 64; 31:17). Untuk memelihara kawanan ternak tentunya dibutuhkan keterampilan memberi makan dan minum hewan, membantu hewan ternak yang akan melahirkan, merawat hewan yang sakit dan terluka, melindungi hewan dari pemangsa dan pencuri, serta menemukan hewan yang terhilang.

Cuaca yang berubah-ubah dan pertumbuhan populasi ternak tentunya akan berdampak bagi perekonomian daerah tersebut. Kelompok-kelompok gembala yang lebih lemah bisa dengan mudah digantikan atau berasimilasi demi kepentingan mereka yang membutuhkan tambahan wilayah untuk memperluas usaha mereka. [5] Keuntungan dari menggembalakan tidak disimpan sebagai akumulasi tabungan atau investasi dari pemilik dan pengelola, tetapi dibagikan di antara semua anggota keluarga. Dengan prinsip yang sama, dampak dari kesusahan akibat kondisi kelaparan tentunya dirasakan oleh semua orang. Meski setiap orang punya tanggung jawab masing-masing dan harus siap dengan konsekuensi dari tindakan mereka, natur komunal dari bisnis keluarga secara umum berbeda dengan budaya kontemporer kita yang mementingkan pencapaian pribadi dan ekspektasi untuk keuntungan yang terus meningkat. Tanggung jawab sosial menjadi urusan sehari-hari yang wajib dilakukan, bukan sebuah pilihan.

Dalam cara hidup yang demikian, memiliki nilai-nilai yang dipegang bersama sangat penting untuk bertahan hidup. Saling ketergantungan antara anggota-anggota keluarga atau suku, serta kesadaran tentang nenek moyang mereka yang sama, tentunya menghasilkan solidaritas yang besar, sekaligus dendam dan permusuhan terhadap siapa pun yang hendak merusaknya (Kej. 34:25-31).[6] Para pemimpin harus tahu bagaimana caranya mendapatkan masukan bijak dari anggota kelompok untuk bisa membuat keputusan yang baik terkait ke mana mereka harus pergi, tinggal, dan bagaimana membagi ternak yang ada.[7] Mereka harus tahu cara berkomunikasi dengan para gembala yang membawa kawanan ternak mereka pergi merumput agak jauh (Kej. 37:12-14). Keterampilan mengatasi konflik juga wajib dimiliki untuk membereskan perselisihan yang pasti ada terkait tanah penggembalaan dan sumber air yang ada (Kej. 26:19-22). Kehidupan yang berpindah-pindah dan kerentanan menghadapi perampok membuat keramahtamahan pada zaman itu lebih dari sekadar basa-basi. Sudah menjadi norma umum untuk orang yang berada menawarkan makanan, minuman, dan penginapan.[8]

Narasi patriarki berulangkali menyebutkan kekayaan besar yang dimiliki Abraham, Ishak, dan Yakub (Kej. 13:2; 26:13; 31:1). Menggembalakan dan beternak hewan merupakan pekerjaan yang terhormat dan bisa sangat menguntungkan pada masa itu, sehingga keluarga Abraham menjadi kaya raya. Sebagai contoh, untuk melembutkan hati kakaknya Esau, sebelum bertemu, Yakub mengirimkan hadiah dari milik kepunyaannya setidaknya 550 ekor hewan: 200 kambing betina dan 20 kambing jantan, 200 domba betina dan 20 domba jantan, 30 unta yang sedang menyusui beserta anak-anaknya, 40 lembu betina dan 10 lembu jantan, 20 keledai betina dan 10 keledai jantan (Kej. 32:13-15). Sebab itu sangatlah relevan jika pada akhir hidupnya, saat Yakub akan memberkati anak-anak lelakinya, ia memberi kesaksian bahwa Allah dari ayahnya telah menjadi “gembalaku selama hidupku sampai sekarang” (Kej. 48:15). Meskipun banyak bagian Alkitab mengingatkan bahwa kekayaan kerap dapat membuat kesetiaan orang berubah (misalnya: Yer. 17:11, Hab. 2:5, Mat. 6:24), pengalaman Abraham menunjukkan bahwa kesetiaan Allah juga dapat diekspresikan dalam kemakmuran. Tentunya ini tidak berarti bahwa Allah menjanjikan umat-Nya pasti akan kaya raya terus-menerus.

Perjalanan Abraham dimulai dengan Bencana di Mesir (Kejadian 12:8-13:2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Awalnya, perjalanan Abraham tidak menunjukkan hasil-hasil yang baik. Ada kompetisi yang sengit untuk memperebutkan tanah (Kej. 12:6), dan Abraham menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk berusaha menemukan sebuah lokasi yang bisa dikuasainya (Kej. 12:8-9). Kondisi ekonomi yang menurun akhirnya memaksa Abraham dan keluarganya untuk pindah ke Mesir, ratusan kilometer jauhnya dari tanah yang dijanjikan Allah (Kej. 12:10).

Sebagai seorang migran yang ingin meningkatkan taraf hidupnya ke Mesir, posisi Abraham yang rentan membuatnya serba takut. Ia takut bahwa orang Mesir bisa membunuhnya untuk merebut Sara, istrinya yang cantik. Sebagai langkah antisipasi, Abraham meminta Sara mengaku sebagai adiknya, bukan istrinya. Sesuai prediksi Abraham, benar ada orang Mesir—dan itu adalah Firaun sendiri—yang menginginkan Sara, dan Sara pun “dibawa ke istana Firaun” (Kej. 12:15). Akibatnya, “TUHAN menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun dan seisi istananya” (Kej. 12:17). Saat Firaun menemukan penyebab tulah yang hebat itu—bahwa ia telah merebut istri orang lain—ia mengembalikan Sara kepada Abraham dan minta mereka segera meninggalkan negerinya (Kej. 12:18-19). Meski demikian, Firaun membekali mereka dengan kambing domba, lembu, keledai jantan dan betina, budak laki-laki dan perempuan, juga unta-unta (Kej 12:16), perak dan emas (Kej. 13:2), menunjukkan bagaimana Abraham menjadi sangat kaya (Kej. 13:2) karena adanya hadiah dari istana.[1]

Insiden ini secara dramatis menunjukkan dilema moral dan bahaya lunturnya iman ketika terjadi kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang demikian besar. Abraham dan Sara saat itu sedang berusaha menghindari kelaparan. Mungkin sulit membayangkan menjadi orang yang sangat miskin atau hidup dalam keluarga yang menyerahkan istri atau anak perempuannya berhubungan seksual dengan orang lain demi bertahan secara ekonomi, tetapi sampai hari ini pun ada jutaan orang menghadapi pilihan berat ini. Firaun menegur sikap Abraham dengan keras, tetapi kita melihat Allah menanggapi insiden serupa (Kej. 20:7, 17) dengan belas kasihan dan bukan penghakiman.

Di sisi lain, Abraham telah menerima janji Allah secara langsung, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar” (Kej. 12:2). Apakah iman Abraham kepada Allah dan janji-janji-Nya telah luntur dengan cepat? Apakah desakan untuk bertahan hidup memang mengharuskan ia berbohong dan membiarkan istrinya menjadi istri orang lain, atau sebenarnya ada jalan keluar lain yang disediakan Allah? Ketakutan Abraham sepertinya telah membuat ia lupa akan kesetiaan Allah. Demikian pula, orang-orang dalam situasi sulit kerap yakin bahwa mereka tidak punya pilihan selain melakukan sesuatu yang mereka tahu salah. Namun, terlepas dari apa yang kita rasakan, menghadapi pilihan-pilihan yang tidak menyenangkan itu berbeda dengan tidak punya pilihan sama sekali.

Abraham dan Lot Berpisah: Kemurahan Hati Abraham (Kejadian 13:3-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat Abraham dan keluarganya kembali memasuki Kanaan dan sampai dekat Betel, terjadi gesekan antara para gembala Abraham dan para gembala Lot. Abraham harus membuat pilihan karena daerah itu tidak cukup untuk mereka tinggali bersama. Perpisahan tidak dapat dihindari, dan Abraham mengambil risiko memberikan Lot kesempatan memilih lebih dulu daerah untuk ia tinggali. Wilayah perbukitan Kanaan adalah daerah berbatu yang tidak banyak memiliki area hijau untuk hewan-hewan bisa merumput. Pandangan Lot tertuju ke timur, ke wilayah Lembah Yordan yang menurutnya “seperti taman TUHAN”, dan ia pun memilih wilayah yang lebih baik ini (Kej. 13:10). Iman Abraham kepada Allah membebaskannya dari kekhawatiran untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Terlepas dari bagaimana keduanya kemudian sama-sama menjadi kaya-raya, fakta bahwa Abraham memberi Lot kesempatan memilih lebih dulu menunjukkan kemurahan hati dan adanya hubungan saling percaya antara Abraham dan Lot.

Kemurahan hati adalah karakteristik yang positif, baik dalam hubungan pribadi maupun bisnis. Mungkin tidak ada hal lain yang dapat membangun relasi yang baik dan saling percaya sekuat kemurahan hati. Rekan kerja, pelanggan, penyuplai, bahkan pihak lawan pun menanggapi kemurahan hati dengan sangat baik dan mengingat hal itu untuk waktu yang lama. Saat Zakheus, pemungut cukai, menyambut Yesus ke rumahnya dan berjanji untuk memberikan setengah dari miliknya kepada orang miskin dan mengembalikan empat kali lipat jika ada orang yang telah diperasnya, Yesus menyebutnya sebagai “anak Abraham” melihat kemurahan hati dan buah pertobatannya (Lukas 19:9). Tindakan Zakheus sendiri adalah sebuah tanggapan atas kemurahan hati Yesus, yang tanpa disangka dan di luar kebiasaan orang zaman itu, membuka hati-Nya kepada seorang pemungut cukai yang dibenci masyarakat.

Keramahan Abraham dan Sara (Kejadian 18:1-15)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kisah keramahtamahan dan kemurahan hati Abraham dan Sara menyambut tiga tamu yang datang kepada mereka di dekat pohon tarbantin milik Mamre dikisahkan dalam Kejadian 18. Kehidupan yang semi nomaden di negeri itu kerap membawa orang dari berbagai latar belakang keluarga untuk saling mengenal satu sama lain, dan sebagai sebuah kawasan yang menjembatani wilayah Asia dan Afrika, tanah Kanaan menjadi rute perdagangan yang populer. Belum adanya industri perhotelan yang formal pada saat itu membuat penduduk setempat, baik yang tinggal di kota maupun di tenda-tenda, memiliki kewajiban sosial untuk menyambut orang asing. Dari deskripsi Perjanjian Lama dan berbagai teks kuno lainnya di Timur Dekat, Matius menuliskan tujuh etika perilaku yang mendefinisikan bagaimana seharusnya keramahtamahan ditunjukkan untuk menjaga kehormatan pribadi, keluarga, dan masyarakat, dengan menerima dan memberikan perlindungan kepada orang asing.[1] Di sekitar satu wilayah tempat tinggal ada zona tertentu yang menjadi zona wajib untuk pemilik tempat tinggal dan masyarakat sekitarnya menunjukkan keramahtamahan.

1. Dalam zona ini, penduduk desa bertanggung jawab menawarkan tumpangan kepada orang asing.

2. Orang asing tersebut harus tidak lagi dianggap sebagai ancaman tetapi sebagai sekutu dengan diberi tumpangan dan perlindungan.

3. Hanya laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga atau warga laki-laki setempat yang bisa menawarkan tumpangan bagi seorang asing.

4. Tawaran itu dapat meliputi undangan menginap untuk periode waktu tertentu, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan undangan yang diperbarui.

5. Orang asing itu berhak untuk menolak, tetapi penolakannya dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap tuan rumah dan dapat menyebabkan permusuhan atau konflik.

6. Begitu tawaran diterima, peran tuan rumah dan tamunya diatur sesuai adat setempat. Tamu tidak boleh meminta apa pun. Tuan rumah akan menyediakan miliknya yang terbaik, meski awalnya ia mungkin menyatakan bahwa ia hanya bisa melayani seadanya. Tamu diharapkan segera menangggapi dengan harapan yang baik atau ungkapan terima kasih atas apa yang diberikan tuan rumah, memberikan pujian dan hormat atas kemurahan hati tuan rumah. Tuan rumah tidak boleh mengajukan pertanyaan yang bersifat personal kepada tamu, kecuali tamu tersebut secara sukarela membuka diri tentang hal-hal yang bersifat pribadi.

7. Para tamu tetap ada dalam perlindungan tuan rumah sampai mereka telah meninggalkan zona yang menjadi kewajiban tuan rumah.

Episode ini memberikan latar belakang bagi perintah dalam Perjanjian Baru, “Jangan kamu lalai memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang tanpa diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” (Ibr. 13:2).

Keramahtamahan, kesediaan memberi tumpangan dan kemurahan hati kerap kurang diapresiasi atau dianggap biasa saja dalam komunitas Kristen. Namun, Alkitab menggambarkan Kerajaan surga seumpama perjamuan besar yang disediakan dengan murah hati untuk semua orang (Yes. 25:6-9; Mat. 22:2-4). Kesediaan memberi tumpangan dapat menumbuhkan kedekatan relasi. Keramahtamahan Abraham dan Sara dalam Alkitab menunjukkan bagaimana hubungan-hubungan pada masa itu terbangun seiring adanya sikap mau saling berbagi berkat jasmani. Orang yang tadinya asing satu sama lain dapat belajar saling mengenal ketika mereka makan bersama dan berinteraksi lebih lama. Prinsip yang sama juga berlaku hari ini. Ketika orang-orang makan bersama, menikmati rekreasi atau hiburan bersama, seringkali mereka jadi lebih mudah untuk saling memahami dan menghargai. Relasi kerja yang lebih baik dan komunikasi yang lebih efektif, kerap merupakan buah dari keramahtamahan yang ditunjukkan.

Pada zaman Abraham dan Sara, keramahtamahan hampir selalu ditunjukkan dengan menawarkan tumpangan di rumah warga sendiri. Hari ini, tidak semua orang bisa dan mau memberikan tumpangan di rumah. Industri perhotelan juga sudah berkembang sehingga kita memiliki pilihan fasilitas yang lebih banyak untuk melayani tamu. Jika rumah kita terlalu kecil atau keahlian masak kita terbatas, kita tinggal membawa tamu kita ke restoran atau hotel, menikmati layanan yang diberikan sembari menikmati hubungan persahabatan yang lebih dalam di sana. Para pelayan akan membantu Anda dalam melayani tamu dengan ramah. Mereka yang bekerja di industri ini berkesempatan membantu orang beristirahat guna memulihkan kekuatannya, menciptakan hubungan baik, menyediakan tumpangan, dan melayani orang banyak sebagaimana yang Yesus lakukan saat Dia membuat anggur (Yoh 2:1-11) dan mencuci kaki para murid (Yoh 13:3-11). Industri perhotelan dan rumah makan berkontribusi sekitar 9% dari PDB dunia dan memberi lapangan kerja bagi 98 juta orang,[2] termasuk para pekerja berpendidikan rendah dan kaum imigran yang semakin banyak ditemukan di gereja. Kita bahkan bisa menawarkan keramahtamahan tanpa dibayar, sebagai tindakan kasih, persahabatan, belas kasihan, dan kontribusi sosial. Contoh yang diberikan Abraham dan Sara menunjukkan bahwa pekerjaan ini dapat menjadi sangat penting sebagai sebuah pelayanan kepada Allah dan sesama manusia. Bagaimana kita dapat saling mendorong satu sama lain untuk bersikap murah hati dan menunjukkan keramahtamahan, apa pun profesi kita?

Perselisihan Abraham dengan Abimelekh (Kejadian 20:1-16; 21:22-34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat Abraham dan Sara memasuki negeri yang diperintah oleh Raja Abimelekh, Sang Raja tanpa sengaja melanggar aturan keramahtamahan, dan sebagai gantinya memberikan Abraham kebebasan untuk menggembalakan ternak di wilayah mana pun yang ia kehendaki di negerinya (Kej. 20:1-16). Setelah itu, perselisihan muncul atas sebuah sumur yang digali Abraham, tapi kemudian dirampas hamba-hamba Abimelekh (Kej. 21:25). Abimelekh sepertinya tidak mengetahui masalah tersebut. Ketika ia diberitahu, ia pun bersedia mengikat perjanjian dengan Abraham. Perjanjian itu menyatakan bahwa Abraham yang menggali sumur tersebut dan dapat terus bekerja daerah itu. (Kej. 21:27-31).

Di bagian lain, kita melihat bagaimana Abraham menyerahkan harta benda yang sebenarnya berhak ia ambil (Kej. 14:22-24). Namun, kali ini Abraham dengan gigih memperjuangkan apa yang menjadi miliknya. Tidak ada indikasi bahwa Abraham goyah imannya sehingga melakukan hal tersebut, karena penulis kitab Kejadian mengakhiri bagian ini dengan catatan ibadah Abraham (Kej. 21:33). Abraham justru digambarkan sebagai sosok yang dapat diteladani sebagai seorang pengusaha yang bijak, dan bekerja keras, yang transparan dalam usahanya dan memakai perlindungan hukum secara adil. Dalam bisnis penggembalaan, akses terhadap air sangat penting. Tanpa akses itu, Abraham tidak bisa memelihara ternak, para pekerja, dan keluarganya. Karenanya, upaya Abraham memperjuangkan haknya atas sumur yang ia gali adalah fakta yang penting, demikian pula cara yang diambilnya untuk mendapatkan hak-hak tersebut.

Seperti Abraham, manusia di segala bidang pekerjaan harus berhikmat membedakan kapan harus bermurah hati memberi kepada orang lain, kapan harus melindungi sumber daya dan hak untuk kepentingan mereka, kepentingan perusahaan atau organisasi mereka. Tidak ada aturan yang baku kapan kita harus melakukannya. Dalam semua situasi, kita adalah para pengelola atau manajer dari sumber daya milik Allah, meski tidak selalu jelas apakah tujuan-tujuan Allah akan lebih baik tercapai dengan menyerahkan atau dengan melindungi sumber-sumber daya kita. Namun, contoh yang diberikan Abraham menyoroti aspek yang kerap mudah untuk dilupakan. Keputusannya bukan semata tentang siapa yang memiliki hak, tetapi juga bagaimana keputusan itu akan mempengaruhi hubungan-hubungan kita dengan orang-orang di sekeliling kita. Dalam peristiwa berbagi wilayah dengan Lot, kesediaan Abraham memberikan Lot kesempatan untuk memilih lebih dulu meletakkan dasar untuk hubungan baik jangka panjang. Dalam peristiwa berikutnya, saat menuntut akses terhadap sumur yang menjadi haknya, Abraham memastikan tersedianya sumber daya untuk mengikat perjanjian agar bisnisnya bisa tetap berjalan. Sebagai tambahan, tampaknya ketegasan Abraham kemudian membuat hubungannya dengan Abimelekh menjadi lebih baik. Ingat bahwa awalnya hubungan mereka bermasalah karena Abraham tidak tegas tentang posisinya saat pertama kali bertemu dengan Abimelekh (Kej. 20).

Pembelian Kubur untuk Sara (Kejadian 23:1-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat Sara meninggal, Abraham terlibat dalam sebuah negosiasi yang patut dicontoh dalam membeli tanah pekuburan untuk istrinya. Ia melakukan negosiasi secara terbuka dan jujur di hadapan para saksi, memastikan kewajiban dipenuhi baik dari pihaknya maupun pihak penjual. (Kej. 23:10-13, 16, 18). Objek propertinya didefinisikan dengan jelas (Kej. 23:9), rencana Abraham memakai properti itu sebagai tanah pekuburan juga disampaikan berulang kali (Kej. 23:4, 6, 9, 11, 13, 15, 20). Negosiasi yang berlangsung dua arah itu sangat jelas, sesuai kepatutan dalam masyarakat zaman itu, serta transparan. Negosiasi berlangsung di pintu gerbang kota, tempat bisnis berlangsung di depan publik. Abraham menginisiasi permintaan membeli sebuah gua untuk kuburan. Penduduk setempat, yaitu orang-orang Het menawarkan kuburan terbaik mereka. Abraham tidak mengiyakan, tetapi meminta mereka menjembatani komunikasi dengan seorang pemilik lahan dengan gua yang sesuai untuk pekuburan, agar ia bisa membelinya dengan harga penuh. Efron, sang pemilik lahan mendengar permintaan itu dan menawarkan lahan itu sebagai hadiah. Karena tawaran itu tidak akan memberi Abraham klaim permanen atas properti tersebut, dengan sopan ia minta untuk membayar harga penuh. Berlawanan dengan kebiasaan tawar-menawar dalam transaksi bisnis (Ams. 20:14), Abraham langsung menyetujui harga yang disebutkan Efron dan membayarnya “seperti yang berlaku di antara para saudagar” (Kej. 23:16). Sikapnya menunjukkan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan standar yang berlaku dalam jual-beli properti.[1] Abraham mungkin sangat kaya-raya sehingga ia tidak perlu menawar, atau bisa jadi ia juga memperhitungkan sejumlah aset tidak berwujud dalam pembelian properti tersebut. Mungkin ia juga hendak mengantisipasi pertanyaan orang terkait transaksi penjualan dan haknya atas tanah tersebut. Pada akhirnya, ia menerima peralihan hak atas tanah berikut gua dan semua pohon di lahan tersebut (Kej. 23:17-20). Lahan tersebut menjadi tempat pekuburan untuk Sara, dan kemudian Abraham, demikian juga untuk Ishak, Ribka, Yakub, dan Lea.

Dalam hal ini, tindakan Abraham memberi teladan nilai-nilai inti integritas, transparansi, dan kecerdasan dalam bisnis. Ia menghormati istrinya dengan meratapi dan menguburkan jenazahnya dengan layak. Ia memahami statusnya sebagai pendatang dan memperlakukan penduduk lokal dengan penuh hormat. Ia melakukan transaksi bisnis secara terbuka dan jujur, di depan banyak saksi. Ia berkomunikasi secara jelas. Ia peka terhadap proses negosiasi dan dengan sopan menolak menerima tanah itu sebagai hadiah. Ia dengan cepat membayar harga yang disepakati. Ia memakai tanah itu hanya untuk tujuan yang ia sampaikan dalam negosiasi. Dengan demikian ia menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang terkait.

Ishak (Kejadian 21:1-35:29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ishak adalah putra dari seorang ayah yang hebat dan seorang ayah dari putra yang hebat, tetapi catatan hidupnya sendiri tidak demikian. Berlawanan dengan catatan kehidupan Abraham yang dominan dalam kitab Kejadian, kehidupan Ishak tidak dicatat secara lengkap dan menjadi tambahan saja yang melengkapi kisah Abraham dan Yakub. Kehidupan Ishak digambarkan dalam dua sisi, satu positif dan satu negatif. Banyak yang bisa kita pelajari dari kedua sisi kehidupan Ishak.

Pada sisi yang positif, kehidupan Ishak adalah suatu karunia Allah. Abraham dan Sara sangat menyayanginya, mewariskan iman dan nilai-nilai mereka kepadanya. Allah mengulangi janji-Nya kepada Abraham untuk Ishak juga. Iman dan ketaatan Ishak saat Abraham hendak mempersembahkannya kepada Allah adalah teladan yang luar biasa, karena ia percaya penuh akan apa yang dikatakan sang ayah kepadanya: “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk kurban bakaran bagi-Nya, Anakku (Kej. 22:8). Hampir di sepanjang hidupnya, Ishak mengikuti jejak ayahnya, Abraham. Dengan penuh iman seperti ayahnya, Ishak mendoakan istrinya yang mandul (Kej. 25:21). Sama seperti Abraham menguburkan Sara dengan penuh hormat, Ishak dan Ismael juga bersama-sama menguburkan ayah mereka dengan penuh hormat (Kej. 25:9). Ishak menjadi seorang petani dan gembala yang berhasil hingga penduduk setempat merasa iri kepadanya dan meminta ia pindah dari wilayah mereka (Kej. 26:12-16). Ia membuka kembali sumur-sumur yang pernah digali di zaman ayahnya, yang kembali menjadi subjek perselisihan dengan penduduk Gerar terkait hak atas sumber air (Kej. 26:17-21). Seperti Abraham, Ishak mengadakan perjanjian yang diikat sumpah dengan Abimelekh untuk saling berlaku adil (Kej. 26:26-31). Penulis kitab Ibrani mencatat bahwa dengan iman Ishak tinggal di perkemahan dan memberkati baik Yakub maupun Esau (Ibr. 11:8-10, 20). Singkatnya, Ishak mewarisi sebuah bisnis keluarga dan kekayaan yang besar. Sama seperti ayahnya, ia tidak menimbunnya, tetapi memakainya untuk memenuhi peran yang diberikan oleh Allah yang telah memilihnya, yaitu untuk meneruskan berkat Allah itu kepada segala bangsa.

Dalam semua kejadian yang positif ini, Ishak digambarkan sebagai seorang putra yang penuh tanggung jawab, yang belajar bagaimana memimpin keluarga dan mengelola bisnis sesuai teladan ayahnya, seorang pengusaha yang cerdas dan cinta Tuhan. Ketekunan Abraham dalam mempersiapkan seorang penerus dan menanamkan nilai-nilai yang terus bertahan, membawa berkat bagi kelangsungan usaha keluarga ini. Saat Ishak berusia 100 tahun, kini gilirannya untuk menentukan pewarisnya dengan cara meneruskan berkat keluarga bagi anak sulungnya. Meski ia masih hidup selama 80 tahun kemudian, berkat yang diberikannya dengan penumpangan tangan ini adalah hal penting terakhir yang dicatat tentang Ishak dalam kitab Kejadian. Sayangnya, ia hampir saja gagal dalam tugas tersebut. Ia tetap tidak peduli dengan pewahyuan Allah kepada istrinya, yang berlawanan dengan kebiasaan saat itu, bahwa anak bungsu mereka, Yakub, yang akan menjadi kepala keluarga berikutnya, bukan kakaknya (Kej. 25:23). Ribka dan Yakub harus bersiasat untuk membuat Ishak sadar dan kembali memenuhi tujuan Allah.

Menjaga bisnis keluarga berarti struktur fundamental keluarga harus tetap utuh. Ayah sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk memastikan hal ini. Ada dua tradisi yang menonjol dalam keluarga Ishak, tradisi yang asing bagi kebanyakan kita, yaitu: tradisi hak kesulungan (Kej. 25:31) dan tradisi berkat (Kej. 27:4). Hak kesulungan memberikan hak untuk mewarisi bagian yang lebih besar dari tanah dan harta benda sang ayah. Meski adakalanya hak kesulungan itu dipindahtangankan, biasanya hak tersebut otomatis dimiliki oleh putra pertama dalam keluarga. Hukum yang spesifik terkait tradisi ini bervariasi, tetapi tampaknya tradisi ini terus dipertahankan dalam masyarakat di Timur Dekat kuno. Tradisi berkat merupakan tradisi yang berkaitan erat untuk memanggil berkat dari Allah dan menurunkan posisi kepemimpinan dalam rumah tangga. Esau keliru mempercayai bahwa ia bisa menyerahkan hak kesulungan dan tetap mendapatkan berkat (Ibr. 12:16-17). Yakub memahami bahwa kedua tradisi ini tidak bisa dipisahkan. Dengan memiliki keduanya, Yakub juga menerima hak untuk meneruskan tradisi keluarga secara ekonomi, sosial, dan juga iman. Tradisi berkat ini sentral dalam narasi kitab Kejadian, tidak hanya berkaitan dengan menerima perjanjian yang telah dibuat Abraham, tetapi juga meneruskan berkat itu kepada generasi selanjutnya.

Kegagalan Ishak untuk menyadari bahwa Yakub seharusnya menerima hak kesulungan dan hak berkat muncul dari sikap Ishak yang mementingkan kenyamanan pribadinya di atas kebutuhan mengelola keluarganya. Ia lebih memilih Esau karena ia suka makan daging buruan yang dibawa Esau baginya. Meski Esau tidak menghargai hak kesulungannya lebih dari semangkok sup—menunjukkan bahwa ia tidak pantas atau tidak terlalu berminat menempati posisi sebagai pemimpin usaha keluarga—Ishak mau Esau memegang posisi ini. Ia menumpangkan tangan dan memberi berkat secara tertutup, menunjukkan bahwa ia tahu betul bahwa tindakannya akan mengundang kritik. Satu-satunya aspek positif dari episode ini adalah bahwa iman Ishak menuntunnya mengakui bahwa berkat Allah yang tanpa sengaja ia berikan kepada Yakub tidak bisa dibatalkan. Secara murah hati, penulis kitab Ibrani mengingatnya, “Karena iman, sambil memandang jauh ke depan, Ishak memberikan berkatnya kepada Yakub dan Esau.” (Ibr. 11:20). Allah telah memilih Ishak untuk meneruskan berkat ini dan memilih untuk mengerjakan kehendak-Nya melalui Ishak, terlepas dari sikap Ishak yang tidak begitu peduli dengan peran tersebut.

Sikap yang dicontohkan Ishak mengingatkan kita bahwa membenamkan diri dalam perspektif pribadi kita terlalu dalam dapat membuat kita memiliki penilaian yang sangat keliru. Setiap kita digoda oleh kenyamanan pribadi, prasangka-prasangka, dan kepentingan pribadi sehingga tidak bisa melihat kepentingan yang lebih luas. Mungkin kelemahan kita adalah suka mengejar pengakuan orang atau keamanan finansial, selalu menghindari konflik, terlibat dalam relasi yang tidak sehat, suka mencari jalan pintas dalam mendapatkan hasil, atau suka mencari keuntungan pribadi lain yang tidak sejalan dengan pekerjaan yang Allah mau kita lakukan untuk memenuhi tujuan-Nya. Ada faktor individual dan sistemik yang mempengaruhinya. Di level individual, bias yang dimiliki Ishak terhadap Esau juga dapat kita lihat saat ini ketika para pemegang kekuasaan memilih untuk mempromosikan orang berdasarkan bias, entah itu diakui atau tidak. Pada level sistemik, masih ada banyak organisasi yang memberi ruang bagi para pemimpin untuk menggaji, memecat, dan mempromosikan orang menurut keinginan mereka, bukan mempersiapkan penerus dan tim mereka melalui proses jangka panjang yang terencana dan dapat dipertanggungjawabkan. Baik penyalahgunaan itu terjadi secara individu atau sistemik, sekadar berkomitmen untuk menjadi lebih baik atau mengubah proses dalam organisasi bukanlah solusi yang efektif. Baik individu maupun organisasi butuh ditransformasi oleh anugerah Allah untuk meletakkan apa yang benar-benar penting di atas keuntungan pribadi.

Yakub (Kejadian 25:19-49:33)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Nama Abraham, Ishak, dan Yakub, kerap muncul bersamaan, karena mereka semua menerima perjanjian dari Allah dan memiliki iman yang sama. Namun, Yakub jauh berbeda dari eyangnya, Abraham. Cerdik dan banyak akal, Yakub kerap mengejar apa yang ia inginkan dalam hidupnya dengan tipu daya. Kecenderungan diri ini adalah pergumulan yang tidak mudah diatasi dan pada akhirnya membawanya berjumpa Allah secara langsung dalam pergulatan dengan seorang pria misterius (Kej. 32:24, 30). Di tengah kelemahannya, Yakub memohon dengan iman untuk mendapatkan berkat Allah dan diubahkan oleh anugerah-Nya.

Pekerjaan Yakub sebagai seorang gembala menarik untuk dibahas dalam teologi kerja. Pekerjaan itu memiliki arti yang penting dalam perjalanan hidup Yakub, yang jika kita lihat dari konteks yang lebih besar, bergerak dari pengasingan kepada rekonsiliasi. Kita telah melihat bahwa pekerjaan merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan hidup Abraham yang berasal dari hubungannya dengan Allah. Hal yang sama juga bisa kita lihat dari kehidupan Yakub, dan seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua.

Yakub mengambil alih Hak Kesulungan dan Berkat Esau dengan Cara yang Tidak Etis. (Kejadian 25:19-34; 26:34-28:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meski Allah sendiri yang berkehendak menjadikan Yakub sebagai penerus Ishak (Kej. 25:23), tipu daya dari Ribka dan Yakub untuk mewujudkan rencana itu membuat keluarga mereka harus menghadapi masalah serius. Memilih menggunakan cara yang tidak etis terhadap suami dan saudara laki-laki mereka demi mengamankan masa depan mereka daripada memercayai cara Allah, mengakibatkan keluarga itu tercerai berai dan harus hidup terasing satu dengan yang lain sepanjang sisa hidup mereka.

Berkat yang dijanjikan Allah adalah hadiah untuk kita terima, bukan untuk direbut. Hadiah itu sepaket dengan tanggung jawab untuk menggunakan hadiah itu bagi orang lain, bukan untuk ditimbun sendiri. Hal ini yang hilang dari Yakub. Meski Yakub memiliki iman (tidak seperti saudaranya, Esau), ia bergantung pada kemampuannya sendiri untuk mengamankan hak-hak yang penting baginya. Yakub mengeksploitasi rasa lapar Esau untuk menjual hak kesulungannya (Kej. 25:29-34). Yakub menghargai hak kesulungan, itu adalah sikap yang baik, tetapi ia tidak menunjukkan imannya dengan apa yang ia lakukan demi mengamankan hak itu untuk dirinya sendiri. Mengikuti nasihat ibunya, Ribka (yang juga mengejar hak tersebut dengan cara yang keliru), Yakub menipu ayahnya. Kehidupannya sebagai seorang pelarian dari keluarganya sendiri menunjukkan betapa tindakannya itu tidak bisa diterima.

Yakub memulai dengan iman yang tulus terhadap janji kovenan Allah, tetapi ia gagal untuk memercayai sepenuhnya apa yang akan dilakukan Allah untuknya. Orang-orang dewasa rohani yang telah belajar untuk membiarkan iman mereka mentransformasi pilihan-pilihan mereka (dan bukan sebaliknya) ada dalam posisi untuk melayani dari kekuatan mereka. Keputusan berani dan cerdik yang membawa keberhasilan mungkin dipuji, tetapi jika keuntungan didapatkan dengan cara mengekploitasi dan menipu orang lain, ada sesuatu yang salah. Melampaui fakta bahwa metode atau cara yang tidak etis itu salah, hal itu mungkin menyingkapkan ketakutan yang mendasar dari orang yang melakukannya. Hasrat Yakub yang tak henti mengupayakan keuntungan untuk dirinya sendiri menyingkapkan bagaimana ketakutannya itu membuatnya resisten untuk menerima anugerah Allah yang mengubahkan. Ketika kita sungguh mempercayai janji Allah, kita akan lebih dapat mengendalikan diri untuk tidak memanipulasi situasi demi menguntungkan diri sendiri; kita harus selalu menyadari betapa kita dapat membodohi diri sendiri tentang kemurnian motif kita.

Yakub Mendapatkan Kekayaannya (Kejadian 30-31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Melarikan diri dari Esau, Yakub akhirnya tinggal di peternakan keluarga milik Laban, saudara laki-laki ibunya. Yakub bekerja untuk Laban selama dua puluh satu tahun yang penuh frustrasi, karena selama itu Laban berulang kali tidak menepati janjinya. Meski demikian, Yakub berhasil menikahi kedua putri Laban dan memulai rumah tangganya sendiri. Yakub ingin pulang ke rumahnya, tetapi Laban meyakinkan ia untuk tetap tinggal dan bekerja dengan janji bahwa Yakub dapat menentukan upahnya sendiri (Kej. 30:28). Jelas bahwa Yakub telah menjadi seorang pekerja yang baik, dan Laban diberkati melalui hubungannya dengan Yakub.

Selama ia bekerja, Yakub mempelajari cara membuat ternak berkembang biak, dan ia memakai ilmunya itu untuk membalas Laban. Melalui teknik mengembangbiakkan ternaknya, ia berhasil mengambil alih sejumlah besar kekayaan dari Laban, sampai-sampai para putra Laban mengeluh bahwa “Yakub telah mengambil semua harta milik ayah kita dan dari harta milik ayah kitalah ia mengumpulkan seluruh kekayaannya.” (Kej. 31:1-2). Yakub memperhatikan bahwa sikap Laban kepadanya tidak lagi seperti yang sudah-sudah. Namun, Yakub mengklaim bahwa kekayaannya itu adalah anugerah Allah, dengan berkata, “Seandainya Allah ayahku, Allah Abraham dan Yang Disegani oleh Ishak tidak menyertai aku, tentulah sekarang engkau membiarkan aku pergi dengan tangan hampa.” (Kej. 31:42).

Yakub merasa bahwa ia telah diperlakukan tidak adil oleh Laban. Memakai caranya sendiri untuk merespons perbuatan Laban, membuatnya memiliki musuh baru, mirip dengan cara ia mengeksploitasi Esau. Ini adalah pola yang berulang dalam kehidupan Yakub. Sekalipun tampaknya adil dan sepertinya ia mengembalikan pujian kepada Allah, jelas bahwa ini adalah akal liciknya sendiri. Kita tidak melihat integrasi iman Yakub dengan pekerjaannya pada titik ini, dan menarik bahwa ketika penulis kitab Ibrani mencatat Yakub sebagai seorang saksi iman, penulis hanya menyebutkan apa yang ia lakukan pada akhir hidupnya (Ibr. 11:21).

Transformasi Yakub dan Rekonsiliasinya dengan Esau (Kejadian 32-33)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah ketegangan yang meninggi dengan ayah mertuanya dan perpecahan bisnis akibat tindakan kurang terpuji dari kedua belah pihak, Yakub pun meninggalkan Laban. Mendapatkan posisinya akibat tipu daya Laban bertahun-tahun sebelumnya, kini Yakub melihat sebuah kesempatan untuk melegitimasi posisinya dengan mengadakan perjanjian dengan saudara laki-lakinya yang sudah lama terpisah, Esau. Namun, ia menduga negosiasinya akan berlangsung alot. Penuh ketakutan bahwa Esau akan datang bertemu dengannya membawa 400 pria bersenjata, Yakub membagi keluarga dan ternaknya menjadi dua kelompok untuk memastikan mereka bisa bertahan hidup. Ia berdoa mohon perlindungan dan mengirimkan banyak ternak sebagai hadiah untuk mendapatkan kemurahan hati Esau sebelum bertemu dengannya. Namun, malam sebelum ia tiba di titik pertemuan, si licik Yakub, dikejutkan oleh kunjungan sosok seperti manusia. Allah sendiri menyerangnya dalam wujud seorang pria yang kuat, dan Yakub dipaksa untuk bergulat dengannya sepanjang malam. Allah, ternyata, bukan hanya Allah atas ibadah dan agama, melainkan juga Allah atas pekerjaan dan usaha keluarga. Dia tidak diam saja untuk memutarbalikkan skenario pekerja yang licik seperti Yakub. Dia memanfaatkan keunggulannya sampai pada titik membuat sendi pangkal paha Yakub terkilir. Tetapi dalam kelemahannya, Yakub menolak untuk menyerah sampai penyerangnya memberkati dia.

Peristiwa itu menjadi titik balik kehidupan Yakub. Sekian tahun lamanya, ia bergumul dalam hubungannya dengan orang lain, dan sepanjang tahun-tahun itu ia juga bergumul dalam hubungannya dengan Allah. Kini akhirnya, ia bertemu dengan Allah dan menerima berkat-Nya di tengah pergumulan. Yakub menerima nama yang baru, Israel, dan bahkan mengganti nama lokasi itu untuk menghormati fakta bahwa ia telah bertemu muka dengan Allah (Kej. 32:30). Pertemuan mencekam dengan Esau terjadi pada esok paginya dan sangat jauh berlawanan dengan perkiraan Yakub yang penuh ketakutan, pertemuan itu berlangsung dengan sangat baik dan menyenangkan, jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan. Esau berlari mendapatkan Yakub dan memeluknya. Esau dengan sopan menolak pemberian Yakub, meski Yakub memaksanya untuk menerimanya. Yakub yang sudah ditransformasi berkata kepada Esau, “…melihat wajahmu saja bagiku serasa melihat wajah Allah.” (Kej. 33:10).

Identitas lawan pergulatan Yakub yang ambigu merupakan fitur yang disengaja dalam kisah ini. Hal tersebut menekankan bagaimana pergumulan Yakub dengan Allah dan sesama tidak terpisahkan. Yakub mencontohkan satu kebenaran pada inti iman kita: hubungan kita dengan Allah dan manusia saling berhubungan. Rekonsiliasi kita dengan Allah memungkinkan rekonsiliasi kita dengan sesama. Demikian pula, dalam rekonsiliasi dengan sesama manusia, kita jadi bisa melihat dan mengenal Allah lebih baik. Pekerjaan rekonsiliasi berlaku dalam keluarga, persahabatan, gereja, perusahaan, bahkan dalam kehidupan suku-suku dan bangsa-bangsa. Hanya Kristus yang dapat menjadi pendamaian kita, dan kita adalah para duta atau wakil-Nya untuk memberitakan pendamaian itu. Memancar keluar dari janji Allah kepada Abraham, inilah berkat yang sepatutnya menyentuh seluruh dunia.

Yusuf (Kejadian 37:2-50:26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mari mengingat bagaimana Allah memberikan janji-janji inti yang menyertai panggilan-Nya kepada Abraham (Kej. 12:2-3). Pertama, Allah akan melipatgandakan keturunan-Nya menjadi bangsa yang besar. Kedua, Allah akan memberkati mereka. Ketiga, Allah akan membuat nama Abraham masyhur. Keempat, Abraham akan menjadi berkat. Yang terakhir ini berkaitan dengan generasi penerus dari keluarga Abraham dan selanjutnya, bagi seluruh keluarga di bumi. Allah akan memberkati mereka yang memberkati Abraham dan mengutuk mereka yang mengutuknya. Kitab Kejadian menelusuri penggenapan parsial dari janji-janji ini melalui garis terpilih dari keturunan Abraham, Ishak, Yakub, dan anak-anak Yakub. Di antara mereka semua, di dalam hidup Yusuf, Allah menggenapi langsung janji-Nya untuk memberkati bangsa-bangsa melalui umat keturunan Abraham. Betapa orang-orang dari “seluruh dunia” dipelihara hidupnya melalui sistem pengelolaan bahan makanan yang dikelola oleh Yusuf (Kej. 41:57). Yusuf memahami misi ini dan mengartikulasikan tujuan dari kehidupannya selaras dengan intensi Allah untuk “memelihara hidup banyak orang” (Kej.50:20).

Yusuf Ditolak dan Dijual sebagai Budak oleh Saudara-Saudaranya (Kejadian 37:2-36)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sejak muda, Yusuf percaya bahwa Allah telah menetapkan dirinya untuk sesuatu yang besar. Melalui beberapa mimpi, Allah meyakinkan Yusuf bahwa ia akan meraih suatu posisi kepemimpinan yang melampui ayah dan kakak-kakaknya (Kej. 37:5-11). Dari sudut pandang Yusuf, mimpi-mimpi ini adalah bukti dari berkat Ilahi, bukan ambisinya pribadi. Meski demikian, dari sudut pandang kakak-kakaknya, mimpi-mimpi itu merupakan wujud lain dari hak istimewa yang secara tidak adil dinikmati Yusuf sebagai putera kesayangan dari ayah mereka, Yakub (Kej. 37:3-4). Meyakini bahwa kita ada pada posisi yang benar tidak meluputkan kita dari kebutuhan untuk berempati dengan orang lain yang mungkin tidak memiliki pandangan yang sama. Para pemimpin yang baik berjuang untuk mendorong terjadinya kerjasama dan bukan saling iri. Kegagalan Yusuf untuk mengenali hal ini membuatnya tidak memiliki hubungan yang baik dengan kakak-kakaknya. Mereka berencana untuk membunuhnya, tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk menjualnya kepada para pedagang yang melintasi daerah Kanaan menuju Mesir. Para pedagang ini kemudian menjual Yusuf kepada Potifar, seorang pembesar Firaun, kepala pengawal raja (Kej. 37:36; 39:1).

Rencana Kotor Istri Potifar dan Pemenjaraan Yusuf (Kejadian 39:1-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tugas Yusuf di rumah Potifar memberinya sejumlah tanggung jawab untuk melayani tuannya. Awalnya Yusuf hanya disebut “tinggal” di rumah tuannya. Kita tidak tahu dalam kapasitas apa ia melayani saat itu, tetapi begitu Potifar mengenali kemampuan Yusuf, ia kemudian menaikkan posisi Yusuf menjadi pelayan pribadinya dan memberinya “kuasa atas rumahnya dan segala miliknya” (Kej. 39:4).

Setelah beberapa waktu, istri Potifar mulai terpikat pada Yusuf dan ingin tidur dengannya (Kej. 39:7). Penolakan Yusuf disampaikan secara jelas dan dengan alasan yang masuk akal. Ia mengingatkan sang Nyonya bahwa Potifar telah memberikan kepercayaan besar kepadanya dan menyebut hubungan yang diinginkan sang Nyonya sebagai “kejahatan yang besar” dan perbuatan “dosa” (Kej. 39:9). Yusuf memiliki kepekaan sosial dan teologis. Lebih dari itu, ia menyampaikan penolakannya secara lisan berulang kali dan bahkan menghindari untuk menemani sang Nyonya. Saat dipaksa secara fisik, Yusuf memilih untuk lari setengah telanjang daripada mengikuti keinginan sang Nyonya.

Intimidasi seksual dari sang Nyonya dilakukan dalam hubungan atasan-bawahan, menempatkan Yusuf pada posisi yang lemah. Yusuf. Sang Nyonya merasa punya hak dan kekuasaan untuk memperlakukan Yusuf demikian. Namun, perkataan dan perlakuan fisiknya jelas tidak diterima Yusuf. Pekerjaan Yusuf mengharuskan ia berada di rumah tempat sang Nyonya tinggal, tetapi Yusuf tidak bisa melaporkan hal ini kepada Potifar tanpa mengganggu hubungan rumah tangga mereka. Bahkan setelah ia melarikan diri dan kemudian ditangkap dengan tuduhan yang salah, tampaknya Yusuf tidak punya ruang untuk mendapatkan keadilan.

Aspek-aspek dari episode kehidupan Yusuf ini sangat dekat menyentuh isu-isu intimidasi atau pelecehan seksual di tempat kerja yang terjadi pada masa sekarang. Orang bisa memiliki standar yang berbeda-beda tentang apa yang dianggap sebagai perkataan dan hubungan fisik yang tidak patut, tetapi pada praktiknya, keinginan mereka yang memegang kekuasaanlah yang menentukan. Para pekerja kerap diharapkan untuk melaporkan potensi intimidasi kepada atasannya, tetapi kebanyakan tidak mau melakukannya karena mereka tahu ada risiko ketidakjelasan dan pembalasan. Tambahan lagi, meski intimidasi itu bisa didokumentasikan, pekerja bisa menderita karena melaporkannya. Kesalehan Yusuf tidak membebaskannya dari tuduhan yang salah dan pemenjaraan. Jika kita ada pada situasi yang serupa, kesalehan kita juga tidak menjadi jaminan bahwa kita bisa menghindari penderitaan atau perlakuan yang mencelakai kita. Namun, Yusuf mewariskan kesaksian yang tegas kepada istri Potifar dan mungkin banyak orang lain di dalam rumah itu. Tahu bahwa kita adalah milik Tuhan dan Dia akan melindungi yang lemah, pastinya akan menolong kita untuk menghadapi situasi sulit tanpa menyerah. Kisah ini menunjukkan realita bahwa bersikap tegas melawan intimidasi seksual di tempat kerja bisa mengakibatkan konsekuensi yang mengenaskan. Namun, ini juga adalah kisah pengharapan bahwa oleh anugerah Allah, kebaikan pada akhirnya akan menang. Yusuf juga menjadi teladan bagi kita, untuk tetap setia melakukan pekerjaan yang diberikan Allah bagi kita, meski kita dituduh dan diperlakukan secara tidak adil, percaya bahwa pada Allah bekerja untuk meluruskan semua pada akhirnya.

Interpretasi Yusuf atas Mimpi-Mimpi di Penjara (Kejadian 39:20-40:23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pelayanan Yusuf di penjara ditandai dengan penyertaan Allah, kemurahan kepala penjara, dan kepercayaan yang diberikan kepada Yusuf untuk menjadi pemimpin yang mengurus semua tahanan dalam penjara itu (Kej. 39:21-23). Dalam penjara, Yusuf bertemu dengan dua pembesar Firaun yang dijebloskan ke penjara, juru minum dan juru roti. Banyak literatur Mesir menyebutkan peran juru minum, yang tidak hanya mencicipi anggur untuk memastikan kualitas dan mendeteksi racun, tetapi juga menikmati kedekatan dengan para pemegang kekuasaan politik. Mereka seringkali menjadi orang dekat penguasa yang dihargai nasihatnya (baca Neh. 2:1-4).[1] Sama seperti juru minum, juru roti juga adalah pembesar yang dipercaya dan memiliki akses kepada penguasa tertinggi di pemerintahan yang mungkin melakukan tugas-tugas lebih dari sekadar menyiapkan makanan. [2] Di penjara, Yusuf menafsirkan mimpi dari orang-orang yang memiliki posisi penting secara politis.

Menafsirkan mimpi di dunia kuno merupakan pekerjaan yang cukup rumit, praktiknya melibatkan “buku-buku mimpi” yang mendaftarkan berbagai elemen mimpi beserta artinya. Catatan tentang kebenaran mimpi-mimpi di masa lalu dan penafsirannya menyediakan bukti empiris untuk mendukung prediksi seorang penafsir mimpi. [3] Meski demikian, Yusuf tidak pernah belajar secara khusus untuk menjadi seorang penafsir mimpi. Ia memuji Allah, yang membukakan arti mimpi kepadanya, dan penafsirannya terbukti benar (Kej. 40:8). Sesuai penafsirannya, juru minum dikembalikan pada jabatannya, tetapi ia segera lupa tentang Yusuf.

Dinamika serupa dalam kisah Yusuf masih bisa kita jumpai hari ini. Kita bisa berinvestasi pada kesuksesan orang lain yang jauh di atas kita, tetapi kita dilupakan setelah ia sudah selesai memetik manfaat dari kita. Apakah ini artinya sumbangsih kita sia-sia dan seharusnya kita lebih berfokus pada posisi dan promosi kita sendiri? Apalagi, Yusuf tidak punya cara memastikan kebenaran kisah yang disampaikan kedua pejabat itu saat di penjara. “Yang pertama bicara dalam suatu perbantahan tampaknya benar, sampai orang lain datang dan menyelidiki perkaranya.” (Ams. 18:17). Setelah dijatuhi hukuman, tiap tahanan masih dapat mengajukan banding untuk membuktikan mereka tidak bersalah,

Kita mungkin punya keraguan apakah investasi kita dalam hidup orang lain pada akhirnya akan menguntungkan kita atau organisasi kita. Kita mungkin mempertanyakan karakter dan motif dari orang-orang yang kita bantu. Kita mungkin tidak setuju dengan apa yang kemudian mereka lakukan, apalagi jika sampai berdampak kepada kita. Hal-hal yang harus dipertimbangkan bisa sangat banyak dan kompleks. Dibutuhkan doa dan hikmat untuk memutuskan. Namun, haruskah semua itu melumpuhkan kita untuk melakukan kebaikan? Rasul Paulus menulis, “…selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang…” (Gal. 6:10). Jika kita memulai dengan sebuah komitmen untuk bekerja bagi Allah di atas semuanya, akan lebih mudah bagi kita untuk melangkah maju, percaya bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu demi kebaikan orang-orang yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya” (Rom. 8:28).

Yusuf diangkat Firaun pada posisi terhormat (Kejadian 41:1-45)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yusuf masih harus melewati dua tahun lagi sebelum akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bebas dari penderitaannya di penjara. Firaun mulai mendapat mimpi-mimpi yang menggelisahkannya dan kepala juru minum teringat akan kemampuan menafsir mimpi dari seorang pemuda Ibrani di penjara. Mimpi Firaun tentang lembu-lembu dan bulir-bulir gandum membingungkan para penasihatnya yang paling hebat. Yusuf mewartakan kehebatan Allah yang menyediakan penafsiran mimpi itu dan menegaskan bahwa ia hanyalah perantara yang menyampaikan wahyu Allah (Kej. 41:16). Di hadapan Firaun, Yusuf tidak memakai nama Allah dalam perjanjian yang eksklusif untuk umat-Nya saja. Sebaliknya, ia secara konsisten menyebut nama Allah dengan istilah yang lebih umum, yaitu elohim. Dengan begitu, Yusuf menghindari terjadinya masalah yang tidak perlu. Yang disampaikannya bisa diterima semua pihak, ini didukung dengan fakta bahwa Firaun ikut memuji Allah yang menyingkapkan kepada Yusuf arti dari mimpinya (Kej. 41:39). Di tempat kerja, adakalanya orang percaya dapat memuji Allah atas keberhasilan mereka dengan cara yang membuat orang lain tidak nyaman. Cara Yusuf mengesankan Firaun, menunjukkan bahwa memuji Allah secara publik dapat dilakukan dengan cara yang meyakinkan.

Kehadiran Allah bersama Yusuf sangat nyata hingga Firaun mengangkat Yusuf menjadi penguasa kedua setelah dirinya di Mesir, secara khusus untuk mengelola persiapan menghadapi tahun kelaparan (Kej. 41:37-45). Firman Allah kepada Abraham menjadi kenyataan: “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau … dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3). Seperti Yusuf, ketika kita mengakui ketidakmampuan kita untuk menghadapi tantangan yang datang dan mengakui campur tangan Allah dalam keberhasilan kita dengan cara yang tepat, kita sedang membangun pertahanan yang kuat melawan keangkuhan yang kerap muncul saat kita dipuji banyak orang.

Pengangkatan Yusuf ditandai dengan diberikannya beberapa tanda kekuasaan: sebuah cincin meterai kerajaan dan kalung emas, pakaian dari linen halus yang sepadan dengan jabatannya yang tinggi, kereta khusus, sebuah nama Mesir, dan seorang istri dari keluarga kelas atas di Mesir (Kej. 41:41-45). Sebuah situasi yang bisa sangat menggoda Yusuf untuk meninggalkan identitasnya sebagai seorang Ibrani. Allah menolong kita saat mengalami kesalahan dan kegagalan, tetapi kita mungkin perlu lebih banyak ditolong saat mengalami kesuksesan. Teks yang kita baca ini menunjukkan beberapa indikasi bagaimana Yusuf menerima promosinya dengan cara yang sesuai kehendak Allah. Ini terkait erat dengan semua yang mempersiapkan Yusuf sebelum promosi itu terjadi.

Dulu di rumah ayahnya, mimpi menjadi pemimpin yang diberikan Allah membuat Yusuf yakin bahwa Allah memilihnya dan mempunyai tujuan untuk hidupnya, Sifat alaminya adalah mempercayai orang lain. Ia tampaknya tidak menyimpan dendam kepada kakak-kakaknya yang cemburu atau kepada juru minum yang melupakannya. Sebelum dipromosikan oleh Firaun, Yusuf sudah tahu bahwa Allah menyertainya dan ia punya bukti yang jelas tentang hal itu. Berulang kali memberikan pengakuan dan pujian kepada Allah bukan saja hal yang benar untuk dilakukan, tetapi juga mengingatkan Yusuf bahwa ketrampilannya bersumber dari Allah. Yusuf adalah pribadi yang sopan dan rendah hati, ia menunjukkan kesediaan mengerjakan apa saja yang mampu ia lakukan untuk menolong Firaun dan rakyat Mesir. Bahkan ketika orang-orang Mesir kehabisan uang dan ternak, Yusuf mendapatkan kepercayaan dari orang Mesir dan Firaun (Kej. 41:55; 47:13-20). Di sepanjang sisa hidupnya sebagai seorang penguasa, Yusuf secara konsisten mendedikasikan dirinya untuk mengelola sumber daya secara efektif bagi kebaikan banyak orang.

Kisah Yusuf sampai titik ini mengingatkan kita bahwa di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, jawaban doa dari Tuhan tidak selalu datang dengan cepat. Yusuf berusia tujuh belas tahun saat ia dijual kakak-kakaknya sebagai budak (Kej. 37:2). Ia baru dibebaskan dari penjara saat berusia tiga puluh tahun (Kej. 41:46), tiga belas tahun kemudian.

Yusuf Menciptakan Kebijakan Jangka Panjang dan Infrastruktur di Bidang Pertanian (Kejadian 41:46-57)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah pelantikannya, Yusuf segera mengerjakan tugas yang dipercayakan Firaun kepadanya. Fokusnya adalah menyelesaikan pekerjaan untuk kepentingan banyak orang, bukan mengambil keuntungan dari jabatan barunya sebagai kepala pemerintahan. Imannya kepada Allah tetap teguh. Ia memberikan anak-anaknya nama yang menyiratkan pujian kepada Allah yang telah memulihkannya dari kesukarannya dan membuatnya mendapat keturunan (Kej. 41:51-52). Ia sadar betul bahwa hikmat bijaksana yang ia miliki adalah pemberian Allah, tetapi ada banyak hal yang tetap harus ia pelajari tentang tentang tanah Mesir, terutama terkait industri pertaniannya. Sebagai penguasa tertinggi setelah Firaun, pekerjaan Yusuf menyentuh hampir semua aspek dalam kehidupan bangsa itu sehari-hari. Jabatannya mengharuskan Yusuf belajar banyak tentang hukum, komunikasi, negosiasi, transportasi, metode penyimpanan makanan yang aman dan efisien, bangunan, strategi ekonomi, perencanaan, pencatatan, pembayaran upah pekerja, perdagangan dengan sistem pembayaran uang atau barang, personalia, serta pengalihan properti. Ia tidak memisahkan karunia Allah dengan tanggung jawabnya sebagai manusia. Ia mengintegrasikan karunia yang Allah berikan dengan keahlian yang ia pelajari, dan hal tersebut membuatnya berhasil. Bagi Yusuf, belajar dan mengaplikasikan semua yang ia pelajari juga merupakan wujud pelayanannya kepada Allah.

Firaun telah menganggap Yusuf sebagai seorang yang “berakal budi dan bijaksana” (Kej. 41:39), dan karakteristik ini memampukan Yusuf untuk melakukan perencanaan strategis serta tugas-tugas kepemimpinan. “Berakal budi dan bijaksana” diterjemahkan dari bahasa Ibrani, hakham dan hokhmah, yang menunjukkan kapasitas intelegensi yang tinggi. Kedua kata ini juga dipakai untuk menunjukkan berbagai keahlian, termasuk mengukir kayu, mengasah batu permata, dan mengolah logam mulia (Kel. 31:3-5; 35:31-33), membuat pakaian (Kel. 28:3; 35:26, 35), menjadi pemimpin (Ul. 34:9; 2 Taw. 1:10), serta memutus perkara dengan adil (1 Raj. 3:28). Semua kemampuan ini juga bisa ditemukan di antara orang yang tidak percaya Tuhan, tetapi umat Tuhan yang bijaksana dalam Alkitab mendapatkan berkat khusus dari Allah yang menghendaki Israel untuk menyatakan cara hidup yang dikehendaki Tuhan kepada bangsa-bangsa lain (Ul. 4:6).

Sebagai langkah pertamanya, “Yusuf … mengelilingi seluruh tanah Mesir” (Kej. 41:46) untuk melakukan pengawasan. Ia harus mengenal dengan baik orang-orang yang mengatur pertanian di negeri itu, lokasi dan kondisi dari tanah, hasil panen, jalur dan alat transportasi yang ada. Tidak mungkin Yusuf bisa melakukan semuanya seorang diri. Ia tentunya harus membangun tim dan melatih orang-orang yang mungkin menjadi Kementrian Pertanian dan Pendapatan Negara di masa itu. Selama tujuh tahun kelimpahan, Yusuf berhasil menimbun bahan makanan di setiap kota (Kej. 41:48-49). Selama tujuh tahun kelaparan yang mengikutinya, Yusuf menjual bahan makanan kepada rakyat Mesir dan orang-orang lain yang mengalami dampak dari kelaparan dahsyat yang melanda seluruh bumi. Untuk mengelola semua hal ini di dalam Kerajaan yang diwarnai berbagai kepentingan politik, jelas dibutuhkan kemampuan yang luar biasa.

Yusuf Mengatasi Kemiskinan Bangsa Mesir (Kejadian 47:13-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah rakyat kehabisan uang, Yusuf mengizinkan mereka menukarkan ternak mereka untuk membeli bahan makanan. Dengan sistem pembelian yang bertahan selama satu tahun ini, Yusuf mengumpulkan kuda, kawanan kambing domba, kawanan lembu, dan keledai (Kej. 47:15-17). Ia harus menentukan nilai setiap ternak dan menetapkan sistem pertukaran. Saat bahan makanan menjadi langka, orang akan berupaya mempertahankan dirinya sendiri dan orang-orang yang mereka sayangi. Menyediakan akses untuk rakyat bisa mendapatkan bahan makanan dan perlakuan yang adil adalah tugas kepemimpinan yang sangat penting pada situasi tersebut.

Saat semua ternak sudah ditukarkan, rakyat dengan sukarela menjual diri untuk menjadi hamba Firaun sekaligus menjual hak kepemilikan tanah mereka (Kej. 47:18-21). Dari sisi kepemimpinan, situasi ini tentunya membuat hati miris. Yusuf, membeli seluruh tanah orang Mesir dan menjadikan mereka hamba Firaun, tetapi ia tidak memanfaatkan ketidakberdayaan rakyat untuk kepentingannya. Ia memastikan tanah mereka dihargai dengan layak untuk ditukarkan dengan benih supaya mereka dapat menabur di tanah itu (Kej. 47:23). Ia menetapkan aturan agar rakyat mengembalikan dua puluh persen dari hasil panen kepada Firaun. Tentunya Yusuf juga harus membuat sebuah sistem pengawasan untuk memastikan rakyat menaati aturan tersebut dan menyiapkan kementrian khusus untuk mengelola hasil panen yang disetorkan rakyat. Hanya tanah dari para imam yang tidak dibeli Yusuf, karena Firaun memberikan tunjangan tetap untuk mereka. (Kej. 47:22, 26). Untuk melayani kelompok imam ini tentunya Yusuf juga harus menyiapkan sistem pembagian makanan yang dirancang khusus guna memenuhi kebutuhan mereka.

Kemiskinan dan konsekuensinya adalah realita ekonomi. Prioritas kita adalah untuk membantu meniadakan kemiskinan, tetapi kita tidak bisa meniadakan kemiskinan sama sekali sampai Kerajaan Allah digenapi. Umat percaya tidak berkuasa menyingkirkan berbagai situasi yang mengharuskan orang mengambil keputusan sulit, tetapi kita dapat menemukan cara-cara menolong mereka—atau diri kita sendiri—untuk bertahan, Memilih satu di antara dua pilihan yang tidak baik mungkin adalah hal yang perlu dikerjakan dan bisa sangat menguras emosi. Dalam pekerjaan, ada masanya kita mungkin menghadapi dilema antara empati terhadap orang miskin dan tanggung jawab untuk melakukan apa yang baik untuk organisasi dan orang-orang di tempat kita bekerja. Yusuf mengalami tuntunan Allah dalam menjalankan tugas-tugas yang sulit ini. Kita juga menerima janji Allah bahwa “Aku sekali-kali tidak akan mengabaikan engkau, dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibr. 13:5).

Berita baiknya, dengan mengaplikasikan keterampilan dan hikmat yang diberikan Allah, Yusuf berhasil membawa Mesir melewati bencana pertanian yang terjadi pada masa itu. Saat tujuh tahun kelimpahan datang, Yusuf membangun sistem logistik agar hasil panen dapat disimpan untuk cadangan makanan di musim kekeringan. Saat tujuh tahun kekeringan tiba, “Yusuf membuka gudang-gudang penyimpanan dan menyediakan cukup bahan makanan untuk memelihara bangsa Mesir melewati musim kelaparan. Strateginya yang bijak dan implementasi rencananya yang efektif bahkan memungkinkan Mesir mensuplai bahan makanan untuk negara-negara lain selama musim kelaparan itu (Kej. 41:57). Dalam kasus ini, pemenuhan janji Allah bahwa keturunan Abraham akan menjadi berkat bagi dunia, terjadi, bukan hanya untuk kebaikan bangsa asing, tetapi juga melalui aktivitas perekonomian sebuah bangsa asing, yaitu Mesir.

Bahkan, berkat Allah bagi umat Israel datang hanya setelah dan melalui berkat-Nya untuk orang-orang asing. Allah tidak membangkitkan seorang Israel di tanah Israel untuk menyediakan kebutuhan mereka di masa kelaparan. Allah justru memampukan Yusuf, bekerja di dalam dan melalui pemerintah Mesir, untuk mencukupi kebutuhan orang Israel (Kej. 47:11-12). Meski demikian, Yusuf bukanlah sosok tanpa cela. Sebagai seorang pejabat di negara yang terkadang represif, ia menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan ia sendiri menjadikan sangat banyak orang menjadi budak Firaun (Kej. 47:21).

Pelajaran dari Pengalaman Manajemen Yusuf (Kejadian 41:46-57; 47:13-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Kejadian menuliskan tentang bagaimana Yusuf mengatasi krisis pangan lebih untuk menunjukkan dampaknya terhadap keluarga Yakub atau Israel, bukan untuk mengajarkan prinsip-prinsip manajemen yang efektif. Meski demikian, ada pelajaran-pelajaran praktis yang dapat ditarik dari kepemimpinan Yusuf yang luar biasa untuk menjadi contoh yang bisa diikuti oleh para pemimpin di zaman ini, di antaranya:

1. Kita perlu berusaha sebaik mungkin mengenali situasi dan kondisi yang ada, berikut konteks orang-orang yang dilayani, pada saat memulai pelayanan kita.

2. Kita perlu berdoa minta hikmat untuk memahami hari esok, agar dapat membuat rencana-rencana yang bijaksana.

3. Dengar dan taati Allah lebih dahulu, maka Dia akan mengarahkan dan membuat rencana kita berhasil.

4. Terima dengan syukur dan gunakan dengan baik talenta yang telah diberikan Allah kepada kita.

5. Kehadiran Allah dan talenta khusus yang nyata terlihat dalam hidup kita, janganlah dipamer-pamerkan untuk mencari pengakuan dan penghargaan orang.

6. Latihlah diri kita sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan kita sebaik mungkin.

7. Berusahalah selalu membawa manfaat untuk orang lain, karena Allah menempatkan kita di mana kita berada sekarang untuk menjadi berkat.

8. Kita harus menjaga integritas dalam interaksi kita dengan semua orang, terutama saat situasi sulit dan penuh masalah.

9. Meski pelayanan yang luar biasa dapat membawa kita menjadi orang yang berkuasa, kita perlu mengingat misi awal kita sebagai pelayan Allah. Hidup tidak jadi bermakna dengan mencari kepentingan diri sendiri.

10. Hargai nilai-nilai yang selaras firman Allah dari beragam pekerjaan terhormat yang melayani kebutuhan masyarakat.

11. Hendaklah kita dengan murah hati membagikan manfaat dari pekerjaan kita seluas-luasnya kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya, tanpa pandang bulu.

12. Allah dapat membawa kita ke dalam satu bidang pekerjaan tertentu yang tantangannya luar biasa sulit; ini kenyataan yang perlu diterima. Tidak berarti ada sesuatu yang salah atau orang yang mengalaminya sedang di luar kehendak Allah.

13. Beranilah mengambil tanggung jawab. Allah akan memampukan kita untuk melakukan tugas yang harus kita kerjakan.

14. Terkadang kita harus memilih mana yang lebih baik dari dua situasi yang sama-sama tidak menyenangkan tetapi tidak bisa dihindari.

15. Percayalah bahwa pekerjaan kita tidak hanya akan membawa manfaat bagi orang yang kita lihat dan jumpai, tetapi berpotensi menyentuh banyak kehidupan di generasi yang akan datang. Allah dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan (Ef. 3:20).

Yusuf Bertemu dengan Saudara-saudaranya (Kej 42-43)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di tengah krisis di Mesir, kakak-kakak Yusuf tiba dari Kanaan, hendak membeli makanan, karena bencana kelaparan juga menimpa negeri mereka. Mereka tidak mengenali Yusuf, dan Yusuf juga tidak memberitahukan identitasnya kepada mereka. Ia berkomunikasi dengan mereka hanya dengan bahasa bisnis. Kata “perak” (kesef) muncul duapuluh kali dalam pasal 42 sampai 45 dan kata “biji-bijian” (shever) muncul sembilan belas kali. Dalam konteks perdagangan komoditi inilah kita melihat interaksi personal yang dinamis.

Perilaku Yusuf dalam situasi ini menjadi agak licik. Pertama-tama, ia menutupi identitasnya dari saudara-saudaranya, yang—meski tidak sampai pada level penipuan terang-terangan (kata Ibrani yang dipakai adalah mirmah, sama seperti yang dipakai dalam kisah Yakub di Kej. 27:35)—jelas ia tidak sepenuhnya jujur. Kedua, ia berbicara kasar kepada saudara-saudaranya dengan tuduhan yang ia sendiri tahu tidak berdasar (Kej. 42:7, 9, 14, 16; 44:3-5). Singkatnya, Yusuf memanfaatkan kekuasaannya untuk menekan sekelompok orang yang menurutnya mungkin tidak bisa dipercaya karena apa yang dulu pernah mereka lakukan kepadanya.[18] Motifnya adalah untuk mengenali seperti apa karakter orang-orang itu sekarang. Ia telah mengalami banyak derita karena mereka selama duapuluh tahun sebelumnya dan memiliki semua alasan untuk tidak mempercayai perkataan, tindakan, dan komitmen mereka kepada keluarga.

Cara Yusuf hampir mendekati kebohongan. Ia menahan informasi penting dan memanipulasi situasi dengan berbagai cara. Yusuf berlagak seperti seorang penyidik yang melakukan interogasi intensif. Ia tidak bisa berterus terang kepada mereka untuk mendapatkan informasi yang akurat dari mereka. Konsep Alkitab untuk taktik ini adalah kecerdikan. Kecerdikan bisa dilakukan untuk hal yang baik dan yang buruk. Di satu sisi, ular adalah “binatang paling cerdik dari semua binatang liar” (Kej. 3:1), dan memakai cara-cara licik untuk maksud jahat yang menghancurkan. Kata yang digunakan dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris antara lain adalah shrewd (NLT) dan crafty (NRSV). Kata dalam bahasa Ibrani untuk kecerdikan adalah ormah dan kata turunannya yang juga bisa diterjemahkan sebagai “penilaian yang baik”, “kecerdikan”, dan “kepintaran” (Ams. 12:23; 13:16; 14:8; 22:3; 27:12), menunjukkan bahwa butuh kemampuan untuk melihat ke depan dan keterampilan untuk membuat pekerjaan Ilahi bisa dilakukan di tengah konteks yang sulit. Yesus sendiri menasihati para murid-Nya untuk “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat. 10:16). Alkitab sering memuji kecerdikan dalam upaya mewujudkan maksud yang baik (Ams. 1:4; 8:5, 12).

Kecerdikan Yusuf memiliki dampak yang diharapkan dalam menguji integritas saudara-saudaranya. Mereka mengembalikan piala perak yang diam-diam dimasukkan Yusuf ke dalam bawaan mereka (Kej. 43:20-21). Saat ia menguji mereka lebih jauh dengan menjamu saudara bungsunya, Benyamin, dengan lebih murah hati daripada yang lain, mereka menunjukkan bahwa mereka telah belajar untuk tidak saling iri hati dan memusuhi saudara sendiri seperti yang dulu mereka lakukan saat menjual Yusuf sebagai budak.

Sangatlah dangkal jika tindakan Yusuf ini membuat kita mengambil kesimpulan bahwa berada di pihak Allah berarti boleh bohong. Namun, perjalanan panjang yang telah dilalui Yusuf dalam pekerjaan dan melewati kesulitan dalam pelayanan yang Tuhan percayakan memberinya pengertian yang lebih dalam dari situasi itu lebih dari para saudaranya. Tampaknya janji bahwa Allah akan membuat mereka menjadi bangsa yang besar tidak bisa mereka lihat. Yusuf tahu bahwa bukan kekuasaannya sebagai manusia yang bisa menyelamatkan bangsanya, tetapi ia memakai otoritas dan hikmat yang diberikan Allah untuk melayani dan membantu. Ada dua faktor penting yang membedakan cara Yusuf dalam membuat keputusan dengan cara-cara yang kurang terpuji. Pertama, ia tidak mendapat keuntungan pribadi dari semua skenario itu. Ia telah menerima berkat dari Allah, dan tindakannya semata-mata hendak menjadi berkat bagi sesama. Ia bisa saja mengekploitasi situasi sulit saudara-saudaranya dan dengan kejam menetapkan harga jual tinggi, tahu bahwa mereka akan memberikan apa saja untuk bertahan hidup. Namun, ia memakai pengetahuannya untuk menyelamatkan mereka. Kedua, tindakannya diperlukan sebelum ia memberikan berkat. Jika ia langsung berterus terang dengan para saudaranya, ia tidak bisa menguji integritas mereka.

Transformasi Yehuda menjadi seorang pelayan Allah (Kejadian 44:1-45:15)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam episode akhir dari ujian Yusuf terhadap saudara-saudaranya, Yusuf menangkap Benyamin dalam kejahatan yang sebenarnya tidak ia lakukan dan menahan Benyamin sebagai budak untuk ganti rugi. Saat ia menyuruh saudara-saudaranya pulang kepada Yakub tanpa Benyamin (Kej. 44:17), Yehuda bangkit sebagai juru bicara. Apa yang membuatnya bangkit mengambil peran itu? Ia telah mengecewakan keluarganya dengan menikahi seorang perempuan Kanan (Kej. 38:2), membesarkan putra-putra yang begitu jahat hingga Tuhan mencabut nyawa dua anaknya (Kej. 38:7, 10), memperlakukan menantunya sebagai seorang pelacur (Kej. 38:24), dan menyusun rencana untuk menjual saudara kandungnya sendiri sebagai seorang budak (Kej. 37:27). Namun, apa yang disampaikan Yehuda kepada Yusuf menunjukkan seorang pria yang telah berubah. Ia menunjukkan kepedulian yang besar dengan menceritakan kondisi memprihatinkan keluarganya yang mengalami kelaparan, kecintaan ayahnya kepada Benyamin, dan janji Yehuda sendiri kepada ayahnya untuk membawa pulang Benyamin, agar Yakub tidak mati merana. Puncaknya, Yehuda memberi diri untuk menggantikan posisi Benyamin. Ia meminta agar ia yang ditahan di Mesir sepanjang sisa hidupnya sebagai budak sang gubernur jika sang gubernur bersedia mengizinkan Benyamin pulang ke rumah ayahnya (Kej. 44:33-34).

Melihat perubahan dalam diri Yehuda, Yusuf dapat memberkati mereka sebagaimana yang dikehendaki Allah. Ia pun berterus terang kepada mereka: “Akulah Yusuf” (Kej.45:3). Tampaknya Yusuf melihat bahwa saudara-saudaranya kini bisa dipercaya. Dalam interaksi dengan orang yang hendak mengekploitasi dan menipu kita, kita harus bertindak hati-hati, cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, seperti perintah Yesus kepada para murid (Mat. 10:16). Dalam kalimat seorang penulis, “Kepercayaan diberikan kepada orang yang bisa dipercaya.” Semua yang Yusuf rencanakan dalam interaksinya dengan saudara-saudaranya mencapai puncak, memungkinkan ia memulai hubungan yang sehat dengan mereka. Ia menenangkan saudara-saudaranya yang ketakutan dengan menunjukkan bahwa semua yang terjadi adalah pekerjaan Allah sehingga Yusuf bisa menjadi penguasa atas seluruh tanah Mesir (Kej. 45:8). Waltke menuliskan pentingnya interaksi Yusuf dengan saudara-saudaranya ini sebagai berikut:

Bagian ini menunjukkan anatomi rekonsiliasi. Ada kesetiaan terhadap sesama anggota keluarga yang membutuhkan, sekalipun orangnya tampak bersalah; memberikan kemuliaan kepada Allah dengan mengakui dosa dan menerima konsekuensinya, mengabaikan perlakuan tidak adil yang pernah diterima, rela berkorban untuk menyelamatkan orang lain, menyatakan kasih sejati dengan tindakan pengorbanan nyata yang menciptakan hubungan saling percaya, melepas kendali dan kekuatan pengetahuan demi kedekatan hubungan, melibatkan belas kasih yang dalam, perasaan yang lembut, kepekaan, pengampunan; dan komunikasi satu sama lain. Keluarga bermasalah yang mau menerapkan semua ini, akan menjadi terang bagi dunia. [19]

Allah berkuasa untuk membawa berkat-Nya kepada dunia melalui manusia yang berdosa. Namun, kita harus mau bertobat dari jalan kita yang jahat dan berbalik kepada Allah untuk diubahkan, meski tidak berarti kita bebas sama sekali dari kesalahan dan kelemahan dalam hidup di dunia ini.

Bertolak belakang dengan nilai-nilai dari masyarakat di sekitar Israel, kerelaan para pemimpin untuk berkorban demi kesalahan orang lain dimaksudkan untuk menjadi ciri khas kepemimpinan di antara umat Allah. Musa menunjukkan karakter ini saat Israel berdosa dengan anak lembu emas. Ia berdoa, “Kumohon, Tuhan! Bangsa ini telah berbuat dosa besar dengan membuat ilah dari emas bagi dirinya. Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka. Jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari kitab yang telah Kautulis.” (Kel. 32:31-32). Daud menunjukkan karakter ini saat ia melihat malaikat Tuhan menulahi bangsanya. Ia berdoa, “… domba-domba ini, apakah yang telah dilakukan mereka? Biarlah kiranya tangan-Mu menimpa aku dan kaum keluargaku” (2 Sam. 24:17). Yesus, Sang Singa dari Yehuda, menunjukkan karakter ini saat Dia berkata, “Bapa mengasihi Aku, karena Aku memberikan nyawa-Ku agar Aku mengambilnya kembali. Tidak seorang pun mengambilnya dari Aku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:17-18).

Keluarga Yakub Pindah ke Mesir (Kejadian 45:16-47:12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yusuf dan Firaun bermurah hati memberikan saudara-saudara Yusuf apa yang terbaik di seluruh tanah Mesir” (Kej. 45:20), menyediakan transportasi dan perbekalan untuk perjalanan mereka kembali ke Kanaan. Akhir kisah yang tampaknya bahagia ini sayangnya memiliki sisi gelap. Allah menjanjikan Abraham dan keturunannya tanah Kanaan, bukan tanah Mesir. Lama setelah Yusuf meninggal, relasi Mesir dengan Israel berubah dari persahabatan menjadi perseteruan. Dari perspektif ini, bagaimana kebajikan Yusuf kepada keluarganya dapat dikaitkan dengan perannya sebagai perantara berkat Allah bagi semua kaum di muka bumi (Kej. 12:3)? Yusuf adalah seorang bijaksana yang membuat rencana untuk masa depan, mewujudkan amanah Allah untuk memberkati bangsa-bangsa pada masanya. Namun, Allah tidak membukakan kepadanya bahwa kelak akan bangkit seorang “raja baru… yang tidak mengenal Yusuf” (Kel. 1:8). Setiap generasi harus tetap setia kepada Allah dan menerima berkat Allah dalam zaman mereka. Sayangnya, keturunan Yusuf melupakan janji Allah dan meninggalkan iman mereka. Meski demikian, Allah tidak melupakan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, Yakub, dan keturunan mereka. Di antara keturunan mereka, Allah akan membangkitkan orang-orang pilihan untuk menyalurkan berkat yang dijanjikan-Nya.

Allah Memaksudkan Semuanya untuk Kebaikan (Kejadian 50:15-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kata-kata penyesalan dari kakak-kakaknya telah membawa Yusuf kepada satu titik pemahaman teologis terbaik dalam hidupnya dan dalam kitab Kejadian. Yusuf minta mereka untuk tidak takut, karena ia tidak akan menuntut pembalasan atas perlakuan mereka kepadanya. “Memang kamu telah merencanakan yang jahat terhadap aku,” katanya, “tetapi Allah telah merencanakannya demi kebaikan, untuk mewujudkan apa yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup banyak orang. Jadi, janganlah takut, aku akan memelihara kamu dan anak-anakmu juga” (Kej. 50:20-21). Frasa “banyak orang” yang disebutkan Yusuf menggemakan janji Allah untuk memberkati “semua kaum di muka bumi” (Kej. 12:3). Kita yang telah menerima Perjanjian Baru hari ini dapat melihat bagaimana berkat yang Allah berikan itu jauh lebih besar dari pada yang bisa didoakan atau dibayangkan Yusuf (baca Ef. 3:20).

Pekerjaan Allah di dalam dan melalui Yusuf memiliki nilai yang nyata, praktikal, dan tidak main-main—untuk memelihara hidup banyak orang. Jika kita mendapat impresi bahwa Allah menempatkan kita di tempat kerja sekarang hanya semata-mata agar kita bisa memberitakan-Nya kepada orang lain, atau bahwa satu-satunya bagian dari pekerjaan kita yang penting bagi Allah hanyalah membangun hubungan dengan sesama, pekerjaan Yusuf menunjukkan sebaliknya. Semua bagian pekerjaan kita penting bagi Allah dan bagi sesama kita. Terkadang sulit bagi kita melihat hal ini, karena pekerjaan kita seperti kepingan kecil dari tujuan Allah yang jauh lebih besar. Yusuf melihat pekerjaannya dengan perspektif yang lebih besar, sehingga ketika harus berhadapan dengan situasi yang naik turun, ia tidak menjadi tawar hati.

Tidak berarti relasi di tempat kerja lantas menjadi kurang penting. Mungkin orang-orang Kristen punya karunia istimewa untuk melepas pengampunan bagi orang lain di tempat kerja. Jaminan Yusuf untuk memelihara kehidupan saudara-saudaranya adalah sebuah contoh tindakan nyata pengampunan. Sesuai instruksi ayahnya, Yusuf mengampuni kakak-kakaknya dan secara verbal membebaskan mereka dari rasa bersalah. Namun, pengampunannya—sama seperti semua pengampunan sejati—tidak hanya sebatas perkataan. Yusuf memakai sumber daya Mesir yang berlimpah, yang Allah tempatkan di bawah kekuasaannya, untuk memenuhi kebutuhan saudara-saudaranya, agar mereka dapat hidup berkelimpahan. Ia mengakui bahwa penghakiman bukanlah bagiannya. “Apakah Aku ini Allah?” (Kej. 50:19). Ia tidak merebut peran Allah sebagai hakim, tetapi membantu saudara-saudaranya untuk berelasi dengan Allah yang telah menyelamatkan mereka.

Yusuf memiliki hubungan keluarga dengan saudara-saudaranya, sekaligus hubungan secara ekonomi. Tidak ada batas yang jelas di antara keduanya, pengampunan dapat diterapkan dalam dua konteks hubungan ini. Kita mungkin pernah berpikir bahwa nilai-nilai religius yang paling kita hargai utamanya hanya untuk diterapkan dalam lingkungan rohani seperti gereja. Padahal, sebagian besar dari kita bekerja di luar gereja dan kita harus menerima kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki iman Kristen seperti kita. Membuat pemisahan antara yang “rohani” dan “sekuler” bukanlah cara hidup yang selaras dengan perspektif Alkitab. Sebab itu, pengampunan adalah praktik yang sudah sewajarnya diterapkan juga di tempat kerja.

Selalu akan ada banyak luka dan kesulitan dalam hidup. Tidak ada perusahaan atau organisasi yang kebal dari hal-hal itu. Adalah naif untuk menganggap tidak ada orang yang secara sengaja menyakiti orang lain lewat perkataan atau perbuatan mereka. Sama seperti Yusuf, kita bisa mengakui kenyataan bahwa ada orang yang memang merencanakan hal jahat kepada kita. Namun, dalam kenyataan tersebut, Yusuf mengingat kebenaran yang lebih besar tentang kehendak Allah untuk kebaikan. Mengingat kebenaran yang sama saat kita merasa tersakiti menolong kita untuk mampu menanggung rasa sakit dan untuk lebih memahami penderitaan Kristus.

Yusuf memandang dirinya sebagai wakil Allah yang memiliki peran penting untuk menyatakan pekerjaan Allah kepada umat-Nya. Ia menyadari kejahatan yang bisa dilakukan manusia dan menerima bahwa terkadang musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Ia tahu kisah-kisah dalam keluarganya: ada iman, ada juga keraguan; ada kesetiaan melayani, ada pula hasrat mementingkan diri sendiri; ada kebenaran dan ada juga kebohongan. Ia pun tahu janji-janji Allah kepada Abraham, komitmen Allah untuk memberkati keluarga keturunan Abraham, dan kebijaksanaan Allah yang bekerja bersama umat-Nya sembari memurnikan mereka melalui api ujian hidup. Yusuf tidak menutupi dosa-dosa mereka, semua itu ia serap ke dalam kesadarannya tentang pekerjaan besar Allah. Kesadaran kita tentang janji Allah yang pasti digenapi, pasti memelihara, dan pasti terjadi, membuat semua jerih lelah kita, sebesar apa pun, terbayar.

Dari begitu banyak pelajaran tentang pekerjaan di dalam kitab Kejadian, satu pelajaran ini terus relevan dan bahkan menjelaskan tentang penebusan—penyaliban Allah yang mulia (1 Kor. 2:8-10). Di tempat kita bekerja, nilai-nilai dan karakter kita terlihat jelas ketika kita membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Dalam kuasa dan hikmat-Nya, Allah dapat bekerja dengan kesetiaan kita, memperbaiki kelemahan kita dan memakai kesalahan kita untuk mencapai apa yang telah Dia sediakan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya.

Kesimpulan dari Kejadian 12-50

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kejadian 12-50 menceritakan tentang tiga generasi pertama dari keluarga yang dipilih Allah untuk memberkati seluruh dunia. Tidak memiliki kuasa, jabatan, kekayaan, ketenaran, kemampuan, atau moral yang superior, mereka menerima panggilan untuk percaya pada pemeliharaan Allah, percaya bahwa Dia akan menggenapi visi besar yang Dia berikan bagi mereka. Sayangnya, meski Allah terbukti setia dalam segala hal, kesetiaan mereka masih kerap goyah. Mereka terbukti disfungsional seperti kebanyakan keluarga, tetapi mereka tidak dibuang, atau setidaknya tetap kembali kepada benih iman yang telah ditanamkan Allah dalam mereka. Bekerja di tengah dunia yang sudah jatuh dalam dosa, dikelilingi oleh orang-orang dan kekuasaan yang memusuhi mereka, dengan iman mereka “sambil memandang jauh ke depan, … memberikan berkatnya” (Ibr. 11:20) dan hidup menurut janji Allah. “Sebab itu, Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka” (Ibr. 11:16), kota tempat kita juga kelak akan bekerja sebagai para pengikut “Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (Mat. 1:1).

Ayat dan Tema Kunci dalam Kejadian 12-50

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat

Tema

Kejadian12:1-4a Berfirmanlah TUHAN kepada Abram, “Pergilah dari negerimu, dari sanak saudaramu, dan dari rumah bapamu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, memberkati engkau, serta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.

Berkat Allah tidak dibatasi untuk menguntungkan satu orang. Tujuannya adalah memampukan umat -Nya untuk menjadi berkat bagi orang lain.

Iman yang sehat menurut Alkitab itu bukan sekadar perasaan; tetapi respons aktif terhadap firman Tuhan.

Kejadian 13:2 Abram sangat kaya, memiliki banyak ternak, perak, dan emas.

Kekayaan tidak selalu merupakan tanda perkenan Allah atau upah atas kebaikan moral kita. Saat Allah memberikan kekayaan, kita patut memikirkan bagaimana menggunakan pemberian itu untuk memberkati sesama.

Kejadian 13:8-9 Berkatalah Abram kepada Lot, “Janganlah kiranya ada pertengkaran antara aku dan engkau, dan antara gembalaku dan gembalamu, sebab kita ini kerabat. Bukankah seluruh negeri ini ada di hadapanmu? Baiklah engkau memisahkan diri dariku. Jika engkau ke kiri, aku ke kanan; jika engkau ke kanan, aku ke kiri.”

Kemurahan hati dapat melampaui memberikan milik kita secara cuma-cuma. Memberikan orang lain peran aktif dalam mengambil keputusan menunjukkan sikap hormat kita kepada mereka sekaligus keyakinan kita pada pemeliharaan Allah atas kita.

Kejadian 14:22-23 Tetapi kata Abram kepada raja Sodom itu, “Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Maha Tinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil apa pun dari semua milikmu itu, seutas benang atau tali kasut pun tidak, supaya engkau tidak dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya.’”

Untuk menghindari kemungkinan orang menuduh kita berutang budi kepada mereka, orang percaya mungkin harus rela menolak apa yang menjadi hak mereka, demi tercapainya tujuan-tujuan Allah melalui mereka.

Kejadian 15:1 Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan, “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.”

Percaya kepada komitmen Allah terhadap perjanjian-Nya bagi kita adalah penawar ampuh untuk menghilangkan rasa takut dan ketidakpastian kita.

Kejadian 18:3-5 Abraham berkata, “Tuanku, jika aku mendapat kemurahan hati Tuanku, janganlah kiranya berlalu dari hambamu ini. Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan beristirahatlah di bawah pohon ini. Aku akan mengambil sepotong roti supaya Tuan-tuan segar kembali, kemudian Tuan-tuan boleh meneruskan perjalanan. Sebab, untuk itulah Tuan-tuan telah datang di tempat hambamu ini.”

Ada harga yang harus dibayar untuk menunjukkan keramahtamahan, tetapi hal itu memberikan kita konteks untuk membangun hubungan dan mengundang kehadiran Allah.

Kejadian 18:19 Sebab, Aku [TUHAN] telah memilih dia [Abraham], supaya ia memerintahkan anak-anaknya dan keturunannya untuk tetap mengikuti jalan TUHAN dengan melakukan kebenaran dan keadilan; juga supaya TUHAN memberi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.”

Mengikuti cara Allah menuntut iman yang dinyatakan di depan sesama manusia. Sebagai orang percaya, kita secara aktif bekerja menyatakan yang benar dan adil, untuk saat ini dan untuk generasi selanjutnya.

Kejadian 23:16 Abraham mendengarkan usul Efron. Ia menimbang perak untuk Efron, sebanyak yang dimintanya di hadapan bani Het, empat ratus syikal perak, seperti yang berlaku di antara para saudagar.

Orang percaya dapat memilih untuk menghormati Allah dengan bekerja sebaik mungkin, tidak mengikuti kebiasaan atau tradisi yang keliru.

Kejadian 24:12 Berkatalah ia, “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya aku berhasil hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.”

Orang percaya yang diberi tanggung jawab melayani orang-orang yang mengutus mereka dengan bergantung pada kuasa Allah dan bekerja untuk kemuliaan Allah.

Kejadian 32:26 Sahut Yakub, “aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku.”

Banyak orang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginan mereka. Berlawanan dengan itu, orang percaya menyadari bahwa berkat Allah merupakan hadiah, karunia, anugerah, yang akan diterima pada waktu-Nya.

Kejadian 33:10 Sahut Yakub, “Janganlah kiranya demikian. Jika aku mendapat kemurahan hatimu, terimalah pemberianku ini dari tanganku, karena melihat wajahmu saja bagiku serasa melihat wajah Allah, dan engkau berkenan kepadaku …”

Pekerjaan rekonsiliasi mungkin paling sulit dilakukan dengan orang-orang terdekat kita, tetapi karena kita memiliki Sang Sumber Damai, yaitu Kristus, kita dapat mempromosikan rekonsiliasi ke seluruh dunia.

Kejadian 37:5 Suatu kali Yusuf bermimpi, lalu ia menceritakan mimpinya itu kepada saudara-saudaranya. Itulah sebabnya mereka semakin membencinya.

Kecemburuan, iri hati, dan fitnah adalah musuh yang menakutkan. Tetapi Allah memanggil umat-Nya untuk bersabar dan memiliki iman yang aktif menantikan apa yang sudah dijanjikan Tuhan dalam firman-Nya.

Kejadian 39:3-4 Tuannyamelihat bahwa TUHAN menyertai dia dan bahwa apa pun yang dikerjakannya, TUHAN membuatnya berhasil. Yusuf mendapat kemurahan tuannya dan menjadi pelayannya. Yusuf pun diberinya kuasa atas rumahnya dan segala miliknya diserahkan ke dalam tangan Yusuf.

Kejadian 41:39-40 Kata Firaun kepada Yusuf, “Oleh karena Allah telah memberitahukan semuanya ini kepadamu, tidak ada seorang pun yang begitu berakal budi dan bijaksana seperti engkau. Engkaulah yang menjadi pemegang kuasa atas istanaku, dan seluruh rakyatku akan diatur oleh perintahmu. Hanya takhta inilah kelebihanku daripadamu.”

Mengetahui bahwa Allah telah menempatkan orang-orang percaya di mana Dia mau mereka berada, memampukan orang percaya melayani dengan setia, terlepas ada tidaknya pengaruh dan ketenaran yang mungkin diperolehnya dengan pekerjaan itu.

Kejadian 39:8-9 Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada istri tuannya itu, “Dengan kehadiranku tuanku tidak perlu lagi memusingkan apa pun yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya ke tanganku. Bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar daripadaku, dan tidak ada yang tidak diserahkannya kepadaku kecuali engkau, sebab engkau istrinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?”

Umat Allah memiliki tanggung jawab ganda: bekerja langsung kepada atasan manusia dan utamanya bertanggung jawab kepada Allah.

Kehidupan yang saleh tidak menjamin umat Allah akan selalu terluput dari perlakuan yang tidak adil.

Kejadian 41:16 Sahut Yusuf kepada Firaun, “Bukan aku, melainkan Allah yang akan memberitakan kesejahteraan kepada Tuanku Firaun.”

Umat Allah sepatutnya memuji Allah atas keterampilan yang mereka miliki, tetapi juga harus bijak melakukannya di tempat kerja, mengingat tidak semua orang di sana memiliki iman yang sama.

Kejadian 44:32 Tetapi, hambamu ini telah menjadi jaminan bagi anak itu di hadapan ayahku dengan mengatakan: Jika aku tidak membawadia kembali kepadamu, aku berdosa kepadamu, Ayahku, seumur hidupku.

Dalam situasi yang ekstrem, seorang pemimpin yang saleh mungkin harus membuat pengorbanan pribadi yang mahal untuk menepati janjinya dan untuk melindungi yang lemah.

Kejadian 50:20 [Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya) Memang kamu telah merencanakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah merencanakannya demi kebaikan, untuk mewujudkan apa yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup banyak orang.

Saat pengampunan menjadi cara hidup, jauh lebih mudah untuk memaafkan orang yang bersalah kepada kita dan melihat kebaikan rencana Allah dalam jangka panjang.

Kitab Keluaran dan Kerja

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Teologi kerja tidak dimulai dengan memahani apa yang Tuhan ingin kita lakukan atau bahkan bagaimana kita melakukannya. Teologi kerja dimulai dengan Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Pencipta dan Penebus, dan menunjukkan pada kita bagaimana menaati Dia dengan dibentuk sesuai karakter-Nya. Kita melakukan yang Allah ingin kita lakukan dengan menjadi makin seperti Dia. Dengan membaca kitab Keluaran, kita mendengar Allah menjelaskan tentang karakter-Nya sendiri, dan kita melihat Allah tertentu ini bekerja membentuk umat-Nya. Sebagai umat-Nya, orang Kristen tidak dapat bekerja menurut prinsip-prinsip ilahi-Nya jika tidak memahami kebenaran ini sebagai hal yang benar-benar berakar pada Allah tertentu ini, yang melakukan karya penebusan tertentu melalui diri Anak-Nya yang unik, dengan kuasa Roh Kudus-Nya. Intinya, kita belajar bahwa karakter Allah dinyatakan melalui tindakan/pekerjaan-Nya, dan pekerjaan-Nya membentuk pekerjaan kita. Mengikuti Allah dalam pekerjaan kita adalah topik utama kitab Keluaran, meskipun pekerjaan bukan hal yang utama dalam kitab ini.

Di dalam kitab Keluaran, kita menemukan banyak pembahasan tentang pekerjaan sehari-hari. Namun, perintah-perintah dan peraturan-peraturan ini berlaku dalam konteks kerja sekitar tiga ribu tahun yang lalu. Waktu terus berjalan, dan tempat-tempat kerja berubah. Beberapa ayat seperti, “Jangan membunuh” (Keluaran 20:13), tampaknya cocok dengan konteks masa kini maupun pada zaman Musa. Ayat-ayat lainnya, seperti “Apabila lembu seseorang menyeruduk lembu orang lain sampai mati, lembu yang hidup itu harus dijual, uangnya harus dibagi dan lembu yang mati itu dibagi juga” (Keluaran 21:35), tampaknya tidak dapat diterapkan langsung di banyak tempat kerja masa kini. Bagaimana kita dapat menghormati, menaati dan menerapkan perkataan Allah di kitab Keluaran tanpa terjatuh ke dalam perangkap legalisme atau penerapan yang salah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mulai dengan memahami bahwa kitab ini adalah cerita. Sebagaimana cerita itu menolong bangsa Israel untuk menempatkan dirinya dalam cerita Allah, cerita itu juga menolong kita untuk menemukan bagaimana kita bisa makin selaras dengan ungkapan cerita Alkitab kita saat ini. Tujuan dan cara kerja Allah bukan saja membentuk identitas kita sebagai umat-Nya, tetapi juga mengatur pekerjaan yang Allah mau kita lakukan.

Introduksi Kitab Keluaran

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Keluaran diawali dan diakhiri dengan orang Israel yang bekerja. Di awal kitab, orang Israel bekerja untuk orang Mesir. Di akhir kitab, mereka menyelesaikan pekerjaan membangun tabernakel/kemah suci menurut perintah TUHAN (Keluaran 40:33). Allah tidak membebaskan bangsa Israel dari bekerja. Dia membebaskan bangsa Israel untuk bekerja. Allah melepaskan mereka dari pekerjaan yang menindas (penindasan) raja Mesir yang tidak percaya Tuhan, dan memimpin mereka kepada pekerjaan baru dalam kerajaan-Nya yang penuh kasih karunia dan kudus. Meskipun nama kitab ini dalam Alkitab orang Kristen disebut “Keluaran,” yang berarti “jalan keluar”[1] orientasi-ke-depan kitab Keluaran bisa secara sah membuat kita menyimpulkan bahwa kitab ini sebenarnya tentang jalan masuk, karena menceritakan masuknya bangsa Israel ke dalam perjanjian Musa yang akan membentuk eksistensi mereka, bukan saja saat mengembara di padang gurun sekitar Semenanjung Sinai, tetapi juga saat mereka hidup dan menetap di Tanah Perjanjian. Kitab ini menyatakan bagaimana bangsa Israel harus mengenal Allah mereka, dan bagaimana bangsa ini harus bekerja dan beribadah di negeri mereka yang baru. Dalam segala hal, bangsa Israel harus ingat bahwa kehidupan mereka di bawah Allah akan berbeda dan lebih baik daripada kehidupan bangsa-bangsa lain yang menyembah dewa-dewa Kanaan. Saat ini pun, apa yang kita lakukan dalam bekerja muncul dari mengapa kita melakukannya dan untuk siapa sebenarnya kita melakukannya. Kita biasanya tidak perlu mencari jauh-jauh ke dalam masyarakat untuk menemukan contoh-contoh pekerjaan kasar dan menekan. Tentu saja Allah mau kita menemukan cara-cara yang lebih baik dalam melakukan pekerjaan dan memperlakukan orang lain. Namun, jalan masuk ke dalam cara bertindak yang baru itu didapat dari melihat diri kita sebagai penerima keselamatan Allah, mengetahui apa yang dikerjakan Allah, dan melatih diri kita sendiri untuk menaati perkataan-Nya.

Kitab Keluaran dimulai sekira empat ratus tahun setelah akhir kitab Kejadian. Di dalam kitab Kejadian, Mesir merupakan tempat yang ramah, tempat Allah pada akhirnya meninggikan Yusuf agar ia dapat menyelamatkan hidup keturuan Abraham (Kejadian 50:20). Hal ini sesuai dengan janji-janji Allah yang akan membuat Abraham menjadi bangsa yang besar, memberkatinya dan menjadikannya berkat bagi orang lain, membuat namanya masyhur, dan memberkati seluruh keluarga di bumi melaluinya (Kejadian 12:2-3). Namun, di dalam kitab Keluaran, Mesir adalah tempat penindasan, di mana perkembangan orang Israel menimbulkan bahaya kematian. Orang Mesir hampir tidak melihat orang Israel sebagai berkat ilahi, meskipun mereka tidak mau melepaskan tenaga budak mereka. Pada akhirnya, penyelamatan bangsa Israel di Laut Merah menimbulkan banyak korban jiwa di pihak Firaun dan rakyatnya.Mengingat janji-janji Allah kepada keluarga Abraham serta rencana Allah untuk memberkati bangsa-bangsa, umat Allah dalam kitab Keluaran sangat banyak mengalami masa transisi. Jumlah orang Israel yang sangat besar menunjukkan kemurahan Allah, tetapi generasi anak laki-laki berikutnya menghadapi ancaman kepunahan (Keluaran 1:15-16). Bangsa itu secara keseluruhan belum berada di negeri yang Allah janjikan kepada mereka.

Seluruh kitab Taurat menggemakan tema penggenapan yang belum lengkap ini. Janji-janji Allah kepada keturunan Abraham, relasi yang berkenan pada Allah, dan negeri yang akan didiami semuanya mengungkapkan rencana-rencana Allah, tetapi semuanya masih dalam keadaan bahaya tertentu di dalam cerita itu.[2] Di antara kelima kitab Taurat, kitab Keluaran secara khusus mengangkat unsur relasi dengan Allah, baik saat Allah membebaskan umat-Nya dari Mesir maupun saat Dia mengadakan perjanjian dengan mereka di Sinai.[3] Hal ini sangat penting dalam kita membaca kitab ini untuk mendapatkan wawasan-wawasan tentang kerja pada saat ini. Kita akan menghargai bentuk dan isi kitab ini jika kita mengingat bahwa relasi kita dengan Allah melalui Yesus Kristus berawal dari yang kita baca di sini, dan itu akan mengorientasikan seluruh hidup dan pekerjaan kita di sekitar maksud dan rencana Allah.

Untuk memahami karakter Israel sebagai bangsa dalam masa transisi, kita akan mengupas kitab ini dan memeriksa kontribusinya pada teologi kerja berdasarkan tahap-tahap perjalanannya secara geografis mulai dari Mesir, Laut Merah, dalam perjalanan menuju Sinai, dan sampai akhirnya tiba di Sinai.

Bangsa Israel di Mesir (Keluaran 1:1-13:16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perlakuan kejam orang Mesir terhadap bangsa Israel menjadi latar belakang dan momentum penebusan mereka. Firaun tidak mengizinkan mereka mengikuti Musa ke padang gurun untuk menyembah TUHAN dan menolak tuntutan kebebasan beragama mereka. Namun, penindasan mereka sebagai pekerja dalam sistem perekonomian di Mesir inilah yang benar-benar menjadi perhatian kita. Allah mendengar rintihan umat-Nya dan melakukan sesuatu tentang hal itu. Namun kita perlu ingat bahwa orang Israel mengeluh bukan karena pekerjaan pada umumnya, tetapi karena kekerasan kerja mereka. Sebagai jawabannya, Allah tidak membawa mereka ke dalam kehidupan yang beristirahat total, tetapi melepaskan mereka dari pekerjaan yang menyesakkan.

Kekerasan Kerja Orang Israel Sebagai Budak di Mesir (Keluaran 1:8-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pekerjaan yang dibebankan orang Mesir kepada orang Israel itu bermotif jahat dan bersifat kejam. Adegan awal menampilkan negeri Mesir yang dipenuhi orang-orang Israel yang sudah beranak-pinak dan bertambah banyak. Ini menggemakan tujuan penciptaan Allah (Kejadian 1:28; 9:1) dan juga janji-Nya kepada Abraham dan keturunannya sebagai umat pilihan-Nya (Kejadian 17:6; 35:11; 47:27). Sebagai bangsa, mereka ditentukan untuk memberkati dunia. Di bawah pemerintahan sebelumnya, bangsa Israel mendapat izin kerajaan untuk tinggal dan bekerja di negeri itu. Namun, raja Mesir yang baru merasa, jumlah mereka yang besar akan mengancam keamanan nasional, sehingga mereka lalu memutuskan untuk bertindak “cerdik” terhadap mereka (Keluaran 1:10). Kita tidak tahu apakah orang Israel benar-benar menjadi ancaman atau tidak. Penekanannya ada pada ketakutan destruktif Firaun yang menyebabkannya mula-mula memperburuk kondisi kerja mereka dan kemudian melakukan pembunuhan bayi laki-laki untuk menahan lajunya pertumbuhan populasi mereka.

Bekerja bisa membebani secara fisik dan mental, tetapi ini tidak membuatnya menjadi salah. Yang membuat situasi di Mesir tak tertahankan bukan cuma perbudakannya saja tetapi juga penindasannya yang ekstrem. Orang Mesir memaksa orang Israel bekerja “dengan kejam” (befarekh, Keluaran 1:13,14), dan membuat hidup mereka “pahit” (marar, Keluaran 1:14) dengan perkerjaan yang “berat” (qasheh , dalam arti “kejam”- Keluaran 1:14; 6:8). Akibatnya, orang Israel merana dalam “kesengsaraan” dan “penderitaan” (Keluaran 3:7) dan merasa “putus asa” (Keluaran 6:8). Bekerja, yang merupakan salah satu tujuan utama dan sukacita hidup manusia (Kejadian 1:27-31; 2:15), berubah menjadi kesengsaraan akibat kerasnya penindasan.

Pekerjaan Para Bidan dan Ibu (Keluaran 1:15-2:10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di tengah perlakuan kejam itu, bangsa Israel tetap menaati perintah Allah untuk beranak-pinak dan bertambah banyak (Kejadian 1:28). Ini berarti melahirkan anak-anak, yang pada gilirannya bergantung pada pekerjaan para bidan. Selain kehadirannya di dalam Alkitab, pekerjaan para bidan diterima baik di Mesopotamia dan Mesir kuno. Para bidan membantu wanita-wanita dalam persalinan, memotong tali pusat bayi, memandikan dan menyerahkan anak itu kepada ibu dan ayahnya.

Para bidan dalam cerita ini memiliki rasa takut akan Allah yang menyebabkan mereka tidak mematuhi perintah kerajaan untuk membunuh semua anak laki-laki yang lahir dari perempuan Ibrani (Keluaran 1:15-17). Pada umumnya, “takut akan Allah” (dan ungkapan-ungkapan terkait) di Alkitab merujuk pada relasi yang sehat dan taat dengan Allah yang membuat perjanjian dengan Israel (Ibrani: YHWH). Rasa “takut akan Allah” mereka lebih kuat dari segala ketakutan yang mungkin ditimbulkan Firaun Mesir pada mereka. Selain itu, keberanian mereka kemungkinan muncul dari pekerjaan mereka. Apakah orang-orang yang sehari-hari mengantar kehidupan baru dalam kelahiran itu menghargai kehidupan sedemikian tingginya sampai membunuh menjadi hal yang mustahil, sekalipun diperintahkan oleh seorang raja?

Ibu Musa, Yokhebed (Keluaran 6:19), adalah seorang wanita lain yang menghadapi pilihan yang tampaknya mustahil dan menemukan solusi kreatif. Hampir tak bisa dibayangkan bagaimana ia bisa ditolong dengan diam-diam dan berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki, disusul dengan kesusahannya karena harus menaruh bayinya di sungai, dan melakukannya dengan cara yang benar-benar akan menyelamatkan hidupnya. Sejajar dengan bahtera Nuh—kata Ibrani untuk “keranjang/peti pandan” (Keluaran 2:3) hanya digunakan satu kali di bagian lain Alkitab, yaitu untuk “bahtera” Nuh – yang memberitahu kita bahwa Allah sedang bertindak bukan saja untuk menyelamatkan seorang bayi laki-laki, atau bahkan satu bangsa, tetapi juga untuk menebus seluruh ciptaan melalui Musa dan bangsa Israel. Sebagaimana Allah memberikan ganjaran kepada para bidan itu, Allah juga menunjukkan kemurahan kepada ibu Musa. Ia mendapatkan kembali putranya dan bisa merawatnya sendiri sampai anak itu menjadi cukup besar untuk diadopsi sebagai anak putri Firaun. Pekerjaan baik melahirkan dan merawat anak dikenal sangat rumit, menuntut dan patut dipuji (Amsal 31:10-31). Di dalam kitab Keluran, kita tidak membaca pergumulan batin apa pun yang dialami Yokhebed, sang pahlawan wanita tanpa tanda jasa. Dari perspektif cerita, kehidupan Musa adalah pokok utama. Namun, Alkitab juga kemudian memuji baik Yokhebed maupun Amran, ayah Musa, atas cara mereka mempraktikkan iman mereka (Ibrani 11:23).

Pekerjaan melahirkan dan merawat anak seringkali kurang dianggap. Para ibu, khususnya, sering mendapat pesan bahwa melahirkan anak tidaklah sepenting dan patut dipuji seperti pekerjaan yang lain. Namun, ketika kitab Keluaran menyampaikan cerita tentang cara menaati Allah, hal pertama yang disampaikan pada kita adalah betapa pentingnya melahirkan, merawat, melindungi dan menolong anak-anak. Tindakan keberanian yang pertama, yang dalam kitab ini dipenuhi dengan perbuatan-perbuatan yang berani, adalah keberanian seorang ibu, keluarganya dan para bidan yang menyelamatkan anaknya.

Panggilan Allah kepada Musa (Keluaran 2:11-3:22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun Musa orang Ibrani, ia dibesarkan dalam keluarga kerajaan Mesir sebagai cucu Firaun. Rasa muaknya terhadap ketidakadilan meledak menjadi serangan maut terhadap seorang Mesir yang ia dapati memukul pekerja Ibrani. Tindakan ini menjadi perhatian raja Firaun, sehingga Musa lalu melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya dan menjadi gembala di Midian, sebuah wilayah yang jauhnya beberapa ratus mil di timur Mesir, sisi lain Semenanjung Sinai. Kita tidak tahu pasti berapa lama Musa tinggal di sana, tetapi selama waktu itu ia menikah dan punya anak. Selain itu, dua hal penting terjadi. Raja Mesir wafat, dan Allah mendengar seruan umat-Nya yang tertindas dan mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub (Keluaran 2:23-25). Tindakan mengingat ini tidak berarti Allah sudah melupakan umat-Nya. Ini hanya menandakan bahwa Dia akan bertindak untuk kepentingan mereka.[1] Untuk itu, Dia akan memanggil Musa.

Panggilan Allah kepada Musa datang ketika Musa sedang bekerja. Cerita tentang proses pemanggilan ini meliputi enam unsur yang membentuk pola yang jelas dalam kehidupan para pemimpin dan nabi-nabi lain dalam Alkitab. Karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari cerita panggilan ini dan memikirkan implikasinya bagi kita saat ini, khususnya dalam konteks kerja.

Pertama, Allah menjumpai Musa dan menarik perhatiannya melalui peristiwa semak duri yang menyala (Keluaran 3:2-5). Semak yang terbakar di semi padang gurun bukan hal yang luar biasa, tetapi Musa tertarik oleh kejadian yang satu ini. Musa mendengar namanya dipanggil dan ia menjawab, “Ya, ini aku” (Keluaran 3:4). Ini adalah pernyataan tentang kesediaan, bukan tempat keberadaan. Kedua, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah bapa-bapa leluhurnya dan menyampaikan maksud-Nya untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir dan membawanya ke negeri yang telah Dia janjikan kepada Abraham (Keluaran 3:6-9). Ketiga, Allah mengutus

Musa kepada Firaun untuk membawa umat Allah keluar dari Mesir (Keluaran 3:10). Keempat, Musa keberatan (Keluaran 3:11). Meskipun ia baru saja mendengar pewahyuan luar biasa tentang siapa yang berbicara padanya saat itu, kekhawatirannya seketika itu adalah, “Siapakah aku ini?” Untuk mengatasi hal ini, Allah menenteramkan hati Musa dengan janji penyertaan-Nya sendiri (Keluaran 3:12a). Akhirnya, Allah berbicara tentang tanda peneguhan (Keluaran 3:12b).

Unsur-unsur yang sama ini tampak di sejumlah cerita panggilan lain di Alkitab – seperti dalam panggilan Gideon, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan beberapa murid Yesus. Ini bukan pola yang pasti, karena banyak cerita panggilan lain di Alkitab memiliki pola yang berbeda. Namun, pola ini menunjukkan bahwa panggilan Allah seringkali datang melalui serangkaian perjumpaan yang menuntun seseorang di jalan Allah dari waktu ke waktu.

Hakim
Gideon

Nabi
Yesaya

Nabi
Yeremia

Nabt
Yehezkiel


Murid-murid Yesus

di kitab Matius

Perjumpaan

6:11b-12a

6:1-2

1:4

1:1-28a

28:16-17

Perkenalan

6:12b-13

6:3-7

1:5a

1:28b-2:2

28:18

Penugasan

6:14

6:8-10

1:5b

2:3-5

28:19-20a

Keberatan

6:15

6:11a

1:6

2:6, 8

Penenteraman

6:16

6:11b-13

1:7–8

2:6-7

28:20b

Tanda Peneguhan

6:17-21

1:9-10

2:9-3:2

Kemungkinan kitab

Kisah Para Rasul

Perhatikan bahwa panggilan-panggilan ini bukan melulu untuk pekerjaan keimaman atau kerohanian di suatu jemaat. Gideon adalah seorang pemimpin militer; Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel adalah para kritikus sosial; dan Yesus seorang raja (meskipun tidak dalam arti yang biasa). Di banyak gereja saat ini, istilah “panggilan” dibatasi pada pekerjaan-pekerjaan kerohanian, padahal tidak demikian halnya di dalam Alkitab, dan pastinya di kitab Keluaran. Musa sendiri bukan seorang imam atau pemimpin agama (itu peran Harun dan Miryam), tetapi seorang gembala, negarawan dan gubernur. Pertanyaan Allah kepada Musa, "Apa yang ada di tanganmu itu?" (Keluaran 4:2) memfungsikan-kembali alat yang biasa dipakai Musa untuk menggembalakan domba untuk penggunaan yang tak pernah ia bayangkan mungkin terjadi (Keluaran 4:3-5).

Pekerjaan Penebusan Allah bagi Israel (Keluaran 5:1-6:28)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam kitab Keluaran, Allah adalah Pekerja esensial (yang utama dan terpenting). Sifat dan tujuan pekerjaan ilahi itu membentuk agenda untuk pekerjaan Musa dan melaluinya, untuk pekerjaan umat Allah. Panggilan Allah pada Musa pada awalnya berisi penjelasan tentang pekerjaan Allah. Panggilan ini menggerakkan Musa untuk berbicara atas nama TUHAN kepada Firaun dan berkata, “Biarkanlah umat-Ku pergi” (Keluaran 5:1). Penolakan Firaun bukan cuma secara verbal; ia bahkan menindas orang Israel lebih kejam lagi dari sebelumnya. Di akhir episode ini, bangsa Israel sendiri jadi berbalik menyerang Musa (Keluaran 5:20-21). Pada saat krusial inilah, dalam rangka menjawab pertanyaan Musa kepada Allah tentang semua upaya ini, Allah menjelaskan rencana pekerjaan-Nya. Yang kita baca di Keluaran 6:2-8 bukan hanya menyangkut konteks penindasan bangsa Israel di Mesir saat itu, tetapi juga merupakan agenda yang mencakup seluruh pekerjaan Allah dalam Alkitab.[1] Semua orang Kristen perlu mengetahui dengan jelas cakupan pekerjaan Allah, karena hal ini akan menolong kita mengerti apa artinya berdoa “Datanglah kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Matius 6:10). Penggenapan rancangan ini adalah urusan Allah. Untuk menyelesaikannya, Dia akan melibatkan banyak sekali umat-Nya, bukan hanya orang-orang yang melakukan pekerjaan “religius.” Memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang pekerjaan Allah akan memperlengkapi kita untuk memikirkan dengan lebih baik bukan saja sifat pekerjaan kita, tetapi juga cara yang dirancang Allah untuk kita melakukannya.

Agar dapat lebih mengapresiasi ayat kunci ini, kita akan membuat beberapa observasi singkat tentang hal ini dan kemudian menunjukkan bagaimana relevansinya pada teologi kerja. Setelah memberikan jawaban awal yang meyakinkan atas pertanyaan Musa yang menuduh tentang misi Allah (Keluaran 5:22-6:1), Allah membingkai jawaban-Nya yang selanjutnya dengan perkataan “Akulah TUHAN” di awal dan di akhir (Keluaran 6:1,7). Frasa kunci ini menandai batas paragraf itu dan membuat isinya menjadi prioritas yang sangat tinggi. Para pembaca harus benar-benar memerhatikan bahwa perkataan ini tidak menyatakan tentang apa Allah itu dalam arti sebutan. Perkataan ini menyatakan tentang nama Allah sendiri dan karena itu berbicara tentang siapa Dia.[2] Dia adalah Allah pembuat-perjanjian yang menepati-janji yang telah menampakkan diri kepada bapa-bapa leluhur (Abraham, Ishak dan Yakub). Oleh karena itu, pekerjaan yang akan Dia lakukan bagi umat-Nya didasarkan pada maksud-maksud yang telah Dia sampaikan kepada mereka. Yaitu, untuk membuat keturunan Abraham menjadi sangat banyak, membuat namanya masyhur, memberkatinya agar melalui Abraham, Allah akan memberkati seluruh keluarga di bumi (Kejadian 12:2-3).

Pekerjaan Allah lalu muncul dalam empat bagian. Keempat tujuan penebusan Allah ini muncul lagi dalam berbagai hal di sepanjang Perjanjian Lama dan bahkan memberi bentuk pada puncak pekerjaan penebusan Allah dalam Yesus Kristus. Yang pertama adalah pekerjaan pembebasan. “Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir dan melepaskan kamu dari perbudakan mereka. Aku akan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang besar” (Keluaran 6:5). Yang melekat pada pekerjaan pembebasan ini adalah kebenaran yang nyata bahwa dunia adalah tempat berbagai macam penindasan. Kita kadang memakai kata keselamatan untuk menjelaskan tindakan Allah ini, tetapi kita harus hati-hati agar tidak memahaminya dalam arti penyelamatan dari bumi ke surga (dan tentu saja bukan dari dunia materi ke alam roh), atau hanya sebagai pengampunan dosa. Allah Israel bisa dikatakan menyelamatkan umat-Nya dengan masuk ke dunia mereka dan membuat perubahan “di lapangan.” Kitab Keluaran tidak hanya menunjukkan pembebasan Allah atas bangsa Israel dari tangan Firaun Mesir, tetapi juga menyiapkan panggung untuk Raja Mesianis, Yesus, membebaskan umat-Nya dari dosa dan mengalahkan Iblis, tirani kejahatan tertinggi (Matius 1:21; 12:28).

Kedua, Allah akan membentuk komunitas ilahi. “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu” (Keluaran 6:6a). Allah menyelamatkan umat-Nya bukan supaya mereka dapat hidup sesuka-suka mereka, atau sebagai individu-individu tersendiri. Dia bermaksud menciptakan suatu komunitas yang berbeda secara kualitatif, yang di dalamnya umat-Nya akan hidup bersama Dia dan satu sama lain dalam kesetiaan perjanjian. Setiap bangsa di zaman kuno memiliki “allah” masing-masing, tetapi identitas Israel sebagai umat Allah mencakup gaya hidup yang taat pada semua ketetapan, perintah dan hukum Allah (Ulangan 26:17-18). Ketika nilai-nilai dan tindakan-tindakan ini mewarnai hubungan mereka dengan Allah dan satu sama lain (bahkan dengan orang-orang di luar perjanjian itu), bangsa Israel akan semakin menunjukkan apa sesungguhnya arti menjadi umat Allah. Lagi-lagi, hal ini membentuk latar belakang bagi Yesus yang akan membangun “gereja”-Nya, bukan sebagai bangunan fisik yang terdiri dari batu atau bata, tetapi sebagai komunitas baru dengan murid-murid dari segala suku bangsa (Matius 16:18; 28:19).

Ketiga, TUHAN akan membangun relasi yang tak berkesudahan antara Dia dan umat-Nya. “Kamu akan mengetahui bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir” (Keluaran 6:6b). Semua pernyataan tujuan Allah yang lain dimulai dengan kata “Aku”, kecuali yang satu ini. Di sini fokusnya ada pada “kamu”. Allah mau umat-Nya memiliki pengalaman berelasi dengan Allah yang sudah bermurah hati menyelamatkan mereka. Bagi kita, pengetahuan tampaknya praktis sama dengan informasi. Konsep pengetahuan yang alkitabiah mencakup pemahaman ini, dan juga pengalaman antarpribadi dalam mengenal orang lain. Berkata bahwa Allah tidak membuat diri-Nya “dikenal” Abraham sebagai “TUHAN” tidak berarti Abraham tidak mengenal nama ilahi “YHWH” (Kejadian 13:4; 21:33). Ini cuma berarti bahwa Abraham dan keluarganya belum mengalami secara pribadi pentingnya nama ini sebagai gambaran Allah Pemegang-janji yang akan berperang bagi umat-Nya dan membebaskan mereka dari perbudakan berskala nasional. [3] Pada akhirnya, nama ini disandang oleh Yesus, yang disebut “Imanuel” yang artinya “Allah menyertai kita” dalam relasi (Matius 1:23).

Keempat, Allah mau umat-Nya mengalami kehidupan yang baik. “Aku akan membawa kamu ke negeri yang Kujanjikan dengan sumpah untuk diberikan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub; Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu” (Keluaran 6:7). Allah berjanji memberikan tanah Kanaan kepada Abraham, tetapi tidaklah tepat jika kita menganggap “tanah/ negeri” ini sama dengan sebatas konsep kita tentang “wilayah.” Tanah/negeri ini adalah negeri perjanjian dan ketetapan. Gambaran yang tetap dan positif tentang negeri itu sebagai “negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya” (Keluaran 3:8) menyoroti sifat simbolisnya sebagai tempat hidup bersama Allah dan umat Allah dalam kondisi-kondisi ideal, yang kita pahami sebagai “hidup yang berkelimpahan.”[4] Di sini lagi-lagi kita melihat bahwa pekerjaan keselamatan Allah adalah melakukan pembaruan seluruh ciptaan-Nya - lingkungan fisik, manusia, budaya, ekonomi, semuanya. Inilah juga yang menjadi misi Yesus ketika Dia memprakarsai datangnya kerajaan Allah di bumi, tempat orang yang lemah lembut mewarisi bumi (negeri itu) dan mengalami hidup yang kekal (Matius 5:5; Yohanes 17:3).[5] Misi ini akan mendapat penyelesaiannya di Yerusalem Baru (Wahyu 21 dan 22). Dengan demikian, kitab Keluaran menyiapkan jalan untuk keseluruhan isi Alkitab selanjutnya.

Pikirkanlah bagaimana pekerjaan kita saat ini bisa mengungkapkan keempat tujuan penebusan ini. Pertama, kehendak Allah adalah membebaskan manusia dari penindasan dan kondisi-kondisi hidup yang berbahaya. Sebagian pekerjaan ini menyelamatkan orang dari bahaya-bahaya secara fisik; sebagian lainnya berfokus pada mengatasi trauma emosional dan psikologis. Pekerjaan pemulihan menangani orang satu per satu; orang yang menemukan solusi-solusi politik untuk kebutuhan-kebutuhan kita dapat memberkati seluruh masyarakat dan golongan. Para pekerja di bidang penegakan hukum dan sistem peradilan harus bertujuan mengendalikan dan menghukum orang yang melakukan kejahatan, melindungi masyarakat, dan memerhatikan para korban. Mengingat begitu banyak dan beragamnya penindasan di dunia, selalu akan ada banyak peluang dan cara untuk melakukan pekerjaan pembebasan.

Tujuan kedua dan ketiga (komunitas dan relasi) saling berkaitan erat. Pekerjaan baik yang memajukan perdamaian dan keharmonisan sejati di surga akan meningkatkan belas kasihan dan keadilan di bumi. Inilah inti pengajaran yang disampaikan Paulus kepada jemaat di Korintus: bahwa, melalui Kristus, Allah telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan memercayakan pesan dan pelayanan pendamaian itu kepada kita (2 Korintus 5:16-20). Orang Kristen sudah mengalami pendamaian ini dan karenanya memiliki motif dan sarana untuk melakukan pekerjaan baik ini. Pekerjaan penginjilan dan pertumbuhan rohani menghargai satu aspek bidang ini; pekerjaan pendamaian dan keadilan menghargai aspek antarpribadi. Intinya, keduanya tak dapat dipisahkan dan orang-orang yang bekerja di bidang-bidang ini sebaiknya mengingat sifat holistik pekerjaan Allah. Yesus mengajarkan bahwa karena kita adalah terang dunia, kita harus membiarkan terang kita bercahaya di depan orang lain (Matius 5:14-16).

Membangun komunitas dan relasi bisa menjadi obyek pekerjaan kita, seperti dalam kasus sebagai organisator masyarakat, pekerja kaum muda, pemimpin masyarakat, perancang acara, pekerja media sosial, orangtua dan anggota keluarga, dan banyak lagi yang lainnya. Namun, komunitas dan relasi juga bisa menjadi unsur pekerjaan kita, apa pun pekerjaan kita itu. Ketika kita menyambut dan membantu pekerja baru, bertanya dan mendengarkan ketika orang lain berbicara tentang hal-hal penting, mau bersusah-susah menemui seseorang secara pribadi, mengirim kartu ucapan yang memberi semangat, membagikan foto kenangan, membawa makanan sehat untuk dibagikan, melibatkan seseorang dalam percakapan, atau sejumlah tindakan bersahabat lainnya, kita sedang memenuhi dua tujuan pekerjaan ini, hari demi hari.

Akhirnya, pekerjaan baik memajukan kehidupan yang baik. Allah memimpin umat-Nya keluar dari Mesir agar dapat membawa mereka masuk ke Tanah Perjanjian, tempat mereka bisa tinggal, hidup dan berkembang. Namun,, yang dialami bangsa Israel di sana masih jauh dari yang ideal menurut Allah. Begitu pula, yang dialami orang Kristen di dunia juga tidak ideal. Janji untuk masuk ke peristirahatan Allah masih terbuka (Ibrani 4:1). Kita masih menantikan langit yang baru dan bumi yang baru. Namun, banyak hukum perjanjian yang Allah berikan melalui Musa berkaitan dengan perilaku etika terhadap satu sama lain. Karena itu, penting sekali untuk mengungkapkan berkat Allah melalui cara kita hidup dan bekerja dengan satu sama lain. Jika dipandang dari sisi negatif, bagaimana mungkin kita dapat mengharapkan seluruh kaum di muka bumi mengalami berkat Allah melalui kita (keturunan Abraham dalam iman kepada Kristus), jika kita sendiri mengabaikan perintah-perintah Allah tentang cara hidup dan melakukan pekerjaan kita? Sebagaimana ditulis Christopher Wright, “Umat Allah dalam kedua perjanjian dipanggil untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Dan tidak akan ada terang bagi bangsa-bangsa yang tidak bercahaya dalam hidup orang-orang kudus yang sudah diubahkan.”[6] Dengan demikian jelaslah bahwa “kehidupan yang baik” yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan kemakmuran yang mementingkan diri sendiri secara tak terkendali atau konsumerisme yang mencolok mata, karena kehidupan yang baik ini mencakup spektrum kehidupan yang luas sebagaimana yang dimaksudkan Allah: penuh kasih, keadilan dan kemurahan.

Musa dan Harun Menyatakan Hukuman Allah kepada Firaun (Keluaran 7:1-12:51)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah memulai tahap pertama—pembebasan—dengan mengutus Musa dan Harun kepada Firaun untuk “membiarkan orang Israel pergi dari negerinya” (Keluaran 7:2). Untuk melakukan tugas ini, Allah memakai keterampilan alami Harun yang pandai bicara (Keluaran 4:14; 7:1). Dia juga memperlengkapi Harun dengan keterampilan yang melebihi keterampilan para pejabat tinggi Mesir (Keluaran 7:10-12). Ini mengingatkan kita bahwa misi Allah meliputi perkataan dan perbuatan.

Firaun menolak memenuhi perintah Allah, melalui Musa, untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan. Pada waktunya, Musa menyatakan hukuman Allah kepada Firaun melalui serangkaian malapetaka (tulah) yang makin lama makin ganas (Keluaran 7:17-10:29). Tulah-tulah ini menimbulkan kesengsaraan pribadi. Yang lebih penting, tulah-tulah ini menurunkan secara drastis kapasitas produksi bangsa dan negeri Mesir. Penyakit-penyakit membuat hewan ternak pada mati (Keluaran 9:6). Panen-panen gagal dan padang-padang rusak (Keluaran 9:25). Hama-hama menyerang berbagai ekosistem (Keluaran 8:6, 24; 10:13-15). Di dalam kitab Keluaran, malapetaka ekologis merupakan pembalasan Allah atas kekejaman dan penindasan Firaun. Di dunia masa kini, penindasan politik dan ekonomi juga merupakan faktor utama dalam kerusakan lingkungan dan malapetaka ekologis. Sungguh bodoh jika kita berpikir kita bisa mengambil alih otoritas Musa dan menyatakan hukuman Allah dalam hal-hal ini. Namun, dari sini kita dapat melihat bahwa sebagaimana ekonomi, politik, budaya dan masyarakat memerlukan penebusan, demikian juga lingkungan hidup.

Setiap peringatan-yang-diwujudkan ini meyakinkan Firaun untuk melepaskan bangsa Israel, tetapi begitu setiap tulah berlalu, ia berubah pikiran lagi. Pada akhirnya, Allah mendatangkan tulah yang membunuh setiap anak sulung manusia dan hewan di Mesir (Keluaran 12:29-30). Efek mengerikan dari perbudakan adalah "mengeraskan" hati terhadap belas kasihan, keadilan dan bahkan pertahanan-diri, seperti yang segera didapati Firaun (Keluaran 11:10). Firaun akhirnya menerima tuntutan Allah untuk membiarkan bangsa Israel pergi. Orang-orang Israel yang pergi meninggalkan Mesir ini “merampasi” permata, emas, perak dan kain orang Mesir (Keluaran 12:35-36). Ini membalikkan akibat-akibat perbudakan, yang merupakan perampasan yang dilegalkan untuk mengeksploitasi pekerja. Ketika Allah membebaskan manusia, Dia memulihkan hak mereka untuk bekerja dan mendapatkan hasil yang dapat mereka nikmati (Yesaya 65:21-22). Bekerja dan kondisi-kondisi dalam bekerja adalah hal yang menjadi perhatian tertinggi Allah.

Bangsa Israel di Laut Merah dan dalam Perjalanan menuju Sinai (Keluaran 13:17-18:27)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ungkapan pekerjaan Allah yang mendasar membuahkan hal dramatis ketika Allah secara meyakinkan memimpin umat-Nya menyeberangi Laut Merah, dan melepaskan mereka dari cengkeraman tirani Mesir. Allah yang telah memisahkan samudera raya yang tidak berbentuk dan menciptakan daratan (tanah kering), Allah yang telah membawa keluarga Nuh melalui air bah ke daratan yang kering, kini “membelah” Laut Merah dan memimpin bangsa Israel berjalan di “tanah kering” (Keluaran 14:21-22). Dengan demikian, perjalanan bangsa Israel dari Mesir ke Sinai adalah kelanjutan dari kisah penciptaan dan penebusan Allah. Musa, Harun dan yang lain-lainnya bekerja keras, tetapi Pekerja yang sesungguhnya adalah Allah.

Pekerjaan Peradilan di antara Orang Israel (Keluaran 18:1-27)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat dalam perjalanan dari Mesir ke Sinai, Musa berhubungan lagi dengan ayah mertuanya, Yitro. Mantan orang luar bagi bangsa Israel ini memberi nasihat yang sangat dibutuhkan Musa dalam pelaksanaan tugas peradilan di komunitas itu. Pekerjaan penebusan Allah bagi umat-Nya berkembang menjadi pekerjaan peradilan di antara umat-Nya. Bangsa Israel sudah mengalami perlakuan tidak adil di tangan para mandor orang Mesir. Setelah mereka berdiri sendiri, sudah sepatutnya jika mereka mencari jawaban Allah atas pertengkaran-pertengkaran mereka sendiri. Walter Brueggemann mendapati bahwa iman yang alkitabiah bukan hanya tentang menceritakan kisah perbuatan Allah, tetapi juga “tentang kerja keras dan berkelanjutan dalam merawat dan mempraktikkan semangat pemulihan dan pembaruan setiap hari, dan menolak perolehan yang tidak benar setiap hari.”[1]

Salah satu hal pertama tentang Musa yang telah kita pelajari sebelumnya adalah ia ingin menjadi penengah di antara orang-orang yang terlibat pertengkaran. Pada saat itu, ketika Musa mencoba melakukan intervensi, ia malah ditegur dengan kata-kata, “Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami?” (Keluaran 2:14). Dalam cerita saat ini, kita justru melihat yang sebaliknya. Musa sedemikian dibutuhkan sebagai pemimpin-hakim sampai banyak orang yang memerlukan keputusannya berkumpul di sekitarnya “dari pagi sampai petang” (Keluaran 18:14; lihat juga Ulangan 1:9-18). Pekerjaan Musa tampaknya memiliki dua aspek. Pertama, ia memberikan keputusan hukum bagi orang-orang yang berselisih. Kedua, ia mengajarkan ketetapan-ketetapan dan perintah-perintah Allah kepada orang-orang yang mencari panduan moral and agama. [2] Yitro melihat bahwa Musa seorang diri saja dalam pekerjaan yang mulia ini, dan ia menganggap seluruh proses itu tak mungkin dapat terus-menerus dilakukan. “Yang kaulakukan itu tidak baik” (Keluaran 18:17). Lagipula, hal itu sangat melelahkan Musa dan juga tidak memuaskan orang-orang yang berusaha ia tolong. Solusi Yitro adalah agar Musa tetap melakukan saja perannya yang unik yang dapat ia lakukan sebagai wakil Allah: menjadi perantara di hadapan Allah bagi bangsa itu, mengajar mereka dan memutuskan perkara-perkara yang sulit. Dan semua perkara lainnya didelegasikan kepada hakim-hakim di bawahnya yang akan melayani di empat jenjang sistem administrasi peradilan.

Kualifikasi para hakim ini menjadi kunci kebijaksanaan rancangan itu, karena mereka tidak dipilih berdasarkan divisi suku mereka atau kedewasaan rohani mereka. Mereka harus memenuhi empat persyaratan (Keluaran 18:21). Pertama, mereka harus terampil. Ungkapan Ibrani untuk “orang yang terampil” (hayil) memiliki konotasi tentang kemampuan, kepemimpinan, manajemen, kebijaksanaan, dan kehormatan. [3]

Kedua, mereka harus “takut akan Allah.” Seperti para bidan di pasal 2, kualifikasi ini kemungkinan bukan kualitas kerohanian secara khusus, tetapi menggambarkan orang yang memiliki pemahaman yang jelas tentang moralitas yang diterima umum yang melampaui batas-batas budaya dan agama. Ketiga, mereka harus “dapat dipercaya." Karena kebenaran adalah konsep yang abstrak dan juga cara berperilaku, orang-orang ini harus memiliki rekam jejak publik tentang karakter dan juga tindakan yang benar. Akhirnya, mereka harus membenci suap (perolehan yang tidak benar). Mereka harus tahu bagaimana dan mengapa korupsi terjadi, memandang rendah tindakan penyogokan dan segala macam subversi, dan secara aktif menjaga proses peradilan dari pencemaran-pencemaran ini.

Pendelegasian sangat penting dalam tugas kepemimpinan. Meskipun Musa secara khusus diberi karunia seorang nabi, negarawan, dan hakim, tetapi ia tidak memiliki karunia yang tidak terbatas. Siapa pun yang berpikir bahwa hanya dirinya yang mampu melakukan pekerjaan Allah dengan baik, telah melupakan arti menjadi manusia. Oleh karena itu, karunia kepemimpinan pada akhirnya adalah karunia membagikan kekuasaan dengan tepat. Seorang pemimpin, seperti Musa, harus memahami kualitas-kualitas yang dibutuhkan, melatih orang-orang yang akan menerima otoritas, dan mengembangkan cara-cara untuk membuat mereka bertanggung jawab. Pemimpin juga perlu dimintai pertanggungjawaban. Yitro melakukan tugas akuntabilitas ini dalam kasus Musa, dan bagian itu sangat blak-blakan dalam menunjukkan bahwa semua nabi Perjanjian Lama yang terbesar pun harus memiliki orang yang berotoritas yang akan menerima pertanggungjawabannya. Kepemimpinan yang bijaksana, tegas, berbelas kasih adalah anugerah Allah yang diperlukan semua komunitas manusia. Namun, kitab Keluaran menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah pemimpin berbakat yang memiliki otoritas atas orang lain, melainkan proses Allah dalam komunitas yang mengembangkan struktur-struktur kepemimpinan yang memungkinkan orang-orang berbakat bisa berhasil. Pendelegasian adalah satu-satunya cara untuk meningkatkan kapasitas institusi atau komunitas, sekaligus cara untuk mengembangkan para pemimpin masa depan.

Fakta bahwa Musa menerima nasihat ini dengan begitu cepat dan menyeluruh bisa menjadi bukti betapa ia sendiri sudah putus asa. Namun, dalam skala yang lebih luas kita juga dapat melihat bahwa Musa sangat terbuka pada hikmat Allah yang disampaikan padanya melalui orang dari luar bangsa Israel. Observasi ini bisa mendorong orang Kristen untuk menerima dan menghargai masukan dari sejumlah tradisi dan agama, terutama dalam hal kerja. Melakukan hal ini tidak selalu menjadi tanda ketidaksetiaan pada Kristus atau menunjukkan kurangnya keyakinan pada iman kita sendiri. Ini bukan pengakuan yang tidak tepat terhadap pluralisme agama. Sebaliknya, terlalu sering mengutip ayat Alkitab tentang hikmat juga bisa menjadi kesaksian yang buruk, karena orang luar bisa menganggap kita berpikiran sempit atau merasa tidak aman. Orang Kristen sebaiknya memahami seluk-beluk nasihat yang diadopsi, baik yang dari dalam maupun dari luar. Namun, pada analisis terakhirnya kita percaya bahwa “semua kebenaran adalah kebenaran Allah.”[4]

Bangsa Israel di Gunung Sinai (Keluaran 19:1-40:38)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di Gunung Sinai, Musa menerima Sepuluh Hukum dari Allah. Sebagaimana disebutkan Studi Alkitab NIV, “Sepuluh Hukum adalah ketetapan-ketetapan inti dari perjanjian Allah dengan bangsa Israel yang dibuat di Sinai. Membesar-besarkan dampaknya pada sejarah berikutnya hampir tidak mungkin. Sepuluh Hukum merupakan dasar prinsip-prinsip moral yang ditemukan di seluruh dunia Barat dan merangkum yang diharapkan satu-satunya Allah yang benar dari umat-Nya dalam hal iman, penyembahan dan perilaku.”[1] Sebagaimana akan kita lihat, fungsi Hukum Taurat bagi orang Kristen merupakan topik yang menimbulkan banyak kontroversi. Karena alasan ini, kita akan memerhatikan dengan saksama apa sebenarnya yang dikatakan teks kitab Keluaran, karena ini adalah kesamaan yang kita miliki. Pada saat yang sama, kita berharap dapat menyadari dan menghormati berbagai cara yang orang Kristen diharapkan bisa menarik pelajaran-pelajaran dari bagian Alkitab ini.

Arti Hukum Taurat dalam Kitab Keluaran (Keluaran 19:1-24:18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita mulai dengan mengakui bahwa kitab Keluaran adalah bagian yang menyatu dengan seluruh Alkitab, bukan ketetapan hukum yang berdiri sendiri. Christopher Wright menulis:

“Pendapat umum yang berkata bahwa Alkitab adalah buku pedoman moral untuk orang Kristen jelas jauh dari realitas sesungguhnya yang dikatakan dan dinyatakan Alkitab. Alkitab pada dasarnya adalah cerita tentang Allah, bumi dan umat manusia; cerita tentang kesalahan yang terjadi, apa yang dilakukan Allah untuk memperbaikinya, dan apa yang akan terjadi di masa mendatang menurut rencana kedaulatan Allah. Meskipun demikian, di dalam cerita besar itu, pengajaran moral mendapat tempat yang sangat penting. Cerita Alkitab adalah cerita tentang misi Allah. Yang dituntut Alkitab adalah tanggapan yang tepat dari manusia. Misi Tuhan memerlukan dan meliputi tanggapan manusia. Dan misi kita tentu saja meliputi dimensi etika dari tanggapan itu.”[1]

Kata hukum dalam bahasa Inggris (law) merupakan terjemahan lama yang kurang tepat dari kata kunci Ibrani Torah (Taurat). Karena istilah ini begitu sentral dalam seluruh pembicaraan kita, ada baiknya jika dijelaskan bagaimana sebenarnya fungsi kata Ibrani ini dalam Alkitab. Kata Torah muncul satu kali di kitab Kejadian dalam arti perintah-perintah Allah yang ditaati Abraham. Kata ini bisa merujuk pada perintah dari satu manusia ke manusia lainnya (Mazmur 78:1). Namun, sebagai hal yang dari Allah, kata Torah di semua kitab Taurat (Pentateuch) dan kitab Perjanjian Lama lainnya menunjuk pada standar perilaku umat Allah yang berkaitan dengan hal-hal seremonial dalam ibadah formal dan juga ketetapan-ketetapan tentang perilaku sipil dan sosial.[2] Konsep alkitabiah tentang Torah mengandung arti “perintah yang menunjukkan otoritas ilahi.” Konsep ini jauh dari pandangan modern kita tentang hukum yang berarti seperangkat aturan yang dibuat dan diberlakukan oleh pembuat undang-undang atau hukum “alam”. Untuk menekankan kekayaan dan sifat instruktif hukum Taurat di kitab Keluaran, kita kadang hanya menyebutnya sebagai Taurat tanpa mencoba menerjemahkannya.

Di dalam kitab Keluaran, jelas bahwa Taurat dalam arti seperangkat perintah-perintah spesifik adalah bagian dari perjanjian, dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, perjanjian secara keseluruhan menjelaskan relasi yang dibangun Allah antara diri-Nya dan umat-Nya berdasarkan tindakan penyelamatan-Nya bagi mereka (Keluaran 20:2). Sebagai penguasa perjanjian dengan bangsa itu, Allah kemudian menetapkan bagaimana Dia mau Israel menyembah dan berperilaku. Janji Israel untuk taat adalah tanggapan terhadap anugerah perjanjian Allah (Keluaran 24:7). Hal ini penting untuk kita memahami tentang teologi kerja. Cara kita mengetahui kehendak Allah atas perilaku kita dalam bekerja dan cara kita menerapkannya di tempat kerja dibungkus dalam relasi yang dibangun Allah dengan kita. Dalam istilah orang Kristen, kita mengasihi Allah karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita, dan kita menunjukkan kasih itu melalui cara kita memperlakukan orang lain (1 Yohanes 4:19-21). Sifat mutlak perintah Allah agar kita mengasihi sesama berarti Allah mau kita menerapkannya di mana saja, entah kita ada di gereja, kafe, rumah, tempat umum, atau tempat kerja.

Fungsi Hukum Taurat bagi Orang Kristen (Keluaran 20:1-24:18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Masalah akan timbul jika orang Kristen menarik suatu pelajaran dari satu ayat kitab Keluaran, atau apalagi kitab Imamat, dan kemudian menyatakan bagaimana pelajaran itu harus diterapkan pada masa kni. Siapa pun yang mencoba melakukan hal ini harus siap menerima respons balik yang tajam, “Ya, tetapi Alkitab juga memperbolehkan perbudakan dan melarang kita makan daging babi atau udang! Lagipula, menurutku Allah tidak terlalu peduli jika pakaianku terbuat dari campuran katun-poliester” (Keluaran 21:2-11; Imamat 11:7, 12; dan 19:19). Karena hal ini terjadi bahkan di kalangan orang Kristen, kita tak perlu heran jika mendapat kesulitan saat menerapkan Alkitab pada topik kerja di lingkungan masyarakat umum. Bagaimana kita tahu apa yang dapat diterapkan pada masa kini, dan yang tidak? Bagaimana kita menghindari tuduhan tentang inkonsistensi dalam kita memahami Alkitab? Yang lebih penting, bagaimana kita mempersilakan firman Allah benar-benar mengubah kita dalam setiap aspek kehidupan? Keberagaman hukum dalam kitab Keluaran dan kitab-kitab Taurat memunculkan satu tantangan. Tantangan lain datang dari beragamnya cara orang Kristen memahami dan menerapkan Taurat dan Perjanjian Lama dalam hubungannya dengan Kristus dan Perjanjian Baru. Sampai saat ini, masalah Taurat dalam Kekristenan masih sangat rumit dan perlu diatasi agar kita dapat menarik pelajaran tentang kerja dari yang dikatakan Alkitab di bagian ini. Pendekatan singkat berikut ini bertujuan membantu tanpa menjadi terlalu sempit.

Hubungan Perjanjian Baru dengan Hukum Taurat rumit. Ini mencakup perkataan Yesus bahwa “Satu huruf terkecil atau satu titik pun tidak akan lenyap dari hukum Taurat” (Matius 5:18) maupun pernyataan Paulus bahwa “Kita telah dibebaskan dari hukum Taurat…dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat” (Roma 7:6). Ini bukan dua perkataan yang bertentangan, tetapi dua cara mengatakan realitas yang sama—bahwa hukum Taurat terus-menerus menyatakan anugerah keadilan, hikmat, dan transformasi Allah kepada orang-orang yang sudah Dia bawa kepada hidup baru dalam Kristus. Allah memberikan Taurat sebagai ungkapan sifat-Nya yang kudus dan sebagai konsekuensi dari penyelamatan-Nya yang besar. Membaca kitab Taurat membuat kita menyadari akan keberadaan kita yang berdosa dan kebutuhan kita akan solusi agar kita bisa hidup damai dengan Allah dan satu sama lain. Allah mau umat-Nya menaati perintah-perintah-Nya dengan menerapkannya pada masalah-masalah kehidupan nyata, yang besar maupun kecil. Sifat spesifik hukum tertentu bukan berarti Allah itu perfeksionis yang tidak realistis. Hukum-hukum ini membantu kita mengerti bahwa tidak ada masalah yang kita hadapi yang terlalu kecil atau tidak penting bagi Allah. Meskipun demikian, Taurat bukan hanya tentang perilaku lahiriah, karena hukum ini juga membahas tentang masalah hati seperti hal mengingini (Keluaran 20:17). Yesus kemudian juga tidak hanya mengutuk pembunuhan dan perzinahan, tetapi juga akar dari kemarahan dan hawa nafsu (Matius 5:22, 28).

Tetapi, menaati hukum Taurat dengan menerapkannya pada masalah-masalah kehidupan nyata saat ini tidak sama dengan mengulangi perbuatan yang dilakukan bangsa Israel ribuan tahun lalu. Di dalam Perjanjian Lama kita sudah melihat petunjuk bahwa beberapa bagian hukum itu tidak dimaksudkan untuk bersifat permanen. Kemah Suci tentu saja bukan bangunan permanen dan Bait Suci pun hancur di tangan musuh-musuh Israel (2 Raja-raja 25:9). Namun, Yesus berbicara tentang kematian dan kebangkitan-Nya sendiri ketika Dia berkata bahwa Dia akan membangun kembali “bait suci” yang hancur dalam tiga hari (Yohanes 2:19). Dalam arti yang sangat penting, Dia menggenapi semua yang dikatakan tentang bait suci, para imam dan segala aktivitasnya. Pernyataan Yesus tentang makanan—bahwa yang membuat orang najis bukanlah yang masuk ke dalam tubuhnya—berarti bahwa peraturan tentang makanan tertentu dalam Perjanjian Musa tidak berlaku lagi (Markus 7:19).[1] Lagipula, di dalam Perjanjian Baru umat Allah tinggal di berbagai negara dan budaya di seluruh dunia, di mana mereka tak punya otoritas resmi untuk menerapkan ketetapan-ketetapan hukum Taurat. Para rasul memikirkan hal-hal seperti ini dan, dengan pimpinan Roh Kudus, memutuskan bahwa detail-detail hukum Taurat orang Yahudi pada umumnya tidak berlaku bagi orang-orang Kristen non-Yahudi (Kisah Para Rasul 15:28-29).

Ketika ditanya tentang perintah manakah yang paling penting, jawaban Yesus tidak kontroversial dalam pandangan teologi zaman itu. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu” dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:30-31).[2]

Perjanjian Baru banyak meneguhkan hukum Taurat, tidak hanya dalam perintah negatifnya (larangan) terhadap perzinahan, pembunuhan, pencurian, dan mengingini, tetapi juga dalam perintah positifnya untuk saling mengasihi (Roma 13:8-10; Galatia 5:14). Menurut Timothy Keller, “Kedatangan Kristus mengubah cara penyembahan/ibadah kita, bukan cara hidup kita.” [3]

Ini tidak mengherankan mengingat dalam perjanjian yang baru, Allah berkata Dia akan menaruh Taurat-Nya dalam batin umat-Nya dan menuliskannya di hati mereka (Yeremia 31:33; Lukas 22:20). Kesetiaan Israel pada hukum Perjanjian Musa tergantung pada ketetapan hati mereka untuk menaatinya. Pada akhirnya, hanya Yesus yang dapat melakukannya. Di sisi lain, orang percaya perjanjian baru tidak bekerja seperti itu. Menurut Paulus, “Kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh” (Roma 7:6).

Untuk tujuan kita memikirkan teologi kerja, penjelasan sebelumnya menunjukkan beberapa hal yang dapat membantu kita memahami dan menerapkan hukum Taurat di kitab Keluaran yang berkaitan dengan tempat kerja. Peraturan khusus yang mengatur perlakuan yang pantas terhadap pekerja, hewan, dan properti mengungkapkan nilai-nilai yang melekat pada sifat Allah sendiri. Hal-hal itu harus ditangani serius tetapi tidak berlebihan. Di satu sisi, butir-butir dalam Sepuluh Hukum diungkapkan secara umum dan dapat diterapkan secara bebas dalam berbagai konteks. Di sisi lain, peraturan-peraturan khusus tentang pelayan, ternak, dan kerugian pribadi memberikan contoh penerapan dalam konteks sejarah dan masyarakat Israel kuno yang spesifik, khususnya di wilayah-wilayah yang kontroversial pada masa itu. Peraturan-peraturan ini adalah gambaran dari perilaku yang benar namun tidak mencakup seluruh penerapan yang mungkin. Orang ​​Kristen menghormati Allah dan hukum-Nya bukan hanya dengan menata perilaku, tetapi juga dengan mempersilakan Roh Kudus mengubah sikap, motif, dan keinginan kita (Roma 12:1-2). Melakukan kurang dari itu sama saja dengan mengelak dari pekerjaan dan kehendak Tuhan dan Juru Selamat kita. Orang Kristen harus selalu merindukan bagaimana kasih bisa memimpin segala kebijakan dan perilaku kita.

Perintah-perintah tentang Kerja (Keluaran 20:1-17 dan 21:1-23:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Kitab Perjanjian” Israel (Keluaran 24:7) mencakup Sepuluh Hukum, yang juga dikenal sebagai Dasa Titah (yang secara harfiah berarti “Perkataan/Firman,” Keluaran 20:1-17), serta peraturan-peraturan di Keluaran 21:1-23:19. Sepuluh Hukum diungkapkan sebagai perintah-perintah umum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Peraturan-peraturan adalah sekumpulan hukum kasus, yang menerapkan nilai-nilai Dasa Titah dalam situasi-situasi tertentu dengan menggunakan format “jika…, maka.” Peraturan-peraturan ini sesuai dengan kehidupan sosial dan ekonomi Israel kuno. Peraturan-peraturan ini bukan pedoman hukum yang lengkap, tetapi berfungsi sebagai contoh-contoh yang berguna untuk mencegah perilaku ilegal terburuk dan menjadi preseden hukum dalam menangani perkara-perkara yang sulit.[1]

Sepuluh Hukum (Keluaran 20:1-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sepuluh Hukum adalah ungkapan tertinggi kehendak Allah di Perjanjian Lama dan patut mendapat perhatian kita. Dasa Titah ini tidak boleh dianggap sebagai sepuluh perintah terpenting di antara ratusan perintah lainnya, tetapi sebagai intisari seluruh kitab Taurat. Dasar seluruh kitab Taurat terletak pada Sepuluh Hukum, yang di dalamnya kita seharusnya dapat menemukan seluruh hukum Taurat. Yesus mengungkapkan kesatuan esensial Sepuluh Hukum dengan perintah-perintah lainnya ketika Dia merangkum hukum itu dengan perkataan yang terkenal, “’Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.’ Itulah perintah yang terutama dan yang pertama. Perintah yang kedua yang sama dengan itu ialah: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’.” Pada kedua perintah inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 22:37-40). Seluruh hukum Taurat, dan kitab para nabi, ditunjukkan setiap kali Sepuluh Hukum diungkapkan.

Kesatuan esensial Sepuluh Hukum dengan perintah-perintah lainnya, dan kesinambungannya dengan Perjanjian Baru, mengundang kita untuk menerapkannya secara luas dalam pekerjaan kita saat ini dalam terang seluruh Kitab Suci. Artinya, ketika menerapkan Sepuluh Hukum, kita akan memikirkan ayat-ayat Kitab Suci yang terkait baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru.

“Jangan Ada padamu Ilah Lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum/Perintah pertama mengingatkan kita bahwa semua yang ada dalam kitab Taurat muncul dari kasih kita kepada Allah, yang merupakan tanggapan terhadap kasih-Nya pada kita. Kasih ini ditunjukkan Allah dengan membebaskan Israel “dari tempat perbudakan” di Mesir (Keluaran 20:2). Tak ada hal lain dalam hidup ini yang boleh menjadi perhatian utama kita melebihi kerinduan kita untuk mengasihi dan dikasihi Allah. Jika kita memiliki kerinduan lain yang lebih kuat dari kasih kita kepada Allah, hal itu memang tidak separah jika kita melanggar perintah Allah, tetapi kita tidak akan bisa benar-benar berelasi baik dengan Dia. Perhatian/ketertarikan yang lain itu – entah pada uang, kekuasaan, keamanan, pengakuan, seks atau apa pun yang lain—telah menjadi berhala kita. Ilah palsu ini memiliki perintah-perintah sendiri yang bertentangan dengan perintah Allah, dan kita pasti akan melanggar Hukum Taurat jika kita mengikuti ketentuan ilah ini. Mematuhi Sepuluh Hukum Allah hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak menyembah ilah lain selain TUHAN.

Di dunia kerja, ini berarti kita tidak boleh membiarkan pekerjaan atau kewajiban dan hasil kerja menggantikan Allah sebagai pusat perhatian utama hidup kita. “Jangan sekali-kali membiarkan siapa pun atau apa pun mengancam posisi sentral Allah dalam hidup Anda,” demikian dikatakan David Gill. [1] Karena banyak orang bekerja terutama untuk menghasilkan uang, kehausan tak terkendali akan uang barangkali merupakan bahaya terkait-pekerjaan yang paling umum dalam Hukum Pertama. Yesus memperingatkan bahaya ini dengan tepat sekali: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan… Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Namun, hampir semua yang berkaitan dengan pekerjaan dapat membelokkan kerinduan kita dan menghalangi kasih kita kepada Allah. Berapa banyak karier yang berakhir tragis karena hal yang seharusnya merupakan sarana melakukan sesuatu karena kasih kepada Allah—seperti kekuasaan politik, ketahanan ekonomi, komitmen pada pekerjaan, ketenaran, atau kinerja yang prima— menjadi tujuan itu sendiri? Ketika, misalnya, penghargaan pada pekerjaan menjadi lebih penting daripada karakter dalam bekerja, bukankah ini tandanya reputasi sedang menggantikan kasih kepada Allah sebagai pusat perhatian tertinggi?

Batu uji praktisnya adalah bertanya apakah kasih kita kepada Allah ditunjukkan dengan cara kita memperlakukan orang lain di tempat kerja. “Jikalau seseorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah’, tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah pendusta, karena siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya. Inilah perintah yang kita terima dari Dia: Siapa yang mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1 Yohanes 4:20-21). Jika kita lebih mengutamakan kepentingan pribadi kita daripada memerhatikan orang-orang yang bekerja dengan, untuk, dan di antara kita, maka kita telah menjadikan kepentingan pribadi sebagai berhala kita. Apalagi jika kita memperlakukan orang lain sebagai hal yang bisa dimanipulasi, penghalang yang harus disingkirkan, alat untuk mendapatkan yang kita inginkan, atau sekadar obyek netral dalam pandangan kita, maka kita sedang menunjukkan bahwa kita tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi kita.

Dalam konteks ini, kita bisa mulai mendaftarkan tindakan-tindakan terkait-kerja yang berpotensi besar mengganggu kasih kita kepada Allah. Melakukan pekerjaan yang melanggar hati nurani. Bekerja dalam organisasi yang membuat kita harus merugikan orang lain agar bisa berhasil. Bekerja dengan jam kerja yang panjang sampai kita tak punya cukup waktu untuk berdoa, beribadah, beristirahat, dan memperdalam relasi kita dengan Tuhan. Bekerja di antara orang-orang yang mengacaukan atau menjauhkan kita dari kasih kita kepada Allah. Bekerja di tempat yang alkohol, penyalahgunaan obat-obatan, kekerasan, pelecehan seksual, korupsi, sikap tidak hormat, rasisme, atau perlakuan tidak manusiawi lainnya merusak gambar Allah dalam diri kita dan orang-orang yang kita jumpai dalam pekerjaan kita. Jika kita dapat menemukan cara-cara untuk menghindari bahaya-bahaya ini di tempat kerja—sekalipun itu berarti mencari pekerjaan baru—akan bijak jika kita melakukannya. Jika hal itu tidak memungkinkan, setidaknya kita bisa menyadari bahwa kita memerlukan bantuan dan dukungan untuk menjaga kasih kita kepada Allah dalam menjalani pekerjaan kita.

“Jangan Membuat Bagimu Berhala” (Keluaran 20:4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kedua mengangkat isu tentang penyembahan berhala. Berhala adalah ilah-ilah sesembahan ciptaan kita sendiri, ilah-ilah yang kita pikir akan memberikan yang kita inginkan. Pada zaman dahulu, penyembahan berhala sering berupa menyembah benda-benda fisik, sesuatu yang berujud. Padahal inti permasalahan sebenarnya adalah kepercayaan dan ketaatan. Pada apa/siapa kita akhirnya menggantungkan harapan kita untuk kesejahteraan dan kesuksesan? Apa pun yang tidak dapat memenuhi harapan kita—artinya, apa pun selain Allah – adalah berhala, entah itu berupa benda fisik atau bukan. Kisah tentang keluarga yang membuat berhala dengan tujuan memanipulasi Allah, serta akibat-akibat mengerikan yang ditimbulkannya pada kehidupan pribadi, sosial dan ekonomi, diceritakan dengan mengesankan di kitab Hakim-hakim 17-21.

Di dunia kerja, berbicara bahwa uang, ketenaran dan kekuasaan bisa menjadi berhala adalah hal yang lazim, dan memang benar. Hal-hal itu sendiri pada dasarnya bukan berhala, dan bahkan bisa diperlukan dalam kita menjalankan peran-peran kita dalam pekerjaan kreatif dan penebusan Allah di dunia ini. Namun, jika kita berpikir bahwa dengan mencapai hal-hal itu, keamanan dan kemakmuran kita akan terjamin, kita sudah mulai jatuh ke dalam penyembahan berhala. Penyembahan berhala dimulai ketika kita lebih menaruh kepercayaan dan harapan kita pada hal-hal ini daripada Allah. Hal yang sama bisa terjadi pada hampir semua unsur kesuksesan lainnya, seperti persiapan, kerja keras, kreativitas, risiko, kekayaan dan sumber-sumber lainnya, serta situasi-situasi yang baik. Sebagai pekerja, kita harus menyadari betapa pentingnya hal-hal ini. Sebagai umat Allah, kita harus menyadari kapan kita mulai menjadikan hal-hal ini sebagai berhala kita. Dengan kasih karunia Allah, kita dapat mengatasi godaan untuk menyembah hal-hal baik yang mau menggantikan Allah ini. Mengembangkan hikmat dan keterampilan ilahi dengan sungguh-sungguh dalam segala pekerjaan itu adalah “menaruh kepercayaan kepada TUHAN” (Amsal 22:19).

Hal yang khas dari penyembahan berhala adalah sesembahan itu buatan manusia. Di tempat kerja, bahaya penyembahan berhala muncul ketika kita salah menganggap kekuasaan, pengetahuan, dan pendapat kita sebagai realitas. Ketika kita berhenti menganggap diri kita bertanggung jawab terhadap standar-standar yang kita tetapkan untuk orang lain, berhenti mendengarkan pemikiran orang lain, atau berusaha menghancurkan orang-orang yang tidak sependapat dengan kita, bukankah kita mulai menjadikan diri kita sendiri sebagai berhala?

“Jangan Menyebut Nama TUHAN Allahmu untuk Disalahgunakan” (Keluaran 20:7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Ketiga secara harfiah melarang umat Allah “menyalahgunakan” nama Allah. Larangan ini bukan hanya dalam menyebut nama “YHWH” (Keluaran 3:15), tetapi juga nama “Allah,” “Yesus,” “Kristus,” dan lain-lainnya. Namun, apa maksudnya menyalahgunakan? Ini tentu saja mencakup penyalahgunaan yang tidak sopan untuk mengumpat, memfitnah dan menghujat. Namun, yang lebih penting, penyalahgunaan itu mencakup sikap/tindakan menghubungkan rancangan manusia secara salah dengan rancangan Allah. Ini berarti kita dilarang mengeklaim otoritas Allah atas tindakan dan keputusan kita sendiri. Sayangnya, sebagian orang Kristen tampaknya percaya bahwa menaati Allah di tempat kerja berarti berbicara atas nama Allah menurut pengertian mereka sendiri, bukan bekerja dengan hormat bersama orang lain atau bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka. “Itu kehendak Allah bahwa…,” atau “Allah menghukum engkau atas…,” adalah perkataan-perkataan yang berbahaya dan hampir tak bisa dibenarkan jika diucapkan oleh orang yang tidak didukung kepekaan komunitas iman (1 Tesalonika 5:20-21). Mengingat hal ini, mungkin sikap orang Yahudi kuno yang tidak berani mengucapkan bahkan terjemahan kata “ALLAH”—apalagi nama YHWH itu sendiri—menunjukkan hikmat yang seringkali tidak dimiliki orang Kristen. Andai saja kita sedikit lebih berhati-hati dalam menggunakan kata Allah, kita mungkin akan lebih bijaksana untuk tidak mengeklaim mengetahui kehendak Allah, apalagi jika diterapkan pada orang lain.

Hukum Ketiga juga mengingatkan kita bahwa menghormati nama manusia itu penting bagi Allah. Gembala yang Baik “memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya” (Yohanes 10:3), seraya mengingatkan bahwa “siapa yang menyebut orang lain ‘jahil’ harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Matius 5:22). Mengingat hal ini, kita tidak boleh menyebut nama orang lain dengan sembarangan atau memanggil mereka dengan julukan yang tidak sopan. Kita menyalahgunakan nama orang lain ketika kita memakainya untuk mengumpat, merendahkan, menindas, mengucilkan, atau menipu. Kita menggunakan nama orang lain dengan baik ketika kita memakainya untuk memberi semangat, berterima kasih, membangun solidaritas, dan menyambut. Mengenal dan menyebut nama orang lain saja sudah menyatakan berkat, apalagi jika orang itu sering diperlakukan seperti orang tanpa nama, tak terlihat, atau tidak penting. Tahukah Anda nama orang yang mengosongkan tempat sampah Anda, menjawab panggilan telepon Anda di nomor layanan pelanggan, atau mengemudikan bus yang Anda tumpangi? Meskipun contoh-contoh ini tidak berkaitan dengan nama TUHAN tetapi menyangkut nama-nama orang yang diciptakan menurut gambar-Nya.

“Ingat dan Kuduskanlah hari Sabat. Enam Hari Lamanya Engkau Akan Bekerja” (Keluaran 20:8-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Topik tentang hari Sabat ini rumit, bukan saja di dalam kitab Keluaran dan Perjanjian Lama, tetapi juga di dalam teologi dan penerapan Kristen. Bagian pertama hukum ini memerintahkan untuk berhenti bekerja satu hari dalam tujuh hari. Referensi lain tentang hari Sabat dalam kitab Keluaran terdapat di pasal 16 (tentang pemungutan manna), Keluaran 23:10-12 (tentang tahun ketujuh dan tujuan beristirahat mingguan), Keluaran 31:12-17 (tentang hukuman bagi yang melanggar), Keluaran 34:21, dan Keluaran 35:1-3. Dalam konteks dunia kuno, hari Sabat ini unik bagi bangsa Israel. Di satu sisi, ini adalah anugerah yang tiada bandingnya bagi bangsa Israel. Tidak ada bangsa kuno lainnya yang mendapat hak istimewa untuk beristirahat satu hari dalam seminggu. Di sisi lain, hal ini membutuhkan kepercayaan luar biasa tentang pemeliharaan Allah. Enam hari kerja harus cukup untuk merawat tanaman, mengumpulkan tuaian, mengangkut air, memintal kain, dan mencari makanan dari sumber alam. Sementara bangsa Israel beristirahat satu hari setiap minggunya, bangsa-bangsa di sekelilingnya terus membuat pedang, panah, dan melatih para tentara. Bangsa Israel harus percaya bahwa Allah tidak akan membiarkan satu hari beristirahat ini menjadi bencana ekonomi dan militer.

Kita menghadapi masalah yang sama dalam memercayai pemeliharaan Allah saat ini. Jika kita mengindahkan perintah Allah untuk mematuhi siklus bekerja dan beristirahat Allah sendiri, apakah kita akan mampu bersaing dalam perekonomian modern? Apakah diperlukan tujuh hari kerja untuk menangani satu pekerjaan (atau dua atau tiga pekerjaan), membersihkan rumah, menyiapkan makanan, memotong rumput, mencuci mobil, membayar tagihan, menyelesaikan tugas sekolah, dan berbelanja pakaian, atau dapatkah kita percaya bahwa Allah akan memelihara kita meskipun kita mengambil satu hari istirahat setiap minggunya? Dapatkah kita meluangkan waktu untuk menyembah Allah, berdoa, dan bersekutu dengan orang lain untuk belajar dan saling menguatkan, dan jika kita dapat melakukannya, apakah hal itu akan membuat kita lebih atau kurang produktif secara keseluruhan? Hukum Keempat tidak menjelaskan bagaimana Allah akan membuat semuanya berhasil bagi kita. Perintah ini hanya memanggil kita untuk beristirahat satu hari setiap tujuh hari.

Orang Kristen telah menerjemahkan hari istirahat sebagai Hari Tuhan (hari Minggu, hari kebangkitan Kristus), tetapi inti dari hari Sabat bukanlah memilih satu hari tertentu dari hari-hari lainnya dalam minggu itu (Roma 14:5-6). Polaritas yang benar-benar mendasari perintah hari Sabat adalah bekerja dan beristirahat. Baik bekerja maupun beristirahat tercakup dalam Hukum Keempat. Enam hari bekerja sama pentingnya dengan satu hari beristirahat dalam perintah itu. Meskipun banyak orang Kristen berada dalam bahaya membiarkan pekerjaan mengambil waktu yang ditetapkan untuk beristirahat, sebagian yang lainnya berada dalam bahaya sebaliknya—melalaikan pekerjaan dan mencoba menjalani kehidupan dengan santai dan bermalas-malasan. Yang ini bahkan lebih buruk dari mengabaikan hari Sabat, karena “jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman” (1 Timotius 5:8). Yang kita butuhkan adalah ritme yang tepat dalam bekerja dan beristirahat, yang sama-sama baik untuk kita, keluarga kita, para pekerja, dan tamu-tamu kita. Ritme ini bisa meliputi dua puluh empat jam terus-menerus pada hari Minggu (atau Sabtu), bisa juga tidak. Proporsinya bisa berubah-ubah tergantung kebutuhan saat itu (seperti padanan masa kini dari menarik keluar seekor lembu dari sumur pada hari Sabat, lihat Lukas 14:5), atau perubahan kebutuhan musim kehidupan.

Jika kerja berlebihan merupakan bahaya utama kita, kita perlu mencari cara untuk menghormati Hukum Keempat tanpa perlu membentuk legalisme baru yang palsu yang membenturkan yang rohani (beribadah pada hari Minggu) dengan yang sekuler (bekerja pada hari Senin sampai Sabtu). Jika menghindari kerja adalah bahaya kita, kita perlu belajar menemukan sukacita dan makna dalam bekerja sebagai pelayanan kepada Allah dan sesama (Efesus 4:28).

“Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Keluaran 20:12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ada banyak cara untuk menghormati—atau tidak menghormati—ayah dan ibu. Pada zaman Yesus, orang-orang Farisi ingin membatasi perintah ini dengan hanya berbicara baik tentang mereka saja. Namun, Yesus menunjukkan bahwa menaati perintah ini memerlukan usaha untuk menafkahi atau merawat orangtua (Markus 7:9-13). Kita menghormati mereka dengan bekerja untuk kebaikan mereka.

Bagi banyak orang, relasi yang baik dengan orangtua merupakan salah satu kebahagiaan hidup. Melayani orangtua dengan penuh kasih merupakan kesenangan dan menaati perintah ini menjadi mudah. Namun, kita akan diuji oleh perintah ini ketika kita merasa terbebani untuk bekerja bagi orangtua. Mungkin kita pernah diperlakukan buruk atau diabaikan oleh mereka. Mereka mungkin suka mendominasi atau ikut campur. Berada di dekat mereka mungkin rasanya seperti melemahkan diri kita, komitmen kita terhadap pasangan (termasuk berbagai tanggung jawab kita dalam Hukum Kelima), bahkan relasi kita dengan Tuhan. Dan, meskipun kita memiliki relasi yang baik dengan orangtua, mungkin ada juga saatnya ketika merawat mereka menjadi beban yang sangat berat karena waktu dan tenaga yang diperlukan. Jika penuaan atau demensia mulai merampas ingatan, kemampuan, dan sifat baik mereka, merawat orangtua bisa menjadi kesedihan yang mendalam.

Namun, perintah kelima disertai dengan janji: “supaya kamu hidup lama dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12). Entah bagaimana, menghormati ayah dan ibu dengan cara-cara praktis seperti itu ada manfaat praktisnya yaitu memberi kita hidup lebih lama (mungkin dalam arti lebih memuaskan) dalam kerajaan Allah. Kita tidak diberitahu bagaimana hal ini akan terjadi, namun kita diminta mengharapkannya, dan untuk melakukan itu kita harus percaya pada Allah (lihat perintah pertama).

Karena Hukum ini adalah perintah untuk bekerja bagi kepentingan orangtua, Hukum ini tak terpisahkan dengan perintah tentang kerja. Tempat kerja bisa menjadi tempat kita mencari uang untuk menopang kehidupan mereka, atau bisa juga menjadi tempat kita membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama tentang kerja. Ketika kita menerima suatu pekerjaan karena hal itu memungkinkan kita untuk tinggal dekat dengan orangtua, atau bisa mengirim uang untuk mereka, atau dapat memakai nilai-nilai dan talenta yang mereka kembangkan dalam diri kita, atau melakukan hal-hal penting yang mereka ajarkan pada kita, kita sedang menghormati mereka. Ketika kita membatasi karier kita agar kita dapat bersama dengan mereka, mencuci dan memasak untuk mereka, memandikan dan memeluk mereka, mengajak mereka ke tempat-tempat yang mereka sukai, atau meredakan ketakutan-ketakutan mereka, kita sedang menghormati mereka.

Kita juga harus menyadari bahwa di banyak budaya, pekerjaan yang dilakukan seseorang ditentukan oleh pilihan orangtua dan kebutuhan keluarganya, bukan keputusan dan kemauannya sendiri. Hal ini kadang menimbulkan konflik serius bagi orang Kristen yang mendapati tuntutan hukum pertama (untuk mengikuti panggilan Tuhan) dan perintah kelima saling bersaing. Mereka mendapati diri mereka terpaksa membuat pilihan sulit yang tidak dipahami orangtua. Bahkan Yesus mengalami kesalahpahaman dengan orangtua ini ketika Maria dan Yusuf tidak mengerti mengapa Dia tetap tinggal di bait suci sementara keluarganya sudah meninggalkan Yerusalem (Lukas 2:49).

Di tempat kerja, kita bisa menolong orang lain mematuhi Hukum Kelima, sebagaimana kita sendiri mematuhinya. Kita bisa ingat bahwa karyawan, pelanggan, rekan kerja, atasan, pemasok, dan orang-orang lainnya juga memiliki keluarga, dan kemudian menyesuaikan ekspektasi-ekspektasi kita untuk mendukung mereka dalam menghormati keluarga mereka. Ketika orang lain menceritakan atau mengeluhkan tentang pergumulannya dengan orangtua, kita dapat mendengarkannya dengan berbelas kasih, memberi dukungan secara praktis (misalnya, dengan menawarkan untuk menggantikan giliran kerjanya agar ia dapat bersama orangtuanya), atau mungkin menawarkan perspektif yang baik untuk dipertimbangkan, atau sekadar merefleksikan kasih karunia Kristus kepada orang-orang yang merasa gagal dalam relasi orangtua-anak mereka.

“Jangan Membunuh” (Keluaran 20:13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sayangnya, Hukum Keenam memiliki penerapan yang terlalu praktis di tempat kerja masa kini, di mana 10 persen dari seluruh kematian yang terkait-pekerjaan (di Amerika Serikat) adalah pembunuhan. [1] Dan memperingatkan pembaca tulisan ini agar “Jangan membunuh siapa pun di tempat kerja,” tampaknya tidak akan banyak mengubah statistik itu.

Namun, pembunuhan bukanlah satu-satunya bentuk kekerasan di tempat kerja, hanya yang paling ekstrem saja. Pelajaran yang lebih praktis muncul ketika kita mengingat bahwa Yesus berkata, kemarahan pun merupakan pelanggaran terhadap Hukum Keenam (Matius 5:21-22). Seperti dikatakan rasul Paulus, kita mungkin tidak dapat mencegah rasa marah, tetapi kita dapat belajar mengatasi amarah kita. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah berbuat dosa; janganlah matahari terbenam sebelum padam kemarahanmu” (Efesus 4:26). Jadi, implikasi paling signifikan dari Hukum Keenam di tempat kerja barangkali adalah, “Jika Anda menjadi marah di tempat kerja, carilah bantuan untuk mengelola amarah.” Banyak perusahaan, gereja, negara dan pemerintah setempat, serta lembaga-lembaga nirlaba menawarkan kelas-kelas dan konseling untuk mengelola amarah. Memanfaatkan kesempatan-kesempatan ini bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk mematuhi Hukum Keenam.

Membunuh adalah menyebabkan kematian seseorang dengan sengaja, tetapi kasus hukum yang muncul dari Hukum Keenam menunjukkan bahwa kita juga berkewajiban untuk mencegah kematian yang tidak disengaja. Kasus yang paling jelas adalah ketika seekor lembu jantan (hewan pekerja) menyeruduk seorang laki-laki atau perempuan sampai mati (Keluaran 21:28-29). Jika terjadinya peristiwa itu sudah bisa diperkirakan, pemilik lembu akan diperlakukan sebagai pembunuh. Dengan kata lain, pemilik/manajer bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan kerja yang wajar di tempat kerja. Prinsip ini sudah ditetapkan dalam undang-undang banyak negara, dan keselamatan kerja menjadi pokok permasalahan yang penting dalam berbagai peraturan pemerintah, regulasi kendali-diri industri, serta kebijakan dan praktik organisasi. Namun masih banyak tempat kerja yang mewajibkan atau membiarkan para pekerjanya bekerja dalam kondisi tidak aman yang tidak perlu. Orang Kristen yang memiliki peran dalam pengaturan kondisi kerja, pengawasan pekerja, atau percontohan tindakan di tempat kerja diingatkan oleh Hukum Keenam bahwa kondisi kerja yang aman merupakan salah satu tanggung jawab mereka yang tertinggi di dunia kerja.

“Jangan Berzinah” (Keluaran 20:14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tempat kerja adalah salah satu tempat yang paling banyak terjadi perzinahan, tidak selalu karena perzinahan itu terjadi di tempat kerja itu sendiri, tetapi bisa jadi akibat dari kondisi-kondisi kerja dan relasi-relasi dengan rekan kerja. Jadi, penerapan pertama Hukum ini di tempat kerja benar-benar secara harfiah. Orang yang menikah tidak boleh berhubungan seks dengan orang yang bukan pasangannya di tempat kerja, dalam bekerja, atau karena pekerjaannya. Tentu saja ini menyingkirkan profesi-profesi seks seperti prostitusi, pornografi, dan terapi dengan pasangan seks pengganti (sex surrogacy), setidaknya dalam banyak kasus, sejauh para pekerja punya pilihan. Namun, segala pekerjaan apa pun yang mengikis ikatan perkawinan melanggar Hukun Ketujuh. Ada banyak cara hal ini bisa terjadi. Pekerjaan bisa menimbulkan ikatan emosional yang kuat di antara rekan-rekan kerja tanpa mampu mendukung komitmen mereka terhadap pasangan masing-masing, seperti yang bisa terjadi di rumah sakit, bidang wirausaha, lembaga akademik, gereja, dan tempat-tempat lainnya. Kondisi kerja bisa membuat orang berdekatan secara fisik dalam waktu lama atau tidak dapat membuat batasan yang wajar pada saat pertemuan-pertemuan di luar, seperti yang bisa terjadi pada tugas-tugas lapangan jangka panjang. Pekerjaan bisa membuat orang mengalami pelecehan seksual dan tekanan untuk berhubungan seks dengan orang yang memegang kekuasaan di atas mereka. Pekerjaan bisa meningkatkan ego atau membuat orang disanjung secara berlebihan, seperti yang bisa terjadi pada selebriti, atlet terkenal, pengusaha sukses, pejabat tinggi pemerintah, dan orang super kaya. Pekerjaan bisa menuntut begitu banyak waktu berjauhan—secara fisik, mental, atau emosional—sehingga melemahkan ikatan di antara pasangan pernikahan. Semua ini bisa menjadi bahaya-bahaya yang sebaiknya dikenali dan dihindari, diperbaiki, atau diwaspadai oleh orang Kristen.

Namun, keseriusan Hukum Ketujuh timbul bukan karena perzinahan itu seks terlarang, melainkan karena hal itu melanggar perjanjian yang ditetapkan Allah. Allah menciptakan suami dan istri untuk menjadi “satu daging” (Kejadian 2:24), dan perkataan Yesus tentang Hukum Ketujuh menegaskan peran Allah dalam perjanjian pernikahan. “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Oleh karena itu, melakukan perzinahan bukan hanya berhubungan seks dengan orang yang tidak seharusnya, tetapi juga melanggar perjanjian dengan Tuhan Allah. Sesungguhnya, Perjanjian Lama sering memakai kata perzinahan, dan gambaran di sekitar hal itu, bukan untuk merujuk pada dosa seksual tetapi pada penyembahan berhala. Para nabi sering menyebut ketidaksetiaan Israel terhadap perjanjian untuk menyembah Allah saja sebagai “berzinah” atau “melacur,” seperti di Yesaya 57:3, Yeremia 3:8, Yehezkiel 16:38, Hosea 2:2, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, setiap pelanggaran iman terhadap Allah Israel secara kiasan adalah perzinahan, baik itu melibatkan seks terlarang atau tidak. Penggunaan istilah “perzinahan” ini menggabungkan perintah pertama, kedua, dan ketujuh, dan mengingatkan kita bahwa Sepuluh Perintah Allah adalah ungkapan-ungkapan dari satu perjanjian dengan Allah, dan bukan semacam daftar sepuluh perintah teratas.

Oleh karena itu, pekerjaan yang mengharuskan atau membawa kita kepada penyembahan berhala atau menyembah ilah lain harus dihindari. Sulit membayangkan bagaimana seorang Kristen bisa bekerja sebagai pembaca kartu tarot, pembuat acara kesenian atau musik penyembahan berhala, atau penerbit buku-buku yang menghujat. Aktor-aktor Kristen mungkin merasa sulit untuk melakukan peran yang tidak senonoh, tidak religius, atau mengacaukan secara rohani. Segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup, termasuk pekerjaan, pada tingkat tertentu cenderung meningkatkan atau melemahkan relasi kita dengan Allah; sepanjang hidup kita, tekanan pekerjaan yang terus-menerus yang melemahkan kita secara rohani bisa terbukti menghancurkan. Ini adalah faktor yang sebaiknya kita sertakan dalam keputusan karier kita, sejauh kita punya pilihan.

Aspek perjanjian khusus yang dilanggar dalam perzinahan adalah bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian dengan Allah. Namun,, bukankah setiap perjanjian atau kesepakatan yang dibuat orang Kristen secara implisit merupakan perjanjian dengan Allah? Paulus menasihati kita, “Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus” (Kolose 3:17). Kontrak, perjanjian, dan kesepakatan tentunya adalah hal-hal yang kita lakukan dengan perkataan atau perbuatan, atau keduanya. Jika kita melakukan segala hal itu dalam nama Tuhan Yesus, tidak mungkin ada janji tertentu yang harus dihormati karena itu perjanjian dengan Allah, sementara ada janji lainnya yang bisa saja dilanggar karena janji itu hanya perjanjian dengan manusia. Kita harus menghormati semua perjanjian kita, dan menghindari untuk memicu orang lain melanggar perjanjian mereka. Entah perintah ini berasal dari Keluaran 20:14 sendiri, atau dijelaskan dalam ajaran-ajaran Perjanjian Lama dan Baru yang dikembangkan dari ayat itu, “Tepatilah janjimu, dan bantulah orang lain menepati janjinya” bisa menjadi derivasi yang baik dari perintah ketujuh di dunia kerja.

“Jangan Mencuri” (Keluaran 20:15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kedelapan adalah perintah lainnya yang menjadikan kerja sebagai subyek utamanya. Mencuri adalah pelanggaran terhadap kerja yang benar karena mencuri berarti merampas hasil kerja korbannya. Mencuri juga merupakan pelanggaran terhadap perintah untuk bekerja enam hari seminggu, karena dalam banyak kasus mencuri dimaksudkan sebagai jalan pintas dari bekerja yang jujur, yang menunjukkan lagi tentang adanya saling-keterkaitan di antara Sepuluh Hukum. Jadi, kita bisa menerimanya sebagai perkataan/perintah Allah bahwa kita tidak boleh mencuri dari orang yang bekerja untuk, bersama, atau di antara kita.

Pencurian terjadi dalam berbagai bentuk selain merampas seseorang. Setiap kali kita memperoleh sesuatu yang berharga dari pemiliknya yang sah tanpa persetujuan, kita sedang terlibat pencurian. Menyelewengkan sumber daya atau dana tertentu untuk kepentingan pribadi adalah pencurian. Memakai tipu daya dalam melakukan penjualan, mendapatkan pangsa pasar, atau menaikkan harga adalah pencurian, karena dengan adanya tipu daya itu berarti apa pun yang disetujui pembeli bukanlah hal yang sebenarnya. (Lihat “Puffery/Exaggeration” dalam Truth and Deception di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut tentang bagian ini). Demikian pula, mencari untung dengan memanfaatkan ketakutan, kelemahan, ketidakberdayaan, atau keputusasaan orang lain adalah bentuk pencurian, karena persetujuan mereka tidak benar-benar sukarela. Melanggar hak paten, hak cipta, dan undang-undang kekayaan intelektual lainnya adalah pencurian karena hal itu membuat pemilik tidak mendapatkan keuntungan yang semestinya atas karya ciptaannya berdasarkan ketentuan hukum perdata.

Sayangnya, banyak pekerjaan tampaknya mengandung unsur memanfaatkan ketidaktahuan atau kekurangan pilihan orang lain yang memaksa mereka melakukan transaksi yang sebenarnya tidak mereka setujui. Perusahaan, pemerintah, perorangan, serikat pekerja, dan pelaku lainnya dapat memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memaksa orang lain menerima upah, harga, persyaratan kontrak, kondisi kerja, jam kerja, atau faktor-faktor lain yang tidak adil. Meskipun kita tidak merampok bank, mencuri di tempat kerja, atau mengutil di pusat perbelanjaan, kita bisa saja berpartisipasi dalam tindakan-tindakan tidak adil atau tidak etis yang merampas hak orang lain. Menolak terlibat dalam praktik-praktik semacam ini mungkin sulit, bahkan bisa menghambat karier, tetapi bagaimanapun kita dipanggil untuk jangan mencuri.

“Jangan Memberikan Kesaksian Dusta terhadap Sesamamu” (Keluaran 20:16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kesembilan menghormati hak reputasi seseorang.[1] Penerapannya yang jelas dapat ditemukan dalam proses-proses hukum di mana apa yang dikatakan orang menunjukkan realitas dan menentukan jalan hidup. Keputusan pengadilan dan proses hukum lainnya memiliki kekuatan besar. Memanipulasinya berarti melemahkan struktur etika masyarakat dan dengan demikian merupakan pelanggaran serius. Walter Brueggemann berkata, perintah ini mengakui “bahwa kehidupan masyarakat tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang membuat publik percaya bahwa realitas sosial akan dijelaskan dan dilaporkan secara dapat dipercaya.”[2]

Meskipun diungkapkan dalam bahasa persidangan, Hukum Kesembilan juga berlaku dalam berbagai situasi yang berkaitan dengan hampir semua aspek kehidupan. Kita tidak boleh mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah-menggambarkan tentang orang lain. Brueggemann lagi-lagi memberikan pandangannya:

“Para politisi berusaha saling menjatuhkan melalui kampanye negatif; para kolumnis gosip menyajikan fitnah; dan di ruang-ruang keluarga Kristen, reputasi-reputasi dicemarkan atau dihancurkan di sela-sela kopi disajikan dalam cangkir porselen mewah dan makanan pencuci mulut. Persidangan-persidangan de facto ini diadakan tanpa proses hukum yang semestinya. Tuduhan-tuduhan dibuat; desas-desus dibiarkan; fitnah, sumpah palsu, dan komentar-komentar yang mencemarkan nama baik diucapkan tanpa keberatan. Tidak ada bukti, tidak ada pembelaan. Sebagai orang Kristen, kita harus menolak untuk berpartisipasi atau menoleransi segala percakapan yang membuat orang tercemar atau tertuduh tanpa orang itu berada di sana untuk membela diri. Meneruskan desas-desus dalam bentuk apa pun tidaklah benar, sekalipun itu dalam bentuk permohonan doa atau perhatian pastoral. Lebih dari sekadar menolak untuk berpartisipasi, orang Kristen harus menghentikan gosip dan orang-orang yang menyebarkannya di jalur mereka.”[3]

Hal ini menunjukkan lebih jauh bahwa gosip di tempat kerja adalah pelanggaran serius. Beberapa di antaranya berkaitan dengan masalah di luar kantor yang bersifat pribadi, yang cukup jahat. Namun, bagaimana dengan kasus karyawan yang merusak reputasi rekan kerja? Mungkinkah yang diungkapkan itu benar-benar kebenaran jika orang yang dibicarakan saja tidak ada di sana untuk berbicara bagi dirinya sendiri? Lalu bagaimana dengan penilaian kinerja? Pengaman apa saja yang diperlukan untuk memastikan bahwa laporan-laporan itu adil dan akurat? Pada skala besar, bisnis pemasaran dan periklanan beroperasi di ruang publik di antara berbagai organisasi dan individu. Dalam rangka menunjukkan produk dan jasanya sebaik dan semenarik mungkin, sejauh mana orang boleh menunjuk kekurangan dan kelemahan pesaing tanpa menyertakan perspektif mereka? Mungkinkah hak “sesamamu” termasuk hak perusahaan lain? Jangkauan ekonomi global kita menunjukkan bahwa perintah ini memang bisa memiliki penerapan yang luas. Di dunia di mana persepsi sering diperhitungkan sebagai realitas, retorika persuasi yang efektif mungkin tidak banyak, jika ada, berkaitan dengan kebenaran sejati. Sumber ilahi perintah ini mengingatkan kita bahwa manusia mungkin tidak dapat mendeteksi ketika yang kita sampaikan kepada orang lain benar atau tidak, tetapi Allah tidak dapat dibodohi. Melakukan yang benar, sekalipun tidak ada yang melihat, adalah hal yang baik. Dari perintah ini kita tahu bahwa kita harus mengatakan hal yang benar ketika ada orang yang mendengarkan.

(Lihat Kebenaran & Kebohongan di https://www.teologikerja.org/ untuk pembahasan yang jauh lebih lengkap tentang topik ini, termasuk apakah larangan “memberi kesaksian palsu terhadap sesama” mencakup segala bentuk kebohongan dan penipuan).

“Jangan Mengingini … Apa pun Milik Sesamu” (Keluaran 20:17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kecemburuan dan keserakahan bisa muncul di mana saja dalam kehidupan, termasuk dalam bekerja, di mana status, bayaran, dan kekuasaan merupakan faktor rutin dalam relasi kita dengan orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama kita. Kita mungkin punya banyak alasan yang baik untuk menginginkan prestasi, kemajuan, atau ganjaran dalam bekerja. Namun, iri hati bukanlah salah satunya. Begitu pula dengan bekerja obsesif karena merasa iri dengan kedudukan sosial yang memungkinkan hal itu.

Kita khususnya menghadapi godaan di tempat kerja untuk secara keliru membesar-besarkan pencapaian kita dengan mengorbankan orang lain. Cara mengatasinya sederhana, meskipun kadang sulit untuk dilakukan. Bangunlah kebiasaan yang konsisten untuk mengakui pencapaian orang lain dan memberikan kepada mereka semua penghargaan yang pantas mereka terima. Jika kita bisa belajar bersukacita atas—atau setidaknya mengakui—keberhasilan orang lain, kita sudah menutup sumber rasa iri dan tamak di tempat kerja. Bahkan lebih baik lagi jika kita bisa belajar bagaimana caranya bekerja agar kesuksesan kita berjalan seiring dengan kesuksesan orang lain, ketamakan diganti dengan kerja sama, dan iri hati diganti dengan persatuan.

Leith Anderson, mantan pendeta Gereja Wooddale di Eden Prairie, Minnesota, berkata, “Sebagai pendeta senior, saya seperti memiliki persediaan koin yang tak terbatas di saku saya. Setiap kali saya memberikan penghargaan kepada anggota staf atas idenya yang baik, memuji pekerjaan sukarelawan, atau berterima kasih pada seseorang, saya seperti menyelipkan koin dari saku saya ke saku mereka. Itulah tugas saya sebagai pemimpin, menyelipkan koin-koin dari saku saya ke saku orang lain, untuk membangun apresiasi orang lain terhadap mereka” [1]

Hukum Kasus dalam Kitab Perjanjian (Keluaran 21:1-23:33)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sekumpulan hukum kasus berikut ini muncul dari Sepuluh Hukum. Alih-alih mengembangkan prinsip-prinsip yang terperinci, hukum kasus memberikan contoh-contoh tentang bagaimana menerapkan hukum Allah pada berbagai kasus yang biasa muncul dalam perilaku hidup sehari-hari. Sebagai kasus, semuanya melekat pada situasi yang dihadapi orang Israel. Di sepanjang kitab Taurat, tentu saja sulit untuk menyaring hukum-hukum spesifik dari cerita dan nasihat yang melingkupinya. Empat bagian hukum kasus ini dapat diterapkan pada hal kerja saat ini.

Perbudakan atau Perhambaan Kontrak (Keluaran 21:1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun Allah telah membebaskan orang Ibrani dari perbudakan di Mesir, perbudakan secara universal tidak dilarang di dalam Alkitab. Perbudakan diperbolehkan dalam situasi-situasi tertentu sepnjang para budak dianggap sebagai anggota penuh komunitas itu (Kejadian 17:12), mendapatkan waktu untuk beristirahat dan hari libur yang sama dengan yang non-budak (Keluaran 23:12; Ulangan 5:14-15, 12:12), dan diperlakukan secara manusiawi (Keluaran 21:7, 26-27). Yang terpenting, perbudakan di antara orang Ibrani tidak dimaksudkan sebagai kondisi permanen, tetapi sebagai tempat perlindungan sementara dan sukarela bagi orang yang kesusahan, yang jika tidak menjadi budak akan menderita kemiskinan yang parah. “Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, ia harus bekerja selama enam tahun, dan pada tahun ketujuh ia boleh keluar sebagai orang merdeka, tanpa membayar apa-apa” (Keluaran 21:2). Kekejaman yang dilakukan pemiliknya akan mengakibatkan budak itu langsung mendapat kebebasan (Keluaran 21:26-27). Hal ini membuat perbudakan laki-laki Ibrani lebih seperti kontrak kerja jangka panjang di antara individu-individu, bukan eksploitasi permanen yang menjadi ciri perbudakan di zaman modern.

Di satu sisi, perbudakan perempuan Ibrani jauh lebih protektif. Tujuan utama yang dipikirkan saat membeli budak perempuan adalah untuk dijadikan istri si pembeli atau putranya (Keluaran 21:8-9). Sebagai istri, ia lalu menjadi setara secara sosial dengan pemilik budak, dan pembelian itu berfungsi sebagai pemberian mas kawin. Bahkan ia juga disebut “gundik” menurut peraturan (Keluaran 21:10). Selain itu, jika si pembeli gagal memperlakukan budak perempuan itu dengan segala hak yang patut diterima seorang istri pada umumnya, ia harus membebaskan perempuan itu. “Perempuan itu boleh keluar tanpa membayar uang sedikit pun” (Keluaran 21:11). Namun, di sisi lain, budak perempuan mendapat perlindungan yang jauh lebih sedikit dibandingkan budak laki-laki. Secara potensial, setiap perempuan yang belum menikah bisa dijual untuk memasuki pernikahan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Meskipun hal ini membuatnya menjadi "istri/gundik" dan bukan "budak", bukankah pernikahan yang dipaksakan tak kalah buruknya dengan kerja paksa?

Selain itu, ada ambiguitas yang jelas ketika seorang perempuan dibeli untuk dijadikan istri budak laki-laki, bukan istri pemilik budak atau anaknya. Perempuan itu akan menjadi budak permanen bagi pemiliknya (Keluaran 21:4), sekalipun saat suaminya sudah dibebaskan sebagai budak. Si pemilik yang tidak menjadi suaminya itu tidak berutang perlindungan seorang istri kepadanya.

Perlindungan yang tidak didapat budak permanen juga berlaku pada orang asing (Imamat 25:44-46). Laki-laki yang diambil dari perang dianggap sebagai barang jarahan dan menjadi properti abadi pemiliknya. Perempuan dan anak-anak perempuan yang ditangkap dalam perang, yang tampaknya merupakan mayoritas tawanan (Bilangan 31:9-11, 32-35; Ulangan 20:11-14), menghadapi situasi yang sama seperti budak perempuan Ibrani (Ulangan 21:10-14), termasuk menjadi budak permanen. Budak juga bisa dibeli dari bangsa-bangsa sekitar (Pengkhotbah 2:7), dan tidak ada yang melindungi mereka dari perbudakan abadi. Perlindungan lain yang diberikan kepada budak-budak Ibrani juga berlaku bagi orang asing, tetapi perlindungan ini tentunya hanya kenyamanan kecil bagi orang yang harus menjalani kerja paksa seumur hidup.

Berbeda dengan perbudakan di Amerika Serikat yang biasanya melarang pernikahan di antara para budak, peraturan dalam kitab Keluaran bertujuan menjaga keutuhan keluarga. “Jika ia datang seorang diri, ia juga keluar seorang diri; jika ia mempunyai istri, istrinya boleh keluar bersama dia” (Keluaran 21:3). Namun, seringkali, seperti yang sudah kita lihat, dampak sesungguhnya dari peraturan ini adalah pernikahan yang dipaksakan.

Terlepas dari perlindungan apa pun yang diberikan dalam Hukum Taurat, perbudakan sama sekali bukanlah cara hidup yang dapat diterima. Para budak, berapa pun lamanya masa perbudakan mereka, hanya dianggap sebagai properti. Apapun regulasinya, dalam praktiknya hanya kemungkinan kecil ada perlindungan terhadap perlakuan tak senonoh dan pelecehan yang terjadi. Sebagaimana di banyak Alkitab, firman Allah di kitab Keluaran tidak menghapuskan tatanan sosial dan ekonomi yang ada, tetapi mengajarkan umat Allah bagaimana hidup dengan adil dan belas kasih dalam situasi mereka saat itu. Di mata kita, hasil melakukan [perintah]--dan yang seharusnya--tampak sangat meresahkan.

Bagaimanapun, sebelum kita menjadi terlalu sombong, kita perlu memerhatikan kondisi-kondisi kerja yang ada saat ini di antara orang-orang miskin di seluruh penjuru dunia, termasuk di negara-negara maju. Bekerja terus-menerus bagi orang-orang yang melakukan dua atau tiga pekerjaan untuk menghidupi keluarganya, penyelewengan dan penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang oleh orang-orang yang berkuasa, penggelapan hasil kerja yang dilakukan para pelaku bisnis ilegal, para pejabat yang korup, dan bos-bos yang memiliki hubungan politik. Jutaan orang bekerja saat ini tanpa regulasi-regulasi sebagaimana yang diberikan Hukum Musa. Jika kehendak Allah adalah melindungi orang Israel dari eksploitasi dan bahkan perbudakan, apa yang Allah harap dilakukan para pengikut Kristus pada orang-orang yang menderita penindasan yang sama, dan bahkan lebih buruk, pada saat ini?

Restitusi Komersial dan Lex Talionis (Keluaran 21:18-22:15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum kasuistik menetapkan hukuman bagi pelanggar, yang kebanyakan berkaitan langsung dengan perdagangan, terutama dalam kasus untuk bertanggung jawab atas kehilangan atau kerugian. Hal yang disebut lex talionis, yang juga muncul di Imamat 24:17-21 dan Ulangan 19:16-21, merupakan inti dari konsep retribusi/ganti rugi ini.[1] Secara harfiah, hukuman ini menuntut nyawa ganti nyawa, seperti juga mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lepuh ganti lepuh, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak. (Keluaran 21:23-25). Daftar ini sangat spesifik. Ketika para hakim Israel melakukan tugasnya, apakah kita percaya mereka benar-benar memberlakukan hukuman seperti ini? Apakah penggugat yang terluka bakar (lepuh) akibat kelalaian seseorang akan benar-benar puas jika melihat pelaku mengalami lepuh yang sama? Menariknya, di bagian kitab Keluaran ini, kita tidak melihat lex talionis diterapkan dengan cara seperti ini. Contoh kasus yang disampaikan adalah: seseorang yang membuat orang lain terluka parah dalam suatu perkelahian harus membayar ganti rugi selama korban kehilangan waktu untuk bekerja dan menanggung biaya pengobatannya (Keluaran 21:18-19). Ayat ini tidak dilanjutkan dengan berkata bahwa orang itu harus duduk diam untuk menerima pukulan publik yang sebanding dengan yang dialami mantan korbannya. Tampaknya lex talionis tidak menetapkan hukuman standar untuk pelanggaran-pelanggaran berat, tetapi menetapkan batas atas kerugian yang dapat dituntut. Gordon Wenham menulis, “Di zaman Perjanjian Lama tidak ada polisi atau layanan tuntutan publik, sehingga semua tuntutan dan hukuman harus dilakukan oleh pihak yang dirugikan dan keluarganya. Jadi, akan sangat mungkin bagi pihak yang dirugikan untuk tidak bersikeras menuntut hak-hak penuh mereka menurut lex talionis, tetapi menegosiasikan penyelesaian yang lebih ringan atau bahkan memaafkan si pelaku sama sekali.”[2] Hukum ini mungkin dianggap kejam oleh sebagian orang masa kini, tetapi Alec Motyer mengamati, “Ketika hukum di Inggris menggantung seseorang karena mencuri domba, itu bukan karena prinsip 'mata ganti mata' sedang diberlakukan, melainkan karena prinsip itu sudah dilupakan.”[3]

Hal penafsiran lex talionis ini menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan antara melakukan perkataan Alkitab secara harfiah dengan menerapkan perintah Alkitab. Menemukan solusi alkitabiah untuk masalah-masalah kita tidak selalu mudah. Orang​​ Kristen harus memakai kedewasaan dan kepekaan, terutama dengan mengingat ajaran Yesus untuk melepaskan lex talionis dengan tidak membalas pelaku kejahatan (Matius 5:38-42). Apakah Yesus sedang berbicara tentang etika pribadi, atau apakah Dia berharap para pengikut-Nya menerapkan prinsip ini dalam bisnis? Apakah cara ini lebih efektif untuk pelanggaran-pelanggaran kecil dibandingkan pelanggaran-pelanggaran berat? Orang yang berbuat jahat menimbulkan korban yang wajib kita bela dan lindungi (Amsal 31:9).

Perintah spesifik tentang ganti rugi dan hukuman terkait pencurian memiliki dua tujuan. Pertama, membuat si pencuri bertanggung jawab untuk mengembalikan korban kepada keadaannya semula atau memberikan kompensasi penuh atas kerugiannya. Kedua, menghukum dan mendidik si pencuri dengan membuatnya merasakan sepenuhnya penderitaan yang ia timbulkan pada korbannya. Tujuan-tujuan ini bisa menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum perdata dan pidana orang Kristen saat ini. Tugas peradilan saat ini dijalankan berdasarkan undang-undang dan acuan tertentu yang ditetapkan oleh negara. Meskipun demikian, para hakim memiliki kebebasan tertentu dalam menjatuhkan vonis dan hukuman. Untuk pertikaian yang diselesaikan di luar pengadilan, para pengacara bisa bernegosiasi untuk membantu kliennya mencapai kesepakatan yang konklusif. Belakangan ini, perspektif yang disebut “peradilan restoratif” muncul dengan penekanan pada hukuman yang mengembalikan korban kepada kondisi semula dan sedapat mungkin mengembalikan pelaku sebagai anggota masyarakat yang produktif. Penjelasan dan evaluasi yang lengkap tentang pendekatan-pendekatan ini tidak termasuk dalam pembahasan kita di sini, tetapi kita perlu mencatat bahwa Alkitab banyak menawarkan sistem peradilan kontemporer dalam hal ini.

Dalam bisnis, para pemimpin kadang harus menjadi penengah di antara pekerja yang memiliki masalah-masalah serius terkait-pekerjaan dengan satu sama lain. Membuat keputusan yang benar dan adil tidak hanya berdampak pada orang-orang yang terlibat perselisihan, tetapi juga dapat memengaruhi seluruh atmosfir organisasi dan bahkan menjadi preseden tentang bagaimana para pekerja diharapkan bisa berhasil di masa depan. Pertaruhannya secara langsung mungkin sangat tinggi. Namun di atas semua itu, ketika orang Kristen membuat keputusan-keputusan seperti ini, orang-orang yang mengamati akan menarik kesimpulan tentang kita sebagai umat Allah dan juga legitimasi iman yang kita hidupi. Kita jelas tidak dapat mengantisipasi setiap situasi (sebagaimana halnya kitab Keluaran). Tetapi kita tahu bahwa Allah mau kita melakukan perintah-perintah-Nya, dan kita bisa yakin bahwa bertanya kepada Allah bagaimana caranya mengasihi sesama seperti diri kita sendiri adalah langkah awal yang terbaik.

Kesempatan untuk Produktif bagi Orang Miskin – Memungut sisa-sisa panen (Keluaran 22:21-27 & 23:10-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Maksud Allah untuk memberi kesempatan kepada orang miskin tampak dalam peraturan-peraturan yang menguntungkan orang asing, para janda, dan anak yatim (Keluaran 22:21-22). Kesamaan ketiga kelompok ini adalah mereka tidak memiliki tanah untuk menopang kehidupan mereka sendiri. Keadaan ini seringkali membuat mereka menjadi miskin, sehingga orang asing, para janda, dan anak yatim selalu menjadi subyek utama setiap kali “orang miskin” disebutkan di Perjanjian Lama. Di dalam kitab Ulangan, kepedulian Allah terhadap ketiga kelompok rentan ini memanggil orang Israel untuk memberikan mereka keadilan (Ulangan 10:18; 27:19) dan akses untuk mendapat makanan (Ulangan 24:19-22). Hukum kasus tentang hal ini juga dikembangkan di Yesaya 1:17, 23 & 10:1-2; Yeremia 5:28, 7:5-7, 22:3; Yehezkiel 22:6-7; Zakharia 7:8-10; dan Maleakhi 3:5.

Salah satu yang terpenting dari regulasi ini adalah tindakan memperbolehkan orang miskin untuk menuai, atau “memungut” sisa-sisa panen yang tertinggal di ladang yang ditanami serta memanen seluruh tuaian yang tumbuh di ladang yang tidak ditanami. Tindakan memungut sisa panen ini (gleaning) bukan memberi sedekah, tetapi memberi kesempatan kepada orang miskin untuk dapat menghidupi diri mereka sendiri. Para pemilik ladang wajib membiarkan setiap ladang, kebun anggur, dan kebun buah-buahan tidak ditanami selama satu tahun setiap tujuh tahun sekali, dan orang miskin diperbolehkan mengambil apa saja yang mungkin tumbuh di sana (Keluaran 23:10-11). Bahkan di ladang yang ditanami, pemilik ladang wajib meninggalkan sebagian hasil panennya di ladang untuk dipungut orang miskin, dan tidak boleh menyabitnya sampai bersih (Imamat 19:9-10). Kebun zaitun atau kebun anggur hanya boleh dipanen satu kali setiap musim (Ulangan 24:20). Setelah itu, orang-orang miskin berhak mengumpulkan yang tersisa, entah itu buah yang kurang baik mutunya atau pun yang belum matang. Tindakan ini bukan saja merupakan ungkapan kebaikan, tetapi juga masalah keadilan. Kitab Rut berkisar pada kisah pemungutan sisa panen ini sampai dampaknya yang mengesankan (lihat "Rut 2:17-23" dalam Kitab Rut dan Kerja di https://www.teologikerja.org/).

Saat ini, ada banyak cara yang dapat dilakukan para petani, produsen dan distributor makanan untuk berbagi dengan orang miskin. Banyak dari mereka yang menyumbangkan makanan sisa layak-makan ke dapur-dapur umum dan tempat-tempat penampungan. Yang lain berusaha membuat makanan yang harganya lebih terjangkau dengan meningkatkan efisiensi mereka sendiri. Namun, sebagian besar masyarakat, setidaknya di negara-negara maju, tidak lagi bekerja di bidang pertanian untuk mencari nafkah, dan kesempatan-kesempatan untuk orang miskin perlu disediakan di sektor-sektor lain. Di dalam masyarakat industri dan teknologi saat ini, penggunaan sumber daya secara efisien adalah dasar keberhasilan produksi. Tak ada yang bisa dipungut di lantai bursa saham, pabrik perakitan, atau laboratorium pemrograman. Namun, prinsip untuk menyediakan pekerjaan produktif bagi para pekerja rentan tetap relevan. Korporasi-korporasi dapat secara produktif mempekerjakan para penyandang disabilitas mental maupun fisik, dengan atau tanpa bantuan pemerintah. Melalui pelatihan dan dukungan, orang-orang dari latar belakang yang kurang beruntung, narapidana yang kembali ke masyarakat, dan orang-orang lainnya yang kesulitan mendapatkan pekerjaan konvensional, dapat menjadi pekerja produktif dan mencari nafkah.

Orang-orang dengan ekonomi-lemah lainnya mungkin harus bergantung pada sumbangan uang daripada menerima kesempatan kerja. Di sini lagi-lagi situasi masa kini terlalu rumit bagi kita untuk membuat penerapan sederhana dari hukum alkitabiah. Namun, nilai-nilai yang mendasari hukum itu bisa memberi kontribusi signifikan pada rancangan dan pelaksanaan sistem kesejahteraan masyarakat, donasi pribadi, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Banyak orang Kristen memiliki peran-peran penting dalam mempekerjakan karyawan atau merancang kebijakan ketenagakerjaan. Kitab Keluaran mengingatkan kita bahwa mempekerjakan pekerja yang rentan adalah bagian yang mendasar dari arti sebuah bangsa hidup di bawah perjanjian Allah. Bersama orang Israel zaman dahulu, orang Kristen juga mengalami penebusan Allah, meskipun tidak selalu dalam arti yang sama. Namun, rasa syukur mendasar kita atas anugerah Allah tentu merupakan motif yang kuat dalam mencari cara-cara kreatif untuk melayani orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita.

Pinjaman dan Agunan (Keluaran 22:25-27)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seperangkat hukum kasus lainnya mengatur masalah uang dan agunan (Keluaran 22:25-27). Ada dua situasi yang dimunculkan. Yang pertama berkaitan dengan anggota masyarakat Allah yang miskin dan membutuhkan pinjaman uang. Pinjaman ini tidak boleh dilakukan menurut standar peminjaman uang yang biasa. Pinjaman itu harus diberikan tanpa “bunga.” Kata Ibrani neshekh (yang dalam beberapa konteks berarti “gigitan/sengatan”) menarik banyak perhatian para akademisi. Apakah neshek merujuk pada bunga yang dikenakan berlebihan dan karena itu tidak adil, di atas besaran bunga yang wajar yang diperlukan untuk terjadinya transaksi pinjam-meminjam finansial? Atau apakah kata itu merujuk pada bunga apa pun? Ayat ini tidak memiliki cukup keterangan untuk menyelesaikan masalah ini secara meyakinkan, tetapi pendapat yang belakangan tampaknya lebih memungkinkan, karena di dalam Perjanjian Lama neshek selalu berkaitan dengan pemberian pinjaman kepada orang yang dalam situasi lemah dan sengsara, yang bagi mereka membayar bunga apa pun akan menjadi beban yang berlebihan.[1] Menempatkan orang miskin dalam siklus utang finansial yang tak pernah berakhir akan menggerakkan belas kasihan Allah Israel untuk bertindak. Apakah hukum ini baik untuk bisnis atau tidak, tidak diungkapkan di sini. Walter Brueggemann menulis, “Hukum itu tidak membahas kelangsungan ekonomi dari tindakan itu. Hukum itu hanya mensyaratkan perlunya menolong secara konkret, dan mengharapkan masyarakat mengembangkan detail-detail praktisnya.”[2] Situasi lainnya adalah tentang seorang yang menyerahkan satu-satunya jubah miliknya sebagai agunan pinjaman. Jubah itu harus dikembalikan padanya pada malam hari agar ia dapat tidur tanpa membahayakan kesehatannya (Keluaran 22:26-27). Apakah ini berarti si pemberi pinjaman harus mendatanginya keesokan paginya untuk mengambil jubah itu dan mengulangi lagi tindakan mengembalikan dan mengambil jubah itu setiap hari sampai pinjaman itu dilunasi? Dalam konteks kemiskinan yang sedemikian jelas, pemberi pinjaman yang baik dapat menghindari siklus yang menggelikan ini dengan tidak mengharapkan si peminjam memberikan agunan sama sekali. Regulasi-regulasi ini mungkin kurang dapat diterapkan pada sistem perbankan saat ini pada umumnya dibandingkan sistem perlindungan dan bantuan untuk orang miskin saat ini. Sebagai contoh, sistem ekonomi mikro di negara-negara yang kurang berkembang dikembangkan dengan kebijakan suku bunga dan agunan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar bisa memiliki akses untuk mendapat pinjaman. Tujuannya—setidaknya pada tahun-tahun awal yang dimulai tahun 1970-an—bukanlah untuk memaksimalkan keuntungan bagi para pemberi pinjaman, tetapi untuk menyediakan lembaga-lembaga pemberi pinjaman yang berkelanjutan untuk membantu orang miskin keluar dari kemiskinan. Meskipun demikian, sistem ekonomi mikro bergumul dalam mengimbangi kebutuhan pemberi pinjaman akan pengembalian dana yang berkesinambungan dan tingkat gagal bayar dengan kebutuhan peminjam akan suku bunga yang terjangkau dan persyaratan agunan yang tidak mengikat.[3]

Adanya regulasi-regulasi spesifik yang menyertai Sepuluh Hukum berarti Allah ingin umat-Nya menghormati Dia dengan melakukan perintah-perintah-Nya secara praktis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata. Kepedulian emosional tanpa tindakan yang disengaja tidak akan memberikan bantuan yang dibutuhkan orang miskin. Seperti dikatakan Rasul Yakobus, “Iman tanpa perbuatan mati” (Yakobus 2:26). Mempelajari penerapan-penerapan spesifik hukum Israel kuno ini menolong kita untuk memikirkan cara-cara tertentu yang dapat kita lakukan saat ini. Hanya kita perlu ingat, bahwa pada masa itu pun hukum-hukum ini merupakan penggambaran/ ilustrasi. Terence Fretheim menyimpulkan, “Ada konsep terbuka dalam penerapan hukum ini. Teks ini mengundang pendengar/pembaca untuk menerapkan ayat ini dalam setiap aspek kehidupan yang mungkin menghadapi ketidakadilan. Dengan kata lain, hukum itu mengundang orang untuk bertindak melampaui hukum.[4]

Pembacaan yang cermat akan menyingkapkan tiga alasan mengapa umat Allah harus menaati hukum-hukum ini dan menerapkannya pada situasi-situasi nyata.[5] Pertama, bangsa Israel sendiri pernah mengalami penindasan sebagai orang asing di Mesir (Keluaran 22:21; 23:9). Mengulang-ulang sejarah ini tidak hanya membuat penebusan Allah semakin nyata, tetapi ingatan ini juga dapat menjadi motivasi untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan (Matius 7:12). Kedua, Allah mendengar seruan orang yang tertindas dan akan bertindak, apalagi jika kita tidak berdaya (Keluaran 22:22-24). Ketiga, kita harus menjadi umat-Nya yang kudus (Keluaran 22:31; Imamat 19:2).

Tabernakel (Keluaran 25:1-40:38)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pekerjaan membangun Tabernakel/Kemah Suci mungkin tampaknya berada di luar cakupan Proyek Teologi Kerja karena fokus liturgisnya. Namun, kita harus ingat bahwa kitab Keluaran tidak begitu saja memisahkan kehidupan bangsa Israel dalam kategori kudus dan sekuler seperti yang biasa kita lakukan. Bahkan jika kita membedakan antara kegiatan Israel yang liturgis dan ekstra-liturgis, di dalam kitab Keluaran tidak ada yang menyatakan yang satu lebih penting dari yang lain. Lagipula, yang sebenarnya dilakukan di tabernakel tidak bisa disamakan dengan “pekerjaan gereja” saat ini. Pembangunannya pun jelas tidak memiliki kesamaan dengan pembangunan gedung-gedung gereja. Pasal-pasal dalam kitab Keluaran yang berkaitan dengan tabernakel semuanya adalah tentang pendirian institusi yang unik. Meskipun pekerjaan di tabernakel berlangsung dari tahun ke tahun dan digolongkan sebagai bait suci, setiap bangunan ini dirancang sebagai pusat dan tersendiri. Tabernakel atau kemah suci bukanlah contoh bangunan yang bisa direproduksi di mana saja orang Israel akan tinggal menetap. Bahkan, pembangunan dan pengoperasian tempat-tempat suci lokal di seluruh negeri itu terbukti memberi dampak yang merugikan kesehatan rohani bangsa Israel. Pada akhirnya, tujuan kemah suci bukanlah memberikan tempat ibadah resmi bagi orang Israel. Namun, menyatakan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Hal ini jelas dari awal perkataan Allah, “Mereka harus membuat Tempat Kudus bagi-Ku, supaya Aku bersemayam di antara mereka” (Keluaran 25:8). Orang Kristen saat ini mengerti bahwa Allah tinggal di antara kita dalam pribadi Anak-Nya (Yohanes 1:14). Melalui karya-Nya, seluruh komunitas orang percaya menjadi bait suci Allah, tempat Roh Allah berdiam (1 Korintus 3:16). Dari observasi-observasi ini, kita menemukan dua pernyataan yang berkaitan dengan kerja. Pertama, Allah itu arsitek. Kedua, Allah memperlengkapi umat-Nya untuk melakukan pekerjaan-Nya.

Bagian-bagian kitab Keluaran tentang tabernakel disusun berdasarkan perintah Allah (Keluaran 25:1-31:11) dan tanggapan Israel (Keluaran 35:4-40:33). Namun, Allah tidak sekadar mengatakan apa yang Dia inginkan dari bangsa Israel. Dia memberikan rancangan yang aktual untuk keinginan-Nya itu. Hal ini jelas dari perkataan-Nya kepada Musa, “Menurut segala yang Kutunjukkan kepadamu sebagai pola Kemah Suci dan segala perlengkapannya, demikianlah kamu membuatnya” (Keluaran 25:9b).[1] Kata Ibrani untuk “pola” (tavnit) di sini berkaitan dengan bangunan dan hal-hal yang berkaitan. Para arsitek saat ini menggunakan cetak biru untuk mengarahkan pembangunan, tetapi mungkin juga ada semacam model pola dasar yang dapat dilihat.[2]


Bait suci sering dianggap sebagai replika tempat suci surgawi di bumi (Yesaya 6:1-8). Melalui Roh, Raja Daud menerima pola semacam itu untuk bait suci dan memberikannya kepada anaknya, Salomo, yang mensponsori pembangunan bait suci (1 Tawarikh 28:11-12, 19). Dari penjelasan selanjutnya jelas bahwa rancangan arsitektur Allah sangat indah dan bercitarasa seni. Prinsip bahwa rancangan Allah mendahului bangunan Allah berlaku untuk tempat-tempat suci Israel maupun komunitas Kristen Perjanjian Baru di seluruh dunia (1 Korintus 3:5-18). Yerusalem Baru yang akan datang adalah kota yang hanya dapat dirancang oleh Allah (Wahyu 21:10-27). Pekerjaan Allah sebagai arsitek benar-benar memberi martabat pada profesi khusus ini. Namun, pada umumnya, umat Allah bisa terlibat dalam pekerjaan mereka (apa pun pekerjaan itu) dengan kesadaran bahwa Allah juga memiliki rancangan untuk pekerjaan itu. Seperti akan kita lihat selanjutnya, ada banyak detail yang harus dikerjakan dalam pola rencana Allah, dan Roh Kudus juga membantu dalam hal itu.

Kisah Bezaleel, Aholiab, dan semua pekerja terampil di Kemah Suci penuh dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan kerja (Keluaran 31:1-11; 35:30-36:5). Bezaleel dan Aholiab itu penting bukan saja karena pekerjaan mereka di Kemah Suci, tetapi juga sebagai teladan bagi Salomo dan Huram-Abi yang membangun Bait Suci itu.[3]

ekerjaan kerajinan yang komprehensif meliputi kerajinan logam dari emas, perak, dan perunggu, dan juga kerajinan dari batu dan kayu. Pembuatan pakaian memerlukan pekerjaa mencari wol, memintal, mewarnai, menenun, merancang pola, membuat dan menjahitnya, serta pekerjaan menyulam. Para pekerja terampil itu bahkan menyiapkan minyak urapan dan dupa wangi. Yang menyatukan semua tindakan ini adalah Allah yang memenuhi para pekerja dengan Roh-Nya. Kata Ibrani untuk “kemampuan” dan “keterampilan” dalam teks ini (hokhmah) biasanya diterjemahkan sebagai “hikmat,” yang membuat kita berpikir tentang penggunaan kata-kata dan pengambilan keputusan. Di sini, kata itu menggambarkan pekerjaan yang bersifat praktis namun rohani dalam arti teologis yang sepenuhnya (Keluaran 28:3; 31:3, 6; 35:26, 31, 35; 36:1-2).

Beragamnya kegiatan pembangunan di pasal ini menunjukkan, meskipun tidak lengkap semuanya, apa saja yang diperlukan dalam bangunan di Timur Dekat kuno. Karena Allah yang menginspirasinya, kita dapat dengan aman berasumsi bahwa Dia menginginkan dan memberkati semua itu. Namun, apakah kita sebenarnya memerlukan ayat-ayat seperti ini untuk meyakinkan bahwa Allah menyetujui pekerjaan-pekerjaan ini? Bagaimana dengan keterampilan terkait yang tidak disebutkan? Sedikit berkelakar, seandainya tabernakel membutuhkan sistem pendingin udara, kita bisa berasumsi bahwa Allah tentu sudah memberikan rancangan tentang AC yang baik. Robert Banks dengan bijak menyarankan, “Dalam tulisan-tulisan Alkitab, kita tidak boleh menafsirkan perbandingan dengan proses pembangunan [modern] dengan cara yang terlalu sempit atau spesifik tentang pekerjaan. Terkadang hal ini mungkin bisa dibenarkan, tetapi pada umumnya tidak.”[4]

Intinya di sini bukanlah bahwa Allah lebih peduli pada pekerja tertentu daripada yang lainnya. Alkitab tidak perlu menyebutkan setiap profesi yang mulia agar kita dapat melihatnya sebagai hal yang baik untuk dilakukan. Sama seperti manusia tidak diciptakan untuk hari Sabat tetapi hari Sabat diciptakan untuk manusia (Markus 2:27), bangunan dan kota-kota juga diciptakan untuk manusia. Peraturan bahwa rumah-rumah kuno harus dibangun dengan memagari sotoh rumah (Ulangan 22:8) menunjukkan kepedulian Allah terhadap pembangunan yang bertanggung jawab yang benar-benar melayani dan melindungi manusia. Inti tentang pemberian-Roh pada para pekerja tabernakel adalah bahwa Allah peduli pada proyek tertentu ini karena tujuan-tujuan tertentu ini. Berdasarkan kebenaran ini, mungkin pelajaran yang selalu bisa kita ambil untuk pekerjaan kita saat ini adalah bahwa apa pun pekerjaan Allah itu, Dia tidak menyerahkan pekerjaan besar-Nya itu ke tangan kita yang tidak diperlengkapi. Cara Dia memperlengkapi kita untuk pekerjaan-Nya mungkin berbeda-beda, sebagaimana beragamnya tugas-tugas itu. Dalam kesetiaan ilahi, karunia rohani yang Allah berikan pada kita akan menguatkan kita dalam melakukan pekerjaan Allah sampai akhir (1 Korintus 1:4-9). Dia sanggup melimpahkan segala berkat anugerah yang berkelimpahan agar kita dapat mengambil bagian secara berkelimpahan dalam setiap pekerjaan baik (2 Korintus 9:8).

Konklusi Kitab Keluaran

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam kitab Keluaran, kita melihat Allah membawa umat-Nya keluar dari pekerjaan yang menindas kepada kemerdekaan mulia anak-anak Allah. Bukan kemerdekaan dari (untuk tidak) bekerja, tetapi kemerdekaan untuk mengasihi dan melayani Tuhan melalui bekerja di segala aspek kehidupan. Allah memberikan panduan untuk hidup dan bekerja yang akan memuliakan Dia dan memberkati Israel. Dan Dia menyediakan tempat kehadiran-Nya untuk memberkati semua yang mereka lakukan.

Introduksi-Apakah Kitab Imamat Memiliki Pesan tentang Kerja?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Imamat merupakan sumber yang sangat kaya untuk orang yang mencari pimpinan tentang kerja. Kitab ini berisi perintah-perintah langsung dan praktis, meskipun situasinya terjadi di tempat kerja yang berbeda dari yang dialami sebagian besar dari kita saat ini. Kitab Imamat juga merupakan salah satu pusat tempat Allah menyatakan diri-Nya dan tujuan-tujuan-Nya dalam hidup dan pekerjaan kita. Kitab ini terletak di tengah kitab-kitab Taurat, kitab ketiga dari lima kitab Musa yang membentuk narasi dan fondasi teologi Perjanjian Lama. Kitab kedua, kitab Keluaran, menceritakan tentang Allah yang membawa umat-Nya keluar [dari perbudakan]. Kitab Imamat menceritakan tentang Allah yang memimpin umat-Nya ke dalam [1] kehidupan yang penuh dengan kehadiran Allah sendiri. Di dalam kitab Imamat, pekerjaan merupakan salah satu medan terpenting di mana Allah hadir bersama umat Israel, dan Allah tetap hadir bersama umat-Nya dalam pekerjaan kita saat ini.

Kitab Imamat juga merupakan pusat pengajaran Yesus dan Perjanjian Baru lainnya. Hukum Terutama yang diajarkan Yesus (Markus 12:28-31) diambil langsung dari Imamat 19:18: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” “Tahun Yobel” dari Imamat 25 ada di pusat pernyataan misi Yesus: “Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku… untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan [tahun Yobel]” (Lukas 4:18-19). Ketika Yesus berkata bahwa “satu huruf terkecil atau satu titik pun” tidak akan lenyap dari Hukum Taurat (Matius 5:18), banyak huruf dan titik itu berada di kitab Imamat. Yesus memberikan cara pandang baru tentang Hukum Taurat—bahwa cara menggenapi Hukum itu bukanlah dengan mematuhi aturan-aturan, tetapi dengan menyetujui tujuan Allah menciptakan Hukum itu. Kita perlu memenuhi Hukum Taurat dengan “jalan yang lebih utama lagi” (1 Korintus 12:31) yang melampaui, bukan mengabaikan, huruf/perkataan Hukum itu. Jika kita ingin memenuhi Roh Hukum Taurat, seperti yang dilakukan Yesus, kita harus mulai dengan mempelajari yang sebenarnya dikatakan Hukum itu. Hal ini banyak ditemukan dalam kitab Imamat, dan banyak yang diterapkan pada hal kerja.

Karena kitab Imamat merupakan pusat pengajaran Yesus tentang kerja, sebagai pengikut Yesus, kita sudah sepatutnya mencari petunjuk dari kitab ini tentang kehendak Allah dalam kerja kita. Tentu saja kita harus ingat bahwa perintah-perintah dalam kitab Imamat harus dipahami dan diterapkan dalam situasi sosial dan ekonomi yang berbeda dari saat ini. Masyarakat saat ini tidak hidup dalam situasi yang sama dengan situasi bangsa Israel dahulu, baik secara struktur kemasyarakatan maupun relasi perjanjian. Banyak pekerja saat ini, misalnya, tak perlu banyak tahu tentang apa yang harus dilakukan dengan lembu jantan atau domba yang mati diterkam binatang buas (Imamat 7:24). Orang-orang Lewi yang banyak dibahas dalam kitab ini—para imam yang melakukan upacara persembahan kurban binatang bagi Allah— sudah tidak ada lagi. Lagipula, di dalam Kristus kita memahami Hukum Taurat sebagai sarana kasih karunia Allah dengan cara yang berbeda daripada yang dipahami bangsa Israel zaman dahulu. Jadi, kita tak dapat sekadar mengutip dari kitab Imamat seakan-akan tak pernah ada perubahan yang terjadi di dunia. Kita tidak dapat membaca satu ayat dan berkata “Demikianlah firman Allah” sebagai penghakiman terhadap orang yang tidak sependapat dengan kita. Sebaliknya, kita harus memahami arti, tujuan, dan pikiran Allah yang dinyatakan dalam kitab Imamat, dan kemudian meminta hikmat Allah untuk menerapkannya pada masa kini. Hanya dengan berlaku demikian, hidup kita akan mencerminkan kekudusan-Nya, menghormati maksud-maksud-Nya, dan menyatakan kuasa pemerintahan kerajaan surga di bumi.

Konsep Dasar Kekudusan di Kitab Imamat

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Imamat didasarkan pada kebenaran bahwa Allah itu kudus. Kata qodesh muncul lebih dari seratus kali dalam teks Ibrani kitab Imamat. Mengatakan bahwa Allah itu kudus berarti Dia sama sekali terpisah dari segala yang jahat atau cemar. Atau dengan kata lain, Allah itu sungguh dan sangat baik. Dia layak menerima kesetiaan mutlak, penyembahan eksklusif dan ketaatan yang penuh kasih.

Israel memiliki identitas kudus karena tindakan Allah yang menjadikan mereka kudus, dan juga karena Allah mau Israel berlaku kudus dalam hal-hal praktis. Israel disebut kudus karena Allah sendiri kudus (Imamat 11:44-45; 19:2; 20:7; 21:8). Peraturan-peraturan dalam kitab Imamat yang tampaknya berbeda sehubungan dengan aspek kehidupan ritual, etika, komersial, dan hukum semuanya dialaskan pada konsep dasar kekudusan ini.

Alexander Hill kemudian mengikuti konsep dasar kitab Imamat ini ketika ia melandaskan pembahasannya tentang etika bisnis Kristen pada kekudusan, keadilan dan kasih Allah. “Perilaku bisnis yang etis itu jika mencerminkan karakter Allah yang kudus-adil-kasih.”[1] Hill berkata bahwa orang Kristen yang berbisnis mencerminkan kekudusan ilahi jika mereka bersemangat bagi Allah yang merupakan prioritas tertinggi mereka, dan kemudian bertindak dengan kekudusan, akuntabilitas dan kerendahan hati. Lebih dari mencoba mereproduksi aturan komersial yang dirancang untuk masyarakat agraris, seperti inilah yang dimaksud menerapkan kitab Imamat pada masa kini. Ini bukan berarti mengabaikan hal-hal spesifik dari Hukum itu, melainkan memahami bagaimana Allah memimpin kita menaatinya dalam konteks masa kini.

Kekudusan dalam kitab Imamat bukanlah pemisahan demi kepentingan pemisahan itu sendiri, tetapi untuk kepentingan pertumbuhan komunitas umat Allah dan rekonsiliasi setiap pribadi dengan Allah. Kekudusan bukan sekadar perilaku individu yang mematuhi peraturan, tetapi bagaimana perilaku setiap orang memengaruhi seluruh umat Allah dalam kehidupan bersama dan pekerjaan mereka sebagai wakil-wakil kerajaan Allah. Dengan pengertian ini, panggilan Yesus agar umat-Nya menjadi “garam” dan “terang” bagi orang luar (Matius 5:13-16) menjadi sangat masuk akal. Menjadi kudus berarti bertindak melampaui hukum Taurat untuk mengasihi sesama, bahkan mengasihi musuh, dan “haruslah kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di sorga sempurna” (Matius 5:48, yang menggemakan Imamat 19:2).

Singkatnya, bangsa Israel kuno menaati kitab Imamat bukan sebagai seperangkat aturan yang unik, tetapi sebagai ungkapan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Ini sama relevannya bagi umat Allah di masa kini maupun pada masa itu. Di dalam kitab Imamat, Allah memakai sekelompok suku nomaden dan membentuk budaya mereka sebagai bangsa. Dan pada masa kini, ketika umat Allah memasuki tempat-tempat kerja mereka, melalui mereka Allah membentuk budaya unit-unit kerja, organisasi-organisasi, dan komunitas-komunitas mereka. Panggilan Allah untuk menjadi kudus, sebagaimana Dia kudus, adalah panggilan untuk membentuk budaya-budaya kita untuk kebaikan.

Sistem Pengorbanan di Israel (Imamat 1-10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Imamat dimulai dengan peraturan tentang sistem pengorbanan di Israel, yang disampaikan dari dua perspektif. Perspektif pertama adalah sudut pandang orang awam yang membawa kurban persembahan dan berpartisipasi dalam upacara pengorbanan itu (pasal 1-5). Perspektif kedua adalah sudut pandang para imam yang memimpin upacara pengorbanan itu (pasal 6-7). Setelah itu, kita tahu bahwa para imam ditahbiskan dan memulai pelayanan mereka di Tabernakel/ Kemah Suci atau Kemah Pertemuan (pasal 8-9), lalu ada ketetapan-ketetapan lebih lanjut untuk para imam setelah Allah menghukum mati imam Nadab dan Abihu karena mereka melanggar ketetapan Allah tentang tanggung jawab ritual mereka (pasal 10). Kita tidak boleh menganggap materi ini hanya sebagai liturgi kosong yang tidak relevan dengan dunia kerja masa kini. Sebaliknya, kita harus melihatnya melalui cara bangsa Israel mengatasi masalah-masalah mereka agar kita juga, sebagai umat Allah dalam Kristus, dapat belajar mengatasi masalah-masalah kita—termasuk tantangan yang kita hadapi dalam bisnis dan pekerjaan.

Allah Berdiam di tengah Komunitas (Imamat 1-10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tujuan mempersembahkan kurban bukan semata-mata untuk memperbarui kekudusan yang secara berkala tercemar. Kata kerja Ibrani untuk “mempersembahkan” kurban secara harfiah berarti “membawa[nya] mendekat.” Membawa kurban persembahan mendekat ke mezbah membuat orang yang membawanya (penyembah) mendekat kepada Allah. Kadar perilaku buruk individu penyembah bukan hal yang utama. Kecemaran yang disebabkan oleh kenajisan adalah konsekuensi bagi seluruh komunitas, yang terdiri dari relatif sedikit orang yang melakukan dosa yang disengaja maupun yang tidak disengaja, bersama dengan mayoritas umat yang diam, yang membiarkan kejahatan berkembang di tengah-tengah mereka. Umat secara keseluruhan memikul tanggung jawab kolektif atas kecemaran masyarakat, sehingga memberi alasan yang sah untuk Allah meninggalkan tempat suci-Nya, suatu keadaan yang sama saja dengan kehancuran bangsa.[1] Mendekat kepada Allah tetap menjadi tujuan orang-orang yang menyebut Yesus "Imanuel" (“Allah beserta kita”). Allah yang berdiam bersama umat-Nya benar-benar merupakan hal serius.

Orang Kristen di tempat kerja harus lebih dari sekadar mencari kiat-kiat ilahi untuk mencapai apa pun yang disebut dunia sebagai “kesuksesan.” Menyadari bahwa Allah itu kudus dan Dia rindu tinggal di pusat hidup kita, akan mengubah orientasi hidup kita dari kesuksesan menjadi kekudusan, apa pun pekerjaan yang Allah mau kita lakukan. Ini bukan berarti melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan di tempat kerja, tetapi melakukan seluruh pekerjaan kita sebagaimana Allah mau kita melakukannya. Bekerja bukan semata-mata cara untuk menikmati hasil kerja kita, tetapi cara untuk mengalami kehadiran Allah. Sebagaimana persembahan kurban bangsa Israel merupakan “aroma yang menyenangkan” bagi Allah (Imamat 1:9, dan enam belas contoh lainnya), Paulus memanggil orang Kristen untuk “hidup layak di hadapan Allah serta berkenan kepada-Nya” (Kolose 1:10), “sebab bagi Allah kita adalah aroma yang harum dari Kristus” (2 Korintus 2:15).

Apa yang mungkin terjadi jika kita berjalan mengelilingi tempat kerja kita dan mengajukan pertanyaan mendasar ini, “Bagaimana agar tempat ini bisa menjadi tempat kehadiran Allah yang kudus?” Apakah tempat kerja ini mendorong orang untuk memunculkan yang terbaik dari yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka? Apakah tempat ini dicirikan dengan perlakuan yang adil pada semua orang? Apakah tempat ini melindungi para pekerja dari bahaya? Apakah tempat kerja ini menghasilkan barang dan jasa yang membuat masyarakat berkembang lebih baik lagi?

Seluruh Umat Allah Bekerja (Imamat 1-10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Imamat menggabungkan perspektif dua kelompok yang seringkali saling bertentangan – para imam dan umat. Tujuannya adalah menyatukan seluruh umat Allah tanpa memandang perbedaan status. Di tempat kerja masa kini, bagaimana orang Kristen menangani pertentangan di antara mereka tanpa memandang kekayaan atau kedudukan mereka di perusahaan itu? Apakah kita menoleransi penyalahgunaan kekuasaan jika akibatnya tampaknya menguntungkan bagi karier kita? Apakah kita ikut menghakimi rekan kerja melalui gosip dan sindiran, atau apakah kita berusaha keras menyampaikan keluhan melalui cara-cara yang tidak memihak? Apakah kita memerhatikan akibat buruk dari perundungan dan sikap pilih kasih di tempat kerja? Apakah kita mengedepankan budaya yang positif, mendukung keberagaman, dan membangun organisasi yang sehat? Apakah kita memungkinkan komunikasi yang terbuka dan dapat dipercaya, meminimalkan politik main-belakang, dan berusaha keras mencapai kinerja terbaik? Apakah kita menciptakan suasana yang memungkinkan ide-ide bermunculan dan dijajaki, lalu yang terbaik diwujudkan dalam tindakan? Apakah kita fokus pada pertumbuhan yang berkelanjutan?

Sistem pengorbanan di Israel tidak hanya menyelesaikan kebutuhan rohani umat, tetapi juga kebutuhan psikologis dan emosional mereka, sehingga dengan demikian mencakup semua orang dan seluruh komunitas. Orang ​​Kristen tahu bahwa bisnis biasanya memiliki tujuan-tujuan yang tidak rohani. Namun, kita juga tahu bahwa seseorang itu tidak sama dengan yang dilakukan atau dihasilkannya. Hal ini tidak boleh melemahkan komitmen kita untuk bekerja produktif, hanya kita perlu ingat bahwa karena Allah telah menerima kita dengan pengampunan-Nya, kita punya lebih banyak alasan dibandingkan orang lain untuk bersikap penuh perhatian, adil, dan murah hati kepada semua orang (Lukas 7:47; Efesus 4:32; Kolose 3:13).

Pentingnya Persembahan Kurban Penebus Salah (Imamat 6:1-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setiap persembahan kurban dalam sistem pengorbanan di Israel memiliki fungsi masing-masing, tetapi ada satu hal yang khusus pada persembahan kurban penebus salah (yang juga dikenal sebagai kurban kompensasi/ganti rugi) yang membuatnya sangat relevan dengan dunia kerja. Persembahan kurban penebus salah dalam kitab Imamat adalah benih untuk doktrin alkitabiah tentang pertobatan.[1] (Bilangan 5:5-10 sangat paralel dengan bagian ini). Menurut kitab Imamat, Allah menuntut persembahan kurban setiap kali seseorang menipu sesamanya mengenai barang yang dipercayakan atau dititipkan padanya atau yang dirampasnya, atau apabila ia melakukan pemerasan atau kecurangan, berbohong tentang barang hilang yang sudah ditemukan, atau bersumpah dusta tentang suatu hal (Imamat 6:2-3). Ini bukan seperti denda yang dibebankan keputusan pengadilan, tetapi sebagai ganti rugi yang diberikan pelaku yang telah dibebaskan dari kesalahannya, namun yang kemudian merasa bersalah lagi ketika “menyadari” pelanggarannya (Imamat 6:4-5). Pertobatan orang berdosa, bukan tuntutan pihak berwenang, adalah dasar dari persembahan kurban penebus salah.

Dosa-dosa semacam ini sering dilakukan dalam konteks berdagang atau pekerjaan lain. Persembahan kurban penebus salah memanggil orang berdosa yang menyesali perbuatannya untuk mengembalikan yang sudah diambilnya secara tidak benar dengan ditambah 20 persen (Imamat 6:4-5). Hanya setelah permasalahan itu diselesaikan di level manusia, barulah orang berdosa itu bisa menerima pengampunan Allah dengan membawa persembahan seekor hewan kepada imam untuk dikorbankan (Imamat 6:6-7).

Persembahan kurban penghapus dosa secara unik meneguhkan beberapa prinsip tentang pemulihan relasi pribadi yang rusak akibat pelanggaran finansial.

1. Permintaan maaf saja tidak cukup untuk memperbaiki kesalahan atau memulihkan sepenuhnya kerusakan yang sudah terjadi. Karena itu, hal yang mirip dengan konsep ganti rugi saat ini ditambahkan. Namun, dalam persembahan kurban penebus salah ini —yang tidak seperti pemberian ganti rugi yang diperintahkan pengadilan—pelaku sendiri yang bersedia menanggung akibat kerugian itu, yang dengan demikian ikut merasakan kesusahan yang diakibatkannya pada korban.

2. Melakukan semua yang diharuskan untuk memperbaiki kesalahan terhadap orang lain tidak hanya adil bagi korban, tetapi juga baik bagi pelaku. Mempersembahkan kurban penebus salah berarti merasakan siksaan yang mendera hati nurani orang yang menyadari kejahatannya serta efek buruknya. Hal ini lalu membuka jalan bagi orang yang bersalah itu untuk mengatasi masalah ini secara lebih menyeluruh, yang menghasilkan tindakan penyelesaian dan perdamaian. Persembahan kurban ini mengungkapkan kemurahan Allah dalam penderitaan itu dan luka hati yang dinetralisir agar tidak bertambah parah dan meledak menjadi kekerasan atau pelanggaran yang lebih serius. Tindakan ini juga meredakan keinginan korban (atau keluarga korban) untuk mengambil tindakan sendiri dalam mendapatkan ganti rugi yang setimpal.

3. Dalam karya penebusan Yesus di kayu salib juga tidak ada yang membuat umat Allah saat ini terbebas dari perlunya melakukan ganti rugi. Yesus mengajarkan murid-murid-Nya, “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di mezbah dan engkau teringat bahwa saudaramu sakit hati terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kemali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matius 5:23-24). Mengasihi sesama seperti diri sendiri adalah inti dari ketentuan hukum itu (Imamat 19:18 sebagaimana dikutip dalam Roma 13:9), dan melakukan ganti rugi adalah ungkapan dasar dari semua kasih yang tulus. Yesus memberikan keselamatan kepada pemungut pajak yang kaya, Zakheus, yang kemudian menawarkan ganti rugi yang melampaui ketentuan hukum, yang menjadikannya sebagai teladan dari orang yang benar-benar mengerti dan mengalami pengampunan (Lukas 19:1-10).

4. Perkataan Yesus di Matius 5:23-24 juga mengajarkan bahwa berusaha dengan segala daya untuk berdamai dengan orang lain adalah aspek yang penting dalam memperbaiki hubungan dengan Allah dan hidup sedapat-dapatnya dalam perdamaian. Menerima pengampunan dari Allah itu melampaui, namun tidak menggantikan, tindakan ganti rugi kita, jika mungkin dilakukan, kepada orang yang kita rugikan. Sebagai respons atas pengampunan Allah pada kita, hati kita tergerak untuk melakukan segala yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan kerugian yang kita timbulkan pada orang lain. Kita jarang dapat memperbaiki sepenuhnya kerusakan yang telah diakibatkan dosa/kesalahan kita, tetapi kasih Kristus mendorong kita untuk melakukan semaksimal yang kita dapat.

Persembahan kurban penebus salah adalah pengingat yang kuat bahwa Allah tidak memakai hak pengampunan-Nya dengan mengorbankan orang yang dirugikan oleh kesalahan kita. Dia tidak memberi kita kelepasan psikologis dari rasa bersalah sebagai pengganti murahan atas perbaikan kerusakan dan luka yang telah kita timbulkan.

Yang Najis dan Yang Tahir (Imamat 11-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Imamat 11:45 pada intinya menjelaskan logika tematik dari seluruh bagian ini. “Akulah TUHAN yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu. Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Imamat 11:45). Allah memanggil Israel untuk mencerminkan kekudusan-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Imamat 11-16 membahas tentang makanan yang “halal” dan yang “najis” (pasal 11), ritual-ritual pentahiran (pasal 12-15), dan diakhiri dengan tatacara merayakan Hari Pendamaian yang mentahirkan umat dan Tempat Kudus Allah (pasal 16).

Orang ​​Kristen juga menyadari bahwa setiap aspek kehidupan kita dimaksudkan sebagai respons atas kehadiran Allah yang kudus di tengah kita. Namun, subyek dan cakupan peraturan-peraturan di kitab Imamat cenderung membingungkan kita pada saat ini. Apakah prinsip-prinsip etika yang terdapat dalam peraturan-peraturan khusus ini berlaku untuk selamanya? Sebagai contoh, sulit dipahami alasannya mengapa Allah memperbolehkan bangsa Israel memakan daging hewan tertentu dan melarang makan daging hewan lainnya. Mengapa ada semacam kerisauan terhadap penyakit kulit tertentu (yang bahkan sampai saat ini tidak dapat kita identifikasi secara pasti) dan bukan penyakit-penyakit lainnya yang lebih serius? Di antara semua penyakit yang dihadapi masyarakat, apakah masalah jamur benar-benar segawat itu? Dengan mempersempit fokus kita pada masalah kerja, apakah kita harus berharap teks-teks ini menyatakan sesuatu yang dapat kita terapkan pada industri makanan, obat-obatan, atau pencemaran lingkungan di rumah-rumah dan tempat kerja? Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kita akan menemukan jawabannya bukan dengan bertanya apakah kita harus mematuhi peraturan yang dibuat untuk situasi yang berbeda itu, tetapi dengan mencari tahu bagaimana ayat-ayat ini memimpin kita untuk melayani kesejahteraan masyarakat.

Peraturan tentang Daging Hewan Tertentu Yang Boleh Dimakan (Imamat 11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ada beberapa teori yang masuk akal tentang ketetapan yang mengatur daging hewan yang boleh dimakan manusia di Imamat 11. Setiap teori menyertakan bukti pendukung, tetapi tidak satu teori pun yang menerima konsensus umum. Kita tidak dapat menyortir semua teori itu di sini, tetapi Jacob Milgrom memberikan perspektif yang langsung berkaitan dengan tempat kerja.[1] Ia menyebutkan tiga hal yang dominan: Allah dengan tegas membatasi pilihan makan daging bangsa Israel, memberikan aturan-aturan khusus tentang penyembelihan hewan, dan melarang mereka makan darah yang melambangkan kehidupan, yang hanya milik Allah. Dengan perspektif ini Milgrom menyimpulkan bahwa pengaturan tentang makanan bangsa Israel adalah sebuah cara yang mengendalikan naluri manusia untuk membunuh. Intinya, “Meskipun mereka bisa memuaskan nafsu makan mereka, mereka harus mengekang kehausan mereka akan kekuasaan. Karena hidup tak dapat diganggu gugat, hidup juga tak boleh dirusak tanpa pandang bulu.”[2] Jika Allah memilih untuk terlibat mengurusi hewan apa yang boleh disembelih dan bagaimana penyembelihan itu harus dilakukan, bagaimana mungkin kita tidak menangkap maksudnya bahwa membunuh manusia jauh lebih dilarang dan tak luput dari pengawasan Allah? Hal ini menunjukkan penerapan yang lebih luas pada masa kini. Sebagai contoh, jika setiap fasilitas pertanian, peternakan, dan usaha makanan digunakan setiap hari dengan bertanggung jawab pada Allah dengan merawat dan memerhatikan kondisi hewan-hewannya, bukankah keselamatan dan kondisi kerja para pekerjanya akan jauh lebih diperhatikan lagi?

Meskipun ada banyak penjelasan di kitab Imamat yang mendahului pembahasan tentang makanan yang tak ada habisnya di Alkitab, orang Kristen mana pun tidak boleh mencoba mendikte apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan semua orang percaya sehubungan dengan penyimpanan, penyajian, dan konsumsi makanan. Namun, apa pun yang kita makan atau tidak makan, Derek Tidball dengan tepat mengingatkan orang Kristen tentang sentralitas kekudusan. Apa pun pendirian orang tentang hal yang rumit ini, semuanya tak dapat dipisahkan dari komitmen orang Kristen terhadap kekudusan. Kekudusan memanggil kita bahkan untuk makan dan minum “bagi kemuliaan Allah.” [3] Begitu pula dengan pekerjaan yang menghasilkan, menyajikan, dan mengonsumsi makanan dan minuman.

Penanganan Penyakit Kulit dan Infeksi Jamur (Imamat 13-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berbeda dengan ketetapan tentang makanan, ketetapan tentang penyakit dan pencemaran lingkungan tampaknya semata-mata berkaitan dengan kesehatan. Kesehatan juga merupakan hal yang sangat penting saat ini, dan meskipun seandainya kitab Imamat tidak ada di Alkitab, memerhatikan kesehatan tetap merupakan hal yang mulia dan saleh. Namun tidaklah bijaksana jika kita menganggap kitab Imamat memberi petunjuk-petunjuk tentang mengatasi penyakit-penyakit menular dan pencemaran lingkungan, yang bisa kita terapkan langsung pada saat ini. Dengan jarak kita yang ribuan tahun dari zaman itu, sulit untuk memastikan secara pasti penyakit apa sebenarnya yang dimaksud dalam ayat-ayat itu. Pesan yang tetap berlaku dari kitab Imamat adalah bahwa Allah itu TUHAN atas kehidupan dan Dia memimpin, menghargai, dan memuliakan semua orang yang membawa pemulihan bagi masyarakat dan lingkungan. Jika ketetapan tertentu dalam kitab Imamat saja tidak mendikte atau menentukan secara pasti bagaimana kita harus melakukan karya pemulihan dan pemeliharaan lingkungan, maka dalam hal yang lebih besar ini pun jelas tidak.

Hukum Kekudusan (Imamat 17-27)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Beberapa perintah dalam hukum kekudusan tampaknya hanya relevan di dunia Israel kuno, tetapi beberapa lainnya tampaknya berlaku sepanjang waktu. Di satu sisi, kitab Imamat melarang laki-laki mencukur atau merusak tepi janggutnya (Imamat 19:27), tetapi di sisi lain, para hakim dilarang berlaku tidak adil di pengadilan dan harus mengadili semua orang dengan benar (Imamat 19:15). Bagaimana kita tahu perintah mana yang dapat diterapkan secara langsung pada masa kini? Mary Douglas menjelaskan dengan baik bagaimana memahami kekudusan dengan jelas sebagai tatanan moral, baik dengan mendasarkan perintah-perintah ini pada Allah maupun dengan memahami keragamannya:

“Mengembangkan pemahaman tentang kekudusan sebagai keteraturan, bukan kekacauan, menegakkan kejujuran dan kelurusan sebagai hal yang kudus, dan kontradiksi serta sikap bermuka-dua sebagai hal yang tidak kudus. Mencuri, berbohong, bersaksi dusta, berlaku curang dalam penimbangan dan pengukuran, segala bentuk kepura-puraan seperti menjelek-jelekkan orang tuli (sambil mungkin tersenyum di depannya), membenci saudara dalam hati (sementara mungkin berbicara ramah padanya), semua itu jelas merupakan kontradiksi antara yang kelihatan dengan yang sebenarnya” [1]

Beberapa aspek yang menjaga keteraturan yang baik (seperti mencukur janggut) mungkin penting dalam konteks tertentu, tetapi tidak penting dalam konteks yang lain. Yang lainnya mungkin penting dalam segala situasi. Kita dapat memilahnya dengan bertanya apakah yang berkontribusi pada keteraturan yang baik dalam konteks tertentu kita. Di sini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah kerja dan ekonomi.

Memungut Sisa-sisa Panen (Imamat 19:9-10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun cara menuai hasil panen pada zaman dahulu tidak seefisien saat ini, Imamat 19:9-10 memerintahkan bangsa Israel untuk melakukannya dengan makin kurang efisien. Pertama, mereka harus membiarkan yang tertinggal dari hasil penyabitan tidak dipanen. Banyaknya sisa panen yang ditinggalkan ini tampaknya terserah pada keputusan pemilik ladang. Kedua, mereka tidak boleh memungut hasil panen apa pun yang jatuh ke tanah. Ini berlaku ketika penuai menyabit seberkas bulir gandum maupun ketika buah anggur berjatuhan dari ranting yang baru saja dipotong dari pokoknya. Ketiga, mereka hanya boleh memanen kebun anggur sekali saja dengan hanya mengambil buah yang sudah matang, agar buah anggur yang matang kemudian dapat disisakan untuk orang miskin dan pendatang yang tinggal di antara mereka.[1]

Kedua kelompok masyarakat ini—orang miskin dan penduduk asing—disatukan karena mereka sama-sama tidak memiliki tanah, sehingga mereka sangat tergantung pada pekerjaan tangan mereka sendiri untuk mendapatkan makanan. Peraturan yang menguntungkan orang miskin adalah hal yang biasa di Timur Dekat kuno, tetapi hanya peraturan di Israel yang memperluas perlakuan ini kepada orang asing yang tinggal di sana. Dan ini merupakan satu hal lain yang membedakan umat Allah dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Ayat-ayat lain menyebutkan bahwa janda-janda dan anak yatim termasuk dalam kategori ini. (Referensi ayat Alkitab lainnya tentang memungut sisa-sisa (gleaning) antara lain Keluaran 22:21-27; Ulangan 24:19-21; Hakim-hakim 8:2; Rut 2:17-23; Ayub 24:6; Yesaya 17:5-6, 24:13; Yeremia 6:9, 49:9; Obaja 1:5; Mikha 7:1).

Kita mungkin menggolongkan “gleaning” (membiarkan orang miskin/asing memungut sisa-sisa panen) sebagai ungkapan belas kasihan atau keadilan, tetapi menurut kita Imamat, membiarkan orang lain memungut sisa-sisa panen kita adalah buah kekudusan. Kita melakukannya karena Allah berkata, “Akulah TUHAN, Allahmu” (Imamat 19:10). Hal ini menegaskan perbedaan antara memberi sedekah dan membiarkan orang lain memungut sisa-sisa panen kita. Dalam memberi sedekah, kita dengan sukarela memberi kepada orang lain yang membutuhkan. Perbuatan ini baik dan mulia, tetapi yang dibicarakan di kitab Imamat bukan hal ini. Memungut sisa-sisa adalah sebuah proses yang di dalamnya pemilik ladang berkewajiban memberi akses kepada orang miskin dan tersisih untuk mendapatkan sarana produksi (di dalam kitab Imamat berarti tanah/ladang) dan mengerjakannya sendiri. Berbeda dengan sedekah, memungut sisa-sisa tidak tergantung pada kemurahan hati pemilik ladang. Dalam hal ini, pemungutan sisa-sisa ini lebih seperti pajak daripada sumbangan amal. Dan tidak seperti sedekah juga, sisa-sisa panen ini tidak diberikan kepada orang miskin sebagai bayaran pengganti. Dengan memungut sisa-sisa, orang miskin itu juga mencari nafkah sendiri seperti halnya pemilik ladang, dengan menggarap ladang dengan tenaga/tangan mereka sendiri. Ini benar-benar sebuah perintah agar setiap orang mendapatkan hak untuk mengakses sarana pemeliharaan yang diciptakan Allah.

Di dalam masyarakat masa kini, mungkin tidak mudah untuk membedakan penerapan prinsip “gleaning” atau pemungutan sisa-sisa panen ini. Di banyak negara, pembaruan ladang tentu saja diperlukan agar para petani bisa mendapatkan tanah dengan aman, dan tidak dikuasai pejabat pemerintah yang nakal atau tuan tanah yang berlaku curang. Di negara-negara industri yang lebih maju, tanah bukanlah faktor utama produksi. Yang dibutuhkan orang miskin untuk produktif kemungkinan adalah akses kepada pendidikan, modal, pemasaran produk dan bursa kerja, sistem transportasi, serta undang-undang dan peraturan yang non-diskriminatif. Karena orang Kristen kemungkinan juga tidak lebih mampu daripada orang-orang lainnya dalam menentukan dengan tepat solusi yang paling efektif, maka solusi-solusi ini harus datang dari seluruh masyarakat. Kitab Imamat tentu saja tidak berisi sistem yang siap-pakai untuk perekonomian saat ini. Namun, sistem memungut sisa-sisa di kitab Imamat jelas mengharuskan para pemilik aset produktif untuk memastikan kaum marjinal mendapat kesempatan untuk bekerja mencari nafkah. Tentu saja tidak ada pemilik perorangan yang dapat memberi kesempatan kepada semua pekerja yang menganggur atau setengah menganggur, seperti halnya tidak ada seorang petani di Israel kuno yang dapat membuka kesempatan pemungutan sisa panen untuk seluruh wilayah. Namun, para pemilik dipanggil untuk menjadi orang yang bertanggung jawab dalam menyediakan kesempatan kerja. Boleh jadi, orang Kristen pada umumnya juga dipanggil untuk menghargai pelayanan yang dilakukan pemilik bisnis dalam perannya sebagai pencipta lapangan kerja di komunitasnya.

(Untuk lebih jelas tentang “gleaning” -memungut sisa-sisa panen- di Alkitab, lihat "Keluaran 22:21-27" dalam Kitab Keluran dan Kerja serta "Rut 2:17-23" dalam Kitab Rut dan Kerja di https://www.teologikerja.org/.)

Berlaku Jujur (Imamat 19:11-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perintah-perintah dalam kitab Imamat yang melarang mencuri, berbuat curang, berdusta, dan mencemarkan nama Allah dengan bersumpah palsu semuanya menemukan ungkapan yang lebih dikenal dengan Sepuluh Hukum di Keluaran 20. (Untuk penjelasan lebih lanjut tentang kejujuran, lihat “Mengatakan Kebenaran di dalam Alkitab” dan “Mungkin Ada Pengecualian dalam Mengatakan-Kebenaran di Tempat Kerja,” dalam artikel Kebenaran dan Kebohongan di https://www.teologikerja.org/.)

Namun, yang unik dari kitab Imamat adalah kata-kata Ibrani di belakang perintah “janganlah kamu berbohong satu sama lain” (Imamat 19:11; perhatikan kata yang dicetak miring). Secara harfiah peintah ini berarti “seseorang tidak boleh berbohong kepada ‘amit’-nya”, yang berarti ‘rekan’, ‘sahabat’, atau ‘sesama’. Ini tentu saja meliputi sesama anggota masyarakat Israel; tetapi menurut Imamat 24:19 dalam konteks Imamat 24:17-22, ini juga mencakup penduduk asing. Etika dan moralitas bangsa Israel jelas lebih baik dari bangsa-bangsa di sekitarnya, yang bahkan sampai memperlakukan pendatang dari bangsa lain sama seperti mereka memperlakukan warganegara pribumi.

Dalam hal apa pun, intinya di sini adalah aspek relasional dalam mengatakan kebenaran versus kebohongan. Berbohong bukan saja salah-mengungkapkan fakta yang benar, tetapi juga pengkhianatan terhadap rekan, sahabat, atau sesama. Apa yang kita katakan kepada satu sama lain harus benar-benar muncul dari kekudusan Allah di dalam kita, bukan sekadar analisis teknis untuk menghindari kebohongan yang terang-terangan. Ketika Presiden AS Bill Clinton berkata, “Aku tidak memiliki relasi seksual dengan wanita itu,” ia mungkin memiliki logika yang berbelit-belit di pikirannya agar pernyataannya itu secara teknis bukan kebohongan. Namun, orang-orang di negaranya sudah sepantasnya merasa bahwa ia telah menghancurkan kepercayaan mereka, yang kemudian juga ia akui dan menerima penilaian ini. Ia telah melanggar kewajiban untuk tidak berbohong kepada satu sama lain.

Di banyak tempat kerja, mengungkapkan aspek positif maupun negatif suatu produk, layanan, pribadi, organisasi, atau situasi itu diperlukan. Orang Kristen tak perlu ragu untuk berbicara tegas dalam mengutarakan maksudnya. Namun, mereka juga tak boleh berkata-kata sedemikian rupa sampai yang mereka sampaikan kepada orang lain itu tidak benar. Jika secara teknis kata-kata yang benar menambah kesan yang salah di pikiran orang lain, maka kewajiban untuk mengatakan kebenaran telah dilanggar. Praktisnya, setiap kali pembicaraan tentang kebenaran berujung pada perdebatan teknis tentang kata-kata, kita sebaiknya bertanya pada diri sendiri, apakah perdebatan itu sebenarnya tentang berbohong kepada satu sama lain dalam arti ini.

Memperlakukan Pekerja dengan Adil (Imamat 19:13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Janganlah engkau memeras sesamamu dan janganlah engkau merampas. Janganlah kautahan upah seorang buruh upahan sampai esok hari” (Imamat 19:13).

Buruh harian biasanya adalah orang-orang miskin yang tidak memiliki lahan untuk bertani sendiri. Mereka sangat bergantung pada upah kerja hari itu, dan karena itu harus dibayar di penghujung setiap hari (bdk. Ulangan 24:14-15). Di dunia kita, situasi serupa terjadi ketika pemberi kerja memiliki wewenang untuk membuat syarat dan ketentuan kerja yang memanfaatkan kerentanan pekerja. Hal ini terjadi, misalnya, ketika karyawan ditekan untuk mendukung kandidat politik yang disukai atasan, atau diminta terus bekerja setelah jam pulang kerja.Tindakan-tindakan seperti ini dilarang di banyak tempat, tetapi sayangnya masih banyak terjadi.

Situasi yang lebih kontroversial berkaitan dengan pekerja harian yang tidak memiliki dokumen untuk bekerja resmi. Situasi ini terjadi di seluruh dunia, dan terjadi pada pengungsi dari luar maupun dalam negeri, warga desa yang tidak memiliki izin tinggal di kota, imigran ilegal, anak-anak di bawah usia kerja resmi, dan lain-lain. Orang-orang ini seringkali bekerja di pertanian, perkebunan, pabrik, layanan makanan, dan proyek-proyek kecil, selain pekerjaan-pekerjaan ilegal. Karena baik pemberi kerja maupun para pekerja bekerja secara ilegal, para pekerja jenis ini jarang mendapat perlindungan dari perjanjian kerja dan peraturan pemerintah. Pemberi kerja bisa memanfaatkan situasi ini dengan membayar mereka lebih rendah dibandingkan pekerja resmi, tidak memberikan tunjangan-tunjangan, dan menyediakan kondisi kerja yang buruk atau berbahaya. Mereka juga bisa menjadi target pelecehan dan kekerasan seksual. Dalam banyak kasus, mereka sepenuhnya berada di bawah kekuasaan pemberi kerja. Apakah sah bagi para pemberi kerja jika memperlakukan mereka seperti ini? Tentu saja tidak.

Namun bagaimana jika orang-orang dalam situasi itu menyerahkan diri dengan sukarela sendiri ke dalam pekerjaan yang tidak memenuhi syarat itu? Di banyak tempat, pekerja yang tidak memiliki dokumen tersedia di depan toko-toko bahan bangunan dan perlengkapan taman, di pasar-pasar pertanian, dan tempat berkumpul lainnya. Apakah benar jika kita mempekerjakan mereka? Jika ya, apakah pemberi kerja bertanggung jawab untuk memberikan hal-hal yang menjadi hak pekerja resmi, seperti upah minimum, tunjangan kesehatan, dana pensiun, tunjangan sakit, dan pesangon PHK? Haruskah orang Kristen bersikap kaku sehubungan dengan legalitas pekerjaan itu, atau haruskah kita bersikap fleksibel karena peraturan perundang-undangan belum bisa sesuai dengan realitas? Orang ​​Kristen yang bijak pun pasti akan berbeda-beda pendapatnya tentang hal ini, sehingga sulit untuk membenarkan solusi “satu ukuran untuk semua.” Namun, bagaimana pun cara orang Kristen memproses masalah-masalah ini, kitab Imamat mengingatkan bahwa kekudusan (bukan kebijakan praktis) harus menjadi pusat pemikiran kita. Dan kekudusan dalam hal kerja muncul dari kepedulian terhadap kebutuhan pekerja yang paling rentan.

Hak-hak Penyandang Disabilitas (Imamat 19:14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Janganlah kaukutuki orang tuli dan di depan orang buta jangan kautaruh batu sandungan, tetapi engkau harus takut akan Allahmu. Akulah TUHAN” (Imamat 19:14).

Perintah-perintah ini memberikan gambaran yang jelas tentang perlakuan kejam terhadap penyandang disabilitas. Orang tuli tidak dapat mendengar kutukan, dan orang buta tidak dapat melihat batu sandungan. Dengan alasan ini, Imamat 19:14 mengingatkan umat Israel supaya “takut akan Allahmu” yang mendengar dan melihat bagaimana setiap orang diperlakukan di tempat kerja. Sebagai contoh, pekerja penyandang disabilitas belum tentu memerlukan perabot dan peralatan kantor yang sama dengan pekerja yang bukan penyandang disabilitas. Namun, mereka perlu diberi kesempatan untuk bekerja produktif semaksimal yang mereka mampu, seperti semua orang lainnya. Dalam banyak kasus, yang paling dibutuhkan penyandang disabilitas bukanlah dijaga/dicegah untuk bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan yang mampu mereka lakukan. Sekali lagi, perintah dalam kitab Imamat bukanlah bahwa umat Allah harus bersedekah kepada orang lain, tetapi bahwa kekudusan Allah memberi hak kepada semua orang yang diciptakan menurut gambar-Nya untuk mendapatkan kesempatan yang layak untuk bekerja.

Menegakkan Keadilan (Imamat 19:15-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Janganlah kamu berbuat curang di pengadilan: jangan memihak orang miskin atau terpengaruh oleh orang besar, tetapi engkau harus mengadili sesamanu dengan kebenaran. Janganlah engkau pergi ke sana ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu. Janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia. Akulah TUHAN.” (Imamat 19:15-16)

Bagian yang singkat ini menegaskan nilai keadilan alkitabiah yang sudah dikenal yang kemudian dikembangkan secara signifikan. Ayat pertama dimulai dengan penerapan untuk para hakim, tetapi diakhiri dengan penerapan untuk semua orang. Jangan mengadili perkara dengan memihak, dan jangan mengadili sesamamu dengan tidak adil. Perkataan dalam bahasa Ibraninya menyoroti godaan untuk menilai seseorang atau suatu permasalahan dari penampakan luar. Jika diterjemahkan secara harfiah, Imamat 19:15 berbunyi, “Jangan melakukan ketidakadilan dalam menilai. Jangan mengangkat wajah orang miskin dan jangan menghormati wajah orang besar. Dengan kebenaran hendaklah engkau menghakimi sesamamu.” Para hakim harus memandang melampaui prasangka mereka (“wajah” yang mereka lihat) untuk memahami masalah secara tidak memihak. Hal yang sama berlaku dalam relasi-relasi sosial kita di tempat kerja, sekolah, dan kehidupan masyarakat. Di dalam setiap konteks, sebagian orang diistimewakan dan sebagian lainnya ditindas karena berbagai prasangka sosial. Bayangkan perbedaan yang dapat dibuat orang Kristen jika kita menunggu membuat penilaian sampai kita benar-benar mengenal orang-orang dan situasi mereka secara mendalam. Bagaimana jika kita mengambil waktu untuk memahami orang yang menyebalkan di dalam tim kita sebelum mengomel di belakangnya? Bagaimana jika kita berani menghabiskan waktu bersama orang-orang di luar zona nyaman kita di sekolah, kampus, atau kehidupan masyarakat? Bagaimana jika kita mencari berita surat kabar, televisi, dan media yang memberikan perspektif berbeda dari yang menyenangkan kita? Apakah menggali lebih dalam akan memberi kita hikmat yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan kita dengan baik dan adil?

Bagian selanjutnya dari Imamat 19:16 mengingatkan kita bahwa prasangka sosial bukan hal sepele. Secara harfiah, perkataan dalam bahasa Ibraninya berbunyi, “Jangan berdiri di dekat darah sesamamu.” Dalam bahasa persidangan di ayat sebelumnya, kesaksian yang menyimpang (“fitnah”) itu membahayakan nyawa/hidup (“darah”) terdakwa. Dalam kasus itu, tindakan yang salah bukan hanya menyebarkan fitnah, tetapi berdiam diri tanpa bersedia memberi kesaksian tentang orang yang dituduh secara salah juga tidak benar.

Para pemimpin di tempat kerja harus sering berfungsi sebagai penengah. Para pekerja bisa menyaksikan ketidakadilan di tempat kerja dan bisa mempertanyakan secara sah apakah tepat untuk terlibat. Kitab Imamat menyatakan bahwa sikap proaktif yang membela kepentingan orang yang diperlakukan dengan buruk merupakan hal penting yang harus dimiliki umat Allah yang kudus.

Pada lingkup yang lebih luas, kitab Imamat membuat visi teologisnya tentang kekudusan berlaku bagi seluruh masyarakat. Kesehatan masyarakat dan perekonomian kita bersama sedang dipertaruhkan. Hans Kung menunjukkan pentingnya saling-keterkaitan antara bisnis, politik, dan agama:

“Jangan dilupakan bahwa pemikiran dan perilaku ekonomi juga bukannya bebas-nilai atau bersifat netral ... Sama seperti tanggung jawab sosial dan ekologis bisnis tidak bisa diserahkan begitu saja kepada para politisi, tanggung jawab moral dan etika juga tidak bisa diserahkan begitu saja kepada agama…Tidak, perilaku etis tidak boleh hanya sebagai tambahan pribadi dalam rencana-rencana pemasaran, strategi-strategi penjualan, pembukuan ekologis dan neraca sosial, tetapi harus menjadi kerangka kerja alami bagi perilaku sosial manusia” [1]

Setiap tempat kerja—rumahtangga, bisnis, pemerintahan, perguruan tinggi, kedokteran, pertanian, dan lain-lainnya—memiliki fungsinya masing-masing. Namun, semuanya dipanggil untuk menjadi kudus. Di dalam Imamat 19:15-16, kekudusan dimulai dengan melihat orang lain dengan kedalaman pengertian yang sampai ke bawah permukaan (di balik penampakan wajah yang terlihat).

Mengasihi Sesama Seperti Diri Sendiri (Imamat 19:17-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat yang paling terkenal di kitab Imamat kemungkinan adalah perintah, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18). Perintah ini begitu melibas semuanya sampai Yesus maupun rabi-rabi menganggapnya sebagai satu dari dua Hukum yang “Terutama”, perintah lainnya dari, “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu esa” (Markus 12:29-31; bdk.Ulangan 6:4). Dengan mengutip Imamat 19:18, Rasul Paulus menulis bahwa “kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10).

Bekerja untuk Orang Lain Seperti untuk Diri Sendiri

Inti perintah ini terletak pada kata “seperti dirimu sendiri”. Setidaknya sampai tingkat tertentu, kebanyakan kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Ada unsur mementingkan diri sendiri yang kuat dalam bekerja. Kita tahu bahwa jika kita tidak bekerja, kita tidak akan makan. Kitab Suci mendukung motivasi ini (2 Tesalonika 3:10), tetapi aspek “seperti dirimu sendiri” di Imamat 19:18 menunjukkan bahwa kita juga harus memiliki motivasi yang sama untuk melayani orang lain melalui pekerjaan kita. Ini adalah panggilan yang sangat penting— bekerja untuk melayani orang lain sebaik kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Jika kita harus bekerja dua kali lipat untuk memenuhinya—katakanlah satu kali sehari untuk diri kita sendiri dan satu kali lagi untuk sesama kita—hal ini hampir tidak mungkin.

Untungnya, kita bisa mengasihi diri sendiri dan sesama melalui pekerjaan yang sama, setidaknya sampai pekerjaan kita memberikan suatu nilai kepada pelanggan, warganegara, mahasiswa, anggota keluarga, dan konsumen lainnya. Seorang guru menerima gaji yang dapat dipakainya untuk membayar tagihan-tagihan, dan pada saat yang sama ia membekali para siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang juga akan berharga bagi mereka. Seorang pengurus hotel menerima gaji dengan menyiapkan kamar yang bersih dan sehat bagi para tamu. Dalam banyak pekerjaan, kita tidak akan bertahan lama jika kita tidak memberikan suatu nilai kepada orang lain yang setidaknya setara dengan bayaran yang kita terima. Namun, bagaimana jika kita berada dalam situasi yang membuat kita bisa berbuat curang untuk keuntungan/kepentingan diri sendiri? Sebagian orang mungkin punya cukup kekuasaan untuk menuntut gaji dan bonus yang melebihi nilai yang sebenarnya mereka berikan. Orang yang memiliki koneksi politik atau korup mungkin bisa meminta imbalan besar untuk diri mereka sendiri dalam bentuk kontrak-kontrak, subsidi, bonus, atau proyek tertentu, yang tidak memberi banyak manfaat bagi orang lain. Hampir setiap kita punya saat-saat ketika kita dapat melalaikan kewajiban kita namun tetap menerima bayaran.

Dengan berpikir lebih luas, jika kita punya banyak pilihan dalam pekerjaan kita, seberapa banyak peran melayani orang lain menjadi keputuan yang kita ambil dalam bekerja dibandingkan yang memberi banyak keuntungan bagi diri kita sendiri? Hampir semua pekerjaan dapat melayani orang lain dan menyenangkan Allah. Namun, ini tidak berarti semua pekerjaan atau kesempatan kerja juga bisa melayani orang lain. Kita mengasihi diri sendiri ketika kita membuat pilihan-pilihan kerja yang memberi kita bayaran tinggi, kehormatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan. Kita mengasihi orang lain ketika kita memilih pekerjaan yang menyediakan barang dan jasa yang diperlukan, kesempatan-kesempatan bagi kaum marjinal, pemeliharaan ciptaan Allah, keadilan dan demokrasi, kebenaran, perdamaian, dan keindahan. Imamat 19:18 menyatakan bahwa hukum yang kedua ini sama pentingnya dengan hukum yang pertama.

Bersikap baik?

Alih-alih berusaha keras memenuhi panggilan mulia ini, lebih mudah kita mereduksi pemahaman kita tentang “mengasihi sesama seperti diri sendiri” menjadi sesuatu yang dangkal seperti “bersikap baik.” Padahal bersikap baik seringkali tidak lebih dari sekadar kedok dan dalih untuk lepas tangan dari orang-orang di sekitar kita. Imamat 19:17 memerintahkan kita untuk melakukan yang sebaliknya. “Engkau harus berterus terang menegur sesamamu dan tidak mendatangkan dosa atas dirimu karena dia” (Imamat 19:17). Kedua perintah ini—baik untuk mengasihi maupun menegur sesama - tampaknya seperti tidak mungkin, tetapi keduanya disatukan dalam pepatah, “Lebih baik teguran terang-terangan daripada kasih yang tersembunyi” (Amsal 27:5).

Sayangnya, pelajaran yang terlalu sering kita terima dari gereja adalah supaya selalu bersikap baik. Jika ini menjadi aturan kita di tempat kerja, akibatnya bisa menimbulkan efek buruk pada pribadi dan pekerjaan. Sikap baik bisa membuat orang Kristen membiarkan para perundung dan predator melecehkan dan memanipulasi mereka dan melakukan hal yang sama pada orang lain. Sikap baik bisa membuat para manajer Kristen mengabaikan berbagai kekurangan karyawannya dalam penilaian kinerja, menghilangkan kewajiban mereka untuk mengasah keterampilan dan mempertahankan pekerjaan untuk jangka panjang. Sikap baik bisa membuat orang menumpuk kebencian, menyimpan dendam, atau menuntut balas. Kitab Imamat menyatakan bahwa mengasihi orang lain kadang juga berarti memberikan teguran yang terang-terangan. Ini bukan izin untuk berlaku kasar. Ketika kita menegur, kita perlu melakukannya dengan rendah hati—kita sendiri mungkin perlu ditegur dalam situasi itu—dan dengan berbelas kasih.

Untuk pembahasan lebih mendalam tentang arti mengasihi sesama seperti diri sendiri di tempat kerja, lihat "The Command Approach in Practice" dan "The Character Approach" dalam Ethics at Work Overview at https://www.teologikerja.org/.

Siapakah Sesamaku Manusia? (Imamat 19:33-34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Imamat mengajarkan bahwa orang Israel tidak boleh “menindas” para pendatang/ penduduk asing (Imamat 19:33). (Kata kerja Ibrani yang sama dipakai di Imamat 25:17, “Janganlah kamu merugikan satu sama lain”). Perintah ini dilanjutkan dengan, “Pendatang yang tinggal padamu harus kauperlakukan sama seperti orang Israel asli di antaramu. Kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu dahulu juga pendatang di tanah Mesir: Akulah TUHAN, Allahmu” (Imamat 19:34). Ayat ini adalah contoh yang sangat jelas tentang hubungan tak terpisahkan dalam kitab Imamat antara kekuatan moral perintah itu (“kasihilah orang asing seperti dirimu sendiri”) dengan jati diri Allah, “Akulah TUHAN, Allahmu.” Anda tidak boleh menindas orang asing karena Anda milik Allah yang kudus.

Penduduk asing, bersama para janda dan orang miskin (lihat Imamat 19:9-10 di atas), menggambarkan orang luar yang tak punya kekuasaan. Di tempat kerja masa kini, perbedaan kekuasaan muncul bukan hanya karena perbedaan kebangsaan dan gender, tetapi juga karena berbagai faktor lain. Apa pun penyebabnya, banyak tempat kerja memiliki hierarki kekuasaan yang diketahui semua orang, terlepas apakah hal itu diakui secara terbuka atau tidak. Dari Imamat 19:33-34 kita bisa menyimpulkan bahwa orang Kristen harus memperlakukan orang lain dalam bisnis dengan adil sebagai ungkapan penyembahan yang tulus kepada Allah.

Berdagang dengan Benar (Imamat 19:35-36)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian ini melarang kecurangan dalam berdagang dengan mengukur panjang, berat, atau kualitas secara salah, dan dibuat lebih spesifik dengan mengacu pada neraca dan batu timbangan, perlengkapan standar dalam berdagang. Berbagai macamnya pengukuran yang disebutkan menunjukkan bahwa aturan ini berlaku di seluruh spektrum yang luas, dari mengukur sebidang tanah sampai menimbang benda-benda kecil yang kering dan basah. Kata Ibrani tsedeq (“jujur/ benar”) yang disebut berkali-kali di Imamat 19:36 menunjukkan karakter yang benar dalam arti berintegritas dan tak bercacat. Semua berat dan ukuran harus akurat. Singkatnya, pembeli harus mendapatkan sesuai dengan yang mereka bayar.

Para penjual memiliki berbagai cara untuk memberi kurang dari yang seharusnya diterima pembeli. Ini tidak hanya berlaku pada pengukuran berat, luas, dan isi yang dipalsukan. Perkataan yang dibesar-besarkan, statistik yang menyesatkan, pembandingan yang tak relevan, janji yang tak dapat ditepati, “vaporware” (iklan yang tak ada barangnya), serta syarat dan ketentuan yang terselubung hanyalah puncak dari gunung es. (Untuk penerapan di berbagai tempat kerja, lihat “Mengatakan Kebenaran di Tempat Kerja” di https://www.teologikerja.org/.)

Seorang wanita yang bekerja di perusahaan yang menerbitkan kartu kredit menceritakan kisah yang meresahkan dalam tulisan di bawah ini:

Perusahaan kami menyediakan kartu kredit untuk orang-orang miskin yang memiliki riwayat kredit yang buruk. Meskipun kami menetapkan suku bunga yang tinggi, tingkat gagal bayar nasabah kami sedemikian tinggi sampai kami tak dapat memperoleh laba hanya dari bunga yang ditetapkan. Kami harus mencari cara untuk menghasilkan uang.

Satu tantangannya adalah sebagian besar nasabah kami takut berutang, sehingga mereka akan membayar saldo bulanan mereka tepat waktu. Tidak ada dana untuk kami dengan cara mereka yang seperti itu. Jadi, kami punya trik untuk membuat mereka lengah. Selama enam bulan pertama, kami akan mengirimkan tagihan kepada mereka pada tanggal 15 bulan itu, dengan jatuh tempo pada tanggal 15 bulan berikutnya. Mereka mempelajari pola itu dan dengan rajin mengirimkan pembayaran pada kami pada tanggal 14 setiap bulan. Pada bulan ketujuh, kami mengirimkan tagihan pada tanggal 12, dan jatuh tempo pada tanggal 12 bulan berikutnya. Mereka tidak menyadari perubahan itu, dan mereka mengirimkan pembayaran pada tanggal 14 seperti biasanya. Nah, trik kami berhasil. Kami mengenakan biaya layanan sebesar $30 kepada mereka atas keterlambatan pembayaran. Selain itu, karena mereka menunggak, kami dapat menaikkan suku bunganya. Bulan berikutnya mereka sudah menunggak dan berada dalam siklus yang mendatangkan uang bagi kami dari bulan ke bulan. [1]

Sulit untuk melihat bagaimana perdagangan atau bisnis apa pun yang bergantung pada cara menipu atau menyesatkan orang untuk mendapatkan keuntungan dapat menjadi pekerjaan yang cocok untuk orang-orang yang dipanggil mengikuti Allah yang kudus.

Tahun Sabat dan Tahun Yobel (Imamat 25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Imamat 25 menetapkan tahun Sabat, setiap tujuh tahun sekali (Imamat 25:1-7), dan tahun Yobel, setiap lima puluh sekali (Imamat 25:8-17), untuk menguduskan perekonomian internal Israel. Pada tahun Sabat, semua ladang harus dibiarkan kosong, yang tampaknya merupakan cara bertani yang sehat. Tahun Yobel jauh lebih radikal. Setiap tahun kelima puluh, semua tanah yang disewakan atau digadaikan harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, dan semua budak dan buruh upahan harus dibebaskan (Imamat 25:10). Hal ini tentu saja menimbulkan kesulitan dalam transaksi perbankan dan penjualan tanah, sehingga ketentuan-ketentuan khusus pun dirancang untuk mengatasinya (Imamat 25:15-16), yang akan kita bahas sebentar lagi. Tujuan yang mendasarinya sama dengan yang ada pada peraturan memungut sisa-sisa panen (Imamat 19:9-10), yaitu, untuk memastikan setiap orang memiliki akses kepada sarana-sarana produksi, entah itu berupa ladang keluarga atau pun sekadar hasil dari pekerjaan tangan mereka sendiri.

Tidak diketahui secara pasti apakah bangsa Israel benar-benar melaksanakan tahun Yobel atau mematuhi ketetapan anti-perbudakan yang terkait dengan hal itu (seperti di Imamat 25:25-28, 39-41) secara luas. Namun, bagaimanapun, penjelasan yang gamblang di Imamat 25 sangat menyarankan kita untuk melihat ketetapan ini sebagai hal yang harus diperhatikan dan dilakukan orang Israel. Alih-alih menganggap tahun Yobel sebagai sebuah fiksi sastra utopis, tampaknya lebih baik kita percaya bahwa pengabaian pelaksanaan tahun Yobel secara luas terjadi bukan karena tahun Yobel tidak dapat dilaksanakan, tetapi karena orang-orang kaya tidak mau menerima dampak sosial dan ekonomi yang akan merugikan dan mengusik hidup mereka.

Protection for the Destitute

Setelah bangsa Israel menaklukkan tanah Kanaan, tanah itu diberikan kepada klan-klan dan kaum keluarga Israel sebagaimana yang dijelaskan dalam Bilangan 26 dan Yosua 15-22. Tanah ini tidak boleh dijual untuk selamanya karena tanah itu milik Allah, bukan bangsa Israel (Imamat 25:23-24).[1] Dampak tahun Yobel adalah mencegah agar jangan sampai ada keluarga yang menjadi tidak memiliki tanah secara permanen karena tanah yang diberikan kepada mereka dijual, digadaikan atau disewakan selamanya. Intinya, penjualan tanah apa pun sebenarnya merupakan sewa jangka panjang yang masa berakhirnya tidak boleh melampaui tahun Yobel berikutnya (Imamat 25:15). Cara ini memberikan sarana kepada orang miskin untuk mencari nafkah (dengan menyewa ladang) tanpa merampas sarana produksi generasi mendatang keluarga itu. Ketetapan di Imamat 25 ini tidak mudah dipahami, tetapi Milgrom telah membuatnya dapat dimengerti ketika ia mendefinisikan tiga tahap kemiskinan yang progresif.[2]

  1. Tahap pertama digambarkan di Imamat 25:25-28. Seseorang bisa dengan mudah menjadi miskin. Skenario yang diperkirakan adalah seorang petani yang meminjam uang untuk membeli benih tetapi tidak menghasilkan panen yang cukup baik untuk mengembalikan pinjaman itu. Oleh karena itu, ia harus menjual sebagian tanahnya kepada seorang pembeli agar ia dapat menutup utangnya dan membeli benih lagi untuk bercocok tanam berikutnya. Jika ada orang dari kaum keluarga petani itu yang mau bertindak sebagai “penebus”, ia dapat membayar kepada si pembeli itu sejumlah tahun-tahun panen yang tersisa sampai tahun Yobel, saat tanah itu dikembalikan kepada si petani. Sebelum saat itu, tanah itu menjadi milik si penebus, yang mengizinkan si petani untuk menggarapnya.
  2. Tahap kedua lebih parah (Imamat 25:35-38). Dengan asumsi tanah itu tidak ditebus dan si petani kembali terjerumus dalam utang yang tak dapat ia kembalikan, maka ia akan menyerahkan seluruh tanahnya kepada kreditor. Dalam hal ini, si kreditor harus meminjamkan dana yang diperlukan si petani untuk bisa melanjutkan kerja sebagai petani penyewa di tanahnya sendiri, tanpa dikenakan bunga. Si petani akan melunasi pinjaman ini dari keuntungan yang diperolehnya dari hasil panen, yang kemungkinan akan menghapus utangnya. Jika demikian, si petani akan mendapatkan kembali tanahnya. Jika pinjaman itu tidak bisa dilunasi seluruhnya sampai tahun Yobel, maka pada saat itu tanah itu juga akan dikembalikan kepada si petani atau ahli warisnya.

  3. Tahap ketiga lebih parah lagi (Imamat 25:39-43). Dengan asumsi petani di tahap sebelumnya tidak dapat membayar utang atau bahkan menghidupi diri dan keluarganya, maka ia akan menjadi buruh terikat (pekerja ijon) di rumahtangga kreditor. Sebagai buruh ijon ia akan bekerja untuk mendapat upah, yang seluruhnya untuk mengurangi utang. Pada tahun Yobel, ia akan mendapatkan kembali tanah dan kebebasannya (Imamat 25:41). Selama tahun-tahun sebelum itu, kreditor tidak boleh mempekerjakannya sebagai budak, menjualnya sebagai budak, atau memerintahnya dengan kasar (Imamat 25:42-43). Kreditor harus “takut akan Allah” dengan menerima kenyataan bahwa seluruh umat Allah juga budak/hamba Allah, yang sudah dengan murah hati membawanya keluar dari Mesir. Tidak ada orang lain yang dapat memilikinya karena Allah sudah memilikinya.

Inti dari peraturan ini adalah bahwa orang Israel tidak boleh menjadi budak orang Israel lainnya. Namun, ada kemungkinan orang-orang Israel yang miskin akan menjual diri mereka sebagai budak kepada penduduk asing yang kaya yang tinggal di negeri itu (Imamat 25:47-55). Namun, sekalipun hal ini terjadi, penjualan itu tidak boleh bersifat permanen. Orang-orang yang menjual dirinya harus menyimpan hak untuk membeli diri mereka kembali dari perbudakan jika mereka sudah mampu. Jika tidak, kerabat dekat mereka dapat bertindak sebagai “penebus” yang akan membayar penduduk asing itu sesuai dengan jumlah tahun yang tersisa sampai tahun Yobel, saat orang-orang Israel yang miskin dibebaskan. Selama waktu itu, mereka tidak boleh diperlakukan dengan kasar, tetapi harus dianggap sebagai pekerja upahan.

Apa Arti Tahun Yobel bagi Kita Saat Ini?

Tahun Yobel dilaksanakan dalam konteks sistem kekerabatan Israel untuk melindungi hak kaum keluarga yang tak dapat dicabut untuk menggarap tanah leluhur mereka, yang mereka pahami sebagai milik Allah dan mereka nikmati sebagai berkat atas relasi mereka dengan Dia. Kondisi-kondisi sosial dan ekonomi seperti ini sudah tidak ada lagi, dan dari sudut pandang alkitabiah, Allah tidak lagi melakukan penebusan melalui satu negara politik. Oleh karena itu, kita harus memandang tahun Yobel dari sudut pandang kita saat ini.

Ada berbagai perspektif tentang penerapan tahun Yobel yang tepat, jika ada, dalam masyarakat masa kini. Sebagai satu contoh yang sangat terkait dengan realitas masa kini, Christopher Wright telah menulis secara ekstensif tentang penggunaan hukum Perjanjian Lama bagi umat Kristen. [3] Ia mengidentifikasi prinsip-prinsip yang tersirat dalam hukum-hukum kuno ini agar dapat memahami implikasi etisnya untuk masa kini. Penjelasannya tentang tahun Yobel dipandang dari tiga segi dasar: teologi, sosial, dan ekonomi.[4]

Dari segi teologi, tahun Yobel menegaskan bahwa Allah itu bukan saja Allah yang memiliki tanah Israel; tetapi juga Allah yang berdaulat atas segala waktu dan tempat. Tindakan-Nya yang menebus umat-Nya dari Mesir membuat Dia berkomitmen untuk memelihara mereka dalam segala hal karena mereka adalah milik-Nya. Oleh karena itu, ketaatan Israel dalam memelihara hari Sabat, tahun Sabat, dan tahun Yobel merupakan bentuk kepatuhan dan kepercayaan. Secara praktis, tahun Yobel mewujudkan kepercayaan yang dapat dimiliki seluruh bangsa Israel bahwa Allah akan menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka saat ini maupun kebutuhan keluarga-keluarga mereka di masa depan. Pada saat yang sama, tahun Yobel memanggil orang-orang kaya untuk percaya bahwa memperlakukan kreditor dengan berbelas kasih akan tetap menghasilkan keuntungan yang memadai.

Dilihat dari segi sosial, unit terkecil struktur kekerabatan di Israel adalah rumahtangga yang meliputi tiga sampai empat generasi. Tahun Yobel memberikan solusi sosio-ekonomi untuk menjaga keluarga tetap utuh sekalipun pada saat menghadapi bencana ekonomi. Utang keluarga adalah sebuah realitas yang bisa terjadi pada zaman dahulu maupun saat ini, dan dampaknya bisa mencakup penyakit-penyakit masyarakat yang mengerikan. Tahun Yobel berusaha mengurangi konsekuensi-konsekuensi sosial negatif ini dengan membatasi durasi waktunya agar generasi-generasi mendatang tidak harus menanggung beban nenek moyang mereka yang dulu-dulu.[5]

Segi ekonomi menyingkapkan dua prinsip yang dapat kita terapkan saat ini. Pertama, Allah menghendaki pendistribusian sumber daya bumi yang adil. Sesuai rencana Allah, tanah Kanaan dibagi rata di antara suku-suku bangsa itu. Tahun Yobel bukan tentang redistribusi tetapi restorasi. Menurut Wright, “Tahun Yobel merupakan sebuah kritik yang bukan saja terhadap penumpukan kekayaan dan tanah pribadi secara besar-besaran, tetapi juga terhadap bentuk-bentuk kolektivisme atau nasionalisasi berskala besar yang menghancurkan segala rasa kepemilikan pribadi atau keluarga yang berharga.”[6] Kedua, unit-unit keluarga harus memiliki kesempatan dan sumber daya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.

Di sebagian besar masyarakat modern, orang tidak bisa dijual sebagai budak untuk membayar utang. Undang-undang kebangkrutan memberi kelonggaran kepada orang-orang yang dibebani utang yang tak dapat dibayar, dan keturunannya tidak harus menanggung utang nenek moyang. Properti dasar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup bisa jadi adalah dilindungi dari perampasan. Meskipun begitu, Imamat 25 tampaknya memberikan fondasi yang lebih luas daripada undang-undang kebangkrutan masa kini. Fondasi ini tidak hanya melindungi kebebasan pribadi dan sedikit properti untuk orang miskin, tetapi juga memastikan setiap orang memiliki akses kepada sarana-sarana untuk mencari nafkah dan terlepas dari kemiskinan multi-generasi. Sebagaimana ditunjukkan peraturan memungut sisa panen di kitab Imamat, solusinya bukanlah pemberian atau perampasan properti secara masal, tetapi nilai-nilai dan struktur-struktur sosial yang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja produktif. Sudahkah masyarakat modern benar-benar melampaui bangsa Israel kuno dalam hal ini? Bagaimana dengan jutaan orang yang diperbudak atau menjadi buruh ijon hari ini di dalam situasi-situasi di mana undang-undang anti perbudakan tidak cukup ditegakkan? Apa yang diperlukan agar orang Kristen dapat memberikan solusi nyata?[7]

Konklusi Kitab Imamat

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Satu konklusi terpenting yang bisa kita ambil dari kitab Imamat adalah bahwa panggilan kita sebagai umat Allah adalah mencerminkan kekudusan Allah dalam pekerjaan kita. Ini memanggil kita untuk memisahkan diri dari tindakan-tindakan di sekitar kita yang tidak sesuai dengan jalan-jalan Allah. Ketika kita mencerminkan kekudusan Allah, kita berada di hadapan Allah, entah di tempat kerja, di rumah, di gereja, atau di tengah masyarakat. Kita mencerminkan kekudusan Allah bukan dengan menggantungkan ayat-ayat Alkitab, berdoa, memakai salib, atau bahkan bersikap baik. Kita melakukannya dengan mengasihi rekan kerja, pelanggan, mahasiswa, investor, kompetitor, dan semua orang yang kita jumpai seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Secara praktisnya, ini berarti melakukan kebaikan untuk orang lain melalui pekerjaan kita seperti yang kita lakukan untuk diri kita sendiri. Hal ini menggairahkan motivasi kita, ketekunan kita, penggunaan kekuasaan kita, pengembangan keterampilan kita, dan bahkan juga pilihan pekerjaan kita. Ini juga berarti bekerja untuk kepentingan seluruh masyarakat dan bekerja secara harmonis dengan seluruh masyarakat, sejauh hal itu tergantung pada kita. Dan itu berarti bekerja mengubah struktur-struktur dan sistem-sistem masyarakat untuk mencerminkan kekudusan Allah sebagai Pribadi yang sudah membebaskan Israel dari perbudakan dan penindasan. Ketika kita melakukan hal ini, kita mendapati melalui kasih karunia Allah bahwa firman-Nya ini digenapi: “Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku di tengah-tengahmu, dan hati-Ku tidak akan muak terhadapmu. Aku akan hadir di tengah-tengahmu; Akn akan menjadi Allahmu dan kamu menjadi umat-Ku” (Imamat 26:11-12).

Introduksi Kitab Bilangan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Bilangan berkontribusi penting pada pemahaman dan penerapan kita tentang kerja. Kitab ini menunjukkan tentang umat Allah, Israel, yang berjuang untuk bekerja menurut tujuan-tujuan Allah di masa-masa sulit. Di dalam perjuangan itu, mereka mengalami konflik-konflik tentang identitas, otoritas, dan kepemimpinan saat mereka mengarungi padang gurun menuju Tanah yang dijanjikan Allah. Kebanyakan pelajaran yang bisa kita dapatkan untuk pekerjaan kita diambil dari contoh, ketika kita memahami apa yang berkenan pada Allah dan yang tidak, bukan dari serangkaian perintah-perintah.

Kitab ini disebut “Bilangan” (dalam bahasa Inggris: “Numbers”) karena kitab ini menuliskan serangkaian sensus yang diadakan Musa atas suku-suku bangsa Israel. Sensus itu diadakan untuk mengetahui kuantitas sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk urusan-urusan ekonomi dan pemerintahan, seperti tugas militer (Bilangan 1:2-3; 26:2-4), tugas keagamaan (Bilangan 4:2-3, 22-23), perpajakan (Bilangan 3:40-48), dan pertanian (Bilangan 26:53-54). Alokasi sumber daya yang efektif tergantung pada data yang baik. Namun, lebih dari sekadar melaporkan angka-angka atau data, sensus-sensus ini juga berfungsi sebagai kerangka cerita. Di dalam cerita itu, statistik sering disalahgunakan dan menimbulkan perselisihan, pemberontakan dan kerusuhan sosial. Ide tentang penghitungan kuantitatif itu sendiri tidak bermasalah – Allah sendiri memerintahkan diadakannya sensus-sensus (Bilangan 1:1-2). Namun, ketika analisis angka-angka digunakan sebagai dalih untuk menyimpang dari perkataan Allah, bahaya timbul (Bilangan 14:20-25). Pantulan tidak langsung dari manipulasi angka-angka sebagai pengganti penalaran moral yang asli ini tampak pada skandal-skandal akuntansi dan krisis-krisis finansial masa kini.

Peristiwa-peristiwa dalam kitab Bilangan terjadi di padang gurun yang bukan di wilayah Mesir atau Tanah Perjanjian. Nama kitab itu dalam bahasa Ibrani, bemidbar, adalah singkatan dari frasa “di padang gurun Sinai” (Bilangan 1:1), yang merupakan tempat kejadian utama kitab itu – perjalanan bangsa Israel melalui padang gurun. Perjalanan bangsa itu dari Sinai menuju Tanah Perjanjian berakhir saat mereka tiba di wilayah sebelah timur Sungai Yordan. Mereka bisa sampai ke tempat itu karena “tangan keperkasaan” Allah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir, kisah yang diceritakan dalam kitab Keluaran. Mengeluarkan bangsa itu dari perbudakan adalah satu hal; tetapi mengeluarkan perbudakan dari bangsa itu ternyata merupakan hal lain. Singkatnya, kitab Bilangan adalah kitab tentang hidup bersama Allah dalam perjalanan menuju penggenapan janji-janji-Nya, perjalanan yang juga sedang kita arungi sebagai umat Allah. Dari pengalaman bangsa Israel di padang gurun, kita menemukan sumber-sumber untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hidup dan pekerjaan kita saat ini, dan kita bisa mendapatkan kekuatan dan pertolongan dari Allah yang selalu hadir dan menyertai.

Allah Menghitung dan Mengatur Bangsa Israel (Bilangan 1:1-2:34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebelum Keluaran (pembebasan dari perbudakan di Mesir), Israel belum menjadi sebuah bangsa. Israel berawal dari keluarga Abraham dan Sarah serta keturunannya, yang berkembang menjadi kaum/keluarga besar (klan atau marga) di bawah kepemimpinan Yusuf, tetapi lalu jatuh ke dalam perbudakan sebagai etnis minoritas di Mesir. Populasi orang Israel di Mesir berkembang menjadi sebesar-bangsa (Keluaran 12:37), tetapi sebagai kelompok budak, mereka tidak diperbolehkan memiliki institusi atau organisasi kebangsaan. Mereka keluar dari Mesir sebagai rombongan pengungsi yang hampir tidak teratur (Keluaran 12:34-39), yang sekarang harus diatur menjadi bangsa yang berfungsi.

Allah memerintahkan Musa untuk menghitung jumlah penduduk (sensus pertama, Bilangan 1:1-3) dan membentuk pemerintahan sementara yang dikepalai para pemimpin suku (Bilangan 1:4-16). Atas perintah Allah selanjutnya, Musa menunjuk kelompok pemuka agama, orang-orang Lewi, dan memperlengkapi mereka dengan sumber-sumber untuk membangun tabernakel atau Kemah Suci (Bilangan 1:48-54). Musa mengatur tempat perkemahan untuk seluruh orang Israel, lalu menempatkan laki-laki yang sudah cukup umur untuk berperang dalam pasukan-pasukan militer, serta mengangkat para komandan dan perwira (Bilangan 2:1-9). Ia membentuk birokrasi, mendelegasikan wewenang kepada para pemimpin yang memenuhi syarat, dan mengadakan sistem pengadilan sipil dan pengadilan banding (yang ini dituliskan di Keluaran 18:1-27, bukan di kitab Bilangan). Sebelum Israel bisa memiliki Tanah Perjanjian (Kejadian 28:15) dan memenuhi panggilannya untuk menjadi berkat bagi segala bangsa (Kejadian 18:18), bangsa itu harus diatur dengan baik.

Hal-hal yang dilakukan Musa dalam organisasi, kepemimpinan, pengaturan dan pengembangan sumber daya sangat mirip dengan yang dilakukan di hampir semua sektor masyarakat masa kini – di sektor bisnis, pemerintahan, militer, pendidikan, keagamaan, lembaga nirlaba, asosiasi masyarakat, dan bahkan rumahtangga/keluarga. Dalam hal ini, Musa menjadi godfather bagi semua manajer, akuntan, ahli statistik, pakar ekonomi, pejabat militer, gubernur, hakim, polisi, kepala sekolah, pengurus komunitas/masyarakat, dan banyak lagi yang lainnya. Perhatian detail yang diberikan kitab Bilangan dalam mengatur para pekerja, melatih pemimpin, membentuk institusi-institusi masyarakat, mengembangkan kemampuan logistik, membangun pertahanan, dan mengembangkan sistem akuntansi menunjukkan bahwa Allah masih tetap memimpin dan memberdayakan struktur-struktur masyarakat masa kini dalam mengatur, memerintah, memberdayakan dan melakukan pemeliharaan/pertahanan.

Orang Lewi dan Pekerjaan Allah (Bilangan 3-8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bilangan 3-8 berfokus pada pekerjaan para imam dan orang Lewi. (Orang Lewi adalah suku yang orang-orangnya melayani sebagai imam – istilah-istilah yang sering dipakai secara bergantian atau dapat dipertukarkan di dalam kitab Bilangan). Mereka memiliki peran yang sangat penting sebagai perantara penebusan Allah kepada seluruh umat (Bilangan 3:40-51). Seperti halnya para pekerja lainnya, mereka juga dihitung dan diatur dalam unit-unit kerja, meskipun mereka dibebaskan dari tugas militer (Bilangan 4:2-3; 22-23). Mungkin tampaknya pekerjaan mereka ditentukan lebih tinggi daripada pekerjaan suku-suku lainnya karena mereka “mengurusi barang-barang yang mahakudus” (Bilangan 4:4). Perhatian sangat detail yang diberikan pada kemah pertemuan dan segala perkakasnya memang tampaknya meninggikan peran para imam di atas peran-peran orang lainnya dalam bangsa itu. Namun, teks itu sebenarnya menunjukkan betapa sangat eratnya keterkaitan antara pekerjaan mereka dengan pekerjaan seluruh orang Israel. Orang Lewi membantu semua orang Israel menyelaraskan hidup dan pekerjaan mereka dengan perintah dan tujuan-tujuan Allah. Selain itu, pekerjaan yang dilakukan orang Lewi di Kemah Pertemuan juga sama dengan pekerjaan yang dilakukan kebanyakan orang Israel—membongkar, memindahkan dan mendirikan kemah, menyalakan api, mencuci kain lenan, menyembelih binatang dan mengolah gandum. Jadi, penekanannya adalah pada integrasi pekerjaan orang Lewi dengan pekerjaan semua orang lain. Kitab Bilangan memberi perhatian detail pada pekerjaan para imam sebagai perantara kehadiran Allah bukan karena pekerjaan keagamaan merupakan pekerjaan yang paling penting, tetapi karena Allah ada di pusat setiap pekerjaan.

Mempersembahkan Hasil Kerja Kita kepada Allah (Bilangan 4, 7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat detail untuk mendirikan Kemah Pertemuan, tempat kehadiran-Nya di tengah orang Israel. Kemah Pertemuan memerlukan bahan-bahan yang dihasilkan oleh berbagai macam pekerja —kulit halus, kain ungu, kain merah tua, tirai-tirai, tiang-tiang dan kerangka, pinggan, cawan, piala, kendi, kandil beserta lampu-lampunya, sepit-sepit, nampan-nampan, minyak dan tempat minyaknya, mezbah emas, perbaraan, garpu, penyodok, bokor penyiraman, dan dupa wangi (Bilangan 4:5-15). (Untuk penjelasan serupa, lihat “Tabernakel” dalam Keluaran 31:1-12). Di dalam upacara persembahan itu, umat juga membawa lagi hasil-hasil kerja manusia seperti cawan minuman (Bilangan 4:7, dll.), kurban sajian (4:16, dll.), minyak (7:13, dll.), domba (6:12, dll.), kambing (7:16, dll.), dan logam mulia (emas dan perak) (7:25, dll.). Hampir semua pekerjaan— dari hampir semua orang—di Israel dibutuhkan untuk bisa menyembah Allah di Kemah Pertemuan.

Orang Lewi menafkahi keluarganya sebagian besar dari porsi/sebagian persembahan itu. Porsi persembahan ini diberikan kepada orang Lewi karena, tidak seperti suku-suku lainnya, mereka tidak memiliki tanah untuk bercocok tanam (Bilangan 18:18-32). Orang Lewi menerima porsi persembahan itu bukan karena mereka orang yang suci kudus, tetapi karena dengan memimpin upacara-upacara persembahan kurban itu, mereka membawa semua orang ke dalam relasi yang kudus dengan Allah. Justru umat itulah, bukan orang Lewi, yang mendapat manfaat terbesar dari upacara-upacara pengorbanan itu. Sesungguhnya, upacara pengorbanan itu sendiri adalah bagian dari cara menyediakan makanan di Israel. Selain beberapa bagian kurban persembahan yang dibakar di atas mezbah dan diberikan kepada orang Lewi sebagaimana disebutkan di atas, bagian-bagian utama dari persembahan kurban sajian dan kurban binatang itu ditandai untuk dimakan oleh orang-orang yang membawanya.[1] Dengan cara ini, semua orang di Israel juga diberi makan. Secara keseluruhan, upacara pengorbanan diadakan bukan untuk memisahkan beberapa yang kudus dari hasil kerja manusia yang lainnya, tetapi untuk menjadi perantara kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan dan pekerjaan bangsa itu.

Begitu pula saat ini, segala produk dan jasa seluruh umat Allah adalah ungkapan-ungkapan kuasa Allah yang bekerja di dalam manusia, atau setidaknya demikianlah seharusnya. Perjanjian Baru mengembangkan tema Perjanjian Lama ini dengan sangat jelas. “Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9). Semua pekerjaan yang kita lakukan adalah pekerjaan para imam jika menyatakan tentang kebaikan Allah. Barang-barang yang kita hasilkan—kulit dan kain, cawan dan pinggan, bahan-bahan bangunan, materi pelajaran, rancangan keuangan, dan seterusnya—adalah barang-barang para imam. Pekerjaan yang kita lakukan —mencuci pakaian, merawat tanaman, membesarkan anak, dan segala macam pekerjaan lainnya yang halal – adalah pelayanan para imam kepada Allah. Kita semua harus bertanya, “Bagaimana pekerjaanku menyatakan tentang kebaikan Allah, membuat-Nya nyata bagi orang-orang yang tidak mengenal Dia dan melayani tujuan-tujuan-Nya di dunia?” Semua orang percaya, bukan hanya para rohaniwan, adalah keturunan para imam dan orang Lewi dalam kitab Bilangan, yang melakukan pekerjaan Allah setiap hari.

Pertobatan, Restitusi dan Rekonsiliasi (Bilangan 5:5-10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Peran esensial umat Allah adalah membawa perdamaian dan keadilan dalam situasi-situasi konflik dan menyimpang. Meskipun orang Israel bertekad untuk menaati perintah-perintah Allah, mereka selalu saja gagal, seperti juga kita saat ini. Kegagalan ini sering berupa memperlakukan orang lain dengan buruk. "Apabila seseorang, laki-laki atau perempuan, berbuat dosa terhadap sesamanya manusia, dan karena itu berlaku tidak setia terhadap TUHAN, maka orang itu bersalah" (Bilangan 5:6). Melalui pekerjaan orang Lewi, Allah menyediakan cara untuk bertobat, melakukan restitusi dan rekonsiliasi setelah terjadinya perbuatan salah itu. Satu hal yang penting adalah: pihak yang bersalah tidak hanya mengganti kerugian yang disebabkan olehnya, tetapi juga menambahnya sebesar 20 persen (Bilangan 5:7), yang agaknya sebagai cara bersimpati atau ikut merasakan penderitaan/kerugian yang dialami korban. (Bagian ini paralel dengan kurban penebus salah yang dijelaskan dalam kitab Imamat; lihat “Pentingnya Persembahan Kurban Penebus Salah di Tempat kerja” dalam Kitab Imamat dan Kerja).

Perjanjian Baru memberikan contoh yang sangat jelas tentang prinsip kerja ini. Ketika pemungut cukai yang bernama Zakheus mengenal keselamatan dalam Kristus, ia menawarkan untuk mengembalikan empat kali lipat dari jumlah pajak yang telah diambilnya dari warga sesamanya. Contoh yang lebih moderen – meskipun tidak secara eksplisit didasarkan pada Alkitab – semakin banyak rumah sakit yang bersedia mengakui kesalahan, meminta maaf dan menawarkan ganti rugi dan bantuan finansial langsung kepada para pasien dan keluarga yang merasa dirugikan.[1] Namun, Anda tak harus menjadi pemungut cukai atau pekerja medis untuk melakukan kesalahan. Kita semua memiliki cukup banyak kesempatan untuk mengakui kesalahan dan menawarkan diri untuk memperbaikinya, dan seterusnya. Banyak tantangan semacam ini justru terjadi di tempat kerja. Namun apakah kita benar-benar melakukannya, atau apakah kita berusaha menutupi kesalahan kita dan mengecilkan tanggung jawab kita?

Ucapan Berkat (Imam) Harun atas Umat-Nya (Bilangan 6:22-27)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu tugas utama orang Lewi adalah memohonkan berkat Allah. Allah menetapkan kata-kata berikut ini sebagai berkat para imam:

TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau;
TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya
dan memberi engkau kasih karunia;
TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu
dan memberi engkau damai sejahtera.
(Bilangan 6:24-26)

Berkat Allah pada manusia tak terhitung banyaknya—secara rohani, mental, emosional, dan materi. Namun, yang menjadi fokus di sini adalah memberkati orang lain dengan perkataan. Perkataan kita yang baik dapat menjadi momen kasih karunia Allah dalam hidup orang lain. “Demikianlah harus mereka letakkan nama-Ku atas orang Israel, dan Aku akan memberkati mereka,” Allah berjanji (Bilangan 6:27).

Kata-kata yang kita gunakan di tempat kerja bisa memberkati, bisa juga mengutuki, dapat membangun orang lain, dapat pula menghancurkan mereka. Pilihan kata-kata kita seringkali lebih dahsyat dari yang kita sadari. Berkat di Bilangan 6:24-26 menyatakan bahwa Allah “akan ‘melindungi’ engkau, memberi engkau ‘kasih karunia’ dan ‘damai sejahtera’.” Di tempat kerja, perkataan kita dapat “melindungi” orang lain – yang artinya, menenteramkan hati, menjaga, dan memberi dukungan. “Jika perlu bantuan, bilang saja padaku. Aku tidak akan menolakmu.” Perkataan kita bisa penuh kasih karunia, membuat situasi menjadi lebih baik dari sebaliknya. Sebagai contoh, kita dapat menerima tanggung jawab atas kesalahan bersama, dan bukan melemparkan kesalahan dengan mengecilkan peran kita. Perkataan kita dapat membawa damai sejahtera dengan memperbaiki relasi-relasi yang hancur. Sebagai contoh, “Aku sadar ada yang tidak beres di antara kita, tetapi aku ingin mencari cara agar kita dapat kembali memiliki relasi yang baik.” Tentu saja, ada saatnya kita juga harus menyatakan keberatan, mengeritik, mengoreksi, dan mungkin menghukum orang lain di tempat kerja. Meskipun demikian, kita dapat memilih apakah kita akan mengeritik tindakannya yang salah ataukah langsung menganggap keseluruhan orang itu tidak bermutu. Sebaliknya, ketika orang lain bekerja dengan baik, kita dapat memilih untuk memuji dan bukan diam saja, meskipun ada risikonya juga pada reputasi kita atau pun dari sikap diam kita.

Pensiun dari Dinas Rutin (Bilangan 8:23-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Bilangan berisi satu-satunya ayat Alkitab yang menetapkan batas usia kerja. Orang Lewi memulai pelayanan ketika mereka masih berusia muda, yang akan cukup kuat untuk memasang dan mengangkut Kemah Suci dengan segala perkakas sucinya. Sensus-sensus di Bilangan 4 tidak mencantumkan nama-nama orang Lewi yang berusia 50 tahun ke atas, dan Bilangan 8:25 menetapkan bahwa pada waktu berusia 50 tahun, orang Lewi harus dibebaskan dari pekerjaannya. Selain mengangkat kemah suci yang berat, tugas orang Lewi juga termasuk memeriksa penyakit kulit dengan cermat (Imamat 13). Pada zaman sebelum ada kacamata baca, hampir tidak ada orang yang berusia 50 tahun ke atas yang dapat melihat sesuatu dengan jelas dari jarak dekat. Jadi intinya di sini bukanlah bahwa usia 50 tahun merupakan usia pensiun yang universal, tetapi bahwa sudah tiba saatnya ketika fisik yang menua menunjukkan penurunan efektivitas kerja. Prosesnya sangat beragam pada masing-masing individu dan jenis pekerjaan. Musa berusia 80 tahun ketika ia memulai tugasnya sebagai pemimpin bangsa Israel (Keluaran 7:7).

Namun, pensiun bukanlah akhir dari bekerjanya orang Lewi. Tujuan pembebasan tugas ini bukan untuk menyingkirkan pekerja produktif dari pelayanan, tetapi mengalihkan pelayanan mereka kepada hal-hal yang lebih sesuai, mengingat kondisi pekerjaan mereka. Setelah pensiun mereka masih dapat “membantu saudara-saudaranya di Kemah Pertemuan dalam menjalankan tugas mereka” (Bilangan 8:26). Terkadang kemampuan-kemampuan tertentu — kecakapan dalam menilai/memberi pertimbangan, kebijaksanaan, dan keluasan wawasan—justru makin meningkat dengan bertambahnya usia. Dengan “membantu saudara-saudaranya,” orang Lewi yang berusia lanjut beralih ke cara-cara yang berbeda dalam melayani komunitasnya. Pandangan moderen tentang pensiun yang berarti berhenti bekerja dan hanya menghabiskan waktu untuk bersantai tidak ditemukan dalam Alkitab.

Seperti orang Lewi, kita tak boleh ingin berhenti total dari melakukan pekerjaan yang berarti di usia senja. Kita mungkin ingin atau perlu melepaskan jabatan kita, tetapi kemampuan dan kebijaksanaan kita masih berharga. Kita bisa terus melayani orang lain dengan keterlibatan kita dalam kepemimpinan/kepengurusan asosiasi perdagangan, organisasi kemasyarakatan, dewan direksi, atau lembaga perizinan. Kita bisa mengonseling, melatih, mengajar, atau mendampingi. Mungkin pada akhirnya kita bisa punya waktu untuk melayani sepenuhnya di gereja, klub, kantor publik, atau lembaga pelayanan. Kita bisa mengivestasikan lebih banyak waktu untuk bersama keluarga, atau jika hal itu sudah terlambat, kita dapat melakukannya bersama anak-anak atau kaum muda yang lain. Seringkali pelayanan baru kita yang sangat berharga adalah mendampingi dan menyemangati (memberkati) para pekerja muda (lihat Bilangan 6:24-27).

Mengingat kemungkinan-kemungkinan ini, masa lansia bisa menjadi salah satu masa yang paling memuaskan dalam hidup seseorang. Sayangnya, masa pensiun menyingkirkan banyak orang tepat pada waktu talenta, sumber daya, waktu, pengalaman, jaringan, pengaruh dan hikmat mereka bisa paling bermanfaat. Sebagian pensiunan lalu memilih untuk hanya mencari dan menikmati kesenggangan dan kesenangan, atau menyerah saja pada kehidupan. Yang lain mendapati bahwa regulasi-regulasi yang terkait dengan usia dan marjinalisasi sosial menghalangi mereka untuk bekerja semaksimal yang mereka inginkan. Artikel yang ditulis Ian Rose untuk BBC, "Why we lie about being retired," (Mengapa kita berbohong tentang masa pensiun-Pen) mengupas tantangan-tantangan yang dihadapi orang pada masa pensiun, terutama jika mereka memasukinya dengan harapan untuk berhenti kerja sepanjang sisa hidup mereka.

Terlalu sedikit materi yang ada di Akitab yang bisa dijadikan dasar teologi pensiun yang komprehensif. Namun, ketika kita bertambah usia, setiap kita bisa mempersiapkan masa pensiun sebaik, atau lebih baik dari, ketika kita mempersiapkan diri untuk bekerja. Ketika masih muda, kita bisa menghargai dan belajar dari rekan-rekan kerja yang lebih berpengalaman. Di segala usia, kita bisa mengupayakan kebijakan-kebijakan dan penerapan-penerapan pensiun yang lebih adil dan lebih produktif baik bagi pekerja yang masih muda maupun yang sudah lansia.

Tantangan terhadap Otoritas Musa (Bilangan 12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di Bilangan 12, saudara-saudara Musa, Harun dan Miryam, mencoba melakukan pemberontakan terhadap otoritas Musa. Mereka tampaknya memiliki keberatan yang sah. Musa mengajarkan bahwa orang Israel tidak boleh menikah dengan orang asing (Ulangan 7:3), tetapi ia sendiri memiliki istri orang asing (Bilangan 12:1). Jika keberatan ini memang menjadi keprihatinan mereka, mereka sebenarnya dapat mengutarakannya kepada Musa atau kepada dewan tua-tua yang baru dibentuk (Bilangan 11:16-17) untuk mencari penyelesaian. Namun, mereka malah menggerakkan orang untuk melengserkan Musa dan menjadikan mereka sebagai pengganti pemimpin bangsa Israel. Ternyata, keberatan mereka hanya dalih untuk memicu pemberontakan umum dengan tujuan mengangkat diri mereka sendiri ke posisi kekuasaan tertinggi.

Allah menghukum mereka dengan keras atas nama Musa. Allah mengingatkan mereka bahwa Dialah yang telah memilih Musa sebagai utusan-Nya kepada bangsa Israel, yang berbicara dengan Musa secara “berhadapan muka” dan memercayakan “segenap rumah-Ku” kepadanya (Bilangan 12:7-8). “Mengapa kamu tidak takut mencela hamba-Ku Musa?” Allah bertanya (Bilangan 12:8). Ketika Allah tidak mendengar jawaban, kitab Bilangan menyatakan bahwa “murka TUHAN menyala-nyala terhadap mereka” (Bilangan 12:9). Hukuman-Nya pertama-tama dijatuhkan kepada Miryam, yang menderita sakit kusta yang mengerikan, dan Harun lalu meminta Musa untuk mengampuni mereka (Bilangan 12:10-12). Otoritas pemimpin yang dipilih Allah harus dihormati, karena memberontak terhadap pemimpin pilihan Allah berarti memberontak terhadap Allah sendiri.

Ketika Kita Memiliki Keberatan terhadap Orang yang Berotoritas

Allah hadir secara unik dalam kepemimpinan Musa. “Tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka” (Ulangan 34:10). Para pemimpin masa kini tidak ada yang memiliki otoritas dapat berhadapan muka dengan Allah seperti Musa. Namun Allah memerintahkan kita untuk menghormati otoritas semua pemimpin, “sebab tidak ada penguasa yang tidak berasal dari Allah” (Roma 13:1-3). Ini bukan berarti para pemimpin tidak boleh dipertanyakan, dimintai pertanggungjawaban, atau bahkan diganti. Namun, ini berarti, setiap kali kita memiliki keluhan atau keberatan terhadap orang yang memiliki otoritas yang sah – seperti Musa – kita harus melihat hal-hal dalam kepemimpinannya sebagai manifestasi dari otoritas Allah. Kita harus menghormatinya atas bagian mana pun dari otoritas Allah yang benar-benar diembannya, bahkan ketika kita ingin mengoreksi, membatasi atau bahkan menyingkirkannya dari kekuasaan.

Detail yang jelas dalam kisah Musa ini adalah bahwa Harun dan Miryam ingin menerobos ke posisi kekuasaan. Kehausan akan kekuasaan tak pernah menjadi motivasi yang sah untuk memberontak terhadap otoritas. Jika kita memiliki keberatan terhadap atasan kita, yang harus kita harapkan pertama-tama adalah menyelesaikan keluhan/keberatan itu dengannya. Jika penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakcakapan atasan itu menghalangi terjadinya hal ini, tujuan kita selanjutnya adalah membuatnya digantikan oleh orang yang berintegritas dan cakap. Namun, jika kita hanya ingin membesarkan kekuasaan kita sendiri, tujuan kita ini tidak benar, dan bahkan kita sudah tak punya alasan untuk mengetahui apakah atasan itu bertindak benar atau tidak. Hasrat dan keinginan kita sendiri telah membuat kita tidak mampu untuk mengenali otoritas Allah dalam situasi itu.

Ketika Orang Lain Menentang Otoritas Kita

Meskipun Musa memiliki otoritas dan dalam posisi yang benar, ia menyikapi tantangan terhadap kepemimpinannya itu dengan lemah lembut dan rendah hati. "Musa itu seorang yang sangat rendah hati, lebih dari setiap manusia di muka bumi” (Bilangan 12:3). Ia tetap bersama Harun dan Miryam di sepanjang episode itu, bahkan ketika mereka mulai menerima hukuman yang sudah sepantasnya mereka terima. Ia ikut memohon agar Allah memulihkan keadaan Miryam, dan berhasil meringankan hukumannya dari mati menjadi tujuh hari dikucilkan di luar perkemahan (Bilangan 12:13-15). Ia tetap mempertahankan mereka sebagai pemimpin senior bangsa itu.

Jika kita berada dalam posisi kekuasaan, kita mungkin juga akan menghadapi tantangan seperti yang dialami Musa. Dengan asumsi bahwa kita, seperti Musa, memiliki otoritas yang sah, kita mungkin akan tersinggung oleh perlawanan itu dan bahkan menganggapnya sebagai menentang tujuan Allah untuk kita. Kita mungkin berada di pihak yang benar jika kita berusaha mempertahankan kedudukan kita dan mengalahkan orang-orang yang menentangnya. Namun, seperti Musa, kita pertama-tama harus memerhatikan orang-orang yang Allah tempatkan di bawah kekuasaan kita, termasuk orang-orang yang menentang kita. Mereka mungkin memiliki keberatan yang sah terhadap kita, atau mungkin mereka memang ingin melakukan kezaliman. Kita mungkin bisa berhasil melawannya atau mungkin juga kita bisa kalah. Kita bisa terus berada di organisasi itu dan bisa juga tidak, dan mereka juga bisa terus bekerja di situ dan bisa juga tidak. Kita bisa mencari titik temu, atau kita juga bisa merasa tidak mungkin bisa memiliki relasi kerja yang baik lagi dengan orang yang pernah menentang kita. Namun bagaimanapun, dalam setiap situasi kita punya kewajiban untuk bersikap rendah hati, yang artinya kita harus bertindak untuk kebaikan orang-orang yang dipercayakan Allah pada kita, meskipun dengan mengorbankan kenyamanan, kekuasaan, martabat dan citra-diri kita. Kita akan tahu bahwa kita sedang memenuhi kewajiban ini jika kita mendapati diri kita membela orang yang menentang kita, seperti yang dilakukan Musa pada Miryam.

Ketika Kepemimpinan Membuat Tidak Populer (Bilangan 13, 14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tantangan lain terhadap otoritas Musa terjadi di Bilangan 13 dan 14. TUHAN memerintahkan Musa mengirim pengintai ke tanah Kanaan untuk menyiapkan penaklukan. Para intelijen militer maupun pakar ekonomi dikumpulkan, dan nama-nama pengintai dari setiap suku disebutkan (Bilangan 13:4-20). Ini berarti laporan para pengintai itu kelak bisa digunakan bukan saja untuk merancang penaklukan, tetapi juga untuk memulai pembahasan tentang pembagian wilayah di antara suku-suku Israel. Laporan para pengintai menyatakan bahwa negeri itu sangat baik, dan negeri itu “memang berlimpah-limpah susu dan madunya” (Bilangan 13:27). Namun, para pengintai itu juga melaporkan bahwa “bangsa yang tinggal di negeri itu kuat-kuat, kota-kotanya berkubu dan sangat besar” (Bilangan 13:28). Musa dan Kaleb memakai laporan intelijen itu untuk merencanakan serangan, tetapi para pengintai malah menjadi takut dan mengatakan bahwa negeri itu tidak mungkin dapat ditaklukkan (Bilangan 13:30-32). Karena mendengarkan perkataan para pengintai, orang Israel lalu memberontak terhadap rencana TUHAN dan memutuskan untuk mencari pemimpin baru yang akan membawa mereka kembali ke dalam perbudakan di Mesir. Hanya Harun, Kaleb dan seorang pemuda bernama Yosua yang tetap setia bersama Musa.

Namun, Musa tidak goyah, meskipun rencana itu tidak populer, tidak disukai orang banyak. Bangsa itu hampir saja melengserkannya sebagai pemimpin, tetapi ia tetap berpegang teguh pada yang dinyatakan Allah padanya sebagai hal yang benar. Musa dan Harun memohon agar mereka menghentikan pemberontakan itu, tetapi sia-sia saja. Akhirnya, Allah menghukum bangsa Israel atas ketidakpercayaan mereka dan menyatakan akan memukul mereka dengan penyakit sampar yang mematikan (Bilangan 14:5-12). Dengan menolak rencana itu, mereka telah memasukkan diri mereka ke dalam situasi yang jauh lebih buruk— kehancuran total, yang akan segera terjadi. Hanya Musa, yang tetap berpegang teguh pada tujuan semula, yang mengetahui cara mencegah bencana itu. Ia memohon kepada Allah untuk mengampuni bangsa itu, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. (Kita sudah melihat di Bilangan 12 bagaimana Musa selalu siap mengutamakan kesejahteraan bangsanya, meskipun dengan mengorbankan dirinya sendiri). Allah melunak, tetapi tetap menyatakan ada konsekuensi tak terelakkan yang harus ditanggung bangsa itu. Tak seorang pun dari orang-orang yang ikut dalam pemberontakan itu yang diperkenankan masuk ke Tanah Perjanjian (Bilangan 14:20-23).

Tindakan Musa menunjukkan bahwa para pemimpin dipilih untuk berpegang teguh pada komitmen, bukan untuk “ditiup angin popularitas” (mengikuti yang disukai orang banyak-Pen). Kepemimpinan dapat menjadi tugas yang sepi dukungan, dan jika kita berada dalam posisi kepemimpinan, kita bisa sangat tergoda untuk menyetujui pendapat orang banyak. Memang benar bahwa pemimpin yang baik harus mendengarkan pendapat orang lain. Namun, jika seorang pemimpin mengetahui cara bertindak yang terbaik, dan sudah menguji pengetahuan itu dengan kemampuannya yang terbaik, pemimpin itu bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik, bukan yang paling populer.

Dalam situasi Musa, tak ada keraguan tentang tindakan yang tepat. Allah sudah memerintahkan Musa untuk menduduki Tanah Perjanjian itu. Seperti sudah kita ketahui, Musa sendiri tetap bersikap rendah hati dan tak tergoyahkan dengan tujuannya. Namun, pada kenyataannya, ia tidak berhasil melaksanakan perintah Allah itu. Jika orang-orangnya tidak mau mengikuti, pemimpin tidak dapat menjalankan misi itu sendirian. Dalam hal ini, konsekuensi yang harus ditanggung bangsa itu adalah bencana satu generasi kehilangan negeri yang telah dipilih Allah bagi mereka. Setidaknya, Musa sendiri tidak ikut berperan dalam bencana itu dengan mengubah rencananya karena mengikuti pendapat mereka.

Era masa kini penuh dengan contoh-contoh para pemimpin yang menyerah pada pendapat orang banyak. Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain yang menyerah pada tuntutan-tuntutan Hitler di Munich tahun 1938 langsung terlintas di pikiran. Sebaliknya, Abraham Lincoln menjadi salah satu presiden terbesar Amerika karena menolak tegas untuk menyerah pada opini populer agar mengakhiri Perang Saudara di Amerika dengan menerima pembagian negara. Meskipun ia memiliki kerendahan hati untuk mengakui kemungkinan ia bisa salah (“ketika Allah membuat kita melihat yang benar”), ia juga memiliki keteguhan hati untuk melakukan yang ia tahu benar, meskipun ada tekanan yang sangat besar untuk menyerah. Buku Leadership on the Line yang ditulis Ronald Heifetz dan Martin Linsky, membahas tantangan tentang sikap yang tetap terbuka pada pendapat orang lain sambil tetap teguh menjalankan kepemimpinan pada masa sulit.[1] (Untuk penjelasan lebih lanjut tentang hal ini lihat, "Israel Menolak Masuk ke Tanah Perjanjian" di dalam Ulangan 1:19-45).

Mempersembahkan Buah Sulung kepada Allah (Bilangan 15:20-21; 18:12-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dengan didasarkan pada peraturan persembahan kurban yang dijelaskan dalam Bilangan 4 dan 7, dua bagian dalam Bilangan 15 dan 18 menjelaskan tentang persembahan buah sulung dari yang dihasilkan pekerja dan tanah ladang kepada Allah. Selain persembahan-persembahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, bangsa Israel harus mempersembahkan kepada Allah “hulu hasil dari segala yang tumbuh di tanahnya” (Bilangan 18:13). Karena Allah berdaulat atas kepemilikan segala sesuatu, semua yang dihasilkan tanah dan manusia sebenarnya sudah menjadi milik Allah. Ketika bangsa itu membawa hasil pertamanya ke mezbah, mereka mengakui kepemilikan Allah atas segala sesuatu, bukan hanya yang tersisa setelah mereka memenuhi segala kebutuhan mereka sendiri. Dengan mempersembahkan buah sulung sebelum mereka memanfaatkan sisanya yang lebih banyak untuk diri mereka sendiri, mereka mengungkapkan penghormatan atas kedaulatan Allah dan juga pengharapan mendesak agar Allah memberkati kelangsungan produktivitas kerja dan sumber daya mereka.[1]

Persembahan dan kurban dalam sistem pengorbanan di Israel berbeda dengan pemberian dan persembahan yang kita lakukan bagi pekerjaan Allah saat ini, tetapi konsep tentang memberikan buah sulung kita kepada Allah masih berlaku. Dengan memberi pertama-tama kepada Allah, kita mengakui Allah sebagai Pemilik segala sesuatu yang ada pada kita. Karena itu, kita memberikan pada-Nya yang pertama dan terbaik dari yang ada pada kita. Dengan cara ini, mempersembahkan buah sulung menjadi berkat bagi kita sebagaimana bagi bangsa Israel dahulu.

Pengingat Perjanjian (Bilangan 15:37-41)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Satu perikop pendek di Bilangan 15 memerintahkan orang Israel untuk membuat jumbai-jumbai atau kuncir di ujung baju mereka, yang diberi benang ungu kebiru-biruan di setiap ujungnya, agar “ketika kamu melihatnya akan mengingatkan kamu pada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya.” Dalam hal kerja, sebagaimana juga dalam hal lainnya, selalu ada godaan untuk “menuruti keinginan hati dan matamu sendiri” (Bilangan 15:39). Sesungguhnya, semakin rajin Anda memerhatikan pekerjaan Anda (“mata” Anda), semakin besar kemungkinan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah di tempat kerja Anda memengaruhi Anda (“hati” Anda). Solusinya bukan berhenti memerhatikan pekerjaan atau kurang serius dalam bekerja. Namun, akan lebih baik jika Anda membuat pengingat-pengingat yang akan mengingatkan Anda pada Allah dan kehendak-Nya. Mungkin tidak berupa jumbai, tetapi bisa berupa Alkitab yang mudah terlihat, bunyi alarm yang mengingatkan Anda untuk berdoa sejenak dari waktu ke waktu, atau simbol yang dikenakan atau diletakkan di tempat yang akan menarik perhatian Anda. Tujuannya bukan untuk pamer kepada orang lain, tetapi untuk menarik kembali “hati Anda sendiri” kepada Allah. Meskipun hal ini hanya hal kecil/sederhana, tetapi dampaknya bisa signifikan. Dengan melakukannya, “kamu akan mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu” (Bilangan 15:40).

Ketidaksetiaan Musa di Meriba (Bilangan 20:2-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Momen kegagalan terbesar Musa terjadi ketika bangsa Israel mulai bersungut-sungut lagi, kali ini tentang makanan dan air minum (Bilangan 20:1-5). Musa dan Harun memutuskan membawa masalah ini kepada Allah, yang kemudian memerintahkan mereka untuk membawa tongkat dan memberi perintah di hadapan bangsa itu agar bukit batu di depan mereka mengeluarkan air yang cukup untuk diminum semua orang dan segala ternak mereka (Bilangan 20:6-8). Musa melakukan yang diperintahkan Allah tetapi dengan menambahkan dua tindakannya sendiri. Pertama, ia memarahi bangsa itu dengan berkata, “Dengarlah, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit-bukit batu ini?” Dan kemudian, ia memukul bukit batu itu dua kali dengan tongkatnya. Air mengalir keluar dengan limpahnya (Bilangan 20:9-11), tetapi Allah sangat tidak berkenan kepada Musa dan Harun.

Hukuman Allah keras sekali. “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, sebab itu kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang Kuberikan kepada mereka” (Bilangan 20:12). Musa dan Harun, seperti juga semua orang yang memberontak terhadap rencana Allah sebelumnya (Bilangan 14:22-23), tidak diperkenankan masuk ke Tanah Perjanjian.

Berbagai pendapat para ahli tentang apa tepatnya yang dilakukan Musa sampai ia harus dihukum mungkin bisa ditemukan di dalam tafsiran-tafsiran umum, tetapi teks di Bilangan 20:12 menyebutkan langsung pelanggaran yang mendasari hal itu, “Kamu tidak percaya kepada-Ku.” Kepemimpinan Musa goyah pada saat kritis ketika ia berhenti memercayai Allah dan mulai bertindak mengikuti dorongan hatinya sendiri.

Menghormati Allah dalam kepemimpinan—sebagaimana yang harus dilakukan semua pemimpin Kristen di segala bidang —adalah tanggung jawab yang mengerikan. Entah kita memimpin di perusahaan/bisnis, kelas, badan penanggulangan bencana, rumahtangga, atau organisasi lainnya, kita harus berhati-hati agar tidak salah mengartikan otoritas Allah sebagai otoritas kita. Apa yang dapat kita lakukan agar kita tetap taat kepada Allah? Bersekutu secara teratur dalam kelompok akuntabilitas (“tumbuh bersama”), berdoa setiap hari tentang tugas-tugas kepemimpinan, memelihara Sabat mingguan untuk beristirahat di hadirat Allah, dan meminta pendapat orang lain tentang pimpinan Allah merupakan metode-metode yang dilakukan sebagian pemimpin. Meskipun demikian, tugas memimpin dengan teguh sambil tetap bergantung sepenuhnya pada Allah adalah hal yang di luar kemampuan manusia. Jika orang yang paling rendah hati di muka bumi saja (Bilangan 12:3) bisa gagal dalam hal ini, apalagi kita. Namun oleh karena kasih karunia Allah, kegagalan sebesar kesalahan Musa di Meriba yang menimbulkan konsekuensi mengerikan dalam kehidupan ini pun, tidak dapat memisahkan kita dari penggenapan tertinggi dari janji-janji Allah. Musa memang tidak diperkenankan masuk ke Tanah Perjanjian, tetapi Perjanjian Baru menyebutnya sebagai orang yang “setia dalam segenap rumah-Nya” yang mengingatkan kita pada keyakinan yang dimiliki semua orang dalam rumah Allah tentang kepenuhan penebusan kita dalam Kristus (Ibrani 3:2-6).

Ketika Allah Berbicara melalui Sumber-sumber Tak Terduga (Bilangan 22-24)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam Bilangan 22 dan 23, aktor utamanya bukanlah Musa tetapi Bileam, seorang yang tinggal di dekat jalan yang dilalui orang Israel secara perlahan-lahan saat menuju Tanah Perjanjian. Meskipun ia bukan orang Israel, ia seorang imam atau nabi Allah. Raja Moab, yang mengakui kuasa Allah dalam perkataan Bileam, berkata, “Aku tahu, siapa yang kauberkati akan beroleh berkat, dan siapa yang kaukutuk akan terkutuk.” Karena merasa gentar dengan kekuatan Israel, raja Moab mengirim utusan untuk meminta Bileam datang ke Moab dan mengutuki bangsa Israel, agar ia bisa terbebas dari ancaman yang dirasakannya (Bilangan 22:1-6).

Allah memberitahu Bileam bahwa Dia sudah memilih Israel sebagai bangsa yang diberkati, dan memerintahkan Bileam untuk tidak pergi Moab dan tidak mengutuki bangsa Israel (Bilangan 22:12). Namun, setelah didatangi lebih banyak utusan dari raja Moab, Bileam setuju untuk pergi ke Moab. Rombongan pegawai-pegawai Balak, raja Moab itu, berusaha menyogoknya untuk mengutuki Israel, tetapi Bileam mengingatkan mereka bahwa ia hanya akan melakukan yang diperintahkan Allah (Bilangan 22:18). Allah tampaknya menyetujui rencana ini, tetapi ketika Bileam menunggangi keledainya menuju Moab, malaikat Allah menghalangi jalannya sampai tiga kali. Malaikat itu tidak terlihat oleh Bileam, tetapi keledainya melihatnya dan berbelok menyingkir setiap kali dihadang malaikat itu. Bileam menjadi marah sekali pada keledai itu dan mulai memukul binatang itu dengan tongkatnya. Lalu “TUHAN membuka mulut keledai itu sehingga ia berkata kepada Bileam: ‘Apakah yang kulakukan kepadamu, sampai engkau memukul aku tiga kali?’" (Bilangan 22:28). Bileam berbicara dengan keledai itu dan mulai menyadari bahwa binatang itu sudah melihat pimpinan Allah jauh lebih jelas daripada dirinya. Mata Bileam pun terbuka; ia melihat malaikat itu dan menerima petunjuk Allah selanjutnya untuk menghadapi raja Moab. “Pergilah bersama orang-orang itu. Namun, hanya apa yang akan Kufirmankan kepadamu harus kaukatakan,” Allah mengingatkannya (Bilangan 22:35). Di sepanjang pasal 23 dan 24, raja Moab terus-menerus meminta Bileam mengutuki bangsa Israel, tetapi jawaban Bileam setiap kali adalah Allah berkata bahwa bangsa Israel itu diberkati. Pada akhirnya ia berhasil meminta agar raja itu tidak menyerang Israel (Bilangan 24:12-25), yang menyelamatkan Moab dari kehancuran oleh tangan Allah sendiri.

Bileam sama seperti Musa karena ia berusaha menaati pimpinan Allah meskipun kadang gagal secara pribadi. Seperti Musa, ia berperan penting dalam penggenapan rencana Allah membawa Israel ke Tanah Perjanjian. Namun, Bileam juga sangat berbeda dengan Musa dan banyak tokoh Alkitab Ibrani lainnya. Bileam bukan orang Israel, dan tujuan utamanya adalah menyelamatkan Moab, bukan Israel, dari kehancuran. Dengan kedua alasan ini, bangsa Israel akan sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Allah berbicara kepada Bileam selangsung dan sejelas Dia berbicara kepada nabi-nabi dan imam-imam Israel sendiri. Bahkan yang lebih mengejutkan—bagi Israel maupun Bileam sendiri—pimpinan Allah pada saat krusial datang padanya melalui mulut seekor keledai, binatang sederhana. Dari dua hal yang mengejutkan itu kita melihat bahwa pimpinan Allah datang bukan dari sumber yang paling disukai orang, tetapi dari sumber yang dipilih Allah sendiri. Jika Allah memilih berbicara melalui perkataan musuh potensial atau bahkan binatang buas di padang, kita seharusnya memerhatikan.

Bagian ini tidak berkata bahwa sumber pimpinan Allah yang terbaik adalah keledai atau nabi-nabi asing, tetapi cerita ini memberikan kita pemahaman tentang mendengar suara Allah. Mudah bagi kita untuk mendengar suara Allah hanya dari sumber-sumber yang kita kenal. Ini seringkali berarti kita hanya mendengarkan orang-orang yang berpikir seperti kita, berasal dari lingkungan sosial kita, atau berbicara dan bertindak seperti kita. Ini bisa berarti kita tidak pernah memberi perhatian kepada orang-orang yang memiliki pendapat berbeda dengan kita. Menjadi mudah untuk percaya bahwa Allah berbicara pada kita persis seperti yang sudah kita pikirkan. Para pemimpin sering meneguhkan hal ini dengan membuat diri mereka dikelilingi sekelompok kecil utusan dan penasihat yang berpikiran-sama. Bisa jadi, kita ini seperti Bileam, tanpa kita mau mengakuinya. Namun, atas kasih karunia Allah, maukah kita belajar mendengarkan yang Allah mau katakan pada kita, sekalipun melalui orang-orang yang tidak kita percayai, atau sumber-sumber yang tidak kita akui?

Kepemilikan Tanah dan Hak Waris (Bilangan 26-27; 36:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seiring berjalannya waktu dan perubahan demografi, sensus baru perlu diadakan lagi (Bilangan 26:1-4). Tujuan krusial sensus ini adalah agar bangsa yang baru itu mulai dapat mengembangkan struktur-struktur sosial-ekonomi masyarakat. Produksi ekonomi dan organisasi pemerintahan harus diatur di sekitar suku-suku, dengan subunit-subunit klan dan kaum keluarga mereka. Tanah dibagi-bagi di antara kaum-kaum keluarga sesuai dengan jumlah populasinya (Bilangan 26:52-56), dan pembagian tanah itu dilakukan dengan membuang undi. Hasilnya, setiap rumahtangga (keluarga besar) menerima sebidang tanah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Tidak seperti di Mesir—dan kemudian di Kerajaan Romawi dan Eropa abad pertengahan —tanah tidak dikuasai oleh kalangan bangsawan dan dikerjakan oleh golongan rakyat jelata atau para budak yang tidak punya hak apa-apa. Namun, setiap keluarga memiliki sarana produksi pertanian sendiri. Dan yang terpenting, tanah itu tidak akan bisa hilang selamanya dari keluarga itu, entah akibat utang, pajak atau bahkan dijual sukarela. (Lihat Imamat 25 tentang perlindungan hukum agar keluarga-keluarga tidak kehilangan tanah mereka). Bahkan jika satu generasi dari suatu keluarga gagal dalam usaha pertaniannya atau terlilit utang, generasi berikutnya tetap memiliki akses untuk mendapatkan tanah yang dibutuhkan untuk mencari nafkah.

Sensus dihitung berdasarkan kepala-kepala suku dan klan laki-laki, yang setiap kepala keluarganya menerima bagian kepemilikan tanah (milik pusaka). Namun, dalam kasus-kasus yang kepala keluarganya perempuan (misalnya jika ayah mereka meninggal sebelum menerima bagian tanah milik pusaka mereka), perempuan itu diperbolehkan memiliki tanah dan mewariskannya kepada keturunannya (Bilangan 27:8). Namun, hal ini bisa memperumit pengaturan di Israel, karena seorang wanita bisa menikah dengan pria dari suku lain. Dan ini akan mengalihkan tanah pusaka wanita itu dari suku ayahnya ke suku suaminya, yang memperlemah struktur masyarakat. Untuk menghindari hal ini, Allah menetapkan bahwa meskipun orang perempuan bisa “menikah dengan siapa saja yang ia anggap terbaik” (Bilangan 36:6), “milik pusaka tidak boleh beralih dari suku ke suku” (Bilangan 36:9). Ketetapan ini melindungi hak semua orang – termasuk kaum perempuan—untuk memiliki tanah dan menikah dengan orang pilihan mereka, tetapi juga mengimbangi kebutuhan untuk mempertahankan struktur-struktur masyarakat. Suku-suku harus menghormati hak-hak warganya. Kepala-kepala keluarga harus menghormati kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Di dalam banyak perekonomian masa kini, memiliki tanah bukanlah sarana utama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan struktur-struktur masyarakat tidak diatur di sekitar suku-suku dan kaum keluarga. Oleh karena itu, peraturan-peraturan spesifik dalam kitab Bilangan dan Imamat tidak dapat diterapkan langsung dalam kehidupan masa kini. Kondisi-kondisi saat ini memerlukan solusi-solusi spesifik yang berbeda. Hukum yang bijaksana, tepat dan ditegakkan dengan adil yang menghargai struktur-struktur properti dan ekonomi, hak-hak individu dan kepentingan umum, sangat diperlukan di setiap masyarakat. Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Keberhasilan penegakan hukum di tingkat nasional dan internasional sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus dan inklusif, pembangunan yang berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, serta realisasi sepenuhnya seluruh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.”[1] Orang Kristen bisa banyak berkontribusi dalam pengaturan masyarakat yang baik, bukan saja melalui hukum tetapi juga melalui doa dan perubahan hidup. Dan makin lama makin banyak orang Kristen yang menyadari bahwa dengan bekerja bersama-sama, kita dapat memberikan peluang-peluang yang efektif bagi kaum marjinal untuk mendapatkan akses permanen kepada sumber-sumber yang dibutuhkan untuk berkembang secara ekonomi. Salah satu contohnya adalah Agros International, yang dipimpin “kompas moral” Kristen untuk menolong keluarga-keluarga miskin di pedesaan Amerika Latin memiliki tanah dan mengerjakannya dengan berhasil.[2]

Perencanaan Suksesi (Bilangan 27:12-23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Membangun organisasi yang berkelanjutan—dalam hal ini bangsa Israel—memerlukan transisi-transisi kekuasaan secara teratur. Tanpa kesinambungan, orang menjadi bingung dan takut, struktur kerja berantakan, dan pekerja menjadi tidak efektif, “seperti domba yang tidak mempunyai gembala” (Bilangan 27:17). Menyiapkan penerus perlu waktu. Para pemimpin yang buruk mungkin takut memperlengkapi orang yang mampu menggantikan mereka, tetapi para pemimpin yang baik seperti Musa mulai mengembangkan pengganti jauh sebelum mereka diharapkan meninggalkan jabatan. Alkitab tidak menunjukkan pada kita proses-proses yang dilakukan Musa dalam mengidentifikasi dan menyiapkan Yosua, selain bahwa ia berdoa meminta pimpinan Allah (Bilangan 27:16). Namun, kitab Bilangan menyatakan pada kita bahwa Musa secara terbuka menjamin akan mengakui dan mendukung Yosua serta mengikuti prosedur yang berlaku untuk meneguhkan otoritasnya (Bilangan 27:17-21).

Perencanaan suksesi adalah tanggung jawab eksekutif yang sedang menjabat (seperti Musa) dan orang-orang yang menjalankan kekuasaan komplementer (seperti Eliezer dan para pemimpin umat), sebagaimana yang kita lihat di Bilangan 27:21. Institusi-institusi, baik yang sebesar negara maupun sekecil tim kerja, memerlukan proses-proses pelatihan dan suksesi yang efektif.

Persembahan Kurban Sehari-hari: Mendoakan Orang Lain (Bilangan 28, 29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selain persembahan-persembahan kurban pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan untuk individu dan keluarga, ada juga persembahan untuk kepentingan seluruh bangsa yang dilakukan setiap hari (Bilangan 28:1-8). Demikian juga ada persembahan-persembahan kurban lainnya pada hari Sabat (Bilangan 28:9-10), bulan baru (Bilangan 28:11-15), Paskah (Bilangan 28:16-25), Hari Raya 7 Minggu setelah Paskah (Bilangan 28:26-31), Hari Raya Bulan Baru/Terompet (Bilangan 29:1-6), Hari Penebusan (Bilangan 29:7-10), dan Hari Raya Pondok Daun (Bilangan 29:12-40). Melalui persembahan-persembahan kurban komunal ini, umat menerima berkat kehadiran dan kasih karunia Allah meskipun mereka tidak mempersembahkan kurban secara pribadi.[1]

Sistem pengorbanan di Israel ini sudah tidak berlaku dan tidak mungkin diterapkan langsung pada kehidupan dan pekerjaan saat ini. Namun, pentingnya pengorbanan, persembahan dan penyembahan untuk kebaikan orang lain tetap berlaku (Roma 12:1-6). Orang percaya tertentu—khususnya para biarawan dan biarawati ordo tertentu—menghabiskan sebagian besar hidup mereka dengan mendoakan orang-orang yang tidak dapat atau tidak beribadah atau berdoa sendiri. Dalam kita bekerja, tentu tidak tepat jika kita melalaikan kewajiban-kewajiban kita untuk berdoa. Namun, pada waktu kita berdoa, kita dapat mendoakan orang-orang yang bekerja di sekitar kita, apalagi jika kita tahu tidak ada orang lain yang mendoakan mereka. Bagaimanapun, kita dipanggil untuk membawa berkat kepada dunia sekitar kita (Bilangan 6:22-27). Kita tentu saja dapat meniru Bilangan 28:1-8 dengan berdoa secara teratur setiap hari. Berdoa setiap hari, atau berkali-kali sepanjang hari, membuat kita tetap dekat dengan hadirat Allah. Iman bukan hanya untuk hari Sabat.

Menghormati Komitmen (Bilangan 30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bilangan 30 memberikan aturan yang rumit dalam menetapkan validitas janji, sumpah dan nazar. Namun, dasar pemikirannya sederhana: lakukanlah yang Anda katakan akan Anda lakukan.

Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya. (Bilangan 30:2)

Penjelasan yang rumit diberikan untuk menangani pengecualian aturan saat orang membuat janji yang melampaui wewenangnya. (Peraturan dalam teks ini berkaitan dengan situasi-situasi ketika perempuan tertentu tunduk pada wewenang laki-laki tertentu). Meskipun pengecualian-pengecualian itu sah – Anda tidak dapat melaksanakan janji dari orang yang tidak memiliki wewenang untuk membuat janji — ketika Yesus berbicara tentang ayat ini, Dia memberikan aturan praktis yang jauh lebih sederhana: jangan membuat janji yang tidak dapat atau tidak akan ditepati (Matius 5:33-37).

Komitmen-komitmen yang berkaitan dengan kerja menggoda kita untuk menghimpun berbagai penjelasan rumit, kualifikasi, pengecualian dan pembenaran agar tidak melaksanakan yang kita janjikan. Memang banyak dari hal itu yang masuk akal, seperti klausa-klausa force majeure (keadaan memaksa) dalam berbagai surat kontrak/perjanjian, yang membebaskan suatu pihak untuk tidak memenuhi kewajibannya jika ada keputusan pengadilan, bencana alam, dan lain-lain hal semacam itu. Ini tidak berhenti hanya pada masalah menghormati isi perjanjian. Banyak perjanjian dibuat dengan jabat tangan. Kadang ada celah-celah untuk lolos. Dapatkah kita belajar menghormati maksud perjanjian dan bukan hanya yang tertulis dalam perjanjian? Kepercayaan adalah unsur yang membuat tempat kerja berlangsung, dan kepercayaan tak mungkin ada jika kita menjanjikan lebih dari yang dapat kita tepati, atau menepati kurang dari yang kita janjikan. Ini bukan hanya fakta kehidupan, ini perintah Allah.

Perancangan-Kota untuk Kota-kota Orang Lewi (Bilangan 35:1-5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tidak seperti suku-suku lainnya, suku Lewi tinggal di kota-kota yang tersebar di seluruh Tanah Perjanjian, tempat mereka dapat mengajarkan Hukum kepada bangsa itu dan memberlakukannya di pengadilan setempat. Bilangan 35:2-5 menjelaskan luas padang rumput yang harus dimiliki setiap kota. Diukur dari tembok-tembok perbatasan kota, area tanah penggembalaan itu harus meluas ke luar seribu hasta (sekitar 450 meter) ke semua arah (timur, selatan, barat dan utara).

Jacob Milgrom mengatakan bahwa tata letak geografis ini merupakan aplikasi yang realistis dalam perancangan kota. [1] Diagram itu menunjukkan sebuah kota dengan padang rumput yang meluas keluar dari diameter kota ke semua arah. Ketika diameter kota itu mengembang dan mengambil area padang rumput di dekatnya, tanah penggembalaan itu ditambahkan lagi (digeser meluas ke luar lagi) sampai padang rumput itu tetap berukuran seluas 1000 hasta dari semua arah perbatasan kota. (Pada diagram, area yang diarsir tetap sama ukurannya ketika berkembang/ meluas ke luar, tetapi area yang berpotongan (yang di tengah) menjadi lebih luas ketika pusat kota berkembang menjadi lebih luas).

“Di luar kota itu kamu harus mengukur dua ribu hasta di sisi timur dan dua ribu hasta di sisi selatan, serta dua ribu hasta di sisi barat dan dua ribu hasta di sisi utara. Itulah bagi mereka tanah penggembalaan kota-kota” (Bilangan 35:5).

Secara matematis, ketika kota berkembang, area tanah penggembalaannya juga berkembang, tetapi dengan kecepatan lebih rendah dari perkembangan area pusat kota yang berpenghuni. Ini berarti penduduk berkembang lebih cepat dari area pertanian. Agar perkembangan bisa terus berlanjut, produktivitas pertanian per meter persegi harus ditingkatkan. Setiap kepala daerah harus menyediakan makanan untuk lebih banyak orang, dan menyediakan lapangan kerja di bidang industri dan jasa untuk lebih banyak penduduk. Seperti inilah tepatnya yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi dan budaya. Yang jelas, perancangan kota tidak menimbulkan peningkatan produktivitas, tetapi menciptakan struktur sosial-ekonomi yang disesuaikan untuk peningkatan produktivitas. Inilah contoh yang sangat canggih tentang kebijakan kota yang menciptakan kondisi-kondisi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Ayat di Bilangan 35:5 ini menunjukkan kembali perhatian detail yang diberikan Allah yang memungkinkan pekerjaan manusia dapat menopang kehidupan manusia dan menciptakan kesejahteraan ekonomi. Jika Allah mau bersusah-susah memerintahkan Musa untuk melakukan perancangan kota dengan pengembangan padang rumput yang semi-geometris, bukankah itu menunjukkan bahwa umat Allah saat ini juga harus dengan bersemangat mengupayakan berbagai profesi, kerajinan, seni, akademik, dan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang menopang dan mensejahterakan masyarakat dan bangsa? Mungkin gereja-gereja dan orang-orang Kristen dapat berbuat lebih dengan mendorong dan merayakan keunggulan para anggotanya di berbagai bidang. Mungkin para pekerja Kristen dapat berbuat lebih dengan menjadi unggul dalam bekerja sebagai cara melayani Allah. Adakah alasan untuk percaya bahwa perancangan kota, perekonomian, pengasuhan anak, atau pelayanan kepada pelanggan yang terbaik kurang memuliakan Allah dibandingkan penyembahan, doa, atau studi Alkitab yang sepenuh hati?

Konklusi Kitab Bilangan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Bilangan menunjukkan Allah yang bekerja melalui Musa untuk mengatur dan memerintah bangsa Israel yang masih baru itu. Bagian pertama kitab ini berfokus pada ibadah/penyembahan, yang bergantung pada pekerjaan para imam bersama para pekerja dari setiap bidang pekerjaan. Pekerjaan mendasar dari orang-orang yang mewakili umat Allah bukanlah melakukan ritual-ritual, tetapi memberkati semua orang dengan kehadiran Allah dan kasih yang memperdamaikan. Kita semua punya kesempatan untuk membawa berkat dan perdamaian melalui pekerjaan kita, entah kita memandang diri kita sebagai imam atau tidak.

Bagian kedua kitab Bilangan menjelaskan tentang pengaturan masyarakat ketika bangsa itu bergerak menuju Tanah Perjanjian. Pasal-pasal dalam kitab Bilangan dapat membantu kita memperoleh perspektif yang benar tentang pokok-pokok permasalahan kerja pada masa kini seperti mempersembahkan hasil kerja kita kepada Allah, penyelesaian konflik, masa pensiun, kepemimpinan, hak-hak kepemilikan, produktivitas ekonomi, perencanaan suksesi, relasi-relasi sosial, menghormati komitmen kita, dan perancangan kota.

Para pemimpin dalam kitab Bilangan—khususnya Musa—memberikan contoh-contoh tentang apa artinya mengikuti pimpinan Allah atau gagal melaksanakannya. Para pemimpin harus terbuka pada nasihat bijak orang lain dan sumber-sumber tak terduga. Namun mereka harus tetap teguh mengikuti pimpinan Allah sebanyak yang dapat mereka pahami. Mereka harus cukup berani untuk menghadapi raja-raja, namun cukup rendah hati untuk belajar dari binatang di padang. Tidak ada satu orang pun dalam kitab Bilangan yang berhasil sepenuhnya dalam tugas ini, tetapi Allah tetap setia pada umat-Nya dalam keberhasilan maupun kegagalan mereka. Kesalahan kita membawa konsekuensi negatif yang nyata—tetapi tidak kekal—dan kita mencari pengharapan dari luar diri kita sendiri untuk pemenuhan kasih Allah pada kita. Kita melihat Roh Allah membimbing Musa dan mendengar Allah berjanji memberikan sebagian Roh-Nya juga kepada para pemimpin setelah Musa. Dengan demikian, kita sendiri dapat terdorong untuk mencari pimpinan Allah dalam berbagai kesempatan dan tantangan kerja kita. Apa pun yang kita lakukan, kita dapat yakin Allah menyertai kita dalam bekerja, karena Dia berkata, “Aku, TUHAN, diam di tengah-tengah orang Israel” (Bilangan 35:34), yang langkahnya kita ikuti.

Introduksi Kitab Ulangan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja adalah pokok bahasan utama kitab Ulangan, dan topik-topik utamanya meliputi:

  • Arti dan nilai bekerja. Perintah Allah untuk bekerja bagi kepentingan orang lain, berkat-berkat bekerja bagi individu dan komunitas, konsekuensi kegagalan dan bahaya kesuksesan, serta tanggung jawab untuk menyatakan Allah kepada orang lain.

  • Relasi di tempat kerja. Pentingnya relasi-relasi yang baik, memiliki martabat dan rasa hormat pada orang lain, dan perlunya sikap tidak merugikan orang lain atau mengatakan yang tidak pantas tentang orang lain di tempat kerja.

  • Kepemimpinan. Pelaksanaan kepemimpinan dan kekuasaan yang bijaksana, perencanaan suksesi dan pelatihan, serta tanggung jawab pemimpin untuk bekerja bagi kepentingan orang-orang yang dipimpin.

  • Keadilan ekonomi. Menghormati kepemilikan, hak-hak pekerja dan keputusan pengadilan, menggunakan sumber daya secara produktif, meminjam dan meminjamkan, serta kejujuran dalam perjanjian komersial dan perdagangan yang adil.

  • Kerja dan Istirahat. Kebutuhan untuk bekerja, pentingnya istirahat, dan undangan untuk percayai bahwa Allah memelihara kita pada waktu bekerja maupun beristirahat.

Meskipun dari abad ke abad perdagangan dan pekerjaan terus berubah, kitab Ulangan dapat membantu kita untuk memahami lebih baik bagaimana hidup dengan menanggapi kasih Allah dan melayani orang lain melalui pekerjaan kita.

Penyampaian yang dramatis dan menyatu membuat kitab ini sangat mengesankan. Yesus banyak mengutip ayat dari kitab Ulangan. Bahkan kutipan ayat Kitab Suci pertama-Nya adalah ayat-ayat dari kitab Ulangan (Matius 4:4, 7, 10). Perjanjian Baru merujuk pada kitab Ulangan lebih dari 50 kali, jumlah yang hanya bisa dilampaui oleh kitab Amsal dan kitab Yesaya.[1] Dan kitab Ulangan memuat rumusan pertama Hukum Terutama, “Kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5).

Yang mendasari semua tema-tema dalam kitab Ulangan adalah perjanjian Israel dengan satu-satunya Allah yang benar. Segala sesuatu dalam kitab ini berasal dari dasar perjanjian, “Akulah TUHAN Allahmu…jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:6-7). Ketika manusia hanya menyembah Allah saja, pemerintahan yang baik, pekerjaan yang produktif, perdagangan yang etis, kesejahteraan kota, dan perlakuan yang adil bagi semua, biasanya akan terujud. Ketika manusia lebih mengutamakan motivasi, nilai-nilai dan kepentingan lain daripada Allah, pekerjaan dan kehidupan akan mengalami masalah.

Kitab Ulangan membahas hal yang sama dengan yang dibahas kitab-kitab Taurat lainnya – Keluaran, Imamat, dan Bilangan— tetapi dengan memberi perhatian lebih pada masalah kerja, terutama dalam Sepuluh Hukum. Tampaknya, ketika menyampaikan kembali peristiwa-peristiwa dan pengajaran-pengajaran dari kitab-kitab sebelumnya, Musa merasa perlu untuk menekankan pentingnya kerja dalam kehidupan umat Allah. Dalam hal tertentu, ini mungkin menandakan semakin meningkatnya perhatian yang akan diberikan orang Kristen pada masalah kerja di zaman sekarang ini. Dengan membaca Alkitab dengan pandangan baru, kita akan menemukan bahwa bekerja itu penting bagi Allah dari yang kita sadari sebelumnya, dan bahwa firman Allah memberi banyak petunjuk tentang bekerja daripada yang pernah kita pikirkan.

Pemberontakan dan Sikap Berpuas Diri (Ulangan 1:1–4:43)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ulangan dimulai dengan wejangan Musa yang menceritakan kembali peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Israel baru-baru itu. Musa mengambil pelajaran-pelajaran dari peristiwa-peristiwa ini dan menasihati bangsa Israel agar menanggapi kesetiaan Allah dengan menaati Dia dengan percaya (Ulangan 4:40). Dua bagian yang berurutan — tentang menciderai kepercayaan pada Allah dengan memberontak dan berpuas diri—sangat penting bagi teologi kerja.

Israel Menolak Masuk ke Tanah Perjanjian (Ulangan 1:19-45)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di padang gurun, ketakutan bangsa Israel membuat mereka tidak percaya kepada Allah. Sebagai akibatnya, mereka memberontak terhadap rencana Allah yang menghendaki mereka masuk ke tanah yang dijanjikan Allah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub (Ulangan 1:7-8). Allah sudah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, memberikan Hukum-Nya di gunung Horeb (Sinai), dan dengan cepat membawa bangsa itu ke wilayah yang berbatasan dengan tanah perjanjian (Ulangan 1:19-20). Menurut kitab Bilangan, Allah menyuruh Musa mengirim para pengintai untuk menyelidiki negeri yang akan Dia berikan kepada bangsa itu, dan Musa taat (Bilangan 13:1-3). Namun, orang Israel lainnya justru memakai misi pengintaian ini sebagai kesempatan untuk tidak menaati Allah. Mereka meminta Musa mengirim pengintai agar mereka dapat membatalkan aksi militer yang diperintahkan Allah. Ketika para pengintai itu kembali dengan laporan yang baik, bangsa Israel tetap menolak untuk masuk ke negeri itu (Ulangan 1:26). “Orang-orang itu lebih besar dan lebih tinggi daripada kita, kota-kota mereka besar dan kubu-kubunya sampai ke langit,” kata mereka kepada Musa dengan menambahkan perkataan “hati kami menjadi kecut" (Ulangan 1:28). Sekalipun Musa meyakinkan mereka bahwa Allah akan berperang bagi mereka sama seperti yang Dia lakukan di Mesir, mereka tidak percaya Allah akan menepati janji-Nya (Ulangan 1:29-33). Ketakutan menimbulkan ketidaktaatan yang mendatangkan hukuman keras.

Akibat ketidaktaatan ini, bangsa Israel yang hidup pada waktu itu tidak diperbolehkan masuk ke tanah perjanjian. "Tidak seorang pun dari orang-orang ini, generasi yang jahat ini, akan melihat negeri yang baik, yang Kujanjikan dengan sumpah untuk diberikan kepada nenek moyangmu" (Ulangan 1:35). Kecuali hanya Kaleb dan Yosua, satu-satunya anggota ekspedisi pengintaian yang menganjurkan bangsa Israel untuk menaati perintah Allah (Bilangan 13:30). Musa sendiri tidak diperbolehkan masuk ke negeri itu karena tindakan ketidaktaatan yang lain. Di Bilangan 20:2-12 Musa meminta sumber air kepada Allah, dan Allah menyuruh Musa memerintahkan bukit batu menjadi mata air. Namun, Musa memukul bukit batu itu dua kali dengan tongkatnya. Andai saja Musa hanya berkata kepada bukit batu itu sebagaimana yang diperintahkan Allah, mukjizat yang terjadi itu tentu akan memuaskan baik kehausan jasmani bangsa Israel maupun kebutuhan mereka untuk percaya bahwa Allah selalu memelihara mereka. Namun, karena dan ketika Musa memukul bukit batu itu seakan hendak memaksa membuka sumber air itu, momen yang baik itu lewat. Seperti orang-orang Israel di Ulangan 1:19-45, Musa dihukum atas ketidak-percayaan yang menjadi dasar ketidaktaatannya. "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, sebab itu kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang Kuberikan kepada mereka" (Bilangan 20:12).

Ketika orang Israel itu menyadari bahwa mereka telah menghukum diri mereka sendiri dengan selamanya akan hidup mengembara di padang gurun, dan bukan menikmati “negeri yang baik” (Ulangan 1:25) yang telah disediakan Allah untuk mereka, mereka mencoba membuat rencana sendiri untuk menyerang orang Amori. Namun, Allah berkata, "Jangan maju dan jangan berperang, sebab Aku tidak ada di tengah-tengahmu, nanti kamu terpukul kalah oleh musuhmu" (Ulangan 1:42). Tidak memercayai janji-janji Allah membuat orang Israel kehilangan berkat-berkat yang sudah Dia sediakan untuk mereka.

Ketika kita tahu apa yang benar, tetapi tergoda untuk melanggarnya, percaya pada Allah adalah satu-satunya cara agar kita tetap berada dalam rencana Allah. Ini bukan soal kekuatan karakter. Jika Musa saja bisa gagal dalam memercayai Allah sepenuhnya, bisakah kita bayangkan kita benar-benar akan berhasil? Namun, ini adalah soal kasih karunia Allah. Kita dapat berdoa agar Roh Allah menguatkan kita saat kita berpegang teguh pada yang benar, dan kita dapat meminta pengampunan Allah ketika kita gagal. Seperti Musa dan bangsa Israel, tidak memercayai Allah dapat menimbulkan akibat fatal dalam kehidupan, tetapi kegagalan kita pada akhirnya ditebus oleh kasih karunia Allah. (Untuk lebih jelas tentang hal ini, lihat “Ketika Kepemimpinan Membuat Tidak Populer” dalam Bilangan 13 dan 14).

Ketika Kesuksesan Menimbulkan Sikap Berpuas Diri (Ulangan 4:25-40)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di padang gurun, orang Israel meninggalkan kepercayaan kepada Allah bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena kesuksesan. Dalam wejangannya yang pertama ini, Musa menjelaskan tentang kemakmuran yang menanti generasi baru yang akan memasuki Tanah Perjanjian. Musa menyatakan bahwa kesuksesan kemungkinan bisa menimbulkan sikap berpuas diri secara rohani yang jauh lebih berbahaya dari kegagalan. “Apabila kamu beranak cucu dan menjadi tua di negeri itu, lalu berlaku busuk dengan membuat patung yang menyerupai apa pun… pastilah kamu segera lenyap dari negeri yang akan kamu duduki” (Ulangan 4:25-26). Kita akan sampai pada pembahasan tentang penyembahan berhala itu sendiri di Ulangan 5:8, tetapi bahaya rohani yang dimaksud di sini adalah bahaya yang disebabkan oleh sikap berpuas diri. Setelah mengalami kesuksesan, orang sering berhenti takut akan Allah dan mulai percaya bahwa kesuksesan itu hak manusia. Alih-alih bersyukur, kita mengembangkan sikap merasa berhak. Kesuksesan yang kita perjuangkan tidak salah, tetapi berbahaya secara moral. Sesungguhnya, kesuksesan yang kita peroleh adalah gabungan dari sejumput keterampilan dan kerja keras, yang berpadu dengan setumpuk situasi-situasi menguntungkan dan anugerah umum Allah. Kita tidak benar-benar dapat memenuhi keinginan, kerinduan dan keamanan kita sendiri. Kesuksesan tidak permanen, dan tidak sungguh-sungguh memuaskan. Contoh yang dramatis dari kebenaran ini tampak dalam kehidupan raja Uzia di 2 Tawarikh. “Ia ditolong [oleh Allah] secara ajaib sehingga semakin kuat. Ketika sudah kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia terjerumus binasa” (2 Tawarikh 26:15-16). Hanya di dalam Allah kita dapat menemukan keamanan dan kepuasan yang sesungguhnya (Mazmur 17:15).

Mungkin mengherankan bahwa akibat dari sikap berpuas diri bukanlah ateisme, tetapi penyembahan berhala. Musa sudah memprediksi bahwa jika bangsa itu meninggalkan Allah, mereka tidak akan menjadi orang-orang yang merdeka secara rohani. Mereka akan mengikatkan diri dengan “ilah-ilah buatan tangan manusia dari kayu dan batu yang tidak dapat melihat dan mendengar, tidak dapat makan atau mencium” (Ulangan 4:28). Pada zaman Musa, pemikiran tentang hidup tidak beragama mungkin tidak ada di benak siapa pun, tetapi pada zaman kita sekarang, banyak. Gelombang sekulerisme yang kian meningkat berusaha melepaskan diri dari yang dianggap —yang kadang cukup tepat—sebagai belenggu dominasi dari institusi-institusi, kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan yang korup. Namun, apakah semua ini menghasilkan kemerdekaan yang sesungguhnya, atau apakah menyembah Allah perlu digantikan dengan menyembah ilah-ilah buatan tangan manusia?

Meskipun pertanyaan ini terdengar abstrak, dampaknya sangat nyata pada masalah kerja dan tempat kerja. Sebagai contoh, sebelum paruhan terakhir abad kedua puluh, pertanyaan-pertanyaan tentang etika bisnis biasanya dijawab dengan referensi ayat-ayat Kitab Suci. Tindakan ini jauh dari sempurna, tetapi memberi landasan kuat pada orang-orang yang berada di pihak yang kalah dalam perebutan kekuasaan yang terkait dengan pekerjaan. Kasus paling dramatis mungkin adalah perlawanan berdasarkan-agama terhadap perbudakan di Inggris dan Amerika yang pada akhirnya berhasil menghapuskan perdagangan budak maupun perbudakan itu sendiri. Di lembaga-lembaga sekuler, tidak ada otoritas moral yang dapat dijadikan acuan. Sebagai gantinya, keputusan-keputusan etis didasarkan pada hukum dan “ethical custom” (kebiasaan etis) sebagaimana dikatakan Milton Friedman.[1] Dengan hukum dan kebiasaan etis sebagai konsepsi pemikiran manusia, etika bisnis direduksi menjadi peraturan oleh pihak yang berkuasa dan populer. Tidak ada orang yang mau tempat kerjanya didominasi oleh elit agama, tetapi bukankah tempat kerja yang betul-betul sekuler hanya membuka peluang bagi bentuk-bentuk eksploitasi yang lain? Tentu saja orang percaya dapat membawa berkat-berkat kesetiaan Allah ke tempat kerja mereka tanpa mencoba menegaskan lagi hak-hak istimewa mereka sendiri.

Semua ini tidak berarti bahwa kesuksesan selalu akan menimbulkan sikap berpuas diri. Jika kita bisa mengingat bahwa kasih karunia Allah, firman Allah dan pimpinan Allah adalah dasar dari kesuksesan apa pun yang kita miliki, kita akan bersyukur, bukan berpuas diri. Lalu, kesuksesan yang kita alami dapat memuliakan Allah dan membuat kita bersukacita. Yang diperingatkan hanyalah, bahwa dalam perjalanan sejarah, kesuksesan ternyata bisa lebih berbahaya secara rohani daripada kesukaran. Musa selanjutnya juga memperingatkan bangsa Israel tentang bahaya kemakmuran di Ulangan 8:11-20.

Hukum Allah dan Penerapannya (Ulangan 4:44–30:20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ulangan dilanjutkan dengan wejangan kedua yang merupakan bagian utama kitab ini. Bagian ini berpusat pada perjanjian Allah dengan Israel, terutama pada Hukum, atau prinsip-prinsip dan perintah-perintah yang harus ditaati orang Israel. Setelah narasi pendahuluan (Ulangan 4:44-49), wejangan itu sendiri terdiri dari tiga bagian. Pada bagian pertama, Musa menguraikan tentang Sepuluh Hukum (Ulangan 5:1-11:33). Pada bagian kedua, ia menjelaskan secara rinci “ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan” yang harus dipatuhi bangsa Israel (Ulangan 12:1-26:19). Pada bagian ketiga, Musa menjelaskan berkat-berkat yang akan dialami bangsa Israel jika mereka setia memegang perjanjian, dan kutuk-kutuk yang akan menimpa mereka jika mereka tidak setia (Ulangan 27:1-28:68). Jadi, pola wejangan kedua ini pertama-tama memberikan prinsip-prinsip mengatur yang lebih luas (Ulangan 5:1-11:32), dilanjutkan dengan peraturan-peraturan khusus (Ulangan 12:1-26:19), dan disusul dengan konsekuensi-konsekuensi ketaatan atau ketidaktaatan (Ulangan 27:1-28:68).

Sepuluh Hukum (Ulangan 5:6-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sepuluh Hukum memberikan kontribusi yang sangat penting pada teologi kerja. Dasa Titah ini menjelaskan persyaratan dasar perjanjian Allah dengan Israel dan merupakan prinsip-prinsip pokok yang mengatur bangsa dan pekerjaan warganya. Penjelasan Musa dimulai dengan pernyataan yang paling mengesankan dari kitab itu, “Dengarlah hai orang Israel: TUHANLAH Allah kita, TUHAN itu esa. Kasihilah TUHAN Allahmu dengen segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5). Ketika berabad-abad kemudian diucapkan oleh Yesus, perkataan ini menjadi Hukum yang Terutama dari seluruh Alkitab. Yesus lalu menambahkan kutipan dari Imamat 19:18, “Perintah yang kedua yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:37-40). Meskipun perintah terbesar “kedua” ini tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam kitab Ulangan, kita akan melihat bahwa Sepuluh Hukum Allah benar-benar mengarahkan kita untuk mengasihi Allah dan juga sesama.

Bagian ini hampir sama dengan Keluaran 20:1-17— selain variasi tatabahasanya—kecuali perbedaan tertentu pada Hukum Keempat (tentang memelihara dan menguduskan hari Sabat), Hukum Kelima (tentang menghormati orangtua), dan Hukum Keenam (tentang mencuri). Menariknya, perbedaan dalam perintah-perintah ini justru berbicara tentang kerja. Kita akan mengulangi tafsiran dari kitab Keluaran dan Kerja di sini, dengan tambahan yang menjelaskan perbedaan-perbedaan antara yang tertulis dalam kitab Keluaran dan kitab Ulangan.

“Jangan Ada padamu Ilah Lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3; Ulangan 5:7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum/Perintah pertama mengingatkan kita bahwa semua yang ada dalam kitab Taurat muncul dari kasih kita kepada Allah, yang merupakan tanggapan terhadap kasih-Nya pada kita. Kasih ini ditunjukkan Allah dengan membebaskan Israel “dari tempat perbudakan” di Mesir (Ulangan 5:6). Tidak ada hal lain dalam hidup ini yang boleh kita perhatikan lebih daripada kerinduan kita untuk mengasihi dan dikasihi Allah. Jika kita memiliki ketertarikan lain yang lebih kuat dari kasih kita kepada Allah, hal itu memang tidak separah jika kita melanggar perintah Allah, tetapi kita tidak akan bisa benar-benar berelasi baik dengan Dia. Perhatian/ketertarikan yang lain itu – entah itu pada uang, kekuasaan, keamanan, pengakuan, seks atau apa pun yang lain—telah menjadi berhala kita. Ilah palsu ini memiliki perintah-perintah sendiri yang bertentangan dengan perintah Allah, dan kita tak ayal akan melanggar Hukum Taurat jika kita mengikuti syarat-syarat dari ilah ini. Menghormati Sepuluh Hukum Allah hanya dapat dipahami oleh orang yang tidak menyembah ilah lain selain TUHAN.

Di dunia kerja, ini berarti kita tidak boleh membiarkan pekerjaan atau kewajiban dan hasil kerja menggantikan Allah sebagai pusat perhatian utama hidup kita. “Jangan sekali-kali membiarkan siapa pun atau apa pun mengancam posisi sentral Allah dalam hidup Anda,” demikian dikatakan David Gill. [1]

Because many people work primarily to make money, an inordinate desire for money is probably the most common work-related danger to the first commandment. Jesus warned of exactly this danger: “No one can serve two masters….You cannot serve God and wealth” (Matt. 6:24). But almost anything related to work can become twisted in our desires to the point that it interferes with our love for God. How many careers come to a tragic end because the means to accomplish things for the love of Godsuch as political power, financial sustainability, commitment to the job, status among peers, or superior performance—become ends in themselves? When, for example, recognition on the job becomes more important than character on the job, is this not a sign that reputation is displacing the love of God as the ultimate concern?

“Jangan Membuat Bagimu Berhala” (Keluaran 20:4; Ulangan 5:8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kedua mengangkat isu tentang penyembahan berhala. Berhala adalah ilah-ilah sesembahan ciptaan kita sendiri, ilah-ilah yang kita pikir akan memberikan yang kita inginkan. Pada zaman dahulu, penyembahan berhala sering berupa menyembah benda-benda fisik, sesuatu yang berujud. Padahal inti permasalahan sebenarnya adalah kepercayaan dan ketaatan. Pada apa/siapa kita akhirnya menggantungkan harapan kita untuk kesejahteraan dan kesuksesan? Apa pun yang tidak dapat memenuhi harapan kita—artinya, apa pun selain Allah – adalah berhala, entah itu berupa benda fisik atau tidak. Kisah tentang keluarga yang membuat berhala dengan tujuan memanipulasi Allah, serta dampak-dampak mengerikan yang diakibatkannya pada kehidupan pribadi, sosial dan ekonomi, diceritakan dengan mengesankan di kitab Hakim-hakim 17-21.

Di dunia kerja, berbicara bahwa uang, ketenaran dan kekuasaan bisa menjadi berhala adalah hal yang umum dan memang benar. Hal-hal itu sendiri pada dasarnya bukan berhala, dan bahkan bisa diperlukan dalam kita menjalankan peran-peran kita dalam karya kreatif dan penebusan Allah di dunia ini. Namun, jika kita berpikir bahwa dengan mencapai hal-hal itu, keamanan dan kemakmuran kita akan terjamin, kita sudah mulai jatuh ke dalam penyembahan berhala. Penyembahan berhala dimulai ketika kita lebih menaruh kepercayaan dan harapan kita pada hal-hal ini daripada Allah. Hal yang sama bisa terjadi pada hampir semua unsur kesuksesan lainnya, seperti persiapan, kerja keras, kreativitas, risiko, kekayaan dan sumber-sumber lainnya, dan bahkan juga kesempatan. Apakah kita dapat menyadari jika kita mulai memberhalakan hal-hal ini? Dengan kasih karunia Allah, kita dapat mengatasi godaan untuk menyembah hal-hal lain yang menggantikan Allah.

“Jangan Menyebut Nama TUHAN Allahmu untuk Disalahgunakan” (Keluaran 20:7; Ulangan 5:11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Ketiga secara harfiah melarang umat Allah “menyalahgunakan” nama Allah. Larangan ini bukan hanya dalam menyebut nama “YHWH” (Ulangan 5:11), tetapi juga nama “Allah,” “Yesus,” “Kristus,” dan sebagainya. Namun, apa maksudnya menyalahgunakan? Ini tentu saja mencakup penyalahgunaan yang tidak sopan untuk mengumpat, memfitnah dan menghujat. Namun, yang lebih penting, penyalahgunaan itu mencakup sikap/tindakan mengaitkan rancangan manusia secara salah dengan rancangan Allah. Ini berarti kita dilarang mengeklaim otoritas Allah atas tindakan dan keputusan kita sendiri. Sayangnya, sebagian orang Kristen tampaknya percaya bahwa menaati Allah di tempat kerja terutama berarti berbicara atas nama Allah menurut pengertian mereka sendiri, bukan bekerja dengan hormat bersama orang lain atau bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka. “Itu kehendak Allah bahwa…,” atau “Allah menghukum engkau atas…,” adalah perkataan-perkataan yang berbahaya dan hampir tak bisa dibenarkan jika diucapkan oleh orang yang tidak disertai kepekaan komunitas iman (1 Tesalonika 5:20-21). Mengingat hal ini, mungkin sikap orang Yahudi kuno yang tidak berani mengucapkan bahkan terjemahan kata “ALLAH”—apalagi nama YHWH itu sendiri—menunjukkan hikmat yang seringkali tidak dimiliki orang Kristen. Andai saja kita sedikit lebih berhati-hati dalam menggunakan kata Allah, kita mungkin akan lebih bijaksana untuk mengeklaim mengetahui kehendak Allah, apalagi jika diterapkan pada orang lain.

Hukum Ketiga juga mengingatkan kita bahwa menghormati nama manusia itu penting bagi Allah. Gembala yang Baik “memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya” (Yohanes 10:3), seraya mengingatkan bahwa “siapa yang menyebut orang lain ‘jahil’ harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Matius 5:22). Mengingat hal ini, kita tidak boleh menyebut nama orang lain dengan sembarangan atau memanggil mereka dengan julukan yang tidak sopan. Kita menyalahgunakan nama orang lain ketika kita memakainya untuk mengumpat, merendahkan, menindas, mengucilkan, atau menipu. Kita menggunakan nama orang lain dengan baik ketika kita memakainya untuk memberi semangat, berterima kasih, membangun solidaritas, dan menyambut. Mengenal dan menyebut nama orang lain saja sudah menyatakan berkat, apalagi jika orang itu sering diperlakukan seperti orang tanpa nama, tak terlihat, atau tidak penting. Tahukah Anda nama orang yang mengosongkan tempat sampah Anda, menjawab panggilan telepon Anda di nomor layanan pelanggan, atau mengemudikan bus yang Anda tumpangi? Nama manusia memang bukan nama Allah, tetapi nama itu adalah nama orang yang diciptakan menurut gambar-Nya.

“Pelihara dan Kuduskanlah Hari Sabat” (Keluaran 20:8-11; Ulangan 5:12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Topik tentang hari Sabat ini rumit, bukan saja di dalam kitab-kitab Ulangan, Keluaran dan Perjanjian Lama, tetapi juga di dalam teologi dan penerapan Kristen. Bagaimana tepatnya penerapan Hukum Keempat - memelihara dan menguduskan hari Sabat - pada orang-orang percaya non-Yahudi sudah menjadi bahan perdebatan sejak zaman Perjanjian Baru (Roma 14:5-6). Namun, prinsip umum tentang hari Sabat berlaku secara langsung pada masalah kerja.

Hari Sabat dan Pekerjaan Yang Kita Lakukan (Ulangan 5:13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian pertama dari Hukum Keempat memanggil kita untuk berhenti bekerja satu hari dalam seminggu/tujuh hari. Di satu sisi, ini adalah anugerah yang tiada taranya bagi bangsa Israel. Tidak ada bangsa kuno lainnya yang mendapat hak istimewa untuk beristirahat satu hari dalam seminggu. Di sisi lain, hal ini membutuhkan kepercayaan luar biasa akan pemeliharaan Allah. Enam hari kerja harus cukup untuk merawat tanaman, mengumpulkan tuaian, mengangkut air, memintal kain, dan mencari makanan dari sumber alam. Sementara bangsa Israel beristirahat satu hari setiap minggunya, bangsa-bangsa di sekelilingnya terus membuat pedang, panah, dan melatih para tentara. Bangsa Israel harus percaya bahwa Allah tidak akan membiarkan satu hari beristirahat ini menjadi bencana ekonomi dan militer.

Kita menghadapi masalah yang sama dalam hal kepercayaan akan pemeliharaan Allah saat ini. Jika kita mengindahkan perintah Allah untuk mematuhi siklus bekerja dan beristirahat Allah sendiri, apakah kita akan mampu bersaing dalam perekonomian modern? Apakah diperlukan tujuh hari kerja untuk menangani satu pekerjaan (atau dua atau tiga pekerjaan), membersihkan rumah, menyiapkan makanan, memotong rumput, mencuci mobil, membayar tagihan, menyelesaikan tugas sekolah, dan berbelanja pakaian, atau dapatkah kita percaya bahwa Allah akan memelihara kita meskipun kita mengambil satu hari istirahat setiap minggunya? Dapatkah kita meluangkan waktu untuk menyembah Allah, berdoa, dan bersekutu dengan orang lain untuk belajar dan saling menguatkan, dan jika kita dapat melakukannya, apakah hal itu akan membuat kita lebih atau kurang produktif secara keseluruhan? Hukum Keempat tidak menjelaskan bagaimana Allah akan membuat semuanya berhasil bagi kita. Perintah ini hanya memanggil kita untuk beristirahat satu hari setiap tujuh hari.

Orang Kristen, dengan beberapa pengecualian yang signifikan, biasanya memindahkan hari istirahat ini ke Hari Tuhan (hari Minggu, hari kebangkitan Kristus), tetapi inti dari perintah hari Sabat bukanlah memilih satu hari tertentu dalam seminggu (Roma 14:5-6). Polaritas yang benar-benar mendasari perintah hari Sabat adalah bekerja dan beristirahat. Baik bekerja maupun beristirahat tercakup dalam Hukum Keempat. “Enam hari lamanya kamu akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu” (Ulangan 5:13). Enam hari bekerja sama pentingnya dengan satu hari beristirahat dalam perintah itu. Sementara banyak orang Kristen berada dalam bahaya membiarkan pekerjaan mengambil waktu yang ditetapkan untuk beristirahat, sebagian lainnya berada dalam bahaya yang sebaliknya—melalaikan pekerjaan dan mencoba menjalani kehidupan dengan santai dan bermalas-malasan. Yang ini bahkan lebih buruk dari mengabaikan hari Sabat, karena “jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman” (1 Timotius 5:8). Yang kita butuhkan adalah waktu dan kesempatan untuk bekerja dan beristirahat, yang sama-sama baik untuk kita, keluarga kita, para pekerja, dan tamu-tamu kita. Beristirahat ini bisa berarti selama dua puluh empat jam terus-menerus pada hari Minggu (atau Sabtu), bisa juga tidak. Proporsinya bisa berubah-ubah tergantung kebutuhan saat itu atau perubahan kebutuhan musim kehidupan.

Jika bekerja berlebihan merupakan bahaya utama kita, kita perlu mencari cara untuk menghormati Hukum Keempat tanpa perlu membentuk legalisme baru yang palsu yang mempertentangkan antara yang rohani (beribadah pada hari Minggu) dengan yang sekuler (bekerja pada hari Senin sampai Sabtu). Jika menghindari kerja adalah bahaya kita, kita perlu belajar menemukan sukacita dan makna dalam bekerja sebagai pelayanan kepada Allah dan sesama (Efesus 4:28).

Hari Sabat dan Pekerjaan Yang Dilakukan Orang Lain untuk Kita
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dari beberapa perbedaan di antara kedua versi Sepuluh Hukum, sebagian besar berupa tambahan pada Hukum Keempat di kitab Ulangan. Pertama, daftar yang tidak boleh dipaksa bekerja pada hari Sabat diperluas sampai kepada “lembumu atau keledaimu dan segala hewanmu” (Ulangan 5:14a). Kemudian, alasan tidak boleh memaksa hamba-hamba bekerja pada hari Sabat diberikan: “Supaya hambamu laki-laki atau perempuan beristirahat seperti engkau juga. Haruslah kauingat bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir” (Ulangan 5:14b-15a). Akhirnya, ada tambahan pengingat bahwa kemampuan untuk beristirahat dengan tenang di tengah persaingan militer dan ekonomi bangsa-bangsa lain adalah anugerah Allah, yang melindungi Israel “dengan tangan yang kuat dan lengan teracung” (Ulangan 5:15b).

Perbedaan penting dari kedua teks perintah ini adalah dasar landasannya: yang satu didasarkan pada penciptaan (teks dalam kitab Keluaran) dan yang lain pada penebusan (teks dalam kitab Ulangan). Di kitab Keluaran, hari Sabat didasarkan pada enam hari penciptaan yang diikuti dengan satu hari istirahat (Kejadian 1:3-2:3). Kitab Ulangan menambahkan unsur penebusan Allah. “TUHAN, Allahmu, [telah membawa engkau keluar dari sana] dengan tangan yang kuat dan lengan teracung. Itulah sebabnya TUHAN, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat” (Ulangan 5:15). Dengan menggabungkan keduanya, kita menemukan bahwa dasar landasan untuk memelihara hari Sabat adalah cara Allah menciptakan kita dan juga cara Dia menebus kita.

Tambahan-tambahan ini menegaskan kepedulian Allah terhadap orang-orang yang bekerja di bawah otoritas orang lain. Bukan hanya Anda yang perlu beristirahat, orang-orang yang bekerja untuk Anda—hamba-hamba, orang-orang lainnya, bahkan hewan pekerja —juga perlu diberi istirahat. Jika Anda “ingat bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir,” Anda akan diingatkan untuk tidak hanya menikmati hak untuk beristirahat Anda sendiri, tetapi juga untuk memberikan istirahat kepada orang lain sebagaimana Allah memberikannya pada Anda. Tak peduli apa pun agama yang mereka anut atau apa pun yang akan mereka lakukan dengan waktu istirahat itu. Mereka adalah para pekerja, dan Allah memerintahkan untuk memberikan waktu istirahat kepada orang-orang yang bekerja. Kita mungkin biasa berpikir bahwa memelihara hari Sabat berarti memberi istirahat pada diri kita, tetapi seberapa banyak kita berpikir untuk memberi istirahat kepada orang-orang yang bekerja untuk melayani kita? Banyak orang yang bekerja pada jam-jam yang mengganggu relasi-relasi mereka, irama tidur mereka, dan kesempatan-kesempatan sosial mereka, agar dapat membuat hidup lebih menyenangkan bagi orang lain.

Hukum Sabat yang disebut “blue laws” ini, yang pernah melindungi masyarakat—atau menghalangi masyarakat, tergantung sudut pandang Anda—dari bekerja sepanjang waktu sudah hilang di banyak negara maju. Hal ini memang membuka banyak kesempatan baru bagi para pekerja maupun orang-orang yang dilayani. Namun, apakah ini merupakan hal yang selalu harus kita ikuti? Ketika kita berbelanja pada larut malam, bermain golf pada hari Minggu pagi, atau menonton pertandingan olahraga yang berlangsung sampai dinihari, apakah kita memikirkan efeknya pada orang-orang yang bekerja pada waktu-waktu itu? Mungkin tindakan kita membantu menciptakan kesempatan kerja yang tidak/belum ada, tetapi mungkin juga kita sebenarnya hanya membuat orang harus bekerja pada waktu-waktu yang tidak semestinya.

Jaringan restoran cepat saji Chick-fil-A terkenal karena tutup pada hari Minggu. Hal ini sering diasumsikan sebagai akibat penafsiran pendirinya, Truett Cathy, tentang Hukum Keempat. Namun, menurut situs web perusahaan itu, “Keputusannya bersifat praktis dan rohani. Ia percaya bahwa semua operator dan karyawan restoran waralaba Chick-fil-A harus mendapat kesempatan untuk beristirahat, menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman, dan beribadah jika mereka mau.” Membaca Hukum Keempat sebagai cara memerhatikan orang-orang yang bekerja untuk Anda tentu saja merupakan interpretasi tertentu, tetapi jelas bukan interpretasi yang legalistik atau sektarian. Hal ini memang rumit, dan tidak ada satu jawaban yang tepat untuk semua. Namun, sebagai konsumen dan (dalam kasus tertentu) sebagai pemberi kerja, kita punya pilihan untuk dapat memengaruhi jam kerja dan kondisi kerja dan istirahat orang lain.

“Hormatilah Ayahmu dan Ibumu” (Keluaran 20:12; Ulangan 5:16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kelima memerintahkan kita untuk menghormati otoritas paling dasar di antara semua manusia, yaitu otoritas orangtua terhadap anak. Dengan kata lain, menjadi orangtua adalah salah satu pekerjaan paling penting yang ada di dunia, yang patut dan harus mendapat penghormatan terbesar. Ada banyak cara untuk menghormati—atau tidak menghormati—ayah dan ibu. Pada zaman Yesus, orang-orang Farisi ingin membatasinya dengan hanya berbicara baik tentang mereka. Namun, Yesus menunjukkan bahwa menaati perintah ini memerlukan usaha untuk memelihara atau merawat orangtua (Markus 7:9-13). Kita menghormati mereka dengan bekerja untuk kebaikan mereka.

Bagi banyak orang, relasi yang baik dengan orangtua merupakan salah satu kebahagiaan hidup. Melayani orangtua dengan penuh kasih merupakan kesenangan dan menaati perintah ini menjadi mudah. Namun, kita akan diuji oleh perintah ini ketika kita merasa terbebani untuk bekerja bagi orangtua. Mungkin kita pernah diperlakukan buruk atau diabaikan oleh mereka. Mereka mungkin suka mendominasi atau ikut campur. Berada di dekat mereka mungkin rasanya seperti melemahkan diri kita, komitmen kita terhadap pasangan (termasuk berbagai tanggung jawab kita dalam Hukum Kelima), bahkan relasi kita dengan Tuhan. Dan, meskipun kita memiliki relasi yang baik dengan orangtua, mungkin ada juga saatnya ketika merawat mereka menjadi beban yang sangat berat karena waktu dan tenaga yang diperlukan. Jika penuaan atau demensia mulai merampas ingatan, kemampuan, dan sifat baik mereka, merawat orangtua bisa menjadi kesedihan yang mendalam.

Namun perintah kelima diberikan dengan sebuah janji: “supaya kamu hidup lama dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Ulangan 5:16). Melalui penghormatan yang tepat kepada orangtua, anak-anak belajar menghormati dengan tepat semua relasi-relasi lainnya, termasuk relasi-relasi di tempat kerja mereka kemudian. Mematuhi perintah ini memungkinkan kita panjang umur dan hidup dalam keadaan baik, karena memiliki relasi dengan penghormatan dan otoritas yang tepat sangat penting untuk keberhasilan individu dan ketertiban masyarakat.

Karena Hukum ini adalah perintah untuk bekerja bagi kepentingan orangtua, Hukum ini tak terpisahkan dengan perintah tentang kerja. Tempat kerja bisa menjadi tempat kita mencari uang untuk menopang kehidupan mereka, atau bisa juga menjadi tempat kita membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama tentang kerja. Ketika kita menerima suatu pekerjaan karena hal itu memungkinkan kita untuk tinggal dekat dengan orangtua, atau bisa mengirim uang untuk mereka, atau dapat memakai nilai-nilai dan talenta yang mereka kembangkan dalam diri kita, atau melakukan hal-hal penting yang mereka ajarkan pada kita, kita sedang menghormati mereka. Ketika kita membatasi karier kita agar kita dapat bersama dengan mereka, mencuci dan memasak untuk mereka, memandikan dan memeluk mereka, mengajak mereka ke tempat-tempat yang mereka sukai, atau meredakan ketakutan-ketakutan mereka, kita sedang menghormati mereka.

Jadi, orangtua itu berhak dan pantas dipercayai, dihormati, dan ditaati. Membesarkan anak adalah salah satu bentuk pekerjaan, dan tidak ada tempat kerja lain yang menuntut standar kepercayaan, belas kasih, keadilan, dan kejujuran yang lebih tinggi daripada pekerjaan ini. Seperti dikatakan Rasul Paulus, “Hai bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4). Hanya oleh kasih karunia Allah kita bisa berharap dapat melayani dengan baik sebagai orang tua, satu indikasi lagi bahwa menyembah Allah dan taat pada kehendak-Nya mendasari seluruh kitab Ulangan.

Di tempat kerja, kita bisa menolong orang lain mematuhi Hukum Kelima, sebagaimana kita sendiri mematuhinya. Kita bisa ingat bahwa karyawan, pelanggan, rekan kerja, atasan, pemasok, dan orang-orang lainnya juga memiliki keluarga, dan kemudian menyesuaikan ekspektasi-ekspektasi kita untuk mendukung mereka dalam menghormati keluarga mereka. Ketika orang lain menceritakan atau mengeluhkan tentang pergumulannya dengan orangtua, kita dapat mendengarkannya dengan berbelas kasih, memberi dukungan secara praktis (misalnya, dengan menawarkan untuk menggantikan giliran kerjanya agar ia dapat bersama orangtuanya), atau mungkin mengemukakan perspektif yang baik untuk dipertimbangkan. Sebagai contoh, jika rekan kerja yang berfokus pada karier menceritakan krisis keluarganya, kita punya kesempatan untuk mendoakan keluarga itu dan juga menyarankan agar rekan kita itu memikirkan lagi untuk menyeimbangkan waktu antara karier dan keluarga.

“Jangan Membunuh” (Keluaran 20:13; Ulangan 5:17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sayangnya, Hukum Keenam memiliki penerapan yang terlalu praktis di tempat kerja masa kini, di mana 10 persen dari seluruh kematian yang terkait-pekerjaan (di Amerika Serikat) adalah pembunuhan.[1]

Dan memperingatkan pembaca tulisan ini agar “Jangan membunuh siapa pun di tempat kerja,” tampaknya tidak akan banyak mengubah statistik itu.

Namun, pembunuhan bukanlah satu-satunya bentuk kekerasan di tempat kerja, hanya yang paling ekstrem saja. Pelajaran yang lebih praktis muncul ketika kita mengingat bahwa Yesus berkata, kemarahan pun merupakan pelanggaran terhadap Hukum Keenam (Matius 5:21-22). Seperti dikatakan rasul Paulus, kita mungkin tidak dapat mencegah rasa marah, tetapi kita dapat belajar mengatasi amarah kita. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah berbuat dosa; janganlah matahari terbenam sebelum padam kemarahanmu” (Efesus 4:26). Jadi, implikasi paling signifikan dari Hukum Keenam di tempat kerja barangkali adalah, “Jika Anda menjadi marah di tempat kerja, carilah bantuan untuk mengelola amarah.” Banyak perusahaan, gereja, negara dan pemerintah setempat, serta lembaga-lembaga nirlaba menawarkan kelas-kelas dan konseling untuk mengelola amarah. Memanfaatkan kesempatan-kesempatan ini bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk mematuhi Hukum Keenam.

Membunuh adalah menyebabkan kematian seseorang dengan sengaja, tetapi kasus hukum yang muncul dari Hukum Keenam menunjukkan bahwa kita juga berkewajiban untuk mencegah kematian yang tidak disengaja. Kasus yang paling jelas adalah ketika seekor lembu jantan (hewan pekerja) menyeruduk seorang laki-laki atau perempuan sampai mati (Keluaran 21:28-29). Jika terjadinya peristiwa itu sudah bisa diperkirakan, pemilik lembu akan diperlakukan sebagai pembunuh. Dengan kata lain, pemilik/manajer bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan kerja yang wajar di tempat kerja. Prinsip ini sudah ditetapkan dalam undang-undang banyak negara, dan keselamatan kerja menjadi pokok permasalahan yang penting dalam berbagai peraturan pemerintah, regulasi kendali-diri industri, serta kebijakan dan praktik organisasi. Namun masih banyak tempat kerja yang mewajibkan atau membiarkan para pekerjanya bekerja dalam kondisi tidak aman yang tidak perlu. Orang ​​Kristen yang memiliki peran dalam pengaturan kondisi kerja, pengawasan pekerja, atau percontohan tindakan di tempat kerja diingatkan oleh Hukum Keenam bahwa kondisi kerja yang aman merupakan salah satu tanggung jawab mereka yang tertinggi di dunia kerja.

“Jangan Berzinah” (Keluaran 20:14; Ulangan 5:18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tempat kerja adalah salah satu tempat perzinahan yang paling umum, tidak selalu karena perzinahan itu sendiri terjadi di tempat kerja itu, tetapi bisa jadi akibat dari kondisi-kondisi kerja dan relasi-relasi dengan rekan kerja. Jadi, penerapan pertama Hukum ini di tempat kerja benar-benar secara harfiah. Orang yang menikah tidak boleh berhubungan seks dengan orang yang bukan pasangannya di tempat kerja, dalam bekerja, atau karena pekerjaannya. Beberapa profesi seperti prostitusi dan pornografi hampir selalu melanggar perintah ini, karena mereka hampir selalu menuntut seks di antara orang yang menikah dengan orang lain. Namun, segala pekerjaan apa pun yang menggerogoti ikatan perkawinan melanggar Hukun Ketujuh. Ada banyak cara hal ini bisa terjadi. Pekerjaan bisa menimbulkan ikatan emosional yang kuat di antara rekan-rekan kerja tanpa mampu mendukung komitmen mereka terhadap pasangan masing-masing, seperti yang bisa terjadi di rumah sakit, bidang wirausaha, lembaga akademik, gereja, dan tempat-tempat lainnya. Kondisi kerja bisa membuat orang berdekatan secara fisik dalam waktu lama atau tidak dapat membuat batasan yang wajar pada saat pertemuan-pertemuan di luar, seperti yang bisa terjadi pada tugas-tugas lapangan jangka panjang. Pekerjaan bisa membuat orang mengalami pelecehan seksual dan tekanan untuk berhubungan seks dengan orang yang memegang kekuasaan di atas mereka. Pekerjaan bisa meningkatkan ego atau membuat orang disanjung secara berlebihan, seperti yang bisa terjadi pada selebriti, atlet terkenal, pengusaha sukses, pejabat tinggi pemerintah, dan orang super kaya. Pekerjaan bisa menuntut begitu banyak waktu berjauhan—secara fisik, mental, atau emosional—sehingga melemahkan ikatan di antara pasangan pernikahan. Semua ini bisa menjadi bahaya-bahaya yang sebaiknya dikenali dan dihindari, diperbaiki, atau diwaspadai oleh orang Kristen.

“Jangan Mencuri” (Keluaran 20:15; Ulangan 5:19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kedelapan adalah perintah lainnya yang menjadikan kerja sebagai subyek utamanya. Mencuri adalah pelanggaran terhadap kerja yang benar karena mencuri berarti merampas hasil kerja korbannya. Mencuri juga merupakan pelanggaran terhadap perintah untuk bekerja enam hari seminggu, karena dalam banyak kasus mencuri dimaksudkan sebagai jalan pintas dari bekerja yang jujur, yang menunjukkan lagi tentang adanya saling-keterkaitan di antara Sepuluh Hukum. Jadi, kita bisa menerimanya sebagai perkataan/perintah Allah bahwa kita tidak boleh mencuri dari orang yang bekerja untuk, bersama, atau di antara kita.

Kata “mencuri” menyiratkan adanya suatu kepemilikan dan hak kepemilikan. Hanya ada tiga cara untuk kita memiliki sesuatu—dengan membuatnya sendiri, dengan bertukar barang dan jasa secara sukarela dengan orang lain (perdagangan atau pemberian), atau dengan perampasan. Mencuri adalah bentuk perampasan yang paling mencolok, ketika seseorang mengambil milik orang lain dan melarikan diri. Namun, perampasan juga terjadi dalam skala yang lebih besar dan lebih canggih, seperti ketika sebuah perusahaan menipu pelanggannya, atau pemerintah membebankan pajak yang “mencekik” rakyatnya. Institusi-institusi seperti ini tidak menghormati hak-hak kepemilikan. Di sini memang bukan tempatnya untuk membahas perdagangan yang adil versus yang monopolistik, atau penarikan pajak yang benar versus yang berlebihan. Namun, Hukum Kedelapan menyatakan bahwa, tidak ada masyarakat yang bisa berkembang pesat jika hak-hak kepemilikan dilanggar dengan kekebalan hukum individu-individu, geng-geng kriminal, perusahaan-perusahaan, atau pemerintahnya.

Secara praktisnya ini berarti bahwa mencuri bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan merampas milik orang lain. Setiap kali kita memperoleh sesuatu yang berharga dari pemiliknya yang sah tanpa persetujuan, kita sedang terlibat pencurian. Menyelewengkan sumber daya atau dana tertentu untuk kepentingan pribadi adalah pencurian. Memakai tipu daya dalam melakukan penjualan, mendapatkan pangsa pasar, atau menaikkan harga adalah pencurian, karena melalui tipu daya itu berarti apa pun yang disetujui pembeli bukanlah hal yang sebenarnya. (Untuk informasi lebih lanjut tentang bagian ini lihat “Puffery/Exaggeration” dalam Truth and Deception di https://www.teologikerja.org/). Demikian pula, mengambil keuntungan dengan memanfaatkan ketakutan, kelemahan, ketidakberdayaan, atau keputusasaan orang lain adalah bentuk pencurian, karena persetujuan mereka tidak benar-benar sukarela. Melanggar hak paten, hak cipta, dan undang-undang kekayaan intelektual lainnya adalah pencurian karena hal itu membuat pemilik tidak mendapatkan keuntungan yang semestinya atas karya ciptaannya sesuai ketentuan hukum.

Menghormati kepemilikan dan hak-hak orang lain berarti kita tidak mengambil yang menjadi milik mereka atau mencampuri urusan mereka. Namun, ini tidak berarti kita hanya peduli pada diri sendiri saja. Ulangan 22:1 berkata, “Apabila engkau melihat lembu atau domba saudaramu tersesat, janganlah engkau pura-pura tidak tahu. Haruslah engkau mengembalikannya kepada saudaramu itu.” Pepatah “Itu bukan urusanku” bukanlah alasan untuk bersikap tidak peka.

​Sayangnya, banyak pekerjaan tampaknya mengandung unsur memanfaatkan ketidaktahuan atau kekurangan pilihan orang lain untuk memaksa mereka melakukan transaksi yang sebenarnya tidak mereka setujui. Perusahaan, pemerintah, perorangan, serikat pekerja, dan pelaku lainnya dapat memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memaksa orang lain menerima upah, harga, persyaratan kontrak, kondisi kerja, jam kerja, atau faktor-faktor lain yang tidak adil. Meskipun kita tidak merampok bank, mencuri di tempat kerja, atau mengutil di pusat perbelanjaan, kita bisa saja berpartisipasi dalam tindakan-tindakan tidak adil atau tidak etis yang merampas hak orang lain. Menolak terlibat dalam praktik-praktik semacam ini mungkin sulit, bahkan bisa menghambat karier, tetapi bagaimanapun kita dipanggil untuk jangan mencuri.

“Jangan Memberikan Kesaksian Palsu terhadap Sesamamu” (Keluaran 20:16; Ulangan 5:20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kesembilan menghormati hak reputasi seseorang.[1] Penerapannya yang jelas dapat ditemukan dalam proses-proses hukum di mana apa yang dikatakan orang menunjukkan realitas dan menentukan jalan hidup. Keputusan pengadilan dan proses hukum lainnya memiliki kekuatan besar. Memanipulasinya berarti melemahkan struktur etika masyarakat dan dengan demikian merupakan pelanggaran serius. Walter Brueggemann berkata, perintah ini mengakui “bahwa kehidupan masyarakat tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang membuat publik percaya bahwa realitas sosial akan dijelaskan dan dilaporkan secara dapat dipercaya.”[2] Meskipun dinyatakan dalam bahasa persidangan, Hukum Kesembilan juga berlaku dalam berbagai situasi yang berkaitan dengan hampir semua aspek kehidupan. Kita tidak boleh mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah-menggambarkan tentang orang lain. Brueggemann lagi-lagi memberikan pandangan:

“Para politisi berusaha saling menjatuhkan melalui kampanye negatif; para kolumnis gosip menyajikan fitnah; dan di ruang-ruang keluarga Kristen, reputasi-reputasi dicemarkan atau dihancurkan di sela-sela kopi disajikan dalam cangkir porselen mewah dan makanan pencuci mulut. Persidangan-persidangan de facto ini diadakan tanpa proses hukum yang semestinya. Tuduhan-tuduhan dibuat; desas-desus dibiarkan; fitnah, sumpah palsu, dan komentar-komentar yang mencemarkan nama baik diucapkan tanpa keberatan. Tidak ada bukti, tidak ada pembelaan. Sebagai orang Kristen, kita harus menolak untuk berpartisipasi atau menoleransi segala percakapan yang membuat orang tercemar atau tertuduh tanpa orang itu berada di sana untuk membela diri. Meneruskan desas-desus dalam bentuk apa pun tidaklah benar, sekalipun itu dalam bentuk permohonan doa atau perhatian pastoral. Lebih dari sekadar menolak untuk berpartisipasi, orang Kristen harus menghentikan gosip dan orang-orang yang menyebarkannya di jalur mereka.” [3]

Hal ini semakin menunjukkan bahwa gosip di tempat kerja adalah pelanggaran serius. Beberapa di antaranya berkaitan dengan masalah di luar kantor yang bersifat pribadi, yang cukup jahat. Namun, bagaimana dengan kasus karyawan yang merusak reputasi rekan kerja? Mungkinkah yang diungkapkan itu benar-benar kebenaran jika orang yang dibicarakan saja tidak ada di sana untuk berbicara bagi dirinya sendiri? Lalu bagaimana dengan penilaian kinerja? Pengaman apa saja yang diperlukan untuk memastikan bahwa laporan-laporan itu adil dan akurat? Pada skala besar, bisnis pemasaran dan periklanan beroperasi di ruang publik di antara berbagai organisasi dan individu. Dalam rangka menunjukkan produk dan jasanya sebaik dan semenarik mungkin, sejauh mana orang boleh menunjuk kekurangan dan kelemahan pesaing tanpa menyertakan perspektif mereka? Mungkinkah hak “sesamamu” termasuk hak perusahaan lain? Jangkauan ekonomi global kita menunjukkan bahwa perintah ini memang bisa memiliki penerapan yang luas.

Perintah ini secara spesifik melarang untuk berbicara tidak benar tentang orang lain, yang lalu menimbulkan pertanyaan: apakah kita harus mengatakan kebenaran dalam segala situasi. Apakah membuat laporan keuangan palsu atau fiktif itu merupakan pelanggaran terhadap Hukum Kesembilan? Bagaimana dengan pernyataan-pernyataan iklan yang dibesar-besarkan, meskipun tidak secara terang-terangan merendahkan para pesaing? Bagaimana dengan jaminan-jaminan dari manajemen yang menyesatkan karyawan tentang kemungkinan PHK? Di dunia di mana persepsi sering diperhitungkan sebagai realitas, retorika persuasi mungkin tidak terlalu memerhatikan kebenaran. Namun, sumber ilahi Hukum Kesembilan mengingatkan kita bahwa Allah tidak dapat dipermainkan. Pada saat yang sama, kita sadar bahwa kebohongan kadang juga dilakukan, diterima, dan bahkan disetujui dalam Alkitab. Teologi yang lengkap tentang kebenaran dan kebohongan didasarkan pada ayat-ayat yang meliputi, meski tidak terbatas pada, Hukum Kesembilan. (Untuk pembahasan yang jauh lebih lengkap tentang topik ini, termasuk apakah larangan “memberi kesaksian palsu terhadap sesamamu” mencakup segala bentuk kebohongan dan penipuan, lihat Kebenaran & Kebohongan di https://www.teologikerja.org/).

“Jangan Mengingini … Apa pun Milik Sesamu” (Keluaran 20:17; Ulangan 5:21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukum Kesepuluh melarang mengingini “apa pun milik sesamamu” (Ulangan 5:21). Kita tidak salah jika memerhatikan barang-barang milik sesama, atau bahkan ingin memperolehnya sendiri secara sah. Mengingini terjadi ketika orang melihat kemakmuran, prestasi, atau bakat orang lain, lalu merasa gusar, ingin merebut, atau ingin menghukum orang yang berhasil itu. Yang dilarang adalah keinginan yang bisa mengancam/membahayakan orang lain atau “sesamamu” itu - bukan keinginan untuk memiliki sesuatu.

Kita bisa mendapat inspirasi dari kesuksesan orang lain, atau bisa juga jadi mengingini. Sikap pertama memicu kerja keras dan kehati-hatian. Sikap kedua menimbulkan kemalasan, memunculkan alasan-alasan kegagalan, dan memicu tindakan perampasan. Kita tidak akan pernah berhasil jika kita meyakinkan diri sendiri bahwa hidup adalah permainan “zero-sum” (jumlah keuntungan dan kerugian semua peserta dalam permainan adalah nol) dan bahwa kita akan dirugikan jika orang lain berhasil. Kita tidak akan pernah melakukan hal-hal besar jika, alih-alih bekerja keras, kita hanya berkhayal bahwa prestasi orang lain adalah prestasi kita. Di sini lagi-lagi, landasan utama Hukum ini adalah perintah untuk menyembah Allah saja. Jika Allah menjadi fokus penyembahan kita, kerinduan pada Dia akan menggantikan segala keinginan yang serakah dan tidak kudus pada hal lain, termasuk pada milik sesama kita. Seperti dikatakan Rasul Paulus, “Aku telah belajar untuk mencukupkan diri dalam segala hal” (Filipi 4:11).

Kitab Ulangan menambahkan kata “ladang” pada daftar milik sesama yang tak boleh diingini di kitab Keluaran. Seperti halnya tambahan-tambahan lain pada Sepuluh Hukum di kitab Ulangan, tambahan ini menarik perhatian ke tempat kerja. Ladang adalah tempat kerja, dan mengingini ladang berarti mengingini sumber daya produktif yang dimiliki orang lain.

Kecemburuan dan keserakahan tentu saja sangat berbahaya di tempat kerja, tempat di mana status, gaji, dan kekuasaan merupakan hal sehari-hari dalam relasi kita dengan orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama kita. Kita mungkin punya banyak alasan yang baik untuk menginginkan prestasi, kemajuan, atau ganjaran dalam bekerja. Namun, iri hati bukanlah salah satunya. Begitu pula dengan bekerja obsesif karena merasa iri dengan kedudukan sosial yang memungkinkan hal itu.

Secara khusus, kita menghadapi godaan di tempat kerja untuk secara keliru membesar-besarkan pencapaian kita dengan mengorbankan orang lain. Cara mengatasinya sederhana, meskipun kadang sulit untuk dilakukan. Bangunlah kebiasaan yang konsisten untuk mengakui pencapaian orang lain dan memberikan kepada mereka semua penghargaan yang pantas mereka terima. Jika kita bisa belajar bersukacita atas—atau setidaknya mengakui—keberhasilan orang lain, kita sudah menutup sumber perasaan iri dan tamak di tempat kerja. Bahkan lebih baik lagi jika kita bisa belajar bagaimana caranya bekerja agar kesuksesan kita berjalan seiring dengan kesuksesan orang lain, ketamakan diganti dengan kerja sama, dan iri hati diganti dengan persatuan.

Leith Anderson, mantan pendeta Gereja Wooddale di Eden Prairie, Minnesota, berkata, “Sebagai pendeta senior, saya seperti memiliki persediaan koin yang tak terbatas di saku saya. Setiap kali saya memberikan penghargaan kepada anggota staf atas idenya yang baik, memuji pekerjaan sukarelawan, atau berterima kasih pada seseorang, saya seperti menyelipkan koin dari saku saya ke saku mereka. Itulah tugas saya sebagai pemimpin, menyelipkan koin-koin dari saku saya ke saku orang lain, untuk membangun apresiasi orang lain terhadap mereka”. [1]

Ketetapan-ketetapan dan Peraturan-peraturan (Ulangan 4:44-28:68)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada bagian kedua dari wejangannya yang kedua, Musa menjelaskan secara rinci “berbagai ketetapan dan peraturan” yang diperintahkan Allah untuk ditaati orang Israel (Ulangan 6:1). Ketetapan dan peraturan ini mengatur berbagai hal, seperti perang, perbudakan, persepuluhan, hari-hari raya keagamaan, kurban persembahan, makanan yang halal, nubuat, kerajaan, dan tempat ibadah. Materi ini berisi beberapa bagian yang berbicara langsung tentang teologi kerja. Kita akan membahasnya sesuai urutannya dalam Alkitab.

Berkat Berpegang pada Perjanjian Allah (Ulangan 7:12-15; 28:2-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kalau-kalau segala perintah, ketetapan dan peraturan dalam perjanjian Allah tampaknya hanya menjadi beban bagi Israel, Musa mengingatkan bahwa tujuan utama dari semua itu adalah untuk memberkati kita.

"Apabila kamu mendengarkan peraturan-peraturan, berpegang padanya dan melakukannya, maka bagi engkau, TUHAN, Allahmu, akan berpegang pada perjanjian dan kasih setia yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu. Ia akan mengasihi engkau, memberkati engkau dan membuat engkau banyak; Ia akan memberkati buah kandunganmu dan hasil bumimu, gandum dan anggur serta minyakmu, anak lembumu dan anak kambing dombamu, di tanah yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu untuk diberikan kepadamu. (Ulangan 7:12-13)
"Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, apabila kamu mendengarkan suara TUHAN, Allahmu: Diberkatilah kamu di kota dan diberkatilah kamu di ladang. Diberkatilah buah kandunganmu, hasil tanahmu dan hasil ternakmu, baik anak lembumu maupun anak kambing dombamu. Diberkatilah bakulmu dan tempat adonanmu. Diberkatilah kamu pada waktu masuk dan diberkatilah kamu pada waktu keluar… TUHAN juga akan melimpahi kamu dengan kebaikan dalam buah kandunganmu, hasil ternakmu dan hasil tanahmu, di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu untuk diberikan kepadamu. TUHAN akan membuka bagimu langit, perbendaharaan-Nya yang melimpah, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada masanya dan memberkati segala upaya tanganmu. (Ulangan 28:2-6; 11-12)

Menaati perjanjian dimaksudkan untuk menjadi sumber berkat, kemakmuran, sukacita, dan kesehatan bagi umat Allah. Seperti dikatakan Paulus, “Hukum Taurat itu kudus, dan perintah itu juga kudus, benar dan baik” (Roma 7:12), dan “Kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10).

Hal ini jangan dikacaukan dengan yang disebut “Injil Kemakmuran,” yang secara keliru mengeklaim bahwa Allah pasti memberikan kekayaan dan kesehatan kepada orang-orang yang mendapat perkenan-Nya. Namun, ini berarti bahwa, jika umat Allah hidup menurut perjanjian-Nya, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang. Tentu saja orang Kristen mengakui bahwa kita tidak mampu mematuhi Hukum itu dengan kekuatan kita sendiri. Itu sebabnya ada perjanjian baru di dalam Kristus, yang memberikan kasih karunia Allah bagi kita melalui kematian dan kebangkitan Kristus, bukan melalui ketaatan kita sendiri. Dengan hidup dalam Kristus, kita akan mampu mengasihi dan melayani Allah, dan kita benar-benar akan menerima berkat-berkat yang dijelaskan Musa, sebagian pada saat ini, dan sepenuhnya ketika Kristus datang kembali membawa penggenapan kerajaan Allah.

Bagaimanapun, ketaatan pada perjanjian Allah adalah tema yang mencakup keseluruhan kitab Ulangan. Selain dalam tiga bagian yang panjang ini, tema ini juga tampak dalam berbagai peristiwa singkat di sepanjang kitab, dan Musa kembali ke tema ini dalam wejangan terakhirnya di akhir kehidupannya di pasal 29 dan 30.

Bahaya Kemakmuran (Ulangan 8:11-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kebalikan dari ketaatan pada Allah yang penuh sukacita adalah kesombongan yang seringkali menyertai kemakmuran. Ini serupa dengan bahaya berpuas diri yang diperingatkan Musa di Ulangan 4:25-40, tetapi dengan fokus pada kesombongan yang aktif, bukan sikap merasa berhak yang pasif.

“Jangan sampai, apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik sera mendiaminya, dan apabila lembumu dan kambing dombamu bertambah banyak, dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak, engkau menjadi tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (Ulangan 8:12-14)

Ketika, setelah bertahun-tahun bekerja keras, orang melihat bisnis, karier, proyek penelitian, membesarkan anak, atau pekerjaan lainnya berhasil, ia akan memiliki perasaan bangga yang wajar. Namun, kita bisa membiarkan perasaan bangga yang menggembirakan ini tergelincir menjadi kesombongan. Ulangan 8:17-18 mengingatkan kita, “Jangan sampai kaukatakan dalam hatimu: ‘Kuasaku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.' Namun, haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrakan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini.” Sebagai bagian dari perjanjian-Nya dengan umat-Nya, Allah memberi kita kemampuan untuk terlibat dalam produksi ekonomi. Namun, kita harus ingat bahwa ini adalah anugerah Allah. Jika kita mengaitkan kesuksesan kita sepenuhnya dengan kemampuan dan usaha kita sendiri, kita lupa bahwa Allah-lah yang memberi kemampuan itu pada kita sebagaiman halnya kehidupan itu sendiri. Kita tidak tercipta-sendiri. Ilusi tentang kemampuan mencukupi diri sendiri membuat kita keras hati. Seperti biasa, obat penawarnya adalah penyembahan yang benar dan kesadaran akan ketergantungan pada Allah (Ulangan 8:18).

Kemurahan Hati dan Berkat Allah (Ulangan 15:7-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Topik kemurahan hati muncul di Ulangan 15:7-8. “Jika ada di antaramu orang miskin,… janganlah engkau menegarkan hati atau pun menutup tangan terhadap saudaramu yang miskin itu. Sebaliknya, engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya.” Kemurahan hati dan belas kasih adalah esensi dari perjanjian itu. “Engkau harus memberi dengan limpahnya dan janganlah dengan berat hati… Sebab, oleh karena itulah TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu” (Ulangan 15:10). Pekerjaan kita hanya akan diberkati sepenuhnya jika memberkati orang lain. Seperti dikatakan Paulus, “Kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10).

Bagi banyak dari kita, uang yang dihasilkan dari kerja memberi kita sarana untuk bermurah hati. Apakah kita benar-benar menggunakannya dengan murah hati? Selain itu, adakah cara-cara agar kita dapat bermurah hati dalam pekerjaan itu sendiri? Bagian ini berbicara tentang kemurahan hati secara spesifik sebagai salah satu aspek kerja (“segala pekerjaanmu”). Jika ada rekan kerja yang memerlukan bantuan untuk mengembangkan keterampilan atau kemampuan, atau kata pujian yang tulus dari kita, atau kesabaran untuk menghadapi kekurangannya, apakah ini merupakan kesempatan untuk bermurah hati? Kemurahan hati semacam ini mungkin membutuhkan pengorbanan waktu dan uang kita, atau membuat kita perlu memikirkan ulang citra diri kita, mengukur keterlibatan kita, dan mempertanyakan motif kita. Jika kita bisa dengan rela melakukan pengorbanan ini, apakah kita akan membuka pintu kesempatan baru untuk berkat Allah mengalir melalui pekerjaan kita?

Perbudakan (Ulangan 15:12-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Topik yang meresahkan di kitab Ulangan adalah tentang perbudakan. Diizinkannya perbudakan di Perjanjian Lama menimbulkan banyak perdebatan, dan kita tidak dapat menyelesaikan semua permasalahan itu di sini. Namun kita tak boleh menyamakan perbudakan orang Israel dengan perbudakan di zaman modern, termasuk perbudakan di Amerika Serikat. Yang terakhir ini melibatkan penculikan orang-orang dari Afrika Barat untuk dijual sebagai budak, yang diikuti dengan perbudakan berkelanjutan terhadap keturunan mereka. Perjanjian Lama mengutuk perbuatan semacam ini (Amos 1:6), dan bisa mendapat hukuman mati (Ulangan 24:7; Keluaran 21:16). Bangsa Israel memperbudak sesamanya bukan karena penculikan atau kelahiran/nasib buruk, tetapi karena utang atau kemiskinan (Ulangan 15:12). Perbudakan lebih baik daripada kelaparan, dan orang bisa menjual dirinya sebagai budak untuk membayar utang dan setidaknya agar bisa memiliki tempat tinggal. Namun, perbudakan ini tidak berlangsung selamanya. “Apabila kepadamu dijual seorang saudaramu, baik laki-laki Ibrani atau perempuan Ibrani, ia akan bekerja padamu selama enam tahun, dan pada tahun ketujuh engkau harus melepaskan dia sebagai orang merdeka” (Ulangan 15:12). Setelah merdeka, mantan budak itu harus menerima bagian dari kekayaan yang dihasilkan dari pekerjaannya. “Apabila engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka, janganlah melepaskan dia dengan tangan hampa. Engkau harus memberi bekal kepadanya dengan limpahnya dari kambing dombamu, dari tempat pengirikanmu, dan tempat pemerasanmu. Sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, haruslah kauberikan kepadanya” (Ulangan 15:13-14).

Di beberapa bagian dunia, orang masih dijual (biasanya oleh orangtua) karena terlilit utang—satu bentuk pekerjaan yang tak lain adalah perbudakan. Orang lainnya mungkin terjebak dalam perdagangan seks yang sulit atau bahkan tak mungkin untuk ia melepaskan diri. Orang ​​Kristen di berbagai tempat sudah memimpin upaya-upaya pemberantasan terhadap praktik-praktik semacam itu, tetapi masih banyak yang bisa dan perlu dilakukan. Bayangkan perbedaannya jika ada lebih banyak lagi gereja dan orang Kristen yang menjadikan upaya ini sebagai prioritas utama misi dan aksi sosial mereka.

Di negara-negara maju, pekerja yang malang tidak dijual sebagai pekerja paksa, tetapi bisa menerima pekerjaan apa saja yang masih bisa didapatkan. Jika kitab Ulangan berisi perlindungan bahkan terhadap budak, bukankah perlindungan ini juga berlaku bagi pekerja? Kitab Ulangan mewajibkan para majikan mematuhi ketentuan kontrak dan peraturan ketenagakerjaan termasuk tanggal pembebasan yang pasti, menyediakan makanan dan tempat tinggal, dan tanggung jawab atas kondisi kerja. Jam kerja harus dibatasi secara wajar, termasuk hari libur mingguan (Ulangan 5:14). Yang terpenting, para majikan harus menganggap budak itu sama di mata Allah, mengingat bahwa semua umat Allah adalah budak yang diselamatkan. “Haruslah kauingat bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir, dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu. Itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini” (Ulangan 15:15).

Para majikan masa kini bisa melecehkan para pekerja yang malang sama seperti para majikan zaman dahulu melecehkan para budak. Apakah para pekerja kehilangan perlindungan ini hanya karena mereka bukan budak? Jika tidak, maka para majikan punya kewajiban untuk minimal tidak memperlakukan para pekerja lebih buruk daripada para budak. Para pekerja masa kini yang rentan bisa menghadapi tuntutan untuk bekerja lembur tanpa dibayar, menyerahkan tip kepada manajer, bekerja dalam kondisi-kondisi berbahaya atau beracun, memberi suap kecil agar bisa mendapat giliran kerja, mengalami pelecehan seksual atau perlakuan yang merendahkan martabat, menerima manfaat-manfaat yang lebih rendah, atau mengalami diskriminasi ilegal dan bentuk-bentuk perlakuan buruk lainnya. Para pekerja yang mampu pun bisa diperlakukan tidak adil dengan tidak menerima bagian yang semestinya dari hasil kerja mereka.

Bagi pembaca masa kini, fakta bahwa Alkitab menerima perbudakan tampaknya sulit diterima—meskipun kita tahu bahwa perbudakan pada zaman itu tidak sama dengan perbudakan di abad 16-19 —dan kita patut bersyukur bahwa secara teknis perbudakan setidaknya sudah dilarang di semua negara saat ini. Namun, daripada menganggap ajaran Alkitab tentang perbudakan sudah tidak terpakai, lebih baik kita berusaha sebaik-baiknya untuk menghapuskan segala bentuk perbudakan modern yang tak diinginkan, serta mematuhi dan memperkenalkan perlindungan Alkitab terhadap anggota masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi.

Suap dan Korupsi (Ulangan 16:18-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Efektivitas hak kepemilikan dan perlindungan kerja seringkali bergantung pada penegakan hukum dan sistem peradilan. Tuntutan Musa kepada para hakim dan pejabat dalam hal kerja sangat penting. “Janganlah memutarbalikkan keadilan dan janganlah memandang bulu; jangan pula menerima suap, sebab suap membutakan mata orang bijaksana dan memutarbalikkan perkara orang yang benar” (Ulangan 16:19). Tanpa keadilan yang tidak memihak tidak mungkin untuk “hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.” (Ulangan 16:20).

Tempat kerja dan masyarakat modern juga tidak kurang rentan terhadap suap, korupsi, dan penyimpangan dibandingkan bangsa Israel kuno. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, hambatan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara belum berkembang adalah hilangnya supremasi hukum yang tidak memihak.[1]

Di tempat-tempat di mana korupsi merajalela, tidak mungkin bisa mencari nafkah, bepergian keliling kota, atau hidup damai tanpa membayar suap. Ketetapan ini tampaknya mengakui bahwa orang berkuasa yang meminta suap lebih bersalah daripada orang yang bersedia membayar suap, karena larangannya adalah larangan menerima suap, bukan membayar suap. Meskipun demikian, apa pun yang dapat dilakukan orang Kristen untuk mengurangi korupsi— entah sebagai pemberi atau penerima—merupakan kontribusi terhadap “keputusan yang benar” (Ulangan 16:18) yang kudus bagi Allah. (Untuk pembahasan lebih mendalam tentang penerapan-penerapan hukum di bidang ekonomi, lihat “Kepemilikan Tanah dan Hak Waris” di Bilangan 26-27; 36:1-12.

Mematuhi Keputusan Pengadilan (Ulangan 17:8-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Musa menetapkan sistem peradilan umum dan peradilan tinggi/banding yang sangat mirip dengan struktur peradilan modern. Ia memerintahkan bangsanya untuk mematuhi keputusan-keputusan pengadilan itu. “Menurut petunjuk yang mereka berikan kepadamu dan menurut keputusan yang mereka katakan kepadamu, haruslah engkau lakukan. Janganlah engkau menyimpang ke kanan atau ke kiri dari keputusan yang diberitahukan mereka kepadamu” (Ulangan 17:11).

Tempat kerja masa kini diatur oleh undang-undang, peraturan-peraturan, dan adat kebiasaan dengan prosedur-prosedur, sistem peradilan, dan proses-proses banding untuk menafsirkan dan menerapkannya dengan tepat. Kita harus menaati struktur-struktur resmi ini, sebagaimana juga ditegaskan oleh rasul Paulus (Roma 13:1). Di beberapa negara, hukum dan peraturan biasa diabaikan oleh para penguasa atau diselewengkan melalui suap, korupsi, atau kekerasan. Di negara-negara lainnya, perusahaan dan institusi lain jarang melanggar hukum dengan sengaja, tetapi mungkin berusaha menentangnya melalui perbuatan melawan hukum, keberpihakan politik, atau memberi pengaruh yang bertentangan dengan kepentingan umum. Namun, orang Kristen dipanggil untuk menghormati peraturan hukum, menaati, menjunjung tinggi, dan berusaha menegakkannya. Ini bukan berarti tidak pernah ada tempat untuk pelanggaran sipil. Peraturan tertentu bisa juga tidak adil dan harus dilanggar jika perubahan tidak memungkinkan. Namun, hal-hal seperti ini langka dan selalu membutuhkan pengorbanan pribadi untuk mencapai kepentingan bersama. Sebaliknya, melanggar hukum untuk memenuhi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan.

Menurut Ulangan 17:9, baik para imam maupun hakim-hakim—atau seperti yang saat ini kita katakan: baik roh (maksud/makna) maupun tulisannya (perkataan/penerapannya)—sangat penting bagi Hukum. Jika kita menjadi bingung, atau memanfaatkan istilah-istilah teknis hukum untuk membenarkan tindakan yang meragukan, kita mungkin memerlukan teolog yang baik sebanyak kita memerlukan pengacara yang baik. Kita perlu mengakui bahwa keputusan yang diambil orang dalam pekerjaan “sekuler” adalah masalah teologis, bukan hanya masalah hukum dan teknis. Bayangkan seorang Kristen zaman-modern meminta pendetanya membantu memikirkan keputusan besar di tempat kerja ketika masalah etika atau hukum tampak rumit. Agar dapat menolong, pendeta itu harus memahami bahwa bekerja adalah upaya yang sangat rohani dan mereka perlu belajar tentang cara memberikan bantuan yang berguna kepada para pekerja. Mungkin langkah pertamanya hanyalah bertanya tentang pekerjaan mereka. “Tindakan dan keputusan apa yang Anda lakukan setiap hari?” “Tantangan-tantangan apa yang Anda hadapi?” “Hal-hal apa yang Anda harap bisa Anda bicarakan dengan seseorang?” “Apakah ada yang bisa saya doakan untuk Anda?”

Menjalankan Kekuasaan dengan Adil (Ulangan 17:14-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagaimana masyarakat dan institusi tidak boleh menentang otoritas yang sah, orang-orang yang memegang kekuasaan pun tidak boleh menggunakan otoritas mereka dengan tidak sah. Musa menangani secara spesifik kasus seorang raja.

“Janganlah raja itu memperbanyak jumlah kudanya… jangan ia memperbanyak jumlah istrinya … juga pula ia terlalu memperbanyak jumlah emas dan peraknya. Apabila ia duduk di atas tahta kerajaan, haruslah ia menulis baginya salinan hukum itu …. Kitab itu harus ada di sampingnya dan haruslah ia membacanya …berpegang pada segala perkataan hukum dan ketetapan ini serta melakukannya, [supaya] ia tidak akan bersikap tinggi hati terhadap saudara-saudaranya atau menyimpang dari perintah itu ke kanan atau ke kiri." (Ulangan 17:16-20)

Di dalam ayat-ayat ini kita melihat dua batasan tentang penggunaan otoritas—orang yang berotoritas tidak berada di atas hukum, tetapi harus mematuhi dan menjunjung tinggi hukum, dan orang yang berotoritas tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya dengan memperkaya diri.

Saat ini, orang yang berotoritas mungkin mencoba menempatkan dirinya di atas hukum, seperti ketika polisi dan petugas pengadilan “menyelesaikan” surat tilang mereka sendiri atau teman-teman mereka, atau ketika pegawai pemerintah atau karyawan perusahaan berpangkat-tinggi tidak mematuhi kebijakan pengeluaran yang harus dipatuhi karyawan lain. Demikian pula, para pejabat mungkin menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan menerima suap, pemetaan/pembagian kawasan, pengecualian perizinan, akses mendapatkan informasi khusus, atau penggunaan properti publik atau swasta untuk kepentingan pribadi. Terkadang tunjangan khusus diberikan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan sebagai kebijakan atau peraturan, tetapi hal ini tidak benar-benar melenyapkan pelanggaran. Perintah Musa kepada raja-raja bukan untuk memastikan tindakan yang keterlaluan akan terkena otorisasi hukum, tetapi untuk mencegah tindakan keterlaluan itu sama sekali. Ketika orang yang berkuasa menggunakan otoritasnya tidak hanya untuk mendapatkan hak-hak istimewa tetapi juga untuk menciptakan hak monopoli bagi kroni-kroninya, menguasai aset-aset dan tanah yang luas, serta memenjarakan, menyiksa, atau membunuh lawannya, taruhannya menjadi sangat mengerikan. Tak ada bedanya penyalahgunaan kekuasaan kecil-kecilan dengan penindasan totaliter, selain hanya kadarnya.

Semakin tinggi otoritas yang Anda miliki, semakin besar godaan untuk bertindak seakan-akan Anda berada di atas hukum. Musa memberikan obat penawarnya. Raja harus membaca hukum (atau perkataan) Allah setiap hari seumur hidupnya. Ia tidak hanya harus membacanya, ia juga harus mengembangkan keterampilan untuk menafsirkan dan menerapkannya dengan benar dan adil. Ia sendiri harus membangun kebiasaan menaati firman Allah, dan melakukan pekerjaannya “dengan berpegang pada segala perkataan hukum dan ketetapan ini” (Ulangan 17:19). Dengan cara ini raja belajar menghormati Allah dan memenuhi tanggung jawab yang diberikan Allah kepadanya. Ia diingatkan bahwa ia juga berada di bawah otoritas. Allah tidak memberinya hak istimewa untuk menetapkan hukum sendiri, melainkan kewajiban untuk mematuhi hukum Allah untuk kebaikan semua orang.

Hal yang sama berlaku saat ini bagi orang yang memegang segala otoritas, sekalipun hanya otoritas untuk mengerjakan tugasnya sendiri. Untuk menjalankan otoritas dengan baik, Anda harus membaca-kembali Kitab Suci sepanjang hidup Anda dan berlatih menerapkannya setiap hari dalam situasi kerja sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa orang Kristen yang bekerja perlu cukup memahami Kitab Suci untuk menerapkannya dalam pekerjaan mereka, dan gereja-gereja perlu melatih jemaat untuk terampil menerapkannya di tempat kerja. Hanya dengan seni menerapkan terus-menerus, tidak menyimpangkan perkataan Allah ke kiri atau ke kanan, kita dapat menjinakkan dorongan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Sebagai hasilnya, pemimpin itu akan melayani masyarakat (Ulangan 17:20), bukan sebaliknya.

Gabungkan wawasan ini dengan pembahasan kita sebelumnya bahwa para pendeta dan teolog perlu belajar dengan cukup tentang hal kerja agar dapat memberi bantuan yang berguna kepada para pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa gereja-gereja dan lembaga-lembaga yang melatih dan mendukung pemimpin gereja perlu mengadakan dialog yang bermakna antara pendeta dan pekerja, agar mereka dapat lebih memahami tentang pekerjaan satu sama lain.

Menggunakan Aset untuk Kepentingan Umum (Ulangan 23:1-24:13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ulangan mewajibkan para pemilik aset produktif untuk menggunakannya bagi kepentingan masyarakat, dan melakukannya dengan cerdas. Sebagai contoh, pemilik tanah harus mengizinkan tetangganya memakai tanah itu untuk membantu memenuhi kebutuhan mendesak. “Apabila engkau masuk ke kebun anggur sesamamu, engkau boleh makan buah anggur sepuas hatimu, tetapi tidak boleh kaumasukkan ke dalam kantongmu. Apabila engkau masuk ke ladang gandum sesamamu yang belum dituai, engkau boleh memetik bulir-bulirnya dengan tanganmu, tetapi sabit tidak boleh kauayunkan kepada gandum sesamamu itu” (Ulangan 23:24-25). Ketetapan inilah yang membuat murid-murid Yesus memetik bulir gandum di ladang setempat saat mereka dalam perjalanan (Matius 12:1). Para pemungut sisa panen harus mencari makan sendiri, dan para pemilik ladang harus memberi akses untuk mereka melakukan hal itu. (Untuk penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, lihat “Gleaning” di Imamat 19:9-10)

Demikian pula, orang yang meminjamkan modal tidak boleh menuntut persyaratan yang membahayakan kesehatan atau penghidupan peminjam (Ulangan 23:19-20; 24:6, 10-13). Dalam kasus-kasus tertentu, mereka bahkan harus bersedia meminjamkan dengan kemungkinan tidak dikembalikan, karena kebutuhan sesamanya benar-benar sangat besar (Ulangan 15:7-9). Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat “Lending and Collateral” di Keluaran 22:25-27.

Allah mau kita membagikan sumber daya kita pada orang yang membutuhkan, sementara kita melakukan penatalayanan yang baik atas sumber daya yang Dia percayakan pada kita. Di satu sisi semua yang kita miliki adalah milik Allah, dan perintah-Nya adalah agar kita menggunakan milik-Nya untuk kepentingan masyarakat (Ulangan 15:7). Di sisi lain, kitab Ulangan tidak menganggap ladang seseorang sebagai milik bersama. Orang luar tidak dapat mengambil sebanyak yang mereka mau. Ketentuan untuk berkontribusi bagi kepentingan umum diatur dalam sistem kepemilikan pribadi sebagai sarana produksi utama. Keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan publik, dan kesesuaian dalam berbagai sistem ekonomi untuk masyarakat saat ini, masih menjadi bahan perdebatan, yang dalam hal itu Alkitab dapat memberikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai, tetapi tidak dapat memberikan regulasi.

​Keadilan Ekonomi (Ulangan 24:14-15; 25:19; 27:17-25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perbedaan golongan dan kekayaan dapat menimbulkan peluang ketidakadilan. Keadilan menuntut para pekerja diperlakukan dengan adil. Kita membaca di Ulangan 24:14, “Janganlah engkau memeras buruh upahan yang sengsara dan miskin, baik ia saudaramu maupun pendatang di negerimu, di kotamu.” Baik orang miskin maupun orang asing tidak punya kedudukan dalam masyarakat untuk menantang pemilik ladang yang kaya di pengadilan, sehingga mereka rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang. Yakobus 5:4 memberi pesan serupa. Para majikan harus menganggap kewajiban mereka terhadap para pekerja yang paling rendah sebagai hal yang kudus dan mengikat.

Keadilan juga menuntut para pelanggan diperlakukan dengan adil. “Janganlah ada di dalam pundi-pundimu dua macam timbangan, yang besar dan kecil” (Ulangan 25:13). Timbangan yang dipermasalahkan itu digunakan untuk menimbang bulir gandum atau komoditas lain yang dijual. Bagi penjual, menimbang bulir gandum dengan timbangan yang lebih ringan akan lebih menguntungkan. Sementara pembeli akan mendapat untung jika memakai timbangan berat yang palsu. Namun, kitab Ulangan menuntut agar orang selalu menggunakan timbangan yang sama, baik saat membeli maupun menjual. Perlindungan terhadap kecurangan tidak hanya terbatas pada penjualan terhadap pelanggan, tetapi juga pada semua jenis transaksi dengan semua orang di sekitar kita.

Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesamanya. (Ulangan 27:17)
Terkutuklah orang yang menuntun orang buta ke jalan yang sesat. (Ulangan 27:18)
Terkutuklah orang yang memperkosa hak pendatang, anak yatim dan janda. (Ulangan 27:19)
Terkutuklah orang yang menerima suap untuk membunuh orang yang tidak bersalah. (Ulangan 27:25)

Pada prinsipnya, peraturan-peraturan ini melarang segala bentuk kecurangan. Sebagai analogi pada masa kini, sebuah perusahaan bisa dengan sengaja menjual produk cacat dengan melupakan implikasi moralnya. Pelanggan bisa menyalahgunakan kebijakan toko dengan mengembalikan barang bekas. Perusahaan membuat laporan keuangan yang melanggar prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pekerja melakukan urusan pribadi atau mengabaikan pekerjaan mereka selama jam kerja. Tindakan-tindakan ini bukan saja tidak adil, tetapi juga melanggar komitmen untuk menyembah Allah saja, yang berkata, “Kamu akan menjadi umat yang kudus bagi TUHAN Allahmu” (Ulangan 26:19).

Permintaan Terakhir Musa agar Menaati Allah (Ulangan 29:1-30:20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Musa mengakhiri dengan wejangan ketiga, sebuah permintaan terakhir untuk menaati perjanjian Allah, yang akan mengakibatkan keberhasilan manusia. Permintaan ini meneguhkan nasihat-nasihatnya yang sebelumnya di Ulangan 7:12-15 dan 28:2-12. Ulangan 30:15 merangkumnya dengan baik: “Lihatlah, aku memperhadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan kesejahteraan, kematian dan kecelakaan.” Ketaatan pada Allah mendatangkan berkat dan kehidupan, sedangkan ketidaktaatan mendatangkan kutuk dan kematian. Dalam konteks ini, “ketaatan pada Allah” berarti menaati perjanjian di Sinai, dan dengan demikian kewajiban ini hanya berlaku bagi bangsa Israel. Namun, ketaatan pada Allah, yang mendatangkan berkat, adalah prinsip abadi yang tidak hanya berlaku pada Israel zaman dahulu, tetapi juga dalam pekerjaan dan kehidupan saat ini. Jika kita mengasihi Allah dan melakukan sebagaimana yang diperintahkan-Nya, kita menemukan rancangan terbaik untuk hidup dan pekerjaan kita. Ini tidak berarti mengikut Kristus tidak pernah mengalami kesukaran dan kekurangan (orang Kristen juga bisa dianiaya, dikucilkan, atau dipenjarakan). Ini berarti, orang yang hidup dengan kesalehan dan integritas yang tulus akan berhasil bukan saja karena mereka memiliki karakter yang baik, tetapi juga karena mereka berada dalam berkat Allah. Bahkan di masa-masa yang jahat, ketika ketaatan pada Allah bisa berujung pada penganiayaan, buah manis dari berkat Allah lebih baik daripada ampas pahit dari terlibat dalam kejahatan. Secara keseluruhan, kita selalu lebih baik di jalan Allah daripada di jalan apa pun yang lainnya.

Akhir Pekerjaan Musa (Ulangan 31:1-34:12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perencanaan Suksesi (Ulangan 31:1-32:47)

Setelah menyampaikan wejangan-wejangan, Musa mengangkat Yosua untuk menggantikannya sebagai pemimpin Israel. “Lalu Musa memanggil Yosua dan berkata kepadanya di depan seluruh orang Israel: ‘Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab kamu akan masuk bersama bangsa ini ke negeri yang dijanjikan TUHAN'” (Ulangan 31:7). Musa melakukan transisi itu secara terbuka karena dua alasan. Pertama, Yosua harus mengakui di hadapan seluruh bangsa bahwa ia menerima tugas yang diberikan kepadanya. Kedua, seluruh bangsa itu harus mengakui bahwa Yosua adalah satu-satunya pengganti Musa yang sah. Setelah itu, Musa menyingkir dengan cara yang paling sempurna— ia wafat. Organisasi apa pun, entah itu negara, sekolah, gereja, atau bisnis, akan berada dalam kebingungan jika masalah penerus/pengganti yang sah tidak jelas atau tidak diselesaikan.

Perhatikan bahwa Yosua bukanlah pilihan pada menit terakhir yang tak diduga-duga. Pemimpin punya kewajiban menyiapkan orang dalam organisasinya untuk mengambil alih kepemimpinan pada waktunya. Ini bukan berarti pemimpin berhak untuk menentukan sendiri penerus/pengganti dirinya. Wewenang itu seringkali milik orang lain, entah melalui pengangkatan, pemilihan, penugasan, atau cara lainnya. TUHAN-lah yang menunjuk pengganti Musa. Dengan petunjuk TUHAN, Musa sudah lama menyiapkan Yosua sebagai penggantinya. Sejak masih di Ulangan 1:38, Allah sudah menyebut Yosua sebagai “asisten/pelayan” Musa. Musa sudah mencermati kemampuan militer Yosua tak lama setelah mereka keluar dari Mesir, dan seiring dengan berjalannya waktu mulai mendelegasikan kepemimpinan militer itu kepadanya (Ulangan 31:3). Musa mengamati bahwa Yosua mampu melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah dan bersedia mempertaruhkan keselamatannya sendiri demi mempertahankan yang benar (Bilangn 14:5-10). Musa sudah melatih Yosua dalam keahlian berpolitik ketika peristiwa dengan raja-raja orang Amori (Ulangan 3:21). Mendoakan Yosua adalah hal yang penting dalam cara pelatihan Musa (Ulangan 3:28). Pada saat Yosua mengambil alih kepemimpinan dari Musa, ia sudah siap sepenuhnya untuk menjadi pemimpin, dan bangsa itu sudah siap sepenuhnya untuk mengikuti pimpinannya (Ulangan 34:9). Untuk bagian paralel di kitab Bilangan, lihat Bilangan 27:12-23.

Musa juga melantunkan nyanyian terakhirnya (Ulangan 32:1-43), ayat-ayat profetik yang memperingatkan bahwa Israel akan tidak menaati perjanjian, dan akan sangat menderita, tetapi pada akhirnya akan mengalami penebusan oleh tindakan Allah yang perkasa. Di antara hal-hal lainnya, perkataan Musa menjadi pengingat tentang bahaya yang bisa menyertai keberhasilan. “[Yakub] makan sampai kenyang; Yeshurun menjadi gemuk…. ia meninggalkan Allah yang menjadikan dia, memandang rendah Gunung Batu keselamatannya.” Pada masa-masa sulit, kita sering datang pada Allah meminta pertolongan, tak lain karena putus asa. Namun ketika mengalami kesuksesan, mudah sekali untuk kita meremehkan peran Allah dalam pekerjaan kita. Kita bahkan mulai percaya bahwa pencapaian kita semata-mata adalah karena usaha kita sendiri, bukan karena kasih karunia Allah. Musa mengingatkan bahwa kesuksesan dapat membuat kita rentan untuk meninggalkan Allah yang menjadikan kita, yang akan menimbulkan akibat yang mengerikan. Untuk lebih jelasnya tentang topik ini, lihat kisah raja Uzia di 2 Tawarikh 26.

Musa kemudian memperingatkan bangsa itu sekali lagi untuk yang terakhir kalinya agar mereka memerhatikan perintah-perintah itu dengan sungguh-sungguh (Ulangan 32:46-47).

Tindakan Terakhir Musa (Ulangan 32:48–34:12)

Tindakan terakhir Musa sebelum meninggalkan Israel dan dunia adalah memberkati bangsa itu suku demi suku dengan nyanyian di Ulangan 33:1-29. Nyanyian ini dapat disamakan dengan berkat Yakub atas suku-suku Israel menjelang kematiannya (Kejadian 49:1-27). Analogi ini tepat karena Yakub adalah ayah biologis dari kedua belas suku itu, sementara Musa adalah bapa rohani dari bangsa itu. Di dalam nyanyian ini, Musa juga meninggalkan Israel dengan ucapan berkat, bukan dengan kata-kata teguran dan nasihat. “Lalu Musa, hamba TUHAN itu, meninggal di sana” (Ulangan 34:5). Ayat ini menghormati Musa dengan julukan yang sederhana dan juga mulia, “hamba TUHAN.” Musa tidak sempurna, dan Israel di bawah kepemimpinannya juga tidak sempurna, tetapi ia luar biasa. Meskipun demikian, ia bukannya tidak tergantikan. Bangsa Israel akan terus berlanjut, dan para pemimpin yang akan muncul setelahnya akan mengalami kesuksesan dan kegagalannya sendiri. Ketika orang-orang dari institusi apa pun menganggap pemimpin mereka tak tergantikan, mereka sudah berada dalam bahaya. Ketika seorang pemimpin menganggap dirinya tak tergantikan, itu adalah bencana bagi semua orang.

Konklusi Kitab Ulangan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saat menceritakan kembali peristiwa-peristiwa awal sejarah Israel dan pemberian hukum Allah, kitab Ulangan dengan jelas menunjukkan pentingnya bekerja untuk menggenapi perjanjian Allah dengan umat-Nya. Tema-tema yang melingkupi kitab ini adalah pentingnya memercayai Allah, menaati perintah-perintah-Nya, dan datang pada-Nya meminta pertolongan. Meninggalkan hal-hal ini berarti jatuh ke dalam penyembahan berhala, menyembah ilah-ilah palsu ciptaan kita sendiri. Meskipun tema-tema ini pada awalnya terdengar abstrak atau filosofis, tema-tema ini dapat diterapkan secara konkret dan praktis dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Jika kita memercayai Allah, kita bersyukur pada-Nya atas hal-hal baik yang Dia beri kita kemampuan untuk menghasilkannya. Kita mengakui keterbatasan kita dan datang pada Allah untuk meminta pimpinan. Kita memperlakukan orang lain dengan penuh hormat. Kita memerhatikan ritme bekerja dan beristirahat yang menyegarkan diri kita sendiri maupun orang-orang yang bekerja untuk kebaikan kita. Kita menjalankan otoritas, menaati otoritas dengan rajin dan dengan rasa keadilan yang tepat, dan kita menjalankan otoritas dengan bijak untuk kebaikan bersama. Kita membatasi diri pada pekerjaan yang bermanfaat dan bukan yang merugikan orang lain, yang membangun dan bukan yang menghancurkan keluarga dan masyarakat. Kita dengan murah hati menggunakan sumber daya yang Allah berikan pada kita, dan kita tidak merampas sumber daya milik orang lain. Kita jujur dalam berurusan dengan orang lain. Kita melatih diri untuk bersukacita dalam pekerjaan yang Allah berikan pada kita dan tidak iri hati pada orang lain.

Setiap hari memberi kita kesempatan untuk bersyukur dan bermurah hati dalam pekerjaan kita, untuk membuat tempat kerja kita menjadi lebih adil, lebih memerdekakan, dan lebih bermanfaat bagi orang-orang yang bekerja di antara kita, dan bekerja untuk kebaikan bersama. Dengan cara kita sendiri, setiap kita punya kesempatan—entah besar atau kecil—untuk mengubah diri sendiri, keluarga kita, masyarakat kita, dan bangsa-bangsa di dunia untuk memberantas praktik-praktik penyembahan berhala seperti perbudakan dan eksploitasi pekerja, korupsi dan ketidakadilan, dan ketidakpedulian terhadap kekurangan sumber daya yang diderita orang miskin.

Namun, jika kitab Ulangan tidak lebih dari sekadar daftar panjang tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pekerjaan kita, beban yang kita tanggung tak akan tertahankan. Siapa yang dapat memenuhi hukum itu, sekalipun hanya dalam bidang pekerjaan? Oleh kasih karunia Allah, kitab Ulangan pada dasarnya bukanlah daftar peraturan dan ketetapan, tetapi undangan untuk menjalin relasi dengan Allah. “Engkau akan mencari TUHAN, Allahmu dan menemukan-Nya, asalkan engkau mencari Dia dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu” (Ulangan 4:29). “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; Engkaulah yang dipilih oleh TUHAN Allahmu dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya” (Ulangan 7:6). Jika kita mendapati bahwa pekerjaan kita tidak sesuai dengan gambaran yang dijelaskan kitab Ulangan, respons kita seharusnya bukanlah bertekad dengan muram untuk berusaha lebih keras, tetapi menerima lagi undangan Allah untuk menjalin relasi yang lebih intim dengan Dia. Relasi yang hidup dengan Allah adalah satu-satunya harapan kita untuk dapat hidup sesuai dengan firman-Nya. Inilah, pastinya, Injil yang disampaikan Yesus, yang berakar dalam dari kitab Ulangan. Sebagaimana dikatakan Yesus, “Kuk yang Kupasang itu menyenangkan, dan beban-Ku pun ringan” (Matius 11:30). Ini bukan daftar tuntutan yang mustahil, tetapi undangan untuk mendekat pada Allah. Dalam undangan ini, Dia menggemakan perkataan Musa: “Sekarang, hai orang Israel, apa yang dituntut TUHAN Allahmu darimu, selain takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu” (Ulangan 10:12).

Introduksi Kitab Yosua dan Hakim-hakim

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Yosua dan Hakim-hakim bertutur tentang pendudukan orang Israel di tanah/negeri yang dijanjikan Allah dan pembentukan pemerintahan bangsa. Temanya secara keseluruhan adalah ketika umat Allah menaati perintah-perintah dan pimpinan Allah, pekerjaan mereka berhasil dan mereka mengalami damai sejahtera dan sukacita. Namun, ketika mereka menuruti kecenderungan diri sendiri dan menjadikan diri sendiri sebagai otoritas tertinggi, maka kemiskinan, perselisihan dan segala macam kejahatan membawa kesedihan dan penderitaan.

Menaklukkan, menduduki dan memerintah suatu wilayah adalah pekerjaan yang ditugaskan Allah kepada para pemimpin, nabi-nabi, pasukan militer dan seluruh umat Israel. Meskipun banyak alasan untuk berharap kitab-kitab ini akan menambah wawasan kita tentang pekerjaan dari perspektif alkitabiah, diperlukan usaha dari pihak kita juga untuk menemukan bagaimana pekerjaan yang kita baca di kitab Yosua dan Hakim-hakim dapat diterapkan dalam situasi-situasi pekerjaan kita saat ini. Namun jika kita mencermati dengan saksama, kita akan mendapati bahwa pemikiran-pemikiran tentang pokok-pokok persoalan masa kini justru berkembang dari peristiwa-peristiwa yang ada di bagian Alkitab ini, seperti pengembangan kepemimpinan dan manajemen, peran-peran relatif dari kerja keras dan pimpinan Allah dalam mencapai tujuan-tujuan, konflik dalam permasalahan sumber daya, ketegangan antara mengejar sukses dan melayani orang lain, pimpinan Allah dalam pekerjaan kita, dan bahaya yang selalu mengintai untuk memberhalakan pekerjaan kita. Peristiwa-peristwa dalam kitab Yosua dan Hakim-hakim memberi kita contoh-contoh—yang baik maupun yang buruk— tentang menyelesaikan konflik-konflik di tempat kerja, memotivasi pekerja, menghadapi tantangan-tantangan jabatan dari hasil pemilihan, dan merancang agar para pemimpin baru dapat menggantikan para pemimpin yang pensiun atau pergi. Tokoh-tokoh yang kita temukan dalam kitab-kitab ini menunjukkan tentang pentingnya kepemimpinan perempuan, dampak perang pada perekonomian, dan keterlibatan pihak yang berkuasa dalam pelecehan terhadap orang lemah di tempat kerja.

Alur cerita utama kitab Yosua maupun kitab Hakim-hakim adalah ketika umat pilihan Allah lagi-lagi memberontak kepada Allah, berpaling kepada ilah-ilah lain dan melupakan perjanjian Allah dengan mereka, Allah selalu siap mengatasi krisis-krisis mereka dan melepaskan mereka. Namun ketika mereka berhenti menginginkan berkat-berkat Allah, mereka mengalami kesengsaraan dan kehancuran sosial. Hal ini menjadi pesan masa kini yang luar biasa juga. Kita juga sering menyimpang dari Allah saat menentukan cara menangani berbagai kesempatan dan tantangan dalam pekerjaan kita. Kita sering lebih mementingkan hal lain daripada menerima kasih Allah dan mengasihi serta melayani Dia melalui pekerjaan kita. Pesan dari kitab Yosua dan Hakim-hakim adalah Allah selalu siap, saat ini dan di sini, bagi kita yang mau kembali kepada-Nya dan menerima berkat-Nya dalam hidup dan pekerjaan kita.

Kita akan mengurutkan pembahasan kita tentang kitab-kitab ini di sekitar empat tema utama, yang secara garis besar sesuai dengan alur cerita: Conquest, Coordination, Covenant, Chaos. (Penaklukan, Koordinasi, Perjanjian dan Kekacauan).[1]

Penaklukan (Yosua 1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Yosua dimulai dengan pernyataan ulang janji tentang negeri/tanah perjanjian dan penyertaan Allah kepada Yosua.

"Hamba-Ku Musa telah meninggal. Sebab itu, bersiaplah sekarang, seberangi Sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel. Setiap tempat yang akan diinjak telapak kakimu akan Kuberikan kepadamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa. Dari padang gurun dan Gunung Libanon di sebelah sana sampai ke Sungai Efrat, sungai besar itu, dari seluruh negeri orang Het, sampai ke Laut Besar itu di sebelah matahari terbenam, semuanya itu akan menjadi wilayahmu. Tidak seorangpun akan dapat tahan menghadapi engkau seumur hidupmu. Sebagaimana Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau. Aku tidak akan mengabaikan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Yosua 1:2-5)

Yosua, negeri/tanah perjanjian, dan penyertaan Allah adalah hal-hal penting yang perlu diperhatikan ketika kita mempelajari bagian demi bagian berikut ini.

Yosua (Yosua 1)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yosua adalah pemimpin bangsa Israel pengganti Musa. Meskipun ia bukan seorang raja, tetapi dalam banyak hal ia merupakan bayang-bayang raja-raja yang akan memerintah Israel di abad-abad berikutnya. Ia memimpin bangsanya dalam peperangan, ia melakukan penghakiman jika diperlukan, dan ia berusaha membuat bangsanya tetap berpegang pada perjanjian yang dibuat Allah dengan bangsa Israel di Gunung Sinai.

Jika memakai istilah masa kini, kita bisa menyebut peralihan kepemimpinan Musa kepada Yosua ini sebagai contoh perencanaan suksesi yang baik. Musa, atas pimpinan Allah, mengangkat Yosua sebagai pemimpin yang sesuai dengan karakter kesetiaan Musa sendiri kepada Allah. Yosua digambarkan sebagai orang yang teguh dan bijaksana, kuat dan berani (Yosua 1:6-7), memahami perkataan Allah dengan baik dan menaati perintah-perintah-Nya (Yosua 1:8-9). Yang lebih penting, ia seorang yang spiritual. Dan pada akhirnya, dasar kepemimpinan Yosua bukanlah kekuatannya sendiri, atau bahkan pengarahan Musa, tetapi pimpinan dan kuasa Allah. Allah berjanji padanya: “TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9). Keterangan lebih lanjut tentang persiapan Yosua menggantikan Musa dapat dibaca dalam "Perencanaan Suksesi (Bilangan 27:12-23)" dan "Akhir Pekerjaan Musa (Ulangan 31:1-34:12)" di https://www.teologikerja.org/.

Sebagai teladan bagi para pemimpin masa kini, karakteristik Yosua yang paling menonjol adalah kesediaannya untuk terus bertumbuh dalam sifat-sifat baik seumur hidupnya. Tidak seperti Simson, yang tampaknya terjebak dalam hasrat-diri yang kekanak-kanakan, Yosua berkembang dari seorang pemuda yang temperamental (Bilangan 14:6-10) menjadi panglima militer (Yosua 6:1-21), menjadi pemimpin utama bangsa (Yosua 20) dan akhirnya seorang visioner yang profetik (Yosua 24). Ia bersedia tunduk di masa-masa pelatihan yang panjang di bawah kepemimpinan Musa dan belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman dari dirinya (Bilangan 27:18-23; Ulangan 3:28). Ia tak gentar memberi perintah-perintah saat bertindak, namun ia juga terus berbagi kepemimpinan dengan tim termasuk dengan imam besar Eleazar dan para tua-tua Keduabelas Suku (misalnya di Yosua 19:51). Ia tak pernah tampak menolak kesempatan untuk bertumbuh dalam karakter atau pun mendapatkan manfaat dengan belajar dari kebijaksanaan orang lain.

Tanah/Negeri Perjanjian (Yosua 2-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam kitab Yosua maupun kitab Hakim-hakim, negeri/tanah perjanjian merupakan hal yang sangat penting sampai hampir memiliki karakter tersendiri: “Lalu negeri itu tenteram” (Hakim-hakim 3:11, 3:30, dsb.). Tindakan utama yang dilakukan di dalam kitab Yosua adalah penaklukan bangsa Israel atas tanah yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka (Yosua 2:24, menyusul Yosua 1:6). Tanah itu menjadi panggung utama tempat drama Allah dan bangsa Israel berlangsung, dan bersandar pada inti janji-janji Allah kepada bangsa itu. Hukum Musa sendiri berkaitan erat dengan tanah itu. Banyak ketetapan penting dalam Hukum Musa hanya dapat dipahami oleh bangsa Israel yang berdiam di tanah itu, dan hukuman utama dalam perjanjian itu juga berupa pengusiran dari tanah/negeri itu.

Aku akan membuat negeri itu sunyi sepi, sehingga musuhmu yang tinggal di situ tercengang. Kamu akan Kuserakkan di antara bangsa-bangsa dan Aku akan menghunus pedang mengejarmu. Tanahmu akan menjadi tandus dan kota-kotamu menjadi reruntuhan. (Imamat 26:32-33)

Negeri - bumi, tanah tempat kaki kita berpijak - adalah tempat hidup kita. (Bahkan orang yang mengarungi lautan dan udara pun menghabiskan sebagian besar hidup mereka di tanah/ daratan). Janji Allah kepada umat-Nya bukanlah suatu abstraksi tanpa wujud/bentuk yang nyata, tetapi suatu tempat yang konkret yang menjadi tempat kehendak-Nya digenapi dan penyertaan-Nya dialami. Tempat kita hidup setiap saat adalah tempat kita bertemu Allah dan satu-satunya tempat kita melakukan pekerjaan-Nya. Dunia bisa menjadi tempat kejahatan maupun kebaikan. Tugas kita adalah melakukan kebaikan di dunia dan budaya nyata tempat kita bekerja. Yosua diberi tugas menguduskan tanah Kanaan dengan menaati perjanjian Allah di sana. Kita diberi tugas menguduskan tempat kerja kita dengan bekerja menurut perjanjian Allah juga.

Mengerjakan Tanah (Yosua 5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tanah itu tentu saja sangat subur/berlimpah-limpah menurut standar Timur Dekat Kuno. Akan tetapi berkat-berkat tanah itu bukan hanya berupa iklim yang baik, air yang melimpah, dan hasil-hasil alam lainnya yang dianugerahi tangan Sang Pencipta. Orang Israel juga akan mewarisi infrastruktur yang sudah berkembang baik dari orang Kanaan. “Demikianlah telah Kuberikan kepadamu tanah yang tidak kamu usahakan, kota-kota yang tidak kamu dirikan, tetapi di dalamnya kamu tinggal, kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun yang tidak kamu tanami, tetapi hasilnya kamu nikmati” (Yosua 24:13, bdk. Ulangan 6:10-11). Bahkan deskripsi yang khas tentang tanah yang “berlimpah dengan susu dan madu” ini (Yosua 5:6, bdk. Keluaran 3:8) menunjukkan adanya semacam pengelolaan ternak dan peternakan lebah.

Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara tanah dan kerja keras. Kapasitas kita untuk menghasilkan tidak semata-mata berasal dari kemampuan atau kerajinan kita, tetapi juga dari sumber-sumber yang tersedia bagi kita. Sebaliknya, tanah tidak bekerja dengan sendirinya. Dengan berpeluh kita akan mencari nafkah (Kejadian 3:19). Hal ini dinyatakan dengan sangat tepat di Yosua 5:11-12. “Sehari sesudah Paskah, tepat pada hari itu, mereka makan roti tidak beragi dan gandum panggang, hasil bumi dari negeri itu. Lalu manna berhenti turun pada hari itu ketika mereka makan hasil bumi dari negeri itu. Tidak ada lagi manna bagi orang Israel. Pada tahun itu mereka makan hasil bumi Kanaan.” Orang Israel tetap hidup dengan makan manna yang diberikan Allah selama mereka mengembara di padang gurun, tetapi Allah tidak bermaksud menjadikan hal ini sebagai solusi permanen atas masalah pemenuhan kebutuhan hidup. Tanah itu harus dikerjakan. Sumber daya alam yang cukup dan tenaga kerja yang produktif merupakan unsur-unsur yang menyatu di Tanah Perjanjian.

Maksudnya mungkin sudah jelas, tetapi tetap perlu ditegaskan lagi. Meskipun Allah mungkin terkadang memenuhi kebutuhan jasmani kita secara ajaib, norma untuk kita adalah mencari nafkah atau hidup dari hasil kerja/usaha kita.

Menaklukkan Negeri – Apakah Allah Merestui Penaklukan? (Yosua 6-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Fakta bahwa keberhasilan ekonomi Israel didasarkan pada pengusiran orang Kanaan dari negeri itu, bagaimanapun, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman. Apakah Allah merestui penaklukan sebagai cara suatu bangsa memiliki tanah? Apakah Allah mentolerir perang suku? Apakah orang Israel lebih layak memiliki tanah itu daripada orang Kanaan? Analisis teologi yang lengkap tentang penaklukan tidak tercakup dalam bacaan ini.[1] Meskipun kita tidak bisa berharap dapat menjawab berbagai isu yang muncul, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diingat:

  1. Allah memilih datang pada umat-Nya di negeri nyata Timur Dekat kuno yang kasar dan kacau, tempat kekuatan-kekuatan yang siap menentang Israel sangat besar dan ganas.

  2. Tugas penaklukan militer jelas merupakan pekerjaan yang paling utama di kitab Yosua, tetapi tugas itu tidak diperkenalkan sebagai contoh/model pekerjaan apa pun setelahnya. Ada aspek-aspek tentang pekerjaan atau kepemimpinan dalam kitab Yosua dan Hakim-hakim yang dapat diterapkan pada masa kini, tetapi pengusiran orang-orang dari suatu negeri bukanlah salah satunya.

  3. Perintah untuk menghalau orang Kanaan (Yosua 1:1-5) sangatlah spesifik dan tidak menunjukkan disposisi umum tentang perintah-perintah Allah kepada bangsa Israel maupun kelompok orang lainnya.

  4. Pemusnahan orang Kanaan disebabkan oleh cara hidup mereka yang sangat jahat. Orang Kanaan dikenal suka melakukan ritual pengorbanan anak, ramalan, sihir, pemanggilan arwah, yang tak dapat ditolerir Allah di tengah-tengah umat yang dipilih-Nya untuk menjadi berkat bagi dunia (Ulangan 18:10-12). Negeri itu harus dibersihkan dari penyembahan berhala agar dunia bisa mendapat kesempatan mengenal sifat dari satu-satunya Allah yang benar, Pencipta langit dan bumi.[2]

  5. Orang Kanaan yang bertobat seperti Rahab (Yosua 2:1-21; 6:22-26) terselamatkan – dan sesungguhnya, pemusnahan besar-besaran orang Kanaan yang diduga terjadi tidak pernah terealisasi sepenuhnya (lihat di bawah ini).

  6. Orang Israel di kemudian hari juga melakukan banyak kejahatan yang sama seperti orang Kanaan, yang menjadi jawaban “tidak” yang tegas atas pertanyaan apakah orang Israel lebih layak memiliki tanah itu. Seperti orang Kanaan, orang Israel juga akan menderita pengusiran dari negeri itu melalui penaklukan oleh bangsa lain, yang Alkitab juga menghubungkannya dengan tangan Allah. Orang Israel juga akan menerima hukuman Allah (contohnya: baca Amos 3:1-2).

  7. Etika Kristen yang lengkap tentang kekuasaan tidak dimaksudkan untuk ditemukan dalam kitab Yosua, tetapi dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus, yang mewujudkan seluruh Firman Allah. Contoh definitif Alkitab tentang penggunaan kekuasaan bukanlah bahwa Allah menaklukkan bangsa-bangsa bagi umat-Nya, tetapi bahwa Anak Allah menyerahkan nyawa-Nya bagi semua orang yang datang pada-Nya (Markus 10:42; Yohanes 10:11-18). Etika kekuasaan yang alkitabah pada akhirnya didasarkan pada kerendahan hati dan pengorbanan.

Mengingat Penyertaan Allah di Tanah Perjanjian (Yosua 4:1-9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berkat tertinggi bagi bangsa Israel di tanah perjanjian adalah bahwa Allah akan selalu menyertai mereka. Bangsa Israel merayakan berkat ini dengan berjalan di depan tabut Tuhan—tempat tinggal hadirat-Nya —dan meletakkan batu-batu sebagai tugu peringatan di sungai Yordan. Kemakmuran dan keamanan Israel di tanah itu berasal dari tangan Allah. Pekerjaan orang Israel selalu berasal dari Allah yang terlebih dahulu bekerja untuk mereka. Setiap kali mereka menjadi tidak terhubung dengan hadirat Allah, perjalanan pekerjaan mereka menurun. Perhatikan catatan suram yang tertulis di Hakim-hakim 2:10: “Setelah seluruh generasi itu dikumpulkan kepada nenek moyangnya, muncullah sesudah mereka generasi lain, yang tidak mengenal TUHAN ataupun tindakan yang dilakukan-Nya bagi orang Israel.” Masalah-masalah Israel setelah itu berasal dari kegagalan mereka mengakui pekerjaan Allah untuk mereka.

Kita juga perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita memerhatikan pekerjaan Allah untuk kita. Pertanyaannya di sini bukanlah apakah kita bekerja dengan baik untuk Allah, tetapi apakah kita dapat melihat Dia bekerja untuk kita. Dalam bekerja, banyak dari kita merasakan ketegangan antara mendahulukan diri sendiri atau melayani orang lain, atau antara “kepentingan-pribadi yang sangat berpusat pada ‘aku’” dan “kesejahteraan pihak lain,” seperti dikatakan Laura Nash dalam penggaliannya yang sangat baik tentang dinamika ini.[1] Mungkinkah kita berusaha terlalu keras untuk menjadi nomor satu karena kita takut tidak ada orang yang peduli pada kita?

Bagaimana jika kita membangun kebiasaan untuk memerhatikan hal-hal yang Allah lakukan untuk kita? Banyak dari kita menyimpan kenangan tentang berbagai kesuksesan kita dalam bekerja – tanda penghargaan, plakat, foto, pujian, sertifikat dan lain-lain. Bagaimana jika setiap kali mata kita memandang hal-hal itu, kita berpikir, “Allah sudah menyertai aku setiap hari di sini,” dan bukan, “Aku sudah membuat semuanya itu terjadi.” Apakah yang akan membebaskan kita untuk lebih peduli pada orang lain, namun tetap merasa diri sendiri lebih diperhatikan? Cara mudah untuk memulai adalah dengan mencatat dalam hati atau bahkan menuliskan setiap hal baik tak terduga yang terjadi sepanjang hari, entah hal itu terjadi pada Anda maupun pada orang lain melalui Anda. Setiap hal ini bisa menjadi semacam tugu peringatan terhadap Allah, seperti batu-batu yang diletakkan bangsa Israel di sungai Yordan untuk mengingat bahwa Allah yang telah membawa mereka ke Tanah Perjanjian. Menurut ayat bacaan kita, cara ini merupakan pengingat yang luar biasa bagi mereka “dan batu-batu itu masih ada di sana sampai hari ini” (Yosua 4:1-9).

Melibatkan Allah dalam Pengambilan Keputusan (Yosua 9:12-15)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yosua pasal 9 menceritakan tentang bagaimana orang Gibeon menipu orang Israel. Mereka ingin orang Israel percaya bahwa mereka datang dari jauh, dari luar tanah Kanaan, sehingga mereka tidak menjadi ancaman bagi Israel. Padahal mereka tinggal di dekat situ. Untuk memuluskan tipuan mereka, mereka mengenakan pakaian usang yang sobek-sobek, kasut usang yang bertambal dan membawa bekal makanan yang kelihatan sudah melalui perjalanan panjang dan lama.

“Ini roti kami, masih hangat ketika kami bawa sebagai bekal dari rumah pada hari kami berangkat menemui kamu. Tetapi, sekarang lihat, roti ini sudah kering dan tinggal remah-remah saja. Ini kantong anggur yang masih baru ketika kami mengisinya, tetapi lihatlah, telah robek. Inilah pakaian dan kasut kami yang sudah usang karena perjalanan kami sangat panjang.” Lalu orang-orang Israel mengambil sebagian dari bekal orang-orang itu, tetapi tidak meminta petunjuk TUHAN. Lalu Yosua mengadakan perdamaian dengan mereka dan mengikat perjanjian dengan mereka bahwa ia akan membiarkan mereka hidup. Para pemimpin umat pun bersumpah kepada mereka. (Yosua 9:12-15)

Bangsa Israel tertipu karena mereka bersandar pada pengamatan mereka sendiri dan tidak “meminta petunjuk TUHAN.” Hal ini juga bisa terjadi pada kita saat ini. Berdasarkan yang kita yakini, kita menarik kesimpulan, dan dengan cepat membuat keputusan, tetapi lupa untuk meminta pimpinan Allah. Mudah bagi kita untuk bersandar pada pemikiran kita sendiri ketika kita berpikir kita memahami situasi itu, dan tidak meminta pandangan Allah tentang hal itu.

Koordinasi (Yosua 13-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Panjangnya pasal-pasal yang membahas tentang pembagian tanah di Yosua 13-22 menunjukkan peran tanah yang sangat penting dalam membentuk identitas Israel, meskipun saat membacanya bisa membuat mata mengantuk jika kita tidak memahami gambar besar dari tindakan itu. Pasal-pasal ini menjelaskan secara rinci pekerjaan menetapkan batas-batas, menetapkan kota-kota, dan membuat prosedur penyelesaian konflik—pekerjaan mengatur dan mengembangkan masyarakat untuk kemajuan umat manusia dan memuliakan Allah. Yosua mengambil langkah-langkah yang cermat untuk memastikan pembagian tanah itu dilakukan dengan adil (Yosua 14:1). Ayat-ayat seperti ini mengingatkan kita bahwa pekerjaan yang produktif banyak bergantung pada tindakan kerja sama dan penanganan yang adil, yang berarti organisasi dan keadilan. Orang Israel perlu tahu apa yang menjadi milik siapa, sehingga mereka kemudian dapat mengatur komunitas-komunitas mereka dengan cara yang damai dan produktif. Diperlukan usaha (dalam hal ini, cukup banyak usaha) untuk menangani realitas-realitas organisasi geografis dan sosial.

Realitas ini disadari dengan sangat jelas di Yosua 22, ketika suku-suku di seberang Yordan dianggap hendak melakukan separatisme setelah mereka mendirikan mezbah di wilayah mereka. Ternyata, pendirian mezbah peringatan itu merupakan siasat cerdik dari pihak suku-suku itu untuk mempertahankan kedudukan mereka di dalam bangsa Israel.

Jika hal ini terjadi dengan maksud memberontak atau berlaku tidak setia terhadap TUHAN – janganlah TUHAN meluputkan kami hari ini juga. Sekiranya kami mendirikan mezbah untuk berbalik dari TUHAN dan mempersembahkan kurban bakaran, kurban sajian serta kurban keselamatan di atasnya, biarlah TUHAN sendiri yang menuntut balas! Namun, sesungguhnya karena cemaslah kami melakukannya, sebab pikir kami: Di kemudian hari anak-anakmu mungkin akan bertanya kepada anak-anak kami: Apa urusanmu dengan TUHAN, Allah Israel? Bukankah TUHAN telah menentukan Sungai Yordan sebagai batas antara kami dan kamu, hai bani Ruben dan bani Gad? Kamu tidak mempunyai bagian apa pun dalam TUHAN! Demikianlah mungkin anak-anak kamu membuat anak-anak kami tidak lagi takut akan TUHAN. Sebab itu, kata kami: Marilah kita mendirikan bagi kita sebuah mezbah, bukan untuk kurban bakaran atau kurban sembelihan, tetapi supaya mezbah itu menjadi saksi antara kami dan kamu dan antara keturunan kita kemudian bahwa kami akan tetap beribadah pada TUHAN di hadapan-Nya dengan kurban bakaran, kurban sembelihan dan kurban keselamatan kami. Jadi, di kemudian hari anak-anakmu tidak mungkin akan berkata kepada anak-anak kami: Kamu tidak mempunyai bagian apa pun dalam TUHAN. (Yosua 22:22-27)

Dari semua rincian ini kita bisa melihat bahwa melakukan pembagian tanah dengan adil, menciptakan struktur-struktur pemerintahan, menyelesaikan konflik-konflik, dan mempertahankan misi persatuan adalah proses yang kompleks. Yosua bertanggung jawab secara keseluruhan, tetapi semua orang memiliki peran yang harus dijalankan, dan bahkan perjuangan dan penempatan yang cerdik diperlukan untuk membuat bangsa yang terdiri dari orang-orang yang tidak sempurna ini bekerja dengan harmonis. Ini membuat kita dapat mengapresiasi terapan dan ilmu manajemen saat ini. Untuk membangun rantai pasokan internasional, misalnya, kita perlu menyelaraskan insentif-insentif, mengomunikasikan spesifikasi-spesifikasi, membahas ide-ide, menyelesaikan berbagai kepentingan yang kompetitif-namun-koperatif, meningkatkan keuntungan sendiri tanpa membuat yang lain mengalami kerugian, menarik dan memotivasi kontributor-kontributor terampil, dan mengatasi masalah-masalah tak terduga, sama seperti yang harus dilakukan para pemimpin Israel. Hal yang sama berlaku di universitas-universitas, instansi-instansi pemerintah, bank-bank, koperasi-koperasi pertanian, perusahaan-perusahaan media, dan hampir semua jenis tempat kerja. Masyarakat juga bergantung pada orang-orang yang meneliti dan mengajarkan metode-metode manajemen, dan orang-orang yang membuat kebijakan perusahaan dan pemerintahan berdasarkan hal itu.

Jika Allah memimpin Yosua dan para pemimpin lain serta bangsa Israel, dapatkah kita berharap Dia memimpin para manajer saat ini? Kita memiliki sumber-sumber dari Alkitab, doa, ibadah, studi-studi kelompok, dan nasihat orang Kristen lain. Bagaimanakah, tepatnya, setiap kita dapat merangkai hal-hal ini menjadi cara kita sendiri dalam menerima pimpinan Allah tentang administrasi, manajemen, dan kepemimpinan yang kita lakukan?

Meskipun memiliki negeri dan mengatur pemerintahan adalah hal terpenting bagi bangsa itu, tetapi pasal-pasal selanjutnya dari bagian ini menunjukkan bahwa penaklukan negeri maupun pemerintahan bangsa itu tidak pernah terealisasi sepenuhnya. Di dalam pasal demi pasal, kita mendengar pengulangan kata-kata yang mengganggu, “tetapi mereka tidak menghalau” berbagai suku-suku Kanaan dari wilayah mereka (Yosua 15:63, 16:10, 17:12-13). Tuhan telah memerintahkan bangsa Israel untuk menghalau orang Kanaan agar tatanan baru yang didirikan tidak dicemari oleh kelakuan-kelakuan yang menjijikan dari penduduk sebelumnya. Keberadaan orang Kanaan yang terus berlanjut menjadi penyebab utama Israel tidak setia pada perjanjian Allah di kemudian hari, meskipun hal ini tidak terjadi pada masa yang dicatat dalam kitab Yosua.

Perjanjian: Bangsa Israel Berjanji Setia (Yosua 23-24)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pembaruan perjanjian Allah dengan Israel mengakhiri kitab Yosua. Puncaknya terjadi di pasal terakhir, ketika Yosua menginspirasi bangsa itu dengan memberi tantangan agar mereka berkomitmen untuk beribadah kepada Allah saja. Pidatonya menjadi model komunikasi yang baik. Pertama-tama ia menceritakan tentang perbuatan-perbuatan Allah yang luar biasa bagi bangsa Isael di tanah Mesir, di padang gurun dan di Tanah Perjanjian. Lalu mengapa, tanya Yosua, mereka masih membawa berhala-berhala dan ilah-ilah palsu? Dengan memakai yang sekarang kita sebut sebagai reverse psychology atau psikologi terbalik, ia menantang mereka, “Namun, jika kamu menganggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yosua 24:15). Ini menarik perhatian mereka. "Sekali-kali kami tidak akan meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada ilah-ilah lain” (Yosua 24:16). Maka Yosua pun menantang mereka lebih lanjut. "Takkan sanggup kamu beribadah kepada TUHAN,” katanya kepada mereka, “Sebab Dialah Allah yang kudus” (Yosua 24:19). “Apabila kamu meninggalkan TUHAN dan beribadah kepada ilah-ilah asing, Ia akan berbalik dari kamu dan mendatangkan malapetaka atas kamu, bahkan membinasakan kamu, setelah Ia melakukan yang baik bagi kamu." (Yosua 24:20). Ini membawa mereka ke saat pengambilan keputusan nyata, dan mereka pun memutuskan, "Tidak! Hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah." (Yosua 24:21). Mari kita sahkan, kata Yosua, dan ia pun mempersilakan bangsa itu berjanji setia dan menjadi saksi atas komitmen mereka (Yosua 24:15-27). Di zaman-zaman belakangan ini, John Wesley memperkenalkan layanan pembaruan perjanjian yang sudah digunakan secara luas saat ini, dan banyak gereja-gereja yang sudah mengembangkan cara memperbarui perjanjian mereka sendiri.[1]

Ketika umat tampak goyah dengan komitmen mereka, para pemimpin mungkin tergoda untuk meringankan tugas yang ada atau membuat orang (salah) berpikir bahwa segalanya akan lebih mudah dari yang sebenarnya.Terkadang cara ini mungkin bisa diterima untuk sementara waktu. Namun, seperti dikemukakan Ronald Heifetz dalam Leadership Without Easy Answers [2], menyesatkan pengikut akan segera mengurangi otoritas pemimpin. Hal ini bukan saja karena para pengikut pada akhirnya tahu tentang ketidakbenaran itu, tetapi karena mereka juga jadi tidak dapat berkontribusi dalam penyelesaian masalah kelompok. Kecuali jika pemimpin mengetahui solusi setiap permasalahan—kemungkinan yang sangat kecil sekali—solusi itu harus datang dari kreativitas dan komitmen anggota kelompok. Akan tetapi jika pemimpin sudah mengelabui mereka tentang masalah-masalah yang ada, mereka tidak dapat berkontribusi untuk mencari solusi. Cara ini hanya akan memastikan kegagalan pemimpin itu. Sebaliknya, pemimpin yang jujur kepada pengikutnya tentang sulitnya tantangan-tantangan memiliki kesempatan untuk melibatkan anggota dalam menemukan solusi. Yosua, karena relasinya dengan Allah, telah memberikan teladan yang sangat baik kepada para pemimpin yang berusaha membangun komitmen, dengan menempuh jalan kejujuran dan keterbukaan yang sulit, dan bukan dengan ada yang ditutup-tutupi dan pemberian harapan palsu.

Kekacauan (Hakim-hakim 1-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah Yosua mati, bangsa Israel tidak memiliki pemimpin bangsa yang tetap. Namun, ketika ada ancaman—serangan militer, misalnya—ada orang-orang tertentu yang dibangkitkan Allah untuk menjadi pemimpin pada waktu setiap krisis. Istilah "hakim" sebenarnya tidak terlalu menjelaskan peran yang dilakukan orang-orang ini di tengah bangsa itu. (Kata Ibrani shopet, yang biasanya diterjemahkan sebagai “hakim”, berarti seorang wasit/penengah konflik, komandan militer, dan gubernur suatu wilayah.[1]) Para hakim jelas menyelesaikan perselisihan, tetapi ia juga bertanggung jawab atas urusan militer dan pemerintahan bangsa itu dalam menghadapi permusuhan bangsa-bangsa di sekitarnya. Meskipun kita tetap akan memakai istilah “hakim-hakim” yang tradisional ini, julukan "pembebas" sebenarnya merupakan deskripsi yang lebih tepat untuk para pemimpin ini.

Di dalam kitab Hakim-Hakim kita menemukan gambaran yang jauh lebih suram tentang para pemimpin Israel daripada di dalam kitab Yosua. Makin lama, para hakim yang memerintah makin berkurang kualitasnya sampai akhirnya membawa Israel ke dalam kekacauan total. Kitab ini diakhiri dengan kisah perkosaan, pembunuhan, dan perang saudara, dengan ayat penutup yang sangat suram, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21:25). Melakukan yang benar menurut pandangan sendiri tidak merujuk pada orang-orang saleh yang bertindak etis atas kemauan mereka sendiri, tetapi pada pengejaran tak terkendali untuk menjadi nomor satu, sebagaimana istilah yang mungkin kita pahami saat ini. Ini berarti tidak mematuhi perintah Allah, melalui Yosua, supaya “janganlah engkau lupa menuturkan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak dengan seksama sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya” (Yosua 1:8). Perintah ini adalah untuk melakukan yang benar di mata Allah, bukan yang tampak baik menurut pandangan kita sendiri yang bias dan mementingkan diri sendiri. Para hakim gagal memimpin bangsa itu dalam mematuhi hukum Allah, dan dengan demikian gagal dalam menjalankan keadilan maupun memerintah bangsa itu.[2]

Tidak Lulus Ujian Menghalau: Penyembahan Berhala Israel (Hakim-hakim 1-2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hakim-hakim 1-2 melanjutkan yang belum selesai dari Yosua 13-22, yaitu kegagalan Israel dalam menghalau orang-orang Kanaan dari negeri itu. “Ketika orang Israel menjadi kuat, mereka mengharuskan orang Kanaan melakukan kerja paksa, tetapi mereka tidak dihalau sepenuhnya” (Yosua 17:13). Ada suatu ironi bahwa bangsa Israel yang baru saja dibebaskan dari perbudakan menjadi pemilik budak begitu mereka pertama kali mendapatkan kesempatan. Padahal alasan utama bangsa Israel harus menghalau orang-orang Kanaan adalah untuk mencegah penyembahan berhala mereka memengaruhi bangsa Israel. Seperti ular di Taman Eden, penyembahan berhala orang Kanaan akan menguji kesetiaan orang Israel kepada Allah dan perjanjian-Nya. Israel tidak melakukan lebih baik dari Adam atau Hawa. Karena gagal menghalau godaan orang-orang Kanaan, mereka pun segera mulai “melayani” ilah-ilah orang Kanaan, Baal dan Astoret (Hakim-hakim 2:11-13, 10:6, dll.). (Alkitab bahasa Inggris versi NRSV, [dan juga LAI], menerjemahkan kata Ibrani itu dengan “worshipping – menyembah/beribadah” tetapi hampir semua terjemahan Alkitab bahasa Inggris lainnya dengan lebih akurat menerjemahkannya dengan kata “serving - melayani”). Ini bukan sekadar soal membungkuk sesekali di hadapan sebuah patung atau berdoa kepada ilah asing. Akan tetapi hidup dan kerja orang Israel digunakan sia-sia dalam pelayanan kepada berhala-berhala, ketika mereka mulai percaya bahwa keberhasilan mereka dalam bekerja bergantung pada menenangkan ilah-ilah Kanaan setempat.[1]

Kebanyakan pekerjaan kita saat ini didedikasikan untuk melayani seseorang atau sesuatu selain Allah. Bisnis-bisnis melayani para pelanggan dan pemegang saham. Pemerintah melayani warganegara. Sekolah melayani siswa. Tidak seperti menyembah ilah-ilah orang Kanaan, melayani sasaran-sasaran ini pada dasarnya bukanlah kejahatan. Bahkan, melayani orang lain merupakan salah satu cara kita melayani Allah. Namun, jika melayani pelanggan, pemegang saham, warganegara, siswa, dan lain-lainnya menjadi lebih penting bagi kita daripada melayani Allah, atau jika hal itu hanyalah sarana untuk memuliakan diri kita sendiri, maka kita sedang mengikuti bangsa Israel kuno yang menyembah ilah-ilah palsu. Tim Keller menemukan bahwa berhala-berhala itu bukan suatu peninggalan agama kuno yang sudah usang, tetapi spiritualitas modern, yang palsu, yang kita jumpai sehari-hari.

Apa itu berhala? Berhala adalah apa saja yang lebih penting bagi Anda daripada Allah; apa saja yang menguasai hati dan pikiran Anda melebihi Allah; apa saja yang Anda cari untuk memberikan pada Anda yang hanya dapat diberikan Allah. Ilah palsu adalah apa saja yang begitu sentral dan esensial bagi hidup Anda sampai-sampai jika Anda kehilangan hal itu, hidup Anda menjadi terasa hampir tak berarti lagi. Berhala memiliki kekuatan mengendalikan di hati Anda sehingga Anda dapat mencurahkan sebagian besar hasrat dan tenaga Anda, sumber daya finansial dan emosional Anda untuk hal itu tanpa berpikir dua kali. Berhala itu bisa berupa keluarga dan anak-anak, karier atau mencari uang, prestasi atau pujian/persetujuan, penghargaan atau kedudukan sosial. Berhala bisa juga berupa hubungan romantis, persetujuan rekan kerja, kompetensi dan keterampilan, situasi aman dan nyaman, kecantikan atau kepintaran, alasan politik atau sosial yang terpuji, moralitas dan kebajikan, atau bahkan keberhasilan dalam pelayanan Kristen.[2]

Sebagai contoh, seorang pejabat terpilih tentu saja ingin melayani publik. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus terus memiliki publik untuk dilayani, yang artinya, tetap menjabat dan terus memenangkan pemilihan. Jika melayani publik menjadi tujuan utamanya, maka apa pun yang diperlukan untuk memenangkan pemilihan menjadi dapat dibenarkan, seperti mengikuti keinginan publik, penipuan, intimidasi, tuduhan palsu, dan bahkan kecurangan dalam penghitungan suara. Keinginan yang tak terbendung untuk melayani publik—ditambah keyakinan tak tergoyahkan bahwa dirinyalah satu-satunya orang yang dapat memimpin dengan efektif— inilah tepatnya yang menjadi motivasi Presiden AS Richard Nixon dalam pemilu 1972. Keinginan tak terbendung untuk melayani publik itulah yang tampaknya membuatnya berusaha memenangkan pemilu dengan segala cara, termasuk dengan memata-matai Komite Nasional Demokrat di Hotel Watergate. Tindakan ini kemudian membuat dirinya dimakzulkan, kehilangan jabatan dan mendapat aib. Melayani berhala selalu akan berakhir dengan malapetaka.

Orang dengan pekerjaan apa pun—bahkan pekerjaan dalam keluarga sebagai pasangan, orang tua dan anak—menghadapi godaan untuk lebih meninggikan “some imtermediate good” (kebaikan sekunder tertentu) daripada melayani Allah. Ketika melayani kebaikan apa pun menjadi tujuan utama, dan bukan sebagai ungkapan pelayanan kepada Allah, maka penyembahan berhala mulai menyelinap masuk. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang bahaya-bahaya memberhalakan pekerjaan, lihat bagian Hukum Pertama dan Hukum Kedua di dalam kitab Keluaran dan Pekerjaan (“Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3); “Jangan membuat bagimu berhala…” (Keluaran 20:4)) dan di dalam kitab Ulangan dan Pekerjaan (“Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:7; Keluaran 20:3); “Jangan membuat bagimu berhala…” (Ulangan 5:8; Keluaran 20:4) di https://www.teologikerja.org/.

Debora (Hakim-hakim 4-5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hakim yang terbaik adalah Debora. Orang-orang mengakui kebijaksanaannya dan datang padanya untuk meminta nasihat dan solusi konflik (Hakim-Hakim 4:5). Hierarki militer juga mengakuinya sebagai panglima tertinggi dan bahkan hanya akan pergi berperang atas perintahnya (Hakim-hakim 4:9). Pemerintahan hakim Debora begitu baik sampai “negeri itu aman empat puluh tahun lamanya” (Hakim-hakim 5:31), suatu keadaan yang jarang terjadi dalam sejarah Israel.

Sebagian orang masa kini mungkin heran, bahwa seorang perempuan, bukan janda atau putri seorang penguasa, bisa tampil sebagai pemimpin bangsa di sebuah negara zaman pramodern. Dan kitab Hakim-hakim memandang Debora sebagai pemimpin Israel terbesar pada zaman itu. Hanya Debora saja di antara para hakim yang disebut nabi atau nabiah (Hakim-hakim 4:4), yang menunjukkan betapa ia sangat mirip dengan Musa dan Yosua, para pemimpin yang juga berkomunikasi langsung dengan Allah. Baik kaum wanita, seperti Yael, agen yang menyamar, maupun kaum pria, seperti Barak sang jenderal, tidak menunjukkan keberatan atas keberadaan pemimpin perempuan. Pelayanan Debora sebagai hakim-nabiah Israel menunjukkan bahwa Allah tidak menganggap masalah dengan kepemimpinan politik, yudisial, atau militer perempuan. Terbukti suaminya Lapidot dan keluarga intinya juga tidak mengalami kesulitan dalam mengatur pekerjaan rumah tangga, sehingga ia punya waktu untuk "duduk di bawah pohon kurma Debora" dan melakukan tugasnya ketika "orang Israel menghadap dia untuk mencari keadilan" (Hakim-hakim 4:5).

Saat ini, di sebagian masyarakat, di banyak sektor pekerjaan, dan organisasi-organisasi tertentu, kepemimpinan perempuan sudah menjadi tidak kontroversial seperti pada zaman Debora. Akan tetapi di sebagian budaya, sektor pekerjaan, dan organisasi masa kini lainnya, perempuan tidak diterima sebagai pemimpin atau harus tunduk pada aturan-aturan yang tidak dikenakan pada laki-laki. Mungkinkah dengan merenungkan kepemimpinan Debora pada zaman Israel kuno dapat membuat orang Kristen masa kini lebih jelas dalam memahami maksud Allah dalam situasi-situasi ini? Dapatkah kita melayani organisasi dan masyarakat kita dengan ikut merobohkan penghalang-penghalang yang tidak sepatutnya terhadap kepemimpinan perempuan? Apakah kita secara pribadi mendapatkan manfaat dengan menerima perempuan sebagai atasan, mentor, dan peran-peran panutan lainnya dalam pekerjaan kita?

Efek Ekonomi Akibat Perang (Hakim-hakim 6:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah Debora, kualitas para hakim mulai merosot. Hakim-hakim 6:1-11 menunjukkan yang kemungkinan menjadi ciri umum kehidupan bangsa Israel pada masa itu – kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh perang.

Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. Sebab itu, TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Midian selama tujuh tahun, dan cengkeraman orang Midian semakin kuat atas Israel. Oleh karena orang Midian, orang Israel membuat tempat-tempat perlindungan di pegunungan, gua-gua dan kubu-kubu bagi dirinya. Setiap kali orang Israel selesai menabur, datanglah orang Midian, orang Amalek serta orang-orang dari timur dan maju menyerang mereka. Orang-orang itu berkemah di daerah mereka dan memusnahkan hasil bumi sampai dekat Gaza. Bahan makanan tidak dibiarkan tersisa sedikit pun di Israel, juga domba atau lembu atau pun keledai. Bahkan orang-orang itu maju dengan ternak dan kemah mereka bagikan belalang yang sangat banyak. Jumlah mereka beserta unta mereka tidak terhitung banyaknya. Mereka datang ke negeri itu untuk memusnahkannya. Orang Israel menjadi sangat melarat karena perbuatan orang Midian itu. Lalu orang Israel berseru kepada TUHAN.

Dampak perang pada pekerjaan dirasakan di berbagai bagian dunia saat ini. Selain kerusakan akibat serangan langsung terhadap sasaran-sasaran ekonomi, ketidakstabilan yang ditimbulkan konflik bersenjata juga dapat menghancurkan mata pencaharian masyarakat. Para petani di wilayah yang dilanda perang enggan bercocok tanam karena kemungkinan mereka akan dipindahkan sebelum musim panen tiba. Para investor menganggap negara yang dilanda perang memiliki risiko buruk dan tidak mungkin menggelontorkan sumber daya untuk meningkatkan infrastruktur. Dengan hanya sedikit harapan akan pembangunan ekonomi, orang bisa ditarik ke dalam faksi-faksi bersenjata yang memperebutkan sumber daya apa pun yang masih ada untuk dieksploitasi. Dengan demikian siklus yang sangat buruk akibat perang dan kemiskinan akan terus berlanjut. Perdamaian perlu mendahului kelimpahan.

Situasi ekonomi Israel begitu sulit di bawah penindasan orang Midian sampai-sampai kita menemukan calon hakim Gideon “mengirik gandum di tempat pemerasan anggur agar tersembunyi dari orang Midian” (Hakim-hakim 6:11). Daniel Block menjelaskan alasan perilakunya ini.

Sebelum peralatan teknologi modern ditemukan, pengirikan bulir-bulir gandum dilakukan pertama-tama dengan menumbuk bonggol-bonggol batangnya dengan pemukul untuk membuang jeraminya, lalu campuran sekam dan biji gandum itu dilambung-lambungkan ke udara agar angin menerbangkan sekamnya dan biji gandum yang lebih berat jatuh ke lantai. Dalam situasi genting seperti saat itu, cara ini jelas tidak bijaksana. Melakukan pengirikan di puncak bukit hanya akan menarik perhatian orang Midian untuk merampas. Oleh karena itu, Gideon memilih mengirik gandum di tempat tersembunyi yang biasanya digunakan untuk memeras buah anggur. Pada umumnya pemerasan buah anggur memerlukan dua cekungan yang digali pada batu karang, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Buah anggur akan ditumpuk dan diinjak-injak di cekungan yang atas, sementara sebuah saluran akan mengalirkan sari-sarinya ke cekungan yang lebih rendah.[1]

Saat ini orang Kristen maupun non-Kristen sama-sama sangat setuju bahwa menjalankan bisnis dengan cara-cara yang melanggengkan konflik bersenjata adalah hal yang tidak bermoral. Larangan internasional terhadap “Berlian konflik/berdarah” adalah sebuah contoh terkini.[2] Apakah orang-orang Kristen memimpin dalam usaha-usaha semacam itu? Apakah kita merupakan orang-orang yang mencari tahu apakah bisnis, pemerintah, universitas, dan institusi lainnya tempat kita bekerja secara tanpa sadar berpartisipasi dalam kekerasan? Apakah kita berani mengambil risiko untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ketika atasan kita mungkin lebih memilih mengabaikan situasi itu? Atau apakah kita bersembunyi, seperti Gideon, di balik alasan hanya melakukan pekerjaan kita?

Keberhasilan Masa Lalu Tidak Menjamin Masa Depan – Kepemimpinan Gideon Yang Ambivalen (Hakim-hakim 6:12 – 8:35)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Gideon merupakan contoh paling jelas dari karakter paradoks para hakim Israel dan pelajaran-pelajaran ambivalen yang mereka tunjukkan dalam kepemimpinan di tempat kerja dan tempat lainnya. Nama Gideon secara harfiah berarti "peretas/pembongkar" [1] dan tampaknya menunjukkan hal yang positif ketika ia membongkar atau merobohkan mezbah berhala ayahnya di Hakim-hakim 6:25-27. (Fakta bahwa ia melakukannya pada malam hari, karena takut, menunjukkan detail yang mengganggu). [2] Meskipun faktanya Allah sudah berjanji untuk menyertainya, Gideon masih saja terus meminta tanda, terutama dalam peristiwa guntingan bulu domba di Hakim 6:36-40. Allah memang berkenan meneguhkan Gideon dalam hal ini, tetapi ini bukanlah contoh untuk diikuti orang lain ketika banyak orang Kristen masa kini berdebat tentang hal mencari pimpinan, terutama pimpinan dalam pekerjaan. Tindakan ini justru menjadi pertanda komitmen yang goyah, yang pada akhirnya mengarah kepada penyembahan berhala di akhir cerita.[3] Lihat Decision Making by the Book [4] dan Decision Making and the Will of God [5] untuk analisis lebih mendalam tentang cara-cara mencari peneguhan yang dilakukan Gideon.

Hal terbaik dari kisah ini, tentu saja, kemenangan Gideon yang menakjubkan atas orang Midian (Hakim-hakim 7). Yang kurang dikenal adalah kegagalan-kegagalan dalam kepemimpinannya selanjutnya (Hakim-hakim 8). Penduduk Sukot dan Pnuel menolak membantu orang-orangnya yang habis bertempur, dan penghancurannya yang brutal atas kota-kota itu bisa dianggap sangat tidak sebanding dengan kesalahan mereka. Gideon lagi-lagi hidup sesuai dengan namanya, tetapi kali ini ia merobohkan siapa saja yang merintanginya.[6] Meskipun ia menyatakan tidak ingin menjadi raja, pada kenyataannya ia banyak bertindak sebagai raja yang lalim (Hakim-hakim 8:22-26). Bahkan yang lebih meresahkan adalah kejatuhannya ke dalam penyembahan berhala. Baju efod yang dibuatnya menjadi “jerat” bagi bangsanya, dan “semua orang Israel berzina dengan menyembah efod itu” (Hakim-hakim 8:27). Betapa telah jatuh sang pahlawan!

Pelajaran untuk kita saat ini bisa jadi kita merasa bersyukur atas berkat keberadaan orang-orang hebat tanpa mengidolakan mereka sampai menjadi berhala. Seperti Gideon, seorang jenderal masa kini bisa membawa kita kepada kemenangan dalam perang, tetapi ternyata menjadi lalim dalam situasi damai. Seorang jenius mungkin memberi kita wawasan yang luar biasa tentang musik atau film, tetapi membuat kita menyimpang dalam mengasuh anak atau politik. Seorang pemimpin bisnis bisa menyelamatkan perusahaan dalam situasi krisis, tetapi menghancurkannya pada saat aman-aman saja. Kita bahkan bisa menemukan diskontinuitas yang sama pada diri kita sendiri. Mungkin kita menanjak dalam kedudukan di tempat kerja tetapi tenggelam dalam perselisihan di rumahtangga, atau sebaliknya. Mungkin kita terbukti andal dalam berprestasi secara perorangan, tetapi gagal sebagai manajer. Kemungkinan yang paling besar, kita mencapai banyak hal baik ketika kita tidak yakin dengan diri kita sendiri, karena kita bersandar pada Allah, dan kita mendatangkan malapetaka ketika kesuksesan membuat kita bersandar pada diri sendiri.[7] Seperti para hakim, kita adalah orang-orang yang penuh kontradiksi dan kelemahan. Satu-satunya harapan kita, atau jadi putus asa, adalah pengampunan dan transformasi yang telah dimungkinkan bagi kita di dalam Kristus.

Kegagalan Kepemimpinan Para Hakim (Hakim-hakim 9-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kegagalan-kegagalan para hakim sesudah Gideon semakin buruk lagi. Anak Gideon, Abimelekh, mempersatukan orang-orang di sekitarnya, tetapi ia kemudian membunuh tujuh puluh saudaranya yang menghalangi jalannya (Hakim-hakim 9). Yefta memulai sebagai perampok yang kemudian membebaskan bangsanya dari tangan orang Amon, tetapi ia menghancurkan keluarga dan masa depannya sendiri dengan nazar yang mengerikan yang menyebabkan kematian putrinya (Hakim-hakim 11). Hakim yang paling terkenal, Simson, menimbulkan bencana di antara orang Filistin, tetapi yang paling terkenal secara negatif adalah kejatuhannya pada bujuk rayu Delila yang tidak mengenal Allah, yang mengakibatkan kehancurannya sendiri (Hakim-hakim 13-16).

Apa yang dapat kita petik dari semuanya ini untuk pekerjaan kita di dunia saat ini? Pertama-tama, kisah-kisah para hakim meneguhkan kebenaran bahwa Allah bekerja melalui orang-orang yang gagal/cacat. Ini benar sekali, karena sejumlah hakim—Gideon, Barak, Simson, dan Yefta—dipuji dalam Perjanjian Baru, bersama-sama dengan Rahab (Ibrani 11:31-34). Kitab Hakim-hakim tidak ragu menunjukkan bahwa Roh Allahlah yang memampukan mereka melakukan tindakan-tindakan pembebasan yang dahsyat saat menghadapi berbagai masalah yang begitu sulit (Hakim-hakim 3:10; 6:34; 11:29; 13:25; 14: 6-9; 15:14). Selanjutnya, mereka lebih dari alat di dalam tangan Allah. Mereka menanggapi positif panggilan Allah untuk membebaskan bangsanya, dan melalui mereka, Allah lagi-lagi menyelamatkan umat-Nya.

Akan tetapi maksud keseluruhan kitab Hakim-hakim bukanlah menganjurkan kita untuk menjadikan orang-orang ini sebagai panutan. Penekanan kitab ini adalah bahwa bangsa itu kacau, penuh kompromi, dan para pemimpinnya mengecewakan dalam ketidakpatuhan mereka terhadap perjanjian Allah. Pelajaran yang lebih tepat untuk dipetik barangkali adalah bahwa kesuksesan – bahkan kesuksesan yang diberikan Allah – belum tentu merupakan pernyataan tentang perkenan Allah. Ketika usaha-usaha kita di tempat kerja diberkati, apalagi di tengah situasi yang tidak menguntungkan, kita mungkin tergoda untuk berpikir, "Nah, Allah jelas bekerja di sini, maka Dia pasti memberkatiku karena menjadi orang baik/berhasil." Padahal sejarah kehidupan para hakim menunjukkan bahwa Allah bekerja kapan saja Dia mau, dengan bagaimana saja yang Dia mau, dan melalui siapa yang Dia mau. Dia bertindak menurut rencana-Nya, bukan berdasarkan kebaikan atau kekurangan kita. Kita tidak dapat mengambil kredit seolah-olah kita layak menerima berkat kesuksesan. Demikian pula, kita tidak boleh menghakimi orang lain yang kita anggap kurang pantas mendapat perkenan Allah, sebagaimana diingatkan Paulus di Roma 2:1.

Injil Kemakmuran Terungkap dalam Bentuk Awal (Hakim-hakim 17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika bagian tengah kitab Hakim-hakim menunjukkan para pahlawan dengan kelemahan yang terperangkap dalam siklus penindasan dan pembebasan yang menyedihkan, pasal-pasal terakhir menunjukkan sebuah bangsa yang hancur yang tampaknya tak ada harapan untuk ditebus. Hakim-hakim 17 dibuka dengan semacam parodi penyembahan berhala. Seorang yang bernama Mikha memiliki banyak uang, ibunya menggunakan uang itu untuk membuat berhala, dan Mikha mempekerjakan seorang Lewi freelance sebagai imam pribadinya. Tak heran jika kultus pemujaan murahan di rumah Mikha ini menunjukkan teologi yang sama kacaunya. “Kata Mikha, 'Sekarang aku tahu bahwa TUHAN akan berbuat baik kepadaku [membuat aku makmur], karena seorang Lewi telah menjadi imamku'” (Hakim-hakim 17:13). Dengan kata lain, dengan memiliki tokoh agama yang memberkati usaha penyembahan berhalanya, Mikha percaya bahwa ia dapat membuat Allah mengeluarkan barang-barang yang diinginkannya. Kreativitas manusia di sini disia-siakan dengan cara yang paling buruk, dengan membuat ilah-ilah khayalan sebagai pembungkus keserakahan dan kesombongan.

Hasrat untuk mengubah Allah menjadi mesin kemakmuran tak pernah berhenti. Bentuknya yang terkenal secara negatif saat ini adalah yang disebut "injil kemakmuran" atau "injil kesuksesan" yang mengeklaim bahwa orang yang mengaku percaya pada Kristus akan selalu diganjar dengan kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan. Dalam hal pekerjaan, keyakinan ini membuat sebagian orang melalaikan pekerjaan mereka dan melakukan hal-hal yang tak patut sementara menunggu Allah melimpahi mereka dengan kekayaan. Hal ini juga membuat orang-orang lainnya—yang mengharapkan Allah memberi kemakmuran melalui pekerjaan mereka— mengabaikan keluarga dan komunitas, melecehkan rekan kerja, dan melakukan bisnis yang tidak etis, karena yakin perkenanan Allah membebaskan mereka dari moralitas yang wajar.

Gundik Orang Lewi: Kebobrokan Manusia & Keterlibatan Tokoh Agama (Hakim-hakim 18-21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Babak terakhir dari kitab Hakim-hakim merupakan peristiwa paling menjijikkan dalam sejarah kemerosotan bangsa Israel yang panjang dalam kebobrokan, penyembahan berhala, dan anarki. Beberapa orang dari suku Dan merampas seluruh usaha pemujaan Mikha, termasuk orang Lewi dan berhalanya itu (Hakim-hakim 18:1-31). Di Hakim-hakim 19 dikisahkan tentang seorang Lewi yang mengambil gundik dari desa yang jauh (di Betlehem, sebagaimana yang tertulis), tetapi setelah suatu pertengkaran rumah tangga, gundik ini kembali ke rumah ayahnya. Orang Lewi itu lalu pergi ke Betlehem untuk menjemput gundiknya. Setelah lima hari minum-minum bersama ayah mertuanya, orang Lewi itu dengan bodohnya memulai perjalanan pulang saat matahari hampir terbenam. Mereka lalu kemalaman sendirian di alun-alun kota sebuah wilayah suku Benyamin. Tidak ada yang memberi mereka tumpangan sampai akhirnya seorang bapak tua menunjukkan keramahtamahan dengan menyediakan tempat menginap.

Akan tetapi malam itu orang-orang durjana di kota itu mengepung rumah bapak tua itu dan menuntut agar orang asing itu dikeluarkan untuk mereka gauli (Hakim-hakim 19:22). Bapak tua itu berusaha melindungi orang asing itu, tetapi idenya untuk melindungi tamumya benar-benar membuat muak. Untuk menyelamatkan orang Lewi itu, ia menawarkan putrinya yang masih gadis dan gundik orang Lewi itu untuk diperkosa lelaki-lelaki durjana itu. Orang Lewi itu sendiri lalu memegang erat dan membawa gundiknya ke luar, yang kemungkinan menjadi contoh paling awal yang dicatat tentang keterlibatan tokoh agama dalam pelecehan seksual. Kemudian “mereka menggauli dan menyakiti perempuan itu sepanjang malam sampai menjelang pagi” (Hakim-hakim 19:25). Setelah didapati sudah tak bernyawa lagi, tubuhnya lalu dipotong-potong dan dikirimkan ke seluruh wilayah Israel, yang hampir saja mengakibatkan musnahnya suku Benyamin sebagai tindakan pembalasan (Hakim-hakim 20-21). Kanaanisasi terhadap bangsa Israel sempurna.[1]

Ayat penutup kitab ini merangkum semuanya dengan ringkas. “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21:25). Seandainya belum jelas, ayat ini berarti bahwa tanpa pemimpin yang membawa bangsa itu melayani Allah, setiap orang akan mengikuti keinginan dan rancangan jahatnya sendiri, karena kompas moral bawaan mereka tidak mengarahkan mereka untuk melakukan hal yang benar tanpa adanya pengawasan.

Di lingkungan-lingkungan kerja kita saat ini, ancaman terhadap kelompok yang lemah—termasuk pelecehan terhadap perempuan dan orang asing—secara mengejutkan masih sangat umum terjadi. Secara individu, kita harus memilih apakah kita akan berdiri bersama mereka yang menentang ketidakadilan—yang pastinya bisa membawa risiko pada diri kita sendiri—ataukah kita akan bersembunyi sampai kerusakan itu berlalu.

Secara organisasi dan masyarakat, kita harus memutuskan apakah kita akan bekerja untuk sistem dan struktur yang mencegah kejahatan perilaku manusia, ataukah kita akan berdiri di pinggir ketika semua orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Bahkan kepasifan kita dapat berkontribusi pada terjadinya pelecehan-pelecehan di tempat kerja kita, terutama jika kita tidak berada dalam posisi berotoritas. Namun, jika orang lain menganggap Anda memiliki pengaruh—misalnya karena Anda lebih senior, sudah bekerja lebih lama, berpenampilan lebih rapi, kelihatan sering berbicara dengan atasan, berasal dari kelompok etnis atau bahasa yang dihormati, lebih berpendidikan, atau lebih baik dalam mengekspresikan diri—dan Anda tidak membela orang yang dilecehkan, Anda berkontribusi pada terjadinya pelecehan. Contohnya, jika orang cenderung datang pada Anda untuk meminta bantuan, itu tandanya orang lain menganggap Anda memiliki pengaruh yang signifikan. Namun jika kemudian, Anda hanya diam ketika lelucon yang merendahkan dilontarkan, atau karyawan baru diintimidasi, Anda memperberat beban korban, dan Anda ikut memberi jalan kepada pelecehan selanjutnya.

Membaca peristiwa-peristiwa mengerikan di pasal-pasal terakhir kitab Hakim-hakim mungkin membuat kita merasa bersyukur karena kita tidak hidup di zaman itu. Akan tetapi jika kita sungguh-sungguh menyadari, kita dapat melihat bahwa dengan pergi bekerja saja pun mengandung signifikansi moral yang sama beratnya dengan pekerjaan para pemimpin atau siapa pun di Israel kuno.

Konklusi Kitab Yosua dan Hakim-hakim

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perjalanan ke dalam kitab Yosua dan Hakim-hakim adalah perjalanan yang menyadarkan. Kita memulai dengan teladan Yosua yang menginspirasi, yang menggabungkan keterampilan, hikmat, dan kebajikan ilahi. Tuhan sendiri yang memimpin bangsa Israel ke tanah perjanjian, dan mereka berjanji akan menaati Dia dengan seluruh kehidupan mereka. Allah mengaruniakan mereka masyarakat yang tidak dibebani tirani, dengan permulaan baru yang bebas dari korupsi, dominasi, dan ketidakadilan yang melembaga. Pada saat yang dibutuhkan, Allah membangkitkan para pemimpin yang membebaskan mereka dari setiap ancaman yang datang berturut-turut, yang dicontohkan dalam diri Yosua dan Debora—yang bijaksana, berani, dan diakui secara universal.

Kita melihat para pemimpin dan orang Israel awal ini membangun struktur-struktur yang mereka butuhkan untuk kedamaian dan kemakmuran negeri itu. Mereka mengalokasikan sumber daya secara adil dan produktif. Mereka mengejar misi persatuan sambil memelihara budaya yang beragam dan fleksibel. Mereka mendistribusikan kekuasaan sementara pada saat yang sama mempertahankan sikap saling bertanggung jawab dan belajar cara menyelesaikan konflik secara produktif dan kreatif. Mereka makmur dan menikmati kedamaian.

Namun, tak lama sesudah itu, kita melihat Israel merosot dari umat perjanjian yang aman, tertata rapi, dan sangat terorganisir, menjadi gerombolan yang kejam dan terpecah-belah. Setiap aspek kehidupan mereka, termasuk pekerjaan mereka, menjadi rusak karena mereka mengabaikan perintah dan penyertaan Allah. Allah telah memberi mereka tanah yang subur yang siap untuk pekerjaan yang produktif, tetapi mereka melupakan pekerjaan-Nya untuk mereka dan menyia-nyiakan sumber daya mereka untuk menyembah berhala. Mereka membuka diri terhadap peperangan yang mengakibatkan kehancuran ekonomi, dan dalam waktu singkat mereka pun mulai mengikuti sepenuhnya kejahatan bangsa-bangsa di sekitarnya. Pada akhirnya, mereka menjadi musuh terburuk mereka sendiri.

Pelajaran utama untuk kita sama seperti yang ditulis Yohanes di akhir suratnya yang pertama berabad-abad kemudian, “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala” (1 Yohanes 5:21). Ketika kita bekerja dalam kesetiaan kepada Allah, menaati perjanjian-Nya dan mencari pimpinan-Nya, pekerjaan kita mendatangkan kebaikan yang tak terkira bagi diri kita sendiri dan masyarakat kita. Akan tetapi ketika kita melanggar perjanjian dengan Allah yang bekerja untuk kita, dan kita mulai melakukan ketidakadilan yang dengan mudah kita pelajari dari budaya sekitar kita, kita akan mendapati pekerjaan kita sama sia-sianya dengan berhala-berhala yang kita layani.

Introduksi Kitab Rut

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Rut menyampaikan cerita luar biasa tentang kesetiaan Allah kepada Israel dalam hidup dan pekerjaan tiga orang biasa, Naomi, Rut dan Boas. Ketika mereka bekerja, dalam kesesakan maupun kelimpahan ekonomi, kita melihat tangan Allah bekerja sangat jelas dalam usaha pertanian mereka yang produktif, pengelolaan sumber daya yang murah hati untuk kebaikan semua, perlakuan yang menghormati rekan-rekan kerja, kecerdikan dalam menghadapi kebutuhan, serta kelahiran dan membesarkan anak. Dalam segala hal, kesetiaan Allah kepada mereka menciptakan kesempatan-kesempatan untuk pekerjaan yang berhasil, dan kesetiaan mereka kepada Allah mendatangkan berkat pemeliharaan dan keamanan bagi satu sama lain dan orang-orang di sekitar mereka.

Peristiwa-peristiwa dalam kitab Rut terjadi pada saat perayaan awal musim menuai jelai (Rut 1:22; 2:17, 23; 3:2, 15, 17), saat hubungan antara berkat Allah dan kerja manusia dirayakan. Dua bagian/ayat kitab Taurat menjadi latar belakang dari perayaan ini (perhatikan bagian yang dicetak miring):

Rayakan juga Pesta Panen buah sulung dari usahamu menabur di ladang. (Keluaran 23:16)
Kemudian haruslah engkau merayakan Hari Raya Tujuh Minggu bagi TUHAN, Allahmu, dengan persembahan sukarela yang akan kauberikan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. Bersukarialah di hadapan TUHAN, Allahmu, engkau beserta anakmu laki-laki dan perempuan, hambamu laki-laki dan perempuan, orang Lewi yang di kotamu, juga pendatang, anak yatim, dan janda yang di tengah-tengahmu. Bersukarialah di tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya berdiam di sana. Haruslah kauingat bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir, dan lakukanlah ketetapan ini dengan setia. (Ulangan 16:10-12)

Kedua bagian ayat Alkitab ini menjadi dasar teologis peristiwa-peristiwa dalam kitab Rut.

  1. Berkat Allah adalah sumber produktivitas manusia (“berkat yang diberikan kepadamu oleh Tuhan”).

  2. Allah memberikan berkat produktivitas melalui kerja manusia (“buang sulung dari usahamu”).

  3. Allah memanggil umat-Nya untuk memberi kesempatan kepada orang miskin dan lemah (“pendatang, anak yatim dan janda”) untuk bekerja secara produktif (“ingatlah bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir,” merujuk pada pembebasan Allah atas umat-Nya dari perbudakan di Mesir dan pemeliharaan-Nya atas mereka di padang gurun dan di tanah Kanaan).

Intinya, produktivitas kerja manusia adalah perluasan dari pekerjaan Allah di dunia, dan berkat Allah atas kerja manusia sangat terkait dengan perintah Allah untuk memberi dengan murah hati kepada orang-orang yang tidak bisa menghidupi diri sendiri. Prinsip-prinsip ini mendasari kitab Rut. Akan tetapi kitab ini berbentuk narasi, bukan makalah teologis, dan cerita itu menarik.

Tragedi Menimpa Keluarga Rut dan Naomi (Rut 1:1-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Cerita dimulai dengan kelaparan yang terjadi “pada zaman para hakim memerintah” (Rut 1:1). Zaman ketika orang Israel meninggalkan jalan Allah dan jatuh ke dalam penyembahan berhala, kondisi sosial menakutkan, dan perang saudara membawa bencana, sebagaimana diceritakan dalam pasal-pasal kitab Hakim-hakim tepat sebelum kitab Rut di dalam Alkitab orang Kristen. (Di dalam Alkitab orang Ibrani, urutan kitabnya berbeda). Secara keseluruhan, bangsa ini jelas tidak menaati ketetapan-ketetapan Taurat tentang pekerjaan atau hal lainnya. Tokoh-tokoh dalam cerita ini—setidaknya Naomi—mengakui hilangnya berkat Allah yang disebabkan hal ini (Rut 1:13, 1:20-21). Sebagai akibatnya, struktur sosial-ekonomi masyarakat hancur, dan kelaparan melanda negeri itu.

Dalam menyikapi kelaparan itu, Elimelekh bersama istrinya Naomi dan dua anak laki-lakinya pindah ke Moab—suatu tindakan yang cukup nekat mengingat orang Israel musuh bebuyutan orang Moab—karena berpikir di Moab mereka bisa memiliki prospek yang lebih baik untuk bekerja produktif. Kita tidak tahu apakah mereka berhasil mendapatkan pekerjaan atau tidak, tetapi kedua putra mereka menemukan istri di Moab. Namun dalam waktu sepuluh tahun, mereka mengalami tragedi sosial dan ekonomi yang dahsyat—semua laki-laki dalam keluarga itu mati, meninggalkan Naomi dan kedua menantunya tanpa suami (Rut 1:3–5). Ketiga janda itu lalu harus menghidupi diri mereka sendiri tanpa hak-hak hukum dan ekonomi yang dalam masyarakat mereka diberikan kepada laki-laki. Singkatnya, mereka tidak punya suami, tidak punya hak atas tanah yang jelas, dan tidak memiliki sumber daya apa pun untuk kelangsungan hidup mereka. “Panggil aku Mara [pahit] sebab Yang Maha Kuasa telah membuat hidupku pahit sekali.” Naomi meratap (Rut 1:20), yang menunjukkan betapa sulitnya keadaan mereka.

Bersama orang-orang asing dan anak-anak yatim, janda-janda mendapat banyak perhatian dalam Hukum Israel.[1] Karena mereka telah kehilangan perlindungan dan dukungan dari suami, para janda mudah menjadi target pelecehan dan eksploitasi sosial dan ekonomi. Banyak yang terpaksa menjadi pelacur demi bertahan hidup, suatu situasi yang cukup lazim bagi kaum wanita rentan di zaman kita juga. Naomi bukan hanya seorang janda, ia juga orang asing di Moab. Namun, jika ia kembali ke Betlehem dengan para menantunya, wanita-wanita muda itu akan menjadi janda dan orang asing di Israel.[2] Mungkin karena memikirkan kerentanan yang akan mereka hadapi di mana pun mereka tinggal inilah, Naomi mendesak kedua menantunya itu untuk pulang ke rumah ibu mereka, dan mendoakan kiranya Allah Israel memberi tempat perlindungan di rumah suami mereka (orang Moab) masing-masing (Rut 1:8-9). Namun, seorang menantunya, Rut, tidak mau berpisah dari Naomi, betapa pun sulitnya kehidupan yang akan mereka hadapi. Kata-katanya kepada Naomi mengungkapkan kedalaman kasih dan kesetiaannya:

Jangan desak aku meninggalkan engkau untuk pulang dan tidak mengikutimu. Ke mana pun engkau pergi, ke situ aku pergi. Di mana pun engkau bermalam, di situ aku bermalam. Bangsamulah bangsaku dan Allahmu Allahku. Di mana pun engkau mati, di situ aku mati dan dikuburkan. (Rut 1:16–17)

Hidup bisa menjadi sulit, dan wanita-wanita ini menghadapi yang teramat sulit.

Berkat Allah adalah Sumber Produktivitas Manusia (Rut 2:1-4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Naomi dan Rut mengalami kesulitan yang menyengsarakan, tetapi di dalam Allah, kesulitan bukanlah tanpa harapan. Meskipun kita tidak menemukan mukjizat-mujizat yang jelas dalam kitab Rut, ini tidak berarti tangan Allah tidak bekerja. Sebaliknya, Allah terus bekerja setiap waktu, terutama melalui tindakan-tindakan orang saleh dalam kitab itu. Jauh sebelumnya, Allah telah berjanji kepada Abraham, "Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak dan membuat engkau menjadi bangsa-bangsa serta darimulah raja-raja berasal" (Kejadian 17:6). Meskipun umat-Nya tidak setia kepada-Nya, Tuhan menepati janji-Nya dengan memulihkan produktivitas pertanian Israel (Rut 1:6). Dan ketika Naomi mendengar hal itu, ia pun memutuskan untuk pulang ke Betlehem untuk mencoba mendapatkan makanan. Rut, yang memegang perkataannya, ikut bersamanya, dan berniat mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan Naomi. Seiring bergulirnya cerita, berkat Allah tercurah atas mereka berdua—dan akhirnya atas seluruh umat manusia—melalui pekerjaan Rut dan hasil-hasilnya.

Kesetiaan Allah pada Kita Mendasari Seluruh Produktivitas

Secara umum, Kitab Suci orang Ibrani menggambarkan Allah sebagai Pekerja ilahi, yang menjadi paradigma bagi pekerjaan manusia. Alkitab diawali dengan gambaran tentang Allah yang bekerja—bersabda, mencipta, membentuk, membangun. Di dalam Alkitab orang Ibrani, Allah tidak hanya tampil sebagai subyek dari berbagai kata kerja “work” (bekerja), tetapi Dia juga sering digambarkan sebagai “Pekerja.” Di dalam Alkitab orang Ibrani, Allah tidak hanya terlibat dalam berbagai macam pekerjaan,[1] tetapi Dia juga memerintahkan orang Israel untuk bekerja menurut pola ilahi (Keluaran 20:9-11). Artinya, Allah bekerja secara langsung, dan Allah juga bekerja melalui manusia.

Tokoh-tokoh utama kitab Rut mengakui Allah sebagai fondasi pekerjaan mereka melalui cara mereka saling memberkati dan pernyataan iman mereka yang berulang.[2] Sebagian ungkapan iman ini berisi pujian atas tindakan-tindakan yang dilakukan Allah (Dia rela mengaruniakan kasih-Nya, Rut 2:20; Dia menyediakan kerabat yang menjadi penebus, Rut 4:14). Sebagian lainnya berupa doa permohonan atas berkat ilahi (Rut 2:4, 19; 3:10), atau penyertaan (Rut 2:4), atau kasih setia Tuhan (Rut 1:8). Sebagian lainnya lagi berisi permohonan akan tindakan ilahi yang lebih spesifik. Kiranya Tuhan memberi tempat perlindungan (Rut 1:9). Kiranya Tuhan membuat Rut sama seperti Rakhel dan Lea (Rut 4:11-12). Berkat di Rut 2:12 sangat signifikan: “Kiranya TUHAN membalas perbuatanmu. Kiranya upahmu sepenuhnya dikaruniakan oleh TUHAN, Allah Israel, yang di bawah sayap-Nya engkau datang berlindung." Semua berkat ini mengungkapkan kepastian bahwa Tuhan terus bekerja memelihara umat-Nya.

Rut ingin menerima berkat produktivitas Tuhan, entah dari Tuhan sendiri (Rut 2:12) maupun melalui orang “yang bermurah hati kepadaku” (Rut 2:2). Meskipun ia orang Moab, ia lebih berhikmat dari banyak orang di Israel dalam mengenali tangan Tuhan dalam pekerjaannya.

Di dalam cerita ini, salah satu berkat Tuhan yang terpenting adalah Dia memberkati Boas dengan ladang yang produktif (Rut 2:3). Boas menyadari betul peran Allah dalam pekerjaannya, seperti ditunjukkan dalam permohonannya yang berulang-ulang akan berkat Tuhan (Rut 2:4; 3:10).

Allah Memakai Peristiwa yang Tampaknya Kebetulan untuk Memberdayakan Pekerjaan Manusia

Salah satu cara Allah memenuhi janji-Nya tentang keberhasilan adalah Dia menguasai situasi di dunia. Kata “kebetulan” dalam Rut 2:3 ditulis dengan sengaja. Meskipun kalimat itu ironis. Pencerita dengan sengaja memakai ungkapan yang memaksa pembaca memperhatikan dan bertanya, bagaimana mungkin Rut “kebetulan” datang ke ladang seorang yang bukan saja murah hati (Rut 2:2) tetapi juga seorang kerabat (Rut 2:1). Ketika cerita berlanjut, kita tahu bahwa kedatangan Rut di ladang Boas itu adalah bukti tangan providensial Allah. Hal yang sama bisa dikatakan tentang kemunculan kerabat yang lebih dekat/penebus yang lain tepat pada saat Boas duduk di pintu gerbang dalam Rut 4:1-2.

Betapa suramnya dunia ini jika kita harus pergi bekerja setiap hari tanpa bisa mengharapkan apa pun selain yang dapat kita lakukan sendiri. Kita harus bergantung pada pekerjaan orang lain, kesempatan tak terduga, letupan kreativitas, berkat yang tak terpikirkan. Pastinya, salah satu berkat paling menghibur dalam mengikut Kristus adalah janji-Nya bahwa ketika kita bekerja, Dia bekerja bersama kita dan menanggung beban bersama kita. “Pikullah kuk yang Kupasang… Sebab, kuk yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan” (Matius 11:29-30). Rut tidak mengenal kata-kata Yesus ini, tetapi ia hidup dengan iman percaya bahwa di bawah sayap Allah, ia akan mendapatkan semua yang ia butuhkan (Rut 2:12).

Produktivitas Manusia adalah Hasil Kesetiaan Kita kepada Tuhan

Kesetiaan Allah kepada Israel tercermin dalam kesetiaan Rut kepada Naomi. Rut berjanji, “Ke mana pun engkau pergi, ke situ aku pergi. Di mana pun engkau bermalam, di situ aku bermalam. Bangsamulah bangsaku dan Allahmu Allahku.” (Rut 1:16). Janji Rut ini bukanlah permohonan untuk tetap menjadi konsumen pasif dalam “sisa-sisa” rumahtangga Elimelekh, melainkan komitmen untuk merawat dan memelihara mertuanya dengan sekuat tenaganya. Meskipun ia sendiri bukan orang Israel, ia tampaknya sudah hidup menurut Hukum orang Israel sebagaimana yang tertera dalam Hukum Kelima, “Hormatilah ayahmu dan ibumu.” Pemulihan kerja yang produktif baginya dan keluarganya dimulai dengan komitmennya untuk bekerja dalam kesetiaan kepada hukum Allah.

Allah Memberi Berkat Produktivitas melalui Kerja Manusia (Rut 2:5-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kesetiaan Allah mendasari produktivitas manusia, tetapi manusia harus melakukan pekerjaan yang nyata. Ini sudah merupakan rancangan Allah sejak semula (Kejadian 1:28, 2:5, 2:15). Rut ingin sekali bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Naomi. “Izinkanlah aku pergi ke ladang,” pintanya, dan ketika ia mendapat kesempatan untuk bekerja, rekan-rekan kerjanya melaporkan bahwa “ia datang dan terus bekerja dari pagi sampai sekarang, dan beristirahat sebentar saja" (Rut 2:7). Pekerjaannya luar biasa produktif. Ketika ia pulang pada hari pertamanya bekerja memungut dan mengirik jelai, hasil panennya mencapai satu efa jelai (Rut 2:17). Ini berarti sekitar lima galon atau 36 liter jelai.[1] Allah maupun Boas memuji (dan mengganjar) iman dan kerajinannya itu (Rut 2:12, 17-23; 3:15-18).

Dalam kadar yang lebih besar atau lebih kecil, kita semua rentan terhadap situasi-situasi yang membuat sulit atau mustahil untuk mencari nafkah. Bencana alam, pemutusan hubungan kerja, kelebihan tenaga kerja, prasangka, cedera, penyakit, kebangkrutan, perlakuan tidak adil, pembatasan hukum, hambatan bahasa, kurangnya pelatihan atau pengalaman yang relevan, usia, jenis kelamin, kesalahan manajemen ekonomi dari pemerintah atau industri, hambatan geografis, dipecat, harus merawat anggota keluarga, dan sejumlah faktor lain dapat membuat kita tidak bisa bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan orang-orang yang bergantung pada kita. Meskipun demikian, Tuhan mau kita tetap bekerja dengan sebaik mungkin (Keluaran 20:9).

Sekalipun kita tidak dapat menemukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan kita, kita tetap perlu bekerja dengan sebaik-baiknya. Rut tidak punya pekerjaan tetap dengan jam kerja dan gaji yang tetap. Ia juga khawatir status sosialnya membuatnya tidak bisa mendapat "kemurahan" (Rut 2:12) di tempat kerja, dan ia tak bisa berharap mendapat cukup untuk memberi makan keluarganya. Namun ia tetap pergi bekerja. Berbagai kondisi yang kita hadapi saat ini ketika menganggur atau setengah menganggur juga bisa sangat mengecilkan hati. Namun jika kurangnya pekerjaan berketerampilan-tinggi membuat kita mendapat kesempatan yang tampaknya kecil, jika diskriminasi menghalangi kita untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai kualifikasi kita, jika keadaan membuat kita tidak bisa mendapatkan pendidikan yang kita butuhkan untuk memiliki pekerjaan yang baik, jika situasi dan kondisi tampaknya tidak memberi harapan untuk bekerja, Rut adalah contoh teladan yang memanggil kita untuk tetap bekerja. Sekalipun pekerjaan kita itu pada awalnya mungkin tidak menghasilkan pemasukan, seperti ketika menjadi sukarelawan untuk menolong orang lain, merawat anggota keluarga, menempuh pendidikan atau pelatihan, atau mengurus rumahtangga.

Anugerah yang menyelamatkan adalah bahwa Allah bekerja/berkuasa di balik pekerjaan kita. Kita tidak mengandalkan kemampuan kita sendiri atau situasi-situasi sekitar kita untuk menyediakan kebutuhan kita. Akan tetapi kita setia bekerja dengan sebaik-baiknya, karena kita tahu kesetiaan Allah pada janji-Nya memberi kita keyakinan bahwa pekerjaan kita berharga, sekalipun dalam situasi-situasi yang paling tidak menguntungkan. Kita jarang bisa mengetahui sebelumnya bahwa Tuhan dapat memakai pekerjaan kita untuk menepati janji-Nya, tetapi kuasa Tuhan menjangkau jauh melampaui yang dapat kita lihat/pahami.

Menerima Berkat Produktivitas Allah Berarti Menghargai Rekan-rekan Kerja (Rut 2:8-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagaimana diceritakan Rut 2:1, Boas adalah “seorang kaya.” Apa pun konotasinya pada masa kini, dalam hal ini perkataan itu berarti Boas merupakan salah satu tuan terbaik di Alkitab. Gaya kepemimpinannya diawali dengan sikap menghargai. Ketika ia datang ke ladang tempat orang-orangnya sedang bekerja, ia memberi salam berkat kepada mereka (“TUHAN besertamu”), dan mereka pun membalasnya dengan salam berkat juga (“Tuhan memberkatimu.” Rut 2:4). Tempat kerja Boas sangat baik dalam banyak hal. Ia memiliki dan mengelola usaha yang bergantung pada tenaga kerja yang digaji. Ia mengawasi lingkungan kerja mereka. Berbeda dengan banyak lingkungan kerja yang para pengawas dan pemiliknya memperlakukan pekerja dengan sikap merendahkan, dan para pekerja tidak memiliki rasa hormat kepada tuan mereka, Boas membangun relasi yang saling percaya dan menghormati.

Boas menunjukkan sikap menghargai para pekerjanya dengan menyediakan air minum selama mereka bekerja (Rut 2:9), makan bersama mereka, dan yang terutama membagikan makanannya kepada orang yang dianggap paling rendah di antara mereka (Rut 2:14). Kita juga kemudian tahu bahwa pada musim panen, Boas sebagai pemilik ladang ikut mengirik bersama penuai-penuainya dan tidur bersama mereka di ladang (Rut 3:2-4, 14).

Boas menunjukkan pemahaman yang tinggi bahwa semua manusia adalah gambar Allah (Kejadian 1:27, Amsal 14:31, 17:5) melalui caranya yang peka dalam memperlakukan perempuan asing di tempat kerja. Ketika ia melihat ada perempuan asing di antara pekerja-pekerjanya, ia bertanya, “Dari keluarga siapa perempuan ini?” (Rut 2:5), karena ia mengira perempuan itu ada kaitannya dengan laki-laki tertentu—entah sebagai istri atau anak—yang mungkin pemilik ladang lain di daerah itu. Ketika Boas mendengar bahwa ia adalah perempuan Moab yang pulang dari Moab bersama Naomi (Rut 2:6), dan mendengar permohonan izinnya untuk memungut jelai di belakang para penyabitnya (Rut 2:7), perkataan pertamanya yang sangat mengejutkan adalah, “Dengarlah, Anakku.” Membagikan makanannya kepada perempuan asing (Rut 2:14) merupakan tindakan yang lebih signifikan dari yang terlihat. Pemilik ladang yang terhormat tidak biasa bercakap-cakap dengan perempuan asing [1] sebagaimana dikatakan oleh Rut sendiri (Rut 2:10). Orang yang lebih mementingkan penampilan sosial dan peluang bisnis, dan kurang berbelas kasihan kepada orang miskin, mungkin akan langsung mengusir perempuan Moab yang menyusup ke ladangnya itu. Namun, Boas justru bersedia membela pekerja yang lemah di antara mereka itu, apa pun reaksi orang lain yang mungkin timbul.

Sesungguhnya dari cerita ini kita mungkin telah menemukan kebijakan anti kekerasan seksual di tempat kerja yang tercatat paling awal di dunia. Mungkin Boas sadar bahwa kebanyakan pemilik dan pekerja ladang adalah orang-orang yang kasar/penganiaya [2] dan mungkin itu sebabnya ia memberitahu Rut bahwa ia sudah meminta para pekerja laki-laki untuk tidak mengganggunya (Rut 2:9). Perkataan Naomi, "Anakku, lebih baik engkau mengikuti para pekerjanya yang perempuan, supaya engkau tidak diganggu orang di ladang lain." (Rut 2:22), jelas menunjukkan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan menantunya itu. Isi kebijakan Boas itu jelas:

  1. Pekerja laki-laki tidak boleh “mengganggu” perempuan ini. Biasanya kata naga berarti “menyentuh,” tetapi di sini kata itu diartikan secara lebih umum untuk “menyerang, menggoda, memanfaatkan, melecehkan.”[3] Boas tahu bahwa implikasi disentuh tergantung pada penangkapan/perasaan orang yang disentuh.

  2. Rut memiliki akses yang sama ke tempat untuk mendapatkan air minum (Rut 2:9) dan makan siang (Rut 2:14). Pada waktu makan, Boas mengundang Rut untuk duduk bersamanya dan para pekerjanya dan menikmati makanan yang sehidangan dengannya (Rut 2:14). Lalu ia sendiri yang melayani sampai Rut benar-benar kenyang. Pilihan kata yang dipakai, nagash, “datang mendekat,” menunjukkan bahwa sebagai orang asing, Rut sudah dengan sengaja dan sepatutnya (menurut adat kebiasaan) menjaga jarak. Kebijakan anti kekerasan seksual Boas tidak hanya bersifat mencegah—melarang tindakan tertentu—tetapi juga bertujuan positif, yang berarti respons orang yang dalam bahaya kekerasan itu merupakan ukuran dari yang mungkin dilakukan orang lain. Boas ingin tahu apakah Rut merasa aman sebagai ukuran dari apakah ia sudah memberikan perlindungan yang dibutuhkan. Boas menunjukkan dengan contoh nyata bahwa ia berharap para pekerja perempuan yang lemah dihormati.

  3. Para karyawan-tetap Boas tidak boleh mempermalukan (Rut 2:15) atau memarahi (Rut 2:16) Rut. Bersama kata “mengganggu” di Rut 2:9, ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bahwa kekerasan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara: pelecehan fisik, emosional, maupun verbal. Sesungguhnya, dengan mengucapkan berkat yang sangat ekspresif pada Rut (Rut 2:12), Boas menunjukkan contoh yang sangat meneguhkan.

  4. Para karyawan-tetap harus membuat lingkungan kerja Rut seaman mungkin dan melakukan usaha-usaha tertentu untuk membantu Rut menyelesaikan tugas pekerjaannya (Rut 2:15-16). Mencegah kekerasan/pelecehan di tempat kerja bukan hanya berarti menciptakan lingkungan yang aman, tetapi juga tempat kerja produktif bagi yang lemah. Segala hal yang menghambat produktivitas, kemajuan, dan upah yang didapat harus disingkirkan. Boas bisa saja membuat Rut aman dengan menjauhkannya dari tempat kerja pekerja laki-laki. Akan tetapi ini akan menutup akses Rut ke tempat untuk mendapat minuman dan makanan, dan mungkin juga akan membuatnya kehilangan tuaian karena angin atau binatang sudah merenggutnya sebelum ia dapat mengumpulkan bulir-bulir itu. Boas memastikan bahwa perlindungan yang diciptakannya benar-benar mampu membuat Rut bekerja seproduktif mungkin.

Para pekerja Boas tampaknya memahami kemurahan hati tuannya. Ketika Boas menyapa dengan salam berkat, mereka membalas salamnya dengan memberkatinya (Rut 2:4). Ketika Boas menanyakan identitas perempuan yang terlihat di ladangnya, pengawas pekerjanya memberitahukan bahwa Rut adalah orang Moab tetapi menunjukkan sikap yang baik (Rut 2:6-7). Fakta bahwa Rut membawa pulang seefa jelai kepada Naomi membuktikan respons positif para pekerja itu terhadap instruksi Boas untuk memperlakukan Rut dengan baik. Mereka tidak hanya dengan sengaja menyisakan banyak biji-bijian untuknya, mereka juga menerima perempuan Moab itu sebagai rekan kerja mereka selama masa penuaian itu (Rut 2:21-23).

Efek positif kepemimpinan Boas meluas sampai keluar tempat kerja. Ketika Naomi melihat hasil yang didapat dari usaha Rut, ia memberkati orang yang telah memberi pekerjaan kepada Rut dan memuji Tuhan atas kasih dan kemurahan-Nya (Rut 2:20). Kemudian, tampak jelas bahwa reputasi Boas yang baik di komunitas itu membawa kerukunan dalam masyarakat dan kemuliaan bagi Tuhan (Rut 4:11-12). Semua pemimpin—bahkan semua pekerja—memengaruhi budaya tempat mereka bekerja. Meskipun kita mungkin berpikir bahwa kita didesak oleh budaya kita untuk menyesuaikan diri dengan cara-cara kerja yang tidak adil, tidak berarti atau tidak produktif, pada kenyataannya cara kita bekerja sangat memengaruhi orang lain. Boas, seorang yang kaya raya di tengah masyarakat yang bobrok dan tidak setia (Rut 1:1, “zaman para hakim memerintah” adalah kata lain untuk masyarakat yang bobrok) berhasil menciptakan bisnis yang sukses dan jujur. Pengawas ladangnya memengaruhi tindakan-tindakan egaliter masyarakat yang dipenuhi misogini (kebencian terhadap perempuan) dan rasisme (Hakim-hakim 19-21). Rut dan Naomi menciptakan keluarga yang penuh kasih di tengah kehilangan dan kesulitan besar. Ketika kita merasakan tekanan untuk menjadi serupa dengan lingkungan yang buruk di tempat kerja, janji kesetiaan Tuhan dapat mengatasi semua keraguan yang kita rasakan akibat disfungsi budaya dan masyarakat sekitar kita.

Allah Mau Orang Miskin Diberi Kesempatan untuk Bekerja Produktif (Rut 2:17-23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Cara terpenting Allah mengatasi hambatan-hambatan keberhasilan kita adalah melalui tindakan orang lain. Di dalam kitab Rut, kita melihat hal ini dalam hukum Allah di masyarakat maupun dalam pimpinan-Nya pada individu-individu.

Hukum Allah Memanggil Orang-orang Kaya untuk Memberi Kesempatan Ekonomi kepada Orang Miskin (Rut 2:17-23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pekerjaan dalam kitab Rut berpusat di sekitar memungut sisa panen, yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam Hukum yang melindungi orang miskin dan lemah. Ketetapan ini diatur dalam kitab Imamat, Ulangan dan Keluaran.

Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit habis ladangmu sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang tertinggal dari penuaianmu. Kebun anggurmu jangan kaupetik hasilnya untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu jangan kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan pendatang. Akulah TUHAN, Allahmu. (Imamat 19:9-10, diulang sebagian di Imamat 23:22). Lihat “Imamat 19:9-10"dalam Imamat dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.
Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupakan seberkas di ladang, jangan kembali untuk mengambilnya; itulah bagian pendatang, anak yatim, dan janda. Maka TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala upaya tanganmu. Apabila engkau mengguncang-guncangkan pohon zaitunmu untuk menuai hasilnya, jangan memeriksa dahannya sekali lagi; itulah bagian pendatang, anak yatim, dan janda. Apabila engkau mengumpulkan hasil kebun anggurmu, jangan melakukan pemetikan sekali lagi; itulah bagian pendatang, anak yatim, dan janda. Haruslah kauingat bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir. Itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini. (Ulangan 24:19-22)
Selama enam tahun engkau boleh menabur di tanahmu dan menuai hasilnya, tetapi pada tahun ketujuh engkau harus membiarkannya dan meninggalkannya, supaya orang miskin di antara bangsamu memperoleh makanan. Apa yang mereka tinggalkan harus dibiarkan untuk dimakan binatang liar. Demikian juga kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu. (Keluaran 23:10-11) Lihat “Keluaran 22:21-27 & 23:10-11” dalam Keluaran dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.

Dasar ketetapan ini adalah agar semua orang memiliki akses kepada sarana-sarana produksi yang diperlukan untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Secara umum, setiap keluarga (kecuali keluarga dari suku imam Lewi, yang mendapat dukungan dari perpuluhan dan persembahan) harus memiliki tanah pusaka yang tidak boleh dialihkan ke suku lain (Bilangan 27:6-11, 36:5-9; Ulangan 19:14, 27:17; Imamat 25). Dengan demikian semua orang di Israel memiliki sarana untuk mencari nafkah. Namun, pendatang, janda-janda, dan anak yatim tidak menerima warisan tanah, sehingga mereka rentan terhadap kemiskinan dan pelecehan. Ketetapan memungut sisa panen memberi mereka kesempatan untuk menghidupi diri sendiri dengan mengumpulkan bulir-bulir dari tepi-tepi ladang, tuaian yang jatuh atau tertinggal dari panen sebelumnya, dan apa pun yang ada di ladang yang tidak ditanami pada tahun tertentu. Akses untuk memungut sisa panen ini diberikan secara cuma-cuma oleh semua pemilik ladang.

Ayat-ayat ini menunjukkan tiga dasar ketetapan memungut sisa panen. Kemurahan hati kepada orang miskin (1) merupakan prasyarat untuk Allah memberkati pekerjaan tangan manusia (Ulangan 24:19); (2) digerakkan oleh ingatan akan pengalaman Israel sendiri saat di bawah penindasan dan pelecehan para penguasa budak di Mesir (Ulangan 24:22a); dan (3) menunjukkan ketaatan pada kehendak Allah (Ulangan 24:22b). Kita melihat ketiga motivasi ini dalam tindakan Boas: (1) ia memberkati Rut, (2) ia mengingat kasih karunia Allah kepada Israel, dan (3) ia memuji Rut yang memercayakan dirinya ke dalam tangan Allah (Rut 2:12). Seberapa serius hukum dan peraturan tentang tanah dan penuaian ini ditaati di Israel kuno tidak bisa dipastikan, tetapi Boas telah mematuhinya dengan cara yang patut diteladani.

Peraturan memungut sisa panen menjadi jaringan pendukung yang luar biasa bagi orang miskin dan terpinggirkan, setidaknya sejauh dipraktikkan dengan benar. Kita sudah tahu bahwa Allah mau manusia menerima berkat produktivitas-Nya melalui bekerja. Memungut sisa panen tepatnya menepati hal ini. Ketetapan ini memberi kesempatan untuk bekerja produktif bagi orang-orang yang jika tidak dibantu bisa menjadi pengemis, budak, pelacur atau kondisi-kondisi lainnya yang merendahkan martabat manusia. Para pemungut sisa panen memiliki keterampilan, harga diri, kondisi fisik, dan kebiasaan kerja yang dapat membuat mereka bekerja produktif dalam pertanian biasa, jika ada kesempatan untuk menikah, diadopsi, atau kembali ke negara asal. Pemilik ladang memberi kesempatan tanpa berhak mengeksploitasi. Tidak ada kerja paksa. Kesempatan ini tersedia secara lokal di semua tempat di negara itu tanpa perlu birokrasi yang rumit dan rawan korupsi. Akan tetapi hal ini juga tergantung pada pembentukan karakter setiap pemilik ladang, dan kita tidak boleh meromantiskan situasi-situasi yang dihadapi orang miskin di Israel kuno.

Dalam kasus Boas, Rut, dan Naomi, ketetapan memungut sisa panen berhasil sesuai maksudnya. Jika tidak ada kemungkinan memungut sisa panen, Boas akan menghadapi dua opsi ketika ia menyadari kemiskinan Rut dan Naomi. Ia bisa membiarkan mereka kelaparan, atau ia bisa memerintahkan untuk mengirim makanan jadi (roti) ke rumah mereka. Yang pertama tidak dapat diterima, tetapi yang terakhir, meskipun dapat mengatasi kelaparan mereka, akan membuat mereka lebih tergantung pada Boas. Namun karena adanya kesempatan memungut sisa panen itu, Rut tidak hanya dapat bekerja untuk memperoleh hasil, tetapi ia juga dapat memakai hasil panen itu untuk membuat roti sendiri. Proses ini membuatnya dapat mempertahankan martabatnya, memakai keterampilan dan kemampuannya, membebaskan dirinya dan Naomi dari ketergantungan jangka panjang, dan menjadikan mereka kurang rentan terhadap eksploitasi.

Dalam perbincangan sosial, politik dan teologis dewasa ini tentang kemiskinan serta tanggapan pribadi dan publik terkait hal itu, aspek-aspek memungut sisa panen ini layak diingat dan dibahas dengan penuh semangat. Orang Kristen sering tidak sepakat dengan satu sama lain dalam hal-hal seperti tanggung jawab individu versus sosial, sarana pribadi versus publik, dan distribusi pendapatan. Merenungkan dengan saksama kitab Rut mungkin tidak menyelesaikan ketidaksepakatan ini, tetapi mungkin dapat menegaskan tujuan-tujuan bersama dan landasan umum yang sama. Masyarakat modern mungkin tidak cocok dengan istilah memungut sisa panen secara harfiah, dalam arti bertani, tetapi adakah aspek-aspek yang dapat diwujudkan sebagai cara-cara masyarakat menolong orang miskin dan lemah sekarang ini? Khususnya, bagaimana kita dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan akses ke sarana-sarana untuk bekerja produktif dan bebas dari ketergantungan atau eksploitasi?

Allah Memimpin Individu-individu untuk Memberi Kesempatan Ekonomi kepada Orang Miskin dan Lemah (Rut 2:17-23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Boas terdorong untuk bertindak jauh melebihi yang diwajibkan hukum dalam memelihara orang miskin dan lemah. Ketetapan memungut sisa panen hanya mewajibkan pemilik ladang untuk menyisakan hasil panen tertentu di ladang untuk dipungut pendatang, anak yatim dan janda-janda. Ini biasanya berarti orang miskin dan lemah itu mendapatkan pekerjaan yang sulit, berbahaya dan tidak nyaman, seperti memungut sisa panen di tepi-tepi ladang yang banyak rumputnya, atau di tempat-tempat yang tinggi di dekat pohon-pohon zaitun. Hasil yang mereka peroleh dari cara ini juga biasanya tidak berkualitas baik, seperti buah anggur atau buah zaitun yang jatuh atau belum masak. Akan tetapi Boas meminta pekerjanya untuk bermurah hati secara aktif. Mereka harus menjatuhkan dengan sengaja bulir-bulir berkualitas baik yang mereka panen agar bisa dipungut oleh Rut. Kepedulian Boas bukan hanya untuk mematuhi peraturan secara minimal, tetapi agar betul-betul dapat mencukupi kebutuhan Rut dan keluarganya.

Selain itu, Boas juga mendesak agar Rut memungut sisa panen di ladangnya saja (agar ia bisa terus menghidupi dirinya dan Naomi, tentunya) dan berada di dekat pekerja-pekerja perempuan. Boas tidak hanya memberi Rut akses untuk ke ladangnya, tetapi juga secara efektif menjadikan Rut sebagai salah satu tenaga kerjanya, bahkan sampai memastikan Rut mendapatkan hasil yang sepadan (Rut 2:16).

Di dunia di mana setiap negara dan masyarakat ada orang-orang yang menganggur atau setengah-menganggur yang membutuhkan kesempatan untuk kerja, bagaimana orang-orang Kristen dapat meniru Boas? Bagaimana kita bisa mendorong orang memakai keterampilan dan talenta yang diberikan Allah kepada mereka untuk menciptakan berbagai barang dan jasa yang dapat mempekerjakan orang secara produktif? Bagaimana kita bisa memengaruhi pembentukan karakter orang-orang yang memiliki dan mengelola sumber-sumber daya masyarakat agar mereka dapat dengan semangat dan kreatif menyediakan kesempatan-kesempatan bagi orang miskin dan terpinggirkan?

Bagaimana, sesungguhnya, pertanyaan-pertanyaan ini berlaku bagi kita? Apakah setiap kita adalah orang yang berkecukupan, meskipun kita bukan orang kaya seperti Boas? Apakah orang-orang kelas menengah memiliki cara/sarana dan tanggung jawab untuk memberikan peluang dan kesempatan kepada orang-orang miskin? Bagaimana dengan orang miskin itu sendiri? Apa yang mungkin sedang Allah mau kita lakukan untuk menyalurkan berkat produktivitas-Nya kepada pekerja dan calon pekerja lain?

Berkat Allah Melipatganda Ketika Orang Bekerja Menurut Jalan-Nya (Rut 3:1-4:18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada episode yang luar biasa ketika Rut memungut sisa panen di ladang Boas, kita melihat pertunjukan yang nyata dari belas kasihan, toleransi etnis dan kemurahan hati Boas. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hati Boas begitu lembut terhadap Rut, dan mengapa ia menciptakan lingkungan yang membuat semua orang, bahkan seorang perempuan Moab asing, merasa nyaman? Menurut testimoni Boas sendiri, Rut menunjukkan keluhuran budi dan kesetiaan kepada Allah yang benar (Rut 3:10-11). Oleh karena itu, Boas berharap “Kiranya TUHAN membalas perbuatanmu. Kiranya upahmu sepenuhnya dikaruniakan oleh TUHAN, Allah Israel, yang di bawah sayap-Nya engkau datang berlindung" (Rut 2:12). Rut lahir di Moab, tetapi ia mau datang pada Allah Israel untuk diselamatkan (Rut 1:16). Boas menyadari sayap perlindungan Allah atasnya dan ingin sekali menjadi saluran berkat Allah baginya. Dengan menolong orang asing yang miskin, ia berarti sedang menghormati Allah Israel. Dalam peribahasa orang Israel: “Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa berbelaskasihan kepada orang miskin memuliakan Dia” (Amsal 14:31, lihat juga Amsal 17:5). Rasul Paulus mengungkapkan tema ini berabad-abad kemudian, “Selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada saudara-saudara seiman kita” (Galatia 6:10).

Seiring bergulirnya cerita, Boas mulai melihat Rut lebih dari sekadar pekerja yang rajin dan menantu yang setia pada Naomi. Pada waktunya, ia pun “mengembangkan sayap” atas Rut (Rut 3:9)—suatu kiasan yang cocok untuk pernikahan, yang mencerminkan kasih dan komitmen sebagaimana yang dilambangkan dengan sayap Tuhan. Ada aspek yang berkaitan dengan pekerjaan dalam kisah cinta ini, karena melibatkan aspek properti/tanah. Naomi masih memiliki hak tertentu atas tanah yang pernah dimiliki almarhum suaminya, dan menurut Hukum Israel, kerabat dekatnya berhak memperoleh tanah itu dan mempertahankannya dalam keluarga itu dengan menikahi Naomi. Boas, yang sudah disebut Naomi sebagai kerabat suaminya (Rut 2:1), sebenarnya berada di urutan kedua dalam keberhakan ini. Boas lalu menghubungi orang pertama yang berhak atas penebusan ini, tetapi ketika orang itu mengetahui bahwa menebus tanah itu berarti ia juga harus membawa masuk perempuan Moab itu ke dalam rumahtangganya, ia melepaskan hak itu (Rut 4:1-6).

Sebaliknya Boas merasa senang dipilih Allah menunjukkan kemurahan kepada perempuan ini, meskipun ia dianggap lebih rendah secara ras dan sosial-ekonomi (Rut 4:1-12). Ia pun lalu menggunakan haknya untuk menebus tanah warisan itu, bukan dengan menikahi Naomi yang berusia lanjut dalam pernikahan yang seharusnya, tetapi dengan menikahi Rut atas seizin Naomi dalam pernikahan yang penuh kasih dan hormat. Dengan menikahi perempuan Moab itu, ia memenuhi dengan caranya sendiri sedikit janji Tuhan kepada Abraham, “Oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat” (Kejadian22:18). Ia juga memperoleh lebih banyak kekayaan lagi, yang bisa kita asumsikan ia mengelola kekayaannya secara produktif dan murah hati sesuai gambaran perkataan yang akan diucapkan Kristus, “Siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi [lebih lagi]” (Markus 4:25). Sebagaimana akan kita pelajari sebentar lagi, gambaran ini tepat sekali karena Boas memang pelopor kedatangan Yesus. Sepanjang jalan, peristiwa-peristiwa dalam cerita itu mengungkapkan lebih banyak lagi tentang Allah yang bekerja di dunia untuk mendatangkan kebaikan.

Allah Bekerja Melalui Kecerdikan Manusia (Rut 3:1-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam mencomblangi hubungan antara Boas dan Rut, kebutuhan lagi-lagi membuat Naomi bertindak melampaui batas adat kebiasaan. Ia menyuruh Rut ke tempat pengirikan Boas pada malam hari untuk "menyingkap selimut pada kakinya dan berbaring di situ" (Rut 3:4). Terlepas dari arti "kaki" di Rut 3:4, 7, 8, 14—yang mungkin menunjukkan eufemisme seksual [1]—siasat yang diatur Naomi mencuriga kandari sudut pandang adat dan moralitas, dan penuh dengan bahaya. Persiapan Rut dan pilihan lokasi pertemuan itu menunjukkan tindakan seorang pelacur. Dalam keadaan normal, jika seorang laki-laki yang bermoral baik dan menghargai diri sendiri seperti Boas tidur di lantai tempat pengirikan, lalu ia terjaga di tengah malam dan menemukan seorang wanita di sampingnya, ia pasti akan langsung mengusir wanita itu dan menegaskan tidak ada hubungan apa-apa dengan wanita seperti itu. Permintaan Rut agar Boas menikahinya juga terlalu berani dari sudut pandang adat kebiasaan: seorang asing melamar seorang Israel; seorang wanita melamar seorang pria; seorang muda melamar seorang yang lebih tua; pekerja ladang yang miskin melamar pemilik ladang yang kaya raya. Namun, alih-alih merasa tersinggung atas kelancangan Rut, Boas malah memberkatinya, memujinya atas komitmennya untuk kesejahteraan keluarganya, memanggilnya "anakku," menenangkannya dengan berkata jangan takut, dan berjanji akan melakukan semua yang ia minta, serta menyatakannya sebagai wanita baik-baik (Rut 3:10-13). Reaksi luar biasa ini paling baik dikaitkan sebagai pengilhaman Allah yang menguasai hati dan bibirnya ketika ia bangun

Allah Bekerja Melalui Prosedur Hukum (Rut 4:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Boas menerima permintaan Rut untuk menikahinya jika kerabatnya yang lebih berhak menebus itu melepaskan haknya. Ia pun tidak membuang-buang waktu untuk segera mengatur penyelesaian hukum masalah itu (Rut 4:1-12). Sekarang pembaca sudah tahu bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dalam kitab ini, dan ketika keesokan harinya kerabat dekat yang berhak menjadi penebus itu lewat di pintu gerbang persis pada waktu Boas duduk di sana, hal ini juga bisa diartikan sebagai pekerjaan tangan Tuhan. Jika Rut hadir dalam kelanjutan prosedur hukum yang terjadi di pintu gerbang, hatinya bisa galau ketika orang yang memiliki hak pertama itu menyatakan bersedia menebus tanah Elimelekh. Akan tetapi ketika Boas mengingatkannya bahwa Rut termasuk dalam penebusan tanah itu, dan ia berubah pikiran, harapan Rut bangkit lagi. Apa yang membuat orang itu berubah pikiran? Ia berkata bahwa ia baru saja ingat bahwa ia memiliki kewajiban hukum yang lain. “Aku tidak dapat menebusnya, supaya jangan aku merusak milik pusakaku sendiri” (Rut 4: 6), meskipun sebenarnya alasan itu tidak tepat dan lemah. Namun, bagi Boas alasan itu sudah cukup, dan ia pun menyatakan menerima keputusan itu dengan tegas dan jelas. Kasus ini bisa saja menghasilkan keputusan lain, tetapi tampaknya hasilnya memang sudah ditentukan Allah sejak semula.

Allah Bekerja Melalui Kesuburan dan Kelahiran Anak (Rut 4:13-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam Rut 4:13, kita baru menemukan contoh kedua (selain di Rut 1:6) tentang peristiwa yang secara jelas dikaitkan dengan perbuatan tangan Tuhan. “Atas karunia TUHAN perempuan itu [yang sudah dinikahi Boas] mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki.” Meskipun kata Ibrani untuk kehamilan atau mengandung (herayon) hanya ditemukan di Kejadian 3:16 dan Hosea 9:11, ungkapan khusus “mengaruniakan kandungan,” hanya ditemukan di sini. Kita tampaknya harus menafsirkan perkataan ini dengan mengingat latar belakang pernikahan Rut dengan Mahlon yang selama sepuluh tahun tanpa anak (Rut 1:4). Setelah kesetiaan Rut yang datang ke Israel bersama Naomi, setelah kesetiaan Boas yang memberi kesempatan pada Rut untuk memungut sisa panen di ladangnya dan kesetiaannya untuk menjadi penebus kerabatnya, setelah doa yang setia/sungguh-sungguh dari para saksi di pintu gerbang (Rut 4:11-12), dan tampaknya tak lama setelah Rut dan Boas melangsungkan pernikahan, Allah mengaruniakan anak dan membuat Rut mengandung. Segala usaha manusia, bahkan dalam hubungan seksual, tergantung pada Tuhan dalam tercapainya tujuan yang dimaksud atau diinginkan (Rut 4:13-15; bdk.1:4).

Kelahiran semua anak adalah anugerah Allah, tetapi ada cerita yang lebih besar dalam kelahiran anak Rut dan Boas, Obed. Ia akan menjadi kakek Daud, raja Israel terbesar (Rut 4:22), dan pada akhirnya menjadi nenek moyang Yesus, Sang Mesias (Matius 1:5, 16-17). Dengan demikian, Rut yang seorang asing menjadi berkat bagi Israel dan bagi semua orang yang mengikut Yesus sampai saat ini.

Konklusi Kitab Rut

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Rut menunjukkan kisah yang luar biasa tentang Allah yang bekerja mengarahkan berbagai peristiwa dari segala sisi untuk memelihara umat-Nya, dan yang lebih penting, untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya. Kesetiaan—baik kesetiaan Allah kepada manusia maupun kesetiaan manusia kepada Allah—ditunjukkan melalui kerja dan buah-buah yang dihasilkannya. Tokoh-tokoh dalam kitab ini bekerja dengan rajin, adil, murah hati, cerdik, dan sesuai dengan hukum dan pengilhaman Tuhan. Mereka mengakui gambar Allah pada diri manusia, dan bekerja bersama dalam keharmonisan dan belas kasih.

Dari peristiwa-peristiwa dalam kitab Rut kita dapat menyimpulkan bahwa orang Kristen masa kini bukan saja harus memahami martabat, tetapi juga nilai/pentingnya bekerja. Bekerja membawa kemuliaan bagi Tuhan. Bekerja memberi manfaat bagi orang lain. Bekerja melayani dunia tempat kita berada dan hidup. Sebagai orang Kristen masa kini, kita biasanya mungkin mengenali tangan Allah paling jelas dalam pekerjaan para pendeta, misionaris dan penginjil, padahal bukan itu saja pekerjaan yang sah dan dapat diterima dalam kerajaan Allah. Kitab Rut mengingatkan kita bahwa pekerjaan biasa seperti bertani pun merupakan panggilan iman, entah itu dilakukan oleh pemilik ladang yang kaya raya atau pun orang asing yang miskin. Memberi makan keluarga adalah pekerjaan yang mulia, dan semua orang yang memiliki kekayaan atau cara/sarana untuk menolong orang lain memberi makan keluarga mereka menjadi berkat Allah. Semua pekerjaan yang sah/benar adalah pekerjaan Allah. Melalui kita, Allah membuat, merancang, mengatur, memperindah, menolong, memimpin, mengembangkan, merawat, menyembuhkan, memampukan, memberitahukan, menghias, mengajar dan mengasihi. Kita adalah sayap-sayap Allah.

Pekerjaan kita memuliakan Allah ketika kita memperlakukan rekan-rekan kerja dengan penuh hormat dan martabat, entah kita memiliki kemampuan untuk memengaruhi situasi-kondisi kerja orang lain atau pun kita membawa risiko pada diri sendiri dengan membela orang lain. Kita menghidupi perjanjian kita dengan Allah ketika kita bekerja untuk kebaikan sesama manusia—terutama yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Kita memuliakan Allah ketika kita mengutamakan kepentingan orang lain dan berusaha sekuat tenaga kita untuk menghumanisasikan pekerjaan mereka dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Introduksi Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, dan 1&2 Tawarikh menaruh perhatian mendalam pada masalah pekerjaan. Perhatian utamanya adalah pada pekerjaan raja-raja, yang meliputi aspek politik, militer, ekonomi dan kerohanian. Memerintah dalam bentuk “menjalankan kekuasaan” adalah salah satu tugas yang diberikan Allah kepada manusia sejak semula (Kejadian 1:28), dan hal-hal kepemimpinan, atau pengaturan, menjadi isu-isu penting di kitab 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, dan 1&2 Tawarikh. Bagaimana bangsa Israel harus diatur, oleh siapa dan untuk tujuan-tujuan apa? Ketika organisasi-organisasi diatur, dikelola dengan baik, manusia berkembang. Ketika pengaturan/pemerintahan yang baik tidak dijalankan, semua orang menderita.

Peristiwa-peristiwa dalam kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh saling berkaitan. Oleh karena itu, kita akan membahas keenam kitab ini bersama-sama, tidak kitab per kitab. Untuk menemukan pembahasan tentang perikop tertentu, bisa gunakan tabel daftar isi dan judul pokok bahasan.

Raja-raja menjadi fokus, tetapi orang-orang yang kita temukan bekerja dalam kitab-kitab ini bukan hanya para raja. Pertama, pekerjaan raja-raja memengaruhi pekerjaan banyak orang lain, seperti para prajurit, ahli bangunan, tukang-tukang ahli lainnya, serta para imam; dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh memerhatikan pengaruh pekerjaan raja-raja pada pekerja-pekerja lain ini. Kedua, raja-raja sendiri memiliki pekerjaan selain memerintah, dan tugas menjadi orang tua menjadi perhatian khusus dalam kitab-kitab ini. Akhirnya, sebagai sejarah Israel, kitab-kitab ini memerhatikan bangsa itu secara keseluruhan, yang dalam banyak hal, ini berarti membahas pekerjaan orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan raja-raja.

Mengikuti petunjuk kitab-kitab itu sendiri, kita akan memberi perhatian terbesar pada tugas-tugas kepemimpinan dan pemerintahan raja-raja Israel, sembari juga menjelajahi berbagai jenis pekerja lainnya. Yang termasuk di antara pekerja-pekerja ini adalah para prajurit dan komandan, para hakim dan pemimpin masyarakat (yang sering disebut “tua-tua”), orang tua, gembala, petani, juru masak dan juru roti, juru rempah-rempah, penjaga kebun anggur, pemusik dan penyanyi, penemu/pencipta, wirausahawan, diplomat (resmi maupun tidak resmi), pendemo atau aktivis, penasihat politik, ahli bangunan dan ahli-ahli tukang, arsitek, pengawas, tukang batu, tukang tembok, tukang besi, tukang kayu, ahli senjata, penjaga sumur, pedagang minyak, tabib, budak perempuan, utusan, penebang kayu, dan akuntan. Nabi-nabi dan para imam juga termasuk, meskipun untuk menjaga fokus Proyek Teologi Kerja pada pekerjaan sekuler, kita akan membatasi peran mereka dalam pekerjaan di luar bidang kerohanian. Sebagaimana akan kita lihat, mereka benar-benar melakukan peran yang signifikan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi.

Hampir semua jenis pekerja masa kini ada di dalam kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh, atau dapat menemukan penerapan-penerapan praktis dari kitab-kitab ini untuk pekerjaan mereka. Secara umum, kita akan menemukan bagaimana menerapkan pengaturan dan kepemimpinan yang baik dalam pekerjaan kita, daripada menemukan petunjuk tentang cara melakukan pekerjaan tertentu kita —kecuali pemerintahan atau kepemimpinan memang merupakan pekerjaan kita.

Latar Belakang Sejarah Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perhatian menyeluruh kitab-kitab ini adalah pada pekerjaan raja ketika Israel menjadi kerajaan. Dimulai pada saat kedua belas suku Israel sudah lama melanggar perintah-perintah, etika dan nilai-nilai kepemimpinan yang ditetapkan Allah untuk mereka, yang dapat ditemukan di kitab Kejadian sampai Ulangan. Setelah hampir 200 tahun pemerintahan “hakim-hakim” (pemimpin sementara) yang makin lama makin buruk, Israel hancur berantakan. Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan campur tangan Allah dalam pemerintahan Israel ketika umat-Nya beralih dari konfederasi suku yang gagal menjadi kerajaan yang menjanjikan, yang akhirnya juga merosot ke dalam kehancuran ketika generasi-generasi penerus raja-raja itu meninggalkan Allah dan jalan-jalan-Nya. Yang disayangkan, cerita berakhir dengan kehancuran Israel sebagai bangsa, yang tak pernah dipulihkan selama zaman Alkitab. Ini mungkin tidak tampak sebagai latar belakang yang menjanjikan untuk sebuah studi tentang pengaturan, tetapi pimpinan Allah selalu tampak nyata dalam cerita itu, entah mereka memilih mengikutinya atau tidak. Dengan membaca cerita itu ribuan tahun kemudian, kita dapat belajar dari keberhasilan maupun kegagalan mereka.

Sudut pandang teologis yang mendasar dari kitab-kitab ini adalah bahwa jika rajanya setia pada Allah, bangsa itu berhasil secara ekonomi, sosial dan militer. Jika rajanya tidak setia, bencana nasional terjadi. Jadi sejarah umat Allah diceritakan terutama melalui tindakan para pemimpin pemerintahan tertinggi, jika memakai istilah modern. Namun, pengaturan diperlukan di segala macam komunitas atau institusi, entah itu politik, sosial, bisnis, nirlaba, akademik, atau yang lainnya. Pelajaran dari kitab-kitab ini berlaku untuk pengaturan di semua sektor masyarakat saat ini. Kitab-kitab ini memberikan pembelajaran yang kaya tentang kepemimpinan, yang menunjukkan betapa kehidupan banyak orang tergantung pada perbuatan dan perkataan para pemimpin.

Para pakar percaya bahwa, pada mulanya, setiap pasangan kitab (1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, 1&2 Tawarikh) merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi dua gulungan kitab. Gulungan-gulungan kitab Samuel dan Raja-raja membentuk sejarah politik kerajaan-kerajaan Israel yang disatukan. Kitab Tawarikh menceritakan sejarah yang sama dengan kitab Raja-raja, tetapi dengan fokus pada aspek-aspek keimaman dan ibadah sejarah orang Ibrani. Kita akan menyusuri cerita sepanjang tiga babak berikut ini: (1) Dari Konfederasi Suku sampai Kerajaan, (2) Zaman Keemasan Kerajaan, (3) Dari Kerajaan Yang Gagal sampai Pembuangan.

Dari Konfederasi Suku sampai Kerajaan: 1 Samuel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab 1 Samuel menandai peralihan Israel dari koalisi suku-suku yang terpecah menjadi kerajaan dengan pemerintah pusat di Yerusalem. Cerita berawal dari kelahiran dan panggilan nabi Samuel, dan berlanjut dengan panggilan dan pemerintahan raja Saul dan raja Daud. Ini adalah cerita tentang pembentukan negara, sentralisasi kekuasaan dan ibadah, serta penetapan tatanan politik, militer dan sosial yang baru.

Panggilan Samuel (1 Samuel 1-3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dari ayat penutup kitab Hakim-hakim dan pasal-pasal pembuka kitab 1 Samuel, kita tahu bahwa bangsa Israel tidak memiliki pemimpin dan tidak terhubung dengan Allah. Pemimpin bangsa yang mereka miliki paling-paling adalah imam Eli, yang bersama anak-anaknya mendirikan tempat ibadah di Silo. Kemakmuran ekonomi, politik, militer bangsa Israel tergantung pada kesetiaan mereka pada Allah. Karena itu, mereka membawa persembahan dan pengorbanan mereka kepada Tuhan ke rumah ibadah itu, tetapi para imamnya mengolok-olok interaksi dengan Allah. "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila;… sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN" (1 Samuel 2:12, 17). Mereka tidak dapat dipercaya sebagai pemimpin umat, dan mereka tidak menghormati Tuhan dalam hati mereka. Para umat mendapati orang-orang yang seharusnya membawa mereka ke dalam pengalaman beribadah malah mencuri dari mereka.

Otoritas Yang Diwariskan Versus Panggilan Samuel

Hal yang agak menjadi ancaman dari suatu bangsa yang akan menjadi kerajaan adalah bahwa otoritas yang diwariskan itu bisa berbahaya karena dua hal. Pertama, tidak ada jaminan bahwa keturunan dari pemimpin terhebat pun akan cakap dan setia. Kedua, dilahirkan dalam kekuasaan itu sendiri seringkali membawa pengaruh yang merusak, yang terlalu sering membuat orang merasa nyaman, atau — seperti dalam kasus anak-anak Eli — merasa berhak. Eli menunaikan tugasnya sebagai perintah suci dari Allah (1 Samuel 2:25), tetapi anak-anaknya menganggapnya sebagai kepunyaan pribadi (1 Samuel 2:14). Dibesarkan dalam atmosfir yang agak mirip dengan bisnis keluarga, mereka mengira sejak kecil mereka sudah mewarisi hak-hak istimewa ayahnya. Karena "bisnis keluarga" ini terkait bait suci Allah – yang memberikan hak kepada keluarga itu untuk memiliki otoritas ilahi atas orang banyak—pelanggaran yang dilakukan anak-anak Eli jauh lebih membahayakan.

Bisnis keluarga dan dinasti politik di dunia saat ini memiliki kesamaan dengan situasi Eli. Pendiri perusahaan atau pemerintahan mungkin sudah membawa banyak manfaat bagi dunia, tetapi jika para ahli waris memandangnya sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, orang-orang yang seharusnya mereka layani akan menderita kerugian. Semua orang mendapatkan manfaat jika para pendiri dan penerus setia pada tujuan awal yang baik. Dunia menjadi tempat yang lebih baik, bisnis dan komunitas berkembang pesat, dan keluarga tercukupi dengan baik. Namun, ketika tujuan awal diabaikan atau diselewengkan, bisnis atau komunitas akan menderita, dan organisasi serta keluarga berada dalam bahaya.

Sejarah yang menyedihkan dari pewarisan kekuasaan di berbagai pemerintah, gereja, bisnis, dan organisasi lainnya mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mengira menerima kekuasaan sebagai hak seringkali tidak merasa perlu untuk mengembangkan keterampilan, disiplin diri, dan sikap melayani yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Kenyataan ini merisaukan hati penulis kitab Pengkhotbah. "Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang setelah aku. Lalu siapa yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat.” (Pengkhotbah 2:18-19). Hal yang merisaukannya itu terjadi juga pada kita saat ini. Keluarga-keluarga yang memperoleh kekayaan dan kekuasaan dari keberhasilan wirausaha satu generasi seringkali akan kehilangan pencapaian ini pada generasi ketiga serta menghadapi pertengkaran keluarga yang menghancurkan dan kemalangan pribadi.[1] Ini tidak berarti bahwa kekuasaan atau kekayaan yang diwariskan selalu menimbulkan akibat-akibat buruk, tetapi bahwa pewarisan adalah suatu kebijakan yang berbahaya dalam usaha pengelolaan/pemerintahan. Keluarga, organisasi, atau pemerintah yang harus melimpahkan otoritas melalui pewarisan sebaiknya mengupayakan berbagai cara untuk menangkal bahaya-bahaya yang menyertai pewarisan ini. Ada konsultan-konsultan dan lembaga-lembaga ahli di bidang ini yang dapat membantu keluarga-keluarga dan bisnis/perusahaan dalam situasi pewarisan ini.

Tuhan Memanggil Samuel Menjadi Pemimpin (sebagai Suksesi Eli)

Jika bukan anak-anaknya yang dursila, lalu siapa yang akan menggantikan imam Eli? 1 Samuel 3:1-4:1 dan 1 Samuel 7:3-17 menyingkapkan rencana Allah untuk membangkitkan Samuel kecil sebagai pengganti imam Eli. Samuel menerima satu dari beberapa panggilan Allah yang dapat didengar (audible) yang dicatat dalam Alkitab, tetapi perhatikanlah bahwa panggilan ini bukan untuk menjalankan suatu pekerjaan atau pelayanan. (Samuel sudah melayani di rumah Tuhan sejak ia berusia dua atau tiga tahun, dan pilihan pekerjaan itu dilakukan oleh ibunya. Baca 1 Samuel 1:20-28 dan 2:18-21). Panggilan Samuel adalah untuk melakukan suatu tugas, yaitu memberitahu imam Eli bahwa Allah sudah memutuskan untuk menghukumnya dan anak-anaknya, yang akan segera dipecat sebagai imam Tuhan. Setelah memenuhi panggilan ini, Samuel melanjutkan pelayanannya di bawah bimbingan imam Eli sampai ia diakui sebagai nabi secara resmi (1 Samuel 4:1) dan menggantikan Eli yang wafat (1 Samuel 4:18). Samuel menjadi pemimpin umat Allah bukan karena ambisi yang melayani diri sendiri atau merasa berhak, tetapi karena Tuhan memberinya visi (1 Samuel 3:10-14) serta kemampuan dan keterampilan untuk memimpin umat-Nya menggenapi visi itu (1 Samuel 3:19-4:1). Lihat Vocation Overview untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik panggilan untuk bekerja.

Bahaya Memperlakukan Tuhan Sebagai Jimat Keberuntungan (1 Samuel 4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tidak jelas apakah kebobrokan pemimpin, Eli, yang menyebabkan kebobrokan umat atau sebaliknya, tetapi kitab 1 Samuel pasal 4-6 lebih menunjukkan bahaya yang menimpa orang-orang yang dipimpin dengan buruk. Israel sudah berabad-abad terlibat konflik dengan negara tetangganya, bangsa Filistin. Dan bangsa itu lagi-lagi melakukan serangan baru yang mengalahkan orang Israel dan menewaskan 4.000 orang (1 Samuel 4:1-3). Bangsa Israel mengenali kekalahan itu sebagai tanda tidak diperkenan Allah. Namun, alih-alih mengoreksi kesalahan mereka, bertobat, dan datang pada Allah meminta pimpinan, mereka malah mencoba memanipulasi Allah untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengambil tabut perjanjian dan membawanya dalam peperangan melawan orang Filistin, dengan asumsi tabut itu akan membuat mereka tak terkalahkan. Anak-anak Eli ikut memberikan aura otoritasnya pada rencana itu. Tetapi orang Filistin membantai orang Israel dalam pertempuran itu, menewaskan 30.000 prajurit Israel, merampas tabut perjanjian, membunuh anak-anak Eli dan menyebabkan kematian Eli sendiri (1 Samuel 4:4-19).

Anak-anak Eli, bersama para pemimpin militer, melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa karena mereka menyandang nama umat Allah dan memiliki simbol kehadiran Allah, mereka memegang kendali atas kuasa Allah. Orang-orang yang bertanggung jawab itu mungkin percaya bahwa mereka benar-benar dapat mengendalikan kuasa Allah dengan membawa serta tabut perjanjian itu. Atau mereka mungkin menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa karena mereka umat Allah, maka apa pun yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri akan menjadi keinginan Tuhan untuk mereka. Namun, akhirnya mereka mendapati bahwa kehadiran Allah bukanlah jaminan untuk memproyeksikan kuasa Tuhan, tetapi undangan untuk menerima pimpinan Allah. Ironisnya, tabut itu berisi sarana pimpinan Tuhan yang terbaik - Sepuluh Hukum Tuhan (Ulangan 10:5) - tetapi anak-anak Eli tak mau repot-repot mencari pimpinan Allah apa pun sebelum menyerang bangsa Filistin.

Mungkinkah kita juga terjatuh dalam kebiasaan buruk yang sama dalam bekerja? Ketika kita menghadapi pertentangan atau kesulitan dalam pekerjaan kita, apakah kita mencari pimpinan Allah dalam doa, ataukah kita hanya menaikkan doa kilat dan meminta Allah melakukan yang kita inginkan? Apakah kita memikirkan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam terang firman-Nya, ataukah Alkitab kita hanya tersimpan di laci meja? Apakah kita memeriksa motivasi-motivasi kita dan menilai tindakan-tindakan kita dengan keterbukaan untuk diubah Allah, atau apakah kita hanya menghiasi diri kita dengan simbol-simbol orang Kristen? Jika pekerjaan kita tampaknya tidak memuaskan atau karier kita tidak sesukses yang kita harapkan, adakah kemungkinan kita juga memakai Allah sebagai jimat keberuntungan, daripada mematuhi-Nya sebagai Tuan atas pekerjaan kita?

Kesempatan Yang Datang dari Bekerja dengan Setia (1 Samuel 5-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Orang Filistin yang merampas tabut perjanjian ternyata tidak lebih baik keadaannya daripada orang Israel, dan tabut itu menjadi properti yang berbahaya bagi kedua belah pihak sampai tidak digunakan lagi untuk kepentingan militer, dan Samuel memanggil orang Israel untuk berbalik pada Tuhan dan beribadah kepada Dia saja (1 Samuel 5:1-7: 3). Bangsa Israel mendengarkan panggilan ini dan kembali menyembah Tuhan, dan karier Samuel berkembang dengan cepat. Perannya sebagai imam langsung meningkat menjadi “hakim” (yang berarti pemimpin militer) dan ia berhasil memimpin perlawanan terhadap orang Filistin (1 Samuel 7:4-13). Tugasnya segera termasuk mengadakan pengadilan untuk masalah hukum (1 Samuel 10:16). Di balik semua tanggung jawabnya terletak panggilannya untuk menjadi "nabi Tuhan yang dapat dipercaya" (1 Samuel 3:20).

Pekerja yang terampil dan dapat dipercaya yang setia pada jalan Allah sering mendapati pekerjaan mereka melampaui deskripsi tugas mereka. Dalam menghadapi tanggung jawab yang semakin bertambah dan meluas, respons Samuel bukanlah, "Itu bukan tugasku." Namun, ia melihat kebutuhan mendesak yang ada di hadapannya, menyadari bahwa ia memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan itu, dan bertindak melaksanakannya. Ketika ia berbuat begitu, Allah meningkatkan otoritas dan efektivitasnya untuk memperlengkapi kesediaannya.

Satu pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah menanggapi Allah dengan kesediaan untuk melayani seperti yang dilakukan Samuel. Apakah Anda melihat kesempatan-kesempatan yang ada di depan Anda di tempat kerja, yang sebetulnya, tidak sesuai dengan deskripsi tugas Anda? Apakah atasan atau rekan-rekan kerja Anda tampaknya mengharapkan Anda mengambil tanggung jawab lebih dalam hal-hal yang bukan bagian pekerjaan Anda secara resmi? Hal-hal seperti ini sering menjadi peluang untuk pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan (kecuali atasan Anda tidak menghargai tanggung jawab lain yang Anda ambil). Apa yang perlu Anda lakukan untuk memanfaatkan kesempatan ini? Anda mungkin juga bisa melihat kebutuhan-kebutuhan di sekitar Anda yang bisa Anda bantu penuhi jika Anda memiliki keyakinan dan keberanian untuk merespons. Apa yang perlu Anda lakukan untuk meningkatkan keyakinan Anda pada Allah dan menerima keberanian yang diperlukan untuk mengikuti pimpinan-Nya?

Catatan terakhir tentang pemerintahan Samuel (1 Samuel 7:15-17) menyatakan bahwa ia berkeliling ke kota-kota Israel dari tahun ke tahun, untuk memerintah dan menegakkan keadilan. Pasal ini diakhiri dengan perkataan, “Dan ia mendirikan mezbah bagi Tuhan.” Pelayanan sipil dan militernya bagi Israel didasarkan pada kesetiaan dan penyembahannya yang seumur hidup pada Tuhan.

Anak-anak Samuel Mengecewakan (1 Samuel 8:1-3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika Samuel menjadi tua, ia mengulangi kesalahan Eli dengan menunjuk anak-anaknya untuk menggantikannya. Seperti anak-anak Eli, mereka juga ternyata serakah dan jahat (1 Samuel 8:1-3). Anak-anak yang mengecewakan dari para pemimpin besar menjadi tema yang berulang di kitab Samuel dan Raja-raja. (Tragedi anak Daud, Absalom, memenuhi bagian terbesar kitab 2 Samuel pasal 13-19, yang akan kita bahas kemudian. Lihat "Daud Gagal Menangani Konflik Keluarga Yang Mengakibatkan Perang Saudara” - 2 Samuel 13-19). Hal ini mengingatkan kita bahwa tugas menjadi orang tua sama menantangnya dengan semua pekerjaan yang lain, dan jauh lebih pelik secara emosional. Tidak ada solusi yang diberikan dalam teks Alkitab ini, tetapi kita bisa menemukan bahwa Eli, Samuel, dan Daud tampaknya sudah memberikan banyak hak istimewa kepada anak-anak mereka yang menyusahkan, tetapi tidak banyak terlibat sebagai orang tua. Dan kita juga tahu bahwa para orang tua yang paling berdedikasi pun bisa mengalami kehancuran hati akibat kelakuan buruk anak-anaknya. Alih-alih menyalahkan atau membuat stereotip, mari kita camkan baik-baik bahwa menjadi orang tua adalah pekerjaan yang membutuhkan banyak doa, keterampilan, dukungan komunitas, keberuntungan dan kasih seperti halnya pekerjaan lainnya, atau malah lebih. Pada akhirnya, menjadi orang tua—entah anak kita membawa kegembiraan, atau kekecewaan, atau kedua-duanya – berarti bergantung pada kasih karunia dan kemurahan Allah dan mengharapkan penebusan yang melebihi yang kita alami selama hidup kita. Barangkali penghiburan terbesar kita adalah mengingat bahwa Allah juga mengalami kehancuran hati sebagai orang tua karena Anak-Nya yang terhukum, namun mengatasi semuanya itu dengan kekuatan cinta kasih.

Bangsa Israel Meminta Raja (1 Samuel 8:4-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Melihat ketidakberesan anak-anaknya, bangsa Israel meminta Samuel untuk: “angkatlah bagi kami untuk memerintah kami, sama seperti semua bangsa lain.” Permintaan ini mengesalkan hati Samuel (1 Samuel 8:4-6). Samuel memperingatkan mereka bahwa raja-raja membebankan tuntutan-tuntutan yang berat pada bangsanya.

Inilah hak raja yang akan berkuasa atas kamu. Ia akan mengambil anak-anakmu laki-laki untuk ditugaskan di kereta perang atau di pasukan berkuda, ataupun berlari di depan keretanya. Ia akan menugaskan mereka sebagai kepala pasukan seribu dan pasukan lima puluh. Mereka akan membajak ladangnya dan menuai panen baginya. Mereka akan membuat peralatan perang dan perlengkapan keretanya. Ia akan mengambil anak-anakmu perempuan untuk menjadi pembuat minyak wangi, tukang masak, dan pembuat roti. Ia akan mengambil yang terbaik dari ladangmu, anggurmu, dan kebun zaitunmu, untuk diberikan kepada pegawai-pegawainya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari gandummu dan hasil kebun anggurmu, untuk diberikan kepada pembesar-pembesar istananya dan para pegawai lainnya. Ia akan mengambil budakmu laki-laki dan hambamu perempuan, yang terbaik dari ternakmu dan keledaimu, untuk dipekerjakannya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari kambing dombamu. Engkau sendiri akan menjadi budaknya. (1 Samuel 8:10-17)

Bahkan, raja-raja akan menjadi sangat serakah sampai akhirnya bangsa itu akan berseru kepada Allah agar mereka diselamatkan dari raja-raja itu (1 Samuel 8:18).

Allah juga memandang permintaan untuk memiliki raja itu sebagai ide buruk karena itu sama saja dengan menolak diri-Nya sebagai Raja. Namun, meskipun demikian, Tuhan memutuskan mengizinkan bangsa itu memilih bentuk pemerintahan mereka, dan berkata kepada Samuel, "Dengarkanlah suara rakyat, semua yang mereka katakan kepadamu. Bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak supaya Aku tidak lagi menjadi raja atas mereka. (1 Samuel 8:7). Sebagaimana dikatakan pakar Akitab John Goldingay, "Allah memulai bersama umat-Nya di tempat mereka berada; jika mereka tidak dapat menggapai jalan-Nya yang tinggi, Dia membuat jalan yang lebih rendah. Ketika mereka tidak menanggapi Roh Yahweh atau ketika segala macam roh membuat mereka menjadi anarki, Dia menyediakan ... pengaman institusi dari penguasa-penguasa dunia." Adakalanya Allah mengizinkan institusi-institusi yang bukan bagian dari rencana kekal-Nya, dan kerajaan Israel adalah salah satu contoh yang paling jelas.

Baik Allah maupun Samuel menunjukkan kerendahan hati, kesabaran dan kasih karunia yang besar dengan mengizinkan bangsa Israel membuat pilihan dan kesalahan, dan belajar dari akibat-akibatnya. Ada banyak situasi di institusi dan tempat kerja yang para pemimpinnya harus menyesuaikan diri dengan pilihan-pilihan buruk anggotanya, namun pada saat yang sama berusaha memberikan kesempatan-kesempatan untuk bertumbuh dan berkasih karunia. Peringatan Samuel kepada bangsa Israel bisa saja menjadi peringatan bagi bangsa-bangsa, perusahaan-perusahaan, gereja-gereja, sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi lain di dunia masa kini. Di dunia kita yang sudah rusak, banyak orang menyalahgunakan kekuasaan, dan kita harus menyesuaikan diri sambil pada saat yang sama melakukan yang dapat kita lakukan untuk mengubah banyak hal. Cita-cita kita adalah mengasihi Allah dan memperlakukan orang lain sebagaimana perintah Allah dalam Hukum yang diberikan kepada Musa, yang sangat sulit dilakukan umat Allah di segala zaman.

Tugas Memilih Seorang Raja (1 Samuel 9-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Saul Terpilih Sebagai Raja Pertama Israel

Pilihan Tuhan untuk raja yang pertama adalah Saul (lk.1050-1010 SM), seorang yang tampak sebagian— karena ia benar-benar berdiri "lebih tinggi dari semua orang sebangsanya" (1 Samuel 9:2). Lagipula, ia sudah memenangkan beberapa pertempuran, alasan utama memiliki seorang raja (1 Samuel 11:1-11). Pada mulanya, Saul melayani dengan setia (1 Samuel 11:13-14), tetapi tak lama kemudian ia menjadi tidak taat pada Allah (1 Samuel 13:8-15) dan bersikap arogan terhadap rakyatnya (1 Samuel 14:24-30). Baik Samuel maupun Allah menjadi jengkel padanya dan mulai mencari penggantinya (1 Samuel 16:1). Namun, sebelum kita membandingkan tindakan-tindakan Saul dengan ekspektasi-ekspektasi kepemimpinan abad 21, kita perlu ingat bahwa Saul hanya melakukan yang biasanya dilakukan raja-raja di Timur Dekat kuno. Bangsa itu mendapatkan yang mereka minta (dan yang sudah diperingatkan Samuel), seorang raja lalim yang militeristik, karismatik, dan suka mengagungkan diri sendiri.

Bagaimana kita harus mengevaluasi raja pertama Israel? Apakah Allah membuat kesalahan dengan menyuruh Samuel mengurapi pemuda Saul sebagai raja? Atau apakah memilih Saul menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Israel agar tidak terkecoh dengan penampilan luar, rupawan di luar tetapi berlubang di dalamnya? Dengan meminta raja, bangsa Israel telah menunjukkan kekurangpercayaan mereka pada Allah. Raja yang mereka dapatkan akhirnya menunjukkan kekurangpercayaan pada Allah juga. Tugas utama Saul sebagai raja adalah menjamin keamanan bangsa Israel dari serangan bangsa Filistin dan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Namun, ketika menghadapi Goliat, ketakutan Saul mengalahkan imannya dan ia terbukti tidak mampu menjalankan perannya (1 Samuel 17:11). Di sepanjang pemerintahannya, Saul juga meragukan Allah, mencari nasihat di tempat-tempat yang salah, dan akhirnya mati bunuh diri ketika pasukannya dikepung musuh (1 Samuel 31:4).

Daud Dipilih Menggantikan Saul

Ketika Samuel mencari pengganti Saul, ia hampir membuat kesalahan yang sama dengan menilai dari penampakan luar (1 Samuel 16:1-4). Daud yang masih muda tampaknya tak masuk hitungan di mata Samuel, tetapi dengan pertolongan Allah, ia akhirnya tahu bahwa Allah memilih Daud untuk menjadi raja Israel. Dari luar, Daud tidak menunjukkan sosok yang pantas diharapkan orang untuk menjadi seorang pemimpin (1 Samuel 16:6-11). Beberapa waktu kemudian dalam cerita itu, raksasa Filistin yang bernama Goliat juga meremehkannya (1 Samuel 17:42). Daud adalah kandidat non-tradisional (yang tidak biasa) dari berbagai alasan, selain kemudaannya. Ia seorang anak bungsu di dalam masyarakat yang mengutamakan anak sulung. Ia juga dari etnis campuran, tidak asli orang Israel karena seorang nenek buyutnya adalah Rut (Ruth 4:21-22), pendatang dari Moab (Rut 1:1-4). Meskipun Daud memiliki beberapa hal yang bisa menjegalnya, Allah melihat janji yang besar di dalam dirinya.

Saat kita memikirkan tentang pemilihan pemimpin saat ini, perkataan Allah kepada Samuel sangat penting dan berharga untuk diingat: “Bukan seperti yang dilihat manusia, sebab manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7). Di dalam kerajaan Allah yang terbalik, yang terakhir atau yang paling tidak dianggap bisa menjadi pilihan terbaik. Pemimpin terbaik bisa menjadi orang yang tidak dicari siapapun. Sungguh menggoda untuk langsung tertarik pada kandidat yang sangat impresif, orang yang penuh karisma, figur yang tampaknya akan diikuti orang lain. Namun, kepercayaan-diri yang tinggi sebenarnya membuat penampilan lebih rendah, menurut sebuah artikel di Harvard Business Review 2012.[1]

Yang dihargai Allah bukan karisma, tetapi karakter. Apa yang diperlukan untuk belajar melihat karakter seseorang dari kacamata Allah?

Hal yang juga signifikan adalah bahwa ketika Samuel datang mencarinya, Daud sedang keluar melakukan pekerjaannya sebagai gembala, merawat domba-domba ayahnya dengan sepenuh hati. Setia melakukan pekerjaan yang ada merupakan persiapan yang baik untuk pekerjaan yang lebih besar, seperti dalam kasus Daud (1 Samuel 17:34-37, lihat juga Lukas 16:10; 19:17). Samuel segera mendapati bahwa Daud adalah seorang pemimpin yang kuat, percaya diri, dan cakap yang didambakan bangsanya, yang akan "memimpin [kami] dalam peperangan" (1 Samuel 8:20). Sepanjang kariernya Daud selalu ingat bahwa ia sedang melayani “di hadapan TUHAN” dalam mengurusi umat Allah (2 Samuel 6:21). Allah menyebutnya "seorang yang berkenan di hati-Ku" (Kisah Para Rasul 13:22).

Tuhan sudah memilih Daud sebagai pengganti Saul. Sekarang Samuel harus mengurapi Daud sebagai raja, sementara Saul masih duduk di takhta kerajaan. Samuel ragu ia bisa berhasil. "Bagaimana mungkin aku pergi?” Samuel berkata, “Jika Saul mendengarnya, ia akan membunuhku." (1 Samuel 16:2). Allah menjawab Samuel dengan menyuruhnya pergi secara tersamar. "Bawalah seekor lembu muda dan katakan: Aku datang untuk mempersembahkan kurban kepada TUHAN. Undanglah Isai ke upacara kurban. Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan. Urapilah bagi-Ku orang yang akan kuberitahukan kepadamu." (1 Samuel 16:2-3). Dengan kata lain, pergilah terang-terangan ke rumah Isai (tempat raja baru itu berada), tetapi samarkan tujuan pergi ke sana. Dengan mengikuti petunjuk Allah, Samuel berhasil mengurapi raja Daud.

Saat bekerja, kita mungkin juga menghadapi tantangan ketika harus berurusan dengan sistem yang semena-mena atau pemimpin yang kejam. Apakah kita akan berbicara terus-terang, bahwa kita membawa target di punggung kita, dan siap menunggu ditembak jatuh? Ataukah kita akan menjajakinya dulu secara halus, dan berharap ini akan memberi kita kesempatan untuk bisa memengaruhi hasil akhir secara positif? Bagaimanakah cara “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” sebagaimana yang dikatakan Yesus itu? (Matius 10:16). Untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik kapan kebohongan mungkin diperlukan secara moral, lihat artikel topikal TOW “When Someone Has No Right to the Truth.”

Ada waktunya untuk berbicara terus terang tentang sikap dan pandangan kita, dan ada pula waktunya untuk bertindak lebih tersamar, dengan mengingat tujuan akhirnya. Bagaimana kita mengetahui perbedaannya? Petunjuknya ada di dalam teks Alkitab ini, ketika Samuel terus-menerus bercakap-cakap dengan Allah mencari pimpinan. Saat berada di bawah tekanan, kita mungkin bisa mendapati diri kita membuat keputusan sendiri, dan keputusan itu kemungkinan cenderung mengarah kepada yang paling nyaman untuk kita sendiri daripada yang Allah kehendaki. Padahal kita memiliki janji Yesus akan pertolongan Roh Kudus Allah (Yohanes 14:26). Kebiasaan Samuel bercakap-cakap dengan Allah di tempat kerja memimpinnya untuk menjajaki dulu situasi yang ambigu secara moral itu bersama Allah agar dapat memahami tujuan-tujuan Allah dengan tepat. Dapatkah kita melakukan hal yang sama di tempat kerja kita sendiri, membawa persoalan dan keraguan kita kepada Allah dalam doa? Untuk memperjelas hal ini, lihat rencana pembacaan Alkitab, “Bagaimana Membuat Keputusan yang Benar.”

Daud Menaiki Tampuk Kekuasaan (1 Samuel 17-30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tidak seperti Saul yang langsung memulai pemerintahan setelah diurapi Samuel (1 Samuel 11:1), Daud harus melalui masa belajar/persiapan yang lama dan sulit sebelum ia dinobatkan menjadi raja di Hebron. Kesuksesan pertamanya di mata publik terjadi ketika ia membunuh raksasa Goliat. yang mengancam keselamatan pasukan Israel. Dan ketika pasukan itu sedang dalam perjalanan pulang, serombongan wanita menyongsong mereka dan menyanyi, "Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa." (1 Samuel 18:7). Hal ini membuat Saul marah sekali (1 Samuel 18:1). Alih-alih mengakui bahwa ia dan bangsanya mendapatkan kebaikan dari kemampuan Daud, ia malah menganggap Daud sebagai ancaman. Ia lalu memutuskan untuk menyingkirkan Daud secepat mungkin (1 Samuel 18:9-13). Maka dimulailah suatu persaingan yang akhirnya memaksa Daud melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya, menjauhkan diri dari Saul sambil memimpin sekelompok perampok di padang gurun Yehuda selama sepuluh tahun.

Ketika mendapat beberapa kali kesempatan untuk membunuh raja Saul, Daud menolak, karena ia tahu takhta itu bukan miliknya yang harus direbut. Takhta itu adalah pemberian Tuhan. Seperti diungkapkan oleh Pemazmur, “Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain” (Mazmur 75:8). Daud menghormati otoritas yang diberikan Allah kepada Saul, meskipun Saul bertindak dengan cara yang tidak terhormat. Ini bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang masa kini yang bekerja pada majikan yang sulit, atau sedang menanti kepemimpinannya diakui. Sekalipun kita merasa dipanggil Allah untuk suatu tugas atau jabatan tertentu, kita tidak memiliki hak untuk merebut kekuasaan dengan menentang otoritas yang ada. Jika semua orang yang berpikir Allah mau mereka menjadi atasan berusaha mempercepat proses dengan merebut sendiri kekuasaan itu, semua peralihan kekuasaan akan sedikit banyak menimbulkan kekacauan. Allah itu sabar dan kita juga harus sabar, seperti Daud.

Dapatkah kita percaya bahwa Allah akan memberi kita otoritas yang kita butuhkan, pada waktu-Nya, untuk melakukan pekerjaan yang Dia mau kita lakukan? Di tempat kerja, memiliki otoritas lebih itu penting untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperlukan. Merebut otoritas itu sebelum waktunya dengan menyerobot atasan atau menjatuhkan rekan kerja tidak membangun kepercayaan rekan-rekan kerja atau menunjukkan kepercayaan pada Allah. Kadang memang bikin frustasi jika harus menunggu terlalu lama untuk mendapatkan otoritas yang dibutuhkan, tetapi otoritas sejati tidak dapat direbut, hanya diberikan. Daud bersedia menunggu sampai Allah memberikan otoritas itu kepadanya.

Abigail Meredam Konflik antara Daud dan Nabal (1 Samuel 25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika kekuasaan Daud meningkat, ia berkonflik dengan seorang tuan tanah kaya bernama Nabal. Secara kebetulan, gerombolan pemberontak Daud yang menentang pemerintahan raja Saul pernah berkemah di wilayah Nabal selama beberapa waktu. Orang-orang Daud itu memperlakukan gembala-gembala Nabal dengan baik, melindungi mereka dari bahaya atau setidaknya tidak mencuri apa pun dari mereka (1 Samuel 25:15-16). Daud berpikir ini setidaknya akan membuat Nabal merasa berutang padanya, dan ia lalu mengirim utusan untuk meminta Nabal menyumbangkan beberapa ekor domba untuk perjamuan makan pasukannya. Mungkin karena menyadari kelemahan permohonannya, Daud memerintahkan utusannya untuk bersikap sangat sopan terhadap Nabal.

Nabal tidak menggubris. Ia bukan saja menolak untuk memberikan apa pun untuk perjamuan itu, ia juga secara terang-terangan menghina Daud, menyangkal mengenal Daud dan meragukan integritas Daud sebagai pemberontak terhadap Saul (1 Samuel 25:10). Hamba-hamba Nabal sendiri menggambarkan tuan mereka itu sebagai “seorang yang dursila sehingga orang tidak dapat berbicara dengan dia” (1 Samuel 25:17). Daud langsung menyiapkan 400 tentaranya untuk membunuh Nabal dan semua laki-laki yang ada di rumahnya.

Tiba-tiba saja Daud hendak melakukan pembunuhan masal, sementara Nabal lebih mementingkan kepongahannya daripada memikirkan para pekerja dan keluarganya. Kedua orang arogan ini tidak dapat menyelesaikan percekcokan tentang domba tanpa menumpahkan darah ratusan orang yang tak bersalah. Syukurlah, istri Nabal yang berhati bijaksana, Abigail, mengambil tindakan dalam keributan itu. Ia dengan sigap menyiapkan hidangan pesta untuk Daud dan orang-orangnya, lalu pergi menjumpai Daud dengan permintaan maaf yang menjadi standar kesopanan baru di Perjanjian Lama (1 Samuel 25:26-31). Akan tetapi kata-kata yang dibungkus kesopanan itu merupakan kebenaran-kebenaran sulit yang perlu didengar Daud. Ia hampir saja menumpahkan darah tanpa alasan, yang akan membuatnya merasa bersalah yang tak pernah bisa dihilangkan.

Daud tersentuh oleh kata-kata Abigail dan melepaskan rencananya untuk membunuh Nabal dan semua orang dan anak laki-lakinya. Ia bahkan berterima kasih kepada Abigail yang telah mengalihkannya dari rencana yang sembrono. "Terpujilah kearifanmu dan terpujilah dirimu, yang pada hari ini mencegah aku menumpahkan darah dan membalas dengan tanganku sendiri. Tetapi, demi TUHAN yang hidup, Allah Israel, yang telah mencegah aku berbuat jahat kepadamu, seandainya engkau tidak segera datang menemui aku, pasti tidak ada seorang laki-laki pun yang masih hidup pada Nabal sampai fajar menyingsing." (1 Samuel 25:33-34).

Insiden ini menunjukkan bahwa orang perlu meminta pertanggungjawaban pemimpin, meskipun melakukan hal itu bisa membawa risiko besar pada dirinya sendiri. Anda tidak harus memiliki status yang berotoritas untuk terpanggil memberi pengaruh. Namun, Anda jelas memerlukan keberanian, yang untungnya merupakan hal yang dapat Anda terima dari Allah setiap waktu. Intervensi Abigail juga mengajarkan bahwa menunjukkan sikap hormat, bahkan pada saat melontarkan kritik tajam, menjadi contoh dalam menantang otoritas. Nabal telah mengubah pertengkaran kecil menjadi situasi yang mengancam kehidupan dengan membungkus pertikaian kecil dengan penghinaan pribadi. Abigail menyelesaikan krisis yang mengancam kehidupan dengan membungkus teguran besar dengan dialog yang penuh hormat.

Dengan cara apa Allah memanggil Anda untuk menggunakan pengaruh agar orang-orang yang dalam posisi otoritas yang tinggi bertanggung jawab? Bagaimana Anda dapat mengembangkan sikap hormat yang baik yang disertai komitmen tak tergoyahkan untuk mengatakan kebenaran? Keberanian apa yang Anda perlukan dari Allah untuk benar-benar melakukan hal itu?

Zaman Keemasan Kerajaan: 2 Samuel 1-24, 1 Raja-raja 1-11, 1 Tawarikh 13, 21-25

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah Saul mati, Daud diurapi menjadi raja atas suku Yehuda di wilayah selatan, tetapi baru setelah banyak terjadi pertumpahan darah, Daud akhirnya diurapi menjadi raja atas seluruh Israel (2 Samuel 5:1-10). Ketika Daud akhirnya menjadi orang sukses, ia menginvestasikan talentanya untuk mengembangkan orang lain. Berbeda dengan Saul yang takut disaingi, Daud justru mengelilingi dirinya dengan sekelompok pahlawan yang perbuatan-perbuatan gagah perkasanya menandingi dirinya (2 Samuel 23:8-39, 1 Tawarikh 11:10-47). Ia menghormati mereka (1 Tawarikh 11:19), mendukung ketenaran mereka dan mempromosikan mereka (1 Tawarikh 11:25). Allah memakai kerelaan Daud mendukung dan mensponsori orang lain untuk membangun kesuksesan Daud sendiri dan memberkati orang-orang di dalam kerajaannya.

Akhirnya, konfederasi suku Israel yang lemah bersatu menjadi satu bangsa. Selama 80 tahun, pertama-tama di bawah pemerintahan raja Daud (lk. 1010 - 970 SM), dan kemudian di bawah pemerintahan anaknya, Raja Salomo (lk. 970 - 931 SM), Israel mengalami zaman keemasan dan kemakmuran yang terkenal di seluruh bangsa-bangsa Timur Dekat kuno. Akan tetapi di tengah segala kesuksesan mereka, kedua raja ini juga melanggar perjanjian Allah. Meskipun tindakan ini hanya menimbulkan kehancuran yang terbatas di zaman mereka sendiri, tetapi pelanggaran itu menjadi pola bagi raja-raja setelah mereka untuk berpaling dari Tuhan dan meninggalkan perjanjian-Nya.

Keberhasilan dan Kegagalan Daud Sebagai Raja (2 Samuel 1-24)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Alkitab memandang Daud sebagai raja Israel teladan, dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan banyak keberhasilannya. Namun, sekalipun Daud "seorang yang berkenan di hati Allah" (1 Samuel 13:14), ia juga pernah menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku tidak setia. Ia cenderung berhasil saat tidak terlalu mengandalkan diri sendiri, dan terjerumus ke dalam masalah serius ketika kekuasaan membuatnya lupa diri—contohnya ketika ia mengadakan sensus yang bertentangan dengan kehendak Tuhan (2 Samuel 24:10-17) atau ketika ia melakukan pelecehan seksual terhadap Betsyeba dan memerintahkan untuk membunuh suaminya, Uria (2 Samuel 11:2-17). Namun terlepas dari kegagalan-kegagalan Daud, Allah menggenapi perjanjian-Nya dengan Daud dan menanganinya dengan kemurahan

Introduksi Kitab Ezra, Nehemia & Ester

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Banyak orang Kristen tidak menemukan tempat kerja yang sangat mendukung iman mereka. Biasanya ada ruang lingkup yang terbatas untuk orang Kristen bersaksi dan bertindak secara terbuka. Selain itu, para pekerja juga mungkin merasakan tekanan untuk melanggar tuntutan etika standar Alkitabiah, baik secara eksplisit maupun implisit. Di masyarakat majemuk, beberapa batasan semacam ini mungkin cocok, tetapi dapat membuat tempat kerja itu terasa seperti wilayah asing bagi orang Kristen. Kitab Ezra, Nehemia dan Ester menggambarkan keadaan umat Allah yang bekerja di tempat-tempat kerja yang tidak nyaman seperti itu. Kitab-kitab tersebut menggambarkan umat Allah yang bekerja di berbagai bidang pekerjaan dari konstruksi, politik sampai hiburan, yang selalu berada di tengah lingkungan yang terang-terangan memusuhi nilai-nilai dan rencana Allah. Namun di sepanjang jalan itu mereka mendapatkan pertolongan yang mengherankan dari orang-orang tidak percaya yang memiliki jabatan-jabatan tertinggi dalam pemerintahan sipil. Kuasa Allah tampak muncul di tempat-tempat tak terduga untuk kebaikan umat-Nya, meskipun mereka masih menghadapi situasi-situasi dan keputusan-keputusan yang sangat sulit, yang tidak selalu mereka setujui.

Ezra harus mempertimbangkan apakah ia perlu mengandalkan raja yang tidak percaya untuk melindungi orang Yahudi yang kembali ke Yerusalem untuk membangun kembali bait suci. Ia perlu mendapat dukungan finansial dari sistem perekonomian Kerajaan Persia yang korup, namun tidak melanggar Hukum Allah tentang integritas ekonomi. Nehemia perlu membangun kembali tembok Yerusalem, yang menuntutnya harus mengandalkan Allah dan sekaligus menjadi pragmatis. Ia harus memimpin umat yang motivasinya berada di antara mengutamakan orang lain dan mementingkan diri sendiri, dan membuat mereka mengatasi kepentingan diri mereka yang berbeda-beda untuk bekerja mencapai tujuan yang sama. Ester harus bertahan dalam situasi yang menindas kaum perempuan dan juga intrik yang mematikan di istana kerajaan Persia, namun ia tetap siap mengambil risiko apa pun untuk menyelamatkan bangsanya dari genosida. Jabatan-jabatan dan institusi-institusi kita saat ini sudah berbeda dari zaman mereka, tetapi dalam banyak hal tempat-tempat kerja kita saat ini masih memiliki kesamaan, dalam hal yang baik maunpun yang buruk, dengan tempat-tempat kerja Ezra, Nehemia dan Ester. Berbagai situasi, tantangan dan pilihan kehidupan nyata yang terdapat dalam kitab-kitab ini membantu kita mengembangkan teologi kerja yang bermanfaat bagi cara kita hidup setiap hari.

Ezra dan Nehemia

Pada tahun 587 SM, bangsa Babel di bawah pemerintahan raja Nebukadnezar, menaklukkan Yerusalem. Mereka membunuh para pemimpin Yehuda, menjarah bait suci dan membumi-hanguskannya hingga rata dengan tanah, menghancurkan sebagian besar kota itu termasuk tembok-temboknya, dan mengangkut penduduk Yerusalem yang terbaik ke Babel. Di Babel, orang-orang Yahudi ini hidup puluhan tahun dalam pembuangan, dengan selalu mengharapkan pembebasan dan pemulihan Allah atas Israel. Harapan mereka meningkat pada tahun 539 SM ketika kerajaan Persia, yang dipimpin raja Kores, menggulingkan Babel. Tak lama setelah itu, raja Kores mengeluarkan dekrit yang mempersilakan orang-orang Yahudi yang ada di kerajaannya untuk pulang ke Yerusalem dan membangun kembali bait suci, dan dengan demikian, kehidupan mereka sebagai umat Allah (Ezra 1:1-4).

Kitab Ezra dan Nehemia pada mulanya merupakan dua bagian dari satu kitab [1] wali dengan dekrit raja Kores pada tahun 539 SM. Namun, tujuannya bukan sekadar menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu karena keingintahuan orang-orang kuno. Sebaliknya, Ezra dan Nehemia memakai peristiwa-peristiwa sejarah untuk menjelaskan tema pemulihan. Kitab-kitab ini menunjukkan bagaimana Allah pernah memulihkan umat-Nya dan bagaimana umat berperan penting dalam tugas pembaruan ini. Kitab Ezra dan Nehemia ditulis oleh penulis anonim, kemungkinan di abad ke-empat SM [2]

untuk menguatkan orang Yahudi agar tetap hidup setia meskipun berada di bawah kekuasaan bangsa asing, agar mereka dapat menjadi peserta dalam pekerjaan pemulihan Allah saat ini dan yang akan datang.

Kitab Ezra dan Nehemia adalah kitab yang sangat teologis, tetapi tidak secara langsung berbicara tentang teologi kerja. Kitab-kitab ini tidak berisi perintah-perintah wajib atau visi-visi profetik tentang pekerjaan kita sehari-hari. Namun, narasi-narasi dalam kitab Ezra dan Nehemia menggambarkan pekerjaan yang sulit, yang secara implisit menempatkan pekerjaan dalam kerangka teologi. Jadi, kita akan menemukan “tanah yang subur” di bawah permukaan kitab-kitab ini yang bisa menghasilkan teologi kerja. Khususnya, Ezra dan Nehemia dipanggil untuk memulihkan kerajaan Allah (Israel) di tengah lingkungan yang sebagian memusuhi, sebagian mendukung. Tempat-tempat kerja saat ini juga sebagian memusuhi dan sebagian mendukung pekerjaan Allah. Hal ini mendorong kita untuk mencari tahu bagaimana pekerjaan kita bisa berkontribusi untuk menanamkan kerajaan Allah di dunia saat ini.

Ester

Kitab Ester menceritakan satu episode kisah yang menarik pada zaman yang digambarkan dalam kitab Ezra dan Nehemia. Kisah itu tidak berfokus pada pemulihan Yerusalem, tetapi pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di Persia ketika Ahasweros, yang lebih dikenal dengan nama Yunaninya, Xerxes, menjadi raja (485-465 SM). Narasi Ester menjelaskan asal mula perayaan orang Yahudi yang disebut Purim. Penulis anonim kitab ini menulis, sebagian, untuk menjelaskan dan mendukung peringatan hari raya nasional ini (lihat Ester 9:20-28).[3] dan bahkan berhasil sebagai orang-orang buangan di negeri yang tidak mengenal Allah dan seringkali memusuhi.[4]

Berbeda dengan kitab Ezra dan Nehemia, kitab Ester tidak secara eksplisit bersifat teologis sama sekali. Bahkan nama Allah tidak pernah disebutkan. Namun, pembaca yang beriman tidak mungkin tidak melihat tangan Allah di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kitab itu. Hal ini mengajak pembaca untuk merenungkan betapa Allah bisa bekerja di dunia ini tanpa disadari oleh orang-orang yang tidak memiliki mata untuk melihat.

Membangun Kembali Bait Suci (Ezra 1:1-6:22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ezra diawali dengan dekrit dari Kores, raja Persia, yang mengizinkan orang-orang Yahudi pulang ke Yerusalem untuk membangun kembali bait suci yang telah dihancurkan Babel pada tahun 587 SM (Ezra 1:2-4). Pembukaan dekrit ini menunjukkan waktu dekrit itu dikeluarkan: “Pada tahun pertama pemerintahan Kores, raja Persia” (539-538 SM, tak lama sesudah Persia mengalahkan Babel). Ini juga memperkenalkan salah satu tema pokok kitab Ezra-Nehemia: hubungan antara pekerjaan Allah dan pekerjaan manusia. Raja Kores memberikan pengumumannya “agar firman TUHAN yang diucapkan oleh Yeremia digenapi,” dan karena “TUHAN menggerakkan hati Kores, raja Persia itu” (Ezra 1:1). Kores sedang melakukan pekerjaannya sebagai raja, berupaya mencapai tujuan-tujuan pribadi dan institusinya. Namun, semua ini adalah akibat pekerjaan Allah di dalam dirinya, yang menggenapi tujuan-tujuan-Nya sendiri. Kita merasakan di ayat pertama kitab Ezra bahwa Allah memegang kendali, tetapi Dia memilih untuk bekerja melalui manusia, bahkan raja-raja non-Yahudi, untuk menggenapi kehendak-Nya.

Orang Kristen di dunia kerja saat ini juga hidup dengan percaya bahwa Allah terus bekerja melalui keputusan dan tindakan orang-orang dan institusi-institusi non-Kristen. Kores adalah alat yang dipilih Allah, entah ia sendiri menyadarinya atau tidak. Demikian juga, tindakan atasan kita, rekan kerja, pelanggan dan pemasok, pesaing, pembuat kebijakan atau banyak orang lainnya bisa menggenapi pekerjaan kerajaan Allah tanpa sepengetahuan kita atau mereka. Hal ini mestinya membuat kita tidak putus asa atau sombong. Jika nilai-nilai dan orang-orang Kristen tampaknya tidak ada di tempat kerja Anda, jangan putus asa – Allah masih terus bekerja. Sebaliknya, jika Anda tergoda untuk memandang diri sendiri atau organisasi Anda sebagai suri teladan kebaikan Kristen, waspadalah! Allah bisa melakukan lebih banyak melalui orang-orang yang tampaknya lebih tidak memiliki hubungan dengan-Nya daripada yang Anda sadari. Tentu saja, pekerjaan Allah melalui Kores — yang tetap kaya, berkuasa dan tidak percaya, sementara banyak umat Allah baru perlahan-lahan bangkit dari kemiskinan akibat pembuangan — harus mengingatkan kita agar tidak mengharapkan kekayaan dan kekuasaan sebagai upah yang penting atas pekerjaan kita yang setia. Allah memakai segala sesuatu untuk bekerja bagi kerajaan-Nya, yang tidak selalu untuk keberhasilan pribadi kita.

Pekerjaan Allah berlanjut ketika banyak orang Yahudi memanfaatkan dekrit raja Kores. “Setiap orang yang hatinya digerakkan Allah” bersiap untuk pulang ke Yerusalem. (Ezra 1:5). Ketika mereka tiba di Yerusalem, pekerjaan pertama yang mereka lakukan adalah mendirikan mezbah dan mempersembahkan korban di atasnya (Ezra 3:1-3). Ini melambangkan jenis pekerjaan utama yang dicatat dalam kitab Ezra dan Nehemia. Pekerjaan ini sangat berkaitan dengan praktik persembahan korban Yudaisme Perjanjian Lama yang dilakukan di bait suci. Pekerjaan yang dijelaskan dalam kitab-kitab ini menunjukkan dan mendukung sentralitas bait suci dan persembahan-persembahan korbannya dalam kehidupan umat Allah. Ibadah dan kerja berjalan seiring dalam kitab Ezra dan Nehemia.

Mengingat fokus kitab Ezra pada pembangunan kembali bait suci, pekerjaan-pekerjaan umat yang disebutkan berkaitan dengan upaya ini. Maka, daftar orang-orang yang kembali ke Yerusalem yang dirinci secara khusus adalah “para imam dan orang-orang Lewi,…para penyanyi, penjaga pintu gerbang, dan pelayan Bait Allah” (Ezra 2:70). Teks itu menyebutkan “tukang batu dan tukang kayu” karena mereka diperlukan dalam proyek pembangunan (Ezra 3:7). Orang-orang yang tidak memiliki keterampilan untuk bekerja secara langsung dalam pembangunan bait suci dapat berkontribusi dalam pekerjaan itu melalui hasil kerja mereka yang berbentuk “persembahan sukarela” (Ezra 2:68). Jadi, dalam satu arti, pembangunan kembali bait suci ini adalah pekerjaan semua orang karena mereka semua berkontribusi dalam satu dan hal lain.

Ezra mengidentifikasi para pemimpin politik selain Kores karena pengaruh mereka, secara positif maupun negatif, pada usaha pembangunan itu. Sebagai contoh, Zerubabel disebutkan sebagai pemimpin umat. Ia seorang kepala daerah yang mengawasi pembangunan kembali bait suci itu (Hagai 1:1). Ezra juga menyebut “Rehum, bupati, dan Simsai, sekretaris,” para pejabat yang menulis surat untuk menentang pembangunan kembali bait suci (Ezra 4:8-10). Raja-raja dan pejabat-pejabat lain disebutkan sesuai dengan keterkaitan mereka dengan proyek pembangunan kembali itu.

Bait suci adalah proyek utamanya, tetapi akan keliru jika kita berpikir bahwa Allah memberkati pekerjaan ketrampilan dan bangunan hanya ketika pekerjaan itu dipersembahkan untuk tujuan religius. Visi Ezra adalah pemulihan seluruh kota Yerusalem (Ezra 4:13), bukan hanya bait suci. Kita akan membicarakan hal ini lebih lanjut ketika kita membahas tentang Nehemia, yang benar-benar menangani pekerjaan di luar bait suci.

Ezra menjelaskan beberapa usaha yang menghambat pembangunan itu (Ezra 4:1-23). Usaha-usaha ini berhasil selama beberapa waktu, membuat proyek pembangunan bait suci itu terhenti sampai kira-kira dua dasawarsa (Ezra 4:24). Akhirnya, melalui nubuat nabi Hagai dan Zakharia, Allah menguatkan orang-orang Yahudi itu untuk melanjutkan dan menyelesaikan pekerjaan itu (Ezra 5:1). Selain itu, Darius, raja Persia, mendukung usaha pembangunan itu secara finansial dengan harapan Allah akan memberkatinya dan anak-anaknya (Ezra 6:8-10). Jadi, bait suci akhirnya selesai dibangun, berkat fakta bahwa Allah “telah memalingkan hati raja negeri Asyur kepada mereka”, sehingga “raja membantu [orang Yahudi] dalam pekerjaan membangun rumah Allah” (Ezra 6:22).

Sebagaimana dijelaskan ayat ini, orang Yahudi memang melakukan pekerjaan pembangunan kembali bait suci itu. Namun, pekerjaan mereka berhasil karena bantuan dua raja pagan, yang satu membuka peresmian proyek itu dan yang satunya lagi mendanai kebutuhan penyelesaiannya. Di balik usaha-usaha manusia ini tampak pekerjaan Allah yang melingkupi, yang menggerakkan hati raja-raja dan menguatkan umat-Nya melalui para nabi. Seperti yang sudah kita pelajari, Allah bekerja jauh melampaui yang dapat dilihat mata umat-Nya.

Pemulihan Kehidupan Perjanjian, Tahap Satu: Pekerjaan Ezra (Ezra 7:1-10:44)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ironisnya, Ezra sendiri tidak disebutkan di kitab yang menyandang namanya sampai pasal 7. Orang berpendidikan ini, seorang imam dan pengajar Taurat, datang ke Yerusalem atas restu raja Persia, Artahsasta, lebih dari lima puluh tahun setelah pembangunan kembali bait suci itu. Tugasnya adalah membawa persembahan-persembahan untuk bait suci atas nama raja dan menegakkan hukum Allah di Yehuda, baik dengan mengajar maupun dengan mengangkat para pemimpin yang taat-hukum (Ezra 7:25-26).

Ezra tidak menjelaskan kebaikan hati raja sebagai keberuntungan. Ia justru memuji Allah dengan berkata “yang sudah menggerakkan hati raja” untuk mengutus Ezra ke Yerusalem (Ezra 7:27). Ezra “menguatkan hati” dan bertindak atas perintah raja karena, sebagaimana dikatakannya, “tangan TUHAN, Allahku, melindungi aku” (Ezra 7:28). Ungkapan “tangan Allah melindungi” ini merupakan ucapan favorit Ezra, yang diucapkannya enam kali dari delapan kali frasa itu disebutkan di seluruh Alkitab (Ezra 7:6, 9, 28; 8:18, 22, 31). Allah bekerja di dalam dan melalui Ezra, dan itu menjelaskan keberhasilan dalam usaha-usahanya.

Keyakinan Ezra akan pertolongan Allah diuji ketika tiba saatnya bagi rombongannya untuk melakukan perjalanan dari Babel ke Yerusalem. “Aku malu,” Ezra menjelaskan, “meminta tentara dan pasukan berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di perjalanan, sebab kami telah berkata kepada raja demikian: ‘Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi kebaikan mereka, tetapi kuasa murka-Nya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia’" (Ezra 8:22). Bagi Ezra, bergantung pada pengawalan pasukan kerajaan menyiratkan ketidakpercayaan akan perlindungan Allah. Karena itu, ia dan rombongannya memilih berpuasa dan berdoa ketimbang meminta bantuan praktis dari raja (Ezra 8:23). Catatan: Ezra tidak sedang mematuhi hukum Perjanjian Lama tertentu ketika ia memilih tidak meminta perlindungan raja. Keputusan ini merupakan keyakinan pribadinya sendiri tentang arti memercayai Allah dalam tantangan kepemimpinan yang nyata. Ezra bisa dikatakan sebagai “orang percaya yang idealistis” dalam situasi ini, karena ia bersedia mempertaruhkan nyawanya demi pandangan tentang perlindungan Allah, daripada memastikan perlindungan dengan bantuan manusia. Seperti akan kita lihat kemudian, sikap Ezra bukanlah satu-satunya sikap yang dianggap bisa diterima oleh para pemimpin saleh pada zaman Ezra dan Nehemia.

Strategi Ezra terbukti berhasil. “Tangan Allah kami melindungi kami,” ungkapnya, “dan menghindarkan kami dari tangan musuh dan penyamun di jalan” (Ezra 8:31). Namun kita tidak tahu apakah anggota rombongan Ezra membawa atau menggunakan senjata untuk melindungi diri atau tidak. Teks Alkitab tampaknya menunjukkan bahwa Ezra dan rombongannya menyelesaikan perjalanan tanpa ada insiden yang mengancam. Sekali lagi, kitab Ezra menunjukkkan bahwa usaha-usaha manusia berhasil ketika Allah bekerja di dalamnya.

Dua pasal terakhir kitab Ezra berfokus pada masalah kawin-campur orang Yahudi dengan orang non-Yahudi. Isu tentang pekerjaan tidak disebutkan di sini, selain pada keteladanan Ezra, yang menjalankan kepemimpinannya dengan kesetiaan pada Taurat dan ketegasan yang disertai doa.

Membangun Kembali Tembok Yerusalem (Nehemia 1:1-7:73)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pasal pertama kitab yang menyandang namanya ini, Nehemia memperkenalkan dirinya sebagai penduduk Susan, ibukota kerajaan Persia. Ketika Nehemia mendengar bahwa tembok-tembok Yerusalem masih terbongkar setelah lebih dari setengah abad pembangunan kembali bait suci dilakukan, ia “duduk menangis,” berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah (Nehemia 1:4). Secara implisit, ia sedang merumuskan suatu rencana untuk mengatasi situasi di Yerusalem.

Menjembatani Pemisahan Sakral-Sekuler (Nehemia 1:1-1:10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hubungan antara bait suci dan tembok sangat penting dalam teologi kerja. Bait suci bisa tampak sebagai institusi yang religius, sementara tembok sebagai yang sekuler. Namun, Allah memimpin Nehemia untuk membangun tembok, yang tidak kurang penting daripada Dia memimpin Ezra untuk membangun bait suci. Yang sakral maupun yang sekuler sama-sama diperlukan dalam menggenapi rencana Allah memulihkan bangsa Israel. Jika tembok belum selesai, bait suci juga belum selesai. Pekerjaan itu merupakan satu kesatuan. Alasannya mudah dimengerti. Tanpa tembok, tidak ada kota di Timur Dekat kuno yang aman dari para penjahat, perampok dan binatang buas, meskipun kerajaan itu sedang dalam keadaan damai. Semakin sebuah kota berkembang secara ekonomi dan budaya, semakin tinggi nilai segala sesuatu di dalam kota itu, dan semakin besar kebutuhan akan tembok. Bait suci, dengan segala kekayaan dekorasinya, akan menjadi sangat terancam. Pendek kata, tidak ada tembok berarti tidak ada kota, dan tidak ada kota berarti tidak ada bait suci.

Sebaliknya, kota dan temboknya bergantung pada bait suci sebagai sumber pemeliharaan Allah dalam hukum, pemerintahan, keamanan dan kemakmuran. Bahkan dalam istilah militer yang ketat pun, bait suci dan tembok saling bergantung. Tembok adalah bagian yang menyatu dengan perlindungan kota, demikian juga bait suci sebagai tempat kediaman Tuhan (Ezra 1:3) yang membuat rencana-rencana jahat musuh-musuh kota itu gagal total (Nehemia 4:15). Begitu pula dengan pemerintah dan keadilan. Pintu gerbang tembok adalah tempat perkara-perkara hukum diadili (Ulangan 21:19, Yesaya 29:21), sementara pada saat yang sama Tuhan dari bait-Nya “membela hak anak yatim dan janda” (Ulangan 10:18). Tidak ada bait suci berarti tidak ada kehadiran Allah, dan tidak ada kehadiran Allah berarti tidak ada kekuatan militer, tidak ada keadilan, tidak ada peradaban dan tidak ada kebutuhan akan tembok. Bait suci dan tembok menyatu dalam masyarakat yang didasarkan pada “perjanjian dan kasih setia” Allah (Nehemia 1:5). Inilah setidaknya gambar ideal yang ada di benak Nehemia saat ia berpuasa, berdoa dan bekerja.

Apakah Memercayai Allah Berarti Bertekun dalam Doa, Mengambil Tindakan "Praktis" atau Kedua-duanya? (Nehemia 1:11-4:23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kalimat terakhir Nehemia pasal 1 mengidentifikasi Nehemia sebagai “juru minuman raja” (Nehemia 1:11). Ini berarti ia bukan saja memiliki akses langsung kepada raja sebagai orang yang mencicipi dan menghidangkan minuman raja, tetapi ia juga penasihat yang dipercaya dan pejabat tinggi di kerajaan Persia.[1] Ia akan memakai kedudukan dan pengalaman profesinya ini menjadi keuntungan besar saat ia memulai pekerjaan membangun kembali tembok Yerusalem.

Ketika raja memberinya izin untuk mengawasi proyek pembangunan kembali itu, Nehemia meminta raja mengirim surat kepada para bupati di seluruh wilayah yang akan dilewatinya dalam perjalanan menuju Yerusalem (Nehemia 2:7). Menurut Nehemia, raja mengabulkan permohonan ini “karena tangan baik Allahku melindungi aku” (Nehemia 2:8). Tampaknya Nehemia percaya bahwa memercayai Allah tidak berarti ia tidak seharusnya mencari perlindungan raja dalam perjalanannya. Lagipula, ia senang dikawal “para kepala pasukan dan tentara berkuda” untuk tiba dengan selamat di Yerusalem (Nehemia 2:9).

Teks Alkitab tidak menunjukkan ada yang salah dengan keputusan Nehemia meminta dan menerima perlindungan raja. Bahkan dikatakan berkat Allahlah yang dianggap menimbulkan sedikit bantuan dari raja ini. Sungguh menarik untuk diperhatikan, betapa berbedanya pendekatan Nehemia dengan Ezra dalam hal ini. Jika Ezra percaya bahwa memercayai Allah berarti ia tidak seharusnya meminta perlindungan raja, Nehemia melihat pemberian perlindungan itu sebagai tanda berkat tangan Allah yang pemurah. Perbedaan ini menunjukkan betapa mudahnya orang-orang saleh berbeda kesimpulan tentang arti memercayai Allah dalam pekerjaan mereka. Masing-masing kemungkinan hanya melakukan yang paling familiar bagi mereka. Ezra adalah seorang imam, yang familiar berada di hadirat Allah. Sementara Nehemia yang juru minuman raja, familiar dengan penggunaan kekuasaan kerajaan. Baik Ezra maupun Nehemia ingin setia dalam pekerjaan mereka. Keduanya sama-sama pemimpin yang saleh dan tekun berdoa. Namun, pemahaman mereka tentang memercayai Allah dalam hal perlindungan berbeda. Bagi Ezra, itu berarti melakukan perjalanan tanpa perlindungan raja. Bagi Nehemia, itu berarti menerima tawaran bantuan raja sebagai bukti berkat dari Allah itu sendiri.

Kita menemukan petunjuk di beberapa bagian Alkitab bahwa Nehemia bisa disebut sebagai “orang percaya yang pragmatis.” Di Nehemia 2, misalnya, Nehemia diam-diam menyelidiki reruntuhan tembok lama bahkan sebelum ia mengumumkan rencana-rencananya kepada penduduk Yerusalem (Nehemia 2:11-17). Tampaknya ia ingin tahu lebih dulu seberapa besar dan luas pekerjaan yang akan ia lakukan sebelum ia menyatakan secara terbuka akan melakukan tugas itu. Namun setelah ia menjelaskan tujuan kedatangannya ke Yerusalem dan menunjukkan tangan perlindungan Allah yang penuh kemurahan atasnya, ketika beberapa pejabat setempat mengolok-olok dan menghinanya, Nehemia menjawab, “Allah Semesta Langit, Dialah yang membuat kami berhasil!” (Nehemia 2:20). Allah memberikan keberhasilan ini, sebagian, melalui kepemimpinan Nehemia yang cerdas dan berpengetahuan luas. Fakta bahwa keberhasilan itu berasal dari Tuhan tidak berarti Nehemia hanya duduk manis dan santai saja. Sebaliknya, ia akan memulai suatu pekerjaan yang sulit dan menantang.

Kepemimpinannya mencakup mendelegasikan bagian-bagian proyek pembangunan-tembok itu kepada beragam orang yang berbeda, seperti “Imam Besar Elyasib dan para imam” (Nehemia 3:1), “orang-orang Tekoa,” tanpa pemuka-pemuka mereka yang tidak mau tunduk pada para pengawas (Nehemia 3:5), “Uziel bin Harhaya, salah seorang tukang emas” dan “Hananya, seorang pembuat minyak wangi” (Nehemia 3:8), “Salum …penguasa sebagian wilayah Yerusalem …bersama anak-anak perempuannya” (Nehemia 3:12), dan banyak lagi lainnya. Nehemia mampu mengilhami kolegialitas (semangat kolaborasi) dan mengorganisir proyek itu dengan efektif.

Namun, kemudian, sama seperti kisah pembangunan kembali bait suci di kitab Ezra, perlawanan mulai timbul. Para pemimpin masyarakat setempat berusaha menghalangi usaha orang Yahudi itu dengan mengolok-olok, tetapi “seluruh bangsa bekerja dengan segenap hati” (Nehemia 4:6). Ketika kata-kata mereka tidak mempan menghentikan pembangunan kembali tembok itu, para pemimpin lokal itu “bersekongkol untuk memerangi Yerusalem dan menimbulkan kekacauan di sana” (Nehemia 4:8).

Lalu apa arahan Nehemia untuk dilakukan umatnya? Berdoa dan percaya pada Allah? Atau mempersenjatai diri untuk berperang? Sudah dapat diduga, orang percaya yang pragmatis mengarahkan umat untuk melakukan keduanya: “Kami berdoa kepada Allah kami, dan melakukan penjagaan terhadap mereka siang dan malam” (Nehemia 4:9). Bahkan, ketika ancaman terhadap para pembangun tembok semakin meningkat, Nehemia juga menempatkan para penjaga di tempat-tempat penting. Ia menguatkan umatnya agar tidak menjadi tawar hati karena musuh-musuh mereka: “Jangan takut terhadap mereka! Ingatlah kepada Tuhan Yang Maha Besar dan dahsyat dan berperanglah untuk saudara-saudaramu, anak-anak lelaki dan perempuanmu, serta untuk istrimu dan rumahmu” (Nehemia 4:14). Karena mereka percaya, mereka siap berperang. Lalu, tak lama sesudah itu, Nehemia menambahkan kata-kata yang membesarkan hati lagi, “Allah kita akan berperang bagi kita!” (Nehemia 4:20). Namun, ini bukan undangan untuk mereka meletakkan senjata dan fokus pada pembangunan dengan percaya pada perlindungan supernatural saja. Sebaliknya, Allah akan berperang bagi umat-Nya dengan membantu mereka dalam peperangan. Dia akan bekerja di dalam dan melalui umat-Nya ketika mereka bekerja.

Kita orang Kristen tampaknya kadang bertindak seolah-olah ada tembok yang kaku antara secara aktif mengejar agenda kita sendiri dan secara pasif menanti Allah bertindak. Kita tahu ini adalah dualitas yang palsu, dan karenanya, misalnya, teologi Kristen ortodoks/historis menolak pandangan Christian Science yang menganggap pengobatan medis sebagai tindakan tidak setia kepada Allah. Namun, pada saat tertentu, kita tergoda untuk menjadi pasif ketika menanti Allah bertindak. Jika Anda menganggur, ya, Allah ingin Anda memiliki pekerjaan. Untuk mendapatkan pekerjaan yang Allah ingin Anda miliki itu, Anda harus membuat daftar riwayat hidup, mencari lowongan pekerjaan, mengajukan lamaran, menjalani wawancara, dan menerima penolakan berkali-kali sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan itu, seperti yang dialami banyak orang lain. Jika Anda adalah orangtua, ya, Allah ingin Anda menikmati masa-masa membesarkan anak Anda. Namun, Anda tetap harus menetapkan dan menegakkan batas-batas, memberikan waktu pada saat-saat Anda sibuk, membicarakan topik-topik yang sulit bersama mereka, menangis dan menderita bersama mereka pada saat terjadi benturan-benturan, patah tulang dan patah hati, melakukan pekerjaan rumah bersama mereka, meminta maaf pada mereka ketika Anda bersalah, dan mengampuni mereka ketika mereka gagal. Anda tidak mendapat waktu istirahat sebagai imbalan atas perilaku baik seperti membawa anak-anak ke gereja. Kerja keras Nehemia dan orang-orangnya mengingatkan kita bahwa memercayai Allah tidak berarti duduk berpangku tangan menanti solusi magis atas masalah-masalah kita.

Menghubungkan Tindakan Memberi Pinjaman dengan Takut akan Tuhan (Nehemia 5:1-19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

CEO of Ziba Design Sohrab Vossoughi quit his job, tightened his belt and, with just $400, started what has become an award-winning, international, industrial-design firm.

Proyek pembangunan-tembok Nehemia tidak hanya mendapat ancaman dari luar, tetapi juga dari dalam. Para bangsawan Yahudi dan pejabat tertentu memanfaatkan masa-masa kesulitan ekonomi untuk memperkaya diri sendiri (Nehemia 5). Mereka meminjamkan uang kepada sesama orang Yahudi dengan mengenakan bunga, meskipun hal ini dilarang dalam Hukum Yahudi (misalnya, Keluaran 22:25).[1] Ketika orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya, mereka kehilangan tanah mereka dan bahkan dipaksa menjual anak-anak mereka sebagai budak (Nehemia 5:5). Nehemia menangani dengan menuntut orang-orang kaya tersebut berhenti makan riba dan mengembalikan apa pun yang sudah mereka ambil dari pengutang mereka.

Berkebalikan dengan keegosian orang-orang yang mencari keuntungan dari rekan sesama Yahudi, Nehemia tidak memanfaatkan jabatan kepemimpinannya untuk memperkaya diri. “Karena takut akan Allah,” ia bahkan tidak mau menarik pajak dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran pribadinya seperti yang dilakukan para pendahulunya (Nehemia 5:14-16). Sebaliknya, Ia dengan murah hati mengundang banyak orang untuk makan dari meja makannya, yang biayanya diambil dari tabungan pribadinya tanpa menarik pajak dari masyarakat (Nehemia 5:17-18).

Dapat dikatakan, para bangsawan dan pejabat itu bersalah atas dualisme yang baru saja kita sebutkan. Pada kasus mereka, mereka tidak pasif menanti Allah menyelesaikan masalah mereka. Sebaliknya, mereka aktif mengejar keuntungan sendiri seakan-akan kehidupan ekonomi tak ada hubungannya dengan Allah. Nehemia mengatakan bahwa kehidupan ekonomi mereka sangatlah penting bagi Allah, karena Allah memerhatikan seluruh kehidupan masyarakat, bukan hanya aspek religinya saja: “Bukankah kamu harus hidup dalam takut akan Allah kita supaya terhindar dari cercaan bangsa-bangsa lain, musuh-musuh kita [yang kepadanya para bangsawan menjual paksa orang Yahudi yang berutang sebagai budak]?” (Nehemia 5:9). Nehemia menghubungkan masalah ekonomi (riba) dengan takut akan Allah.

Masalah-masalah di Nehemia 5, meskipun muncul dari konteks hukum dan budaya yang jauh dari kita, menantang kita untuk memikirkan seberapa banyak seharusnya kita mengambil keuntungan pribadi dari jabatan dan hak-hak istimewa kita, bahkan dari pekerjaan kita. Haruskah kita menaruh uang di bank yang memberikan pinjaman dengan bunga? Haruskah kita memanfaatkan fasilitas tertentu yang ada di tempat kerja, meskipun hal itu akan sangat merugikan orang lain? Perintah-perintah spesifik Nehemia (jangan makan riba, jangan menyita jaminan, jangan menjual paksa orang lain sebagai budak) mungkin berbeda penerapannya pada zaman kita, tetapi doa yang mendasari perintah-perintah itu masih bisa terus diterapkan: “Ingatlah akan aku, ya Allahku, demi kebaikanku, karena segala yang kubuat untuk rakyat ini” (Nehemia 5:19). Seperti pada Nehemia, Allah memanggil pekerja-pekerja masa kini untuk melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa kita. Secara praktis, ini berarti setiap kita berutang kewajiban pada Allah untuk memelihara banyak orang yang bergantung pada pekerjaan kita: pemberi kerja, rekan kerja, pelanggan, keluarga, masyarakat dan banyak orang lainnya. Nehemia mungkin tidak memberi tahu kita bagaimana tepatnya menghadapi situasi-situasi di tempat kerja masa kini, tetapi ia memberi tahu kita bagaimana mengarahkan pikiran kita saat membuat keputusan. Dahulukan kepentingan orang lain.

Nehemia Memberikan Kredit kepada Allah (Nehemia 6:1-7:73)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Masalah-masalah eksternal dan internal yang dihadapi Nehemia tidak menghentikan pekerjaan membangun tembok yang diselesaikan hanya dalam waktu lima puluh dua hari (Nehemia 6:15). Musuh-musuh Yehuda “menjadi takut… sangat kehilangan muka dan menyadari bahwa pekerjaan itu dilaksanakan dengan bantuan Allah kami” (Nehemia 6:16). Meskipun Nehemia menjalankan kepemimpinan yang luar biasa dengan menginspirasi dan mengorganisir para pembangun, meskipun mereka bekerja tanpa kenal lelah, dan meskipun kebijaksanaan Nehemia membuatnya mampu mengatasi segala macam serangan dan gangguan, ia tetap melihat semua itu sebagai pekerjaan yang diselesaikan dengan pertolongan Allah. Allah bekerja melalui dirinya dan umatnya, dengan memakai talenta dan tenaga mereka untuk menggenapi tujuan Allah sendiri.

Pemulihan Kehidupan Perjanjian, Tahap Dua: Ezra dan Nehemia Bersama-sama (Nehemia 8:1-13:31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah tembok sekeliling Yerusalem selesai dibangun, bangsa Israel berkumpul di Yerusalem untuk memperbarui perjanjian mereka dengan Allah. Ezra kembali muncul di sini untuk membacakan Taurat kepada bangsa itu (Nehemia 8:2-5). Ketika mereka mendengar perkataan Taurat itu, mereka menangis (Nehemia 8:10). Namun, Nehemia menegur dukacita mereka dan berkata, "Pergilah, makanlah makanan yang enak-enak dan minumlah minuman manis serta kirimlah sebagian kepada mereka yang tidak sedia apa-apa, karena hari ini kudus bagi Tuhan kita” (Nehemia 8:11). Betapapun bekerja untuk melayani Allah itu penting, merayakan juga penting. Pada hari perayaan itu, mereka perlu menikmati hasil jerih lelah mereka serta membaginya dengan orang-orang yang tidak memiliki kesenangan itu.

Namun, seperti ditunjukkan Nehemia 9, ada juga waktunya untuk berdukacita yang benar ketika umat mengakui dosa-dosa mereka kepada Allah (Nehemia 9:2). Pengakuan dosa mereka terjadi saat dilakukan pembacaan ekstensif tentang segala sesuatu yang telah dilakukan Allah, mulai dari penciptaan itu sendiri (Nehemia 9:6) dan dilanjutkan dengan berbagai peristiwa penting dalam Perjanjian Lama. Kegagalan bangsa Israel untuk setia pada Allah menjelaskan, di antara hal-hal lainnya, mengapa umat pilihan Allah menjadi “budak” raja-raja asing dan mengapa raja-raja itu menikmati hasil kerja keras bangsa Israel (Nehemia 9:36-37).

Di antara janji-janji yang dibuat umat ketika mereka memperbarui perjanjian dengan Tuhan adalah komitmen untuk menghormati hari Sabat (Nehemia 10:31). Secara khusus mereka berjanji tidak akan berbisnis pada hari Sabat dengan “bangsa-bangsa negeri” yang bekerja pada hari itu. Bangsa Israel juga berjanji akan memenuhi tanggung jawab mereka dalam mendukung kebutuhan finansial bait suci dan para pekerjanya (Nehemia 10:31-39). Mereka akan melakukannya dengan memberikan persentase hasil kerja mereka untuk bait suci dan pekerjanya. Saat ini, seperti saat itu, komitmen untuk memberikan sebagian dari pendapatan kita untuk mendukung “ibadah di Rumah Allah kami” (Nehemia 10:32) merupakan sarana yang diperlukan untuk membiayai pelayanan ibadah dan juga pengingat bahwa semua yang kita miliki berasal dari tangan Allah.

Setelah menyelesaikan tugasnya membangun tembok di Yerusalem dan mengawasi pembaruan masyarakat di sana, Nehemia kembali ke Persia untuk melayani Raja Artahsasta (Nehemia 13:6). Belakangan, ia kembali lagi ke Yerusalem, dan mendapati bahwa beberapa pembaruan yang ia prakarsai berjalan baik, tetapi beberapa lainnya diabaikan. Contohnya, ia mendapati beberapa orang bekerja pada hari Sabat (Nehemia 13:15). Para pejabat Yahudi mengizinkan pedagang-pedagang non-Yahudi membawa barang dagangan mereka ke Yerusalem untuk dijual pada hari perhentian (Nehemia 13:16). Maka, Nehemia lalu menegur orang-orang yang tidak menghormati hari Sabat itu (Nehemia 13:7-18). Selain itu, karena pendekatannya yang tipikal pragmatis, ia menutup pintu-pintu gerbang kota sebelum hari Sabat, dan membiarkannya tetap tertutup sampai hari perhentian berlalu. Ia juga menempatkan beberapa anak buahnya di pintu gerbang untuk mengusir calon-calon penjual yang hendak membawa masuk barang dagangan mereka pada hari Sabat (Nehemia 13:19).

Pertanyaan apakah dan/atau bagaimana orang Kristen harus memelihara hari Sabat tidak dapat dijawab di kitab Nehemia. Perlu pembahasan teologis yang lebih luas tentang hal ini.[1] Meskipun demikian, kitab ini mengingatkan kita tentang sentralitas memelihara hari Sabat pada umat perjanjian Allah yang mula-mula serta ancaman yang ditimbulkan akibat interaksi ekonomi dengan orang-orang yang tidak menghormati hari Sabat. Dalam konteks kita sendiri, tentunya akan lebih mudah bagi orang Kristen untuk memelihara hari Sabat jika mal-mal tutup pada Hari Tuhan. Namun, budaya perniagaan masa kini yang berlangsung 24 jam non-stop menempatkan kita pada situasi Nehemia, yang memerlukan keputusan secara sadar – dan mungkin mahal – tentang memelihara hari Sabat.

Bekerja dalam Sistem Yang Bobrok (Ester)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ester diawali dengan Raja Ahasweros (yang di luar sejarah Alkitab dikenal dengan nama Xerxes) yang mengadakan pesta mewah untuk memperlihatkan kebesarannya (Ester 1:1-8). Setelah cukup banyak minum anggur, Ahasweros memerintahkan pelayannya untuk membawa Ratu Wasti ke hadapannya agar ia dapat memamerkannya kepada para pengunjung pesta (Ester 1:10-11). Namun, Wasti, yang merasa ada sesuatu yang merendahkan dengan permintaan itu, menolak untuk datang (Ester 1:12). Penolakannya menggusarkan pria-pria yang hadir, yang merasa khawatir contoh tindakan Wasti akan mendorong wanita-wanita lain di kerajaan itu untuk menentang suami mereka (Ester 1:13-18). Maka Wasti pun “dipecat”, jika Anda mau menyebutnya demikian, dan sebuah proses menemukan ratu baru bagi Ahasweros pun dimulai (Ester 1:21-2:4). Episode ini tentu saja menunjukkan masalah keluarga. Namun, setiap keluarga kerajaan adalah tempat kerja politik juga; sehingga situasi Wasti juga merupakan masalah di tempat kerja, yang di dalamnya sang majikan berusaha mengeksploitasi seorang wanita karena jenis kelaminnya dan kemudian memecatnya ketika ia gagal memenuhi fantasi-fantasinya.

Lalu siapa yang akan menggantikan Wasti? Kontes kecantikan diadakan untuk mencari gadis-gadis perawan paling cantik di seluruh 127 wilayah Persia, dan Ester termasuk yang dibawa ke istana untuk menjalani perawatan kecantikan selama setahun yang wajib dilakukan sebelum ia dibawa menghadap raja. Pada akhirnya, Ester menjadi juara pertama dalam kontes itu dan dinobatkan sebagai ratu kerajaan. Satu fakta tentang dirinya yang tetap disembunyikan, atas permintaan sepupu dan walinya yang bernama Mordekhai, adalah bahwa ia seorang Yahudi. (Ester 2:8-14). Meskipun ia terlihat sebagai “pemenang” kontes itu, ia sebenarnya terjebak dalam sistem yang menindas dan mendiskriminasi perempuan, yang segera akan menghadapi eksploitasi seksual di tangan raja lalim yang egois.

Meskipun Ester tetap tunduk pada sistem yang menindas ini, ia kini menjadi bagian dari istana yang memiliki akses kepada kekuasaan dan pengaruh yang tinggi. Ia sepertinya tak tertarik apakah Allah punya rencana atau tujuan untuknya di sana. Sesungguhnya, nama Allah bahkan tidak disebutkan di dalam kitab Ester. Namun ini tidak berarti Allah tidak punya rencana atau tujuan untuknya di istana Ahasweros. Sebagaimana dikisahkan, sepupunya, Mordekhai, suatu saat berselisih dengan pejabat tertinggi Ahasweros, Haman (Ester 3:1-6). Haman membalas dengan merancang bukan saja untuk membunuh Mordekhai, tetapi semua orang Yahudi (Ester 3:7-15). Karena hukum Media dan Persia tidak dapat dibatalkan, maka begitu Ahasweros menandatangani dekrit yang menyetujui rencana ini (tanpa mengetahui bahwa ratunya juga orang Yahudi yang dibenci), tidak ada yang bisa menganulir.

Dekrit itu diumumkan di beberapa kota dan provinsi, yang menyebabkan terbunuhnya banyak orang Yahudi, dan ketika Mordekhai mendengar hal itu, ia duduk di pintu gerbang istana dengan memakai kain kabung dan abu. Mendengar hal ini, Ester mengirim pesan untuk mencari tahu masalahnya, dan Mordekhai pun membalas pesan itu dengan memberitahukan tentang dekrit itu, dan meminta Ester melakukan intervensi (Ester 4:1-9).

Ester keberatan dan berkata bahwa intervensinya bisa membahayakan posisinya, dan bahkan nyawanya (Ester 4:11). Ia juga tampaknya sudah tidak menarik perhatian raja, karena selama 30 hari ini ia tidak dipanggil menghadap raja. Tidak masuk akal jika raja tidur sendirian, sehingga ada kemungkinan ada beberapa perempuan lain yang “dipanggil menghadap raja” (Ester 4:11). Melakukan intervensi untuk bangsanya ini akan terlalu berisiko. Mordekhai menjawab dengan dua argumen. Yang pertama, entah Ester bersedia melakukan intervensi atau tidak, nyawanya juga terancam. "Jangan kira karena engkau di istana raja, hanya engkau dari antara semua orang Yahudi yang akan terluput. Sebab, jika engkau berdiam diri saja pada saat ini, pertolongan dan kelepasan bagi orang Yahudi akan muncul dari pihak lain, tetapi engkau dan kaum keluargamu akan binasa” (Ester 4:13-14a). Dan yang kedua, “Siapa tahu, justru untuk saat seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu." (Ester 4:14b). Kedua argumen ini membuat Ester berubah drastis. Bergelar "ratu" namun tetap tunduk pada keinginan apa saja dari raja yang absolut, Ester tidak dapat membayangkan ia dapat berbuat sesuatu sehubungan dengan dekrit itu. Namun pada akhirnya ia setuju untuk menghadap raja dan menegaskan kepada Mordekhai, "Kalau aku harus mati, biarlah aku mati" (Ester 4:16). Ester harus membuat pilihan. Ia bisa terus menyembunyikan ke-Yahudi-annya dan menjalani sisa hidupnya sebagai ibu negara di istana Xerxes. Atau, ia bisa mengambil alih kehidupannya dan melakukan yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan bangsanya. Ia mulai menyadari bahwa kedudukannya yang tinggi bukan sekadar hak istimewa untuk dinikmati, tetapi tanggung jawab besar yang harus digunakan untuk menyelamatkan orang lain. Bangsanya dalam bahaya, dan masalah mereka kini menjadi masalahnya karena ia berada pada posisi terbaik untuk melakukan sesuatu tentang hal itu.

Perhatikan bahwa dua argumen Mordekhai mengacu pada insting yang berbeda. Argumen yang pertama mengacu pada perlindungan diri. Ester, kamu itu orang Yahudi, dan jika semua orang Yahudi diperintahkan untuk dibunuh, pada akhirnya kamu juga akan ketahuan dan dibunuh. Argumen kedua mengacu pada tujuan, yang disertai petunjuk tentang pelayanan ilahi. Ester, jika kamu bertanya-tanya mengapa dari antara semua gadis-gadis kamulah yang akhirnya menjadi istri raja, bisa jadi itu karena ada maksud yang lebih besar dalam hidupmu.

Pada akhirnya, Ester mengidentifikasikan dirinya dengan bangsanya. Dalam pengertian ini, ia mengambil langkah seperti yang akan dilakukan Yesus saat kelahiran-Nya: mengidentifikan diri-Nya dengan manusia. Dan bisa jadi langkah inilah yang membuka mata hatinya terhadap tujuan Allah. Setelah mengidentifikasikan dirinya dengan bangsanya yang terancam kematian, Ester melakukan pelayanan intervensi dengan menghadap raja. Ia mempertaruhkan kedudukannya, kekayaannya, nyawanya. Kedudukannya yang tinggi kini menjadi sarana pelayanan, bukan sarana melayani diri sendiri.[1]

Pelayanan Ester memiliki kesamaan dengan dunia kerja masa kini dalam beberapa hal:

  • Banyak orang – Kristen atau bukan – mendapatkan diri mereka melakukan kompromi etika dalam riwayat pekerjaan mereka. Karena kita semua berada dalam posisi Ester, kita semua memiliki kesempatan – dan tanggung jawab – untuk mempersilakan Allah memakai kita untuk apa saja. Apakah Anda pernah mengambil jalan pintas untuk mendapatkan pekerjaan? Meskipun demikian, Allah dapat memakai Anda untuk mengakhiri praktik-praktik yang tidak benar di tempat kerja Anda. Apakah Anda pernah menyalahgunakan aset-aset perusahaan? Allah masih bisa memakai Anda untuk membersihkan data-data palsu di departemen Anda. Pernah mengakomodir sistem yang salah di masa lalu bukan alasan untuk tidak mengindahkan apa yang Allah inginkan dari Anda sekarang. Pernah menyalahgunakan kemampuan-kemampuan yang dari Allah bukan alasan untuk percaya bahwa Anda tidak dapat menggunakan kemampuan-kemampuan itu untuk tujuan baik Allah saat ini. Ester adalah teladan bagi kita semua yang telah gagal memuliakan Allah, baik karena pilihan atau pun kebutuhan. Anda tidak bisa berkata, “Andai kau tahu betapa banyak pelanggaran etika yang telah kulakukan untuk bisa sampai seperti ini – aku tak mungkin bisa dipakai Allah sekarang.”

  • Allah memakai situasi-situasi aktual hidup kita. Posisi Ester memberinya kesempatan-kesempatan unik untuk melayani Allah. Posisi Mordekhai memberinya kesempatan yang berbeda. Kita harus memanfaatkan kesempatan tertentu yang ada pada kita. Alih-alih berkata, “Aku akan melakukan perkara besar bagi Allah andai aku punya kesempatan,” lebih baik kita berkata, “Mungkin justru untuk saat seperti ini aku berada di posisi ini.”

  • Posisi kita berbahaya secara rohani. Kita bisa mengidentikkan nilai dan eksistensi kita dengan posisi kita. Semakin tinggi posisi kita, semakin besar bahaya itu. Jika menjadi CEO, memiliki jabatan, atau mempertahankan pekerjaan yang baik, menjadi begitu penting sampai kita mengabaikan hal-hal lainnya dari diri kita, maka kita sudah kehilangan diri kita sendiri.

  • Melayani Allah menuntut membahayakan posisi kita. Jika Anda memakai posisi Anda untuk melayani Allah, Anda bisa kehilangan posisi dan prospek masa depan Anda. Hal ini sangat menakutkan jika Anda mengidentikkan diri dengan pekerjaan atau karier Anda. Padahal faktanya posisi kita juga terancam jika kita tidak melayani Allah. Kasus Ester sangat ekstrem. Ia bisa dibunuh jika ia mempertaruhkan posisinya dengan melakukan intervensi, dan ia juga bisa dibunuh jika tidak melakukan intervensi. Apakah posisi kita benar-benar lebih aman dari Ester? Bukanlah kebodohan mempertaruhkan yang tidak dapat kita pertahankan untuk mendapatkan yang tidak dapat hilang dari kita. Pekerjaan yang dilakukan dalam pelayanan kepada Allah tak pernah benar-benar menjadi sia-sia.

Bagi Ester dan orang Yahudi, kisahnya berakhir bahagia. Ester mengambil risiko dengan mendatangi raja tanpa diundang, dan mendapat perkenannya (Ester 5:1-2). Ia menggunakan taktik yang cerdik untuk membuat Haman merasa terhormat selama dua kali diundang dalam perjamuan (Ester 5:4-8; 7:1-5) dan membuat Haman menyingkapkan kemunafikannya sendiri dalam upayanya memusnahkan orang Yahudi (Ester 7:6 -10). Raja mengeluarkan keputusan baru yang melepaskan orang-orang Yahudi dari rencana jahat Haman (Ester 8:11-14) dan mengganjar Mordekhai dan Ester dengan kekayaan, kehormatan dan kekuasaan (Ester 8:1-2; 10:1-3). Mereka kemudian meningkatkan kesejahteraan banyak orang Yahudi di seluruh Kerajaan Persia (Ester 10:3). Haman dan musuh-musuh orang Yahudi dibunuh (Ester 7:9-10; 9:1-17). Tanggal kelepasan orang Yahudi – 14 dan 15 bulan Adar – kemudian diperingati sebagai hari raya Purim (Ester 9:17-23).

Tangan Allah Yang Tersembunyi dan Respons Manusia (Ester)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, nama Allah tidak disebutkan dalam kitab Ester. Namun, kitab Ester termasuk dalam Alkitab. Oleh karena itu, para penafsir Alkitab lalu mencari kehadiran Allah yang terselubung dalam kitab Ester, dan umumnya dengan merujuk pada ayat yang penting ini: “Siapa tahu, justru untuk saat seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu" (Ester 4:14). Implikasinya adalah ia berada pada posisinya saat itu bukan karena keberuntungan atau takdir, atau akal-akalannya sendiri, tetapi karena kehendak Aktor yang tak terlihat. Kita bisa melihat ‘tulisan tangan ilahi di dinding’ di sini. Ester mencapai kedudukannya dalam kerajaan karena “tangan baik Allah kami itu menyertainya” seperti yang juga dikatakan oleh Ezra dan Nehemia (Ezra 8:18, Nehemia 2:18).

Hal ini menantang kita untuk merenungkan betapa Allah bisa bekerja dengan cara yang tak kita kenali. Ketika sebuah perusahaan sekuler meniadakan prasangka dalam promosi dan skala gaji, apakah Allah sedang bekerja di sana? Ketika seorang Kristen dapat menghentikan praktik-praktik pembukuan yang menipu, apakah ia harus mengumumkan bahwa ia melakukannya karena ia orang Kristen? Jika orang-orang Kristen punya kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang Yahudi dan Muslim untuk mengajukan penyesuaian-penyesuaian keagamaan yang masuk akal di perusahaan, haruskah mereka melihatnya sebagai pekerjaan Allah? Jika Anda bisa melakukan yang baik dengan bekerja di administrasi politik yang terkompromikan, mungkinkah Allah yang memanggil Anda untuk menerima tawaran itu? Jika Anda mengajar di sekolah yang membuat hati nurani Anda sangat terganggu, haruskah Anda berusaha keluar, atau haruskah Anda memperkuat komitmen Anda untuk tetap tinggal?

Konklusi Kitab Ezra, Nehemia & Ester

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ezra, Nehemia dan Ester memiliki beberapa fitur yang sama. Ketiganya merupakan narasi yang relatif singkat tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Persia. Ketiganya melibatkan raja-raja Persia dan para pejabat pemerintah lainnya. Ketiganya berfokus pada tindakan-tindakan orang Yahudi yang berusaha berhasil di lingkungan yang, dalam banyak hal, memusuhi praktik iman mereka kepada Allah. Ketiga kitab ini memberi kesaksian tentang fakta bahwa raja Persia bisa menjadi penolong orang Yahudi dalam usaha mereka untuk bertahan dan berkembang. Ketiganya menampilkan pemimpin-pemimpin kunci yang tindakan-tindakannya menjadi teladan untuk ditiru. Dan ketiga kitab ini menunjukkan orang-orang yang bekerja, sehingga memberi kesempatan pada kita untuk merenungkan bagaimana kitab-kitab ini memengaruhi pemahaman kita tentang pekerjaan dan hubungannya dengan Allah.

Namun ketiga kitab ini menunjukkan perbedaan pendapat yang besar tentang hal-hal krusial. Perbedaan ini bahkan tampak di kitab Ezra dan Nehemia, yang pada mulanya merupakan dua bagian dari satu kitab. Di dalam kitab Ezra, memercayai Allah menuntut umat Allah harus melakukan perjalanan melalui wilayah berbahaya tanpa pengawalan kerajaan. Di dalam kitab Nehemia, tawaran pengawalan kerajaan dianggap sebagai tanda berkat Allah. Ezra mewakili apa yang mungkin disebut “iman yang idealistis,” sementara Nehemia mempraktikkan “iman yang pragmatis.” Di dalam kitab Ester, tangan Allah tersembunyi, yang tersingkap terutama saat Ester menggunakan kecerdikan dan kedudukannya untuk melayani bangsanya. Kita dapat menyebutnya “iman yang cerdas.”

Meskipun demikian, kitab Ezra dan Nehemia meneguhkan visi yang sama tentang pekerjaan Allah di dunia. Allah terlibat dalam hidup semua orang, tidak hanya orang-orang pilihan-Nya. Allah menggerakkan hati raja-raja, membuat mereka mendukung rencana Allah. Tuhan mengispirasi umat-Nya untuk mempersembahkan pekerjaan mereka bagi Allah, memakai berbagai macam pemimpin yang kuat dan suara-suara profetik untuk menggenapi tujuan-Nya. Di dalam kitab Ezra, Allah memakai seorang imam yang setia untuk membangun kembali bait suci. Di dalam kitab Nehemia, Allah memakai seorang awam yang setia untuk membangun kembali tembok-tembok ibukota. Di dalam kitab Ester, Allah memakai seorang Yahudi yang awalnya sangat kompromis dan tidak taat hukum untuk menyelamatkan orang Yahudi dari genosida. Menurut perspektif ketiga kitab ini, Allah bekerja di seluruh dunia dengan memakai pekerjaan berbagai macam manusia.

Ayat-ayat dan Tema-tema Pokok Kitab Ezra, Nehemia & Ester

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat

Tema

Ezra 1:1 - Pada tahun pertama pemerintahan Kores, raja Persia, TUHAN menggerakkan hati Kores, raja Persia itu, agar firman TUHAN yang diucapkan oleh Yeremia digenapi. Lalu disiarkankanlah pengumunan ini di seluruh kerajaannya secara lisan dan tertulis…

Allah terus bekerja di seluruh dunia, bahkan di dalam dan melalui raja penyembah berhala.

Ezra 7:28b - Aku pun menguatkan hatiku, karena tangan TUHAN, Allahku, melindungi aku. Aku menghimpun beberapa pemimpin dari antara orang Israel untuk berangkat bersamaku.

Pekerjaan manusia berhasil ketika Allah memberkati pekerjaan itu.

Ezra 8:22 - Aku malu meminta tentara dan pasukan berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di perjalanan, sebab kami telah berkata kepada raja demikian, "Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi kebaikan mereka, tetapi kuasa murka-Nya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia."

Terkadang memercayai Allah berarti tidak bergantung pada bantuan manusia.

Nehemia 2:8b-9 - Raja mengabulkan permintaanku itu, karena tangan baik Allahku melindungi aku. Aku kemudian datang kepada bupati-bupati di daerah seberang Sungai Efrat dan menyerahkan kepada mereka surat-surat raja. Raja menyuruh para kepala pasukan dan tentara berkuda menyertai aku.

Terkadang memercayai Allah berarti mengenali pemeliharaan-Nya melalui bantuan manusia.

Nehemia 4:9 - Tetapi, kami berdoa kepada Allah kami, dan melakukan penjagaan terhadap mereka siang dan malam.

Memercayai Allah tidak seharusnya menjadi pasif.

Nehemia 5:19 – Ingatlah akan aku, ya Allahku, demi kebaikanku, karena segala yang kubuat untuk rakyat ini.

Kunci untuk mengetahui melakukan hal yang benar adalah bagaimana hal itu memengaruhi orang-orang yang terlibat.

Nehemia 13:19 Ketika pintu-pintu gerbang Yerusalem diselimuti bayang-bayang senja menjelang hari Sabat, aku menyuruh pintu-pintu itu ditutup dan dan tidak dibuka sampai hari Sabat berakhir. Aku menempatkan beberapa anak buahku di pintu-pintu gerbang, supaya tidak ada muatan yang dibawa masuk pada hari Sabat.

Memelihara hari Sabat itu wajib, meskipun hal itu membuat orang percaya mengalami kerugian ekonomi.

Ester 2:14 Pada waktu petang ia masuk dan pada waktu pagi ia kembali, tetapi sekali ini ke dalam balai perempuan kedua, di bawah pengawasan Saasgas, sida-sida raja, penjaga para gundik. Ia tidak diperkenankan masuk lagi menghadap raja, kecuali jikalau raja berkenan kepadanya dan ia dipanggil dengan disebutkan namanya.

Manusia – terutama perempuan – bisa mendapati dirinya berada dalam situasi ekonomi di mana tidak ada penyelesaian yang sepenuhnya baik. Walaupun demikian, Allah menyertai mereka.

Ester 4:13b -Jangan kira karena engkau di istana raja, hanya engkau dari antara semua orang Yahudi yang akan terluput.

Menganggap kekuasaan, kedudukan atau kekayaan dapat meluputkan kita dari bahaya/risiko kehidupan hanyalah ilusi.

Ester 4:14b Siapa tahu, justru untuk saat seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.

Karya Allah di tengah kita kadang terselubung, dan kadang bahkan tak perlu dikenali secara spesifik.

Ester 4:16b Kalau aku harus mati, biarlah aku mati.

Satu-satunya cara melayani Allah adalah dengan mengakui bahwa kita tak dapat mengendalikan hasil dari tindakan kita.

Introduksi Kitab Ayub

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Ayub mengupas hubungan antara kemakmuran, kemalangan dan iman pada Allah. Apakah kita percaya bahwa Allah adalah sumber segala yang baik? Lalu apa artinya jika hal-hal baik lenyap dari hidup kita? Apakah kita lalu meninggalkan iman kita pada Allah atau kebaikan-Nya? Atau apakah kita menganggapnya sebagai tanda Allah sedang menghukum kita? Bagaimana kita bisa tetap setia pada Allah di masa-masa sukar? Pengharapan apa yang bisa kita miliki untuk masa depan?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di semua lingkup kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan ini memiliki kaitan khusus dengan pekerjaan karena salah satu alasan utama kita bekerja adalah mencapai level kemakmuran tertentu. Kita bekerja—di antara banyak alasan lainnya—agar dapat memiliki atap di atas kepala kita, makanan di meja makan kita, dan menyediakan hal-hal yang baik untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang kita kasihi. Kemalangan bisa mengancam kemakmuran apa pun yang sudah kita miliki, dan iman kepercayaan sulit dipertahankan pada masa-masa ekonomi sulit. Tokoh utama dalam kitab Ayub memulai dengan kemakmuran dan mengalami kemalangan yang hampir tak terbayangkan, termasuk kehilangan mata pencaharian dan kekayaannya. Di dalam kitab ini, imannya diuji secara ekstrem, baik ketika ia mengalami keberhasilan yang luar biasa maupun kegagalan yang menghancurkan dalam pekerjaan dan hidupnya.

Kita akan menyelidiki berbagai aplikasi dalam bekerja dari kitab ini. Apakah kesuksesan ekonomi merupakan tanda kehebatan kita ataukah berkat Allah? Apakah kegagalan atau kehilangan pekerjaan merupakan evaluasi Allah atas pekerjaan kita? Bagaimana iman kepada Allah dapat menolong kita menghadapi kegagalan dan kehilangan? Bagaimana tekanan-tekanan di tempat kerja memengaruhi kehidupan keluarga dan kesehatan kita? Apa yang dapat dilakukan orang percaya untuk saling mendukung dalam kesulitan-kesulitan di tempat kerja? Bagaimana kita dapat mengatasi rasa marah pada Allah jika Dia membiarkan kita mengalami perlakuan tidak adil di tempat kerja? Kita akan mendalami risalah praktis Ayub tentang relasi antara atasan dan bawahan, yang didasarkan saling menghargai karena semua orang diciptakan oleh Allah yang satu dan satu-satunya. Akhirnya, kita akan memikirkan kontribusi Ayub yang luar biasa pada hak-hak ekonomi perempuan.

Latar Belakang dan Garis Besar (Kitab Ayub)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Penulis kitab Ayub tidak diketahui. Ayub tampaknya bukan orang Israel, karena ia dikatakan berasal dari tanah Us (Ayub 1:1), yang oleh banyak ahli dikatakan terletak di tenggara Israel kuno. Karena Ayub disebutkan dalam kitab Yehezkiel (Yehezkiel 14:14, 20), maka penanggalan waktu terjadinya kisah Ayub yang paling tepat tampaknya sebelum masa hidup Yehezkiel (abad ke-6 SM). Namun, kisahnya, tentu saja, tanpa batas waktu.

Kitab Ayub terdiri dari berbagai genre sastra (narasi, puisi, penglihatan, dialog dan lain-lainnya) yang dijalin menjadi satu dalam sebuah mahakarya sastra. Garis besar yang paling umum diterima menunjukkan dua siklus keluh kesah, dialog, dan penyingkapan, yang diapit di antara prolog dan epilog:

Ayub 1:1-2:11

Prolog – Kemakmuran Ayub Lenyap

Ayub 3:1-26

Keluh Kesah Ayub Yang Pertama

Ayub 4:1-27:23

Dialog dengan Tiga Sahabat

Ayub 28:1-28

Hikmat Disingkapkan

Ayub 29:1-31:40

Keluh Kesah Ayub Yang Kedua

Ayub 32:1-37:24

Dialog dengan Elihu

Ayub 38:1-42:6

Allah Disingkapkan

Ayub 42:7-17

Epilog – Kemakmuran Ayub Dipulihkan

Teologi dan Tema-tema (Kitab Ayub)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayub, yang paling dikenal pembaca Alkitab sebagai orang benar yang menderita secara tidak adil, merupakan contoh orang yang mempertanyakan mengapa orang baik menderita. Iman Ayub pada Allah diuji secara ekstrem, dan kisah ini menunjukkan bahwa komitmen Ayub pada Allah mulai melemah. Sebagaimana akan kita lihat, kesengsaraan Ayub dimulai di tempat kerja, dan kitab ini memberi kita wawasan yang berharga tentang bagaimana pengikut Allah bisa tetap berfungsi dengan setia dalam naik turunnya kehidupan kerja.

Kemakmuran Ayub Diakui sebagai Berkat Allah (Ayub 1:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di awal kitab, kita diperkenalkan dengan seorang petani/peternak yang sangat kaya bernama Ayub. Ia digambarkan sebagai “yang terkaya di antara semua orang di sebelah timur” (Ayub 1:3). Seperti bapa-bapa leluhur Abraham, Ishak dan Yakub, kekayaannya diukur dengan ribuan ternak, sejumlah budak dan keluarga besar yang dimilikinya. Tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuannya (Ayub 1:2) menjadi sukacita pribadi dan fondasi kekayaannya yang penting. Di dalam masyarakat agraris, anak-anak menyediakan sebagian besar tenaga kerja yang dibutuhkan dalam rumahtangga. Mereka merupakan harapan terbaik untuk masa pensiun yang nyaman, satu-satunya rencana pensiun yang ada di Timur Dekat Kuno, sebagaimana di banyak bagian dunia saat ini.

Ayub memandang kesuksesannya sebagai berkat Allah. Kita diberitahu bahwa Allah “memberkati yang dikerjakan Ayub dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu” (Ayub 1:10). Pengakuan Ayub bahwa ia memiliki segala sesuatu sebagai berkat Allah ditonjolkan dengan detail yang tidak lazim. Ia khawatir anak-anaknya tanpa sengaja berbuat dosa pada Allah. Meskipun Ayub berhati-hati agar tetap “saleh dan jujur” (Ayub 1:1), ia khawatir anak-anaknya tidak begitu peduli dalam hal ini. Bagaimana jika salah satu dari mereka, karena terlalu banyak minum anggur selama pesta-pesta yang seringkali berlangsung berhari-hari, berbuat dosa dengan mengutuki Allah (Ayub 1:4)? Oleh karena itu, setiap kali anak-anaknya habis mengadakan pesta, untuk mengantisipasi segala kemungkinan pelanggaran kepada Allah, “Ayub memanggil dan menguduskan mereka. Keesokan harinya, pagi-pagi, Ayub bangun dan mempersembahkan kurban bakaran sesuai dengan jumlah mereka semua” (Ayub 1:5).

Allah menghargai kesetiaan Ayub. Dia berkata kepada Iblis (kata Ibrani yang sebenarnya berarti “pendakwa”[1]),

"Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sesungguhnya, tak ada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:8). Si pendakwa melihat suatu celah untuk berbuat jahat dan menjawab, "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” (Ayub 1:9). Artinya, apakah Ayub mengasihi Allah hanya karena Allah sudah memberkatinya dengan begitu melimpah? Apakah pujian dan persembahan kurban bakaran Ayub “sesuai dengan jumlah mereka semua” hanya suatu siasat yang diperhitungkan untuk membuat kekayaannya tetap melimpah? Atau, jika memakai gambaran masa kini, apakah kesetiaan Ayub tidak lebih dari sekadar koin yang dimasukkan ke dalam mesin penjual berkat Allah?

Kita bisa menerapkan pertanyaan ini pada diri kita sendiri. Apakah kita berelasi dengan Allah terutama agar Dia memberkati kita dengan hal-hal yang kita inginkan? Atau yang lebih buruk, agar Dia tidak mengacaukan kesuksesan yang tampaknya bisa kita capai dengan kekuatan kita sendiri? Pada saat-saat baik, hal ini mungkin bukan hal sulit. Kita percaya pada Allah. Kita mengakui Dia—minimal secara teori—sebagai sumber segala yang baik. Kita juga bekerja dengan rajin, sehingga kebaikan Allah dan pekerjaan kita berjalan seiring. Ketika keadaan baik, dan hidup kita benar-benar makmur, wajar jika kita bersyukur dan memuji Allah atas hal itu.

Allah Mengizinkan Iblis Menghancurkan Kemakmuran Ayub (Ayub 1:13-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Masalah kesengsaraan muncul ketika masa-masa sulit. Ketika kita tidak mendapat kesempatan promosi atau kehilangan pekerjaan, ketika kita sakit berkepanjangan, ketika kita kehilangan orang yang kita kasihi, lalu bagaimana? Kita menghadapi pertanyaan, “Jika Allah memberkatiku pada saat-saat baik, apakah sekarang Dia sedang menghukumku?” Pertanyaan ini sangat penting. Jika Allah sedang menghukum kita, kita perlu mengubah cara kita agar Dia berhenti menghukum. Namun, jika kesusahan kita bukan hukuman dari Tuhan, mengubah cara kita akan menjadi hal bodoh, bahkan mungkin akan merintangi yang Allah mau kita lakukan.

Bayangkan kasus seorang guru yang diberhentikan saat ada pemotongan anggaran sekolah dan berpikir, “Ini hukuman Allah karena aku tidak menjadi misionaris.” Karena menganggap pemberhentiannya sebagai tanda, ia lalu mendaftar untuk masuk seminari dan meminjam uang untuk pembiayaannya. Tiga tahun kemudian, ia lulus dan mulai berusaha menggalang dukungan untuk misinya. Jika benar Allah yang menyebabkan pemberhentian itu untuk menghukumnya karena ia tidak menjadi misionaris, ia sudah menghentikan kesalahan itu. Ia mestinya berada dalam keadaan baik.

Namun, bagaimana jika pemberhentiannya bukan hukuman dari Allah? Bagaimana jika Allah benar-benar tidak bermaksud agar ia menjadi misionaris? Selama di seminari, ia bisa kehilangan kesempatan untuk melayani Allah sebagai guru. Dan yang lebih buruk, apa yang terjadi jika ia gagal menggalang dukungan sebagai misionaris? Ia akan tak punya pekerjaan dan malah punya banyak utang. Apakah ia lalu akan merasa ditinggalkan Allah jika rencana misinya tidak berhasil? Mungkinkah ia bahkan akan kehilangan imannya atau menjadi pahit pada Allah? Jika ya, ia bukan orang pertama dan satu-satunya. Namun, semua itu terjadi karena ia keliru menganggap pemberhentiannya sebagai tanda hukuman Allah. Pertanyaan apakah kemalangan merupakan tanda tidak diperkenan Allah bukan hal yang ringan.

Si pendakwa—Iblis—berharap dapat memasang perangkap semacam itu pada Ayub. Iblis berkata pada Allah bahwa jika Dia melenyapkan segala berkat yang Dia berikan pada Ayub dengan sangat berkelimpahan, “Ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu” (Ayub 1:11; 2:4). Jika Iblis dapat membuat Ayub percaya bahwa ia sedang dihukum Allah, Ayub bisa masuk ke dalam salah satu dari dua perangkap. Ia bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya yang benar karena keliru menganggap bahwa hal-hal itu tidak berkenan pada Allah. Atau, yang lebih baik menurut pandangan si pendakwa, ia akan kepahitan pada Allah atas hukuman yang tak sepantasnya ia terima, dan meninggalkan Allah juga. Yang manapun akan menjadi kutuk di hadapan Allah.

Tuhan mengizinkan Iblis untuk bertindak. Kita tidak diberitahu alasannya. Pada suatu hari yang mengerikan, hampir seluruh harta Ayub lenyap dan orang-orang yang ia kasihi—termasuk semua anak-anaknya—terbunuh atau mati dalam badai ganas (Ayub 1:13-19). Namun, Ayub tidak menganggap Allah sedang menghukumnya atau pun menjadi pahit atas perlakuan Allah. Ia bahkan tetap menyembah Allah (Ayub 1:20). Pada saat yang paling mengerikan dalam hidupnya, Ayub memuji otoritas Allah atas segala situasi kehidupan, yang baik atau pun buruk. “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN” (Ayub 1:21).

Sikap Ayub yang sangat seimbang ini sungguh luar biasa. Ia paham benar kemakmurannya yang sebelumnya itu sebagai berkat dari Allah. Ia tak berpikir bahwa ia pantas menerima berkat Allah, sekalipun ia tahu ia orang benar (tersirat di Ayub 1:1,5 dan terungkap secara eksplisit di Ayub 6:24-30, dll.). Karena ia tahu berkat-berkat sebelumnya bukan berdasarkan kelayakan dirinya, ia tahu penderitaannya saat ini juga belum tentu tergantung kelayakan dirinya. Ia tidak menganggap kondisinya sebagai tanda perkenan Allah. Akibatnya, ia tidak berpura-pura tahu mengapa Allah memberkatinya dengan kemakmuran pada suatu saat, dan tidak memberkatinya pada saat lain.

Kisah Ayub merupakan kritik terhadap yang disebut “injil kemakmuran,” yang mengeklaim bahwa orang yang memiliki relasi yang benar dengan Allah selalu diberkati dengan kemakmuran. Ini sama sekali tidak benar, dan Ayub merupakan Barang Bukti Nomor Satu. Namun, kisah Ayub juga menjadi teguran bagi “injil kemiskinan” yang mengeklaim hal yang sebaliknya, bahwa relasi yang benar dengan Allah menyiratkan hidup miskin. Pemikiran bahwa orang percaya harus dengan sengaja meniru kehilangan Ayub terlalu tidak masuk akal untuk dimunculkan sekalipun di sela-sela pembicaraan tentang Ayub. Allah mungkin saja memanggil kita untuk melepaskan segala sesuatu jika hal itu diperlukan dalam situasi-situasi melayani atau mengikut Dia. Namun, kitab Ayub tidak mengatakan bahwa Allah pada dasarnya ingin semua orang hidup dalam kemiskinan. Kemakmuran Ayub yang semula adalah murni berkat Allah, dan kemiskinannya yang ekstrem juga murni musibah.

Ayub bisa tetap setia dalam kemalangan karena ia memahami kemakmuran dengan akurat. Karena ia sudah mengalami kemakmuran sebagai berkat Allah, ia siap menderita kemalangan tanpa langsung membuat kesimpulan macam-macam. Ia tahu yang tidak diketahuinya, yaitu mengapa Allah memberkati kita dengan kemakmuran dan mengizinkan kita menderita kemalangan. Dan ia tahu yang ia ketahui, yaitu bahwa Allah itu setia, sekalipun Dia mengizinkan kita mengalami penderitaan dan kesengsaraan besar. Sebagai akibatnya, “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah melakukan yang kurang patut” (Ayub 1:22).

Allah Mengizinkan Iblis Menghancurkan Kesehatan Ayub (Ayub 2:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayub dapat menanggung kehilangan yang sangat menyakitkan tanpa mengompromikan “integritas” atau kesalehan dirinya [1] (Ayub 2:3). Namun, Iblis tidak menyerah. Barangkali Ayub baru menghadapi cukup penderitaan dan kesengsaraan saja. Iblis lalu menuduh bahwa Ayub hanya melayani Allah karena masih punya kesehatan (Ayub 2:4). Jadi Tuhan mengizinkan si pendakwa untuk membuat Ayub terkena bisul yang busuk “dari telapak kakinya sampai ke puncak kepalanya” (Ayub 2:7). Hal ini sangat menyakitkan hati istri Ayub, sehingga ia bertanya pada Ayub, "Masihkah engkau bertekun dalam kesalehanmu? Kutukilah Allah dan matilah!" (Ayub 2:9). Ia menerima jika Ayub tidak bercacat (saleh) di mata Allah, tetapi tidak seperti Ayub, ia tidak bisa melihat apa gunanya menjadi saleh jika hal itu tidak mendatangkan berkat Allah. Ayub menjawab dengan salah satu ayat klasik dalam Alkitab, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (Ayub 2:10).

Lagi-lagi kita mendapati bahwa Ayub menganggap segala situasi kehidupan berasal dari Allah. Dalam pada itu, Ayub tidak mengetahui adanya aktivitas di langit yang melatarbelakangi situasinya ini. Ia tidak dapat melihat cara kerja di kayangan, dan hanya integritas imannyalah yang membuatnya tidak mengutuki Allah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita mengakui seperti Ayub bahwa kita tidak memahami segala misteri di langit yang memengaruhi kemakmuran dan kemalangan kita? Apakah kita siap menghadapi kemalangan dengan mempraktikkan kesetiaan dan mengucap syukur pada masa-masa baik? Kebiasaan tetap Ayub untuk berdoa dan mempersembahkan kurban mungkin tampak aneh atau bahkan obsesif ketika kita menjumpainya di Ayub 1:5. Namun, sekarang kita dapat melihat bahwa praktik-praktik ketaatan seumur hidup itu menempa kapasitasnya untuk tetap setia dalam situasi-situasi ekstrem. Iman kepada Allah bisa timbul secara instan. Namun, integritas dibentuk seumur hidup.

Kemalangan Ayub terjadi di tempat kerja, dengan kehilangan sarana-sarana pendapatannya. Kemudian menjalar ke dalam keluarganya dan akhirnya menyerang kesehatannya. Pola ini tidak asing bagi kita. Kita bisa dengan mudah terlalu mengidentifikasi diri dengan pekerjaan kita sampai kemunduran di tempat kerja menjalar ke dalam keluarga dan kehidupan pribadi kita. Kegagalan di tempat kerja mengancam identitas diri dan bahkan integritas kita. Hal ini, ditambah ketegangan praktis akibat kehilangan pemasukan dan rasa aman, bisa sangat mengganggu relasi-relasi keluarga. Meskipun jarang sampai menimbulkan kematian yang mengerikan, stres yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan kehancuran keluarga secara permanen. Pada akhirnya kita bisa mengalami masalah-masalah kesehatan fisik dan mental yang sangat melemahkan. Kita bisa tidak mengalami damai sejahtera, istirahat atau bahkan tidur malam yang nyenyak (Ayub 3:26). Di tengah semua keadaan ini, Ayub tetap menjaga integritasnya. Mungkin menggoda untuk menarik pelajaran moral seperti, “Jangan terlalu tenggelam dalam pekerjaan sampai masalah-masalahnya memengaruhi keluarga atau kesehatanmu.” Namun, itu sangat tidak relevan dengan kedalaman cerita Ayub. Permasalahan Ayub benar-benar memengaruhi keluarga dan kesehatannya, selain pekerjaannya. Hikmat kisah Ayub bukan tentang bagaimana meminimalkan kemalangan dengan menjaga batasan-batasan yang bijak, tetapi bagaimana mempertahankan kesetiaan dalam situasi-situasi hidup terburuk.

Sahabat-sahabat Ayub Datang Menghibur Ayub (Ayub 2:11-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah Iblis melancarkan serangannya yang terdahsyat, Ayub benar-benar membutuhkan dukungan. Tiga sahabat Ayub memasuki adegan dan digambarkan sebagai orang-orang yang peka, saleh, dan simpatik. Mereka bahkan duduk bersama Ayub selama tujuh hari tujuh malam (Ayub 2:13). Mereka cukup bijak—pada saat itu—untuk tidak berkata apa-apa. Penghiburan datang dari kehadiran para sahabat di tengah kemalangan, bukan dari yang mungkin mereka katakan untuk membuat situasi menjadi lebih baik. Tidak ada yang dapat mereka ucapkan yang dapat membuat keadaan menjadi lebih baik.

Keluh Kesah Ayub Yang Pertama (Ayub 3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tak ada lagi yang dapat dilakukan Ayub selain berkeluh kesah. Ia tak mau menyalahkan dirinya secara tidak benar, dan ia tak mau menyalahkan atau meninggalkan Allah. Namun, ia tak ragu mengungkapkan kesedihannya dengan kata-kata paling keras. “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan” (Ayub 3:3). “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (Ayub 3:11). “Atau mengapa aku tidak seperti anak gugur yang disembunyikan, seperti bayi yang tidak melihat terang?” (Ayub 3:16). “Mengapa hidup diberikan kepada laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah?” (Ayub 3:23). Perhatikan bahwa keluh kesah Ayub hampir semuanya dalam bentuk pertanyaan. Penyebab penderitaannya adalah suatu misteri. Bahkan mungkin misteri iman terbesar. Mengapa Allah membiarkan orang yang dikasihi-Nya menderita? Ayub tidak tahu jawabannya, jadi, hal paling jujur yang bisa ia lakukan adalah bertanya.

Sahabat-sahabat Ayub Menuduhnya Melakukan Kejahatan (Ayub 4-23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sayangnya, sahabat-sahabat Ayub tidak tahan menghadapi misteri penderitaannya, sehingga mereka langsung membuat kesimpulan tentang sebab-musababnya. Yang pertama dari ketiga sahabat Ayub, Elifas, mengakui bahwa Ayub sudah menjadi sumber kekuatan bagi orang lain (Ayub 4:3-4). Namun, kemudian ia berbalik dan dengan terus terang menyalahkan Ayub atas penderitaannya sendiri. “Camkanlah ini,” katanya, “Siapakah yang binasa tanpa bersalah dan di manakah orang yang jujur dibinasakan? Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga” (Ayub 4:7-8). Sahabat Ayub yang kedua, Bildad, mengatakan hal yang sama. “Ketahuilah, Allah tidak menolak orang saleh, dan tidak menguatkan tangan orang yang berbuat jahat” (Ayub 8:20). Sahabat ketiga, Zofar, mengulangi nada yang sama. “Jika engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu, dan tidak membiarkan kecurangan tinggal dalam kemahmu, maka engkau pasti dapat mengangkat mukamu tanpa cela, engkau akan berdiri teguh dan tidak akan takut.… Kehidupanmu akan menjadi lebih cemerlang daripada siang” (Ayub 11:14-15, 17).

Cara berpikir mereka adalah sebuah silogisme (proses menarik kesimpulan secara deduktif –Pen). Allah hanya mengirim malapetaka kepada orang jahat. Anda menderita malapetaka, maka Anda pasti orang jahat. Ayub sendiri menghindari silogisme yang salah ini. Namun, orang Kristen pada umumnya banyak menerimanya. Paham yang disebut teologi pembalasan ilahi ini menganggap Allah memberkati orang-orang yang setia pada-Nya dan menghukum orang-orang yang berbuat dosa. Paham ini bukan tanpa dukungan Alkitab sama sekali. Ada banyak kasus di mana Allah mengirim malapetaka sebagai hukuman, seperti yang Dia lakukan di Sodom (Kejadian 19:1-29). Seringkali, pengalaman-pengalaman kita benar-benar mendukung paham teologi ini. Dalam banyak situasi, banyak hal menjadi lebih baik ketika kita mengikuti jalan Allah daripada meninggalkannya. Namun, Allah tidak selalu bekerja seperti itu. Yesus sendiri menyatakan bahwa malapetaka belum tentu merupakan tanda hukuman Allah (Lukas 13:4). Dalam kasus Ayub, kita tahu teologi pembalasan ilahi ini tidak benar, karena Allah berkata Ayub adalah seorang yang benar (Ayub 1:8, 2:3). Kesalahan fatal para sahabat Ayub adalah melakukan generalisasi pada situasi Ayub, tanpa memahami apa yang mereka katakan.

Siapa pun yang pernah menemani sahabat yang menderita tentu tahu betapa sulitnya tetap hadir tanpa mencoba memberi jawaban. Sungguh tersiksa menderita diam-diam bersama sahabat yang harus membangun kembali hidupnya sedikit demi sedikit, tanpa kepastian akan hasilnya. Naluri kita biasanya adalah menyelidiki apa yang salah dan mengenali solusinya. Dengan demikian kita berpikir kita dapat menolong sahabat kita menyingkirkan penyebabnya dan kembali ke situasi normal sesegera mungkin. Dengan mengetahui penyebabnya, kita setidaknya juga akan tahu bagaimana menghindari terjadinya hal itu pada diri kita sendiri. Kita lebih memilih memberi alasan atas penderitaan—entah itu benar atau salah—daripada menerima misteri dalam penderitaan.

Sahabat-sahabat Ayub terperosok ke dalam godaan ini. Dan tidaklah benar jika menganggap kita tak pernah melakukan hal yang sama. Berapa banyak kekacauan yang ditimbulkan orang-orang Kristen yang bermaksud baik dengan memberikan jawaban yang terdengar saleh tentang penderitaan, meskipun kita tidak tahu apa yang kita bicarakan? “Ini semua untuk yang terbaik.” “Ini bagian dari rencana Allah.” “Allah tak pernah memberikan kesusahan yang melebihi dari yang dapat mereka tanggung.” Betapa sombongnya membayangkan kita tahu rencana Allah. Betapa bodohnya berpikir kita tahu alasan penderitaan orang lain. Kita bahkan tidak tahu alasan penderitaan kita sendiri. Akan lebih jujur—dan jauh lebih bermanfaat—jika kita mengakui, “Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi padamu. Tak seorang pun harus mengalami hal ini.” Jika kita bisa melakukan hal ini, dan tetap hadir, kita bisa menjadi agen belas kasihan Allah.

Sahabat-sahabat Ayub tidak bisa berkeluh kesah bersama Ayub atau bahkan mengakui bahwa mereka tak punya alasan untuk menghakimi Ayub. Mereka bersikeras (“hell-bent” yang secara harfiah berarti “diberi peran Iblis”) membela Allah dengan menyalahkan Ayub. Ketika “ceramah” para sahabat itu berlanjut, retorika mereka menjadi makin agresif. Dihadapkan pada pilihan yang mereka buat sendiri, untuk menyalahkan Ayub atau menyalahkan Allah, mereka mengeraskan hati untuk menentang sahabatnya. “Kesalahanmu tidak berkesudahan,” kata Elifas (Ayub 22:5), dan ia lalu mengarang-ngarang beberapa kesalahan untuk dituduhkan pada Ayub. “Orang yang kehausan tidak kauberi minum air, dan orang yang kelaparan tidak kauberi makan” (Ayub 22:7), “Janda-janda kausuruh pergi dengan tangan hampa, dan lengan yatim piatu kauremukkan” (Ayub 22:9).

Perkataan terakhir Zofar menyebutkan bahwa orang jahat tidak akan menikmati kekayaannya karena Allah akan membuat perut mereka “memuntahkannya lagi” (Ayub 20:15) dan mereka “harus mengembalikan apa yang diperolehnya tanpa mengecapnya; dan tidak menikmati kekayaan hasil dagangnya” (Ayub 20:18). Ini merupakan pembalasan yang pantas atas kejahatan orang fasik, “karena ia telah menghancurkan orang miskin, dan meninggalkan mereka terlantar; ia merampas rumah yang tidak dibangunnya” (Ayub 20:19). Pembaca tahu hal ini tidak berlaku pada Ayub. Mengapa Zofar begitu getol menyalahkan Ayub? Apakah kita juga kadang begitu bersemangat mengikuti jejak Zofar ketika sahabat kita menghadapi kegagalan dalam pekerjaan dan kehidupan?

Kitab Ayub mengajak kita untuk melihat diri kita sendiri di wajah para sahabat Ayub. Kita juga—mungkin—mengetahui hal yang benar dan yang salah, dan memahami beberapa jalan Allah. Namun, kita tidak memahami seluruh jalan Allah yang berlaku di segala waktu dan tempat. “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” (Mazmur 139:6). Jalan Allah sering menjadi misteri yang di luar pemahaman kita. Mungkinkah kita juga bersalah atas penilaian-penilaian bodoh terhadap sahabat dan rekan kerja kita?

Namun, yang menuduh kita tidak selalu para sahabat. Tidak seperti Ayub, banyak dari kita yang cukup siap untuk menuduh diri sendiri. Siapa pun yang pernah mengalami kegagalan kemungkinan pernah berpikir, “Apa yang telah kuperbuat sampai aku pantas mengalami hal ini?” Hal itu wajar dan tidak sepenuhnya salah. Terkadang karena kemalasan, data yang salah, atau ketidakcakapan, kita membuat keputusan-keputusan buruk yang menyebabkan kita gagal dalam pekerjaan. Namun, tidak semua kegagalan merupakan akibat langsung dari kelemahan kita sendiri. Banyak juga yang merupakan akibat dari situasi-situasi yang di luar kendali kita. Tempat-tempat kerja itu kompleks, dengan berbagai faktor yang berebut menarik perhatian kita, berbagai situasi yang ambigu, dan berbagai keputusan yang hasilnya tak dapat diprediksi. Bagaimana kita tahu bahwa kita selalu sedang mengikuti jalan Allah? Bagaimana kita atau siapa pun bisa betul-betul tahu bahwa keberhasilan dan kegagalan kita disebabkan oleh tindakan kita sendiri ataukah faktor-faktor yang di luar kendali kita? Bagaimana bisa orang luar menilai kebenaran tindakan kita tanpa mengetahui detail-detail situasi kita secara mendalam? Bahkan, bagaimana mungkin kita juga bisa menilai diri kita sendiri, mengingat keterbatasan pengetahuan kita sendiri?

Sahabat-sahabat Ayub Menuduhnya Meninggalkan Allah (Ayub 8-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Akhirnya, sahabat-sahabat Ayub berubah haluan dari mempertanyakan kesalahan apa yang telah dilakukan Ayub menjadi mempertanyakan apakah Ayub telah meninggalkan Allah (Ayub 15:4, 20:5). Sepanjang percakapan itu para sahabatnya mendorong Ayub untuk kembali pada Allah. Bildad mengarahkan Ayub untuk “memohon belas kasihan dari Yang Maha Kuasa” (Ayub 8:5) agar masa depan Ayub “menjadi sangat mulia” (Ayub 8:7) dan dipenuhi “tawa” dan “sorak-sorai” (Ayub 8:21). Elifas menasihati, “Jika engkau bertobat kepada Yang Maha Kuasa, engkau akan dipulihkan” (Ayub 22:23). Sekali lagi, secara umum, ini adalah nasihat yang baik. Kita memang sering berpaling dari Allah dan perlu diingatkan untuk kembali pada-Nya. Namun, kita para pembaca tahu bahwa Ayub tidak melakukan sesuatu yang membuatnya pantas mengalami penderitaan, dan akibat serangan sahabat-sahabatnya membuat Ayub mulai meragukan dirinya sendiri. Pada saat ia membutuhkan sahabat-sahabat yang memercayainya, mereka malah membuatnya tidak percaya pada dirinya sendiri. Bagaimana mereka dapat mendukungnya jika mereka sudah mengambil kesimpulan sendiri tentang dirinya?

Ayub Membela Perkaranya di Hadapan Allah (Ayub 5-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebaliknya, Ayub memiliki hikmat yang tidak dimiliki banyak orang Kristen. Ia tahu bahwa mencurahkan perasaannya kepada Allah lebih baik daripada kepada dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya. Ia percaya bahwa sumber berkat—dan bahkan kemalangan—adalah Allah, sehingga ia mengarahkan keluh kesahnya kepada Sang Sumber itu. “Namun, aku, aku hendak berbicara dengan Yang Maha Kuasa, aku ingin membela perkaraku di hadapan Allah.… Berapa banyak kesalahan dan dosaku? Beritahukanlah kepadaku pelanggaran dan dosaku itu. Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu, dan menganggap aku sebagai musuh-Mu?” (Ayub 13:3, 23-24). Ayub mengakui bahwa ia tidak memahami jalan-jalan Allah. “Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan tak terselami, serta keajaiban-keajaiban yang tak terbilang jumlahnya” (Ayub 5:9). Ia tahu ia tak pernah bisa menang berdebat dengan Allah. “Jika ia ingin beperkara dengan Allah satu dari seribu kali ia tidak dapat menjawab-Nya. Allah itu bijak dan sangat kuat, siapakah dapat bersikeras melawan Dia, dan tetap selamat?” (Ayub 9:3-4). Namun, ia tahu bahwa kesedihannya harus dikeluarkan ke suatu tempat. “Oleh sebab itu aku pun tidak akan menahan mulutku, aku akan berbicara dalam kesesakan jiwaku, mengeluh dalam kepedihan hatiku” (Ayub 7:11). Lebih baik mengarahkannya kepada Allah, yang dapat mengatasinya dengan mudah, daripada kepada dirinya sendiri atau orang-orang yang ia kasihi, yang tidak dapat menyelesaikannya.

Sahabat-sahabat Ayub Berusaha Membela Allah (Ayub 22-23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita semua tahu setan-setan yang mengganggu kita setelah kegagalan. Kita mempertanyakan diri sendiri sepanjang malam-malam penyiksaan diri tanpa bisa tidur. Bahkan rasanya seperti hal yang suci untuk dilakukan—untuk melindungi Allah dengan menyalahkan diri sendiri. Jika kita saja terus mempertanyakan diri sendiri seperti ini, bayangkan bagaimana kita juga terus mempertanyakan sahabat kita, meskipun kita jarang menyadarinya. Sahabat-sahabat Ayub menunjukkan pada kita cara melakukan hal itu. Karena mereka ingin sekali membela Allah dari protes-protes Ayub, mereka meningkatkan serangan mereka kepada Ayub. Namun dari abad ke abad, orang-orang Kristen yang membaca kitab Ayub menganggap para sahabat itu sebagai alat Iblis, bukan Allah. Allah tidak perlu perlindungan. Dia dapat menjaga diri-Nya sendiri. Iblis hanya ingin membuktikan pada Allah bahwa Ayub melayani Allah semata-mata karena Allah memberkatinya dengan sangat melimpah. Pengakuan Ayub bahwa ia telah melakukan kesalahan, meski sebenarnya tidak, akan menjadi tahap pertama untuk memvalidasi serangan si pendakwa.

Contohnya, perkataan terakhir Elifas berfokus menempatkan Allah yang sempurna, yang tak dapat dicela. "Apakah manusia berguna bagi Allah? Tidak, orang yang berakal budi hanya berguna bagi dirinya sendiri” (Ayub 22:2). “Bukankah Allah di langit yang tinggi?” (Ayub 22:12). “Berdamailah dengan Dia supaya engkau tenteram” (Ayub 22:21). “Lalu Yang Maha Kuasa menjadi emasmu dan timbunan perakmu, maka sesungguhnya engkau akan bersenang-senang karena Yang Maha Kuasa, dan akan menengadah kepada Allah. Bila engkau berdoa kepada-Nya, Ia akan mengabulkan doamu” (Ayub 22:25-27).

Namun, Ayub tidak sedang berusaha menyalahkan Allah. Ia sedang berusaha belajar dari Allah. Meskipun Allah mengizinkan penderitaan yang mengerikan itu menimpa Ayub, Ayub percaya bahwa Allah dapat memakai pengalaman itu untuk membentuk jiwanya menjadi lebih baik. “Seandainya Ia menguji aku, aku akan keluar seperti emas,” kata Ayub (Ayub 23:10). “Karena Ia akan menyelesaikan apa yang ditetapkan atasku, dan banyak lagi hal seperti itu ada pada-Nya” (Ayub 23:14). Paul Stevens dan Alvin Ung menunjukkan betapa banyak peristiwa yang membentuk-jiwa yang terjadi di tempat kerja.[1] Kuasa-kuasa kegelapan di dunia yang berdosa ini mengancam melemahkan jiwa kita, tetapi Allah mau jiwa kita muncul seperti emas, yang dimurnikan dan dibentuk menjadi keserupaan tertentu dengan Allah sebagaimana rancangan-Nya untuk setiap kita. Bayangkan seperti apa hidup kita jika kita dapat mengalami pertumbuhan rohani tidak hanya ketika kita berada di gereja, tetapi di sepanjang waktu yang kita jalani di tempat kerja. Untuk ini, kita memerlukan konselor rohani yang bijak dan peka ketika kita menghadapi permasalahan di tempat kerja. Sahabat-sahabat Ayub, yang tanpa pikir panjang hanya mengulangi slogan-slogan rohani konvensional, tidak membantu Ayub dalam hal ini.

Keluhan Ayub Memiliki Arti Khusus bagi Pekerjaan Kita (Ayub 24)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seperti Ayub, penderitaan kita sering diawali dengan masalah-masalah di tempat kerja. Namun, umat Allah jarang diperlengkapi—atau bahkan bersedia—untuk saling menolong dalam mengatasi kegagalan dan kehilangan di tempat kerja. Kita mungkin datang pada pendeta atau teman Kristen untuk menolong kita mengatasi masalah keluarga atau kesehatan, dan mereka mungkin sangat membantu. Namun, apakah kita akan meminta bantuan mereka untuk mengatasi masalah di tempat kerja? Jika ya, seberapa besar bantuan yang kemungkinan kita peroleh?

Sebagai contoh, bayangkan Anda diperlakukan tidak adil oleh atasan Anda; mungkin Anda dijadikan kambing hitam atas kesalahannya atau dipermalukan dalam suatu perselisihan pendapat yang sah. Tentu tidak tepat jika Anda mengungkapkan perasaan-perasaan Anda kepada pelanggan, pemasok, mahasiswa, pasien, atau orang lain yang Anda layani di tempat kerja. Dan tidak baik juga jika Anda mengeluh kepada rekan-rekan kerja, atau bahkan teman-teman Anda di antara mereka. Jika komunitas Kristen diperlengkapi untuk menolong Anda mengatasi situasi ini, hal itu bisa menjadi berkat yang unik. Namun tidak semua gereja betul-betul diperlengkapi untuk menolong orang mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Apakah ini merupakan area yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan gereja-gereja?

Kita sudah melihat bahwa Ayub tidak takut mengungkapkan keluhannya—termasuk keluhan yang berkaitan dengan pekerjaan—kepada Allah. Rangkaian keluhan di Ayub 24:1-12, 22-25 sangat terkait dengan pekerjaan. Ayub mengeluh karena Allah membiarkan orang jahat lolos dengan ketidakadilan dalam pekerjaan dan aktivitas ekonomi. Mereka mengambil sumber daya publik untuk keuntungan pribadi, dan mereka mencuri milik pribadi orang lain (Ayub 24:2). Mereka mengeksploitasi orang lemah dan tak berdaya untuk mendapatkan keuntungan besar-besaran bagi diri mereka sendiri (Ayub 24:3). Orang sombong berhasil dalam pekerjaannya, sedangkan orang jujur dan rendah hati hancur dan terpuruk (Ayub 24:4). Kelompok termiskin tak punya kesempatan untuk mencari nafkah dan terpaksa mengais makanan di padang dan bahkan mencuri dari orang kaya untuk memberi makan keluarganya (Ayub 24:5-8). Orang-orang lainnya bekerja keras, namun tidak memperoleh cukup untuk menikmati hasil kerjanya. “Dengan kelaparan mereka memikul berkas-berkas gandum. Mereka membuat minyak di antara dua petak kebun, mereka menginjak-injak tempat pengirikan sementara mereka kehausan” (Ayub 24:10–11).

Ayub tahu bahwa semua berkat berasal dari Allah, dan semua kemalangan diizinkan—jika bukan disebabkan—oleh Allah. Karena itu, kita dapat merasakan kepedihan yang menyakitkan dalam keluhan Ayub, “Dari dalam kota terdengar rintihan orang-orang yang sekarat dan jeritan orang-orang yang menderita luka, tetapi Allah tidak mengindahkan doa mereka” (Ayub 24:12). Sahabat-sahabatnya menuduh Ayub meninggalkan Allah, padahal faktanya orang benar malah ditinggalkan Allah. Sementara orang jahat tampaknya menikmati hidup yang menyenangkan. “Allah memberinya keamanan yang menjadi sandarannya, dan mengawasi jalan-jalannya” (Ayub 24:23). Ayub percaya bahwa orang jahat pada akhirnya akan binasa. “Hanya sebentar mereka meninggikan diri lalu tidak ada lagi; mereka luruh lalu kisut seperti segala sesuatu, mereka dikerat seperti hulu tangkai gandum” (Ayub 24:24). Namun mengapa Allah membiarkan orang jahat itu hidup makmur?

Tidak ada jawaban dalam kitab Ayub, dan tidak ada jawaban yang diketahui manusia. Kesesakan ekonomi adalah kesengsaraan yang sangat nyata yang dialami banyak orang Kristen selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Kita mungkin harus meninggalkan bangku sekolah ketika masih kecil akibat kesulitan keuangan, dan hal itu bisa menghalangi kita mencapai potensi di tempat kerja. Kita mungkin dieksploitasi orang lain atau dijadikan kambing hitam sampai karier kita hancur. Kita mungkin lahir, berjuang untuk tetap hidup, dan mati di bawah kekuasaan pemerintah yang korup yang membuat rakyatnya selalu hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Ini baru beberapa contoh yang berkaitan dengan pekerjaan. Dalam sejuta hal lainnya, kita mungkin mengalami persoalan serius, menyedihkan, dan tidak adil, yang bahkan tak dapat kita mengerti—apalagi solusinya—dalam hidup ini. Dengan rahmat Allah, kita berharap tak pernah berpuas diri saat menghadapi ketidakadilan dan penderitaan. Namun ada kalanya kita tidak bisa memperbaiki keadaan, setidaknya dalam waktu dekat. Dalam situasi seperti itu, kita hanya punya tiga pilihan: mencari penjelasan yang masuk akal namun salah tentang bagaimana Allah membiarkan hal itu terjadi seperti yang dilakukan sahabat-sahabat Ayub; meninggalkan Allah; atau tetap setia kepada Allah tanpa menerima jawaban.

Hikmat Disingkapkan (Ayub 28)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayub memilih tetap setia pada Allah. Ia tahu bahwa hikmat Allah melampaui pemahamannya. Ayub 28 memakai pertambangan sebagai analogi mencari hikmat. Dikatakan bahwa hikmat “tidak didapati di negeri orang hidup” (Ayub 28:13), tetapi di dalam pikiran Allah. “Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya” (Ayub 28:23). Ayat ini mengingatkan bahwa pengetahuan teknis dan keterampilan praktis kita tidak cukup untuk benar-benar melakukan pekerjaan yang berarti. Kita juga membutuhkan Roh Allah saat mengerjakan tugas-tugas kita. Kita membutuhkan tuntunan Allah jauh melebihi bidang yang biasa kita anggap “rohani.” Ketika seorang guru berusaha memahami cara belajar seorang murid, ketika seorang pemimpin berusaha berkomunikasi dengan jelas, ketika seorang juri berusaha mengetahui maksud terdakwa, ketika seorang analis berusaha menaksir risiko suatu proyek, semuanya memerlukan hikmat Allah. Apapun tujuan pekerjaan kita, “Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya” (Ayub 28:23).

Namun kita tidak selalu bisa terhubung dengan hikmat Allah. “Ia terselubung dari mata segala yang hidup, bahkan tersembunyi bagi burung di udara” (Ayub 28:21). Meskipun kita sudah berusaha sebaik-baiknya—atau kadang karena usaha kita kurang kuat—kita tidak mendapatkan tuntunan Allah dalam setiap tindakan dan keputusan. Jika demikian, lebih baik kita mengakui ketidaktahuan kita daripada menaruh harapan pada spekulasi atau hikmat yang salah. Terkadang kerendahan hati merupakan cara terbaik untuk menghormati Allah. “Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan adalah akal budi." (Ayub 28:28).

Keluh Kesah Ayub Yang Kedua (Ayub 29-42)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagaimana disebutkan dalam introduksi, Ayub 29-42 menandakan siklus kedua dari keluh kesah-percakapan-penyingkapan yang merekap siklus pertama. Sebagai contoh, di Ayub 29, kenangan Ayub akan masa lalunya yang baik membawa kita kembali ke adegan bahagia di pasal satu. Di Ayub 30, kesedihan Ayub bahwa ia sekarang banyak menerima penolakan mengingatkan kita pada sikap istrinya yang menjauhkan diri di pasal 2. Keluh kesah Ayub di pasal 30 dan 31 merupakan versi panjang dari keluh kesahnya di pasal 3. Namun, setiap fase di siklus kedua membawa penekanan baru.

Ayub Jatuh ke dalam Nostalgia dan Pembenaran-Diri (Ayub 29-30)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Penekanan baru dalam keluh kesah Ayub yang kedua (Ayub 29-42) adalah nostalgia dan pembenaran diri. Ayub merindukan “hari-hari ketika Allah melindungi aku” (Ayub 29:2) dan “ketika Allah bergaul akrab dengan aku dalam kemahku” (Ayub 29:4). Ia mengenang saat “langkah-langkahku bermandikan dadih, dan gunung batu mengalirkan sungai minyak di dekatku” (Ayub 29:6). Ia ingat betapa dirinya dulu sangat dihormati dalam masyarakat, yang dalam bahasa Perjanjian Lama digambarkan secara dramatis dengan “tempat dudukku di tengah-tengah lapangan” dekat “pintu gerbang kota” (Ayub 29:7). Ayub diterima baik oleh orang tua maupun orang muda (Ayub 29:8), dan diperlakukan dengan sikap hormat yang luar biasa oleh para pemimpin dan pembesar (Ayub 29:10). Ia dihormati karena ia mengurus kebutuhan orang sengsara, anak piatu, janda-janda, orang buta, orang lumpuh, orang miskin, orang asing dan orang yang nyaris binasa (Ayub 29:12-16). Ia adalah pahlawan mereka dalam menghadapi orang fasik (Ayub 29:17).

Nostalgia Ayub memperdalam rasa kehilangannya ketika ia menyadari bahwa kebanyakan dari sikap hormat yang ia terima dalam pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat itu ternyata superfisial. “Karena tali busurku telah dilepaskan dan aku direndahkan-Nya, mereka pun tidak mengekang diri di hadapanku” (Ayub 30:11). Dan “sekarang aku menjadi sajak sindiran dan ejekan mereka” (Ayub 30:9). Sebagian orang mengalami rasa kehilangan yang sama akibat memasuki masa pensiun, kemunduran karier, kerugian finansial, atau berbagai jenis kegagalan lain yang dirasakan. Kita bisa mempertanyakan identitas kita dan meragukan keberhargaan diri kita. Orang-orang memperlakukan kita berbeda ketika kita gagal, atau yang lebih buruk lagi, mereka menjauhi kita. (Setidaknya sahabat-sahabat Ayub mau datang menjenguk Ayub). Teman-teman lama berbicara hati-hati jika mereka berada di dekat kita, mengecilkan suara mereka seakan berharap tak ada yang melihat mereka berada di dekat kita. Meraka mungkin berpikir kegagalan itu penyakit yang bisa menular, atau mungkin terlihat berada di dekat orang gagal akan membuat mereka dianggap sebagai orang gagal juga. “Mereka jijik terhadap aku dan menjauhkan diri dariku,” keluh Ayub (Ayub 30:10).

Ini tidak berarti semua persahabatan di masyarakat dan tempat kerja itu dangkal. Memang benar ada orang-orang tertentu yang berteman dengan kita hanya karena kita bermanfaat bagi mereka, dan mereka akan meninggalkan kita ketika kita tidak ada gunanya lagi bagi mereka. Yang sangat menyakitkan adalah kehilangan persahabatan yang tampaknya tulus.

Berbeda dengan keluh kesahnya di bagian pertama (Ayub 3), di bagian kedua ini Ayub banyak melakukan pembenaran diri. “Aku berpakaian kebenaran dan keadilan kukenakan seperti jubah dan serban” (Ayub 29:14). “Aku menjadi bapa bagi orang miskin” (Ayub 29:16). Ayub juga memuji kesucian kehidupan seksualnya yang sempurna (Ayub 31:1, 9-10). Selama ini kita sudah tahu bahwa Ayub tidak dihukum karena suatu kesalahan. Penilaian dirinya sendiri mungkin tepat, tetapi pembenaran dirinya tidak diperlukan dan tak ada gunanya. Kemalangan mungkin tidak selalu menghasilkan sisi terbaik dari diri kita. Namun, Allah tetap setia, meskipun Ayub tidak dapat memahaminya pada saat itu, “karena,” seperti yang kemudian ia katakan, “kebinasaan dari Allah menakutkan aku” (Ayub 31:23).

Praktik-praktik Etis Ayub Berlaku di Tempat Kerja (Ayub 31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di tengah keluh kesah Ayub yang kedua (Ayub 29-42), ia menyingkapkan risalah penting tentang perilaku etis, yang dalam beberapa hal mengantisipasi “Khotbah di Bukit” Yesus (Matius 5-7). Meskipun dalam bentuk membenarkan tindakan-tindakannya sendiri, Ayub memberikan beberapa prinsip yang berlaku di berbagai area kehidupan kerja kita:

1. Menjauhi kecurangan dan tipu daya (Ayub 31:5)

2. Tidak membiarkan tujuan menghalalkan segala cara, yang diungkapkan dengan tidak

membiarkan hati (prinsip) menuruti pandangan mata (keuntungan) (Ayub 31:7)

3. Mengamalkan kemurahan hati (Ayub 31:16-23)

4. Tidak menjadi puas diri pada masa kemakmuran (Ayub 31:24-28)

5. Tidak mengupayakan keberhasilan di atas kegagalan orang lain (Ayub 31:29)

6. Mengakui kesalahan (Ayub 31:33)

7. Tidak berusaha mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma, tetapi membayar dengan pantas sumber daya yang diambil/dikonsumsi (Ayub 31:38-40)

Yang sangat menarik adalah bagian tentang bagaimana ia memperlakukan karyawannya:

Jikalau aku mengabaikan hak budakku laki-laki atau perempuan, ketika mereka beperkara dengan aku, apa yang akan kuperbuat, kalau Allah bangkit berdiri; kalau Ia mengadakan pengusutan, apakah jawabku kepada-Nya? Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim? (Ayub 31:13-15).

Majikan yang saleh akan memperlakukan pekerjanya dengan penuh hormat dan martabat. Hal ini terlihat jelas dari cara Ayub mendengarkan keluhan para pelayannya dengan sungguh-sungguh, terutama yang berkaitan dengan perlakuannya sendiri terhadap mereka. Ayub dengan tepat berkata bahwa orang-orang yang berkuasa akan berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggung jawabkan perlakuan mereka terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka. “Apa yang akan kuperbuat, kalau Allah bangkit berdiri; kalau Ia mengadakan pengusutan, apakah jawabku kepada-Nya?” (Ayub 31:14). Allah akan bertanya kepada para bawahan bagaimana perlakuan para atasan mereka kepada mereka. Para atasan sebaiknya mengajukan pertanyaan yang sama kepada para bawahan selagi masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Tanda pengikut Allah yang sejati dan rendah hati adalah terbuka pada kemungkinan berbuat salah, yang paling jelas terlihat dari kesediaan menerima keluhan apa pun yang sah. Hikmat diperlukan untuk membedakan keluhan mana yang benar-benar perlu diperhatikan. Namun, tujuan utamanya adalah menciptakan suasana yang membuat para bawahan tahu bahwa atasan mereka akan mempertimbangkan permohonan yang baik dan rasional. Meskipun Ayub berbicara tentang dirinya sendiri dan para pelayannya, prinsip-prinsipnya berlaku di segala situasi otoritas: perwira dan prajurit, majikan dan pekerja, orangtua dan anak (membesarkan anak juga merupakan pekerjaan), pemimpin dan pengikut.

Zaman kita telah menyaksikan perjuangan-perjuangan besar untuk mencapai kesetaraan di tempat kerja dalam hal ras, agama, suku, jenis kelamin, golongan dan faktor-faktor lainnya. Kitab Ayub sudah mengantisipasi perjuangan-perjuangan ini selama ribuan tahun. Namun, Ayub tidak sekadar memperjuangkan kesetaraan formal dalam hal-hal demografis saja. Ia memandang semua orang di dalam rumahtangganya memiliki kesetaraan martabat. Kita akan seperti Ayub jika kita memperlakukan setiap orang dengan segala hormat dan martabat sebagai anak Allah, terlepas dari perasaan pribadi kita atau pengorbanan yang harus kita lakukan.

Tentu saja, kebenaran ini tidak menghalangi para atasan Kristen untuk menetapkan dan memberlakukan standar-standar yang tinggi di tempat kerja. Namun, yang wajib diperhatikan adalah etika relasi di tempat kerja harus dicirikan dengan rasa hormat dan martabat, terutama di pihak yang berkuasa.

Dialog dengan Elihu (Ayub 32-37)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di bagian ini, seorang pemuda bernama Elihu memasuki percakapan. Dialognya dengan Ayub sejajar dengan percakapan antara Ayub dan sahabat-sahabatnya di Ayub 4-27. Menurut Elihu, hal yang baru adalah ia terinspirasi untuk berbicara hikmat yang tidak dimiliki sahabat-sahabat Ayub yang lainnya. “Seorang yang pengetahuannya sempurna menghadapi engkau,” katanya (Ayub 36:4). Elihu juga mencela sahabat-sahabat Ayub itu karena mereka tidak dapat mengalahkan Ayub (Ayub 32:5,15). Mengingat kesombongannya, dan mengingat bahwa semakin mantap sahabat-sahabat Ayub berbicara menentang Ayub, semakin tidak akurat tuduhan-tuduhan mereka, kita tidak bisa mengharapkan banyak hikmat dari Elihu. Ia kebanyakan hanya mengulangi argumen-argumen yang sudah dikemukakan sebelumnya. Agendanya sama dengan rekan-rekannya, yaitu pertama-tama meyakinkan Ayub bahwa ia telah melakukan sesuatu yang pantas menerima hukuman ini, dan kemudian mendorong Ayub untuk bertobat agar menerima pemulihan berkat-berkat dari Allah (Ayub 36:10-11). Ia memang memperkenalkan satu prinsip baru terkait pekerjaan, yaitu bahwa menerima suap itu salah (Ayub 36:18). Pernyataan ini benar, yang dibahas lebih dalam di bagian lain Kitab Suci, tetapi diterapkan secara salah sebagai tuduhan yang tidak benar terhadap Ayub.

Allah Muncul (Ayub 38-42:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada siklus pertama kitab ini, perkataan sahabat-sahabat Ayub dihentikan oleh penyingkapan hikmat Allah. Hal yang baru dalam siklus kedua adalah perkataan Elihu diinterupsi oleh kemunculan dramatis Allah sendiri (Ayub 38:1). Akhirnya, Allah memenuhi keinginan Ayub untuk bertemu langsung. Pembaca sudah menunggu untuk melihat apakah Ayub pada akhirnya akan menyerah dan mengutuki Allah. Ternyata Ayub tetap teguh, bahkan ia mendapat pelajaran lebih lanjut tentang betapa tingginya hikmat Allah melampaui pengetahuan manusia.

Siapa yang Dapat Memahami Hikmat Allah? (Ayub 38:4-42:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertanyaan pertama Allah kepada Ayub mendasari sebagian besar percakapan satu-arah mereka, “Di manakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian” (Ayub 38:4). Dengan memakai bahasa penciptaan paling spektakuler dalam Alkitab, Allah menyatakan diri-Nya sebagai satu-satunya Pencipta keajaiban dunia. Hal ini sangat beresonansi dengan pekerjaan. Pekerjaan kita mencerminkan penciptaan kita yang segambar dengan Allah, Sang Pencipta Agung (Kejadian 1-2). Namun, di sini Allah berbicara tentang pekerjaan yang hanya Dia yang mampu mengerjakannya. “Siapakah yang memasang batu penjurunya pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai? (Ayub 38:6-7). “Siapa telah membendung laut dengan pintu ketika ia menyembur ke luar dari dalam rahim? (Ayub 38:8). “Oleh pengertianmukah burung elang terbang, mengembangkan sayapnya menuju ke selatan? Atas perintahmukah rajawali terbang membubung, dan membuat sarangnya di tempat yang tinggi?” (Ayub 39:29-30).

Menariknya, di tengah-tengah kedaulatan kuasa Allah atas semesta alam terselip pemahaman mendalam tentang keadaan manusia. Allah bertanya kepada Ayub, “Siapa menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberikan pengertian kepada gumpalan mendung?” (Ayub 38:36). Jawabannya, tentu saja, Allah. Hal ini menegaskan pencarian kita akan pengertian dan sekaligus menunjukkan keterbatasannya. Hikmat yang Allah taruh dalam batin kita memungkinkan kita untuk merindukan jawaban tentang misteri penderitaan. Namun, hikmat kita hanya datang dari Allah, sehingga tidaklah mungkin kita “mengatasi” Allah dengan hikmat kita sendiri. Sesungguhnya, Dia hanya menaruh sebagian kecil saja dari hikmat-Nya pada diri kita, sehingga kita tak pernah dapat memiliki kemampuan untuk memahami semua jalan-Nya. Seperti sudah kita bahas, hal yang baik bagi jiwa kita untuk menyampaikan keluh kesah kita terhadap Allah. Namun, hal yang bodoh jika kita mengharapkan Dia berkata, “Ya, sekarang Aku bisa melihat bahwa Aku salah.”

Melanjutkan lebih jauh perjumpaan yang tak setara ini, Allah memberikan tantangan yang mustahil kepada Ayub: “Apakah pengecam hendak berbantah dengan Yang Maha Kuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!” (Ayub 39:35). Mengingat pengakuan Ayub sebelumnya, bahwa “Aku tidak tahu” seringkali merupakan jawaban paling bijak, responsnya yang rendah hati tidak mengejutkan: "Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Kututup mulutku dengan tangan” (Ayub 39:37).

Banyak penafsir berpendapat bahwa Allah sedang memberi Ayub gambaran yang lebih besar tentang keadaannya. Seperti orang yang berdiri terlalu dekat pada lukisan dan tidak dapat mengapresiasi sudut pandang pelukisnya, Ayub perlu mundur beberapa langkah agar ia dapat melihat sekilas—jika tidak dapat memahami sepenuhnya—tujuan Allah yang lebih besar dengan lebih jelas.

Allah melanjutkan dengan serangan frontal atas orang-orang yang menuduh-Nya melakukan kesalahan dalam mengatur ciptaan-Nya. Allah juga tidak mau menerima upaya pembenaran diri Ayub. “Apakah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?” (Ayub 40:3). Upaya Ayub melempar kesalahan mengumandangkan kembali jawaban Adam ketika Allah bertanya apakah ia makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. "Perempuan yang Kauberikan di sisiku, dialah yang memberi buah dari pohon itu kepadaku, dan aku makan” (Kejadian 3:12).

Menyampaikan keluh kesah kita kepada Allah adalah hal yang baik ketika kita memakai kitab Ayub, Mazmur dan Habakuk sebagai model inspiratif tentang datang kepada Allah pada masa sulit. Namun, menuduh Allah demi menutupi kesalahan sendiri adalah puncak kecongkakan (Ayub 40:6-7). Allah menolak tuduhan Ayub karena hal itu. Meskipun demikian, Allah tidak menghukum Ayub karena mengungkapkan keluh-kesahnya kepada Allah. Tuduhan Ayub terhadap Allah salah di luar batas akal, tetapi tidak di luar batas pengampunan.

Ayub dapat berjumpa dengan Allah yang selama ini ia minta. Perjumpaan itu tidak menjawab pertanyaan apakah ia pantas menerima penderitaan yang dialaminya. Ayub sadar bahwa kesalahan ada pada dirinya karena berharap mengetahui jawabannya, bukan pada Allah karena tidak memberikan jawabannya. “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang terlalu ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (Ayub 42:3). Bisa jadi ia begitu terpesona dengan kehadiran Allah sampai ia tidak memerlukan jawaban lagi.

Jika kita mencari penyebab penderitaan Ayub, kita juga tidak akan menemukannya. Di satu sisi, penderitaan Ayub justru membuatnya semakin dapat menghargai kebaikan Allah. "Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2). Relasi Ayub dengan Allah menjadi semakin dalam, dan karenanya ia juga semakin bijak. Ia semakin menghargai lagi dari sebelumnya bahwa kemakmurannya yang dulu bukanlah karena kekuatan dan kemampuannya sendiri. Namun, perbedaan kesadarannya ini hanya pada kadarnya saja. Apakah peningkatan kadar ini sebanding dengan kehilangannya yang tak terkatakan? Kita tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini dari Ayub maupun dari Allah.

Allah Mencela Sahabat-sahabat Ayub (Ayub 42:7-9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah mencela ketiga sahabat Ayub yang pernyataan arogannya tentang hikmat yang salah telah sangat menyiksa Ayub. Dengan satu pembalikan yang ironis dan memuaskan, Allah berkata bahwa hanya jika Ayub mendoakan mereka, Dia tidak akan menghukum mereka atas ucapan-ucapan bodoh mereka yang bermaksud membela Allah (Ayub 42:7-8). Mereka, yang secara keliru telah mendesak Ayub untuk bertobat, kini harus bergantung pada Ayub untuk menerima pertobatan mereka, dan bergantung pada Allah untuk memenuhi doa permohonan Ayub bagi mereka. Tindakan Ayub yang mendoakan mereka mengingatkan kita pada pasal pertama ketika Ayub berdoa memohon perlindungan untuk anak-anaknya. Ayub adalah orang yang berdoa, baik atau tidak baik waktunya.

Sebagai bagian dari pemulihan kita dari kegagalan, kita juga sebaiknya mendoakan orang-orang yang telah menyakiti atau meragukan kita pada masa kesesakan. Yesus di kemudian hari juga memanggil kita untuk berdoa bagi musuh-musuh kita (Matius 5:44, Lukas 6:27-36), dan pengajaran ini dalam kedua konteks dianggap lebih dari sekadar terapi. Jika kita bisa berdoa bagi orang yang menganiaya kita, kita bisa melampaui situasi-situasi hidup yang hanya berlangsung singkat, dan mulai menghargai gambaran dari perspektif Allah.

Epilog — Kemakmuran Ayub Dipulihkan (Ayub 42:7-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagian terakhir kitab Ayub berisi akhir cerita yang memulihkan banyak kekayaan Ayub. Banyak, tetapi tidak semuanya. Ia diberikan dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu (Ayub 42:10), ditambah tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan yang baru (Ayub 42:13). Namun, anak-anaknya yang dahulu sudah tiada untuk selamanya, suatu pertukaran yang buruk menurut perhitungan apa pun. Jadi, meskipun kita membaca bahwa kehidupan Ayub selanjutnya diberkati “lebih dari hidupnya yang dahulu” (Ayub 42:12), kita tahu pasti tetap ada rasa pahit-manis di mulutnya. Kita tahu, setelah kebangkitan Anak Allah, yang tidak diketahui Ayub, Bahwa penebusan final Allah hanya terjadi ketika Kristus datang kembali menggenapi kerajaan-Nya.

Ayub Meninggalkan Warisan untuk Putri-putrinya (Ayub 42:13-15)

Ayub melakukan hal yang menakjubkan setelah penderitaan berat yang dialaminya. Ia meninggalkan warisan untuk anak-anak perempuannya, bersama dengan anak-anak lelakinya (Ayub 42:15). Meninggalkan warisan untuk anak perempuan adalah hal yang belum dikenal di Timur Dekat Kuno, dan ilegal di banyak negara Eropa sampai zaman modern. Apa yang membuat Ayub mengambil tindakan yang belum pernah ada sebelumnya ini? Apakah kesedihannya karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk putri-putrinya yang sudah meninggal membuatnya bertekad untuk melakukan apa pun yang ia bisa untuk putri-putrinya yang masih hidup? Apakah kesedihannya menjadi kekuatan yang menggerakkannya untuk menerobos hambatan-hambatan sosial terhadap kesetaraan perempuan dalam hal ini? Apakah penderitaannya membuka hatinya terhadap penderitaan orang lain? Atau apakah kerinduannya yang besar untuk mengenal keadilan allah dijawab dengan pemahaman yang lebih tinggi tentang kasih Allah bagi laki-laki maupun perempuan? Kita tidak bisa mengetahui sebabnya, tetapi kita bisa melihat akibatnya. Jika tidak ada yang lain dalam hidup ini, akibat penderitaan kita bisa menjadi kelepasan bagi orang lain.

Kitab Berakhir (Ayub 42:7-17)

Dengan demikian kita akan meninggalkan kitab Ayub dengan observasi dan pertanyaan, bukan kesimpulan yang rapi. Ayub terbukti setia pada Allah dalam kemakmuran maupun kemalangan. Ini jelas merupakan teladan bagi kita. Namun, penilaian-penilaian menjijikkan yang dikemukakan sahabat-sahabatnya memperingatkan kita agar tidak menerapkan model apapun secara terlalu-yakin pada hidup kita sendiri.

Tuhan terbukti setia pada Ayub. Inilah pengharapan dan penghiburan tertinggi kita. Namun, kita tidak bisa menduga-duga bagaimana kesetiaan-Nya dimanifestasikan dalam hidup kita sebelum janji-janji-Nya digenapi di langit baru dan bumi baru. Sungguh bodoh jika kita menilai orang lain, atau bahkan diri kita sendiri, berdasarkan sedikit bukti yang ada pada kita, hikmat remeh yang dapat kita pahami, dan sudut pandang sempit yang kita miliki. Untuk pertanyaan-pertanyaan tersulit tentang situasi-situasi hidup kita, jawaban yang paling bijak seringkali adalah, “Aku tidak tahu.”

Ayat-ayat dan Tema-tema Pokok Kitab Ayub

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat

Tema

Ayub 1:9-10 - Jawab Iblis kepada TUHAN: "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan keluarganya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu.”

Jika kesetiaan pada Allah tergantung pada kemakmuran yang Dia berikan pada kita, iman kita pada dasarnya akan dangkal, dan pada tingkat terburuk bisa dipertanyakan.

Ayub 1:20-21 - Ayub pun berdiri, mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, lalu sujud dan menyembah. Ia berkata, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke sana. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Respons paling tepat terhadap kegagalan dalam kehidupan pekerjaan kita adalah mengakui otoritas Allah atas segala masalah kehidupan, entah yang tampaknya baik atau buruk.

Ayub 28:28 - Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan adalah akal budi.

Semua kesuksesan yang berarti dalam ekonomi Allah harus dimulai dengan rasa takut yang sehat akan Tuhan.

Ayub 31:13-15 - “Jikalau aku mengabaikan hak budakku laki-laki atau perempuan, ketika mereka beperkara dengan aku, apa yang akan kuperbuat, kalau Allah bangkit berdiri; kalau Ia mengadakan pengusutan, apakah jawabku kepada-Nya? Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”

Memperlakukan karyawan dengan setara karena mereka juga diciptakan segambar dengan Allah akan menciptakan rasa hormat dan martabat dalam relasi itu.

Ayub 38:36 - Siapa menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberikan pengertian kepada gumpalan mendung?

Allah adalah Pencipta dan Penopang segala kemampuan kita. Gagal mengakui peran Allah dalam kesuksesan karier kita akan mempersempit perspektif kita dan membawa kita menghadapi pergumulan rohani.

Introduksi Kitab Mazmur

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Mazmur sebagian berupa buku nyanyian, sebagian buku doa, sebagian bacaan hikmat, dan sebagian kumpulan puisi tentang Israel dan Allah. Topik-topiknya sangat luas. Di satu sisi, kitab Mazmur merupakan puji-pujian dan doa kepada Allah Yang Maha Tinggi (Mazmur 50:14), dan di sisi lain mencakup pengalaman-pengalaman manusia yang mendalam seperti orang yang berkeluh kesah karena kematian ibu (Mazmur 35:14). Kitab Mazmur berbeda dengan kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya karena isinya sebagian besar tentang manusia yang berbicara kepada Allah. Sementara kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya sebagian besar berisi tentang Allah yang berbicara kepada manusia (seperti dalam kitab Taurat dan kitab Nabi-nabi), atau berisi cerita.

Meskipun sudah berusia ribuan tahun, hampir semua Mazmur, dalam satu atau lain hal, mencerminkan pergumulan dan sukacita kita sendiri pada masa kini. Apa pun topik mazmur tertentu, masing-masing menyuarakan emosi-emosi yang kita rasakan ketika kita bergulat dengan masalah-masalah kehidupan. Beberapa Mazmur menggambarkan sukacita kita dalam Allah ketika kita mengalami penyertaan ilahi dalam situasi sulit yang sudah berakhir baik. Yang lain mengungkapkan perasaan-perasaan marah atau pedih kita saat bergumul untuk mengerti mengapa Allah tidak bertindak seperti yang kita pikirkan ketika “orang jahat menang.” Di dalam mazmur-mazmur tertentu, Allah berbicara. Di dalam mazmur-mazmur lainnya, Allah diam. Beberapa menunjukkan resolusi, sementara yang lainnya meninggalkan kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.

Kitab Mazmur seluruhnya tidak ditulis oleh satu orang pada satu waktu, seperti ditunjukkan dari banyaknya ragam atribusi/fitur dalam naskah-naskahnya. Sesungguhnya, penelitian tentang penulisan Kitab Mazmur— seperti tanggal atau waktu penyusunan, latar belakang, tujuan, penggunaan, dan transmisinya—merupakan bidang yang utama dalam studi Alkitab. Alat-alat kritisisme bentuk dan analisis sastra komparatif (khususnya komparasi dengan sastra Ugarit) sangat berperan dalam penelitian kitab Mazmur.[1] Kita tidak akan mencoba melakukan penelitian secara umum ini, tetapi kita akan mengacu pada riset semacam itu jika diperlukan untuk membantu kita memahami dan menerapkan kitab Mazmur pada pekerjaan.

Pekerjaan dalam Kitab Mazmur

Di sepanjang 150 mazmur, pekerjaan muncul secara teratur. Terkadang perhatian kitab Mazmur dalam hal pekerjaan berkisar pada etika-etika individu, seperti integritas dan ketaatan pada Allah dalam bekerja, menghadapi seteru, dan keresahan melihat orang tidak etis yang kelihatan sukses. Mazmur-mazmur lainnya menaruh perhatian pada etika organisasi—baik organisasi yang sekecil rumahtangga, maupun organisasi yang sebesar negara. Tema-tema masa kini yang diterapkan dalam kitab Mazmur meliputi etika bisnis, menghadapi tekanan institusi, globalisasi, dan akibat-akibat kegagalan di tempat kerja dan kesalahan bangsa. Tema utama kitab Mazmur lainnya yang terkait pekerjaan adalah penyertaan Allah dalam pekerjaan kita. Di sini kita menemukan topik-topik seperti pimpinan Tuhan, kreativitas manusia yang didasarkan pada Allah (yang mendasari semua produktivitas), pentingnya melakukan pekerjaan yang benar-benar berharga, dan kasih karunia Allah dalam pekerjaan kita. Kitab Mazmur menaruh perhatian khusus pada pekerjaan menikah, membesarkan anak, dan merawat orangtua. Yang mendasari semua topik-topik khusus ini adalah pernyataan kitab Mazmur tentang kemuliaan Allah di dalam seluruh ciptaan. Beragamnya tema-tema yang berkaitan dengan pekerjaan di dalam kitab Mazmur tidak mengherankan.

Lima Jilid Kitab Mazmur

Fitur struktural kitab Mazmur yang paling jelas adalah pembagiannya yang menjadi lima jilid: Jilid 1 (Mazmur 1-41), Jilid 2 (Mazmur 42-72), Jilid 3 (Mazmur 73-89), Jilid 4 (Mazmur 90-106), dan Jilid 5 (Mazmur 107-150). Alasan dan sejarah pembagian ini tidak sepenuhnya diketahui. Jilid 1 sangat berfokus pada pengalaman-pengalaman Daud, dan Jilid 2 berbicara tentang Daud dan kerajaan Daud. Jilid 3 lebih suram, berisi banyak ratapan dan keluhan. Bagian ini berakhir di Mazmur 89 tentang Perjanjian Daud dalam kehancuran dan bangsa yang hancur. Jilid 4 berbicara dengan serius tentang kematian manusia (Mazmur 90), tetapi juga berbicara dengan megah tentang Tuhan sebagai Raja Agung yang memerintah segala sesuatu (Mazmur 93 dan Mazmur 95-99). Jilid 5 berupa campuran, tetapi berakhir dengan perayaan ketika bangsa-bangsa dan seluruh ciptaan menyembah Allah Israel (lihat Mazmur 148).

Jadi, kita melihat sebuah gerakan yang umum dari seorang manusia bernama Daud sampai kerajaan Daud, lalu sampai berakhirnya dinasti Daud, dan selanjutnya pujian tentang Allah sendiri sebagai Raja di bumi, dan akhirnya tentang kemenangan kerajaan Allah. Ini menjadi alur cerita kitab Mazmur secara keseluruhan. Namun, banyak mazmur dalam pengelompokan itu tidak sesuai dengan urutan ini. Dalam satu dan lain hal, alasan pengurutan kitab Mazmur yang sekarang ini tetap menjadi misteri. Namun jika ada satu struktur besar saja, kita mungkin tidak dapat memahaminya secara utuh atau mengikutinya secara sistematis.

Strategi Interpretasi Kitab Mazmur

Keunikan kitab Mazmur bisa menyulitkan dalam memahami konteks aslinya, apalagi menerapkannya dalam kehidupan dan pekerjaan masa kini. Kitab Mazmur adalah kumpulan tulisan yang sangat beragam, dan ini menjadikannya sulit untuk digeneralisasi. Apakah kita seharusnya mempelajari kitab Mazmur untuk mencari pengajaran? Membacanya untuk memahami sejarah? Mendoakan atau menyanyikannya sendiri atau bersama orang lain? Alkitab sendiri tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Sebelum kita mempelajari penerapan mazmur-mazmur dalam bekerja, kita perlu mengembangkan strategi-strategi interpretasi yang dapat menolong kita mendapatkan manfaat maksimal dari kitab Mazmur.

Pendekatan kita di sini adalah menyelidiki kumpulan mazmur yang dipilih karena mazmur-mazmur itu berbicara tentang sesuatu yang signifikan tentang pekerjaan, atau sesuatu yang signifikan tentang kehidupan yang diterapkan secara signifikan pada pekerjaan. Secara praktisnya, hal ini biasanya berarti mazmur-mazmur itu dipilih karena para kontributor, dewan pengarah, atau pengulas Proyek Teologi Kerja menganggapnya sangat signifikan dalam studi atau pengalaman mereka sendiri. Metode seleksi ini diakui tidak sistematis. Tafsiran yang dihasilkan juga tidak dimaksudkan untuk secara mendalam, atau bahkan selalu benar. Namun,, pengumpulan ini diharapkan dapat menjadi serangkaian contoh tentang bagaimana orang-orang Kristen secara individu maupun kelompok dapat dengan setia menggunakan mazmur-mazmur ketika hendak mengintegrasikan iman dan pekerjaan mereka.

Jilid 1 (Mazmur 1-41)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jilid 1 kebanyakan terdiri dari mazmur-mazmur yang diungkapkan Daud sebagai pribadi, bukan Israel sebagai bangsa. Mazmur-mazmur ini mengungkapkan hal-hal yang memprihatinkan Daud, secara pribadi, dan ini membuat mazmur-mazmur ini dapat diterapkan pada situasi-situasi yang kita hadapi dalam pekerjaan kita sendiri. Jilid-jilid selanjutnya mengungkapkan aspek-aspek sosial dan komunal dalam kehidupan dan pekerjaan.

Integritas Pribadi dalam Bekerja (Mazmur 1)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dua mazmur pembuka mendasari tema-tema yang ada di seluruh kitab Mazmur. Mazmur 1 menggambarkan integritas pribadi, yang menunjukkan bagaimana cara hidup setiap pembaca seharusnya. Mazmur ini diterapkan terutama pada pekerjaan dan kerinduan untuk berhasil. Dikatakan bahwa orang benar itu, “seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya. Apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mazmur 1:3). Pekerjaan yang dilakukan secara etis cenderung berhasil. Namun, ini kebenaran secara umum, bukan pedoman yang mutlak benar. Terkadang orang juga bisa menderita karena bertindak etis, baik di tempat kerja maupun di tempat lain. Namun,, kemungkinan orang yang takut akan Allah dan berintegritas akan berhasil juga benar. Hal ini karena mereka hidup dengan bijak dan juga karena Allah memberkati mereka.

Ketaatan pada Tuhan (Mazmur 2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 2 berfokus pada “rumah” Daud. Allah telah memilih kerajaan ini dan bait sucinya, Sion, sebagai pusat kerajaan Allah. Kelak orang-orang non-Yahudi akan tunduk padanya atau menghadapi murka Allah. Karena itu, Mazmur 2:11-12 berkata, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar, supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di jalan, sebab mudah sekali murka-Nya menyala. Berbahagialah semua orang yang berlindung pada-Nya.” Yesus sudah menggenapi janji-janji kepada Daud ini. Bagi kita, pelajarannya adalah kita harus menghargai kerajaan Kristus di atas segala sesuatu. Etos kerja yang baik itu penting, tetapi kita tidak boleh menjadikan kemakmuran sebagai prioritas utama kita. Kita tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada uang/Mamon (Matius 6:24).

Membawa Musuh dan Seteru kepada Tuhan (Mazmur 4, 6, 7, 17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah Mazmur 1 dan 2, Jilid 1 memiliki banyak mazmur yang di dalamnya Daud mengeluh kepada Allah tentang musuh-musuhnya. Mazmur-mazmur ini bisa jadi sulit bagi pembaca masa kini karena Daud kadang seperti mendendam. Namun, kita tak boleh melupakan fakta bahwa ketika musuh-musuh itu ada di dekatnya, ia menyerahkan masalah itu kepada Allah. Ia tidak mengambil tindakan sendiri.

Mazmur-mazmur ini memiliki penerapan di tempat kerja. Seringkali konflik dan persaingan timbul di antara orang-orang yang bekerja, dan kadang perselisihan ini bisa menjadi sengit. Pertengkaran-pertengkaran dalam pekerjaan dapat menyebabkan depresi dan insomnia. Mazmur 4:9 adalah sebuah doa tentang musuh pribadi, yang berbunyi, “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman.” Ketika kita menyerahkan masalah kita kepada Allah, kita bisa mendapat ketenangan. Namun, jika kita sedang di tengah pergumulan itu, doa permohonan kita minta tolong bisa terasa sia-sia. Padahal Allah mendengar dan menjawab: “Menjauhlah dari padaku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan, sebab TUHAN telah mendengar tangisku” (Mazmur 6:9). Di sisi lain, kita harus berhati-hati menjaga integritas kita ketika di tengah konflik semacam itu. Tak ada gunanya kita berseru kepada Allah jika kita bersikap kejam, tidak jujur, atau tidak etis dalam pekerjaan. “Ya TUHAN, Allahku, jika aku berbuat ini: jika ada kecurangan di tanganku, jika aku melakukan yang jahat terhadap orang yang hidup damai dengan aku, atau merugikan orang yang melawan aku dengan tidak ada alasannya, maka musuh kiranya mengejar aku sampai menangkap aku, dan menginjak-injak hidupku ke tanah, dan menaruh kemuliaanku ke dalam debu” (Mazmur 7:4-6). Mazmur 17:3 mengungkapkan hal yang sama.

Otoritas (Mazmur 8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 8 merupakan sebuah pengecualian di dalam Jilid 1, karena mazmur ini tidak secara spesifik berkaitan dengan Daud. Perhatiannya adalah pada otoritas semua manusia, bukan otoritas Daud saja. Meskipun Allah Pencipta seluruh alam semesta (Mazmur 8:1-4), Dia memilih mengangkat manusia untuk memerintah atas ciptaan (Mazmur 8:6-9). Ini adalah panggilan yang mulia. “Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mazmur 8:6-7). Ketika kita menjalankan otoritas dan kepemimpinan, kita melakukannya sebagai wakil Allah. Tindakan-tindakan kita tak boleh sewenang-wenang atau melayani diri sendiri, tetapi harus melayani tujuan-tujuan Allah. Yang terutama dari semuanya adalah memelihara segala makhluk di bumi (Mazmur 8:8-9) dan melindungi yang lemah dan tak berdaya, terutama anak-anak (Mazmur 8:3).

Jika kita memiliki otoritas dalam pekerjaan, kita bisa tergoda untuk menganggap kedudukan kita sebagai ganjaran atas kerja keras atau kecerdasan kita, dan mengeksploitasi otoritas kita untuk keuntungan pribadi. Namun, Mazmur 8 mengingatkan kita bahwa otoritas bukanlah ganjaran, tetapi kewajiban. Memang benar kita harus bertanggung jawab pada atasan, dewan direksi, pengawas, pemilih/pendukung kita, atau bentuk-bentuk kekuasaan lainnya yang kita layani di bumi, tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus bertanggung jawab pada Allah. Para pemimpin politik, misalnya, punya kewajiban untuk memperhatikan ilmu ekonomi dan lingkungan terbaik yang tersedia ketika memikirkan kebijakan energi, entah kebijakan itu sesuai dengan arah politik saat itu atau tidak. Demikian pula, para pemimpin bisnis dipanggil untuk mengantisipasi dan mencegah kemungkinan produk-produk dan layanan mereka membahayakan anak-anak—baik secara fisik, mental, budaya, atau spiritual. Ini berlaku tidak hanya pada mainan, film, televisi, dan makanan, tetapi juga pada bisnis eceran, transportasi, telekomunikasi, jasa keuangan, dan lain-lain.

Etika Bisnis (Mazmur 15, 24, 34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Mazmur berbicara banyak tentang etika di tempat kerja. Mazmur 15:1 dan 5 berkata, “TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?…[Orang] yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya.” Jika kita menerima pembebanan bunga yang tidak selalu dilarang dalam konteks masa kini (lihat artikel “Does the Bible Prohibit Charging Interest?” di https://www.teologikerja.org/), penerapan Mazmur ini adalah agar kita tidak mengambil keuntungan dari orang lain di tempat kerja. Pinjaman yang membuat peminjamnya terlilit utang yang semakin besar adalah salah satu contohnya, seperti juga kartu-kartu kredit yang dengan sengaja menjebak para pemegang kartu yang tidak paham dengan biaya-biaya dan eskalasi suku bunga yang tidak diharapkan. Dalam arti luas, segala produk atau jasa yang mencari target orang-orang lemah (atau “tidak paham”) dan membuat mereka makin terpuruk adalah pelanggaran etika menurut kitab Mazmur. Etika bisnis —dan etika di bidang-bidang pekerjaan lainnya— yang baik harus membuat pelanggan mendapat keuntungan yang sesungguhnya dari barang dan jasa yang ditawarkan kepada mereka.

Mazmur 24:4–5 menambahkan bahwa Allah menerima "Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan.” Penipuan yang dijelaskan di sini adalah tentang bersumpah palsu. Di dunia modern maupun dunia kuno, tampaknya sulit terlibat bisnis tanpa kadang harus terperosok dalam pelanggaran hukum. Ayat ini mendorong kita untuk bersaksi dengan jujur dan tidak memutar-balikkan keadilan dengan kecurangan. Ketika orang lain tidak bermoral, kejujuran kita bisa membuat kita kehilangan promosi, transaksi bisnis, kesempatan ikut pemilihan, naik pangkat, dan publikasi. Namun, dalam jangka panjang, kerugian-kerugian ini tak sebanding dengan berkat dan pemulihan dari Tuhan (Mazmur 24:5).

Etika juga muncul di Mazmur 34:13-14: “Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik? Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu.” Ini bisa merujuk pada segala macam penipuan, fitnah atau kecurangan. Referensi “umur panjang untuk menikmati yang baik” sebenarnya menunjukkan bahwa jika Anda menipu atau memfitnah orang lain, Anda kemungkinan akan mendapat musuh. Dalam kasus yang ekstrem, Anda bisa mati di tangan mereka, tetapi meskipun tidak, hidup dikelilingi musuh bukanlah hal yang menyenangkan. Jika hidup adalah kerinduan utama Anda, maka teman-teman yang dapat dipercaya jauh lebih menguntungkan daripada keuntungan yang haram. Hidup yang berintegritas mungkin sangat mahal dalam istilah duniawi. Di negara yang korup, pengusaha yang tidak memberi suap atau pegawai negeri yang tidak menerima suap bisa tidak memperoleh penghasilan yang baik. “Kemalangan orang benar banyak,” pemazmur mengakui, “Namun, TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu.” (Mazmur 34:20). Bekerja dengan integritas bisa menghasilkan kemakmuran, bisa juga tidak, tetapi di mata Allah integritas sudah merupakan ganjaran itu sendiri.

Percaya Tuhan dalam Menghadapi Tekanan Institusi (Mazmur 20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 20 mengajarkan kita untuk mempercayai Allah daripada mengandalkan kekuasaan manusia, seperti kekuatan militer. “Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita” (Mazmur 20:8). Aset keuangan, tak terkecuali aset militer, dapat menjadi dasar kepercayaan yang salah terhadap kekuatan manusia. Sehubungan dengan itu, kita harus ingat bahwa di dunia kuno hanya tentara berpangkat tinggi yang memiliki kuda dan kereta. Prajurit biasa didatangkan dari para petani dan berjalan kaki. Kenyataan yang meresahkan adalah bahwa kekayaan dan kekuasaan yang relatif kecil pun seringkali bisa menjauhkan kita dari Allah.

Penyertaan Tuhan dalam Pergumulan di Tempat Kerja (Mazmur 23)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

“Tuhan adalah gembalaku” (Mazmur 23:1). Jika kita memercayai Allah, kita memiliki ketenangan karena kita tahu Allah menjaga kita, seperti gembala menjaga dombanya. Ini mengingatkan kita untuk melihat pekerjaan kita dari sudut pandang Allah —bukan terutama sebagai sarana kita untuk mencapai kepuasan, tetapi sebagai partisipasi kita dalam misi Allah di dunia. “Dia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya” (Mazmur 23:3). Kita bekerja untuk memuliakan Allah, bukan untuk kemuliaan kita sendiri—menjadi pengingat yang kuat bahwa kita perlu mendengar secara teratur.

Perspektif ilahi tentang bekerja semacam ini biasanya mendorong kita untuk makin menekuni pekerjaan kita, bukan sebaliknya. Di Mazmur 23, kita melihat hal ini dalam narasi yang menjelaskan seluk-beluk pekerjaan menggembala. Para gembala mencari air yang tenang, padang rumput yang segar, dan jalan-jalan di padang. Mereka menghalau binatang-binatang buas dengan gada dan tongkat, dan menghibur domba-domba dengan perkataan dan kehadirannya. Mazmur 23 pada dasarnya merupakan gambaran akurat tentang pekerjaan gembala. Hal ini memberinya dasar realitas yang dibutuhkan untuk menjadi perenungan rohani yang berarti.

Meskipun kita rindu memuliakan Allah dalam pekerjaan kita, ini tidak berarti jalan kita akan mudah. Kita kadang bisa mendapati diri kita berada dalam “lembah kelam” (Mazmur 23:4). Situasi-situasi yang bisa berupa kehilangan kontrak, tugas mengajar yang berjalan buruk, atau perasaan terasing dan tidak berarti dalam bekerja. Atau bisa juga yang berupa pergumulan yang lebih panjang, seperti suasana kantor yang toksik, atau ketidakmampuan untuk mendapat pekerjaan. Kita jelas lebih suka tidak menghadapi hal-hal seperti ini. Namun, Mazmur 23 mengingatkan kita bahwa Allah itu dekat dalam segala situasi. “Aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku” (Mazmur 23:4a). Pekerjaan-Nya untuk kita tidak bersifat hipotetis, tetapi nyata dan jelas. Gembala memiliki gada dan tongkat, dan Allah memiliki semua alat yang diperlukan untuk mengantar kita dengan selamat melewati yang terburuk dalam kehidupan (Mazmur 23:4b). Allah juga akan menjaga kita di dunia yang kadang-memusuhi, “di hadapan lawanku” (Mazmur 23:5). Semua ini memang lebih mudah diingat ketika keadaan tenang, tetapi di sini kita dipanggil untuk mengingatnya di tengah tantangan dan kesukaran. Meskipun kita seringkali lebih suka tidak memikirkan hal ini, faktanya justru melalui tantangan hidup kitalah Allah menyelesaikan tujuan-tujuan-Nya di dalam kita.

Mazmur 23 diakhiri dengan mengingatkan kita pada tujuan perjalanan kita bersama Allah. “Aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” (Mazmur 23:6b). Seperti di Mazmur 127 dan ayat-ayat lainnya, rumah atau rumahtangga bukan sekadar tempat naungan untuk orang makan dan tidur, tetapi merupakan unit dasar pekerjaan dan produksi ekonomi. Jadi, diam di rumah Tuhan bukan berarti menanti sampai kita mati agar kita bisa berhenti bekerja dan menerima upah kita. Melainkan, merupakan janji bahwa waktunya akan tiba ketika kita akan berada di tempat di mana pekerjaan dan hidup kita dapat berhasil. Paruhan pertama ayat ini langsung menyatakan bahwa janji ini adalah untuk kehidupan kita saat ini maupun dalam kekekalan. “Kebaikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku” (Mazmur 23:6). Janji bahwa Allah akan menyertai kita, mendatangkan kebaikan dan kasih dalam segala situasi kehidupan dan pekerjaan kita merupakan penghiburan yang lebih dalam daripada yang bisa kita dapatkan dari berharap luput dari setiap kesulitan yang bisa menimpa kita.

Pimpinan Tuhan dalam Bekerja (Mazmur 25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hidup manusia adalah serangkaian pilihan, dan banyak di antaranya berkaitan dengan pekerjaan. Kita harus membangun kebiasaan untuk membawa semua pilihan itu kepada Allah. Mazmur 25:12 mengajarkan, “Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya.” Bagaimana Tuhan menunjukkan jalan yang harus kita pilih? Mazmur 25 menyebutkan beberapa cara, dimulai dengan “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku” (Mazmur 25:4-5). Cara ini mewajibkan kita untuk membaca Alkitab secara teratur, cara utama kita untuk memahami jalan-jalan Allah dan belajar kebenaran-Nya. Setelah memahami jalan-jalan Allah, kita perlu menerapkannya, yang dalam banyak kasus tidak memerlukan bimbingan khusus dari Allah. “Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya” (Mazmur 25:10). Perjanjian dan peringatan-peringatan-Nya tentu saja terdapat dalam Alkitab.

“Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, “ imbuh Mazmur 25:7. Mengakui dosa-dosa kita dan memohon belas kasihan Allah adalah cara kita yang lain untuk menerima pimpinan Allah. Ketika kita jujur pada Allah —dan pada diri kita sendiri—tentang dosa-dosa kita, pintu pimpinan Allah terbuka di hati kita. “Ampunilah kesalahanku,” dan “ampunilah segala dosaku” pinta Pemazmur (Mazmur 25:11, 18). Ketika kita diampuni Allah, kita dibebaskan untuk tidak lagi berusaha membenarkan diri sendiri, yang jika kita masih melakukannya, akan sangat menghalangi pimpinan Allah. Demikian pula, kerendahan hati dalam berurusan dengan Allah dan orang lain akan membuat kita tidak defensif, yang menghalangi pimpinan Allah. “Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati,” tulis Mazmur 25:9.

“Mataku tetap terarah kepada TUHAN,” lanjut Mazmur 25:15. Kita menerima pimpinan Allah ketika kita mencari petunjuk tentang hal-hal yang dipedulikan Allah, seperti keadilan, kesetiaan, rekonsiliasi, kedamaian, iman, pengharapan dan kasih. (Mazmur ini tidak menyebutkan hal-hal ini secara spesifik—ini adalah contoh dari bagian Alkitab yang lain). ”Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku,” kata Mazmur 25:21. Integritas (ketulusan) berarti menjalani seluruh kehidupan dengan seperangkat nilai-nilai yang bersesuaian, bukan, misalnya, bersikap jujur dan berbelas kasihan pada keluarga kita, tetapi berlaku curang dan kejam terhadap pelanggan atau rekan kerja kita. Memikirkan dengan jelas bagaimana menerapkan nilai-nilai tertinggi kita di tempat kerja ternyata juga merupakan cara untuk mendapatkan pimpinan Allah, setidaknya sampai nilai-nilai tertinggi kita dibentuk oleh Kitab Suci dan kesetiaan pada Kristus.

Meskipun cara-cara mendapatkan pimpinan ini tampaknya mungkin abstrak, cara-cara ini bisa sangat praktis ketika kita menerapkannya dalam situasi-situasi di tempat kerja. Kuncinya adalah bersungguh-sungguh dalam studi Alkitab, pengakuan dosa, doa, dan penalaran moral kita. Ketika kita membawa situasi-situasi kerja kita yang aktual dan spesifik kepada Allah dan firman-Nya, kita bisa mendapati Allah menjawab dengan pimpinan spesifik yang kita butuhkan. Untuk informasi lebih lanjut tentang pimpinan Allah yang berkaitan dengan vokasi atau panggilan pekerjaan kita, lihat “Discerning God’s guidance to a particular kind of work” dalam Vocation Overview di https://www.teologikerja.org/.

Jilid 2 (Mazmur 42-72)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita semua mengalami rasa tidak aman, dan kehancuran finansial berada di urutan yang tinggi dalam daftar keresahan kita. Di dalam Jilid 2 ini, kita menemukan sejumlah ayat yang berkaitan dengan kecemasan-kecemasan yang melanda manusia serta jalan-jalan yang mereka tempuh untuk mencari pertolongan. Kita jadi belajar tentang dasar pengharapan yang benar dan yang salah di dunia yang penuh ketidakpastian ini.

Penyertaan Tuhan di tengah Bencana (Mazmur 46)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Terkadang, bencana mengancam tempat kerja kita, pekerjaan itu sendiri, atau rasa aman kita. Bencana ini bisa berupa bencana alam (angin ribut, puting beliung, banjir, badai topan, kebakaran), bencana ekonomi (resesi, kebangkrutan, runtuhnya lembaga-lembaga keuangan besar), dan bencana politik (perubahan kebijakan mendadak, prioritas-prioritas, perang). Mazmur 46 menyoroti bencana besar yang bisa terjadi di seluruh dunia, dan saat ini kita bisa melihat hal ini pada ekonomi global. Keputusan-keputusan tentang mata uang yang dibuat di London dan Beijing berimbas pada harga-harga yang diterima para petani di Indiana atau Indonesia untuk hasil panen mereka. Gejolak politik di Timur Tengah bisa memengaruhi harga bahan bakar di kota kecil manapun di dunia, yang pada gilirannya, melalui serangkaian peristiwa, bisa menentukan apakah sebuah restoran lokal bisa terus bertahan dalam bisnis atau tidak. Sekalipun perekonomian zaman dahulu tidak begitu “global”, orang-orang pada saat itu tahu betul bahwa apa yang terjadi di antara bangsa-bangsa, cepat atau lambat, akan memengaruhi kehidupan mereka. Melelehnya bumi menyiratkan bahwa suatu hari kelak seluruh kekuatan bangsa-bangsa akan tampak seperti istana lilin yang berlangsung sebentar saja. Pergolakan di dunia berarti ketidakpastian dalam perdagangan, pemerintahan, keuangan dan segala macam pekerjaan.

Namun, betapapun dahsyatnya bencana itu, Allah jauh lebih dahsyat. Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya. (Mazmur 46:2-4)

Di tengah situasi-situasi sulit dan mengancam, kita dapat menghadapi pekerjaan dan rekan-rekan kerja kita dengan tenang, percaya diri, bahkan sukacita. Kepercayaan utama kita adalah pada Tuhan, yang menjadi tempat perlindungan, kekuatan dan kesejahteraan ketika kita tak berdaya lagi. Bukan hanya kita secara individu, tetapi komunitas-komunitas kita dan seluruh dunia juga berada dalam naungan anugerah Allah. Bencana dunia tidak sebanding dengan pemeliharaan Allah. Mengingat kembali bagaimana Tuhan sudah memelihara kita dalam situasi-situasi sebelumnya— baik diri kita sendiri maupun umat Allah—meyakinkan kita bahwa Allah menyertai kita “di dalam kota ini” (Mazmur 46:6) dan di segala tempat di bumi ini (Mazmur 46:11). Terkadang kita bahkan mendapat hak istimewa di tengah bencana itu untuk melayani sebagai alat Allah yang menolong orang lain.

Keresahan Saat Orang Jahat Berhasil (Mazmur 49, 50, 52, 62)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Orang benar kadang memiliki pandangan yang keliru tentang cara kerja Allah, dan ini membuat mereka mengalami keresahan yang tidak perlu. Mereka menganggap orang benar itu harus betul-betul berhasil dalam kehidupan, sementara orang jahat juga harus betul-betul mengalami kehancuran. Namun, banyak hal tidak selalu sesuai dengan skenario ini. Ketika orang jahat berhasil, orang Kristen merasa dunia sudah terbalik dan iman mereka pun serasa sia-sia. Mazmur 49:17-18 menanggapi hal ini: “Janganlah takut, apabila seseorang menjadi kaya, apabila kemuliaan keluarganya bertambah, sebab pada waktu matinya semuanya itu tidak akan dibawanya serta, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia” Kesalehan tidak menjamin kesuksesan komersial, dan ketidaksalehan tidak menjamin kegagalan. Orang yang mengabdikan hidupnya untuk mencari uang pada akhirnya akan gagal, karena mereka mengumpulkan harta dari kekayaan fana yang akan lenyap (Lukas 12:16-21). Lihat "Concern for the Wealthy (Lukas 6:25; 12:13-21; 18:18-30)" dalam Lukas dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.

Ini bukan sekadar soal orang jahat harus menghadapi hukuman Allah setelah kematian. Ketika orang yang jahat tetapi sukses itu akhirnya mengalami kehancuran, orang-orang akan melihat. Mereka melihat hubungan antara cara hidup orang itu dengan bencana yang akhirnya menimpanya. Mazmur 52:9 menggambarkan situasi itu: "Lihatlah orang itu yang tidak menjadikan Allah tempat pengungsiannya, yang percaya akan kekayaannya yang melimpah, dan berlindung pada tindakan penghancurannya!" Oleh karena itu, Mazmur 62:11 menasihati kita agar tidak mencari rasa aman dengan mengikuti jalan orang fasik atau menumpuk harta dunia: “Janganlah percaya kepada pemerasan, janganlah menaruh harap yang sia-sia kepada perampasan; apabila harta makin bertambah, janganlah hatimu melekat padanya.” Pada masa sulit, kita cenderung melihat orang yang makmur dengan melakukan korupsi atau kronisme, dan merasa kita juga harus melakukan hal yang sama jika ingin keluar dari kemiskinan. Padahal itu hanya memastikan kita ikut mendapat aib di hadapan manusia dan hukuman di hadapan Allah.

Di sisi lain, jika kita memutuskan untuk memercayai Allah, kita harus melakukannya dengan sungguh-sungguh dan tidak dangkal. Mazmur 50:16 berkata, “Tetapi kepada orang fasik Allah berfirman: ‘Apakah urusanmu menyelidiki ketetapan-Ku, dan menyebut-nyebut perjanjian-Ku dengan mulutmu’?” Memakai kecurangan untuk mendapatkan kekayaan adalah hal yang buruk. Namun, melakukannya sambil berpura-pura setia pada Allah adalah hal yang mengerikan.

Ada baiknya kita juga menanyakan apa yang dilihat orang lain ketika mereka mengamati pekerjaan kita dan cara kita melakukannya. Apakah kita membenarkan cara-cara mengambil jalan pintas yang tidak etis, atau diskriminasi, atau memperlakukan orang dengan buruk sambil mengoceh tentang “berkat” atau “kehendak Allah” atau “kemurahan hati”? Barangkali, kita mestinya lebih segan untuk mengaitkan keberhasilan kita dengan kehendak Allah, dan lebih siap untuk berkata singkat, “Aku tak pantas mendapatkannya.”

Jilid 3 (Mazmur 73-89)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jilid 3 kitab Mazmur berisi banyak ratapan dan keluhan. Hukuman ilahi— yang positif maupun negatif—tampak di banyak mazmur ini. Merenungkan mazmur-mazmur ini menjadi cermin bagi kita untuk menelisik kesetiaan —atau ketidaksetiaan — kita sendiri serta mengungkapkan perasaan-perasaan kita yang sebenarnya kepada Allah yang mampu mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.

Konsekuensi Kegagalan Pribadi pada Pekerjaan (Mazmur 73)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 73 menggambarkan empat tahap perjalanan godaan dan kesetiaan, yang berlangsung dalam pekerjaan Pemazmur.[1] Pada tahap pertama ia mengakui bahwa penilaian Allah yang baik adalah sumber kekuatan. “Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya” (Mazmur 73:1). Namun dengan cepat (di tahap kedua) ia tergoda untuk meninggalkan jalan Allah. “Tetapi aku,” katanya, “Sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir. Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual” (Mazmur 73:2-3a). Ia mendapati dirinya dipenuhi dengan penampakan orang-orang fasik yang berhasil, yang ia gambarkan dengan sangat rinci dalam sepuluh ayat berikutnya. Secara khusus ia memerhatikan orang yang “mengata-ngatai dengan jahatnya” dan “mengancam pemerasaan” (Mazmur 73:8). Dalam kecemburuannya, ia mulai menganggap integritasnya sendiri tak ada gunanya, “Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih” (Mazmur 73:13), katanya, seraya menyadari bahwa ia sendiri sudah hampir bergabung dengan orang jahat (Mazmur 73:14-15).

Namun pada menit terakhir, ia masuk “ke tempat kudus Allah,” yang artinya ia mulai “melihat” berbagai hal dari sudut pandang Tuhan (Mazmur 73:17). Ia tahu bahwa Allah akan membuat orang jahat “jatuh hingga hancur” (Mazmur 73:18). Hal ini mengawali tahap ketiga, saat ia menyadari bahwa kesuksesan orang yang tidak berintegritas hanyalah sementara. Mereka semua pada akhirnya “binasa dalam sekejap” dan menjadi “seperti mimpi pada waktu terbangun” (Mazmur 73:19-20). Ia sadar bahwa ketika ia mulai berpikir untuk mengikuti jalan orang fasik, ia “dungu dan tidak mengerti” (Mazmur 73:22). Pada tahap keempat, ia kembali menyerahkan dirinya ke jalan Allah. “Aku tetap di dekat-Mu,” katanya, dan “Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku” (Mazmur 73:23, 24).

Apakah kita juga menyusuri perjalanan empat tahap ini sampai tingkat tertentu? Kita juga bisa mulai dengan integritas dan kesetiaan pada Allah. Lalu kita melihat bahwa orang lain tampaknya berhasil dengan melakukan penipuan dan penindasan. Kita kadang menjadi tidak sabar dengan lamanya waktu yang diperlukan Allah untuk melaksanakan hukuman-Nya. Sementara Allah berdiam diri, orang jahat tampak “selalu senang,” dan “bertambah kaya,” sedangkan orang jujur tampak “kena tulah dan kena hukum” dalam kehidupan yang tidak adil (Mazmur 73:12, 14). Namun, waktu penghukuman Allah adalah urusan Allah, bukan urusan kita. Sesungguhnya, karena kita sendiri tidak sempurna, janganlah kita terlalu bernafsu agar Allah menghukum orang jahat.

Karena terlalu memerhatikan kesuksesan orang lain yang tidak patut, kita jadi tergoda untuk mencari keuntungan diri sendiri yang tidak patut juga. Sungguh menggoda untuk menyerah pada dorongan hati ini di tempat kerja yang tampaknya memiliki seperangkat aturan yang berbeda. Kita melihat pembual-pembual (Mazmur 73:3) mendapat kemujuran dan memaksa orang lain untuk memberikan bagian yang tak semestinya kepada mereka (Mazmur 73:6). Kita melihat orang-orang melakukan kecurangan namun hidup makmur bertahun-tahun. Orang-orang yang berkuasa atas kita di tempat kerja tampaknya bodoh-bodoh (Mazmur 73:7), tetapi mereka mendapat promosi. Mungkin kita juga harus melakukan hal yang sama. Mungkin Tuhan benar-benar tidak tahu atau peduli pada yang kita lakukan (Mazmur 73:11), setidaknya di tempat kerja.

Seperti Pemazmur, solusinya adalah mengingat bahwa bekerja bersama Allah —atau mengikuti jalan-jalan-Nya—adalah kesenangan itu sendiri. “Aku suka dekat pada Allah” (Mazmur 73:28). Ketika kita melakukan hal ini, kita membuka diri lagi pada nasihat Allah, dan kembali ke jalan-Nya. Sebagai contoh, kita mungkin bisa menaiki tangga kesuksesan lebih cepat—minimal pada awalnya—dengan merebut penghargaan atas pekerjaan orang lain, menyalahkan orang lain atas kesalahan kita, atau membuat orang lain melakukan pekerjaan untuk kita. Namun, apakah promosi dan pendapatan ekstra itu sebanding dengan perasaan hampa dan takut ketahuan sebagai gadungan? Apakah kesuksesan dapat menggantikan hilangnya persahabatan dan perasaan tidak dapat memercayai orang di sekitar kita? Jika kita peduli pada orang-orang di sekitar kita, berbagi penghargaan atas kesuksesan, dan mau ikut menanggung kesalahan atas kegagalan, kita mungkin tampaknya memiliki awal yang lebih lambat. Namun, bukankah pekerjaan kita akan lebih menyenangkan? Dan ketika kita membutuhkan dukungan, ketika kita butuh kepercayaan dari rekan-rekan kerja atau sebaliknya, bukankah kita berada dalam posisi yang lebih baik daripada orang yang sombong dan kejam? Sesungguhnya Allah itu baik pada orang yang jujur.

Konsekuensi Kesalahan Bangsa pada Ekonomi (Mazmur 81, 85)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika di Mazmur 73 kita melihat tentang penilaian pribadi, di banyak mazmur pada Jilid 3, justru bangsa Israel yang mengalami penilaian/penghakiman. Topik penilaian/asesmen nasional tampaknya relevan dengan bagian ini sejauh hal itu membangun konteks bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan di negara itu. Hal ini juga menunjukkan jenis pekerjaan penting yang dapat dilakukan orang Kristen ketika mewakili Kerajaan Allah, yaitu penetapan kebijakan nasional. Namun, kita dapat melihat bahwa ketika pemerintah nasional menjadi jahat, perekonomian negara akan terdampak. Contohnya adalah Mazmur 81, yang dimulai dengan penghakiman Tuhan tentang bangsa Israel. “Tetapi umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku, dan Israel tidak suka kepada-Ku. Sebab itu Aku membiarkan dia dalam kedegilan hatinya” (Mazmur 81:12-13). Dan dilanjutkan dengan penjelasan tentang konsekuensi-konsekuensinya pada perekonomian. “Sekiranya umat-Ku mendengarkan Aku… umat-Ku akan Kuberi makan gandum yang terbaik dan dengan madu dari gunung batu Aku akan mengenyangkannya." (Mazmur 81:14, 17). Di sini, kita melihat bahwa pelanggaran-pelanggaran bangsa terhadap perjanjian Allah menimbulkan kekurangan dan kesulitan ekonomi. Jika bangsa itu setia pada jalan-jalan Allah, mereka akan mengalami kemakmuran. Namun, jika mereka meninggalkan jalan Tuhan, mereka akan menderita kelaparan (Mazmur 81:11-12).

Demikian pula, Mazmur 85 menunjukkan berkat ekonomi yang melimpah ketika Israel taat pada perintah-perintah Allah. Bangsa itu mengalami kedamaian dan keamanan, pekerjaan yang produktif, dan kemakmuran yang meningkat (Mazmur 85:11-14). Tanpa pemerintahan yang baik, tidak ada yang bisa mengharapkan kemakmuran jangka panjang. Di banyak tempat, orang Kristen sering tampak menentang kebijakan pemerintah yang kurang tepat, tetapi keterlibatan yang konstruktif juga diperlukan. Apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu membangun atau mempertahankan pemerintahan yang baik di kota, wilayah, atau negara Anda?

Kasih karunia Tuhan di tengah Penghakiman (Mazmur 86)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun penghakiman Allah tampak menonjol di Jilid 3 kitab Mazmur, kita juga melihat kasih karunia Allah. “Kasihanilah aku, ya Tuhan,” Mazmur 86 memohon, “Sebab Engkau, ya Tuhan, baik dan suka mengampuni, berlimpah kasih setia kepada semua orang yang berseru kepada-Mu” (Mazmur 86:3, 5). Mazmur itu tercetus dari orang yang merasa lelah bertentangan dengan orang-orang yang lebih berkuasa. “Aku sengsara dan miskin” (Mazmur 86:1). “Orang-orang yang angkuh telah bangkit menyerang aku; dan gerombolan orang-orang sombong ingin mencabut nyawaku” (Mazmur 86:14). “Orang-orang yang membenci aku” selalu menjadi ancaman (Mazmur 86:17). “Selamatkanlah anak laki-laki hamba-Mu perempuan” (Mazmur 86:16b).

Mazmur ini tidak menegaskan kebenaran, tetapi sukacita karena Allah “panjang sabar” (Mazmur 86:15). Yang dimintanya hanyalah kasih karunia Allah. “Berpalinglah kepadaku dan kasihanilah aku” (Mazmur 86:16a). “Pada hari kesesakanku, aku berseru kepada-Mu, sebab Engkau menjawab aku” (Mazmur 86:7).

Kita semua juga kadang menghadapi pertentangan di tempat kerja. Pertentangan itu kadang sangat personal dan berbahaya. Kita mungkin ditindas orang lain, disalah-salahkan, atau kedua-duanya. Kita mungkin merasa tidak berarti dalam pekerjaan kita, tidak dikasihi dalam relasi-relasi kita, tidak mampu mengubah situasi atau diri kita sendiri. Apapun sumber pergulatan kita—bahkan jika kita sudah mengetahui musuh itu dan itu adalah kita—kita dapat memohon kasih karunia Allah untuk menyelamatkan kita. Kasih karunia Allah mematahkan ambiguitas yang melingkupi hidup dan pekerjaan kita dan menunjukkan tanda kebaikan Allah pada kita (Mazmur 86:17) melampaui yang patut kita terima.

Tentu saja Allah menyelamatkan orang—diri kita atau pun musuh kita— bukan untuk mendatangkan penderitaan lebih lanjut. Bersama kasih karunia datang pembaruan. “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya Tuhan, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu” (Mazmur 86:11a). Permohonan Pemazmur ini untuk dirinya sendiri, tetapi menerima kasih karunia Allah berarti mengarahkan diri kita kepada-Nya melebihi pada diri kita sendiri. “Bulatkan hatiku untuk takut akan nama-Mu. Aku hendak bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, Allahku, dengan segenap hatiku” (Mazmur 86:11-12).

Dengan hati Allah, kita pun bisa menjadi murah hati, bahkan kepada orang yang menentang kita. Mazmur ini berharap para penentang itu “merasa malu” (Mazmur 86:17) atas kebencian mereka, dan dengan demikian mereka akan “datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan” (Mazmur 86:9) dan juga mendapat kasih karunia Allah. Kasih karunia berarti belas kasihan itu bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk musuh-musuh kita, untuk menunjukkan kuasa Allah atas musuh-musuh-Nya, supaya nama-Nya dipermuliakan (Mazmur 86:9).

Jilid 4 (Mazmur 90-106)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jilid 4 kitab Mazmur menempatkan kehancuran dunia—termasuk kematian manusia—dalam konteks kedaulatan Allah. Tak seorang pun dari kita dapat menciptakan hidup kita sendiri—apalagi seluruh dunia—sebagaimana yang seharusnya. Kita menderita, dan kita tidak dapat melindungi orang-orang yang kita kasihi dari penderitaan. Namun, Allah tetap berdaulat, dan pengharapan kita akan pemulihan segala sesuatu ada di tangan-Nya.

Bekerja di Dunia Yang Sudah Jatuh dalam Dosa (Mazmur 90, 101)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jilid 4 dimulai dengan Mazmur 90 yang suram. “Engkau mengembalikan manusia kepada debu …tahun-tahun kami seperti keluh” (Mazmur 90:3, 9). Mazmur ini memusatkan perhatian kita pada kesukaran dan singkatnya hidup. “Masa hidup kita tujuh puluh tahun, dan jika kuat delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru dan kita melayang lenyap” (Mazmur 90:10). Singkatnya hidup ini membayangi setiap aspek kehidupan dan pekerjaan kita. Kita hanya memiliki waktu sekian tahun untuk mencari nafkah yang cukup bagi keluarga kita, menabung untuk masa-masa sulit atau hari tua, berkontribusi untuk kebaikan bersama, atau berpartisipasi dalam pekerjaan Allah di dunia. Ketika masih muda, kita mungkin belum terlalu berpengalaman untuk mendapatkan pekerjaan yang kita harapkan. Ketika sudah tua, kita mengalami penurunan keterampilan dan kemampuan, dan terkadang diskriminasi usia. Di antara waktu itu, kita gelisah apakah kita berada di jalur yang cukup cepat untuk mencapai tujuan-tujuan kita. Pekerjaan dimaksudkan untuk menjadi semacam kerja sama yang kreatif bersama Allah (Kejadian 2:19). Namun, desakan waktu membuat pekerjaan terasa seperti “beban dan masalah.”

Lalu apa yang harus kita lakukan? Libatkan Allah dalam pekerjaan kita, betapa pun beratnya pekerjaan itu. “Biarlah kelihatan kepada hamba-hamba-Mu perbuatan-Mu, … Kiranya kemurahan Tuhan, Allah kami, atas kami, dan teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami, teguhkanlah itu” (Mazmur 90:16-17). Ini bukan berarti sekadar memasang pengingat tentang Allah di tempat kerja kita. Ini berarti membuat Allah terlibat dalam “pekerjaan tangan kita.” Pelibatan ini meliputi kesadaran kita akan kehadiran Allah di tempat kerja, pengenalan kita akan tujuan Allah dalam pekerjaan kita, komitmen kita untuk bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip Allah, dan pelayanan kita kepada orang-orang di sekitar kita, yang bagaimanapun diciptakan segambar dengan Allah (Kejadian 1:27; 9:6; Yakobus 3:9).

Mazmur 101:2 menjelaskan bagaimana kita bisa diperlengkapi dalam melakukan pekerjaan Allah. “Aku hendak memperhatikan hidup yang tidak bercela: Bilakah Engkau datang kepadaku? Aku hendak hidup dalam ketulusan hatiku di dalam rumahku.” Membangun karakter yang baik di hadapan Allah dan manusia adalah tugas utama kita. Jika kita memiliki anak-anak, salah satu tugas kita adalah menolong mereka belajar memahami jalan-jalan Allah dan bertumbuh dalam karakter ilahi. Kita sedang melakukan pekerjaan Allah ketika kita mengelola rumahtangga kita dengan baik dan memberi kesempatan kepada anak-anak kita untuk bertumbuh kuat dan siap menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Bagi orang pesimis/skeptis atau sinis, kekejaman hidup membenarkan perilaku amoral dan egois. Bagi orang percaya, hal itu justru menjadi alasan yang lebih kuat untuk mengembangkan karakter.

Kreativitas Manusia bersama Tuhan (Mazmur 104)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sejak awal, Allah merancang pekerjaan manusia sebagai bentuk kreativitas di bawah atau bersama kreativitas Tuhan sendiri (Kejadian 1:26-31; 2:5, 15-18). Pekerjaan manusia dimaksudkan untuk mengerjakan tujuan kreatif Allah: membawa setiap orang ke dalam relasi dengan orang lain dan Allah, dan memuliakan Allah. Mazmur 104 memberi gambaran menarik tentang kemitraan kreatif ini. Dimulai dengan kanvas besar berisi lukisan kemuliaan ciptaan Allah (Mazmur 104:1-9). Lalu berlanjut dengan sendirinya kepada perbuatan-perbuatan Allah yang memelihara kehidupan binatang-binatang di darat, burung-burung di udara, dan ikan-ikan di laut (Mazmur104:10-12, 14, 16-18, 20-22, 25). Allah juga memelihara kehidupan manusia dengan berlimpah-ruah (Mazmur 104:13-15, 23). Pekerjaan Allah memungkinkan keberhasilan pekerjaan alam dan manusia. “Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari kamar-kamar loteng-Mu, bumi kenyang dari buah pekerjaan-Mu” (Mazmur 104:13).

Pekerjaan manusia adalah membangun lebih lanjut, dengan memakai yang diberikan Allah. Kita mengumpulkan dan menggunakan tumbuh-tumbuhan. “Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia” (Mazmur 104:14). Kita membuat anggur (minuman) dan roti (makanan) dan mengambil sari-sari dari tanaman-tanaman yang ditumbuhkan Allah (Mazmur 104:15). Allah melakukan pemeliharaan yang begitu berlimpah, sebagian, dengan memenuhi dunia ciptaan-Nya dengan orang-orang yang bekerja enam hari seminggu. Jadi, meskipun mazmur ini berbicara tentang segala makhluk yang mengharapkan makanan dari Allah, dan Allah membuka tangan-Nya untuk memenuhi kebutuhan itu (Mazmur 104:27-28), manusia tetap harus bekerja keras untuk mengolah dan memanfaatkan pemberian-pemberian Allah yang baik. Mazmur 104 bahkan menyebutkan lebih jauh tentang beberapa alat yang digunakan untuk bekerja di dunia ciptaan Allah —tenda, pakaian, balok/tiang, api, kapal (disebut berurutan di Mazmur 104:1, 2, 3, 4, 26). Menariknya, mazmur ini dengan riang menganggap penggunaan alat-alat itu sebagai berasal dari Allah sendiri, dan juga manusia. Kita bekerja bersama Allah, dan pemeliharaan Allah yang melimpah sebagian terjadi melalui usaha manusia.

Meskipun demikian, kita harus ingat bahwa kita adalah mitra yunior (yang lebih rendah) dalam bekerja bersama Allah. Selaras dengan kitab Kejadian, manusia adalah makhluk terakhir yang disebutkan di Mazmur 104. Namun berbeda dengan di kitab Kejadian, di Mazmur 104 kita manusia ditampilkan dengan sedikit kemeriahan. Kita hanyalah salah satu dari segala makhluk ciptaan Allah yang melakukan “bisnis” (urusan/kegiatan) bersama hewan ternak, burung-burung, kambing hutan, pelanduk, dan singa (Mazmur 104:14-23). Masing-masing memiliki kesibukannya sendiri-sendiri—bagi manusia itu berarti bekerja dan bersusah payah sampai matahari terbenam—tetapi di balik semua kegiatan itu, Allahlah yang menyediakan semua yang dibutuhkan (Mazmur 104:21). Mazmur 104 mengingatkan kita bahwa Allah sudah melakukan pekerjaan-Nya dengan sangat baik. Di dalam Dia, pekerjaan kita juga bisa dilakukan dengan sangat baik, jika kita bekerja dengan rendah hati dengan kekuatan yang diberikan Roh-Nya, untuk membangun dunia yang indah, tempat Dia menempatkan kita oleh kasih karunia-Nya.

Jilid 5 (Mazmur 107-150)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur-mazmur di Jilid 5 memiliki tema atau latar yang kurang umum dibandingkan mazmur-mazmur di bagian lainnya. Namun, di tengah perbedaan bentuk dan latar itu, pekerjaan muncul secara lebih langsung di dalam mazmur-mazmur ini daripada di bagian kitab Mazmur lainnya. Isu-isu tentang kreativitas ekonomi, etika bisnis, kewirausahaan, produktivitas, tugas membesarkan anak dan mengurus rumahtangga, penggunaan kekuasaan yang tepat, dan kemuliaan Allah di dalam dan melalui dunia materi semuanya muncul di mazmur-mazmur ini.

Tuhan Mendasari Semua Pekerjaan dan Produktivitas (Mazmur 107)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 107 menghubungkan upaya-upaya ekonomi manusia dengan dunia ciptaan Allah. Ada baiknya mazmur ini dikutip lebih panjang.

Ada orang-orang yang mengarungi laut dengan kapal-kapal, yang melakukan perdagangan di lautan luas; mereka melihat pekerjaan-pekerjaan TUHAN, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di tempat yang dalam. Ia berfirman, maka dibangkitkan-Nya angin badai yang meninggikan gelombang-gelombangnya. Mereka naik sampai ke langit dan turun ke samudera raya, jiwa mereka hancur karena celaka; mereka pusing dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk, dan kehilangan akal. Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka, dibuat-Nyalah badai itu diam, sehingga gelombang-gelombangnya tenang. Mereka bersukacita, sebab semuanya reda, dan dituntun-Nya mereka ke pelabuhan kesukaan mereka. Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia. (Mazmur 107:23-31)

Dahulu, seperti halnya sekarang, orang melaut untuk mencari ikan dan berdagang. Kapal-kapal orang zaman dahulu rapuh, dan mereka hanya bisa mendapat sedikit peringatan sebelum terjadi badai. Hidup dan penghidupan mereka bergantung pada cuaca. Terlepas dari kemajuan teknologi zaman ini, kita juga bergantung pada berbagai faktor yang di luar kendali kita dalam pekerjaan kita. Barangkali ungkapan paling jujur yang bisa diucapkan orang tentang kesuksesan di tempat kerja adalah, “Aku beruntung.” Seperti dikatakan Bill Gates tentang kesuksesan Microsoft yang luar biasa, “Aku dilahirkan di tempat dan pada waktu yang tepat.”[1]

Bagi orang percaya, “beruntung” adalah istilah yang menggambarkan pemeliharaan Allah yang tetap atas kebutuhan-kebutuhan kita. Meraih kesuksesan dari berbagai ketidakpastian yang melekat pada pekerjaan kita bergantung pada sedikit keterampilan (yang pada dasarnya adalah pemberian Allah juga), sedikit kerja keras, dan banyak pemeliharaan Allah. Apa pun “desired haven” (tempat dambaan) kita dalam hidup dan pekerjaan, “marilah kita bersyukur pada Allah atas kasih setia-Nya yang teguh, atas pekerjaan-Nya yang luar biasa bagi umat manusia.” Yakobus mungkin mengingat mazmur ini ketika ia berkata, “Sebenarnya kamu harus berkata, ‘Jika Tuhan menghendaki, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu’” (Yakobus 4:15).

Tak lama kemudian, Mazmur 107 menambahkan pemahaman lebih lanjut tentang hal ini.

Dibuat-Nya padang gurun menjadi kolam air, dan tanah kering menjadi pancaran-pancaran air. Ditempatkan-Nya di sana orang-orang lapar, dan mereka mendirikan kota tempat kediaman; mereka menabur di ladang-ladang dan membuat kebun-kebun anggur, yang mengeluarkan buah-buahan sebagai hasil. Diberkati-Nya mereka sehingga mereka bertambah banyak dengan sangat, dan hewan-hewan mereka tidak dibuat-Nya berkurang. (Mazmur 107:35-38).

Allah menciptakan kondisi-kondisi agar kehidupan di bumi dapat terus berlangsung. Dia bisa mengubah padang gurun menjadi padang rumput (atau padang rumput menjadi padang gurun). Pertanian, seperti bercocok tanam dan beternak, bergantung pada pertumbuhan yang diberikan Allah. Ketika pertanian berhasil, kota-kota bermunculan. Munculnya kota-kota memicu timbulnya berbagai jenis pekerjaan. Perekonomian kota menyediakan berbagai jenis barang dan jasa kepada penduduk yang berkembang dan beragam. Dalam perekonomian zaman dulu, selain petani dan gembala, masyarakat juga membutuhkan tukang tembikar, pandai besi, dan juru tulis (untuk menuliskan perjanjian-perjanjian dan transaksi-transaksi komersial, dan juga teks-teks kitab hukum dan agama). Seluruh perekonomian kota mana pun, pada zaman dulu maupun sekarang, bergantung pada kelimpahan hasil pertanian, baik yang diusahakan dari dalam negeri sendiri maupun dari perdagangan. Ketika petani dunia dapat menghasilkan lebih dari kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya sendiri, masyarakat yang kompleks dapat berkembang. Dan semua ini berasal dari Allah, yang mengairi tanah kering (Mazmur 65:9, Kejadian 2:5).

Jadi Mazmur 107 mencakup kegiatan ekonomi di darat maupun di laut, dan menegaskan bahwa Allah ada di atas semuanya itu. Dan Allah tidak bertentangan dengan pekerjaan kita. Mazmur ini berbicara tentang bagaimana Dia menyelamatkan dan memelihara. Penghidupan kita tergantung pada penanganan Allah yang murah hati atas kekuatan-kekuatan alam.

Kebajikan Orang Yang Berbisnis (Mazmur 112)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 112 menyatakan berkat-berkat Allah atas orang-orang yang melakukan bisnis (istilah dalam kitab Mazmur: berdagang dan memberi pinjaman) dengan menuruti perintah Allah. “Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya,” kata mazmur ini, dan “ia tidak takut kepada kabar celaka” (Mazmur 112:3,7). Kebajikan yang mendatangkan berkat-berkat ini adalah sifat pengasih dan penyayang, belas kasihan, kebenaran, kemurahan hati dan keadilan (Mazmur 112:4-5). Kebenaran dan keadilan mungkin sudah tak mengherankan. Orang ingin membeli dan menjual dari bisnis-bisnis yang jujur dan benar, supaya kebajikan-kebajikan ini dapat diharapkan, secara umum, mendatangkan kemakmuran.

Namun, bagaimana dengan pengasih dan penyayang, belas kasihan, dan kemurahan hati? Pengasih dan penyayang bisa berarti menginformasikan kepada pelanggan tentang solusi yang biayanya lebih rendah yang memberikan keuntungan lebih sedikit pada kita atau perusahaan kita. Belas kasihan bisa berarti memberi kesempatan lagi kepada pemasok yang pernah lalai dalam melakukan pengiriman. Kemurahan hati bisa berarti berbagi spesifikasi industri dengan pihak lain agar mereka dapat menghasilkan produk-produk yang kira-kira sama dengan produk-produk kita— hal yang baik untuk pelanggan, tetapi berpotensi menciptakan persaingan bagi kita sendiri. Apakah Mazmur 112 hendak mengatakan bahwa hal-hal seperti itu akan mendatangkan kemakmuran yang lebih besar, bukan yang lebih kecil? Sepertinya begitu. “Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin,” kata Pemazmur, tetapi ia justru menjadi lebih teguh, lebih aman, lebih kuat, dan akhirnya lebih sukses daripada orang yang tidak mengamalkan kebajikan-kebajikan itu (Mazmur 112:7-10). Pemazmur menghubungkan hal ini dengan Tuhan (Mazmur 112:1,7) tetapi tidak disebutkan apakah ini karena Dia melakukan intervensi khusus untuk orang itu ataukah karena Dia telah menciptakan dan memelihara dunia sedemikian rupa sampai kebajikan-kebajikan ini cenderung mendatangkan kemakmuran. Kemungkinan kedua-duanya.

Dan sekali lagi, bisa jadi Tuhan memberkati orang jujur dengan memberi mereka gambaran yang berbeda tentang kemakmuran. Harta dan kekayaan termasuk (Mazmur 112:3, seperti yang disebutkan), tetapi gambaran yang menyeluruh meliputi lebih dari sekadar harta kekayaan saja. Keturunan yang diberkati (Mazmur 112:2) yang mengingat (Mazmur 112:6) dan menghormati mereka (Mazmur 112:9), relasi-relasi yang kokoh (Mazmur 112:6), hati yang damai (Mazmur 112:7), dan kemampuan menghadapi masa depan tanpa rasa takut (Mazmur 112:8) sama pentingnya dalam pandangan Allah tentang kemakmuran. Mungkinkah ini berarti bahwa jika kita berbisnis dengan menaati perintah Tuhan, yang berubah bukan hanya keuntungan kita saja, tetapi juga keinginan kita? Jika kita bisa menginginkan yang Allah inginkan untuk kita, bukankah kita dijamin akan menemukan kebahagiaan yang berlangsung selamanya?

Berpartisipasi dalam Pekerjaan Tuhan (Mazmur 113)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur 113 berkata, “Dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari terpujilah nama TUHAN” (Mazmur 113:3). Apakah ini berarti kita harus berada di bait suci (atau di gereja) sepanjang hari untuk memuji Tuhan? Atau apakah ini berarti dalam segala sesuatu yang kita lakukan, termasuk pekerjaan kita sehari-hari, kita melakukannya dalam pujian kepada Tuhan? Dari ayat 7 sampai 9, kita melihat dengan jelas bahwa jawabannya adalah yang terakhir. “Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan, bersama-sama dengan para bangsawan bangsanya” (Mazmur 113:7-8). Meskipun mazmur ini tidak mengatakan bagaimana Allah melakukan hal ini, kita tahu—seperti juga Pemazmur—bahwa hal ini biasanya dilakukan melalui pekerjaan. Kesempatan kerja dengan upah yang baik menolong orang miskin keluar dari kemiskinan, dan Allah biasanya menciptakan kesempatan-kesempatan itu melalui pekerjaan umat-Nya—orang-orang dalam bisnis yang menciptakan peluang-peluang ekonomi, orang-orang dalam pemerintahan yang menjamin keadilan, orang-orang di dunia pendidikan yang mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang baik. Dengan penekanan pada mengangkat orang miskin dan kesusahan, Mazmur 113 memanggil kita untuk memuji Allah dalam seluruh kehidupan praktis.

Meskipun mazmur ini bisa saja menyebutkan berbagai macam pekerjaan untuk menjelaskan maksudnya, ternyata pekerjaan yang dipilihnya hanya satu—pekerjaan melahirkan dan membesarkan anak “Ia mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita” (Mazmur 113:9). Mungkin ini karena tidak punya anak di Israel kuno hampir pasti akan membuat seorang perempuan (dan suaminya) hidup miskin di masa tua. Atau mungkin juga karena alasan lain. Apa pun alasan itu, hal ini mengingatkan kita pada dua hal penting saat ini. Yang paling jelas, ketika para ibu (dan ayah) mengandung, memberi makan, memandikan, melindungi, bermain bersama, mengajar, melatih, mengampuni, mendidik, dan mengasihi anak-anak, mereka itu sedang bekerja! Sayangnya, banyak ibu merasa tidak ada—bahkan gereja—yang mengakui bahwa yang mereka lakukan itu sama pentingnya dengan pekerjaan yang dilakukan orang lain yang dibayar. Kedua, pertolongan Allah bagi orang-orang yang tak punya anak dan anak-anak yang tak punya orangtua biasanya datang dari pekerjaan orang lain. Ahli-ahli medis mungkin dapat memulihkan kesuburan. Para pekerja di bidang adopsi dan kesejahteraan anak mungkin dapat mempertemukan calon orang tua dengan anak-anak yang membutuhkan orangtua, dan mendampingi keluarga-keluarga untuk memberikan pelatihan dan pengawasan yang dibutuhkan. Seluruh keluarga bergantung pada dukungan orang lain dalam masyarakat luas, termasuk umat Allah. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang pekerjaan keluarga, lihat "Pekerjaan menikah, membesarkan anak, dan merawat orangtua (Mazmur 127, 128, 139)".

Menghasilkan Nilai Yang Benar dalam Bekerja (Mazmur 127 and 128)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika Mazmur 107 berbicara tentang kegiatan ekonomi berskala besar, Mazmur 127 dan 128 berbicara tentang rumahtangga, unit dasar produksi ekonomi sampai zaman Revolusi Industri. Mazmur 127 dimulai dengan mengingatkan bahwa semua pekerjaan yang baik didasarkan pada Allah.

Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah -- sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur. (Mazmur 127:1-2)

Baik “rumah” maupun “kota” merujuk pada hal yang sama: tujuan penyediaan barang dan keamanan bagi penghuninya. Pada akhirnya, semua kegiatan ekonomi bertujuan membuat keluarga/rumahtangga berhasil. Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa bekerja dengan rajin saja tidak cukup (bandingkan Amsal 26:13-16, tentang kemalasan). Di balik tujuan yang jelas ini ada makna yang lebih dalam. Kerja keras bisa menghasilkan rumah yang besar dan indah, tetapi tidak bisa menciptakan keluarga yang bahagia. Wiraswastawan yang rajin bisa membangun bisnis yang sukses, tetapi tidak dapat menciptakan kehidupan yang baik dengan bekerja saja. Hanya Allah yang dapat membuat semuanya berarti.

Di banyak perekonomian saat ini, pekerjaan selain bertani biasanya tidak dilakukan di dalam rumah/keluarga, tetapi di dalam organisasi-organisasi yang lebih besar. Namun, pesan Mazmur 127 berlaku di semua tempat kerja masa kini yang bersifat institusional maupun di rumahtangga-rumahtangga zaman dulu yang konvensional. Untuk berhasil, setiap tempat kerja harus menghasilkan sesuatu yang bernilai. Memberikan waktu saja tidak cukup - pekerjaan itu harus menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan orang lain.

Orang percaya mungkin dapat melakukan sesuatu yang sangat signifikan dalam hal ini. Di setiap tempat kerja, ada godaan untuk memproduksi barang-barang yang dapat menghasilkan banyak uang dengan cepat, tetapi tidak memberikan nilai yang tetap. Bisnis-bisnis dapat meningkatkan keuntungan—dalam waktu singkat—dengan menurunkan kualitas bahan. Para penjual mungkin dapat memanfaatkan ketidaktahuan pembeli dengan menjual produk-produk dan barang-barang yang meragukan. Lembaga-lembaga pendidikan dapat menawarkan kelas-kelas yang menarik para siswa tanpa mengembangkan kemampuan-kemampuan yang berguna untuk jangka panjang. Dan lain sebagainya. Semakin kita mengetahui kebutuhan sesungguhnya dari orang-orang yang menggunakan barang dan jasa kita, dan semakin kita dapat menambahkan nilai yang benar pada yang kita produksi, semakin kita dapat menolong institusi-institusi tempat kerja kita untuk melawan godaan-godaan ini. Karena nilai yang benar pada akhirnya didasarkan pada Tuhan, kita mungkin diberi kemampuan unik untuk melakukan peran ini. Namun, peran itu harus dijalankan dengan kerendahan hati dan selalu mau mendengar.Tak ada gunanya kita melontarkan pendapat-pendapat yang belum dipikirkan masak-masak sampai orang muak mendengarkan kita.

Pekerjaan Menikah, Membesarkan Anak dan Merawat Orangtua (Mazmur 127, 128, 139)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pekerjaan menikah, membesarkan anak dan merawat orangtua kembali muncul di Mazmur 127, 128 dan 139. (Pekerjaan membesarkan anak merupakan hal penting di Mazmur 113, "Berpartisipasi dalam Pekerjaan Allah (Mazmur 113)".) “Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu” (Mazmur 128:3). Suami dan istri sama-sama berperan dalam menghasilkan hal yang sangat mendasar ini —berkembangbiak! Tentu saja, istri mendapat peran yang lebih banyak/ berat dalam tugas ini daripada suami. Di dalam Alkitab, peran ini bukan peran yang dianggap remeh—tetapi dipandang sebagai peran yang esensial untuk kelangsungan hidup, dan dihormati di Israel kuno. Di samping melahirkan anak, istri-istri biasanya mengurus rumahtangga, yang meliputi urusan domestik maupun produksi komersial (Amsal 31:10-31).

Alkitab menghargai orang-orang yang melaut dan menggembalakan domba (pekerjaan tradisional laki-laki) maupun orang-orang yang mengurus rumahtangga (pekerjaan tradisional perempuan). Sekarang ini peran-peran pekerjaan tidak terlalu terbagi berdasarkan jenis kelamin—kecuali mengurus rumahtangga keluarga, yang kebanyakan masih dilakukan oleh perempuan[1]—tetapi penghargaan yang diberikan pada pernikahan dan pekerjaan-pekerjaan keluarga masih tetap berlaku.

Seperti halnya semua jenis pekerjaan—dan melahirkan anak juga pekerjaan! — melahirkan anak berasal dari Allah. “Engkaulah [Allah] yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mazmur 139:13). Demikian pula, seperti halnya pada semua jenis pekerjaan yang lain, ini berarti bahwa jika terjadi tragedi, hal itu tidak dapat dianggap sebagai hukuman Allah atau ditinggalkan Allah. Melahirkan anak adalah sebuah perwujudan anugerah umum Allah kepada manusia di seluruh dunia. Di dalam kandungan, Allah membentuk kita, dan Dia menciptakan kita untuk suatu tujuan. Hak kelahiran kita adalah melakukan pekerjaan yang berarti bagi Allah sendiri.

Kita kembali ke Mazmur 127 untuk melihat hal terakhir dari tema ini, yaitu bahwa pekerjaan keluarga mencakup merawat orang yang usianya telah membuat kemampuannya untuk bekerja menurun. “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah” (Mazmur 127:3). Di dunia kuno, orang tidak memiliki program pensiun atau asuransi kesehatan yang resmi. Ketika mereka berusia lanjut, anak laki-laki mereka memelihara mereka. (Teksnya berbicara tentang “anak laki-laki” karena biasanya anak perempuan akan menikah dan masuk ke rumahtangga keluarga suaminya). Jadi sebenarnya, anak laki-laki adalah sebuah rencana pensiun bagi pasangan suami istri, dan hal ini mengikat erat generasi-generasi itu bersama-sama.

Mungkin tampaknya terlalu kasar jika kita menilai atau menghargai tugas membesarkan anak dengan istilah ekonomi. Saat ini kita mungkin merasa lebih nyaman dengan membicarakan tentang ganjaran-ganjaran emosional dari membesarkan anak. Meskipun demikian, ayat ini menyatakan bahwa orang dewasa memerlukan anak-anak sebagaimana anak-anak membutuhkan orang dewasa, dan bahwa anak-anak adalah anugerah dari Allah, bukan beban. Hal ini juga mengingatkan kita pada semua investasi yang sudah dilakukan orangtua kita pada kita—secara emosional, fisik, intelektual, kreatif, ekonomi, dan masih banyak lagi. Ketika kita menjadi dewasa dan orangtua kita menjadi bergantung pada kita, sudah sewajarnya jika kita melakukan pekerjaan merawat orangtua. Ada banyak cara untuk melakukan hal ini. Namun, intinya hanyalah bahwa perintah Allah untuk menghormati orangtua (Keluaran 20:12) bukan hanya soal sikap, tetapi juga soal pekerjaan dan ekonomi.

Penggunaan Kekuasaan Yang Benar (Mazmur 136)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kekuasaan sangat penting dalam banyak pekerjaan, dan harus digunakan dengan benar. Mazmur 136 menjelaskan penggunaan kekuasaan yang benar dengan menunjukkan empat contoh cara Tuhan menggunakan kekuasaan.

Contoh pertama terdapat di ayat 4-9, yang menunjukkan Allah menggunakan kekuasaan untuk menciptakan dunia, “yang menjadikan langit dengan kebijaksaan…yang menghamparkan bumi di atas air” (Mazmur 136:5-6). Hal ini membawa kita kembali ke Kejadian 1— ketika Allah Pencipta memberikan dunia ini semua yang kita perlukan untuk berkembang. Namun perhatikan urutan kerja Allah di sini, yang pertama-tama membuat sistem-sistem (tanah/daratan, air/lautan, malam, siang, matahari dan bulan) yang diperlukan untuk kelangsungan hidup ciptaan-Nya yang berikutnya (tumbuh-tumbuhan, binatang darat, makhluk-makhluk yang berenang dan terbang). Allah tidak menciptakan binatang-binatang sebelum ada tanah kering (daratan) dan tumbuh-tumbuhan untuk menopang kehidupan mereka. Ketika kita memiliki kekuasaan untuk menciptakan pekerjaan atau sistem-sistem, kita menggunakan kekuasaan dengan benar ketika kita menciptakan lingkungan yang membuat kita dan orang-orang di sekitar kita tidak hanya dapat bertahan hidup, tetapi juga berkembang. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang pemeliharaan Allah atas ciptaan, lihat "Pemeliharaan (Kejadian 1:29-30; 2:8-14)" dalam Kejadian 1-11 dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.

Contoh kedua terdapat di Mazmur 136:10-15 ketika Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan di Mesir. Contoh ketiga langsung menyusul di ayat-ayat berikutnya, ketika Allah memukul kalah raja-raja Kanaan yang merintangi bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju Tanah Perjanjian (Mazmur 136:16-22). Kedua contoh ini menunjukkan pada kita bahwa Allah menggunakan kekuasaan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan menentang orang-orang yang menghalangi orang lain menerima kebaikan yang Allah maksudkan untuk mereka. Ketika pekerjaan kita membebaskan orang lain membantu menggenapi rancangan Allah atas hidup mereka, kita sedang menggunakan kekuasaan dengan benar. Ketika pekerjaan kita kembali memperbudak para pekerja atau menentang pekerjaan Allah di dalam dan melalui mereka, kita sedang menyalahgunakan kekuasaan.

Contoh keempat terdapat di akhir Mazmur 136. “Dia [Allah] yang mengingat kita dalam kerendahan kita … dan membebaskan kita dari para lawan kita… yang memberikan roti kepada segala makhluk” (Mazmur 136:23-25). Allah dengan penuh kasih mengenali kelemahan-kelemahan kita dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. Ketika kita menggunakan kekuasaan untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain, kita sedang menggunakan kekuasaan sebagaimana Allah menggunakannya.

Terakhir, dalam penggunaan kekuasaan yang benar, setiap ayat di Mazmur 136 mengingatkan kita untuk bersyukur pada Allah, “yang kasih setia-Nya untuk selama-lamanya.

Kemuliaan Tuhan di dalam Seluruh Ciptaan (Mazmur 146-150)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kelima mazmur terakhir masing-masing dimulai dengan seruan “Haleluya” (Puji Tuhan). Sebagaimana sudah ditunjukkan penyelidikan kita tentang kitab Mazmur, bekerja dimaksudkan untuk menjadi semacam bentuk pujian kepada Allah. Kelima mazmur ini menunjukkan berbagai cara pekerjaan kita dapat memuji Allah. Di dalam kesemuanya itu kita melihat bahwa pekerjaan kita didasarkan pada pekerjaan Allah sendiri. Ketika kita bekerja sesuai maksud Allah, kita mencontoh, memperluas, dan menggenapi pekerjaan Allah.

Mazmur 146

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah menegakkan keadilan bagi orang-orang tertindas (Mazmur 146:7a). Demikian pula kita, ketika kita bekerja menurut perintah-perintah Allah, dan dengan kasih karunia Allah. Allah memberi roti kepada orang-orang yang lapar (Mazmur 146:7b). Demikian pula kita. Tuhan membebaskan orang-orang yang terkurung, demikian pula para pembuat undang-undang, pengacara, hakim, dan juri. Allah membuka mata orang-orang buta, demikian pula para dokter mata, ahli kacamata, dan pembuat kacamata. Allah menegakkan orang yang tertunduk (tak bisa bangkit/berdiri sendiri), demikian pula para ahli terapi fisik, perawat, pembuat lift, dan orangtua bayi-bayi (Mazmur 146:8). Allah menjaga orang-orang asing, demikian pula para polisi dan petugas keamanan, pramugari, penjaga pantai, petugas kesehatan, dan penjaga perdamaian. Allah memelihara anak-anak yatim dan janda-janda (Mazmur 146:9), demikian pula para orangtua asuh, pramurukti, pengacara keluarga dan petugas pelayanan masyarakat, perancang keuangan, dan pekerja di sekolah berasrama. Haleluya. Puji Tuhan! (Mazmur 146:10).

Mazmur 147

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah mengumpulkan orang yang tercerai-berai (Mazmur 147:2), begitu pula Sisters of Charity, para pengajar di lembaga pemasyarakatan, dan para penggerak masyarakat. Dia menyembuhkan orang-orang yang patah hati (Mazmur 147:3), begitu pula para konselor kedukaan, biro jodoh, pelawak, dan penyanyi lagu-lagu sendu. Dia menentukan jumlah bintang dan menyebutkan nama-nama semuanya (Mazmur 147:4), begitu pula para astronom, navigator, dan pendongeng. Dia berlimpah kekuatan (Mazmur 147:5a), begitu pula para presiden, ketua, laksamana, orangtua, dan tahanan politik yang menjadi negarawan. Dia memiliki kebijaksanaan tak terhingga (Mazmur 147:5b), begitu pula para profesor, penyair, pelukis, masinis, operator sonar, dan orang-orang dengan autisme yang memberi kemampuan luar biasa untuk berkonsentrasi pada hal-hal detail. Dia menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, begitu pula para aktivis HAM dan pendonor, dan Dia mematahkan kekuasaan orang jahat, begitu pula para jaksa wilayah, pelapor pelanggaran, dan semua orang yang menjauhi gosip dan membela rekan kerja yang diperlakukan tidak adil (Mazmur147:6).

Allah menyiapkan bumi menghadapi cuaca mendatang (Mazmur 147:8), begitu pula para ahli meteorologi dan geofisika, peneliti iklim, arsitek dan ahli bangunan, serta pengatur lalu lintas udara. Dia memberi makan binatang-binatang (Mazmur 147:9), begitu pula para peternak, gembala serta anak-anak di pedesaan. Dia memperkuat palang pintu gerbang, melindungi anak-anak, dan menjaga perdamaian di perbatasan (Mazmur 147:13-14a), begitu pula para insinyur, tentara, petugas bea cukai, dan diplomat. Dia menyajikan makanan terbaik (Mazmur 147:14b), begitu pula para juru masak, koki, pembuat roti, pembuat anggur, pembuat bir, petani, ibu rumahtangga dan pengurus rumahtangga ganda (kebanyakan wanita), pembuat resep masakan, pedagang bahan makanan, supir truk angkutan, dan juga pramusaji, penjaga kafetaria, dan koki masakan beku. Dia memberitakan firman-Nya—ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum-Nya (Mazmur 147:19). Haleluya. Puji Tuhan! (Mazmur 147:20).

Mazmur 148

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berbeda dengan Mazmur 146, 147, dan 149, Mazmur 148 dan 150 tidak menggambarkan Allah yang bekerja, tetapi langsung melompat ke respons pujian kita atas pekerjaan yang telah Dia lakukan. Mazmur 148 berbicara tentang ciptaan Allah, seolah-olah keberadaan ciptaan itu merupakan puji-pujian bagi Allah.“Pujilah Tuhan di bumi, hai ular-ular naga dan segenap samudera raya; hai api dan hujan es, salju dan kabut, angin badai yang melakukan firman-Nya; hai gunung-gunung dan segala bukit, pohon buah-buahan dan segala pohon aras: hai binatang-binatang liar dan segala hewan, binatang melata dan burung-burung yang bersayap” (Mazmur 148:7-10). Ciptaan-Nya membuat pekerjaan kita berhasil, maka sudah sepatutnya kita mempersembahkan seluruh pekerjaan yang kita lakukan sebagai puji-pujian bagi Dia. “Hai teruna dan anak-anak dara, orang tua dan orang muda! Biarlah semuanya memuji-muji TUHAN” (Mazmur 148:12-13). Haleluya. Puji Tuhan! (Mazmur 148:14).

Mazmur 149

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tuhan senang dengan nyanyian, tarian, dan alat-alat musik (Mazmur 149:2-3), seperti juga para musisi, penari, penggubah nyanyian, penulis lagu, koreografer, komposer musik film, pustakawan musik, guru musik, pekerja badan seni dan donatur, anggota paduan suara, terapis musik, peserta band, paduan suara dan orkestra, pembuat aplikasi studio musik, penyanyi yodel, pekerja yang menyanyi sambil bekerja, produser dan pengorbit musik, YouTuber, disjoki, pembuat lirik lagu, pembuat audio, penyetem piano, pembuat kalimba/perkusi, ahli akustik, pembuat aplikasi musik, dan semua orang yang menyanyi di kamar mandi. Mungkin tidak ada bentuk pekerjaan manusia yang lebih universal, namun lebih beragam, selain penghasil musik, dan semua itu berasal dari kecintaan Allah sendiri terhadap musik.

Tuhan berkenan pada umat-Nya (Mazmur 149:4a), sebagaimana juga semua pemimpin yang baik, anggota keluarga, petugas kesehatan mental, pendeta, tenaga penjualan, pemandu wisata, pelatih, perancang pesta, dan semua orang yang melayani orang lain. Jika situasi-situasi atau sistem-sistem yang menekan membuat orang tidak dapat merasakan kesenangan yang sehat terhadap orang lain, Tuhan menakhlukkan para penindas dan memperbarui sistem-sistem (Mazmur 149:4b-9a), sebagaimana juga para tokoh pembaruan masyarakat dan perusahaan, jurnalis, orang-orang biasa yang menolak menerima status quo, psikolog organisasi dan pakar sumber daya manusia, dan—jika kondisinya ekstrem dan tidak ada jalan lain—para tentara, angkatan laut, angkatan udara, dan para komandannya. Ketika keadilan dan pemerintahan yang baik dipulihkan, musik dapat dikumandangkan kembali (Mazmur 149:6). Haleluya. Puji Tuhan! (Mazmur 149:9b).

Mazmur 150

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mazmur terakhir kembali ke musik sebagai respons kita terhadap “perbuatan-perbuatan dahsyat” Allah, yang menjadi dasar seluruh aktivitas dan pekerjaan kita. Pujilah Allah dengan terompet, seruling, kecapi, rebana, ceracap, sangkakala, canang—yang berdentang maupun yang bergemerincing—dan menarilah. Sebagai klimaks dari lima nyanyian yang penuh dengan pekerjaan, dan sebagai penutup akhir dari seluruh kumpulan mazmur, Mazmur 150 memberikan kesan bahwa musik sungguh merupakan pekerjaan yang sangat penting. Namun, bukan untuk kepentingan musik itu sendiri, melainkan karena musik dapat membuat kita memuji Tuhan dengan lebih baik. Kita dapat mengartikan hal ini secara harfiah maupun secara metaforis. Secara harfiah, kita bisa menghargai musik, tarian, dan kesenian lainnya agak lebih tinggi dari yang biasa dilakukan komunitas Kristen yang tidak selalu menerima musik (selain dalam batas-batas yang sempit) dan kesenian (apalagi). Atau setidaknya, kita bisa lebih menghargai musik dan kesenian kita sendiri. Jika kita tampaknya tak bisa mencari waktu untuk mengekspresikan kreativitas seni kita sendiri, mungkinkah kita sedang kehilangan nilai dan arti dari nyanyian-nyanyian yang Allah taruh di hati kita?

Secara metaforis, mungkinkah ini berarti Mazmur 150 sedang mengajak kita untuk melakukan pekerjaan kita seakan-akan pekerjaan itu sejenis musik? Kita semua bisa menjalani relasi-relasi kita dengan lebih harmonis, mengatur ritme bekerja dan beristirahat dengan lebih seimbang, dan mulai memerhatikan keindahan dari pekerjaan yang kita lakukan dan orang-orang yang bekerja bersama kita. Jika kita dapat melihat keindahan dalam pekerjaan kita, akankah hal itu membantu kita dalam mengatasi tantangan-tantangan pekerjaan, seperti godaan etika, kebosanan, relasi yang buruk, kekecewaan, dan produktivitas yang menurun pada saat tertentu? Sebagai contoh, bayangkan Anda sangat kecewa dengan atasan Anda sampai Anda tergoda untuk tidak lagi melakukan pekerjaan Anda dengan baik. Apakah akan menolong jika Anda dapat melihat keindahan pekerjaan Anda di luar relasi Anda dengan atasan Anda? Keindahan seperti apa yang dibawa pekerjaan Anda ke dunia? Keindahan apa yang Allah lihat dari yang Anda kerjakan? Apakah itu cukup untuk menopang Anda pada masa-masa sulit atau menuntun Anda untuk melakukan perubahan-perubahan yang perlu Anda lakukan dalam pekerjaan Anda atau cara Anda melakukannya?

Namun, bagaimana pun cara kita memandang pekerjaan kita, Allah mau pekerjaan kita itu untuk memuji Dia. 150 mazmur dalam Alkitab mencakup semua aspek kehidupan dan pekerjaan mulai dari teror yang paling mengerikan sampai harapan yang paling menggembirakan. Sebagian berbicara tentang kematian dan keputusasaan, sebagian lainnya berbicara tentang kemakmuran dan pengharapan. Namun, kesimpulan akhir dari kitab Mazmur adalah pujian. “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! Haleluya" (Mazmur 150:6).

Introduksi Kitab Amsal

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa perbedaan antara cerdas dan bijak/bijaksana? Hikmat/kebijaksanan itu melebihi pengetahuan. Hikmat lebih dari sekadar katalog fakta-fakta. Hikmat adalah pengertian yang mumpuni tentang kehidupan, seni kehidupan praktis, dan kecakapan dalam membuat keputusan. Kitab Amsal menantang kita untuk memperoleh pengetahuan, menerapkannya dalam hidup kita, dan membagikan hikmat yang kita peroleh kepada orang lain.

Dari mana kita bisa memperoleh hikmat? Kitab ini menegaskan bahwa hikmat melampaui pengetahuan tapi harus dimulai dengan pengetahuan tentang amsal.[1] “Amsal-amsal Salomo putra Daud, raja Israel, untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna” (Amsal 1:1-2). (Terjemahan Alkitab bahasa Inggris versi NRSV “learning about wisdom and instruction” - mempelajari hikmat dan didikan - mengabaikan sifat pengalaman yang sangat penting pada kata Ibrani da'at dan akar katanya, yada, yang diungkapkan dengan tepat dalam Alkitab versi NIV dengan “gaining wisdom and instruction” – memperoleh hikmat dan didikan). Untuk memperoleh hikmat, pengetahuan harus dicampur atau disertai dengan “takut akan TUHAN.”[2] "Takut" (Ibrani: yare) akan TUHAN sering digunakan dalam Perjanjian Lama sebagai sinonim "menjalani hidup sebagai respons terhadap Allah." Kitab Amsal menyatakan bahwa "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian” (Amsal 9:10). Pengetahuan/pengertian tanpa komitmen kepada Tuhan akan menjadi sia-sia saja bagaikan semen tanpa air yang tak bisa menjadi mortar. Secara paradoks, menerima perkataan amsal dengan iman ke dalam hati akan menghasilkan takut akan TUHAN. “Hai anakku, jikalau engkau menerima perkataanku dan menyimpan perintahku dalam hatimu … , maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah” (Amsal 2:1, 5).

Hikmat yang sejati bagi orang Kristen mencakup seluruh pewahyuan tentang Allah, terutama yang dikenal dalam diri AnakNya, Tuhan Yesus Kristus. Dimulai dengan pemahaman tentang siapa Tuhan itu, apa yang telah Dia perbuat, dan apa yang Dia inginkan untuk kita dan dunia yang kita diami. Ketika kita bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, kita belajar bagaimana bekerja sama dengan Dia ketika Dia menopang dan menebus dunia. Hal ini sering membuat kita makin berbuah, dalam hal-hal yang memberkati diri kita sendiri maupun menolong orang lain. Kita makin memuliakan Tuhan di tengah kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari. “Takut akan TUHAN mendatangkan hidup, maka orang bermalam dengan puas, tanpa ditimpa malapetaka” (Amsal 19:23).

Menurut kitab Amsal, memperoleh hikmat juga menjadikan kita lebih baik, dan sebaliknya. Kita belum betul-betul memperoleh hikmat jika kita belum menerapkannya dalam hidup kita. “Orang bijak berhati-hati dan menjauhi kejahatan” (Amsal 14:16). “Mulut orang benar mengeluarkan hikmat” (Amsal 10:31). Amsal mengantisipasi nasihat Yesus yang berbunyi, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10:16). Hikmat berasal dari Tuhan. “Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, Aku memimpin engkau di jalan yang lurus,” kata TUHAN (Amsal 4:11). Di dalam Amsal, mental dan moral menyatu, dan hikmat mencerminkan kebenaran bahwa Allah yang baik masih berkuasa.

Kitab Amsal juga memperingatkan orang-orang yang abai bertumbuh dalam hikmat. Hikmat, yang di dalam kitab ini dipersonifikasikan sebagai seorang perempuan,[3] berkata. “Siapa mendapatkan aku, mendapatkan hidup, dan TUHAN berkenan kepadanya. Tetapi siapa tidak mendapatkan aku, merugikan dirinya; semua orang yang membenci aku, mencintai maut" (Amsal 8:35-36). Hikmat membawa kehidupan yang lebih baik, lebih penuh. Kekurangan hikmat mengurangi (kualitas) hidup dan pada akhirnya membawa kepada kematian.

Kitab Amsal lebih lanjut mengatakan bahwa hikmat yang kita peroleh bukan untuk diri kita sendiri saja, tetapi untuk dibagikan kepada orang lain juga, “untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda” (Amsal 1:4). Amsal 9:9 merekomendasikan kita untuk “memberi nasihat kepada orang bijak” dan “mengajar orang benar.” Amsal 26:4-5 menasehatkan pembaca bagaimana berbagi hikmat dengan orang bodoh. Kita berbagi hikmat bukan cuma dengan mengajar, tetapi juga melalui cara hidup yang bijak, yang membagikan hikmat kepada orang-orang yang melihat kita dan mengikuti teladan kita. Hal sebaliknya juga terjadi. Jika kita hidup dengan bodoh, orang lain bisa tergoda untuk melakukan kebodohan yang sama, dan kita tidak hanya merugikan diri kita sendiri, tetapi orang lain juga. Seringkali, kemajuan dalam kehidupan pekerjaan kita membuat kita makin terlihat, dan dampak hikmat atau kebodohan kita akan makin memengaruhi banyak orang. Dengan berjalannya waktu, ini bisa membawa konsekuensi yang sangat besar, karena “ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut” (Amsal 13:14).

Tentang Kitab Amsal

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di wilayah Timur Dekat kuno, para penguasa sering menugaskan orang-orang bijak untuk mengumpulkan hikmat yang disetujui bangsa mereka untuk diajarkan kepada orang-orang muda yang memasuki pekerjaan atau pelayanan publik di istana kerajaan.[1] Kata-kata bijak ini, yang disaring dari pengamatan tentang kehidupan dan realitas pengalaman manusia, menjadi “bahan pelajaran” bagi generasi-generasi mendatang yang sedang mencapai kedewasaan. Tetapi kitab Amsal menyatakan bahwa Raja Salomo sendiri yang menjadi penulis utamanya (Amsal 1:1) dan bahwa pengilhamannya berasal dari Tuhan. “TUHANlah yang memberi hikmat; dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian” (Amsal 2:6). Kitab ini menuntut iman kepada Tuhan, bukan pada pengalaman manusia.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5). “Janganlah engkau menganggap dirimu bijak; takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan” (Amsal 3:7). Buku-buku pegangan lain dari wilayah Timur Dekat kuno menyiratkan atau menganggap hikmat yang mereka ajarkan berasal dari Allah, tetapi kitab Amsal dengan sangat tegas menyebutkan bahwa hikmat itu semata-mata dan secara langsung datang dari Allah.[2] Inti pesan kitab ini adalah bahwa hikmat yang sejati didasarkan pada relasi kita dengan Allah: kita tidak dapat memperoleh hikmat yang sejati tanpa memiliki relasi yang hidup dengan Tuhan.

Maka, amsal-amsal dalam kitab ini bukan sekedar perihal akal sehat atau nasihat yang baik; yang diajarkan pada kita juga bukan cuma hubungan antara perbuatan kita dengan tujuan akhir kita, tetapi juga bagaimana menciptakan masyarakat yang damai dan makmur di dalam Tuhan, Sumber hikmat sejati itu.

Bersamaan dengan itu, pepatah-pepatah singkat nan bernas yang kita sebut amsal ini adalah generalisasi atau proses penalaran yang membentuk kesimpulan umum tentang kehidupan, bukan janji-janji yang diatomisasi (diurai). Allah bekerja melalui amsal-amsal itu memimpin jalan pikiran kita, tetapi kita harus hati-hati agar tidak “melempar dadu” dan menganggap amsal-amsal itu sebagai kantong-undian berisi kue keberuntungan. Tidak ada amsal tersendiri yang dapat dianggap mengungkapkan seluruh kebenaran; amsal itu harus diberi nuansa (dilengkapi dan disesuaikan dengan) konteks seluruh kitab yang lebih luas.[3] Hanya orang bodoh yang membaca amsal “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Amsal 22:6), lalu menyimpulkan bahwa seorang anak adalah robot yang diprogram. Amsal itu mengajarkan bahwa didikan orangtua itu berpengaruh, tetapi amsal itu juga harus dilengkapi dan disesuaikan dengan amsal-amsal lain yang mengakui bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri, seperti, “Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu, akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali” (Amsal 30:17). Untuk memahami amsal-amsal, kita perlu merajut pakaian hikmat dari seluruh kumpulan amsal. Untuk memperoleh hikmat dari kitab Amsal, kita perlu belajar seumur hidup.

Ini bukan hal yang mudah. Beberapa amsal saling bertentangan satu sama lain, meskipun tidak secara frontal. Amsal-amsal lainnya disampaikan secara ambigu yang membuat pembaca perlu memikirkan sejumlah interpretasi yang mungkin. Perhatian yang cermat juga harus diberikan kepada siapa yang dituju dari penyampaian amsal itu. “Janganlah menyukai tidur” (Amsal 20:13) adalah amsal yang ditujukan kepada semua anak-anak Allah (lihat Amsal 1:4-5), tetapi jaminan bahwa, “Engkau akan berbaring dan tidur nyenyak” (Amsal 3:24) ditujukan kepada orang yang tidak membiarkan pertimbangan dan kebijaksanaan menjauh dari pandangannya (Amsal 3:21). Kitab Amsal tidak terbatas pada waktu, tetapi penerapan amsal-amsalnya harus tepat pada waktunya, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Ayub (lihat Ayub dan Kerja di https://www.teologikerja.org/). Amsal adalah batu-batu uji dalam pengembangan kebajikan yang lambat dan memerlukan waktu lama untuk memahaminya. “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan -- untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan orang bijak dan teka-teki mereka” (Amsal 1:5-6).

Kitab Amsal berisi tujuh pengelompokan atau kompilasi amsal. Kompilasi 1 (Amsal 1:1-9:18) berisi pengajaran-pengajaran yang dikembangkan untuk menyiapkan hati para murid menerima pepatah-pepatah bernas di kompilasi-kompilasi berikutnya. Kompilasi 2 (Amsal 10:1-22:16) adalah “amsal-amsal Salomo.” Kompilasi 3 (Amsal 22:17-24:22) berisi “perkataan orang bijak,” yang kemungkinan diadopsi dan diadaptasi oleh Salomo[4] dan Kompilasi 4 (Amsal 24:23-34) mengembangkannya dengan tambahan “amsal-amsal orang bijak” lainnya. Kompilasi 5 (Amsal 25:1-29:27) berisi “amsal-amsal Salomo yang dikumpulkan pegawai-pegawai Hizkia, dari Yehuda”, dengan menelusuri dokumen-dokumen kuno dari zaman Salomo. (Hizkia memerintah sekitar 300 tahun setelah Salomo). Kompilasi 6 (Amsal 30:1-33) dan Kompilasi 7 (Amsal 31:1-31) dikaitkan, secara berurutan, dengan Agur dan Lemuel, yang tidak terlalu dikenal orangn.[5]Hasil akhirnya adalah sebuah karya yang berisi peribahasa, nasihat, pengajaran dan peringatan, yang disusun sebagai buku pegangan bagi kaum muda yang memulai kehidupan pekerjaan mereka, dan bagi orang-orang dari segala usia untuk menantang mereka mencari hikmat Tuhan (Amsal 1:2-7).

Amsal paling sering dipasangkan secara kontras: kerajinan vs. kemalasan, kejujuran vs. ketidakjujuran, perencanaan vs. keputusan yang dibuat tergesa-gesa, berlaku adil vs. mengambil keuntungan dari yang lemah, mencari nasihat yang baik vs. kecongkakan, dst. Kitab Amsal paling banyak berbicara tentang perkataan yang bijak daripada topik-topik lainnya, dengan jumlah terbanyak kedua berupa amsal-amsal yang berbicara tentang pekerjaan dan korelasinya, yaitu uang. Meskipun kitab ini dibagi menjadi tujuh kompilasi amsal sebagaimana disebutkan di atas, amsal-amsal dalam kompilasi-kompilasi ini sering berputar kembali membahas topik yang sama berulang kali. Karena alasan itu, tulisan ini akan membahas pengajaran yang terkait-pekerjaan berdasarkan topik dan bukan menelusuri setiap kompilasi secara berurutan. Daftar ayat-ayat, dengan tautan ke bagian pembahasan topiknya, dapat ditemukan di akhir tulisan ini. Daftar ini dimaksudkan untuk membantu pembaca menemukan lokasi ayat atau perikop tertentu yang dibahas, bukan untuk mendorong pembaca membaca ayat-ayat itu secara tersendiri.

Satu tindakan penerapan yang didapati bermanfaat bagi banyak orang Kristen di tempat kerja adalah dengan membaca satu pasal setiap hari, sesuai urutan tanggal/hari bulan itu. (Kitab Amsal terdiri dari 31 pasal). Banyak topik dalam kitab Amsal dibahas oleh beberapa amsal yang tersebar di seluruh kitab, yang artinya setiap topik akan dijumpai beberapa kali pada hari-hari yang berbeda setiap bulannya. Perjumpaan yang berulang-ulang ini membantu proses belajar. Selain itu, penerimaan kita terhadap topik-topik juga bisa berubah sesuai yang sedang terjadi dalam hidup kita. Karena situasi kita terus berubah sepanjang bulan, topik yang tidak menarik perhatian kita pada hari tertentu bisa menjadi bermakna pada hari yang lain. Dengan berjalannya waktu, kita bisa memperoleh lebih banyak hikmat daripada jika kita hanya menjumpai setiap topik satu kali saja. Sebagai contoh, pada tanggal 14 bulan tertentu Anda membaca Amsal pasal 14, tetapi Anda mungkin tidak memerhatikan topik tentang penindasan terhadap orang miskin di ayat 31 (“Siapa menindas orang yang lemah menghina Penciptanya”). Tetapi dalam bulan itu Anda mungkin lalu melihat orang jalanan, atau membaca berita tentang kemiskinan, atau mengalami kekurangan uang sendiri. Anda mungkin jadi tertarik untuk memerhatikan topik itu ketika hal itu muncul lagi pada tanggal 17 (“Siapa mengolok-olok orang miskin menghina Penciptanya,” Amsal 17:5), atau tanggal 21 (“Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban kalau ia sendiri berseru-seru,” Amsal 21:13), atau tanggal 22 (“Janganlah merampasi orang lemah karena ia lemah,” Amsal 22:22), atau tanggal 28 (“Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan laba, mengumpulkan itu untuk orang yang berbelas kasihan kepada orang lemah,” Amsal 28:8). Lagipula, topik yang dibingkai secara agak berbeda setiap kali memberi kesempatan pengulangan itu memberi perspektif yang lebih mendalam.

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perhatian utama kitab ini adalah panggilan untuk hidup dengan takut akan Allah. Panggilan ini mengawali (Amsal 1:7), mewarnai (Amsal 9:10), dan mengakhiri kitab Amsal (Amsal 31:30). Amsal-amsal ini mengatakan pada kita bahwa kebiasaan kerja yang baik memuliakan Allah, mengembangkan karakter yang dibentuk oleh takut akan Allah, dan biasanya akan mengantar kepada kemakmuran. Bahkan, takut akan TUHAN secara langsung disamakan sebagai hikmat. “Engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah. Karena TUHANlah yang memberi hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian” (Amsal 2:5-6).

Dengan kata lain, amsal-amsal dimaksudkan untuk membentuk karakter Allah (saleh) dalam diri orang yang membacanya. Inilah sebabnya banyak amsal secara eksplisit mendasarkan dirinya pada karakter Allah, yang ditunjukkan dengan apa yang dibenci Allah maupun yang berkenan kepada-Nya:

Enam perkara ini yang dibenci TUHAN… (Amsal 6:16).
Neraca yang curang menjijikan bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat. (Amsal 11:1)
Mata TUHAN ada di segala tempat. (Amsal 15:3)

Karakter saleh—yaitu hikmat—sangat penting dalam seluruh kehidupan, termasuk pekerjaan. Pandangan sekilas terhadap kitab Amsal menunjukkan bahwa kitab ini memiliki banyak hal yang bisa dikontribusikan pada pekerjaan. Banyak amsal berbicara langsung tentang aktivitas-aktivitas dunia kerja di wilayah Timur Dekat kuno, seperti pertanian, peternakan, pembuatan tekstil dan pakaian, perdagangan, transportasi, militer, pemerintahan, pengadilan, membangun rumah tangga, membesarkan anak, pendidikan, pembangunan, dan lain-lain. Uang—yang berkaitan erat dengan pekerjaan—juga menjadi topik yang menonjol. Banyak amsal lain berbicara tentang topik-topik yang secara signifikan diterapkan pada pekerjaan, seperti kehati-hatian, kejujuran, keadilan, wawasan dan relasi yang baik.

Perempuan Pemberani (Amsal 31:10-31)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hubungan yang menakjubkan antara kitab Amsal dengan dunia kerja terlihat di bagian akhir. (Perempuan) Hikmat/Bijak, yang kita jumpai di awal kitab (Amsal 1:20-33, 8:1-9:12), muncul lagi dalam pakaian sehari-hari di dalam 22 ayat terakhir kitab ini (Amsal 31:10-31) sebagai seorang perempuan yang hidup dan bernapas, yang disebut “the virtuous woman” - perempuan berbudi luhur (dalam Alkitab bahasa Inggris versi KJV). Beberapa penerjemah memakai kata “istri” dan bukan “perempuan” kemungkinan karena suami dan anak-anak perempuan itu disebutkan juga dalam ayat-ayat itu. (Baik “istri” maupun “perempuan” sama-sama merupakan terjemahan yang mungkin dari kata Ibrani ishshah). Ia jelas menemukan kepenuhan dalam keluarganya dan memastikan “suaminya dikenal di pintu gerbang, ketika duduk bersama para tua-tua negeri” (Amsal 31:23). Tetapi teks ini berfokus pada pekerjaan perempuan itu sebagai seorang wirausaha dengan industri rumahan dan para pembantu/pekerja yang dikelolanya (Amsal 31:15).[1] Amsal 31:10-31 tidak hanya untuk diterapkan di tempat kerja; tetapi memang terjadi di tempat kerja.

Jadi, kitab Amsal dirangkum dalam sebuah puisi yang memuji-muji seorang perempuan yang adalah manajer bijak dari berbagai bidang usaha, mulai dari menenun, membuat anggur minuman, sampai berdagang di pasar. Para penerjemah memakai kata yang berbeda-beda untuk menggambarkan karakter perempuan di Amsal 31:10 ini, seperti “virtuous” - berbudi luhur (KJV), “capable” – cakap (NRSV, LAI), “excellent” – sempurna (NASB), atau “of noble character” -berkarakter mulia (NIV). Tetapi kata-kata ini tidak mencakup unsur kekuatan atau keperkasaan yang ada pada akar kata Ibraninya (chayil). Jika diterapkan pada laki-laki, kata chayil ini diterjemahkan menjadi “kekuatan,” seperti di Amsal 31:3. Dari 246 kali kemunculannya di Perjanjian Lama, kata ini sebagian besar diterapkan pada laki-laki yang berperang (seperti, “pejuang-pejuang yang gagah perkasa” pada zaman Daud, 1 Tawarikh 7:2). Para penerjemah cenderung melemahkan unsur kekuatan ini jika kata chayil diterapkan pada perempuan, seperti pada Rut, yang dalam terjemahan Alkitab bahasa Inggris menjadi “noble” (NIV, TNIV), “virtuous” (NRSV, KJV) atau “excellent” (NASB). Padahal kata yang digunakan itu sama, entah diterapkan pada laki-laki maupun perempuan. Saat menggambarkan perempuan di Amsal 31:10-31 ini, arti yang dianggap paling tepat adalah kuat atau berani, seperti yang ditunjukkan lebih lanjut di Amsal 31:17, “Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya.” Al Wolters berpendapat, mengingat kata itu sangat berkaitan dengan perang/perjuangan, maka terjemahan yang paling tepat adalah “Valiant Woman” - Perempuan Pemberani.[2] Karena itu, kita akan menyebut wanita di Amsal 31:10-31 ini sebagai “Perempuan Pemberani” yang mencakup makna kekuatan maupun kebajikan yang terkandung dalam kata Ibrani chayil.

Bagian penutup kitab Amsal mencirikan perempuan perkasa ini sebagai pekerja yang bijak dalam lima rangkaian tindakan di dunia kerjanya. Bagian yang sangat penting ini ditonjolkan dengan dua cara. Pertama, ditulis dalam bentuk puisi akrostik, yang artinya baris-baris puisi itu dimulai dengan 22 huruf abjad Ibrani, secara urut, yang membuatnya mudah diingat. Kedua, ditempatkan sebagai klimaks dan rangkuman seluruh kitab. Oleh karena itu, kelima rangkaian tindakan yang kita amati pada Perempuan Pemberani ini akan menjadi kerangka kerja kita dalam mempelajari seluruh kitab Amsal.

Bagi sebagian orang di Timur Dekat kuno, dan juga bagi sebagian orang masa kini, menggambarkan seorang perempuan sebagai model wiraswasta yang bijak sungguh mengherankan. Meskipun faktanya Allah sama-sama memberikan karunia bekerja kepada laki-laki maupun perempuan secara setara (Kejadian 1 dan 2), pekerjaan perempuan seringkali dianggap lebih rendah dan diperlakukan kurang bermartabat dibandingkan pekerjaan laki-laki. Dari contoh kitab ini, kita akan menyebut pekerja yang bijak ini sebagai ia (perempuan), dengan memahami bahwa hikmat Allah disediakan sama bagi laki-laki maupun perempuan. Ia (she) dalam kitab ini menjadi semacam peneguhan tentang martabat dari setiap orang yang bekerja.

Sebagaimana yang selalu disampaikan kitab Amsal, jalan hikmat berasal dari takut akan Tuhan. Setelah semua kecakapan dan kebajikan Perempuan Pemberani dijelaskan dan dihargai, sumber hikmatnya pun diungkapkan. “Isteri (perempuan) yang takut akan TUHAN dipuji-puji” (Amsal 31:30).

Pekerja Yang Bijak Dapat Dipercaya (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ciri pertama jalan hikmat yang dipersonifikasikan dalam diri Perempuan Pemberani adalah dapat dipercaya. “Hati suaminya percaya padanya” (Amsal 31:11). Sifat dapat dipercaya adalah dasar hikmat dan kebajikan. Allah menciptakan manusia untuk bekerja sama dengan satu sama lain (Kejadian 2:15), tetapi tanpa kepercayaan, hal ini tak mungkin terjadi. Kepercayaan memerlukan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika, yang dimulai dengan kesetiaan dalam relasi-relasi kita. Apa saja implikasi sifat dapat dipercaya yang digambarkan dalam kitab Amsal ini di dunia kerja?

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Setia pada Tanggung Jawab Yang Dipercayakan padanya (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Peryaratan pertama dari dapat dipercaya adalah pekerjaan kita membawa kebaikan bagi orang-orang yang memercayai kita. Perempuan Pemberani bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang-orang di sekitarnya. Pekerjaannya membawa manfaat bagi pelanggannya (Amsal 31:14), komunitasnya (Amsal 31:20), keluarga intinya (Amsal 31:12,28) dan rekan-rekan kerjanya (Amsal 31:15). Dalam perekonomian Timur Dekat Kuno, bidang-bidang tanggung jawab ini semuanya menyatu dalam entitas ekonomi yang disebut “rumah tangga.” Seperti yang terjadi di banyak bagian dunia saat ini, banyak orang juga bekerja di tempat yang sama dengan tempat tinggal mereka. Sebagian anggota rumah tangga bekerja sebagai juru masak, tukang bersih-bersih, perawat/pengasuh, atau pengrajin kain, pandai besi, tukang kayu atau batu di ruangan-ruangan dalam rumah keluarga itu sendiri. Sebagian lainnya bekerja di ladang-ladang di dekat/luar rumah sebagai petani, penggembala atau buruh. “Rumah tangga” itu merujuk pada seluruh usaha produktif yang kompleks, juga merujuk pada keluarga besar, para pekerja yang dibayar, dan mungkin juga para budak yang bekerja dan tinggal di sana. Sebagai pengelola/ manajer rumah tangga, Perempuan Pemberani itu sangat mirip dengan seorang wirausaha atau eksekutif senior masa kini. Ketika ia “mengawasi segala urusan rumah tangganya” (Amsal 31:27), ia sedang memenuhi kewajiban yang dipercayakan padanya terhadap orang-orang yang bergantung pada usaha/pekerjaannya.

Ini tidak berarti kita tidak boleh bekerja untuk kepentingan diri sendiri juga. Kewajiban Perempuan Pemberani pada keluarganya dibalas dengan kewajiban keluarganya kepadanya. Ia patut mendapat bagian dari keuntungan usahanya untuk dipakainya bagi kepentingan diri sendiri. Perikop ini mengajarkan anak-anak dan suaminya serta seluruh masyarakat untuk menghargai dan memujinya. “Anak-anaknya bangun dan menyebutnya berbahagia; suaminya pun memuji dia…. Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang” (Amsal 31:28, 31).

Kewajiban yang dipercayakan pada kita tidak boleh membuat kita merugikan pemberi kerja atau majikan kita dalam usaha kita memenuhi kebutuhan sendiri. Kita mungkin berselisih dengan mereka atau mencoba menentang perlakuan mereka terhadap kita, tetapi kita tak boleh merugikan mereka. Sebagai contoh, kita tidak boleh mencuri (Amsal 29:24), merusak (Amsal 18:9) atau memfitnah (Amsal 10:18) agar dapat menyampaikan keluhan kita. Beberapa penerapan ini sangat jelas. Kita tidak boleh membebankan pada klien untuk jam-jam yang sebenarnya kita tidak bekerja. Kita tidak boleh merusak properti perusahaan atau menuduh majikan kita secara tidak benar. Merefleksikan prinsip ini akan membawa kita kepada implikasi dan pertanyaan yang lebih dalam. Apakah boleh mengacaukan produktivitas atau keharmonisan organisasi dengan tidak membantu saingan-saingan internal kita? Apakah akses untuk mendapat keuntungan pribadi—perjalanan, hadiah, barang dagangan gratis dan semacamnya— membuat kita mengarahkan bisnis ke pemasok tertentu dengan mengorbankan kepentingan terbaik perusahaan kita? Saling memenuhi yang menjadi kewajiban pekerja dan pemberi kerja merupakan persoalan yang serius.

Kewajiban yang sama berlaku pada organisasi yang memiliki kewajiban terhadap organisasi lain. Suatu perusahaan boleh saja bernegosiasi dengan pelanggannya untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Tetapi perusahaan tidak boleh mengambil keuntungan itu secara diam-diam, seperti yang dilakukan beberapa bank investasi ketika mereka menginstruksikan perwakilannya untuk merekomendasikan obligasi hipotek yang dijaminkan (CMO) sebagai investasi yang solid kepada nasabah, sementara pada saat yang sama menjual CMO itu dengan harapan nilainya akan turun.[1]

Takut akan Tuhan adalah standar yang diterapkan terhadap tanggung jawab yang dipercayakan. “Janganlah engkau menganggap dirimu bijak; takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan” (Amsal 3:7). Semua orang tergoda untuk melayani diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Itu adalah akibat dari Kejatuhan. Tetapi amsal ini berkata bahwa takut akan Tuhan—mengingat kebaikan-Nya pada kita, pemeliharaan-Nya atas segala sesuatu, dan keadilan-Nya ketika kita merugikan orang lain—akan menolong kita memenuhi kewajiban kita pada orang lain.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kejujuran adalah aspek lain dari sifat dapat dipercaya yang penting. Sedemikian pentingnya sampai sebuah amsal menyamakan kebenaran dengan hikmat itu sendiri. “Belilah kebenaran, dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian” (Amsal 23:23). Kejujuran itu terdiri dari mengatakan kebenaran maupun melakukan kebenaran.

Perkataan Yang Jujur

Amsal pasal 6 berisi daftar yang terkenal tentang tujuh hal yang dibenci Allah. Dua dari tujuh hal tersebut adalah bentuk ketidakjujuran: “lidah dusta” dan “seorang saksi dusta yang meniupkan kebohongan” (Amsal 6:16-19). Di sepanjang kitab Amsal, pentingnya mengatakan kebenaran selalu dikumandangkan.

Dengarlah, karena aku akan mengatakan hal-hal yang mulia dan akan membuka bibirku tentang hal-hal yang benar. Karena lidahku mengatakan kebenaran, dan kefasikan itu menjijikkan bagi bibirku. (Amsal 8:6-7)
Saksi yang setia menyelamatkan hidup, tetapi siapa meniupkan kebohongan adalah pengkhianat. (Amsal 14:25).
Memperoleh harta benda dengan lidah dusta adalah uap yang lenyap dari orang yang mencari maut. (Amsal 21:6)
Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang meniupkan kebohongan tidak akan terlepas. (Amsal 19:5)
Jangan menjadi saksi terhadap sesamamu tanpa sebab, dan menipu dengan bibirmu. (Amsal 24:28)
Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa memfitnah, dialah orang bebal. Dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, ia berakal budi. (Amsal 10:18-19)
Siapa mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil, tetapi saksi dusta menyatakan tipu daya. Ada orang yang mulutnya lancang seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan. Bibir kebenaran tetap untuk selama-lamanya, tetapi lidah dusta hanya untuk sekejap mata. Tipu daya ada dalam hati orang yang merencanakan kejahatan, tetapi orang yang menyarankan damai mendapat sukacita. (Amsal 12:17-20)
Orang yang dusta bibirnya menjijikkan bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia disenangi-Nya. (Amsal 12:22)
Bagaikan gada, atau pedang, atau anak panah yang tajam, demikianlah orang yang bersaksi dusta terhadap sesamanya. (Amsal 25:18).
Pembenci berpura-pura dengan bibirnya, tetapi dalam hatinya terkandung tipu daya. Apabila ramah perkataannya, janganlah percaya padanya, karena tujuh hal yang menjijikkan ada dalam hatinya. (Amsal 26:24-25)

Meskipun Alkitab memaklumi kebohongan dan penipuan dalam situasi-situasi tertentu (seperti kebohongan pelacur Rahab di Yosua 2:1, kebohongan para bidan Ibrani kepada Firaun di Keluaran 1:15-20, kebohongan Daud kepada imam di 1 Samuel 21:1-3), kitab Amsal tidak memperbolehkan ada dusta atau penipuan dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Intinya bukan sekadar berdusta itu salah, namun mengatakan kebenaran itu juga sangat penting. Kita tidak berdusta bukan terutama karena ada aturan yang melarang hal itu, tetapi karena takut akan Allah membuat kita mencintai kebenaran.

Dusta itu merusak dan pada akhirnya akan mendatangkan hukuman dan kematian.[1] Kita diperingatkan bukan saja untuk menjauhi dusta, tetapi juga untuk berhati-hati terhadap pendusta di sekitar kita. Jangan sampai kita terjerat oleh dusta mereka. Kita bahkan juga perlu menyadari bahwa kita sendiri mungkin cenderung percaya pada dusta yang kita dengar. Seperti gosip (yang seringkali merupakan kebohongan yang dibungkus tisu kebenaran), kita mendapati dusta itu menarik kita ke dalam lingkaran orang-orang yang tahu sesuatu dan kita menyukainya; atau karena kesesatan kita sendiri, kita ingin memercayai dusta itu. Tetapi amsal-amsal memperingatkan kita dengan keras agar menjauhi orang-orang yang berdusta. Tempat kerja yang hanya mengatakan kebenaran (dengan kasih, baca Efesus 4:15) adalah impian, tetapi Allah memanggil kita untuk berada di antara orang-orang yang menjauhi lidah dusta.

Sekitar separuh kitab Amsal melarang secara khusus tentang bersaksi dusta, yang menggemakan Hukum Kesembilan (Keluaran 20:16). Jika menyesatkan orang lain merupakan hal yang tidak benar, bersaksi dusta tentang orang lain merupakan kejahatan yang “tidak akan luput dari hukuman” (Amsal 19:5). Kesaksian palsu adalah sebuah penyerangan langsung terhadap orang yang tidak bersalah. Namun bisa jadi merupakan bentuk kebohongan yang paling lazim di dunia kerja, barangkali hanya nomor dua setelah iklan palsu. Jika iklan palsu setidaknya diarahkan ke luar (para pelanggan) yang mengetahui bahwa mereka harus waspada terhadap berbagai teknik penjualan dan biasanya memiliki sumber-sumber informasi lain, kesaksian palsu biasanya merupakan serangan terhadap rekan kerja, yang kemungkinan akan diterima begitu saja di dalam organisasi itu. Ini terjadi ketika kita mencoba mengubah kesalahan atau kredit dengan memberitakan secara tidak benar peran dan tindakan orang lain. Tindakan ini tidak hanya merugikan orang yang kita beritakan secara tidak benar, tetapi juga seluruh organisasi, karena organisasi yang tidak mengetahui secara akurat alasan-alasan keberhasilan dan kegagalannya saat itu tidak akan dapat membuat perubahan-perubahan yang diperlukan untuk peningkatan dan penyesuaian. Ibarat menembak seseorang di kapal selam, bukan hanya si korban saja yang akan celaka, tetapi kapal dan seluruh awaknya pun akan tenggelam. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang kejujuran dalam Alkitab, lihat artikel Truth & Deception di https://www.teologikerja.org/.

Perbuatan Yang Jujur

Bukan hanya perkataan, tetapi perbuatan juga bisa benar atau palsu. “Orang benar benci kepada dusta, tetapi tindakan orang fasik busuk dan memalukan.” (Amsal 13:5, penekanan ditambahkan). Bentuk perbuatan tidak jujur yang paling menonjol di dalam kitab Amsal adalah penggunaan timbangan dan neraca yang salah. “Timbangan dan neraca yang betul adalah kepunyaan Tuhan, segala batu timbangan di dalam pundi-pundi adalah buatan-Nya” (Amsal 16:11). Sebaliknya, “Neraca yang curang menjijikkan bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat” (Amsal 11:1). “Dua macam batu timbangan menjijikkan bagi TUHAN, dan neraca curang itu tidak baik” (Amsal 20:23). Timbangan dan neraca yang salah merujuk pada tindakan menipu pelanggan tentang produk yang dijual. Memberi label produk dengan tidak sesuai, mengurangi kualitas yang dijanjikan, dan memberi keterangan yang tidak benar tentang sumber atau asalnya—selain jelas-jelas memalsukan jumlahnya—adalah contoh-contoh jenis ketidakjujuran ini. Praktik-praktik seperti ini menjijikkan bagi Allah.

Ada beberapa alasan praktis untuk bertindak jujur. Dalam jangka pendek, perbuatan tidak jujur bisa menghasilkan pendapatan yang lebih besar, tetapi dalam jangka panjang, klien atau pelanggan akan mengetahuinya dan mengalihkan bisnisnya ke tempat lain. Namun yang terutama, rasa takut akan Allahlah yang akan melingkupi kita, bahkan ketika kita berpikir kita bisa lolos saat berlaku tidak jujur pada tataran manusia. “Dua macam batu timbangan, dua macam takaran, keduanya menjijikkan bagi TUHAN” (Amsal 20:10).

Selain timbangan dan neraca yang salah, ketidakjujuran di tempat kerja juga bisa dilakukan dengan cara lain. Salah satu contohnya dari Perjanjian Lama berkaitan dengan kepemilikan tanah, yang disahkan dengan penanda batas. Orang yang tidak jujur bisa secara diam-diam menggeser penanda batas itu untuk memperluas tanahnya sendiri dan merugikan tetangganya. Kitab Amsal mengutuk tindakan tidak jujur seperti itu. “Jangan engkau memindahkan batas tanah yang lama, dan memasuki ladang anak-anak yatim. Karena penebus mereka kuat, Dialah yang membela perkara mereka melawan engkau” (Amsal 23:10-11). Kitab Amsal tidak menyebutkan semua jenis tindakan tidak jujur yang mungkin dilakukan di Israel kuno, apalagi dalam kehidupan kita saat ini. Tetapi prinsip bahwa di mata Allah perbuatan tidak jujur sama menjijikkannya dengan perkataan tidak jujur sudah ditegaskan.

Seperti apakah kejujuran—dalam perkataan maupun perbuatan—di tempat kerja masa kini? Jika kita ingat bahwa kejujuran adalah salah satu aspek dari sifat dapat dipercaya, maka kriteria kejujuran itu menjadi, “Dapatkah orang memercayai yang saya katakan dan lakukan?” bukannya “Apakah secara teknis hal itu benar?” Ada beberapa cara yang dapat menghancurkan kepercayaan tanpa melakukan yang jelas jelas kecurangan. Kontrak dapat diubah atau dikaburkan untuk memberi keuntungan secara tidak adil kepada pihak yang memiliki pengacara paling hebat. Produk-produk dapat dijelaskan dengan istilah-istilah yang menyesatkan, seperti “menambah energi” pada label makanan yang hanya berarti “mengandung kalori.” Pada akhirnya, menurut Amsal, Allah akan membela orang-orang yang dicurangi dan tidak akan mentolerir tindakan-tindakan semacam ini (Amsal 23:11). Sementara itu, pekerja yang bijak— yang saleh—akan menghindari tindakan-tindakan semacam itu.

Kitab Amsal membahas tema kejujuran secara berulang-ulang. “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya” (Amsal 11:3). “Roti hasil tipuan sedap rasanya, tetapi kemudian mulutnya penuh dengan kerikil” (Amsal 20:17). Sebuah amsal yang menggelikan menunjukkan bentuk kecurangan yang lain: “‘Jelek! Jelek!’ kata si pembeli, tetapi begitu ia pergi, ia memuji dirinya” (Amsal 20:14). Dengan sengaja menjatuhkan produk yang kita inginkan agar harganya bisa turun, lalu menyombongkan diri atas “harga sangat murah” yang kita dapatkan juga merupakan bentuk ketidakjujuran. Di dunia tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang berpengetahuan luas, tindakan ini mungkin lebih merupakan hiburan daripada pelecehan. Tetapi dalam pemutarbalikan fakta secara tersamar yang modern —seperti ketika seorang kandidat politik berusaha meyakinkan para pemilih berbahasa Inggris bahwa ia keras mengenai imigrasi, sembari juga berusaha meyakinkan para pemilih dari kelompok Hispanik tentang hal yang sebaliknya— tindakan itu menyingkapkan kecurangan di balik kesengajaan menyampaikan realitas yang tidak benar.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani itu rajin. Kitab Amsal menggambarkan kerajinannya dalam tiga hal: 1) Kerja keras; 2) Rencana Jangka Panjang; 3) Profitabilitas (kemampuan mendapat keuntungan). Sebagai akibat dari kerajinannya dalam tiga hal ini, ia yakin akan masa depan.

Pekerja Yang Rajin Bekerja Keras (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani “senang bekerja dengan tangannya” (Amsal 31:13), yang berarti ia memilih, atas kemauannya sendiri, untuk bekerja tak kenal lelah dalam mencapai tujuan-tujuan keluarga. “Ia bangun ketika masih gelap” (Amsal 31:15). “Ia membuat pakaian dari linen dan menjualnya” (Amsal 31:24). “Dari hasil tangannya ia membuka kebun anggur” (Amsal 31:16). Secara keseluruhan ini berarti banyak pekerjaan.

Di dalam ekonomi pertanian, hubungan antara kerja keras dan kesejahteraan mudah dilihat. Selama mereka memiliki akses ke lahan untuk bercocok tanam, petani yang bekerja keras akan menghasilkan jauh lebih baik daripada petani yang malas. Kitab Amsal berkata jelas bahwa pekerja yang malas pada akhirnya akan gagal.

Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya. Siapa mengumpulkan di musim panas, ia anak yang berakal budi; siapa tidur di waktu panen, ia anak yang membuat malu. (Amsal 10:4-5)
Aku melewati ladang seorang pemalas dan kebun anggur orang yang tidak berakal budi. Lihatlah, semua itu ditumbuhi onak, tanahnya tertutup dengan semak duri, dan temboknya sudah roboh. Aku memandang dan memperhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran. "Sebentar-sebentar tidur, sebentar-sebentar mengantuk, sebentar-sebentar melipat tangan untuk tetap berbaring," maka datanglah kemiskinan seperti penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata. (Amsal 24:30-34)

Dalam dunia Timur Dekat kuno, kerja keras mendatangkan kemakmuran, tetapi satu minggu saja kemalasan di musim panen bisa berarti kelaparan di musim dingin.

Perekonomian modern (setidaknya di negara maju) bisa menutupi efek ini dalam jangka pendek. Pada saat-saat baik, ketika hampir semua orang bisa menemukan pekerjaan, pekerja yang malas juga bisa memiliki pekerjaan dan kelihatan hampir sama baiknya dengan pekerja yang rajin. Demikian pula, pada saat ekonomi cenderung lesu (dan pada setiap saat di banyak negara berkembang), orang yang bekerja keras juga mungkin tidak lebih berhasil dari orang yang malas dalam mendapatkan pekerjaan. Dan pada setiap saat, upah atas kerja keras juga bisa ditumpulkan oleh diskriminasi, kekuasaan senioritas, perjanjian serikat pekerja, atasan yang pilih kasih, nepotisme, kontrak “parasut emas” (perjanjian saat terjadi pengambil-alihan perusahaan atau merger), sistem penilaian kinerja yang buruk, “kebodohan” para manajer, dan banyak faktor lainnya.

Apakah ini membuat amsal tentang orang rajin yang bekerja keras menjadi usang? Tentu saja tidak, karena dua alasan. Pertama, dalam perekonomian modern pun, kerajinan biasanya dihargai di sepanjang kehidupan kerja. Ketika pekerjaan menjadi langka, adalah pekerja yang rajin yang kemungkinan besar akan dapat mempertahankan pekerjaannya atau lebih cepat mendapatkan pekerjaan baru. Kedua, motivasi utama bekerja rajin bukanlah untuk kemakmuran pribadi, tetapi takut akan Tuhan, sebagaimana juga yang telah kita lihat dalam amsal-amsal tentang kebajikan-kebajikan lainnya. Kita rajin karena Tuhan memanggil kita untuk melakukan tugas kita, dan rasa takut kita akan Dia memotivasi kita untuk bekerja rajin dalam pekerjaan kita.

Kemalasan atau tidak rajin dalam bekerja itu merusak. Semua orang yang pernah memiliki pengalaman bersama rekan kerja yang malas bisa menghargai amsal yang pedas ini: “Seperti cuka bagi gigi dan asap bagi mata, demikianlah si pemalas bagi orang yang menyuruhnya” (Amsal 10:26). Kita tidak suka terperangkap dalam tim yang sama dengan orang-orang yang tidak mau memikul tanggung jawab mereka.

Pekerja Yang Rajin Merancang untuk Jangka Panjang (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani membuat rencana-rencana ke depan. “Dari jauh ia mendatangkan makanannya” (Amsal 31:14), artinya ia tidak bergantung pada kenyamanan membeli di menit terakhir yang kualitas dan harganya patut dipertanyakan. Ia “membeli ladang sesudah mempertimbangkannya” (Amsal 31:16), menyelidiki potensinya untuk jangka panjang. Ia merencanakan untuk menanami ladang ini menjadi kebun anggur (Amsal 31:16), dan kebun anggur tidak menghasilkan panen pertamanya sampai dua atau tiga tahun setelah ditanam.[1] Intinya, ia membuat keputusan-keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi jangka panjangnya. Amsal 21:5 berkata “Rancangan orang rajin pasti mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa pasti mengalami kekurangan.”

Perencanaan yang bijak menuntut membuat keputusan-keputusan untuk jangka panjang, seperti terlihat misalnya pada siklus pengelolaan aset pertanian.

Kenallah baik-baik keadaan kambing dombamu, perhatikanlah kawanan ternakmu. Sebab, harta benda tidak abadi dan mahkota tidak turun-temurun. Kalau rumput lenyap dan tunas muda tampak, dan tumbuh-tumbuhan di gunung dikumpulkan, maka engkau mempunyai domba-domba muda untuk pakaianmu dan kambing-kambing jantan untuk membeli ladang, cukup susu kambing untuk makananmu dan makanan keluargamu, serta untuk kehidupan pelayan-pelayanmu perempuan. (Amsal 27:23-27)

Seperti Perempuan Pemberani yang menanam pohon anggur, gembala yang bijak berpikir bertahun-tahun ke depan, demikian pula raja atau gubernur bijaksana memiliki pandangan jangka panjang. “Karena orang yang berpengertian dan berpengetahuan bertahanlah ketertiban” (Amsal 28:2). Kitab Amsal juga memakai semut sebagai contoh kerajinan jangka panjang.

Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah kelakuannya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpin, pengatur atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? "Sebentar-sebentar tidur, sebentar-sebentar mengantuk, sebentar-sebentar melipat tangan untuk tetap berbaring", maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata. (Amsal 6:6-11)

Perencanaan ke depan di tempat kerja memiliki berbagai bentuk. Perencanaan keuangan disebutkan di Amsal 24:27: “Bereskanlah pekerjaanmu di luar, siapkanlah itu bagimu di ladang; kemudian barulah engkau mendirikan rumahmu.” Dengan kata lain, jangan mulai membangun rumahmu sebelum ladangmu menghasilkan cukup dana yang diperlukan untuk menyelesaikan proyek pembangunanmu. Yesus menyebutkan hal ini di Lukas 14:28-30: “Siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, apakah uangnya cukup untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Jangan sampai, setelah ia meletakkan dasarnya namun tidak mampu menyelesaikannya, semua orang yang melihatnya, mengejek dia dan berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak mampu menyelesaikannya.”

Ada banyak bentuk-bentuk perencanaan lainnya, dan kita tak dapat menganggap kitab Amsal sebagai buku panduan perencanaan perusahaan modern. Tetapi kita dapat melihat kembali di dalam amsal-amsal itu hubungan antara hikmat, dalam bentuk perencanaan, dengan karakter Allah.

Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. (Amsal 16:1)
Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana. (Amsal 19:21)

Allah merancang dalam jangka waktu yang sangat panjang, dan kita pun sebaiknya membuat rancangan ke depan juga. Namun kita harus tetap rendah hati dengan rencana-rencana kita. Tidak seperti Allah, kita tak punya kuasa untuk mewujudkan semua rencana kita. “Janganlah memuji diri tentang esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu” (Amsal 27:1). Kita merencanakan dengan bijak, berkata-kata dengan rendah hati, dan hidup dalam pengharapan bahwa rencana-rencana Allah adalah kerinduan terbesar kita.

Memerhatikan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang bisa jadi imerupakan keterampilan terpenting yang perlu kita kembangkan untuk bisa berhasil. Sebagai contoh, riset psikologi menunjukkan bahwa kemampuan untuk menunda kepuasan—yaitu, kemampuan membuat keputusan berdasarkan hasil jangka panjang—merupakan prediksi keberhasilan di sekolah yang jauh lebih baik daripada IQ.[2] Sayangnya, orang Kristen tampaknya kadang memakai ayat-ayat seperti “Janganlah khawatir tentang hari esok” (Matius 6:34) untuk diartikan, “Janganlah merancang untuk hari esok.” Kitab Amsal—dan juga perkataan Yesus sendiri—menunjukkan bahwa hal ini tidak benar dan memanjakan diri sendiri. Sesungguhnya, seluruh kehidupan Kristen, dengan pengharapannya akan kedatangan Kristus kembali untuk menyempurnakan kerajaan Allah, adalah kehidupan yang berencana untuk jangka panjang.

Pekerja Yang Rajin Berkontribusi pada Keuntungan Perusahaan (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani memastikan pekerjaan tangannya dapat dipasarkan. Ia tahu apa yang dibeli para pedagang (Amsal 31:24), memilih bahan-bahan materinya dengan teliti (Amsal 31:13), dan bekerja tak kenal lelah untuk menjamin produk yang berkualitas (Amsal 31:18b). Upah yang diperolehnya adalah “usahanya menguntungkan” (Amsal 31:18a), dan ia dapat menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh keluarga dan masyarakat. Amsal berkata jelas bahwa seorang pekerja yang rajin berkontribusi pada keuntungan keseluruhan usaha. “Rancangan orang rajin pasti mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa pasti mengalami kekurangan” (Amsal 21:5). Contoh kebalikannya tampak pada Amsal 18:9, “Orang yang bermalas-malasan dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara si perusak.” Pekerja yang malas tidak lebih baik dari orang yang sengaja berencana menghancurkan perusahaan. Semua amsal ini mengantisipasi perumpamaan Yesus tentang talenta (Matius 25:14-30).

Jika kita mengerti bahwa amsal-amsal tentang keuntungan ini didasarkan pada karakter Allah, kita dapat melihat bahwa Allah mau kita bekerja secara menguntungkan. Tidak cukup kita hanya menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan pada kita. Kita juga harus memikirkan apakah pekerjaan kita benar-benar menambah nilai pada bahan materi, modal, dan tenaga kerja yang dikeluarkan. Dalam sistem perekonomian terbuka, persaingan dapat membuat hal mencari keuntungan sangat menantang. Orang yang tidak rajin—malas, berpuas diri, atau memanjakan diri—bisa dengan cepat mengalami kerugian, kebangkrutan, dan kehancuran. Orang yang rajin—bekerja keras, kreatif, fokus—bisa memberikan pelayanan yang baik ketika mereka dapat membuat bisnis mereka berjalan lancar dan menguntungkan.

Orang Kristen tidak selalu menyadari pentingnya keuntungan dari perspektif alkitabiah. Bahkan keuntungan sering dipandang dengan curiga dan dibicarakan dalam retorika “orang vs. keuntungan.” Ada kecurigaan bahwa keuntungan itu tidak diperoleh dengan mengolah bahan materi dan menciptakan sesuatu yang lebih berharga, tetapi dengan memperdaya pembeli, pekerja, atau pemasok. Kecurigaan ini muncul dari kurangnya pemahaman tentang bisnis dan ekonomi. Kritik yang betul-betul alkitabiah terhadap bisnis bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti “Keuntungan-keuntungan macam apa?” “Dari mana asal keuntungan itu?” “Apakah keuntungan itu didapat dengan cara memonopoli atau mengintimidasi atau menipu?” dan “Bagaimana keuntungan itu dibagi di antara para pekerja, manajer, pemilik, pemberi pinjaman, pemasok, pelanggan dan perpajakan?” Hal ini akan menyemangati dan menghargai para pekerja dan bisnis-bisnis yang menghasilkan keuntungan yang sehat dalam pekerjaan mereka. (Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai topik ini lihat artikel Economics and Society).

Tidak semua pekerja berada dalam posisi mengetahui apakah pekerjaan mereka memberi keuntungan. Karyawan di perusahaan besar kemungkinan tidak banyak tahu apakah pekerjaan tertentu mereka memberi kontribusi positif pada profitabilitas perusahaan. Profitabilitas, dalam arti akuntansi, tidak berperan penting dalam dunia pendidikan, pemerintahan, perusahaan nirlaba, dan rumahtangga. Tetapi semua pekerja dapat memerhatikan bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi pada pencapaian misi organisasi, apakah nilai yang mereka tambahkan lebih besar dari gaji dan sumber daya lain yang mereka dapatkan. Melakukan hal ini juga merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan.

Pengelolaan rumah tangga Perempuan Pemberani yang menguntungkan menuai pujian yang luar biasa. “Ia jauh lebih berharga daripada permata” (Amsal 31:10). Ini bukan sekadar metafora sentimental. Ini benar secara literal. Perusahaan yang berjalan baik tentu saja dapat menghasilkan keuntungan dari tahun ke tahun yang jauh melebihi nilai permata dan simpanan kekayaan lainnya.

Pekerja Yang Rajin Dapat Tertawa tentang Hari Depan (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kerajinan Perempuan Pemberani memberinya kegairahan akan hari depan. “Kekuatan dan kehormatan menjadi pakaiannya, ia tertawa tentang hari depan” (Amsal 31:25). Meskipun amsal bukanlah janji tentang kemakmuran pribadi, tetapi secara umum, kerajinan kita biasanya akan mengantar ke masa depan yang lebih baik.

Siapa mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar hal yang sia-sia, tidak berakal budi. (Amsal 12:11)
Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan. (Amsal 28:19)

Tangan orang rajin akan memegang kekuasaan, tetapi kemalasan mengakibatkan kerja paksa. (Amsal 12:24)

Kerajinan bukanlah jaminan untuk memiliki masa depan yang tanpa kesusahan atau bahkan bencana (lihat Ayub dan Kerja di https://www.teologikerja.org/). Tetapi orang bijak memercayai Allah tentang masa depan, dan orang rajin dapat bersandar pada keyakinan bahwa mereka sudah melakukan yang Allah mau mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, keluarga mereka dan masyarakat mereka.

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani memberi teladan kemampuan mengambil keputusan yang luar biasa dalam pekerjaannya. Kitab Amsal menggambarkan kebajikan ini sebagai “berakal budi” (Amsal 19:14), atau “cerdas” (Amsal 1:4). Kita mungkin cenderung menganggap orang cerdik sebagai orang yang suka memanfaatkan orang lain, tetapi di dalam kitab Amsal, cerdik mengandung arti memanfaatkan sumber daya dan situasi dengan sebaik-baiknya. Jika kita memahami kecerdikan sebagai “Persepsi yang cerdas dan berpengertian, dan kemampuan mengambil keputusan yang realistis”[1] maka kita menemukan jenis hikmat yang cerdik yang Allah maksudkan untuk para pekerja.

Pekerja Yang Cerdik Menggunakan Persepsi dan Pertimbangan Yang Cermat

Kecerdikan Perempuan Pemberani ini ditunjukkan dengan persepsinya yang cermat dalam menyediakan bahan-bahan materinya. “Ia mencari bulu domba dan rami… Ia seperti kapal saudagar” (Amsal 31:13-14). Pengusaha pabrik atau pengrajin saat ini bisa jadi cerdik dalam memilih bahan-bahan materi, tetapi bisa juga tidak bijak dalam memilih bahan-bahan materi yang tidak bertahan lama. Investasi-investasi di bidang riset dan pengembangan, analisis pasar, logistik, kemitraan strategis dan keterlibatan masyarakat dapat memberikan hasil yang besar di masa mendatang. Di level individu, pertimbangan yang baik tak ternilai harganya. Di level perusahaan, penasihat investasi yang dapat menyandingkan kebutuhan-kebutuhan masa depan klien dengan berbagai risiko dan manfaat yang melekat pada berbagai sarana investasi sedang melakukan pelayanan yang baik.

Pekerja Yang Cerdik Menyiapkan Diri terhadap Segala Kemungkinan Yang Bisa Terjadi

Perempuan Pemberani “tidak khawatir akan seisi rumahnya ketika salju turun, karena seluruh isi rumahnya berpakaian rangkap. Ia membuat permadani bagi dirinya, linen halus dan kain ungu pakaiannya” (Amsal 31:21-22). Persiapan-persiapan materinya mencakup semua kemungkinan yang terjadi untuk datangnya cuaca musim dingin. Ia menyiapkan berbagai macam pakaian dan “permadani” (selimut atau penutup) yang mungkin dibutuhkan keluarganya, apapun yang terjadi dalam musim itu. Deskripsinya menunjukkan bahan yang halus atau mahal (“linen halus dan kain ungu”), dan kata Ibrani sanim yang dalam Alkitab bahasa Inggris diterjemahkan dengan “crimson” kemungkinan merupakan kesalahan penyalin saat menuliskan kata “double” (shenayim), yang berarti rangkap dan hangat.[2]

Perempuan ini waspada terhadap masalah-masalah yang mungkin terjadi dan menyiapkan solusi-solusinya sebelum masalah-masalah itu timbul. Pikirkan persiapan-persiapannya untuk suaminya. Di tengah dia mempersiapkan pakaian dan penutup, ia mengingat peran suaminya sebagai tokoh masyarakat: “Suaminya dikenal di pintu gerbang ketika duduk bersama para tua-tua negeri” (Amsal 31:23). Apa yang akan terjadi jika salju turun ketika suaminya sedang di tengah-tengah mengurusi masyarakat? Tak perlu khawatir, karena “seisi rumahnya”—termasuk suaminya—sudah berpakaian yang cocok untuk segala situasi. Sebuah gambaran masa kini mungkin bisa membuat hal ini sedikit lebih jelas. Bayangkan seorang negarawan terkemuka tiba-tiba dihadapkan pada hujan badai yang tak terduga. Ia langsung meraih topi lebarnya dan memadankannya dengan mantel dan sepatu bot yang serasi, sementara orang-orang di sekitarnya menutupi kepala mereka dengan koran bekas dan sepatu mereka yang rusak mengalirkan lumpur ke kaki mereka yang kedinginan.

Pekerja Yang Cerdik Mencari Nasihat yang Baik

Sebuah mitos yang masih terdengar di beberapa kalangan adalah bahwa para pemimpin yang paling cerdas akan memandang rendah nasihat. Kecerdasan mereka membuat mereka dapat melihat peluang-peluang yang tidak dapat dilihat orang lain. Memang benar bahwa hanya karena banyak orang memberi nasihat tentang sesuatu tidak berarti sesuatu itu pasti bijaksana. “Tidak ada hikmat dan pengertian, dan tidak ada pertimbangan yang dapat menandingi TUHAN” (Amsal 21:30). Jika suatu gagasan buruk atau salah (“melawan Tuhan”), tidak ada paduan suara “yes-men” yang dapat membuatnya menjadi baik atau bijaksana.

Tetapi mitos tentang orang jenius yang sukses walau menolak semua nasihat pada kenyataannya jarang terjadi. Kreativitas dan keunggulan dibangun di atas berbagai sudut pandang. Inovasi memerhatikan hal-hal yang diketahui agar dapat melangkah ke hal-hal yang tidak diketahui, dan para pemimpin besar yang menolak hikmat konvensional biasanya sudah menguasainya lebih dahulu sebelum bergerak melewatinya. “Rancangan gagal kalau tidak ada musyawarah, tetapi terlaksana kalau banyak penasihat” (Amsal 15:22). Dan di Amsal 20:18 kita membaca, “Rancangan ditetapkan dengan pertimbangan, sebab itu berperanglah dengan siasat.” Orang bijak memakai kekuatan yang melengkapi dari orang lain, bahkan ketika menyerang masuk wilayah baru.

Pekerja Yang Cerdik Terus Meningkatkan Keterampilan dan Pengetahuannya

Perempuan Pemberani “mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya” (Amsal 31:17). Artinya, ia mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pekerjaannya. Ia membuat lengannya kuat; ia memperlengkapi dirinya dengan kekuatan. Orang cerdik terus meningkatkan keterampilan atau pengetahuannya.

Ketika ekonomi industri di negara maju membuka pintu bagi ekonomi teknologi, pelatihan dan pendidikan berkesinambungan menjadi hal yang mutlak diperlukan bagi pengusaha dan pekerja. Bahkan di banyak negara berkembang hal ini juga sedang menjadi tren. Pekerjaan yang Anda persiapkan untuk saat ini belum tentu akan menjadi pekerjaan yang akan Anda jalani 10 tahun mendatang. Pekerja yang cerdik menyadari hal ini dan terus mempelajari hal-hal baru untuk memperoleh kesempatan kerja di masa mendatang. Demikian pula, akan menjadi makin sulit bagi pemberi kerja untuk menemukan pekerja-pekerja yang memiliki keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam berbagai macam pekerjaan saat ini. Para individu, organisasi, dan masyarakat dengan kinerja terbaik adalah yang mengembangkan sistem pembelajaran seumur hidup yang efektif.

Pekerja Yang Bijak Itu Murah Hati (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani itu murah hati. “Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin” (Amsal 31:20). Kita sudah biasa mendengar kemurahan hati dipuji-puji dalam Alkitab, dan di sini Perempuan Pemberani juga dipuji-puji karena hal itu. Namun kita tak boleh mereduksi kemurahan hatinya hanya sebagai satu ciri perilaku yang menyenangkan dari kepribadiannya. Kemurahan hatinya adalah bagian yang penting dari pekerjaannya, sebagaimana dapat kita lihat dalam hubungan antara ayat-ayat Amsal 31:19 dan Amsal 31:20.

Tangannya [Ibrani. yade] ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya [kappe] memegang pemintal. (Amsal 31:19)
Ia memberikan tangannya [kap] kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya [yade] kepada yang miskin. (Amsal 31:20)

Dua kata Ibrani yang berbeda diterjemahkan sebagai “tangan” di dua ayat ini. Jika kita memerhatikan kata Ibrani aslinya, kita melihat kata-kata itu ditulis dengan urutan yade, kappe di ayat pertama, dan dengan urutan yang terbalik kap, yade di ayat kedua. (Kappe adalah bentuk jamak dari kap). Struktur “kiastik” ABBA ini merupakan hal yang umum di dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa seluruh struktur membentuk satu kesatuan pikiran. Dengan kata lain, pekerjaannya tak terpisahkan dari kemurahan hatinya. Karena ia berhasil dalam usaha pemintalan, ia memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada orang miskin, dan sebaliknya, sifat murah hatinya adalah unsur penting dari kemampuannya sebagai seorang wirausaha/eksekutif.

Dengan kata lain, kitab Amsal menyatakan bahwa kemurahan hati dan kewajiban resmi tidaklah bertentangan. Bermurah hati kepada yang membutuhkan dari sumber daya keluarga tidak akan mengurangi kekayaan pemiliknya, tetapi justru akan meningkatkannya. Argumen yang kontra-intuitif ini muncul di sepanjang kitab Amsal. Banyak orang menahan kemurahan hatinya karena takut bahwa jika mereka memberi terlalu banyak, mereka tidak akan memiliki sisa yang cukup untuk diri mereka sendiri. Tetapi Amsal mengajarkan hal yang persis sebaliknya:

Ada yang gemar memberi, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara berlebihan, namun selalu kekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum. Siapa menahan gandum akan dikutuki orang, tetapi berkat turun atas kepala orang yang menjual gandum. (Amsal 11:24-26)
Siapa berbelaskasihan kepada orang miskin, memberi piutang kepada TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu. (Amsal 19:17)
Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki. (Amsal 28:27)

Pekerja Yang Bijak Itu Adil (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Amsal tidak berhenti dengan memuji kemurahan hati, tetapi melanjutkan dengan menyatakan bahwa kepedulian terhadap orang miskin merupakan masalah keadilan. Pertama, kitab Amsal menyadari bahwa orang sering menjadi miskin karena orang kaya dan berkuasa menipu atau menindas mereka. Atau, jika mereka sudah miskin, mereka menjadi sasaran empuk dari penipuan atau penindasan selanjutnya. Hal ini menjijikkan bagi Allah dan Dia akan mendatangkan hukuman kepada orang-orang yang melakukan hal itu.

Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa berbelas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia. (Amsal 14:31)
Orang yang menindas orang lemah untuk menguntungkan diri atau memberi hadiah kepada orang kaya, hanya merugikan diri saja. (Amsal 22:16)
Janganlah merampasi orang lemah karena ia lemah, dan janganlah menginjak-injak orang miskin di pintu gerbang. Sebab TUHAN membela perkara mereka, dan mengambil nyawa orang yang merampasi mereka. (Amsal 22:22-23)
Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amarahnya akan sirna. Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan orang miskin. (Amsal 22:8-9)
Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan laba, mengumpulkan itu untuk orang yang berbelas kasihan kepada orang lemah. (Amsal 28:8)

Kesimpulannya ada di Amsal 16:8, “Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran daripada penghasilan banyak tanpa keadilan.”

Kedua, sekalipun Anda tidak mencurangi atau menindas orang miskin, keadilan Allah menuntut Anda untuk melakukan yang dapat Anda lakukan untuk memberi keadilan bagi mereka, dimulai dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang mendesak.

Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru. (Amsal 21:13)
Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang berbelas kasihan kepada orang yang miskin. (Amsal 14:21)
Janganlah menahan kebaikan dari orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: "Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi," sedangkan yang diminta ada padamu. (Amsal 3:27-28)
Siapa mengolok-olok orang miskin menghina Penciptanya; siapa bergembira atas malapetaka tidak akan luput dari hukuman. (Amsal 17:5)

Menganggap menolong orang miskin sebagai masalah keadilan, bukan kemurahan hati semata, tidaklah mengherankan jika kita ingat bahwa hikmat berdasar pada takut akan Tuhan. Artinya, hikmat terdiri dari hidup yang takut akan Allah sehingga kita rindu melakukan yang Dia rindukan bagi dunia. Allah itu adil. Allah ingin orang-orang miskin diperhatikan dan kemiskinan dientaskan. Jika kita sungguh-sungguh mengasihi Allah, kita akan peduli pada orang-orang yang dikasihi Allah. Dengan demikian, menolong orang miskin dan berupaya mengentaskan kemiskinan adalah masalah keadilan.

Perhatikan bahwa banyak dari amsal-amsal ini menganggap ada kontak pribadi antara yang kaya dan yang miskin. Kemurahan hati bukan hanya tentang mengirim sumbangan, tetapi tentang bekerja dan barangkali juga hidup berdampingan dengan orang-orang miskin. Ini bisa berarti berusaha merobohkan “tembok-tembok” pemisah di antara masyarakat miskin dan kalangan menengah atau orang-orang kaya dalam perumahan, perbelanjaan, pendidikan, pekerjaan dan politik. Apakah Anda setiap hari berhubungan dengan orang-orang dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi dan lebih rendah? Jika tidak, dunia Anda mungkin terlalu sempit.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?

Kita bisa melihat betapa kemurahan hati dan keadilan itu penting bagi pekerja individu, tetapi bagaimana dengan perusahaan? Apakah ada penerapan-penerapan yang bisa diberlakukan di perusahaan-perusahaan? Sebagian besar kitab Amsal berurusan dengan individu, tetapi bagian tentang Perempuan Pemberani membicarakannya sebagai manajer perusahaan keluarga. Dan seperti yang telah kita lihat, kemurahan hatinya bukanlah penghambat dalam pekerjaannya, tetapi unsur yang penting dalam pekerjaannya.

Sayangnya, sebagian perusahaan/bisnis saat ini tampaknya kurang memiliki bayangan atau keterampilan yang diperlukan untuk beroperasi dengan cara yang menguntungkan pemegang saham tetapi juga bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Contohnya termasuk perusahaan-perusahaan yang mencoba mencurangi atau menindas orang miskin, menekan masyarakat miskin dan lemah untuk menjual properti di bawah nilai yang seharusnya, memanfaatkan ketidaktahuan atau informasi yang salah untuk menjual produk yang meragukan, dan memeras keuntungan jangka pendek yang berlebihan dari orang-orang yang rentan atau tak punya pilihan.

Mengapa perusahaan-perusahaan itu percaya bahwa merebut kekayaan dari orang lain adalah satu-satunya—atau cara terbaik—untuk mendapatkan keuntungan? Apakah ada buktinya bahwa pendekatan zero-sum (jumlah keuntungan satu pihak persis sama dengan kerugian pihak lain) dalam bisnis benar-benar meningkatkan laba pemegang saham? Berapa banyak dari tindakan seperti ini yang benar-benar menghasilkan profitabilitas atau kekuasaan jangka panjang yang lebih baik? Justru sebaliknya: perusahaan-perusahaan terbaik berhasil karena mereka menemukan cara yang berkelanjutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi pelanggan dan masyarakat, dan sekaligus memberi keuntungan luar biasa kepada karyawan, pemegang saham, dan pemberi pinjaman. Bisnis dan organisasi lain yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial juga memiliki keuntungan ketika mereka membutuhkan dukungan masyarakat, komitmen pekerja, dan perlindungan sosial dari berbagai ancaman ekonomi, politik, dan kompetisi.

Kebijakan Pemerintah?

Amsal juga menuntut keadilan dari institusi-institusi selain bisnis. Secara khusus, bidang pemerintahan mendapat banyak perhatian dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan raja-raja. Pesan yang disampaikan kepada mereka sama dengan pesan yang diberikan kepada dunia usaha. Pemerintah bisa kokoh untuk jangka panjang hanya jika mereka peduli pada orang miskin dan lemah, dan memberikan keadilan kepada mereka.

Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kukuh untuk selama-lamanya. (Amsal 29:14)
Raja mempertahankan negeri dengan keadilan, tetapi seorang yang menuntut banyak pajak meruntuhkannya. (Amsal 29:4)
Singkirkanlah orang fasik dari hadapan raja, maka kokohlah takhtanya oleh keadilan. (Amsal 25:5)
Bibir yang benar disenangi raja, dan orang yang berbicara jujur akan dikasihi-Nya. (Amsal 16:13)
Melakukan kefasikan menjijikkan bagi raja, karena takhta menjadi kukuh oleh kebenaran .(Amsal 16:12)
Sama dengan semua hikmat, fondasi dari pemerintah yang bijaksana adalah takut akan Tuhan. “Karena aku para raja memerintah, dan para pembesar menetapkan keadilan” (Amsal 8:15).

Ketika berbicara kepada raja-raja, amsal-amsal itu tampaknya berlaku terutama untuk para pemimpin politik dan pegawai negeri di masyarakat modern. Tetapi di masyarakat demokratis, semua warganegara memiliki peran dalam pemerintahan dan kebijakan publik. Berhubungan dengan wakil-wakil kita dan memilih kandidat serta pertanyaan-pertanyaan untuk pemungutan suara yang membawa keadilan bagi orang miskin dan rentan adalah cara kita menegakkan keadilan yang lahir dari hikmat pada masa kini.

Persaingan?

Kitab Amsal bahkan memperluas tuntutan kemurahan hati dan keadilan kepada masalah persaingan dan perjuangan. “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan membuatnya malu seperti menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas kebaikan itu kepadamu.” (Amsal 25:21-22). Rasul Paulus mengutip amsal ini kata per kata di Roma 12:20, dan mengakhirinya dengan tantangan, “Janganlah dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Roma 12:21). Selain itu, “Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu bersukaria kalau ia terperosok” (Amsal 24:17). Apa? Apakah kita harus bermurah hati bahkan terhadap musuh? Paulus dan para penulis Amsal meyakini bahwa ketika kita melakukan hal itu, Tuhan akan memberi kita upah.

Apakah ini berlaku untuk sikap kita terhadap para pesaing kita, baik secara individu (seperti saingan-saingan dalam promosi jabatan) maupun sebagai perusahaan (seperti para kompetitor)? Amsal tidak membicarakan persaingan modern. Namun jika ayat-ayatnya menganjurkan pelayanan bahkan kepada musuh, masuk akal jika menyimpulkan bahwa kitab Amsal juga menganjurkan pelayanan kepada para pesaing/kompetitor. Hal ini tidak sama dengan kolusi atau oligarki. Dominasi ekonomi pasar yang hampir mencakup seluruh dunia tak ayal berhubungan dengan manfaat persaingan. Tetapi, meskipun memiliki aspek-aspek persaingan yang signifikan, bisnis, politik, dan bentuk-bentuk persaingan lainnya pada prinsipnya adalah bentuk-bentuk kerja sama. Masyarakat mendukung kompetisi agar semua orang bisa berkembang. Hukuman yang tepat atas kegagalan dalam berkompetisi bukanlah dihancurkan atau dijebloskan ke dalam kemiskinan, tetapi ditransformasikan atau dialihkan ke pekerjaan yang lebih produktif. Perusahaan-perusahaan bisa gulung tikar, tetapi para kompetitor mereka yang sukses tidak bisa memonopoli. Dalam pemilu ada yang menang dan ada yang kalah, tetapi pihak yang menang tidak bisa mengubah konstitusi untuk melarang partai yang kalah. Karier bisa naik turun, tetapi hukuman yang tepat untuk kegagalan bukanlah “Anda tak akan pernah bekerja di kota ini lagi,” melainkan “Bantuan apa yang Anda perlukan untuk menemukan hal yang lebih baik dan sesuai dengan talenta-talenta Anda?” Individu dan organisasi yang paling bijak belajar bagaimana terlibat dalam kompetisi yang memanfaatkan setiap partisipasi peserta secara maksimal dan menawarkan pendaratan lunak bagi orang-orang yang gagal dalam kontes hari ini, namun dapat memberi kontribusi yang berharga esok hari.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perempuan Pemberani berhati-hati dengan perkataannya dan dalam caranya berkata-kata. Kitab Amsal mengingatkan kita bahwa “Siapa menjaga mulut dan lidahnya, memelihara diri dari kesukaran” (Amsal 21:23). Terkadang, secara jenaka, amsal-amsal juga mengingatkan kita bahwa “Orang bodoh pun akan disangka bijak kalau ia diam, disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya” (Amsal 17:28).

Ada lebih banyak amsal tentang menjaga lidah daripada topik-topik lainnya. (Lihat Amsal 6:17, 6:24, 10:20, 10:31, 12:18, 12:19, 15:2, 15:4, 16:1, 17:4, 17:20, 18:21 , 21:6, 21:23, 25:15, 25:23, 26:28, 28:23, selain Amsal 31:26). Perkataan yang benar dan lemah lembut mendatangkan hikmat (Amsal 10:31), kesembuhan (Amsal 12:18), pengetahuan (Amsal 15:2), hidup/kehidupan (Amsal 15:4, 18:21), dan perkataan TUHAN (Amsal 16:1). Lidah dusta dan lidah yang tidak dijaga menumpahkan darah orang yang tak bersalah (Amsal 6:17), melukai hati (Amsal 15:4), berbuat jahat (Amsal 17:4), mendatangkan celaka (Amsal 17:20), kesukaran (Amsal 21:23) dan kemarahan (Amsal 25:23), mematahkan tulang (Amsal 25:15), mendatangkan kehancuran (Amsal 26:28) dan menjadi perangkap maut (Amsal 21:6).

Komunikasi dalam bentuk tertentu adalah bagian integral dari hampir semua pekerjaan. Selain itu, percakapan sosial di tempat kerja dapat meningkatkan, dapat juga merusak, relasi-relasi kerja. Apa yang diajarkan kitab Amsal tentang menggunakan lidah dengan bijaksana?

Pekerja Yang Bijaksana Menjauhi Gosip

Apakah gosip benar-benar sebuah masalah di tempat kerja atau apakah bergunjing itu hanya obrolan biasa? Kitab Amsal menunjukkan bahayanya. “Siapa bergunjing, membuka rahasia; sebab itu janganlah bergaul dengan orang yang bocor mulut” (Amsal 20:19). Gosip menimbulkan perselisihan. “Bibir orang bebal menimbulkan perbantahan, dan mulutnya berseru meminta pukulan. Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya. Seperti makanan lezat perkataan pemfitnah masuk ke lubuk hati” (Amsal 18:6-8). “Bila kayu habis, padamlah api; bila pemfitnah tak ada, redalah pertengkaran. Bagaikan arang untuk bara menyala dan kayu untuk api, demikianlah orang yang suka bertengkar untuk memanaskan perbantahan” (Amsal 26:20-21). “Orang yang tidak berguna menggali lubang kejahatan, dan di bibirnya seolah-olah ada api yang menghanguskan. Orang yang curang menimbulkan pertengkaran, dan seorang pemfitnah menceraikan sahabat karib” (Amsal 16:27-28). Gosip melanggar kepercayaan, kebajikan dasar orang bijak. “Siapa menghina sesamanya, tidak berakal budi, tetapi orang yang pandai, berdiam diri. Siapa menyebar fitnah, membuka rahasia, tetapi siapa yang setia, menutupi perkara” (Amsal 11:12-13).

Gosip melemparkan orang lain ke dalam situasi dipertanyakan, menimbulkan keraguan tentang integritas seseorang atau validitas suatu keputusan. Gosip menyuntikkan kejahatan pada motif-motif orang lain, yang dengan demikian menyingkapkan dirinya sebagai anak Bapa Pendusta. Gosip mengambil sesuatu yang dikatakan di luar konteks, salah mengartikan maksud pembicara, membuka yang seharusnya dirahasiakan, dan berupaya mengangkat si penggosip dengan mengorbankan orang lain yang tidak hadir untuk berbicara bagi dirinya sendiri. Tidak sulit untuk melihat betapa merusaknya kelakuan ini di tempat kerja. Entah gosip itu menimbulkan tanda tanya pada reputasi seseorang, atau pentingnya suatu proyek, atau posisi yang diambil atasan, bayangan yang disebarkan kata-kata semacam itu membuat semua orang di sekitar penggosip menjadi lebih waspada dan curiga. Hal ini tak pelak menimbulkan perpecahan di antara para pekerja, entah itu di kantor, di lantai pabrik, atau di ruang eksekutif. Tak heran jika rasul Paulus memasukkan gosip di dalam daftar dosa-dosa yang menjijikkan bagi Allah (Roma 1:29).

Pekerja Yang Bijaksana Berbicara Dalam Kebaikan, Bukan Marah

Perempuan Pemberani “membuka mulutnya dengan hikmat, ajaran kasih setia ada di lidahnya” (Amsal 31:26). Tak ada yang suka menerima ledakan amarah, maka dengan mudah kita dapat menyadari bahaya yang dituliskan di sejumlah amsal: “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah” (Amsal 15:1). “Akal budi membuat seseorang panjang sabar, dan kemuliaannya ialah memaafkan pelanggaran” (Amsal 19:11). “Pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang panjang sabar memadamkan perbantahan” (Amsal 15:18). “Orang yang sabar melebihi seorang pejuang, orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32).

Keindahan amsal-amsal ini adalah karena memberi gambaran tentang orang yang bisa berhasil mengendalikan amarah juga. Kita harus “marah” (geram secara moral) terhadap dosa, namun kita tidak boleh membiarkan “kemarahan” (murka) mengendalikan kita. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam kemarahanmu” (Efesus 4:26). Orang bijaksana memberikan jawaban yang lemah lembut, memaafkan kesalahan, dan meredakan perselisihan. “Ajaran kebaikan” (LAI: ajaran kasih setia) ada di lidah Perempuan Pemberani. Orang seperti itu “lebih baik daripada orang-orang perkasa.” Di tempat kerja, orang-orang seperti itu sangat dibutuhkan ketika kegusaraan meningkat atau kemarahan timbul.[1] Sebagai pengikut Yesus Kristus, kita dapat menunjukkan buah Roh Allah ketika kita mengendalikan lidah kita, bukan saja dengan menjauhi ucapan kemarahan kita sendiri, tetapi juga dengan menjadi pengaruh yang menenangkan di dalam suasana yang kadang-menegangkan.

Pekerja Yang Bijaksana Memberkati Orang Lain

Berkat-berkat lidah yang bijaksana didasarkan pada realitas bahwa “Bagaikan apel emas di pinggan perak, demikianlah perkataan yang diucapkan pada waktu yang tepat. Bagaikan cincin emas dan hiasan kencana, demikianlah teguran orang bijak di telinga yang mendengar” (Amsal 25:11-12). Di tempat kerja, kita sering dikelilingi rekan-rekan kerja yang gelisah, dan perkataan yang baik bisa jadi merupakan hal yang tepat yang mereka butuhkan. “Kekhawatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia” (Amsal 12:25). Kita siap memberikan perkataan yang baik itu karena “lidah lembut adalah pohon kehidupan” (Amsal 15:4). Sesungguhnya “hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggunakannya akan memakan buahnya” (Amsal 18:21).

Di tempat kerja zaman elektronik seperti sekarang ini, “lidah” tidak hanya terbatas pada kata-kata yang dapat didengar saja. Gosip, kebohongan, dan kata-kata marah dapat tersebar dengan kecepatan cahaya melalui surel, blog, cuitan, dan media sosial. Kita dipanggil untuk peka, untuk menyadari bahwa hidup dan mati benar-benar dikuasai oleh kata-kata yang kita gunakan untuk menopang atau menentang satu sama lain di tempat kerja.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati (Amsal)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Amsal memuji kerendah-hatian, baik dalam sikap (tidak berbangga diri secara berlebihan) maupun dalam penggunaan uang (tidak belanja secara berlebihan). Kebajikan ini tidak tampak pada gambaran tentang Perempuan Pemberani. Tetapi sifat-sifat baik ini muncul dengan sangat kuat di bagian lain kitab Amsal dan sangat berkaitan langsung dengan pekerjaan, sehingga tidaklah adil bagi kitab ini jika kita tidak menyebutkannya.

Pekerja Yang Rendah Hati Tidak Sombong

“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. Lebih baik merendahkan diri dengan orang miskin daripada membagi rampasan dengan orang congkak” (Amsal 16:18-19). Ayat 18 mungkin merupakan amsal yang paling terkenal di antara semuanya. Dan masih ada amsal-amsal lainnya.

Bila keangkuhan tiba, datang juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati. (Amsal 11:2)
Mata congkak dan hati sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa. (Amsal 21:4)
Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian. (Amsal 29:23)

Apakah perintah-perintah Amsal ini bertentangan dengan menghargai-diri sendiri? Tidak, amsal-amsal ini adalah panggilan untuk hidup dalam kekaguman dan rasa hormat pada Allah (“takut akan Allah”) sedemikian rupa sampai kita melihat diri kita sebagaimana diri kita yang sebenarnya dan dapat jujur pada diri sendiri tentang diri kita. Jika kita takut akan Allah, kita tak perlu takut lagi dengan citra-diri kita sendiri, dan kita dapat melepaskan diri dari usaha-usaha untuk meninggikan diri. Ini karena kita bersandar pada pemahaman bahwa Allah pada akhirnya akan menang atas dunia yang sudah rusak dan berdosa ini. Tuhan mengenal jalan orang benar—bahkan di tempat kerja. Pada akhirnya, Allah akan meninggikan orang-orang yang menaruh kepercayaannya kepada-Nya.

Pekerja Yang Rendah Hati Tidak Didorong Oleh Godaan Kekayaan

Agus, orang bijak kuno—narasumber dari kumpulan amsal menjelang kompilasi terakhir kitab ini—mewariskan doa bijak pada kita. “Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dariku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya jangan kalau aku kenyang, aku menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? atau kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku” (Amsal 30:7-9). Ini adalah kata-kata bijak untuk kita di dunia kerja, “Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan.”

Kita bekerja untuk mencari nafkah, untuk menikmati kenyamanan dan keamanan dalam ukuran tertentu, untuk menafkahi keluarga kita dan untuk berkontribusi bagi orang miskin dan masyarakat luas. Apakah itu cukup atau apakah kita terdorong untuk berjuang untuk sesuatu yang lebih? Agur menghubungkan keinginan untuk sesuatu yang lebih dengan meninggalkan Allah dalam hidup kita, dengan mengabaikan Pencipta kita dan tujuan-tujuan-Nya untuk kita. Agur juga berdoa agar ia tidak hidup dalam kemiskinan, melainkan agar Allah memberinya makanan yang ia butuhkan. Ini adalah doa yang sah. Yesus mengajar kita berdoa, “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11).

Tetapi, jika kita menjadikan pekerjaan kita sebagai usaha mencari kekayaan yang terus bertambah banyak—dengan kata lain, serakah—kita telah meninggalkan jalan hikmat. Kita mungkin mencari kekayaan—secara disadari atau tidak—karena kekayaan tampaknya memberikan bukti nyata tentang kesuksesan dan harga diri kita. Tetapi kenyamanan dari kekayaan itu adalah khayalan. “Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya” (Amsal 18:11). “Orang kaya menganggap dirinya bijak, tetapi orang miskin yang berpengertian mengenal dia” (Amsal 28:11). Kenyataannya, kekayaan tidak membuat masalah-masalah berakhir. Kekayaan hanya mengganti masalah-masalah kemiskinan dengan masalah-masalah kekayaan. “Kekayaan adalah tebusan nyawa seseorang, tetapi orang miskin tidak akan mendengar ancaman” (Amsal 13:8). Kekayaan sebenarnya tidak dapat membuat kita merasa lebih aman. “Siapa mengandalkan kekayaannya akan jatuh” (Amsal 11:28). Kita harus waspada, terutama agar tidak mengorbankan kekayaan hidup demi mendapatkan kekayaan uang/ harta. “Orang yang kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui bahwa ia akan ditimpa kekurangan” (Amsal 28:22). “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini” (Amsal 23:4). Secara khusus, orang bijak harus lebih mementingkan reputasi kejujuran mereka daripada rekening bank mereka. “Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas” (Amsal 22:1).

Amsal sendiri pada dasarnya tidak menentang kekayaan. Sesungguhnya, kekayaan itu dapat merupakan berkat. “Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, jerih payah tidak akan menambahinya” (Amsal 10:22). Obsesi terhadap kekayaanlah yang menjadikannya berbahaya.

Setidaknya, amsal-amsal tentang kerendah-hatian mengingatkan kita bahwa penyelidikan kita tentang kitab ini melalui kacamata Perempuan Pemberani bisa menjadi pegangan yang berguna, tetapi ini belum memberikan keseluruhan kontribusi kitab ini pada teori dan praktik tentang bekerja. Semua amsal layak dipelajari lebih lanjut melampaui kilasan yang dilihat dalam tulisan ini! Kami mendorong orang-orang yang mendapat manfaat dari tulisan ini untuk melanjutkan membaca kitab Amsal untuk menemukan makna dan aplikasi-aplikasi lebih lanjut, serta merefleksikannya dalam pengalaman mereka sendiri dalam terang hikmat Allah.

Konklusi Kitab Amsal

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pada akhirnya, kebiasaan-kebiasaan kerja kita dibentuk oleh karakter kita, yang pada gilirannya dibentuk oleh pengenalan kita akan wahyu Tuhan dan rasa takut kita akan Dia. Ketika kita mengenal Tuhan lebih dalam, karakter kita diubahkan menjadi seperti karakter Allah. Sungguh, “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN” (Amsal 9:10). Hikmat memberi hidup kepada semua aspek kehidupan, termasuk tempat kerja, tempat sebagian besar dari kita menghabiskan bagian terbesar dari waktu bangun kita. Hikmat memimpin kita kepada tindakan-tindakan yang dapat dipercaya, kerajinan, kecerdikan yang sehat, kemurahan hati, keadilan bagi yang membutuhkan, pengendalian ucapan kita, dan kepada kehidupan yang rendah hati. Dengan hikmat kita percaya Allah membentuk tujuan akhir kita dan mengendalikan akhir kita. “Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu” (Amsal 16:3).

Indeks Ayat-ayat dan Tema-tema Pokok Kitab Amsal

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat-ayat

Tautan ke Bagian Pembahasan

Ayat-ayat dari Kitab Amsal

Amsal 1:1-2 - Amsal-amsal Salomo putra Daud, raja Israel, untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna.

Introduksi Kitab Amsal

Tentang Kitab Amsal

Amsal 1:2-7 – Untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna… Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.

Tentang Kitab Amsal

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Amsal 1:4 – Untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda

Tentang Kitab Amsal

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 1:4-5 – Untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda – baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu, dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan

Tentang Kitab Amsal

Amsal 1:5-6 - Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu, dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan -- untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan orang bijak dan teka-teki mereka.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 1:20-33Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya… Siapa mendengarkan aku, ia akan tinggal dengan aman, aman dari kengerian akan malapetaka.

Perempuan Pemberani

Amsal 2:1, 5 - Hai Anakku, jikalau engkau menerima perkataanku dan menyimpan perintahku dalam hatimu, … maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah.

Introduksi Kitab Amsal

Amsal 2:5-6 - Engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah. Karena TUHANlah yang memberi hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Amsal 2:6 - TUHANlah yang memberi hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 3:5 - Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 3:7 - Janganlah engkau menganggap dirimu bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan.

Tentang Kitab Amsal

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Amsal 3:21 - Hai Anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan menjauh dari matamu, peliharalah itu.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 3:24 - Engkau akan berbaring dan tidur nyenyak.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 3:27-28 - Janganlah menahan kebaikan dari orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: "Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi," sedangkan yang diminta ada padamu.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 4:11 - Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, Aku memimpin engkau di jalan yang lurus

Introduksi Kitab Amsal

Amsal 6:6-11Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah kelakuannya dan jadilah bijak… “Sebentar-sebentar tidur, sebentar-sebentar mengantuk, sebentar-sebentar melipat tangan untuk tetap berbaring”, maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 6:16 - Enam perkara ini yang dibenci TUHAN…

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Amsal 6:16-19 - Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan tujuh perkara yang menjijikkan bagi diri-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang meniupkan kebohongan dan menimbulkan pertengkaran saudara.

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 6:17 - Mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tak bersalah.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 6:24 - Yang melindungi engkau dari perempuan jahat, dari kelicikan lidah perempuan binal.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 8:6-7 - Aku akan mengatakan hal-hal yang mulia dan akan membuka bibirku tentang hal-hal yang benar. Karena lidahku mengatakan kebenaran, dan kefasikan itu menjijikkan bagi bibirku.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 8:15 - Karena aku para raja memerintah, dan para pembesar menetapkan keadilan.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 8:35-36 - Siapa mendapatkan aku, mendapatkan hidup, dan TUHAN berkenan kepadanya. Tetapi siapa tidak mendapatkan aku, merugikan dirinya; semua orang yang membenci aku, mencintai maut.

Introduksi Kitab Amsal

Amsal 9:10 - Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Maha Kudus adalah pengertian.

Introduksi Kitab Amsal

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Amsal 10:4-5 - Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya. Siapa mengumpulkan di musim panas, ia anak yang berakal budi; siapa tidur di waktu panen, ia anak yang membuat malu.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 10:18 - Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa memfitnah, dialah orang bebal.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 10:18-19 - Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa memfitnah, dialah orang bebal. Dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, ia berakal budi.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 10:20 - Lidah orang benar seperti perak pilihan, tetapi pikiran orang fasik sedikit nilainya

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 10:22 - Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, jerih payah tidak akan menambahinya.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 10:26 - Seperti cuka bagi gigi dan asap bagi mata, demikianlah si pemalas bagi orang yang menyuruhnya.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 10:31- Mulut orang benar mengeluarkan hikmat, tetapi lidah bercabang akan dikerat.

Introduksi Kitab Amsal

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 11:1 - Neraca yang curang menjijikkan bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat.

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 11:2 - Bila keangkuhan tiba, datang juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 11:3 - Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 11:12-13 - Siapa menghina sesamanya, tidak berakal budi, tetapi orang yang pandai, berdiam diri. Siapa menyebar fitnah, membuka rahasia, tetapi siapa yang setia, menutupi perkara.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 11:24-26 - Ada yang gemar memberi, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara berlebihan, namun selalu kekurangan. …Siapa menahan gandum akan dikutuki orang, tetapi berkat turun atas kepala orang yang menjual gandum.

Pekerja Yang Bijak Itu Murah Hati

Amsal 11:28 - Siapa mengandalkan kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 12:11- Siapa mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar hal yang sia-sia, tidak berakal budi.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 12:17-20 - Siapa mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil, tetapi saksi dusta menyatakan tipu daya. Ada orang yang mulutnya lancang seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan. Bibir kebenaran tetap untuk selama-lamanya, tetapi lidah dusta hanya untuk sekejap mata. Tipu daya ada dalam hati orang yang merencanakan kejahatan, tetapi orang yang menyarankan damai mendapat sukacita.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 12:18 - Ada orang yang mulutnya lancang seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 12:19 - Bibir kebenaran tetap untuk selama-lamanya, tetapi lidah dusta hanya untuk sekejap mata

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 12:22 - Orang yang dusta bibirnya menjijikkan bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia disenangi-Nya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 12:24 - Tangan orang rajin akan memegang kekuasaan, tetapi kemalasan mengakibatkan kerja paksa.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 12:25 - Kekhawatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 13:5 - Orang benar benci kepada dusta, tetapi orang fasik busuk dan memalukan.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 13:8 - Kekayaan adalah tebusan nyawa seseorang, tetapi orang miskin tidak akan mendengar ancaman.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 14:16 - Orang bijak berhati-hati dan menjauhi kejahatan.

Introduksi Kitab Amsal

Amsal 14:21 - Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang berbelas kasihan kepada orang yang miskin.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 14:25 - Saksi yang setia menyelamatkan hidup, tetapi siapa meniupkan kebohongan adalah pengkhianat.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 14:31 - Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa berbelas kasihan kepada orang miskin memuliakan Dia.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 15:1 - Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan kemarahan.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 15:2 - Lidah orang bijak membuat pengetahuan menarik, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 15:3 - Mata TUHAN ada di segala tempat.

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Amsal 15:4 - Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 15:18 - Pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang panjang sabar memadamkan perbantahan

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 15:22 - Rancangan gagal kalau tidak ada musyawarah, tetapi terlaksana kalau banyak penasihat

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 16:1 - Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari TUHAN.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 16:3 - Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.

Konklusi Kitab Amsal

Amsal 16:8 - Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada penghasilan banyak tanpa keadilan.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 16:11 - Timbangan dan neraca yang betul adalah kepunyaan TUHAN, segala batu timbangan di dalam pundi-pundi adalah buatan-Nya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 16:12 - Melakukan kefasikan menjijikkan bagi raja, karena takhta menjadi kukuh oleh kebenaran

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 16:13 - Bibir yang benar disenangi raja, dan orang yang berbicara jujur akan dikasihi-Nya.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 16:18-19 - Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. Lebih baik merendahkan diri dengan orang miskin daripada membagi rampasan dengan orang congkak.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 16:27-28 - Orang yang tidak berguna menggali lubang kejahatan, dan di bibirnya seolah-olah ada api yang menghanguskan. Orang yang curang menimbulkan pertengkaran, dan seorang pemfitnah menceraikan sahabat karib.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 16:32 - Orang yang sabar melebihi seorang pejuang, orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 17:4 - Orang yang berbuat jahat memperhatikan bibir jahat, pendusta memberi telinga kepada lidah yang mencelakakan.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 17:5 - Siapa mengolok-olok orang miskin menghina Penciptanya; siapa bergembira atas malapetaka tidak akan luput dari hukuman

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 17:20 - Orang yang serong hatinya tidak akan mendapat kebahagiaan, orang yang memutar balik lidahnya akan jatuh ke dalam celaka.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 17:28 - Orang bodoh pun akan disangka bijak kalau ia diam, dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 18:6-8 Bibir orang bebal menimbulkan perbantahan, dan mulutnya berseru meminta pukulan. Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya. Seperti makanan lezat perkataan pemfitnah masuk ke lubuk hati.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 18:9 Orang yang bermalas-malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara si perusak.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Amsal 18:11 Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 18:21 - Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggunakannya, akan memakan buahnya.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 19:5 - Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang meniupkan kebohongan tidak akan terlepas.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 19:11 - Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan kemuliaannya ialah memaafkan pelanggaran.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 19:14 - Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi dari TUHANlah isteri yang berakal budi.

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 19:17 - Siapa berbelas kasihan kepada orang miskin, memberi piutang kepada TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.

Pekerja Yang Bijak Itu Murah Hati

Amsal 19:21 - Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 19:23 - Takut akan TUHAN mendatangkan hidup, maka orang bermalam dengan puas, tanpa ditimpa malapetaka.

Introduksi Kitab Amsal

Amsal 20:10 - Dua macam batu timbangan, dua macam takaran, keduanya menjijikkan bagi TUHAN.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 20:13 - Janganlah menyukai tidur supaya engkau tidak jatuh miskin, bukalah matamu dan engkau akan kenyang dengan makanan.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 20:14 - "Jelek! Jelek!," kata si pembeli, tetapi begitu ia pergi, ia memuji dirinya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 20:17 - Roti hasil tipuan sedap rasanya, tetapi kemudian mulutnya penuh dengan kerikil.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 20:18 - Rancangan ditetapkan dengan pertimbangan, sebab itu berperanglah dengan siasat.

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 20:19 - Siapa bergunjing, membuka rahasia, sebab itu janganlah bergaul dengan orang yang bocor mulut.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 20:23 - Dua macam batu timbangan menjijikkan bagi TUHAN, dan neraca curang itu tidak baik.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 21:4 - Mata congkak dan hati sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 21:5 - Rancangan orang rajin pasti mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa pasti akan mengalami kekurangan.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 21:6 - Memperoleh harta benda dengan lidah dusta adalah uap yang lenyap dari orang yang mencari maut.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 21:13 - Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 21:23 - Siapa menjaga mulut dan lidahnya, memelihara diri dari kesukaran.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 21:30 - Tidak ada hikmat dan pengertian, dan tidak ada pertimbangan yang dapat menandingi TUHAN.

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 22:1 - Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 22:6 - Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 22:8-9 - Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amarahnya akan sirna. Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan orang miskin.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 22:16 - Orang yang menindas orang lemah untuk menguntungkan diri atau memberi hadiah kepada orang kaya, hanya merugikan diri saja.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 22:22-23 - Janganlah merampasi orang lemah karena ia lemah, dan janganlah menginjak-injak orang miskin di pintu gerbang. Sebab TUHAN membela perkara mereka, dan mengambil nyawa orang yang merampasi mereka.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 23:4 - Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 23:10-11 - Jangan engkau memindahkan batas tanah yang lama, dan memasuki ladang anak-anak yatim. Karena penebus mereka kuat, Dialah yang membela perkara mereka melawan engkau.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 23:23 - Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 24:17 - Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu bersukaria kalau ia terperosok.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 24:27 - Bereskanlah pekerjaanmu di luar, siapkanlah itu bagimu di ladang; kemudian barulah engkau mendirikan rumahmu.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 24:28 - Jangan menjadi saksi terhadap sesamamu tanpa sebab, dan menipu dengan bibirmu.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 24:30-34 - Aku melewati ladang seorang pemalas dan kebun anggur orang yang tidak berakal budi. … “Sebentar-sebentar tidur, sebentar-sebentar mengantuk, sebentar-sebentar melipat tangan untuk tetap berbaring,” maka datanglah kemiskinan seperti penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 25:5 - Singkirkanlah orang fasik dari hadapan raja, maka kokohlah takhtanya oleh keadilan.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 25:11-12 - Bagaikan apel emas di pinggan perak, demikianlah perkataan yang diucapkan pada waktu yang tepat. Bagaikan cincin emas dan hiasan kencana, demikianlah teguran orang bijak di telinga yang mendengar.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 25:15 - Dengan kesabaran seorang penguasa dapat diyakinkan dan lidah lembut mematahkan tulang.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 25:18 – Bagaikan gada, atau pedang, atau anak panah yang tajam, demikianlah orang yang bersaksi dusta terhadap sesamanya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 25:21-22 - Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan membuatnya malu seperti menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas kebaikan itu kepadamu.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 25:23 - Angin utara mendatangkan hujan lebat, bicara secara rahasia mendatangkan muka marah.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 26:20-21 - Bila kayu habis, padamlah api; bila pemfitnah tak ada, redalah pertengkaran. Bagaikan arang untuk bara menyala dan kayu untuk api, demikianlah orang yang suka bertengkar untuk memanaskan perbantahan.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 26:24-25 - Pembenci berpura-pura dengan bibirnya, tetapi dalam hatinya terkandung tipu daya. Apabila ramah perkataannya, janganlah percaya padanya, karena tujuh hal yang menjijikkan ada dalam hatinya

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Amsal 26:28 - Lidah dusta membenci korbannya, dan mulut licin mendatangkan kehancuran.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 27:1 - Janganlah memuji diri tentang esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 27:23-27 - Kenallah baik-baik keadaan kambing dombamu, perhatikanlah kawanan ternakmu. Sebab, harta benda tidak abadi dan mahkota tidak turun-temurun. … engkau mempunyai … cukup susu kambing untuk makananmu dan makanan keluargamu, serta untuk kehidupan pelayan-pelayanmu perempuan.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 28:2 - Karena orang yang berpengertian dan berpengetahuan, bertahanlah ketertiban.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 28:8 – Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba atau laba, mengumpulkan itu untuk orang yang berbelas kasihan kepada orang lemah.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 28:11 - Orang kaya menganggap dirinya bijak, tetapi orang miskin yang berpengertian mengenal dia

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 28:19 - Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 28:22 - Orang yang kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui bahwa ia akan ditimpa kekurangan

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 28:23 - Siapa menegur orang akan mendapat kemurahan lebih daripada orang yang menjilat.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Amsal 28:27 - Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki.

Pekerja Yang Bijak Itu Murah Hati

Amsal 29:4 - Raja mempertahankan negeri dengan keadilan, tetapi seorang yang menuntut banyak pajak meruntuhkannya.

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 29:14 - Raja yang menghakimi orang lemah dengan adil, takhtanya tetap kukuh untuk selama-lamanya

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Amsal 29:23 - Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 29:24 - Siapa menerima bagian dari pencuri, membenci dirinya; ia telah mendengar kutuk untuk bersaksi, tetapi tidak memberi keterangan.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Setia pada Tanggung Jawab Yang Dipercayakan padanya

Amsal 30:7-9 - Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dariku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya jangan kalau aku kenyang, aku menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Amsal 30:17 - Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu, akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali.

Tentang Kitab Amsal

Amsal 31:3 - Jangan berikan kekuatanmu kepada perempuan, dan jalanmu kepada perempuan-perempuan yang membinasakan raja-raja

Perempuan Pemberani

Amsal 31:10 - Isteri yang cakap siapa yang dapat menemukannya? Ia jauh lebih berharga daripada permata.

Perempuan Pemberani

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:11 - Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.

Perempuan Pemberani

Pekerja Yang Bijak Dapat Dipercaya

Amsal 31:12, 28 - Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya…. Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, suaminya pun memuji dia.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Setia pada Tanggung Jawab Yang Dipercayakan padanya

Amsal 31:13 - Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:13-14 - Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. Ia seperti kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya.

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 31:14 - Ia seperti kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:15 - Ia bangun ketika masih gelap, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan.

Perempuan Pemberani

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:16 - Ia membeli ladang sesudah mempertimbangkannya, dan dari hasil tangannya ia membuka kebun anggur.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:17 - Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya.

Perempuan Pemberani

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 31:18 - Ia tahu bahwa usahanya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:19 - Tangannya ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal.

Pekerja Yang Bijak Itu Murah Hati

Amsal 31:20 - Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Pekerja Yang Bijak Itu Murah Hati

Amsal 31:21-22 - Ia tidak khawatir akan seisi rumahnya ketika salju turun, karena seluruh isi rumahnya berpakaian rangkap. Ia membuat permadani bagi dirinya, linen halus dan kain ungu pakaiannya.

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 31:23 - Suaminya dikenal di pintu gerbang ketika duduk bersama para tua-tua negeri.

Perempuan Pemberani

Pekerja Yang Bijak Itu Cerdik

Amsal 31:24 - Ia membuat pakaian dari linen dan menjualnya, ia menyediakan ikat pinggang kepada pedagang.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:25 - Kekuatan dan kehormatan menjadi pakaiannya, ia tertawa tentang hari depan.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Amsal 31:26 - Ia membuka mulutnya dengan hikmat, ajaran kasih setia ada di lidahnya.

The Wise Worker Guards the Tongue

Amsal 31:27 - Ia mengawasi segala urusan rumah-tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Amsal 31:30 - Kemolekan itu menipu dan kecantikan sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.

Apa Hubungan Kitab Amsal dengan Pekerjaan?

Perempuan Pemberani

Amsal 31:31 - Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang!

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Setia

Ayat-ayat dari Kitab Lainnya

Kejadian 2:15 - TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu.

Pekerja Yang Bijak Dapat Dipercaya

Keluaran 1:15-20 - Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain bernama Pua, katanya: "Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan jenis kelamin anak itu: jika anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, biarkan ia hidup." Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak melakukan seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, sehingga mereka membiarkan bayi-bayi itu hidup. … Allah berbuat baik kepada bidan-bidan itu; bangsa itu bertambah banyak dan menjadi sangat kuat.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Keluaran 20:16 - Jangan memberikan kesaksian dusta terhadap sesamamu.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Yosua 2:1 - Yosua bin Nun dengan diam-diam mengutus dari Sitim dua orang pengintai, katanya: "Pergilah, amat-amatilah negeri itu dan kota Yerikho." Mereka pun pergi dan sampai di rumah seorang pelacur bernama Rahab lalu menginap di situ.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

1 Samuel 21:1-3 - Daud datang ke Nob kepada Imam Ahimelekh. Dengan gemetar Ahimelekh menemui Daud dan berkata kepadanya: "Mengapa engkau seorang diri dan tidak seorang pun bersamamu?" Jawab Daud kepada Imam Ahimelekh: "Raja memberi tugas kepadaku. Ia berkata kepadaku: Seorang pun tidak boleh mengetahui apa-apa tentang tugas yang kuberikan kepadamu dan yang kuperintahkan kepadamu. …Berikanlah kepadaku lima roti atau apa saja yang ada."

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

1 Tawarikh 7:2 - Keturunan Tola ialah Uzi, Refaya, Yeriel, Yahmai, Yibsam dan Samuel, kepala-kepala kaum keluarga Tola, pejuang-pejuang yang gagah perkasa. Menurut daftar keturunan mereka jumlahnya di zaman Daud ada dua puluh dua ribu enam ratus orang.

Perempuan Pemberani

Matius 6:11 - Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.

Pekerja Yang Bijak Itu Rendah Hati

Matius 6:34 - Janganlah khawatir tentang hari esok.

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Matius 10:16 - Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.

Introduksi Kitab Amsal

Matius 25:14-30 - "Sebab, Kerajaan Surga seumpama seseorang yang mau bepergian. Ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberinya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya… Sebab, setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Namun siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil darinya. Tentang hamba yang tidak berguna itu, campakkanlah dia ke dalam kegelapan di luar. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertak gigi."

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Lukas 14:28-30 - Siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, apakah uangnya cukup untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Jangan sampai, setelah ia meletakkan dasarnya namun tidak mampu menyelesaikannya, semua orang yang melihatnya, mengejek dia dan berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak mampu menyelesaikannya

Pekerja Yang Bijak Itu Rajin

Roma 1:29 – [Mereka] penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Roma 12:21 - Janganlah dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!

Pekerja Yang Bijak Itu Adil

Efesus 4:15 – Sebaliknya, dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.

Pekerja Yang Dapat Dipercaya Itu Jujur

Efesus 4:26 - Apabila kamu menjadi marah, janganlah berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam kemarahmu.

Pekerja Yang Bijak Menjaga Lidah

Introduksi Kitab Pengkhotbah

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Pengkhotbah dengan piawai menggambarkan tentang kerja keras dan sukacita, keberhasilan yang tak abadi, dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang kita semua hadapi dalam pekerjaan kita. Kitab ini merupakan salah satu kitab favorit banyak pekerja Kristen, dan naratornya—yang dalam banyak versi Alkitab bahasa Inggris disebut Teacher (Sang Guru, tetapi di sini kita sebut Sang Pengkhotbah, sesuai judul kitabnya)—berbicara banyak tentang hal kerja. Kebanyakan pengajarannya singkat tetapi jelas, praktis dan cerdas. Siapa pun yang pernah bekerja dalam tim dapat mengapresiasi nilai dari pepatah seperti, “Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka” (Pengkhotbah 4:9). Kebanyakan dari kita menghabiskan sebagian besar waktu hidup kita untuk bekerja, dan kita mendapat peneguhan ketika Sang Pengkhotbah berkata, “Aku memuji kegembiraaan, karena tak ada yang baik bagi manusia di bawah matahari, selain makan minum dan bergembira ria. Hal itulah yang menyertai dia di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari” (Pengkhotbah 8:15).

Tetapi gambaran Sang Pengkhotbah tentang bekerja juga sangat meresahkan. “Ketika aku meninjau segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala jerih payah yang telah kulakukan untuk itu, lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:11). Berbagai pengamatan tentang bekerja yang hampir kebanyakan sangat negatif mengancam membanjiri pembaca. Sang Pengkhotbah mengawali dengan “kesia-siaan belaka” (Pengkhotbah 1:2) dan mengakhiri dengan “semuanya sia-sia” (Pengkhotbah 12:8). Kata-kata dan frasa-frasa yang paling sering diulangi adalah “kesia-siaan”, “usaha menjaring angin”, “tidak menemukan”, dan “tidak dapat menyelami.” Sesungguhnya, jika tidak ada perspektif lebih luas yang menetralisir pengamatan-pengamatannya, kitab Pengkhotbah bisa menjadi kitab yang sangat suram.

Memahami kitab ini secara keseluruhan adalah tugas yang sulit. Apakah kitab Pengkhotbah benar-benar menggambarkan bekerja itu sebagai kesia-siaan, atau apakah Sang Pengkhotbah sedang menyaring berbagai macam cara kerja yang sia-sia agar dapat menemukan seperangkat inti cara kerja yang bermakna? Atau, sebaliknya, apakah berbagai pepatah dan pengamatan positif itu dibuat negatif oleh penilaian keseluruhan tentang kerja sebagai “usaha menjaring angin”? Jawabannya kebanyakan tergantung pada cara kita membaca kitab ini.

Salah satu cara membaca kitab Pengkhotbah adalah dengan memandangnya hanya sebagai kumpulan pengamatan tentang kehidupan, termasuk pekerjaan. Menurut pendekatan ini, Sang Pengkhotbah hanyalah seorang pengamat yang realistis yang melaporkan naik turunnya kehidupan ketika ia menjumpainya. Setiap pengamatan berdiri sendiri sebagai sebuah hikmat. Jika kita mengambil nasihat yang baik dari, misalnya, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya” (Pengkhotbah 2:24), kita tak perlu terlalu risau bahwa nasihat itu langsung diikuti dengan, “Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:26).

Pembaca yang ingin memakai pendekatan ini berada di rombongan yang baik. Mayoritas pakar saat ini tidak mengakui argumen yang menyatakan kitab Pengkhotbah memiliki tema yang komprehensif, dan bahkan di antara yang mengakui, “hampir tak ada penafsir yang sependapat satu dengan yang lain."[1] Tetapi ada yang tidak memuaskan juga pada pendekatan yang tidak menyeluruh itu. Kita tentu ingin tahu, “Apa pesan keseluruhan dari kitab Pengkhotbah?” Jika kita ingin menemukan hal ini, kita harus mencari struktur yang menyatukan berbagai pengamatan paralel yang ada dalam kitab itu.

Kita akan mengikuti struktur yang dikemukakan pertama kali oleh Addison Wright pada tahun 1968, yang membagi kitab ini dalam unit-unit pemikiran.[2] Struktur Wright diterima karena tiga alasan: 1) didasarkan secara objektif pada pengulangan frasa-frasa kunci dalam teks kitab Pengkhotbah, bukan pada penafsiran yang subjektif tentang isinya; 2) diterima oleh lebih banyak pakar—meski diakui masih sekelompok minoritas kecil—daripada yang lainnya;[3]

an 3) menyoroti topik-topik yang berkaitan dengan kerja. Kita tak punya waktu untuk mengulas argumen-argumen Wright, tetapi kita akan memerhatikan frasa-frasa yang diulang-ulang yang menunjukkan unit-unit pemikiran yang dikemukakannya. Pada paruhan pertama kitab ini, frasa “usaha menjaring angin” menandai akhir setiap unit pemikiran. Pada paruhan kedua, frasa “tidak mengetahui” (atau “siapa yang dapat mengetahui?”) menunjukkan fungsi yang sama. Struktur Wright akan berkontribusi langsung pada seluruh pembahasan kita tentang kitab ini.

Ada istilah lain, “di bawah matahari,” yang tak bisa luput dari perhatian kita ketika membaca kitab Pengkhotbah. Istilah ini muncul 29 kali di kitab ini, namun tidak ditemukan di kitab-kitab lainnya dalam Alkitab.[4]

Frasa ini mengingatkan pada istilah, “in the fallen world” (di dunia yang sudah jatuh dalam dosa) dari Kejadian 3, yang menggambarkan dunia ciptaan Allah yang tetap baik, tetapi sangat dicemari oleh yang buruk/jahat. Mengapa Sang Pengkhotbah begitu sering memakai frasa ini? Apakah ia bermaksud menegaskan kesia-siaan dalam bekerja dengan memunculkan gambaran tentang matahari yang tak pernah berhenti berputar sementara tak ada yang pernah berubah? Atau apakah ia membayangkan kemungkinan ada sebuah dunia di luar Kejatuhan, yang bukan “di bawah matahari,” di mana pekerjaan tidak akan menjadi sia-sia? Inilah pertanyaan yang patut diingat ketika kita membaca kitab Pengkhotbah.

Berkebalikan dengan kehidupan manusia di bawah matahari, Sang Pengkhotbah memberi kita pandangan-pandangan sekilas tentang Allah di surga. Kerja keras kita berlangsung singkat, tetapi “segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada selamanya” (Pengkhotbah 3:14). Pandangan-pandangan sekilas ini mulai memberi kita pemahaman tentang karakter Allah, yang kemungkinan akan membantu kita memahami tentang kehidupan. Kita akan memerhatikan yang diungkapkan kitab Pengkhotbah tentang karakter Allah ketika aspek-aspek itu muncul, dan kemudian mendalaminya secara bersama-sama di akhir kitab ini.

Bagaimanapun, kitab Pengkhotbah memberi kontribusi yang sangat berharga pada teologi kerja melalui pandangannya yang jujur dan apa adanya tentang realitas kerja. Semua orang bijaksana yang terlibat dalam pekerjaan, entah pengikut Kristus atau bukan, akan merasa terhubung. Kejujurannya yang menyegarkan membuka pintu bagi percakapan-percakapan mendalam tentang kerja, yang tidak sekadar memberi petunjuk yang terstruktur untuk melakukan bisnis dengan cara Allah seperti yang sangat lazim ditemukan di kalangan orang Kristen.

Bekerja di Bawah Matahari (Pengkhotbah 1:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bekerja adalah aktivitas pokok yang dibahas dalam kitab Pengkhotbah. Biasanya disebut dengan istilah “jerih payah” (Ibrani: amal) yang menunjukkan kesukaran kerja. Topik ini diperkenalkan di awal kitab, di Pengkhotbah 1:3: “Apa gunanya bagi manusia segala jerih payah yang dilakukannya di bawah matahari?” Penilaian Sang Pengkhotbah tentang jerih payah (kerja keras) adalah bahwa itu “sia-sia” (Pengkhotbah 2:1). Kata ini, dalam bahasa Ibrani: hebel, mendominasi kitab Pengkhotbah. Kata hebel sebenarnya berarti “napas”, tetapi kata itu kemudian merujuk pada sesuatu yang tidak substansial, berlangsung singkat, dan tidak bernilai tetap. Kata ini sangat cocok menjadi kata kunci kitab ini karena sebuah napas memang berlangsung singkat, tidak banyak substansi yang terlihat, dan cepat berlalu. Tetapi kelangsungan hidup kita bergantung pada keluar masuknya udara dari embusan napas yang singkat ini. Hanya tak lama, napas akan terhenti dan hidup akan berakhir. Dengan cara yang sama, kata hebel menggambarkan sesuatu yang berlangsung singkat dan pada akhirnya berakhir. Dalam satu hal, “kesia-siaan” merupakan terjemahan yang menyesatkan, karena kata itu tampaknya menekankan bahwa segala sesuatu tak berharga sama sekali. Padahal maksud sebenarnya dari kata hebel adalah tentang sesuatu yang nilainya hanya sekejap saja, yang cepat berlalu. Satu embusan napas mungkin tidak memiliki nilai permanen, tetapi justru melalui satu momen yang singkat inilah, kita bisa tetap hidup. Demikian pula, siapa kita dan apa yang kita lakukan dalam kehidupan yang fana ini memiliki arti yang nyata, meskipun hanya sementara.

Bayangkan pekerjaan membuat kapal. Oleh karena penciptaan Allah yang baik, bumi memiliki bahan-bahan yang kita perlukan untuk membuat kapal. Kecerdasan dan kerja keras manusia—yang juga diciptakan Allah—dapat menghasilkan kapal yang aman, canggih, bahkan indah. Kapal-kapal menjadi armada yang mengangkut makanan, sumber daya, barang-barang yang dihasilkan, dan orang-orang ke tempat yang membutuhkan. Ketika sebuah kapal diluncurkan dan botol sampanye dipecahkan di haluannya (sebagai tanda peresmian peluncuran kapal-Pen), semua orang yang terlibat dalam pekerjaan itu dapat merayakan pencapaian mereka. Namun begitu kapal itu meninggalkan pangkalan, para pembuatnya tak punya kendali lagi atasnya. Kapal itu bisa saja dikapteni orang bodoh yang mengkandaskannya di perairan dangkal. Atau bisa juga dicarter untuk menyelundupkan narkoba, senjata atau bahkan budak. Para awak kapalnya mungkin diperlakukan dengan buruk. Kapal itu mungkin bisa berfungsi dengan baik selama bertahun-tahun, namun bagaimanapun kapal itu akan menjadi aus dan ketinggalan zaman. Nasib akhirnya hampir pasti adalah di tempat perbengkelan kapal, yang mungkin terletak di wilayah yang kurang memerhatikan keselamatan kerja dan pencemaran lingkungan. Kapal itu pun “berlalu” seperti tiupan angin yang pernah menggerakkannya, mula-mula menjadi kerangka yang berkarat, lalu menjadi campuran besi daur ulang dan sampah yang dibuang, dan akhirnya tidak diketahui manusia. Kapal-kapal itu baik, tetapi tidak akan ada untuk selamanya. Selama kita hidup, kita akan selalu bekerja dalam ketegangan ini.

Hal ini membawa kita kepada gambaran tentang matahari yang terus berputar, yang telah kita bahas di bagian Introduksi (Pengkhotbah 1:5). Aktivitas tanpa henti dari benda besar di langit ini membawa cahaya dan kehangatan yang kita andalkan setiap hari, namun tidak mengubah apa pun seiring berjalannya waktu. “Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” (Pengkhotbah 1:9). Ini adalah pengamatan yang rasional, meskipun bukan penghukuman kekal, tentang pekerjaan kita.

Bekerja Itu Usaha Menjaring Angin (Pengkhotbah 1:12-6:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sesudah menyatakan temanya bahwa berjerih payah atau bekerja keras itusia-sia di Pengkhotbah 1:1-11, Sang Pengkhotbah melanjutkan dengan menyelidiki berbagai kemungkinan untuk berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Ia merenungkan, secara berurutan, tentang pencapaian, kesenangan, hikmat, kekayaan, waktu, persahabatan dan menemukan sukacita dalam karunia-karunia Allah. Ia memang menemukan makna tertentu pada beberapa hal ini, yang lebih sedikit pada penyelidikannya yang awal-awal, dan lebih banyak pada penyelidikannya yang setelah-setelahnya. Namun tampaknya tidak ada yang bernilai tetap, dan kesimpulan yang menjadi ciri dari setiap bagian itu adalah bahwa bekerja itu ”usaha menjaring angin.”

Pencapaian (Pengkhotbah 1:12-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertama-tama Sang Pengkhotbah menyelidiki tentang berbagai prestasi atau pencapaian. Ia adalah seorang raja dan sekaligus orang bijak—seorang “overachiever” (orang yang pencapaiannya melebihi normal dan ekpektasi, dan selalu ingin mencapai lebih lagi-Pen) jika memakai istilah sekarang—yang melebihi “setiap orang yang memerintah atas Yerusalem sebelumnya” (Pengkhotbah 1:16). Lalu apa arti semua pencapaiannya itu baginya? Tidak banyak. “Itulah kesibukan yang menyusahkan, yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk menyibukkan diri. Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 1:13-14). Bahkan tampaknya tak ada pencapaian abadi yang bisa terjadi. “Yang bengkok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung” (Pengkhotbah 1:15). Pencapaian tujuan-tujuan tidak memberinya kebahagiaan, karena hanya membuatnya menyadari betapa hampa dan terbatasnya segala yang dapat dicapainya. Singkatnya, ia berkata lagi, “Aku menyadari bahwa hal ini pun usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 1:17-18).

Kesenangan (Pengkhotbah 2:1-11)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selanjutnya ia berkata pada dirinya sendiri, “Baiklah, aku hendak mencoba kegirangan. Nikmati kesenangan!” (Pengkhotbah 2:1). Ia mengumpulkan kekayaan, rumah, taman, alkohol, pelayan (budak), perhiasan, hiburan, dan akses langsung kepada kesenangan seksual. “Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun” (Pengkhotbah 2:10a).

Berbeda dengan pencapaian, ia menemukan nilai/makna tertentu dalam mencari kesenangan. “Hatiku bersukacita atas segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku” (Pengkhotbah 2:10b). Segala pencapaiannya ternyata tidak ada yang baru, tetapi kesenangan-kesenangannya setidaknya menyenangkan. Tampaknya pekerjaan yang dilakukan sebagai sarana mencapai tujuan—dalam hal ini kesenangan—lebih memuaskan daripada pekerjaan yang dilakukan sebagai obsesi. Seperti kata pepatah, tanpa perlu memiliki “banyak selir” pun (Pengkhotbah 2:8), para pekerja masa kini bisa mengambil waktu untuk menikmati keharuman bunga mawar. Jika kita berhenti bekerja untuk mencapai tujuan yang lebih dari sekadar bekerja, jika kita tidak bisa lagi menikmati hasil kerja kita, maka kita telah menjadi budak pekerjaan, bukan tuannya.

Meskipun demikian, berjerih lelah untuk mendapatkan kesenangan semata pada akhirnya juga tidak memuaskan. Bagian ini diakhiri dengan penilaian bahwa, lagi-lagi “semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin; tidak ada yang bermakna di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).

Hikmat (Pengkhotbah 2:12-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mungkin baik mencari objek di luar pekerjaan itu sendiri, tetapi untuk itu diperlukan tujuan yang lebih tinggi dari kesenangan. Karena itu, Sang Pengkhotbah melaporkan, “Aku berpaling untuk meninjau hikmat, juga kekonyolan dan kebodohan” (Pengkhotbah 2:12). Dengan kata lain, ia menjadi seperti seorang profesor atau peneliti masa kini. Tidak seperti pencapaian yang dicapai demi pencapaian belaka, hikmat setidaknya bisa dicapai sampai tingkat tertentu. “Aku melihat bahwa hikmat lebih bermakna daripada kebodohan, seperti terang lebih berguna daripada kegelapan” (Pengkhotbah 2:13). Namun selain mengisi kepala dengan pikiran-pikiran yang tinggi, hikmat tidak membuat perbedaan nyata dalam kehidupan, karena “orang berhikmat mati juga seperti orang bodoh” (Pengkhotbah 2:16). Mengejar hikmat membawa Sang Pengkhotbah ke tepi jurang keputusasaan (Pengkhotbah 2:17), akibat yang masih terlalu lazim terjadi dalam pengejaran-pengejaran akademik saat ini. Sang Pengkhotbah menyimpulkan, “Semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:17).

Kekayaan (Pengkhotbah 2:18-26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah lalu beralih kepada kekayaan, yang bisa diperoleh sebagai hasil berjerih lelah. Bagaimana dengan penumpukan kekayaan sebagai tujuan yang lebih tinggi dari bekerja? Tindakan ini ternyata lebih buruk daripada memakai kekayaan untuk memperoleh kesenangan. Kekayaan menimbulkan masalah warisan. Ketika Anda mati, kekayaan yang Anda kumpulkan itu akan beralih kepada orang lain yang kemungkinan tidak pantas mendapatkannya sama sekali. “Kalau ada orang berjerih payah dengan hikmat, pengetahuan, dan keterampilan, ia harus meninggalkan bagiannya kepada orang yang tidak berjerih payah untuk itu. Ini pun kesia-siaan dan kemalangan yang besar” (Pengkhotbah 2:21). Hal ini sangat menyakitkan sampai Si Pengkhotbah berkata, “Aku pun mulai putus asa” (Pengkhotbah 2:20).

Di sini, kita menemukan pandangan sekilas kita yang pertama tentang karakter Allah. Allah itu Pemberi. “Kepada orang yang disenangi-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan, dan sukacita” (Pengkhotbah 2:26). Aspek karakter Allah ini diulangi beberapa kali di kitab Pengkhotbah, dan karunia pemberian-Nya meliputi makanan, minuman dan kegembiraan (Pengkhotbah 5:17, 8:15), kekayaan dan harta benda (Pengkhotbah 5:18, 6:2), kemuliaan (Pengkhotbah 6:2), integritas (Pengkhotbah 7:29), dunia yang kita diami (Pengkhotbah 11:5), dan kehidupan itu sendiri (Pengkhotbah 12:7).

Seperti Sang Pengkhotbah, banyak orang masa kini yang menimbun banyak kekayaan juga mendapati hal itu sangat tidak memuaskan. Meskipun kita sudah menjadi kaya raya, berapa banyak pun harta yang kita miliki tampaknya tak pernah cukup. Ketika kita menjadi kaya raya dan mulai menyadari tentang kemungkinan kita akan mati, membagikan kekayaan kita dengan bijak tampaknya menjadi beban yang hampir tak tertahankan. Andrew Carnegie menyadari beratnya beban ini ketika ia berkata, “Aku memutuskan untuk berhenti mengumpulkan (kekayaan) dan memulai tugas yang jauh lebih serius dan sulit, yaitu membagikan dengan bijak.”[1]

Dan, jika Allah itu Pemberi, tak mengherankan jika membagikan kekayaan, bukan hanya menimbunnya, bisa lebih memuaskan.

Tetapi Sang Pengkhotbah juga tidak menemukan bahwa membagikan kekayaan itu lebih memuaskan daripada mengumpulkannya (Pengkhotbah 2:18-21). Entah kenapa, kepuasan yang ditemukan Allah di surga ketika memberi luput dari perhatian Sang Pengkhotbah di bawah matahari. Ia tampaknya tidak memikirkan kemungkinan menginvestasikan kekayaan atau memberikannya untuk tujuan yang lebih tinggi. Dan tentu saja, jika tidak ada tujuan yang lebih tinggi dari segalanya yang ditemukan Sang Pengkhotbah, maka penumpukan dan pembagian kekayaan “ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 2:26).

Waktu (Pengkhotbah 3:1-4:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika bekerja tidak hanya memiliki satu tujuan yang pasti, mungkin bekerja itu memiliki banyak tujuan, yang masing-masing bermakna pada waktunya sendiri. Sang Pengkhotbah menyelidiki hal ini di pasal terkenal yang dimulai dengan, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1). Intinya, setiap aktivitas itu ditentukan oleh waktu.

Pekerjaan yang sama sekali tidak tepat pada suatu waktu, bisa saja menjadi tepat dan diperlukan pada waktu yang lain. Pada suatu saat, berkabung itu benar dan menari itu salah, dan pada saat lain, yang benar justru yang sebaliknya.

Tidak satu pun dari aktivitas atau kondisi ini yang permanen. Kita bukan para malaikat yang hidup dalam kebahagiaan yang tanpa batas waktu. Kita adalah makhluk dunia ini yang selalu mengalami perubahan dan musim waktu. Ini adalah pelajaran sulit lainnya. Kita menipu diri sendiri tentang hakikat kehidupan jika kita berpikir pekerjaan kita dapat memberi kedamaian, kemakmuran, atau kebahagiaan abadi. Pada suatu saat, segala sesuatu yang kita bangun juga akan diruntuhkan (Pengkhotbah 3:3). Jika pekerjaan kita memiliki nilai kekal, Sang Pengkhotbah tidak melihat tanda-tanda itu “di bawah matahari” (Pengkhotbah 4:1). Kondisi kita dua kali lipat sulit karena kita adalah makhluk fana yang hidup pada masa sekarang, namun, tidak seperti binatang, kita memiliki “pengertian tentang masa lalu dan masa mendatang” di dalam pikiran kita (Pengkhotbah 3:11). Itu sebabnya Sang Pengkhotbah merindukan sesuatu yang bernilai kekal itu, meskipun ia tidak bisa menemukannya.

Lagipula, kebaikan yang berusaha dilakukan orang pada waktu yang tepat pun dapat dikacaukan oleh penindasan. “Di pihak para penindas ada kekuasaan, tetapi tak ada yang menghibur mereka” (Pengkhotbah 4:1). Dan yang terburuk dari semuanya adalah penindasan oleh pemerintah. “Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ ada kejahatan” (Pengkhotbah 3:16). Tetapi orang tak berdaya pun belum tentu lebih baik. Respons yang biasanya muncul pada saat merasa tak berdaya adalah iri hati. Kita iri pada orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, status, relasi, harta benda, atau hal-hal lain yang tidak kita miliki. Sang Pengkhotbah menyadari bahwa iri hati sama buruknya dengan penindasan. “Aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala keterampilan dalam pekerjaan berasal dari rasa iri seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 4:4). Dorongan untuk memperoleh pencapaian, kesenangan, hikmat atau kekayaan melalui penindasan maupun karena iri hati hanya membuang-buang waktu. Namun siapa juga yang tak pernah terjatuh dalam kedua kebodohan ini?

Tetapi Sang Pengkhotbah tidak berputus asa, karena waktu adalah anugerah dari Allah sendiri. “Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pengkhotbah 3:11a). Adalah tepat untuk menangis saat pemakaman orang terkasih, dan baik untuk bersukacita pada saat kelahiran anak. Dan kita tak seharusnya menolak kesenangan-kesenangan yang sah yang bisa diberikan pekerjaan kita. “Tak ada yang lebih baik untuk mereka daripada bersukaria dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka, juga bahwa setiap orang dapat makan minum, dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya; itulah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Pelajaran-pelajaran hidup ini berlaku terutama dalam hal bekerja. “Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itulah bagiannya” (Pengkhotbah 3:22a). Bekerja ada di bawah kutuk, tetapi bekerja itu sendiri bukanlah kutukan. Bahkan visi terbatas yang kita miliki tentang masa depan menjadi semacam berkat, karena membebaskan kita dari beban untuk berusaha mengetahui sebelumnya tentang segala akhir. “Siapa yang akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” (Pengkhotbah 3:22b). Jika pekerjaan kita dapat berjalan sesuai dengan waktu-waktu yang dapat kita perkirakan, maka itu adalah anugerah dari Allah.

Di sini, kita menemukan dua pandangan sekilas tentang karakter Allah. Pertama, Allah itu menakjubkan, kekal, mahatahu, “supaya manusia takut akan Dia” (Pengkhotbah 3:14). Meski kita dibatasi oleh kondisi-kondisi kehidupan di bawah matahari, Allah tidak. Ada banyak yang lebih dahsyat pada Allah dari yang terlihat oleh mata. Transendensi Allah ini—jika memakai istilah teologis—muncul lagi di Pengkhotbah 7:13-14 dan 8:12-13.

Pandangan sekilas kedua menunjukkan pada kita bahwa Allah itu Allah yang adil. “Allah mencari yang sudah lalu” (Pengkhotbah 3:15) dan “Allah akan mengadili baik orang benar maupun orang jahat” (Pengkhotbah 3:17). Ide ini diulangi lagi di Pengkhotbah 8:13, 11:9 dan 12:14. Kita mungkin tidak melihat keadilan Allah dalam kehidupan yang tampak tidak adil ini, tetapi Sang Pengkhotbah meyakinkan kita bahwa hal itu akan terwujud.

Sebagaimana sudah kita ketahui, kitab Pengkhotbah adalah sebuah penyelidikan yang realistis tentang kehidupan di dunia yang telah jatuh dalam dosa. Bekerja itu melelahkan. Tetapi di tengah kerasnya dunia kerja pun, kita bisa mendapatkan kesenangan dalam jerih lelah kita dan menikmati pekerjaan kita. Ini bukan jawaban atas teka-teki kehidupan, tetapi suatu pertanda bahwa Allah ada di dunia ini, sekalipun kita tidak memahami dengan jelas apa sebenarnya artinya itu bagi kita. Meskipun bagian ini agak penuh harapan, penyelidikan tentang waktu diakhiri dengan pengulangan ganda dari “usaha menjaring angin,” sekali di Pengkhotbah 4:4 (sebagaimana dibahas di atas) dan sekali lagi di Pengkhotbah 4:6.

Persahabatan (Pengkhotbah 4:7-4:16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Relasi barangkali menawarkan makna yang nyata dalam bekerja. Sang Pengkhotbah menjunjung tinggi nilai persahabatan di tempat kerja. “Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka” (Pengkhotbah 4:9, cetak miring ditambahkan).

Berapa banyak orang yang menemukan persahabatan terdekat di tempat kerja? Meskipun kita tidak memerlukan bayarannya, meskipun pekerjaannya tidak menarik bagi kita, kita mungkin menemukan arti yang mendalam dalam relasi-relasi kerja kita. Itulah salah satu alasan banyak orang merasa masa pensiun itu mengecewakan. Kita merindukan teman-teman di tempat kerja itu setelah kita pergi, dan kita merasa sulit membangun persahabatan baru yang mendalam tanpa tujuan-tujuan yang sama yang menyatukan kita dengan rekan-rekan di tempat kerja.

Membangun relasi yang baik di tempat kerja memerlukan keterbukaan dan kerinduan untuk belajar dari orang lain. “Lebih baik seorang muda yang miskin tetapi berhikmat daripada seorang raja yang tua tetapi bodoh, yang tak mau lagi diperingatkan” (Pengkhotbah 4:13). Arogansi dan kekuasaan sering menjadi hambatan dalam membangun relasi yang efektif yang mendukung pekerjaan (Pengkhotbah 4:14-16), sebuah kebenaran yang dibahas dalam artikel Harvard Business School, “How Strength Becomes a Weakness” (Bagaimana Kekuatan Menjadi Kelemahan).[1] Kita menjadi sahabat di tempat kerja sebagian karena dibutuhkan kerja tim untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Inilah salah satu alasan mengapa banyak orang lebih mahir membangun persahabatan di tempat kerja daripada di lingkup-lingkup sosial yang tidak memiliki tujuan yang sama.

Penyelidikan Sang Pengkhotbah tentang persahabatan lebih menggembirakan daripada penyelidikan-penyelidikannya yang sebelumnya. Namun demikian, persahabatan di tempat kerja bersifat temporer. Pembagian tugas bisa berubah, tim-tim dibentuk dan dibubarkan, teman sejawat berhenti kerja, pensiun atau dipecat, dan pekerja baru yang bergabung belum tentu kita sukai. Sang Pengkhotbah mengumpamakannya seperti seorang raja muda baru yang pada awalnya diterima rakyatnya dengan gembira, tetapi popularitasnya menurun ketika generasi muda yang baru mulai menganggapnya hanya sebagai raja tua yang lain. Pada akhirnya, baik kemajuan karier maupun ketenaran tidak memberi kepuasan. “Oleh sebab itu, ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 4:16).

Sukacita (Pengkhotbah 5:1-6:9)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pencarian Sang Pengkhotbah akan makna kerja diakhiri dengan beberapa pelajaran singkat yang dapat diterapkan langsung dalam bekerja. Pertama, mendengarkan lebih bijaksana daripada berbicara, “Sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit saja” (Pengkhotbah 5:1). Kedua, tepatilah janji-janji Anda, terutama kepada Allah (Pengkhotbah 5:4). Ketiga, memperkirakan pemerintah bertindak korup. Ini tidak baik, tetapi ini universal, dan lebih baik daripada anarki (Pengkhotbah 5:7-8). Keempat, obsesi terhadap kekayaan merupakan kecanduan, dan seperti halnya kecanduan apa pun, obsesi ini membawa kemalangan pada yang bersangkutan (Pengkhotbah 5:10-12), dan tidak pernah memuaskan (Pengkhotbah 6:7-8). Kelima, kekayaan tidak abadi. Kekayaan bisa lenyap dalam kehidupan ini, dan pasti hilang pada saat kematian. Jangan membangun hidup Anda di atas kekayaan (Pengkhotbah 5:13-17).

Di tengah-tengah bagian ini, Sang Pengkhotbah menyelidiki kembali karunia Allah yang memungkinkan kita menikmati pekerjaan kita, serta kekayaan, harta benda, dan kemuliaan yang dihasilkan pekerjaan itu pada suatu waktu. “Yang kuanggap baik dan tepat bagi orang ialah makan minum dan menikmati kesenangan dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup, yang dianugerahkan Allah kepadanya” (Pengkhotbah 5:17). Meskipun kenikmatan itu hanya sesaat, tetapi nyata. “Sesungguhnya ia tidak sering mengingat umurnya, karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya” (Pengkhotbah 5:19). Kenikmatan ini bukan datang dari bekerja keras yang lebih berhasil dari orang lain, tetapi dari menerima kehidupan dan pekerjaan sebagai anugerah Allah. Jika kenikmatan dalam pekerjaan kita bukan datang sebagai anugerah Allah, maka kenikmatan itu tidak akan datang sama sekali (Pengkhotbah 6:1-6).

Seperti pada bagian tentang persahabatan, nada Sang Pengkhotbah di bagian ini relatif positif. Namun hasil akhirnya tetap membuat frustrasi. Karena kita melihat jelas bahwa semua kehidupan berakhir di kuburan, dan kehidupan yang dijalani dengan bijak pun akhirnya tidak memberikan hasil yang lebih besar daripada kehidupan yang dijalani dengan bodoh. Namun lebih baik melihat hal ini dengan jelas daripada berusaha hidup dalam ilusi dongeng. “Lebih baik yang sudah tampak di depan mata daripada menuruti nafsu” (Pengkhotbah 6:9a). Tetapi hasil akhir dari kehidupan kita tetaplah “kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkhotbah 6:9b).

Tak Ada Cara untuk Mengetahui Apa yang Baik untuk Dilakukan (Pengkhotbah 6:10-8:17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah tahu bahwa hidup berjerih lelah itu sama seperti usaha menjaring angin, karena hasil-hasil dari bekerja tidak abadi di dunia ini. Karena itu, ia mulai berusaha menemukan apa yang terbaik untuk dilakukan dengan waktu yang dimilikinya. Seperti sudah dibahas sebelumnya dalam kitab ini, kumpulan pelajaran ini dibagi dalam beberapa bagian yang ditandai dengan frasa yang diulang-ulang di akhir setiap penyelidikan. Dalam kekecewaan pengharapan Sang Pengkhotbah, frasa itu adalah “tidak menemukan,” atau pertanyaan retorisnya yang senada, “siapa yang dapat menemukan/mengetahuinya?”

Hasil Akhir Tindakan Kita (Pengkhotbah 7:1-14)

Jerih payah kita berakhir dengan kematian kita. Karena itu, kitab Pengkhotbah menganjurkan kita untuk meluangkan waktu sungguh-sungguh di rumah duka (Pengkhotbah 7:1-6). Dapatkah kita menemukan manfaat yang nyata dari satu makam dibanding makam lainnya? Sebagian orang bersiul ketika melewati kuburan, menolak memikirkan pelajaran-pelajarannya. Gelak tawa mereka bagaikan bunyi derak duri yang terbakar habis dimakan api (Pengkhotbah 7:6).

Karena waktu hidup kita singkat, kita tidak bisa mengetahui dampak yang mungkin kita timbulkan pada dunia ini. Kita bahkan tidak tahu mengapa hari ini berbeda dari hari kemarin (Pengkhotbah 7:10), apalagi apa yang akan terjadi esok. Masuk akal menikmati apa pun yang baik dari hasil jerih payah kita selama kita hidup, tetapi kita tak punya jaminan bahwa hasil akhirnya juga baik, karena “hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan apa pun mengenai masa depannya” (Pengkhotbah 7:14, cetak miring ditambahkan).

Satu penerapan yang dapat kita ambil dari ketidaktahuan kita tentang peninggalan kita adalah bahwa tujuan yang baik bukan pembenaran untuk cara yang jahat. Karena kita tidak bisa mengetahui akhir dari semua tindakan yang kita ambil, dan kekuatan untuk memitigasi akibat dari cara-cara kita bisa muncul kapan saja. Politisi yang menenangkan opini publik saat ini dengan mengorbankan kerugian masyarakat di kemudian hari, pejabat keuangan yang menutupi kerugian kwartal ini dengan harapan bisa memperbaikinya di kwartal berikutnya, para lulusan yang berbohong saat melamar pekerjaan dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka tidak kompeten—mereka semua sedang mengandalkan masa depan yang tidak mereka miliki kuasa untuk mewujudkannya. Sementara itu, mereka melakukan hal buruk sekarang yang tak pernah bisa benar-benar dihapus sekalipun harapan mereka menjadi kenyataan.

Yang Baik dan Yang Jahat (Pengkhotbah 7:15-28)

Karena itu, kita harus berusaha bertindak sekarang berdasarkan yang baik. Namun kita tak bisa benar-benar tahu apakah tindakan yang kita ambil sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat. Ketika kita berpikir kita bertindak benar, kejahatan bisa saja menyelinap masuk, atau sebaliknya (Pengkhotbah 7:16-18). Sebab “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang saleh yang berbuat baik tanpa pernah berbuat dosa” (Pengkhotbah 7:20). Kebenaran tentang yang baik dan yang jahat itu “jauh dan sangat dalam; siapa yang dapat menemukannya?” (Pengkhotbah 7:24, cetak miring ditambahkan). Seakan hendak menegaskan kesulitan ini, frasa karakteristik “tidak kudapati” diulangi lagi dua kali di Pengkhotbah 7:28.

Yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah takut akan Allah (Pengkhotbah 7:18); yang artinya, menjauhi kesombongan dan sikap merasa benar sendiri. Pemeriksaan-diri yang baik adalah dengan menguji apakah kita harus mengambil jalan yang memutarbalikkan logika dan siasat yang berbelit-belit untuk membenarkan tindakan kita. “Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih” (Pengkhotbah 7:29). Bekerja itu memiliki banyak kompleksitas, banyak faktor yang harus dipertimbangkan, dan moral certainty (kepastian moral) biasanya merupakan hal yang tidak mungkin. Tetapi logika yang memutarbalikkan etika hampir selalu merupakan pertanda buruk.

Kekuasaan dan Keadilan (Pengkhotbah 8:1-17)

Penggunaan kekuasaan adalah fakta kehidupan, dan kita punya kewajiban untuk menaati orang-orang yang berkuasa atas kita (Pengkhotbah 8:2-5). Tetapi kita tidak tahu apakah mereka menggunakan kekuasaannya dengan adil atau tidak. Mungkin saja mereka menggunakan kekuasaan itu untuk mencelakai orang lain (Pengkhotbah 8:9). Keadilan dibengkokkan. Orang benar dihukum, orang jahat diberi pahala (Pengkhotbah 8:10-14).

Di tengah ketidakpastian ini, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah takut akan Allah (Pengkhotbah 8:13) dan menikmati kesempatan untuk bergembira yang Dia berikan pada kita. “Aku memuji kegembiraan, karena tak ada yang baik bagi manusia di bawah matahari selain makan minum dan bergembira ria. Hal itulah yang menyertai dia di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari” (Pengkhotbah 8:15).

Seperti pada bagian sebelumnya, frasa penanda “tidak dapat mengetahui/menyelami” diulangi sampai tiga kali di akhir topik ini. “Manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan di bawah matahari. Meskipun manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan bahwa ia mengetahuinya, ia pun tidak dapat menyelaminya” (Pengkhotbah 8:17). Hal ini menjadi akhir dari pencarian Sang Pengkhotbah untuk mengetahui apa yang baik untuk dilakukan dengan keterbatasan waktu yang dimiliki. Meskipun ia telah menemukan beberapa hal yang baik, hasil keseluruhannya adalah ia tidak dapat menemukan yang benar-benar bermakna.

Tak Ada Cara untuk Tahu Apa yang Akan Terjadi Kemudian (Pengkhotbah 9:1-11:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Barangkali, apa yang terbaik untuk dilakukan dalam hidup bisa diketahui jika kita dapat mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Karena itu, Sang Pengkhotbah mengejar pengetahuan tentang kematian (Pengkhotbah 9:1-6), Syeol/dunia orang mati (Pengkhotbah 9:7-10), saat kematian (Pengkhotbah 9:11-12), apa yang terjadi setelah kematian (Pengkhotbah 10:13-15), hal buruk yang mungkin terjadi setelah kematian (Pengkhotbah 10:16-11:2), dan hal baik yang mungkin terjadi (Pengkhotbah 11:3-6). Sekali lagi, frasa penanda yang diulang-ulang—dalam hal ini “tidak tahu” dan padanannya “tidak ada pengetahuan”—membagi materi ini menjadi beberapa bagian.

Sang Pengkhotbah mendapati bahwa benar-benar tidak mungkin untuk mengetahui apa yang akan terjadi. “Orang yang mati tidak tahu apa-apa” (Pengkhotbah 9:5). “Tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi” (Pengkhotbah 9:10). “Manusia tidak mengetahui waktunya… anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang ketika hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba” (Pengkhotbah 9:12). “Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi. Siapakah yang akan mengatakan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” (Pengkhotbah 10:14). “Engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi” (Pengkhotbah 11:2). “Engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik” (Pengkhotbah 11:5-6).

Meskipun kita benar-benar tidak mengetahui tentang masa depan, Sang Pengkhotbah menemukan beberapa hal yang baik untuk dilakukan selama kita punya kesempatan. Kita hanya akan membahas ayat-ayat yang secara khusus relevan dengan pekerjaan.

Throw Yourself Into Your Work Wholeheartedly (Eccl. 9:10)

“Apa pun yang dapat dikerjakan tanganmu, kerjakanlah dengan sekuat tenaga. Sebab, tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi” (Pengkhotbah 9:10). Meskipun kita tidak dapat mengetahui hasil akhir dari pekerjaan kita, jangan biarkan ketidaktahuan ini melumpuhkan kita. Manusia diciptakan untuk bekerja (Kejadian 2:15), kita perlu bekerja untuk kelangsungan hidup, dan karena itu kita sebaiknya bekerja dengan penuh semangat. Demikian juga dalam menikmati hasil-hasil kerja kita, apa pun bentuknya. “Ayo, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati gembira, karena Allah sudah lama berkenan pada perbuatanmu” (Pengkhotbah 9:7).

Terimalah Keberhasilan dan Kegagalan Sebagai Bagian Hidup (Pengkhotbah 9:11-12)

Pertama-tama, kita tak boleh menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa kesuksesan kita adalah karena kelebihan-kelebihan kita sendiri, atau kegagalan kita adalah karena kekurangan-kekurangan kita sendiri. “Aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan pertempuran bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan penghargaan bukan untuk yang cerdik cendikia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua” (Pengkhotbah 9:11). Keberhasilan atau kegagalan itu bisa jadi karena kebetulan (ada kesempatan). Ini bukan hendak mengatakan bahwa kerja keras dan kepintaran itu tidak penting. Hal-hal itu menyiapkan kita untuk dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan kehidupan dengan sebaik-baiknya, dan mungkin juga untuk menciptakan kesempatan-kesempatan yang tidak akan ada jika kita tidak mengadakannya. Tetapi orang yang berhasil dalam pekerjaannya tidak lebih layak dari orang lain yang gagal. Sebagai contoh, Microsoft mendapat kesempatan untuk sukses sebagian besar karena keputusan IBM yang tak dipikir panjang untuk menggunakan sistem operasi MS-DOS dalam proyek stagnan yang disebut komputer pribadi. Bill Gates di kemudian hari berefleksi, “Pemilihan waktu kami untuk mendirikan perusahaan perangkat lunak pertama untuk komputer pribadi sangat esensial bagi kesuksesan kami. Penentuan waktu itu bukan sepenuhnya keberuntungan, tetapi tanpa keberuntungan besar, hal itu tidak akan terjadi.” Ketika ditanya mengapa ia mendirikan perusahaan perangkat lunak tepat pada saat IBM mengambil peluang dengan komputer pribadi, ia menjawab, “Saya lahir di tempat dan pada waktu yang tepat.”[1]

Bekerjalah dengan Rajin dan Berinvestasilah dengan Bijak (Pengkhotbah 10:18-11:6)

Bagian ini berisi nasihat keuangan yang paling blak-blakan yang dapat ditemukan dalam Alkitab. Pertama, bekerjalah dengan rajin, sebab jika tidak, ekonomi rumah tangga Anda akan runtuh seperti atap yang bocor dan lapuk (Pengkhotbah 10:18). Kedua, ketahuilah bahwa dalam hidup ini kesejahteraan finansial itu penting. “Uang memungkinkan semuanya” (Pengkhotbah 10:19) dapat dibaca dengan nada sinis, tetapi teks ini tidak berkata bahwa uang adalah satu-satunya hal yang penting. Maksudnya hanyalah bahwa uang diperlukan untuk mengurus segala macam hal. Dalam bahasa kekinian, jika mobil saya memerlukan transmisi baru, atau putri saya memerlukan biaya kuliah, atau saya ingin mengajak keluarga pergi berlibur, semua hal itu memerlukan uang. Ini bukan keserakahan atau materialisme; ini hal yang wajar. Ketiga, berhati-hatilah dengan orang yang berotoritas (Pengkhotbah 10:20). Jika Anda meremehkan atasan atau bahkan pelanggan Anda, Anda mungkin akan menyesal. Keempat, variasikan investasi Anda (Pengkhotbah 11:1-2). “Lemparkanlah rotimu ke air” tidak merujuk pada donasi amal, tetapi investasi; dalam hal ini “air” melambangkan usaha perdagangan di luar negeri. Jadi, memberi bagian kepada “tujuh” atau “delapan” orang merujuk pada investasi yang beragam, “karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi” (Pengkhotbah 11:2). Kelima, jangan terlalu takut berinvestasi (Pengkhotbah 11:3-5). Yang akan terjadi, terjadilah, dan Anda tak bisa mengendalikannya (Pengkhotbah 11:3). Tetapi hal ini tak boleh membuat kita takut lalu menyimpan uang di bawah kasur yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, kita harus berani mengambil risiko yang logis. “Siapa yang senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; siapa yang senantiasa melihat awan tidak akan menuai” (Pengkhotbah 11:4). Keenam, pahamilah bahwa kesuksesan ada di tangan Allah. Tetapi Anda tidak tahu rencana atau tujuan apa yang ada pada-Nya, karena itu jangan coba menebak-nebak Dia (Pengkhotbah 11:5). Ketujuh, bertekunlah (Pengkhotbah 11:6). Jangan bekerja keras sebentar dan kemudian berkata, “Aku sudah mencobanya, dan tidak berhasil.”

Pencarian Sang Pengkhotbah untuk mengetahui masa depan berakhir di Pengkhotbah 11:5-6 dengan tiga kali mengulangi frasa penanda “tidak mengetahui.” Hal ini mengingatkan kita bahwa meskipun menekuni pekerjaan dengan sepenuh hati, menerima kesuksesan dan kegagalan sebagai bagian hidup, bekerja dengan rajin dan berinvestasi dengan bijak merupakan tindakan-tindakan yang baik, semua itu hanyalah adaptasi-adaptasi dalam rangka menanggulangi ketidaktahuan kita akan masa depan. Jika kita benar-benar tahu bagaimana tindakan kita akan berjalan baik, kita dapat merencanakan untuk berhasil dengan percaya diri. Jika kita sudah tahu investasi apa yang akan membuahkan hasil, kita tidak perlu mencoba banyak hal sebagai antisipasi terhadap kerugian sistemik. Sulit untuk mengetahui apakah kita akan tertunduk lesu dalam kesedihan atas bencana yang mungkin menimpa kita di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini, ataukah kita akan memuji Allah karena masih ada kemungkinan untuk menyelesaikan masalah, dan bahkan untuk berhasil, di dunia semacam ini. Atau, apakah kebenarannya gabungan dari keduanya?

Syair tentang Masa Muda dan Masa Tua (Pengkhotbah 11:7-12:8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sang Pengkhotbah mengakhiri dengan syair yang menasihati kaum muda untuk bersukaria yang baik (Pengkhotbah 11:7-12:1) dan mengingat kesusahan-kesusahan di masa tua (Pengkhotbah 12:2-8). Syair ini merekap pola yang ditemukan di bagian-bagian sebelumnya dari kitab ini. Ada banyak hal baik yang ditemukan dalam kehidupan dan pekerjaan kita, tetapi pada akhirnya semuanya akan berlalu. Sang Pengkhotbah mengakhiri seperti ia memulai, “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, semuanya sia-sia” (Pengkhotbah 12:8).

Epilog Pujian untuk Sang Pengkhotbah (Pengkhotbah 12:9-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berikutnya adalah epilog tentang, bukan oleh, Sang Pengkhotbah. Epilog ini memuji hikmatnya dan mengulangi nasihatnya untuk takut akan Allah. Epilog ini menambahkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak disebutkan dalam kitab ini, yaitu hikmat tentang menaati perintah-perintah Allah dalam terang penghakiman Allah yang akan datang.

Takutlah akan Allah dan peliharalah perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Sesungguhnya Allah akan membawa setiap perbuatan ke penghakiman yang berlaku atas segala yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat. (Pengkhotbah 12:13-14)

Penghakiman Allah yang akan datang dipandang sebagai kunci yang akan memilah campuran kebaikan dan keburukan yang memengaruhi kehidupan kerja di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Pandangan sekilas tentang karakter Allah yang telah kita pelajari dalam kitab ini—kemurahan hati, keadilan, dan transendensi Allah yang melampaui batasan-batasan dunia—menggambarkan kebaikan yang mendasari fondasi-fondasi dunia, jika saja kita bisa hidup berdasarkan hal itu. Ini mulai menjadi petunjuk bahwa pada waktunya Allah, ketegangan-ketegangan yang begitu jelas digambarkan oleh Sang Pengkhotbah akan diubah menjadi keharmonisan yang tidak terlihat pada zaman kehidupan Sang Pengkhotbah di bawah matahari. Mungkinkah Epilog ini membayangkan suatu hari ketika kondisi-kondisi Kejatuhan tidak memengaruhi kehidupan dan pekerjaan kita?

Konklusi Kitab Pengkhotbah

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa yang harus kita lakukan dengan campuran kebaikan dan keburukan, makna dan kesia-siaan, tindakan dan ketidaktahuan, yang ditemukan Sang Pengkhotbah dalam kehidupan dan pekerjaan? Bekerja adalah “usaha menjaring angin,” sebagaimana yang terus-menerus diingatkan Sang Pengkhotbah pada kita. Seperti angin, bekerja itu nyata dan memberi dampak saat dijalankan. Bekerja membuat kita tetap hidup, dan memberikan kesempatan-kesempatan untuk bersukacita. Namun sulit untuk menilai efek sepenuhnya dari pekerjaan kita, untuk memperkirakan konsekuensi-konsekuensi baik atau buruk yang tak diharapkan. Dan tidaklah mungkin untuk mengetahui bagaimana hasil kerja kita setelah masa sekarang ini. Apakah bekerja memiliki dampak yang abadi, yang kekal, yang sangat baik? Sang Pengkhotbah berkata bahwa benar-benar tidak mungkin untuk mengetahui apa pun secara pasti di bawah matahari.

Tetapi kita mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda. Tidak seperti Sang Pengkhotbah, para pengikut Kristus saat ini melihat pengharapan konkret di balik dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Karena kita adalah saksi-saksi dari kehidupan, kematian, dan kebangkitan Sang Pengkhotbah yang baru, yaitu Yesus, yang kuasa-Nya tidak berakhir dengan berakhirnya hari-hari-Nya di bawah matahari (Lukas 23:44). Dia menyatakan bahwa “Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Matius 12:28). Dunia yang kita diami sekarang ini sedang dalam proses dibawa ke dalam kekuasaan Kristus dan ditebus oleh Allah. Yang tidak diketahui penulis kitab Pengkhotbah—yang tidak dapat diketahuinya, seperti yang sangat disadarinya—adalah bahwa Allah mengutus Anak-Nya bukan untuk menghakimi dunia, tetapi untuk memulihkan dunia sesuai dengan kehendak Allah (Yohanes 3:17). Hari-hari di dunia yang sudah jatuh dalam dosa di bawah matahari ini berlalu untuk kepentingan kerajaan Allah di bumi, saat ketika umat Allah “tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka” (Wahyu 22:5). Karena itu, dunia yang kita diami ini bukan hanya sisa-sisa dari dunia yang sudah jatuh, tetapi juga garda depan bagi kerajaan Kristus, yang “turun dari surga, dari Allah” (Wahyu 21:2).

Oleh karena itu, pekerjaan yang kita lakukan sebagai pengikut Kristus benar-benar—atau setidaknya bisa—memiliki nilai kekal yang tidak mungkin dapat dilihat oleh Sang Pengkhotbah. Kita bekerja bukan hanya di dunia di bawah matahari, tetapi juga di dalam kerajaan Allah. Ini bukan suatu upaya yang salah untuk mengoreksi kitab Pengkhotbah dengan dosis Perjanjian Baru. Ini justru untuk mengapresiasi kitab Pengkhotbah sebagai pemberian Allah pada kita sebagaimana kenyataannya. Karena kita juga menjalani kehidupan sehari-hari dalam kondisi-kondisi yang banyak kesamaannya dengan yang dialami Sang Pengkhotbah. Sebagaimana diingatkan Paulus, “Kita tahu bahwa sampai sekarang segala ciptaan sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (Roma 8:22-23). Kita mengeluh di bawah tekanan yang sama seperti yang dirasakan Sang Pengkhotbah karena kita masih menantikan penggenapan kerajaan Allah di bumi.

Lalu, kitab Pengkhotbah memberikan dua wawasan yang tiada bandingannya di bagian lain Kitab Suci: 1) Catatan Apa Adanya tentang Bekerja di bawah Kejatuhan; dan 2) Saksi Pengharapan dalam Situasi-situasi Kerja yang Paling Kelam.

Catatan Apa Adanya tentang Bekerja di bawah Kejatuhan (Pengkhotbah)

Jika kita tahu bahwa bekerja dalam Kristus memiliki nilai kekal yang tidak terlihat oleh Sang Pengkhotbah, bagaimana perkataannya masih dapat bermanfaat bagi kita? Pertama-tama, perkataannya meneguhkan bahwa kerja keras, penindasan, kegagalan, ketidakberartian, kesedihan dan penderitaan yang kita alami dalam bekerja itu nyata. Kristus sudah datang, tetapi kehidupan para pengikut-Nya belum seperti hidup di taman Eden. Jika pengalaman Anda dalam bekerja sulit dan menyakitkan—meskipun Allah memberikan janji-janji yang baik—Anda sama sekali tidak gila. Janji-janji Allah itu benar, tetapi belum semuanya digenapi di masa sekarang ini. Kita berada di dalam realitas bahwa kerajaan Allah sudah datang di bumi saat ini (Matius 12:28), tetapi belum dibawa ke dalam kesempurnaannya (Wahyu 21:2). Setidaknya, kita bisa terhibur karena Kitab Suci berani menunjukkan kerasnya realitas kehidupan dan pekerjaan, sembari tetap menyatakan bahwa Allah itu Tuhan.

Jika kitab Pengkhotbah dapat menjadi penghiburan bagi orang-orang yang bekerja dalam kondisi-kondisi yang sulit, kitab ini juga dapat menjadi tantangan bagi orang-orang yang diberkati dengan kondisi-kondisi kerja yang baik. Jangan berpuas diri. Sebelum bekerja itu menjadi berkat bagi semua orang, umat Allah dipanggil untuk berjuang bagi kebaikan seluruh pekerja. Kita memang dimaksudkan untuk makan, minum, dan menemukan kesenangan dalam segala jerih payah yang dikaruniakan pada kita. Tetapi kita melakukannya dengan bekerja keras—dan juga berdoa—agar kerajaan Allah datanglah.

Saksi Pengharapan dalam Situasi-situasi Kerja yang Paling Kelam (Pengkhotbah)

Kitab Pengkhotbah juga memberi contoh tentang bagaimana tetap memiliki pengharapan di tengah kerasnya realitas kerja di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Meskipun ia melihat dan mengalami hal-hal terburuk, Sang Pengkhotbah tidak melepaskan pengharapannya di dunia Allah. Ia menemukan momen-momen bersukacita, percikan hikmat, dan cara-cara untuk menghadapi dunia yang fana, tetapi tidak absurd ini. Jika Allah membiarkan manusia tetap berada dalam konsekuensi-konsekuensi Kejatuhan, tidak akan ada makna atau kebaikan sama sekali di dalam kerja. Tetapi, Sang Pengkhotbah menemukan ada makna, dan kebaikan dalam bekerja. Keluhannya hanyalah bahwa hal-hal itu tidak abadi, tidak sempurna, tidak pasti, terbatas. Mengingat alternatif dunia yang sama sekali tanpa Allah, hal-hal ini sebenarnya merupakan tanda-tanda pengharapan

Tanda-tanda pengharapan ini bisa menjadi penghiburan bagi kita dalam pengalaman-pengalaman hidup dan kerja kita yang paling kelam. Selain itu, tanda-tanda pengharapan ini juga membuat kita dapat memahami rekan-rekan kerja kita yang belum menerima Kabar Baik tentang kerajaan Kristus. Pengalaman kerja mereka mungkin sangat mirip dengan pengalaman Sang Pengkhotbah. Jika kita dapat membayangkan menanggung kesulitan-kesulitan yang kita alami, tetapi tanpa janji penebusan Kristus, maka kita akan dapat melihat sekilas beban kehidupan dan pekerjaan bagi rekan-rekan kerja kita. Berdoalah kepada Allah agar hal ini setidaknya membuat kita makin berbelas kasih. Atau mungkin juga membuat kita makin menjadi saksi yang efektif. Sebab, jika kita ingin menjadi saksi Kabar Baik Kristus, kita harus memulai dengan memasuki realitas kehidupan orang-orang yang kita beri kesaksian. Jika tidak, maka kesaksian kita tak akan ada artinya, omong kosong, melayani diri sendiri dan sia-sia saja.

Kepiawaian kitab Pengkhotbah justru karena membuat kita kesal/sedih. Hidup ini penuh kesedihan/kekecewaan, dan kitab Pengkhotbah menghadapi kehidupan dengan jujur. Kita perlu merasa sedih jika kita terlalu terbiasa dengan kehidupan “di bawah matahari”, terlalu tergantung pada kenyamanan yang bisa kita temukan dalam situasi-situasi makmur dan mudah. Kita perlu bersedih dalam keadaan sebaliknya, ketika kita terjatuh dalam sinisme dan keputusasaan karena kesusahan-kesusahan yang kita hadapi. Setiap kali kita terlalu memuja pencapaian-pencapaian kerja kita yang fana, dan arogansi yang ditimbulkannya di dalam diri kita—dan sebaliknya, setiap kali kita gagal memahami makna transenden dari pekerjaan kita, dan keberhargaan orang-orang yang bekerja bersama kita—kita perlu merasa sedih. Kitab Pengkhotbah tampaknya secara unik memang mampu membuat kita bersedih bagi kemuliaan Allah.

Introduksi Kitab Kidung Agung

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kidung Agung, yang juga dikenal sebagai Kidung Salomo, adalah puisi cinta. Tetapi kitab ini juga merupakan gambaran mendalam tentang arti, nilai dan keindahan bekerja. Kidung ini bertutur melantunkan tentang sepasang kekasih yang berkencan, lalu menikah dan kemudian bekerja bersama dalam sebuah gambaran kehidupan yang ideal. Kita akan membahas tema-tema tentang kesukaran, keindahan, ketekunan, kesenangan, gairah, keluarga dan sukacita dalam hubungannya dengan berbagai pekerjaan yang dijumpai dalam kitab Kidung Agung.

Di dunia kuno, semua puisi dinyanyikan, dan Kidung Agung sebenarnya merupakan lirik/syair dari sekumpulan nyanyian. Kidung ini dinyanyikan oleh para penyanyi yang terdiri dari seorang solois pria, seorang solois wanita, dan sekelompok paduan suara. Kidung Agung mungkin harus dianggap sebagai satu karya yang diciptakan untuk penonton aristokrat (kalangan bangsawan) di istana Salomo. Kidung ini memiliki analogi-analogi yang kuat dengan musik romantika di Mesir kuno, yang juga ditujukan untuk penonton aristokrat di istana Mesir dan digubah pada abad-abad sebelum zaman Salomo.[1]

Syair-syair puisi Mesir, meskipun dalam banyak hal sangat mirip dengan Kidung Agung, lebih cenderung riang dan seringkali berfokus pada kegairahan dan kepiluan kisah cinta kaum muda. Sementara syair Kidung Agung lebih serius dan tidak asal-asalan, tetapi sangat mendalam dan bersifat teologis, yang membangkitkan pemikiran serius, seperti pemikiran tentang kerja.

Ada beberapa interpretasi tentang kitab Kidung Agung[2], tetapi kita akan menafsirkannya sebagai sekumpulan nyanyian yang berfokus pada cinta sepasang pria dan wanita. Ini merupakan pengertian langsung yang diambil dari teks. Inilah cara paling berhasil untuk menggali arti yang benar-benar muncul dari teks, bukan arti yang dipaksakan masuk ke dalam teks. Puisi cinta merayakan keindahan pernikahan dan sukacita cinta antara pria dan wanita.

Kesukaran dan Keindahan Kerja (Kidung Agung 1:1-8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kidung Agung dimulai dengan si wanita mengungkapkan cintanya pada kekasihnya, dan dalam ungkapannya ini, ia berbicara tentang kulitnya yang gelap karena saudara-saudara laki-lakinya menyuruhnya bekerja di kebun anggur keluarga (Kidung Agung 1:6). Bekerja hanya muncul di enam ayat nyanyian cinta ini. Di dunia kuno, orang cenderung menganggap rendah kulit yang gelap bukan karena alasan rasial, tetapi karena alasan ekonomi: kulit yang gelap berarti Anda berada di golongan petani yang harus bekerja di bawah terik matahari. Kulit yang cerah berarti Anda termasuk golongan aristokrat/bangsawan, sehingga kulit yang pucat (bukan kecoklatan!) sangat berharga sebagai tanda kecantikan wanita.Tetapi di sini, kerja keras si wanita benar-benar tidak mengurangi kecantikannya (Kidung Agung 1:5: “Memang hitam aku, tetapi cantik”)[1]. Lagipula, pekerjaannya menyiapkannya untuk masa depan, ketika ia akan merawat kebun anggurnya sendiri (Kidung Agung 8:12). Wanita yang bekerja dengan tangannya mungkin bukan seorang bangsawan, tetapi ia cantik dan patut dipuji.

Keindahan kerja, dan orang yang bekerja, sering dikaburkan oleh pembandingan pendapat-pendapat tentang kecantikan. Dunia Yunani, yang pengaruhnya masih sangat terasa dalam budaya masa kini, menganggap kerja sebagai musuh keindahan. Padahal di dalam perspektif alkitabiah, bekerja itu memiliki keindahan hakiki. Salomo membuat tandu (tempat duduk yang digotong dengan galah) dan Kidung Agung memuji keindahan pembuatannya. Tandu itu benar-benar hasil karya cinta (Kidung Agung 3:10). Salomo menegaskan keindahannya dengan memakainya untuk melakukan kasih – mengangkut kekasihnya ke pernikahan mereka (Kidung Agung 3:11) — meskipun pekerjaan itu sendiri pada hakikatnya sudah indah. Bekerja bukan sekadar sarana untuk mencapai tujuan — memiliki alat transportasi, menghasilkan panen atau mendapat bayaran — tetapi sumber kreativitas yang estetik/indah. Dan orang percaya diharapkan dapat melihat dan memuji keindahan dalam pekerjaan orang lain – termasuk pekerjaan pasangan kita.

Ketekunan (Kidung Agung 1:7-8)

Si Wanita mencari kekasihnya, yang dianggapnya sebagai yang terbaik di antara para pria. Teman-temannya memberitahukannya bahwa tempat yang tepat untuk menemukan kekasihnya adalah di tempat kerjanya, tempat ia menggembalakan domba. Tetapi pekerjaannya diaturnya sedemikian rupa sehingga ia dapat berinteraksi dengan kekasihnya. Tak ada anggapan bahwa waktu kerja adalah milik majikan, dan waktu tidak bekerja baru menjadi milik keluarga. Realitas kerja masa kini, dalam banyak hal, bisa jadi membuat keluarga mustahil bisa berinteraksi di tempat kerja. Supir truk tidak boleh mengirim pesan teks kepada keluarga pada saat mengemudi, dan pengacara tidak boleh dikunjungi pasangannya selama sidang penentuan putusan. Tetapi barangkali tidak sepenuhnya buruk bahwa pemisahan antara pekerjaan dan keluarga yang timbul pada zaman sistem industri abad ke-19 mulai pudar di banyak industri.

Ketika Bekerja Merupakan Kesenangan (Kidung Agung 1:9-2:17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam Kidung Agung 1:9-2:7, si pria dan si wanita saling menyanyikan pujian bagi satu sama lain. Si pria mengungkapkan betapa cantiknya kekasihnya, dan si wanita menyatakan betapa bahagianya ia di dalam cinta. Lalu, di Kidung Agung 2:8-17, mereka menyanyikan indahnya kedatangan musim semi, dan si pria mengajak kekasihnya untuk pergi bersamanya. Konteks ini adalah konteks ekonomi pertanian di Israel kuno, dan perjalanan ke pedesaan pada waktu musim semi bukan sekadar piknik, tetapi juga untuk bekerja. Khususnya, pemangkasan harus dilakukan untuk memastikan hasil panen yang baik (Kidung Agung 2:12-13; “waktu menyanyi” juga bisa diartikan “musim pemangkasan”). Selain itu, Kidung Agung 2:15 berkata bahwa rubah-rubah, hewan yang suka memakan buah anggur muda, harus dienyahkan dari kebun anggur agar tidak merusak hasil panen. Tetapi hati si pria dan si wanita sedang riang. Mereka mengubah tugas ini menjadi permainan berburu dan mengusir “rubah-rubah kecil”. Pekerjaan mereka begitu cocok dengan permainan-permainan cinta yang menimbulkan pengertian ganda, “kebun anggur kami yang sedang berbunga.” Gambaran yang indah tentang kehidupan pertanian di musim semi ini mengingatkan kembali pada Taman Eden, ketika merawat tanaman dimaksudkan untuk menjadi kesenangan. Kejadian 3:17-19 menyatakan bahwa, akibat dosa, pekerjaan yang seharusnya menyenangkan itu menjadi membosankan. Meskipun ini bukanlah arti dari bekerja yang mula-mula atau yang sebenarnya. Cerita dalam Kidung Agung ini adalah gambaran sekilas tentang kehidupan yang Allah rindukan untuk kita, yang hampir seolah-olah dosa tak pernah terjadi. Yang seolah-olah Yesaya 65:21 sudah digenapi: “Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya pula; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan memakan buahnya pula.” Kerajaan Allah tidak membawa penghapusan kerja, tetapi membawa pemulihan sukacita dan relasi-relasi yang menyenangkan dalam bekerja. Untuk informasi lebih lanjut tentang bekerja dalam kerajaan terakhir Allah, lihat artikel Proyek Teologi Kerja, Wahyu dan Pekerjaan.

Gairah, Keluarga dan Kerja (Kidung Agung 3:1-8:5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Melalui serangkaian nyanyian, ayat-ayat ini menggambarkan pernikahan si pria dan si wanita serta penyatuan mereka. Si wanita merindukan si pria (Kidung Agung 3:1-5) dan ia kemudian dibawa kepada kekasihnya di atas tandu yang indah (Kidung Agung 3:6-11).[1] Si pria, yang mengenakan mahkota, menerimanya (Kidung Agung 3:11). Dalam acara pernikahan orang Israel, mempelai wanita datang dalam sebuah tandu bersama para pengiringnya (Kidung Agung 3:7) dan ia diterima oleh mempelai pria yang mengenakan mahkota. Kidung Agung 3:11 menegaskan bahwa ayat ini merayakan “hari pernikahannya.”[2]

Si pria lalu menyanyikan cintanya untuk mempelainya (Kidung Agung 4:1-15) dan malam pernikahan mereka diterangkan dengan gambaran-gambaran dan kiasan-kiasan yang jelas (Kidung Agung 4:16–5:8). Si Wanita kemudian menyanyikan cintanya untuk kekasihnya (Kidung Agung 5:9–6:3), yang disusul dengan nyanyian lain tentang kecantikan si wanita (Kidung Agung 6:4-9). Pasangan itu lalu menyanyikan cinta mereka kepada satu sama lain (Kidung 6:10–8:4). Teks ini sangat seksual, sehingga para pengajar serta penulis Kristen cenderung menghindarinya atau menjadikannya alegori karena khawatir terlalu tidak senonoh bagi masyarakat religius yang sopan.

Tetapi seks dalam teks itu adalah kesengajaan. Nyanyian tentang gairah dua kekasih di hari pernikahan mereka akan kehilangan sesuatu jika tidak menyebutkan tentang seks! Dan seks berkaitan erat dengan rumah tangga maupun pekerjaan dalam kitab Kidung Agung. Setelah menikah, sepasang kekasih itu akan membangun rumah tangga, unit primer aktivitas ekonomi di dunia kuno. Tanpa seks, rumahtangga tidak bisa dipenuhi dengan para pekerja (yaitu, anak-anak). Lagipula, gairah (termasuk gairah seks) antara pasangan suami istri merupakan perekat yang menyatukan rumahtangga mereka melalui kemakmuran, kemalangan, kegembiraan dan ketegangan yang menjadi ciri kehidupan dan pekerjaan keluarga. Saat ini, banyak pasangan suami istri yang mengungkapkan ketidakpuasan dalam hal waktu yang mereka miliki untuk seks dan bercinta. Dan biang kerok utamanya adalah karena salah satu atau kedua pasangan itu terlalu sibuk bekerja.[3] Kidung Agung memperjelas bahwa kita tidak boleh membiarkan pekerjaan mendesak dan mengesampingkan waktu untuk seks dan keintiman dengan pasangan kita.

Di sepanjang ayat-ayat ini, kita melihat gambaran yang diambil dari pemandangan di Israel dengan pertanian dan peternakannya. Tubuh si wanita ibarat “taman” (Kidung Agung 5:1). Pipi si pria laksana “hamparan rempah-rempah” (Kidung Agung 5:13). Saat menikmati mempelainya, si pria bagaikan orang yang memetik bunga bakung di taman (Kidung Agung 6:2). Si wanita mempesona seperti Yerusalem (Kidung Agung 6:4). “Rambutnya bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari Gilead” (Kidung Agung 6:5). Giginya seperti kawanan domba betina (Kidung Agung 6:6). Tinggi badannya seperti pohon kurma (Kidung Agung 7:7). Mereka rindu pergi ke “kebun anggur” (Kidung Agung 7:12). Si wanita membangunkan kekasihnya “di bawah pohon apel” (Kidung Agung 8:5). Sukacita cinta mereka berkaitan erat dengan dunia kerja mereka. Mereka mengungkapkan kebahagiaan dengan gambaran-gambaran yang diambil dari yang mereka lihat di kebun dan kawanan ternak mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa keluarga dan pekerjaan berkaitan erat. Di dalam Kidung Agung, seluruh kehidupan terintegrasi. Sebelum Revolusi Industri, kebanyakan orang bekerja bersama para anggota keluarga di rumah yang mereka diami. Hal ini masih berlaku di banyak bagian dunia. Kidung Agung memberi gambaran yang indah tentang pengaturan ini. Namun realitas kerja berbasis rumahtangga ini telah dirusak oleh kemiskinan, gila kerja, penghinaan, kerja rodi dan perbudakan, serta relasi-relasi yang dilecehkan. Tetapi Kidung Agung mengungkapkan kerinduan kita – dan rancangan Allah – bahwa pekerjaan kita dijalin dalam permadani relasi-relasi kita, yang dimulai dari keluarga.

Di dalam perekonomian yang sudah maju, kebanyakan pekerjaan yang dibayar dilakukan di luar rumah tangga. Kidung Agung tidak memberikan kiat tertentu untuk mengintegrasikan pekerjaan dengan keluarga dan relasi-relasi lainnya dalam masyarakat masa kini. Hal ini tak boleh dianggap sebagai panggilan agar kita semua pindah ke peternakan dan mengusir rubah-rubah kecil. Tetapi hal ini jelas menunjukkan bahwa tempat kerja masa kini tidak boleh mengabaikan kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan keluarga pekerjanya. Banyak tempat kerja yang menyediakan ruang penitipan anak bagi anak-anak pekerjanya, pengembangan karier yang menghormati kebutuhan-kebutuhan sebagai orangtua, waktu izin/cuti untuk keperluan merawat keluarga, dan – di negara-negara dengan layanan kesehatan swasta – asuransi kesehatan untuk keluarga pekerja. Tetapi fasilitas-fasilitas seperti ini tidak didapati di semua tempat kerja, bahkan beberapa ditiadakan oleh pemberi kerja. Kebanyakan tempat kerja masa kini tidak memenuhi model perawatan keluarga seperti yang kita temukan di dalam Kidung Agung. Tren terkini tentang peralihan kerja dari kantor ke rumah mungkin bisa memperbaiki keadaan, tetapi mungkin juga tidak, tergantung pada bagaimana biaya-biaya, pendapatan, layanan pendukung, dan berbagai risiko diatur pembagiannya.

Kidung Agung bisa menjadi undangan kreativitas dalam pembentukan tempat kerja abad ke-21. Keluarga-keluarga bisa memulai bisnis yang membuat anggota-anggota keluarganya dapat bekerja sama. Perusahaan-perusahaan bisa mempekerjakan pasangan suami istri bersama-sama atau membantu mencarikan pekerjaan untuk pasangan karyawannya ketika karyawan yang bersangkutan direlokasikan. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini sudah banyak inovasi dan riset di bidang ini, baik di kalangan sekuler maupun lingkungan Kristen – terutama Katolik.[4]

Kidung Agung juga harus meningkatkan apresiasi kita terhadap pekerjaan yang tidak dibayar. Di dalam rumahtangga-rumahtangga pra-industri, tidak ada banyak perbedaan antara pekerjaan yang dibayar dan yang tidak dibayar, karena pekerjaan dilakukan di dalam satu unit yang menyatu. Di dalam masyarakat industri dan pasca-industri, banyak pekerjaan – meskipun tidak berarti semuanya – dilakukan di luar rumahtangga, untuk mendapatkan gaji yang menopang kehidupan rumahtangga. Pekerjaan tidak dibayar yang masih dilakukan di dalam rumahtangga seringkali kurang dihargai daripada pekerjaan dibayar yang dilakukan di luar rumah. Uang, bukan kontribusi keseluruhan untuk rumahtangga, menjadi ukuran nilai pentingnya suatu pekerjaan, dan bahkan kadang nilai keberhargaan individu-individu. Padahal rumahtangga tidak dapat berfungsi tanpa pekerjaan yang seringkali tidak dibayar, seperti mengurus rumahtangga, membesarkan anak, merawat anggota keluarga yang lanjut usia dan tak berdaya, serta memelihara relasi-relasi sosial dan masyarakat. Kidung Agung menjelaskan nilai pentingnya suatu pekerjaan dengan manfaatnya secara keseluruhan dalam rumahtangga, bukan cuma kontribusi moneternya.

Kidung Agung mungkin menjadi tantangan bagi banyak gereja dan para pembimbing orang Kristen, karena jarang sekali orang Kristen yang menerima banyak bantuan dalam mengatur kehidupan kerja mereka. Tidak banyak gereja yang mampu memperlengkapi anggotanya untuk membuat pilihan-pilihan yang benar, bijak, dan realistis dalam hal pekerjaan dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat. Tak diragukan, para pemimpin gereja sendiri jarang yang memiliki pengetahuan-di-lapangan yang dibutuhkan untuk menolong anggota mendapatkan pekerjaan atau menciptakan tempat kerja yang menuju gambaran ideal seperti yang ditunjukkan dalam kitab Kidung Agung. Jika saya, katakanlah sebagai perawat, ingin tahu bagaimana caranya agar saya dapat lebih baik dalam mengintegrasikan pekerjaan saya dengan relasi-relasi keluarga saya, saya kemungkinan perlu berbicara lebih banyak dengan para perawat lain daripada dengan pendeta saya. Padahal gereja mungkin dapat berbuat lebih dengan menolong anggotanya dalam memahami rancangan Allah tentang kerja dan relasi-relasi, dalam mengungkapkan harapan-harapan dan pergumulan-pergumulan mereka, dan dalam bergabung dengan pekerja yang sama untuk mengembangkan pilihan yang tepat.

Sukacita (Kidung Agung 8:6-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Cinta itu suci dan sesuatu yang harus dilindungi. Cinta tak dapat dibeli (Kidung Agung 8:7). Si wanita mengumpamakan kehidupan cintanya bersama suaminya bagaikan merawat kebun anggur (Kidung Agung 8:12), dan menegaskan bahwa meskipun Salomo mempunyai banyak sekali kebun anggur yang dirawat oleh para pekerjanya (Kidung Agung 8:11), sukacitanya adalah dengan merawat keluarganya sendiri. Kebahagiaan tidak terdiri dari kekayaan atau karena ada orang-orang lain yang melakukan pekerjaan Anda untuk Anda; tetapi kebahagiaan itu ada dalam bekerja untuk kebaikan orang-orang yang Anda kasihi. Oleh karena itu, cinta tidak hanya terdiri dari mengungkapkan perasaan, tetapi juga dengan melakukan tindakan-tindakan cinta.

Konklusi Kitab Kidung Agung

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kidung Agung memberi kita gambaran ideal tentang cinta dan keluarga, hidup dan bekerja. Sukacita dalam bekerja bersama dalam rumahtangga menjadi fitur utama — yang hampir seakan-akan dosa tak pernah terjadi. Di dalam Kidung Agung, bekerja memiliki keindahan yang menyatu dengan kehidupan yang sehat dan penuh sukacita. Kidung Agung menunjukkan pada kita keadaan ideal yang harus kita perjuangkan. Bekerja harus menjadi tindakan cinta kasih. Relasi-relasi dalam pernikahan dan keluarga harus mendukung – dan didukung oleh – pekerjaan. Pekerjaan adalah hal mendasar dalam kehidupan pernikahan, tetapi pekerjaan harus selalu melayani – dan tak pernah mendesak keluar – hal paling mendasar dari semuanya: cinta kasih

Ayat-ayat dan Tema-tema Pokok Kitab Kidung Agung

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat

Tema

Kidung Agung 1:6Jangan kamu perhatikan bahwa aku hitam, karena terik matahari membakar aku. Putra-putra ibuku marah kepadaku, dan menjadikan aku penjaga kebun-kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga.

Pekerjaan dapat dipakai untuk mengendalikan atau merendahkan, tetapi pekerjaan juga dapat membuat orang menjadi lebih kuat.

Kidung Agung 1:8 – Jika engkau tak tahu, hai jelita di antara wanita, ikutilah jejak-jejak kambing domba, dan gembalakanlah anak-anak kambingmu dekat perkemahan para gembala.

Orang yang berharga biasanya akan ditemukan di tempat kerjanya.

Kidung Agung 2:12 – Musim memangkas [dalam terjemahan lain: waktu menyanyi] telah tiba…

Bekerja dimaksudkan Allah untuk menjadi waktu atau saat merayakan.

Kidung Agung 2:15 – Tangkaplah rubah-rubah bagi kami, rubah-rubah kecil, yang merusak kebun-kebun anggur….

Bagi orang-orang berhati riang, pekerjaan pun dapat menjadi permainan.

Kidung Agung 6:2 – Kekasihku telah turun ke kebunnya, ke hamparan rempah-rempah untuk menggembalakan domba di kebun dan memetik bunga bakung.

Dipakainya kiasan tentang pertanian untuk menggambarkan pernikahan menunjukkan bahwa dunia kerja dan keluarga menyatu dalam pernikahan yang sehat.

Kidung Agung 8:7 – Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, ia tetap akan dihina.

Cinta, dan bekerja yang dilakukan orang di dalam keluarganya, memberikan sukacita yang tak dapat diberikan harta benda dan waktu luang.

Siapakah Para Nabi?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dipanggil oleh Allah dan dipenuhi dengan Roh Allah, seorang nabi menyampaikan firman Allah kepada orang-orang yang dalam satu atau lain hal telah menjauhkan diri mereka dari-Nya. Bisa dibilang, seorang nabi adalah seorang pengkhotbah. Namun, seorang nabi juga sering kali bertindak sebagai seorang pelapor (tindak kejahatan), terutama ketika seluruh suku atau bangsa telah berpaling dari Allah.

Para nabi mengisi lembaran-lembaran sejarah Israel. Musa adalah nabi Allah, yang ditugaskan untuk menyelamatkan bangsa Ibrani dari perbudakan di Mesir dan kemudian memimpin mereka ke tanah yang telah dijanjikan Allah kepada mereka. Berulang kali mereka berpaling dari Allah. Musa adalah penyambung lidah Allah yang pertama demi membawa mereka kembali ke dalam hubungan dengan-Nya. Dalam kitab-kitab sejarah Perjanjian Lama (Yosua, Hakim-Hakim, 1 & 2 Samuel, 1 & 2 Raja-Raja, 1 & 2 Tawarikh, Ezra, dan Nehemia), para nabi seperti Debora, Samuel, Natan, Elia, Elisa, Hulda, dan lain-lain tampil ke depan untuk menyampaikan firman Allah kepada bangsa yang memberontak.

Ibadah keagamaan Israel diatur berdasarkan pekerjaan para imam, pertama-tama di Kemah Suci dan kemudian di Bait Allah. Tugas sehari-hari para imam adalah menyembelih, memotong, dan membakar hewan-hewan kurban yang dibawa oleh para jemaat. Namun, tugas seorang imam lebih dari sekadar pekerjaan fisik yang berat dalam menangani ribuan hewan kurban. Seorang imam juga bertanggung jawab untuk menjadi pembimbing spiritual dan moral bagi umat Allah. Sementara imam sering dilihat terutama sebagai perantara antara umat dan Allah dalam prosesi penyerahan kurban di bait suci, tugasnya yang lebih besar adalah mengajarkan hukum Allah kepada umat-Nya (Im. 10:11; Ul . 17:8-10; 33:10; Ezra 7 : 10).

Namun, dalam sejarah Israel, para imam sendiri sering kali menjadi cemar dan berpaling dari Allah, memimpin umat melakukan penyembahan berhala. Para nabi muncul ketika para imam gagal mengajarkan hukum Allah kepada umat-Nya, dan para raja serta hakim gagal memerintah negara dengan adil. Bisa dikatakan, Allah memanggil dan berbicara melalui para nabi untuk melaporkan keadaan, ketika seluruh Israel berada di ambang kehancuran.

Salah satu tragedi yang mengherankan dari umat Allah adalah kegigihan dan upaya mereka untuk menyembah banyak ilah dan berhala yang dipuja oleh bangsa-bangsa tetangga mereka. Praktik-praktik umum penyembahan berhala itu termasuk mempersembahkan anak-anak mereka ke dalam api Molokh dan ritual pelacuran dengan segala praktik cabul yang mungkin dilakukan “di bukit-bukit dan di bawah setiap pohon yang rimbun” (2 Tawarikh 28:4). Namun, kejahatan yang lebih besar yang menjadi bagian dari tindakan mereka meninggalkan Yahweh adalah bagaimana mereka mengabaikan struktur yang telah Allah ciptakan untuk hidup dalam komunitas, terutama sebagai umat Allah yang kudus dan berbeda dari dunia. Kepedulian terhadap orang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing telah mereka ganti dengan penindasan. Praktik-praktik bisnis menjungkirbalikkan standar Allah sehingga pemerasan, menerima suap, dan keuntungan yang tidak jujur, menjadi hal yang biasa. Para pemimpin menggunakan kekuasaan untuk menghancurkan kehidupan, dan para pemimpin agama merendahkan hal-hal yang kudus milik Allah. Bukannya memperkaya bangsa, praktik-praktik fasik ini justru menyebabkan keruntuhan bangsa itu. Para nabi sering kali menjadi suara terakhir di negeri itu, yang memanggil orang-orang untuk kembali kepada Allah dan kepada komunitas yang adil dan sehat.

Pada umumnya, para nabi bukanlah “pekerja profesional” dalam hal mencari nafkah dari kegiatan kenabian mereka. Allah memanggil mereka untuk melakukan tugas khusus di tengah-tengah profesi mereka yang lain. Beberapa nabi (misalnya, Yeremia dan Yehezkiel) berprofresi sebagai imam, dengan tugas-tugas yang telah dijelaskan di atas. Yang lainnya adalah gembala, termasuk Musa dan Amos. Debora adalah seorang hakim yang mengadili perkara-perkara bangsa Israel. Huldah mungkin adalah seorang guru di bidang keilmuan di Yerusalem. Tugas seorang nabi adalah tugas yang ditambahkan di atas pekerjaan-pekerjaan lain.

Kedudukan Para Nabi dalam Sejarah Israel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Catatan tentang nabi-nabi yang paling awal menjadi bagian di dalam sejarah Israel seperti dicatat dalam kitab-kitab Yosua sampai 2 Raja-raja, dan bukan tertulis dalam catatan yang terpisah. Setelah itu, perkataan dan perbuatan para nabi disimpan dalam koleksi terpisah yang sesuai dengan tujuh belas kitab terakhir Perjanjian Lama, Yesaya sampai Maleakhi, yang sering disebut “nabi-nabi terakhir” atau, kadang-kadang “nabi-nabi sastra” karena perkataan mereka masing-masing dituliskan dalam bentuk karya sastra yang terpisah, dan tidak disebarkan dalam kitab-kitab sejarah seperti nabi-nabi sebelumnya.

Ketika kerajaan yang bersatu terpecah menjadi dua, sepuluh suku di utara (Israel) langsung jatuh ke dalam penyembahan berhala. Elia dan Elisa, nabi terakhir di antara para nabi sebelumnya, dipanggil oleh Tuhan untuk menantang orang-orang Israel yang menyembah berhala agar mereka hanya menyembah Yahweh saja. Para nabi sastra yang pertama, Amos dan Hosea, dipanggil untuk menantang raja-raja Israel Utara yang murtad, mulai dari Yerobeam II sampai Hosea. Karena para raja dan rakyat menolak untuk kembali kepada Yahweh, pada tahun 722 SM, Allah mengizinkan kekaisaran Asyur yang kuat untuk menggulingkan kerajaan Israel Utara. Bangsa Asyur, yang kejam dan tanpa belas kasihan, tidak hanya menghancurkan kota-kota besar dan kecil di negeri itu, mengambil kekayaannya sebagai jarahan, tetapi mereka juga menawan orang-orang dan menyebarkan mereka ke seluruh wilayah kekaisaran sebagai upaya untuk menghancurkan semua rasa kebangsaan yang tersisa, untuk selama-lamanya (2 Raj. 17:1-23).

Ketika Israel mendekati kehancurannya, bangsa Yehuda yang kecil di Selatan terombang-ambing antara penyembahan kepada Yahweh dan penyembahan kepada ilah-ilah asing. Raja-raja yang baik menarik bangsa itu kembali dari penyembahan berhala dan praktik bisnis yang buruk, tetapi raja-raja yang jahat selalu membalikkan keadaan. Di kerajaan selatan (Yehuda), nabi sastra pertama adalah Obaja dan Yoel. Mereka adalah pelapor di bawah pemerintahan raja Yoram, Ahazia, Yoas, dan Ratu Atalya.

Yesaya berbicara mewakili Allah di Yehuda di bawah empat raja - Uzia, Yotam, Ahas, dan Hizkia - dan Mikha juga bernubuat pada masa itu. Di atas tahkhta, Hizkia digantikan oleh Manasye, yang menurut Alkitab lebih banyak melakukan kejahatan di mata Tuhan daripada semua pendahulunya (2 Raj. 21:2-16).

Manasye diikuti oleh raja Yosia yang baik yang menetapkan pembersihan bait suci secara menyeluruh, mengenyahkan semua bentuk penyembahan berhala. Orang-orang yang membersihkan bait suci menemukan sebuah gulungan kitab kuno yang berisi penghakiman atas negeri itu, yang menyebabkan kebangkitan terakhir dari penyembahan kepada Yahweh di Yehuda. Para nabi di Yerusalem pada masa itu termasuk Nahum, Yeremia, dan Zefanya (meskipun imam besar meminta seorang nabi wanita, Huldah, untuk menafsirkan gulungan kitab itu untuk raja). Kepemimpinan Yosia dilanjutkan oleh raja-raja yang keputusan politiknya yang membawa bencana dan pada akhirnya membawa masuk penakluk Babel, Nebukadnezar II, ke Yerusalem (2 Raj. 23:31-24:17). Pada tahun 605 SM, Nebukadnezar membawa 10.000 orang Yahudi ke pembuangan di Babel.

Nabi Yehezkiel termasuk di antara para tawanan tersebut, sementara Habakuk bergabung dengan Yeremia dan Zefanya, melanjutkan tugas kenabian mereka di Yerusalem. Ketika Raja Zedekia bersekutu dengan bangsa-bangsa tetangga untuk melawan Babel pada tahun 589, Nebukadnezar mengepung Yerusalem selama lebih dari dua tahun (2 Raj. 24:18-25:21; 2 Taw. 36). Kota itu menyerah pada tahun 586, terutama karena kelaparan, dan diratakan dengan tanah di mana bait suci dan istana-istananya dihancurkan total. Yeremia tetap tinggal di Yerusalem, melanjutkan tugas kenabiannya di antara sisa-sisa umat yang miskin di Yehuda, sampai ia diangkut ke Mesir. Sementara itu, Yehezkiel terus bernubuat kepada orang-orang Yahudi yang ada dalam pengasingan di Babel.

Di antara para tawanan Yahudi pada pengasingan tahap pertama (605 SM), ikut pula seseorang bernama Daniel, pemuda yang dipakai Allah di Babel, di istana dan di hadapan semua kaisar Babel. Ketika Babel digulingkan oleh Persia pada tahun 539 SM, raja Media-Persia yang baru, Kores, mengizinkan orang-orang Yahudi kembali ke Yehuda dan membangun kembali kota dan bait sucinya, pertama-tama di bawah kepemimpinan Zerubabel dan kemudian di bawah kepemimpinan Nehemia. Nubuat-nubuat Daniel mencakup masa pengasingan di Babel (Dan. 1:1) sampai dengan keputusan Kores yang mengakhiri masa pembuangan tersebut (Dan. 10:1).

Raja-raja Persia memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap orang Yahudi. Di bawah Kores (530-522) pembangunan kembali kota Yerusalem dihentikan (Ezra 4), tetapi di bawah Darius I (522-486) bait suci yang kedua justru diselesaikan (lihat Ezra 5-6). Di sini, nabi Zakharia dan Hagai yang hidup di masa pengasingan, menantang orang-orang Yahudi: “Apa sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang berlapis papan, sedangkan bait ini masih berupa reruntuhan?” Darius diikuti oleh Ahasyweros (486-464), yang masa pemerintahannya dicatat dalam kitab Ester 1-9. Setelah Ahasyweros, muncullah Artahsasta (464-423), yang pada masa pemerintahannya Ezra kembali ke Yerusalem pada tahun 458 SM (Ezr. 7-10), dan kemudian disusul oleh Nehemia pada tahun 445 SM (Neh. 1-2). Pada periode inilah nabi Maleakhi menulis kitab terakhir pasca-pembuangan.

Kitab Yunus tidak terjadi di Israel, dan teks ini tidak memberikan indikasi tentang tanggalnya. Tuhan memberi Yunus misi untuk pergi ke Niniwe, ibu kota Asyur, dan memanggil orang-orang Asyur untuk bertobat. Bangsa Asyur adalah musuh Israel, tetapi Allah tetap bermaksud memberkati mereka, sesuai dengan janji Allah bahwa umat Abraham akan menjadi berkat bagi semua bangsa (Kej. 22:18).

Garis Waktu dari Para Nabi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tabel di bawah ini menunjukkan pada rentang waktu mana para nabi berada di dalam kerajaan Israel bagian Utara dan kerajaan Yehuda bagian Selatan.

Periode

Kerajaan Utara

Para Nabi di Utara

Kerajaan Selatan

Para Nabi di Setatan

Kerajaan bersatu di bawah pemerintahan Saul, David, Solomon, sekitar tahun 1030 -931 SM

Divided
kingdom

Yerboam(931-910)

Nadab (910-909)

Bassa(909-886)

Elah (886)

Zimri (885)

Omri (885-874)

Ahab (874-853)

Yoram (852-841)

Jehu (841-814)

Jehoahaz (814-798)

Yoahas (798-782)

Yerobeam II (793-753)

Zakhania (753-752)

Shallum (752)

Manahem 752-742)

Pekahya (742-740)

Pekah (752-732)

Hoshea (732-722)

Elia

Elisa

Amos

Yunus

Hosea

Rehabeam (931-913)

Abia (913)

Asa (911-870)

Yosafat (873-848)

Yoram (853-841)

Ratu Atalya (841-835)

Joas (835-796)

Amazia (796-767)

Uziah (790-740)

Yotam (750-731)

Ahas (735-715)

Hizkia (715-686)

Manasye (695-642)

Amon (642-640)

Yosiah (640-609)

Yoahas (609)

Yoyakim (609-597)

Yoyakhin(597)

Zedekia (597-586)

Obaja

Yoel

Yesaya

Mikha

Yeremia

Zefanya
Huldah
Nahum

Habakuk

Pengasingan di Babel

Yehezkiel

Daniel

Para Nabi pasca

pengasingan

Zerubabel, gubernur

Nehemia, gubernur

Haggai

Zakharia

Maleakhi

Pengantar Kitab Yesaya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Nabi Yesaya menerima penglihatan tentang Allah — tentang kuasa-Nya yang dahsyat, keagungan-Nya yang mulia, serta kekudusan-Nya yang meyucikan. Sekilas penglihatan tentang keagungan Allah itu menyadarkan Yesaya betapa kecil keberadaan dirinya dan bangsanya. “Celaka aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,” (Yesaya 6:5). Dengan sekilas melihat siapa Allah sesuai yang Alkitab tunjukkan, kita akan dibersihkan dari keangkuhan diri dan ketidakcukupan penyembahan kita yang hanya di bibir saja. Kita jadi bisa melihat dengan jelas, apa yang sesungguhnya berharga di dalam hidup ini. Cara kita hidup, berbisnis, menyembah, juga diubahkan. Saat kita mengerti siapa Allah dan siapa kita di hadapan-Nya, kita akan menjadi orang dengan nilai-nilai dan etos kerja yang diubahkan.

Secara spesifik, kitab Yesaya memberikan gambaran yang jelas, dan kadang menakutkan, tentang apa yang Allah harapkan dari para pemimpin. Bisa dibilang, kitab ini merupakan tinjauan panjang lebar —yang kebanyakan buruk— atas kinerja para raja dan pemimpin Israel dan Yehuda.[1] Dunia kerja modern sangat berbeda dengan dunia kerja pada zaman Israel kuno. Sebagai contoh, para pemimpin dalam kitab ini bekerja di bidang pemerintahan, militer atau dalam lingkup keagamaan, sementara para pemimpin saat ini bekerja di perusahaan, wirausaha, maupun institusi ilmiah dan akademis. Akan tetapi, tulisan Yesaya tetap bisa diterapkan pada masa kini dengan terlebih dahulu memahami apa yang dimaksudkan sesuai keadaan pada zaman itu, lalu mengambil prinsip-prinsip untuk diterapkan ke dalam dunia kerja saat ini. Berdasarkan perspektif Yesaya, cara kita bekerja saat ini mempunyai nilai dan makna terhadap Ciptaan Baru yang dijanjikan Allah kepada umat-Nya.

Penilaian Allah terhadap Israel dan Yehuda (Yesaya)

Sebagian besar kitab Yesaya memuat tentang nabi Yesaya yang menyuarakan penilaian Allah atas kegagalan Israel untuk memenuhi perjanjian antara Allah dan Israel. Yesaya adalah yang pertama dari para “nabi penulis” dalam Perjanjian Lama — para nabi yang nubuat-nubuatnya dituliskan di dalam kitab-kitab yang diberi judul sesuai dengan nama para nabi tersebut. Saat membaca kitab-kitab tersebut, penting untuk juga mempelajari kitab Ulangan karena kegagalan para pemimpin Israel dan Yehuda di mata Allah perlu dipahami menurut sudut pandang perjanjian yang dinyatakan di dalam Hukum Musa (Taurat). Melalui Musa, Allah telah mengikat perjanjian kepada umat-Nya. Dia menjanjikan keamanan, kedamaian, dan kemakmuran, yang dijamin dengan kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka. Sebaliknya, bangsa Israel berjanji untuk menyembah-Nya dan menaati hukum yang Dia berikan kepada mereka. Yesaya, seperti halnya para nabi penulis lainnya, mewartakan kegagalan Israel – terutama para pemimpinnya – untuk menaati hukum Allah. Bukan suatu kebetulan bahwa orang-orang Yahudi pada zaman Yesus menyebut Perjanjian Lama sebagai “Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi”. Supaya dapat dipahami dengan jelas, kitab-kitab para nabi tak cukup untuk hanya dipahami menurut zaman penulisannya, tapi juga harus menurut latar belakang perjanjian dan hukum yang Allah berikan.

Tinjauan Umum Kitab Yesaya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yesaya 1:1 mencatat bahwa Yesaya menjadi seorang nabi selama kurun waktu pemerintahan empat raja kerajaan Yehuda di bagian selatan: Uzia, Yotam, Ahas, dan Hizkia. Dia melayani sebagai utusan Allah untuk Yehuda selama lebih dari 50 tahun (dari sekitar tahun 740 sampai 686 SM), kira-kira seratus tahun sebelum kemunculan tiga nabi-nabi penulis kitab berikutnya — Yeremia, Yehezkiel, dan Daniel. Meskipun situasi politik di Yehuda berbeda dengan di kerajaan Israel yang ada di bagian Utara, dosa pelanggaran mereka sama menyedihkannya: penyembahan berhala, penindasan dan marginalisasi orang miskin demi kepentingan pribadi, dan praktik bisnis yang melawan Hukum Allah. Sama seperti nabi Amos yang sezaman dengannya (yang menyampaikan pesan-pesan dari Allah di kuil kerajaan di Betel kepada orang-orang Israel yang belum bertobat), Yesaya menyaksikan bagaimana penyembahan yang hanya di mulut saja membentuk etika sosial yang sifatnya mementingkan diri sendiri.

Yesaya berbeda dari Yeremia dan Yehezkiel dalam hal karakter pelayanan kenabiannya yang memadukan antara nubuat (penglihatan yang jauh ke masa depan) dengan teguran (menyampaikan kebenaran kepada umat yang berdosa). [1] Walaupun kitab Yesaya memberikan beberapa titik kejadian dalam sejarah yang mengaitkan sang nabi pada periode tertentu dalam sejarah Yehuda, penglihatan-penglihatan yang tertulis di dalamnya mencakup rentang waktu sejak zaman Yesaya sendiri sampai kepada akhir zaman saat Allah menciptakan “langit dan bumi yang baru” (Yes. 65:17). Beberapa ahli Alkitab mengibaratkan kitab Yesaya sebagai sebuah baris pegunungan yang berbagai puncaknya terlihat, tetapi lembah-lembah yang membentang di antara puncak-puncak itu (ibarat rentang waktu yang memisahkan berbagai nubuat) tidak dapat terlihat. Sebagai contoh, nubuat untuk Raja Ahaz bahwa Allah akan memberinya sebuah pertanda tentang seorang bayi laki-laki bernama Imanuel (Yes. 7:14) diangkat kembali tujuh ratus tahun kemudian oleh Matius (Matius 1:23) sebagai sebuah penglihatan tentang Mesias yang akan segera lahir.[2]

Catatan-catatan sejarah dalam kitab Yesaya menunjukkan bahwa nabi Yesaya hidup sekitar enam abad sebelum Kristus, dimulai dengan ketika ia menerima penglihatan dari Allah dan panggilan untuk pelayanan kenabian “pada tahun kematian Raja Uzia”, yakni pada tahun 740 SM. (Yes. 6:1). Catatannya kemudian melintasi kurun waktu 15 tahun masa pemerintahan raja Yotam (2 Raja-raja 15:32-38) dan berlanjut di Yesaya 7:1 di mana raja Ahaz (2 Raja-raja 16:1 dst.) dihadapkan pada Yerusalem yang berada di ambang kehancuran di tangan bangsa Aram dan sekutu mereka saat itu, kerajaan utara Israel. Kemudian, dalam pasal 36-37, Yesaya menjelaskan dilema yang dihadapi raja Hizkia, ketika jenderal Sanherib memimpin bangsa Asyur, mengepung Yerusalem dan mengancam akan menghancurkan seluruh kota (2 Raja-raja 18:13-19:37).

Yesaya melanjutkan kisah tentang Hizkia di dalam pasal 38-39, mengenai penyakit mematikan yang diidapnya dan kemurahan Allah yang memperpanjang umurnya selama 15 tahun. Dalam masing-masing titik bersejarah ini, nabi Yesaya terlibat langsung dengan para raja sebagai yang menyampaikan pesan-pesan Allah kepada mereka.

Nubuat yang disampaikan Yesaya memberikan penglihatan kepada umat Allah tentang mengenai penghakiman yang akan datang atas bangsa-bangsa, mengenai restorasi sebagai kasih karunia atas bencana yang akan datang, hingga tentang pengharapan pada akhir zaman bahwa segala sesuatu akan menjadi sangat berbeda dan akan disebut sebagai langit yang baru dan bumi yang baru (Yes. 65:17). Nubuat dari Yesaya (yang selain sifatnya prediktif, juga berupa peringatan) mencakup rentang waktu sejak masa kerajaan Yehuda hingga pembuangan bangsa itu di Babel, sampai kepada pemulihan dan kepulangan mereka ke Yehuda. Dia memberitakan berbagai peristita mulai dari tentang kedatangan Mesias hingga akan datangnya “langit yang baru dan bumi yang baru.” dinamika kekuasaan dan pemerintahan di kerajaan Yehuda, sampai perbudakan akan datangnya Mesias serta “langit yang baru dan bumi yang baru.” Secara struktur, pasal 1-39 mencakup periode di mana Yesaya aktif melayani, sementara pasal-pasal selanjutnya (40-66) melihat lebih jauh tentang masa depan umat Allah. Demikianlah firman Tuhan yang disampaikan melalui nubuat nabi Yesaya menjangkau generasi-generasi yang tak terhitung jumlahnya.

Panggilan Yesaya adalah untuk melayani sebagai utusan Allah di hadapan bangsa Yehuda dan mewartakan keberdosaan mereka di mata Allah. Dia kemudian bersikeras memerintahkan agar nubuat-nubuat darinya dicatat untuk generasi-generasi mendatang: “Sekarang, pergilah, tulislah itu di depan mata mereka di loh batu…supaya menjadi kesaksian pada masa yang akan datang, sampai selama-lamanya. Sebab, mereka itu bangsa pemberontak, anak-anak yang suka berdusta, anak-anak yang enggan mendengar akan pengajaran TUHAN” (Yes. 30:8,9). Keberdosaaan bangsa itu ditandai dengan bagaimana mereka mengabaikan hukum Allah dan klaim Allah atas umat-Nya seperti yang Dia janjikan. Nubuat peringatan kepada bangsa yang telah berdosa itu begitu kerasnya sehingga kita bisa menggambarkan sisuasinya seperti ini: Kerinduan Allah terhadap mereka yang telah Ia panggil sebagai umat-Nya adalah sedemikian besarnya sehingga apabila bangsa itu tidak menjadi milik-Nya, maka lebih baik mereka tidak menjadi bangsa sama sekali.

Pandangan Allah atas Pekerjaan Kita (Yesaya)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ada tujuh tema utama dalam kitab Yesaya yang berhubungan dengan pekerjaan kita : (1) ada hubungan yang tidak terpisahkan antara ibadah kita dan kehidupan pekerjaan kita, (2) rasa bangga yang angku dan sikap mengandalkan diri sendiri, (3) Allah membenci kekayaan yang diperoleh dengan cara mengkesploitasi orang-orang miskin dan terpinggirkan, (4) Allah berkehendak agar kita percaya kepada-Nya supaya kita bisa hidup damai dan sejahtera, (5) Allah kita adalah Sang Pencipta yang menjadi sumber segalanya, (6) Yesaya menjadi contoh yang hebat tentang bagaimana seorang hamba Allah bekerja, (7) makna tertinggi dari pekerjaan kita saat ini adalah keterlibatannya di dalam Ciptaan Baru.

Ketujuh tema ini akan dibahas sesuai urutan kemunculan mereka pertama kali di dalam kitab Yesaya. Indeks untuk semua pasal yang dibahas, ditampilkan di akhir artikel ini.

Penyembahan dan Pekerjaan (Yesaya 1 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yesaya memulai dengan menegaskan bahwa ritual-ritual agamawi yang dilakukan sambil terus hidup berdosa, membuat Allah:

Apa gunanya bagi-Ku kurbanmu yang banyak-banyak?" firman TUHAN; "Aku sudah jemu dengan kurban-kurban bakaran berupa domba jantan dan lemak anak lembu yang gemuk. Darah lembu dan anak kambing domba jantan tidak Kusukai… sehingga kamu menginjak-injak pelataran Bait-Ku? Jangan lagi membawa persembahanmu yang sia-sia, persembahan dupa adalah hal yang menjijikkan bagi-Ku.... Aku akan menutup mata-Ku terhadap kamu; bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yes. 1:11-17)

Kemudian, Yesaya mengulahi kemarahan Allah. “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, sedangkan hatinya menjauh dari-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan“ (Yes 29:13). Bencana yang akan segera dialami bangsa itu adalah akibat langsung dari penindasan terhadap para pekerja dan kurangnya perhatian bagi mereka yang berkekurangan secara ekonomi.

...beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka! Hari demi hari mereka mencari Aku dan suka mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan tidak meninggalkan hukum Allahnya mereka menanyakan hukum-hukum yang benar kepada-Ku, mereka suka mendekat kepada Allah, katanya, "Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya?" Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih sibuk dengan urusanmu, dan kamu menindas semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta meninju dengan sewenang-wenang... Berpuasa yang Kuhendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. (Yes. 58:1-8)

Pada zaman sekarang, di mana pekerjaan kita sehari-hari seolah tidak ada hubungannya dengan penyembahan kita di akhir pekan, Allah berkata, “Jika kamu mengenal hukum-Ku dan mengasihi-Ku, kamu tidak akan semena-mena terhadap orang-orang yang bekerja untukmu.” Yesaya tahu dari pengalaman pribadinya bahwa penglihatan tentang Allah bisa mengubah hidup kita, termasuk cara kita hidup sebagai orang Kriten di tempat kerja.

Bagaimana caranya? Yesaya berulang kali menjelaskan kepada kita visi tentang Allah, yang ditinggikan di atas semua allah lain:

  • Tetapi TUHAN semesta alam, Dialah yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepada-Nyalah harus kamu takut dan terhadap Dialah harus kamu gentar. Ia akan menjadi tempat kudus…(Yes. 8:13-14)

  • Kuasa dan kekuatan Allah yang tiada banding selalu disertai dengan kasih kepada umat-Nya: “Mengapakah engkau berkata demikian, hai Yakub, dan berkata begini, hai Israel: "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku?“ Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya. Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya.” (Yes. 40:27-29)

  • “Juga seterusnya Aku tetap Dia, dan tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku; Aku melakukannya, siapakah yang dapat mencegahnya?” (Yes. 43:13)

  • “Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Siapakah seperti Aku? Biarlah ia menyerukannya, biarlah ia memberitahukannya dan membentangkannya kepada-Ku! Siapakah yang mengabarkan dari dahulu kala hal-hal yang akan datang? Apa yang akan tiba, biarlah mereka memberitahukannya kepada kami!” (Yes. 44:6-7)

  • “Dengarkanlah Aku, hai Yakub... Akulah yang tetap sama, Akulah yang terdahulu, Akulah juga yang terkemudian! Tangan-Ku juga meletakkan dasar bumi, dan tangan kanan-Ku membentangkan langit. (Yes. 48:12-14)

Sekalipun kedahsyatan kuasa dan kekuatan Allah membuat kita gemetaran, kita akan tetap ditarik masuk ke dalam belas kasih-Nya kepada kita. Kita meresponi kasih itu dengan menyembah-Nya, menghidup keseharian kita sesuai kehendak Allah sehingga kita merefleksikan kepedulian-Nya terhadap keadilan dan kebenaran. Pekerjaan dan penyembahan kita terikat satu sama lain ketika kita mengenal Sang Maha Suci. Pengenalan kita akan Allah akan mengubahkan cara kita bekerja, cara kita bermain, dan cara kita memandang serta memperlakukan orang-orang yang dapat memperolah manfaat dari pekerjaan kita.

Hubungan yang tak terpisahkan antara pekerjaan kita dan penerapan praktis dari penyembahan kita juga muncul dalam kisah tentang dua orang raja yang digunakan nabi Yesaya untuk menjelaskan pentingnya mengandalkan Allah di tempat kerja. Baik Ahas maupun Hizkia memilik tanggungjawab kepemimpinan sebagai raja di Yehuda. Keduanya harus menghadapi musuh-musuh menakutkan yang bertekad untuk menghancurkan negeri mereka dan kota Yerusalem. Keduanya punya kesempatan untuk mempercayai fimarn Allah yang disampaikan nabi Yesaya bahwa Allah tidak akan membiarkan mereka jatuh ke tangan musuh. Bahkan, Allah berfirman kepada Ahas bahwa ketakutan terbesarnya tidak akan terjadi, tetapi “Jika kamu tidak teguh beriman, kamu sungguh tidak akan aman” (Yes. 7:9). Ahas menolak untuk percaya bahwa Allah akan melepaskannya dari musuh dan malah gegabah bersekutu dengan Asyur.

Satu generasi sesudahnya, Hizkia harus menghadapi musuh yang lebih tangguh dan Yesaya meyakinkan dia bahwa Allah tidak akan membiarkan kota Yerusalem jatuh ke tangan pasukan tentara Sanherib. Hizkia memilih untuk percaya kepada Allah, dan “Lalu keluarlah Malaikat TUHAN membunuh seratus delapan puluh lima ribu orang di perkemahan Asyur. Esok harinya, ketka orang bangun pagi-pagi, tampaklah semuanya sudah menjadi mayat! Maka Sanherib, raja Asyur, berangkat pulang dan tinggal di Niniwe.” (Yes. 37:36-37a).

Dalam kedua kisah ini, Yesaya menyoroti kepada kita perbedaan antara beriman kepada Allah (yaitu dasar penyembahan kita) dan ketakutan kita kepada musuh yang mengancam kita. Pekerjaan adalah tempat di mana kita sering harus memilih untuk percaya atau takut. Adakah Allah hadir di tempat kita bekerja? Dia adalah Imanuel, “Allah beserta kita” (Yes. 7:!4), bahkan di tempat kita bekerja. Apa yang kita percaya tentang karakter Allah akan menentukan apakah kita akan “teguh beriman” atau malah dikelumuti ketakutan akan pihak-pihak yang punya kuasa untuk mencelakai kita. Baik penyembahan maupun pekerjaan yang tidak berhulu pada pengenalan yang benar akan Allah dan janji-Nya, bukanlah penyembahan dan pekerjaan yang benar.

Keangkuhan Diri dan Mengandalkan Diri Sendiri (Yesaya 2 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam tulisan-tulisan Yesaya, keangkuhan dan sikap mengandalkan diri sendiri punya kaitan khusus dengan penyangkalan otoritas dan kuasa Allah di semua aspek kehidupan. Kita menggantikan keunikan Allah dengan kepintaran manusia dan ilah-ilah lainnya. Yesaya langsung mengingatkan tentang isu ini sejak di awal kitabnya: “Manusia yang memandang dengan congkak akan direndahkan, orang yang angkuh akan ditundukkan; hanya TUHAN sajalah yang Maha Tinggi pada hari itu” (Yes. 2:11).

Keangkuhan bangsa itu ditunjukkan dalam tiga hal: kekayaan, kekuatan militer, dan penyembahan berhala. Kombinasi dari ketiga faktor ini melahirkan tiga serangkai perusak yang yang menjauhkan mereka dari penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Sebaliknya, mereka mengandalkan perbuatan tangan mereka sendiri – berhala-berhala serta kekayaan dan kekuatan militer mereka.

Yesaya mendeskripsikan kekayaan mereka yang berupa emas dan perak: “tak terbatas harta bendanya” (Yes. 2:7). Dia menyatakan yang serupa tentang kekuatan militer dan berhala-berhala bangsa itu: seolah tidak ada tempat yang tidak mereka jelajahi. Yesaya pun mengolok-olok semua berhala yang mereka buat dengan tangan sendiri dan kemudian mereka sembah sebagai allah (Yes. 44:10-20). Keangkuhan dan sikap mengandalkan diri sendiri adalah kejijikan bagi Allah. Harta yang menumpuk atau nafsu mengejar kekayaan yang membuat kita mengenyampingkan kemuliaan Allah dalam hidup sehari-hari merupakan kejahatan bagi Allah: “Berhentilah bersandar pada manusia, yang hanya ada napas di hidungnya; untuk apa ia diperhitungkan?” (Yes. 2:22). Dalam pasal 39, Raja Hizkia dihakimi oleh Allah karena dia memamerkan perbendaharaan di istananya kepada utusan dari negeri Babel yang jauh. Daripada berusaha membuat musuhnya terkesan dengan kekayaan di kerajaannya, sebaga raja dia seharusnya merendahkan dirinya di hadapan Allah.

Allah Menghakimi Tindakan Eksploitasi dan Marginalisasi (Yesaya 3 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berulang kali dalam kitab Yesaya muncul tuduhan atas para pemimpin yang melanggar perjanjian dengan Allah demi mengejar kekayaan dan status dengan mengorbankan orang-orang yang miskin dan terpinggirkan. Dalam Yes. 3:3-15, Allah menghakimi para tetua dan pemimpin umat-Nya yang memperkaya diri mereka dengan cara merampas dan menekan orang-orang miskin. Menurut pengamatan Williamson “hal ini [yaitu situasi yang digambarkan dalam Yes. 3:14] biasanya dikaitkan dengan bagaimana pada periode ini mulai berkembang strata masyarakat di mana kekayaan, dan dengan demikian kekuasaan, semakin menumpuk di tangan sekelompok kecil orang-orang yang punya hak istimewa dengan mengorbankan rakyat kecil. Semakin banyak orang yang butuh pinjaman, yang bisa berkonsekuensi kepada perbudakan..., penyitaan harta bahkan perbudakan utang, adalah cara-cara yang walaupun saat itu legal, tapi menurut para nabi tidak adil.”[1] Demikian pula dalam kitab Yesaya pasal 5 “Nyanyian tentang Kebun Anggur”, beberapa “kesengsaraan” yang menjadi hukuman atas bangsa Yehuda justru berhubungan dengan tindakan mereka mengeksploitasi orang-orang miskin demi memperkaya diri mereka sendiri: “Sungguh celaka orang yang menyerobot rumah demi rumah dan merebut ladang demi ladang, sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain. Kamu membuat hanya dirimu sendiri yang mendiami negeri itu!” (Yes. 5:8). [2]

Sebagai umat Allah, mereka dipanggil untuk menjadi berbeda dari berbagai budaya yang saling merebut perhatian yang ada di sekeliling mereka. Eksploitasi terhadap orang-orang miskin demi kepentingan kelompok elit merupakan pelanggaran terhadap Allah yang sesuai perjanjian-Nya menuntut bahwa umat-Nya adalah sepenuhnya milik-Nya. Pola yang sama dilihat di awal sejarah Israel pada masa pemerintahan Raja Ahab yang melalui istrinya, seorang perempuan asing, Izebel, membunuh seorang petani bernama Nabot dan kemudian merampas kebun anggur miliknya. Nabi Elia murka dan berkata, “Anjing-anjing akan memakan Izebel di temnok luar Yizre’el.” (1 Rj. 21:23). Saat Yesaya melihat bahwa pola ini kembali muncul di Yehuda, dia menyampaikan bahwa yang bisa menjadi penawar bagi ambisi egois yang sudi mengorbankan orang-orang miskin dan terpinggirkan: akan datang pemerintahan yang benar pada era Mesianik di mana “Ia [Mesias dari Allah] akan menghakimi orang-orang lemah dengan adil, dan akan menjatuhkan keputusan dengan jujur terhadap orang yang tertindas di negeri” (Yes. 11:4).

Ketika menilik dosa-dosa umat Allah di Yehuda, Yesaya juga menyebutkan penghakiman Allah atas bangsa-bangsa: “Itulah rancangan yang telah dibuat mengenai seluruh bumi, dan itulah tangan yang teracung terhadap segala bangsa” (Yes. 14:26). Babel akan diruntuhkan (Yes. 13:9-11); dalam waktu tiga tahun kekuasaan Moab akan berakhir; Siria akan tumbang (Yes. 17:7-8; demikian pula dengan Etiopia (Yes. 18), Mesir (Yes. 19:11-13), dan Tirus (Yes. 23:17). Allah akan menumbangkan raja bangsa Asyur karena hatinya yang congkak dan penampilannya yang angkuh (Yes. 10:12). “Bumi cemar karena penduduknya, sebab mereka melanggar hukum-hukum.... Sebab itu, kutukan akan melahap bumi, dan penduduknya akan mendapat hukuman” (Yes. 24:5-6).

Karena Allah menginginkan keadilan dan kebenaran, Ia pun menghakimi bangsa-bangsa, perusahaan-perusahaan maupun individu-individu yang menipu dan memperdaya orang lain demi keuntungan pribadi. Hari-hari ini, kita melihat bagaimana negara-negara dieksploitasi oleh para pemimpin mereka sendiri, seperti di Myanmar di mana bencana muncul karena kelalaian perusahaan-perusahaan asing, atau tragedi gas Bhopal di India, dan penipuan terhadap para investor oleh individu-individu seperti Bernie Madoff. Tak ada bedanya dengan ketika kita melihat — bahkan terlibat dalam — berbagai ketidakadilan yang tampak kecil seperti kompensasi yang tidak adil, beban kerja yang berlebihan, kontrak kerja dengan syarat dan kondisi yang menekan, kecurangan saat ujian, dan bersikap tak peduli ketika terjadi kekerasan di rumah, di tempat kerja, di gereja dan di jalanan, Allah pada akhirnya akan menghakimi mereka yang memperkaya diri sendiri atau mempertahankan pekerjaan atau hak istimewa mereka dengan cara mengeksploitas orang-orang miskin dan terpinggirkan.

Kedamaian dan Kesejahteraan (Yesaya 9 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kebalikan dari keangkuhan dan sikap mengandalkan diri sendiri yang akan menjatuhkan kita atau tindakan mengeksploitasi orang miskin demi mendapatkan kekayaan, itulah yang menjadi tema keempat dalam kitab Yesaya adalah bahwa jika kita percaya kepada Allah yang esa dan benar, kita akan hidup di dalam kedamaian dan kesejahteraan. Umat Allah akan bersukacita pada musim panen (Yes. 9:3). Dengan kuasa Roh Allah, umat-Nya akan berdiam di dalam kedamaian, ketenteraman, dan menikmati hasil kerja mereka (Yes. 32:15): “Berbahagialah kamu yang boleh menabur dekat aliran air, yang dapat melepas sapi dan keledainya berjalan merumput!” (Yes. 32:20).

Demikian pula, salah satu janji yang digenapi karena Hizkia percaya Allah akan melepaskan mereka dari Sanherib, jenderal Asyur, yaitu bahwa orang-orang akan menikmati hasil kerja keras mereka sendiri: “Inilah yang akan menjadi tanda bagimu, Hizkia: Dalam tahun ini orang makan apa yang tumbuh sendiri, dan dalam tahun kedua, apa yang tumbuh dari tanaman yang pertama. Akan tetapi, dalam tahun ketiga, menaburlah kamu, menuailah, buatlah kebun anggur, dan makanlah buahnya” (Yes. 27:30). Akibat tekanan dari invasi pasukan Sanherib, tanah menjadi tidak subur. Allah menjanjikan bahwa dari tanah itu akan ada hasil untuk dimakan walaupun tidak ditanami. Namun, agar orang-orang dapat menikmati hasil dari pohon anggur, diperlukan waktu bertahun-tahun yang damai untuk melakukan penananam yang baik. Kondisi yang damai adalah karunia dari Allah. Keberhasilan Yehuda dalam mengerjakan ladang dan kebun anggur mereka merupakan tanda berkelanjutan dari penggenapan janji kasih Allah.[1]

Dalam penglihatan tentang Sion yang baru, salah satu janji Allah adalah bagaimana umat-Nya akan menikmati makanan dan anggur yang telah mereka hasilkan dengan susah payah (Yes. 62:8-9). Demikian halnya dengan gambaran langit yang baru dan bumi yang baru, di mana hal-hal yang lama akan dilupakan dengan adanya dunia yang baru, umat Allah tidak akan lagi ditindas melainkan akan mendirikan rumah mereka sendiri, meminum anggur mereka sendiri, dan menikmati makanan mereka sendiri (Yes. 64:21-22).

Dalam Perjanjian Lama, bercocok tanam adalah pekerjaan utama kebanyakan orang. Itulah alasan banyak contoh dalam Alkitab yang diambil dari lingkup kehidupan agraria. Namun, prinsip besarnya adalah Allah memanggil kita, apapun bentuk panggilan kita, untuk percaya kepada-Nya baik di dalam pekerjaan maupun di dalam berbagai aspek-aspek yang bersifat religius di dalam hidup kita.

Allah bersukacita melihat peran kreatif yang dijalankan umat-Nya demi menjadi yang terbaik dalam apa pun yang mereka kerjakan di bawah naungan perjanjian-Nya. “…mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan memakan buahnya pula. (Yes. 65:21). Masalah muncul ketika kita mencoba memutarbalikkan posisi Sang Pencipta dan ciptaan dengan cara menggantikan nilai dan ketetapan dari Allah dengan nilai-nilai kita sendiri dan ambisi yang tidak terkendali. Ini terjadi ketika kita mengkotak-kotakkan pekerjaan kita sebagai urusan duniawi yang seolah tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerajaan Allah. Tentu saja, dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, hidup dalam ketaatan tidak akan selalu menghasilkan kemakmuran. Namun, apa pun yang kita kerjakan tanpa ketaatan malah bisa mendatangkan hasil yang lebih buruk daripada kemiskinan secara materi. Pasal-pasal awal kitab Yesaya menceritakan bagaimana Yehuda mempelajari tentang kebenaran ini.

Allah: Sumber Kehidupan, Pengetahuan, dan Hikmat (Yesaya 28 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dibandingkan semua nabi penulis lainnya, Yesayalah yang paling sering menyingkapkan penglihatan tentang Allah yang, sekali bisa dipahami, akan membuat kita tersungkur kagum. Allah adalah sumber dari segala keberadaan, kepunyaan dan pengetahuan kita. Tiga ratus tahun sebelumnya, Salomo telah merangkumkan kebenaran ini: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Amsal 1:7). Dan “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan” (Amsal 9:10). Kini Yesaya menunjukkan kepada kita siapa Allah yang merupakan sumber pengetahuan dan hikmat tersebut, dan mengapa pengertian tentang siapa Allah itu penting bagi hidup dan pekerjaan kita.

Keberadaan kita adalah pemberian Allah: “...hai orang-orang yang Kupikul sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Kujunjung sejak dari rahim. Sampai masa tuamu Aku tetap sama dan sampai putih rambutmu Aku tetap menggendong kamu. Aku telah menjadikan dan akan menanggung kamu; Aku akan memikul dan menyelamatkan kamu” (Yes. 46:3-4).

Allah telah mengaruniakan kepada kita pengetahuan dan pengertian: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh” (Yes 48:17). Allah yang telah menciptakan kita dan memberikan hikmat kepada kita adalah satu-satunya sumber pengetahuan tersebut:

Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkalnya, menakar debu tanah dengan sukat, menimbang gunung-gunung dengan neraca, atau bukit-bukit dengan timbangan?.... Sesungguhnya, pulau-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya. Libanon tidak mencukupi untuk kayu api dan margasatwanya tidak mencukupi untuk kurban bakaran. Segala bangsa seperti tidak ada di hadapan-Nya, mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia belaka. Jadi, dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia? (Yes. 40:12-18).

Saat kita mengenali Allah sebagai sumber kehidupan, pengetahun dan hikmat kita, kita akan memperoleh perspektif baru atas pekerjaan kita. Kenyataan bahwa kita memiliki pengetahuan atau keterampilan untuk melakukan pekerjaan kita, mengarahkan kita kembali kepada sumbernya, Allah, yang menciptakan kita dengan kemampuan dan minat tertentu di dalam hidup. Hidup yang “takut” (menyadari dengan penuh kekaguman) akan Tuhan adalah awal mula pengetahuan dan hikmat. Kesadaran akan hal inilah yang memungkinkan kita untuk belajar dari orang lain yang kepada mereka Allah telah memberikan pengetahuan dan keterampilan yang bisa melengkapi. Kerjasama yang kreatif dalam sebuah kelompok terjadi ketika kita menghormati pekerjaan Allah baik dalam diri kita sendiri maupun dalam diri orang lain.

Ketika kita mengalami Allah bekerja di dalam diri kita, pekerjaan kita jadi membuahkan hasil. “Ia telah diajari cara yang tepat, dan diberi petunjuk oleh Allahnya.” (Yes. 38:36). Dengan kata lain “perajin itu tahu apa yang harus dilakukan, sebab Allah sudah memberikan hikmat kepadanya.” Atau, “pengusaha itu tahu apa yang harus dilakukan, sebab Allah sudah memberikan hikmat kepadanya.” Secara misterius, kita menjadi rekan pencipta bagi Allah dalam pekerjaan kita yang kemudian menjadi alat di tangan Allah untuk tujuan-tujuan yang lebih dalam dari yang kita bisa pikirkan.

Hamba di Tempat Kerja (Yesaya 40 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika di dalam Yesaya 1-39 kebenaran (yang sering diasosiasikan dengan keadilan, mishpat) menjadi kata yang digunakan untuk menyingkapkan kegagalan dan ketidaksetiaan Yehuda, maka kebenaran dalam Yesaya 40-55 dipahami terutama sebagai karunia Allah yang Dia wujudkan atas nama umat-Nya.[1] Yesaya sendiri adalah contoh utama hamba Allah yang membawa karunia kebenaran dari Allah tersebut.

Keadilan atau penghakiman ditegakkan dalam Yesaya 40-55 melalui “hamba” yang penuh teka-teki dan hadir pada bagian kesaksikan Yesaya ini. Yesaya 42:1-4, bagian pertama dari apa yang disebut dengan “nyanyian hamba TUHAN,” berbicara tentang seorang hamba yang menegakkan keadilan di muka bumi. Di sini, dalam sosok seorang hamba, Allah menjawab seruan Yehuda untuk memperolah keadilan seperti tertulis dalam Yes. 40:27: “Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku (mishpat) diabaikan Allahku?” Inisiatif ilahi dari Allah telah diberlakukan untuk mengerjakan bagi umat-Nya apa yang mereka tak bisa capai untuk diri mereka sendiri. Cara yang dipakai oleh Allah untuk mengerjakan keselamatan baik bagi Israel dan semua bangsa adalah melalui sosok yang disebut hamba Allah yang sedang dipersiapkan. Kebenaran dan keadilan akan digenapi oleh sang hamba.

Identitas naratif sang hamba berkembang dalam pasal-pasal ini, dimulai dari sebagai Israel (terutama dalam pasal 40-48) sampai menjadi sosok individu yang dengan sendirian memikul identitas misi bangsa Israel, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk bangsa-bangsa lain dalam pasal 49-53.

Ia berfirman kepadaku, “Engkaulah hamba-Ku, hai Israel, dan melaluimu Aku akan menyatakan keagungan-Ku.” (Yesaya 49:3)

Alasan bergesernya narasi dari Israel sebagai bangsa menjadi sosok yang merupakan inkarnasi Israel (atau Israel yang dianggap ideal) adalah kegagalan Israel dalam menunaikan misinya akibat dosanya.[2] ita bisa amati dalam sosok hamba ini, bagaimana Allah menggunakan cara yang unik untuk mengkomunikasikan kehadiran-Nya yang penuh kasih karunia serta keinginannya untuk merestorasi umat-Nya yang sesat. Melalui sosok hamba itulah kebenaran (yang di titik ini sudah dipahami sebagai kesetiaan terhadap pernjanjian dengan umat-Nya) ditawarkan kepada mereka sebagai karunia sesuai kehendak dan komitmen-Nya untuk berdaulat atas janji-janji-Nya. Kebenaran adalah sesuatu yang diterima, bukannya diraih.[3]

Hal ini mendorong kita untuk bertanya tentang peran kita sendiri. Sebagai anggota umat yang telah ditebus oleh kasih karunia Allah, kita dapat menjadi bejana kasih karunia itu untuk kepentingan orang-orang di sekitar kita. Terkadang kita memiliki kesempatan untuk menjadikan tempat kerja kita lebih adil, lebih penuh belas kasih, lebih berorientasi untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Dengan melakukan semua itu, kita dapat ikut melaksanakan misi sang hamba dalam cara-cara kecil.

Sebaliknya, ada kalanya sulit untuk melakukan pekerjaan kita sesuai kehendak Allah. Orang-oran atau sistem di tempat kerja mungkin menentang cara Allah memimpin kita. Dosa dan kekurangan kita sendiri pun dapat mengganggu hal-hal baik yang mungkin telah kita capai. Bahkan upaya terbaik kita pun mungkin tidak akan membuat banyak perbedaan.

Dalam kasus-kasus seperti ini, Yesaya meneguhkan kita.

Namun, aku berkata, “Aku telah bersusah payah dengan percuma, dan menghabiskan kekuatanku dengan sia-sia dan tak berguna;
tetapi hakku ada pada Tuhan
dan upahku pada Allahku.” (Yesaya 49:4)

Walau kita sering merasa putus asa, hasil akhir dari pekerjaan kita ada di tangan Allah. Kita dapat mempercayai Allah bukan hanya untuk menggunakan apa yang sudah kita lakukan, tetapi juga untuk menuntaskannya menurut waktu-Nya. Seperti tertulis dalam Filipi 1:6, "Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai akhirnya pada hari Kristus Yesus." 1 Korintus 15:58 menambahkan "Karena itu, saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia."

Dua gambaran tentang kebenaran yang ditampilkan di dalam Yesaya 1-39 dan 40-55 memberikan kepada kita pengertian dengan nuansa berbeda tentang kebenaran di dalam Yesaya 55-66. Bagian ini menyediakan beberapa gambaran yang lebih jelas tentang teologi kerja. Kebenaran yang sebelumnya di dalam Yesaya 40-55 diberikan sebagai karunia, di dalam pasal 56-66 berganti menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan: “Beginilah firman TUHAN: Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan, sebab sebentar lagi akan datang keselamatan dari-Ku, dan keadilan-Ku akan dinyatakan” (Yes. 56:1).

Seruan untuk memelihara keadilan dan melakukan kebenaran dalam Yesaya 55-66 jadi memungkinkan untuk direalisasikan oleh umat Allah karena Allah telah terlebih dahulu dengan kemurahan-Nya menjadikan mereka sepenuhnya milik-Nya, lewat figur seorang hamba. Bahasa yang dipakai di dalam Yes. 56:1 berhubungan dengan Yes. 51:4-8 di mana sekali lagi Yehuda dipanggil untuk mengejar keadilan dan kebenaran. Dalam bagian ini, kemungkinan yang diciptakan bagi umat Allah untuk melakukan kebenaran ditemukan di beberapa ayat terakhir yaitu Yes. 51:6, 8: keadilan dan keselamatan dari Allah tidak akan pernah gagal dan akan tetap untuk selama-lamanya. Sebagaimana tertulis di dalam pasal 40-55, kita melihat bagaimana kebenaran dan keselamatan dari Allah ditegakkan melalui perantaraan seorang hamba (pasal 53) yang mengambil alih tempat orang lain dan menderita menggantikan mereka. Ajakan “melakukan kebenaran” dalam pasal 56-66 menjadi mungkin untuk dilakukan karena Allah telah terlebih dahulu membalas ketidaksetiaan Israel dengan pengampunan serta tindakan sang hamba yang menggantikan mereka. Dari sudut pandang teologis ini berarti kasih karunia Allah mendahului hukum Taurat, sebagaimana ditunjukkan melalui inisiatif Allah yang penuh kemurahan unutk menebus umat-Nya seberapa mahal pun harganya. Ini harus menjadi satu-satunya sudut pandang saat berbicara tentang tanggung jawab manusia atau melakukan kebenaran. Hanya di dalam jaminan pengampunan Allah yang ditemukan di dalam Yesus Kristus, dorongan untuk melakukan perbuatan baik bisa terwujud.[4]

Nabi Yesaya mengubah argumen dari yang semula negatif menjadi positif dengan menjelaskan tentang “berpuasa yang Kukehendaki” (Yes. 58:6). Puasa tersebut mencakup: melepaskan belenggu ketidakadilan, membebaskan yang tertindas, berbagi makanan dengan yang kelaparan, menyediakan tempat tinggal bagi pengembara yang miskin, memberi pakaian kepada yang telanjang, merawat keluarga sendiri (Yes 58:6-7).[5] TDemikianlah cara kita berpartisipasi dalam karya pemulihan Allah, seperti dijelaskan di dalam kitab Yesaya, "Reruntuhan yang sudah berabad-abad akan kaubangun lagi dan dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan akan kauperbaiki. Engkau akan disebut “yang memperbaiki tembok yang bolong”, “yang memperbaiki jalan supaya seluruhnya layak huni”. (Yes. 58:12) Yesaya menggambarkan nilai-nilai yang seharusnya menjadi karakter umat Allah, yang sangat kontras dengan kebanyakan budaya di sekeliling mereka. Kepercayaan atau performa agamawi lainnya yang berkompromi dengan etos kerja yang cenderung tidak memedulikan pekerja (di mana pekerja atau karyawan atau bawahan diperlakukan sebagai alat untuk kepentingan pribadi atau bisnis semata) atau tidak mempersoalkan gaya kepemimpinan yang memicu perselisihan, pertengkaran, pergunjingan, sifat bersumbu pendek dan kemarahan yang tidak terkendali – semua itu adalah bentuk ketidaksetiaan kita kepada Allah. Allah telah menyatakan kepemilikan atas umat-Nya atas dasar pengampunan dosa-dosa kita melalui pribadi dan karya keselamatan Yesus Kristus. Di balik seruan yang tertulis dalam pasal 58, ada jaminan tentang penggenapan semua janji Allah di tengah-tengah umat-Nya: "Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar .... kebenaran menjadi barisan depanmu .... dan Allah Israel akan menjadi penutup barisanmu." (Yes 58:8-9; bandingkan dengan Yes 52:12).

Saat menelusuri perkembangan figur "Sang Hamba" dari Israel sebagai bangsa menjadi Israel yang ideal, dan kemudian menjadi Hamba Tuhan dalam pasal 52-53, lalu menjadi hamba-hamba dari Hamba tersebut, kita bisa berhenti sejenak untuk berefleksi, apa saja implikasi dari model pelayanan yang kita lihat di dalam Yesus Kristus kepada lingkup pekerjaan kita. Yesaya dengan hati-hati menyusun gambarannya tentang hamba itu untuk memperjelas bahwa sungguh ia memang merupakan cerminan Allah sendiri.[6] Demikianlah orang Kristen terbiasa menyamakan Sang Hamba dengan Yesus. Gambaran Yesaya tentang penderitaan Sang Hamba dalam pasal 52-53 mengingatkan kita bahwa sebagai hamba Allah, kita pun mungkin akan dipanggil untuk berkorban dalam pekerjaan kita, sama seperti Yesus.

Begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan perawakannya bukan seperti anak manusia lagi… Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan biasa menderita kesakitan. Orang pun menutup muka ketika melihat dia; demikianlah ia dihina dan bagi kita ia tidak masuk hitungan….Akan tetapi, dia ditikam karena pemberontakan kita, dia diremukkan karena kejahatan kita….dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan mereka yang menggunting bulunya. (Yes. 52:14, 53:3, 53:5, 53:7).

Penglihatan yang cukup tentang Allah akan memotivasi kita untuk menjadikan standar Allah sebagai standar kita sendiri, sehingga kita tidak membiarkan kepentingan pribadi dan keangkuhan diri menyelewengkan pekerjaan kita.

Yesus, melalui kematian dan kebangkitan-Nya, memenuhi bagi kita kebutuhan yang tidak dapat kita penuhi. Standar Allah memanggil kita untuk menjunjung keadilan dan kebenaran melalui pekerjaan kita: "Hukum telah terdesak ke belakang, dan keadilan berdiri jauh-jauh, sebab kebenaran tersandung di tempat umum dan ketulusan tidak mendapat tempat. Dengan demikian, kebenaran telah hilang, dan siapa yang menjauhi kejahatan akan menjadi jarahan. Namun, TUHAN melihatnya, dan Ia tidak berkenan karena hukum tidak ditegakkan. Ia melihat bahwa tidak seorang pun yang tampil, dan Ia tergetun karena tidak ada yang membela. Maka tangan-Nya sendirilah yang menolong Dia, dan keadilan-Nyalah yang menopang Dia." (Yes 59:14-16). Sebagai hamba-hamba Tuhan, kita dipanggil untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang terabaikan. Di tempat kerja, bentuknya ada berbagai macam: kepedulian terhadap karyawan atau rekan kerja yang tertindas, perhatian terhadap integritas produk yang dijual kepada konsumen, menghindari jalan pintas yang dapat merugikan orang lain, bahkan menolak penimbunan pada saat terjadi kelangkaan. Seperti yang Paulus tuliskan kepada jemaat di Galatia, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus" (Galatia 6:2).

Sebagai hamba-hamba bagi Sang Hamba Tuhan, kita mungkin tidak menerima pujian yang kita inginkan. Imbalan kita pun mungkin ditangguhkan. Tetapi kita tahu bahwa Allahlah yang menjadi Hakim kita. Yesaya merangkumnya seperti ini: "Sebab beginilah firman Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, yang bersemayam untuk selamanya dan kudus nama-Nya, “Aku bersemayam di tempat tinggi dan kudus tetapi juga bersama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang yang rendah hati dan menghidupkan hati yang remuk redam" (Yes. 57:15).

Makna Utama dari Pekerjaan (Yesaya 60 dst.)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di sepanjang kitabnya, Yesaya menyemangati bangsa Israel dengan pengharapan bahwa Allah pada akhirnya akan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mereka telah lakukan sampai pada saat itu. Pekerjaan, dan hasil dari pekerjaan, juga merupakan bagian dari pengharapan ini. Pada pasal 40, seiring peralihan isi kitab dari menceritakan kebenaran tentang masa kini ke menceritakan kebenaran tentang masa depan, pengharapan pun semakin bisa dirasakan. Materi tentang hamba yang menderita dalam pasal 40-59 hampir tidak bisa dipahami selain sebagai karunia pengharapan dari Allah akan penggenapan kerajaan Allah di masa depan.

Dalam pasal 60-66, pengharapan itu akhirnya dinyatakan sepenuhnya. Allah akan menyatukan kembali umat-Nya (Yes. 60:4), mengenyahkan semua penindas (Yes. 60:12-17), menebus para pemberontak yang bertobat (Yes. 64:5-65:10), dan menyatakan kerajaan-Nya yang adil. Sebagai ganti para pemimpin Israel yang tidak setia, Allah sendiri lah yang akan memerintah: “…engkau akan mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Juruselamatmu, dan Penebusmu, Yang Mahakuasa, Allah Yakub.” Perubahan ini begitu radikal sehingga berujung pada lahirnya sebuah ciptaan baru, yang sama hebat dan luar biasanya dengan dunia yang pertama kali Allah ciptakan. "Sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi" (Yes. 65:17).

Pasal 60-66 kitab Yesaya diperkaya dengan banyak gambaran yang jelas tentang kerajaan Allah yang sempurna. Bahkan, sebagian besar gambaran serta teologi Perjanjian baru diambil dari pasal-pasal dalam kitab Yesaya ini. Pasal-pasal terakhir dari Perjanjian Baru (Wahyu 21 dan 22) pada dasarnya adalah rekapitulasi dari Yesaya 65-66 dengan menggunakan istilah-istilah Kristen.

Sebagian orang mungkin tak menyangka ada begitu banyak bagian dari Yesaya 60-66 yang berhubungan dengan pekerjaan dan hasil dari pekerjaan. Semua hal yang diusahakan manusia dalam hidup akhirnya membuahkan hasil, di antaranya adalah:

  • Pasar dan perdagangan, termasuk pergerakan emas dan perak (Yes. 60:6,9), masuknya pohon-pohon pinus, dan dibukanya pintu-pintu gerbang untuk perdagangan. "Pintu-pintu gerbangmu akan terbuka senantiasa, siang malam tidak akan tertutup, supaya kekayaan bangsa-bangsa dibawa kepadamu, raja-raja mereka juga digiring bersama." (Yes. 60:11)

  • Hasil pertanian dan hutan: termasuk kemenyan, kawanan domba, domba-domba jantan (Yes. 60:6-7), pohon cemara dan pinus (Yes. 6:13)

  • Transportasi melalui darat dan laut (Yes. 60:6, 60:9), dan bahkan mungkin melalui udara (Yes. 60:8)

  • Keadilan dan perdamaian (Yes. 60:17-18, 61:8, 66:16)

  • Pelayanan sosial (Yes. 61:1-4)

  • Makanan dan minuman (Yes. 65:13)

  • Kesehatan dan umur panjang (Yes. 65:20)

  • Konstruksi dan perumahan (Yes. 65:21)

  • Kemakmuran dan kekayaan (Yes. 66:12)

Semua hal ini telah lepas dari bangsa Israel karena ketidaksetiaan mereka kepada Allah. Bahkan, semakin keras mereka berusaha untuk memperoleh semuanya, semakin mereka tidak peduli untuk menyembah Allah atau mengikuti jalan-jalan-Nya. Akibatnya mereka semakin berkekurangan. Namun, ketika kitab Yesaya menyajikan pengharapan akan masa depan Israel sebagai Ciptaan Baru, semua janji-janji itu kembali muncul ke permukaan. Mereka memperoleh gambaran eskatologis masa depan atau hari terakhir ketika "keturunan hamba yang benar" akan menikmati semua berkat pada Zaman Mesianik seperti dijelaskan di atas. Pada saat itulah orang-orang akan benar-benar menerima hasil dari pekerjaan mereka karena "mereka tidak akan sia-sia bersusah payah " (Yesaya 65:23). Dukacita Israel akan berubah menjadi sukacita, dan salah satu motif yang mendominasi rasa sukacita yang akan datang itu adalah kenikmatan dari hasil pekerjaan tangan mereka sendiri.

Kesimpulan Kitab Yesaya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagai orang-orang Kristen yang hidup dalam masa di mana ada ketegangan antara peresmian kerajaan Allah dan penggenapannya yang akan datang, kenikmatan yang kita rasakan dari pekerjaan maupun buah dari pekerjaan kita sehingga kita memuliakan Allah, merupakan pertanda akan datangnya hari di mana ketegangan itu akan disingkirkan. Dapat dikatakan seperti ini: ketika orang-orang Kristen menikmati pekerjaan mereka dan buah yang dihasilkannya lalu memuji kemuliaan Allah, mereka mencicipi sedikit surga di muka bumi. Ketika semua sudah diperbaiki dan langit dan bumi kembali menjadi seperti yang dimaksudkan pada saat diciptakan, pekerjaan tidak akan berhenti. Pekerjaan itu akan terus berlanjut dan akan menjadi sukacita yang besar bagi mereka yang terlibat di dalamnya, karena sengatan Kejatuhan (dalam dosa) telah disingkirkan secara permanen dan tidak dapat muncul kembali.

Bekerja dan menikmati hasil dari kerja keras, adalah karunia-karunia Allah yang patut dinikmati dan dibagikan kepada orang lain. Dengan menggunakan karunia-karunia ini, kita dapat berkontribusi pada perkembangan dan meringankan penderitaan umat manusia. Nubuat Yesaya memberikan gambaran indah tentang fakta bahwa bahkan dalam pekerjaan yang kita lakukan dari Senin hingga Jumat, kita harus memenuhi perintah Allah untuk mengasihi-Nya Allah dan mengasihi sesama kita (bandingkan Matius 22:33-40). Bagi Allah, kita tidak dapat mengasihi-Nya tanpa mengasihi sesama. Ketika kita melakukan pekerjaan kita dengan sudut pandang kasih karunia yang telah dimungkinkan melalui karya pengampunan dan pemulihan Yesus Kristus, sukacita kita akan menjadi penuh. Sebaliknya, pekerjaan menjadi fokus yang diselewengkan demi kemegahan diri sendiri dengan cara mengorbankan martabat bawahan kita dan menindas orang-orang yang miskin dan terpinggirkan, kata-kata keras dalam nubuat Yesaya akan menegur kita: "Bukan ini puasa yang Kukehendai." Ketika pekerjaan dinikmati dalam konteks mengasihi Allah dan sesama manusia, secuplik langit yang baru dan bumi yang baru, akan terasa di sini dan saat ini.

Ayat-ayat dan Tema-tema Utama dari Semua Perikop yang Dikutip dari Kitab Yesaya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perikop (diurutkan berdasar pasal dan ayat)

Tautan ke Bagian Pembahasan

Yes. 1:11-17 Allah tidak menghendaki persembahan dari orang-orang yang melakukan penindasan dan ketidakadilan.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 2:11 Allah akan merendahkan orang-orang yang lebih percaya pada diri sendiri dan bukan kepada Dia.

Tema 2 – Keangkuhan dalam pekerjaan membawa kepada kehancuran

Yes. 2:22 Janganlah mengandalkan kekuatan manusia lebih daripada kekuatan Allah.

Tema 2 – Keangkuhan dalam pekerjaan membawa kepada kehancuran

Yes. 2:7 Kekayaan bukanlah sumber keamanan.

Tema 2 – Keangkuhan dalam pekerjaan membawa kepada kehancuran

Yes. 3:3-15 Allah menghakimi para pemimpin yang mengumpulkan kekayaan dengan cara menindas orang miskin.

Tema 3 – Allah membenci kekayaan yang diperoleh melalui eksploitasi

Yes. 5:8 Bangsa itu dihakimi karena membiarkan orang kaya menumpuk sumber daya yang dibutuhkan untuk berproduksi.

Tema 3 – Allah membenci kekayaan yang diperoleh melalui eksploitasi

Yes. 7:14 Allah menyertai umat-Nya di mana pun kita berada.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 7:9 Iman adalah prasyarat agar setiap perbuatan berkenan kepada Allah.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 8:13-14 Menyembah Allah adalah sumber kekuatan untuk bekerja.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 9:3 Umat Allah bersukacita pada waktu panen.

Tema 4 – Allah ingin kita hidup damai dan makmur dengan bersandar kepada-Nya

Yes. 24:5-6 Praktik-praktik korupsi merusak bumi dan manusia harus menanggung akibatnya.

Tema 3 – Allah membenci kekayaan yang diperoleh melalui eksploitasi

Is. 28:26 Allah memberikan pengertian kepada orang-orang yang mengerjakan tanah.

Tema 5 – Allah adalah sumber kehidupan, pengetahuan dan hikmat

Yes. 29:13 Orang-orang memuliakan Allah dengan bibir mereka, tetapi tidak dengan hidup mereka.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 32:15-20 Dengan kuasa Roh Allah, manusia akan hidup damai, aman dan menikmati pekerjaan mereka.

Tema 4 – Allah ingin kita hidup damai dan makmur dengan bersandar kepada-Nya

Yes. 37:30 Allah berjanji untuk memulihkan produktivitas umat-Nya apabila mereka kembali bersandar kepada-Nya.

Tema 4 – Allah ingin kita hidup damai dan makmur dengan bersandar kepada-Nya

Yes. 37:36-37a Umat Allah dapat mengandalkan kuasa Allah untuk mewujudkan kehendak Allah di muka bumi.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 39:1-8 Bermegah dalam kekayaan dan kekuasaan membawa kehancuran.

Tema 2 – Keangkuhan dalam pekerjaan membawa kepada kehancuran

Yes. 40:12-18 Allah adalah sumber segala pengetahuan dan kuasa.

Tema 5 – Allah adalah sumber kehidupan, pengetahuan dan hikmat

Yes. 40:27 Umat Allah berseru meminta keadilan tangan-Nya.

Tema 6 – Teladan hamba Allah di tempat kerja

Yes. 40:27-40 Allah memberikan kekuatan kepada yang lemah dan tak berdaya.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 42:1-4 Hamba Allah menegakkan keadilan.

Tema 6 – Teladan hamba Allah di tempat kerja

Yes. 43:13 Allah adalah sumber kekuatan dan belas kasihan.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 44:10-20 Tidak ada pekerjaan tangan manusia yang dapat memberikan keamanan yang sejati.

Tema 2 – Keangkuhan dalam pekerjaan membawa kepada kehancuran

Yes. 44:6-7 Hanya Allah yang memiliki kekuatan yang kekal.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 46:3-4 Allah mengajar dan memimpin umat-Nya.

Tema 5 – Allah adalah sumber kehidupan, pengetahuan dan hikmat

Yes. 48:12-14 Tatanan yang diciptakan berasal dari Allah sendiri.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 51:4-8 Umat Allah dipanggil untuk mengejar keadilan dan kebenaran.

Tema 6 – Teladan hamba Allah di tempat kerja

Yes. 56:1 Keadilan, melakukan kebenaran, dan keselamatan berjalan beriringan.

Tema 6 – Teladan hamba Allah di tempat kerja

Yes. 58:1-8 Allah mengharapkan umat-Nya untuk memperhatikan kepentingan para pekerja dan kebutuhan orang yang berkekurangan secara ekonomi.

Tema 1 – Integrasi antara ibadah dan pekerjaan

Yes. 58:6-9 Penyembahan yang Allah kehendaki dari umat-Nya adalah berupa melepaskan belenggu ketidakadilan, membebaskan orang tertindas, serta berbagi makanan, tempat tinggal, dan pakaian, dan menafkahi keluarga mereka.

Tema 6 – Teladan hamba Allah di tempat kerja

Yes. 59:14-16 Hamba Allah menggunakan segenap kekuatannya untuk membawa keadilan bagi mereka yang tertindas dan menunjukkan kebenaran bagi umat Allah.

Tema 6 – Teladan hamba Allah di tempat kerja

Yes. 60:1-18 Allah akan menyatukan umat-Nya di bawah kepemimpinan-Nya, menegakkan keadilan, dan membasmi penindasan.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 60:5 Ciptaan Baru mencakup hasil-hasil karya dari setiap bangsa.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 61:8 Allah akan memberi timpalan kepada mereka yang telah menderita kesusahan.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 62:8-9 Allah menjanjikan masa d mana umat-Nya dapat menikmati hasil kerja keras mereka dalam damai sejahtera.

Tema 4 – Allah ingin kita hidup damai dan makmur dengan bersandar kepada-Nya

Yes. 64:5-65:10 Allah akan menebus para pemberontak yang bertobat, dan memberi mereka bagian dalam berkat-berkat Ciptaan Baru.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 65:13 Di sana akan ada banyak makanan dan minuman.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 65:20 Setiap orang akan menikmati kesehatan dan umur panjang.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 65:21 Akan ada banyak tempat tinggal untuk semua orang.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 65:21-22 Allah menjanjikan suatu masa di man umat-Nya akan membangun rumah-rumah dan hidup dalam damai.

Tema 4 – Allah ingin kita hidup damai dan makmur dengan bersandar kepada-Nya

Yes. 65:23 Pekerjaan umat Allah tidak sia-sia.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 66:13 Kemakmuran dan kekayaan akan dinikmati oleh semua orang.

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Yes. 66:16 Allah akan mengakhiri segala sesuatu yang akan merusak Ciptaan Baru

Tema 7 –Pekerjaan pada masa kini akan digenapi maknanya di dalam Ciptaan Baru

Pengantar Kitab Yeremia dan Ratapan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Isu mendasar yang dibahas dalam kitab Yeremia adalah apakah umat Allah akan tetap setia kepada-Nya di tengah-tengah lingkungan yang menyulitkan. Yeremia menelaah kesetiaan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk agama, keluarga, militer, pemerintahan, pertanian, serta bidang-bidang kehidupan dan pekerjaan lainnya. Kita pun menghadapi isu yang sama sebagai orang-orang yang bekerja pada masa kini. Kita dipanggil untuk setia kepada Allah dalam pekerjaan kita, tetapi ada banyak lingkungan kerja yang menyulitkan kita untuk mengikuti jalan-Nya.

Nabi Yeremia harus berurusan dengan ketidaksetiaan seluruh umat kepada Allah. Dari raja-raja dan para pembesar hingga para imam dan nabi, semuanya tidak setia kepada Allah. Mereka memang masih datang ke Bait Allah, mempersembahkan korban dan menyerukan nama Tuhan, tetapi cara hidup mereka sehari-hari tidak menunjukkan pengakuan akan Allah (Yer. 7:1-11). Tidak ada bedanya dengan orang-orang zaman sekarang yang bergereja pada hari Minggu, memasukkan uang ke dalam kantung persembahan, tetapi menghidupi keseharian seolah mereka tidak mengenal Allah.

Dalam hal kesetiaan kepada Allah, kitab Yeremia menawarkan sejumlah ayat yang terkait langsung dengan pekerjaan serta banyak ayat lain menyangkut kesetiaan secara menyeluruh dalam hidup kepada Allah, berikut implikasi-implikasinya terhadap pekerjaan kita.

Dalam nubuat-nubuatnya yang berhubungan dengan pekerjaan, Yeremia tidak banyak memperkenalkan prinsip atau perintah yang baru. Sebaliknya, nubuat-nubuat yang ia terima merupakan prinsip-prinsip yang telah diwahyukan dalam kitab-kitab awal dalam Alkitab, terutama dalam Hukum Musa. Dia menegur umat Allah yang tidak menaati hukum-Nya dan memperingatkan bahwa ketidaktaatan itu akan mendatangkan bencana bagi mereka. Ketika bencana itu datang, Yeremia pun mengajarkan mereka bagaimana menghidupi hukum Allah di tengah situasi baru yang suram. Dia meneguhkan mereka dengan janji Allah bahwa pada akhirnya Dia akan memulihkan sukacita dan kesejahteraan mereka jika mereka mau kembali setia.

Meskipun dia hidup sekitar 600 tahun sebelum rasul Paulus, penjelasan Yeremia tentang pekerjaan dapat dirangkum dengan sederhana menggunakan ayat Kolose 3:23, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."

Yeremia dan Zamannya (Yeremia dan Ratapan)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Banyak dari kita yang merasakan tempat kerja kita jadi menyulitkan, setidaknya pada saat-saat tertentu. Salah satu daya tarik kitab Yeremia adalah bahwa situasi yang ia hadapi begitu menyulitkan. Tempat kerjanya (yaitu di antara para elit pemerintahan Yehuda) korup dan bertentangan dengan pekerjaan Allah. Yeremia terus-menerus berada dalam bahaya. Namun, ia dapat melihat hadirat Allah dalam situasi tersulit sekalipun. Ketekunannya mengingatkan kita bahwa mungkin kita dapat belajar untuk mengalami hadirat Allah di tempat kerja yang paling menyulitkan sekalipun.

Yeremia dibesarkan di kota kecil Anatot yang berjarak tiga mil di sebelah timur laut ibukota Yehuda, Yerusalem. Meskipun dekat secara geografis, kedua komunitas ini jauh berbeda secara budaya dan politik. Yeremia dilahirkan dalam garis keturunan imam Abyatar, tetapi tidak memiliki kedudukan yang berarti di antara para imam di Yerusalem. Salomo telah menyingkirkan Abyatar dari kekuasaan beberapa abad sebelumnya (1 Raja-raja 1:28 - 2:26) dan menggantinya dengan keturunan imam Zadok di Yerusalem.

Ketika ia dipanggil oleh Allah untuk menjadi nabi-Nya di Yerusalem, Yeremia mendapati dirinya berada di tengah-tengah para imam yang tidak menerima keimaman yang diwarisinya. Yeremia terus menjadi orang luar yang dicurigai dan tidak disukai selama karirnya yang panjang di Yerusalem. Orang-orang yang pada zaman sekarang menghadapi prasangka budaya, etnis, ras, bahasa, agama, atau berbagai prasangka lain di tempat kerja, akan mengerti apa yang Yeremia hadapi setiap hari dalam hidupnya.

Panggilan dan Uraian Tugas Bagi Nabi yang Penuh Keengganan (Kitab Yeremia dan Ratapan)

Pada awal usia dua puluhan, Yeremia menerima panggilan Allah untuk menjadi seorang nabi. Tepatnya pada 626 S.M., tahun ke-13 pemerintahan Raja Yosia (Yer. 1:2). Tugasnya adalah membawa pesan-pesan Allah "atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam" (Yer. 1:10). Pesan-pesan Allah yang disampaikan melalui Yeremia tidaklah lembut dan menguatkan, karena orang-orang Yahudi saat itu sudah hampir sepenuhnya mengabaikan kesetiaan mereka kepada Allah. Allah berusaha memanggil mereka, lewat Yeremia, untuk berbalik sebelum bencana melanda. Layaknya seorang konsultan eksternal yang disewa untuk mengguncang sistem yang bertahan dalam sebuah organisasi, Yeremia dipanggil untuk mendisrupsi kebiasaan yang ada di kerajaan Yehuda. Bagian dari tugasnya adalah menentang penyembahan berhala dan praktik-praktik jahat yang telah menggerogoti ibadah di Yehuda.

Pekerjaan kenabian Yeremia dimulai di bawah pemerintahan raja Yosia yang baik dan berlanjut di bawah para penerusnya yang jahat, yaitu Yoahas, Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia, sampai melewati kehancuran total Yerusalem di bawah penguasa Babel, Nebukadnezar (586 SM). Selama empat dekade menjadi nabi Allah di Yerusalem, Yeremia terus-menerus dicemooh, menjadi bahan tertawaan warga kota. Ia pun luput dari beberapa rencana pembunuhan atas dirinya (Yer. 11:21, 18:18, 20:1, 26:8, dan pasal 38-39).

Yeremia tidak mengajukan diri untuk menjadi nabi dan tidak tercatat di mana pun bahwa ia "menerima" panggilan Allah untuk menjadi juru bicara-Nya. Cukup berbeda dengan Yesaya yang, setelah menerima penglihatan tentang kekudusan dan keagungan Tuhan, mendengar Allah bertanya, "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Kita?" Yesaya menjawab, "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8). Ketika Allah memberitahu Yeremia bahwa ia akan menjadi juru bicara-Nya di Yerusalem, Yeremia protes karena merasa masih muda dan kurang berpengalaman (Yer. 1:6-7). Namun, Allah mengabaikan protesnya dan segera memberi Yeremia pesan-pesan nubuatan untuk umat-Nya (Yer. 1:11-16). Setelah itu, Allah melanjutkan dengan memberi instruksi, peringatan dan janji kepada Yeremia yang baru saja diangkat:

Akan tetapi, engkau, ikatlah pinggangmu, dan segeralah sampaikan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadamu. Jangan gentar terhadap mereka, supaya jangan engkau Kubuat gentar di hadapan mereka! Adapun Aku, sesungguhnya pada hari ini Aku membuat engkau menjadi kota berkubu, menjadi tiang besi dan menjadi tembok tembaga melawan seluruh negeri ini, menentang raja-raja Yehuda dan pemuka-pemukanya, menentang para imamnya dan rakyat negeri ini. Mereka akan memerangi engkau, tetapi tidak akan mengalahkan engkau, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau,” demikianlah firman Tuhan. (Yeremia 1:17-19)

Yeremia tahu sejak awal bahwa panggilannya untuk menjadi nabi adalah panggilan yang berat. Tugas kenabiannya akan membuatnya bersinggungan dengan seluruh bangsa Yehuda, mulai dari raja, para pembesar, imam, hingga rakyat di jalan-jalan kota. Meskipun demikian, ia merasakan dengan jelas panggilan Allah untuk melakukan pekerjaan yang sulit ini, dan percaya bahwa Allah akan menuntunnya untuk melaluinya.

Gambaran Umum Kitab Yeremia

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Yeremia mencerminkan semakin memburuknya situasi demi situasi yang Yeremia hadapi. Pada berbagai kesempatan, ia memiliki tugas yang sulit untuk menentang kemunafikan dalam beragama, muslihat ekonomi dan praktik-praktik penindasan oleh para pemimpin Yehuda dan pengikut-pengikut mereka. Yeremialah yang menyuarakan peringatan; layaknya penjaga yang mengingatkan tentang kebenaran-kebenaran sejati yang sering diabaikan orang.

Sebab, beginilah firman Tuhan mengenai keluarga raja Yehuda...Aku pasti akan membuat engkau menjadi padang gurun, menjadi kota-kota tak berpenghuni. Aku akan menyiapkan pembinasa-pembinasa untuk melawan engkau .... Dan banyak bangsa akan melewati kota ini, dan mereka semua akan berkata seorang kepada yang lain: "Mengapa TUHAN bertindak demikian terhadap kota yang besar itu?" Dan mereka akan menjawab: "Karena mereka telah meninggalkan perjanjian TUHAN, Allah mereka." (Yeremia 22:6-8)

Walau bersikap pesimis, sesungguhnya Yeremia adalah orang yang realistis. Dia diejek dan dicemooh oleh para nabi palsu yang bersikeras bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan kota Yerusalem jatuh ke tangan penjajah.

Kegigihan Yeremia selama empat dekade untuk menyampaikan pesan yang tidak disukai, sungguh luar biasa. Dia tidak mau berhenti dari tugas yang tampaknya mustahil. Bukankah banyak dari kita yang akan memilih untuk melepaskan diri dari situasi seperti itu? Sebaliknya, salah satu hal yang paling mencolok tentang Yeremia adalah kesetiaannya yang teguh dalam menjalankan perintah Allah di tengah-tengah pertentangan dan kritik keras yang tiada henti. Meskipun ia sering disebut "nabi yang menangis" karena ia meratapi dosa-dosa bangsanya dan bersedih atas kegagalannya untuk menuntun mereka kembali kepada Yahweh, Yeremia tidak pernah goyah dalam keyakinannya bahwa Allah, yang menempatkannya di tempat ia berada, akan menggenapi pesan-pesan yang ia sampaikan. Yeremia mampu untuk setia pada panggilan yang tidak diinginkannya karena Allah telah berjanji untuk setia kepadanya. Dia melayani sambil memegang janji Allah:

"Mereka akan memerangi engkau, tetapi tidak akan mengalahkan engkau, sebab Aku menyerta engkau untuk melepaskan engkau,” demikianlah firman Tuhan " (Yer. 1:17-19).

Pada tahun 605, Nebukadnezar dari Babel menyerang Yerusalem dan membawa 10.000 orang Yahudi yang paling cakap (termasuk Yehezkiel dan Daniel). Pada saat itu, peran Yeremia diperluas untuk menyampaikan firman Allah kepada orang-orang Yahudi dalam pembuangan (pasal 29). Di antara orang-orang Yahudi yang ditawan, terdapat nabi-nabi palsu yang meyakinkan mereka bahwa kekuasaan Babel akan segera berakhir dan Allah tidak akan pernah membiarkan Yerusalem direbut. Sebaliknya, Yeremia memperingatkan orang-orang dalam pembuangan, bahwa mereka akan berada di Babel selama tujuh puluh tahun. Alih-alih hidup menurut harapan palsu, orang-orang Yahudi harus menetap di negeri tempat pembuangan mereka, membangun rumah, menanam kebun, menikahkan anak-anak mereka —dan berhenti mendengarkan para nabi palsu.

Sementara itu, penduduk Yehuda yang tersisa terus menolak pesan Allah. Pada tahun 586, bangsa Babel pun kembali dan menghancurkan Yerusalem, meruntuhkan tembok-temboknya, menghancurkan bait suci tanpa sisa, dan membawa orang-orang yang masih hidup sebagai tawanan. Sekali lagi, peran Yeremia berubah (pasal 40-45). Allah menahan Yeremia di kota, yang saat itu telah hancur dan dipimpin oleh Gedalya, untuk mendukung penguasa yang baru dan menolong umat-Nya memahami apa yang telah terjadi dan bagaimana mereka harus melanjutkan hidup di tengah-tengah kehancuran. Namun sekali lagi, walaupun telah memohon kepada bangsa Yehuda supaya mau mendengarkan pesan Allah, mereka malah mengandalkan persekutuan militer yang tak berarti dengan Mesir, yang dengan cepat dikalahkan oleh Babel. Yeremia dibawa ke Mesir, tempat dia kemudian meninggal. Hingga akhir hidupnya, sang nabi harus menghadapi para penguasa yang dengan keras kepala mengabaikan pesan-pesan Allah dan melewati akibat-akibat buruk yang terjadi akibatnya. Baik para nabi maupun orang-orang Kristen di tempat kerja akan menyadari bahwa mereka tidak mampu untuk mengatasi semua kejahatan. Terkadang, kesuksesan punya arti sesederhana untuk tetap melakukan apa yang menurut Anda benar bahkan ketika segala sesuatu menentang Anda.

Pasal-pasal terakhir (46-52) pada dasarnya membahas tentang penghakiman yang akan dijatuhkan Allah kepada semua bangsa, bukan hanya kepada Yehuda. Meskipun Allah menggunakan Babel untuk melawan Yehuda, Babel juga tidak akan luput dari hukuman.

Kita tidak bisa membaca kitab Yeremia tanpa diingatkan tentang akibat-akibat buruk dari ketidaksetiaan tanpa henti dari para pemimpin Yehuda - para raja, imam, dan para nabi. Pikiran sempit dan keluguan mereka untuk mempercayai kebohongan yang mereka perkatakan kepada satu sama lain berujung pada kehancuran total bangsa mereka dan ibu kotanya, Yerusalem. Pekerjaan yang Allah berikan kepada kita adalah hal yang serius. Kegagalan untuk mengikuti firman Allah dalam pekerjaan kita dapat menimbulkan kerusakan serius pada diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Memimpin bangsa Israel adalah tugas raja, para imam dan para nabi. Bencana nasional yang segera melanda Israel adalah akibat langsung dari keputusan-keputusan buruk dan kegagalan mereka dalam menjalankan tugas-tugas mereka sesuai Perjanjian.

Tema-Tema dalam Kitab Yeremia yang Berkaitan dengan Pekerjaan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Yeremia tidak disusun sebagai sebuah risalah tentang pekerjaan. Oleh karena itu, topik-topik menyangkut pekerjaan tersebar di berbagai bagian, terkadang dipisahkan oleh banyak pasal, dan terkadang tumpang tindih di dalam satu pasal atau ayat. Kita akan sebisa mungkin membahas topik-topik dan perikop-perikop ini, sesuai dengan urutan kemunculannya dalam kitab Yeremia.

Kita telah melihat bahwa perhatian utama dalam kitab Yeremia adalah apakah perbuatan orang-orang menunjukkan kesetiaan kepada Allah. Saat membacanya, kita dapat bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita melihat pekerjaan kita sebagai area kehidupan yang signifikan di mana Allah menginginkan kesetiaan kita kepada-Nya. Jika ya, maka kita bisa berharap untuk mengalami hadirat Allah dalam pekerjaan kita. Oleh karena itu, kesetiaan kita kepada Allah dan hadirat Allah dalam pekerjaan kita merupakan dua tema yang saling berkaitan dan akan sering kita bahas ulang.

Panggilan Kepada Yeremia untuk Bekerja (Yeremia 1)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seperti yang telah kita lihat, Allah telah mempersiapkan Yeremia untuk menjadi seorang nabi bahkan sejak sebelum ia lahir (Yer. 1:5), dan kemudian pada saat yang tepat, menunjuknya untuk melakukan pekerjaan itu (Yer. 1:10). Yeremia menanggapi dengan setia panggilan Allah untuk bekerja, dan Allah memberinya pengetahuan yang ia butuhkan untuk melaksanakannya (Yer. 1:17).

Meskipun profesi Yeremia adalah seorang nabi, tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa pola di mana ketika panggilan Allah diresponi dengan kesetiaan oleh manusia, maka manusia tersebut akan diperlengkapi oleh Allah, hanya berlaku bagi para nabi. Allah memanggil dan memperlengkapi Yusuf (Kejadian 39:1-6; 41:38-57), Bezalel dan Oholiab (Keluaran 36-39) dan Daud (1 Samuel 16:1-13) masing-masing untuk pekerjaan sebagai menteri keuangan, kepala konstruksi, dan raja. Dalam Perjanjian Baru, Paulus mengatakan bahwa Allah memperlengkapi setiap orang yang setia supaya mereka bisa melakukan pekerjaan yang berkontribusi pada kebaikan orang lain (1 Korintus 12-14). Kita dapat melihat dalam kitab Yeremia, sebuah pola yang berlaku untuk semua orang yang dengan setia mengikuti Allah dalam pekerjaan mereka. Seperti yang dikatakan oleh William Tyndale:

Tidak ada satu pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan lain dalam hal menyenangkan Allah: menuangkan air, mencuci piring, menjadi tukang sepatu, atau menjadi rasul, semuanya adalah sama; mencuci piring dan berkhotbah, semuanya adalah sama, seperti menyentuh perbuatan, untuk menyenangkan Allah.[1]

Allah tahu bagaimana kita —seperti halnya Yeremia—dibentuk menurut rancangan-Nya. Allah memimpin kita untuk mengerahkan kemampuan dan talenta kita dengan cara-cara yang benar di dunia ini. Kemungkinan besar kita tidak akan memiliki panggilan yang sama seperti Yeremia. Pun panggilan kita tidak akan langsung, spesifik, dan jelas seperti panggilan Yeremia. Tentu salah jika kita berpikir bahwa panggilan kita untuk bekerja harus sama dengan panggilan Yeremia. Sepertinya Allah begitu terus terang kepada Yeremia karena ia sangat enggan untuk menerima panggilan-Nya. Bagaimanapun juga, kita seharusnya yakin bahwa Allah akan memperlengkapi kita untuk pekerjaan kita, apa pun pekerjaannya, jika kita setia kepada-Nya di dalam melaksanakannya.[2]

Kebaikan dan Kecemaran dalam Pekerjaan (Yeremia 2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jauh sebelum Yeremia hidup, Allah telah menyatakan bahwa pekerjaan merupakan sesuatu yang baik bagi manusia (Kejadian 1-2). Seperti yang telah kita catat di bagian lain, cara Yeremia menjalankan tugas kenabiannya adalah dengan menerima pesan yang telah Allah nyatakan sebelumnya, dan memperingatkan bagaimana pesan itu dihidupi —atau tidak dihidupi— pada zamannya. Dalam pasal 2, Yeremia menyebut bagaimana orang-orang menyelewengkan kebaikan. Allah berkata kepada umat-Nya, "Aku membawa kamu ke tanah yang subur untuk menikmati buahnya dan segala yang baik darinya. Akan tetapi, segera setelah kamu masuk, kamu menajiskan tanah-Ku; tanah milik-Ku telah kamu buat menjadi hal yang menjijikkan" (Yer. 2:7). Ia menambahkan bahwa bangsa itu "mengikuti ilah-ilah yang tidak berguna" (Yer. 2:8).

Tuhan membawa umat-Nya ke tanah yang subur di mana pekerjaan mereka akan memberikan hasil yang berlimpah, tetapi mereka malah menolak kehadiran-Nya dengan menajiskan tanah-Nya. Inilah gambaran yang cukup umum secara teologis mengenai hak istimewa di Timur Dekat Kuno: bahwa Allah menciptakan tanah dan memilikinya, tetapi kemudian memberikan tanah tersebut kepada manusia yang Ia tunjuk menjadi penatalayannya.[1] Allah memberikan umat-Nya hak istimewa untuk mengerjakan tanah milik-Nya, yang merupakan pusat dari alam semesta. Meskipun pada zaman Yeremia, orang-orang mengerjakan tanah milik Allah dengan memandang rendah, pekerjaan itu sendiri sesungguhnya diciptakan oleh Allah sebagai sesuatu yang baik. "Engkau akan makan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau karena baik keadaanmu" (Mazmur 128:2). Mengolah tanah pekerjaan penting dan, jika dilakukan menurut jalan-jalan-Nya, akan membawa kesukaan dan kepekaan untuk merasakan kehadiran dan kasih Allah dengan mendalam.

"Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah." (Pengkhotbah 2:24). Namun, pekerjaan menjadi tercemar ketika manusia tidak lagi bekerja dengan setia. Orang-orang menajiskan tanah yang mereka terima karena mereka berhenti mengikuti Allah dan "mengikuti ilah yang sia-sia, dan mereka sendiri menjadi sia-sia?" (Yer. 2:5).

Keadaan di mana pekerjaan kita memburuk bisa menjadi semacam tanda telah memudarnya persekutuan kita dengan Allah. Kita mungkin sudah tidak lagi meluangkan waktu bersama Allah, akibat terlalu sibuk bekerja keras. Kita lalu sering tergoda untuk mencoba memperbaiki kedaan itu dengan menghabiskan lebih banyak waktu melakukan pekerjaan yang "tidak berguna" (Yer. 2:8), dan malah semakin menjauhi persekutuan dengan Allah. Hal-hal yang kita kerjakan menjadi tidak banyak menghasilkan bukan karena kita kurang lama bekerja, melainkan karena tanpa keterlibatan Allah di dalamnya, pekerjaan kita menjadi sia-sia dan tidak efisien. Apakah yang akan terjadi jika kita fokus pada hal terpenting, yaitu menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersekutu dengan Allah?

Bayangkan jika kita berkata kepada atasan kita, "Kinerja saya selama enam bulan terakhir tidak sesuai dengan standar tertinggi, jadi saya memutuskan untuk datang 30 menit lebih awal setiap pagi dan menghabiskan setengah dari waktu ekstra itu untuk berdoa dan setengahnya lagi untuk mulai bekerja lebih awal." Apakah cara itu akan lebih atau kurang efektif daripada sekadar bekerja lembur? Apakah seorang atasan akan merasa senang atau terganggu jika karyawannya membawa sumber makna dan dukungan utama mereka, ke dalam pekerjaan sehari-hari?

Pengakuan akan Penyediaan Tuhan (Yeremia 5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yeremia mengeluh bahwa "bangsa ini mempunyai hari yang selalu melawan dan memberontak; mereka telah menyimpang dan hengkang" (Yer. 5:23). Mereka dipanggil untuk menjadi penatalayan yang mengerjakan tanah milik Allah sendiri, dengan "takut“ akan Tuhan. "Takut" (atau yare dalam bahasa Ibrani) kepada Allah sering digunakan dalam Perjanjian Lama sebagai sinonim dari "hidup yang meresponi Allah."[1] Bagian ini adalah salah satu dari sekian banyak bagian dalam pasal 1-25 yang berbicara tentang "pencemaran" tanah: "Betapa dahsyat dan mengerikan apa yang terjadi di negeri ini: Para nabi bernubuat palsu dan para imam memimpin dengan sewenang-wenang, dan umat-Ku menyukai hal yang demikian" (Yer. 5:30-31). Pada zaman dahulu —ketika pertanian merupakan tonggak perekonomian— pencemaran tanah bukan sekadar tentang hilangnya keindahan, melainkan juga tentang hilangnya produktivitas dan kelimpahan, sekaligus menandakan penolakan terhadap Allah yang telah memberikan tanah tersebut.

Chris Wright mencatat bahwa tanah —layaknya sebuah sakramen atau tanda yang dapat dilihat— merupakan termometer hubungan kita dengan Allah.[2] Pencemaran atas tanah (baik oleh perusahaan, militer atau individu) merupakan bentuk penyangkalan atas kepemilikan Allah dan tujuan-Nya menjadikan kita sebagai penatalayan bumi ini.

Keberhasilan dan Kegagalan Materi (Yeremia 5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apakah Allah menahan kesuksesan materi dari mereka yang melakukan kejahatan di hadapan-Nya? Yeremia mengatakan apa yang hanya sedikit orang Kristen modern berani katakan: kurangnya penyediaan dari Allah bisa menjadi tanda bahwa pekerjaan Anda tidak diakui oleh Allah. Allah menahan turunnya hujan dari bangsa Yehuda karena dosa para penduduknya. "Kesalahanmu telah menghalangi semuanya [turunnya hujan] ini, dan dosamu menghambat yang baik darimu" (Yer. 5:25). Yeremia tidak mengatakan bahwa semua kasus berkurangnya penyediaan atau keberhasilan merupakan tanda penghakiman dari Allah. Ini adalah salah satu masalah yang Yesus bahas hampir 600 tahun kemudian ketika dia mengatakan bahwa orang yang lahir buta tidak menjadi buta sebagai tanda penghakiman Allah (Yohanes 9:2-3).

Selain itu, Allah juga memenuhi kebutuhan material orang-orang jahat sekalipun. Allah "menerbitkan matahari-Nya bagi orang yang jahat maupun orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun orang yang tidak benar," menurut Yesus (Matius 5:45). Dari kitab Yeremia kita hanya dapat mengatakan bahwa kesuksesan material bergantung pada penyediaan Allah, dan bahwa Allah mungkin —setidaknya pada waktu-waktu tertentu— menahan kesuksesan material dari mereka yang mempraktikkan ketidakadilan dan penindasan. [1] Pertanyaan yang sebenarnya adalah, "Apakah baik atau tidak bagi saya, jika Allah mengambil pendapatan orang yang tidak adil dan penindas?"

Ketidakadilan, Keserakahan, Kebaikan Bersama, dan Integritas (Yeremia 5-8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketidakadilan

Akibat tidak mengakui bahwa hasil panen mereka yang baik bersumber dari Allah, bangsa Yehuda kehilangan rasa tanggung jawab kepada Tuhan dalam cara mereka bekerja. Hal ini yang lalu mendorong mereka untuk menindas dan menipu orang-orang yang lemah dan tak berdaya:

Di samping itu mereka membiarkan perbuatan yang jahat, tidak menjalankan hukum, tidak memenangkan perkara anak yatim, dan hak orang miskin tidak mereka bela. (Yer. 5:28)
Mereka berpegang pada tipu daya, mereka menolak untuk kembali. Aku telah memperhatikan dan mendengarkan, mereka tidak berkata jujur! Tidak seorang pun menyesali kejahatannya dengan berkata: Apa yang telah kulakukan? (Yer. 8:5-6)

Pekerjaan di tanah milik Allah yang seharusnya dilakukan demi kebaikan semua orang, malah dilakukan demi keuntungan pribadi semata dan tanpa rasa takut kepada Allah yang telah memanggil mereka untuk bekerja. Maka Allah menahan turunnya hujan, dan mereka pun segera menyadari bahwa keberhasilan bukan bersumber dari mereka sendiri. Keadaan saat itu menunjukkan beberapa kemiripan dengan krisis ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 2008-2010, terkait hal-hal seperti kompensasi, kejujuran dalam pinjam meminjam, dan nafsu untuk cepat meraih keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Penting untuk tidak menyederhanakan masalah —isu-isu ekonomi modern terlalu kompleks untuk dibahas menurut ajaran-ajaran dari kitab Yeremia. Walau demikian, ada hubungan —meskipun rumit— antara kesejahteraan ekonomi suatu masyarakat dan bangsa dengan kehidupan dan nilai-nilai spiritual mereka. Kesejahteraan ekonomi adalah isu moral.

Keserakahan

llah memanggil manusia untuk memenuhi tujuan hidup yang lebih tinggi daripada kepentingan ekonomi pribadi. Tujuan tertinggi kita dalam hidup adalah hubungan dengan Allah, yang melaluinya rezeki dan kesejahteraan materi menjadi, dalam batasan tertentu, penting.

Aku teringat akan kesetiaanmu pada masa mudamu, akan cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di tanah yang tidak ditaburi. Ketika itu Israel kudus bagi Tuhan, sebagai buah sulung dari tuaian-Nya. (Yeremia 2:2-3)

Yeremia melihat sekelilingnya dan menemukan bahwa keserakahan —hasrat tak terkendali untuk mengejar keuntungan ekonomi— telah menggantikan kasih Allah sebagai pusat perhatian umat-Nya. "Sebab, dari yang terkecil sampai yang terbesar, semuanya mengejar keuntungan, baik nabi maupun imam, semuanya melakukan tipu daya" (Yer. 8:10). Tidak ada seorang pun yang luput dari kecaman Yeremia atas ketamakan mereka.[1]

ang nabi tidak pilih kasih terhadap orang kaya maupun miskin, orang kecil maupun besar. Kita melihat dia berlari "di jalan-jalan Yerusalem" untuk mencari apakah ada seseorang "yang berbuat adil dan yang mencari kebenaran" (Yer. 5:1). Pertama-tama ia bertanya kepada orang-orang miskin, tetapi mereka ternyata mengeraskan hati (Yer. 5:4). Kemudian Yeremia berpaling kepada orang-orang kaya, "Akan tetapi, mereka semua juga telah mematahkan kuk, telah memutuskan tali-tali pengikat" (Yer. 5:5).

Seperti diungkapkan oleh Walter Brueggemann, "Semua orang, terutama para pemimpin agama, didakwa karena perilaku ekonomi yang tidak berprinsip.... Komunitas ini telah kehilangan semua norma yang mereka perlukan untuk mengevaluasi dan menilai keserakahan mereka yang beringas dan eksploitatif."[2] Hati setiap orang lebih ingin untuk menjadi kaya daripada takut akan Allah dan mengasihi sesama. Keserakahan yang ditunjukkan baik oleh orang kaya (raja, Yeremia 22:17) maupun orang miskin, membangkitkan murka Allah.

Kebaikan Bersama

Allah ingin agar kita hidup dan bekerja untuk kebaikan bersama.[3] Yeremia mengkritik orang-orang Yehuda karena tidak memedulikan orang lain yang tidak mampu membawa keuntungan ekonomi, termasuk anak-anak yatim piatu dan orang miskin (Yer. 5:28), orang-orang asing, janda-janda, dan orang-orang tak berdosa (Yer. 7:6). Ketidakpedulian tersebut jauh lebih disorot oleh Yeremia dibandingkan tuduhan yang ia berikan atas pelanggaran terhadap elemen-elemen tertentu dalam Hukum Taurat seperti mencuri, membunuh, berzinah, mengucapkan saksi dusta, dan menyembah ilah-ilah palsu (Yer. 7:9). Yeremia mengajukan tuduhan ini terhadap individu-individu tertentu ("di antara umat-ku terdapat orang-orang fasik," Yeremia 5:26), terhadap semua orang ("hai sekalian orang Yehuda," Yeremia 7:2), terhadap para pemimpin bisnis (orang kaya, Yeremia 5:27) dan pemerintah (para hakim, Yeremia 5:28), terhadap kota-kota (Yeremia 4:16-18, 11:12, 26:2, dan sebagainya), serta terhadap bangsa itu secara keseluruhan ("bangsa yang jahat ini," Yeremia 13:10). Setiap elemen masyarakat, baik secara individu maupun institusi, telah melanggar perjanjian Allah.

Tuntutan Yeremia agar setiap pekerjaan dan hasilnya ditujukan untuk kebaikan bersama, merupakan fondasi penting bagi etika bisnis dan motivasi pribadi. Mempertimbangkan kontribusi sebuah tindakan terhadap kebaikan bersama, sama pentingnya dengan mempertimbangkan legalitas tindakan tersebut. Mungkin sah-sah saja secara hukum untuk berbisnis dengan cara-cara yang tak memedulikan kebaikan bersama, tapi bukan berarti hal itu sah di hadapan Allah.

Sebagai contoh, sebagian besar perusahaan pasti menjadi bagian dari sebuah rantai pasokan mulai dari bahan baku sampai ke suku cadang, lalu ke perakitan sampai produk akhir, dan akhirnya ke sistem pendistribusian kepada konsumen. Mungkin saja salah satu pihak dalam rantai pasokan tersebut menjadi lebih berkuasa daripada pihak-pihak lainnya dan menekan margin mereka, lalu merebut semua keuntungan. Namun, meskipun sah secara hukum, apakah tindakan itu baik untuk industri dan masyarakat? Apakah hal itu dapat dipertahankan dalam jangka panjang?

Atau mungkin secara hukum, sah-sah saja ketika sebuah serikat pekerja mempertahankan hak-hak para pekerja lama dengan cara mengorbankan hak-hak para pekerja baru. Namun, jika hak-hak tersebut ternyata dibutuhkan oleh semua pekerja, apakah tindakan itu bermanfaat bagi kebaikan bersama? Ini semua adalah isu-isu kompleks yang tidak dapat ditemukan pemecahannya secara konkret dalam kitab Yeremia. Relevansi kitab Yeremia terhadap masa kini adalah untuk menunjukkan bagaimana sebagian besar orang-orang Yehuda mengira bahwa mereka sudah hidup dengan menuruti Hukum Taurat dan berbagai peraturan ekonomi/tempat kerja yang tercakup di dalamnya.[4] Pada kenyataannya, bagi Allah, mereka belum menunjukkan kesetiaan kepada-Nya di tempat mereka bekerja dan melakukan aktivitas ekonomi. Mereka mengikuti peraturan-peraturan Hukum Taurat tanpa memahami maksud Allah di baliknya. Yeremia mengungkapkan bahwa hal itulah yang pada akhirnya menghalangi seluruh bangsa itu untuk menikmati hasil kerja keras mereka di tanah milik Allah.


Seperti bangsa Yehuda, kita semua memiliki pilihan untuk menumpuk atau membagikan keuntungan yang kita peroleh dari pekerjaan kita. Ada perusahaan-perusahaan yang memusatkan bonus dan opsi saham hanya untuk para eksekutif senior, sementara yang lain mendistribusikannya secara luas di antara semua pekerja. Ada orang-orang mencoba mendapat pengakuan penuh atas setiap pencapaian yang melibatkan mereka, sementara yang lain lain dengan mudahnya memuji rekan kerja mereka tanpa pikir panjang. Sekali lagi, setiap kejadian perlu dilihat dengan pertimbangan yang kompleks, dan kita sebaiknya menghindari untuk terburu-buru menilai orang lain. Sebaliknya, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah cara kita mengatur uang, kekuasaan, pengakuan, dan imbalan lain dari pekerjaan kita hanya menguntungkan diri kita sendiri, atau apakah hal tersebut berkontribusi pada kebaikan rekan kerja, organisasi, dan lingkungan kita?

Demikian juga, sebuah organisasi dapat bercondong ke arah keserakahan atau ke arah mementingkan kebaikan bersama. Jika sebuah perusahaan mengeksploitasi kekuatan monopoli dengan menerapkan harga yang tinggi atau menjual produk dengan tipu muslihat, maka perusahaan itu menunjukkan keserakahan akan uang. Jika suatu pemerintahan menggunakan kekuasaan untuk mengedepankan kepentingannya negaranya sendiri di atas kepentingan negara-negara tetangganya atau kepentingan para pemimpinnya di atas warganya, maka pemerintahan itu menunjukkan keserakahan akan kekuasaan.

Kitab Yeremia memiliki pemahaman yang luas baik tentang kebaikan bersama maupun tentang keserakahan. Keserakahan tidak cuma terkait dengan setiap keuntungan yang didapatkan dengan melanggar hukum tertentu. Sebalikya, keserakahan juga terkait dengan segala jenis keuntungan yang didapatkan dengan mengabaikan kebutuhan dan keberadaan orang lain. Menurut Yeremia, tidak ada seorang pun di zamannya saat itu yang tidak terjebak dalam keserakahan. Apakah zaman kita saat ini menunjukkan perbedaan?

Integritas

Kata "integritas" berarti menjalani hidup menurut seperangkat kode etik, secara konsisten. Ketika kita mengikuti kode etik yang sama baik di rumah, di tempat kerja, di gereja, maupun di tengah-tengah masyarakat, berarti kita memiliki integritas. Ketika kita mengikuti kode etik yang berubah-ubah di berbagai area kehidupan, berarti kita tidak memiliki integritas.

Yeremia mengeluhkan tentang rendahnya integritas yang ia lihat dalam hidup orang-orang Yehuda. Mereka tampak yakin bahwa mereka dapat melanggar norma-norma etis dari Allah dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, lalu datang ke bait suci, bersikap saleh, dan kemudian diselamatkan dari konsekuensi tindakan mereka.

Bagaimana mungkin setelah kamu mencuri, membunuh, berzina dan bersumpah palsu, membakar kurban kepada Ba’al dan mengikuti ilah lain yang tidak kamu kenal, kamu datang berdiri di hadapan-Ku di rumah ini, yang dinamai menurut nama-Ku, sambil berkata: Kita selamat, supaya dapat melakukan lagi segala perbuatan yang menjijikkan ini! Apakah rumah ini, yang dinamai menurut nama-Ku, sudah menjadi sarang penyamun di matamu? Sesungguhnya aku sendiri sudah melihatnya, demikianlah firman Tuhan. (Yeremia 7:9-11)

Yeremia memanggil mereka untuk menjalani hidup dengan integritas. Tanpa integritas, kesalehan mereka tidak berarti di hadapan Allah. "Aku akan mencampakkan kamu dari hadapan-Ku," kata Allah (Yer. 7:15). Hati kita tidak langsung dibenarkan di hadapan-Nya hanya karena kita pergi ke gereja. Hubungan kita dengan-Nya tercermin dalam tindakan kita, dalam apa yang kita kerjakan setiap hari, termasuk di tempat kerja.

Iman akan Penyediaan dari Allah (Yeremia 8-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita lihat dalam Yeremia 5 bagaimana umat-Nya tidak mengakui pemeliharaan Allah. Jika mereka tidak mengakui Allah sebagai sumber utama dari hal-hal baik yang sudah mereka peroleh, bagaimana mungkin mereka punya iman untuk bergantung pada Allah dan penyediaan-Nya di masa depan? John Cotton, seorang teolog Puritan, mengatakan bahwa iman perlu mendasari segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup, baik pekerjaan maupun panggilan kita:

Seorang Kristen yang sungguh-sungguh percaya... menjalani kehidupan dan panggilannya dengan iman. Bukan hanya kehidupan rohani saya, melainkan juga kehidupan bermasyarakat saya di dunia ini, dan juga kehidupan saya secara keseluruhan, berlandaskan pada iman kepada Allah Putra: tidak ada aspek kehidupan yang berada di luar pengaruh-Nya. [1]

Inilah kegagalan mendasar bangsa Yehuda pada zaman Yeremia, yaitu kurangnya iman mereka. Kadang-kadang Yeremia menyebutnya sebagai tidak "mengenal" Tuhan, sebuah istilah yang menunjukkan kesetiaan. [2] Di lain waktu, ia menyebutnya sebagai kegagalan untuk "mendengar"—memperhatikan, menaati, bahkan peduli dengan apa yang Tuhan katakan. [3] Di waktu lainnya, ia menyebutnya sebagai kurangnya "rasa takut". Namun, semua ini pada dasarnya adalah kurangnya iman —iman yang hidup dan bekerja karena meyakini siapa Allah dan apa yang Dia lakukan atau katakan. Kekurangan ini merembes ke dalam pandangan manusia tentang pekerjaan, yang menyebabkan mereka secara terang-terangan melanggar hukum Allah dan mengeksploitasi orang lain demi keuntungan mereka sendiri.

Ironisnya, karena dalam pekerjaan mereka bergantung pada tindakan mereka sendiri dan mengesampingkan kesetiaan kepada Tuhan, umat-Nya pada akhirnya gagal menemukan kenikmatan, kepuasan, dan kebaikan hidup. Yeremia menulis bahwa Allah pada akhirnya akan menangani ketidaksetiaan mereka, dan "semua orang yang masih tersisa dari kaum yang jahat ini akan lebih suka mati daripada hidup" (Yer. 8:3). Semua perintah Allah ditujukan untuk kebaikan kita sendiri dan diberikan untuk membuat kita tetap fokus pada tujuan kita yang seharusnya..[4] Ketika kita mengesampingkan hukum-hukum Allah karena membuat kita jadi tidak mampu menjaga diri dengan cara kita sendiri, maka kita sebenarnya menjauh dari rancangan Allah bagi kita untuk bisa menjadi diri kita yang sejati. Ketika kita bekerja dengan cara yang sedemikian rupa sehingga bergantung pada diri kita sendiri —terlebih kalau kita sampai melanggar hukum-hukum Allah karenanya— pekerjaan kita gagal mencapai tujuan yang sejati. Kita menyangkal kehadiran Allah di dunia. Kita berpikir bahwa kita lebih tahu daripada Allah tentang cara mendapatkan keinginan kita. Akibatnya, kita bekerja menurut cara-cara kita, bukan cara-cara-Nya. Namun, cara-cara kita sendiri tidak akan bisa menghasilkan hal-hal baik yang Allah sesungguhnya ingin berikan kepada kita.

Lalu, ketika kita mengalami kekurangan, kita pun semakin terlibat dalam berbagai tindakan yang mementingkan diri sendiri. Kita mengambil jalan pintas, menindas orang lain, dan menimbun apa yang tersisa di tangan kita. Akibatnya, kita bukan hanya tidak menerima apa yang Allah ingin berikan kepada kita, melainkan juga gagal menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri kita sendiri atau orang lain. Jika orang lain di dalam komunitas atau bangsa kita bertindak sama, kita jadi berselisih hanya demi memperoleh hasil pekerjaan yang juga semakin tidak memuaskan. Kita menjadi kebalikan dari jati diri kita sebagai umat Allah. Pada akhirnya, "Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pahitnya ketika engkau meninggalkan Tuhan, Allahmu; dan tidak gentar terhadap Aku, demikianlah firman Tuhan ALLAH Semesta Alam" (Yer. 2:19).

Tema tentang orang-orang yang meninggalkan Allah, kehilangan iman akan penyediaan-Nya, dan sebagai akibatnya jadi menindas satu sama lain, berkali-kali diulang sepanjang pasal 8 sampai 16. "Mereka menolak mengenal Aku, demikian firman TUHAN" (Yer. 9:6). Oleh karena itu, kemakmuran mereka memudar, "dan tidak terdengar lagi suara ternak; baik burung-burung di udara maupun binatang lainnya, semuanya telah lari dan lenyap" (Yer. 9:10). Akibatnya, mereka berusaha menutupi kerugian dengan menipu satu sama lain. "Yang seorang menipu yang lain, dan tidak seorang pun berkata benar .... Penindasan di atas penindasan, tipu di atas tipu!" (Yeremia 9:5-6).

Bekerja dalam Kehidupan yang Seimbang (Yeremia 17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yeremia juga memberikan perhatian kepada ritme kerja dan istirahat. Seperti biasa, nabi Yeremia memulai dengan penyataan diri yang Allah sudah berikan; dalam hal ini, terkait hari Sabat sebagai hari untuk beristirahat:

Pada hari ketujuh Allah telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya. Pada hari ketujuh itu Ia berhenti dari segala pekerjaan yang dibuat-Nya. (Kejadian 2:2)

Ingat dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu. (Keluaran 20:8-10)

Akan tetapi, Yeremia bertemu dengan orang-orang yang menolak untuk menghormati hari Sabat:

Beginilah firman TUHAN: Waspadalah demi nyawamu! Jangan mengangkut barang pada hari Sabat dan membawanya melalui pintu-pintu gerbang Yerusalem! Jangan membawa barang keluar dari rumahmu pada hari Sabat dan jangan melakukan pekerjaan apa pun. Akan tetapi, kuduskanlah hari Sabat seperti yang telah Kuperintahkan kepada nenenk moyangmu. Namun, mereka tidak mau mendengarkan dan tidak mau mengarahkan telinganya, mereka menegarkan tengkuknya, tidak mau mendengarkan dan tidak mau menerima teguran (Yer.17:21-23).

Sebelumnya dalam pasal 17, Allah berbicara melalui Yeremia dan berkata: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang bersandar pada kekuatan manusia fana, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan! Ia akan seperti semak gundul di padang belantara, ia tidak akan melihat datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah tandus di padang gurung, di padang garam yang tidak berpenduduk. Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang mempercayakan dirinya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi sungai, dan tidak takut akan datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kekeringan, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:5-8).

Pada intinya, Yeremia mengulangi poinnya tentang iman kepada pemeliharaan Allah, yang telah kita bahas di atas pada pasal 8-16, dengan menggunakan hari Sabat sebagai contohnya. Dengan mengandalkan diri sendiri dan bukannya beriman kepada Allah, kita akan merasa seperti tidak punya waktu untuk beristirahat. Terlalu banyak pekerjaan yang harus kita lakukan jika kita ingin sukses baik dalam karir, rumah tangga, maupun dalam hal menikmati waktu luang kita, sampai kita melanggar hari Sabat untuk meyelesaikan pekerjaan kita. Padahal menurut Yeremia, sikap mengandalkan diri sendiri dan menjadikan "kedagingan yang fana" sebagai kekuatan kita, pada akhirnya akan membuat kita mengalami "kegersangan" karena kita terus menerus memaksakan diri kita 24 jam sehari, 7 hari seminggu, demi mencapai target. Kita "tidak akan tahu kapan kelegaan itu datang." Sebaliknya, jika kita mengandalkan Tuhan, kita "tidak akan berhenti menghasilkan buah." Mengabaikan kebutuhan kita akan keseimbangan antara bekerja dan beristirahat pada akhirnya akan menjadi kontra produktif.

Memberkati Masyarakat Luas Melalui Pekerjaan Anda (Yeremia 29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam Yeremia pasal 29, nabi Yeremia mengarahkan perhatian kita pada keinginan Allah supaya pekerjaan yang dilakukan umat-Nya dapat memberkati dan melayani masyarakat di sekitar mereka, bukan hanya umat Israel.

Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel, kepada semua orang buangan yang Kuangkut ke pembuangan dari Yerusalem ke Babel: Dirikanlah rumah dan tempatilah; buatlah kebun dan nikmatilah hasilnya! Ambillah istri dan perolehlah anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah istri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan; bertambah banyaklah di sana dan jangan berkurang! Usahakan kesejahteraan kota ke mana kamu Aku membuangmu, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab dalam kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu! (Yeremia 29:4-7)

Ini adalah tema yang sudah muncul dalam pasal-pasal sebelumnya, yaitu perintah Allah untuk tidak menindas orang-orang asing yang tinggal di daerah perbatasan Yehuda (Yer. 7:6, 22:3). Tema ini juga merupakan bagian dari Perjanjian yang terus diingatkan oleh Yeremia kepada Yehuda. "Bukankah Abraham akan menjadi bangsa yang besar serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di bumi akan mendakat berkat?" (Kejadian 18:18).

Meskipun demikian, para nabi palsu meyakinkan orang-orang Yahudi yang ada dalam pembuangan bahwa perkenanan Allah selalu menyertai Israel, sementara bangsa-bangsa di sekitar mereka akan dikesampingkan-Nya. Babel akan runtuh, Yerusalem akan diselamatkan, dan orang-orang akan segera kembali ke tempat asal mereka. Yeremia berusaha untuk melawan pernyataan palsu tersebut dengan firman Allah yang benar kepada mereka: “Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel” (Yer. 29:10).[1]

Babel akan menjadi satu-satunya tempat tinggal bagi generasi Israel yang saat itu ada dalam pembuangan. Allah memanggil umat-Nya untuk mengerjakan tanah di sana dengan tekun: "dirikanlah rumah ... buatlah kebun dan nikmatilah hasilnya." Orang-orang Yahudi seharusnya bisa mencapai kemakmuran sebagai umat Allah di Babel, meskipun Babel sebenarnya tempat penghukuman dan pertobatan bagi mereka. Selain itu, keberhasilan orang Yahudi di Babel juga berdampak pada keberhasilan Babel. "..dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu!" (Yer. 29:7). Panggilan yang diberikan dua ratus tahun lalu untuk bertanggung jawab kepada masyarakat, masih berlaku sampai sekarang. Kita dipanggil untuk bekerja demi kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan semata untuk kepentingan kita sendiri. Seperti orang-orang Yahudi pada zaman Yeremia, kita jauh dari sempurna. Kita pun mungkin menderita karena ketidaksetiaan dan kebobrokan kita. Meskipun demikian, kita dipanggil dan diperlengkapi untuk menjadi berkat bagi komunitas di mana kita hidup dan bekerja.

Allah memanggil umat-Nya untuk menggunakan berbagai keterampilan kerja mereka untuk melayani masyarakat sekitar. "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana Aku membuangmu " (Yer. 29:7). Kita bisa berargumen bahwa ayat ini tidak membuktikan bahwa Allah peduli pada orang-orang Babel. Hanya saja, Allah tahu bahwa sebagai tawanan, orang Israel tidak akan bisa menjadi makmur kecuali para penawannya juga makmur. Namun, kita telah melihat bagaimana kepedulian terhadap semua manusia termasuk mereka yang bukan umat Allah, merupakan elemen yang melekat dalam Perjanjian Allah, dan hal ini muncul dalam pengajaran Yeremia sebelumnya. Di dalam Yeremia 29, para pembangun rumah, tukang kebun, petani, dan semua orang yang bekerja secara eksplisit dipanggil untuk bekerja demi kebaikan seluruh masyarakat. Pemeliharaan Allah begitu luar biasa atas umat-Nya sehingga bahkan ketika rumah-rumah dihancurkan, anggota keluarga mereka dideportasi, tanah-tanah mereka dirampas, hak-hak mereka dilanggar, dan kedamaian mereka dihancurkan, mereka masih memiliki cukup untuk memakmurkan diri mereka sendiri dan memberkati orang lain. Namun, mereka harus bergantung kepada Allah; itulah kenapa ada nasihat untuk berdoa dalam Yeremia 29:7. Berdasarkan Yeremia pasal 29, sulit untuk memahami 1 Korintus 12-14 dan ayat-ayat lain tentang karunia yang ada dalam Perjanjian Baru sebagai ayat-ayat yang hanya berlaku untuk gereja atau orang Kristen. Allah memanggil dan memperlengkapi umat-Nya untuk melayani seluruh dunia.

Allah Hadir di Mana Saja (Yeremia 29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena "TUHANlah yang mempunyai bumi serta segala isinya, dan dunia serta semua penghuninya" (Mazmur 24:1). Hadirat Allah tidak lagi hanya dapat ditemukan di Yerusalem atau Yehuda, tetapi bahkan di ibu kota musuh. Kita dapat menjadi berkat di mana pun kita berada, karena Allah selalu menyertai kita. Di jantung kota Babel sekalipun, umat Allah dipanggil untuk bekerja layaknya mereka bekerja di hadapan hadirat Allah. Tak mudah bagi kita pada saat ini untuk memahami betapa mengejutkannya hal itu bagi umat-Nya yang sedang dalam pembuangan, dan selalu berpikir bahwa Allah hanya hadir di bait suci di Yerusalem. Mereka diperintahkan untuk hidup dalam hadirat Allah tanpa ada bait suci dan hidup jauh dari Yerusalem.

Perasaan seperti sedang berada dalam pembuangan bukanlah hal yang asing bagi orang Kristen yang bekerja. Kita sudah terbiasa menemukan hadirat Allah di gereja, di antara para pengikut-Nya. Namun di tempat kita bekerja, ketika bekerja baik dengan orang-orang beriman maupun tidak beriman, kita mungkin tidak berharap bisa menemukan hadirat-Nya. Bukan berarti di sana ada sikap memusuhi atau tidak etis terhadap orang Kristen, hanya saja agenda pribadi mereka memang bukan untuk bekerja di hadapana hadirat Allah. Walau demikian, Allah sesungguhnya hadir di tempat kerja kita, selalu ingin menyatakan diri-Nya kepada mereka yang mau mengenal-Nya. “Tinggallah di tanah itu: bercocok tanamlah dan makanlah apa yang dihasilkannya, bekerjalah dan bawalah pulang upahmu. Allah ada di sana bersamamu.”[1]

Berkat bagi Semua Bangsa (Yeremia 29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berikutnya, kita dibawa pada pengertian yang lebih luas tentang kebaikan bersama. Mendoakan Babel adalah perintahyang menunjukkan bahwa Israel dimaksudkan untuk menjadi berkat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk dirinya sendiri: "dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kejadian 12:3). Di tengah kekalahan total yang terjadi, mereka dipanggil untuk memberkati bahkan musuh-musuh mereka. Berkat ini termasuk kemakmuran materi, seperti yang dijelaskan dalam Yeremia 29:7. Betapa ironisnya bahwa dalam pasal 1-25, Allah menahan damai sejahtera dan kemakmuran-Nya dari Yehuda karena ketidaksetiaan mereka; namun pada pasal 29, Allah ingin memberkati Babel dengan damai sejahtera dan kemakmuran meskipun orang-orang Babel tidak beriman kepada Allah bangsa Yehuda. Mengapa? Karena tujuan akhir keberadaan bangsa Israel yang sebenarnya adalah menjadi berkat bagi semua bangsa.

Ayat ini mengecam skema apapun yang dirancang demi memberikan keuntungan khusus bagi orang Kristen. Sebagai bagian dari kesaksian kita, orang Kristen dipanggil untuk bersaing secara efektif di pasar. Kita tidak dapat menjalankan bisnis di bawah standar, mengharapkan Allah untuk memberkati kita walau kinerja kerja kita buruk. Orang-orang Kristen harus bersaing dengan kesempatan yang setara, jika kita ingin memberkati dunia. Setiap organisasi perdagangan, hubungan pemasok pilihan, preferensi perekrutan, manfaat pajak atau peraturan, atau sistem lain yang dirancang untuk hanya menguntungkan orang Kristen tidak akan memberkati kota tempat mereka tinggal. Selama kelaparan di Irlandia pada pertengahan tahun 1800-an, banyak gereja Anglikan yang menyediakan makanan hanya untuk mereka yang mau berpindah agama dari Katolik Roma ke Protestan. Akibat dari tindakan dengan niat buruk itu masih dirasakan 150 tahun kemudian, bahkan walau hanya dilakukan oleh satu golongan Kristen terhadap golongan Kristen lainnya. Bayangkan kerusakan yang jauh lebih besar akibat tindakan diskriminasi orang-orang Kristen terhadap orang-orang bukan Kristen, yang memenuhi halaman-halaman sejarah dunia dari zaman dahulu hingga hari ini.

Pekerjaan orang-orang Kristen yang dilakukan dengan kesetiaan kepada Allah sejatinya ditujukan untuk kebaikan semua orang, dimulai dari mereka yang bukan umat Allah, dan meluas kepada umat Allah sendiri. Ini mungkin merupakan prinsip ekonomi yang paling mendalam dalam kitab Yeremia, bahwa bekerja untuk kebaikan orang lain adalah satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk agar pekerjaan kita membawa kebaikan bagi kita sendiri. Para pemimpin bisnis yang sukses memahami bahwa pengembangan produk, pemasaran, penjualan, dan dukungan pelanggan menjadi efektif ketika mereka terlebih dahulu mengutamakan pelanggan. Tentunya ini merupakan sebuah praktik terbaik yang dapat dikenali oleh semua orang yang bekerja, baik sebagai pengikut Kristus atau bukan.

Kebaikan Pekerjaan Dipulihkan (Yeremia 30-33)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Selama dua puluh tiga tahun, Yeremia menubuatkan tentang kehancuran yang akan melanda Yerusalem (mulai dari tuntutan Allah terhadap bangsa Yehuda di pasal 2 sampai pasal 28).[1] Kemudian di pasal 30-33, sang nabi menantikan pemulihan kerajaan Allah yang ia gambarkan dalam bentuk sukacita kerja tanpa kecemaran dosa:

Sekali lagi Aku akan membangun engkau dan engkau akan dibangun, hai anak dara Israel. [2] sekali lagi engkau akan membawa rebana dan menari-nari dalam tarian orang-orang yang bersukaria. Kamu akan menanami kebun-kebun anggur di gunung-gunung Samaria, dan para penanamnya akan menanam dan menikmati hasilnya. Sebab akan datang waktunya, bahwa para pengawal akan berseru di pegunungan Efraim: "Marilah kita naik ke Sion, kepada TUHAN, Allah kita!" [3] (Yeremia 31:4-6)

Secara keseluruhan, kerangka nubuatan Yeremia adalah dosa, kemudian pembuangan, lalu pemulihan, seperti yang kita lihat pada ayat di atas. Ketika pemulihan di Yehuda masih jauh dari kenyataan,[4] sang nabi memberikan alasan untuk memegang pengharapan yang dijanjikan kepada para buangan dalam Yeremia 29:11. Di dalam dunia yang dipulihkan, umat-Nya akan tetap bekerja, tetapi tak seperti di masa lalu ketika pekerjaan mereka menghasilkan kesia-siaan, sekarang mereka akan menikmati buahnya. Umat yang dipulihkan akan memiliki kehidupan yang penuh dengan pekerjaan, kesukacitaan, perayaan dengan makanan dan penyembahan, semuanya menjadi satu. Gambaran tentang menanam, menuai, bermain musik, menari dan menikmati hasil panen menggambarkan kenikmatan ketika manusia bekerja dalam kesetiaan kepada Allah.


Kesetiaan kepada Allah bukanlah masalah sampingan, tetapi merupakan inti dari menikmati pekerjaan dan segala bentuk yang dihasilkannya. "Perjanjian baru" yang digambarkan dalam Yeremia 31:31-34 dan 32:37-41 mengulangi pentingnya kesetiaan.
Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Tuhan, Aku akan mengikat pernjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuikat dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan atas mereka, demikianlah firman TUHAN. Tetapi, beginilah perjanjian yang Kuikat dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman Tuhan: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya pada hati mereka. Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Tidak perlu lagi orang mengajar sesamanya atau saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab, mereka, semua, besar kecil, akan mengenal Aku (Yeremia 31:31-34)

Dalam satu goresan, kita melihat sebuah dunia yang dipulihkan: pekerjaan yang dinikmati oleh umat Allah sebagaimana seharusnya, dengan hati yang setia kepada hukum Tuhan. Umat-Nya akan dipulihkan menjadi sebagaimana mereka yang seharusnya, bekerja untuk kebaikan bersama karena pengalaman mereka akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Robert Carroll berkata, "Komunitas yang dibangun kembali adalah komunitas yang menyatukan pekerjaan dan penyembahan."[5] Kita mungkin tidak bisa mengharapkan hal ini akan sepenuhnya terjadi pada kita saat ini, karena kita masih berada dalam dunia yang penuh dengan dosa. Tetapi kita dapat melihat sekilas tentang realitas ini sekarang.

Budak-budak Dibebaskan (Yeremia 34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu perintah baru dan terakhir dari Allah dalam kitab Yeremia adalah meninggalkan perbudakan (Yer. 34:9). Hukum Musa mewajibkan agar budak-budak Ibrani dibebaskan setelah enam tahun bekerja (Keluaran 21:2-4, Ulangan 15:12). Orang dewasa dapat menjual diri mereka sendiri, dan orang tua dapat menjual anak-anak mereka, menjadi budak selama enam tahun. Setelah itu mereka harus dibebaskan (Imamat 25:39-46). Secara teori, ini adalah sistem yang lebih manusiawi daripada perbudakan atau perbudakan budak yang dikenal di era modern. Namun, sistem ini disalahgunakan oleh para tuan yang mengabaikan persyaratan untuk membebaskan budak pada akhir masa kerja, atau yang tanpa henti memasukkan ulang para budak ke dalam masa kerja enam tahun tersebut (Yeremia 34:16-17).

Yeremia 34:9 sangat luar biasa karena ayat ini menyerukan pembebasan semua budak Ibrani dengan segera, tanpa memperhatikan berapa lama mereka telah menjadi budak. Yang lebih dramatis lagi, ayat ini menyatakan bahwa "sehingga tidak ada lagi seorang pun yang memperbudak saudaranya, orang Yehuda .... dan tidak ada agi yang memperbudak mereka " (Yer. 34:9-10). Dengan kata lain, ini adalah penghapusan perbudakan, setidaknya dalam hal orang Yahudi yang memiliki budak juga orang Yahudi. Tidak jelas apakah ini dimaksudkan sebagai penghapusan permanen, atau apakah ini merupakan respons terhadap keadaan ekstrim dari kekalahan militer dan pembuangan yang kelak akan terjadi. Bagaimanapun juga, peraturan ini tidak berlaku untuk waktu yang lama, dan para tuan segera memperbudak kembali mantan budak mereka. Namun, ini merupakan kemajuan ekonomi yang menakjubkan – apalagi jika berlanjut terjadi.

Sejak awal, Allah telah melarang perbudakan seumur hidup dan tanpa persetujuan di antara orang Yahudi karena "engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN" (Ulangan 15:15). Jika Allah mengulurkan tangan-Nya yang kuat untuk membebaskan suatu bangsa, bagaimana mungkin Dia membiarkan mereka diperbudak lagi, bahkan oleh orang lain dari bangsa yang sama? Tetapi dalam Yeremia pasal 34, Allah menambahkan sebuah faktor baru: "mengumumkan pembebasan kepada sesamanya dan kepada saudaranya" (Yeremia 34:17). Artinya, kemanusiaan para budak —di sini disebut sebagai "tetangga dan sahabat” — menuntut agar mereka dibebaskan. Mereka layak mendapatkan kebebasan karena mereka adalah —atau seharusnya— anggota masyarakat yang dikasihi. Hal ini melampaui klasifikasi agama dan ras, karena orang-orang dari berbagai agama dan ras dapat menjadi teman dan tetangga satu sama lain. Tidak ada hubungannya dengan menjadi keturunan bangsa tertentu —Israel— yang dibebaskan Allah dari Mesir. Para budak harus dibebaskan dengan alasan sesederhana bahwa mereka adalah manusia, sama seperti tuan mereka dan masyarakat di sekitar mereka.

Prinsip dasar ini masih berlaku sampai sekarang. Jutaan orang yang masih diperbudak di dunia ini harus segera dibebaskan cukup dengan alasan bahwa mereka adalah manusia. Selain itu, semua pekerja —tidak hanya mereka yang terikat dalam perbudakan— harus diperlakukan sebagai "tetangga dan teman". Prinsip ini berlaku sama kuatnya dalam hal menentang kondisi kerja yang tidak manusiawi, pelanggaran hak-hak sipil pekerja, diskriminasi yang tidak adil, pelecehan seksual, dan berbagai pelanggaran kecil lain, seperti halnya menentang perbudakan itu sendiri. Apa pun yang tidak akan kita lakukan terhadap tetangga kita, apa pun yang tidak akan kita tolerir terjadi pada teman-teman terdekat kita, kita juga tidak boleh mentolerirnya di perusahaan, organisasi, komunitas, dan masyarakat. Dalam hal bahwa sebagai orang Kristen kita membawa pengaruh di tempat kerja kita, kita menerima mandat yang sama dengan orang-orang Yehuda pada zaman Yeremia.

Mengambil Sikap di Tempat Kerja (Yeremia 38)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagian besar bagian akhir kitab Yeremia mencatat ujian-ujian yang Yeremia hadapi sebagai seorang nabi (pasal 35-45), nubuat-nubuatnya terhadap bangsa-bangsa (pasal 46-51), dan kejatuhan Yerusalem yang dikisahkan dalam kitab Yeremia (pasal 52). Ada satu bagian yang menonjol dalam kaitannya dengan pekerjaan, yaitu kisah tentang Ebed-Melekh. Narasinya sederhana: Yeremia berkhotbah kepada orang-orang ketika Yerusalem dikepung oleh tentara Babel. Pesannya adalah bahwa kota itu akan jatuh dan siapa pun yang mau keluar dan menyerahkan diri kepada Babel akan hidup. Para pejabat Yehuda tidak menganggap hal ini sebagai khotbah yang memotivasi. Dengan izin raja, mereka melemparkan Yeremia ke dalam sebuah perigi dengan harapan dia akan mati kelaparan selama pengepungan atau tenggelam pada saat hujan turun (Yer. 38:1-6).

Ebed-Melekh, seorang pembesar Etiopia yang tinggal di istana raja, mendengar bahwa Yeremia telah dimasukkan ke dalam sumur. Adapun raja sedang duduk di Pintu Gerbang Benyamin, keluarlah Ebed-Melekh dari istana raja, lalu berkata kepada raja, “Ya Tuanku Raja, orang-orang itu berbuat jahat dalam segala yang mereka lakukan terhadap Nabi Yeremia bahkan memasukkan dia ke dalam sumur. Ia akan mati kelaparan di tempat itu sebab tidak ada lagi roti di kota.” Lalu raja memberi perintah kepada Ebed-Melekh, orang Etiopia itu, katanya, "Bawalah tiga puluh orang dari sini dan angkatlah Nabi Yeremia dari sumur itu sebelum ia mati!” (Yer. 38:7-10).

Pergantian keputusan raja ini kemungkinan besar merupakan tanda sikap apatisnya terhadap urusan ini. (Meskipun Allah dapat saja memanfaatkan sikap apatis seorang raja sebagaimana halnya Allah dapat memanfaatkan tindakan seorang raja). Seorang budak tak dikenal yang bukan bangsa Yahudi (nama Ebed-Melekh artinya adalah "budak raja") malah menonjolkan kesetiaannya.[1] Meskipun status imigrasi dan perbedaan rasial membuat keberadaannya sebagai seorang pekerja menjadi rentan, kesetiaannya kepada Allah mendorongnya untuk melaporkan ketidakadilan di tempat kerjanya. Sebagai hasilnya, satu nyawa berhasil diselamatkan. Sebuah gigi penggerak pada roda membuat perbedaan hidup dan mati.

Tindakan Ebed-Melekh mewakili sang nabi menggambarkan pesan Yeremia bahwa kesetiaan kepada Allah harus berada di atas segala pertimbangan lain di tempat kerja. Ebed-Melekh bertindak tanpa mengetahui apakah raja akan bertindak adil, atau apakah bertindak di luar struktur otoritas saat itu akan menjadi tindakan yang menghambat kariernya (atau bahkan akan mengakhiri hidupnya, mengingat apa yang terjadi pada Yeremia). Yang jelas, ia mempercayai Allah untuk mencukupi kebutuhannya, terlepas dari bagaimana raja akan menanggapinya. Jadi, Ebed-Melekh dipuji oleh Allah. "Aku pasti akan meluputkan engkau ... sebab engkau percaya kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN" (Yeremia 39:18).

Yeremia sang Penyair: Ratapan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun kita tidak memiliki bukti kesaksian bahwa kitab Ratapan ditulis oleh Yeremia, tapi tradisi kerabian, tema-tema paralel dalam kitab Yeremia dan kitab Ratapan, serta karakter saksi mata atas semua ratapan tersebut menunjukkan bahwa Yeremia kemungkinan besar adalah penulis kelima puisi ratapan ini.[1] Yehuda dan ibu kotanya, Yerusalem, telah dihancurkan secara total. Setelah pengepungan selama dua tahun, orang-orang Babel telah merebut kota itu, meruntuhkan tembok-temboknya, menjarah dan menghancurkan Bait Allah, dan membawa penduduk dengan kondisi fisikyang baik ke dalam pengasingan di Babel. Yeremia adalah salah satu dari sedikit orang yang masih hidup di negeri itu, yang hidup di antara mereka yang bertahan hidup melewati kelaparan dan menyaksikan anak-anak yang mati kelaparan, sementara para nabi palsu terus menyesatkan orang-orang tentang tujuan Allah. Kitab Ratapan menggambarkan kehancuran kota dan keputusasaan orang-orang pada saat yang sama menggarisbawahi alasan dari kehancuran ini.

Kitab ini menunjukkan karya cipta sorang penyair. Dalam lima puisi yang tersusun secara ketat, ia menggunakan gambaran yang gamblang tentang pembantaian di kota Yerusalem saat Allah mengizinkan hukuman bagi umat-Nya atas dosa-dosa mereka yang keji. Namun, terlepas dari kedalaman emosi dari kesedihan yang dialaminya, sang seniman memaparkan kehancuran dalam bentuk puisi yang tertata rapi. Di sini, seni menjadi sebuah sarana pelepasan emosi. Meskipun diskusi tentang “karya" sering kali tidak melingkupi karya kerja sebagai seniman, puisi-puisi ini memaksa kita untuk mengakui kekuatan seni dalam merangkum pasang surutnya pengalaman manusia.

Sang penyair menyematkan sebuah harapan di dalam keputusasaannya, menambatkan masa depan dalam kebaikan Tuhan:

Tetapi, inilah yang kuperhatikan, sebab itu aku berharap: Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu! “TUHANlah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. TUHAN itu baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. (Ratapan 3:21-25)
Karena tidak untuk selamanya Tuhan menolak. Walaupun Ia mendatangkan kesusahan, Ia juga berbelaskasihan menurut kebesaran kasih setia-Nya. Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan menyusahkan anak-anak manusia (Rat. 3:31-33).
Mengapa orang yang hidup mengeluh? Setiap orang mengeluh atas akibat dosanya! Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan kembali kepada Tuhan. Marilah kita mengangkat hati dan tangan kita kepada Allah di surga (Rat. 3:39-41).

Kehancuran Yerusalem mengakibatkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menderita bersama mereka yang memang bersalah. Anak-anak kelaparan dan para nabi yang setia seperti Yeremia menanggung penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh mereka yang dosanya telah menghancurkan kota itu. Inilah realitas kehidupan di dunia yang telah jatuh. Ketika perusahaan-perusahaan runtuh karena keputusan yang buruk, kelalaian yang besar, atau praktik-praktik ilegal, orang-orang yang tidak bersalah kehilangan pekerjaan dan uang pensiun mereka, seperti halnya mereka yang menyebabkan bencana tersebut. Pada saat yang bersamaan, bagi orang-orang Kristen di tempat kerja, ketidakadilan dalam hidup ini tidaklah kekal. Tuhan memerintah dan belas kasihan-Nya tidak pernah gagal (Mazmur 136). Tidaklah mudah untuk berpegang teguh pada realitas ilahi tersebut di tengah-tengah sistem yang penuh dosa dan para pemimpin yang tidak berprinsip. Namun, kitab Ratapan berkata, "tidak untuk selamanya Tuhan menolak." Kita berjalan dengan iman kepada Allah yang hidup, yang kesetiaan-Nya kepada kita tidak akan pernah gagal.

Yehezkiel dan Pekerjaan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

"Apabila seseorang adalah orang benar dan ia melakukan keadilan dan kebenaran...maka ia pasti hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH." (Yehezkiel 18:5-9)

Pengantar Kitab Yehezkiel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hidup bersama Tuhan bukanlah hanya tentang ibadah dan pengabdian pribadi. Hidup bersama Tuhan juga berarti menjalani hidup dalam kebenaran, baik di dunia kerja, di rumah, di gereja, maupun di tengah masyarakat. Ini bukanlah pemahaman yang berlawanan dengan ajaran bahwa keselamatan datang hanya karena kasih karunia melalui iman kepada Yesus Kristus (Roma 5:1), karena menunjukkan bahwa hidup bersama Allah memang diawali dengan mengimani Kristus, tetapi disempurnakan dengan menghidupi kebenaran dalam setiap bidang kehidupan.

Kitab Yehezkiel memberikan catatan yang menarik tentang bagaimana orang-orang Yahudi hidup menderita karena kekurangan dan penindasan - dan bahkan kematian - sebagai tawanan di kekaisaran Babel yang menaklukkan mereka. Ketika mereka mempertanyakan mengapa Allah mengizinkan mereka menderita sedemikian rupa, Yehezkiel menyampaikan jawaban Allah: karena cara hidupmu yang tidak benar (Yehezkiel 18:1-17). Cara hidup Israel yang tidak benar nyata dalam setiap bidang kehidupan: pernikahan dan seksualitas, penyembahan mereka, pemujaan berhala, perdagangan dan pemerintahan. Fokus kita adalah pada praktik-praktik di dunia kerja, dan Yehezkiel memiliki banyak hal yang ingin disampaikan tentang dunia kerja. Pesan-pesannya menyinggung tentang keuangan dan utang, pembangunan ekonomi, kejujuran, alokasi modal, evaluasi tempat kerja, pengembalian investasi yang adil, kesempatan ekonomi, kesuksesan dan kegagalan, pelaporan tindak kejahatan, kerja sama tim, kompensasi eksekutif, dan tata kelola perusahaan. Selain itu, panggilan dramatis bagi Yehezkiel untuk menjadi seorang nabi memberikan kita satu contoh bagaimana Allah memanggil seseorang untuk suatu jenis pekerjaan tertentu.

Panggilan Yehezkiel untuk Menjadi Seorang Nabi (Yehezkiel 1-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mari kita mulai, seperti layaknya dalam Kitab Yehezkiel, dengan panggilan Allah kepada Yehezkiel untuk menjadi seorang nabi. Ketika kita diperkenalkan kepada Yehezkiel, sebagai keturunan Yakub, putra Lewi, ia berprofesi sebagai imam (Yeh. 1:2). Oleh karena itu, pekerjaan sehari-harinya adalah menyembelih, memotong, dan membakar hewan-hewan kurban yang dibawa oleh para jemaat ke Bait Allah di Yerusalem. Sebagai seorang imam, ia juga melayani sebagai pembimbing moral dan spiritual bagi umat Allah, mengajarkan hukum-Nya dan mengadili perselisihan (Imamat 10:11, Ulangan 17:8-10, 33:10).

Namun, tugas keimamannya itu terhadang ketika ia dibawa sebagai tawanan ke Babel dalam deportasi awa; orang Yahudi dari Yerusalem pada tahun 605 S.M. Di Babel, komunitas Yahudi di pembuangan disibukkan dengan dua pertanyaan: "Apakah Allah telah berlaku tidak adil terhadap kami?" dan "Apa yang telah kami lakukan sehingga kami pantas melalui semua ini?" Kehancuran orang-orang Yahudi di pembuangan ini digambarkan dengan baik dalam Mazmur 137:1-4: "Di tepi sungai-sungai Babel - di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita, "Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion! Bagaimana mungkin kita menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing?"

Dalam pembuangan di Babel, Yehezkiel menerima panggilan yang dramatis dari Allah. Seperti panggilan Yesaya (Yesaya 6:1-8), panggilan Yehezkiel dimulai dengan sebuah penglihatan tentang Allah (Yeh. 1:4-2:8) dan diakhiri dengan perintah Allah untuk menjadi seorang nabi. Panggilan langsung untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu jarang ditemukan dalam Alkitab, dan panggilan Yehezkiel adalah salah satu yang paling dramatis. Meskipun profesi asli Yehezkiel adalah seorang imam, Allah memanggilnya untuk menjadi seorang nabi yang pada dasarnya bersifat politis, bukan religius. Tak heran bahwa penglihatan yang ia dapatkan saat menerima panggilannya, mencakup simbol-simbol politik seperti roda kereta perang (Yehezkiel 1:16), tentara (Yehezkiel 1:24), takhta (Yehezkiel 1:26) dan penjaga (Yehezkiel 3:16), tetapi tidak ada simbol-simbol agama. Panggilan Yehezkiel seharusnya bisa menghalau anggapan bahwa panggilan dari Allah pada umumnya adalah panggilan untuk meninggalkan profesi sekuler dan masuk ke dalam pelayanan gereja.[1]

Karier kenabian Yehezkiel dimulai di pembuangan di Babel, sebelas tahun sebelum kehancuran Yerusalem. Tugas pertamanya dari Allah adalah untuk membantah janji-janji kosong dari para nabi palsu yang meyakinkan orang-orang buangan bahwa Babel akan dikalahkan dan mereka akan segera pulang. Dalam pasal-pasal pembuka kitab ini, Yehezkiel menerima serangkaian penglihatan yang menggambarkan kengerian pengepungan Yerusalem yang dilanjutkan dengan pembantaian akibat penundukan kota itu.

Tanggung Jawab Israel atas Kesulitan yang dialaminya (Yehezkiel 18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertanyaan orang Yahudi yang ada dalam pembuangan, "Apa yang telah kami lakukan sehingga kami layak menerima ini?", muncul dari keyakinan yang keliru bahwa mereka dihukum karena tindakan nenek moyang mereka dan bukan karena tindakan mereka sendiri. Kita dapat melihat hal ini dari bagaimana mereka dengan keliru mengutip peribahasa: "Ayah-ayah makan buah anggur mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu?" (Yeh. 18:2). Allah menolak tuduhan ini. Masalah yang dipertaruhkan adalah penolakan orang-orang buangan untuk bertanggung jawab atas keadaan mereka, dan menyalahkan dosa-dosa generasi sebelumnya.[1] Akan tetapi, Tuhan menegaskan bahwa setiap orang akan dievaluasi sesuai dengan tindakannya sendiri, baik yang benar maupun yang jahat. Metafora yang melibatkan orang benar (Yeh. 18:5-9), anaknya yang berdosa (Yeh. 18:10-13), dan cucunya yang benar (Yeh. 18:14-17) mengilustrasikan bahwa orang tidak bertanggung jawab atas moralitas nenek moyang mereka. Tuhan meminta pertanggungjawaban setiap "jiwa" individu.[2] Namun, para ahli benar ketika mereka mencatat bahwa Yehezkiel masih berfokus pada komunal.[3]

Righteousness is required individual-by-individual, but God's restoration will not occur until the entire nation of individuals adopts righteous living. In this way, God required righteous living and accountability from the exiles as a whole, independent of previous generations.

Kebenaran dituntut dari individu per individu, tetapi pemulihan Allah tidak akan terjadi sampai seluruh bangsa mengadopsi kehidupan yang benar. Dengan demikian, Tuhan menuntut kehidupan yang benar dan pertanggungjawaban dari orang-orang buangan secara keseluruhan, terlepas dari generasi-generasi sebelumnya.

Yehezkiel 18:5-9 mencatat serangkaian tindakan kultus dan moral, baik yang benar maupun yang jahat. Tindakan-tindakan ini menjadi prinsip-prinsip yang membuat seseorang dikatakan "hidup" atau "mati". Empat di antaranya berkaitan dengan pekerjaan: mengembalikan janji orang yang berhutang, menafkahi orang miskin, tidak membebankan bunga yang berlebihan, dan bekerja dengan adil. Kegagalan untuk menegakkan standar-standar yang adil dan benar - atau lebih buruk lagi, menumpahkan darah orang lain tanpa pandang bulu - akan mendapatkan "hukuman mati" (Yehezkiel 18:13).

Yehezkiel 18:5, 7 - Orang Benar Tidak Menindas, tetapi Mengembalikan kepada Orang yang Berutang Janjinya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Prinsip ini menggabungkan dosa umum penindasan (Ibr. daka) dengan dosa khusus tidak mengembalikan sesuatu yang digadaikan (ḥăbōl) sebagai pinjaman. Untuk memahami dan menerapkan prinsip ini, kita mulai dengan hukum Israel mengenai pinjaman, yang dirangkum dalam The Anchor Yale Bible Dictionary sebagai berikut:

Kebutuhan akan pinjaman diakui secara terbuka dalam Alkitab Ibrani, di mana ada upaya untuk mencegah praktik meminta bunga dari debitur. Bunga pinjaman di Timur Dekat Kuno bisa sangat tinggi menurut standar modern (dan mungkin diminta di muka, sejak awal pinjaman). Upaya untuk meyakinkan para kreditur untuk melepaskan potensi keuntungan didasarkan pada kepedulian terhadap komunitas, yang telah dibebaskan Allah dari perbudakan. Seorang saudara mungkin saja menjadi miskin dan membutuhkan pinjaman, tetapi bunga tidak boleh diminta, dalam nama TUHAN yang sama "yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir" (Imamat 25:35-38). Keinginan untuk mendapatkan bunga dipandang sebagai bahaya yang dapat menyebabkan Israel menukar satu bentuk perbudakan dengan bentuk penindasan ekonomi lainnya. Patut dicatat bahwa keseluruhan Imamat 25 secara khusus membahas masalah menjaga integritas dari apa yang telah ditebus oleh Allah, sehubungan dengan pembebasan yang akan terjadi pada tahun-tahun sabat dan Yobel (Im. 25:1-34), sehubungan dengan pinjaman (Im. 25:35-38), dan sehubungan dengan pelayanan upahan (Im. 25:39-55). Hak kreditur untuk menerima jaminan atas pinjamannya secara implisit diakui dalam persyaratan murni untuk tidak mengharapkan bunga, dan penyalahgunaan kebebasan dengan jaminan yang diterima dilarang (bdk. Keluaran 22:25-27; Ulangan 24:10-13). Namun, jaminan tertentu, jika ditangani dengan benar, dapat menghasilkan keuntungan tersendiri, dan orang asing dalam hal apapun dapat dikenakan bunga (lih. Ulangan 23:19-20); bahkan berdasarkan penafsiran yang ketat terhadap Taurat, seorang kreditur dapat mencari nafkah.[1]

Menurut Hukum Taurat, secara umum tidak sah bagi pemberi pinjaman untuk mengambil kepemilikan permanen atas barang yang dijaminkan sebagai jaminan pinjaman. Hukum perbankan modern pada umumnya mengizinkan pemberi pinjaman untuk menahan (seperti di pegadaian) atau mengambil alih (seperti dalam kredit mobil dan hipotek rumah) barang yang diberikan sebagai jaminan. Apakah seluruh sistem jaminan modern anti alkitabiah, itu di luar cakupan artikel ini.[2]

Hukum modern juga memberikan batasan atau mengatur proses di mana pemberi pinjaman dapat mengambil jaminan. Sebagai contoh, pemberi pinjaman secara umum adalah ilegal untuk menduduki rumah yang digadaikan dan memaksa peminjam keluar saat peminjam berada di bawah perlindungan pengadilan selama proses kebangkrutan. Jika pemberi pinjaman tetap melakukan hal tersebut, maka hal tersebut merupakan bentuk penindasan. Hal ini dapat terjadi hanya jika pemberi pinjaman memiliki kekuatan dan kekebalan hukum untuk beroperasi di luar hukum.

Pada tingkat yang paling dasar, dalam Yehezkiel 18:7, Tuhan berkata, "Jangan melanggar hukum demi mengejar apa yang tampaknya menjadi hakmu, meskipun kamu memiliki kekuatan untuk melakukannya." Dalam praktik komersial di dunia nyata, sebagian besar pemberi pinjaman (selain rentenir) tidak mengambil alih jaminan secara paksa di luar hukum. Jadi, mungkin Yeh. 18:7 tidak memiliki tantangan bagi pembaca modern dalam perusahaan yang sah.

Namun tidak secepat itu. Yang mendasari seluruh hukum Perjanjian Lama tentang peminjaman adalah anggapan bahwa pinjaman diberikan terutama untuk kebaikan si peminjam, bukan si pemberi pinjaman. Alasan Anda meminjamkan uang kepada orang lain dengan jaminan jubah mereka, meskipun Anda dapat menyimpan jubah tersebut hanya sampai matahari terbenam, adalah karena Anda memiliki uang lebih dan si peminjam membutuhkannya. Sebagai pemberi pinjaman, Anda memiliki hak untuk mendapatkan jaminan bahwa Anda akan mendapatkan uang Anda kembali, tetapi hanya jika uang tersebut bermanfaat bagi peminjam sehingga dia dapat membayar Anda kembali. Anda tidak boleh memberikan pinjaman yang Anda tahu bahwa peminjam tidak akan mampu membayarnya kembali, karena Anda tidak bisa menahan agunan untuk waktu yang lama.

Hal ini terbukti dalam krisis hipotek tahun 2008-2009. Pemberi pinjaman subprime memberikan pinjaman rumah yang mereka tahu bahwa jutaan peminjam kemungkinan besar akan gagal melunasinya. Untuk mendapatkan kembali investasi mereka, para pemberi pinjaman mengandalkan kenaikan harga rumah ditambah kemampuan mereka untuk memaksa penjualan atau mengambil alih properti jika peminjam gagal bayar. Pinjaman diberikan tanpa memperhatikan keuntungan peminjam, selama itu menguntungkan pemberi pinjaman. Setidaknya itulah maksudnya. Kenyataannya, kemunculan tiba-tiba ratusan ribu properti yang diambil alih di pasar menekan nilai properti sangat rendah sehingga pemberi pinjaman kehilangan uang bahkan setelah mengambil alih properti tersebut. Pernyataan Tuhan sekitar tahun 580 SM bahwa "darahnya tertimpa atas dirinya sendiri" (Yeh. 18:13) ternyata menjadi kenyataan bagi sistem perbankan sekitar tahun 2000 M.

Kecaman Tuhan terhadap pengaturan yang tidak memberikan keuntungan bagi pembeli tidak harus terbatas pada kewajiban utang yang disekuritisasi. Yehezkiel 18:7 berbicara tentang pinjaman, tetapi prinsip yang sama berlaku untuk semua jenis produk. Menahan informasi tentang kekurangan dan risiko produk, menjual produk yang lebih mahal daripada yang dibutuhkan pembeli, ketidaksesuaian manfaat produk dengan kebutuhan pembeli - semua praktik ini mirip dengan penindasan yang digambarkan dalam Yehezkiel 18:7. Praktik-praktik ini dapat merasuk ke dalam bisnis yang bermaksud baik sekalipun, kecuali jika penjual menjadikan kesejahteraan pembeli sebagai tujuan yang tidak dapat diganggu gugat dari transaksi penjualan. Merawat pembeli berarti "menghidupi", dalam terminologi Yehezkiel.

Yehezkiel 18:7b - Orang Benar Tidak Mencuri, Tetapi Memberi Makan Orang Lapar dan Memberi Pakaian kepada Orang yang Telanjang

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ini mungkin tampak seperti pasangan yang aneh. Siapa yang dapat membantah larangan untuk merampok? Namun, bagaimana perampokan dapat dihubungkan dengan kewajiban untuk memberi makan orang yang lapar dan memberi pakaian kepada orang yang telanjang? Seperti Yehezkiel 18:7a, kaitannya adalah kewajiban untuk peduli dengan kesejahteraan ekonomi orang lain. Namun, dalam kasus ini, "orang lain" bukanlah pihak lawan dalam transaksi komersial, melainkan orang lain yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Jika Anda bertemu dengan orang lain yang memiliki barang yang mereka butuhkan tetapi Anda inginkan, Anda tidak diizinkan untuk merampasnya. Jika Anda bertemu dengan orang yang kekurangan barang yang mereka butuhkan tetapi Anda memilikinya secara berlebihan, Anda diharuskan untuk memberikannya kepada mereka, atau setidaknya memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan pakaian.

Di balik peringatan yang agak mengejutkan ini terdapat hukum ekonomi Allah: kita adalah penatalayan, bukan pemilik, atas segala sesuatu yang kita miliki. Kita harus melihat kekayaan sebagai kekayaan bersama karena semua yang kita miliki adalah pemberian Allah dengan tujuan agar tidak ada yang miskin di antara kita (Ulangan 6:10-15; 15:1-18). Hal ini terlihat jelas dalam hukum yang mengharuskan penghapusan utang setiap tujuh tahun dan pembagian kembali kekayaan yang terkumpul pada Tahun Yobel (Imamat 25). Setiap lima puluh tahun sekali, umat Tuhan harus menyeimbangkan kembali kekayaan di tanah itu sebagai obat bagi kejahatan yang mewabah dalam masyarakat manusia. Selama tahun-tahun berikutnya, mereka harus hidup sebagai penatalayan atas semua yang mereka miliki:

  • "Janganlah kamu merugikan satu sama lain, tetapi engkau harus takut akan Allahmu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Kamu harus melakukan ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-Ku serta melakukannya, maka kamu akan tinggal di tanahmu dengan tenteram." (Imamat 25:17-18).

  • "Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedangkan kamu adalah pendatang dan warga asing yang menumpang pada-ku." (Imamat 25:23).

  • "Apabila Saudaramu jatuh miskin sehingga tidak sanggup bertahan hidup di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagaimana terhadap pendatang dan warga asing, supaya ia dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau mengambil riba atau laba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta riba, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta laba. Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir, untuk memberikan kepadamu tanah Kanaan, supaya Aku menjadi Allahmu." (Imamat 25:35-38).

Ketetapan Yehezkiel dalam Yehezkiel 18:7b tidak secara langsung berkaitan dengan teologi kerja karena tidak ada hubungannya dengan produksi aktual dari hal-hal yang bernilai. Sebaliknya, ini adalah bagian dari teologi kekayaan, penatalayanan dan disposisi dari benda-benda yang bernilai. Namun, mungkin saja ada hubungannya. Bagaimana jika Anda bekerja dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan orang lain dan bukan kebutuhan Anda sendiri? Meskipun hal itu menghalangi perampokan, namun hal itu juga akan memotivasi Anda untuk bekerja sedemikian rupa sehingga dapat menyediakan makanan, pakaian, dan kebutuhan lain bagi orang-orang yang membutuhkan. Contohnya adalah perusahaan farmasi yang menerapkan kebijakan penggunaan obat dengan penuh kasih dalam perencanaan obat baru. Begitu juga dengan perusahaan ritel yang menjadikan keterjangkauan sebagai elemen kunci dari model bisnisnya. Sebaliknya, prinsip ini tampaknya mengesampingkan bisnis yang dapat berhasil hanya dengan mengenakan harga tinggi untuk produk yang tidak memenuhi kebutuhan nyata, seperti perusahaan farmasi yang memproduksi formulasi ulang yang sepele untuk memperpanjang masa patennya.

Yehezkiel 18:8a - Orang Benar Tidak Mengambil Bunga di Muka atau Bunga yang Masih Harus Dibayar

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Para ahli Alkitab telah menghabiskan banyak waktu untuk meneliti dan berspekulasi tentang apakah membebankan bunga benar-benar dilarang oleh hukum Perjanjian Lama. Terjemahan yang paling alami dari Yeh 18:8a mungkin adalah versi AVB: "Dia tidak memberikan pinjaman dengan menuntut bunga dan tidak mengambil riba." Sampai setelah Reformasi, orang Kristen secara umum memahami Alkitab sebagai larangan untuk mengenakan bunga atas pinjaman. Tentu saja, hal ini akan sangat menghambat penyebaran modal yang produktif, baik di zaman modern maupun kuno, dan para penafsir kontemporer tampaknya cenderung melunakkan larangan terhadap bunga yang berlebihan, seperti yang dilakukan oleh NRSV. Untuk membenarkan pelunakan lebih lanjut ini, beberapa orang berargumen bahwa diskon awal (yang sekarang kita sebut sebagai "obligasi tanpa bunga") diizinkan di Israel kuno, dan hanya bunga tambahan yang dilarang, bahkan jika pinjaman tersebut tidak dilunasi tepat waktu.[1] Seperti topik jaminan di atas, adalah di luar cakupan artikel ini untuk menilai keabsahan seluruh sistem bunga modern.[2] Sebagai gantinya, marilah kita melihat hasil dari kedua kasus tersebut.


Jika penafsiran yang lebih ketat yang berlaku, maka orang yang memiliki uang akan menghadapi pilihan untuk meminjamkan uang atau tidak. Jika mereka tidak diizinkan untuk mengambil bunga, dan tidak diizinkan untuk mengambil alih jaminan, maka mereka mungkin lebih memilih untuk tidak meminjamkan uang kepada siapa pun. Tetapi jawaban itu dilarang oleh Allah: "Sebaliknya, engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa pun yang diperlukan." (Ulangan 15:8). Yesus mengulangi dan bahkan memperluas perintah ini dalam Lukas 6:35: "Kasihilah musuh-musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun." Pinjaman terutama untuk kepentingan peminjam, bukan pemberi pinjaman. Ketakutan pemberi pinjaman bahwa pinjaman tersebut tidak dapat dilunasi haruslah menjadi perhatian utama. Pemberi pinjaman memiliki modal, dan calon peminjam membutuhkannya.

Di sisi lain, jika kita menerima bahwa sistem bunga modern adalah sah, prinsip ini masih berlaku. Modal harus diinvestasikan secara produktif; modal tidak dapat ditimbun karena ketakutan. Ini adalah arti harfiah dari perumpamaan Yesus tentang talenta (Matius 25:14-30). Allah telah berjanji kepada Israel, milik-Nya yang berharga, bahwa Dia akan memenuhi kebutuhan mereka. Jika seseorang memiliki modal yang tersisa, mereka berhutang kepada Allah yang menyediakannya untuk digunakan - baik melalui investasi maupun donasi - untuk memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan. Pembangunan ekonomi tidak dilarang - justru sebaliknya: pembangunan ekonomi diperlukan. Namun, pembangunan ekonomi haruslah bermanfaat secara produktif bagi mereka yang membutuhkan modal, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi mereka yang memiliki modal.

Yehezkiel 18:8b - Orang Benar Tidak Berbuat Salah, tetapi Mengadili dengan Adil di Antara Para Pihak

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seperti yang ia lakukan di bagian awal kitab ini, Yehezkiel menyajikan kepada para pembacanya sebuah aturan umum (tidak berbuat salah) yang dihubungkan dengan aturan khusus (menghakimi dengan adil di antara orang-orang). Sekali lagi, prinsip pemersatunya adalah bahwa orang yang memiliki lebih banyak kekuasaan harus peduli dengan kebutuhan orang yang memiliki lebih sedikit kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan yang terlibat adalah kekuasaan untuk menghakimi antar individu. Setiap hari sebagian besar dari kita menghadapi saat-saat ketika kita memiliki kekuatan untuk menilai antara satu orang dengan orang lain. Hal ini bisa jadi sekecil memutuskan suara siapa yang menang dalam memilih tempat makan siang. Bisa juga sebesar memutuskan siapa yang harus dipercaya dalam sebuah tuduhan atas perilaku yang tidak pantas. Jarang sekali kita menyadari bahwa setiap kali kita mengambil keputusan seperti ini, kita menggunakan kekuasaan untuk menghakimi.

Banyak masalah serius di tempat kerja muncul karena orang merasa bahwa mereka secara konsisten dinilai kurang penting dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya. Hal ini bisa berasal dari penilaian formal atau resmi, seperti tinjauan kinerja, keputusan proyek, penghargaan karyawan, atau promosi. Atau mungkin juga berasal dari penilaian informal, seperti siapa yang memperhatikan ide-ide mereka atau seberapa sering mereka menjadi bahan lelucon. Dalam kasus mana pun, umat Allah berkewajiban untuk menyadari penilaian-penilaian semacam ini dan bersikap adil dalam cara mereka berpartisipasi di dalamnya. Mungkin menarik untuk mencatat berapa banyak penghakiman (besar atau kecil) yang kita lakukan dalam satu hari, lalu tanyakan bagaimana orang benar dalam Yehezkiel 18:8 akan bertindak dalam setiap penghakiman tersebut.

Yehezkiel 18 lebih dari sekadar seperangkat aturan untuk hidup dalam pembuangan; ini adalah jawaban atas keputusasaan yang dirasakan oleh orang-orang buangan, yang diungkapkan dalam peibahasa Yeh. 18:2, "Ayah-ayah makan buah anggur mentah, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu."[1] Argumen pasal 18 membantah peribahasa tersebut, bukan dengan menghapus pembalasan lintas generasi. Sebaliknya, pelajaran tentang tanggung jawab moral pribadi menjawab keputusasaan orang-orang buangan (lihat Mazmur 137) dan pertanyaan-pertanyaan tentang ketuhanan yang terlihat dalam bagian refrain, "Tindakan TUHAN tidak tepat" (Yeh. 18:25, 29). Menanggapi pertanyaan para buangan - "Jika kita adalah umat Allah, mengapa kita berada di pembuangan?" "Mengapa kita menderita?" "Apakah Allah peduli?" - Tuhan menjawab bukan dengan sebuah jawaban, tetapi dengan sebuah panggilan untuk hidup dengan adil.

Di masa antara pelanggaran di masa lalu dan pemulihan di masa depan, antara janji dan penggenapan, antara pertanyaan dan jawaban, orang-orang buangan harus hidup dengan benar.[2] Di sinilah makna, tujuan, dan hasil akhir dapat ditemukan. Allah tidak hanya mengulang-ulang hukum perilaku baik dan buruk untuk diikuti oleh setiap orang. Sebaliknya, Dia menyerukan kehidupan nasional yang benar, ketika Israel pada akhirnya akan menjadi "umat-Ku" (Yeh. 11:20; 14:11; 36:28; 37:23, 27).[3]

Tanda-tanda kebenaran dalam Yehezkiel 18 memberikan contoh yang mewakili kehidupan dalam perjanjian yang baru ketika komunitas dicirikan oleh etika yang "sesuai dengan hukum Taurat" (Yeh. 18:5, 19, 21, 27). Pembaca ditantang untuk menjalani kehidupan perjanjian yang baru sekarang ini sebagai sarana untuk mendapatkan pengharapan di masa depan. Pada zaman kita sekarang, orang Kristen adalah anggota perjanjian baru dengan panggilan yang sama dalam Matius 5:17-20; 22:37-40. Dengan demikian, Yehezkiel 18 secara mengejutkan memberikan pengajaran dan dapat ditransfer ke dalam kehidupan kita di tempat kerja, di mana pun tempatnya.[4] Menghidupi kebenaran pribadi ini dalam pengejaran profesional kita akan menambah kehidupan dan makna pada keadaan kita saat ini karena hal ini mengasumsikan hari esok yang lebih baik, mengantar kerajaan Allah di masa depan ke masa sekarang, dan memberikan sekilas gambaran tentang apa yang diharapkan Allah dari umat-Nya secara keseluruhan. Tuhan memberi penghargaan atas perilaku seperti itu, yang hanya mungkin terjadi melalui hati dan roh yang baru (Yeh. 18:31-32; 2 Korintus 3:2-6).

Kerusakan Sistemik Israel (Yehezkiel 22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babel kehilangan teladan positif dalam pasal 18, Yehezkiel 22 memberi mereka gambaran yang jelas tentang bagaimana bangsa itu keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh Allah. Yerusalem menjadi latar belakang ketika sang nabi melihat faktor-faktor politik, ekonomi dan agama yang menyebabkan kehancurannya. Menurut Robert Linthicum, tujuan dari sistem politik adalah untuk menegakkan politik keadilan dan ketaatan kepada Allah (Ulangan 16:18-20; 17:8-18). Sistem ekonomi dipanggil untuk memelihara ekonomi penatalayanan dan kemurahan hati (Ulangan 6:10-15; 15:1-18). Sistem agama terutama bertanggung jawab untuk membawa manusia ke dalam hubungan dengan Allah dan untuk mendasarkan sistem politik dan ekonomi pada Allah (Ulangan 10:12; 11:28). Agama menyediakan pagar bagi masyarakat dan memberikan makna bagi kehidupan. Sistem politik menyediakan prosesnya, dan sistem ekonomi mendukung masyarakat. Ketika sistem agama rusak, segala sesuatu yang lain akan diperebutkan.[1]

Menurut hukum Tuhan, kesenjangan antara kaya dan miskin (kekayaan dan kemiskinan) adalah indikator langsung dari jarak suatu bangsa atau komunitas dengan Tuhan.

Dalam Yehezkiel 22, sang nabi menunjukkan kepada orang-orang Yahudi di pembuangan mengapa penghakiman Allah atas bangsa mereka harus datang: dari para pemimpin, imam-imam, nabi-nabi palsu, sampai kepada seluruh penduduk negeri, "kamu semua seperti limbah" (Yehezkiel 22:19). Kesabaran Tuhan telah mencapai titik akhir dan upah dari setiap bentuk "bisnis" dosa akan membawa kematian dan kehancuran bagi para pelakunya. Apa saja yang termasuk dalam katalog dosa ini? Penggunaan kekuasaan untuk menumpahkan darah (Yeh. 22:6), memperlakukan orang tua dengan hina, menindas orang asing dan memperlakukan anak yatim dan janda dengan tidak adil (Yeh. 22:7), memfitnah dengan tujuan menumpahkan darah (Yeh. 22:9), dosa-dosa seksual dan pelecehan (Yeh. 22:11), membebankan bunga dan mengambil keuntungan dari orang miskin, memeras keuntungan yang tidak adil (Yeh. 22:12), bersekongkol untuk menghancurkan rakyat, merampas harta benda dan banyak hal yang berharga, dan membuat banyak janda dalam prosesnya (Yeh. 22:25). 22:25), melakukan kekerasan terhadap hukum Taurat, menajiskan hal-hal yang kudus, mengajarkan kesesatan dan menutup mata terhadap hari Sabat Tuhan (Yeh. 22:8, 26), para pejabat seperti serigala yang menerkam mangsanya demi mendapatkan keuntungan yang tidak adil (Yeh. 22:27), para nabi menutupi perbuatan-perbuatan ini dengan penglihatan-penglihatan palsu dan ramalan-ramalan dusta (Yeh. 22:28), dan orang-orang di negeri itu melakukan pemerasan, perampokan, menindas orang miskin dan yang membutuhkan, memperlakukan orang asing dengan kejam dan tidak memberikan keadilan kepada mereka (Yeh. 22:29).

Pada akhirnya, Tuhan mencari satu orang benar yang dapat berdiri di tengah-tengah mereka, tetapi tidak ada seorang pun. Pengabaian total terhadap hubungan yang benar inilah yang mendatangkan murka dan hukuman Allah. Pasal ini berakhir (Yeh. 22:31) dengan Allah menarik tangan perlindungan-Nya dari umat-Nya saat mereka menghancurkan diri mereka sendiri. Bagaimana cara Allah menjatuhkan penghakiman? Dia membiarkan sistem berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan. Kemerosotan ke bawah berakhir dengan kehancuran. Sebuah teologi pekerjaan harus menjabarkan praktik-praktik yang jujur dan penuh belas kasihan yang harus diikuti oleh umat Allah (pasal 18). Mengabaikan hal ini berarti mengundang bencana.

Dari Mana Datangnya Keberhasilan? (Yehezkiel 26-28)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Nubuat-nubuat tentang Tirus dalam Yehezkiel 26-28 memberikan contoh lebih lanjut tentang kehidupan yang tidak benar. Orang-orang Tirus menertawakan kehancuran Yerusalem, mengharapkan keuntungan dengan tidak adanya pesaing dagang (Yeh. 26:2). Allah menjanjikan hukuman dan penghinaan bagi mereka (Yeh. 26:7-21) karena gagal membantu Yehuda pada saat mereka membutuhkan. "Tirus dapat dianggap sebagai representasi dari pengejaran - melalui kemakmuran, keunggulan politik, bahkan budaya - akan keamanan dan otonomi yang bertentangan dengan sifat alamiah dari realitas yang diciptakan."[1] Pada kenyataannya, tidak ada orang atau bangsa yang benar-benar dapat menjamin keamanan dan kemakmurannya. Namun, Tirus membanggakan kesuksesan, kesempurnaan, dan kelimpahan komersialnya (Yeh. 27:2-4). Kekuatan maritim ini telah menjadi seperti itu karena berdagang dengan (atau mengambil keuntungan dari) banyak orang di seluruh dunia Mediterania (Yeh. 27:5-25), namun akhirnya tenggelam karena beban muatannya yang sangat banyak. Tirus yang terlalu percaya diri dan mementingkan diri sendiri berakhir dengan karamnya kapal yang menjadi bahan cemoohan para pedagang bangsa-bangsa (Yeh. 27:26-36). Tuhan memanggil Tirus untuk mempertanggungjawabkan kesombongan dan keinginan materialnya, yang mencapai puncaknya dengan sebuah puisi yang menentang raja Tirus dalam pasal 28. Sang raja memuji statusnya sebagai dewa karena memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan untuk mendapatkan kemasyhuran dan pencapaian materi.

Pelajaran dari pasal 26-28 untuk bekerja di dunia sangatlah penting. Allah melarang kita untuk membayangkan bahwa kita adalah sumber utama dari kesuksesan di tempat kerja. Meskipun kerja keras, keterampilan, ketekunan, dan kebajikan-kebajikan kita lainnya berkontribusi pada kesuksesan di tempat kerja, tetapi semua itu bukanlah penyebabnya. Yang mendasari orang yang paling sukses sekalipun adalah semesta peluang, keadaan yang kebetulan, kerja keras orang lain, dan fakta bahwa keberadaan kita berasal dari luar diri kita sendiri.

Mengatribusikan kesuksesan semata-mata pada diri kita sendiri akan mengarah pada keangkuhan yang merusak hubungan kita dengan Tuhan. Alih-alih berterima kasih kepada Tuhan atas keberhasilan kita dan mempercayai Dia untuk terus menyediakan kebutuhan kita, kita berpikir bahwa kita telah berhasil karena kemampuan kita sendiri. Tetapi kita tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan semua keadaan, kemungkinan, orang, dan peristiwa yang menjadi dasar kesuksesan kita. Dengan mengaitkan kesuksesan kita dengan diri kita sendiri, kita memaksa diri kita untuk mencoba mengendalikan faktor-faktor yang tidak terkendali, menciptakan tekanan yang berat untuk menumpuk tumpukan kartu yang menguntungkan kita. Meskipun kita mungkin berhasil di masa lalu melalui transaksi bisnis yang jujur dan sah, sekarang kita mungkin mencoba untuk meningkatkan peluang dengan membiaskan kebenaran yang menguntungkan kita, dengan mencurangi penawaran di belakang layar, dengan memanipulasi orang lain untuk melakukan kehendak kita, atau dengan menjilat orang lain dengan beberapa suap yang ditempatkan dengan baik. Bahkan jika kita berhasil untuk tetap berada di sisi yang benar dari hukum, kita dapat menjadi kejam dan "kejam" (Yeh. 28:6) dalam mengejar perdagangan.

Orang yang benar-benar bijaksana berperilaku benar dan dalam pemikiran mereka tidak merebut tempat Allah sambil menunggu Allah memenuhi janji-janji-Nya. Mereka tetap setia pada perjanjian mereka dengan Allah yang akan memberi upah kepada mereka yang hidup setia dengan keuntungan yang sesuai dengan pemenuhan perjanjian tersebut (lihat pengharapan untuk Israel dalam Yeh. 28:22-26). Pada akhirnya, Allah akan memisahkan antara orang benar dan orang fasik (Yeh. 34:17-22; bandingkan dengan Matius 25:31-46). Hal ini memberikan pengharapan yang besar bagi para "orang buangan" yang menantikan penyempurnaan kerajaan Allah, baik yang hidup di dunia kuno maupun di dunia modern, terutama ketika mereka mempertanyakan tentang keadilan dan keputusasaan.[2]

Panggilan untuk Memperingatkan Orang Lain (Yehezkiel 33)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yehezkiel pasal 18 dan 33 memiliki fungsi tematik dan struktural yang serupa dalam kitab ini secara keseluruhan.[1] Panggilan kepada kebenaran pribadi untuk "hidup" dan panggilan untuk bertobat di tengah-tengah pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan Allah yang pertama kali disajikan dalam pasal 18 diulas dalam pasal 33 dengan cara yang hampir sama secara kata demi kata.[2] Namun, pasal 33 memperkenalkan ide lain yang tidak ditemukan dalam pasal 18: dalam Yehezkiel. 33:1-9, Allah mengulas kembali panggilan Yehezkiel untuk menjadi seorang penjaga atau pengawal bagi bangsa itu seperti yang pertama kali ditetapkan dalam pasal 3. [3] Seperti seorang penjaga di pintu gerbang kota yang bertanggung jawab untuk memperingatkan penduduk kota akan ancaman musuh, Yehezkiel secara pribadi bertanggung jawab untuk menyatakan penghakiman Allah yang akan datang dan mendorong pertobatan untuk membebaskan dirinya dari kesalahan:

Demikianlah engkau, hai manusia fana, Aku telah mengangkat engkau menjadi penjaga bagi kaum Israel, setiap kali engkau mendengar firman dari mulut-Ku, engkau harus memberikan peringatan kepada mereka dari pada-Ku. Jika Aku berfirman kepada orang fasik: "Hai orang fasik, engkau pasti mati," dan engkau tidak berkata-kata untuk memperingatkan orang fasik supaya berbalik dari jalannya, maka orang fasik itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut balas terhadap mereka dari tanganmu. Tetapi jika engkau memperingatkan orang fasik untuk berbalik dari jalannya dan mereka tidak berbalik dari jalannya, maka orang fasik itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau akan menyelamatkan nyawamu (Yeh. 33:7-9).

Ini adalah tambahan penting untuk panggilan kepada kebenaran yang diperkenalkan dalam Yehezkiel 18 dan diingatkan kembali dalam pasal 33 menjelang kehancuran Yerusalem (Yeh. 33:21-22). Allah menuntut penjaga untuk memainkan peran penting dalam seruan kepada kebenaran individu dan korporasi dengan mengambil tanggung jawab pribadi dan kepemilikan atas pertobatan orang-orang buangan.

Kita harus mengidentifikasikan diri kita bukan hanya dengan para pendengar Yehezkiel (Yehezkiel 18), tetapi juga dengan Yehezkiel sendiri. Kita menerima tugas yang diberikan Tuhan untuk memanggil orang lain untuk hidup dengan benar dan kembali kepada hubungan yang benar dengan Tuhan. Dalam Perjanjian Lama, beberapa orang dipanggil untuk menjadi nabi dengan mandat untuk membawa firman Allah kepada umat-Nya. Tetapi sebagai anggota perjanjian yang baru, semua orang Kristen dipanggil untuk menjalankan tugas nabi. Nabi Yoel telah menubuatkan hal ini ketika ia menyampaikan firman Allah, "Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, dan orang-orangmu yang muda akan mendapat penglihatan-penglihatan." (Yoel 2:28). Rasul Petrus mengumumkan hal ini sebagai sebuah kenyataan pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:33).[4]

Tanggung jawab kenabian semua orang Kristen menghasilkan beberapa pelajaran untuk sebuah teologi pekerjaan dan menjadi kesaksian kita di tempat kerja. Allah memanggil kita masing-masing untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nasib orang lain. Kita harus menjadi penjaga bagi diri kita sendiri karena kita bertanggung jawab atas orang-orang di sekitar kita. Tidak hanya nyawa mereka yang dipertaruhkan, nyawa kita juga (Yeh. 33:9).

Hal ini tidak datang secara alami kepada kita di zaman dan budaya yang menghargai individualisme. Namun, Allah akan meminta pertanggungjawaban kita atas kehidupan yang benar dari orang lain. Dalam hal tempat kerja, ini berarti bahwa orang Kristen memikul tanggung jawab pribadi untuk mengusahakan keadilan di tempat kerja mereka. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan yang mungkin perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri tentang tanggung jawab ini.

Sebagai contoh:

  • Apakah kita menyampaikan firman Allah kepada orang-orang yang bekerja dengan kita? Orang Kristen di setiap tempat kerja mengamati - dan merasakan tekanan untuk berpartisipasi dalam - hal-hal yang kita tahu tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Apakah kita menempatkan kebenaran Allah di atas kenyamanan yang tampak untuk menyesuaikan diri? Ini bukan panggilan untuk bersikap menghakimi di tempat kerja, tetapi ini bisa berarti membela orang yang dikambinghitamkan atas kegagalan departemen, atau menjadi orang pertama yang memberikan suara untuk menghentikan kampanye iklan yang menyesatkan. Hal ini dapat berarti mengakui peran Anda sendiri dalam melakukan konflik di kantor atau menyuarakan keyakinan bahwa menulis tinjauan kinerja yang jujur pada akhirnya akan sepadan dengan rasa sakit yang mungkin timbul. Ini adalah cara-cara untuk menyampaikan firman Tuhan kepada orang lain di tempat kerja.

  • Apakah hidup kita merupakan ilustrasi dari pesan Allah? Kita berkomunikasi tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan. Sepanjang pelayanannya, Yehezkiel secara harfiah adalah ilustrasi visual yang berjalan dari janji-janji dan penghakiman Allah. Seorang CFO di Silicon Valley diminta oleh CEO-nya untuk "menemukan" $2 juta keuntungan tambahan untuk ditambahkan ke dalam laporan kuartalan yang akan dirilis dalam satu minggu. CFO tersebut tahu bahwa hal itu akan membutuhkan pengklasifikasian yang tidak akurat dalam mengkategorikan pengeluaran tertentu sebagai investasi, dan investasi tertentu sebagai pendapatan. Pada minggu itu, ia kebetulan mengadakan pertemuan bulanan dengan CFO Kristen lainnya. Mereka memberinya keberanian untuk melawan CEO-nya. Pada hari laporan tersebut harus diserahkan, ia mengatakan kepada CEO, "Ini laporan dengan tambahan laba sebesar $2 juta seperti yang Anda minta. Ini mungkin legal, tetapi tidak benar-benar akurat. Saya tidak bisa menandatanganinya, jadi saya tahu Anda harus memecat saya." Tanggapan CEO-nya? "Jika Anda tidak mau menandatanganinya, maka saya juga tidak mau. Saya bergantung pada Anda untuk mengetahui apa yang Anda lakukan. Bawakan saya laporan asli yang akurat dan kami akan menerbitkannya dan menerima konsekuensi atas tidak tercapainya profitabilitas yang telah kami perkirakan."[5] Baik dalam perkataan maupun tindakannya, CFO ini mengilustrasikan hidup sesuai dengan firman Tuhan, dan hal ini mempengaruhi CEO untuk melakukan hal yang sama.

Yehezkiel 33 menunjukkan bahwa meskipun setiap individu dipanggil untuk melakukan kebenaran pribadi, para nabi juga bertanggung jawab untuk memperingatkan sesama orang buangan untuk bertindak dengan benar. Metafora penjaga dalam Yehezkiel 33 mencerminkan harapan Tuhan akan kepentingan kita dalam kehidupan orang lain di dunia kerja. Hal ini menjadi dasar bagi ide serupa di pasal berikutnya di mana metafora tersebut berubah.

Kegagalan Kepemimpinan Israel (Yehezkiel 34)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Para pemimpin Israel didakwa atas kegagalan mereka untuk memperhatikan bangsa mereka. Yehezkiel 34 menggunakan metafora penggembalaan untuk menggambarkan bagaimana para pemimpin Israel (gembala) menindas rakyat (kawanan domba) di dalam kerajaan Allah. Para gembala hanya memperhatikan kepentingan mereka sendiri dengan memberi makan dan pakaian kepada diri mereka sendiri dengan mengorbankan kebutuhan kawanan domba mereka (Yeh. 34:2, 3, 8).

Bukannya menguatkan dan menyembuhkan domba-domba pada saat mereka membutuhkan, atau mengejar mereka saat tersesat, para gembala justru mendominasi mereka dengan kejam (Yeh. 34:4). Hal ini membuat domba-domba itu rentan terhadap binatang buas (bangsa-bangsa yang tidak bersahabat) dan mencerai-beraikan mereka ke seluruh penjuru dunia (Yeh. 34:5-6, 8). Karena itu, Tuhan berjanji untuk menyelamatkan domba-domba itu dari "mulut" para gembala (penguasa Israel), mencari dan merawat domba-domba-Nya, dan membawa mereka kembali dari tempat mereka tercerai-berai (Yeh. 34:9-12). Dia akan menuntun mereka kembali ke tanah mereka sendiri, memberi mereka makan, dan membuat mereka berbaring dengan aman di padang penggembalaan yang baik (Yeh. 34:13-14). Pada akhirnya, Tuhan akan menghakimi antara domba-domba yang gemuk (penerima manfaat dan peserta dalam penindasan) dan domba-domba yang kurus (yang lemah dan tertindas, Yeh. 34:15-22). Pembebasan ini mencapai puncaknya dengan pengangkatan gembala terakhir di masa depan, yaitu Daud kedua, yang akan menggembalakan dan merawat kawanan domba Allah sebagaimana seharusnya seorang pangeran di bawah kerajaan Allah (Yeh. 34:23-24).[1] Hal ini akan menandai waktu ketika Allah akan membuat perjanjian damai dengan domba-domba/umat-Nya yang akan menjamin berkat perlindungan, kesuburan, dan kebebasan Allah di negeri itu (Yeh. 34:25-31). Dengan ini semua orang akan mengetahui bahwa Tuhan menyertai umat-Nya dan merupakan Tuhan mereka yang sejati (Yeh. 34:30-31)

Metafora penggembalaan mengirimkan pesan yang menjanjikan penghakiman bagi para penguasa Israel yang jahat dan pengharapan bagi bangsa yang tertindas dan kurang beruntung. Pesan kepemimpinan yang diambil dari penggembalaan ini dapat diterapkan pada pekerjaan-pekerjaan lain. Para pemimpin yang baik mencari kepentingan orang lain sebelum "memberi makan" diri mereka sendiri. Kepemimpinan yang meniru "Gembala yang Baik" dari Yohanes 10:11, 14 pada dasarnya adalah sebuah jabatan sebagai pelayan yang membutuhkan kepedulian yang tulus terhadap kesejahteraan bawahan. Mengelola orang lain bukanlah tentang perjalanan kekuasaan atau memegang otoritas seseorang atas orang lain. Sebaliknya, atasan yang saleh dan benar berusaha untuk memastikan bahwa orang-orang yang berada di bawah pengawasan mereka berkembang. Hal ini konsisten dengan praktik manajemen terbaik yang diajarkan di sekolah-sekolah bisnis dan diterapkan di banyak perusahaan. Tetapi orang-orang yang saleh melakukannya karena kesetiaan kepada Tuhan, bukan karena hal itu merupakan praktik yang diterima dalam organisasi mereka.

Andrew Mein berpendapat bahwa sebagian besar pembaca "kurang memperhatikan bagaimana realitas ekonomi dapat menginformasikan penggunaan metafora secara spesifik, dengan hasil bahwa semua gambaran Alkitab tentang penggembalaan runtuh menjadi gambaran yang agak monokrom tentang kemurahan hati yang penuh kepedulian." [2] Sementara Yehezkiel 34 mencerminkan kepedulian Tuhan terhadap domba-domba-Nya (seperti ayat-ayat penggembalaan lainnya, mis, Yeremia 23, Mazmur 23, Yohanes 10), pasal ini secara khusus mencerminkan lebih banyak tentang ekonomi penggembalaan domba pada zaman dahulu dan dengan demikian berlaku secara lebih spesifik untuk tanggung jawab ekonomi seorang pemimpin. Para gembala telah melanggar kewajiban ekonomi mereka dengan "gagal menghasilkan keuntungan yang dibutuhkan dari investasi dan menyalahgunakan properti pemiliknya." [3] Tuhan meminta mereka bertanggung jawab sambil merebut kembali kawanan domba-Nya. Terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa para gembala Israel telah gagal menjaga kepentingan domba-domba mereka. Sebaliknya, para gembala tidak bekerja untuk kepentingan pemilik domba yang mempekerjakan mereka dan yang mengharapkan keuntungan dari investasinya. Pemahaman ini dapat diterapkan pada masa kini pada pertanyaan-pertanyaan tentang kompensasi eksekutif dan tata kelola perusahaan. Yehezkiel tidak memberikan pernyataan umum tentang isu-isu tersebut, tetapi memberikan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai praktik-praktik perusahaan.

Dengan demikian, Yehezkiel 34 adalah teks yang kaya akan teologi kerja. Para pemimpin harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan mereka yang berada di bawah kepemimpinan mereka (Filipi 2:3-4). Lebih dari itu, mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas ekonomi yang telah diberikan kepada mereka. Kita harus bekerja demi keuntungan dan kesejahteraan mereka yang berada di atas dan di bawah kita dalam tangga perusahaan (Efesus 6:5-9; Kolose 3:22-24). Pada akhirnya, semua harus bekerja untuk kemuliaan yang menjadi hak Allah.

Dalam hal ini, keuntungan atau produktivitas ekonomi dipandang sebagai pengejaran yang saleh. Gereja-gereja sering kali melupakan hal ini, seolah-olah keuntungan adalah produk sampingan yang netral atau hampir tidak dapat ditoleransi dari pekerjaan Kristen. Tetapi Yehezkiel 34 menyiratkan bahwa pekerja yang menghasilkan kerugian ekonomi atau manajer yang gagal membuat tim menyelesaikan pekerjaannya tidak lebih baik daripada mereka yang menganiaya rekan kerja atau bawahannya. Baik orang maupun pekerjaan itu penting. Ketika berabad-abad kemudian, Paulus menulis, "Apapun juga pekerjaanmu, lakukanlah seperti untuk Tuhan dan bukan untuk tuanmu," (Kolose 3:23), ia berdiri di posisi Yehezkiel. Lakukanlah pekerjaan yang Anda dibayar untuk melakukannya (termasuk menghasilkan keuntungan sebagai komponen yang tidak dapat dicabut) seperti bekerja untuk Tuhan. Jika Anda bekerja di perusahaan yang mencari keuntungan, Anda bertanggung jawab kepada Tuhan untuk membantu menghasilkan keuntungan.

Tetapi jika keuntungan adalah kewajiban kepada Tuhan, maka orang Kristen berkewajiban untuk mengejar keuntungan yang saleh. Sebagai pengikut Yesus, kita berhutang kepada perusahaan kita untuk melakukan pekerjaan dengan baik - rencana penjualan yang dijalankan dengan benar, pekerjaan pembingkaian yang kokoh, atau apa pun produk kerja kita. Para majikan harus belajar untuk mengharapkan hal itu dari kita. Selain itu, sebagai pengikut Yesus, kita tidak boleh memberikan pernyataan lingkungan yang salah kepada perusahaan kita, tidak boleh menyesatkan karyawan atau mengambil keuntungan dari ketidaktahuan mereka, dan tidak boleh menutupi masalah kontrol kualitas. Para pemberi kerja juga mengharapkan hal itu dari kita. Apa yang membuat kita menjadi pekerja yang baik dan produktif, yang setia kepada perusahaan kita, juga membuat kita menjadi pekerja yang jujur dan berbelas kasihan, yang berkomitmen kepada Tuhan.

Pengharapan Perjanjian (Yehezkiel 35-48)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Teologi Yehezkiel tentang pekerjaan tidak akan lengkap jika tidak ditempatkan dalam konteks pemulihan masa depan yang disinggung di sepanjang kitab ini. Perjanjian antara Allah dan Israel tampaknya telah dilanggar oleh kegagalan Israel untuk memenuhi kewajibannya. Namun, Allah akan memulihkan Israel dan menggenapi janji-janji-Nya ketika Israel kembali kepada-Nya. Penggenapan ini secara klimaks dinyatakan dalam nubuat-nubuat pemulihan dan bagian bait suci yang baru dalam kitab ini (pasal 35-48). Di sini pembaca melihat gambaran yang lebih menyeluruh tentang masa depan yang harus diberitakan oleh orang-orang buangan yang setia di masa kini melalui kehidupan yang benar dan tanggung jawab bersama.

Janji akan seorang gembala keturunan Daud di masa pemulihan di masa depan melekat pada "perjanjian damai" Allah dengan Israel (Yeh. 34:25) dan disebut sebagai "perjanjian yang kekal" (Yeh. 37:24-26). Yehezkiel menantikan hari ketika raja gembala yang agung ini akan mengantarkan berkat yang dijanjikan Allah bagi Israel dan, yang lebih penting lagi, menuntun mereka untuk memenuhi panggilannya sebagai "umat Allah."[1] Yehezkiel dengan jelas mengatakan bahwa Allah mengabulkan hal ini dengan memberikan mereka hati yang tidak terbagi dan roh yang baru untuk memenuhi hukum-hukumNya seperti yang diperintahkan-Nya dalam Yeh. 18:31 (lihat juga Yeh. 11:19-20; 36:26-28; 36:14; 39:29). Umat Allah akan diperlengkapi sepenuhnya untuk melakukan kehendak-Nya dan akan disucikan oleh kehadiran Allah di tempat kudus yang baru di tengah-tengah mereka (Yeh. 37:28). Yehezkiel menghabiskan sembilan pasal untuk memetakan bait suci yang baru ini untuk hari pemulihan dan penyembahan yang diperlukan (Yeh. 40-48). Mengingat adanya kesamaan yang erat antara Yehezkiel 38-48 dengan Wahyu 20-22, kita mungkin bertanya-tanya apakah penglihatan Yehezkiel mengantisipasi pemulihan bait suci secara harfiah, atau apakah hal ini menunjuk pada realitas yang lebih besar tentang Yerusalem Baru yang tidak memiliki bait suci, "karena bait sucinya adalah Tuhan, Allah yang Mahakuasa, dan anak domba itu" (Why. 21:22).

Sebagai orang Kristen, kita menaruh kepercayaan kita pada penggembalaan Kristus yang sempurna. Dialah yang tidak hanya menggenapi kebenaran individu, tetapi juga mengambil tanggung jawab penuh atas umat manusia dengan mencurahkan darah-Nya sendiri untuk kita. Dengan kematian dan kebangkitan Yesus, hari penggenapan perjanjian Yehezkiel telah tiba bagi orang Kristen. Tetapi hari itu belum selesai, dan perjanjian itu belum sepenuhnya digenapi. Yehezkiel mengajarkan kita bahwa ketika kita dipanggil ke tempat kerja, kita dipanggil untuk melakukan aktivitas yang benar dalam pengasingan sementara kita menghadapi tantangan yang melekat dalam menantikan penyempurnaan kerajaan Allah. Tuhan menuntut gaya hidup kebenaran individu dan tanggung jawab perusahaan yang mengindikasikan penggenapan perjanjian di masa depan. Dengan mengikuti jejak Yesus, kita dapat mulai menghidupi pemulihan masa depan Allah di tempat kerja saat ini.

Pengantar Kitab Daniel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mungkinkah seseorang bisa berkembang di tempat kerja sambil mengikut Allah? Orang-orang di berbagai lapangan pekerjaan menghadapi pertanyaan ini setiap hari, dan banyak yang merasa sangat kesulitan sehingga mereka tergoda untuk menyerah. Daniel, tokoh utama dalam Kitab Daniel, menghadapi pertanyaan yang sama dalam situasi yang ekstrem, sehingga bisa memberikan contoh yang mungkin berguna di tempat kerja pada abad ke-21. Setelah umat Allah ditaklukkan oleh kekaisaran Babel, dia ikut diasingkan dari Yerusalem dan harus hidup di dalam lingkungan yang begitu menentang Allah Yang Maha Tinggi. Namun, keadaan malah membawanya menduduki sebuah posisi strategis untuk melayani raja Babel. Haruskah ia mengundurkan diri dari pemerintahan Babel yang korup dan najis lalu menjalani kehidupan yang berkenan kepada Allah di pelosok negeri di antara orang-orang Yahudi lainnya? Haruskah ia membatasi imannya menjadi hal pribadi semata, mungkin berdoa kepada Allah dengan sembunyi-sembunyi, sambil menjalani kehidupan di bawah kekuasaan dan pengaruh Babel dan menjadi sama dengan orang-orang di sekitarnya? Daniel tidak memilih keduanya. Sebaliknya, ia menjalani karirnya yang menjanjikan sambil terus menunjukkan kesetiaan kepada Allah. Kisah tentang bagaimana Daniel mengarungi lingkungan yang penuh ancaman merupakan panduan dan contoh pembelajaran bagi orang-orang Kristen di tempat kerja pada masa kini.

Gambaran Besar Kitab Daniel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Daniel bisa cukup membingungkan. Isinya dimulai dengan cukup sederhana di mana Daniel dan teman-temannya menghadapi tekanan untuk mengikuti kesenangan dan kemaksiatan di dalam istana kerajaan Babel. Dia harus menghadapi para atasan yang menyulitkan, membuat pilihan-pilihan moral, dan berurusan dengan rekan-rekan kerja yang kompetitif. Namun, narasi kitab ini secara bertahap menjadi semakin aneh dengan kemunculan berbagai mimpi, penglihatan, dan nubuatan. Di bagian tengah (pasal 7), kitab ini menjadi sangat apokaliptik, menunjukkan kebangkitan dan kejatuhan raja-raja dan kerajaan-kerajaan di masa mendatang, melalui gambaran berupa berbagai kejadian dan makhluk aneh.[1] Bagian dengan genre apokaliptik ini sulit untuk ditafsirkan, namun tetap dapat memberikan beberapa pemikiran untuk memahami makna pekerjaan kita. Secara keseluruhan, sama seperti kitab Wahyu — sebuah kitab apokaliptik lain dalam Alkitab — kitab Daniel menyediakan banyak materi pemikiran yang berharga dan relevan untuk dunia kerja.

Kitab Daniel memiliki struktur yang bisa digunakan untuk menguraikan maknanya bagi dunia kerja. Struktur itu disebut dengan “nested parallelism” (dalam istilah teknisnya, kiasme). Struktur ini meliputi beberapa tema yang diperkenalkan dengan urutan ABC..., yang nantinya ditinjau ulang dengan urutan terbalik, membentuk struktur seperti ini:

  • Tema A, Bagian 1
    • Tema B, Bagian 1
      • Tema C, Bagian 1

      • Tema C, Bagian 2

    • Tema B, Bagian 2

  • Tema A, Bagian 2

Untuk membantu pembaca mengikuti masing-masing Tema yang ada, penulis menyoroti elemen-elemen paralel di kedua Bagian pada setiap tema. Contohnya, Tema A dalam kitab Daniel terdiri dari elemen penglihatan di Bagian 1 dan penglihatan yang muncul secara paralel di Bagian 2, sementara Tema B menunjukkan elemen penderitaan di Bagian 1 dan elemen penderitaan lain di Bagian 2.

Struktur seperti ini umum ditemukan di banyak kitab dalam Alkitab. Dalam kitab Daniel, Bagian 1 ditulis secara relatif sederhana. Bagian 2 dari setiap tema memang lebih sulit dimengerti, tetapi dengan merujuk kembali ke Bagian 1 dari tema tersebut, akan lebih mudah untuk bisa memahaminya. Kitab Daniel dimulai dengan pasal satu sebagai pengantar dan diikuti oleh elemen-elemen paralelnya:

A. Visi tentang bagaimana di masa depan kerajaan-kerajaan kafir akan digulingkan dan digantikan oleh pemerintahan Allah (pasal 2)

B. Baik penderitaan maupun upah, akan diterima para saksi Allah yang setia selama masa-masa itu (pasal 3)

C. Perendahan diri/penggulingan raja kafir (pasal 4)

C. Perendahan diri/penggulingan raja kafir (pasal 5)

B. Baik penderitaan maupun upah, akan diterima para saksi Allah yang setia selama masa-masa itu (pasal 3)

A. Visi tentang bagaimana di masa depan kerajaan-kerajaan kafir akan digulingkan dan digantikan oleh pemerintahan Allah (pasal 7-12)

Struktur ini membantu memperjelas gambaran besar kitab Daniel. Allah akan datang untuk menggulingkan kerajaan-kerajaan kafir yang penuh kebusukan dan keangkuhan tempat di mana umat Allah hidup dalam pembuangan. Meskipun umat-Nya sedang mengalami penderitaan, kesetiaan mereka dalam melewatinya adalah salah satu sarana bagi kuasa Allah untuk bertindak. Hal inilah yang tak mereka sangka memberikan mereka kemampuan untuk berkembang pada saat itu, harapan yang cerah akan masa depan, dan peran yang berarti untuk dijalani baik demi menjaga kelangsungan hidup saat itu maupun demi tergenapinya janji di masa depan. Kita akan mengeksplorasi berbagai implikasi dan aplikasi dari gambaran besar ini bagi orang Kristen di tempat kerja pada masa kini. Untuk melakukannya, kita akan melihat bagaimana masing-masing dari keenam elemen paralel yang diuraikan di atas disusun ke dalam tema besar.

Pendahuluan: Dalam Pembuangan di Babel (Daniel 1)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Daniel dibuka dengan bencana yang mengakhiri kerajaan Yahudi. Nebukadnezar (605-562 SM), raja Babel, telah menaklukkan Yerusalem, menggulingkan rajanya, dan menawan sejumlah keturunan raja serta para pemuda keturunan bangsawan. Sesuai kebiasaan zaman kuno di Timur Dekat saat itu, Nebukadnezar memastikan untuk melampiaskan amarahnya kepada dewa-dewa (atau, dalam hal ini, kepada Allah) yang disembah oleh bangsa yang telah ditaklukkan, dengan cara menjarah bait suci dan memakai harta karun di dalamnya untuk menjadi hiasan di dalam rumah ibadah untuk ilah yang ia sembah (Dan. 1:1-3). Dari sini kita tahu bahwa Nebukadnezar bukan hanya merupakan musuh bagi bangsa Israel, tetapi juga bagi Allah mereka.

Di antara para pemuda yang ditawan ada Daniel dan teman-temannya, Hananya, Misael dan Azarya. Keempatnya dipilih untuk mengikuti program khusus, berdasarkan usia yang masih muda, bakat, dan penampilan, dan menjalani pelatihan bagi posisi kepemimpinan di kerajaan (Dan. 1:4-5). Hal ini memberikan sebuah kesempatan sekaligus tantangan. Kesempatannya adalah untuk membangun kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri di negeri yang penuh marabahaya, dan mungkin untuk menghadirkan kuasa dan keadilan Allah di negara baru mereka. Nabi Yeremia mendorong orang-orang Yahudi yang dalam pembuangan untuk melakukan hal itu:

Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel, kepada semua orang buangan yang Kuangkut ke pembuangan dari Yerusalem ke Babel: Dirikanlah rumah dan tempatilah; buatlah kebun dan nikmatilah hasilnya. Ambillah istri dan perolehlah anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah istri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan; bertambah banyaklah di sana dan jangan berkurang! Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana Aku membuangmu, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya kesejahteraanmu. (Yeremia 29:4-7).

Tantangan yang dihadapi Daniel dan rekan-rekannya adalah tuntutan untuk berasimilasi dengan mengorbankan kesetiaan kepada Allah dan bangsa mereka. Cabang-cabang ilmu yang mereka pelajari mungkin mencakup astrologi, studi tentang isi perut hewan, ritual penyucian, pengorbanan, mantera, pengusiran setan, serta berbagai bentuk ramalan dan sihir lainnya.[1] Bagi orang-orang Yahudi yang taat dalam iman mereka, semua itu adalah kejijikan seperti halnya beberapa subyek yang dipelajari di universitas sekuler saat ini juga mungkin menjijikkan bagi orang-orang Kristen moderen. Selain itu, Daniel dan teman-temannya harus rela mengubah nama mereka yang sebelumnya menyatakan kesetiaan mereka kepada Allah (elemen "el" dan "iah"). Meskipun demikian, Daniel dan rekan-rekannya menerima tantangan tersebut, dengan keyakinan bahwa Allah akan melindungi iman dan kesetiaan mereka. Mereka mengikuti pendidikan di Babel, tetapi menetapkan batasan-batasan untuk menjaga agar tidak terbaur ke dalam budaya kafir bangsa yang menawan mereka. Daniel menolak pola makan mewah yang diwajibkan bagi semua peserta pelatihan, supaya dia tidak "menajiskan dirinya" (Daniel 1:8).

Tidak ada keterangan yang jelas tentang apa yang mereka tolak dari pola makan tersebut. [2] Pengaruh tradisi budaya terhadap pola makan sangat kuat, terutama bagi orang Yahudi yang aturan makanannya sangat membedakan mereka dari bangsa-bangsa di sekitarnya (Imamat 11; Ulangan 14). Mungkin menjaga pola makan menjadi pengingat bagi Daniel setiap hari untuk menjaga kesetiaannya kepada Tuhan. Atau mungkin untuk menunjukkan bahwa keunggulan fisiknya bergantung pada perkenanan Allah dan bukan pada pola makan raja.

Cara Daniel berkolaborasi dengan pengawasnya merupakan bagian penting dari kisah ini. Sebagian orang Kristen, ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani mereka, akan memilih untuk menurut tanpa berpikir kritis atau malah bersikap konfrontatif supaya tampak "lebih suci". Daniel menemukan jalan ketiga, yaitu memahami bahwa pengawasnya yang bersimpati kepadanya, berada dalam posisi yang sulit. Jika Daniel dan teman-temannya menjadi lemah karena kualitas makanan yang lebih rendah —dan di mata pengawasnya, sayuran dan air tampak kurang bermutu dibandingkan santapan lezat dan anggur— pengawasnya tidak hanya akan kehilangan pekerjaannya, tetapi juga nyawanya (Dan. 1:10). Jadi, Daniel meminta agar diadakan evaluasi --beri kami waktu sepuluh hari, dan jika kami tidak lebih sehat daripada yang lain, kami akan mengalah dan mengikuti pola makanmu. Ketika Daniel dan teman-temannya, setelah sepuluh hari dievaluasi, ditemukan dalam keadaan lebih sehat daripada yang lain, semua pemuda lain diatur untuk mengikuti pola makan Daniel, yang tentu membawa gesekan berikutnya di tempat kerja antara Daniel dan para pelajar lainnya di Babel.

Pada dasarnya, pembahasan tentang pola makan Daniel menyoroti sesuatu yang lebih mendalam: Allah memiliki andil dalam semua peristiwa yang terjadi baik di dalam hidup Daniel maupun Nebukadnezar, di Babel, dan di setiap bangsa. Pasal 1 mencerminkan hal ini sejak awal dengan menyatakan, "TUHAN menyerahkan Yoyakim, raja Yehuda" (Dan. 1:2) dan "Daniel dikaruniai Allah kasih sayang dan kemurahan hati dari permimpin pegawai istana" (Dan. 1:9). Daniel dan teman-temannya mengalami kemajuan fisik yang lebih baik daripada semua pemuda, bukan karena kejeniusan atau pola makan mereka, melainkan karena "Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai sastra dan hikmat" (Dan. 1:17). Pelatihan yang diterima Daniel dari para ahli yang ditugaskan raja dampaknya jadi lebih hebat oleh karena hikmat dari Allah, karena "Dalam setiap hal yang memerlukan kebijaksanaan dan pengertian, yang ditanyakan raja kepada mereka, didapatinya bahwa mereka sepuluh kali lipat lebih cerdas daripada semua ahli ilmu gaib dan semua tukang jampi di seluruh kerajaannya" (Dan. 1:20). Pola seperti ini ada di sepanjang kitab Daniel karena berulang kali terjadi peristiwa demi peristiwa yang menunjukkan keunggulan hikmat Daniel —dan yang lebih penting lagi, menunjukkan kuasa Allah yang dia sembah— di atas hikmat dan kuasa bangsa-bangsa yang kafir dan raja-raja mereka (Dan. 5:14; 11:33-35; 12:3, 10). Demikian jugalah para pelajar pada masa kini perlu berpikir lebih jauh di luar kurikulum pelajaran, dan meminta Allah untuk memberi mereka wawasan tentang apa yang mereka pelajari.

Orang-orang Kristen di berbagai tempat kerja saat ini mengalami hal yang serupa dengan Daniel dan teman-temannya selama ada di pusat pendidikan Babel. Tidak ada cara untuk menghindari tempat kerja sekuler selain membatasi diri di dalam komunitas terpencil atau memilih untuk bekerja di lembaga-lembaga Kristen seperti gereja dan sekolah-sekolah Kristen. Banyak tempat kerja sekuler (tetapi tentu saja tidak semua) menawarkan berbagai kesempatan untuk keuntungan pribadi, seperti gaji yang baik, keamanan kerja, prestasi dan status profesional, kondisi kerja yang nyaman serta pekerjaan yang menarik dan kreatif. Pada dasarnya semua itu baik, tetapi sekaligus juga menawarkan kepada kita dua godaan yang berbahaya:

1) bahaya menjadi begitu terpikat kepada kesenangan material sehingga kita enggan mengambil risiko demi mempertahankan keinginan Allah atas kita; dan

2) bahaya rohani di mana kita percaya bahwa semua hal baik itu adalah hasil dari jerih payah atau kepintaran kita sendiri, atau hasil dari pelayanan kita kepada kuasa lain apa pun di luar Allah.

Selain itu, tempat kerja sering kali mengakomodir perilaku-perilaku tidak baik seperti penipuan, prasangka buruk, penganiayaan terhadap orang miskin dan tidak berdaya, melayani keinginan yang tidak baik, mengambil keuntungan dari orang lain yang sedang berkekurangan, dan masih banyak lagi. Di zaman kita seperti halnya di zaman Daniel, sulit untuk mengetahui hal-hal mana yang baik dan mana yang buruk. Apakah baik (atau setidaknya dapat diterima) di mata Allah bagi Daniel dan teman-temannya untuk mempelajari astrologi? Dapatkah mereka belajar menggunakan pengetahuan tentang langit tanpa terjerat oleh takhayul yang melingkupinya? Apakah baik bagi orang Kristen untuk mempelajari ilmu pemasaran? Dapatkah kita belajar untuk menggunakan pengetahuan tentang perilaku konsumen tanpa terjebak dalam praktik periklanan yang menipu atau promosi yang eksploitatif? Kitab Daniel memang tidak memberikan panduan khusus, tetapi menawarkan beberapa perspektif yang penting:

  • Orang Kristen dapat mengikuti pendidikan, bahkan jika pendidikan itu diselenggarakan oleh pihak yang tidak berlandaskan pada iman Kristen.

  • Orang Kristen dapat bekerja di lingkungan kerja yang non-Kristen dan bahkan tidak ramah, selama memiliki langkah-langkah perlindungan diri yang sesuai.

  • Orang Kristen yang bekerja atau belajar di lingkungan non-Kristen atau anti-Kristen harus berhati-hati supaya tidak gegabah dan terasimilasi ke dalam budaya sekitarnya.

Perlindungan diri yang dimaksudkan di atas meliputi:

  • Terus berdoa dan bersekutu dengan Allah. Daniel berdoa tiga kali sehari sepanjang karirnya (Dan. 6:10) dan dengan komitmen khusus selama masa-masa sulit dalam pekerjaannya (Dan. 9:3-4, Dan. 9:16-21). Berapa banyak orang Kristen yang benar-benar berdoa secara spesifik untuk kehidupan pekerjaan mereka? Kitab Daniel terus menerus menunjukkan bahwa Allah peduli dengan detail-detail spesifik dari pekerjaan sehari-hari.

  • Keteguhan untuk menunjukkan pernyataan iman yang konkret, meskipun bukan merupakan sebuah keharusan. Daniel menghindari santapan dan anggur mewah dari raja yang bisa menodai kesetiaannya kepada Allah. Kita bisa memperdebatkan apakah praktik ini diwajibkan oleh Allah secara universal, tetapi kita tidak dapat menyangkal bahwa iman yang hidup ditunjukkan dengan membuat batasan-batasan dalam hidup sebagai perwujudan iman tersebut. Chick-fil-a (restoran cepat saji di Amerika Serikat yang dibangun berdasar prinsip kristiani) menetapkan batasan untuk tidak beroperasi pada hari Minggu. Banyak dokter Katolik tidak bersedia meresepkan kontrasepsi artifisial. Ada orang Kristen yang meminta izin dengan hormat kepada rekan-rekan mereka untuk mendoakan mereka. Tak satu pun dari semua itu dapat dianggap sebagai persyaratan universal, dan tentu semuanya dapat diperdebatkan oleh sesama orang Kristen. Namun, setiap sikap tersebut membantu mereka yang mempraktikkannya untuk menyatakan iman secara terus-menerus kepada publik, supaya mereka tidak lambat laun berbaur dan menjadi sama dengan dunia.

  • Secara aktif bergaul dan saling memberi pertanggungjawaban dengan sesama orang Kristen dalam bidang pekerjaan yang sama. "Atas permintaan Daniel, raja menyerahkan pemerintahan wilayah Babel kepada Sadrakh, Mesakh dan Abednego, sedangakan." (Dan. 2:49). Namun, hanya sedikit orang Kristen yang memiliki tempat untuk saling berbagi keresahan, pertanyaan, keberhasilan dan kegagalan dengan orang-orang lain di bidang pekerjaan yang sama dengan mereka. Bagaimana para pengacara dapat belajar bagaimana menerapkan iman ke dalam hukum, kalau tidak melalui diskusi yang teratur dan disengaja dengan para pengacara Kristen lainnya? Demikian juga bagi para insinyur, pengrajin, petani, guru, orang tua, manajer pemasaran, dan setiap panggilan pekerjaan lainnya. Menciptakan dan memelihara kelompok-kelompok seperti ini ini adalah salah satu kebutuhan besar yang sering tidak terpenuhi bagi orang-orang Kristen di tempat kerja.

  • Membina hubungan yang baik dengan orang-orang tidak beriman di tempat kerja. Allah membuat pemimpin pegawai istana yang mengawasi makanan Daniel berbaik hati dan bersimpati kepada Daniel (Dan. 1:9). Daniel bekerja sama dengan Allah ketika ia menghormati pemimpin pegawai istana tersebut dan memperhatikan kesejahteraannya (Dan. 1:10-14). Orang Kristen terkadang seolah berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi dan menghakimi rekan kerjanya, padahal perintah Allah adalah, "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam damai dengan semua orang." (Roma 12:18). Salah satu kebiasaan yang sangat baik adalah berdoa secara khusus memohon berkat dari Allah untuk mereka yang bekerja bersama kita.

  • Menerapkan gaya hidup yang sederhana, supaya kita tidak terikat pada uang, gengsi, atau kekuasaan dan menjadi takut untuk mempertaruhkan pekerjaan atau karier saat ditekan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah, nilai, atau kebajikan Allah. Meskipun telah mencapai puncak pendidikan, kedudukan, dan kekayaan di Babel, Daniel dan teman-temannya selalu siap untuk kehilangan segalanya dengan hanya berbicara dan bertindak berdasarkan firman Allah (Dan. 2:24, 3:12, 4:20, 5:17, 6:10, 6:21).

Daniel berhasil melewati tantangan untuk berasimilasi ke dalam budaya Babel secara parsial, tanpa melakukan kompromi agama dan moral. Pertaruhannya sangat besar. Karier dan bahkan nyawa Daniel menjadi dipertaruhkan, seperti halnya nyawa kepala istana Babel, Aspenas (Dan. 1:10). Namun karena kasih karunia Allah, Daniel tetap tenang dan mempertahankan integritasnya. Bahkan musuh-musuh Daniel di kemudian hari mengakui bahwa, "mereka tidak mendapat alasan apa pun atau suatu kesalahan, sebab ia setia dan tidak ditemukan suatu kelalaian atau kesalahan padanya." (Dan. 6:5).

Tema A: Allah Akan Menumbangkan Kerajaan-Kerajaan Kafir dan Menggantinya dengan Kerajaan Milik-Nya (Daniel 2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Untuk penjelasan tentang tema-tema dan struktur kitab Daniel, lihat bagian "Gambaran Besar Kitab Daniel".

Setelah menjelaskan secara rinci situasi kehidupan yang dihadapi oleh Daniel dan teman-temannya, Kitab Daniel (dalam Daniel 2) memulai tema pertama dari ketiga tema yang membentuk struktur kiasme seperti telah dijelaskan di di atas ("Gambaran Besar Kitab Daniel"). Tema pertama adalah bahwa Allah akan menggulingkan kerajaan-kerajaan kafir dan menggantikannya dengan kerajaan milik-Nya.

Sementara Daniel hidupnya maju dan melayani Allah di tengah-tengah lingkungan yang penuh ancaman, Nebukadnezar mulai merasa tidak nyaman untuk memerintah negerinya sendiri, meskipun dengan kekuasaan yang tidak tertandingi. Ia sampai mengalami mimpi buruk akibat mengkhawatirkan keamanan kerajaannya. Dalam sebuah mimpi, Nebukadnezar melihat sebuah patung yang menjulang tinggi dan terdiri dari beberapa elemen yang terbuat dari berbagai macam logam. Patung yang sangat besar itu dihancurkan oleh sebuah batu, dan "menjadi seperti sekam di tempat pengirikan pada musim panas" dan "angin mengembuskannya, sehingga bekasnya pun tidak ditemukan," tetapi “batu yang yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi" (Dan. 2:35). Para penyihir, tukang sihir, dan ahli nujum Nebukadnezar tidak mampu menafsirkan mimpi itu (Dan. 2:10-11), tetapi karena kasih karunia Allah, Daniel mengetahui kedua mimpi raja –tanpa diberitahu diberitahu terlebih dahulu– termasuk penafsirannya (Dan. 2:27-28).

Kisah ini menunjukkan betapa kontrasnya keangkuhan Nebukadnezar dengan kerendahan hati dan ketergantungan Daniel kepada Allah. Nebukadnezar dan kerajaan Babel yang dikuasainya menjadi sebuah puncak keangkuhan. Menurut penafsiran Daniel, komponen-komponen logam yang sangat besar dari patung itu melambangkan kerajaan Babel dan kerajaan-kerajaan sesudahnya (Dan. 2:31-45).[1] Seruan para peramal kepada raja — "Ya Raja, kekallah hidupmu!" (Dan. 2:4) – menekankan tingkah raja yang merasa bahwa kekuatan dan keagungannya bersumber dari dirinya sendiri. Daniel pun memberikan dua pesan yang mengejutkan kepada raja:

  1. Kerajaanmu bukanlah hasil dari perbuatanmu sendiri. Sebaliknya, "kepada Tuanku Allah Semesta Langit telah memberikan kerajaan kekuasaan, kekuatan, dan kemuliaan" (Dan. 2:37). Jadi, semua kesombonganmu adalah kebodohan dan kesia-siaan.

  2. Kerajaanmu akan hancur. "Hal itu tepat seperti yang Tuanku lihat bahwa tanpa perbuatan tangan manusia sebuah batu terungkit lepas dari gunung dan meremukkan besi, tembaga, tanah liat, perak, dan emaas itu. Allah Yang Maha Besar telah memberitahukan kepada Tuanku Raja apa yang akan terjadi di kemudian hari. Mimpi itu benar dan maknanya dapat dipercaya" (Dan. 2:44-45). Meskipun tidak akan terjadi pada masa hidupmu, tapi kehancuran itu akan membuat semua pencapaian, sehebat apa pun tampaknya, menjadi sia-sia.

Sebaliknya, kerendahan hati —yang selalu berpadanan dengan ketergantungan pada kuasa Allah— menjadi senjata rahasia Daniel untuk bisa berkembang. Kerendahan hati memungkinkannya untuk berkembang, bahkan dalam situasi yang sangat rawan di mana ia harus secara langsung menjelaskan kepada raja tentang ramalan akan hancurnya kerajaannya. Daniel menolak untuk mengandalkan kemampuan pribadinya. Hanya Allah yang memiliki kuasa dan hikmat: "Rahasia yang ditanyakan Tuanku Raja tidak dapat diberitahukan kepada Raja oleh orang bijaksana, tukang jampi, ahli ilmu gaib atau ahli nujum." (Dan. 2:27).

Hebatnya, sikap rendah hati itu menggugah raja untuk mengampuni —dan bahkan menerima— pesan Daniel yang terdengar kurang ajar itu. Dia siap untuk secara massal menghukum mati para ahli nujumnya, tetapi "sujudlah Raja Nebukadnezar dan menyembah Daniel" (Dan. 2:46) dan kemudian "menjadikannya penguasa atas seluruh wilayah Babel dan kepala semua orang bijaksana di Babel" (Dan. 2:48). Bahkan mulai tumbuh pengakuan kepada Yahweh di dalam diri Nebukadnezar. "Berkatalah raja kepada Daniel, "Sesungguhnya, Allahmu adalah Allah di atas segala ilah, dan Yang menyingkapkan rahasia-rahasia, sebab engkau dapat menyingkapkan rahasia itu." (Dan. 2:47).

Bagi orang-orang Kristen di tempat kerja pada masa kini, hal ini penting. Allah akan mengakhiri kesombongan, korupsi, ketidakadilan dan kekerasan di semua tempat kerja, walaupun belum tentu pada saat kita masih bekerja di sana. Hal ini menjadi sumber kelegaan sekaligus tantangan. Kelegaan, karena kita tidak bertanggung jawab untuk mengoreksi setiap kejahatan di tempat kerja kita, tetapi hanya untuk tetap setia sesuai lingkup peran kita, dan juga karena ketidakadilan yang mungkin kita alami di tempat kerja bukanlah hal yang mutlak akan terus ada dalam pekerjaan kita. Tantangan, karena kita dipanggil untuk menentang kejahatan di dalam lingkungan di mana kita punya pengaruh, seberapa besar pun kerugiannya atas karir kita. Daniel sangat ketakutan mengetahui beratnya pesan yang harus ia sampaikan kepada Nebukadnezar: "Jadi, ya Raja, kiranya Tuanku berkenan menerima nasihatku ini: Lepaskanlah diri Tuanku dari dosa dengan melakukan keadilan, dan dari kesalahan dengan menunjukkan belas kasihan kepada yang tertindas." (Dan. 4:27).

Inilah gambaran bagaimana penerapan Kitab Daniel dalam dunia pekerjaan kita bukan hanya mungkin untuk dilakukan, tapi juga bisa membahayakan. Terkadang kita menyadari bahwa untuk setia kepada Allah, kita harus menantang para pemegang kuasa. Namun, kemampuan kita untuk menangkap firman dari Allah, tidak sempurna seperti Daniel. Hanya karena kita merasakan sesuatu dengan kuat, bukan berarti hal itu sungguh berasal dari Allah. Oleh karena itu, jika Daniel saja bersikap rendah hati dalam melayani Tuhan, bayangkan betapa kita harus bersikap lebih rendah hati lagi. "Allah berkata kepada saya dalam mimpi bahwa saya akan dipromosikan menjadi lebih tinggi dari kalian semua," adalah perkataan yang lebih baik kita simpan untuk diri kita sendiri, tidak peduli seberapa kuat kita memercayainya. Lebih baik kita meyakini bahwa Allah sendiri yang akan memberitahukan kepada orang-orang di sekitar kita apa pun yang Dia ingin mereka ketahui, daripada mengarahkan kita untuk mewakili-Nya memberitahukannya kepada mereka.

Tema B: Penderitaan, Tapi Ada Imbalan, bagi Saksi-Saksi Allah yang Setia di Masa Depan (Daniel 3)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Untuk penjelasan tentang tema-tema dan struktur kitab Daniel, lihat bagian "Gambaran Besar Kitab Daniel".

Dengan anugerah Allah, kerendahan hati Daniel memberikannya keberhasilan di istana Nebukadnezar, bahkan pada masa ketika Allah akan meruntuhkan kerajaan itu. Justru di tengah keberhasilan itu, Daniel dan teman-temannya akan menderita akibat bangkitnya keangkuhan Nebukadnezar. Tidak seperti dalam pasal pertama dan kedua kitab Daniel, dalam pasal ketiga dijelaskan bahwa kesetiaan mereka kepada Allah menyebabkan mereka menderita. Namun, di tengah-tengah penderitaan sekalipun, Allah memberikan imbalan atas kesetiaan mereka.

Untuk sebentar saja, Nebukadnezar tampak seperti bersedia untuk meninggalkan keangkuhannya, menundukkan diri kepada Allah dan membiarkan kerajaannya digulingkan oleh kuasa Allah. Namun, sayangnya, mimpi yang sama yang membuat Nebukadnezar mengenal adanya kuasa Allah atas Daniel, sepertinya juga mendorong sang raja untuk membangun patung emas yang ia tuntut untuk disembah oleh seluruh rakyatnya (Dan. 3:1, 5-6). Patung itu menandakan bangkitnya keangkuhan raja Babel. Ukurannya sangat besar (90 kaki atau hampir 30 meter) dan dibangun di atas "dataran Dura" sehingga patung itu tampak sangat menonjol (Dan. 3:1).

Para peramal raja yang sudah dipermalukan melihat kesempatan untuk membalas dendam kepada Daniel. Mereka memanfaatkan momen bangkitnya keangkuhan sang raja dan menuduh teman-teman Daniel telah bersalah karena tidak menyembah patung itu (Dan. 3:8-12). Teman-teman Daniel tanpa ragu mengaku bersalah dan tetap menolak untuk menyembah patung tersebut, meskipun raja mengancam akan melemparkan mereka ke dalam perapian yang menyala-nyala (Dan. 3:13-18). Setelah bertahun-tahun berhasil menjembatani ketegangan antara lingkungan istana Babel yang kafir dan kesetiaan mereka kepada Tuhan, mereka dihadapkan pada situasi di mana tidak mungkin berkompromi tanpa melanggar integritas mereka. Sebelumnya, mereka menjadi teladan tentang bagaimana bisa berkembang sambil mengikut Allah dalam lingkungan yang penuh marabahaya. Sekarang, mereka harus menjadi teladan tentang bagaimana menderita di lingkungan yang sama. Hal ini pun mereka lakukan dengan berapi-api.

Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab raja Nebukadnezar, "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada Tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya Raja. Tetapi, seandainya tidak, hendaklah Tuanku mengetahui, ya Raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa Tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang Tuanku dirikan itu." (Dan. 3:16-18).

Saat ini, setidaknya di belahan dunia barat, orang-orang Kristen jarang menghadapi ancaman yang seekstrem itu di tempat kerja mereka. Namun, kita semua bisa saja diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani kita. Atau, besar kemungkinan bahwa suatu hari kita akan terbangun dan sadar bagaimana kita telah mengorbankan kehendak Allah demi pekerjaan kita dan menggantikannya dengan berbagai tujuan yang kita kejar, kekuasaan yang kita gunakan, hubungan yang kita salah gunakan atau kompromi yang kita buat. Apapun itu, akan tiba waktunya saat kita tahu bahwa kita harus melakukan perubahan radikal, seperti berkata, "Tidak," dipecat, mengundurkan diri, melaporkan pelanggaran, atau membela orang lain. Kita harus siap untuk menderita karena semua itu. Walaupun kita memang sedang melakukan kehendak Allah, kita tidak seharusnya menuntut Allah untuk meluputkan kita dari konsekuensi yang diberikan oleh mereka yang berkuasa. Bekerja sebagai orang Kristen bukanlah jalan pintas menuju kesuksesan karena malah akan terus-menerus membawa penderitaan.

Penggalan kisah ini sangat menyentuh karena menunjukkan bahwa Daniel dan teman-temannya hidup di dunia yang sama dengan kita. Di dunia kita, jika Anda melawan pemimpin kita tentang berbagai masalah, misalnya, pelecehan seksual atau pemalsuan data, hasil akhir yang paling mungkin terjadi adalah Anda akan dihukum, dipinggirkan, dinodai, disalahpahami, dan mungkin dipecat. Kalaupun Anda berhasil mengakhiri pelecehan dan menyingkirkan pelaku dari kekuasaan, reputasi Anda sendiri mungkin menjadi rusak sampai tidak dapat diperbaiki. Sangat sulit untuk membuktikan bahwa Andalah yang benar, dan orang-orang sangat enggan untuk terlibat, sehingga institusi lebih memilih untuk melindungi diri dengan cara menyingkirkan Anda beserta pelaku yang sebenarnya. Sadrakh, Mesakh dan Abednego pun rupanya mengerti bagaimana hal seperti itu bisa terjadi kepada mereka sendiri, karena mereka mengatakan dengan tegas bahwa Allah bisa saja tidak campur tangan dalam kasus mereka. "Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, Ia akan melepaskan kami... Tetapi, seandainya tidak, hendaklah Tuanku mengetahui, ya Raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa Tuanku..." (Dan. 3:17-18). Meskipun demikian, bagi mereka, setia kepada Tuhan adalah hal yang benar untuk dilakukan, terlepas dari apakah itu jalan menuju kesuksesan atau tidak.

Dalam hal ini, mereka menjadi teladan bagi kita. Kita perlu belajar untuk mengatakan kebenaran secara jelas, dengan kerendahan hati, di tempat kerja kita sendiri. Jenderal Peter Pace, mantan Kepala Staf Gabungan militer Amerika Serikat, mengatakan, "Saya semakin mengagumi apa yang disebut sebagai keberanian intelektual. Kemampuan untuk duduk di ruangan yang penuh dengan orang-orang yang sangat berkuasa, lalu melihat arah pembicaraan yang terjadi dan merasakan di dalam hati bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan memiliki keberanian untuk mengatakan, 'Saya melihatnya secara berbeda, dan inilah alasannya'."[1] Pada praktiknya, keberanian sering kali muncul karena adanya persiapan. Teman-teman Daniel mengetahui bahaya yang melekat pada posisi mereka, dan mereka siap untuk menghadapi konsekuensi akibat berdiri teguh dalam keyakinan mereka. Kita harus mengetahui batasan-batasan etika yang ada di tempat kerja kita dan memikirkan jauh-jauh hari tentang apa yang akan kita lakukan jika diminta untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan firman Allah. "Anda perlu mengetahui di depan, apa saja kondisi-kondisi di mana sebaiknya Anda memutuskan untuk 'keluar' serta berlatih menyampaikan pesan pengunduran diri Anda untuk setiap pekerjaan yang Anda ambil," demikianlah nasihat seorang profesor dari Harvard Business School. "Jika tidak, Anda akan terbuai untuk melakukan hampir semua hal, selangkah demi selangkah."[2]

Tema C: Perendahan Diri dan Penggulingan Raja Kafir (Daniel 4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Daniel 4 dan Daniel 5 harus dibaca secara bersamaan sebagai sebuah kiasme, di mana pasal 4 memperkenalkan Tema C, dan pasal 5 mengulanginya (lihat "Gambaran Besar dalam Kitab Daniel" untuk penjelasan tentang tema-tema dan struktur kitab Daniel). Topik dari keduanya adalah tentang direndahkannya atau digulingkannya kerajaan kafir. Kemegahan Babel menjadi latar belakang baik bagi penghinaan Nebukadnezar dalam pasal 4 dan kematian Raja Belsyazar dalam pasal 5.

Dalam pasal 4, baik kemegahan Babel maupun keangkuhan raja mencapai puncaknya. Namun sekali lagi, sang raja terganggu oleh mimpi-mimpi. Dia melihat sebuah pohon besar yang "tingginya sampai ke langit" (Dan. 4:11), yang menyediakan buah dan tempat berlindung bagi semua binatang. Namun, atas perintah dari "seorang penjaga, seorang kudus, turun dari langit" (Dan. 4:13), pohon itu ditebang dan binatang-binatang itu tercerai berai. Dalam mimpi itu, tunggul pohon itu menjadi seorang manusia yang pikirannya berubah menjadi pikiran binatang dan yang dikekang untuk hidup di antara binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan untuk waktu yang lama (Dan. 4:13-16). Raja memerintahkan Daniel untuk menafsirkan mimpi tersebut, sehingga sekali lagi Daniel harus menyampaikan berita yang tidak menyenangkan kepada raja yang secara emosional sedang tidak stabil (Dan. 4:18-19). Tafisarannya adalah bahwa pohon tersebut melambangkan Nebukadnezar sendiri, yang akan dihukum karena keangkuhannya dengan cara dibuat menjadi gila lalu hidup seperti binatang buas hingga “Tuanku mengakui bahwa Yang Maha Tinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya" (Dan 4:25). Meskipun sudah mendapat peringatan keras, Nebukadnezar tetap bersikukuh dengan keangkuhannya, bahkan dengan sesumbar berkata, "Bukankah ini Babel yang besar, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?" (Dan. 4:30). Akibatnya, ia dihukum seperti telah dinubuatkan melalui mimpinya (Dan. 4:33).

Namun, sepertinya penafsiran Daniel yang konfrontatif kali ini membuat perbedaan, karena setelah sekian lama berada di padang gurun, raja akhirnya bertobat, memuliakan Allah, dan kewarasan serta kerajaannya dikembalikan kepadanya (Dan. 4:34-37). Pendirian Daniel tidak menggugah raja untuk meninggalkan keangkuhannya sebelum bencana terjadi, tetapi kemudian membuka pintu pertobatan dan pemulihan bagi raja setelah bencana selesai.

Kadang-kadang sikap kita yang penuh hormat dan berprinsip juga dapat membawa perubahan di tempat kerja kita. Seorang karyawan di sebuah firma konsultan manajemen internasional —sebut saja namanya Vince—menceritakan kisahnya ketika menghadapi seseorang yang terlalu merasa dirinya penting.[1] Vince ditugaskan untuk memimpin sebuah tim yang terdiri dari para karyawan muda yang menjanjikan di salah satu perusahaan yang menjadi klien mereka, yaitu sebuah perusahaan industri yang besar. Pada awal sebuah proyek, seorang mitra senior dari firma konsultan itu mulai memberikan semangat kepada tim. Salah satu anggota tim klien —sebut saja namanya Gary— menyela. Gary mulai mempertanyakan keabsahan proyek tersebut. "Sebelum kita memulai proyek ini," kata Gary, "Saya pikir kita harus mengevaluasi apakah perusahaan konsultan seperti Anda benar-benar memberikan nilai tambah bagi klien. Saya telah membaca beberapa artikel yang mengatakan bahwa studi semacam ini sepertinya tidak seberguna yang dibayangkan." Mitra senior tadi berhasil melanjutkan pembicaraannya, namun setelah itu ia berkata kepada Vince, "Keluarkan Gary dari tim." Vince —mengingat perintah Yesus untuk mengampuni saudara sebanyak tujuh puluh tujuh kali (Matius 18:22)— meminta izin untuk mendapat kesempatan untuk mencoba membuat Gary mengubah sikapnya. "Sepertinya tidak tepat untuk merusak kariernya hanya karena satu kesalahan saja, sebesar apa pun itu," katanya. "Kamu punya waktu dua minggu," jawab mitra senior tadi, "dan kamu juga mempertaruhkan dirimu sendiri." Atas anugerah Allah —menurut Vince— Gary akhirnya bisa melihat keabsahan proyek tersebut dan melibatkan dirinya untuk bekerja dengan sepenuh hati. Mitra senior menyadari perubahan tersebut dan, di akhir proyek, memilih Gary untuk menerima penghargaan khusus pada jamuan makan malam penutupan proyek. Sikap Vince membuat perbedaan bagi Gary dan perusahaannya.

Tema C - Tinjauan Ulang: Perendahan Diri dan Penggulingan Raja Kafir (Daniel 5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Untuk penjelasan tentang tema-tema dan struktur kitab Daniel, lihat bagian "Gambaran Besar Kitab Daniel".

Tema C, seperti yang diperkenalkan dalam pasal 5, berkaitan dengan raja yang kafir yang akan direndahkan, tetapi belum akan digulingkan. Tema ini ditinjau ulang dalam pasal 5 terkait kehancuran kerajaan Babel. Keberlimpahan Babel tidak memiliki banyak bandingan pada zaman kuno saat itu.[1] Kerajaan itu adalah benteng sangat kokoh yang memiliki dua tembok, tembok dalam dan luar, dengan tembok luar sepanjang 11 mil (lebih dari 17 km) dan setinggi 40 kaki (sekitar 12 m). Sebuah jalan raya yang dibuat untuk prosesi khusus mengarah ke pemandangan Gerbang Ishtar, salah satu dari delapan gerbang kota, yang menampilkan batu bata berwarna biru yang berkilauan. Kota ini memiliki sebanyak 50 kuil dan banyak istana. "Taman Gantung" yang ternama, yang keberadaannya diketahui berdasarkan catatan para sejarawan kuno, sempat menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Namun, setelah kematian Nebukadnezar yang punya bala tentara yang hebat pada tahun 562 SM, keruntuhan kota ini hanya memakan waktu 20 tahun. Raja Persia, Koresh (559-530 SM), merebut kota ini pada tahun 539 SM tanpa perlawanan yang berarti.

Perubahan penting dalam tatanan politik ini diceritakan melalui perspektif tentang apa yang terjadi di dalam istana dengan penguasa barunya saat itu, Belsyazar, tepatnya pada malam kejatuhan kota Babel.[2] Belsyazar, dalam sebuah perjamuan makan yang mewah, menajiskan piala-piala suci milik orang Yahudi yang dulu dijarah dari Bait Allah di Yerusalem, dan menghujat Tuhan saat perjamuan makan itu berubah menjadi pesta pora di mana semua orang menjadi mabuk. (Dan. 5:1-4). Kemudian, “Pada waktu itu juga tampaklah jari-jari tangan manusia menulis pada plester dinding" (Dan. 5:5). Belsyazar, penguasa penuh keangkuhan atas kerajaan Babel yang megah, sangat ketakutan dengan tulisan tangan di dinding itu sehingga wajahnya menjadi pucat dan lututnya bergetar (Dan. 5:6). Baik dia maupun para penyihir, ahli nujum, dan peramal tidak dapat memahami apa artinya (Dan. 5:7-9). Hanya Daniel yang dapat memahami pesan malapetaka itu: "Tuanku tidak memuliakan Allah, yang mengenggam napas Tuanku dan menentukan segala jalan Tuanku" (Dan. 5:23). "Tuanku ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan" (Dan. 5:27). "kerajaan Tuanku dipecah dan diberikan kepada orang Media dan Persia" (Dan. 5:28). Dan memang, "Pada malam itu juga Belsyazar, raja orang Kasdim itu, dibunuh..." (Dan. 5:30).

Pada akhirnya, Tuhan memang mengakhiri kerajaan yang jahat itu. Jadi, kemenangan Allah, bukannya kefektifan kita sebagai manusia, yang menjadi pengharapan besar umat Allah. Dengan segala cara, kita harus bertumbuh di tempat kita ditanam. Setiap kali ada kesempatan, kita bisa dan harus membuat perbedaan. Keterlibatan, bukan penarikan diri, adalah model yang kita lihat di setiap halaman Kitab Daniel. Namun, keterlibatan kita dengan dunia tidak didasarkan pada harapan bahwa kita akan mencapai tingkat kesuksesan tertentu, atau bahwa Allah akan membuat kita kebal dari penderitaan yang ada di sekitar kita. Keterlibatan kita didasarkan pada pengetahuan bahwa segala kebaikan yang terjadi di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa ini, hanyalah sebuah pendahuluan dari kebaikan yang tiada banding yang akan terjadi ketika Allah menggenapi kerajaan-Nya di muka bumi. Pada akhirnya, pertanyaan, "Di pihak siapakah kamu?" lebih penting daripada, "Apa yang telah kamu lakukan untuk Tuhan akhir-akhir ini?"

Tema B - Tinjauan Ulang: Penderitaan, tapi Ada Imbalan, bagi Saksi-Saksi Allah yang Setia (Daniel 6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Untuk penjelasan tentang tema-tema dan struktur kitab Daniel, lihat bagian "Gambaran Besar Kitab Daniel".

Dalam Daniel 6, struktur kiasmenya meninjau ulang Tema B: bahwa orang-orang yang setia kepada Allah akan mengalami penderitaan dan pahala pada saaat kerajaan kafir masih berkuasa. Pasal 6 menceritakan tentang konspirasi yang mengancam hidup Daniel, pada masa pemerintahan raja Persia, Darius Agung (522-486 SM). Kompetensi Daniel membuatnya dipromosikan menjadi penguasa atas seluruh kerajaan yang baru, dan ia tunduk hanya kepada sang raja saja (Daniel 6:3). Kemudian, sama seperti pada masa kini, ketika seseorang dipilih untuk menjadi bos bagi mantan rekan-rekannya, mereka yang tidak terpilih mungkin akan merasa kesal. Tidak diceritakan kepada kita bagaimana Daniel menghadapi situasi yang canggung itu, tetapi kita dapat melihat bagaimana respons dari mantan rekan-rekannya. Mereka berusaha memergoki Daniel pada saat-saat yang tidak baik supaya mereka dapat melaporkannya kepada Raja. Namun, mereka pun "tidak mendapat alasan apa pun atau suatu kesalahan, sebab ia setia dan tidak ditemukan suatu kelalaian atau kesalahan padanya." (Dan. 6:5).

Karena tidak berhasil mendapati Daniel membuat kesalahan, apalagi mereka tahu kebiasaannya untuk berdoa setiap hari kepada Allah yang dia sembah, para pesaing Daniel bersekongkol untuk mengeksploitasi ego Raja Darius. Mereka meyakinkan raja untuk mengeluarkan perintah bahwa selama 30 hari ke depan, tidak seorang pun boleh berdoa kepada dewa atau manusia manapun selain raja. Ganjarannya adalah hukuman mati di gua singa. Mereka yakin bahwa mereka telah menemukan jalan untuk menghancurkan Daniel. Ini menjadi sebuah pelajaran lain bagi para pemimpin - waspadalah ketika menerima sanjungan. Darius, yang terbuai oleh sanjungan, lalai untuk berkonsultasi dengan penasihat hukumnya sebelum memberlakukan perintah tersebut, sehingga terjadi situasi yang kemudian ia sangat ia sesali.

Perintah tersebut menjerat Daniel, yang terus berdoa kepada Allah (Dan. 6:10). Yang membuat Darius sangat tertekan, ia tidak dapat membatalkan perintah tersebut karena, menurut tradisi, "undang-undang orang Media dan Persia ... tidak dapat dicabut kembali" (Dan. 6:13). Darius, meskipun merupakan orang yang paling berkuasa pada zamannya, telah mengikat tangannya sendiri, sehingga tidak mungkin bisa menyelamatkan bawahan yang disayanginya. Raja dengan penuh harap berkata kepada Daniel, "Allahmu yang kausembah dengan setia, Dialah kiranya yang melepaskan engkau!" (Dan. 6:17). Malaikat Tuhan kemudian melakukan permohonan raja yang raja sendiri tidak mampu untuk lakukan. Daniel dilemparkan ke dalam gua singa di malam hari, tetapi keesokan paginya ia keluar tanpa luka (Dan. 6:17-23). Hal ini mendorong raja untuk mengeluarkan maklumat penghormatan kepada Allah Daniel dan menghapus ancaman pemusnahan bagi orang-orang Yahudi yang terus menyembah Allah (Dan. 6:26-27). Hukum keras orang Media dan Persia sekalipun tidak bisa mengakhiri keberadaan umat Allah. Kuasa Allah lebih berkuasa daripada tipu daya manusia dan perintah kerajaan.

Meskipun demikian, Daniel mengalami apa yang menurut sebagian besar dari kita merupakan penderitaan, di sepanjang hidupnya. Menjadi target dari upaya pembunuhan karakter yang diatur oleh orang-orang dalam pemerintahan (Dan. 6:4-6) pasti merupakan pengalaman yang melelahkan, sekalipun dia akhirnya dibebaskan. Belum lagi tindakannya yang, meskipun berani, membahayakan diri ketika secara terang-terangan menentang titah raja karena mengikuti hati nurani (Dan. 6:10-12). Daniel langsung ditangkap dan dilemparkan ke dalam gua singa (Dan. 6:16-17). Jangan sampai fakta bahwa Daniel terbebaskan (Dan. 6:21-23) membuat kita berpikir bahwa pengalaman itu tidak menyakitkan dan mengganggu sedikit pun. Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari kesetiaan Daniel kepada Allah:

  • Daniel tidak membatasi dirinya untuk hanya melakukan tugas-tugas yang ia yakini dapat diselesaikan dengan kekuatannya sendiri. Dilemparkan ke dalam gua singa bukanlah suatu kejadian yang bisa dilatih! Sebaliknya, ia melakukan pekerjaannya setiap hari dengan bergantung penuh kepada Allah. Daniel berdoa tiga kali sehari (Dan. 6:10). Dia mengakui Allah dalam setiap kesulitan yang dihadapinya. Demikianlah kita pun harus menyadari bahwa kita tidak dapat memenuhi panggilan kita dengan kekuatan kita sendiri.

  • Daniel melambangkan panggilan yang kelak Yesus berikan yakni untuk menjadi garam dan terang (Matius 5:13-16) di tempat kerja kita. Bahkan musuh-musuh Daniel pun harus mengakui, "Kita tidak akan menemukan alasan apa pun untuk mendakwa Daniel kecuali dalam halhukum Allahnya" (Dan. 6:6). Ini berarti bahwa ia mampu menghadapi berbagai situasi sulit dengan kebenaran, dan benar-benar membawa perubahan. Berkali-kali Daniel dan teman-temannya dengan penuh pertimbangan berdiri teguh dalam kebenaran dan membuat raja mengeluarkan perintah baru (Dan. 2:46-49; 3:28-30; 4:36-37; 5:29; 6:25-28).

  • Keberhasilan Daniel dalam membawa perubahan menunjukkan bahwa Allah peduli dengan masalah pemerintahan sehari-hari di dalam tatanan masyarakat yang bobrok. Hanya karena Allah bermaksud untuk pada akhirnya menggantikan rezim yang sedang berkuasa, bukan berarti Dia tidak mau membuat pemerintahan tersebut menjadi lebih adil, lebih berbuah, dan lebih berguna. Terkadang kita tidak melibatkan Allah dalam pekerjaan kita karena percaya bahwa pekerjaan kita tampak tidak penting bagi-Nya. Namun, Allah menganggap penting setiap keputusan yang kita buat, dan setiap orang yang bekerja perlu mengetahui hal ini. Pertanyaan yang bisa diajukan berdasarkan kitab Daniel kepada para pekerja adalah, "Kerajaan siapakah yang sedang kamu bangun?" Daniel melakukan yang terbaik melalui pekerjaannya untuk kerajaan-kerajaan di dunia, dan ia mempertahankan integritasnya sebagai warga kerajaan Allah. Pelayanannya kepada raja-raja kafir menjadi bentuk pelayanannya bag tujuan-tujuan Allah. Para pekerja Kristen harus bekerja dengan baik di dunia ini karena tahu tahu bahwa signifikansi dari pekerjaan kita ada di dan melampaui dunia ini.

Tema A – Tinjauan Ulang: Allah Akan Menumbangkan Kerajaan-Kerajaan Kafir dan Menggantinya dengan Kerajaan Milik-Nya (Daniel 7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Untuk penjelasan tentang tema-tema dan struktur kitab Daniel, lihat bagian "Gambaran Besar Kitab Daniel".

Pasal 7 membawa kita kembali ke tema pertama Kitab Daniel. Kelak, Allah akan menggantikan kerajaan-kerajaan jahat di dunia ini dengan kerajaan-Nya sendiri. Layaknya Daniel dan teman-temannya, dengan kasih karunia Allah, kita dapat menemukan cara untuk bertahan —dan bahkan mungkin untuk berkembang— sebagai orang dalam pembuangan di dunia ini, selama dalam penantian. Namun, pengharapan utama kita bukan disandarkan pada usaha untuk memanfaatkan situasi saat ini dengan sebaik-baiknya, tetapi pada antisipasi kita terhadap sukacita kerajaan Allah yang akan datang. Oleh karena itulah ketekunan menjadi sebuah sifat yang sangat penting. Kita harus bertekun sampai Kristus datang kembali untuk memperbaiki keadaan.

Ketekunan adalah sifat baik yang dijunjung tinggi dalam filsafat klasik dan dalam tradisi Yahudi-Kristen. Kadang-kadang kita menemukan sifat ini dikutip seperti dalam pengakuan Einstein, "Saya bukannya teramat pintar, melainkan tahan untuk lebih lama menghadapi setiap masalah." Perjanjian Baru juga menegaskan nilai dari sebuah ketekunan: "Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang mengasihi Dia." (Yakobus 1:12). Ketekunan dalam kehidupan orang percaya dilandaskan pada dan bersumber di dalam Tuhan Allah. Ini bukan masalah integritas atau kehormatan manusiawi. Ketekunan orang Kristen bertumpu pada kebenaran janji-janji perjanjian Allah yang kekal.

Mulai pasal ke-7, Kitab Daniel semakin jelas menunjukkan isi yang bergenre apokaliptik. Literatur apokaliptik adalah suatu jenis nubuat kenabian yang khusus menggambarkan peristiwa-peristiwa bencana di akhir zaman. Jenis literatur ini banyak ditemukan pada awal mula dunia sastra Yahudi dan Kristen. Beberapa ciri-cirinya adalah kaya akan simbolisme (pasal 7), mendeskripsikan pertempuran akhir antara yang baik dan yang jahat (Dan. 11:40-12:4) dan ada penerjemah surgawi yang menjelaskan makna penglihatan kepada sang nabi (Daniel 7:16, 23; 8:15; 9:21-23; 10:14). Sang nabi dinasihati untuk setia bertekun sampai penglihatan itu digenapi (Dan. 7:25-27; 9:24; 10:18-19; 12:1-4, 13). Bentuk sastra ini menonjolkan pesan penulisnya tentang ketekunan.

Pasal 7-12 menceritakan bagaimana Daniel menerima penglihatan-penglihatan yang menakutkan, yang ia laporkan sebagai kesaksian dari sudut pandang orang pertama. Hasil akhirnya adalah serangkaian nubuatan yang menggambarkan kesengsaraan umat Allah di tangan para pemimpin yang lalim, tetapi berakhir dengan jaminan kemenangan melalui sosok pembebas yang telah ditetapkan oleh Allah. Kitab ini diakhiri dengan nasihat kepada Daniel untuk terus bertekun. "Berbahagialah orang yang tetap menanti dan mencapai seribu tiga ratus tiga puluh lima hari. Tetapi, engkau, pergilah sampai tiba akhir zaman. Engkau akan beristirahat dan akan bangkit untuk mendapat bagianmu pada kesudahan zaman" (Dan.12:12-13).

Penindasan terhadap umat Allah adalah tema terus muncul dalam pasal-pasal ini (Dan. 7:21, 25; 9:26; 10:1). Penindas —yang ternyata menurut sejarah adalah Antiokhus IV Epifanes [1] — dideskripsikan secara surealis lewat berbagai gambaran yang mencekam. Dia adalah "tanduk kecil" yang kejam (Dan. 7:8), yang mendirikan "kejijikan yang membinasakan" (Dan. 9:27), dan "seorang yang hina" (Dan. 11:21) yang menolak ilah-ilah tradisional pujaan nenek moyangnya, lalu menjadikan dirinya sendiri sebagai ilah yang tertinggi. Kebencian yang sedemikian rupa terhadap umat Allah hanya akan mengejutkan bagi mereka yang tak pernah menghadapi rezim yang totaliter dan pertikaian sipil. Akan tetapi, demikianlah sebagian besar komunitas umat Kristen di dunia hari ini menderita berbagai tingkat penindasan - mulai dari pembatasan ekonomi dan pendidikan hingga pemenjaraan dan kemartiran. Sementara orang-orang Kristen di belahan dunia barat saat ini jarang menderita karena penindasan seperti itu. Walau demikian, orang-orang beriman di tempat kerja sering mengalami keterasingan, pelecehan dan, dalam beberapa kasus, kecaman atau pemecatan. Meskipun pilihannya tidak terlalu berat —bukan masalah hidup atau mati— keputusan yang harus diambil sifatnya serupa dengan yang dihadapi oleh orang-orang beriman di masa lalu. Apakah kita mengkompromikan keyakinan kita atau bertahan untuk bekerja sebagai seorang Kristen, meskipun mungkin akan mengakibatkan kerugian? Kehidupan dan nubuatan Daniel mendorong kita untuk berteguh dalam pengabdian kita. Paulus pun meminta para pengikutnya untuk berlaku sama ketika membicarakan tentang kebangkitan orang-orang kudus di masa depan, "Karena itu, Saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab, kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58).

Pesan peneguhan dari pasal 7 sampai pasal 12 bagi orang-orang yang bekerja memberikan jaminan bahwa akan ada penilaian akhir untuk memberi imbalan yang adil atas pekerjaan yang dengan setia kita lakukan selama kita hidup. Saat ini di dunia, pekerjaan yang baik tidak selalu dihargai sepadan dengan kontribusinya yang besar bagi masyarakat. Dalam banyak kasus, hasilnya bahkan tidak terlihat oleh mata kita. Daniel dan teman-temannya telah membalikkan hati para raja bukan hanya sekali melainkan berkali-kali. Namun, tidak lama kemudian raja-raja itu kembali ke diri mereka yang lama. Jadi di tempat kerja kita, peran kita sebagai garam dan terang bisa saja mencegah terjadinya kejahatan, tapi seringkali tidak akan menghasilkan perubahan yang permanen. Hal ini tidak berarti mengurangi tanggung jawab kita untuk menjadi garam dan terang, tetapi memang buah dari pekerjaan kita tidak akan sepenuhnya terlihat sampai nanti saat kerajaan Allah digenapi.

Kesimpulan dari Kitab Daniel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kitab Daniel memberikan gambaran yang penuh pengharapan tentang bagaimana umat Allah dapat bertahan dan bahkan berkembang dalam lingkungan yang penuh marabahaya, dengan tetap setia kepada Allah. Menurut Kitab Daniel, Allah sangat peduli pada keseharian dari setiap individu maupun masyarakat dalam dunia yang hancur ini. Allah ikut campur tangan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari, dan juga memberikan karunia-karunia ajaib kepada Daniel yang memungkinkan dia untuk berkembang di bawah rezim penindas. Namun, Kitab Daniel sama sekali tidak menjanjikan kesuksesan duniawi sebagai penghargaan atas kesetiaan dalam iman. Sebaliknya, kitab ini menjanjikan baik penderitaan maupun penghargaan akan dialami dalam kehidupan yang fana, dan dengan demikian menunjukkan bahwa kesetiaan dan integritas adalah dua kunci untuk menjalani hidup dengan baik, pada saat ini dan kelak dalam kerajaan Allah yang akan datang.

Daniel dan teman-temannya memberikan banyak contoh praktis bagi orang Kristen untuk diterapkan di tempat kerja: terlibat dalam praktik kebudayaan, mengadopsi kebiasaan-kebiasaan hidup yang membangun kesetiaan dan kebajikan, berbagi dalam persekutuan dengan sesama rekan kerja Kristen, memilih gaya hidup yang sederhana, menjalin persahabatan dengan orang-orang yang tidak beriman, menunjukkan kerendahan hati yang tulus, mengambil sikap sesuai prinsip dalam berbagai situasi di tempat kerja, menghadapi tantangan yang kita tahu tidak dapat kita hadapi tanpa pertolongan Allah, membawa garam dan terang ke tempat kerja kita, bekerja dengan sangat baik dan tekun dalam setiap penugasan kita, mengantisipasi penderitaan yang muncul akibat setia dalam iman Kristen di tempat kerja, dan bertekun sampai Allah membawa kerajaan-Nya - dan kerja keras yang kita lakukan dengan penuh iman - digenapi. Kita tidak dapat mengetahui di depan apakah kesetiaan kita pada ketetapan-ketetapan Allah akan menghasilkan kesuksesan atau kegagalan duniawi, sama seperti teman-teman Daniel yang tidak dapat mengetahui apakah mereka akan diselamatkan dari perapian yang menyala-nyala atau terbakar habis. Namun, seperti mereka, kita bisa menunjukkan bahwa melayani Allah dalam pekerjaan kita adalah hal yang paling penting.

Ayat-ayat dan Tema-Tema Kunci dalam Kitab Daniel

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ayat

Tema

Daniel 1:11-14 Kemudian Daniel berkata kepada pengawas yang telah diangkat oleh pemimpin pegawai istana untuk Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya, “Silakan uji hamba-hambamu ini selama sepuluh hari: Biarlah kami diberi sayur untuk dimakan dan air untuk diminum. Sesudah itu bandingkanlah perawakan kami dengan perawakan para pemuda yang makan dari santapan raja, kemudian perlakukanlah hamba-hambamu ini sesuai dengan pendapatmu. Permintaan mereka itu didengarkan, lalu mereka diuji selama sepuluh hari.

Kerendahan hati adalah kunci hubungan yang baik dengan Allah dan manusia.

Daniel 1:8 Daniel bertekad untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja. Ia pun meminta kepada pemimpin pegawai istana agar diizinkan untuk tidak menajiskan dirinya.

Kita perlu menolak untuk berbaur dengan budaya yang melanggar ketetapan-ketetapan Allah.

Daniel 1:9 Daniel dikaruniai Allah kasih sayang dan kemurahan hati dari pemimpin pegawai istana itu.

Mengikut Allah akan membawa kita kepada perpaduan antara penderitaan dan penghargaan di dalam hidup.

Daniel 1:20 Dalam setiap hal yang memerlukan kebijaksanaan dan pengertian, yang ditanyakan raja kepada mereka, didapatinya bahwa mereka sepuluh kali lebih cerdas daripada semua ahli gaib dan semua tukang jampi di seluruh kerajaannya.

Allah memberi kita kemampuan untuk bekerja dengan sangat baik, bahkan di tempat kerja yang penuh kecurangan sekalipun.

Daniel 2:24 Sebab itu, Daniel pergi kepada ARiokh yang ditugaskan raja untuk melenyapkan orang-orang bijaksana di Babel. Ia pergi serta berkata kepadanya, “Jangan kaulenyapkan orang-orang bijaksana di Babel! Bawalah aku menghadap raja, dan aku akan memberitahukannya kepada raja makna mimpi itu!

Kita dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang melampaui apa yang kita bisa capai dengan kekuatan kita sendiri.

Daniel 2:27 Jawab Daniel kepada raja, katanya, "Rahasia yang ditanyakan Tuanku Raja tidak dapat diberitahukan kepada Raja oleh orang bijaksana, tukang jampi, ahli ilmu gaib atau nujum."

Kerendahan hati adalah kunci hubungan yang baik dengan Allah dan manusia.

Daniel 2:47 Berkatalah raja kepada Daniel, “Sesungguhnya, Allahmu itu Allah di atas segala ilah dan Yang berkuasa atas segala raja, dan Yang menyingkapkan rahasia-rahasia, sebab engkau dapat menyingkapkan rahasia itu."

Kesaksian kita dapat membuat perbedaan di tempat kerja kita.

Daniel 2:48 Lalu raja memuliakan Daniel dan menganugerahinya banyak pemberian besar, serta menjadikannya penguasa atas seluruh wilayah Babel dan kepala semua orang bijaksana di Babel.

Mengikut Allah akan membawa kita kepada perpaduan antara penderitaan dan penghargaan di dalam hidup.

Daniel 3:16-18 Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab raja Nebukadnezar, "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada Tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya Raja. Tetapi, seandainya tidak, hendaklah Tuanku mengetahui, ya Raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa Tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang Tuanku dirikan itu."

Kita harus siap menghadapi penderitaan di tempat kerja.

Daniel 4:27 "Jadi, ya Raja, kiranya Tuanku berkenan menerima nasihaku ini: Lepaskanlah diri Tuanku dari dosa dengan melakukan keadilan, dan dari kesalahan dengan menunjukkan belas kasihan kepada yang tertindas. Dengan demikian kebahaiaan Tuanku akan berlanjut!"

Kita perlu mengambil sikap (rendah hati) untuk melakukan apa yang benar di tempat kerja.

Daniel 4:33 Pada saat itu juga apa yang dikatakan tentang Nebukadnezar menjadi kenyataan. Ia dihalau dari antara manusia dan makan rumput seperti lembu; tubuhnya basah oleh embun dari langit sampai rambutnya panjang seperti bulu burung rajawali dan kukunya seperti kuku burung.

Allah akan mengakhiri semua pemerintahan dan kerajaan di muka bumi.

Daniel 5:14 Aku telah mendengar tentang engkau bahwa engkau penuh dengan roh ilah-ilah, dan bahwa padamu terdapat kecerahan, akal budi, dan hikmat yang luar biasa.

Allah memberi kita kemampuan untuk bekerja dengan sangat baik, bahkan di tempat kerja yang penuh kecurangan sekalipun.

Daniel 5:17 Jawab Daniel kepada raja, "Simpanlah hadiah Tuanku atau berikanlah penghargaan Tuanku kepada orang lain. Namun, aku akan membaca tulisan itu bagi raja dan memberitahukan maknanya kepada Tuanku."

Gaya hidup yang sederhana memampukan kita untuk menolak terlibat dalam korupsi.

Daniel 6:3 Segera Daniel menonjol di atas semua pembesar dan sida-sida yang lain, karena roh yang luar biasa ada padanya, dan raja bermaksud mengangkat dia menjadi raja atas seluruh kerajaan.

Allah memberi kita kemampuan untuk bekerja dengan sangat baik, bahkan di tempat kerja yang penuh kecurangan sekalipun.

Daniel 6:4 Maka para pembesar dan sida-sida itu berusaha mencari-cari alasan untuk mengajukan tuntutan terhadap Daniel sehubungan dengan kerajaan itu. Tetapi mereka tidak dapat menemukan alasan untuk mengadukannya, karena Daniel setia, dan tidak ada kelalaian atau kecurangan yang dapat ditemukan dalam dirinya.

Gaya hidup yang sederhana memampukan kita untuk menolak terlibat dalam korupsi.

Daniel 6:11 Mendengar surat perintah itu telah dibuat, Daniel pulang ke rumahnya. Di kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem. Tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya seperti yang biasa dilakukannya.

Berdoa itu penting agar kita bisa bekerja dengan penuh iman.

Daniel 6:17 Raja pun memberi perintah, lalu Daniel diambil dan dilemparkan ke dalam gua singa.

Mengikut Allah akan membawa kita kepada perpaduan antara penderitaan dan penghargaan di dalam hidup.

Daniel 6:26-28 Kemudian Raja Darius mengirim surat kepada orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa, yang mendiami seluruh bumi, bunyinya, “Bertambah-tambahlah kiranya kesejahteraanmu! Bersama ini aku memberi perintah bahwa di seluruh kerajaan yang aku kuasai, orang harus takut dan gentar kepada Allah Daniel. Sebab, Dialah Allah yang hidup, yang kekal untuk selama-lamanya; pemerintahan-Nya tidak akan binasa dan kekuasaan-Nya tidak akan berakhir. Dia melepaskan dan menyelamatkan, mengadakan tanda dan mukjizat di langit dan di bumi. Dialah yang telah melepaskan Daniel dari cengkeraman singa-singa.” Demikianlah Daniel mempunyai kedudukan tinggi pada masa pemerintahan Dairus dan masa pemerintahan Kores, orang Persia itu.

Kesaksian kita dapat membuat perbedaan di tempat kerja kita.

Daniel 7:21 Aku melihat tanduk itu berperang melawan orang-orang kudus dan mengalahkan mereka.

Kita harus siap menghadapi penderitaan di tempat kerja.

Daniel 9:3-4 Aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan memohon, dengan berpuasa dan memakai kain kabung serta abu. Aku memohon kepada Tuhan, Allah-ku, dan mengaku dosa...

Berdoa itu penting agar kita bisa bekerja dengan penuh iman.

Daniel 12:1 Pada waktu itu juga akan muncul Mikhael, pemimpin besar yang akan mendampingi anak-anak bangsamu. Akan ada waktu kesesakan yang besar, suatu yang belum pernah terjadi sejak ada bangsa-bangsa sampai pada waktu itu. Tetapi, pada waktu itu bangsamu, setiap orang yang didapati namanya tertulis dalam Kitab itu, akan terluput.

Allah memanggil kita untuk bertekun di tempat kita berada sampai Dia menggenapi kerajaan-Nya.

Daniel 12:12-13 Berbahagialah orang yang tetap menanti dan mencapai seribu tiga ratus tiga puluh lima hari. Tetapi, engkau, pergilah sampai tiba akhir zaman. Engkau akan beristirahat dan akan bangkituntuk mendapat bagianmu pada kesudahan zaman.

Allah memanggil kita untuk bertekun di tempat kita berada sampai Dia menggenapi kerajaan-Nya.

Iman dan Pekerjaan Sebelum Pembuangan-Hosea, Amos, Obaja, Yoel, Mikha

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hosea, Amos, Mikha, Obaja dan Yoel aktif sebagai para nabi pada abad kedelapan ketika negara sudah berkembang, tetapi ekonomi sedang mengalami kemunduran. Kekuasaan dan kekayaan menumpuk pada kelompok masyarakat lapisan atas sementara kelompok masyarakat yang kurang beruntung semakin bertambah besar. Beberapa bukti menunjukkan, pada saat itu ada tren untuk bertani tanaman dagang demi memenuhi kebutuhan pangan di perkotaan yang terus meningkat. Tren itu memberi efek destabilisasi karena mengurangi penyebaran risiko, seperti yang sebelumnya ada dalam sistem pertanian swasembada.[1] Kelompok petani menjadi rentan terhadap berbagai variasi tahunan dalam produksi, sehingga banyak kota mengalami ketidakstabilan dalam pasokan makanan mereka (Amos 4:6-9). Ketika para nabi dari periode ini mulai angkat suara, masa-masa kejayaan di mana terjadi proyek-proyek pembangunan yang mewah serta perluasan wilayah, telah berlalu. Keadaan saat itu membuka kesempatan untuk melakukan korupsi bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka yang terus menurun, serta memperlebar jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin. Akibatnya, para nabi Allah dari periode ini memiliki banyak hal yang ingin disampaikan kepada dunia kerja.

Allah Menuntut Perubahan (Hosea 1:1-9, Mikha 2:1-5)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah menimpakan kesalahan atas kebobrokan Israel kepada seluruh umat bangsa itu sendiri. Mereka telah mengabaikan perjanjian Allah, yang mengakibatkan terputusnya hubungan mereka dengan Allah dan merusak struktur sosial yang adil dalam hukum Allah, sampai akhirnya memicu korupsi dan kemerosotan ekonomi. “Pelacuran” adalah istilah yang sering digunakan oleh para nabi untuk menggambarkan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Israel (misalnya, Yeremia 3:2, Yehezkiel 23:7). Allah bahkan membuat situasi menjadi lebih dramatis dengan menggunakan metafora itu secara harfiah dan memerintahkan nabi Hosea untuk “kawinilah seorang pelacur, dan milikilah anak-anak pelacur, karena negeri ini melacur habis-habisan dengan membelakangi TUHAN” (Hosea 1:2). Hosea menaati perintah Allah, menikahi seorang wanita bernama Gomer yang memenuhi persyaratan, lalu memiliki tiga orang anak bersamanya (Hosea 1:3). Kita dibuat membayangkan seperti apa kira-kira membangun rumah tangga dan membesarkan anak-anak dengan “istri yang pelacur”.

Meskipun para nabi menggunakan gambaran pelacuran dan perzinahan, Allah sebenarnya sedang menuntut Israel atas kebobrokan ekonomi dan sosial mereka, bukan amoralitas seksual.

Sungguh celaka orang-orang yang merancang kejahatan dan membuat rencana jahat di tempat tidurnya. Ketika fajar menyingsing, mereka melakukannya, sebab ada kuasa di tangan mereka. Apabila menginginkan ladang-ladang, mereka merampasnya, dan rumah-rumah, mereka menyerobotnya. Mereka memeras orang serta rumahnya, dan manusia serta milik pusakanya. (Mikha 2:1-2)

Demikianlah Hosea dan keluarganya menjadi contoh dramatis bagi mereka yang bekerja di tempat kerja yang korup atau tidak sempurna saat ini. Tuhan dengan sengaja menempatkan Hosea dalam sebuah keluarga yang keadaannya bobrok dan menyulitkan. Mungkinkah saat ini Allah memang sengaja menempatkan orang-orang di tempat kerja yang korup dan menyulitkan? Meskipun wajar saja kalau kita mencari pekerjaan yang nyaman dalam perusahaan yang bereputasi baik dengan profesi yang terhormat, mungkin kita dapat mencapai lebih banyak hal untuk kerajaan Allah dengan bekerja di tempat yang secara moral tidak baik. Jika Anda membenci korupsi, dapatkah Anda berusaha lebih kuat untuk memeranginya dengan bekerja sebagai pengacara di firma hukum yang bergengsi, atau sebagai pengawas bangunan di sebuah kota yang dikuasai oleh mafia? Tidak ada jawaban yang mudah, tetapi panggilan Allah kepada Hosea menunjukkan bahwa membuat perubahan di dunia ini lebih penting bagi-Nya daripada menjaga agar tangan kita tetap bersih. Seperti yang dikatakan Dietrich Bonhoeffer di tengah-tengah kekuasaan Nazi di Jerman, “Pertanyaan utama yang harus ditanyakan oleh orang yang bertanggung jawab bukanlah bagaimana melepaskan diri dari sebuah permasalahan bak seorang pahlawan, melainkan bagaimana generasi selanjutnya akan hidup.”[1]

Allah Membuat Perubahan Bisa Terjadi (Hosea 14:1-9, Amos 9:11-15, Mikha 4:1-5, Obaja 21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Allah yang sama yang menuntut perubahan, juga berjanji untuk membuat perubahan bisa terjadi. “Juga bagimu, hai Yehuda, telah ditentukan penuaian. Apabila Aku memulihkan keadaan umat-Ku, apabila Aku menyembuhkan Israel” (Hosea 6:11-7:1). Keduabelas Nabi membawa optimisme yang mendasar bahwa Allah terus bekerja di dunia untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Terlepas dari bagaimana orang-orang bisa mengalami kemenangan, pada hakikatnya Allah selalu memegang kendali, dan “kerajaan itu akan menjadi milik TUHAN” (Obaja 1:21). Terlepas dari bencana yang ditimpakan kepada manusia, Allah selalu bekerja untuk membawa kembali kebaikan ke dalam hidup dan pekerjaan sesuai kehendak-Nya sejak awal. “Sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Yoel 2:13). Nubuat penutup dari kitab Yoel, Hosea dan Amos (Hos. 14; Am. 9:11-15) mengilustrasikan hal ini secara eksplisit dengan menggunakaan istilah-istilah ekonomi.

Tempat-tempat pengirikan akan penuh dengan gandum, dan tempat-tempat penampungan berkelimpahan anggur dan minyak .... Kamu akan makan sepuasnya dan menjadi kenyang, dan kamu akan memuji-muji nama TUHAN, Allahmu, yang melakukan perbuatan ajaib bagimu. Umat-Ku tidak akan mendapat malu lagi untuk selama-lamanya. (Yoel 2:24, 26)
Ranting-rantingnya (Israel) akan merambak, semaraknya akan seperti pohon zaitun dan harumnya seperti pepohonan Libanon. (Hosea 14:7)
Aku akan memulihkan keadaan umat-Ku Israel; Mereka akan membangun kota-kota yang hancur luluh dan mendiaminya; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan minum anggurnya. Mereka akan membuat kebun-kebun buah-buahan dan makan buahnya. (Amos 9:14)

Firman Tuhan kepada umat-Nya di masa-masa kesulitan ekonomi dan sosial adalah bahwa Allah bermaksud untuk memulihkan perdamaian, keadilan, dan kemakmuran, jika umat-Nya mau hidup sesuai dengan ajaran perjanjian-Nya. Allah akan melakukan pemulihan itu lewat pekerjaan tangan umat-Nya.

Tanggung Jawab Individu dan Masyarakat atas Pekerjaan yang Tidak Adil (Mikha 1:1-7; 3:1-2; 5:10-15)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Walaupun Allah mempunyai maksud-Nya sendiri, pekerjaan juga dipengaruhi oleh dosa manusia. Contoh yang paling mengerikan adalah pekerjaan pada intinya memang perbuatan dosa. Mikha menyebutkan tentang pelacuran, yang kemungkinan dalam hal mengacu pada pelacuran sebagai bagian dari kepercayaan sesat, dan ia berjanji bahwa upah dari pelacuran adalah hukuman bakar (Mikha 1:7).

Dengan demikian pelacuran tidak bisa diganggap sebagai pekerjaan yang sah, sekalipun dapat dipahami kalaupun dilakukan oleh mereka yang memang sudah tak punya cara lain untuk menafkahi diri sendiri atau keluarganya. Ada berbagai pekerjaan lain yang juga membuat kita bertanya: apakah pekerjaan itu layak dilakukan? Tentu saja kita dapat memikirkan berbagai contoh, dan orang Kristen selayaknya mencari pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.

Namun, Mikha berbicara kepada bangsa Israel secara keseluruhan, bukan hanya kepada orang-orang tertentu. Ia mengkritik masyarakat di mana kondisi sosial, ekonomi, dan agama di dalamnya membuat pelacuran menjadi lumrah. Pertanyaannya bukanlah, “Apakah mencari nafkah sebagai pelacur dapat diterima,” melainkan, “Bagaimana masyarakat harus berubah supaya orang tidak perlu melakukan pekerjaan yang merendahkan atau berbahaya?” Mikha meminta pertanggungjawaban bukan kepada mereka yang merasa terpaksa untuk melakukan pekerjaan yang buruk, melainkan kepada para pemimpin yang gagal mereformasi masyarakat. Kata-katanya pedas. “Dengarlah, hai para pemuka Yakub dan para pemimpin kaum Israel! Bukankah selayaknya kamu mengetahui keadilan, hai kamu yang membenci kebaikan dan yang mencintai kejahatan? Kamu yang mencabik kulit tubuh bangsaku dan daging dari tulang-tulangnya?” (Mikha 3:1-2).

Masyarakat kita saat ini berbeda dengan masyarakat di zaman Mikha, dan solusi spesifik yang Allah janjikan kepada Israel pada zaman dulu bukan begitu saja mewakili apa yang Allah kehendaki pada masa kini. Kata-kata nubuatan Mikha mencerminkan hubungan antara ritual pelacuran dan pemujaan berhala pada zamannya saat itu. Allah berjanji untuk mengakhiri semua pelanggaran sosial yang berpusat di kuil-kuil pemujaan. “Aku akan melenyapkan patung-patungmu dan tugu-tugu berhalamu dari tengah-tengahmu. Engkau tidak akan lagi sujud menyembah buatan tanganmu. Aku akan mencabut tiang-tiang berhalamu dari tengah-tengahmu dan akan memusnahkan kota-kota pemujaanmu. ” (Mikha 5:13-14). Pada zaman sekarang, kita membutuhkan hikmat dari Allah untuk menemukan solusi yang efektif atas berbagai faktor-faktor sosial masa kini yang mendorong munculnya pekerjaan yang memicu dosa dan penindasan. Pada saat yang bersamaan, layaknya para nabi Israel, kita perlu memanggil orang-orang untuk bertobat dari pekerjaan yang penuh dosa. “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup. Dengan demikian, TUHAN, Allah Semesta Alam, akan menyertai kamu” (Amos 5:14).

Bekerja dengan Tidak Adil (Hosea 4:1-10; Yoel 2:28-29)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika para nabi berbicara tentang pelacuran, mereka jarang hanya sekadar menyinggung bidang pekerjaan tertentu. Biasanya mereka juga menggunakannya sebagai metafora dari ketidakadilan, yang menurut definisi adalah ketidaksetiaan terhadap perjanjian Allah (Hosea 4:7-10). Dalam sebuah peringatan yang luas bahwa upah dapat diperoleh secara tidak adil, Amos menuduh para pedagang yang menggunakan produk yang lebih rendah, timbangan yang salah, dan tipu daya lainnya untuk meraup untung dengan mengorbankan konsumen yang rentan. Mereka berkata dalam hati: “Supaya kita boleh menawarkan terigu dengan memperkecil ukuran efa, memperbesar berat syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut, serta menjual gandum yang rusak?” (Amos 8:5-6).

Banyak cara mencari nafkah yang sah dapat menjadi tidak adil karena cara melakukannya. Haruskah seorang fotografer memotret apa pun yang diminta oleh kliennya, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap subjek dan pemirsanya? Haruskah seorang ahli bedah melakukan segala jenis operasi elektif yang mungkin bersedia dibayar oleh pasien? Apakah broker hipotek bertanggung jawab untuk memastikan kemampuan peminjam untuk membayar kembali pinjaman tanpa kesulitan yang tidak semestinya? Jika pekerjaan kita adalah suatu bentuk pelayanan di bawah Tuhan, kita tidak dapat mengabaikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak membayangkan sebuah hierarki pekerjaan. Klaim para nabi bukanlah bahwa beberapa jenis pekerjaan lebih saleh daripada yang lain, tetapi bahwa semua jenis pekerjaan harus dilakukan sebagai sumbangsih bagi pekerjaan Allah di dunia. “Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-ku pada hari-hari itu,” demikianlah Allah berjanji (Yoel 2:29).

Keadilan Allah Mencakup Keadilan dalam Pekerjaan dan Ekonomi (Amos 8:1-6, Mikha 6:1-16)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Keadilan dalam pekerjaan bukan hanya persoalan individu. Semua orang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang dalam masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencari nafkah. Amos mengkritik Israel atas ketidakadilan dalam hal ini secara gamblang dengan menyinggung tentang hukum memungut hasil. Memungut di sini merupakan proses memungut bulir-bulir gandum yang tersisa di ladang setelah para penuai selesai bekerja. Menurut perjanjian Allah dengan Israel, para petani tidak diizinkan untuk memungut sisa tuaian di ladang mereka sendiri, tetapi harus mengizinkan orang-orang miskin (secara harfiah berarti “janda dan yatim piatu”) untuk melakukan pekerjaan itu sebagai cara untuk menghidupi diri mereka sendiri (Ulangan 24:19). Ketetapan itu membentuk kesejahteraan sosial yang cukup mendasar, di mana orang miskin diberi kesempatan untuk bekerja (dengan memetik sisa tuaian di ladang) daripada harus mengemis, mencuri atau kelaparan.

Memungut sisa tuaian adalah cara untuk terlibat dalam pekerjaan yang bermartabat, terutama bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam pasar ketenagakerjaan karena kekurangan sumber daya, dislokasi sosial-ekonomi, diskriminasi, disabilitas, atau faktor-faktor lainnya. Allah tidak hanya ingin agar kebutuhan setiap orang terpenuhi, tetapi juga ingin agar setiap orang memiliki martabat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka dan kebutuhan orang lain.

Amos mengeluhkan tentang bagaimana ketetapan tersebut dilanggar. Para petani tidak membiarkan sisa tuaian gandum di ladang mereka untuk dipungut oleh orang miskin (Mikha 7:1-2). Sebaliknya, mereka menawarkan untuk menjual sekam -sisa-sisa yang tertinggal setelah pengirikan- kepada orang miskin dengan harga yang sangat rendah. “…kamu yang menginjak-injak orang miskin, yang membinasakan orang sengsara di negeri ini,” Amos menuduh mereka, ‘... menjual gandum yang rusak’ (Amos 8:4, 6).

Amos menuduh mereka menunggu dengan gelisah sampai hari Sabat berakhir, sehingga mereka dapat terus menjual produk makanan yang murah dan tercemar itu kepada orang-orang yang tidak punya pilihan lain selain membelinya (Amos 8:5).

Selain itu, mereka juga menipu orang-orang yang mampu membeli gandum murni, seperti yang terlihat dari timbangan yang dicurangi di pasar. “Kami akan membuat efa [gandum yang dijual] menjadi kecil dan syikal [harga jual] menjadi besar,” demikianlah mereka menyombongkan diri. Mikha menyatakan penghakiman Allah terhadap perdagangan yang tidak adil. “Akankah Aku membenarkan neraca palsu atau pundi-pundi berisi batu timbangan yang curang?” demikianlah firman Tuhan (Mikha 6:11). Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa keadilan bukan hanya tentang hukum pidana dan ekspresi politik, tetapi juga tentang kesempatan ekonomi.

Kesempatan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan individu dan keluarga sangat penting bagi peran seseorang yang terlibat di dalam perjanjian. Keadilan ekonomi adalah komponen penting dari pernyataan Mikha yang terkenal dan terngiang hanya dalam 3 ayat sebelumnya, “Apakah yang dituntut TUHAN darimu selain berlaku adil, mencintai kesetiaam, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi 6:8). Allah mengharuskan umat-Nya - sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka - untuk mencintai kebaikan dan melakukan keadilan secara individu dan sosial, dalam setiap aspek pekerjaan dan kehidupan ekonomi.

Kerja dan Ibadah (Mikha 6:6-8; Amos 5:21-24; Hosea 4:1-10)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Keadilan bukanlah sekadar permasalahan sekuler, seperti yang dilihat oleh para nabi. Seruan Mikha untuk membela keadilan dalam Mik. 6:8 berasal dari pengamatan bahwa keadilan itu lebih baik daripada korban-korban ritual agamawi yang berlebihan (Mik 6:6-7). Hosea dan Amos pun mengembangkan poin ini. Amos keberatan dengan keterputusan antara ketaatan agama dan tindakan etis.

“Aku membenci, Aku menghina perayaanmu, dan Aku tdak menyukai perkumpulan rayamu. Meskipun kamu mempersembahkan kepada-Ku kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sajianmu, Aku tidak suka, dan kurban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, tidak akan Kupandang. Jauhkanlah dari-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak akan Kudengar. Tetapi, hendaklah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Amos 5:21-24)

Kitab Hosea membawa kita ke dalam pemahaman yang lebih tentang hubungan antara memiliki dasar kehidupan rohani dan melakukan pekerjaan yang baik. Perbuatan baik muncul secara langsung dari kesetiaan kepada perjanjian Allah, dan sebaliknya, perbuatan jahat menjauhkan kita dari hadirat Allah.

Dengarlah firman TUHAN, hai orang Israel, sebab TUHAN mempunyai perkara dengan penduduk negeri ini, sebab tidak ada kesetiaan, tidak ada kasih, dan tidak ada pengenalan akan Allah di negeri ini; hanya mengutuk, berdusta, membunuh, mencuri, berzina, melakukan kekerasan, dan penumpahan darah disusul penumpahan darah. Sebab itu, negeri ini akan berkabung, seluruh penduduknya akan merana; binatang-binatang liar dan burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut pun akan terkumpul mati. Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkau menolak pengenalan itu, Aku pun akan menolakmu sebagai imam-Ku. Karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, Aku pun akan melupakan anak-anakmu. (Hosea 4:1-3, 6)

Ini merupakan pengingat bagi kita bahwa dunia kerja bukanlah sebuah ruang hampa yang terpisah dari seluruh askep lain dalam kehidupan. Jika semua nilai dan prioritas yang kita hidupi tidak dilandaskan pada perjanjian Allah, maka kehidupan dan pekerjaan kita akan menjadi kacau baik secara etika maupun rohani. Jika kita tidak menyukakan Allah dalam pekerjaan kita, maka kita tidak akan dapat menyukakan-Nya dalam ibadah kita.

Sikap Apatis Karena Kekayaan (Amos 3:9-15, 6:1-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Para nabi mengkritik orang-orang yang karena sudah kaya raya, tak lagi memedulikan kebaikan bersama dan mengabaikan rasa tanggung jawab terhadap sesama mereka. Amos mengaitkan kekayaan yang ditumpuk dengan penindasan ketika ia menuduh orang-orang kaya yang tidak bekerja, melakukan pelanggaran, kekerasan dan perampokan (Amos 3:10). Allah akan segera mengakhiri kekayaan orang-orang yang demikian. Allah akan “merobohkan balai musim dingin serta balai musim panas; hancurlah rumah-rumah gading” (Amos 3:15). Amos melontarkan kecaman keras terhadap kemewahan “orang yang merasa nyaman di Sion” (Amos 6:1). Ia mengamati bahwa mereka “berleha-leha di ranjang ” (Amos 6:4) dan “bernyanyi-nyanyi diiringi alunan gambus” (Amos 6:5). Ketika Tuhan menghukum Israel, mereka akan menjadi “yang pertama-tama akan diangkut sebagai orang buangan” (Amos 6:7).

Cukup mengejutkan bahwa keluhan yang sama masih terjadi pada zaman sekarang terhadap mereka yang memiliki kekayaan, tetapi tidak menggunakannya untuk tujuan yang baik. Baik mereka sebagai individu maupun perusahaan, pemerintah, dan institusi lain yang menggunakan kekayaan mereka untuk mengeksploitasi kerentanan orang lain, daripada menciptakan sesuatu yang berguna sesuai dengan kekayaan mereka. Banyak orang Kristen —yang mungkin merupakan mayoritas di dunia bagian Barat— memiliki kemampuan untuk mengubah semua ini, setidaknya dalam lingkungan kerja mereka. Nubuatan para nabi menjadi tantangan dan dorongan yang terus menerus untuk lebih peduli tentang bagaimana pekerjaan dan kekayaan melayani —atau gagal melayani— orang-orang di sekitar kita.

Iman dan Pekerjaan Selama Masa Pembuangan - Nahum, Habakuk, Zefanya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Nahum, Habakuk dan Zefanya aktif dalam pelayanan kenabian mereka selama periode di mana Kerajaan Selatan mulai mengalami kemunduran dengan cepat. Ketidakselarasan internal ditambah tekanan eksternal dari kerajaan Babel yang sedang berkembang mengakibatkan takluknya Yehuda menjadi kerajaan bawahan Babel. Tak lama setelah itu, sebuah pemberontakan yang disulut nubuatan palsu mendatangkan kemarahan Babel pada tahun 587 SM, yang berujung pada keruntuhan kerajaan Yehuda dan pembuangan para elitnya ke pusat kekaisaran Babel (2 Raja-raja 24-25). Dalam pembuangan, bangsa Israel harus berusaha untuk menjaga iman mereka dalam kondisi terpisahkan dari lembaga-lembaga keagamaan, bait suci, imam, maupun tanah kelahiran mereka. Jika enam kitab pertama, seperti yang telah kita baca, bercerita tentang dampak dari dosa umat Israel, maka ketiga kitab ini - Nahum, Habakuk, dan Zefanya - bercerita tentang hukuman atas dosa mereka yang terjadi dalam periode ini.

Tangan Tuhan yang Menghukum (Nahum 1:1-12; Habakuk 3:1-19; Zefanya 1:1-13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Andil utama kitab Nahum adalah memperjelas bahwa bencana politik dan ekonomi merupakan hukuman dan pendisiplinan dari Allah atas Israel. "Aku telah menghukum engkau," demikian Allah berfirman (Nahum 1:12). Habakuk dan Zefanya menyatakan bahwa bagian penting dari hukuman Allah adalah berkurangnya kemampuan orang-orang Israel untuk bekerja demi penghidupan yang layak.

Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, dan hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu dalam kandang... (Habakuk 3:17)
Sebab segenap kaum pedagang sudah habis, segenap penimbang perak sudah lenyap. (Zefanya 1:11)

Hukuman itu tak cuma hadir dalam bentuk kesulitan ekonomi, tetapi juga dalam bentuk gangguan lingkungan hidup (lihat di bawah pada bagian Hagai: Pekerjaan, Ibadah dan Lingkungan Hidup).

Apakah bencana-bencana alam, politik, dan ekonomi yang terjadi pada masa kini merupakan hukuman dari Allah? Tidak sedikit orang yang percaya dan menyatakan bahwa bencana-bencana tertentu adalah tanda-tanda kemurkaan Allah. Gempa bumi dan tsunami pada tahun 2011 di Jepang dianggap sebagai hukuman ilahi baik oleh Gubernur Tokyo[1] maupun seorang pembawa acara berita televisi MSNBC. Namun, kecuali kita adalah salah salah satu dari kedua belas rasul atau nabi-nabi Israel lainnya, kita harus sangat berhati-hati sebelum menyatakan murka Allah dalam peristiwa-peristiwa di dunia. Apakah memang Allah sendiri yang menyatakan alasan terjadinya tsunami kepada mereka, ataukah mereka menafsirkan dan menarik kesimpulan sendiri?

Apakah Dia menyatakan maksud-Nya kepada sejumlah besar orang, jauh di masa lalu, selama bertahun-tahun sebelumnya, seperti yang dilakukan-Nya kepada para nabi Israel, ataukah pengungkapan itu datang hanya kepada satu atau dua orang pada hari kejadiannya? Apakah mereka yang maju untuk menyatakan hukuman Allah di zaman modern sudah ditempa sebagai nabi melalui penderitaan selama bertahun-tahun bersama dengan mereka yang menderita, layaknya Yeremia, keduabelas nabi-nabi maupun nabi-nabi lainnya di zaman Israel kuno?

Pekerjaan yang Menjadi Berhala (Habakuk 2:1-20; Zefanya 1:14-18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hukuman yang bangsa Israel alami adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri. Mereka mengabaikan ketaatan saat bekerja, sehingga mengubah berbagai batu, kayu, dan logam yang baik menjadi berhala. Pekerjaan yang menciptakan berhala tidak ada nilainya, tidak peduli seberapa mahal bahannya atau seberapa bagus hasilnya.

Apa gunanya patung pahatan, yang dipahat oleh pembuatnya? Apa gunanya patung tuangan, pengajar dusta itu? Sebab, pembuatnya percaya kepada buatannya, padahal berhala-berhala buatannya itu bisu belaka. (Habakuk 2:18)
Seperti yang dikatakan Zefanya, "perak atau emas tidak dapat menyelamatkan mereka" (Zef. 1:18).

Kesetiaan bukanlah sedangkal perkara menaikkan pujian kepada Tuhan saat kita sedang bekerja, melainkan sebuah sikap mengutamakan prioritas-prioritas Allah dalam pekerjaan kita. Habakuk mengingatkan bahwa "Tetapi TUHAN ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!" (Hab. 2:20). Berdiam di sini bukan berarti sekadar mengamati secara religius, melainkan tentang mengendapkan kebisingan ambisi, ketakutan, dan motivasi kita yang telah telah rusak, sehingga prioritas-prioritas yang menjadi bagian dari perjanjian Allah bisa menjadi prioritas kita. Perhatikanlah apa yang menanti mereka yang menipu orang lain di bidang perbankan dan keuangan.

Sungguh celaka orang yang menumpuk bagi dirinya apa yang bukan miliknya! Sampai berapa lama lagikah? Demikian pula orang yang menimbuni dirinya dengan barang gadaian. Bukankah dengan sekonyong-konyong akan bangkit para penagih utangmu, dan akan terjaga mereka yang mengejutkan engkau, sehingga engkau menjadi rampasan bagi mereka? (Hab. 2:6-7)

Orang-orang yang mengambil keuntungan secara licik dalam bidang properti -sebuah fenomena yang sepertinya terus terjadi sepanjang masa– sedang memerangkap diri mereka sendiri.

"Sungguh celaka orang yang mengambil laba yang tidak halal untuk keperluan rumahnya, untuk menempatkan kediamannya di tempat yang tinggi, supaya terluput dari enggaman malapetaka! Engkau telah merancangkan cela atas rumahmu ketika engkau menghabisi banyak bangsa dan dengan demikian mencelakakan dirimu sendiri. Sebab, batu berteriak dari tembok, dan balok menjawabnya dari rangka rumah. (Hab. 2:9-11)

Mereka yang mengeksploitasi kerentanan orang lain juga membawa penghakiman atas diri mereka sendiri.

“Cungguh celaka orang yang memberi sesamanya minum campuran amarah, bahkan memabukkan mereka supaya dapat melihat aurat mereka. Engkau akan kenyang dengan kehinaan, bukan dengan kemuliaan. Engkau sendiri, minumlah juga sampai terhuyung-huyung. Kepadamulah akan beralih piala dari tangan kanan TUHAN, dan kehinaan akan menutupi kemuliaanmu. (Hab. 2:15-16)

Pekerjaan yang sifatnya menindas atau mengambil keuntungan dari orang lain pada akhirnya akan membawa kehancuran.

Pada zaman ini, kita mungkin tidak secara harfiah membuat berhala-berhala dari bahan-bahan berharga yang kemudian kita sembah. Namun, pekerjaan pun bisa menjadi berhala jika kita menganggap bahwa kita mampu memberi keselamatan bagi diri kita sendiri. Esensi dari penyembahan berhala adalah bahwa "pembuatnya mengandalkan hasil pekerjaan tangannya sendiri" (Hab. 2:18), dan bukannya mengandalkan Allah yang telah menciptakan kita untuk bekerja sesuai tuntunan dan kuasa-Nya. Jika kita berambisi untuk memiliki kekuasaan dan pengaruh karena kita berpikir bahwa tanpa kebijaksanaan, keahlian, kepemimpinan dan pekerjaan kita maka komunitas, perusahaan, organisasi, atau bangsa kita akan hancur, maka ambisi kita sudah menjadi berhala. Sebaliknya, jika kita berambisi untuk mempunyai kekuasaan dan pengaruh supaya dapat menarik orang lain ke dalam lingkup pelayanan di mana setiap orang membagikan karunia Allah kepada dunia, maka ambisi kita adalah bentuk kesetiaan kita kepada-Nya. Jika respons kita terhadap kesuksesan adalah memuji diri sendiri, maka kita sedang mempraktikkan penyembahan berhala. Jika respons kita adalah ucapan syukur, maka kita sedang menyembah Allah. Jika reaksi kita terhadap kegagalan adalah keputusasaan, maka kita sedang merasakan kehampaan layaknya berhala yang hancur, tetapi jika reaksi kita adalah ketekunan, maka kita sedang mengalami kuasa keselamatan dari Allah.

Kesetiaan di Tengah Kesulitan (Habakuk 2:1; Zefanya 2:1-4)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ada dinamika lain yang terjadi selama masa pembuangan. Terlepas dari bagaimana isi kitab-kitab Nahum, Habakuk dan Zefanya menekankan tentang penghukuman, bangsa Israel juga mulai belajar kembali bagaimana untuk tetap setia kepada Allah dalam pekerjan mereka selama dalam pembuangan. Hal ini dibahas dengan lengkap dalam bagian-bagian lain dari Teologi Kerja seperti Yeremia & Ratapan dan Pekerjaan serta Daniel dan Pekerjaan, tetapi juga diisyaratkan di dalam keduabelas kitab-kitab nabi kecil. Poin utamanya adalah bahwa bahkan dalam keadaan yang menyedihkan dalam pembuangan, masih ada kesempatan untuk tetap setia. Di tengah pembantaian yang dia lihat terjadi di sekelilingnya, walau tentu berharap bisa berada di tempat lain, Habakuk bertekad untuk tetap berjaga di tempat pengintaiannya dan menantikan Firman Allah (Hab. 2:1). Namun, seberapapun bermanfaatnya berjaga dan menanti di tempat, ada banyak hal lain yang juga bisa dilakukan. Kita bahkan dapat menemukan cara untuk menjadi benar dan rendah hati.

Carilah TUHAN, hai semua orang yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya. Carilah keadilan, carilah kerendahan hati. Mungkin saja kamu akan terlindung pada hari kemurkaan TUHAN. (Zefanya 2:3)

Tidak ada tempat kerja yang ideal. Beberapa tempat kerja sangat menyulitkan umat Allah karena sudah tercemar dalam segala aspek, sementara tempat-tempat kerja lainnya memiliki kekurangan dalam hal yang lebih sederhana. Namun, bahkan di tempat kerja yang menyulitkan sekalipun, kita tetap dapat setia mewartakan rencana-rencana Allah, melalui kualitas yang terpancar dari kehadiran maupun pekerjaan kita. Habakuk mengingatkan bahwa tidak peduli seberapa sia-sia tampaknya pekerjaan kita, Allah hadir bersama kita dalam pekerjaan kita, memberikan sukacita yang terus hadir bahkan melewati kondisi terburuk dalam pekerjaan kita sekalipun.

Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, dan hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu dalam kandang, aku akan bersukacita di dalam TUHAN, bersorak-sorai di dalam Allah Penyelamatku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku. Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membuat aku mampu berjalan di tempat tinggi. (Habakuk 3:17-19)

Atau, seperti yang diungkapkan oleh Terry Barringer,

Meskipun kontrak telah selesai, dan tidak ada pekerjaan untuk dilakukan;
Meskipun tidak ada yang memerlukan keahlian saya, dan tidak ada yang menerbitkan karya saya.
Meskipun tabungan habis, dan uang pensiun tidak cukup untuk hidup;
Namun aku akan bersukacita di dalam Tuhan, aku akan bersukacita di dalam Allah, Juruselamatku.[1]

Seperti yang dikatakan dalam ayat 19, pekerjaan yang baik dapat dilakukan bahkan di tengah-tengah keadaan yang sulit, karena "TUHAN adalah kekuatanku." Kesetiaan bukanlah hanya tentang bertahan dalam kesulitan, tetapi juga membuat situasi terburuk sekalipun menjadi lebih baik, dengan cara apa pun yang kita bisa.

Kesetiaan dalam Pekerjaan Setelah Masa Pembuangan-Hagai, Zakharia, Maleakhi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setelah masa pembuangan mereka berakhir, kehidupan bermasyarakat dan beragama orang-orang Yahudi mengalami pemulihan, di tanah perjanjian dari Allah. Kota Yerusalem dan Bait Allah dibangun kembali, termasuk seluruh infrastruktur untuk tatanan ekonomi, sosial, dan keagamaan masyarakat Yahudi. Isi dari Kedua Belas Kitab Para Nabi pun mulai membahas berbagai tantangan yang terjadi dalam pekerjaan akibat dosa dan hukuman.

Kebutuhan akan Modal Sosial (Hagai 1:1 - 2:19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu tantangan yang kita hadapi dalam pekerjaan adalah godaan untuk mementingkan diri dan keluarga sendiri daripada masyarakat. Nabi Hagai melukiskan tantangan ini dengan begitu jelas. Dia mengecam orang-orang yang bekerja keras membangun kembali rumah mereka sendiri tanpa memedulikan pemugaran bait suci sebagai pusat kemasyarakatan orang-orang Yahudi. "Apa sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang berlapis papan, sedangkan bait ini masih berupa reruntuhan?" (Hagai 1:4). Hagai berkata bahwa kelalaian mereka untuk berinvestasi di dalam modal sosial sebenarnya mengurangi produktivitas individual mereka.

Kamu menabur banyak, tetapi hasilnya sedikit; kamu makan, tetapi tidak kenyang; kamu minum, tetapi tidak puas; kamu berpakaian, tetapi tidak merasa hangat. Orang yang bekerja untuk upah, mendapat upah dalam pundi-pundi yang berlubang. (Hag. 1:6)

Ketika Tuhan membangkitkan semangat umat dan para pemimpin mereka, mereka pun mulai berinvestasi untuk membangun kembali bait suci dan tatanan masyarakat (Hagai 1:14-15).

Berinvestasi dalam modal sosial akan mengingatkan kita bahwa tidak ada manusia yang mampu untuk sepenuhnya berdiri sendiri. Meskipun kekayaan yang besar dapat terkumpul dengan upaya individual, masing-masing dari kita bergantung pada sumber daya dan infrastruktur sosial yang pada dasarnya berasal dari Allah. "Aku akan memenuhi bait ini dengan kemuliaan, firman TUHAN Semesta Alam. Milik-Kulah perak dan milik-Kulah emas, demikian firman Tuhan Semesta Alam (Hag. 2:8-9). Kemakmuran bukan berasal hanya—pun bukan berasal terutama—dari usaha pribadi, melainkan dari usaha sebuah komunitas yang berlandaskan pada perjanjian Allah. "Di tempat ini Aku akan memberi damai sejahtera, demikianlah firman TUHAN Semesta Alam." (Hag. 2:10).

Betapa konyolnya jika kita berpikir bahwa kita harus memenuhi kebutuhan diri kita sendiri terlebih dahulu supaya bisa meluangkan waktu untuk Tuhan dan umat-Nya. Sesungguhnya, kita justru tidak dapat memenuhi kebutuhan diri kita sendiri kecuali dengan anugerah kemurahan hati Allah dan bekerja sama dari komunitas-Nya. Konsep yang sama juga berlaku untuk persepuluhan. Persepuluhan bukanlah pengorbanan sebesar 10% dari hasil panen, melainkan ucapan syukur atas berkat hasil yang 100% merupakan hasil karya Allah.

Menilik zaman sekarang, kita jadi diingatkan akan pentingnya menempatkan sumber daya ke dalam aspek-aspek kehidupan yang bersifat non-material. Tempat tinggal, makanan, kendaraan, dan semua kebutuhan material lainnya memang penting. Namun, Allah mencukupi kita sedemikian rupa sehingga kita pun mampu menikmati seni, musik, pendidikan, alam, rekreasi, dan berbagai hal yang memberi makanan kepada jiwa kita. Mereka yang bekerja di dunia seni, kemanusiaan, maupun rekreasi, atau yang menggunakan uang mereka untuk membangun taman, taman bermain, dan teater, memberikan kontribusi yang sama besarnya dengan para pengusaha maupun tukang kayu, dalam mewujudkan dunia yang Allah rencanakan.

Hal ini juga menunjukkan bahwa berinvestasi di dalam gereja dan kehidupan berjemaat sangat penting untuk memberdayakan orang-orang Kristen dalam pekerjaan mereka. Seperti kita tahu, ibadah orang Kristen sangat erat kaitannya dengan melakukan pekerjaan yang baik, dan mungkin kita harus memperlakukan ibadah sebagai perwujudan pekerjaan baik, bukan semata sebagai kegiatan perenungan pribadi atau mengisi waktu luang. Selain itu, komunitas orang-orang Kristen dapat menjadi kekuatan yang mendukung kesejahteraan ekonomi, sipil dan sosial, jika mereka mau belajar untuk membawa kuasa spiritual dan etika dalam firman Allah untuk diterapkan dalam pekerjaan di bidang ekonomi, sosial, pemerintahan, akademis, medis, ilmiah dan bidang-bidang pekerjaan lainnya.

Pekerjaan, Ibadah, dan Lingkungan (Hagai 1:1-2:19; Zakharia 7:8-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Hagai menghubungkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat dengan keadaan lingkungan. Melalui penyusunan kata-kata yang akan lebih jelas dalam bahasa Ibrani daripada dalam terjemahan bahasa lain, Hagai mengaitkan kehancuran bait suci ("reruntuhan" atau hareb dalam bahasa Ibrani, Hagai 1:9) dengan kehancuran tanah dan hasil panen ("kekeringan," atau horeb dalam bahasa Ibrani) yang juga mengakibatkan han kesejahteraan "manusia dan hewan serta ke atas segala upaya tanganmu " (Hagai 1:11). Titik puncak dari hubungan ini adalah kondisi bait suci, yang menjadi semacam pertanda tentang kesetiaan atau ketidaksetiaan umat. Jadi ada hubungan tiga arah antara ibadah, kesehatan sosial-ekonomi, lingkungan dan ibadah. Ketika ada penyakit di lingkungan fisik tempat yang kepadanya kita bergantung, maka berarti ada penyakit di dalam masyarakat, dan salah satu tanda masyarakat yang tidak sehat adalah tindakan-tindakannya yang berkontribusi dalam menyebabkan adanya penyakit di lingkungan tersebut.

Ada juga hubungan antara cara sebuah komunitas beribadah dan merawat tanah, dengan kondisi ekonomi dan politik mereka yang mendiami tanah tersebut. Para nabi mengajak kita untuk mempelajari kembali bahwa rasa hormat kepada Sang Pencipta bumi yang kita tempati merupakan titik mula untuk terjadinya perdamaian antara bumi dan penghuninya. Bagi Hagai, kekeringan di negeri itu dan kehancuran Bait Allah tidak dapat dipisahkan. Penyembahan yang benar dan sepenuh hati akan membawa kedamaian dan berkat bagi negeri itu. "Mulai dari hari diletakkannya dasar Bait TUHAN perhatikanlah apakah benih masih ada dalam lumbung, dan apakah pokok anggur, pohon ara, pohon delima, pohon zaitun belum berbuah? Mulai hari ini Aku akan memberi berkat!" (Hag. 2:19b-20). Zakharia juga menarik hubungan antara dosa manusia dengan kehancuran negeri itu. Mereka yang berkuasa "menindas janda dan anak yatim, pendatang dan orang miskin" (Zakharia 7:10). "Mereka membuat hati mereka keras seperti intan, supaya jangan mendengar pengajaran dan firman yang disampaikan TUHAN Semesta Slam" (Zakharia 7:12). Akibatnya, lingkungan menjadi rusak, dan dengan demikian "negeri yang indah itu menjadi tempat yang sunyi sepi." (Zak 7:14). Yoel telah mengamati awal mula dari kerusakan ini jauh sebelum masa pembuangan. "Pokok anggur sudah kering dan pohon ara sudah layu; pohon delima, pohon kurma dan pohon apel, segala pohon di padang sudah kering. Sungguh, sukacita memudar dari anak-anak manusia." (Yoel 1:12).

Mengingat pentingnya pekerjaan dan praktik-praktik kerja bagi kesehatan lingkungan, jika orang-orang Kristen melakukan pekerjaan mereka sesuai dengan visi Kedua Belas Nabi, kita dapat memberikan dampak yang sangat bermanfaat bagi planet ini dan semua orang yang mendiaminya.[1] Ini adalah tanggung jawab lingkungan yang mendesak bagi umat beriman untuk mempelajari cara-cara yang konkret dalam melandaskan pekerjaan mereka pada penyembahan kepada Allah

Nubuat panjang dari Hagai tentang kemurnian (Hagai 2:10-19) juga menunjukkan hubungan antara kemurnian dan kesuburan tanah. Tuhan tidak menyukai bagaimana karena kenajisan umat-Nya, "segala yang dibuat tangan mereka dan yang dipersembahkan mereka, najis adanya" (Hag. 2:15). Ini menjadi bagian yang secara umum menunjukkan hubungan antara ibadah dan kesehatan lingkungan. Salah satu aplikasinya mungkin adalah bahwa alam yang murni adalah alam yang dikerjakan dengan cara-cara yang menjaga kesinambungannya oleh pihak yang telah diberikan tanggung jawab oleh Tuhan untuk kesejahteraannya, yaitu manusia. Dengan demikian, kemurnian menuntut adanya rasa hormat terhadap keberadaan seluruh ciptaan beserta tatanannya, kesehatannya secara keseluruhan, kelangsungan hidup dan kesejahteraan spesiesnya, serta pembaruan produktivitasnya. Demikianlah kita kembali lagi ke hal tentang orang Kristen dan praktik-praktik kerja yang bertanggung jawab.

Dengan demikian, apabila kehancuran merupakan bagian dari hukuman Allah atas dosa umat-Nya seperti diceritakan dalam kedua belas kitab para nabi, maka tanah yang kembali produktif merupakan bagian dari pemulihan mereka. Memang, walaupun situasinya sangat berbeda, penglihatan Zakharia sangat mirip dengan penglihatan yang Amos peroleh pada masa kejayaan Israel: orang-orang hidup makmur yang ditandai dengan dengan mereka duduk di bawah pohon ara yang mereka tanam. "Pada hari itu, demikianlah firman Tuhan Semesta Alam, setiap orang di antaramu akan mengundang temannya untuk duduk di bawah pokok anggur dan di bawah pohon ara." (Zak 3:10). Perdamaian dengan Allah ditandai dengan sikap merawat bumi yang merupakan ciptaan-Nya. Tanah yang subur, tentu saja, harus diusahakan agar dapat menghasilkan buah. Demikianlah dunia kerja mempunyai kaitan yang sangat erat dengan terwujudnya hidup yang berkelimpahan.

Dosa dan Pengharapan Tetap Ada dalam Pekerjaan (Maleakhi 1:1-4:6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bahkan pada masa pemulihan sekalipun, dosa manusia selalu menguntit dekat. Maleakhi, nabi ketiga dari para nabi pemulihan, mengeluh tentang orang-orang yang mulai mengambil keuntungan dengan mencurangi upah para pekerja mereka (Mal. 3:5). Tak heran, orang-orang tersebut juga mencemari ibadah di Bait Allah dengan mengorupsi persembahan yang mereka berikan (Mal. 1:8-19), dan akibatnya, lingkungan pun menjadi rusak (Mal. 3:11).

Namun, pengharapan para nabi tetap ada, dan pekerjaan menjadi pusat dari pengharapan itu. Dimulai dengan janji pemulihan infrastruktur religius/sosial bait suci. "Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku agar ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Tiba-tiba Tuhan yang kamu cari itu akan datang ke bait-Nya! Utusan Perjanjian yang kamu inginkan itu, sesungguhnya, Ia datang, firman Tuhan Semesta Alam" (Mal. 3:1). Selanjutkan, akan ada pemulihan lingkungan. Allah berjanji, "Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap" (Mal. 3:11a), dan kemudian "kamu akan menjadi negeri kesukaan" (Mal. 3:12). Orang-orang melakukan pekerjaan mereka secara etis (Mal. 3:14, 18), sehingga ekonomi pun dipulihkan karenanya, termasuk "hasil tanahmu" dan "pokok anggur di ladang" (Mal. 3:11b).

Yunus dan Berkat Allah Bagi Segala Bangsa

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan, Kitab Yunus adalah sebuah pengecualian di antara kedua belas kitab para nabi. Kisah di dalamnya tidak terjadi di Israel. Isinya pun tidak mengindikasikan waktu terjadinya. Kitab ini tidak mengandung nubuat kenabian, dan bukan berfokus pada orang-orang yang kepada mereka sang nabi diutus, melainkan pada pengalaman pribadi sang nabi sendiri.[1] Walau demikian perspektif kitab ini sama dengan kitab-kitab nabi yang lain, yaitu bahwa Allah terus bekerja di dunia ini (Yunus 1:2, 17; 2:10), dan kesetiaan kepada Allah (maupun ketidaksetiaan) merupakan dasar dari tiga hal yang berhubungan, yaitu ibadah, kesehatan sosioekonomi, dan lingkungan hidup. Ketika para pelaut berdoa kepada Tuhan dan menaati firman-Nya, laut menjadi tenang, dan Allah menyelamatkan para pelaut dan Yunus (Yun. 1:14-19). Ketika Yunus kembali beribadah dengan benar, Tuhan mengembalikan lingkungan ke tatanan yang semestinya: ikan berada di laut dan manusia berada di daratan (Yun. 2:7-10). Ketika Niniwe berbalik kepada Tuhan, hewan dan manusia hidup bersatu secara harmonis, dan berbagai pelanggaran sosioekonomi pun berhenti (Yun. 3:4-10). Kitab Yunus berbeda latar belakangnya dengan kedua belas kitab para nabi lainnya, tetapi tidak dengan teologinya. Kontribusi unik dari kitab Yunus adalah 1) fokus pada panggilan dan respons sang nabi; dan 2) pengakuan bahwa Allah bukan memberkati bangsa Israel untuk melawan bangsa-bangsa lain, melainkan untuk memberkati bangsa-bangsa lain melalui Israel.[2]

Panggilan dan Respons Yunus (Yunus 1:1-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagaimana halnya dalam kedua belas kitab para nabi, kitab Yunus dimulai dengan panggilan dari Allah kepada sang nabi (Yun. 1:1-2). Namun, tidak seperti nabi-nabi lainnya, Yunus menolak panggilan Allah. Dengan bodohnya Yunus mencoba melarikan diri dari hadapan Tuhan dengan menumpangi kapal yang berlayar ke pantai asing (Yun. 1:3). Tindakan yang tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga penumpang kapal lainnya, karena —seperti yang telah kita baca di kedua belas kitab para Nabi— melanggar perjanjian dengan Allah membawa konsekuensi yang nyata, dan tindakan setiap individu selalu memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Allah pun mengirimkan badai. Pertama-tama, badai itu menghancurkan prospek bisnis para pelaut, karena mereka terpaksa membuang semua muatan ke laut untuk meringankan kapal (Yun. 1:5). Lalu pada akhirnya, badai itu mengancam nyawa mereka (Yun. 1:11). Hanya ketika Yunus menawarkan diri untuk dibuang ke laut —yang itu pun diikuti dengan ragu-ragu oleh para pelaut di kapal— maka badai itu mereda dan seluruh penumpang lain luput dari marabahaya (Yun. 1:12-15).

Tujuan panggilan dari Allah adalah untuk melayani orang lain. Panggilan Yunus adalah untuk kepentingan Niniwe. Ketika dia menolak tuntunan Allah, tak hanya orang-orang yang seharusnya ia layani jadi merana, tapi juga orang-orang di sekitarnya pun jadi menderita. Jika kita menyadari bahwa kita semua dipanggil untuk melayani Allah dalam pekerjaan kita—yang mungkin berbeda dengan pekerjaan Yunus, tetapi tidak kalah pentingnya bagi Allah (lihat artikel “Ikhtisar Tentang Panggilan”), maka kita akan menyadari bahwa kegagalan untuk melayani Allah dalam pekerjaan kita juga akan merugikan komunitas kita. Semakin kuat karunia dan talenta kita, semakin besar kerugian yang akan kita sebabkan dengan menolak tuntunan Allah dalam pekerjaan kita. Tentu kita semua bisa mengingat orang-orang yang dengan kemampuan luar biasa mereka jadi mampu untuk menyebabkan kerusakan besar di bidang bisnis, pemerintahan, masyarakat, ilmu pengetahuan, agama, dan yang lainnya. Bayangkanlah kebaikan yang dapat mereka lakukan, kejahatan yang dapat mereka hindari, kalau saja mereka mengerahkan kemampuan mereka untuk menyembah dan melayani Tuhan. Karunia-karunia kita mungkin tampak kecil jika dibandingkan dengan mereka, tetapi bayangkanlah kebaikan yang dapat kita lakukan dan kejahatan yang dapat kita hindari jika kita bekerja demi melayani Allah sepanjang hidup kita.

Berkat Allah bagi Segala Bangsa (Yunus 1:16, 3:1-4:2)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Yunus tidak menaati panggilan Allah karena ia keberatan terhadap maksud Allah untuk memberkati musuh-musuh Israel, yaitu bangsa Asyur dan ibu kotanya, Niniwe, dan ketika ia akhirnya mengalah dan misinya berhasil, ia dipenuhi rasa benci akan belas kasihan Allah kepada mereka (Yun. 4:1-2). Hal ini dapat dimengerti, karena pada akhirnya Asyur akan menaklukkan kerajaan Israel bagian utara (2 Raja-raja 17:6). Yunus diutus untuk memberkati orang-orang yang dibencinya. Meskipun demikian, itu adalah kehendak Allah. Ternyata, Allah bermaksud untuk memakai bangsa Israel untuk memberkati semua bangsa, bukan hanya memberkati bangsa Israel sendiri (lihat "Berkat untuk Segala Bangsa (Yeremia 29)" dalam “Yeremia & Ratapan dan Karya”).

Mungkinkah setiap dari kita sedang mencoba untuk membiarkan keterbatasan kita sendiri mempengaruhi seberapa jauh berkat Allah dapat menjangkau melalui pekerjaan kita? Kita sering berasumsi bahwa kita harus menimbun keuntungan dari pekerjaan untuk diri kita sendiri, agar orang lain tidak mengambil keuntungan dari kita. Kita mungkin terpaksa menggunakan kerahasiaan dan penipuan, kecurangan dan jalan pintas, eksploitasi dan intimidasi, demi mendapatkan keuntungan dari saingan di tempat kerja. Kita seolah-olah menerima asumsi yang belum terbukti sebagai sebuah kebenaran, bahwa kesuksesan di tempat kerja hanya bisa diraih dengan mengorbankan orang lain. Apakah kita mempercayai bahwa kesuksesan itu hanya tentang menang dan kalah semata?

Berkat Allah bukanlah sebuah ember yang kapasitasnya terbatas, melainkan sebuah mata air yang melimpah. "Ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak akan membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berlimpah-limpah." (Maleakhi 3:10). Terlepas dari adanya persaingan, keterbatasan sumber daya, dan kejahatan yang sering kita hadapi di tempat kerja, misi Allah bagi kita bukanlah semata tentang hal remeh seperti bertahan hidup melewati segala rintangan, melainkan agar tempat kerja kita mengalami transformasi yang luar biasa sehingga bisa menciptakan kreativitas dan produktivitas, hubungan dan keharmonisan sosial, dan keseimbangan lingkungan yang Allah maksudkan sejak mula.

Meskipun Yunus pada awalnya menolak terlibat dalam berkat Allah bagi musuh-musuhnya, pada akhirnya kesetiaannya kepada Tuhan mengalahkan ketidaktaatannya. Akhirnya dia memperingatkan orang-orang Niniwe, dan ia cukup terkejut ketika mereka menanggapi pesannya dengan penuh semangat. Seluruh kota, "semunya, baik orang dewasa maupun anak-anak " (Yun. 3:5b), mulai dari raja sampai para pembesarnya, orang-orang yang ada di jalan-jalan sampai kepada binatang-binatang yang ada di kandangnya, “berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya" (Yun. 3:8). "Lalu orang Niniwe percaya kepada Allah" (Yun. 3:5a) dan "Ketika Allah melihat apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, menyesallah Allah atas malapetaka yang akan dibuat-Nya terhadap mereka seperti yang telah disampaikan-Nya. Ia pun tidak jadi melakukannya" (Yun. 3:10). Yunus pun menjadi kecewa karena ia terus ingin mendikte hasil dari tugas yang telah Allah berikan kepadanya. Yunus menginginkan hukuman untuk Niniew, bukan pengampunan. Dia menghakimi dengan keras hasil pekerjaannya sendiri (Yun. 4:5) sehingga tak bisa merasakan sukacita orang lain. Apakah kita melakukan hal yang sama? Ketika kita bersedih karena pekerjaan kita tampak kurang signifikan atau berhasil, apakah kita sedang lupa bahwa hanya Allah yang dapat melihat nilai sesunguhnya dari pekerjaan kita?

Namun, bahkan momen sejenak ketika Yunus menaati Allah sekalipun, bisa membawa berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Di atas kapal, ia mengakui, "Aku takut akan Tuhan, Allah Semesta Langit" (Yun. 1:9) dan mengorbankan dirinya demi teman-teman sekapalnya. Alhasil, mereka diselamatkan dari badai, dan terlebih lagi, mereka menjadi pengikut Tuhan. "Orang-orang itu menjadi semakin takut kepada TUHAN, lalu mempersembahkan kurban sembelihan kepada Tuhan serta mengikrarkna nazar." (Yun. 1:16)

Jika kita mengakui bahwa pekerjaan kita dalam pelayanan kepada Allah jadi terhambat oleh ketidaktaatan, kebencian, kelambanan, ketakutan, keegoisan, atau hal-hal negatif lainnya, maka pengalaman Yunus bisa menjadi penyemangat bagi kita. Yunus menjadi contoh seorang nabi dengan kegagalan dalam pelayanan yang jauh lebih besar daripada kita. Namun, Allah tetap menggenapi misi-Nya dengan tuntas melalui pelayanan Yunus yang sempat terhenti, penuh kesalahan, dan terputus-putus. Dengan kuasa Allah, pelayanan kita yang buruk sekalipun dapat menggenapi segala sesuatu yang Allah kehendaki.

Pemeliharaan Allah terhadap Mereka yang Merespons Panggilan-Nya (Yunus 1:3, 12-14, 17; 2:10; 4:3-8)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Berdasarkan pengalaman Yunus, kita mungkin merasa takut bahwa panggilan Allah akan membawa kita ke dalam bencana dan kesulitan. Bukankah lebih mudah untuk berharap agar Allah tidak memanggil kita sama sekali? Memang benar bahwa merespons panggilan Tuhan mungkin membutuhkan pengorbanan dan kesulitan yang besar. [1] Namun dalam kasus Yunus, kesulitan itu muncul bukan karena panggilan Allah, melainkan karena ketidaktaatan Yunus terhadap panggilan itu. Karamnya kapal dan berdiamnya Yunus selama 3 hari di laut di dalam perut ikan besar terjadi karena ia berusaha melarikan diri dari hadirat Allah. Ketika kemudian Yunus terpapar terik matahari dan angin kencang serta mengalami keputusasaan sampai mau bunuh diri (Yunus 4:3-8) bukanlah penderitaan yang berasal dari Allah. Semua itu terjadi karena Yunus menolak untuk menerima berkat-berkat dari "Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya, dan yang tidak pernah berhenti menghukum" (Yunus 4:2).

Kebenarannya adalah Allah senantiasa bertindak untuk merawat dan menghibur Yunus. Allah menggerakkan orang-orang untuk berbelas kasihan kepadanya, seperti ketika para pelaut memilih untuk mencoba mendarat daripada menyetujui tawaran untuk melemparkan Yunus ke laut (Yun. 1:12-14). Allah mengirimkan seekor ikan untuk menyelamatkan Yunus supaya ia tidak tenggelam (Yun. 1:17) dan kemudian memerintahkan ikan tersebut untuk memuntahkan Yunus kembali ke daratan (Yun. 2:10). Dia membuat Yunus berkenan di antara orang-orang Niniwe, sehinga mereka memperlakukannya dengan hormat dan mendengarkan pesannya. Dia memberikan Yunus tempat berteduh dan berlindung di Niniwe (Yun. 4:5-6) pada saat-saat yang paling dibutuhkannya.

Jika kita menjadikan kisah Yunus sebagai contoh, panggilan Allah untuk melayani orang lain dalam pekerjaan kita tidak perlu sampai mengorbankan kesejahteraan kita sendiri. Jika kita mengharapkan sebaliknya, berarti kita terjebak dalam pola pikir menang dan kalah. Mengingat tindakan Allah yang luar biasa untuk memenuhi kebutuhan Yunus yang sudah menolak panggilan-Nya, bayangkan berkat-berkat apa yang akan seharusnya bisa dialami Yunus jika saja ia menerima panggilannya sejak awal. Fasilitas untuk melakukan perjalanan, teman-teman yang siap mempertaruhkan nyawa mereka untuknya, keharmonisan dengan alam, keteduhan dan tempat berlindung, penghargaan dari orang-orang di tempat ia bekerja, dan kesuksesan yang luar biasa dalam pekerjaannya—bayangkanlah betapa ia seharusnya bisa merasakan semua itu sebagai berkat-berkat yang besar, seandainya Yunus menerima semua itu sesuai dengan rencana Allah sejak awal. Sekalipun mungkin terasa kurang istimewa karena sikap penolakan Yunus, semua itu menunjukkan bahwa panggilan Allah untuk melayani juga merupakan panggilan untuk memberkati.