Dua Belas Nabi dan Pekerjaan
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Iman dan Pekerjaan Sebelum Pembuangan-Hosea, Amos, Obaja, Yoel, Mikha
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHosea, Amos, Mikha, Obaja dan Yoel aktif sebagai para nabi pada abad kedelapan ketika negara sudah berkembang, tetapi ekonomi sedang mengalami kemunduran. Kekuasaan dan kekayaan menumpuk pada kelompok masyarakat lapisan atas sementara kelompok masyarakat yang kurang beruntung semakin bertambah besar. Beberapa bukti menunjukkan, pada saat itu ada tren untuk bertani tanaman dagang demi memenuhi kebutuhan pangan di perkotaan yang terus meningkat. Tren itu memberi efek destabilisasi karena mengurangi penyebaran risiko, seperti yang sebelumnya ada dalam sistem pertanian swasembada.[1] Kelompok petani menjadi rentan terhadap berbagai variasi tahunan dalam produksi, sehingga banyak kota mengalami ketidakstabilan dalam pasokan makanan mereka (Amos 4:6-9). Ketika para nabi dari periode ini mulai angkat suara, masa-masa kejayaan di mana terjadi proyek-proyek pembangunan yang mewah serta perluasan wilayah, telah berlalu. Keadaan saat itu membuka kesempatan untuk melakukan korupsi bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka yang terus menurun, serta memperlebar jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin. Akibatnya, para nabi Allah dari periode ini memiliki banyak hal yang ingin disampaikan kepada dunia kerja.
Allah Membuat Perubahan Bisa Terjadi (Hosea 14:1-9, Amos 9:11-15, Mikha 4:1-5, Obaja 21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAllah yang sama yang menuntut perubahan, juga berjanji untuk membuat perubahan bisa terjadi. “Juga bagimu, hai Yehuda, telah ditentukan penuaian. Apabila Aku memulihkan keadaan umat-Ku, apabila Aku menyembuhkan Israel” (Hosea 6:11-7:1). Keduabelas Nabi membawa optimisme yang mendasar bahwa Allah terus bekerja di dunia untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Terlepas dari bagaimana orang-orang bisa mengalami kemenangan, pada hakikatnya Allah selalu memegang kendali, dan “kerajaan itu akan menjadi milik TUHAN” (Obaja 1:21). Terlepas dari bencana yang ditimpakan kepada manusia, Allah selalu bekerja untuk membawa kembali kebaikan ke dalam hidup dan pekerjaan sesuai kehendak-Nya sejak awal. “Sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Yoel 2:13). Nubuat penutup dari kitab Yoel, Hosea dan Amos (Hos. 14; Am. 9:11-15) mengilustrasikan hal ini secara eksplisit dengan menggunakaan istilah-istilah ekonomi.
Tempat-tempat pengirikan akan penuh dengan gandum, dan tempat-tempat penampungan berkelimpahan anggur dan minyak .... Kamu akan makan sepuasnya dan menjadi kenyang, dan kamu akan memuji-muji nama TUHAN, Allahmu, yang melakukan perbuatan ajaib bagimu. Umat-Ku tidak akan mendapat malu lagi untuk selama-lamanya. (Yoel 2:24, 26)
Ranting-rantingnya (Israel) akan merambak, semaraknya akan seperti pohon zaitun dan harumnya seperti pepohonan Libanon. (Hosea 14:7)
Aku akan memulihkan keadaan umat-Ku Israel; Mereka akan membangun kota-kota yang hancur luluh dan mendiaminya; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan minum anggurnya. Mereka akan membuat kebun-kebun buah-buahan dan makan buahnya. (Amos 9:14)
Firman Tuhan kepada umat-Nya di masa-masa kesulitan ekonomi dan sosial adalah bahwa Allah bermaksud untuk memulihkan perdamaian, keadilan, dan kemakmuran, jika umat-Nya mau hidup sesuai dengan ajaran perjanjian-Nya. Allah akan melakukan pemulihan itu lewat pekerjaan tangan umat-Nya.
Tanggung Jawab Individu dan Masyarakat atas Pekerjaan yang Tidak Adil (Mikha 1:1-7; 3:1-2; 5:10-15)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiWalaupun Allah mempunyai maksud-Nya sendiri, pekerjaan juga dipengaruhi oleh dosa manusia. Contoh yang paling mengerikan adalah pekerjaan pada intinya memang perbuatan dosa. Mikha menyebutkan tentang pelacuran, yang kemungkinan dalam hal mengacu pada pelacuran sebagai bagian dari kepercayaan sesat, dan ia berjanji bahwa upah dari pelacuran adalah hukuman bakar (Mikha 1:7).
Dengan demikian pelacuran tidak bisa diganggap sebagai pekerjaan yang sah, sekalipun dapat dipahami kalaupun dilakukan oleh mereka yang memang sudah tak punya cara lain untuk menafkahi diri sendiri atau keluarganya. Ada berbagai pekerjaan lain yang juga membuat kita bertanya: apakah pekerjaan itu layak dilakukan? Tentu saja kita dapat memikirkan berbagai contoh, dan orang Kristen selayaknya mencari pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.
Namun, Mikha berbicara kepada bangsa Israel secara keseluruhan, bukan hanya kepada orang-orang tertentu. Ia mengkritik masyarakat di mana kondisi sosial, ekonomi, dan agama di dalamnya membuat pelacuran menjadi lumrah. Pertanyaannya bukanlah, “Apakah mencari nafkah sebagai pelacur dapat diterima,” melainkan, “Bagaimana masyarakat harus berubah supaya orang tidak perlu melakukan pekerjaan yang merendahkan atau berbahaya?” Mikha meminta pertanggungjawaban bukan kepada mereka yang merasa terpaksa untuk melakukan pekerjaan yang buruk, melainkan kepada para pemimpin yang gagal mereformasi masyarakat. Kata-katanya pedas. “Dengarlah, hai para pemuka Yakub dan para pemimpin kaum Israel! Bukankah selayaknya kamu mengetahui keadilan, hai kamu yang membenci kebaikan dan yang mencintai kejahatan? Kamu yang mencabik kulit tubuh bangsaku dan daging dari tulang-tulangnya?” (Mikha 3:1-2).
Masyarakat kita saat ini berbeda dengan masyarakat di zaman Mikha, dan solusi spesifik yang Allah janjikan kepada Israel pada zaman dulu bukan begitu saja mewakili apa yang Allah kehendaki pada masa kini. Kata-kata nubuatan Mikha mencerminkan hubungan antara ritual pelacuran dan pemujaan berhala pada zamannya saat itu. Allah berjanji untuk mengakhiri semua pelanggaran sosial yang berpusat di kuil-kuil pemujaan. “Aku akan melenyapkan patung-patungmu dan tugu-tugu berhalamu dari tengah-tengahmu. Engkau tidak akan lagi sujud menyembah buatan tanganmu. Aku akan mencabut tiang-tiang berhalamu dari tengah-tengahmu dan akan memusnahkan kota-kota pemujaanmu. ” (Mikha 5:13-14). Pada zaman sekarang, kita membutuhkan hikmat dari Allah untuk menemukan solusi yang efektif atas berbagai faktor-faktor sosial masa kini yang mendorong munculnya pekerjaan yang memicu dosa dan penindasan. Pada saat yang bersamaan, layaknya para nabi Israel, kita perlu memanggil orang-orang untuk bertobat dari pekerjaan yang penuh dosa. “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup. Dengan demikian, TUHAN, Allah Semesta Alam, akan menyertai kamu” (Amos 5:14).
Bekerja dengan Tidak Adil (Hosea 4:1-10; Yoel 2:28-29)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika para nabi berbicara tentang pelacuran, mereka jarang hanya sekadar menyinggung bidang pekerjaan tertentu. Biasanya mereka juga menggunakannya sebagai metafora dari ketidakadilan, yang menurut definisi adalah ketidaksetiaan terhadap perjanjian Allah (Hosea 4:7-10). Dalam sebuah peringatan yang luas bahwa upah dapat diperoleh secara tidak adil, Amos menuduh para pedagang yang menggunakan produk yang lebih rendah, timbangan yang salah, dan tipu daya lainnya untuk meraup untung dengan mengorbankan konsumen yang rentan. Mereka berkata dalam hati: “Supaya kita boleh menawarkan terigu dengan memperkecil ukuran efa, memperbesar berat syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut, serta menjual gandum yang rusak?” (Amos 8:5-6).
Banyak cara mencari nafkah yang sah dapat menjadi tidak adil karena cara melakukannya. Haruskah seorang fotografer memotret apa pun yang diminta oleh kliennya, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap subjek dan pemirsanya? Haruskah seorang ahli bedah melakukan segala jenis operasi elektif yang mungkin bersedia dibayar oleh pasien? Apakah broker hipotek bertanggung jawab untuk memastikan kemampuan peminjam untuk membayar kembali pinjaman tanpa kesulitan yang tidak semestinya? Jika pekerjaan kita adalah suatu bentuk pelayanan di bawah Tuhan, kita tidak dapat mengabaikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak membayangkan sebuah hierarki pekerjaan. Klaim para nabi bukanlah bahwa beberapa jenis pekerjaan lebih saleh daripada yang lain, tetapi bahwa semua jenis pekerjaan harus dilakukan sebagai sumbangsih bagi pekerjaan Allah di dunia. “Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-ku pada hari-hari itu,” demikianlah Allah berjanji (Yoel 2:29).
Keadilan Allah Mencakup Keadilan dalam Pekerjaan dan Ekonomi (Amos 8:1-6, Mikha 6:1-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKeadilan dalam pekerjaan bukan hanya persoalan individu. Semua orang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang dalam masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencari nafkah. Amos mengkritik Israel atas ketidakadilan dalam hal ini secara gamblang dengan menyinggung tentang hukum memungut hasil. Memungut di sini merupakan proses memungut bulir-bulir gandum yang tersisa di ladang setelah para penuai selesai bekerja. Menurut perjanjian Allah dengan Israel, para petani tidak diizinkan untuk memungut sisa tuaian di ladang mereka sendiri, tetapi harus mengizinkan orang-orang miskin (secara harfiah berarti “janda dan yatim piatu”) untuk melakukan pekerjaan itu sebagai cara untuk menghidupi diri mereka sendiri (Ulangan 24:19). Ketetapan itu membentuk kesejahteraan sosial yang cukup mendasar, di mana orang miskin diberi kesempatan untuk bekerja (dengan memetik sisa tuaian di ladang) daripada harus mengemis, mencuri atau kelaparan.
Memungut sisa tuaian adalah cara untuk terlibat dalam pekerjaan yang bermartabat, terutama bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam pasar ketenagakerjaan karena kekurangan sumber daya, dislokasi sosial-ekonomi, diskriminasi, disabilitas, atau faktor-faktor lainnya. Allah tidak hanya ingin agar kebutuhan setiap orang terpenuhi, tetapi juga ingin agar setiap orang memiliki martabat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka dan kebutuhan orang lain.
Amos mengeluhkan tentang bagaimana ketetapan tersebut dilanggar. Para petani tidak membiarkan sisa tuaian gandum di ladang mereka untuk dipungut oleh orang miskin (Mikha 7:1-2). Sebaliknya, mereka menawarkan untuk menjual sekam -sisa-sisa yang tertinggal setelah pengirikan- kepada orang miskin dengan harga yang sangat rendah. “…kamu yang menginjak-injak orang miskin, yang membinasakan orang sengsara di negeri ini,” Amos menuduh mereka, ‘... menjual gandum yang rusak’ (Amos 8:4, 6).
Amos menuduh mereka menunggu dengan gelisah sampai hari Sabat berakhir, sehingga mereka dapat terus menjual produk makanan yang murah dan tercemar itu kepada orang-orang yang tidak punya pilihan lain selain membelinya (Amos 8:5).
Selain itu, mereka juga menipu orang-orang yang mampu membeli gandum murni, seperti yang terlihat dari timbangan yang dicurangi di pasar. “Kami akan membuat efa [gandum yang dijual] menjadi kecil dan syikal [harga jual] menjadi besar,” demikianlah mereka menyombongkan diri. Mikha menyatakan penghakiman Allah terhadap perdagangan yang tidak adil. “Akankah Aku membenarkan neraca palsu atau pundi-pundi berisi batu timbangan yang curang?” demikianlah firman Tuhan (Mikha 6:11). Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa keadilan bukan hanya tentang hukum pidana dan ekspresi politik, tetapi juga tentang kesempatan ekonomi.
Kesempatan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan individu dan keluarga sangat penting bagi peran seseorang yang terlibat di dalam perjanjian. Keadilan ekonomi adalah komponen penting dari pernyataan Mikha yang terkenal dan terngiang hanya dalam 3 ayat sebelumnya, “Apakah yang dituntut TUHAN darimu selain berlaku adil, mencintai kesetiaam, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi 6:8). Allah mengharuskan umat-Nya - sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka - untuk mencintai kebaikan dan melakukan keadilan secara individu dan sosial, dalam setiap aspek pekerjaan dan kehidupan ekonomi.
Kerja dan Ibadah (Mikha 6:6-8; Amos 5:21-24; Hosea 4:1-10)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKeadilan bukanlah sekadar permasalahan sekuler, seperti yang dilihat oleh para nabi. Seruan Mikha untuk membela keadilan dalam Mik. 6:8 berasal dari pengamatan bahwa keadilan itu lebih baik daripada korban-korban ritual agamawi yang berlebihan (Mik 6:6-7). Hosea dan Amos pun mengembangkan poin ini. Amos keberatan dengan keterputusan antara ketaatan agama dan tindakan etis.
“Aku membenci, Aku menghina perayaanmu, dan Aku tdak menyukai perkumpulan rayamu. Meskipun kamu mempersembahkan kepada-Ku kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sajianmu, Aku tidak suka, dan kurban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, tidak akan Kupandang. Jauhkanlah dari-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak akan Kudengar. Tetapi, hendaklah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Amos 5:21-24)
Kitab Hosea membawa kita ke dalam pemahaman yang lebih tentang hubungan antara memiliki dasar kehidupan rohani dan melakukan pekerjaan yang baik. Perbuatan baik muncul secara langsung dari kesetiaan kepada perjanjian Allah, dan sebaliknya, perbuatan jahat menjauhkan kita dari hadirat Allah.
Dengarlah firman TUHAN, hai orang Israel, sebab TUHAN mempunyai perkara dengan penduduk negeri ini, sebab tidak ada kesetiaan, tidak ada kasih, dan tidak ada pengenalan akan Allah di negeri ini; hanya mengutuk, berdusta, membunuh, mencuri, berzina, melakukan kekerasan, dan penumpahan darah disusul penumpahan darah. Sebab itu, negeri ini akan berkabung, seluruh penduduknya akan merana; binatang-binatang liar dan burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut pun akan terkumpul mati. Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkau menolak pengenalan itu, Aku pun akan menolakmu sebagai imam-Ku. Karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, Aku pun akan melupakan anak-anakmu. (Hosea 4:1-3, 6)
Ini merupakan pengingat bagi kita bahwa dunia kerja bukanlah sebuah ruang hampa yang terpisah dari seluruh askep lain dalam kehidupan. Jika semua nilai dan prioritas yang kita hidupi tidak dilandaskan pada perjanjian Allah, maka kehidupan dan pekerjaan kita akan menjadi kacau baik secara etika maupun rohani. Jika kita tidak menyukakan Allah dalam pekerjaan kita, maka kita tidak akan dapat menyukakan-Nya dalam ibadah kita.
Sikap Apatis Karena Kekayaan (Amos 3:9-15, 6:1-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPara nabi mengkritik orang-orang yang karena sudah kaya raya, tak lagi memedulikan kebaikan bersama dan mengabaikan rasa tanggung jawab terhadap sesama mereka. Amos mengaitkan kekayaan yang ditumpuk dengan penindasan ketika ia menuduh orang-orang kaya yang tidak bekerja, melakukan pelanggaran, kekerasan dan perampokan (Amos 3:10). Allah akan segera mengakhiri kekayaan orang-orang yang demikian. Allah akan “merobohkan balai musim dingin serta balai musim panas; hancurlah rumah-rumah gading” (Amos 3:15). Amos melontarkan kecaman keras terhadap kemewahan “orang yang merasa nyaman di Sion” (Amos 6:1). Ia mengamati bahwa mereka “berleha-leha di ranjang ” (Amos 6:4) dan “bernyanyi-nyanyi diiringi alunan gambus” (Amos 6:5). Ketika Tuhan menghukum Israel, mereka akan menjadi “yang pertama-tama akan diangkut sebagai orang buangan” (Amos 6:7).
Cukup mengejutkan bahwa keluhan yang sama masih terjadi pada zaman sekarang terhadap mereka yang memiliki kekayaan, tetapi tidak menggunakannya untuk tujuan yang baik. Baik mereka sebagai individu maupun perusahaan, pemerintah, dan institusi lain yang menggunakan kekayaan mereka untuk mengeksploitasi kerentanan orang lain, daripada menciptakan sesuatu yang berguna sesuai dengan kekayaan mereka. Banyak orang Kristen —yang mungkin merupakan mayoritas di dunia bagian Barat— memiliki kemampuan untuk mengubah semua ini, setidaknya dalam lingkungan kerja mereka. Nubuatan para nabi menjadi tantangan dan dorongan yang terus menerus untuk lebih peduli tentang bagaimana pekerjaan dan kekayaan melayani —atau gagal melayani— orang-orang di sekitar kita.
Iman dan Pekerjaan Selama Masa Pembuangan - Nahum, Habakuk, Zefanya
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiNahum, Habakuk dan Zefanya aktif dalam pelayanan kenabian mereka selama periode di mana Kerajaan Selatan mulai mengalami kemunduran dengan cepat. Ketidakselarasan internal ditambah tekanan eksternal dari kerajaan Babel yang sedang berkembang mengakibatkan takluknya Yehuda menjadi kerajaan bawahan Babel. Tak lama setelah itu, sebuah pemberontakan yang disulut nubuatan palsu mendatangkan kemarahan Babel pada tahun 587 SM, yang berujung pada keruntuhan kerajaan Yehuda dan pembuangan para elitnya ke pusat kekaisaran Babel (2 Raja-raja 24-25). Dalam pembuangan, bangsa Israel harus berusaha untuk menjaga iman mereka dalam kondisi terpisahkan dari lembaga-lembaga keagamaan, bait suci, imam, maupun tanah kelahiran mereka. Jika enam kitab pertama, seperti yang telah kita baca, bercerita tentang dampak dari dosa umat Israel, maka ketiga kitab ini - Nahum, Habakuk, dan Zefanya - bercerita tentang hukuman atas dosa mereka yang terjadi dalam periode ini.
Tangan Tuhan yang Menghukum (Nahum 1:1-12; Habakuk 3:1-19; Zefanya 1:1-13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAndil utama kitab Nahum adalah memperjelas bahwa bencana politik dan ekonomi merupakan hukuman dan pendisiplinan dari Allah atas Israel. "Aku telah menghukum engkau," demikian Allah berfirman (Nahum 1:12). Habakuk dan Zefanya menyatakan bahwa bagian penting dari hukuman Allah adalah berkurangnya kemampuan orang-orang Israel untuk bekerja demi penghidupan yang layak.
Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, dan hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu dalam kandang... (Habakuk 3:17)
Sebab segenap kaum pedagang sudah habis, segenap penimbang perak sudah lenyap. (Zefanya 1:11)
Hukuman itu tak cuma hadir dalam bentuk kesulitan ekonomi, tetapi juga dalam bentuk gangguan lingkungan hidup (lihat di bawah pada bagian Hagai: Pekerjaan, Ibadah dan Lingkungan Hidup).
Apakah bencana-bencana alam, politik, dan ekonomi yang terjadi pada masa kini merupakan hukuman dari Allah? Tidak sedikit orang yang percaya dan menyatakan bahwa bencana-bencana tertentu adalah tanda-tanda kemurkaan Allah. Gempa bumi dan tsunami pada tahun 2011 di Jepang dianggap sebagai hukuman ilahi baik oleh Gubernur Tokyo[1] maupun seorang pembawa acara berita televisi MSNBC. Namun, kecuali kita adalah salah salah satu dari kedua belas rasul atau nabi-nabi Israel lainnya, kita harus sangat berhati-hati sebelum menyatakan murka Allah dalam peristiwa-peristiwa di dunia. Apakah memang Allah sendiri yang menyatakan alasan terjadinya tsunami kepada mereka, ataukah mereka menafsirkan dan menarik kesimpulan sendiri?
Apakah Dia menyatakan maksud-Nya kepada sejumlah besar orang, jauh di masa lalu, selama bertahun-tahun sebelumnya, seperti yang dilakukan-Nya kepada para nabi Israel, ataukah pengungkapan itu datang hanya kepada satu atau dua orang pada hari kejadiannya? Apakah mereka yang maju untuk menyatakan hukuman Allah di zaman modern sudah ditempa sebagai nabi melalui penderitaan selama bertahun-tahun bersama dengan mereka yang menderita, layaknya Yeremia, keduabelas nabi-nabi maupun nabi-nabi lainnya di zaman Israel kuno?
Pekerjaan yang Menjadi Berhala (Habakuk 2:1-20; Zefanya 1:14-18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHukuman yang bangsa Israel alami adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri. Mereka mengabaikan ketaatan saat bekerja, sehingga mengubah berbagai batu, kayu, dan logam yang baik menjadi berhala. Pekerjaan yang menciptakan berhala tidak ada nilainya, tidak peduli seberapa mahal bahannya atau seberapa bagus hasilnya.
Apa gunanya patung pahatan, yang dipahat oleh pembuatnya? Apa gunanya patung tuangan, pengajar dusta itu? Sebab, pembuatnya percaya kepada buatannya, padahal berhala-berhala buatannya itu bisu belaka. (Habakuk 2:18)
Seperti yang dikatakan Zefanya, "perak atau emas tidak dapat menyelamatkan mereka" (Zef. 1:18).
Kesetiaan bukanlah sedangkal perkara menaikkan pujian kepada Tuhan saat kita sedang bekerja, melainkan sebuah sikap mengutamakan prioritas-prioritas Allah dalam pekerjaan kita. Habakuk mengingatkan bahwa "Tetapi TUHAN ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!" (Hab. 2:20). Berdiam di sini bukan berarti sekadar mengamati secara religius, melainkan tentang mengendapkan kebisingan ambisi, ketakutan, dan motivasi kita yang telah telah rusak, sehingga prioritas-prioritas yang menjadi bagian dari perjanjian Allah bisa menjadi prioritas kita. Perhatikanlah apa yang menanti mereka yang menipu orang lain di bidang perbankan dan keuangan.
Sungguh celaka orang yang menumpuk bagi dirinya apa yang bukan miliknya! Sampai berapa lama lagikah? Demikian pula orang yang menimbuni dirinya dengan barang gadaian. Bukankah dengan sekonyong-konyong akan bangkit para penagih utangmu, dan akan terjaga mereka yang mengejutkan engkau, sehingga engkau menjadi rampasan bagi mereka? (Hab. 2:6-7)
Orang-orang yang mengambil keuntungan secara licik dalam bidang properti -sebuah fenomena yang sepertinya terus terjadi sepanjang masa– sedang memerangkap diri mereka sendiri.
"Sungguh celaka orang yang mengambil laba yang tidak halal untuk keperluan rumahnya, untuk menempatkan kediamannya di tempat yang tinggi, supaya terluput dari enggaman malapetaka! Engkau telah merancangkan cela atas rumahmu ketika engkau menghabisi banyak bangsa dan dengan demikian mencelakakan dirimu sendiri. Sebab, batu berteriak dari tembok, dan balok menjawabnya dari rangka rumah. (Hab. 2:9-11)
Mereka yang mengeksploitasi kerentanan orang lain juga membawa penghakiman atas diri mereka sendiri.
“Cungguh celaka orang yang memberi sesamanya minum campuran amarah, bahkan memabukkan mereka supaya dapat melihat aurat mereka. Engkau akan kenyang dengan kehinaan, bukan dengan kemuliaan. Engkau sendiri, minumlah juga sampai terhuyung-huyung. Kepadamulah akan beralih piala dari tangan kanan TUHAN, dan kehinaan akan menutupi kemuliaanmu. (Hab. 2:15-16)
Pekerjaan yang sifatnya menindas atau mengambil keuntungan dari orang lain pada akhirnya akan membawa kehancuran.
Pada zaman ini, kita mungkin tidak secara harfiah membuat berhala-berhala dari bahan-bahan berharga yang kemudian kita sembah. Namun, pekerjaan pun bisa menjadi berhala jika kita menganggap bahwa kita mampu memberi keselamatan bagi diri kita sendiri. Esensi dari penyembahan berhala adalah bahwa "pembuatnya mengandalkan hasil pekerjaan tangannya sendiri" (Hab. 2:18), dan bukannya mengandalkan Allah yang telah menciptakan kita untuk bekerja sesuai tuntunan dan kuasa-Nya. Jika kita berambisi untuk memiliki kekuasaan dan pengaruh karena kita berpikir bahwa tanpa kebijaksanaan, keahlian, kepemimpinan dan pekerjaan kita maka komunitas, perusahaan, organisasi, atau bangsa kita akan hancur, maka ambisi kita sudah menjadi berhala. Sebaliknya, jika kita berambisi untuk mempunyai kekuasaan dan pengaruh supaya dapat menarik orang lain ke dalam lingkup pelayanan di mana setiap orang membagikan karunia Allah kepada dunia, maka ambisi kita adalah bentuk kesetiaan kita kepada-Nya. Jika respons kita terhadap kesuksesan adalah memuji diri sendiri, maka kita sedang mempraktikkan penyembahan berhala. Jika respons kita adalah ucapan syukur, maka kita sedang menyembah Allah. Jika reaksi kita terhadap kegagalan adalah keputusasaan, maka kita sedang merasakan kehampaan layaknya berhala yang hancur, tetapi jika reaksi kita adalah ketekunan, maka kita sedang mengalami kuasa keselamatan dari Allah.
Kesetiaan di Tengah Kesulitan (Habakuk 2:1; Zefanya 2:1-4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAda dinamika lain yang terjadi selama masa pembuangan. Terlepas dari bagaimana isi kitab-kitab Nahum, Habakuk dan Zefanya menekankan tentang penghukuman, bangsa Israel juga mulai belajar kembali bagaimana untuk tetap setia kepada Allah dalam pekerjan mereka selama dalam pembuangan. Hal ini dibahas dengan lengkap dalam bagian-bagian lain dari Teologi Kerja seperti Yeremia & Ratapan dan Pekerjaan serta Daniel dan Pekerjaan, tetapi juga diisyaratkan di dalam keduabelas kitab-kitab nabi kecil. Poin utamanya adalah bahwa bahkan dalam keadaan yang menyedihkan dalam pembuangan, masih ada kesempatan untuk tetap setia. Di tengah pembantaian yang dia lihat terjadi di sekelilingnya, walau tentu berharap bisa berada di tempat lain, Habakuk bertekad untuk tetap berjaga di tempat pengintaiannya dan menantikan Firman Allah (Hab. 2:1). Namun, seberapapun bermanfaatnya berjaga dan menanti di tempat, ada banyak hal lain yang juga bisa dilakukan. Kita bahkan dapat menemukan cara untuk menjadi benar dan rendah hati.
Carilah TUHAN, hai semua orang yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya. Carilah keadilan, carilah kerendahan hati. Mungkin saja kamu akan terlindung pada hari kemurkaan TUHAN. (Zefanya 2:3)
Tidak ada tempat kerja yang ideal. Beberapa tempat kerja sangat menyulitkan umat Allah karena sudah tercemar dalam segala aspek, sementara tempat-tempat kerja lainnya memiliki kekurangan dalam hal yang lebih sederhana. Namun, bahkan di tempat kerja yang menyulitkan sekalipun, kita tetap dapat setia mewartakan rencana-rencana Allah, melalui kualitas yang terpancar dari kehadiran maupun pekerjaan kita. Habakuk mengingatkan bahwa tidak peduli seberapa sia-sia tampaknya pekerjaan kita, Allah hadir bersama kita dalam pekerjaan kita, memberikan sukacita yang terus hadir bahkan melewati kondisi terburuk dalam pekerjaan kita sekalipun.
Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, dan hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu dalam kandang, aku akan bersukacita di dalam TUHAN, bersorak-sorai di dalam Allah Penyelamatku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku. Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membuat aku mampu berjalan di tempat tinggi. (Habakuk 3:17-19)
Atau, seperti yang diungkapkan oleh Terry Barringer,
Meskipun kontrak telah selesai, dan tidak ada pekerjaan untuk dilakukan;
Meskipun tidak ada yang memerlukan keahlian saya, dan tidak ada yang menerbitkan karya saya.
Meskipun tabungan habis, dan uang pensiun tidak cukup untuk hidup;
Namun aku akan bersukacita di dalam Tuhan, aku akan bersukacita di dalam Allah, Juruselamatku.[1]
Seperti yang dikatakan dalam ayat 19, pekerjaan yang baik dapat dilakukan bahkan di tengah-tengah keadaan yang sulit, karena "TUHAN adalah kekuatanku." Kesetiaan bukanlah hanya tentang bertahan dalam kesulitan, tetapi juga membuat situasi terburuk sekalipun menjadi lebih baik, dengan cara apa pun yang kita bisa.
Kesetiaan dalam Pekerjaan Setelah Masa Pembuangan-Hagai, Zakharia, Maleakhi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah masa pembuangan mereka berakhir, kehidupan bermasyarakat dan beragama orang-orang Yahudi mengalami pemulihan, di tanah perjanjian dari Allah. Kota Yerusalem dan Bait Allah dibangun kembali, termasuk seluruh infrastruktur untuk tatanan ekonomi, sosial, dan keagamaan masyarakat Yahudi. Isi dari Kedua Belas Kitab Para Nabi pun mulai membahas berbagai tantangan yang terjadi dalam pekerjaan akibat dosa dan hukuman.
Kebutuhan akan Modal Sosial (Hagai 1:1 - 2:19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalah satu tantangan yang kita hadapi dalam pekerjaan adalah godaan untuk mementingkan diri dan keluarga sendiri daripada masyarakat. Nabi Hagai melukiskan tantangan ini dengan begitu jelas. Dia mengecam orang-orang yang bekerja keras membangun kembali rumah mereka sendiri tanpa memedulikan pemugaran bait suci sebagai pusat kemasyarakatan orang-orang Yahudi. "Apa sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang berlapis papan, sedangkan bait ini masih berupa reruntuhan?" (Hagai 1:4). Hagai berkata bahwa kelalaian mereka untuk berinvestasi di dalam modal sosial sebenarnya mengurangi produktivitas individual mereka.
Kamu menabur banyak, tetapi hasilnya sedikit; kamu makan, tetapi tidak kenyang; kamu minum, tetapi tidak puas; kamu berpakaian, tetapi tidak merasa hangat. Orang yang bekerja untuk upah, mendapat upah dalam pundi-pundi yang berlubang. (Hag. 1:6)
Ketika Tuhan membangkitkan semangat umat dan para pemimpin mereka, mereka pun mulai berinvestasi untuk membangun kembali bait suci dan tatanan masyarakat (Hagai 1:14-15).
Berinvestasi dalam modal sosial akan mengingatkan kita bahwa tidak ada manusia yang mampu untuk sepenuhnya berdiri sendiri. Meskipun kekayaan yang besar dapat terkumpul dengan upaya individual, masing-masing dari kita bergantung pada sumber daya dan infrastruktur sosial yang pada dasarnya berasal dari Allah. "Aku akan memenuhi bait ini dengan kemuliaan, firman TUHAN Semesta Alam. Milik-Kulah perak dan milik-Kulah emas, demikian firman Tuhan Semesta Alam (Hag. 2:8-9). Kemakmuran bukan berasal hanya—pun bukan berasal terutama—dari usaha pribadi, melainkan dari usaha sebuah komunitas yang berlandaskan pada perjanjian Allah. "Di tempat ini Aku akan memberi damai sejahtera, demikianlah firman TUHAN Semesta Alam." (Hag. 2:10).
Betapa konyolnya jika kita berpikir bahwa kita harus memenuhi kebutuhan diri kita sendiri terlebih dahulu supaya bisa meluangkan waktu untuk Tuhan dan umat-Nya. Sesungguhnya, kita justru tidak dapat memenuhi kebutuhan diri kita sendiri kecuali dengan anugerah kemurahan hati Allah dan bekerja sama dari komunitas-Nya. Konsep yang sama juga berlaku untuk persepuluhan. Persepuluhan bukanlah pengorbanan sebesar 10% dari hasil panen, melainkan ucapan syukur atas berkat hasil yang 100% merupakan hasil karya Allah.
Menilik zaman sekarang, kita jadi diingatkan akan pentingnya menempatkan sumber daya ke dalam aspek-aspek kehidupan yang bersifat non-material. Tempat tinggal, makanan, kendaraan, dan semua kebutuhan material lainnya memang penting. Namun, Allah mencukupi kita sedemikian rupa sehingga kita pun mampu menikmati seni, musik, pendidikan, alam, rekreasi, dan berbagai hal yang memberi makanan kepada jiwa kita. Mereka yang bekerja di dunia seni, kemanusiaan, maupun rekreasi, atau yang menggunakan uang mereka untuk membangun taman, taman bermain, dan teater, memberikan kontribusi yang sama besarnya dengan para pengusaha maupun tukang kayu, dalam mewujudkan dunia yang Allah rencanakan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa berinvestasi di dalam gereja dan kehidupan berjemaat sangat penting untuk memberdayakan orang-orang Kristen dalam pekerjaan mereka. Seperti kita tahu, ibadah orang Kristen sangat erat kaitannya dengan melakukan pekerjaan yang baik, dan mungkin kita harus memperlakukan ibadah sebagai perwujudan pekerjaan baik, bukan semata sebagai kegiatan perenungan pribadi atau mengisi waktu luang. Selain itu, komunitas orang-orang Kristen dapat menjadi kekuatan yang mendukung kesejahteraan ekonomi, sipil dan sosial, jika mereka mau belajar untuk membawa kuasa spiritual dan etika dalam firman Allah untuk diterapkan dalam pekerjaan di bidang ekonomi, sosial, pemerintahan, akademis, medis, ilmiah dan bidang-bidang pekerjaan lainnya.
Pekerjaan, Ibadah, dan Lingkungan (Hagai 1:1-2:19; Zakharia 7:8-14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHagai menghubungkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat dengan keadaan lingkungan. Melalui penyusunan kata-kata yang akan lebih jelas dalam bahasa Ibrani daripada dalam terjemahan bahasa lain, Hagai mengaitkan kehancuran bait suci ("reruntuhan" atau hareb dalam bahasa Ibrani, Hagai 1:9) dengan kehancuran tanah dan hasil panen ("kekeringan," atau horeb dalam bahasa Ibrani) yang juga mengakibatkan han kesejahteraan "manusia dan hewan serta ke atas segala upaya tanganmu " (Hagai 1:11). Titik puncak dari hubungan ini adalah kondisi bait suci, yang menjadi semacam pertanda tentang kesetiaan atau ketidaksetiaan umat. Jadi ada hubungan tiga arah antara ibadah, kesehatan sosial-ekonomi, lingkungan dan ibadah. Ketika ada penyakit di lingkungan fisik tempat yang kepadanya kita bergantung, maka berarti ada penyakit di dalam masyarakat, dan salah satu tanda masyarakat yang tidak sehat adalah tindakan-tindakannya yang berkontribusi dalam menyebabkan adanya penyakit di lingkungan tersebut.
Ada juga hubungan antara cara sebuah komunitas beribadah dan merawat tanah, dengan kondisi ekonomi dan politik mereka yang mendiami tanah tersebut. Para nabi mengajak kita untuk mempelajari kembali bahwa rasa hormat kepada Sang Pencipta bumi yang kita tempati merupakan titik mula untuk terjadinya perdamaian antara bumi dan penghuninya. Bagi Hagai, kekeringan di negeri itu dan kehancuran Bait Allah tidak dapat dipisahkan. Penyembahan yang benar dan sepenuh hati akan membawa kedamaian dan berkat bagi negeri itu. "Mulai dari hari diletakkannya dasar Bait TUHAN perhatikanlah apakah benih masih ada dalam lumbung, dan apakah pokok anggur, pohon ara, pohon delima, pohon zaitun belum berbuah? Mulai hari ini Aku akan memberi berkat!" (Hag. 2:19b-20). Zakharia juga menarik hubungan antara dosa manusia dengan kehancuran negeri itu. Mereka yang berkuasa "menindas janda dan anak yatim, pendatang dan orang miskin" (Zakharia 7:10). "Mereka membuat hati mereka keras seperti intan, supaya jangan mendengar pengajaran dan firman yang disampaikan TUHAN Semesta Slam" (Zakharia 7:12). Akibatnya, lingkungan menjadi rusak, dan dengan demikian "negeri yang indah itu menjadi tempat yang sunyi sepi." (Zak 7:14). Yoel telah mengamati awal mula dari kerusakan ini jauh sebelum masa pembuangan. "Pokok anggur sudah kering dan pohon ara sudah layu; pohon delima, pohon kurma dan pohon apel, segala pohon di padang sudah kering. Sungguh, sukacita memudar dari anak-anak manusia." (Yoel 1:12).
Mengingat pentingnya pekerjaan dan praktik-praktik kerja bagi kesehatan lingkungan, jika orang-orang Kristen melakukan pekerjaan mereka sesuai dengan visi Kedua Belas Nabi, kita dapat memberikan dampak yang sangat bermanfaat bagi planet ini dan semua orang yang mendiaminya.[1] Ini adalah tanggung jawab lingkungan yang mendesak bagi umat beriman untuk mempelajari cara-cara yang konkret dalam melandaskan pekerjaan mereka pada penyembahan kepada Allah
Nubuat panjang dari Hagai tentang kemurnian (Hagai 2:10-19) juga menunjukkan hubungan antara kemurnian dan kesuburan tanah. Tuhan tidak menyukai bagaimana karena kenajisan umat-Nya, "segala yang dibuat tangan mereka dan yang dipersembahkan mereka, najis adanya" (Hag. 2:15). Ini menjadi bagian yang secara umum menunjukkan hubungan antara ibadah dan kesehatan lingkungan. Salah satu aplikasinya mungkin adalah bahwa alam yang murni adalah alam yang dikerjakan dengan cara-cara yang menjaga kesinambungannya oleh pihak yang telah diberikan tanggung jawab oleh Tuhan untuk kesejahteraannya, yaitu manusia. Dengan demikian, kemurnian menuntut adanya rasa hormat terhadap keberadaan seluruh ciptaan beserta tatanannya, kesehatannya secara keseluruhan, kelangsungan hidup dan kesejahteraan spesiesnya, serta pembaruan produktivitasnya. Demikianlah kita kembali lagi ke hal tentang orang Kristen dan praktik-praktik kerja yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, apabila kehancuran merupakan bagian dari hukuman Allah atas dosa umat-Nya seperti diceritakan dalam kedua belas kitab para nabi, maka tanah yang kembali produktif merupakan bagian dari pemulihan mereka. Memang, walaupun situasinya sangat berbeda, penglihatan Zakharia sangat mirip dengan penglihatan yang Amos peroleh pada masa kejayaan Israel: orang-orang hidup makmur yang ditandai dengan dengan mereka duduk di bawah pohon ara yang mereka tanam. "Pada hari itu, demikianlah firman Tuhan Semesta Alam, setiap orang di antaramu akan mengundang temannya untuk duduk di bawah pokok anggur dan di bawah pohon ara." (Zak 3:10). Perdamaian dengan Allah ditandai dengan sikap merawat bumi yang merupakan ciptaan-Nya. Tanah yang subur, tentu saja, harus diusahakan agar dapat menghasilkan buah. Demikianlah dunia kerja mempunyai kaitan yang sangat erat dengan terwujudnya hidup yang berkelimpahan.
Dosa dan Pengharapan Tetap Ada dalam Pekerjaan (Maleakhi 1:1-4:6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBahkan pada masa pemulihan sekalipun, dosa manusia selalu menguntit dekat. Maleakhi, nabi ketiga dari para nabi pemulihan, mengeluh tentang orang-orang yang mulai mengambil keuntungan dengan mencurangi upah para pekerja mereka (Mal. 3:5). Tak heran, orang-orang tersebut juga mencemari ibadah di Bait Allah dengan mengorupsi persembahan yang mereka berikan (Mal. 1:8-19), dan akibatnya, lingkungan pun menjadi rusak (Mal. 3:11).
Namun, pengharapan para nabi tetap ada, dan pekerjaan menjadi pusat dari pengharapan itu. Dimulai dengan janji pemulihan infrastruktur religius/sosial bait suci. "Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku agar ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Tiba-tiba Tuhan yang kamu cari itu akan datang ke bait-Nya! Utusan Perjanjian yang kamu inginkan itu, sesungguhnya, Ia datang, firman Tuhan Semesta Alam" (Mal. 3:1). Selanjutkan, akan ada pemulihan lingkungan. Allah berjanji, "Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap" (Mal. 3:11a), dan kemudian "kamu akan menjadi negeri kesukaan" (Mal. 3:12). Orang-orang melakukan pekerjaan mereka secara etis (Mal. 3:14, 18), sehingga ekonomi pun dipulihkan karenanya, termasuk "hasil tanahmu" dan "pokok anggur di ladang" (Mal. 3:11b).
Yunus dan Berkat Allah Bagi Segala Bangsa
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti telah disebutkan di bagian pendahuluan, Kitab Yunus adalah sebuah pengecualian di antara kedua belas kitab para nabi. Kisah di dalamnya tidak terjadi di Israel. Isinya pun tidak mengindikasikan waktu terjadinya. Kitab ini tidak mengandung nubuat kenabian, dan bukan berfokus pada orang-orang yang kepada mereka sang nabi diutus, melainkan pada pengalaman pribadi sang nabi sendiri.[1] Walau demikian perspektif kitab ini sama dengan kitab-kitab nabi yang lain, yaitu bahwa Allah terus bekerja di dunia ini (Yunus 1:2, 17; 2:10), dan kesetiaan kepada Allah (maupun ketidaksetiaan) merupakan dasar dari tiga hal yang berhubungan, yaitu ibadah, kesehatan sosioekonomi, dan lingkungan hidup. Ketika para pelaut berdoa kepada Tuhan dan menaati firman-Nya, laut menjadi tenang, dan Allah menyelamatkan para pelaut dan Yunus (Yun. 1:14-19). Ketika Yunus kembali beribadah dengan benar, Tuhan mengembalikan lingkungan ke tatanan yang semestinya: ikan berada di laut dan manusia berada di daratan (Yun. 2:7-10). Ketika Niniwe berbalik kepada Tuhan, hewan dan manusia hidup bersatu secara harmonis, dan berbagai pelanggaran sosioekonomi pun berhenti (Yun. 3:4-10). Kitab Yunus berbeda latar belakangnya dengan kedua belas kitab para nabi lainnya, tetapi tidak dengan teologinya. Kontribusi unik dari kitab Yunus adalah 1) fokus pada panggilan dan respons sang nabi; dan 2) pengakuan bahwa Allah bukan memberkati bangsa Israel untuk melawan bangsa-bangsa lain, melainkan untuk memberkati bangsa-bangsa lain melalui Israel.[2]
Panggilan dan Respons Yunus (Yunus 1:1-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSebagaimana halnya dalam kedua belas kitab para nabi, kitab Yunus dimulai dengan panggilan dari Allah kepada sang nabi (Yun. 1:1-2). Namun, tidak seperti nabi-nabi lainnya, Yunus menolak panggilan Allah. Dengan bodohnya Yunus mencoba melarikan diri dari hadapan Tuhan dengan menumpangi kapal yang berlayar ke pantai asing (Yun. 1:3). Tindakan yang tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga penumpang kapal lainnya, karena —seperti yang telah kita baca di kedua belas kitab para Nabi— melanggar perjanjian dengan Allah membawa konsekuensi yang nyata, dan tindakan setiap individu selalu memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Allah pun mengirimkan badai. Pertama-tama, badai itu menghancurkan prospek bisnis para pelaut, karena mereka terpaksa membuang semua muatan ke laut untuk meringankan kapal (Yun. 1:5). Lalu pada akhirnya, badai itu mengancam nyawa mereka (Yun. 1:11). Hanya ketika Yunus menawarkan diri untuk dibuang ke laut —yang itu pun diikuti dengan ragu-ragu oleh para pelaut di kapal— maka badai itu mereda dan seluruh penumpang lain luput dari marabahaya (Yun. 1:12-15).
Tujuan panggilan dari Allah adalah untuk melayani orang lain. Panggilan Yunus adalah untuk kepentingan Niniwe. Ketika dia menolak tuntunan Allah, tak hanya orang-orang yang seharusnya ia layani jadi merana, tapi juga orang-orang di sekitarnya pun jadi menderita. Jika kita menyadari bahwa kita semua dipanggil untuk melayani Allah dalam pekerjaan kita—yang mungkin berbeda dengan pekerjaan Yunus, tetapi tidak kalah pentingnya bagi Allah (lihat artikel “Ikhtisar Tentang Panggilan”), maka kita akan menyadari bahwa kegagalan untuk melayani Allah dalam pekerjaan kita juga akan merugikan komunitas kita. Semakin kuat karunia dan talenta kita, semakin besar kerugian yang akan kita sebabkan dengan menolak tuntunan Allah dalam pekerjaan kita. Tentu kita semua bisa mengingat orang-orang yang dengan kemampuan luar biasa mereka jadi mampu untuk menyebabkan kerusakan besar di bidang bisnis, pemerintahan, masyarakat, ilmu pengetahuan, agama, dan yang lainnya. Bayangkanlah kebaikan yang dapat mereka lakukan, kejahatan yang dapat mereka hindari, kalau saja mereka mengerahkan kemampuan mereka untuk menyembah dan melayani Tuhan. Karunia-karunia kita mungkin tampak kecil jika dibandingkan dengan mereka, tetapi bayangkanlah kebaikan yang dapat kita lakukan dan kejahatan yang dapat kita hindari jika kita bekerja demi melayani Allah sepanjang hidup kita.
Berkat Allah bagi Segala Bangsa (Yunus 1:16, 3:1-4:2)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYunus tidak menaati panggilan Allah karena ia keberatan terhadap maksud Allah untuk memberkati musuh-musuh Israel, yaitu bangsa Asyur dan ibu kotanya, Niniwe, dan ketika ia akhirnya mengalah dan misinya berhasil, ia dipenuhi rasa benci akan belas kasihan Allah kepada mereka (Yun. 4:1-2). Hal ini dapat dimengerti, karena pada akhirnya Asyur akan menaklukkan kerajaan Israel bagian utara (2 Raja-raja 17:6). Yunus diutus untuk memberkati orang-orang yang dibencinya. Meskipun demikian, itu adalah kehendak Allah. Ternyata, Allah bermaksud untuk memakai bangsa Israel untuk memberkati semua bangsa, bukan hanya memberkati bangsa Israel sendiri (lihat "Berkat untuk Segala Bangsa (Yeremia 29)" dalam “Yeremia & Ratapan dan Karya”).
Mungkinkah setiap dari kita sedang mencoba untuk membiarkan keterbatasan kita sendiri mempengaruhi seberapa jauh berkat Allah dapat menjangkau melalui pekerjaan kita? Kita sering berasumsi bahwa kita harus menimbun keuntungan dari pekerjaan untuk diri kita sendiri, agar orang lain tidak mengambil keuntungan dari kita. Kita mungkin terpaksa menggunakan kerahasiaan dan penipuan, kecurangan dan jalan pintas, eksploitasi dan intimidasi, demi mendapatkan keuntungan dari saingan di tempat kerja. Kita seolah-olah menerima asumsi yang belum terbukti sebagai sebuah kebenaran, bahwa kesuksesan di tempat kerja hanya bisa diraih dengan mengorbankan orang lain. Apakah kita mempercayai bahwa kesuksesan itu hanya tentang menang dan kalah semata?
Berkat Allah bukanlah sebuah ember yang kapasitasnya terbatas, melainkan sebuah mata air yang melimpah. "Ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak akan membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berlimpah-limpah." (Maleakhi 3:10). Terlepas dari adanya persaingan, keterbatasan sumber daya, dan kejahatan yang sering kita hadapi di tempat kerja, misi Allah bagi kita bukanlah semata tentang hal remeh seperti bertahan hidup melewati segala rintangan, melainkan agar tempat kerja kita mengalami transformasi yang luar biasa sehingga bisa menciptakan kreativitas dan produktivitas, hubungan dan keharmonisan sosial, dan keseimbangan lingkungan yang Allah maksudkan sejak mula.
Meskipun Yunus pada awalnya menolak terlibat dalam berkat Allah bagi musuh-musuhnya, pada akhirnya kesetiaannya kepada Tuhan mengalahkan ketidaktaatannya. Akhirnya dia memperingatkan orang-orang Niniwe, dan ia cukup terkejut ketika mereka menanggapi pesannya dengan penuh semangat. Seluruh kota, "semunya, baik orang dewasa maupun anak-anak " (Yun. 3:5b), mulai dari raja sampai para pembesarnya, orang-orang yang ada di jalan-jalan sampai kepada binatang-binatang yang ada di kandangnya, “berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya" (Yun. 3:8). "Lalu orang Niniwe percaya kepada Allah" (Yun. 3:5a) dan "Ketika Allah melihat apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, menyesallah Allah atas malapetaka yang akan dibuat-Nya terhadap mereka seperti yang telah disampaikan-Nya. Ia pun tidak jadi melakukannya" (Yun. 3:10). Yunus pun menjadi kecewa karena ia terus ingin mendikte hasil dari tugas yang telah Allah berikan kepadanya. Yunus menginginkan hukuman untuk Niniew, bukan pengampunan. Dia menghakimi dengan keras hasil pekerjaannya sendiri (Yun. 4:5) sehingga tak bisa merasakan sukacita orang lain. Apakah kita melakukan hal yang sama? Ketika kita bersedih karena pekerjaan kita tampak kurang signifikan atau berhasil, apakah kita sedang lupa bahwa hanya Allah yang dapat melihat nilai sesunguhnya dari pekerjaan kita?
Namun, bahkan momen sejenak ketika Yunus menaati Allah sekalipun, bisa membawa berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Di atas kapal, ia mengakui, "Aku takut akan Tuhan, Allah Semesta Langit" (Yun. 1:9) dan mengorbankan dirinya demi teman-teman sekapalnya. Alhasil, mereka diselamatkan dari badai, dan terlebih lagi, mereka menjadi pengikut Tuhan. "Orang-orang itu menjadi semakin takut kepada TUHAN, lalu mempersembahkan kurban sembelihan kepada Tuhan serta mengikrarkna nazar." (Yun. 1:16)
Jika kita mengakui bahwa pekerjaan kita dalam pelayanan kepada Allah jadi terhambat oleh ketidaktaatan, kebencian, kelambanan, ketakutan, keegoisan, atau hal-hal negatif lainnya, maka pengalaman Yunus bisa menjadi penyemangat bagi kita. Yunus menjadi contoh seorang nabi dengan kegagalan dalam pelayanan yang jauh lebih besar daripada kita. Namun, Allah tetap menggenapi misi-Nya dengan tuntas melalui pelayanan Yunus yang sempat terhenti, penuh kesalahan, dan terputus-putus. Dengan kuasa Allah, pelayanan kita yang buruk sekalipun dapat menggenapi segala sesuatu yang Allah kehendaki.
Pemeliharaan Allah terhadap Mereka yang Merespons Panggilan-Nya (Yunus 1:3, 12-14, 17; 2:10; 4:3-8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBerdasarkan pengalaman Yunus, kita mungkin merasa takut bahwa panggilan Allah akan membawa kita ke dalam bencana dan kesulitan. Bukankah lebih mudah untuk berharap agar Allah tidak memanggil kita sama sekali? Memang benar bahwa merespons panggilan Tuhan mungkin membutuhkan pengorbanan dan kesulitan yang besar. [1] Namun dalam kasus Yunus, kesulitan itu muncul bukan karena panggilan Allah, melainkan karena ketidaktaatan Yunus terhadap panggilan itu. Karamnya kapal dan berdiamnya Yunus selama 3 hari di laut di dalam perut ikan besar terjadi karena ia berusaha melarikan diri dari hadirat Allah. Ketika kemudian Yunus terpapar terik matahari dan angin kencang serta mengalami keputusasaan sampai mau bunuh diri (Yunus 4:3-8) bukanlah penderitaan yang berasal dari Allah. Semua itu terjadi karena Yunus menolak untuk menerima berkat-berkat dari "Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya, dan yang tidak pernah berhenti menghukum" (Yunus 4:2).
Kebenarannya adalah Allah senantiasa bertindak untuk merawat dan menghibur Yunus. Allah menggerakkan orang-orang untuk berbelas kasihan kepadanya, seperti ketika para pelaut memilih untuk mencoba mendarat daripada menyetujui tawaran untuk melemparkan Yunus ke laut (Yun. 1:12-14). Allah mengirimkan seekor ikan untuk menyelamatkan Yunus supaya ia tidak tenggelam (Yun. 1:17) dan kemudian memerintahkan ikan tersebut untuk memuntahkan Yunus kembali ke daratan (Yun. 2:10). Dia membuat Yunus berkenan di antara orang-orang Niniwe, sehinga mereka memperlakukannya dengan hormat dan mendengarkan pesannya. Dia memberikan Yunus tempat berteduh dan berlindung di Niniwe (Yun. 4:5-6) pada saat-saat yang paling dibutuhkannya.
Jika kita menjadikan kisah Yunus sebagai contoh, panggilan Allah untuk melayani orang lain dalam pekerjaan kita tidak perlu sampai mengorbankan kesejahteraan kita sendiri. Jika kita mengharapkan sebaliknya, berarti kita terjebak dalam pola pikir menang dan kalah. Mengingat tindakan Allah yang luar biasa untuk memenuhi kebutuhan Yunus yang sudah menolak panggilan-Nya, bayangkan berkat-berkat apa yang akan seharusnya bisa dialami Yunus jika saja ia menerima panggilannya sejak awal. Fasilitas untuk melakukan perjalanan, teman-teman yang siap mempertaruhkan nyawa mereka untuknya, keharmonisan dengan alam, keteduhan dan tempat berlindung, penghargaan dari orang-orang di tempat ia bekerja, dan kesuksesan yang luar biasa dalam pekerjaannya—bayangkanlah betapa ia seharusnya bisa merasakan semua itu sebagai berkat-berkat yang besar, seandainya Yunus menerima semua itu sesuai dengan rencana Allah sejak awal. Sekalipun mungkin terasa kurang istimewa karena sikap penolakan Yunus, semua itu menunjukkan bahwa panggilan Allah untuk melayani juga merupakan panggilan untuk memberkati.