Kitab Samuel, Raja-raja & Tawarikh dan Pekerjaan
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Introduksi Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, dan 1&2 Tawarikh menaruh perhatian mendalam pada masalah pekerjaan. Perhatian utamanya adalah pada pekerjaan raja-raja, yang meliputi aspek politik, militer, ekonomi dan kerohanian. Memerintah dalam bentuk “menjalankan kekuasaan” adalah salah satu tugas yang diberikan Allah kepada manusia sejak semula (Kejadian 1:28), dan hal-hal kepemimpinan, atau pengaturan, menjadi isu-isu penting di kitab 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, dan 1&2 Tawarikh. Bagaimana bangsa Israel harus diatur, oleh siapa dan untuk tujuan-tujuan apa? Ketika organisasi-organisasi diatur, dikelola dengan baik, manusia berkembang. Ketika pengaturan/pemerintahan yang baik tidak dijalankan, semua orang menderita.
Peristiwa-peristiwa dalam kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh saling berkaitan. Oleh karena itu, kita akan membahas keenam kitab ini bersama-sama, tidak kitab per kitab. Untuk menemukan pembahasan tentang perikop tertentu, bisa gunakan tabel daftar isi dan judul pokok bahasan.
Raja-raja menjadi fokus, tetapi orang-orang yang kita temukan bekerja dalam kitab-kitab ini bukan hanya para raja. Pertama, pekerjaan raja-raja memengaruhi pekerjaan banyak orang lain, seperti para prajurit, ahli bangunan, tukang-tukang ahli lainnya, serta para imam; dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh memerhatikan pengaruh pekerjaan raja-raja pada pekerja-pekerja lain ini. Kedua, raja-raja sendiri memiliki pekerjaan selain memerintah, dan tugas menjadi orang tua menjadi perhatian khusus dalam kitab-kitab ini. Akhirnya, sebagai sejarah Israel, kitab-kitab ini memerhatikan bangsa itu secara keseluruhan, yang dalam banyak hal, ini berarti membahas pekerjaan orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan raja-raja.
Mengikuti petunjuk kitab-kitab itu sendiri, kita akan memberi perhatian terbesar pada tugas-tugas kepemimpinan dan pemerintahan raja-raja Israel, sembari juga menjelajahi berbagai jenis pekerja lainnya. Yang termasuk di antara pekerja-pekerja ini adalah para prajurit dan komandan, para hakim dan pemimpin masyarakat (yang sering disebut “tua-tua”), orang tua, gembala, petani, juru masak dan juru roti, juru rempah-rempah, penjaga kebun anggur, pemusik dan penyanyi, penemu/pencipta, wirausahawan, diplomat (resmi maupun tidak resmi), pendemo atau aktivis, penasihat politik, ahli bangunan dan ahli-ahli tukang, arsitek, pengawas, tukang batu, tukang tembok, tukang besi, tukang kayu, ahli senjata, penjaga sumur, pedagang minyak, tabib, budak perempuan, utusan, penebang kayu, dan akuntan. Nabi-nabi dan para imam juga termasuk, meskipun untuk menjaga fokus Proyek Teologi Kerja pada pekerjaan sekuler, kita akan membatasi peran mereka dalam pekerjaan di luar bidang kerohanian. Sebagaimana akan kita lihat, mereka benar-benar melakukan peran yang signifikan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi.
Hampir semua jenis pekerja masa kini ada di dalam kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh, atau dapat menemukan penerapan-penerapan praktis dari kitab-kitab ini untuk pekerjaan mereka. Secara umum, kita akan menemukan bagaimana menerapkan pengaturan dan kepemimpinan yang baik dalam pekerjaan kita, daripada menemukan petunjuk tentang cara melakukan pekerjaan tertentu kita —kecuali pemerintahan atau kepemimpinan memang merupakan pekerjaan kita.
Latar Belakang Sejarah Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerhatian menyeluruh kitab-kitab ini adalah pada pekerjaan raja ketika Israel menjadi kerajaan. Dimulai pada saat kedua belas suku Israel sudah lama melanggar perintah-perintah, etika dan nilai-nilai kepemimpinan yang ditetapkan Allah untuk mereka, yang dapat ditemukan di kitab Kejadian sampai Ulangan. Setelah hampir 200 tahun pemerintahan “hakim-hakim” (pemimpin sementara) yang makin lama makin buruk, Israel hancur berantakan. Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan campur tangan Allah dalam pemerintahan Israel ketika umat-Nya beralih dari konfederasi suku yang gagal menjadi kerajaan yang menjanjikan, yang akhirnya juga merosot ke dalam kehancuran ketika generasi-generasi penerus raja-raja itu meninggalkan Allah dan jalan-jalan-Nya. Yang disayangkan, cerita berakhir dengan kehancuran Israel sebagai bangsa, yang tak pernah dipulihkan selama zaman Alkitab. Ini mungkin tidak tampak sebagai latar belakang yang menjanjikan untuk sebuah studi tentang pengaturan, tetapi pimpinan Allah selalu tampak nyata dalam cerita itu, entah mereka memilih mengikutinya atau tidak. Dengan membaca cerita itu ribuan tahun kemudian, kita dapat belajar dari keberhasilan maupun kegagalan mereka.
Sudut pandang teologis yang mendasar dari kitab-kitab ini adalah bahwa jika rajanya setia pada Allah, bangsa itu berhasil secara ekonomi, sosial dan militer. Jika rajanya tidak setia, bencana nasional terjadi. Jadi sejarah umat Allah diceritakan terutama melalui tindakan para pemimpin pemerintahan tertinggi, jika memakai istilah modern. Namun, pengaturan diperlukan di segala macam komunitas atau institusi, entah itu politik, sosial, bisnis, nirlaba, akademik, atau yang lainnya. Pelajaran dari kitab-kitab ini berlaku untuk pengaturan di semua sektor masyarakat saat ini. Kitab-kitab ini memberikan pembelajaran yang kaya tentang kepemimpinan, yang menunjukkan betapa kehidupan banyak orang tergantung pada perbuatan dan perkataan para pemimpin.
Para pakar percaya bahwa, pada mulanya, setiap pasangan kitab (1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, 1&2 Tawarikh) merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi dua gulungan kitab. Gulungan-gulungan kitab Samuel dan Raja-raja membentuk sejarah politik kerajaan-kerajaan Israel yang disatukan. Kitab Tawarikh menceritakan sejarah yang sama dengan kitab Raja-raja, tetapi dengan fokus pada aspek-aspek keimaman dan ibadah sejarah orang Ibrani. Kita akan menyusuri cerita sepanjang tiga babak berikut ini: (1) Dari Konfederasi Suku sampai Kerajaan, (2) Zaman Keemasan Kerajaan, (3) Dari Kerajaan Yang Gagal sampai Pembuangan.
Dari Konfederasi Suku sampai Kerajaan: 1 Samuel
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab 1 Samuel menandai peralihan Israel dari koalisi suku-suku yang terpecah menjadi kerajaan dengan pemerintah pusat di Yerusalem. Cerita berawal dari kelahiran dan panggilan nabi Samuel, dan berlanjut dengan panggilan dan pemerintahan raja Saul dan raja Daud. Ini adalah cerita tentang pembentukan negara, sentralisasi kekuasaan dan ibadah, serta penetapan tatanan politik, militer dan sosial yang baru.
Panggilan Samuel (1 Samuel 1-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDari ayat penutup kitab Hakim-hakim dan pasal-pasal pembuka kitab 1 Samuel, kita tahu bahwa bangsa Israel tidak memiliki pemimpin dan tidak terhubung dengan Allah. Pemimpin bangsa yang mereka miliki paling-paling adalah imam Eli, yang bersama anak-anaknya mendirikan tempat ibadah di Silo. Kemakmuran ekonomi, politik, militer bangsa Israel tergantung pada kesetiaan mereka pada Allah. Karena itu, mereka membawa persembahan dan pengorbanan mereka kepada Tuhan ke rumah ibadah itu, tetapi para imamnya mengolok-olok interaksi dengan Allah. "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila;… sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN" (1 Samuel 2:12, 17). Mereka tidak dapat dipercaya sebagai pemimpin umat, dan mereka tidak menghormati Tuhan dalam hati mereka. Para umat mendapati orang-orang yang seharusnya membawa mereka ke dalam pengalaman beribadah malah mencuri dari mereka.
Otoritas Yang Diwariskan Versus Panggilan Samuel
Hal yang agak menjadi ancaman dari suatu bangsa yang akan menjadi kerajaan adalah bahwa otoritas yang diwariskan itu bisa berbahaya karena dua hal. Pertama, tidak ada jaminan bahwa keturunan dari pemimpin terhebat pun akan cakap dan setia. Kedua, dilahirkan dalam kekuasaan itu sendiri seringkali membawa pengaruh yang merusak, yang terlalu sering membuat orang merasa nyaman, atau — seperti dalam kasus anak-anak Eli — merasa berhak. Eli menunaikan tugasnya sebagai perintah suci dari Allah (1 Samuel 2:25), tetapi anak-anaknya menganggapnya sebagai kepunyaan pribadi (1 Samuel 2:14). Dibesarkan dalam atmosfir yang agak mirip dengan bisnis keluarga, mereka mengira sejak kecil mereka sudah mewarisi hak-hak istimewa ayahnya. Karena "bisnis keluarga" ini terkait bait suci Allah – yang memberikan hak kepada keluarga itu untuk memiliki otoritas ilahi atas orang banyak—pelanggaran yang dilakukan anak-anak Eli jauh lebih membahayakan.
Bisnis keluarga dan dinasti politik di dunia saat ini memiliki kesamaan dengan situasi Eli. Pendiri perusahaan atau pemerintahan mungkin sudah membawa banyak manfaat bagi dunia, tetapi jika para ahli waris memandangnya sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, orang-orang yang seharusnya mereka layani akan menderita kerugian. Semua orang mendapatkan manfaat jika para pendiri dan penerus setia pada tujuan awal yang baik. Dunia menjadi tempat yang lebih baik, bisnis dan komunitas berkembang pesat, dan keluarga tercukupi dengan baik. Namun, ketika tujuan awal diabaikan atau diselewengkan, bisnis atau komunitas akan menderita, dan organisasi serta keluarga berada dalam bahaya.
Sejarah yang menyedihkan dari pewarisan kekuasaan di berbagai pemerintah, gereja, bisnis, dan organisasi lainnya mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mengira menerima kekuasaan sebagai hak seringkali tidak merasa perlu untuk mengembangkan keterampilan, disiplin diri, dan sikap melayani yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Kenyataan ini merisaukan hati penulis kitab Pengkhotbah. "Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang setelah aku. Lalu siapa yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat.” (Pengkhotbah 2:18-19). Hal yang merisaukannya itu terjadi juga pada kita saat ini. Keluarga-keluarga yang memperoleh kekayaan dan kekuasaan dari keberhasilan wirausaha satu generasi seringkali akan kehilangan pencapaian ini pada generasi ketiga serta menghadapi pertengkaran keluarga yang menghancurkan dan kemalangan pribadi.[1] Ini tidak berarti bahwa kekuasaan atau kekayaan yang diwariskan selalu menimbulkan akibat-akibat buruk, tetapi bahwa pewarisan adalah suatu kebijakan yang berbahaya dalam usaha pengelolaan/pemerintahan. Keluarga, organisasi, atau pemerintah yang harus melimpahkan otoritas melalui pewarisan sebaiknya mengupayakan berbagai cara untuk menangkal bahaya-bahaya yang menyertai pewarisan ini. Ada konsultan-konsultan dan lembaga-lembaga ahli di bidang ini yang dapat membantu keluarga-keluarga dan bisnis/perusahaan dalam situasi pewarisan ini.
Tuhan Memanggil Samuel Menjadi Pemimpin (sebagai Suksesi Eli)
Jika bukan anak-anaknya yang dursila, lalu siapa yang akan menggantikan imam Eli? 1 Samuel 3:1-4:1 dan 1 Samuel 7:3-17 menyingkapkan rencana Allah untuk membangkitkan Samuel kecil sebagai pengganti imam Eli. Samuel menerima satu dari beberapa panggilan Allah yang dapat didengar (audible) yang dicatat dalam Alkitab, tetapi perhatikanlah bahwa panggilan ini bukan untuk menjalankan suatu pekerjaan atau pelayanan. (Samuel sudah melayani di rumah Tuhan sejak ia berusia dua atau tiga tahun, dan pilihan pekerjaan itu dilakukan oleh ibunya. Baca 1 Samuel 1:20-28 dan 2:18-21). Panggilan Samuel adalah untuk melakukan suatu tugas, yaitu memberitahu imam Eli bahwa Allah sudah memutuskan untuk menghukumnya dan anak-anaknya, yang akan segera dipecat sebagai imam Tuhan. Setelah memenuhi panggilan ini, Samuel melanjutkan pelayanannya di bawah bimbingan imam Eli sampai ia diakui sebagai nabi secara resmi (1 Samuel 4:1) dan menggantikan Eli yang wafat (1 Samuel 4:18). Samuel menjadi pemimpin umat Allah bukan karena ambisi yang melayani diri sendiri atau merasa berhak, tetapi karena Tuhan memberinya visi (1 Samuel 3:10-14) serta kemampuan dan keterampilan untuk memimpin umat-Nya menggenapi visi itu (1 Samuel 3:19-4:1). Lihat Vocation Overview untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik panggilan untuk bekerja.
Bahaya Memperlakukan Tuhan Sebagai Jimat Keberuntungan (1 Samuel 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak jelas apakah kebobrokan pemimpin, Eli, yang menyebabkan kebobrokan umat atau sebaliknya, tetapi kitab 1 Samuel pasal 4-6 lebih menunjukkan bahaya yang menimpa orang-orang yang dipimpin dengan buruk. Israel sudah berabad-abad terlibat konflik dengan negara tetangganya, bangsa Filistin. Dan bangsa itu lagi-lagi melakukan serangan baru yang mengalahkan orang Israel dan menewaskan 4.000 orang (1 Samuel 4:1-3). Bangsa Israel mengenali kekalahan itu sebagai tanda tidak diperkenan Allah. Namun, alih-alih mengoreksi kesalahan mereka, bertobat, dan datang pada Allah meminta pimpinan, mereka malah mencoba memanipulasi Allah untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengambil tabut perjanjian dan membawanya dalam peperangan melawan orang Filistin, dengan asumsi tabut itu akan membuat mereka tak terkalahkan. Anak-anak Eli ikut memberikan aura otoritasnya pada rencana itu. Tetapi orang Filistin membantai orang Israel dalam pertempuran itu, menewaskan 30.000 prajurit Israel, merampas tabut perjanjian, membunuh anak-anak Eli dan menyebabkan kematian Eli sendiri (1 Samuel 4:4-19).
Anak-anak Eli, bersama para pemimpin militer, melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa karena mereka menyandang nama umat Allah dan memiliki simbol kehadiran Allah, mereka memegang kendali atas kuasa Allah. Orang-orang yang bertanggung jawab itu mungkin percaya bahwa mereka benar-benar dapat mengendalikan kuasa Allah dengan membawa serta tabut perjanjian itu. Atau mereka mungkin menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa karena mereka umat Allah, maka apa pun yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri akan menjadi keinginan Tuhan untuk mereka. Namun, akhirnya mereka mendapati bahwa kehadiran Allah bukanlah jaminan untuk memproyeksikan kuasa Tuhan, tetapi undangan untuk menerima pimpinan Allah. Ironisnya, tabut itu berisi sarana pimpinan Tuhan yang terbaik - Sepuluh Hukum Tuhan (Ulangan 10:5) - tetapi anak-anak Eli tak mau repot-repot mencari pimpinan Allah apa pun sebelum menyerang bangsa Filistin.
Mungkinkah kita juga terjatuh dalam kebiasaan buruk yang sama dalam bekerja? Ketika kita menghadapi pertentangan atau kesulitan dalam pekerjaan kita, apakah kita mencari pimpinan Allah dalam doa, ataukah kita hanya menaikkan doa kilat dan meminta Allah melakukan yang kita inginkan? Apakah kita memikirkan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam terang firman-Nya, ataukah Alkitab kita hanya tersimpan di laci meja? Apakah kita memeriksa motivasi-motivasi kita dan menilai tindakan-tindakan kita dengan keterbukaan untuk diubah Allah, atau apakah kita hanya menghiasi diri kita dengan simbol-simbol orang Kristen? Jika pekerjaan kita tampaknya tidak memuaskan atau karier kita tidak sesukses yang kita harapkan, adakah kemungkinan kita juga memakai Allah sebagai jimat keberuntungan, daripada mematuhi-Nya sebagai Tuan atas pekerjaan kita?
Kesempatan Yang Datang dari Bekerja dengan Setia (1 Samuel 5-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiOrang Filistin yang merampas tabut perjanjian ternyata tidak lebih baik keadaannya daripada orang Israel, dan tabut itu menjadi properti yang berbahaya bagi kedua belah pihak sampai tidak digunakan lagi untuk kepentingan militer, dan Samuel memanggil orang Israel untuk berbalik pada Tuhan dan beribadah kepada Dia saja (1 Samuel 5:1-7: 3). Bangsa Israel mendengarkan panggilan ini dan kembali menyembah Tuhan, dan karier Samuel berkembang dengan cepat. Perannya sebagai imam langsung meningkat menjadi “hakim” (yang berarti pemimpin militer) dan ia berhasil memimpin perlawanan terhadap orang Filistin (1 Samuel 7:4-13). Tugasnya segera termasuk mengadakan pengadilan untuk masalah hukum (1 Samuel 10:16). Di balik semua tanggung jawabnya terletak panggilannya untuk menjadi "nabi Tuhan yang dapat dipercaya" (1 Samuel 3:20).
Pekerja yang terampil dan dapat dipercaya yang setia pada jalan Allah sering mendapati pekerjaan mereka melampaui deskripsi tugas mereka. Dalam menghadapi tanggung jawab yang semakin bertambah dan meluas, respons Samuel bukanlah, "Itu bukan tugasku." Namun, ia melihat kebutuhan mendesak yang ada di hadapannya, menyadari bahwa ia memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan itu, dan bertindak melaksanakannya. Ketika ia berbuat begitu, Allah meningkatkan otoritas dan efektivitasnya untuk memperlengkapi kesediaannya.
Satu pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah menanggapi Allah dengan kesediaan untuk melayani seperti yang dilakukan Samuel. Apakah Anda melihat kesempatan-kesempatan yang ada di depan Anda di tempat kerja, yang sebetulnya, tidak sesuai dengan deskripsi tugas Anda? Apakah atasan atau rekan-rekan kerja Anda tampaknya mengharapkan Anda mengambil tanggung jawab lebih dalam hal-hal yang bukan bagian pekerjaan Anda secara resmi? Hal-hal seperti ini sering menjadi peluang untuk pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan (kecuali atasan Anda tidak menghargai tanggung jawab lain yang Anda ambil). Apa yang perlu Anda lakukan untuk memanfaatkan kesempatan ini? Anda mungkin juga bisa melihat kebutuhan-kebutuhan di sekitar Anda yang bisa Anda bantu penuhi jika Anda memiliki keyakinan dan keberanian untuk merespons. Apa yang perlu Anda lakukan untuk meningkatkan keyakinan Anda pada Allah dan menerima keberanian yang diperlukan untuk mengikuti pimpinan-Nya?
Catatan terakhir tentang pemerintahan Samuel (1 Samuel 7:15-17) menyatakan bahwa ia berkeliling ke kota-kota Israel dari tahun ke tahun, untuk memerintah dan menegakkan keadilan. Pasal ini diakhiri dengan perkataan, “Dan ia mendirikan mezbah bagi Tuhan.” Pelayanan sipil dan militernya bagi Israel didasarkan pada kesetiaan dan penyembahannya yang seumur hidup pada Tuhan.
Anak-anak Samuel Mengecewakan (1 Samuel 8:1-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika Samuel menjadi tua, ia mengulangi kesalahan Eli dengan menunjuk anak-anaknya untuk menggantikannya. Seperti anak-anak Eli, mereka juga ternyata serakah dan jahat (1 Samuel 8:1-3). Anak-anak yang mengecewakan dari para pemimpin besar menjadi tema yang berulang di kitab Samuel dan Raja-raja. (Tragedi anak Daud, Absalom, memenuhi bagian terbesar kitab 2 Samuel pasal 13-19, yang akan kita bahas kemudian. Lihat "Daud Gagal Menangani Konflik Keluarga Yang Mengakibatkan Perang Saudara” - 2 Samuel 13-19). Hal ini mengingatkan kita bahwa tugas menjadi orang tua sama menantangnya dengan semua pekerjaan yang lain, dan jauh lebih pelik secara emosional. Tidak ada solusi yang diberikan dalam teks Alkitab ini, tetapi kita bisa menemukan bahwa Eli, Samuel, dan Daud tampaknya sudah memberikan banyak hak istimewa kepada anak-anak mereka yang menyusahkan, tetapi tidak banyak terlibat sebagai orang tua. Dan kita juga tahu bahwa para orang tua yang paling berdedikasi pun bisa mengalami kehancuran hati akibat kelakuan buruk anak-anaknya. Alih-alih menyalahkan atau membuat stereotip, mari kita camkan baik-baik bahwa menjadi orang tua adalah pekerjaan yang membutuhkan banyak doa, keterampilan, dukungan komunitas, keberuntungan dan kasih seperti halnya pekerjaan lainnya, atau malah lebih. Pada akhirnya, menjadi orang tua—entah anak kita membawa kegembiraan, atau kekecewaan, atau kedua-duanya – berarti bergantung pada kasih karunia dan kemurahan Allah dan mengharapkan penebusan yang melebihi yang kita alami selama hidup kita. Barangkali penghiburan terbesar kita adalah mengingat bahwa Allah juga mengalami kehancuran hati sebagai orang tua karena Anak-Nya yang terhukum, namun mengatasi semuanya itu dengan kekuatan cinta kasih.
Bangsa Israel Meminta Raja (1 Samuel 8:4-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMelihat ketidakberesan anak-anaknya, bangsa Israel meminta Samuel untuk: “angkatlah bagi kami untuk memerintah kami, sama seperti semua bangsa lain.” Permintaan ini mengesalkan hati Samuel (1 Samuel 8:4-6). Samuel memperingatkan mereka bahwa raja-raja membebankan tuntutan-tuntutan yang berat pada bangsanya.
Inilah hak raja yang akan berkuasa atas kamu. Ia akan mengambil anak-anakmu laki-laki untuk ditugaskan di kereta perang atau di pasukan berkuda, ataupun berlari di depan keretanya. Ia akan menugaskan mereka sebagai kepala pasukan seribu dan pasukan lima puluh. Mereka akan membajak ladangnya dan menuai panen baginya. Mereka akan membuat peralatan perang dan perlengkapan keretanya. Ia akan mengambil anak-anakmu perempuan untuk menjadi pembuat minyak wangi, tukang masak, dan pembuat roti. Ia akan mengambil yang terbaik dari ladangmu, anggurmu, dan kebun zaitunmu, untuk diberikan kepada pegawai-pegawainya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari gandummu dan hasil kebun anggurmu, untuk diberikan kepada pembesar-pembesar istananya dan para pegawai lainnya. Ia akan mengambil budakmu laki-laki dan hambamu perempuan, yang terbaik dari ternakmu dan keledaimu, untuk dipekerjakannya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari kambing dombamu. Engkau sendiri akan menjadi budaknya. (1 Samuel 8:10-17)
Bahkan, raja-raja akan menjadi sangat serakah sampai akhirnya bangsa itu akan berseru kepada Allah agar mereka diselamatkan dari raja-raja itu (1 Samuel 8:18).
Allah juga memandang permintaan untuk memiliki raja itu sebagai ide buruk karena itu sama saja dengan menolak diri-Nya sebagai Raja. Namun, meskipun demikian, Tuhan memutuskan mengizinkan bangsa itu memilih bentuk pemerintahan mereka, dan berkata kepada Samuel, "Dengarkanlah suara rakyat, semua yang mereka katakan kepadamu. Bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak supaya Aku tidak lagi menjadi raja atas mereka. (1 Samuel 8:7). Sebagaimana dikatakan pakar Akitab John Goldingay, "Allah memulai bersama umat-Nya di tempat mereka berada; jika mereka tidak dapat menggapai jalan-Nya yang tinggi, Dia membuat jalan yang lebih rendah. Ketika mereka tidak menanggapi Roh Yahweh atau ketika segala macam roh membuat mereka menjadi anarki, Dia menyediakan ... pengaman institusi dari penguasa-penguasa dunia." Adakalanya Allah mengizinkan institusi-institusi yang bukan bagian dari rencana kekal-Nya, dan kerajaan Israel adalah salah satu contoh yang paling jelas.
Baik Allah maupun Samuel menunjukkan kerendahan hati, kesabaran dan kasih karunia yang besar dengan mengizinkan bangsa Israel membuat pilihan dan kesalahan, dan belajar dari akibat-akibatnya. Ada banyak situasi di institusi dan tempat kerja yang para pemimpinnya harus menyesuaikan diri dengan pilihan-pilihan buruk anggotanya, namun pada saat yang sama berusaha memberikan kesempatan-kesempatan untuk bertumbuh dan berkasih karunia. Peringatan Samuel kepada bangsa Israel bisa saja menjadi peringatan bagi bangsa-bangsa, perusahaan-perusahaan, gereja-gereja, sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi lain di dunia masa kini. Di dunia kita yang sudah rusak, banyak orang menyalahgunakan kekuasaan, dan kita harus menyesuaikan diri sambil pada saat yang sama melakukan yang dapat kita lakukan untuk mengubah banyak hal. Cita-cita kita adalah mengasihi Allah dan memperlakukan orang lain sebagaimana perintah Allah dalam Hukum yang diberikan kepada Musa, yang sangat sulit dilakukan umat Allah di segala zaman.
Tugas Memilih Seorang Raja (1 Samuel 9-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaul Terpilih Sebagai Raja Pertama Israel
Pilihan Tuhan untuk raja yang pertama adalah Saul (lk.1050-1010 SM), seorang yang tampak sebagian— karena ia benar-benar berdiri "lebih tinggi dari semua orang sebangsanya" (1 Samuel 9:2). Lagipula, ia sudah memenangkan beberapa pertempuran, alasan utama memiliki seorang raja (1 Samuel 11:1-11). Pada mulanya, Saul melayani dengan setia (1 Samuel 11:13-14), tetapi tak lama kemudian ia menjadi tidak taat pada Allah (1 Samuel 13:8-15) dan bersikap arogan terhadap rakyatnya (1 Samuel 14:24-30). Baik Samuel maupun Allah menjadi jengkel padanya dan mulai mencari penggantinya (1 Samuel 16:1). Namun, sebelum kita membandingkan tindakan-tindakan Saul dengan ekspektasi-ekspektasi kepemimpinan abad 21, kita perlu ingat bahwa Saul hanya melakukan yang biasanya dilakukan raja-raja di Timur Dekat kuno. Bangsa itu mendapatkan yang mereka minta (dan yang sudah diperingatkan Samuel), seorang raja lalim yang militeristik, karismatik, dan suka mengagungkan diri sendiri.
Bagaimana kita harus mengevaluasi raja pertama Israel? Apakah Allah membuat kesalahan dengan menyuruh Samuel mengurapi pemuda Saul sebagai raja? Atau apakah memilih Saul menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Israel agar tidak terkecoh dengan penampilan luar, rupawan di luar tetapi berlubang di dalamnya? Dengan meminta raja, bangsa Israel telah menunjukkan kekurangpercayaan mereka pada Allah. Raja yang mereka dapatkan akhirnya menunjukkan kekurangpercayaan pada Allah juga. Tugas utama Saul sebagai raja adalah menjamin keamanan bangsa Israel dari serangan bangsa Filistin dan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Namun, ketika menghadapi Goliat, ketakutan Saul mengalahkan imannya dan ia terbukti tidak mampu menjalankan perannya (1 Samuel 17:11). Di sepanjang pemerintahannya, Saul juga meragukan Allah, mencari nasihat di tempat-tempat yang salah, dan akhirnya mati bunuh diri ketika pasukannya dikepung musuh (1 Samuel 31:4).
Daud Dipilih Menggantikan Saul
Ketika Samuel mencari pengganti Saul, ia hampir membuat kesalahan yang sama dengan menilai dari penampakan luar (1 Samuel 16:1-4). Daud yang masih muda tampaknya tak masuk hitungan di mata Samuel, tetapi dengan pertolongan Allah, ia akhirnya tahu bahwa Allah memilih Daud untuk menjadi raja Israel. Dari luar, Daud tidak menunjukkan sosok yang pantas diharapkan orang untuk menjadi seorang pemimpin (1 Samuel 16:6-11). Beberapa waktu kemudian dalam cerita itu, raksasa Filistin yang bernama Goliat juga meremehkannya (1 Samuel 17:42). Daud adalah kandidat non-tradisional (yang tidak biasa) dari berbagai alasan, selain kemudaannya. Ia seorang anak bungsu di dalam masyarakat yang mengutamakan anak sulung. Ia juga dari etnis campuran, tidak asli orang Israel karena seorang nenek buyutnya adalah Rut (Ruth 4:21-22), pendatang dari Moab (Rut 1:1-4). Meskipun Daud memiliki beberapa hal yang bisa menjegalnya, Allah melihat janji yang besar di dalam dirinya.
Saat kita memikirkan tentang pemilihan pemimpin saat ini, perkataan Allah kepada Samuel sangat penting dan berharga untuk diingat: “Bukan seperti yang dilihat manusia, sebab manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7). Di dalam kerajaan Allah yang terbalik, yang terakhir atau yang paling tidak dianggap bisa menjadi pilihan terbaik. Pemimpin terbaik bisa menjadi orang yang tidak dicari siapapun. Sungguh menggoda untuk langsung tertarik pada kandidat yang sangat impresif, orang yang penuh karisma, figur yang tampaknya akan diikuti orang lain. Namun, kepercayaan-diri yang tinggi sebenarnya membuat penampilan lebih rendah, menurut sebuah artikel di Harvard Business Review 2012.[1]
Yang dihargai Allah bukan karisma, tetapi karakter. Apa yang diperlukan untuk belajar melihat karakter seseorang dari kacamata Allah?
Hal yang juga signifikan adalah bahwa ketika Samuel datang mencarinya, Daud sedang keluar melakukan pekerjaannya sebagai gembala, merawat domba-domba ayahnya dengan sepenuh hati. Setia melakukan pekerjaan yang ada merupakan persiapan yang baik untuk pekerjaan yang lebih besar, seperti dalam kasus Daud (1 Samuel 17:34-37, lihat juga Lukas 16:10; 19:17). Samuel segera mendapati bahwa Daud adalah seorang pemimpin yang kuat, percaya diri, dan cakap yang didambakan bangsanya, yang akan "memimpin [kami] dalam peperangan" (1 Samuel 8:20). Sepanjang kariernya Daud selalu ingat bahwa ia sedang melayani “di hadapan TUHAN” dalam mengurusi umat Allah (2 Samuel 6:21). Allah menyebutnya "seorang yang berkenan di hati-Ku" (Kisah Para Rasul 13:22).
Tuhan sudah memilih Daud sebagai pengganti Saul. Sekarang Samuel harus mengurapi Daud sebagai raja, sementara Saul masih duduk di takhta kerajaan. Samuel ragu ia bisa berhasil. "Bagaimana mungkin aku pergi?” Samuel berkata, “Jika Saul mendengarnya, ia akan membunuhku." (1 Samuel 16:2). Allah menjawab Samuel dengan menyuruhnya pergi secara tersamar. "Bawalah seekor lembu muda dan katakan: Aku datang untuk mempersembahkan kurban kepada TUHAN. Undanglah Isai ke upacara kurban. Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan. Urapilah bagi-Ku orang yang akan kuberitahukan kepadamu." (1 Samuel 16:2-3). Dengan kata lain, pergilah terang-terangan ke rumah Isai (tempat raja baru itu berada), tetapi samarkan tujuan pergi ke sana. Dengan mengikuti petunjuk Allah, Samuel berhasil mengurapi raja Daud.
Saat bekerja, kita mungkin juga menghadapi tantangan ketika harus berurusan dengan sistem yang semena-mena atau pemimpin yang kejam. Apakah kita akan berbicara terus-terang, bahwa kita membawa target di punggung kita, dan siap menunggu ditembak jatuh? Ataukah kita akan menjajakinya dulu secara halus, dan berharap ini akan memberi kita kesempatan untuk bisa memengaruhi hasil akhir secara positif? Bagaimanakah cara “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” sebagaimana yang dikatakan Yesus itu? (Matius 10:16). Untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik kapan kebohongan mungkin diperlukan secara moral, lihat artikel topikal TOW “When Someone Has No Right to the Truth.”
Ada waktunya untuk berbicara terus terang tentang sikap dan pandangan kita, dan ada pula waktunya untuk bertindak lebih tersamar, dengan mengingat tujuan akhirnya. Bagaimana kita mengetahui perbedaannya? Petunjuknya ada di dalam teks Alkitab ini, ketika Samuel terus-menerus bercakap-cakap dengan Allah mencari pimpinan. Saat berada di bawah tekanan, kita mungkin bisa mendapati diri kita membuat keputusan sendiri, dan keputusan itu kemungkinan cenderung mengarah kepada yang paling nyaman untuk kita sendiri daripada yang Allah kehendaki. Padahal kita memiliki janji Yesus akan pertolongan Roh Kudus Allah (Yohanes 14:26). Kebiasaan Samuel bercakap-cakap dengan Allah di tempat kerja memimpinnya untuk menjajaki dulu situasi yang ambigu secara moral itu bersama Allah agar dapat memahami tujuan-tujuan Allah dengan tepat. Dapatkah kita melakukan hal yang sama di tempat kerja kita sendiri, membawa persoalan dan keraguan kita kepada Allah dalam doa? Untuk memperjelas hal ini, lihat rencana pembacaan Alkitab, “Bagaimana Membuat Keputusan yang Benar.”
Daud Menaiki Tampuk Kekuasaan (1 Samuel 17-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak seperti Saul yang langsung memulai pemerintahan setelah diurapi Samuel (1 Samuel 11:1), Daud harus melalui masa belajar/persiapan yang lama dan sulit sebelum ia dinobatkan menjadi raja di Hebron. Kesuksesan pertamanya di mata publik terjadi ketika ia membunuh raksasa Goliat. yang mengancam keselamatan pasukan Israel. Dan ketika pasukan itu sedang dalam perjalanan pulang, serombongan wanita menyongsong mereka dan menyanyi, "Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa." (1 Samuel 18:7). Hal ini membuat Saul marah sekali (1 Samuel 18:1). Alih-alih mengakui bahwa ia dan bangsanya mendapatkan kebaikan dari kemampuan Daud, ia malah menganggap Daud sebagai ancaman. Ia lalu memutuskan untuk menyingkirkan Daud secepat mungkin (1 Samuel 18:9-13). Maka dimulailah suatu persaingan yang akhirnya memaksa Daud melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya, menjauhkan diri dari Saul sambil memimpin sekelompok perampok di padang gurun Yehuda selama sepuluh tahun.
Ketika mendapat beberapa kali kesempatan untuk membunuh raja Saul, Daud menolak, karena ia tahu takhta itu bukan miliknya yang harus direbut. Takhta itu adalah pemberian Tuhan. Seperti diungkapkan oleh Pemazmur, “Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain” (Mazmur 75:8). Daud menghormati otoritas yang diberikan Allah kepada Saul, meskipun Saul bertindak dengan cara yang tidak terhormat. Ini bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang masa kini yang bekerja pada majikan yang sulit, atau sedang menanti kepemimpinannya diakui. Sekalipun kita merasa dipanggil Allah untuk suatu tugas atau jabatan tertentu, kita tidak memiliki hak untuk merebut kekuasaan dengan menentang otoritas yang ada. Jika semua orang yang berpikir Allah mau mereka menjadi atasan berusaha mempercepat proses dengan merebut sendiri kekuasaan itu, semua peralihan kekuasaan akan sedikit banyak menimbulkan kekacauan. Allah itu sabar dan kita juga harus sabar, seperti Daud.
Dapatkah kita percaya bahwa Allah akan memberi kita otoritas yang kita butuhkan, pada waktu-Nya, untuk melakukan pekerjaan yang Dia mau kita lakukan? Di tempat kerja, memiliki otoritas lebih itu penting untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperlukan. Merebut otoritas itu sebelum waktunya dengan menyerobot atasan atau menjatuhkan rekan kerja tidak membangun kepercayaan rekan-rekan kerja atau menunjukkan kepercayaan pada Allah. Kadang memang bikin frustasi jika harus menunggu terlalu lama untuk mendapatkan otoritas yang dibutuhkan, tetapi otoritas sejati tidak dapat direbut, hanya diberikan. Daud bersedia menunggu sampai Allah memberikan otoritas itu kepadanya.
Abigail Meredam Konflik antara Daud dan Nabal (1 Samuel 25)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika kekuasaan Daud meningkat, ia berkonflik dengan seorang tuan tanah kaya bernama Nabal. Secara kebetulan, gerombolan pemberontak Daud yang menentang pemerintahan raja Saul pernah berkemah di wilayah Nabal selama beberapa waktu. Orang-orang Daud itu memperlakukan gembala-gembala Nabal dengan baik, melindungi mereka dari bahaya atau setidaknya tidak mencuri apa pun dari mereka (1 Samuel 25:15-16). Daud berpikir ini setidaknya akan membuat Nabal merasa berutang padanya, dan ia lalu mengirim utusan untuk meminta Nabal menyumbangkan beberapa ekor domba untuk perjamuan makan pasukannya. Mungkin karena menyadari kelemahan permohonannya, Daud memerintahkan utusannya untuk bersikap sangat sopan terhadap Nabal.
Nabal tidak menggubris. Ia bukan saja menolak untuk memberikan apa pun untuk perjamuan itu, ia juga secara terang-terangan menghina Daud, menyangkal mengenal Daud dan meragukan integritas Daud sebagai pemberontak terhadap Saul (1 Samuel 25:10). Hamba-hamba Nabal sendiri menggambarkan tuan mereka itu sebagai “seorang yang dursila sehingga orang tidak dapat berbicara dengan dia” (1 Samuel 25:17). Daud langsung menyiapkan 400 tentaranya untuk membunuh Nabal dan semua laki-laki yang ada di rumahnya.
Tiba-tiba saja Daud hendak melakukan pembunuhan masal, sementara Nabal lebih mementingkan kepongahannya daripada memikirkan para pekerja dan keluarganya. Kedua orang arogan ini tidak dapat menyelesaikan percekcokan tentang domba tanpa menumpahkan darah ratusan orang yang tak bersalah. Syukurlah, istri Nabal yang berhati bijaksana, Abigail, mengambil tindakan dalam keributan itu. Ia dengan sigap menyiapkan hidangan pesta untuk Daud dan orang-orangnya, lalu pergi menjumpai Daud dengan permintaan maaf yang menjadi standar kesopanan baru di Perjanjian Lama (1 Samuel 25:26-31). Akan tetapi kata-kata yang dibungkus kesopanan itu merupakan kebenaran-kebenaran sulit yang perlu didengar Daud. Ia hampir saja menumpahkan darah tanpa alasan, yang akan membuatnya merasa bersalah yang tak pernah bisa dihilangkan.
Daud tersentuh oleh kata-kata Abigail dan melepaskan rencananya untuk membunuh Nabal dan semua orang dan anak laki-lakinya. Ia bahkan berterima kasih kepada Abigail yang telah mengalihkannya dari rencana yang sembrono. "Terpujilah kearifanmu dan terpujilah dirimu, yang pada hari ini mencegah aku menumpahkan darah dan membalas dengan tanganku sendiri. Tetapi, demi TUHAN yang hidup, Allah Israel, yang telah mencegah aku berbuat jahat kepadamu, seandainya engkau tidak segera datang menemui aku, pasti tidak ada seorang laki-laki pun yang masih hidup pada Nabal sampai fajar menyingsing." (1 Samuel 25:33-34).
Insiden ini menunjukkan bahwa orang perlu meminta pertanggungjawaban pemimpin, meskipun melakukan hal itu bisa membawa risiko besar pada dirinya sendiri. Anda tidak harus memiliki status yang berotoritas untuk terpanggil memberi pengaruh. Namun, Anda jelas memerlukan keberanian, yang untungnya merupakan hal yang dapat Anda terima dari Allah setiap waktu. Intervensi Abigail juga mengajarkan bahwa menunjukkan sikap hormat, bahkan pada saat melontarkan kritik tajam, menjadi contoh dalam menantang otoritas. Nabal telah mengubah pertengkaran kecil menjadi situasi yang mengancam kehidupan dengan membungkus pertikaian kecil dengan penghinaan pribadi. Abigail menyelesaikan krisis yang mengancam kehidupan dengan membungkus teguran besar dengan dialog yang penuh hormat.
Dengan cara apa Allah memanggil Anda untuk menggunakan pengaruh agar orang-orang yang dalam posisi otoritas yang tinggi bertanggung jawab? Bagaimana Anda dapat mengembangkan sikap hormat yang baik yang disertai komitmen tak tergoyahkan untuk mengatakan kebenaran? Keberanian apa yang Anda perlukan dari Allah untuk benar-benar melakukan hal itu?
Zaman Keemasan Kerajaan: 2 Samuel 1-24, 1 Raja-raja 1-11, 1 Tawarikh 13, 21-25
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Saul mati, Daud diurapi menjadi raja atas suku Yehuda di wilayah selatan, tetapi baru setelah banyak terjadi pertumpahan darah, Daud akhirnya diurapi menjadi raja atas seluruh Israel (2 Samuel 5:1-10). Ketika Daud akhirnya menjadi orang sukses, ia menginvestasikan talentanya untuk mengembangkan orang lain. Berbeda dengan Saul yang takut disaingi, Daud justru mengelilingi dirinya dengan sekelompok pahlawan yang perbuatan-perbuatan gagah perkasanya menandingi dirinya (2 Samuel 23:8-39, 1 Tawarikh 11:10-47). Ia menghormati mereka (1 Tawarikh 11:19), mendukung ketenaran mereka dan mempromosikan mereka (1 Tawarikh 11:25). Allah memakai kerelaan Daud mendukung dan mensponsori orang lain untuk membangun kesuksesan Daud sendiri dan memberkati orang-orang di dalam kerajaannya.
Akhirnya, konfederasi suku Israel yang lemah bersatu menjadi satu bangsa. Selama 80 tahun, pertama-tama di bawah pemerintahan raja Daud (lk. 1010 - 970 SM), dan kemudian di bawah pemerintahan anaknya, Raja Salomo (lk. 970 - 931 SM), Israel mengalami zaman keemasan dan kemakmuran yang terkenal di seluruh bangsa-bangsa Timur Dekat kuno. Akan tetapi di tengah segala kesuksesan mereka, kedua raja ini juga melanggar perjanjian Allah. Meskipun tindakan ini hanya menimbulkan kehancuran yang terbatas di zaman mereka sendiri, tetapi pelanggaran itu menjadi pola bagi raja-raja setelah mereka untuk berpaling dari Tuhan dan meninggalkan perjanjian-Nya.
Keberhasilan dan Kegagalan Daud Sebagai Raja (2 Samuel 1-24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAlkitab memandang Daud sebagai raja Israel teladan, dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan banyak keberhasilannya. Namun, sekalipun Daud "seorang yang berkenan di hati Allah" (1 Samuel 13:14), ia juga pernah menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku tidak setia. Ia cenderung berhasil saat tidak terlalu mengandalkan diri sendiri, dan terjerumus ke dalam masalah serius ketika kekuasaan membuatnya lupa diri—contohnya ketika ia mengadakan sensus yang bertentangan dengan kehendak Tuhan (2 Samuel 24:10-17) atau ketika ia melakukan pelecehan seksual terhadap Betsyeba dan memerintahkan untuk membunuh suaminya, Uria (2 Samuel 11:2-17). Namun terlepas dari kegagalan-kegagalan Daud, Allah menggenapi perjanjian-Nya dengan Daud dan menanganinya dengan kemurahan