Bootstrap

Panggilan Samuel (1 Samuel 1-3)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Terracotta 164169 620

Dari ayat penutup kitab Hakim-hakim dan pasal-pasal pembuka kitab 1 Samuel, kita tahu bahwa bangsa Israel tidak memiliki pemimpin dan tidak terhubung dengan Allah. Pemimpin bangsa yang mereka miliki paling-paling adalah imam Eli, yang bersama anak-anaknya mendirikan tempat ibadah di Silo. Kemakmuran ekonomi, politik, militer bangsa Israel tergantung pada kesetiaan mereka pada Allah. Karena itu, mereka membawa persembahan dan pengorbanan mereka kepada Tuhan ke rumah ibadah itu, tetapi para imamnya mengolok-olok interaksi dengan Allah. "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila;… sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN" (1 Samuel 2:12, 17). Mereka tidak dapat dipercaya sebagai pemimpin umat, dan mereka tidak menghormati Tuhan dalam hati mereka. Para umat mendapati orang-orang yang seharusnya membawa mereka ke dalam pengalaman beribadah malah mencuri dari mereka.

Otoritas Yang Diwariskan Versus Panggilan Samuel

Hal yang agak menjadi ancaman dari suatu bangsa yang akan menjadi kerajaan adalah bahwa otoritas yang diwariskan itu bisa berbahaya karena dua hal. Pertama, tidak ada jaminan bahwa keturunan dari pemimpin terhebat pun akan cakap dan setia. Kedua, dilahirkan dalam kekuasaan itu sendiri seringkali membawa pengaruh yang merusak, yang terlalu sering membuat orang merasa nyaman, atau — seperti dalam kasus anak-anak Eli — merasa berhak. Eli menunaikan tugasnya sebagai perintah suci dari Allah (1 Samuel 2:25), tetapi anak-anaknya menganggapnya sebagai kepunyaan pribadi (1 Samuel 2:14). Dibesarkan dalam atmosfir yang agak mirip dengan bisnis keluarga, mereka mengira sejak kecil mereka sudah mewarisi hak-hak istimewa ayahnya. Karena "bisnis keluarga" ini terkait bait suci Allah – yang memberikan hak kepada keluarga itu untuk memiliki otoritas ilahi atas orang banyak—pelanggaran yang dilakukan anak-anak Eli jauh lebih membahayakan.

Bisnis keluarga dan dinasti politik di dunia saat ini memiliki kesamaan dengan situasi Eli. Pendiri perusahaan atau pemerintahan mungkin sudah membawa banyak manfaat bagi dunia, tetapi jika para ahli waris memandangnya sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, orang-orang yang seharusnya mereka layani akan menderita kerugian. Semua orang mendapatkan manfaat jika para pendiri dan penerus setia pada tujuan awal yang baik. Dunia menjadi tempat yang lebih baik, bisnis dan komunitas berkembang pesat, dan keluarga tercukupi dengan baik. Namun, ketika tujuan awal diabaikan atau diselewengkan, bisnis atau komunitas akan menderita, dan organisasi serta keluarga berada dalam bahaya.

Sejarah yang menyedihkan dari pewarisan kekuasaan di berbagai pemerintah, gereja, bisnis, dan organisasi lainnya mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mengira menerima kekuasaan sebagai hak seringkali tidak merasa perlu untuk mengembangkan keterampilan, disiplin diri, dan sikap melayani yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Kenyataan ini merisaukan hati penulis kitab Pengkhotbah. "Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang setelah aku. Lalu siapa yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat.” (Pengkhotbah 2:18-19). Hal yang merisaukannya itu terjadi juga pada kita saat ini. Keluarga-keluarga yang memperoleh kekayaan dan kekuasaan dari keberhasilan wirausaha satu generasi seringkali akan kehilangan pencapaian ini pada generasi ketiga serta menghadapi pertengkaran keluarga yang menghancurkan dan kemalangan pribadi.[1] Ini tidak berarti bahwa kekuasaan atau kekayaan yang diwariskan selalu menimbulkan akibat-akibat buruk, tetapi bahwa pewarisan adalah suatu kebijakan yang berbahaya dalam usaha pengelolaan/pemerintahan. Keluarga, organisasi, atau pemerintah yang harus melimpahkan otoritas melalui pewarisan sebaiknya mengupayakan berbagai cara untuk menangkal bahaya-bahaya yang menyertai pewarisan ini. Ada konsultan-konsultan dan lembaga-lembaga ahli di bidang ini yang dapat membantu keluarga-keluarga dan bisnis/perusahaan dalam situasi pewarisan ini.

Tuhan Memanggil Samuel Menjadi Pemimpin (sebagai Suksesi Eli)

Jika bukan anak-anaknya yang dursila, lalu siapa yang akan menggantikan imam Eli? 1 Samuel 3:1-4:1 dan 1 Samuel 7:3-17 menyingkapkan rencana Allah untuk membangkitkan Samuel kecil sebagai pengganti imam Eli. Samuel menerima satu dari beberapa panggilan Allah yang dapat didengar (audible) yang dicatat dalam Alkitab, tetapi perhatikanlah bahwa panggilan ini bukan untuk menjalankan suatu pekerjaan atau pelayanan. (Samuel sudah melayani di rumah Tuhan sejak ia berusia dua atau tiga tahun, dan pilihan pekerjaan itu dilakukan oleh ibunya. Baca 1 Samuel 1:20-28 dan 2:18-21). Panggilan Samuel adalah untuk melakukan suatu tugas, yaitu memberitahu imam Eli bahwa Allah sudah memutuskan untuk menghukumnya dan anak-anaknya, yang akan segera dipecat sebagai imam Tuhan. Setelah memenuhi panggilan ini, Samuel melanjutkan pelayanannya di bawah bimbingan imam Eli sampai ia diakui sebagai nabi secara resmi (1 Samuel 4:1) dan menggantikan Eli yang wafat (1 Samuel 4:18). Samuel menjadi pemimpin umat Allah bukan karena ambisi yang melayani diri sendiri atau merasa berhak, tetapi karena Tuhan memberinya visi (1 Samuel 3:10-14) serta kemampuan dan keterampilan untuk memimpin umat-Nya menggenapi visi itu (1 Samuel 3:19-4:1). Lihat Vocation Overview untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik panggilan untuk bekerja.