Bootstrap

Keresahan Saat Orang Jahat Berhasil (Mazmur 49, 50, 52, 62)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Man 76218 620

Orang benar kadang memiliki pandangan yang keliru tentang cara kerja Allah, dan ini membuat mereka mengalami keresahan yang tidak perlu. Mereka menganggap orang benar itu harus betul-betul berhasil dalam kehidupan, sementara orang jahat juga harus betul-betul mengalami kehancuran. Namun, banyak hal tidak selalu sesuai dengan skenario ini. Ketika orang jahat berhasil, orang Kristen merasa dunia sudah terbalik dan iman mereka pun serasa sia-sia. Mazmur 49:17-18 menanggapi hal ini: “Janganlah takut, apabila seseorang menjadi kaya, apabila kemuliaan keluarganya bertambah, sebab pada waktu matinya semuanya itu tidak akan dibawanya serta, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia” Kesalehan tidak menjamin kesuksesan komersial, dan ketidaksalehan tidak menjamin kegagalan. Orang yang mengabdikan hidupnya untuk mencari uang pada akhirnya akan gagal, karena mereka mengumpulkan harta dari kekayaan fana yang akan lenyap (Lukas 12:16-21). Lihat "Concern for the Wealthy (Lukas 6:25; 12:13-21; 18:18-30)" dalam Lukas dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.

Ini bukan sekadar soal orang jahat harus menghadapi hukuman Allah setelah kematian. Ketika orang yang jahat tetapi sukses itu akhirnya mengalami kehancuran, orang-orang akan melihat. Mereka melihat hubungan antara cara hidup orang itu dengan bencana yang akhirnya menimpanya. Mazmur 52:9 menggambarkan situasi itu: "Lihatlah orang itu yang tidak menjadikan Allah tempat pengungsiannya, yang percaya akan kekayaannya yang melimpah, dan berlindung pada tindakan penghancurannya!" Oleh karena itu, Mazmur 62:11 menasihati kita agar tidak mencari rasa aman dengan mengikuti jalan orang fasik atau menumpuk harta dunia: “Janganlah percaya kepada pemerasan, janganlah menaruh harap yang sia-sia kepada perampasan; apabila harta makin bertambah, janganlah hatimu melekat padanya.” Pada masa sulit, kita cenderung melihat orang yang makmur dengan melakukan korupsi atau kronisme, dan merasa kita juga harus melakukan hal yang sama jika ingin keluar dari kemiskinan. Padahal itu hanya memastikan kita ikut mendapat aib di hadapan manusia dan hukuman di hadapan Allah.

Di sisi lain, jika kita memutuskan untuk memercayai Allah, kita harus melakukannya dengan sungguh-sungguh dan tidak dangkal. Mazmur 50:16 berkata, “Tetapi kepada orang fasik Allah berfirman: ‘Apakah urusanmu menyelidiki ketetapan-Ku, dan menyebut-nyebut perjanjian-Ku dengan mulutmu’?” Memakai kecurangan untuk mendapatkan kekayaan adalah hal yang buruk. Namun, melakukannya sambil berpura-pura setia pada Allah adalah hal yang mengerikan.

Ada baiknya kita juga menanyakan apa yang dilihat orang lain ketika mereka mengamati pekerjaan kita dan cara kita melakukannya. Apakah kita membenarkan cara-cara mengambil jalan pintas yang tidak etis, atau diskriminasi, atau memperlakukan orang dengan buruk sambil mengoceh tentang “berkat” atau “kehendak Allah” atau “kemurahan hati”? Barangkali, kita mestinya lebih segan untuk mengaitkan keberhasilan kita dengan kehendak Allah, dan lebih siap untuk berkata singkat, “Aku tak pantas mendapatkannya.”