Kekacauan (Hakim-hakim 1-21)
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Setelah Yosua mati, bangsa Israel tidak memiliki pemimpin bangsa yang tetap. Namun, ketika ada ancaman—serangan militer, misalnya—ada orang-orang tertentu yang dibangkitkan Allah untuk menjadi pemimpin pada waktu setiap krisis. Istilah "hakim" sebenarnya tidak terlalu menjelaskan peran yang dilakukan orang-orang ini di tengah bangsa itu. (Kata Ibrani shopet, yang biasanya diterjemahkan sebagai “hakim”, berarti seorang wasit/penengah konflik, komandan militer, dan gubernur suatu wilayah.[1]) Para hakim jelas menyelesaikan perselisihan, tetapi ia juga bertanggung jawab atas urusan militer dan pemerintahan bangsa itu dalam menghadapi permusuhan bangsa-bangsa di sekitarnya. Meskipun kita tetap akan memakai istilah “hakim-hakim” yang tradisional ini, julukan "pembebas" sebenarnya merupakan deskripsi yang lebih tepat untuk para pemimpin ini.
Di dalam kitab Hakim-Hakim kita menemukan gambaran yang jauh lebih suram tentang para pemimpin Israel daripada di dalam kitab Yosua. Makin lama, para hakim yang memerintah makin berkurang kualitasnya sampai akhirnya membawa Israel ke dalam kekacauan total. Kitab ini diakhiri dengan kisah perkosaan, pembunuhan, dan perang saudara, dengan ayat penutup yang sangat suram, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21:25). Melakukan yang benar menurut pandangan sendiri tidak merujuk pada orang-orang saleh yang bertindak etis atas kemauan mereka sendiri, tetapi pada pengejaran tak terkendali untuk menjadi nomor satu, sebagaimana istilah yang mungkin kita pahami saat ini. Ini berarti tidak mematuhi perintah Allah, melalui Yosua, supaya “janganlah engkau lupa menuturkan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak dengan seksama sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya” (Yosua 1:8). Perintah ini adalah untuk melakukan yang benar di mata Allah, bukan yang tampak baik menurut pandangan kita sendiri yang bias dan mementingkan diri sendiri. Para hakim gagal memimpin bangsa itu dalam mematuhi hukum Allah, dan dengan demikian gagal dalam menjalankan keadilan maupun memerintah bangsa itu.[2]
Tidak Lulus Ujian Menghalau: Penyembahan Berhala Israel (Hakim-hakim 1-2)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHakim-hakim 1-2 melanjutkan yang belum selesai dari Yosua 13-22, yaitu kegagalan Israel dalam menghalau orang-orang Kanaan dari negeri itu. “Ketika orang Israel menjadi kuat, mereka mengharuskan orang Kanaan melakukan kerja paksa, tetapi mereka tidak dihalau sepenuhnya” (Yosua 17:13). Ada suatu ironi bahwa bangsa Israel yang baru saja dibebaskan dari perbudakan menjadi pemilik budak begitu mereka pertama kali mendapatkan kesempatan. Padahal alasan utama bangsa Israel harus menghalau orang-orang Kanaan adalah untuk mencegah penyembahan berhala mereka memengaruhi bangsa Israel. Seperti ular di Taman Eden, penyembahan berhala orang Kanaan akan menguji kesetiaan orang Israel kepada Allah dan perjanjian-Nya. Israel tidak melakukan lebih baik dari Adam atau Hawa. Karena gagal menghalau godaan orang-orang Kanaan, mereka pun segera mulai “melayani” ilah-ilah orang Kanaan, Baal dan Astoret (Hakim-hakim 2:11-13, 10:6, dll.). (Alkitab bahasa Inggris versi NRSV, [dan juga LAI], menerjemahkan kata Ibrani itu dengan “worshipping – menyembah/beribadah” tetapi hampir semua terjemahan Alkitab bahasa Inggris lainnya dengan lebih akurat menerjemahkannya dengan kata “serving - melayani”). Ini bukan sekadar soal membungkuk sesekali di hadapan sebuah patung atau berdoa kepada ilah asing. Akan tetapi hidup dan kerja orang Israel digunakan sia-sia dalam pelayanan kepada berhala-berhala, ketika mereka mulai percaya bahwa keberhasilan mereka dalam bekerja bergantung pada menenangkan ilah-ilah Kanaan setempat.[1]
Kebanyakan pekerjaan kita saat ini didedikasikan untuk melayani seseorang atau sesuatu selain Allah. Bisnis-bisnis melayani para pelanggan dan pemegang saham. Pemerintah melayani warganegara. Sekolah melayani siswa. Tidak seperti menyembah ilah-ilah orang Kanaan, melayani sasaran-sasaran ini pada dasarnya bukanlah kejahatan. Bahkan, melayani orang lain merupakan salah satu cara kita melayani Allah. Namun, jika melayani pelanggan, pemegang saham, warganegara, siswa, dan lain-lainnya menjadi lebih penting bagi kita daripada melayani Allah, atau jika hal itu hanyalah sarana untuk memuliakan diri kita sendiri, maka kita sedang mengikuti bangsa Israel kuno yang menyembah ilah-ilah palsu. Tim Keller menemukan bahwa berhala-berhala itu bukan suatu peninggalan agama kuno yang sudah usang, tetapi spiritualitas modern, yang palsu, yang kita jumpai sehari-hari.
Apa itu berhala? Berhala adalah apa saja yang lebih penting bagi Anda daripada Allah; apa saja yang menguasai hati dan pikiran Anda melebihi Allah; apa saja yang Anda cari untuk memberikan pada Anda yang hanya dapat diberikan Allah. Ilah palsu adalah apa saja yang begitu sentral dan esensial bagi hidup Anda sampai-sampai jika Anda kehilangan hal itu, hidup Anda menjadi terasa hampir tak berarti lagi. Berhala memiliki kekuatan mengendalikan di hati Anda sehingga Anda dapat mencurahkan sebagian besar hasrat dan tenaga Anda, sumber daya finansial dan emosional Anda untuk hal itu tanpa berpikir dua kali. Berhala itu bisa berupa keluarga dan anak-anak, karier atau mencari uang, prestasi atau pujian/persetujuan, penghargaan atau kedudukan sosial. Berhala bisa juga berupa hubungan romantis, persetujuan rekan kerja, kompetensi dan keterampilan, situasi aman dan nyaman, kecantikan atau kepintaran, alasan politik atau sosial yang terpuji, moralitas dan kebajikan, atau bahkan keberhasilan dalam pelayanan Kristen.[2]
Sebagai contoh, seorang pejabat terpilih tentu saja ingin melayani publik. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus terus memiliki publik untuk dilayani, yang artinya, tetap menjabat dan terus memenangkan pemilihan. Jika melayani publik menjadi tujuan utamanya, maka apa pun yang diperlukan untuk memenangkan pemilihan menjadi dapat dibenarkan, seperti mengikuti keinginan publik, penipuan, intimidasi, tuduhan palsu, dan bahkan kecurangan dalam penghitungan suara. Keinginan yang tak terbendung untuk melayani publik—ditambah keyakinan tak tergoyahkan bahwa dirinyalah satu-satunya orang yang dapat memimpin dengan efektif— inilah tepatnya yang menjadi motivasi Presiden AS Richard Nixon dalam pemilu 1972. Keinginan tak terbendung untuk melayani publik itulah yang tampaknya membuatnya berusaha memenangkan pemilu dengan segala cara, termasuk dengan memata-matai Komite Nasional Demokrat di Hotel Watergate. Tindakan ini kemudian membuat dirinya dimakzulkan, kehilangan jabatan dan mendapat aib. Melayani berhala selalu akan berakhir dengan malapetaka.
Orang dengan pekerjaan apa pun—bahkan pekerjaan dalam keluarga sebagai pasangan, orang tua dan anak—menghadapi godaan untuk lebih meninggikan “some imtermediate good” (kebaikan sekunder tertentu) daripada melayani Allah. Ketika melayani kebaikan apa pun menjadi tujuan utama, dan bukan sebagai ungkapan pelayanan kepada Allah, maka penyembahan berhala mulai menyelinap masuk. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang bahaya-bahaya memberhalakan pekerjaan, lihat bagian Hukum Pertama dan Hukum Kedua di dalam kitab Keluaran dan Pekerjaan (“Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3); “Jangan membuat bagimu berhala…” (Keluaran 20:4)) dan di dalam kitab Ulangan dan Pekerjaan (“Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:7; Keluaran 20:3); “Jangan membuat bagimu berhala…” (Ulangan 5:8; Keluaran 20:4) di https://www.teologikerja.org/.
Debora (Hakim-hakim 4-5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiHakim yang terbaik adalah Debora. Orang-orang mengakui kebijaksanaannya dan datang padanya untuk meminta nasihat dan solusi konflik (Hakim-Hakim 4:5). Hierarki militer juga mengakuinya sebagai panglima tertinggi dan bahkan hanya akan pergi berperang atas perintahnya (Hakim-hakim 4:9). Pemerintahan hakim Debora begitu baik sampai “negeri itu aman empat puluh tahun lamanya” (Hakim-hakim 5:31), suatu keadaan yang jarang terjadi dalam sejarah Israel.
Sebagian orang masa kini mungkin heran, bahwa seorang perempuan, bukan janda atau putri seorang penguasa, bisa tampil sebagai pemimpin bangsa di sebuah negara zaman pramodern. Dan kitab Hakim-hakim memandang Debora sebagai pemimpin Israel terbesar pada zaman itu. Hanya Debora saja di antara para hakim yang disebut nabi atau nabiah (Hakim-hakim 4:4), yang menunjukkan betapa ia sangat mirip dengan Musa dan Yosua, para pemimpin yang juga berkomunikasi langsung dengan Allah. Baik kaum wanita, seperti Yael, agen yang menyamar, maupun kaum pria, seperti Barak sang jenderal, tidak menunjukkan keberatan atas keberadaan pemimpin perempuan. Pelayanan Debora sebagai hakim-nabiah Israel menunjukkan bahwa Allah tidak menganggap masalah dengan kepemimpinan politik, yudisial, atau militer perempuan. Terbukti suaminya Lapidot dan keluarga intinya juga tidak mengalami kesulitan dalam mengatur pekerjaan rumah tangga, sehingga ia punya waktu untuk "duduk di bawah pohon kurma Debora" dan melakukan tugasnya ketika "orang Israel menghadap dia untuk mencari keadilan" (Hakim-hakim 4:5).
Saat ini, di sebagian masyarakat, di banyak sektor pekerjaan, dan organisasi-organisasi tertentu, kepemimpinan perempuan sudah menjadi tidak kontroversial seperti pada zaman Debora. Akan tetapi di sebagian budaya, sektor pekerjaan, dan organisasi masa kini lainnya, perempuan tidak diterima sebagai pemimpin atau harus tunduk pada aturan-aturan yang tidak dikenakan pada laki-laki. Mungkinkah dengan merenungkan kepemimpinan Debora pada zaman Israel kuno dapat membuat orang Kristen masa kini lebih jelas dalam memahami maksud Allah dalam situasi-situasi ini? Dapatkah kita melayani organisasi dan masyarakat kita dengan ikut merobohkan penghalang-penghalang yang tidak sepatutnya terhadap kepemimpinan perempuan? Apakah kita secara pribadi mendapatkan manfaat dengan menerima perempuan sebagai atasan, mentor, dan peran-peran panutan lainnya dalam pekerjaan kita?
Efek Ekonomi Akibat Perang (Hakim-hakim 6:1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Debora, kualitas para hakim mulai merosot. Hakim-hakim 6:1-11 menunjukkan yang kemungkinan menjadi ciri umum kehidupan bangsa Israel pada masa itu – kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh perang.
Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. Sebab itu, TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Midian selama tujuh tahun, dan cengkeraman orang Midian semakin kuat atas Israel. Oleh karena orang Midian, orang Israel membuat tempat-tempat perlindungan di pegunungan, gua-gua dan kubu-kubu bagi dirinya. Setiap kali orang Israel selesai menabur, datanglah orang Midian, orang Amalek serta orang-orang dari timur dan maju menyerang mereka. Orang-orang itu berkemah di daerah mereka dan memusnahkan hasil bumi sampai dekat Gaza. Bahan makanan tidak dibiarkan tersisa sedikit pun di Israel, juga domba atau lembu atau pun keledai. Bahkan orang-orang itu maju dengan ternak dan kemah mereka bagikan belalang yang sangat banyak. Jumlah mereka beserta unta mereka tidak terhitung banyaknya. Mereka datang ke negeri itu untuk memusnahkannya. Orang Israel menjadi sangat melarat karena perbuatan orang Midian itu. Lalu orang Israel berseru kepada TUHAN.
Dampak perang pada pekerjaan dirasakan di berbagai bagian dunia saat ini. Selain kerusakan akibat serangan langsung terhadap sasaran-sasaran ekonomi, ketidakstabilan yang ditimbulkan konflik bersenjata juga dapat menghancurkan mata pencaharian masyarakat. Para petani di wilayah yang dilanda perang enggan bercocok tanam karena kemungkinan mereka akan dipindahkan sebelum musim panen tiba. Para investor menganggap negara yang dilanda perang memiliki risiko buruk dan tidak mungkin menggelontorkan sumber daya untuk meningkatkan infrastruktur. Dengan hanya sedikit harapan akan pembangunan ekonomi, orang bisa ditarik ke dalam faksi-faksi bersenjata yang memperebutkan sumber daya apa pun yang masih ada untuk dieksploitasi. Dengan demikian siklus yang sangat buruk akibat perang dan kemiskinan akan terus berlanjut. Perdamaian perlu mendahului kelimpahan.
Situasi ekonomi Israel begitu sulit di bawah penindasan orang Midian sampai-sampai kita menemukan calon hakim Gideon “mengirik gandum di tempat pemerasan anggur agar tersembunyi dari orang Midian” (Hakim-hakim 6:11). Daniel Block menjelaskan alasan perilakunya ini.
Sebelum peralatan teknologi modern ditemukan, pengirikan bulir-bulir gandum dilakukan pertama-tama dengan menumbuk bonggol-bonggol batangnya dengan pemukul untuk membuang jeraminya, lalu campuran sekam dan biji gandum itu dilambung-lambungkan ke udara agar angin menerbangkan sekamnya dan biji gandum yang lebih berat jatuh ke lantai. Dalam situasi genting seperti saat itu, cara ini jelas tidak bijaksana. Melakukan pengirikan di puncak bukit hanya akan menarik perhatian orang Midian untuk merampas. Oleh karena itu, Gideon memilih mengirik gandum di tempat tersembunyi yang biasanya digunakan untuk memeras buah anggur. Pada umumnya pemerasan buah anggur memerlukan dua cekungan yang digali pada batu karang, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Buah anggur akan ditumpuk dan diinjak-injak di cekungan yang atas, sementara sebuah saluran akan mengalirkan sari-sarinya ke cekungan yang lebih rendah.[1]
Saat ini orang Kristen maupun non-Kristen sama-sama sangat setuju bahwa menjalankan bisnis dengan cara-cara yang melanggengkan konflik bersenjata adalah hal yang tidak bermoral. Larangan internasional terhadap “Berlian konflik/berdarah” adalah sebuah contoh terkini.[2] Apakah orang-orang Kristen memimpin dalam usaha-usaha semacam itu? Apakah kita merupakan orang-orang yang mencari tahu apakah bisnis, pemerintah, universitas, dan institusi lainnya tempat kita bekerja secara tanpa sadar berpartisipasi dalam kekerasan? Apakah kita berani mengambil risiko untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ketika atasan kita mungkin lebih memilih mengabaikan situasi itu? Atau apakah kita bersembunyi, seperti Gideon, di balik alasan hanya melakukan pekerjaan kita?
Keberhasilan Masa Lalu Tidak Menjamin Masa Depan – Kepemimpinan Gideon Yang Ambivalen (Hakim-hakim 6:12 – 8:35)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiGideon merupakan contoh paling jelas dari karakter paradoks para hakim Israel dan pelajaran-pelajaran ambivalen yang mereka tunjukkan dalam kepemimpinan di tempat kerja dan tempat lainnya. Nama Gideon secara harfiah berarti "peretas/pembongkar" [1] dan tampaknya menunjukkan hal yang positif ketika ia membongkar atau merobohkan mezbah berhala ayahnya di Hakim-hakim 6:25-27. (Fakta bahwa ia melakukannya pada malam hari, karena takut, menunjukkan detail yang mengganggu). [2] Meskipun faktanya Allah sudah berjanji untuk menyertainya, Gideon masih saja terus meminta tanda, terutama dalam peristiwa guntingan bulu domba di Hakim 6:36-40. Allah memang berkenan meneguhkan Gideon dalam hal ini, tetapi ini bukanlah contoh untuk diikuti orang lain ketika banyak orang Kristen masa kini berdebat tentang hal mencari pimpinan, terutama pimpinan dalam pekerjaan. Tindakan ini justru menjadi pertanda komitmen yang goyah, yang pada akhirnya mengarah kepada penyembahan berhala di akhir cerita.[3] Lihat Decision Making by the Book [4] dan Decision Making and the Will of God [5] untuk analisis lebih mendalam tentang cara-cara mencari peneguhan yang dilakukan Gideon.
Hal terbaik dari kisah ini, tentu saja, kemenangan Gideon yang menakjubkan atas orang Midian (Hakim-hakim 7). Yang kurang dikenal adalah kegagalan-kegagalan dalam kepemimpinannya selanjutnya (Hakim-hakim 8). Penduduk Sukot dan Pnuel menolak membantu orang-orangnya yang habis bertempur, dan penghancurannya yang brutal atas kota-kota itu bisa dianggap sangat tidak sebanding dengan kesalahan mereka. Gideon lagi-lagi hidup sesuai dengan namanya, tetapi kali ini ia merobohkan siapa saja yang merintanginya.[6] Meskipun ia menyatakan tidak ingin menjadi raja, pada kenyataannya ia banyak bertindak sebagai raja yang lalim (Hakim-hakim 8:22-26). Bahkan yang lebih meresahkan adalah kejatuhannya ke dalam penyembahan berhala. Baju efod yang dibuatnya menjadi “jerat” bagi bangsanya, dan “semua orang Israel berzina dengan menyembah efod itu” (Hakim-hakim 8:27). Betapa telah jatuh sang pahlawan!
Pelajaran untuk kita saat ini bisa jadi kita merasa bersyukur atas berkat keberadaan orang-orang hebat tanpa mengidolakan mereka sampai menjadi berhala. Seperti Gideon, seorang jenderal masa kini bisa membawa kita kepada kemenangan dalam perang, tetapi ternyata menjadi lalim dalam situasi damai. Seorang jenius mungkin memberi kita wawasan yang luar biasa tentang musik atau film, tetapi membuat kita menyimpang dalam mengasuh anak atau politik. Seorang pemimpin bisnis bisa menyelamatkan perusahaan dalam situasi krisis, tetapi menghancurkannya pada saat aman-aman saja. Kita bahkan bisa menemukan diskontinuitas yang sama pada diri kita sendiri. Mungkin kita menanjak dalam kedudukan di tempat kerja tetapi tenggelam dalam perselisihan di rumahtangga, atau sebaliknya. Mungkin kita terbukti andal dalam berprestasi secara perorangan, tetapi gagal sebagai manajer. Kemungkinan yang paling besar, kita mencapai banyak hal baik ketika kita tidak yakin dengan diri kita sendiri, karena kita bersandar pada Allah, dan kita mendatangkan malapetaka ketika kesuksesan membuat kita bersandar pada diri sendiri.[7] Seperti para hakim, kita adalah orang-orang yang penuh kontradiksi dan kelemahan. Satu-satunya harapan kita, atau jadi putus asa, adalah pengampunan dan transformasi yang telah dimungkinkan bagi kita di dalam Kristus.
Kegagalan Kepemimpinan Para Hakim (Hakim-hakim 9-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKegagalan-kegagalan para hakim sesudah Gideon semakin buruk lagi. Anak Gideon, Abimelekh, mempersatukan orang-orang di sekitarnya, tetapi ia kemudian membunuh tujuh puluh saudaranya yang menghalangi jalannya (Hakim-hakim 9). Yefta memulai sebagai perampok yang kemudian membebaskan bangsanya dari tangan orang Amon, tetapi ia menghancurkan keluarga dan masa depannya sendiri dengan nazar yang mengerikan yang menyebabkan kematian putrinya (Hakim-hakim 11). Hakim yang paling terkenal, Simson, menimbulkan bencana di antara orang Filistin, tetapi yang paling terkenal secara negatif adalah kejatuhannya pada bujuk rayu Delila yang tidak mengenal Allah, yang mengakibatkan kehancurannya sendiri (Hakim-hakim 13-16).
Apa yang dapat kita petik dari semuanya ini untuk pekerjaan kita di dunia saat ini? Pertama-tama, kisah-kisah para hakim meneguhkan kebenaran bahwa Allah bekerja melalui orang-orang yang gagal/cacat. Ini benar sekali, karena sejumlah hakim—Gideon, Barak, Simson, dan Yefta—dipuji dalam Perjanjian Baru, bersama-sama dengan Rahab (Ibrani 11:31-34). Kitab Hakim-hakim tidak ragu menunjukkan bahwa Roh Allahlah yang memampukan mereka melakukan tindakan-tindakan pembebasan yang dahsyat saat menghadapi berbagai masalah yang begitu sulit (Hakim-hakim 3:10; 6:34; 11:29; 13:25; 14: 6-9; 15:14). Selanjutnya, mereka lebih dari alat di dalam tangan Allah. Mereka menanggapi positif panggilan Allah untuk membebaskan bangsanya, dan melalui mereka, Allah lagi-lagi menyelamatkan umat-Nya.
Akan tetapi maksud keseluruhan kitab Hakim-hakim bukanlah menganjurkan kita untuk menjadikan orang-orang ini sebagai panutan. Penekanan kitab ini adalah bahwa bangsa itu kacau, penuh kompromi, dan para pemimpinnya mengecewakan dalam ketidakpatuhan mereka terhadap perjanjian Allah. Pelajaran yang lebih tepat untuk dipetik barangkali adalah bahwa kesuksesan – bahkan kesuksesan yang diberikan Allah – belum tentu merupakan pernyataan tentang perkenan Allah. Ketika usaha-usaha kita di tempat kerja diberkati, apalagi di tengah situasi yang tidak menguntungkan, kita mungkin tergoda untuk berpikir, "Nah, Allah jelas bekerja di sini, maka Dia pasti memberkatiku karena menjadi orang baik/berhasil." Padahal sejarah kehidupan para hakim menunjukkan bahwa Allah bekerja kapan saja Dia mau, dengan bagaimana saja yang Dia mau, dan melalui siapa yang Dia mau. Dia bertindak menurut rencana-Nya, bukan berdasarkan kebaikan atau kekurangan kita. Kita tidak dapat mengambil kredit seolah-olah kita layak menerima berkat kesuksesan. Demikian pula, kita tidak boleh menghakimi orang lain yang kita anggap kurang pantas mendapat perkenan Allah, sebagaimana diingatkan Paulus di Roma 2:1.
Injil Kemakmuran Terungkap dalam Bentuk Awal (Hakim-hakim 17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiJika bagian tengah kitab Hakim-hakim menunjukkan para pahlawan dengan kelemahan yang terperangkap dalam siklus penindasan dan pembebasan yang menyedihkan, pasal-pasal terakhir menunjukkan sebuah bangsa yang hancur yang tampaknya tak ada harapan untuk ditebus. Hakim-hakim 17 dibuka dengan semacam parodi penyembahan berhala. Seorang yang bernama Mikha memiliki banyak uang, ibunya menggunakan uang itu untuk membuat berhala, dan Mikha mempekerjakan seorang Lewi freelance sebagai imam pribadinya. Tak heran jika kultus pemujaan murahan di rumah Mikha ini menunjukkan teologi yang sama kacaunya. “Kata Mikha, 'Sekarang aku tahu bahwa TUHAN akan berbuat baik kepadaku [membuat aku makmur], karena seorang Lewi telah menjadi imamku'” (Hakim-hakim 17:13). Dengan kata lain, dengan memiliki tokoh agama yang memberkati usaha penyembahan berhalanya, Mikha percaya bahwa ia dapat membuat Allah mengeluarkan barang-barang yang diinginkannya. Kreativitas manusia di sini disia-siakan dengan cara yang paling buruk, dengan membuat ilah-ilah khayalan sebagai pembungkus keserakahan dan kesombongan.
Hasrat untuk mengubah Allah menjadi mesin kemakmuran tak pernah berhenti. Bentuknya yang terkenal secara negatif saat ini adalah yang disebut "injil kemakmuran" atau "injil kesuksesan" yang mengeklaim bahwa orang yang mengaku percaya pada Kristus akan selalu diganjar dengan kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan. Dalam hal pekerjaan, keyakinan ini membuat sebagian orang melalaikan pekerjaan mereka dan melakukan hal-hal yang tak patut sementara menunggu Allah melimpahi mereka dengan kekayaan. Hal ini juga membuat orang-orang lainnya—yang mengharapkan Allah memberi kemakmuran melalui pekerjaan mereka— mengabaikan keluarga dan komunitas, melecehkan rekan kerja, dan melakukan bisnis yang tidak etis, karena yakin perkenanan Allah membebaskan mereka dari moralitas yang wajar.
Gundik Orang Lewi: Kebobrokan Manusia & Keterlibatan Tokoh Agama (Hakim-hakim 18-21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBabak terakhir dari kitab Hakim-hakim merupakan peristiwa paling menjijikkan dalam sejarah kemerosotan bangsa Israel yang panjang dalam kebobrokan, penyembahan berhala, dan anarki. Beberapa orang dari suku Dan merampas seluruh usaha pemujaan Mikha, termasuk orang Lewi dan berhalanya itu (Hakim-hakim 18:1-31). Di Hakim-hakim 19 dikisahkan tentang seorang Lewi yang mengambil gundik dari desa yang jauh (di Betlehem, sebagaimana yang tertulis), tetapi setelah suatu pertengkaran rumah tangga, gundik ini kembali ke rumah ayahnya. Orang Lewi itu lalu pergi ke Betlehem untuk menjemput gundiknya. Setelah lima hari minum-minum bersama ayah mertuanya, orang Lewi itu dengan bodohnya memulai perjalanan pulang saat matahari hampir terbenam. Mereka lalu kemalaman sendirian di alun-alun kota sebuah wilayah suku Benyamin. Tidak ada yang memberi mereka tumpangan sampai akhirnya seorang bapak tua menunjukkan keramahtamahan dengan menyediakan tempat menginap.
Akan tetapi malam itu orang-orang durjana di kota itu mengepung rumah bapak tua itu dan menuntut agar orang asing itu dikeluarkan untuk mereka gauli (Hakim-hakim 19:22). Bapak tua itu berusaha melindungi orang asing itu, tetapi idenya untuk melindungi tamumya benar-benar membuat muak. Untuk menyelamatkan orang Lewi itu, ia menawarkan putrinya yang masih gadis dan gundik orang Lewi itu untuk diperkosa lelaki-lelaki durjana itu. Orang Lewi itu sendiri lalu memegang erat dan membawa gundiknya ke luar, yang kemungkinan menjadi contoh paling awal yang dicatat tentang keterlibatan tokoh agama dalam pelecehan seksual. Kemudian “mereka menggauli dan menyakiti perempuan itu sepanjang malam sampai menjelang pagi” (Hakim-hakim 19:25). Setelah didapati sudah tak bernyawa lagi, tubuhnya lalu dipotong-potong dan dikirimkan ke seluruh wilayah Israel, yang hampir saja mengakibatkan musnahnya suku Benyamin sebagai tindakan pembalasan (Hakim-hakim 20-21). Kanaanisasi terhadap bangsa Israel sempurna.[1]
Ayat penutup kitab ini merangkum semuanya dengan ringkas. “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel. Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-hakim 21:25). Seandainya belum jelas, ayat ini berarti bahwa tanpa pemimpin yang membawa bangsa itu melayani Allah, setiap orang akan mengikuti keinginan dan rancangan jahatnya sendiri, karena kompas moral bawaan mereka tidak mengarahkan mereka untuk melakukan hal yang benar tanpa adanya pengawasan.
Di lingkungan-lingkungan kerja kita saat ini, ancaman terhadap kelompok yang lemah—termasuk pelecehan terhadap perempuan dan orang asing—secara mengejutkan masih sangat umum terjadi. Secara individu, kita harus memilih apakah kita akan berdiri bersama mereka yang menentang ketidakadilan—yang pastinya bisa membawa risiko pada diri kita sendiri—ataukah kita akan bersembunyi sampai kerusakan itu berlalu.
Secara organisasi dan masyarakat, kita harus memutuskan apakah kita akan bekerja untuk sistem dan struktur yang mencegah kejahatan perilaku manusia, ataukah kita akan berdiri di pinggir ketika semua orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Bahkan kepasifan kita dapat berkontribusi pada terjadinya pelecehan-pelecehan di tempat kerja kita, terutama jika kita tidak berada dalam posisi berotoritas. Namun, jika orang lain menganggap Anda memiliki pengaruh—misalnya karena Anda lebih senior, sudah bekerja lebih lama, berpenampilan lebih rapi, kelihatan sering berbicara dengan atasan, berasal dari kelompok etnis atau bahasa yang dihormati, lebih berpendidikan, atau lebih baik dalam mengekspresikan diri—dan Anda tidak membela orang yang dilecehkan, Anda berkontribusi pada terjadinya pelecehan. Contohnya, jika orang cenderung datang pada Anda untuk meminta bantuan, itu tandanya orang lain menganggap Anda memiliki pengaruh yang signifikan. Namun jika kemudian, Anda hanya diam ketika lelucon yang merendahkan dilontarkan, atau karyawan baru diintimidasi, Anda memperberat beban korban, dan Anda ikut memberi jalan kepada pelecehan selanjutnya.
Membaca peristiwa-peristiwa mengerikan di pasal-pasal terakhir kitab Hakim-hakim mungkin membuat kita merasa bersyukur karena kita tidak hidup di zaman itu. Akan tetapi jika kita sungguh-sungguh menyadari, kita dapat melihat bahwa dengan pergi bekerja saja pun mengandung signifikansi moral yang sama beratnya dengan pekerjaan para pemimpin atau siapa pun di Israel kuno.